1 PERILAKU PENYALURAN KREDIT BANK Oleh: Djoko Retnadi, Pengamat Perbankan1 Ada tiga fakor eksternal bank yang diperkirakan akan mempengaruhi pola penyaluran kredit bank di semester II tahun 2006. Ketiga variabel tersebut adalah kondisi suku bunga (BI rate) yang masih relatif tinggi yang saat ini masih sebesar 12,75%, uphoria pemberantasan KKN di bank BUMN, dan adanya imbauan pemerintah kepada perbankan untuk membiayai proyek infrastruktur, perkebunan, dan energi. Walaupun dua variabel terakhir lebih banyak ditujukan untuk bank BUMN, namun mengingat porsi penyaluran kredit bank BUMN yang masih sekitar 40% dari seluruh kredit perbankan, maka kedua variabel tersebut tampaknya tidak dapat diabaikan. Suku Bunga Tingginya suku bunga kredit masih akan menjadi salah satu kendala penyaluran kredit di tahun 2006. Hal ini sesuai dengan hasil Suvey Kredit Perbankan Triwulan I 2006 yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Berkaitan dengan masih tingginya suku bunga kredit ini, di masa mendatang penyaluran kredit sepertinya masih akan tetap didominasi oleh Kredit Modal Kerja dan Kredit Konsumsi. Adapun Kredit Investasi hanya merupakan porsi kecil dalam portofolio kredit bank.. Sampai dengan triwulan I 2006 porsi persetujuan kredit untuk KMK (Kredit Modal Kerja) mencapai 76,2%, Kredit Konsumsi 21,4%, dan Kredit Investasi 2,4%. Adapun kredit konsumsi akan lebih banyak digunakan untuk pembiayaan properti/perumahan dan kendaraan bermotor. Dari sisi sektor ekonomi, penyaluran kredit diperkirakan masih akan fokus pada dua sektor, yaitu Perdagangan, Hotel & Restoran, dan sektor Industri Pengolahan. Dua sektor ini disinyalir memiliki risiko paling rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, sehingga masih dapat memberikan daya tarik bagi bank untuk menyalurkan kreditnya.
1
Penulis adalah Senior Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence adalah lembaga riset yang fokus melakukan kajian terhadap masalah-masalah kebijakan dan regulasi ekonomi beralamatkan di www.iei.or.id.
2 Pemberantasan KKN Akhir-akhir ini cukup banyak proses hukum yang terpaksa menyeret bankir maupun mantan bankir bank BUMN. Terlepas apakah para bankir tersebut akhirnya dinyatakan bersalah atau tidak, namun peristiwa pemanggilan para petinggi bank BUMN ke lembaga hukum dan peradilan jelas merupakan situasi yang tidak menguntungkan para bankir. Dengan mengikuti proses peradilan, baik sebagai tersangka atau sekedar sebagai saksi, dapat dipastikan waktu yang tersedia bagi para bankir BUMN untuk melakukan pengembangan bisnis akan semakin berkurang. Jika mereka mesti bersaing dengan para bankir bank swasta yang tidak memiliki beban seperti itu, jelas akan terdapat ruang gerak yang berbeda (the level of playing field). Hasil akhirnya, disinyalir beberapa debitor besar bank BUMN berpindah ke bank lain dengan dalih mereka khawatir akan terseret dalam proses peradilan. Yang lebih memprihatinkan, apabila semakin banyak bankir BUMN yang harus mengenyam ”hotel prodeo”, ini akan semakin mempengaruhi nyali para bankir BUMN untuk menyalurkan kredit besar. Jika demikian keadaannya, menjadi hal yang dapat dimaklumi kalau pada akhirnya bank-bank besar lebih banyak ekspansi kredit untuk UMKM dan kredit konsumsi. Kodisi ini sangat meungkin terjadi karena bank-bank besar yang selama ini lebih dahulu fokus pada UMKM dan kredit konsumsi ternyata memiliki kualitas kredit yang relatif baik, memiliki pendapatan bunga yang tinggi, dan mereka relatif sepi dari persoalan ”hiruk-pikuk” proses hukum dan peradilan. Imbauan Pemerintah Beberapa waktu lalu pemerintah telah mengimbau tiga bank BUMN untuk dapat menjadi pelopor pembiayaan beberapa proyek besar. Bank Mandiri diharapkan dapat menjadi pelopor pembiayaan infrastruktur, Bank BNI untuk pembiayaan energi dan listrik, sedangkan BRI untuk pembiayaan perkebuan dan pertanian. Dengan asumsi seluruh proses perijinan dan modal awal ketiga protek tersebut dapat diatasi, proyek besar tersebut tampaknya masih akan menghadapi beberapa kendala. Sebagaimana Survey Persepsi Pasar Triwulan I 2006 yang dilakukan BI, terdapat delapan faktor penghambat pertumbuhan ekonomi 2006 yaitu laju inflasi yang tinggi, tingkat suku bunga dalam negeri, kondisi stimulus fiskal yang masih terbatas, inkonsistensi kebijakan pemerintah, lemahnya
