PRODUKSI DAN HARGA KAKAO DI SIKKA, FLORES Bernard de Rosari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTT ABSTRAK NTT menduduki peringkat sembilan dalam sumbangannya terhadap total produksi kakao nasional. 84% kakao yang diproduksi di NTT berasal dari Kabupaten Sikka dan sisanya 8% dari Kabupaten Ende, 4% dari Kabupaten Flores Timur, 1% dari Kabupaten Ngada dan 3% dari kabupaten lainnya. Produktivitas kakao di Flores dan khususnya di Sikka sangat rendah. Pada waktu lalu (2002/2003) rata-rata produksi 400-600 kg/ha, tetapi dewasa ini hanya mencapai 200 kg/ha biji kering. Hal ini dikarenakan aspek teknis produksi yang tidak dijalankan dengan baik yakni pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama penyakit dan sanitasi dan kehilangan hasil juga terjadi pada proses penanganan pasca panen yang tidak memadai. Konsekuensi dari produksi yang rendah serta penanganan pasca panen yang tidak memadai menyebabkan harga jual kakao rendah, bervariasi dan fluktuatif. Informasi harga pasar yang tidak transparan serta perilaku petani menjual hasil hanya berdasarkan volume dan pedagang hanya menerapkan standar kadar air maka menjadi mata rantai yang melilit perekonomian petani. Intervensi berbagai pihak (pemerintah, swasta, gereja, LSM) menjadi penting untuk melakukan pembenahan atas rendahnya ekonomi rumah tangga petani terutama pada usaha pertanian komoditas kakao. Akar permasalahan dari persoalan rendahnya produktivitas kakao adalah Hati (perilaku, motivasi, keinginan untuk maju) dan ditunjang oleh Otak (pengetahuan teknis, wawasan dan ketrampilan) maka akan menjadi kekuatan untuk membenahi kakao di Flores dan terutama di Sikka. Kata Kunci : Kakao, Produksi, Harga, Sikka LATAR BELAKANG Kakao mulai di kenal di Flores tahun 1964 yang diperkenalkan oleh misi Katolik dan awal tahun 1970-an pemerintah melalui program nasional memperkenalkan dan memperluas areal pertanaman kakao. Data menunjukkan bahwa pangsa pasar kakao NTT menduduki rangking 9 secara nasional yang menyumbang sebanyak 2% dari total produksi kakao nasional. Selebihnya disumbangkan oleh beberapa provinsi seperti Sulawesi selatan (27%), Sulawesi Tengah (23%), Sulawesi Tenggara (17%), Sumatera Selatan (8%), Kalimantan Timur (4%), Irian Jaya (3%), Jawa Timur (2%) dan Maluku Utara (2%) (Swisscontact LED NTT,2006). Perkebunan kakao di NTT adalah perkebunan rakyat dan sekitar 30.000 ha area dengan total produksi 13.000 MT atau 91% dari total produksi NTT dikembangkan di Flores. Dibandingkan secara nasional 87,4% perkebunan kakao merupakan merupakan perkebunan rakyat sedangkan 6% merupakan perkebunan besar negara dan 6,7% merupakan perkebunan besar swasta. Tanaman kakao di Flores merupakan komoditas unggulan setelah tanaman Jambu Mete, Kelapa, Vanili, Cengkeh dan kemiri. Kurang lebih 15.000 keluarga di Flores menjadikan kakao sebagai sumber income dan livelihoodnya. Pada sisi produksi, 84% kakao NTT berasal dari kabupaten sikka, Ende menyumbangkan (8%), Flotim (4%), Ngada (1%) dan 3% lainnya dari berbagai kabupaten lainnya di NTT. (Swisscontact LED NTT,2006, Anonimous, 2006, Dishutbun Sikka,2006). Perkebunan kakao di Flores merupakan perkebunan rakyat, dengan rata-rata setiap petani mengerjakan lahan antara 0.5 sampai 1.5 ha. Rata-rata produksi masih berkisar 400 – 600 kg/ha tetapi dalam 2-3 tahun terkahir ini