KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf1 dan Rachmat Hendayana2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor 1
ABSTRAK Usahatani jagung bagi penduduk NTT sudah menjadi bagian dari kehidupannya seharihari yang dilakukan secara konvensional dan turun temurun, namun sejauhmana keunggulan komparatif usahatani jagung tersebut dapat mendukung ketahanan pangan belum diketahui. Makalah ini bertujuan untuk membahas keunggulan komparatif usahatani jagung dalam hubungannya dengan ketahanan pangan di NTT. Survey telah dilakukan di NTT tahun 2006 dengan fokus di dua kabupaten sentra produksi jagung yakni Kabupaten TTS dan Belu, terhadap 50 orang petani jagung yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana. Dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif serta Matrik Analisis Kebijakan (Policy Analisis Matrik - PAM) diperoleh gambaran sebagai berikut: (1) Jagung merupakan komoditas yang strategis bagi masyarakat NTT, karena selain memiliki nilai ekonomi tinggi juga merupakan sumber ketahanan pangan rumah tangga; (2) Kinerja usahatani jagung mayoritas belum intensif (input rendah), namun dari hasil analisis finansial, menunjukkan profitabilitas relatif tinggi (118,27%) dengan nisbah R/C 2,18; (3) Dengan asumsi tidak terjadi gejolak harga input usahatani dan harga output tetap, usahatani jagung oleh petani di NTT memiliki keunggulan komparatif, dengan nilai DRCR sebesar 0,324. Artinya, setiap devisa 100 dollar yang dihasilkan mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 67.676 dollar. Pada kurs dollar (tahun 2006) = Rp 8500, memperlihatkan setiap devisa Rp 850 ribu akan mendatangkan nilai tambah sebesar Rp 574,6 ribu. (4) Kondisi tersebut akan memotivasi petani untuk terus meningkatkan usahanya sehingga akan memberikan sumbangan yang lebih besar lagi bagi pendapatan keluarga tani dan hal itu pada gilirannya akan berdampak positip terhadap ketahanan pangan di NTT, (5) Peluang untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui usahatani jagung masih terbuka lebar melalui peningkatan produktivitas dengan lebih meningkatkan intensitas bimbingan dan pembinaan teknis budidaya. Sementara itu untuk mendorong adopsi inovasi teknologi, perlu dukungan kelembagaan jasa keuangan yang mampu mengakomodasi kebutuhan petani. Kata kunci: Jagung, Ketahanan Pangan, Keunggulan komparatif, Kelembagaan. PENDAHULUAN Ada kecenderungan diantara kita untuk mengartikan ketahanan pangan hanya terjadi di level nasional, sehingga penanganannya juga bersifat nasional. Sudah jelas pemahaman itu tidak salah, tetapi belum cukup lengkap untuk digunakan sebagai pengertian yang final. Kenyataannya, kondisi ketahanan tingkat nasional pada dasarnya akan merefleksikan ketahanan di rumah tangga/individu. Ringkasnya seperti dikemukakan Salim (2004) ketahanan pangan tidak hanya pada tingkat nasional akan tetapi juga pada tingkat rumah tangga/individu. Telah diketahui bersama bahwa ketahanan pangan dicirikan oleh (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Kondisi demikian akan tercapai manakala tidak terjadi kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, tidak terjadi penurunan produksi, dan lain-lain seperti telah dikemukakan Suhardjo (1996). Sementara itu yang dimaksud pangan seperti dikemukakan dalam UU No 7/1996 ternyata memiliki pengertian yang luas. