KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN TERHADAP SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR Kondisi Umum Keuangan Kabupaten Kota di Jawa Timur
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan semakin besar. Implikasi dari penyerahan pelaksanaan sebagian tugas pemerintahan pusat ke daerah maka diperlukan
sumber-sumber pendapatan bagi daerah untuk
melaksanakan tugas pemerintahan. Semenjak tahun 2001, sumber-sumber pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur secara proporsional cenderung stagnan. Dari Tabel 31
terlihat bahwa untuk
membiayai tugas pemerintahan, sumber pendapatan masih mengandalkan dari Dana Perimbangan. Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, seiring dengan berbagai perubahan atas rumusan yang dipakai dalam alokasi Dana Perimbangan bagi pemerintah daerah oleh pusat, serta penilaian dari pemerintah pusat mengenai kemampuan keuangan Provinsi Jawa Timur, maka porsi Dana Perimbangan semakin lama-semakin turun. Namun penurunan sumber pendapatan ini, tidak diimbangi oleh kenaikan proporsi Penerimaan Asli Daerah yang sangat signifikan. Tabel 31 Rekapitulasi sumber-sumber pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN SISA ANGGARAN TAHUN LALU PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN PENERIMAAN LAINNYA PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH TOTAL PENDAPATAN DAERAH SISA ANGGARAN TAHUN LALU PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN PENERIMAAN LAINNYA PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH TOTAL PENDAPATAN DAERAH
Sumber : BPS Jawa Timur.
2001 265 368 609 812 256 816 9 368 355 169 197 509 635 15 384 543 10 658 874 772 Persentase (%) 2.49 7.62 87.89 1.85 0.14 100.00
TAHUN 2002 1 458 495 470 1 215 470 422 10 084 756 035 492 367 142 936 517 13 252 025 586
2003 1 511 977 180 1 382 479 953 11 318 086 600 696 401 894 3 766 483 14 912 712 110
11.01 9.17 76.10 3.72 0.01 100.00
10.14 9.27 75.90 4.67 0.03 100.00
117
Salah satu komponen sumber pendapatan daerah adalah Sisa Anggaran Tahun Lalu yang mempunyai pangsa 11,01 % pada tahun 2002 dan 10,14 % pada tahun 2003. Besarnya pangsa Sisa Anggaran Tahun Yang Lalu dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah mengindikasikan bahwa pengalokasian anggaran belum dilakukan secara tepat baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Dari sisi penerimaan,
pemerintah
daerah
belum
mempunyai
kemampuan
di
dalam
memproyeksikan besarnya penerimaan yang akan di terima dalam tahun berjalan sedangkan di sisi pengeluaran disebabkan oleh alokasi anggaran yang tidak tepat karena under estimate. Penyebab lain dari besarnya Sisa Anggaran Tahun Yang Lalu dikarenakan adanya transfer dana dari pemerintah pusat yang turun mendekati akhir tahun anggaran sehingga pemerintah daerah tidak bisa menggunakan dana tersebut pada tahun anggaran itu juga. Oleh sebab itu, transfer dana dari pusat tersebut akhirnya dibukukan pada sisi penerimaan dan akan dimanfaatkan pada tahun anggaran yang akan datang. Transfer dana dari pemerintah pusat yang sering turun pada akhir tahun anggaran contohnya adalah Dana Reboisasi. Tabel 32 Rekapitulasi Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN
2001 327 093 963 298 572 694 17 707 345 168 882 814 812 256 816 Persentase (%) 40.27 36.76 2.18 20.79 100.00
Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan PAD Lainnya Total Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan PAD Lainnya Total
Sumber : BPS Jawa Timur
TAHUN 2002 428 270 877 391 826 982 34 806 107 360 566 456 1 215 470 422 35.23 32.24 2.86 29.66 100.00
2003 546 496 458 467 533 481 43 660 055 324 789 959 1 382 479 953 39.53 33.82 3.16 23.49 100.00
.
