KINERJA DAN PROSPEK PEMBANGUNAN HORTIKULTURA PERFORMANCE AND FORESIGHT OF HORTICULTURE DEVELOPMENT Bambang Irawan, Herlina Tarigan, Budi Wiryono, Juni Hestina dan Ashari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Horticulture development expressed in growths of production and yield, prices stabilities, balance of trade in 2000-2005 and the achievement of production target in 2007 indicates an unsucces performances. During the periode of Kabinet Indonesia Bersatu, acceleration of production growth observed for commodities with decreasing tren in consumption and the dependency of production growth on harvested area tend to increase, this situation can lead to higher competition with other crops in area usages. Growths of yield tend to decrease for banana and orange, the opposite for shallot and orchide. The products prices are more fluctuated due to particularly a spectaculaire price increase in January 2006, while defisit trade of horticulture products tend to increase with an increasing rate. Production target of shallot seem to be difficult to achieve and more easy for orange, but it should be noted that this situation may come from inaccurate data of orange production target. To increase shallot production a special program of shallot in dryland area, which includes the developments of better varieties, local seed producers and incentive system, should be conducted. Implementations of SOP, GAP and GHP are also important to produce better quality of exported products particularly, while institutions development should be conducted to improve the competitiveness of agribussiness system. Key words : consumption, production, yield, prices stability, trade, horticulture. ABSTRAK Pembangunan hortikultura yang diekspresikan dalam pertumbuhan produksi, produktivitas, stabilitas harga, dan neraca perdagangan selama tahun 2000-2005, serta pencapaian sasaran produksi tahun 2007 menunjukkan kinerja yang tidak begitu baik. Sejak masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, laju pertumbuhan produksi justru semakin cepat pada jenis komoditas yang konsumsinya cenderung turun dan pertumbuhan produksi semakin tergantung pada perluasan areal tanam yang dapat menimbulkan persaingan dengan komoditas lain. Laju peningkatan produktivitas juga semakin lambat pada komoditas pisang dan jeruk, meskipun mengalami peningkatan pada komoditas anggrek dan bawang merah. Stabilitas harga juga tidak semakin baik akibat lonjakan harga yang sangat tinggi pada Januari 2006. Defisit perdagangan hortikultura semakin besar dengan laju pertumbuhan defisit yang semakin tinggi pada tahun-tahun terkahir. Pencapaian sasaran produksi tahun 2007 diperkirakan cukup sulit diwujudkan pada bawang merah, meskipun pada komoditas jeruk jauh melampaui sasaran, tetapi hal itu tampaknya lebih disebabkan oleh akurasi sasaran produksi yang lemah. Dalam rangka mengatasi produksi bawang merah yang terus mengalami penurunan dan menekan impor yang cenderung naik, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengembangkan budidaya bawang merah di lahan kering. Dalam kaitan tersebut, perlu dikembangkan suatu program khusus yang sedikitnya melibatkan pengembangan benih unggul dan penangkaran benih secara in situ, di samping pengembangan insentif dan subsidi untuk mendorong adopsi teknologi. Penerapan SOP, GAP, dan GHP perlu ditempuh untuk meningkatkan mutu produk hortikultura terutama yang berorientasi ekspor atau substitusi impor, di samping pengembangan kelembagaan agribisnis yang mengarah pada kelembagaan sistem agribisnis yang berdaya saing. Kata kunci : konsumsi, produksi, produktivitas, stabilitas harga, perdagangan, hortikultura
PENDAHULUAN Pembangunan sektor pertanian secara umum ditujukan untuk mencapai enam tujuan, yaitu (a) mendorong pertumbuhan ekonomi, (b) meningkatkan lapangan kerja, (c) meningkatkan 66
perolehan devisa, (d) meningkatkan ketahanan pangan, (e) mengurangi jumlah penduduk miskin, dan (f) menciptakan pemerataan pendapatan. Subsektor hortikultura yang meliputi empat kelompok komoditas sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan biofarmaka memiliki peranan penting dalam perolehan devisa dan ketahanan
pangan rumah tangga. Misalnya, selama tahun 1980-2000 nilai ekspor sayuran dan buah menyumbang sekitar 12% - 17% nilai ekspor bahan pangan yang dihasilkan oleh sektor pertanian dan sektor perikanan (Irawan, 2003). Sementara itu, dalam konsumsi gizi rumah tangga yang merupakan indikator bagi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, komoditas sayuran dan buah-buahan merupakan sumber mineral dan vitamin yang utama. Walaupun sumbangannya terhadap konsumsi kalori dan protein relatif kecil dibanding komoditas pangan lain terutama beras. Meningkatnya permintaan produk hortikultura pada dasarnya merupakan faktor penarik bagi pertumbuhan agribisnis hortikultura. Dalam jangka panjang, permintaan komoditas hortikultura diperkirakan akan terus meningkat, dengan laju lebih cepat dibanding komoditas pangan lainnya. Di samping akibat meningkatnya jumlah penduduk, hal tersebut dapat dirangsang oleh beberapa faktor lain, yaitu (a) Dengan pertimbangan kesehatan konsumsi pangan cenderung bergeser pada bahan pangan nonkolesterol terutama pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi atau di negara-negara maju. Pada tataran dunia hal tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan pangsa perdagangan produk hortikultura terhadap total nilai perdagangan bahan pangan yaitu dari 13,4% pada tahun 1980 menjadi 26,1% pada tahun 2000 (Irawan, 2003). (b) Permintaan produk hortikultura umumnya lebih elastis terhadap pendapatan dibanding permintaan produk pangan lainya, sehingga kenaikan pendapatan rumah tangga akan diikuti dengan kenaikan permintaan produk hortikultura pada laju yang lebih besar daripada produk pangan lain. (c) Konsumsi per kapita produk hortikultura dan laju kenaikan pendapatan rumah tangga umumnya lebih tinggi di daerah kota daripada daerah pedesaan. Konsekuensinya adalah berkembangnya daerah perkotaan akan mendorong peningkatan permintaan produk hortikultura. (d) Berkembangnya kawasan wisata yang akhir-akhir ini menjadi salah satu fokus pembangunan nasional akan diikuti dengan peningkatan kebutuhan produk hortikultura seperti tanaman hias dan buah-buahan. Sementara berkembangnya industri farmasi dapat merangsang peningkatan kebutuhan produk biofarmaka. Dalam kerangka revitalisasi pertanian dan pedesaan, subsektor hortikultura merupakan salah satu andalan sumber pertumbuhan sektor pertanian. Pada tahun 2007 PDB sektor pertani-
