KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR KABUPATEN BOGOR
Oleh : PUTRA FAJAR PRATAMA A14304081
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
PUTRA FAJAR PRATAMA. Keterkaitan antara Karakteristik dengan Kesejahteraan Rumah Tangga di Wilayah Pembangunan Bogor Timur Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 20042009, dinyatakan bahwa masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya masalah sosial yang mendasar. Dalam RJPM tahun 2004-2009 ini, penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas kebijakan yang utama yang tertuang dalam arah kebijakan pembangunan pemerintah. Upaya penanggulangan kemiskinan ini terkait dengan sasaran utama pembangunan nasional yaitu menurunnya persentase jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Selama ini kesejahteraan masyarakat dinilai memiliki dimensi yang luas dan kompleks sehingga hanya dapat terlihat dari suatu aspek tertentu. Salah satu aspek yang cukup relevan dalam mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat ialah kondisi kemiskinan. Selama ini kondisi kemiskinan menggambarkan suatu kondisi kesejahteraan yang rendah. Jika dilihat dari sisi jumlah penduduk miskin di Indonesia, terdapat fluktuasi dalam hal persentase jumlah penduduk miskin di wilayah desa dan kota. Untuk melihat kondisi kemiskinan rumah tangga yang merupakan salah satu alat ukur kesejahteraan, diperlukan suatu kriteria tertentu. Diperlukan suatu indikator sosial maupun ekonomi untuk menggambarkan keadaan kemiskinan suatu rumah tangga. Selama ini Badan Pusat Statistik mencoba untuk melihat kondisi kemiskinan dengan menggunakan 14 kriteria. Variabel-variabel dalam kriteria tersebut menggambarkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang dikenal dengan karakteristik rumah tangga. Nilai Indeks Pembangunan Manusia yang rendah di wilayah Bogor Timur ini mengisyaratkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan di wilayah Bogor Timur. Rendahnya IPM Bogor Timur juga mengindikasikan suatu ketidakmerataan pendapatan per kapita karena PDRB per kapita yang tinggi di wilayah ini. Permasalahan di segala aspek terkait dengan kesejahteraan tersebut harus ditanggulangi dengan strategi yang sesuai dengan permasalahan yang menjadi prioritas di suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur, (2) menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur, dan (3) menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Model persamaan struktural digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Dengan model persamaan struktural, dapat dianalisis pengaruh serta hubungan antar variabel laten dan variabel manifesnya. Penentuan strategi prioritas penanggulangan kemiskinan dianalisis dengan menggunakan Proses Hirarkhi Analitik (PHA). Dengan PHA, dapat dianalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan yang paling utama di wilayah pembangunan Bogor Timur beserta strategi prioritasnya.
Kecamatan yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi merupakan kecamatan yang didominasi oleh sektor pertanian yaitu Kecamatan Jonggol, Cariu, dan Tanjungsari. Kecamatan yang didominasi oleh sektor industri memiliki persentase rumah tangga miskin yang rendah yaitu Kecamatan Gunungputri dan Cileungsi. Sebanyak 3.210 rumah tangga di Bogor Timur merupakan rumah tangga miskin dari 20.817 rumah tangga sampel. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor non-pertanian untuk rumah tangga tidak miskin relatif lebih baik dibandingkan rumah tangga yang tergolong miskin. Rumah tangga pertanian yang tidak miskin tidak lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga yang tergolong miskin. Berdasarkan analisis model pengukuran, seluruh variabel manifes berpengaruh nyata dan berhubungan positif terhadap variabel laten yang ada. Variabel karakteristik pendidikan memiliki nilai pengaruh yang positif terhadap variabel karakteristik pendapatan. Artinya kepala rumah tangga yang tamat sekolah dasar (SD) cenderung memiliki pendapatan dari sektor pekerjaan utama yang lebih dari 600 ribu rupiah. Variabel karakteristik pekerjaan memiliki nilai pengaruh yang positif terhadap variabel karakteristik pendapatan. Artinya apabila kepala rumah tangga bekerja di sektor non-pertanian maka kepala rumah tangga tersebut cenderung memiliki pendapatan dari sektor pekerjaan utama yang lebih dari 600 ribu rupiah. Nilai pengaruh karakteristik pendapatan terhadap kesejahteraan rumah tangga bernilai positif. Artinya jika kepala rumah tangga berpendapatan lebih besar dari 600 ribu rupiah maka peluang suatu rumah tangga untuk dikategorikan tidak miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil PHA, terlihat bahwa faktor yang utama dalam menyebabkan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur ialah rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Bogor Timur. Strategi prioritas dalam menanggulangi kemiskinan di Bogor Timur ialah dengan meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan kursus dan pelatihan. Untuk wilayah Bogor Timur, program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang persentase rumah tangga miskinnya tinggi. Wilayah tersebut mencakup kecamatan-kecamatan yang sebagian besar kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian seperti Kecamatan Tanjungsari, Cariu, Jonggol, dan Sukamakmur. Selain itu, aspek kursus dan pelatihan hendaknya menjadi prioritas utama dalam program penanggulangan kemiskinan. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih mandiri dan tidak bergantung pada subsidi langsung dari pemerintah. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan pendapatan di wilayah pembangunan Bogor Timur.
KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR KABUPATEN BOGOR
Oleh: PUTRA FAJAR PRATAMA A14304081
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
: Keterkaitan antara Karakteristik dengan Kesejahteraan Rumah Tangga di Wilayah Pembangunan Bogor Timur Kabupaten Bogor
Nama
: Putra Fajar Pratama
NRP
: A14304081
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN
INI
SAYA
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BERJUDUL “KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH
DITULIS
ATAU
DITERBITKAN
OLEH
PIHAK
LAIN
KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
Juni 2008
Putra Fajar Pratama A14304081
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Putra Fajar Pratama, dilahirkan pada 19 Juli 1986 di Bogor sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Winarto Budiyo Pratomo, B.Sc dan Ir. Endang Dwi Hastuti, MM. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Polisi V Bogor. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 5 Bogor dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 2 Bogor pada tahun 2004. Selama menempuh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif pada berbagai organisasi, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai kegiatan kepanitiaan. Selain itu penulis juga aktif dalam UKM Bola Basket Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta alam atas seluruh nikmat, anugerah, berkat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitiannya. Penelitian ini berjudul “Keterkaitan antara Karakteristik dengan Kesejahteraan Rumah Tangga di Wilayah Pembangunan Bogor Timur Kabupaten Bogor”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis keterkaitan antara karakteristik
dan
kesejahteraan
rumah
tangga
serta
strategi
prioritas
penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah bagi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................ 1.5 Ruang Lingkup Peneltian....................................................................
1 1 5 8 8 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kesejahteraan Rumah Tangga .................................................................................... 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kemiskinan....................... 2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Model Persamaan Struktural. 2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Proses Hirarkhi Analitik .......
10 10 12 18 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 3.1.1 Konsep Kesejahteraan............................................................... 3.1.2 Konsep Kemiskinan .................................................................. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .....................................................
21 21 21 25 33
IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 4.1 Waktu dan Wilayah Penelitian.......................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................. 4.4 Definisi Operasional..........................................................................
37 37 37 40 60
V.
KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR ................................................... 5.1 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga...................................................................... 5.2 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Pendapatan Kepala Rumah Tangga...................................................................... 5.3 Karakteristik Perumahan................................................................... 5.3.1 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Jenis Lantai Rumah ................................................................... 5.3.2 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Jenis Dinding Rumah ................................................................ 5.3.3 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Sumber Air Minum ................................................................... 5.3.4 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Sarana Buang Air Besar ............................................................
61 63 64 65 65 66 67 68
ii
5.3.5 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Jenis Bahan Bakar untuk Memasak .......................................... 5.3.6 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Sumber Penerangan................................................................... 5.3.7 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Luas Lantai Rumah ................................................................... 5.4 Karakteristik Ekonomi ....................................................................... 5.4.1 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Frekuensi Pembelian Pakaian dalam Setahun........................... 5.4.2 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari................................................. 5.4.3 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Frekuensi Pembelian Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu........................................................................ 5.5 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Kepemilikan Aset............................................................................... 5.6 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Kemampuan Berobat...........................................................................