mengalami penurunan produksi yang cukup besar. Studi kehilangan hasil yang dilakukan oleh Puslit Kopi dan Kakao Jember di Kabupaten Sikka tahun 2006 menemukan bahwa 47,7% kehilangan hasil biji kakao yang hanya disebabkan oleh hama PBK belum termasuk hama dan penyakit yang lain (Prawoto Adi dan Sri Sukamto,2006). Makalah ini mau menyajikan kondisi real produksi dan harga kakao di Kabupaten Sikka serta karakteristik pengusahaannya di Kabupaten Sikka serta membedah data secara lebih konkrit dengan menggunakan data dari Kelompok Tani Plea Puli Desa Bloro Kecamatan Nita, Sikka yang merupakan
data yang dicatat dari setiap anggota kelompok dari tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2007 yakni data produksi dan harga jual kakao. POLA PRODUKSI DAN PEMASARAN Pola produksi kakao di Sikka mirip atau hampir sama dengan pola produksi kakao di daerah lain terutama daerah-daerah di Pulau Flores. Jarak tanam kakao mengikuti keadaan lahan (kemiringan dan kerapatan tanaman lainnya); jarak yang ada sekitar 2 x 3 sampai 3 x 4 m. Tanaman kakao biasanya ditanam diantara tanaman lainnya seperti kemiri, cengkeh, pisang dan lain tanaman perkebunan. Manajemen pemeliharaan tidak dilakukan dengan baik seperti pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama peyakit tidak dilakukan. Produktivitas tanaman kakao yang rendah pada sektor produksi disebabkan oleh perilaku petani tidak menerapkan manajemen produksi kakao dengan baik. Rata-rata produksi kakao yang dihasilkan dewasa ini hanya mencapai 200 kg/ha turun dari 400-600 kg/ha tahun 2002/2003. Di sektor pasca panen juga memberikan kontribusi dalam menurunkan jumlah dan mutu kakao. Akibat dari penanganan pasca panen kakao yang tidak memadai maka harga jual kakao di tingkat pedagang pengumpul juga rendah, bervariasi dan fluktuatif. Teknologi fermentasi yang bertujuan agar melepas lendir yang menempel pada permukaan kulit biji kakao sehingga tidak berjamur, bersih dan aroma kakao yang baik tidak dilakukan petani. Asosiasi Kakao Indonesia dan Pemerintah telah menetapkan standar mutu biji kakao (SNI 01 – 2323 -2000) yakni biji kakao disebut berkualitas apabila memenuhi kriteria jenis uji mutu diantaranya: jumlah biji per 100 gram, serangga hidup = 0%; Kadar air = max 7%, biji berbau asap/bau asing = 0%, Kadar biji pecah = max 2%, kadar kotoran = max 2.5%, kadar benda asing = max 0.2% dan kotoran mamalia = 0.1%. tetapi hingga saat ini SNI tersebut tidak dapat diterapkan karena transaksi kakao dunia masih didasari oleh volume. Standar umum yang digunakan pedagang pengumpul di Sikka untuk mentapkan harga jual adalah kadar air biji kakao. Problem standar air biji kakao menjadi persoalan yang fenomenal di Sikka. Petani di satu sisi menginginkan harga jual yang baik dan pedagang menetapkan harga berdasarkan kadar air biji, tetapi di sisi lain petani disamping memiliki jumlah biji kakao yang dijual tidak banyak juga tidak melakukan prosesing yang baik. Kakao yang dipetik kemudian dijemur sebentar dan langsung di jual dengan demikian kadar air masih tinggi. Hal ini dilakukan karena tuntutan ekonomi, yakni petani harus memenuhi kebutuhan dasarnya (makan) dan juga untuk kesehatan dan pendidikan disamping tuntutan adat yang cukup tinggi. Pola pemasaran biji kakao di Sikka adalah dari petani (produsen) kemudian dijual ke pedagang tingkat