3 penegakan dan kepastian hukum, rendahnya dukungan pemerintah terhadap militer, kerusuhan sosial, dan rendahnya transparansi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Dengan masih besarnya kendala pembiayaan untuk ketiga sektor tersebut, tidak heran jika porsi kredit perbankan untuk sektor tersebut masih rendah, di mana untuk tahun 2005 porsi kredit untuk Konstruksi masih 3,88%, Listrik sebesar 0,77%, dan Pertanian sebesar 5,34%. Oleh karena itu, untuk menjamin bank-bank akan tertarik untuk memperbesar porsi pembiayaan pada ketiga sektor tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk memberikan pemanis agar daya tarik ketiga sektor tersebut lebih kuat. Rendahnya pembiayaan perbankan pada ketiga sektor tersebut jelas akibat kurang adanya daya tarik dan terlalu besarnya risiko yang harus dihadapi bank. Usulan pembentukan Infrastructure Funds oleh pemerintah merupakan penciptaan daya tarik, yang jika diikuti dengan penyediaan penjaminan dari pemerintah akan semakin dapat menarik bank dalam membiayai ketiga sektor tersebut. Pola Penyaluran Kredit Sejak tahun 2003, pola penyaluran kredit perbankan ditandai oleh semakin berkurangnya porsi kredit investasi dibandingkan dengan porsi kredit modal kerja maupun konsumsi sebagaimana tabel 1. Bahkan untuk kredit kepada UMKM, porsi kredit investasi lebih memprihatinkan lagi. Hal ini karena 50,50% kredit kepada UMKM ternyata digunakan untuk tujuan konsumsi sebagaimana tabel 2.
Investment Workig Capital Consumer Total
Tabel 1. Komposisi Kredit Menurut Jenis Kredit (%) 2000 2001 2002 2003 24.31 24.00 22.75 21.74 61.47 57.46 55.69 53.01 14.22 18.54 21.56 25.25 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Tabel 2. Komposisi Kredit UMKM Menurut Jenis Kredit (%) 2002 2003 2004 2005 SME Investment 10.78 10.99 10.50 9.31 SME Working Capital 45.77 44.00 41.18 40.19 SME Consumer 43.45 45.00 48.32 50.50 Total SME Loan 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: Bank Indonesia, diolah
2004 21.22 51.78 27.00 100.00
2005 19.32 50.97 29.71 100.00
4 Jika dilihat kaitan antara kontribusi per sektor ekonomi terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan porsi kerdit yang disalurkan menurut sektor ekonomi, tampak tidak terdapat sinkronisasi (lihat tabel 3). Tabel 3. Porsi PDB vs Porsi Penyaluran Kredit 2005 (%) 2005 Porsi PDB Rp Miliar % Pertanian 365,559.6 13.38 Pertambangan 285,086.6 10.43 Industri Pengolahan 768,966.7 28.14 Listrik gas dan air bersih 24,993.2 0.91 Bangunan 173,440.6 6.35 Perdagangan Hotel dan Restauran 429,944.0 15.73 Pengangkutan dan Komunikasi 180,968.7 6.62 Keuangan Persewaan dan Jasa Usaha 228,107.9 8.35 Jasa-Jasa 275,640.9 10.09 Lainnya Total 2,732,708.2 100.00 Non Migas 2,427,591.8 88.83 Migas 302,116.4 11.06
Porsi Kredit % 5.34 1.17 24.62 0.77 3.88 19.53 2.85 10.44 1.44 29.96 100
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Karena arah penyaluran kredit bank kurang sejalan dengan sektor yang dominan dalam pembentukan PDB, maka cukup beralasan apabila pertumbuhan ekonomi kita tidak dapat mencapai angka yang ditargetkan. Mengapa penyaluran kredit perbankan tidak selaras dengan komposisi PDB? Salah satu jawabannya adalah, masih tingginya risiko di beberapa sektor yang ditandai oleh angka NPL yang tinggi di sektor tersebut akhirnya menyebankan bank enggan masuk ke sektor tersebut sebagaimana tabel 4.