69 70 71 73 73 74
75 76 79
VI. KETERKAITAN KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR ................................................................................... 80 6.1 Analisis Model Struktural ................................................................. 80 6.2 Dekomposisi Pengaruh ..................................................................... 84 6.2.1 Hubungan antara Karakteristik Pendidikan dan Pendapatan .... 86 6.2.2 Hubungan antara Karakteristik Pekerjaan dan Pendapatan ...... 88 6.2.3 Hubungan antara Karakteristik Pendapatan dan Kesejahteraan Rumah Tangga .......................................................................... 89 VII. STRATEGI PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR......................... 7.1 Faktor Utama Penyebab Kemiskinan................................................ 7.2 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan di Bogor Timur...... 7.2.1 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Ketimpangan Pembangunan di Bogor Timur ........................... 7.2.2 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Kurangnya Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Umum ...... 7.2.3 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia di Bogor Timur..... 7.2.4 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Seluruh Faktor Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur............ 7.3 Sub-strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan di Bogor Timur
91 91 92 92 93 94 95 96
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 99 8.1 Kesimpulan ....................................................................................... 99 8.2 Saran.................................................................................................. 99 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 101 LAMPIRAN..................................................................................................... 104
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Sumbangan Kelompok Pengeluaran terhadap Inflasi Nasional Oktober 2007 .......................................................................
3
2. PDRB per kapita Kabupaten Bogor Tahun 2005 (juta Rupiah)......................
5
3. Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah Pembangunan di Kabupaten Bogor Tahun 2005 ....................................................................
6
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian ..................................................................... 40 5. Matriks Perbandingan Berpasangan dalam PHA............................................ 53 6. Skala Dasar Perbandingan pada PHA ............................................................. 54 7. Matriks Pendapat Gabungan ........................................................................... 55 8. Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 2 sampai 8 ...................................... 57 9. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Miskin di Bogor Timur Tahun 2006 ...................................................................................................... 62 10.Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga (persen) ............................. 63 11. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Pendapatan Kepala Rumah Tangga (persen) ............................. 65 12. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Jenis Lantai Rumah (persen)...................................................... 66 13. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Jenis Dinding Rumah (persen)................................................... 67 14. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Sumber Air Minum (persen)...................................................... 68 15. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Sarana Buang Air Besar (persen)............................................... 69 16. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar untuk Memasak (persen)............................. 70
iv
17. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Sumber Penerangan (persen) .................................................... 71 18. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Luas Lantai Rumah (persen)..................................................... 72 19.Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Frekuensi Pembelian Pakaian Baru dalam Setahun (persen)..... 73 20. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari (persen) .................................. 74 21. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Frekuensi Pembelian Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu (persen).......................................................................................................... 76 22. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Emas (persen)...................................................... 76 23. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Televisi (persen).................................................. 77 24. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Kulkas/Mesin Cuci (persen)................................ 77 25. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Sepeda Motor (persen) ........................................ 78 26. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kemampuan Berobat (persen) .................................................. 79 27. Ukuran Kebaikan Suai Model menurut Absolute Fit Measures ................... 82 28. Ukuran Kebaikan Suai Model menurut Incremental Fit Measures.............. 83 29. Ukuran Kebaikan Suai Model menurut Parsimonious Fit Measures ........... 83 30. Hubungan Variabel Manifes dengan Karakteristik Rumah Tangga ............. 86 31. Faktor Utama Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur.................................. 92 32. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Ketimpangan Pembangunan di Bogor Timur ............................................... 93 33. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Kurangnya Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Umum .......................... 94
v
34. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia di Bogor Timur......................... 95 35. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Seluruh Faktor Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur................................ 96 36. Sub-strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Seluruh Faktor Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur................................ 97
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996-2007...........
