PENGEMBANGAN KLASTER IKM/UKM DI INDONESIA: PENGALAMAN DAN PROSPEK Oleh: Noer Soetrisno*1
PENDAHULUAN Klaster (Cluster) adalah merupakan pengertian yang lazim digunakan dalamIlmu Ekonomi Regional untuk mendefinisikan pengelompokan industri sejenis dalam suatu kawasan dan ketika kegiatan industri itu bermacam-macam maka disebut aglomerasi (Richardson, 1971). Dalam perkembanganya ketika klaster menghasilkan praktek terbaik pengembangan industri di dunia, seperti yang terjadi pada klaster tertua industri galangan kapal di Norwegia, maka klaster juga diterima sebagai pengertian pendekatan pengembangan industri (UNCTAD, 2001). Mengutip pendapat Kimura (Hoa and Harvie, 2003): Although we can not say that the micro-foundation of spactial agglomeration has been fully formulated, the importance as a source of location advantage is increasingly recognized both empirical and theoretical literature, menunjukkan bahwa fondasi teori dan praktek aglomerasi dalam pembangunan industri semakin kokoh. Klaster juga lazim digunakan untuk membagi wilayah atau area dalam kawasan industri atau bahkan dalam suatu komplek industri. Dalam memahami penggunaan pendekatan klaster dalam pembangunan UKM di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengalaman pembangunan industri kecil di tanah air dan keberimpitan atau adopsi dengan program pembangunan UKM di Indonesia. Sebagai negara agraris tidak dapat disangkal lagi industri di tanah air tumbuh dari industri agro yang diperkuat oleh industri tekstil dan transport (perawatan). Perkembangan industri di tanah air memang tidak semuanya tumbuh sesuai dengan arah pertumbuhan industri pengolahan yang besar dan sejajar dengan kemajuan zaman. Tetapi kehadiran industri kerajinan rumah tangga, yang lazim disebut cottage industry, yang tumbuh dengan pesat untuk memenuhi kebutuhan sektor tradisional, pertanian dan sektor ekonomi rakyat lainya. Kemudian juga tumbuh menjadi penunjang kebutuhan industri sedang dan besar. Keadaan inilah yang kemudian menjadi alas an dasar untuk melahirkan pendekatan jalur khusus yang pada zaman itu tumbuh dari asistensi/bantuan teknis sampai kepada pembinaan. Pembinaan industri kecil pada awalnya ditempatkan dalam kerangka industri kerajinan (INKRA) yang mengalami perkembangan tersendiri. Batu sejarah pengembangan industri kecil dan UKM memang mengalami kerancuan sejak lahirnya UU 9/1995 tentang Usaha Kecil yang cakupannya menyeluruh (pertanian, industri dan jasa) tetapi instrument dan pembagianya membingungkan (Noer Soetrisno, ISEI, 1996). Perubahan sikap Presiden Soeharto tentang pengusaha kecil ini tidak terlepas dari pengaruh pertemuan APEC yang telah sejak lama dipersiapkan dan pada tahun 1994 diselenggarakan di Bogor yang secara khusus mengedepankan agenda UKM (SME). Untuk itu review pembangunan industri kecil perlu 1
Penulis adalah Ketua MUBYARTO INSTITUTE berkedudukan di Jakarta.
dilihat kembali. Kemudian pengaruh krisis ekonomi dan pendekatan pembangunan UKM serta dampak dan implikasi reformasi politik di tanah tidak dapat dipisahkan dari kehadiran pendekatan klaster pengembangan UKM di tanah air. Selanjutnya perkembangan paska GBHN/PROPENAS menampilkan pengalaman tersendiri perjalanan pembangunan UKM di tanah air, terutama 2004-2009 dan kedudukan pendekatan klaster dalam kazanah pembangunan industri dan pembangunan ekonomi di tanah air. Dengan gambaran itu makalah ini ingin menyajikan benang merah pendekatan dan program pembangunan klaster dalam memajukan UKM di tanah air. Dari sini kita akan mampu mencatat kekuatan pendekatan klaster untuk membuat proyeksi ke depan akan peranya dalam memajukan UKM di tanah air. Hal ini termasuk dalam kontek otonomi daerah. Dengan demikian prospek ke depan dapat ditemu kenali. PENDEKATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI KECIL DARI MASA KE MASA Sejak abad pertengahan, tepatnya sampai sebelum 1900, Indonesia telah mengenal industri yang ditopang oleh industrikecil (Siahaan, 2000), dan kemudian sejak itu mulai muncul gagasan pembangunan industri kecil yang pada dasarnya kemudian menjadi strategi swasembada menjelang kedatangan Jepang dan kemudian dijadikan politik swadesi. Pada masa orde lama industri kecil menjadi focus pembangunan nasional