Dari Tabel 32 terlihat bahwa Pajak Daerah memberikan kontribusi paling besar dalam PAD, diikuti oleh Retribusi Daerah, serta Penerimaan PAD Lainnya. Kontribusi dari Pajak dan Retribusi Daerah tahun 2003 apabila dibandingkan dengan tahun 2001 mengalami penurunan. Hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah
118
untuk meningkatkan
pendapatan pajak dan restribusi daerah adalah dengan
melakukan penyisiran wajib pajak daerah tanpa harus melakukan kenaikan tarif pajak atau restribusi daerah. Dengan jumlah wajib pajak daerah yang bertambah, maka pajak dan restribusi daerah akhirnya akan meningkat. Selain itu pengembangan potensi pajak/retribusi daerah harus disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak agar tidak berdampak negatif bagi ekonomi daerah (disintensif). Penyebab lainnya adalah beberapa pajak-pajak yang masih merupakan hak dari pemerintah pusat yang belum diserahkan kepada pemerintah daerah. Penerimaan Asli Daerah yang berasal dari Kontribusi dari Bagian Laba Usaha Daerah masih sangat kecil. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus melakukan optimalisasi atas kinerja perusahaan milik daerah (BUMD) di samping tugasnya sebagai penyedia barang publik di daerah. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah adalah, (1) masih adanya sumber pendapatan potensial yang masih dapat digali oleh pemerintah daerah tetapi masih belum dilakukan, (2) BUMD pada umumnya belum beroperasi secara efisien sehingga laba yang disumbangkan masih kecil, (3) kurangnya kesadaran masyarakat membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya, (4) rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat hal ini tercermin dari tingkat pendapatan masyarakat, dan (5) kurangnya kemampuan pemda dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada (BI Surabaya 2004). Lemahnya kinerja keuangan beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur disebabkan karena kurangnya kemampuan pemerintah daerah di dalam menggali potensi-potensi sumber pendapatan yang ada di daerahnya. Struktur perekonomian yang berbasis pada sektor pertanian juga salah satu kendala di dalam menggali sumber pendapatan daerah. Dari hasil analisis dengan menggunakan angka pengganda pajak, untuk sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertanian angka penggandanya tidak terlalu besar, sebagai contoh angka pengganda tertinggi pada pertanian adalah sektor perikanan dengan nilai 2.23, sedangkan angka pengganda pajak pada sektor unggulan yang terendah adalah pengilangan minyak sebesar 3.01 dan yang tertinggi adalah sektor pupuk, kimia, dan barang dari karet
119
sebesar 5.18. Untuk itu perlu dikembangkan sektor-sektor perekonomian lainnya yang dapat mendukung pendapatan daerah. Dana Perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah Jawa Timur secara nominal setiap tahun meningkat, namun proporsinya di dalam sumber pendapatan semakin menurun sebagaimana terlihat pada Tabel 33. Komponen-komponen dalam Dana Perimbangan yang paling besar adalah Dana Alokasi Umum diikuti oleh Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak, serta Dana Alokasi Khusus. Pada tahun 2001, pangsa dari Dana Perimbangan adalah sebesar 87.89%, pada tahun 2002 dan 2003 pangsanya terhadap seluruh total pendapatan menurun menjadi 76.10% dan 75.90%. Apabila dibandingkan dengan alokasi belanja daerah (rutin dan pembangunan), maka dana perimbangan ini hanya cukup untuk membiayai belanja rutin dimana pada tahun 2001 sampai dengan 2003 pangsanya adalah 77,12%, 69%, dan 72,87% dari total alokasi belanja daerah. Tabel 33 Rekapitulasi dana perimbangan kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Total Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Total
2001 790 498 973 90 513 837 8 432 930 820 54 411 539 9 368 355 169 Persentase (%) 8.44 0.97 90.02 0.58 100.00
TAHUN 2002 1 002 092 099 110 136 399 8 950 063 528 22 464 009 10 084 756 035
2003 1 229 504 035 114 412 271 9 808 870 531 165 299 763 11 318 086 600
9.94 1.09 88.75 0.22 100.00
10.86 1.01 86.67 1.46 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Yang termasuk Penerimaan Lainnya lainnya sebagai bagian dari pendapatan daerah adalah hasil penjualan milik daerah, penjualan barang-barang bekas, cicilan kendaraan bermotor roda empat atau roda dua, cicilan rumah yang dibangun oleh pemerintah, serta penerimaan jasa giro. Kontribusinya sebagai sumber pendapatan daerah tidak terlalu besar, namun setiap tahun semakin meningkat yaitu 1.85% pada tahun 2001, 3.72% pada tahun 2002, dan pada tahun 2003 sebesar 4.67%.