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Bagi penduduk NTT, salah satu sumber bahan pangan yang menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk adalah jagung (Subandi dan Manwan, 1990). Selain sebagai sumber bahan makanan jagung juga memiliki peran penting sebagai baku industri dan pakan ternak, terutama unggas (Sudaryanto, dkk., 1988; Kariyasa dan Adnyana, 1995). Bahkan terdapat kecenderungan laju proporsi pemanfaatan untuk bahan baku industri dan pakan ternak relatif lebih tinggi dari pada pemanfaatan jagung untuk makanan pokok. Mengingat demikian strategisnya posisi jagung bagi kehidupan penduduk NTT maka pengupayaannya ke arah komoditas yang memiliki keunggulan komparatif menjadi krusial dan perlu menjadi perhatian berbagai pihak. Dampaknya tentu akan terkait langsung dengan kehidupan penduduk utamanya sebagai food security atau ketahanan pangan. Persoalannya adalah sejauhmanakah keunggulan komparatif usahatani jagung tersebut telah tercapai dan memberikan kontribusi pada ketahanan pangan di NTT? Berkenaan dengan persoalan tersebut, makalah bertujuan untuk mengungkap keunggulan komparatif usahatani jagung dan dukungannya terhadap ketahanan pangan. Hasil pengkajian diharapkan akan menjadi masukan berharga bagi pemerintah daerah setempat dalam membuat kebijakan pengembangan usahatani jagung ke arah komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. METODOLOGI Data dan Sumber Data Makalah dikembangkan dari hasil pengkajian keunggulan komparatif jagung yang telah dilakukan pada tahun 2006 di Provinsi NTT, dengan fokus di dua kabupaten yaitu Kabupaten TTS dan Belu dan masing-masing meliputi 2 kecamatan yang dipilih secara purposive. Data primer dikumpulkan melalui survei terhadap 50 orang petani jagung yang terpilih sebagai responden secara acak sederhana dari dua kabupaten tersebut dengan proposi 20 orang dari TTS dan 30 orang dari Belu. Untuk memperkaya bahasan dikemukakan pula data sekunder dari berbagai instansi terkait. Analisis Data Untuk mengungkap keunggulan komparatif usahatani jagung digunakan pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) dari Monke dan Pearson (1989), dimana indikasi keunggulan komparatif akan terlihat dari hasil analisis Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). Formulasi pendekatan PAM disajikan dalam bentuk matrik sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Matrik Analisis Kebijakan Biaya input Keterangan
Penerimaan
Keuntungan
Harga Private
A
B
(non tradeable) C
Harga Sosial
E
F
G
H
J
K
L
Dampak I kebijakan Sumber: Monke dan Pearson, 1989
(tradeable)
D
Dengan pendekatan matrik tersebut, akan banyak dihasilkan banyak interpretasi, tergantung keperluan analisis. Terkait dengan keunggulan komparatif, dapat diinterpretasikan dari perhitungan rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) yang dapat diformulasikan dalam persamaan berikut: G DRCR =
Biaya faktor domestik sosial =
E–F
Penerimaan sosial - Biaya Input Diperdagangkan
Dalam hal ini usahatani jagung dikatakan memiliki keunggulan komparatif manakala diperoleh nilai DRCR < 1, sedangkan jika nilai DRCR > 1 dikatakan usahatani jagung tidak memiliki keunggulan komparatif, karena hal itu akan berarti biaya faktor domestik sosial besarnya melebihi nilai pengurangan dari penerimaan sosial dengan biaya input tradable. Hubungan keunggulan komparatif dan dukungannya terhadap ketahanan pangan akan diungkap secara deskriptif kualitatif terhadap indikasi nilai-nilai yang diperoleh dari perhitungan DRCR. Namun nalar yang digunakan dalam kaidah keputusan yang diambil adalah jika DRCR < 1, kondisi ketahanan pangan dapat tercapai sedangkan jika DRCR > 1 peluang tercapainya ketahanan pangan relatif rendah karena hal itu akan berarti memanfaatkan biaya yang seharusnya digunakan untuk membeli bahan pangan untuk membeli faktor produksi. HASIL DAN PEMBAHASAN Status Jagung NTT Untuk urusan jagung, di wilayah NTT sudah tidak asing lagi karena sudah diketahui umum NTT termasuk provinsi penghasil jagung