berencana, namun pola pembinaan industri kecil belum dilihat secara khusus. Pada masa ini tercatat satu-satunyta industri kerajinan rakyat yang dikembangkan dengan pola khusus melalui koperasi yaitu industri kerajinan batik. Dalam prakteknya industri batik juga berkelompok dalam wilayah kabupaten/kota tertentu dan bahkan kampong tertentu. Salah satu bukti yang kuat adalah jumlah Primer Koperasi Batik hanya beberapa dandikota tertentu, terutama di Jawa. Karena aglomerasi industri adalah fenomena pertumbuhan industri untuk tujuan efisiensi dalam mencari industri pendukung (input dan transport) dan outlet untuk pemasarannya. Pada masa orde baru industri menjadi bagian penting dalam strategi pembangunan dengan arah jangka panjang yang jelas yaitu strategi industrialisasi menuju lepas landas (1969-1997)dan industri kecil mendapatkan tempat tersendiri, namun cenderung ke arah industri rumah tangga, karena selamorde baru banyak industri kecil seperti tekstil, minuman, tembakau, dan mesin/peralatan banyak yang tutupkarena terdesak industri besar PMA. Inilah yang menyadarkan kembali perlunya industri kecil yang bukan hanya cottage industry, terutama pasca kerusuhan Malari, 1974. Sehingga pada tahun 1978 dibentuk dua Kementerian Baru yakni Menteri Muda Urusan Koperasi dan Menteri Muda Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Menteri Muda Koperasi selain bertugas membidangi pembangunan koperasi juga bertanggung jawab atas pembangunan Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah (PEGEL). Sementara Menteri Muda UPPDN bertanggung jawab menjamin keikut sertaan PEGEL dalam pengadaan produksi PEGEL dan produksi dalam negeri lainnya oleh industri. Pada masa cabinet berikutnya (sejak 1984) lahirlah berbagai program Pengembangan Industri Kecil dan Lingkungan Industri Kecil. Sementara di sektor pertanian Koperasi Unit Desa dibentuk atas dasar pola Wilayah Unit Desa pada tahun 1974. Ke duanya adalah merupakan pendekatan aglomerasi atas dasar kewilayahan yang menggambarkan tujuan tujuan peningkatan efisiensi fisik, penggadaan, angkutan dan kesatuan investasi alat pengolahan. Inilah elemen dasar tumbuhnya aglomerasi industri mendukungnya.
Skema perkreditan untuk mendukung industri kecilpun juga dirancang melalui Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Pada masa ini bahkan industri, tenaga kerja dan kelembagaan menyatu padu seperti digambarkan oleh adanya Trio SUBUH (Sudomo, Bustanil dan Hartarto) sebagai simbul industri, tenaga kerja dan kelembagaan (koperasi) dengan pengecualian Koperasi Industri dan Kerajinan Rakyat yang tidak harus tunduk pada pola KUD, yang berkembang secara serasi hingga akhir PJP I Pelita V (1993). Pada saat ini terasa perhatian kepada pengembangan usaha non pertanian mendapat perhatian besar, termasuk mulai dipikirkanya pengembangan sumberdaya manusia dan jalur transisi pengenalan sumber permodalan bagi yang belum dapat mengikuti jalur perbankan. Sejak 1993 memang mengawali sejarah baru, karena pengusaha kecil dan menengah menempati perhatian tersendiri, namun tetap didekatkan dengan pembinaan koperasi sebagai lembaga ideal dalam pembinaanya. Pada masa ini sentra-sentra industri kecil tumbuhdan dikembangkan berdasarkan atas kelompok industri dan komoditas. Pola pengembangan keterkaitan BUMN dan industri kecil atau usaha kecil diperkenalkan melalui pola bapak angkat yang diperkenalkan secara luas, meskipun tidak selalu menghasilkan keterkaitan industri. Pada saat ini pengembangan permodalan usaha kecil dan koperasi di luar Anggaran Pemerintah dan Kredit Perbankan melalui penyisihan laba BUMN dilahirkan dalam program PUKK-BUMN. Sebagai masa persiapan forum APEC, maka pengaruh internasional dalam industri dan perdagangan tidak dapat dihindarkan. UKM sebagai bagian dari perhatian khusus bagi ekonomi berkembang mendapat tempat yang baik, apalagi pada tahun 1994 Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan APEC yang melahirkan cetak biru liberalisasi perdagangan APEC yang terkenal dengan Deklarasi Bogor. Tidak aneh kemudian lahirnya UU 9/1995 tentang usaha kecil menjadi mudah. Lahirnya UU 9/1995 ini menandai pergeseran pandangan tentang pengorganisasian dan pembinaan industri kerajinan dan rumah tangga serta usaha