an diharapkan naik sebesar 3,37% dan subsektor hortikultura diharapkan dapat memberikan sumbangan sebesar 3,27%. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan sektor pertanian tersebut maka pada tahun 2007 subsektor hortikultura diharapkan dapat menghasilkan PDB sebesar 67,4 triliun rupiah atau naik sebesar 6,02% (Ditjen Hortikultura, 2006). Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran tersebut dan mengoptimalkan pembangunan subsektor hortikultura, maka diperlukan suatu evaluasi terhadap kinerja pembangunan hortikultura yang sudah dilaksanakan, agar dapat dipahami berbagai peluang yang tersedia dan kelemahan yang dihadapi, beserta solusi kebijakan dan strategi pembangunan yang perlu disempurnakan. Makalah ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kinerja pembangunan hortikultura yang telah dilaksanakan hingga tahun 2005. Tinjauan tersebut dilakukan pada aspek konsumsi, produksi, perdagangan, dinamika harga, dan prospek pengembangan komoditas hortikultura pada tahun 2007. Agar pembahasan lebih fokus, pengkajian secara detail hanya dilakukan untuk empat komoditas hortikultura yang termasuk unggulan nasional yaitu jeruk, pisang, bawang merah, dan anggrek. DINAMIKA KONSUMSI KOMODITAS HORTIKULTURA Meningkatnya kebutuhan konsumsi akibat peningkatan konsumsi per kapita, jumlah penduduk, dan perubahan preferensi konsumen pada dasarnya merupakan faktor penarik bagi pertumbuhan agribisnis hortikultura. Faktor lain yang dapat mempengaruhi permintaan komoditas hortikultura adalah harga komoditas tersebut, harga komoditas lain baik yang berperan sebagai subsitusi maupun komplemen, dan tingkat pendapatan penduduk. Pada umumnya, konsumsi sayuran dan buah memiliki elastisitas pendapatan lebih besar dibandingkan konsumsi bahan pangan lain, terutama bahan pangan sumber karbohidrat dan nilai elastisitas tersebut semakin besar pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan ekonomi yang selanjutnya berdampak pada kenaikan pendapatan penduduk akan meningkatkan konsumsi komoditas hortikultura dengan laju kenaikan lebih tinggi dibanding bahan pangan lainnya. 67
Pada tahun 2005, konsumsi buah dan sayuran mencapai 31,56 kg/kap/th dan 35 kg/ kap/th, dan tingkat konsumsi tersebut masingmasing mengalami peningkatan sebesar 16,02% dan 5,40% dibanding tahun sebelumnya (Ditjen Hortikultura, 2006). Laju peningkatan konsumsi per kapita sayur dan buah tersebut lebih tinggi di daerah kota daripada daerah pedesaan. Sementara itu, untuk mencapai kecukupan konsumsi pangan dengan komposisi gizi berimbang FAO memperkirakan bahwa konsumsi sayur dan buah bagi penduduk Indonesia seyogyanya sekitar 75 kg/kapita/th. Jika dibandingkan dengan rekomendasi konsumsi tersebut, maka konsumsi sayuran dan buah pada tahun 2005 masih jauh lebih rendah. Sejalan dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga dan membaiknya kesadaran masyarakat tentang gizi, konsumsi sayur dan buah di masa mendatang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Data Susenas menunjukkan bahwa selama tahun 1987-2005 konsumsi jeruk dan bawang per kapita rata-rata naik sebesar 45,82%/th dan 4,06%/th (Tabel 1). Tingginya laju pertumbuhan konsumsi jeruk terutama disebabkan oleh adanya lonjakan konsumsi pada tahun 2005, yaitu dari sekitar 1 kg/kapita/th selama tahun 1990-2002 menjadi 4 kg/kapita/th pada tahun 2005. Namun hal ini perlu dicermati mengingat data Susenas yang diterbitkan oleh BPS memiliki kelemahan yaitu: (a) Data konsumsi rumah tangga yang dikumpulkan adalah banyaknya konsumsi pada seminggu yang lalu, terhitung sejak tanggal pencacahan atau pengumpulan data. Untuk komoditas yang produksinya bersifat musiman, data tersebut memiliki kelemahan jika diekstrapolasi menjadi konsumsi per tahun. Hal ini karena jika pada saat survei dilakukan sedang musim panen buah atau sayuran tertentu, maka konsumsi buah dan sayuran tersebut akan tinggi dan sebaliknya untuk jenis buah dan sayuran lainnya. (b) Konsumsi sayuran dan buah biasanya berbeda dari minggu ke minggu untuk menghindari menu makanan rumah tangga yang membosankan. Konsekuensinya adalah data konsumsi untuk periode satu minggu pengamatan tidak selalu dapat diekstrapolasi secara langsung menjadi konsumsi per tahun. Hal ini terutama berlaku untuk konsumsi oleh penduduk di daerah kota yang umumnya memperoleh sayuran dan buah melalui pasar dan bukan dari hasil produksi sendiri.
68
Tabel 1. Konsumsi per Kapita Komoditas Pisang, Jeruk, dan Bawang Merah (kg/kap/th) Tahun
Pisang
1987 12,95 1990 13,83 1993 12,58 1996 9,05 1999 8,27 2002 8,92 2005 5,82 Pertumbuhan (%) -9,63 Sumber : Susenas, BPS.
Jeruk 0,73 0,88 0,94 1,30 1,20 1,11 4,01 45,82
Bawang Merah 1,96 1,92 1,96 1,96 1,49 2,15 2,33 4,06
Berkebalikan dengan konsumsi jeruk dan bawang merah yang mengalami peningkatan, konsumsi pisang justru turun sebesar -9,63%/th. Turunnya konsumsi pisang tersebut dapat disebabkan oleh adanya pergeseran konsumsi buahbuahan dari jenis buah yang dinilai kurang bergengsi, seperti pisang, ke jenis buah lain yang dinilai lebih bergengsi, seperti jeruk dan durian. Faktor lain yang dapat menyebabkan turunnya konsumsi pisang per kapita adalah berkurangnya pasokan pisang di dalam negeri akibat laju peningkatan ekspor yang lebih tinggi daripada laju pertumbuhan produksi dan impor pisang. Selama tahun 2000-2005 volume ekspor pisang naik rata-rata 109,7%/th, sedangkan pertumbuhan produksi pisang hanya sebesar 6,99%/th pada kurun waktu yang sama. DINAMIKA HARGA KOMODITAS HORTIKULTURA Fluktuasi harga yang tinggi merupakan isu sentral yang paling sering muncul dalam pemasaran komoditas hortikultura, di samping isu impor buah dan sayuran yang cenderung meningkat akhir-akhir ini. Fluktuasi harga yang tinggi menyebabkan penerimaan petani dari hasil penjualannya sangat berfluktuasi. Kondisi demikian tidak kondusif bagi pengembangan agribisnis hortikultura, karena keuntungan yang diperoleh dari kegiatan agribisnis hortikultura menjadi tidak stabil dan tidak selalu dapat diperkirakan dengan baik. Padahal, tingkat keuntungan yang tinggi dan stabil umumnya justru merupakan daya tarik utama bagi pelaku bisnis untuk melakukan investasi dan memperluas usahanya.
18000
16000
14000
Harga (rp/kg)
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0 1-00
7-00
1-01
7-01
1-02
7-02
1-03
7-03
1-04
7-04
1-05
7-05
1-06
7-06
Bulan-Tahun Pisang
Gambar 1.
