1 MEMPERSEMPIT KESENJANGAN KEBIJAKAN MONETER DENGAN SEKTOR RIIL Oleh: Djoko Retnadi, pengamat ekonomi dan perbankan1
Survey yang dilakukan oleh JBIC (Japan Bank for International Cooperation) terhadap 595 responden perusahaan Jepang mengenai pelaksanaan bisnis luar negeri industri manufacturing tahun 2005, ditemukan bahwa ketidakstabilan keamanan lokal dan kondisi sosial menjadi persoalan utama dalam berinvestasi di Indoneisia. Persoalan menonjol lainnya adalah sulitnya mencari manajer lokal, sistem hukum yang kurang jelas, persoalan buruh lokal, dan persaingan ketat dengan perusahaan lokal (Kompas 10/3). Berita mengenai masih kurang mendukungnya lingkungan dunia usaha untuk menjamin berlangsungnya kegiatan investasi baru terus menghiasi halaman media massa. Bahkan melalui Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) triwulan IV 2005 yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap 2.109 perusahaan mengindikasikan terjadinya penurunan kegiatan dunia usaha. Penyebab penurunan ini antara lain permintaan dalam negeri yang menurun seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya harga bahan baku, dan meningkatnya biaya operasional lainnya. Indikasi lain adalah semakin tidak optimisnya situasi bisnis, penurunan penggunaan tenaga kerja, dan sulitnya akses kredit memperlihatkan arah penurunan yang paralel dengan penurunan kegiatan usaha. Di sektor perbankan, pertumbuhan kredit tahun 2005 sebesar 24,34% ternyata berada di bawah angka pertumbuhan kredit tahun 2004 yang sebesar 27,01%. Meskipun angka LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan tahun 2005 lebih tinggi (sebesar 55,02%) daripada LDR tahun 2004 (sebesar 49,95%), namun jumlah kredit yang telah disetujui bank namun tidak ditarik (undisbursed loan) terus meningkat, di mana di akhir tahun 2005 mencapai Rp. 151,9 triliun. Angka ini jauh di atas angka tahun 2004 yang sebesar Rp 126,8 triliun. Dari sekelumit informasi ini dapat disimpulkan bahwa upaya Bank Indonesia (BI) yang telah habis-habisan berupaya untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi bank untuk dapat menyalurkan kredit, ternyata belum diimbangi oleh kemampuan para pelaku di sektor riil karena lingkungan usaha yang belum kondusif. Dengan demikian, terdapat kesenjangan antara kebijakan di sektor moneter dengan kebijakan di sektor riil yang harus segera dicarikan titik temunya.
1
Penulis adalah Senior Economist The Indonesia Economic Intelligence. The Indonesia Economic Intelligence adalah lembaga riset yang fokus melakukan kajian terhadap masalah-masalah kebijakan dan regulasi ekonomi beralamatkan di www.iei.or.id.