jasa di luar pertanian dari pola lama menyatu dengan pengembangan koperasi menjadi terbuka dengan visi khusus penciptaan lapangan kerja, nilai tambah dan ekspor. Tetapi dalam sektor industri menimbulkan kerancuan baru dan tumpang tindih pembinaan, sehingga yang berkembang persaingan malu-malu. Dengan pola lama masalah kelembagaan tidak sulit karena ada jalur koperasi (pola lama) dan pengecualian dengan jalur baru (koperasi khusus), tetapi masalah pembinaan teknis tidak rancu, paling tidak ketika itu memastikan apakah IK=UK menimbulkan perdebatan seru. Akhir masa ini memang tidak menghasilkan masa yang menyenangkan, karena krisis moneter Asia akhir 1997 menyeret Indonesia ke dalam krisis multidimensi mulai 1998 dan melahirkan reformasi yang menjanjikan perubahan dan perbaikan di segala bidang. Meskipun janji dan harapan tersebut masih sulitdi nilai hasilnya, tetapi krisis melahirkan kesadaran baru atas keuletan ekonomi berbasis sumber daya manusia (ekonomi rakyat) dan kerapuhan ekonomi berbasis capital semu (ezard capitalism) yang diperoleh melalui kolusi yang melahirkan konglomerasi dalam kapitalisme semu. Pemerintahan transisi Presiden BJ Habibie paling tidak melahirkan tiga perubahan yang sampai sekarang menjadi bola es perubahan yang tidak bisa dihentikan. Ketiga perubahan itu yakni demokratisasi dan kebebasan pers yang diikuti Pemilu multipartai secara langsung yang melahirkan perubahan rekruitmen kepemimpinan;
pemisahan Bank Indonesia dan perbankan dari pengaruh Pemerintah; dan kebijaksanaan desentralisasi melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah yang demikian lama tersumbat. Ketiga perubahan ini merubah pendekatan pengembangan usaha, baik pembangunan industri maupun koperasi dan usaha kecil menengah yang perlu disikapi dengan cara baru yang lebih responsive dan antisipatif terhadap perubahan berikutnya yang lahir dari tuntutan perubahan sebelumnya. Perubahan ini paling tidak menyangkut politik anggaran, politik perkreditan dan investasi yang berimplikasi pada perubahan pola pembinaan yang kompatibel dengan perubahan. Di sinilah perlunya paradigm shift.
PENGEMBANGAN KLASTER BISNIS UKM: KEUNTUNGAN DAN PENDEKATAN Reformasi Pemerintahan melahirkan perubahan terus menerus dengan dinamika yang bersifat permanen dan sesaat. Meskipun pada saat krisis memuncak pada tahun 1998 ekonomi rakyat dihadirkan sebagai penyelamat dan ditugasi terlalu banyak hal, tetapi akibat negative dari penggelontoran fasilitas menimbulkan kekhawatiran baru, di samping perubahan fundamental reformasi politik di bidang perbankan mengharuskan perubahan. Sementara dampak krisis masih membebani masyarakat dan menyisakan kemunduran kelompok usaha menengah yang mempunyai kedudukan penting dalam menghela ekonomi akar rumput (grass root economy). Masih dalam suasana semacam itu lembaga yang bertugas untuk mengkordinasikan pengembangan UKM dipersempit statusnya menjadi Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada akhir tahun 1999. Oleh karena itu dibentuk Badan Pengembangan Sumber Daya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM) untuk mengemban tugas operasional Departemen Koperasi dan PKM [Dirjen Koperasi (Bina Usaha) dan Dirjen PKM]. Badan baru ini dilengkapi dengan tiga pilar fungsi yaitu: Pengembangan Usaha (pengembangan bisnis dan pasar, Business Development); Fasilitasi Pembiayaan dan Investasi (pembiayaan dan investasi termasuk restrukturisasi kredit, Financial and Investment Facilitation), dan Sumber Daya Manusia (pendidikan pelatihan, teknologi dan penelitian, dan penyuluhan dan peran serta masyarakat, Technology and Trainings Supports). Dalam forum kordinasi donor pembangunan Koperasi dan UKM BPS-KPKM dikenal sebagai SMECDA (Small Medium Enterprise and Cooperative Development Agency). Dengan kesadaran akan perubahan, maka sejak awal Badan ini didirikan dan dalam waktu tiga tahun akan dievaluasi sesuai dengan arah reformasi yang masih akan berlanjut. Menghadapi tantangan ini maka harus ada scenario untuk mentransformasikan menjadi lembaga partnership antara pemerintah dan pelaku yang lebih ramah pasar. Paradigma pembinaan dan dukungan langsung harus ditransformasikan menjadi industri pemberdayaan yang secara perlahan menjadi bagian dari industri jasa perusahaan yang berdampingan dengan jasa keuangan dan jasa persewaan yang menjadi nyawa dari pengembangan usaha. Inilah paling tidak renungan kami ketika itu dalam menerima tugas transisional tapi harus melahirkan perubahan mendasar. Kesulitan Direktorat Jenderal Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah di Departemen Koperasi ketika itu adalah mengenali obyek binaan dan mencari entry yang berbeda dari Dirjen IK Departemen Perindustrian dan Dirjen Koperasi. Pembina koperasi meskipun dibatasi oleh wilayah dan pengelompokan kegiatan ekonomi tetapi mereka mempunyai identitas kelembagaan universal, yaitu