yang relatif besar, berada pada urutan ke 4 setelah Provinsi Jatim, Jateng dan Lampung, terutama dari sisi produksinya. Sumbangan jagung NTT terhadap produksi jagung nasional mencapai 5,7 %. Akan tetrapi jika ditinjau dari sisi produktivitas, tampaknya usahatani jagung di NTT masih potensial untuk ditingkatkan, karena posisinya saat ini masih di bawah produksi rata-rata nasional (BPS, 2001). Faktor penyebab rendahnya produktivitas jagung di NTT diduga tidak hanya terkait dengan masalah teknis saja, akan tetapi juga berhubungan dengan masalah sosial budaya yang mungkin saja menghambat laju adopsi teknologi serta aspek ekonomi usahatani dan masalah kelembagaan ekonomi. Bahkan bukan itu saja karena kebijakan pemerintah juga dapat menentukan keberhasilan usahatani jagung tersebut. Jika ditinjau dari sisi potensi pengembangan jagung, ternyata provinsi ini memiliki lahan produktif relatif luas, meliputi 1,52 juta ha lahan kering, dan 0,13 juta ha lahan sawah (Anonim, 2001). Apabila lahan tersebut dioptimalkan pemanfaatannya, akan dapat meminimalkan ketergantungan jagung pada produksi di luar NTT. Di dalam pengusahaan jagung tersebut, untuk mencapai tingkat keunggulan komparatifnya diperlukan kebijakan pemerintah terutama yang terkait dengan biaya input dan pengembangan komoditas sesuai potensi daya dukung wilayah. Keunggulan komparatif dari komoditas ini secara umum senantiasa berubah, seiring dengan perubahan ekonomi, lingkungan domestik dan teknologi. Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, berusahatani jagung akan mempunyai
keunggulan komparatif manakala pengelolaannya lebih efisien dibandingkan dengan komoditas lainnya dalam berkompetisi menggunakan sumberdaya yang sama. Pengusahaan jagung di NTT tersebar di semua wilayah kabupaten, oleh karena itu tidak mengherankan jika setiap kabupaten di NTT mampu menghasillkan jagung. Yang berbeda adalah skala pengusahaannya. Areal panen jagung dalam kurun waktu lima tahun (2000 – 2004) berkisar antara 4800 - 54000 hektar. Keragaan dan Kelayakan Finansial Usaha Tani Jagung Meskipun hasilnya dapat dijual dan menghasilkan uang, namun di dalam pengusahaannya oleh petani dari tahun ke tahun hampir tidak mengalami perubahan dalam pengelolaan jagung. Mereka melakukannya secara ekstensif berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman berusaha tani jagung yang diperolehnya secara turun temurun. Hal itu ditandai minimnya penggunaan pupuk, pengunaan bibit lokal dan produksi relatif rendah. Sebagian besar petani lebih banyak menggunakan benih produksi sendiri ketimbang membeli. Kalaupun harus beli, ia hanya membeli sedikit saja. Misalnya, dari total penggunaan benih yang harusnya 25 kg/ha, hanya 2 kg saja yang dibeli. Sisanya sekitar 23 kg menggunakan benih sendiri. Jika ditinjau dari sisi pupuk, penggunaannya juga masih relatif rendah bahkan mayoritas tidak menggunakannya. Petani yang menggunakan pupuk Urea, TSP dan lainnya tidak lebih dari 5 kg. Setelah diperhitungkan dengan upah kerja yang dikeluarkan untuk bertanam jagung dalam satu hektar menghabiskan biaya sekitar Rp 430 ribu. Dari total biaya tersebut sebagian besar adalah biaya untuk upah kerja dan sewa alat. Meskipun secara empiris pelaksanaan usahatani jagung oleh responden kurang intensif, belum tentu petani rugi. Dari hasil analisis dalam Tabel 2. menunjukkan bahwa dengan mengeluarkan biaya sekitar Rp 430 ribu dalam satu hektar, petani menerima pendapatan kotor sekitar Rp 939 ribu. Pendapatan itu diperoleh dari hasil penjualan sekitar 2 ton produksi jagung. Setelah biaya usahatani di keluarkan, ternyata petani masih mendapat keuntungan relatif besar. Profitabilitasnya mencapai 118 % .