desa/kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten (PAP) selanjutnya diantar pulaukan ke Makasar (90%), Jawa dan Bali (10%). PAP Sikka mengantarpulaukan biji kakao sebagian besar ke Makasar karena 50% eksportir berada di Makasar. PAP terbesar di Sikka adalah di Geliting yang menerapkan harga berdasarkan harga biji kakao kering eksportir, yaitu harga komoditi di New York/NY (farm gate price), tetapi dengan persoalan penanganan pasca panen kakao yang tidak memadai dan disamping itu adalah tidak transparannya quality dan quantity menyebabkan pedagang pengumpul dan petani juga tidak dapat mengikuti signal harga dari pasar NY tersebut (Swisscontact LED NTT,2006). PENYEBAB RENDAHNYA PRODUKSI, MUTU DAN HARGA KAKAO Data perkiraan kehilangan hasil biji kakao akibat serangan hama PBK menurut studi Puslit Kopi dan Kakao Jember tahun 2006 dengan sebaran sebagai berikut; Kecamatan Kewapante merupakan wilayah dengan tingkat serangan PBK tertinggi yakni mencapai 98,61% biji kakao rusak karena PBK, kemudian berturut-turut diikuti Kecamatan Bola (77,25%), Kecamatan Maumere (45,95%), Kecamatan Paga (16,55%) dan Kecamatan Nita (0,25%). Rendahnya produksi kakao menurut hasil studi tersebut adalah karena: i) tanaman berumur tua, tidak sehat, kurus sebagai akumulasi dari minimnya perawatan, ii) penaung yang terlalu rimbun yang memicu berkembangnya penyakit busuk buah (P. palmivora) dan kanker batang, dan memicu kurangnya pembungaan, iii) serangan Helopeltis dan PBK yang berat serta iv) akibat angin dan hujan yang deras pada waktu tertentu yang menggugurkan daun dan bunga kakao (Parwoto Adi dan Sri Sukamto,2006; Swiscontact LED NTT, 2006).
Kondisi ini merupakan akibat dari sesuatu yang tidak berjalan yakni pada akar masalah yang menjadi penyebab atau pemicu dari akibat yang ditumbulkan. Studi oleh Swiscontact LED NTT (2006) menyebutkan sebagai akar masalah dan mengidentifikasi 9 hal yang menjadi akar masalah, yakni: 1. Terbatasnya pengetahuan petani kakao tentang keuntungan menggunakan input (pestisida, insektisida, fungisida, hormon, dll) mengakibatkan produktivitas kakao rendah. 2. Terbatasnya pengetahuan petani tentang ketersediaan unsur hara dalam tanah, mengakibatkan kesalahan dalam pemberian pupuk pada tanaman kakao, mengakibatkan produktivitas rendah. 3. Terbatasnya pengetahuan tentang input supply (pupuk dan pestisida) oleh petani kakao, mengakibatkan ketidak tepatan menggunakan input dan hasilnya produktivitas rendah. 4. Terbatasnya pengetahuan petani tentang manfaat dari pengeringan biji kakao, sehingga petani menjual kakao dalam keadaan basah untuk menambah berat. Mengakibatkan harga dan keuntungan petani rendah 5. Terbatasnya pengetahuan petani tentang keuntungan menyediakan biji kakao yang mutu bagus atau selalu menyediakan unfermentasi biji kakako mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk masuk dalam pasar akhir yang menawarkan harga tinggi. 6. Terbatasnya tenaga kerja bagi petani untuk mengeloloa kebun kakao, mengakibatkan terlantarnya kebun sehingga produktivitas rendah. 7. Terbatasnya koordinasi antara pemerintah, koperasi, asosiasi, kelompok tani, LSM dan private sector untuk mendorong diterapkannya gerakan standard mutu (SNI) dalam perdaganan kakao Flores 8. Terbatasnya pengetahuan petani dan juga pedagang dilevel desa dalam mengelola keuangan dari hasil produksi kakao. 