4
2. Lingkaran Setan Kemiskinan ......................................................................... 28 3. Hipotesis U Terbalik dari Kuznets................................................................. 32 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................... 36 5. Proses Pengolahan Data SUSEDA 2006........................................................ 39 6. Model Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Pendekatan SEM................... 49 7. Urutan Prioritas Strategi Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan PHA.... 59 8. Diagram Lintas Model Kesejahteraan Rumah Tangga .................................. 81
vii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Variabel yang Diolah dalam Model Persamaan Struktural.......................... 100 2. Output LISREL ............................................................................................. 102 3. Uji Reliabilitas dan Variance Extracted ...................................................... 106 4. Daftar Indikator Kesejahteraan Rakyat menurut BPS ................................. 107 5. Indikator Kemiskinan menurut BPS ............................................................ 109 6. Kuesioner Penelitian .................................................................................... 110 7. Output PHA.................................................................................................... 115
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Salah satu indikator yang menunjukkan adanya suatu pembangunan di
suatu negara ialah pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan ketiga tahun 2007, Produk Domestik Bruto Indonesia mengalami peningkatan sebesar 6,3 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2006. Menurut Tambunan (2003), pertumbuhan ekonomi dapat memberikan efek dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan upah/pendapatan dari kelompok miskin. Dengan
semakin
membaiknya
aspek-aspek
perekonomian,
diharapkan
kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Salah satu tujuan yang terdapat dalam Millenium Development Goals (MDG) 1 ialah untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Upaya tersebut berbentuk penurunan proporsi masyarakat yang kelaparan dan berpendapatan kurang dari satu dolar per hari serta meningkatkan kesempatan kerja masyarakat. Upaya penurunan tingkat kemiskinan dalam MDG merupakan fokus utama selain pembangunan ekonomi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2 tahun 20042009, juga dinyatakan bahwa rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya masalah sosial. Dalam RPJM tahun 2004-2009 ini, penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas kebijakan yang utama yang tertuang dalam arah kebijakan pembangunan pemerintah. Upaya penanggulangan kemiskinan ini terkait dengan sasaran utama 1
United Nations. 2008. UN Millennium Development Goals. www.un.org Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009. www.bappenas.go.id 2
2
pembangunan nasional yaitu menurunnya persentase jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Selama ini pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari unsur ketidakpastian dalam perekonomian nasional dalam periode-periode tertentu. Ketidakpastian perekonomian tersebut salah satunya berupa krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 yang telah mempengaruhi daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, harga minyak dunia yang terus berfluktuasi juga mempengaruhi harga BBM di Indonesia sehingga memicu kenaikan harga makanan dan non-makanan. Adanya inflasi ini akan mempengaruhi daya beli serta kesejahteraan masyarakat. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan
peranan
komoditi
bukan
makanan
(perumahan,
sandang,
pendidikan, dan kesehatan). Berdasarkan data BPS (2007), dalam rentang waktu Februari 2005 sampai Maret 2006, terjadi peningkatan Garis Kemiskinan sebesar 18,39 persen yang sebagian besar dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan Makanan. Tabel 1 memperlihatkan data sumbangan kelompok pengeluaran terhadap inflasi nasional. Dari Tabel 1 terlihat bahwa bahan makanan sangat berkontribusi terhadap inflasi yang terjadi. Hal ini berimplikasi bahwa makanan terbukti berpengaruh terhadap peningkatan garis kemiskinan yang sebagian besar dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan Makanan. Selama ini kesejahteraan masyarakat dinilai memiliki dimensi yang luas dan kompleks. Berbagai badan dan lembaga yang fokus terhadap masalah kesejahteraan telah berupaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan dengan
3
berbagai indikator sosial dan ekonomi. Keragaman indikator sosial dan ekonomi ini mengakibatkan kesejahteraan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Tabel 1. Sumbangan Kelompok Pengeluaran terhadap Inflasi Nasional Oktober 2007 Kelompok pengeluaran 1. Bahan makanan 2. Makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 3. Perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 4. Sandang 5. Kesehatan 6. Pendidikan, rekreasi, dan Olahraga 7. Transpor, komunikasi, dan jasa keuangan UMUM Sumber : BPS (2007)
Sumbangan terhadap inflasi (persen) 0,44 0,08 0,05 0,11 0,02 0,01 0,08 0,79
Salah satu aspek yang cukup relevan dalam mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat ialah kondisi kemiskinan. Selama ini kondisi kemiskinan menggambarkan suatu kondisi kesejahteraan yang rendah. Jika dilihat dari sisi jumlah penduduk miskin di Indonesia, terdapat fluktuasi dalam hal persentase jumlah penduduk miskin di wilayah desa dan kota. Pada tahun 1998, terjadi peningkatan persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun tersebut. Dalam rentang waktu setelah tahun 1998, jumlah penduduk miskin di Indonesia relatif mengalami trend yang menurun. Apabila dibedakan menurut wilayah desa dan kota, persentase jumlah penduduk miskin di kedua wilayah tersebut juga memiliki trend yang menurun dengan rata-rata persentase yang lebih tinggi untuk wilayah desa. Gambar 1 memperlihatkan persentase jumlah
4
penduduk miskin di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1996 sampai tahun 2007.