Agriculture Mining Industry Electricity Construction Trading Transportation Services Social Services Others Total NPL
Tabel 4. Komposisi NPL Menurut Sektor Ekonomi (%) 2000 2001 2002 2003 22.21 18.52 13.55 8.62 13.73 17.66 7.95 5.76 26.44 17.00 11.69 10.59 12.59 2.49 13.05 7.33 30.64 14.73 9.49 6.04 15.01 11.06 5.96 5.77 26.75 13.92 2.07 7.09 24.41 12.87 6.29 4.58 15.29 6.33 2.69 19.08 7.32 3.29 2.51 2.70 20.09 12.23 7.50 6.78
Sumber: Bank Indonesia, diolah
2004 6.51 2.20 7.97 5.11 4.26 2.95 9.22 3.99 5.49 1.63 4.50
2005 8.57 14.67 15.61 7.27 10.60 5.47 9.94 4.65 7.37 2.26 7.56
5 Beberapa Catatan Ekspansi kredit bank sangat diharapkan karena akan dapat menjadi tambahan amunisi bagi suatu sektor untuk dapat lebih berkembang. Pola penyaluran kredit perbankan sejak tahun 2003 yang kurang memberikan peluang pada pengembangan proyek baru (investasi), harus dicarikan jalan keluarnya. Dari berbagai informasi yang beredar, jelas sekali bahwa penyebab kurang tertariknya perbankan untuk membiayai proyek baru karena tingginya risiko yang dihadapi. Suku bunga yang belum stabil pada tingkat yang rendah, dan buruknya prasarana dan sarana ekonomi tampaknya menjadi alasan utama masih seretnya pengucuran kredit investasi. Bahkan akhir-akhir ini fenomena pemanggilan bankir bank BUMN oleh aparat hukum, semakin menyurutkan keberanian bank untuk memberikan kredit. Selain arah penyaluran kredit bank yang kurang mendukung penciptaan efek berganda bagi perekonomian, masih adanya kesenjangan penyaluran kredit per sektor ekonomi perlu segera dipikirkan alternaif pemecahannya. Langkah pemerintah untuk memulai pembangunan berbagai proyek infrastruktur dan energi, diharapkan dapat menjadi pemanis bagi bank untuk semakin tertarik terjun pada sektor tersebut. Namun demikian, risiko kredit ternyata tidak terbatas pada ketersediaan dana pemerintah dalam tahap awal pembangunan proyek. Yang lebih penting adalah kondisi suku bunga yang harus segera diturunkan agar risiko proyek investasi jangka panjang dapat diterima oleh bank. Memang tidak mudah untuk menyulap kondisi usaha yang belum kondusif ke arah yang lebih baik. Upaya ke arah tersebut memerlukan tekad bersama dari pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk menuntaskannya. Kalau tekad bersama tersebut belum terlihat, kita sepertinya masih harus bersabar lebih lama lagi untuk melihat pulihnya berbagai sektor ekonomi yang dapat menarik perbankan segera mengucurkan kreditnya.