9. Terbatasnya akses sumber dana menyebabkan petani tidak dapat membeli input dan/atau menggantikan tanaman yang sudah tua mengakibatkan tidak maksimalnya produksi kakao. Gambaran tentang kondisi pertanaman kakao, produksi dan harga serta permasalahan kakao di Sikka merupakan gambaran umum. Berikut disajikan keadaan konkrit di tingkat kelompok tani yakni Kelompok tani Plea Puli Desa Bloro Kecamatan Nita Kabupaten Sikka. KARAKTERISTIK USAHATANI KAKAO DI DESA BLORA Kelompok tani Plea Puli Desa Bloro Kecamatan Nita didirikan tahun 1987 dengan jumlah anggota pertama sebanyak 25 orang. Kelompok tani ini mengalami perkembangan naik turun baik dalam kegiatan maupun jumlah anggota. Hingga tahun 2007 jumlah anggota sebanyak 27 orang. Jenis kegiatan kelompok ini selain kegiatan pertanian juga melakukan kegiatan ekonomi seperti arisan dan usaha simpan pinjam. Modal simpan pinjam kelompok Plea Puli sampai akhir tahun buku 2006 mencapai Rp 20 juta dan memiliki asset rumah tempat pertemuan kelompok yang memadai. Rata-rata kepemilikan tanaman kakao setiap petani sebanyak 456 pohon terdiri atas 164 TBM dan 292 TM. Jumlah tanaman kakao tidak mengalami perkembangan yang cukup besar baik untuk penambahan jumlah TBM maupun TM. Tahun 2003 jumlah tanaman kakao pada kelompok ini sebanyak 8533 pohon sama dengan tahun 2004 dan meningkat menjadi 9450 pohon di tahun 2005, tetapi mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi 9236 pohon dan meningkat menjadi 10.353 pohon di tahun 2007. Penurunan sebanyak 214 pohon di tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 diakibatkan karena menurunnya TBM dan TM. Kemudian di tahun 2007 terjadi peningkatan disamping karena beberapa TBM menjadi TM juga karena penambahan jumlah anggota sebanyak 2 orang. Berikut disajikan data mengenai perkembangan tanaman kakao di Kelompok Tani Plea Puli Desa Bloro, Nita, Sikka. Tabel 1. Perkembangan Tanaman Kakao pada Kelompok Tani... Desa Bloro Pohon Tahun TBM TM Total 2003 3144 5389 8533 2004 3144 5389 8533 2005 3612 5838 9450 2006 3551 5685 9236 2007 3336 7017 10.353
Memperhatikan data ini terlihat tidak ada perkembangan yang berarti jumlah tanaman kakao sejak tahun 2003 di Kelompok Tani Plea Puli. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode tersebut tidak ada penambahan jumlah areal penanaman baru yang dapat disebabkan oleh terbatasnya lahan untuk menanam. Observasi lapangan menunjukkan bahwa lahan pertanian masih tersedia tetapi petani tidak menggunakan semuanya untuk ditanami tanaman tahunan (kakao) tetapi dipakai untuk menanam tanaman pangan (jagung, padi ladang dan ubi) serta beberapa tempat untuk memelihara ternak (sapi) sistem ikat. Hal ini menunjukkan bahwa i) walaupun tanaman perkebunan memberikan hasil berupa pendapatan bagi keluarga tani cukup baik (baik dalam jumlah dan kontinyuitas penerimaan), tetapi keluarga tani masih mengandalkan pangan sebagai simbol keamanan ekonomi rumah tangga, ii) petani telah melakukan tindakan diversifikasi usahatani untuk menjaga keamanan ekonomi rumah tangganya. TREND PRODUKSI DAN HARGA Trend produksi dan harga kakao dipakai untuk melihat kecenderungan perkembangan produksi dan harga dalam satu periode (musim). Situasi produksi dan harga dalam satu periode (tahun) akan memberikan informasi tentang distribusi pendapatan keluarga dalam