120
Sejalan dengan kewenangan pemerintah daerah yang lebih luas, diharapkan pemerintah daerah lebih mampu untuk menggali sumber-sumber pendapatan untuk melaksanakan pembangunan dan pemerintahan melalui PAD selain bantuan dari pemerintah pusat. Masalah yang timbul adalah, besarnya kewenangan yang timbul tersebut ternyata tidak sebanding lurus dengan kewenangan di bidang fiskal (Nababan 2005). Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan otonomi daerah yang berlaku sekarang ini, pemerintah daerah tetap tergantung kepada pemerintah pusat dari segi pendanaan. Bedanya dengan dulu, dana dari pemerintah pusat ke daerah sebagian besar dalam bentuk specific grant (SKO, Inpres, DA-SDO dll) namun dalam era otonomi daerah lebih ke arah block grant dalam bentuk DAU.
Keterkaitan Antara Anggaran Belanja Pembangunan dan Sektor Unggulan Fungsi utama dari aktivitas pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Menurut Saefulhakim (2004b), untuk mencapai hal tersebut maka aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan pemerintah dengan jalan melakukan (1) regulasi, tata aturan, penegakkan norma, dan pengawasan, (2) public facility provision, penyediaan fasilitas umum, artinya pemerintah sebagai koordinator pengadaan, dan (3) penentuan lokasi fasilitas umum yang tepat. Namun dalam pelaksanaannya, hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pemerintah adalah terbatasnya anggaran pemerintah (budget goverment) dan arah dari alokasi pengeluaran pemerintah itu sendiri (expenditure goverment). Instrumen yang dimiliki oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya adalah instrumen fiskal dan instrumen moneter. Karena instrumen moneter merupakan kewajiban dan tanggung jawab bank sentral maka pemerintah daerah hanya memiliki instrumen fiskal. Kebijakan fiskal mempunyai tiga tujuan (Due 1985), yaitu (1) menjamin bahwa laju pertumbuhan perekonomian yang sebenarnya menyamai laju pertumbuhan potensial dengan tetap mempertahankan kesempatan kerja penuh, (2) mencapai suatu tingkat harga umum stabil dan wajar, serta (3) meningkatkan laju pertumbuhan potensial.
121
Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah
harusnya
mengarahkan pengeluaran-pengeluarannya kepada sektor-sektor unggulan karena mempunyai nilai keterkaitan dan multiplier yang besar. Selain pemerintah, peran yang sangat diharapkan adalah dari investasi. Investasi yang mengarah kepada sektor unggulan juga akan meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian Jawa Timur. Secara faktual, nilai dari permintaan pemerintah di dalam perekonomian sangat kecil apabila dibandingkan dengan permintaan dari rumah tangga maupun ekspor. Sifat pengeluaran pemerintah ditinjau dari jenis belanjanya dapat dibagi dua, yaitu bersifat konsumtif (belanja rutin), dimana belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah digunakan untuk memenuhi keperluan dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan, seperti pembayaran gaji, pembelian ATK, pembayaran rekening listrik, telepon, maupun air minum,
serta pemeliharaan aset-aset pemerintah seperti
kendaraan dinas dan gedung perkantoran.