Jeruk
Bw.merah
Perkembangan Harga Pisang, Jeruk dan Bawang Merah di Pasar Kramat Jati Selama Bulan Januari 2000-Agustus 2006
Gambar 1 memperlihatkan perkembangan harga bulanan pisang, jeruk, dan bawang merah selama Januari 2000 hingga Agustus 2006. Tampak bahwa selama tahun 2000-2005, harga bulanan ketiga komoditas tersebut berfluktuasi dan berkisar antara Rp 3.000/kg - Rp 6.000/kg. Namun pada bulan Januari 2006 terjadi lonjakan harga dimana harga pisang naik dari Rp 5.822h/kg pada Desember 2005 menjadi Rp 13.263 /kg pada Januari 2006, atau mengalami peningkatan sekitar 128%. Sementara harga jeruk naik dari Rp 6.232/kg menjadi Rp 11.377 /kg (naik 83%) dan harga bawang merah naik paling tinggi yaitu dari Rp 6.607 /kg menjadi Rp 19.188 /kg (naik 190%). Selama tahun 20002006, lonjakan harga tersebut merupakan yang paling tinggi, karena pada periode 2000-2005, kenaikan harga bulanan tertinggi hanya mencapai 23% pada komoditas pisang, 42% pada komoditas jeruk, dan 55% pada komoditas bawang merah. Lonjakan harga yang terjadi pada Januari 2006 agak berbeda dengan pola lonjakan
harga yang terjadi selama periode sebelumnya. Selama tahun 2000-2005 kenaikan harga bawang merah yang tinggi (di atas 15%) biasanya terjadi pada bulan Oktober/November dan bulan Februari/Maret, terkait dengan pola produksi dan pola kelangkaan pasokan dalam negeri kedua komoditas tersebut (Tabel 2). Pada komoditas jeruk lonjakan harga biasanya terjadi pada bulan Oktober/November dan bulan Maret, sedangkan pada komoditas pisang terjadi pada bulan Maret/April. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diduga bahwa terjadinya lonjakan harga bawang merah, jeruk, dan pisang pada bulan Januari tahun 2006 kemungkinan bukan hanya disebabkan oleh kelangkaan pasokan yang terkait dengan pola produksi di dalam negeri tetapi juga disebabkan oleh kelangkaan pasokan impor. Di antara ketiga komoditas hortikultura tersebut diatas, harga bawang merah paling berfluktuasi dibanding harga pisang dan jeruk. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien variasi harga bulanan bawang merah yang relatif tinggi dibanding koefisien variasi harga pisang dan jeruk 69
(Tabel 3). Selama tahun 2000-2006, koefisien variasi harga bulanan bawang merah rata-rata sebesar 23,83%, sedangkan pada komoditas pisang dan jeruk sebesar 13,75% dan 15,15%. Jika dibandingkan antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2006 tampak bahwa koefisien variasi harga ketiga komoditas tersebut mengalami peningkatan, terutama pada harga jeruk, dimana koefisien variasi harga bulanan meningkat dari 11,48% pada 2000-2003 menjadi 20,03% pada 2004-2006, dengan kata lain ketidakstabilan harga jeruk meningkat hampir dua kali lipat. Tabel 2. Perubahan Harga Bulanan pada Komoditas Pisang, Jeruk dan Bawang Merah, RataRata 2000-2005 dan Tahun 2006 (%) Bulan Rata-rata 2000-2005 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Tahun 2006 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
Pisang
Jeruk
Bawang merah
-9,4 -6,3 8,4 6,5 -0,2 3,1 2,2 1,8 -0,9 1,7 1,4 -0,5
-2,4 -4,8 7,8 1,2 -5,1 5,0 -2,4 -11,4 7,1 10,7 11,2 -2,0
-11,7 39,3 21,0 -7,1 2,6 -5,1 -12,1 -10,7 -7,9 25,3 18,1 4,0
127,8 -52,9 -26,0 18,9 4,5 8,7 -4,0 -2,1
82,6 -50,6 17,8 17,0 -6,5 -20,7 -28,3 -9,1
190,4 -50,5 -3,9 0,0 -5,5 -1,4 -5,9 -29,7
Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa data harga yang dianalisis pada tahun 2006 hanya meliputi bulan Januari hingga Agustus. Dengan demikian, jika data tahun 2006 tidak diperhitungkan, maka stabilitas harga ketiga komoditas tersebut sebenarnya semakin baik. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien variasi harga yang semakin kecil antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2005. Pada komoditas pisang koe-
70
fisien variasi harga bulanan mengalami penurunan dari 11,19% pada periode 2000-2003 menjadi 5,50% pada periode 2004-2005, sedangkan pada komoditas bawang merah turun dari 22,80% menjadi 17,16% dan pada komoditas jeruk relatif sama yaitu sebesar 11,48% dan 11,65%. Tabel 3. Koefisien Variasi Harga Bulanan Pisang, Jeruk, dan Bawang Merah, 2000-2006 Tahun
Pisang
2000 2001 2001 2003 2004 2005 2006 *)
6,19 14,26 16,16 8,16 2,91 8,08 40,47 13,75 11,19 5,50 17,15
Rata-rata 2000-2006 Rata-rata 2000-2003 Rata-rata 2004-2005 Rata-rata 2004-2006
Jeruk 10,58 8,10 10,79 16,45 2,15 21,14 36,80 15,15 11,48 11,65 20,03
Bawang merah 24,88 17,55 23,07 25,69 19,58 14,74 41,34 23,83 22,80 17,16 25,22
*) Harga selama Januari-Agustus 2006
Pada dasarnya fluktuasi harga komoditas terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume penawaran dan volume permintaan. Ketidakseimbangan pasokan dapat disebabkan oleh ketidakmampuan produsen dalam mengatur volume penawaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Jika dibandingkan dengan harga komoditas pangan lain, harga komoditas sayuran dan buah umumnya lebih berfluktuasi. Selama tahun 1992-2003 koefisien variasi harga bulanan beras, jagung, dan ubikayu hanya sekitar 6,711,7%, sedangkan pada komoditas jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang, dan kubis sekitar 7,3-29,6% (Irawan et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan produsen dalam menyesuaikan pasokannya dengan kebutuhan konsumen lebih sering terjadi pada komoditas hortikultura daripada komoditas pangan lainnya. Fluktuasi harga yang tinggi tidak menguntungkan bagi pengembangan agribisnis hortikultura karena dapat berpengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh (Hutabarat, 1999; Irawan et al., 2001). Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena
petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya pada tingkat harga yang menguntungkan, sedangkan pedagang dapat mengatur pola pasokannya sesuai dengan kebutuhan konsumen atau dinamika harga. Di samping itu, transmisi harga oleh pedagang kepada petani umumnya bersifat asimetris, sehingga jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen, maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga (Simatupang, 1999). Oleh karena itu, dapat dipahami jika keuntungan pedagang dalam tata niaga sayuran dan buah biasanya cukup besar dan berkisar antara 14% 50% dari harga di tingkat konsumen untuk berbagai jenis sayuran (Sudaryanto et al., 1993; Adiyoga dan Hardjanto, 1996). DINAMIKA PRODUKSI HORTIKULTURA Dinamika Produksi Tahun 2000-2005 Fluktuasi harga jangka pendek atau harga bulanan komoditas pertanian pada umumnya sangat terkait dengan fluktuasi produksi komoditas yang bersangkutan. Pada komoditas hortikultura keterkaitan tersebut umumnya relatif erat, mengingat produk hortikultura sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk segar, sedangkan produk hortikultura, seperti sayuran dan buah, justru relatif cepat busuk. Kondisi demikian menyebabkan, setelah dipanen, petani harus segera memasarkan hasil panennya, agar ketika sampai di tingkat konsumen produk yang dipasarkan masih dalam keadaan segar. Pola pemasaran demikian yang tidak melibatkan kegiatan penyimpanan menyebabkan fluktuasi pasokan produk hortikultura di pasar konsumen sangat terkait dengan fluktuasi produksi yang dihasilkan petani.