satu tahun sehingga dapat dibuat perencanaan penggunaan pendapatan keluarga. Disamping itu petani dan pelaku pasar kakao dapat melihat kecenderungan naik turunnya produksi dan pengaruhnya ke harga. Sehingga untuk perencanaan memajukan ekonomi keluarga tani dapat dibuat perencanaan pemasaran yang baik agar petani dapat menerima harga yang lebih baik di saat luar musim panen tetapi dengan asumsi bahwa petani memiliki alternatif sumber pendapatan lain untuk mensubsitusi penjualan kakao atau ada dana talangan dari kelompok atau koperasi tani. Berikut disajikan data produksi dan harga jual Kakao oleh Kelompok tani Plea Puli, Desa Bloro, Nita, Sikka. Memperhatikan data jumlah produksi setiap tahunnya mengalami fluktuasi dengan trend yang hampir sama yakni terjadi peningkatan pada tahun-tahun ganjil dan menurun pada tahun genap. Trend produksi terlihat jelas yakni tahun 2003 jumlah yang diproduksi 8,4 ton menurun menjadi 6,6 ton di tahun 2004, dan naik menjadi 8,5 ton di tahun 2005 dan turun menjadi 6,3 ton di tahun 2006 serta mulai naik di tahun 2007 dengan data produksi yang prospektif yakni baru pertengahan tahun telah mencapai 5,6 ton. Data total produksi kakao di Kelompok Tani Plea Puli mencapai 8,4 ton di tahun 2003 dan mengalami fluktuasi dan pertengahan tahun 2007 mencapai 5,6 ton. Artinya jika jumlah anggota 27 orang dan yang memiliki tanaman kakao sebanyak 21 orang dan masing-masing memiliki 1 ha luas lahan tanaman kakao, maka rata-rata produksi kakao setiap petani pemilik adalah berkisar antara 267 kg sampai 400 kg/ ha setiap petani. Jarak tanaman kakao adalah 3 x 4 m maka dalam 1 ha terdapat 833 pohon, dan sekitar 65% adalah TM, maka dalam 1 ha terdapat 542 pohon TM, sehingga setiap pohon menghasilkan tidak lebih dari 1 kg. Jumlah produksi ini sangat rendah. Rendahnya produksi ini disebabkan oleh kondisi tanaman kakao yang sudah tua, banyak yang terserang hama/penyakit serta praktek berkebun kakao yang belum baik. Berikut disajikan trend produksi dan harga kakao di Kelompok Plea Puli, Desa Bloro, Nita, Sikka.
Trend Data Jumlah Penjualan Kakao Petani Desa Bloro,Nita,Sikka
Kg 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
2003
2004
2005
2006
D es
N op
O kt
Se pt
Ag ts
Ju li
Ju ni
M ei
Ap ril
M ar et
Ja nu a
ri Fe br ua ri
0
Bulan
2007
Gambar 2. Trend Produksi Kakao di Nita Kabupaten Sikka, 2003-2007
Trend Harga Kakao di Desa Bloro, Nita, Sikka
Rp 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000
2003
2004
2005
2006
2007
D es
N op
O kt
Se pt
Ag ts
Ju li
Ju ni
M ei
Ap ril
Ja nu ar i Fe br ua ri M ar et
0
Bulan
Gambar 3. Trend Harga Kakao di Nita Kabupaten Sikka, 2003-2007 Fenomena harga menarik untuk disimak. Terlihat bahwa perubahan harga tidak mengikuti hukum ekonomi (demand-supply) dimana harga barang naik ketika jumlah pasokan berkurang, dan sebaliknya. Harga tertinggi terjadi pada tahun 2003 yakni mencapai Rp 9500/kg dan menurun menjadi Rp 8100/kg ditahun 2004 padahal produksi di tahun 2004 lebih sedikit dibandingkan produksi ditahun 2003. Kemudian harga naik menjadi Rp 8600/kg ditahun 2005 dan turun menjadi Rp 7200/kg di tahun 2006. Padahal produksi kakao di tahun 2005 lebih banyak di tahun 2006. Fenomena ini bukan merupakan fenomena tetap karena data yang diambil baru 4 tahun. Tetapi memperhatikan trend yang demikian untuk sementara dapat dikatakan