Persentase 30 25 20 15 10 5 0 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun kota
desa
kota+desa
Sumber : BPS (2007) Gambar 1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996 – 2007 Meskipun dalam beberapa tahun terakhir kemiskinan mempunyai kecenderungan menurun, namun bukan berarti strategi penanggulangan beserta program-program penanggulangan kemiskinan telah berjalan dengan baik. Program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah selama ini baik pusat maupun daerah masih mengalami kendala dalam penerapannya. Selama ini program penanggulangan kemiskinan hanya dilihat dari sebuah proyek dan juga hanya dipandang dari sisi ekonominya saja. Selain itu masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek dan penerima pasif dari program sehingga bertentangan terhadap prinsip partisipasi, dan penghargaan hak masyarakat 3.
3
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2007. Kajian dan Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor 2008-2012, halaman 19.
5
1.2.
Perumusan Masalah Bogor Timur merupakan salah satu bagian dari wilayah pembangunan
Kabupaten Bogor. Ruang lingkup wilayah Bogor Timur mencakup tujuh kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Gunungputri, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Jonggol, Kecamatan Klapanunggal dan Kecamatan Cariu. Sektor utama yang berkembang di Bogor Timur ialah sektor industri. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor tahun 2006, terdapat 246 perusahaan industri besar dan sedang di Bogor Timur yang sebagian besar terdapat di Kecamatan Cileungsi dan Kecamatan Gunungputri. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Bogor Timur terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data PDRB per kapita pada tahun 2005 di kabupaten Bogor, terlihat bahwa wilayah pembangunan Bogor Timur memiliki PDRB per kapita yang terbesar dibandingkan wilayah Bogor Barat maupun Bogor Tengah. Dalam hal ini, rata-rata PDRB per kapita pada wilayah Bogor Timur dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Bogor Tengah dan delapan kali lebih besar dibandingkan dengan wilayah Bogor Barat. PDRB per kapita yang tinggi di wilayah pembangunan Bogor Timur disebabkan oleh sektor industri yang berkembang di wilayah tersebut. PDRB per kapita Kabupaten Bogor berdasarkan wilayah pembangunan pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 diperlihatkan oleh Tabel 2. Tabel 2. PDRB per kapita Kabupaten Bogor Tahun 2005 (juta Rupiah) Tahun Kab Bogor 2002 5,346 2003 5,403 2004 5,500 2005 5,618 Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2007)
Barat 1,702 1,697 1,689 1,634
Tengah 5,157 5,242 5,248 5,399
Timur 13,124 12,819 13,270 13,573
6
Dengan PDRB per kapita yang tinggi ternyata masih terdapat ketimpangan di Bogor Timur dibandingkan dengan wilayah Bogor Barat dan Bogor Tengah. Ketimpangan ini berupa rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Bogor Timur. Dalam hal ini, wilayah Bogor Timur memiliki IPM yang terendah di Kabupaten Bogor yaitu 67,29. Salah satu komponen dalam IPM tersebut ialah pengeluaran per kapita (purchasing power parity). Berdasarkan pengeluaran per kapita, terlihat bahwa Bogor Timur mempunyai pengeluaran per kapita yang paling rendah dibandingkan dua wilayah pembangunan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada multiplier effect dari PDRB per kapita kepada masyarakat di wilayah Bogor Timur. Hal ini juga memperlihatkan adanya ketidakmerataan PDRB per kapita di wilayah Bogor Timur. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi kesenjangan pendapatan di wilayah tersebut. Selain itu, multiplier effect yang rendah dari PDRB per kapita di wilayah Bogor Timur kepada masyarakat dapat menjadi salah satu penyebab adanya kondisi kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur khususnya kemiskinan pada tingkat rumah tangga. Angka IPM beserta komponennya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah Pembangunan di Kabupaten Bogor Tahun 2005 Wilayah Pembangunan Bogor Barat Bogor Tengah Bogor Timur Kabupaten Bogor
AKB
AHH
49,64 39,02 43,50
65,25 68,61 66,64
42,42
67,10
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2007)
AMH 93,67 96,35 90,07 93,91
RLS 6,01 7,77 6,12 6,69
PPP 556,75 560,35 554,5 556,75
IPM 67,41 71,45 67,29 68,99
7
Informasi tentang jumlah rumah tangga, komposisi rumah tangga dan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi sangat diperlukan dalam melihat kondisi kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan data rumah tangga, BPS telah melakukan pendataan rumah tangga baik dalam Sensus Penduduk, Supas maupun Susenas. Pada akhir tahun 2005 telah dilakukan pendataan khusus rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 indikator kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan berbagai program pelayanan dasar tersebut. Data rumah tangga yang dikumpulkan BPS biasanya mencakup data rumah tangga dan data anggota rumah tangga (individu) 4. Karakteristik rumah tangga digunakan sebagai indikator sosial ekonomi karena dianggap paling tepat dalam melihat kondisi apakah suatu rumah tangga tersebut miskin atau tidak. Selain itu, penggunaan pendekatan karakteristik rumah tangga juga dimaksudkan untuk lebih memahami karakteristik penduduk miskin sehingga mengacu pada permasalahan riil yang dihadapi masyarakat miskin. Karakteristik rumah tangga tersebut diklasifikasikan lagi menurut keterkaitan antara
variabel-variabel
tersebut
seperti
karakteristik
ketenagakerjaan,
karakteristik perumahan, karakteristik pendidikan, dan karakteristik ekonomi. Permasalahan di segala aspek terkait dengan kesejahteraan dan kemiskinan tersebut harus ditanggulangi dengan strategi yang sesuai dengan permasalahan yang menjadi prioritas di suatu wilayah . Untuk itu diperlukan strategi prioritas penanggulangan kemiskinan agar permasalahan kemiskinan dapat diatasi secara berkelanjutan di wilayah pembangunan Bogor Timur.
4
Badan Pusat Statistik. 2008. Kegunaan Data Rumah Tangga. www.statistikindonesia.com
8
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur yang mempunyai PDRB per kapita tinggi namun IPM-nya rendah? 2. Apakah karakteristik rumah tangga terkait langsung dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur? 3. Apa
saja
upaya
untuk
menanggulangi
kemiskinan
di
wilayah
pembangunan Bogor Timur?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ialah : 1. Menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur,
2. Menganalisis keterkaitan antara karakteristik rumah tangga dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur, 3. Menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur.
1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini ialah : 1. Bagi pemerintah dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam menentukan strategi penanggulangan kemiskinan khususnya di kabupaten Bogor pada wilayah pembangunan Bogor Timur. 2. Bagi akademisi dapat digunakan sebagai masukan dalam penelitian selanjutnya.