Keeratan hubungan antara fluktuasi harga dan fluktuasi produksi, misalnya dapat disimak pada komoditas pisang dibanding komoditas jeruk seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Produksi pisang yang relatif tersebar sepanjang tahun (indeks penyebaran produksi sebesar 1,3823) memiliki fluktuasi harga yang lebih rendah (koefisien variasi harga sebesar 13,75%) dibanding fluktuasi harga jeruk (koefisien variasi harga sebesar 15,15%) yang produksinya lebih terkonsentrasi pada bulan April-Juni (indeks penyebaran produksi sebesar 1,3554). Hal ini menunjukkan bahwa jika produksi suatu komoditas lebih tersebar sepanjang tahun maka fluktuasi harga cenderung semakin kecil. Dengan kata lain, pengaturan pola produksi yang relatif merata sepanjang tahun merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menekan fluktuasi harga komoditas yang tidak menguntungkan bagi petani maupun konsumen. Selama tahun 2000-2005, produksi pisang, jeruk, dan anggrek mengalami peningkatan, kecuali produksi bawang merah yang turun sebesar 0,81%/th (Tabel 5). Peningkatan produksi anggrek adalah yang paling tinggi, yaitu sekitar 112%/th, sedangkan produksi pisang naik sebesar 6,99%/th, dan produksi jeruk naik sebesar 28,06%/th. Jika dibandingkan antara periode 2000-2003 dan periode 2004-2005 (awal masa Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu) tampak bahwa laju pertumbuhan produksi tersebut umumnya semakin kecil, kecuali pada komoditas pisang yang mengalami peningkatan laju pertumbuhan produksi dari sebesar 4,00%/th menjadi 11,47%/th. Sementara itu, laju pertumbuhan produksi jeruk turun dari sebesar 31,37%/th pada periode 2000-2003 menjadi 23,08%/th pada periode 2004-2005, dan laju pertumbuhan produksi anggrek turun drastis dari sekitar 182 %/th (2000-2003) menjadi hanya sekitar 7%/th. Se-
Tabel 4. Produksi Pisang, Jeruk, dan Anggrek per Triwulan, Rata-rata 2000-2005 Pisang Triwulan
Produksi (000 ton) 1 (Jan-Mar) 1.210,4 2 (Apr-Jun) 1.044,2 3 (Jul-Sep) 1.057,5 4 (Okt-des) 1.131,6 Total 4.443,7 Indeks penyebaran produksi menurut triwulan *)
% (%) 27,2 23,5 23,8 25,5 100,0 1,3823
Jeruk Produksi (000 ton) 296,5 421,1 321,1 292,9 1.331,7
% (%) 22,3 31,6 24,1 22,0 100,0
1,3554
Anggrek Produksi % (000 tangkai) (%) 1.609,3 30,6 1.289,8 24,5 1.100,0 20,9 1.259,5 24,0 5.258,7 100,0 1,3385
*) Indeks entropi
71
Tabel 5. Dinamika Produksi Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005. Pisang (000 ton)
Jeruk (000 ton)
Anggrek (000 tangkai)
Bawang merah (000 ton)
2000
3.747,0
644,1
3.260,9
7.72,8
2001
4.300,4
791,4
4.450,8
861,2
2002
4.384,4
968,1
1.006,1
7.66,6
2003
4.177,2
1.441,7
6.904,1
7.62,8
2004
4.874,5
1.994,8
8.027,7
7.57,4
2005
5.178,6
2.150,2
7.902,4
7.32,6
6,99
28,06
112,01
-0,81
2000-2003
4,00
31,37
181,78
-0,02
2004-2005
11,47
23,08
7,36
-1,99
Tahun
Pertumbuhan (%/th) 2000-2005
mentara itu produksi bawang merah mengalami penurunan dengan laju yang semakin tajam, yaitu dari -0,02% (2000-2003) menjadi -1,99% (2004-2005). Uraian di atas mengungkapkan bahwa sejak masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pada tahun 2004, dinamika produksi pisang, jeruk, anggrek, dan bawang merah menunjukkan kinerja yang semakin buruk. Secara agronomis, dinamika produksi pangan selama tahun 2000-2005 tersebut pada dasarnya dapat disebabkan oleh dua variabel, yaitu perubahan luas panen dan perubahan produktivitas usahatani. Perubahan luas panen dapat disebabkan oleh (a) perubahan luas baku lahan yang tersedia untuk komoditas yang bersangkutan; (b) perubahan pola tanam yang dirangsang oleh perubahan harga relatif antarkomoditas; (c) perubahan iklim yang berdampak pada perubahan luas area tanam yang mengalami kerusakan akibat banjir, kekeringan, serta serangan hama; dan (d) perubahan luas lahan beririgasi yang berdampak pada perubahan intensitas tanam per tahun. Adapun perubahan produktivitas dapat disebabkan oleh perubahan tingkat teknologi yang dilakukan petani, yang pada intinya meliputi dua unsur utama, yaitu daya produksi varitas yang digunakan dan kualitas usahatani, seperti cara penanaman, cara pengolahan, dan sebagainya. Jenis varitas yang digunakan akan menentukan produktivitas potensial atau produktivitas maksimal yang dapat dicapai petani, sedangkan kualitas usahatani yang diterapkan 72
akan menentukan sejauh mana produktivitas potensial yang melekat pada varitas yang digunakan dapat dieksploitasi oleh petani. Tabel 6 memperlihatkan laju pertumbuhan jumlah pohon/luas panen dan laju pertumbuhan produktivitas pisang, jeruk, anggrek, dan bawang merah selama tahun 2000-2005. Tampak bahwa pertumbuhan produktivitas usahatani pada keempat komoditas tersebut umumnya lebih rendah daripada pertumbuhan jumlah pohon atau luas panen, artinya sebagian besar pertumbuhan produksi selama tahun 2000-2005 bukan dirangsang oleh inovasi teknologi. Misalnya, selama tahun 2000-2005 pertumbuhan produktivitas pisang sebesar 1,50%, sedangkan pertumbuhan jumlah pohon pisang sebesar 5,40%. Dengan kata lain, sekitar 22% pertumbuhan produksi pisang berasal dari pertumbuhan produktivitas dan 78% berasal dari pertumbuhan jumlah pohon. Pola yang sama juga terjadi pada komoditas jeruk, anggrek, dan bawang merah yang sebagian besar pertumbuhan produksinya bersumber dari peningkatan jumlah pohon atau peningkatan luas panen, dan bukan berasal dari peningkatan produktivitas usahatani. Untuk pembangunan pertanian nasional, kecenderungan demikian tidak menguntungkan, mengingat luas lahan pertanian semakin terbatas akibat konversi lahan, sehingga pertumbuhan produksi hortikultura, yang banyak mengandalkan pada peningkatan luas panen, dapat menghambat pertumbuhan produksi komoditas pertanian lainnya akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan.