Tabel 34 Rekapitulasi belanja rutin dan pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur (000 Rp) URAIAN Belanja Rutin Belanja Pembangunan Total Belanja Rutin Belanja Pembangunan Total
2001 7 179 524 176 2 130 162 059 9 309 686 235 Persentase (%) 77.12 22.88 100.00
TAHUN 2002 7 910 113 545 3 554 018 213 11 464 131 758
2003 10 867 517 524 4 045 194 586 14 912 712 110
69.00 31.00 100.00
72.87 27.13 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Dari sisi belanja, pos paling besar mendapatkan alokasi dana adalah belanja rutin dibandingkan dengan belanja pembangunan. Semenjak tahun 2001 alokasi dana untuk belanja rutin setiap tahun cenderung menurun. Meningkatnya alokasi anggaran pada belanja pembangunan diharapkan dapat menggerakkan dan meningkatkan perekonomian Jawa Timur, karena belanja pembangunan yang cenderung bersifat investasi. Sebagaimana terlihat pada Tabel 34, pangsa belanja rutin pada tahun anggaran 2001 sebesar 77.12%, pada tahun 2002 turun menjadi sebesar 69%. Namun pada tahun 2003 alokasi belanja rutin kembali naik menjadi 72.87%.
122
Alokasi belanja rutin yang paling besar pada tahun anggaran 2003 adalah belanja pegawai yang mencapai 69.44% dari total alokasi belanja rutin, disusul kemudian oleh alokasi belanja barang sebesar 10.95%, serta belanja lain-lain sebesar 5,46%. Dari Tabel 35, terdapat kecenderungan penurunan porsi pada pos belanja pegawai, belanja lain-lain, dan angsuran pinjaman dari tahun anggaran 2001 sampai dengan 2003, namun pada pos belanja yang lain seperti belanja barang, belanja pemeliharaan, serta perjalanan dinas mengalami kenaikan. Belanja bantuan keuangan juga mengalami kenaikan yang sangat berarti pada tahun anggaran 2003. Tabel 35 Alokasi belanja rutin kabupaten/kota di Jawa Timur Persen (%) Belanja Rutin 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-Lain Angsuran Pinjaman Bantuan Keuangan Pengeluaran Lain-Lain Pengeluaran Tdk Disangka Jumlah Belanja Rutin
2001 78.32 7.20 1.60 0.58 8.15 1.05 1.16 1.30 0.64 100.00
Tahun 2002 72.69 9.08 2.20 0.82 9.60 0.82 1.39 2.08 1.32 100.00
2003 69.44 10.95 3.74 1.23 5.46 0.57 4.39 2.39 1.84 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur. Data diolah.
Komponen-komponen dalam belanja pembangunan pada tahun anggaran 2003 yang menerima alokasi dana terbesar adalah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika (23.32%), sektor pembangunan daerah dan transmigrasi (11.74%), sektor aparatur pemerintah dan pengawasan (14.37%) serta sektor pendidikan (10.31%). Sedangkan alokasi dana yang terkait dengan pembangunan perekonomian masih sangat minim seperti pada sektor pertanian dan kehutanan (4.60%), sektor industri (1.95%), sektor sumber daya air dan irigasi (4.71%), perdagangan (6.06 %) serta pertambangan dan energi (0.40%). Selama tahun anggaran 2001 – 2003, pengeluaran pembangunan terbesar adalah sektor transportasi, dimana dengan pengeluaran yang besar terhadap sektor ini
123
diharapkan dapat merangsang dan membantu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya yang sekaligus meningkatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan daerah. Sektor pertanian yang merupakan sektor basis sebagian besar kab/kota di Jawa Timur mendapat alokasi dana yang kecil. Alokasi dana untuk pembangunan yang terkait dengan sektor pertanian hanya sebesar 4,60% jauh di bawah alokasi dana untuk sektor aparatur pemerintah dan pengawasan (14,37%). Alokasi belanja untuk sektor ini dari tahun 2001 terus semakin menurun dari 5,2% pada tahun 2001 menjadi 4,48% pada tahun 2002. Tahun 2003, sektor ini naik sedikit menjadi 4,60%. Minimnya alokasi dana pada sektor pertanian mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah ke sektor ini sangat belum begitu tinggi. Tabel 36 Alokasi belanja pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur Persen (%) Belanja Pembangunan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Industri Pertanian dan Kehutanan Sumberdaya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan Transportasi, Meteorologi, dan Geofisika Pertambangan dan Energi Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Pembangunan Daerah & Transmigrasi Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan, dan Kepercayaan Kepada Tuhan YME Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, dan Peranan Wanita Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Belanja Pembangunan
2001 0.87 5.20 4.54 0.52 5.92 22.87 0.34 0.81 12.80 2.48 9.63 0.64 8.23 4.75 1.84 1.92 0.42 13.49 1.00 0.44 1.30 100.00
Tahun 2002 1.07 4.48 5.09 0.68 8.64 20.81 0.37 1.06 13.96 3.34 10.21 0.81 7.01 3.27 1.69 1.66 0.45 13.54 0.80 0.40 0.66 100.00
2003 1.95 4.60 4.71 0.63 6.06 23.32 0.40 1.24 11.74 2.41 10.31 0.75 6.82 4.17 1.85 2.10 0.53 14.37 1.32 0.41 0.33 100.00
Sumber : BPS Jawa Timur . Data diolah.