2
Kondisi Perbankan Jika dilihat dari jenis kredit, maka sampai dengan akhir tahun 2005, porsi kredit investasi yang sebesar 19,32% masih jauh di bawah porsi kredit untuk konsumsi yang mencapai 29,71%. Porsi kredit investasi ini sejak tahun 2000 terus menunjukkan penurunan, sedangkan porsi kredit konsumsi terus meningkat sebagaimana tabel 1. Dengan gambaran penyaluran kredit seperti itu jelas sekali bahwa sektor riil belum bergerak karena perbankan belum tertarik untuk membiayainya, dan perbankan cenderung bermain aman dengan lebih banyak menyalurkan kredit konsumsi. Pertanyaannya, apakah benar bahwa kredit konsumsi lebih aman daripada kredit investasi? Dari data tabel 2 terlihat bahwa porsi NPL (Non Performing Loan) untuk kredit investasi pada tahun 2005 mencapai 38,92% dari total NPL perbankan, jauh di atas porsi NPL kredit konsumsi yang hanya sebesar 8,75%. Bahkan sejak tahun 2000, porsi angka NPL kredit konsumsi tidak pernah di atas 10%. Dari indikator ini menjadi sangat masuk akal apabila perbankan lebih senang menyalurkan kredit konsumsi daripada kredit investasi karena NPL-nya rendah. Lagi pula, di tengah kondisi suku bunga yang masih tinggi, di mana suku bunga penjaminan masih di atas 12%, maka penyaluran kredit konsumsi akan tetap menjadi pilihan bank karena margin keuntungan yang tinggi. Tabel 1. Komposisi NPL menurut jenis kredit terhadap total loan (%) 2000 2001 2002 2003 2004
2005
NPL Working Capital
65.47
52.10
57.15
58.75
57.43
52.33
NPL Investment
30.84
44.82
35.28
31.29
31.25
38.92
NPL Consumer
3.69
3.08
7.57
9.96
11.32
8.75
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
NPL Total
Sumber: Bank Indonesia 2006
Selain lebih prefer menyalurkan kredit untuk konsumsi, perbankan ternyata kian hari kian fokus untuk berlomba menyalurkan kredit dengan skala yang semakin kecil yaitu kepada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Sesuai kriteria BI, kredit UMKM adalah kredit dengan skala sampai dengan Rp 5 miliar. Sampai akhir 2005, porsi penyaluran kredit untuk UMKM telah mencapai 51,02% dari total kredit perbankan. Lagilagi, dari total kredit kepada UMKM yang sebesar Rp 354,9 triliun, ternyata porsi terbesar (50,50%) disalurkan untuk keperluan konsumsi, sedangkan untuk investasi
3 hanya sebesar 9,31% (lihat tabel 2). Ini semakin menunjukkan bahwa di tingkat UMKMpun situasi pemberian kredit di luar konsumsi masih berisiko tinggi.
Tabel 2. Komposisi Kredit UMKM Menurut Jenis Kredit (%) 2002 2003 2004
2005
SME Investment
10.78
10.99
10.50
9.31
SME Working Capital
45.77
44.00
41.18
40.19
SME Consumer
43.45
45.00
48.32
50.50
Total SME Loan
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Bank Indonesia 2006
Dilihat dari sektor ekonomi, maka terdapat hubungan yang aneh, di mana sektor pertambangan hanya memiliki porsi penyaluran kredit sebesar 1,17% dari seluruh kredit bank, namun porsi NPL sektor pertambangan terhadap angka NPL perbankan mencapai 14,67%. Ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan memilki risiko kredit sangat tinggi. Oleh karena itu, kemampuan manajemen risiko kredit para bankir tampaknya perlu ditingkatkan, khususnya untuk sektor pertambangan ini. Di sisi pendanaan, di akhir tahun 2005, porsi sumber dana berupa deposito semakin meningkat dan mencapai 50% (lihat tabel 3). Hal ini masuk akal karena suku bunga di akhir 2005 masih cukup tinggi, sehingga mendorong penabung untuk menempatkan dananya pada deposito yang memberikan imbal hasil lebih tinggi daripada simpanan bank lainnya. Tabel 3. Komposisi DPK (persen) 2001 2002 2003
2000
2004
2005
Giro
23
23
23
25
26
25
Deposito
55
55
53
48
44
50
Tabungan
22
22
23
27
31
25
100
100
100
100
100
100
Total
Sumber: Bank Indonesia