Tabel 2. Analisis Usahatani Jagung per hektar di Lokasi Pengkajian Pengeluaran
Fisik
1. Bibit - Pembelian 1,79 - Produksi sendiri 23,37 2. Pestisida 0,15 3. Pupuk - Urea 2,85 - TSP 0,58 - Lainnya 1,25 - Pupuk kandang 4. Biaya - Sewa alat - Sewa hewan - Biaya pengairan - Pemeliharaan alat - Pengangkutan - Borongan - Lainnya 5. Upah Buruh - Mencangkul - Membajak - Menanam - Memelihara - Memanen - Lain-lain 6. Pengeluaran lain - Pajak - Lainnya Jumlah Produksi 2079 Keuntungan R/C B/C Profitabilitas Sumber: Data Primer , 2007.
Nilai 2527 41174 1680 3518 1056 1250 1228 7899 7850 7542 6565 47572 35612 14430 37937 4597 51260 25308 64634 42820 11814 12371 430644 939969 509325 2,18 1,18 118,27
Proporsi thdp Biaya (%) 0,59 9,56 0,39 0,00 0,82 0,25 0,29 0,29 0,00 1,83 1,82 1,75 1,52 11,05 8,27 3,35 0,00 8,81 1,07 11,90 5,88 15,01 9,94 0,00 2,74 2,87 100
Proporsi thdp Penerimaan (%) 0,27 4,38 0,18 0,00 0,37 0,11 0,13 0,13 0,00 0,84 0,84 0,80 0,70 5,06 3,79 1,54 0,00 4,04 0,49 5,45 2,69 6,88 4,56 0,00 1,26 1,32 45,81 100
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa semua petani responden menggunakan lebih banyak benih sendiri dari pada yang dibeli. Kondisi ini merupakan salah satu indikasi bahwa petani lebih banyak menggunakan jagung varietas lokal. Dalam hal penggunaan tenaga kerja, semua responden dianggap menggunakan tenaga kerja sewaan. Meskipun dalam prakteknya tidak seluruhnya mengeluarkan biaya untuk upah kerja, karena sifatnya gotong royong. Jadi untuk kedua jenis masukan ini petani tidak mengeluarkan dana. Dari hasil analisis di atas, usahatani jagung menghasilkan keuntungan relatif besar dengan nisbah R/C sekitar 2,18. Artinya dari usahatani jagung ini petani mendapatkan nilai tambah 2,18. Dengan kata lain setiap investasi sebesar Rp 100 yang dilakukan petani dalam usahatani jagung memberikan nilai tambah sebesar Rp 218,-. Keunggulan Komparatif Jagung Keunggulan komparatif usahatani jagung didekati dengan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR). Analisis rasio antara biaya sumberdaya domestik dan nilai tambah yang dilakukan pada perhitungan dengan harga sosial disebut dengan Biaya Sumberdaya Domestik atau DRC. Nilai DRC merupakan indikator dari efisiensi ekonomi relatif dari suatu sistem
komoditi. Jika nilai DRC diolah lebih lanjut disesuaikan dengan harga bayangan nilai tukar uang, maka akan diperoleh nilai koefisien DRC (DRCR). Kaidah keputusan yang dapat diambil dari analisis ini adalah, jika nilai DRCR < 1 berarti aktivitas ekonomi yang dianalisis menunjukkan keragaan yang efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Artinya lebih jauh adalah bahwa permintaan terhadap suatu komoditas dalam negeri lebih menguntungkan jika dilakukan dengan memproduksi komoditi tersebut di dalam negeri. Semakin kecil nilai DRCR, akan semakin efisien diproduksi di dalam negeri. Jika nilai DRCR > 1 maka pemenuhan permintaan dalam negeri tersebut lebih menguntungkan jika dilakukan dengan cara mengimpor komoditi tersebut. Dengan kata lain negara tersebut tidak mempunyai keunggulan komparatif untuk memproduksi suatu komoditas baik untuk pemenuhan dalam negeri maupun untuk tujuan promosi ekspor. Di lokasi pengkajian, diketahui bahwa hasil perhitungan menunjukkan nilai DRCR adalah 0,324. Hal tersebut menunjukkan bahwa memproduksi komoditas jagung di NTT relatif efisien. Kondisi ini berarti juga mencerminkan bahwa usahatani jagung memiliki keunggulan komparatif