Alokasi belanja pembangunan yang sangat besar kepada sektor aparatur pemerintah dan pengawasan disebabkan karena sektor ini menampung semua keperluan untuk biaya pembelian kendaraan dinas, renovasi/perbaikan kantor maupun
124
rumah dinas. Selain itu, sektor ini juga digunakan untuk proyek-proyek pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintah. Dari Tabel 36 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alokasi belanja pemerintah daerah terhadap sektor unggulan sama sekali tidak terkait. Hal ini terlihat dari rendahnya alokasi belanja pembangunan yang diarahkan kepada sektor industri, sektor pertanian, dan sektor pariwisata. Alokasi belanja pembangunan ke sektor industri dari tahun 2001 s.d. 2003 tidak lebih dari 2%. Hal ini mengindikasikan bahwa peran pemerintah daerah dalam perekonomian di Jawa Timur sudah mulai berkurang dan sudah melepaskannya ke tangan swasta dan rumah tangga. Demikian halnya alokasi belanja pembangunan terhadap sektor pariwisata sebagai penunjang sektor restoran belum mendapatkan alokasi
yang memadai.
Terhadap sektor perdagangan, alokasi belanja pemerintah daerah di Jawa Timur sudah sedikit terkait. Walaupun tidak mendapatkan alokasi belanja yang sangat besar namun pangsanya sekitar 6% pada tahun 2003, kedua terbesar setelah sektor transportasi, geofisika, dan meteorologi. Peran pemerintah Jawa Timur dari alokasi belanja pembangunan tahun 2000 s.d. 2003 lebih mengarah kepada penyediaan barang-barang publik seperti infrastruktur jalan serta pembangunan manusia. Dengan ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai, maka para investor akan menanamkan investasi di Jawa Timur. Namun, investasi yang akan dilaksanakan harus mengarah kepada sektor unggulan di Jawa Timur. Soebeno (2005), menyatakan bahwa pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi tercapainya pembangunan manusia karena dengan pembangunan ekonomi terjamin peningkatan prokdutivitas dan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja. UNDP (1996) dalam Soebeno (2005), juga menyatakan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia bersifat timbal balik. Artinya, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia. Akan tetapi hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak bersifat otomatis. Hubungan yang tidak otomatis ini sesungguhnya merupakan tantangan bagi pelaksana pemerintah
untuk merancang kebijakan yang mantap,
125
sehingga hubungan antara pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi saling memperkuat bukan saling memperlemah. Tabel 37 menunjukkan bahwa alokasi belanja pemerintah baik belanja rutin maupun belanja pembangunan, sama sekali tidak terkait dengan peningkatan PDRB Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa, belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sangat sedikit bahkan tidak memberi kontribusi yang nyata terhadap pembangunan perekonomian Jawa Timur. Ketidakterkaitan
ini juga
mengindikasikan bahwa alokasi yang belanja dilakukan tidak tepat jumlah dan tempatnya (sektor). Pencapaian target-target pembangunan yang akan dicapai oleh pemerintah seperti pertumbuhan perekonomian belum implementasi lebih lanjut dalam pelaksanaannya yang ditunjukkan oleh alokasi belanja pemerintah daerah yang berbeda faktor komponen utama-nya.