9
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel yang ada dalam sensus sosial ekonomi daerah (SUSEDA) Kabupaten Bogor tahun 2006 yang relevan terhadap keperluan analisis. 2. Unit wilayah yang dianalisis mencakup tujuh kecamatan di wilayah pembangunan Bogor Timur dengan unit analisis rumah tangga. 3. Indikator kesejahteraan dan kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kriteria kesejahteraan dan kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kesejahteraan Rumah Tangga Penelitian mengenai kesejahteraan transmigran telah dilakukan oleh
Maharani (2006). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina. Selain itu, Maharani juga mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan. Maharani juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada rumah tangga transmigran di UPT propinsi Lampung. Data yang digunakan pada penelitian ini ialah data sekunder berupa data kesejahteraan transmigran yang diperoleh dari hasil observasi pada tahun 2004 di Propinsi Lampung. Data primer yang digunakan berupa data hasil wawancara dengan beberapa transmigran. Dari hasil analisis dengan analisis regresi logistik terlihat bahwa faktorfaktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang kemiskinan rumah tangga transmigran pada α ≤ 20 persen ialah jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran sekunder, investasi, Dummy tahun bina T+8, dan Dummy tahun bina T+6. Dari hasil analisis deskriptif, terlihat bahwa pendapatan rata-rata KK per tahun dengan lamanya tahun bina yang berbeda masih di bawah standar. Selain itu, hasil analisis tingkat kesejahteraan dengan menggunakan persepsi transmigran secara subjektif adalah bahwa tingkat kesejahteraan berdasarkan bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya relatif sama baik dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan
indikator
kesejahteraan
dari
KEP.
06/MEN/1999
tingkat
11
kesejahteraan transmigran masih rendah yang terlihat dari pendapatan KK per tahun, tingkat pelayanan, angka melek huruf, dan prevalensi penyakit. Dalam penelitiannya, Irmayani (2007) mencoba untuk menganalisis tingkat kesejahteraan rumah tangga petani di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik petani di Desa Purwasari dengan tingkat kesejahteraan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer hasil pengamatan langsung dan wawancara dengan petani responden. Dari hasil analisis deskriptif, terlihat bahwa menurut sebelas indikator kesejahteraan BPS 2005 rumah tangga petani yang termasuk kategori kesejahteraan tinggi sebanyak 24 rumahtangga (80 persen) dan sisanya sebanyak 5 rumahtangga (20 persen) termasuk kategori kesejahteraan sedang. Berdasarkan kriteria garis kemiskinan Sajogyo, sebagian besar rumah tangga petani (90 persen) termasuk kategori tidak miskin, sedangkan berdasarkan kriteria garis kemiskinan dari Direktorat Tata Guna Tanah, sebagian besar rumah tangga petani (56,67 persen) termasuk kategori tidak miskin. Analisis uji korelasi Rank Spearman menyebutkan bahwa karakteristik petani yang memiliki hubungan tidak nyata positif dengan tingkat kesejahteraan adalah umur, pendidikan, pengalaman kerja, dan jumlah anggota rumah tangga petani. Karakteristik petani yang memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat kesejahteraan adalah luas lahan yang dimiliki petani. Karakteristik petani menunjukkan bahwa rata-rata petani di Desa Purwasari berumur 41 – 50 tahun dengan rata-rata tingkat pendidikan Sekolah Dasar, pengalaman kerja 21 - 30 tahun, luas lahan 0,5 ha serta jumlah anggota rumahtangga sebanyak 3-5 orang.