Organisasi dan Badan Hukum Koperasi, tetapi tidak demikian halnya dengan industri kecil, usaha kecil, dagang kecil dan sektor informal. Menjawab kebutuhan tantangan kelembagaan dan program pengembangan yang berdampak jangka panjang dan perlu kecepatan pelaksanaan, maka pikiran yang dikembangkan ketika itu bahwa program itu harus memenuhi syarat: (1). melahirkan entry baru yang jelas, (2).mempunyai karakter unity, (3).ada kekuatan market driven, dan (4). melahirkan self governing (rolling) mechanism. Pendekatan yang mempunyai kemampuan memenuhi syarat ini tiada lain adalah pendekatan klaster dengan entri sentra yang sudah hadir di masyarakat. Dan sejak itu pendekatan klaster yang biasa digunakan dalam pendekatan manajemen industri diadopsi ke dalam pengembangan usaha kecil dan menengah, karena pada dasarnya aglomerasi yang biasa dilakukan industri juga pada akhirnya tumbuh menjadi kesatuan dengan usaha pendukungnya, seperti sejarah klaster industri perkapalan di Norwegia lebih seabad yang lalu. Pengalaman ini memang dianjurkan oleh UNCTAD sebagai model tahapan pengembangan, meskipun kawasan itu kini sudah menjadi kawasan pelabuhan untuk rekreasi dan pusat perbankan. Secara sepintas pendekatan klaster dalam pengembangan UKM, apapun basis kegiatannya, pivotnya adalah menjadikan total omzet dari hasil pengelompokan yang disertai dukungan ini harus tumbuh menjadi sebuah ekonomi yang kesemuanya dapat hidup dengan kekuatan pasar. Biasanya yang paling mudah adalah melihat kehadiran lembaga keuangan karena dia tidak akan hadir kalau tidak layak. Dalam mengembangkan tiga pilar penguatan diatas maka program pokoknya adalah memasukkankomponen jasa pengembangan usaha (Business Development Services) ke dalam klaster/sentra UKM dan memperkuat Lembaga Keuangan Mikro untuk melayani usaha mikro non formal dan tidak mampu memenuhi persyaratan perbankan dan ditopang oleh pendidikan, pelatihan dan pengenalan telematika-informatika melalui BDS. Ke depan menjadikan mereka mitra Bank adalah keharusan oleh karena itu instrument penjaminan, asuransi dan instrument keuangan lainya,termasuk restrukturisasi dikembangkan dan dikaitkan dengan fungsi BDS. BPS-KPKM sendiri umurnya tidak sampai tiga tahun karena pada akhir tahun 2001 dihapuskan, tetapi pendekatan klaster dengan instrument BDS dan MAP-LKM sudah menjadi dokumen UU-PROPENAS (UU 25/2001) sebagai pengganti GBHN maka perjalanan program ini selamat sampai akhir sasaran pengembangan selama 4 tahun 2001-2004, dengan jumlah seribu entri (sentra) untuk dikembangkan menjadi klaster UKM. Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, terutama setelah tahun 2005 nyanyian tentang klaster, BDS dan lainya memang redup dalam pendekatan pengembangan UKM. Tetapi juga belum ada konsep pengganti atau alternative strategi yang ditawarkan Kementerian Koperasi dan UKM yang menyangkut pengembangan UKM. Saksi hidup dari hasil pendekatan BPS-KPKM adalah masih adanya pegiat BDS dan hadirnya Asosiasi BDS, serta digunakanya komunikasi jalur maya SMECDA untuk komunikasi UKM. Evolusi BDS lebih jelas karena selain dikembangkan menjadi KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), Lembaga Pendamping dalam program pemberdayaan pada program daerah dan kemudian PNPM, sampai pada pengenalan BDS secara ekplisit dalam pembangunan sektor, CSR Perusahaan Besar dan BUMN. Industri jasa perusahaan dalam perekonomian kita juga tumbuh pesat (lihat Statistik Indonesia). Sementara pendekatan klaster secara eksplisit juga telah digunakan dalam pembinaan usaha kelautan dan perikanan, program pembanguan daerah dan industri sendiri.