Tabel 6. Dinamika Jumlah Pohon/Luas Tanaman dan Produktivitas Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005 Pisang
Tah un
Ju ml ah po ho n me ngha silk an (00 0)
2000
25 0.4 18
2001
26 0.6 05
2002
25 7.5 80
2003
26 4.4 48
2004
29 9.6 03
32 3.9 2005 34 Pertumbuh an (%/th) 2000 2005 2000 2003 2004 2005
5 , 4 0 1 , 8 6 1 0 , 7 1
Pr od uktivi tas (kg /ph n)
Jeruk Ju ml ah Po ho n me ng ha sil ka n (0 00 )
14, 96
34. 10 7
16, 50
39. 60 8
17, 02
51. 85 9
15, 80
56. 22 5
16, 27
66. 15 7
15, 99
72. 87 6
1,5 0
2,0 8
0,6 3
16, 66
18, 49
13, 91
Pr od uktivi tas (kg /ph n)
Anggrek
Bawang merah
Lu Lua Pro as s duk tan tan am am tivit (0 (00 as 00 0 (tangka ha m2 i/m2) ) )
18, 88
9 5 1
3, 4 3
19, 98
8 4 5
5, 2 7
18, 67
2 1 8
4, 6 2
25, 64
1. 2 3 8
5, 5 8
30, 15
2. 2 6 0
3, 5 5
29, 51
1. 2 2 2
6, 4 7
8 4 , 0 4 8 2 , 1 5 7 9 , 8 7 8 8 , 0 3 8 8 , 7 1 8 3 , 6 1
8 3, 8 9
2 1, 5 8
0 , 0 4
1 2 7, 5 9
2 0, 6 9
1 , 7 3
1 8, 3 4
2 2, 9 1
2 , 4 9
1 0 , 4 1 1 2 , 2 0 7 , 7 2
Pr od uk tivi ta s (to n/ ha )
9 , 2 0 1 0 , 4 8 9 , 6 0 8 , 6 7 8 , 5 4 8 , 7 6 0 , 6 0 1 , 3 9 0 , 5 8
73
Jika dibandingkan antara periode 20002003 dan periode 2004-2005, ketergantungan pertumbuhan produksi terhadap peningkatan jumlah pohon atau luas tanam cenderung semakin tinggi. Pada periode 2000-2003, sekitar 47% pertumbuhan produksi pisang bersumber dari peningkatan jumlah pohon dan pada periode 2004-2005 naik menjadi 94%. Dengan demikian, hampir seluruh peningkatan produksi pisang berasal dari peningkatan jumlah pohon. Ketergantungan produksi yang semakin besar terhadap peningkatan jumlah pohon juga terlihat pada komoditas jeruk, dimana sumbangan peningkatan jumlah pohon terhadap pertumbuhan produksi naik dari sekitar 60% pada 2000-2003 menjadi sekitar 64% pada 2004-2005. Tetapi, pada komoditas anggrek ketergantungan tersebut cenderung turun dari sekitar 86% menjadi 44%. Pada komoditas bawang merah terjadi perubahan yang cukup drastis, dimana pada 2000-2003 sebagian besar penurunan produksi disebabkan oleh penurunan produktivitas, tetapi pada periode 2004-2005 lebih disebabkan oleh penurunan luas panen. Peningkatan produktivitas usahatani yang relatif tinggi terutama terjadi pada komoditas jeruk dan anggrek. Selama tahun 2000-2003, prduktivitas jeruk dan anggrek naik rata-rata sebesar 12,20% dan 20,69%, sedangkan produktivitas pisang hanya naik sebesar 2,08%/th, dan produktivitas bawang merah turun sebesar 1,39%/th. Hal ini menunjukkan bahwa difusi teknologi yang berdampak pada peningkatan produktivitas usahatani lebih berkembang pada usahatani jeruk dan anggrek daripada usahatani
74
pisang dan bawang merah. Namun, pada periode 2004-2005, kecenderungan tersebut semakin lemah pada komoditas pisang dan jeruk yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan produktivitas yang semakin kecil pada kedua komoditas tersebut. Sementara itu, komoditas anggrek dan bawang merah laju pertumbuhan produktivitas pada periode 2004-2005 justru semakin tinggi dibanding periode 2000-2003 (Tabel 6). Perkiraan Produksi Tahun 2007 Peningkatan produksi dalam rangka meningkatkan ketersediaan pasokan dalam negeri dan merangsang ekspor merupakan salah satu tujuan dalam pembangunan horikultura. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2007 produksi pisang diharapkan meningkat dan dapat mencapai sasaran produksi sebesar 5,640 juta ton, sedangkan sasaran produksi jeruk dan bawang merah masing-masing sebesar 1,887 juta ton dan 910 ribu ton (Ditjen Hortikultura, 2006). Secara agronomis, peningkatan produksi tersebut dapat dirangsang melalui peningkatan produktivitas usahatani dan/atau peningkatan luas tanaman/jumlah pohon, sedangkan peningkatan produktivitas dapat didorong melalui inovasi teknologi budidaya, seperti penggunaan benih berkualitas, penggunaan varitas unggul dan seterusnya. Tabel 7 memperlihatkan perkiraan pencapaian sasaran produksi tersebut di atas. Dalam Tabel 7 tersebut perkiraan produksi tahun 2007
Tabel 7. Perkembangan Produksi 2000-2005 dan Perkiraan Tahun 2007 pada Komoditas Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Perkiraan 2007 -Skenario 1 -Skenario 2 Sasaran produksi 2007 Pencapaian sasaran 2007 (%) -Skenario 1 -Skenario 2
Pisang (000 ton)
Jeruk (000 ton)
Anggrek (000 tangkai)
3.747,0 4.300,4 4.384,4 4.177,2 4.874,5 5.178,6
644,1 791,4 968,1 1.441,7 1.994,8 2.150,2
3.260,9 4.450,8 1.006,1 6.904,1 8.027,7 7.902,4
772,8 861,2 766,6 762,8 757,4 732,6
5.598,4 5.327,0 5.640,0
3.162,3 3.042,8 1.887,0
12.302,6 11.845,6 t.a
706,7 694,6 909,9
99,3 94,5
167,6 161,3
dihitung dengan menggunakan dua skenario yaitu: (a) skenario 1, perkiraan produksi 2007 dihitung berdasarkan tren pertumbuhan jumlah pohon menghasilkan atau luas panen dan tren pertumbuhan produktivitas jangka panjang selama periode 2000-2005; (b) skenario 2, perkiraan produksi 2007 dihitung berdasarkan tren pertumbuhan jumlah pohon menghasilkan atau luas panen dan tren pertumbuhan produktivitas jangka panjang selama periode 2000-2005, tetapi data dasar yang digunakan diekspresikan dalam data rata-rata bergerak 2 tahunan (moving average tren analysis). Pendekatan ini digunakan mengingat fluktuasi data jumlah pohon atau luas panen dan data produktivitas usahatani relatif tinggi, terutama pada komoditas anggrek. Pada tahun 2007 produksi pisang diperkirakan mencapai sekitar 5,327 juta ton (skenario 2) hingga 5,598 juta ton (skenario 1). Jika dibandingkan dengan sasaran produksi 2007 (5,640 juta ton), maka tingkat produksi tersebut sangat mendekati, yaitu sekitar 95-99%. Dengan kata lain, pencapaian sasaran produksi pisang tahun 2007 diperkirakan antara 95% hingga 99%. Seperti diperlihatkan dalam Tabel 8, peningkatan produksi pisang pada tahun 2007 tersebut diperkirakan akan terjadi akibat peningkatan jumlah pohon dan produktivitas sebesar 4,74% dan 3,22% dibanding situasi pada tahun 2005 (skenario 1) atau peningkatan jumlah pohon dan produktivitas sebesar 1,27% dan 1,57% (skenario 2).
-
Bawang merah (000 ton)
77,7 76,3
Produksi jeruk pada tahun 2007 diperkirakan sekitar 3,043 juta ton (skenario 2) hingga 3,162 juta ton (skenario 1). Dibandingkan dengan sasaran produksi tahun 2007 (1,887 juta ton), maka tingkat produksi tersebut lebih tinggi sekitar 61% - 68%. Namun perlu digarisbawahi bahwa pencapaian sasaran produksi yang sangat tinggi tersebut dapat disebabkan oleh data sasaran produksi 2007 yang kurang akurat. Pada tahun 2004 dan 2005, produksi jeruk sudah mencapai 1,995 juta ton dan 2,150 juta ton, tetapi sasaran produksi yang ingin dicapai pada tahun 2007 hanya sebesar 1,887 juta ton atau sekitar 12,2%, lebih rendah dibanding produksi jeruk yang telah dicapai pada tahun 2005. Berbeda dengan komoditas pisang dan jeruk yang memperlihatkan perkiraan produksi 2007 yang cukup optimis, produksi bawang merah pada tahun 2007 diperkirakan tidak dapat mencapai sasaran produksi yang direncanakan. Pada tahun 2007, sasaran produksi bawang merah yang direncanakan adalah sekitar 910 ribu ton, sedangkan hasil analisis tren menunjukkan bahwa produksi bawang merah pada tahun tersebut hanya sekitar 695 ribu ton hingga 707 ribu ton, atau sekitar 22-24% lebih rendah. Jika dibandingkan dengan produksi yang telah dicapai pada tahun 2005 (733 ribu ton), maka tingkat produksi tersebut lebih rendah atau mengalami penurunan sekitar 3,5-5,1%. Penurunan produksi tersebut terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas sekitar 8-12% dibanding tahun 2005 75
Tabel 8.