untuk tujuan ekspor maupun untuk tujuan substitusi impor. Dari besaran nilai DRCR tersebut berarti setiap devisa 100 dollar yang dihasilkan mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 67.6 dollar. Jika dikonversi ke nilai rupiah pada kurs 1 dollar = Rp 8500, maka setiap devisa sebesar Rp 850 000,- akan mendatangkan nilai tambah sebesar Rp 574600,Ke arah Ketahanan Pangan Dari analisis yang dilakukan, terungkap meskipun pengelolaan jagung oleh penduduk masih dilakukan secara ekstensif, akan tetapi dikatakan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRCR < 1 yang artinya biaya faktor domestik sosial relatif lebih kecil dari pada penerimaan sosial setelah dikurangi biaya input tradable. Dengan kata lain penerimaan sosial lebih besar dari pada biaya faktor domestik. Selisih penerimaan sosial setelah dikurangi biaya input tradeable selain menjadi unsur pembentuk modal bagi pengembangan usaha, juga dapat digunakan untuk ketahanan pangan. Oleh karena itu semakin besar hasil yang diperoleh semakin besar peluang rumah tangga dapat mencapai kondisi ketahanan pangannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan •
Jagung merupakan komoditas yang strategis bagi masyarakat NTT, karena selain memiliki nilai ekonomi tinggi juga merupakan sumber ketahanan pangan rumah tangga;
•
Kinerja usahatani jagung mayoritas belum intensif (input rendah), namun dari hasil analisis finansial, menunjukkan profitabilitas realtif tinggi (118,27%) dengan nisbah R/C 2,18;
•
Dengan asumsi tidak terjadi gejolak harga input usahatani dan harga output tetap, usahatani jagung oleh petani di NTT memiliki keunggulan komparatif, dengan nilai DRCR sebesar 0,324. Artinya, setiap devisa 100 dollar yang dihasilkan mampu mendatangkan nilai tambah sebesar 67.676 dollar. Pada kurs dollar (tahun 2006) = Rp 8500, memperlihatkan setiap devisa Rp 850 ribu akan mendatangkan nilai tambah sebesar Rp 574,6 ribu.
•
Kondisi tersebut akan memotivasi petani untuk terus meningkatkan usahanya sehingga akan memberikan sumbangan yang lebih besar lagi bagi pendapatan keluarga tani dan hal itu pada gilirannya akan berdampak positip terhadap ketahanan pangan di NTT,
Saran Peluang untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui usahatani jagung masih terbuka lebar melalui peningkatan produktivitas dengan lebih meningkatkan intensitas bimbingan dan pembinaan teknis budidaya. Sementara itu untuk mendorong adopsi inovasi teknologi, perlu dukungan kelembagaan jasa keuangan yang mampu mengakomodasi kebutuhan petani.
DAFTAR PUSTAKA Kariyasa, K. dan M. O. Adnyana, 1998. Analisis Keunggulan Komparatif, Dampak Kebijaksanaan Harga dan Mekanisme Pasar Terhadap Agribisnis Jagung di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasonal Jagung, Ujung Pandang, 11-12 Nopember 1997 Monke, E.A. & S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London Subandi dan I. Manwan, 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor Sudaryanto, T., K. Noekman, dan F. Kasryno, 1988. Kedudukan Komoditi Jagung dalam Perekonomian Indonesia, dalam Jagung. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor Saliem, H.P. Rachman. 2004. Indikator Penentu, Karakteristik, Dan Kelembagaan Jaringan Deteksi DiniTentang Kerawanan Pangan. Icaserd Working Paper No. 46. No. Dok.058.46.04.04. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Departemen Pertanian bekerjasama dengan UNICEF. Yogyakarta UU. No. 7/1996 Tentang Pangan