Jika dilihat dari evolusi jasa pengembangan usaha UKM dalam sejarah pembinaan usaha kecil di Indonesia dimulai dari tugas asistensi oleh Dinas, baik Pertanian maupun Perindustrian, dan kemudian lahir kesadaran akan fungsi Penyuluhan oleh Petugas Pemerintah sebagai transformasi dari Penerangan Pembangunan yang umum (penyadaran manusia/masyarakat). Tetapi khusus untuk industri tugas penyluluhan, bantuan teknis dan kepengusahaan dititipkan kepada industri pengolahan (lihat industri gula, tembakau, serat rami dan lain-lain. Pada masa tumbuh kembangnya industri pupuk,obat-obatan dan pembibitan pertanian masing-masing perusahaan besar menyediakan tenaga penyuluh/pendamping mengikuti penyediaan detailer dalamindustri obat-obatan, yang berarti penyediaan jasa pengembangan usaha oleh industri produsen input. Kekeliruan penyuluhan menjadikan pengerahan dan menghambat pengembangan mengundang LSM tampil dengan konsep Pendampingan yang lebih membuka kepada kemajuan dan alternative usaha yang luas, tetapi tidak kompetitif karena bergantung pada donor atau lembaga pendukung. Inilah alasan utama mengapa BDS tidak diambil sendiri peranya oleh BPS-KPKM tetapi diserahkan kepada pihak ketiga, karena yang ingin dikembangkan adalah industri pengembangan usaha yang tersedia melalui pasar untuk UKM. Pada tahap awal BDS direkrut dari tiga pilar yaitu: (1). Perguruan Tinggi (LPEM/LPM), (2). Konsultan UKM Swasta dan LSM, dan (3). Koperasi sendiri. Pada masa berakhirnya program pengembangan Sentra/Klaster UKM tahun 2004 untukmencapai sasaran 1000 sentra kegiatan UKM, Badan Pusat Statistik BPS diminta melakukan evaluasi dampak pemberian dukungan financial (LKM/MAP) dan dukungan non financial (BDS/Jasa Pengembangan Usaha) dan hasilnya melaporkan bahwa keduanya mendorong volume penjualan (25% mengalami peningkatan dan 33 persen bertahan dalam krisis/tetap), sementara keuntungan juga meningkat dengan kinerja yang hampir sama (BPS, 2004). Jika dilihat rata-rata masa implementasi pendekatan ini dalam praktek masih kurang dari dua tahun, tetapi separuh dari UKM mendapati layanan pasar yang tepat dapat membantu mereka mencari pemecahan pengembangan usaha mereka. Akan lebih menarik lagi seandainya potret 2009 ditampilakn, karena akan menguji setelah pendekatan dimaksud dilepas selama lima tahun apakah telah menumbuhkan industri jasa perusahaan bagi UKM. Karena kinerja makro yang tumbuh pesat sangat boleh kadi karena permintaan jasa perusahaan dari usaha besar yang tumbuh pesat. Ingat jumlah unit usaha besar bertambah pesat, pangsa usaha besar juga menggeser usaha menengah, sehingga pada saat ini sedang terjadi kembali gejala konsentrasi usaha.
DINAMIKA INDUSTRI JASA KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN USAHA UKM Di bidang jasa keuangan pada saat ini lembaga perbankan telah menciptakan berbagai produk perkreditan dan pembiayaan yang tersedia untuk UKM. Kredit mikro sudah menjadi industri keuangan baru yang dibuka untuk persaingan secara luas tanpa proteksi khusus antara perbankan, koperasi dan lembaga keuangan lainya, termasuk Pegadaian dan PNM dan Lembaga Pembiayaan Ekspor. Bahkan program ini diikuti dukungan secara selektif untuk sektor tertentu dengan jaminan dan subsidi Pemerintah melalui APBN. Meskipun patut dicatat pola subsidi/penjaminan ini belum tentu memiliki keberlanjutan dan konsistensi mekanisme yang akan baku berlangsung dalamjangka panjang. Hal ini ini membawa kesempatan baru bagi UKM dan tantangan baru bagi bagi industri jasa keuangan dan jasa perusahaan komersial seperti fungsi KKMB tidak lagi dapat dikembangkan secara menarik atas dasar preferensi.
Dengan berlakunya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka program perkuatan Pemerintah akan semakin menjauh dari belanja social ke arah belanja modal. Pada saat ini exercise pendirian LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir) pada Kementerian Koperasi dan UKM meskipun belum menemukan mekanisme operasional/pelayanan yang baku tetapi telah hadir. Diakui atau tidak hadirnya LPDB adalah hasil akumulasi pengalaman dan konsekuensi program MAP dan kapitalisasi LKM dengan kompensasi subsidi BBM, yang kemudian dicoba dengan program perkuatan dan ujungnya terbentur oleh program pembangunan seharusnya bukan program belanja social. Kita perlu mengawal perkembangan Badan Layanan Umum (BLU) seperti LPDB untuk pengembangan UKM sebagai format baru ini tetap di jalur yang seharusnya agar tetap hadir dan bermanfaat. Secara konseptual BLU seperti LPDB ini dapat dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) baik untuk dukungan prasarana fisik maupun financial. Tidak mustahil daerah dapat