Tabel 37 Hasil PCA keterkaitan antara belanja APBD kabupaten/kota terhadap perekonomian di Jawa Timur VARIABEL Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Belanja Rutin Belanja Industri Bel. Pertanian, kehutanan, sumber daya air, dan irigasi Bel. Perdagangan dan Transportasi Bel. Pembangunan Daerah dan Aparatur Pemerintah Bel.Pertambangan Energi Expl.Var Prp.Totl
Commun ality 0.7385 0.0831 0.9305 0.7208 0.6337 0.9818 0.8767 0.9696 0.8258 0.7491 0.8944 0.3889 0.9421 0.9120 0.8716 0.768
FL 1 -0.349 0.051 0.961 0.064 0.310 0.844 0.400 0.950 0.367 0.165 0.060 -0.246 0.106 0.021 0.006 3.161 0.211
FL 2 -0.208 -0.042 -0.066 0.030 0.117 0.094 0.184 0.003 0.428 0.701 0.943 0.548 0.956 0.904 0.933 4.572 0.305
FL 3 -0.757 -0.281 0.051 0.846 0.724 0.510 0.826 0.259 0.713 0.480 -0.033 0.168 0.128 0.308 0.040 3.786 0.252
Hal lain yang menyebabkan alokasi belanja pemerintah yang lemah keterkaitannya terhadap perekonomian di Jawa Timur disebabkan karena alokasi belanja lebih banyak kepada belanja rutin yang mendapat alokasi lebih dari 72%.
126
Sedangkan belanja pembangunan yang sifatnya investasi hanya mendapatkan sisanya. Besarnya alokasi belanja rutin terutama untuk pos belanja pegawai dan belanja perjalan menyebabkan uang yang keluar dari kas daerah tidak berputar ke masyarakat, namun hanya dinikmati oleh segolongan orang tertentu saja. Problem lain yang dihadapi dalam alokasi belanja pembangunan adalah tidak semua alokasi belanja pembangunan untuk keperluan publik, seperti alokasi untuk aparatur pemerintah dan pengawasan. Padahal sektor tersebut mendapatkan alokasi dana yang terbesar kedua setelah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika. Oleh sebab itu, secara umum dapat dinyatakan bahwa alokasi anggaran pada kabupaten/kota di Jawa Timur masih belum berpihak kepada publik atau kesejahteraan masyarakat. Indikasinya adalah besarnya alokasi belanja rutin dan alokasi belanja pembangunan kepada sektor aparatur pemerintah.
Kelembagaan dalam Penyusunan APBD Lemahnya keterkaitan antara pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan perekonomian mengindikasikan lemahnya peran kelembagan di dalam perencanaan pembangunan di daerah. Akibatnya, keputusan yang diambil di dalam melaksanakan kegiatan
yang tercermin di dalam alokasi anggaran tidak memberikan manfaat
yang besar bagi masyarakat. Pada sektor ekonomi, alokasi anggaran tidak mengarah kepada sektor-sektor perekonomian yang tepat maka manfaat yang ditimbulkannya kecil sehingga tidak ada keterkaitannya. Sebelum era otonomi daerah, pedoman di dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (P5D). Peraturan tersebut merupakan dasar dari dilakukannya Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Berdasarkan peraturan tersebut,
perencanaan
dilakukan secara berjenjang dari bawah ke atas (bottom up), yaitu dari mulai tingkat desa sampai dengan tingkat kelurahan. Dalam pertemuan Musbangdes tersebut, sebetulnya diharapkan terjadi adanya interaksi antar pelaku pembangunan dan penerima manfaat hasil pembangunan yang
127
berada di daerah. Dalam Musbangdes, masyarakat desa atau kelurahan selaku penerima manfaat langsung dari pembangunan seharusnya turut berpartisipasi menentukan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan dan mengetahui dampak yang akan ditimbulkan. Pertemuan tersebut sebenarnya sangat ideal dan memadai namun dalam pelaksanaannya hak dan partisipasi masyarakat hanya diwakili oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sedangkan Rakorbang yang berada di Dati II umumnya hanya diikuti oleh aparat pemerintah dan perwakilan DPRD yang biasanya