bahwa ketika pasokan produksi cukup banyak, maka pembeli akan menawarkan harga yang lebih baik. Hal ini dilakukan karena pertimbangan jumlah (stok) minimal yang harus dimiliki pengumpul agar dapat mengantarpulaukan biji kakao. Hasil survey Swisscontact (2006) disebutkan bahwa 90% kakao dari Sikka diantarpulaukan ke Makasar dan 10% nya ke Surabaya. POLA PRODUKSI DAN KONDISI LINGKUNGAN Informasi mengenai pola produksi menjadi penting agar petani dapat membuat perencanaan mengenai; a) kegiatan usahatani kakao yakni manajemen kakao (pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit, sanitasi dan panen), b) kegiatan ekonomi lainnya, serta c) penting
dilakukan perencanaan penggunaan keuangan yang bersumber dari produksi kakao (manajemen keuangan). Pola produksi kakao dalam satu tahun mengikuti ritme yang sama yakni memiliki satu puncak produksi tertinggi yakni di Bulan Mei-Juni dan pada bulan-bulan lainnya jumlah produksi rendah yakni dibawah 500 kg. Siklus produksi anjuran tanaman kakao dari Bulan Januari sampai Desember adalah sebagai berikut pada bulan Januari adalah waktu pemupukan dan tanaman kakao mulai berbunga, selanjutnya aktivitas pemangkasan dan pembungkusan buah dilakukan di Bulan Februari, penyemprotan hama penyakit dilakukan di Bulan Maret, April dan Agustus. Bulan Mei dan Juni merupakan waktu puncak panen kakao. Pemangkasan pemeliharaan dilakukan di Bulan Juni dan di Bulan Oktober. Musim hujan dari Desember sampai Maret/April. Praktek berkebun yang belum baik dilakukan oleh petani menyebabkan produksi kakao sangat rendah. Dalam hal manajemen produksi sebagai bagian penting dalam sistem budidaya kakao perlu dikemukakan bahwa pengetahuan dan pemahaman petani tentang manfaat berkebun kakao yang baik belum dipahami oleh petani dengan baik. Petani enggan melakukan pemangkasan dengan berbagai alasan, padahal pemangkasan merupakan bagian penting agar tanaman dapat melakukan aktivitas fotosintesis, mengurangi penaungan, sanitasi, dan sebagainya. Petani juga jarang bahkan dapat dikatakan tidak melakukan pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman juga dengan berbagai alasan terutama alasan klasik tidak memiliki modal untuk membeli pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama dan penyakit. Teknologi pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan tanpa menggunakan modal yang besar, misalnya memelihara semut hitam untuk memakan telur hama helopeltis, memangkas tanaman penaung yang terlalu rimbun, sanitasi, menurunkan buah-buah hitam dan yang rusak. Tetapi dalam kenyataannya sulit sekali hal ini dilakukan. Sehingga penyuluhan dan pendampingan yang terus menerus menumbuhkan motivasi dan kesadaran perlu dilakukan. MASA DEPAN KAKAO SIKKA Kondisi real produksi kakao baik dalam jumlah dan mutu yang terus mengalami penurunan perlu dibenahi. Permasalahan yang dibidik oleh Tim Swisscontact LED NTT cukup mendalam dan dapat dijadikan pedagangan untuk ditindak lanjuti. Pendekatan yang dilakukan agar mengembalikan atau bahkan meningkatkan produktivitas kakao hingga mencapai kondisi stabil 600 kg/ha yang pernah dicapai atau bahkan mencapai produksi potensial (1,5 ton/ha) merupakan cita-cita yang memerlukan kerja keras. Pemda Sikka dewasa ini telah melakukan telahaan dan membuat keputusan untuk menggerakan ekonomi masyarakat dengan bekerja sama