mengembangkan BLU khusus untuk Klaster IKM jika memiliki justifikasi yang kuat dan dapat didukung oleh investasi pemerintah untuk pengembangan infrastruktur bagi IKM/UKM. Untuk kemajuan pengembangan UKM memajukan industri jasa perusahaan adalah merupakan kunci, karena industri besar dan masyarakat/perekonomian modern perkotaan/Negara maju mendapatkanya dari pasar yang tumbuh sehat. Dalam pengertian lapangan usaha atau kegiatan ekonomi yang termasuk ke dalam usaha jasa perusahaan adalah: jasa konsultasi piranti keras, jasa konsultasi piranti lunak, pengolahan data, perawatan/reparasi mesin kantor, computer dll, penelitian dan pengembangan, rekayasa teknologi, jasa hukum, jasa akuntansi dan perpajakan, jasa riset pemasaran, jasa konsultasi bisnis dan pemasaran, jasa konsultasi engineering dll, analisis dan testing, jasa periklanan, seleksi tenaga kerja, dan fotocopy dll. Kegiatan ini mendekatkan UKM terhadap dua hal yaitu jasa keuangan dan jasa inovasi sebagai sumber kemajuan dan umumnya mereka ini hanya bias berusaha apabila memiliki legalitas bisnis formal yang baik disertaihubungan dengan perbankanyang kuat. Jadi industri jasa perusahaan adalah kunci kemajuan UKM, terutama membuka akses. Pendekatan klaster juga dapat digunakan untuk membangun industri jasa perusahaan yang kuat, seandainya suatu daerah bertanya tentang satu program yang ada sekali dalam lima tahun untuk memajukan UKM dalam jangka panjang, seharusnya dipilih membangun infrastruktur (fisik) untuk membangun klaster industri jasa perusahaan di tempat yang strategis di suatu kota itu. Ini akan merupakan pusat pelayanan pengembangan usaha melalui pasar dan tumbuh dalam satulokasiyang kompak sebagai bagian dari city supporting services. Jika telah berhasil membangun infrastruktur pasti mereka akan dituntut dituntut mengelola dengan baik sesuai UU 1/2004 dan akan diawasi sesuai UU 15/2004. Dengan demikian advokasi ke arah ini menjadi sangat penting dibanding dengan program perkuatan yang sangat terbatas jumlahnya. Badan Layanan Umum Jasa Layanan Pengembangan Usaha (BLU-JLPU) pada dasawarsa mendatang menjadi entri baru pengembangan klaster dasar pendukung pengembangan klaster UKM di daerah. Fokus ini akan menjadi perjuangan strategis pegiat pengembangan UKM di daerah, sejalan dengan fakta investasi swasta dan masyarakat mencapai porsi terbesar 70-80% dari investasi nasional/daerah. Potret terakhir struktur unit usaha di Indonesia tahun 2008, sesuai dengan ketentuan UU 20/2008 di luar pertanian, usaha mikro mencapai 24 juta lebih dari total 51,43 juta unit usaha yang ada. Usaha lecil jumlahnya kurang dari setengah juta sedang usaha menengah hanya sekitar 40 ribu unit saja. Apa yang
tertinggal dari fungsi BDS, sehingga BDS tidak berkembang dan tidak menarik bisnisnya. Jika tanpa perubahan teknologi yang diperlukan perbaikan bagi UKM hanya satu yaitu meningkatkan skala untuk menaikan omset. Perubahan ini membutuhkan investasi, berarti terbuka fasilitasi investasi yang membuka ruang restrukturisasi usaha menuju formalisasi, kemitraan dan penyertaan sebelummenuju pasar modal atau perbankan. Ruang inilah yang seharusnya dibaca oleh usaha jasa pengembangan UKM yaitu investasi melalui fasilitasi investasi dalam bentuk sekurangnya dalam bentuk intangible knowledge investment.
PENGALAMAN PERTUMBUHAN KLASTER INDUSTRI DI ASIA Industrialisasi di Asia Timur memang menjadi patron Indonesia, karena Jepang sebagai Negara Industri tertua di Asia merupakan Negara industri yang memiliki tradisi industri kecil menengah yang kuat dengan orientasi ekspor serta memiliki tradisi industri kerajinan yang kuat. Model OVOV (One Village One Product) adalah model orisinil Jepang. Jepang mengembangkan industri kecil dengan intervensi MITI yang jelas, kuat dan konsisten. Sementara Taiwan, Hongkong dan Korea tumbuh dengan patron yang berbeda-beda satu sama lain. Taiwan mengembangkan UKM dengan melalui dukungan pusat inkubasi yang kuat dan jumlahnya memadai dan klaster IKM/UKM-pun tumbuh dengan baik. Corak perpaduan antara perencanaan dan pasar dijaga baik. Demikian juga pola yang dikembangkan oleh Korea Selatan lebih bertumpu pada pola pengembangan oleh lembaga khusus yang dimiliki pemerintah tetapi mempunyai karakter seperti lembaga bisnis biasa. Thailand pada masa Pemerintahan Thaksin membawa dua kebijakan terkenal dalam pengembangan ekonomi di akar rumput yaitu pertama formalisasi usaha informal dan adopsi OTOP (One Thambun One Product) yang mengikuti pola Jepang tetapi dengan kesatuan ekonomi lebih besar, Thambun yang setara dengan Kecamatan. Perjalanan China memang unik, karena sebagai Negara dengan perencanaan terpusat mempunyai pola