4 Dengan komposisi sumber dana seperti itu akan membawa konsekuensi bahwa biaya dana perbankan akan tetap tinggi. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan selisih bunga bersih (NIM), meningkatkan biaya operasional, yang akhirnya menurunkan perolehan laba perbankan. Tidak mengherankan apabila di tahun 2005 yang lalu, hampir semua bank besar mengalami penurunan laba dibandingkan laba tahun 2004. Yang paling memprihatinkan adalah bawah porsi deposito berjangka 1 dan 3 bulan di tahun 2005 semakin besar karena mencapai 90% dari total deposito. Ini menunjukkan bahwa para deposan masih khawatir dengan gejolak suku bunga, sehingga mereka merasa lebih fleksibel untuk menyimpan deposito berjangka 1 dan 3 bulan guna mengantisipasi kemungkinan kenaikan suku bunga ke depan. Kondisi Sektor Riil Jika di sektor perbankan, BI merupakan satu-satunya otoritas yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan sektor moneter, maka di sektor riil cukup banyak pihak yang terlibat, sehingga diperlukan adanya koordinasi yang lebih lama dan memakan waktu lebih panjang dalam penyelesaian di sektor riil. Sebagaimana diketahui, setiapkali bicara mengenai sektor riil maka aspek yang terkait akan sangat banyak, mulai dari aspek perijinan industri, perpajakan, kepabeanan, tenaga kerja, infrastruktur, energi, keamanan, politik, sistem hukum dan sebagainya. Kesimpulannya, untuk menciptakan iklim kondusif pada sektor riil agar dapat bergerak dan mampu meningkatkan kapasitas, maka diperlukan koordinasi antarinstansi yang berurusan dengan hal-hal tersebut. Tanpa adanya komitmen semua pihak untuk memulihkan iklim usaha ke arah yang lebih baik, maka kebijakan yang bagus dari satu instansi belum tentu sejalan dengan kebijakan instansi lain. Kondisi sering tidak sinkronnya kebijakan ini harus mulai dikurangi. Langkah ke Depan BI melalui berbagai kebijakannya telah mampu menciptakan kondisi keuangan dan perbankan yang cukup memadai untuk menunjang akselerasi sektor riil. Berbagai keluhan klasik seperti sulitnya akses kredit bank telah pula dicoba diatasi melalui berbagai program, terutama untuk memberdayakan pengusaha di sektor UMKM. Namun demikian, BI masih menghadapi area yang kadang bukan menjadi kompetensinya, seperti soal perpajakan atau perijinan, sehingga berbagai upaya BI melalui kebijakan moneternya pada akhirnya tidak mencapai hasil optimal.
5 Ke depan, upaya perbaikan iklim usaha perlu dilakukan oleh pemerintah dengan lebih serius. Keluarnya paket perbaikan investasi beberapa waktu yang lalu tidak boleh berhenti pada sekedar rencana di atas kertas. Yang diperlukan dunia usaha pada saat ini adalah aksi dan bukan paket-paket yang belum jelas implementasinya di lapangan. Untuk menunjukkan niat baik pemerintah dalam menciptakan iklim dunia usaha yang lebih baik, maka pemerintah perlu segera merealisasikan salah satu saja kebijakan yang berdampak signifkan, misalnya rencana pembangunan infrastruktur. Tanpa perlu bermuluk-muluk menciptakan berbagai rencana kebijakan, kalau satu kebijakan infrastruktur tersebut benar-benar dapat direalisasikan, ini akan menjadi trigger bagi para penanam modal untuk semakin antusias menanamkan modalnya di Indonesia. Semoga saja para pengambil kebijakan yang mempengaruhi sektor riil segera menyadari untuk secepatnya berbuat. Memang bukan perkara mudah untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan besar, karena mungkin akan berbenturan dengan suasana demokrasi yang sedang menemukan “lahannya”. Namun demikian, demi
penciptaan
ikim
investasi
yang
kondusif,
pemerintah
harus
segera
memformulasikan batas-batas tindakan mana yang dapat ditolerir dan mana yang tidak dapat ditolerir di tengah euphoria demokrasi. Jika pemerintah tetap mentolerir semua tindakan atas nama demokrasi, maka harapan pemulihan sektor riil tampaknya masih memerlukan jalan panjang. Ketegasan dan rasionalitas pemerintah sangat dibutuhkan untuk dapat mengatasi berbagai hambatan perwujudan ikim investasi yang semakin menarik. Kalau masyarakat tetap dibiarkan dapat berbuat semaunya, akhirnya sebagaimana dirasakan oleh pihak asing bahwa sistem sosial dan keamanan kita masih menjadi penghambat investasi. Kalau persepsi para pemodal masih demikian, siapa yang akan tetap rugi?