diwakili oleh anggota panitia anggaran dan tidak ada keterlibatan masyarakat di dalam proses perencanaan pembangunan selanjutnya (Bratakusumah 2003). Yang diharapkan di dalam Rakorbang sebenarnya adalah adanya pemaduserasian antara pendekatan top down yang dimiliki oleh pemerintah dengan bottom up yang dimiliki masyarakat hasil usulan dari Musbangdes. Karena tidak adanya wakil dari masyarakat dalam pelaksanaan Rakorbang, maka usulan-usulan yang berasal dari masyarakat biasanya tidak tersampaikan. Oleh sebab itu, perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat
maupun pemerintah daerah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibat yang ditimbulkannya adalah terjadi kemubaziran di dalam mengalokasikan anggaran sehingga seperti yang terlihat pada analisis sebelumnya bahwa alokasi anggaran tidak terkait dengan pembangunan perekonomian di Jawa Timur. Dari uraian di atas, maka perlu adanya reformasi kelembagaan dalam perencanaan pembangunan. Kelembagaan dalam perencanaan pembangunan terdiri dari dua pihak, yaitu masyarakat dan pemerintah daerah (eksekutif). Peran masyarakat di dalam perencanaan pembangunan bisa dilakukan dengan jalan memberikan aspirasinya secara langsung maupun melalui perwakilan di DPRD. Peran aktif masyarakat di dalam memberikan aspirasinya bisa dilakukan melalui pertemuan Musbangdes maupun dari forum-forum lainnya seperti media massa. Sedangkan aspirasi yang melalui DPRD dilakukan melalui mekanisme Jaring Asmara (menjaring aspirasi masyarakat). Namun tidak ada jaminan bahwa apa yang telah disampaikan kepada anggota dewan akan memperoleh tanggapan yang baik,
128
karena anggota dewan biasanya turun ke daerah konstituennya saja sehingga aspirasi yang terserap tidak dapat diperoleh secara komprehensif. Oleh sebab itu perlu adanya pembenahan di dalam sistem kelembagaan. Kelembagaan juga berarti aturan main (rule of the game). Salah satu hal yang harus dilakukan juga adalah perbaikan di dalam sistem dan mekanisme perencanaan anggaran, sehingga perencanaan anggaran dilakukan secara transparan, terukur, dan sesuai dengan tujuannya. Peran kepala daerah juga sangat menentukan di dalam memberikan arah dan prioritas anggaran. Kepala daerah dengan perannya sebagai pemimpin dengan wawasan yang luas dan berpihak kepada publik akan lebih memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat di daerahnya. Kerjasama yang serasi antara DPRD dan eksekutif di daerah sangat diperlukan untuk
sehingga arah pembangunan dapat
terarah. Kepala daerah sebagai penerima mandat dari masyarakat dalam melaksanakan tugasnya akan diawasi oleh DPRD sebagai wakil rakyat. Inti dari perubahan paradigma penyusunan anggaran yang dulu bersifat top down menuju participatory budgeting system adalah kemauan dari unsur-unsur kelembagaan di daerah itu sendiri untuk merubah sikapnya, lembaga yang paling terkait tentunya adalah DPRD dan pihak eksekutif. Esensi dari otonomi daerah itu sendiri sebenarnya bukan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, namun lebih dari itu adalah berusaha mendekatkan pemerintah dengan masyarakat. Dari uraian di atas, maka wujud dari perubahan kelembagaan yang harus dilakukan adalah : 1.
meningkatkan kapasitas peran serta masyarakat di dalam memberikan arahan perencanaan pembangunan daerah, baik di bidang ekonomi, sosial, dan sebagainya.
2.
perbaikan sistem dan mekanisme perencanaan serta pembagian tugas yang jelas antara eksekutif dan legislatif sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
3.
peningkatan kapasitas pimpinan kepala daerah yang prioritas pembangunan daerahnya.
mampu mengarahkan