industrialisasi yang khas. Secara eksplisit klaster sebagai pendekatan pengembangan industri di China tidakmengemuka, namun yang jelas pada awal program pembangunan ekonomi pendekatan Township Enterprise (TE) sebagai dan Village Enterprise (VE) atau TVE untuk pola perencanaan oleh Negara (TVE) dan Private Enterprise (PE) yang berkembang dariusaha perorangan dan swasta yang kemudian tumbuh menjadi besar (Harvie, 2003). China mengembangkan industri, terutama peralatan rumah tangga dan pertanian sudah berkembang sejak lama, sebagai ilustrasi Indonesia mengenal produk China sejak tahun 1960an. Dengan pola TVE industri tumbuh di mana-mana dengan perencanaan yang baik. Perbedaan yang penting dengan catatan pengembanganindustri kecil di tanah air pada masa yang sama adalah kita melalukan pembangunan dengan sentra-sentra produk unggulan tetap dalam wadah industri rumah tangga, kepentingan bersama pengusaha ditampung melalui pengembangan koperasi seperti sentra pengecoran logam di Ceper, Waru, Tegal dll. Sementara model China mengembangkan TE dan VE sebagai perusahaan yang dengan mudah disejajarkan dengan SME, ketika ukuran jumlah tenaga kerja diterapkan yaitu 50-100 tenaga kerjauntuk UK dan 100-500 untuk UM. Jadi pada awalnya konsep VE jelas sejajar dengan UK dan TE sejajar dengan UM. Jika dilihat dari perkembangan ini klaster industri pada awalnya
menyatu dengan unit industri di setiap titik atau wilayah, karena bentuk kesatuanya akan tergantung dari jenis industrinya. Pertengahan 1980an ekspor produk China tumbuh pesat, sehingga kemudian membuka diri yang ketika itu (awal 1990an) kita mengenal privatisasi di China. Privatisasi ketika itu tiada lain adalah perusahaan daerah termasuk TVE besar boleh mengekspor langsung dan perusahaan-perusahaan maju melalukan kerjasama di berbagai bidang dan masuknya modal asing telah memperkuat ekspor China dan menekan impor (Zhao and Zhao, 2003). Mulai pada ssat itupun kerjasama antar Negara oleh pemerintah selalu dikaitkan dengan ekspor produk mereka seperti peralatan pertanian, industri tekstil dan garment (Pada tahun 1992 kerjasama untuk bidang ini pernah dirintis oleh Menteri Koperasi RI). Menurut Kimura (Kimura, 2003), pola industrialisasi China sangat berbeda karena relative berbasis meluas untuk industri pendukung dan keterkaitan dengan investasi asing dibangun dengan mudah. Hal ini dimungkinkan karena seperti dikemukakan di muka PMA bekerja sama dengan PMDN Pusat maupun TVE. Ketika Asia dilanda krisis dan menekan ekspor China ke Asia, permintaan domestic meningkat dan imporpun pertumbuhanya melambat, sehingga masa ini menjadikan ekonomi China terkonsolidasi dan pada masa pemulihan berlalu sejak 2003 ekspor China ke pasar tradisional, Amerika dan Afrika tumbuh pesat. Klaster industri di China mulai menjadi pertimbangan kebijakan pada dasarnya terjadi ketika TVE memperluas industri dan berkembang karena PMA di masing-masing pusat industri. Klaster di China lahir sebagai tuntutan perkembangan industri yang menuntut kebijakan pengembangan yang dapat mendukung pertumbuhan industri (Kimura, 2003). PROSPEK PENGEMBANGAN KLASTER Klaster sebagai pendekatan terbukti semakin diterima dalam pendekatan pembangunan yang melibatkan pola pengelompokan, baik industri maupun infrastruktur, sehingga hakekat klaster akan semakin digunakan. Dengan otonomi daerah, pembangunan perkotaan akan menempati tempat sentral dalam pembangunan daerah, implikasinya pembangunan tempat usaha adalah komponen penting dari kehidupan ekonomi perkotaan di daerah. Oleh karena itu pendekatan klaster pasti akan menjadi bagian pengembangan model di masing-masing daerah. Persoalanya adalah aglomerasi yang optimalharus menghasilkan sinergi untuk efisiensi dan kemajuan berkelanjutan untuk daya saing, succesfull cluster brought efficiency and sustain progess for better competitive strength. Advokasi klaster pada dasarnya dapat dimulai pada berbagai level baik promosi maupun proteksi, dalamkontek promosi kita sudah banyak belajar dari dunia dan pengalamankita sendiri yang pada umumnya terjadi pada pengembangan usaha di sektor industri. Klaster untuk proteksi mungkin jarang dipikirkan dan dianggap tidak berguna karena dinilai mundur, tetapi dalam suasana ekonomi dualistik seperti kebanyakan Negara berkembang dan perkotaan kita untuk pertimbangan mencegah dampak negative ketimpangan patut dipertimbangkan. Bentuk klaster proteksi adalah isu pasar tradisional versus pasar modern, penanganan ekonomi kawasan kumuh dan lain-lain yang memerlukan pendekatan berkelompok, menyatu, agglomerasi yang membesar dan menguat, terpadu, layak, sehat dan aman; Apakah ini bukan prinsip klaster?