dengan semua pihak (swasta, gereja, maupun lembaga pemerintah lainnya) untuk mencari solusi dan tindak konkrit meningkatkab ekonomi masyarakat. Maka 2 aspek besar yang perlu dibenahi dan diterapkan yakni aspek teknis produksi dan aspek pembenahan mental, wawasan dan pengetahuan, ketrampilan. Sehingga 2 aspek pokok tersebut dinamakan aspek Hati dan Otak. Hati menyangkut mental, cara pandang, pengetahuan, motivasi, dan aspek teknis menyangkut hal ihwal teknis produksi kakao (Karina Kema,2007). Aspek teknis yang dibenahi yakni: i) peremajaan yakni replanting (tanam baru) pada tanaman yang tua dan sakit, atau peremajaan sambung samping (side graffting) atau sambung pucuk (chupon graffting) pada tanaman yang masih muda dan memiliki kambium yang masih baik. ii) untuk mengurangi resiko gagal produksi dan rendahnya harga disamping dari sisi konservasi lingkungan baik maka dianjurkan untuk diversifikasi usaha dengan ternak. Ternak yang dipelihara disesuaikan dengan daya dukung lahan, iii) manajemen produksi harus dijalankan sesuai anjuran (pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama penyakit, sanitasi) serta mengatur penaungan yang baik. Aspek non teknis merupakan pekerjaan yang cukup sulit. Pengetahuan, wawasan dan ketrampilan dapat dipelajari melalui pelatihan (sekolah lapang), magang dan kursus. Hal yang penting dari aspek ini adalah mengenai perilaku, motivasi dan keinginan untuk berubah dan maju. Pendampingan terus menerus yang tidak menimbulkan ketergantungan merupakan upaya yang harus terus dilakukan, menumbuhkan motivasi, harga diri dan prestise menjadi titik penting untuk membuat petani semakin lebih maju. Dengan kolaborasi kegiatan teknis dan non teknis yang melibatkan berbagai unsur kemasyarakatan diharapkan adanya pembenahan kegiatan pertanian khususnya komoditas kakao di Sikka menuju masyarakat yang hidupnya lebih baik (moret epan). Dalam tataran Sikka, epan (baik) tidak hanya dilihat dalam bidang materi saja tetapi juga dan terutama dalam bidang moral dan ekologi (Parera Viator,2007)
PENUTUP Gambaran produksi, mutu hasil dan pemasaran komoditas kakao di Sikka merupakan gambaran umum kondisi kakao di Flores dan di NTT umumnya. Pembenahan aspek teknis dan non teknis merupakan langkah konkrit untk memperbaiki produktivitas usahatani kakao di Sikka. Menerapkan aspek teknis dan non teknis tersebut merupakan pekerjaan besar sehingga kolaborasi berbagai pihak perlu dilakukan dan dibuat perencanaan kerja secara bersama-sama untuk efektifitas dan efisiensi. DAFTAR PUSTAKA Anonimous,2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sikka,2006. Laporan Tanaman Perkebunan di Kabupaten Sikka. Luas Areal, Jumlag tanaman dan Produksi. Karina Kema (Keuskupan Maumere),2007. Rencana Kerja Tim Karina Keuskupan Maumere bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sikka Parera Viator,2007. Pertanian Selaras Alam di Kabupaten Sikka. Paper lepas. Prawoto Adi A., dan Sri Sukamto, 2006. Laporan Hasil Evaluasi Pertanaman Kakao di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Swisscontact LED NTT,2006. Subsector Analysis and Design Intervention, The Case of Flores Cocoa. Repoort SC LED NTT, Ende. Swisscontanct LED NTT,2006. Mengenal Pasar Kakao Flores dari Dekat. Artikel Hasil Study Ranta Nilai Kakao Flores. Penyunting A. Lagur.Program Officer SC LED NTT, Ende.