Perkembangan Jumlah Pohon/Luas Panen dan Produktivitas 2000-2005 dan Perkiraan Tahun 2007 pada Komoditas Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah.
Tahun
Pisang Jumlah Produkpohon tivitas (000) (kg/phn) 250.418 14,96 260.605 16,50 257.580 17,02 264.448 15,80 299.603 16,27 323.934 15,99
2000 2001 2002 2003 2004 2005 Perkiraan 2007 -Skenario 1 339.283 -Skenario 2 328.061 Perubahan dibanding 2005 -Skenario 1 15.349 (4,74) -Skenario 2 4127 (1,27) Keterangan : ( ) % perubahan
Jeruk Jumlah Produkpohon tivitas (000) (kg/phn) 34.107 18,88 39.608 19,98 51.859 18,67 56.225 25,64 66.157 30,15 72.876 29,51
Bawang merah ProdukLuas tivitas (000 ha) (ton/ha) 84,04 9,20 82,15 10,48 79,87 9,60 88,03 8,67 88,71 8,54 83,61 8,76
16,50 16,24
89.197 85.779
35,45 35,47
1.973 2.291
6,23 5,17
87,71 89,91
8,06 7,73
0,51 (3,22) 0,25 (1,57)
16.321 (22,40) 12903 (17,70)
5,95 (20,16) 5,97 (20,23)
752 (61,56) 1070 (87,57)
-0,24 (-3,64) -1,30 (-20,08)
4,09 (4,90) 6,30 (7,53)
-0,70 (-8,03) -1,04 (-11,83)
meskipun luas tanam bawang merah diperkirakan meningkat sekitar 5-7% (Tabel 8). Dibandingkan dengan komoditas sayuran lainnya, upaya peningkatan produksi bawang merah akhir-akhir ini memang relatif sulit. Hal ini terutama karena sejak tahun 2001 produktivitas bawang merah terus mengalami penurunan secara konsisten dari 10.48 ton/ha menjadi 8,76 ton/ha pada tahun 2005. Pada kondisi produktivitas usahatani yang terus menurun maka upaya perluasan tanaman bawang merah merupakan pendekatan yang paling dapat diandalkan. Namun, upaya tersebut juga tidak mudah direalisasikan, karena upaya perluasan tanaman bawang merah dapat mengancam produksi beras, karena sebagian besar usahatani bawang merah dilakukan di lahan sawah beririgasi teknis akibat kebutuhan air yang relatif tinggi. Pada kondisi dimana produksi bawang merah di lahan sawah semakin sulit ditingkatkan, baik akibat produktivitas usahatani yang terus turun atau akibat persaingan dalam pemanfaatan lahan dengan usahatani padi, maka perluasan usahatani bawang merah di lahan kering merupakan pilihan yang tak dapat dihindari. Dalam kaitan tersebut maka pengembangan teknik budidaya bawang merah di lahan kering merupakan strategi yang harus ditempuh. Pengembangan 76
Anggrek ProdukLuas tivitas 2 (000 m ) (tangk/m2) 951 3,43 845 5,27 218 4,62 1.238 5,58 2.260 3,55 1.222 6,47
teknik budidaya tersebut terutama yang berkaitan dengan pengembangan varitas unggul bawang merah lahan kering dan pengembangan penangkaran benih secara in situ di daerah sentra produksi, mengingat pengadaan benih merupakan masalah utama dalam pengembangan usahatani bawang merah (Saptana et al., 2004). Dalam rangka mempercepat difusi teknologi tersebut maka perlu dikembangkan program khusus yang didukung dengan penyediaan modal usahatani karena biaya tradable input pada usahatani bawang merah relatif tinggi. DINAMIKA PERDAGANGAN KOMODITAS HORTIKULTURA Nilai impor yang semakin kecil dan nilai ekspor yang semakin besar merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap negara dalam melakukan perdagangan antarnegara. Secara empirik situasi tersebut dicerminkan oleh meningkatnya nilai surplus perdagangan atau mengecilnya nilai defisit perdagangan suatu negara. Namun, seberapa jauh tujuan tersebut dapat dicapai, sangat tergantung kepada seberapa besar daya saing produk yang diperdagangkan. Jika daya saing produk yang diperdagangkan
relatif lemah dibandingkan negara lain, maka akan terjadi defisit perdagangan, dengan kata lain, nilai impor lebih tinggi daripada nilai ekspor.
kedua ditempati oleh komoditas sayuran, sedangkan komoditas tanaman hias memiliki peran yang masih relatif rendah.
Dalam perdagangan komoditas hortikultura, sebagian besar perolehan devisa dihasilkan dari ekspor buah-buahan yang memiliki sumbangan terhadap total nilai ekspor rata-rata 62,4% selama tahun 2000-2005 (Tabel 9). Begitu pula sebagian besar nilai impor hortikultura, berasal dari impor buah-buahan yang memiliki pangsa nilai impor rata-rata sebesar 61,1% pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan buah-buahan memiliki peran paling penting dalam perdagangan komoditas hortikultura, dengan kata lain, kinerja perdagangan komoditas hortikultura akan sangat dipengaruhi oleh kinerja perdagangan buah-buahan. Posisi
Selama tahun 2000-2005, perdagangan hortikultura mengalami defisit sekitar US$ 72 juta hingga US$ 164 juta per tahun (Tabel 9). Defisit perdagangan tersebut terus meningkat secara konsisten, dari sebesar US$ 72.4 juta pada tahun 2000 menjadi US$ 157.6 juta pada tahun 2005, dengan kata lain, dalam jangka waktu 6 tahun defisit perdagangan hortikultura naik lebih dari dua kali lipat. Secara rata-rata, defisit nilai perdagangan tersebut naik sebesar 20,7%/th, dengan laju pertumbuhan yang meningkat, dari 17,3%/th pada periode 2000-2003 menjadi 25,8%/th pada periode 2003-2005. Hal ini menunjukkan bahwa sejak masa pemerintah Kabi-
Tabel 9. Nilai Perdagangan Komoditas Hortikultura, 2000-2005 (juta US$) Komoditas
Tahun 2000
2001
2002
Pertumbuhan (%/th)
2003
2004
2005
00-05
00-03
04-05
Tan.hias -Ekspor
9,40
9,83
12,13
13,87
14,45
14,18
8,9
14,1
1,1
-Impor
1,43
1,05
1,02
1,15
1,34
2,08
11,0
-5,5
35,8
-Neraca Sayuran
7,97
8,78
11,11
12,72
13,10
12,10
9,3
17,1
-2,3
-Ekspor
66,35
63,08
56,94
59,24
59,47
58,26
-2,5
-3,5
-0,8
-Impor
99,16
108,79
115,24
114,95
136,14
149,77
8,8
5,1
14,2
-32,81
-45,71
-58,30
-55,71
-76,67
-91,51
23,9
20,8
28,5
-Neraca Buah -Ekspor
94,70
100,63
138,37
131,50
122,84
148,30
10,6
12,9
7,1
-Impor
145,06
147,10
220,25
195,01
224,59
232,14
11,6
13,2
9,3
-Neraca Total
-50,35
-46,47
-81,88
-63,51
-101,75
-83,84
17,7
15,3
21,3
-Ekspor
174,51
175,66
209,66
207,95
200,38
229,25
6,0
6,4
5,4
-Impor
246,92
258,35
338,42
313,34
364,08
386,85
10,1
9,4
11,2
-Neraca
-72,40
-82,69
-128,76
-105,39
-163,70
-157,60
20,7
17,3
25,8
-Tan.hias
5,51
5,67
5,85
6,78
7,34
6,42
0,2
0,4
-0,2
-Sayuran
38,93
36,35
27,45
28,95
30,22
26,39
-2,5
-3,3
-1,3
-Buah
55,56
57,98
66,70
64,27
62,43
67,19
2,3
2,9
1,5
Pangsa ekspor (%)
Pangsa impor (%) -Tan.hias
0,58
0,41
0,30
0,37
0,37
0,54
0,0
-0,1
0,1
-Sayuran
40,37
42,34
34,25
36,95
37,60
39,00
-0,3
-1,1
1,0
-Buah 59,05 Sumber: Statistik FAO, diolah
57,25
65,45
62,68
62,03
60,46
0,3
1,2
-1,1
77