Untuk menggerakkan kembali kesadaran akanpentingnya pengembangan klaster bagi UKM di Indonesia menghadapi meningkatnya intensitas desentralisasi, maka langkah terbaik adalah mendorong setiap Pemerintah Kota atau Kabupaten membangun miniature klaster dalam bentuk infrastruktur Pusat Pelayanan Jasa Perusahaan. Suatu lokasi dengan infrastruktur memadai di mana semua jenis layanan jasa perusahaan berada di situ dengan sedikit sentuhan layanan perebankandan financial lainya, akan menjadipusat pengembangan UKM yang digerakkan pasar. Hal yang dikemukakan di atas sangat penting untuk Negara denganmasyarakat yang tingkat kewirausahaan rendah seperti Indonesia, sebagaimana diketahui rasio penduduk terhadap IKM pada tahun 2008 masih sangat tinggi yaitu 71, di mana pada tahun 1996 kita pernah mencapai angka 46, sedangkan benchmark idealnya 20 (Noer Soetrisno, 2009). Jika menggunakan ukuran UMKM-Non Pertanian angka kita juga tidak bagus karena angkanya masih diatas 100 sementara idealnya 6, agar ekonomi bangsa mempunyai absorbsi tinggi terhadap insentif fasilitasi financial dan ekspor. Dengan ukuran lain elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan pembentukanusaha baru sangat elastic diatas 1,5, sementara elastisitas pertumbuhan pembentukan usaha baru terhadap perubahan prospek bisnis dalam indicator pertumbuhan dan harga tidak elastic di bawah satu mendekati setengah (Noer Soetrisno, 2005). Dengan berkembangnya pengalaman pembangunan industri kecil dan menengah serta UKM di berbagai Negara yang demikian beragam serta menunjukan klaster kegiatan bisnis adalah kebutuhan, maka klaster akan semakin mendapatkan dasar yang kuat sebagai pendekatan. Lahinya Commercial Center di kota besar sebenarnya secara tidak disadari juga mengilhami pola baru penyatuan layanan bisnis, karena kita dapat belanja informasi pengembangan usaha danjasa-jasa yang diperlukan di tempat itu. Perkembangan baru ini akan semakin memperkuat alas an penggunaan pendekatan klaster dalam pengembangan UMKM di tanah air.
PENUTUP Pendekatan klaster diaplikasikan dalam pembangunan UKM di Indonesia karena pertimbangan akumulasi asset program pembangunan sebelumnya yang disertai pertimbangan rasional mencari entri baru pembangunan UKM yang baru menjadi interest baru Pemerintah pada decade 1990an. Pendekatan dengan pilar business development, financial support, and technology facilitation, meskipun dijalankan secara tidak lancar telah memberikan dampak bagi kemajuan penjualan dan profit serta pertumbuhan usaha baru dan tetap dapat bertahan dalam tanpa dukungan tambahan. Industri jasa perusahaan yang ditanamkan telah tumbuh dan berkembang. Dalam mendukung desentralisasi advokasi Pembangunan Infrastruktur Klaster Layanan Jasa Perusahaan sebagai kunci memajukan UKM ramah pasar di setiap kota akan mendorong berkembangnya klaster industri kecil dan UKM di daerah. Selamat Berjuang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik, Pengkajian Dukungan Finansial Dan Non Finansial Dalam Pengembangan Sentra Bisnis Usaha Kecil dan Menenbgah, Kerjasama Kementerian Koperasi dan UKM-BPS, BPS, Jakarta, Maret 2004. 2. Harvie, Charles: Regional SMEs and Competition in the Wake of the Financial and Economic Crises, dalam New Asian Regionalism Response to Globalisation and Crises, Palgrave, MacMilan, 2003. 3. Kimura, Fukunari, Development Strategies for Economies Under Globalization: Southeast Asia as New Development, dalam New Asian Regionalism Response to GlobaliSation and Crises, Tran Van Hoa and Charles Harvie (Editor), Palgrave MacMilan, 2003. 4. Noer Soetrisno: Kebijakan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, Makalah Seminar Nasional ISEI, ISEI, Malang,1996. 5. -------------------: Rekonstruksi Pemahaman Koperasi Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat, INTRANS, Jakarta, 2001. 6. -------------------: Ekonomi Rakyat Usaha Mikro dan UKM Dalam Perekonomian Indonesia, Sumbangan Untuk Analisis Struktural, STEKPI, Jakarta, 2005. 7. -------------------: Strategi Penguatan Klaster UKM Melalui Pendekatan Klaster Bisnis, Lutfansyah Mediatama, Surabaya, 2002. 8. -------------------: Farmers Millers And Sugar Production In Indonesia, Disertasi Dokter University of The Philippines, Diliman, Quezon City, 1984. 9. -------------------: Catatan Agenda Pengembangan UMKM Ke Depan, Koran Bisnis Indonesia, Jakarta, Juni, 2009. 10. -------------------: Indonesia: Crises, Reform, Globalization and SME, dalam Tran Van Hoa and Charles Harvie, New Asian Regionalism Response to Globalisation and Crises, Ibid.
11. Richardson, W : Regional Economics, Penguin Book Series, London, 1971 12. Siahaan, Bisuk: Idustrialisasi di Indonesi: Sejak Periode Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi, ITBBandung, Agustus, 2000. 13. United Nation Trade And Development (UNCTAD): Improving the Competitiveness of SMEs in Developing Countries, The Role of Finance to Enterprise Development, UNCTAD, Geneve, 2001. 14. Urata, Shujiro: Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia, JICAReport. Jakarta, 2000.
15. Zhao, Yanyun and Lei Zhao: The Chinese Transition of a Social Economy and Its Competitiveness In International Trade, dalam Tran Van Hoa and Charles Harvie, New Asian Regionalism Response to Globalizationand Crisis, Palgrave, Mac Milan, 2003.