Tabel 10. Nilai Perdagangan Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005 (juta US$) Komoditas
Tahun 2000
2001
2002
Pertumbuhan (%/th)
2003
2004
2005
00-05
00-03
04-05
Anggrek -Ekspor
1.14
1.44
1.19
1.71
1.33
1.43
7.6
17.6
-7.3
-Impor
0.35
0.42
0.18
0.23
0.35
0.54
19.5
-3.4
53.9
-Neraca
0.79
1.01
1.01
1.48
0.98
0.89
6.4
24.9
-21.4
1.84
1.67
2.19
2.42
1.89
1.52
-1.8
10.9
-20.7
Bw.merah -Ekspor -Impor
12.91
12.48
9.07
12.37
14.24
15.41
5.8
1.9
11.7
-11.08
-10.80
-6.88
-9.95
-12.35
-13.89
8.5
1.9
18.3
-Ekspor
0.53
0.09
1.08
0.51
0.78
1.29
222.2
331.4
58.5
-Impor
0.03
0.06
0.10
0.40
0.19
0.40
105.0
155.3
29.5
-Neraca
0.50
0.02
0.98
0.11
0.59
0.89
890.1
1321.6
242.9
-Neraca Pisang
Jeruk -Ekspor
0.15
0.34
0.29
0.28
1.23
0.49
76.9
38.2
134.9
-Impor
12.80
8.16
15.27
18.79
27.75
20.40
19.0
24.6
10.6
-Neraca -12.65 Sumber: Statistik FAO, diolah
-7.82
-14.97
-18.51
-26.53
-19.91
19.0
25.6
9.2
net Indonesia Bersatu yang dimulai pada tahun 2004 kinerja perdagangan komoditas hortikultura tidak semakin baik. Terjadinya defisit perdagangan hortikultura yang terus membesar, terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit perdagangan sayuran dengan laju pertumbuhan sebesar 23,9%/th pada periode 2000-2005, dan pada periode 2003-2005 mencapai 28,5%/th. Neraca perdagangan buahbuahan juga mengalami defisit, tetapi memiliki laju pertumbuhan yang lebih kecil, yaitu sebesar 17,7%/th, dan pada periode 2003-2005 mencapai 21,3%/th. Hanya tanaman hias yang memiliki surplus perdagangan selama tahun 2000-2005, meskipun dengan nilai yang relatif kecil, yaitu sekitar US$ 12 juta pada tahun 2005. Namun, pada periode 2003-2005, nilai surplus perdagangan tersebut cenderung turun sebesar 2,3%/th, padahal pada periode 2000-2003 mengalami kenaikan sebesar 17,1%/th. Uraian di atas mengungkapkan bahwa kinerja perdagangan hortikultura selama tahun 2000-2005 cenderung semakin buruk. Kecenderungan tersebut semakin kuat sejak tahun 2004, dan hal ini ditunjukkan oleh surplus perdagangan tanaman hias yang semakin kecil, sementara
78
defisit perdagangan sayuran dan buah-buahan semakin besar. Kecenderungan demikian juga terjadi pada empat komoditas hortikultura yang dianalisis yaitu pisang, jeruk, anggrek, dan bawang merah. Dari keempat komoditas tersebut hanya perdagangan anggrek dan pisang yang mengalami surplus, sedangkan perdagangan bawang merah dan jeruk mengalami defisit (Tabel 10). Namun, nilai surplus perdagangan anggrek dan pisang (sekitar US$ 1 juta pada tahun 2005) sangat kecil dibanding nilai defisit perdagangan bawang merah dan jeruk yang pada tahun 2005 mencapai US$ 13.89 juta dan US$ 19.91 juta. Selama tahun 2000-2003 surplus perdagangan anggrek mengalami kenaikan rata-rata sebesar 24,9%/th, tetapi pada tahun 2003-2004 cenderung turun sebesar -21,4%/th. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada perdagangan pisang, dimana laju pertumbuhan surplus perdagangan pisang semakin kecil pada tahuntahun terakhir. Sebaliknya, laju pertumbuhan defisit perdagangan bawang merah justru meningkat, dari sebesar 1,9% pada periode 2000-2003 menjadi 18,3%/th pada periode 2003-2004. Sementara itu, laju pertumbuhan defisit perdagangan jeruk mengalami penurunan, dari 25,6%/th pada 2000 -2003 menjadi 9,2%/th pada 2003-
Tabel 11. Volume Perdagangan Pisang, Jeruk, Anggrek, dan Bawang Merah, 2000-2005 (juta ton). Komoditas
Tahun 2000
2001
2002
Pertumbuhan (%/th)
2003
2004
2005
00-05
00-03
04-05
Anggrek -Ekspor
0,67
0,76
0,74
0,71
0,43
0,53
-2,1
2,1
-8,4
-Impor
0,04
0,05
0,08
0,10
0,14
0,12
28,3
39,9
10,8
-Neraca
0,63
0,71
0,67
0,61
0,29
0,40
-3,1
-1,1
-6,2
6,75
5,99
6,82
5,40
4,64
4,26
-8,1
-6,1
-11,1
Bw.merah -Ekspor -Impor
56,71
47,95
32,93
42,01
48,93
53,07
1,2
-6,4
12,5
-49,96
-41,95
-26,11
-36,61
-44,29
-48,81
3,5
-4,5
15,6
-Ekspor
2,22
0,29
0,59
0,24
1,20
3,65
109,7
-15,2
296,9
-Impor
0,01
0,08
0,10
0,56
0,41
0,44
187,2
318,4
-9,4
-Neraca
2,21
0,21
0,48
-0,32
0,79
3,20
-34,6
-43,9
-20,6
-Neraca Pisang
Jeruk -Ekspor
0,40
0,84
0,60
0,38
1,30
0,77
49,6
14,6
102,1
-Impor
21,38
14,38
23,50
25,79
54,57
37,32
24,1
13,5
40,1
-13,54
-22,90
-25,41
-53,27
-36,55
24,6
14,9
39,1
-Neraca -20,98 Sumber: Statistik FAO, diolah
2005. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahuntahun terakhir hanya perdagangan jeruk yang memperlihatkan kecenderungan membaik, meskipun neraca perdagangan komoditas tersebut masih mengalami defisit yang cukup besar. Semakin baiknya kinerja perdagangan jeruk pada tahun-tahun terakhir, terutama disebabkan oleh kuantitas ekspor jeruk yang meningkat tajam dari 14,6%/th pada 2000-2003 menjadi 102,1%/th pada tahun 2003-2005, meskipun pertumbuhan kuantitas impor jeruk juga mengalami kenaikan dari 13,5%/th menjadi 40,1%/th untuk periode yang sama (Tabel 11). Namun, peningkatan laju pertumbuhan kuantitas ekspor yang tinggi tersebut masih belum mampu menutupi kuantitas impor, mengingat kuantitas ekspor jeruk (sekitar 400 ribu – 1,3 juta ton/th) sangat kecil dibanding kuantitas impor (sekitar 15-54 juta ton/th), yaitu hanya sekitar 2%. Konsekuensinya adalah neraca perdagangan jeruk dalam kuantitas masih tetap berada pada posisi defisit dengan laju pertumbuhan defisit yang semakin tinggi pada periode 2003-2005. Kecenderungan yang semakin baik dalam kuantitas perdagangan pada tahun-tahun
terakhir juga terjadi pada komoditas pisang, dimana laju pertumbuhan ekspor pisang semakin cepat (dari -15,2%/th menjadi 296,9%/th), sedangkan laju pertumbuhan impor semakin kecil (318,4%/th menjadi -9,4%/th). Tetapi, pada perdagangan bawang merah yang masih mengalami defisit perdagangan, terjadi kecenderungan yang semakin buruk. Laju pertumbuhan kuantitas impor bawang merah semakin tinggi (dari -6,4%/ th pada 2000-2003 menjadi 12,5%/th pada 20032005), sedangkan laju penurunan ekspor semakin cepat, yaitu dari -6,1%/th menjadi -11,1%/th pada periode yang sama. PENUTUP Sejalan dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga dan membaiknya kesadaran masyarakat tentang gizi, konsumsi sayur dan buah di masa mendatang akan terus meningkat. Peningkatan konsumsi tersebut diperkirakan lebih cepat di daerah kota daripada daerah pedesaan. Namun, konsumsi beberapa komoditas sayuran dan buah yang dinilai kurang ber-
79
gengsi dan relatif murah, seperti pisang, akan semakin kecil dan disubstitusikan oleh jenis buah-buahan lainnya. Peningkatan permintaan sayuran dan buah secara agregat akan dirangsang oleh naiknya pendapatan, pergeseran pola konsumsi pangan, serta berkembangnya daerah perkotaan dan pariwisata. Kinerja perdagangan luar negeri komoditas hortikultura sebagian besar dicerminkan oleh kinerja perdagangan buah dan sayuran, serta hanya sebagian kecil yang dipengaruhi oleh perdagangan tanaman hias. Selama tahun 20002005, hanya perdagangan tanaman hias yang menghasilkan surplus perdagangan, sedangkan perdagangan buah dan sayuran mengalami defisit. Pada tahun-tahun terakhir ini, surplus perdagangan hortikultura yang diperoleh dari tanaman hias semakin kecil, tetapi defisit perdagangan buah dan sayuran semakin besar. Konsekuensinya adalah neraca perdagangan hortikultura secara keseluruhan mengalami defisit dengan nilai defisit yang cenderung semakin besar, dengan kata lain, kinerja perdagangan hortikultura akhir-akhir ini semakin buruk. Fluktuasi harga komoditas hortikultura umumnya relatif tinggi dan kondisi demikian tidak kondusif bagi pengembangan agribisnis hortikultura, karena dapat menghambat masuknya investor baru akibat ketidakpastian keuntungan usaha. Pada dasarnya fluktuasi harga tersebut disebabkan oleh disinkronisasi antara kuantitas permintaan dan kuantitas pasokan. Pada komoditas hortikultura, fluktuasi pasokan sangat terkait dengan fluktuasi produksi, karena sebagian besar komoditas hortikultura dikonsumsi dalam bentuk segar dan kurang melibatkan kegiatan penyimpanan. Berdasarkan hal tersebut, maka perencanaan produksi antarwaktu yang bersifat lintas daerah produsen perlu dikembangkan, dalam rangka menekan fluktuasi harga yang selanjutnya dapat merangsang investasi baru. Perdagangan komoditas hortikultura akhir-akhir ini menunjukkan kinerja yang semakin buruk, dimana neraca perdagangan mengalami defisit dalam kuantitas maupun nilai perdagangan, dan defisit perdagangan tersebut semakin besar. Kondisi demikian terutama terjadi pada perdagangan buah dan sayuran yang justru merupakan tulang punggung dalam perdagangan luar negeri komoditas hortikultura. Kondisi tersebut pada dasarnya terjadi karena daya saing produk hortikultura produksi lokal kalah bersaing
80
dengan negara lain, baik dalam mutu produk maupun harga jual. Dalam rangka meningkatkan mutu produk maka penerapan SOP (Standard Operational Procedure), GAP (Good Agricultural Practices), dan GHP (Good Handling Practices) merupakan upaya yang harus ditempuh. Disamping itu, pengembangan pertanian organik secara selektif komoditas, terutama komoditas bernilai tinggi juga perlu ditempuh untuk mengantisipasi kebutuhan golongan berpendapatan tinggi yang cenderung lebih mempertimbangkan masalah higines produk yang dikonsumsi. Upaya peningkatan mutu dan daya saing produk hortikultura secara menyeluruh akan melibatkan seluruh pelaku agribisnis hortikultura, mulai dari pedagang input hingga pedagang output. Dalam kaitan tersebut maka pengembangan komoditas hortikultura harus dilaksanakan dengan pendekatan sistem agribisnis yang pada intinya meliputi empat unsur utama yaitu: (a) membangun elemen agribisnis yang dibutuhkan, (b) membangun keterkaitan fungsional yang harmonis diantara elemen agribisnis yang dapat ditempuh melalui pengembangan kerja sama usaha diantara pelaku agribisnis, (c) meningkatkan efisiensi usaha agribisnis yang dapat ditempuh melalui inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan, dan (d) meningkatkan efisiensi sistem agribisnis yang dicirikan oleh kemampuan merespon dinamika kebutuhan konsumen secara tepat waktu, kuantitas, dan kualitas menurut segmen pasar, serta menghasilkan produk berharga murah di tingkat konsumen. Pengembangan komoditas hortikultura, dengan pendekatan sistem agribisnis, akan membutuhkan pengembangan kelembagaan sistem agribisnis, dalam rangka menciptakan sistem agribisnis berdaya saing, yang dicirikan oleh adanya keterkaitan fungsional yang harmonis diantara pelaku agribisnis. Upaya tersebut tidak mudah dilakukan, mengingat struktur agribisnis umumnya bersifat dispersal atau tersekat-sekat, dalam pengertian setiap pelaku agribisnis mengambil keputusan usaha sendiri-sendiri. Untuk mendorong dan mencari formula kelembagaan sistem agribisnis yang ideal, maka perlu dilakukan action research (kaji tindak) yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dalam kaitan ini program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMATANI) yang merupakan salah satu program Deptan dan juga menggunakan pendekatan sistem agribisnis dapat dimanfaatkan sebagai media kajian.
DAFTAR PUSTAKA Adiyoga M. dan Hardjanto T. 1996. Usahatani Cabai. Dalam Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Ditjen Hortikultura. 2006. Evaluasi Kegiatan Pengembangan Agribisnis Hortikultura Tahun Anggaran 2005. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta. Ditjen Hortikultura. 2006. Evaluasi Kinerja Pembangunan Agribisnis Hortikultura Tahun 2005. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta Ditjen Hortikultura. 2006. Matrik Kegiatan Pengembangan Hortikutura 2007. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta. Hutabarat B. 1999. Sistem Komoditas Bawang Merah dan Cabai Merah. Monograph Series No.7. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Irawan B., A.R. Nurmanaf, E. Lestari, V. Darwis, Y. Supriyatna, C. Muslim. 2001. Studi Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas
Unggulan Hortikultura. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Irawan B. 2003. Agribisnis Hortikultura : Peluang dan Tantangan Dalam Era Perdagangan Bebas. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA , Vol.3 No.2. Juli 2003. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Saptana, M. Siregar, S. Wahyuni, S.K. Dermoredjo, E. Ariningsih dan V. Darwis. 2004. Pemantapan Model Pengembangan Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Simatupang P. 1999. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian Dalam Era Globalisasi. Dalam Dinamika Inovasi Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku-2. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Sudaryanto T. dan Pasandaran E. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
81