12
2.2.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kemiskinan Rahmawati (2006) melakukan penelitian mengenai analisis pelaksanaan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kabupaten Pacitan. Rahmawati juga menganalisis karakteristik rumah tangga miskin serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi suatu rumah tangga miskin berada pada kemiskinan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa variabel yang mempengaruhi karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Pacitan ialah jenis kelamin kepala keluarga, usia kepala keluarga, pendidikan formal kepala keluarga, jenis pekerjaan, curahan kerja, tingkat pendapatan setiap bulan, jumlah anggota rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja. Dari hasil analisis regresi logistik diketahui bahwa variabel jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan pada taraf nyata 10 persen. Selain itu program BLT memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga miskin sebesar 31,63 persen. Penelitian mengenai kemiskinan juga telah dilakukan oleh Nurhayati (2007) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pendapatan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan digunakan model persamaan simultan 2SLS. Dari hasil estimasi diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan ialah variabel lahan, tenaga kerja, investasi, serta dummy kotamadya. Variabel lahan dan tenaga kerja signifikan pada taraf nyata satu persen sedangkan variabel
13
investasi dan dummy kotamadya signifikan pada taraf nyata 10 persen. Model Persamaan Simultan juga digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Dari hasil analisis didapat bahwa variabel pendapatan dan pendidikan signifikan pada taraf nyata satu persen, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen. Penelitian mengenai kemiskinan oleh Usman pada tahun 2006 mencoba untuk menganalisis dampak dari desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Dalam menganalisis dampak desentralisasi fiskal ini, Usman menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin) dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Kemudian dilakukan penentuan faktor-faktor determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal diterapkan. Selanjutnya dilakukan analisis mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Dari hasil analisis didapatkan bahwa desentralisasi fiskal berkorelasi positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian. Dari hasil analisis juga didapatkan bahwa diterapkannya desentralisasi fiskal mengakibatkan distribusi pendapatan semakin tidak merata. Selain itu, dampak dari diberlakukannya desentralisasi fiskal juga berpengaruh terhadap meningkatnya indeks kemiskinan. Sumarya (2002) dalam penelitiannya mencoba untuk menganalisis hubungan kausalitas antara aspek distribusi penguasaan lahan usahatani dengan tingkat kemiskinan di pedesaan. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Nanggung dan Ciampea di Kabupaten Bogor ini juga menganalisis aspek-aspek
14
kelembagaan ekonomi dalam kaitannya dengan kemiskinan. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer hasil wawancara dan observasi kepada responden serta data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan instansi lain yang terkait. Dari hasil analisis dengan indeks Gini didapatkan bahwa distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Nanggung lebih merata dibandingkan dengan distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Ciampea. Dengan indeks Gini juga diketahui bahwa distribusi pendapatan merata di kedua kecamatan. Dari analisis regresi berganda dan analisis multivariat didapatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan secara signifikan ialah variabel transfer (bantuan keuangan dari anak yang bekerja), variabel jenis pekerjaan sampingan, dan variabel-variabel yang didapatkan dari hasil analisis komponen utama dalam analisis multivariat (luas lahan sewa, hasil usahatani, jumlah anak, jumlah jiwa, dan umur kepala keluarga). Penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat telah dilakukan oleh Hasugian (2006). Dalam penelitiannya, Hasugian mencoba untuk menganalisis tingkat kemandirian dan kinerja fiskal daerah serta menganalisis laju dan profil kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis hubungan faktor-faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan ialah data sekunder kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 1998 sampai tahun 2004. Untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal, laju, serta profil kemiskinan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat digunakan analisis deskriptif. Analisis regresi dengan panel data digunakan untuk menganalisis
15
kinerja fiskal daerah dan hubungan faktor-faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan. Dari hasil analisis didapatkan hasil bahwa kinerja keuangan daerah dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dari aspek penerimaan daerah, terlihat bahwa tingkat kemandirian semakin menurun sesudah desentralisasi fiskal karena rasio PAD terhadap penerimaan juga berkurang. Dari sisi pengeluaran daerah, pengeluaran rutin mengalami peningkatan 10 sampai 20 persen sesudah desentralisasi. Hasil lain didapatkan bahwa sempat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, dan Kota Bogor, namun meningkat kembali di akhir 2004. Analisis hubungan variabel penerimaan terhadap kemiskinan memperlihatkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal menurunkan kemiskinan namun masih terdapat ketergantungan yang tinggi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dalam penelitiannya tentang dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia, Nugroho (2006) mencoba untuk mendeskripsikan kebijakan pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan serta dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia juga dianalisis dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series Indonesia tahun 1984 sampai tahun 2003 yang bersumber dari Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian dan instansi lain yang terkait. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis kebijakan pembangunan pertanian
dan
pengentasan
kemiskinan
di
Indonesia
sedangkan
untuk
16
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan serta dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia digunakan model persamaan simultan 2SLS. Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena mampu menampung limpahan pekerja dari sektor industri. Selain itu dari hasil estimasi dengan menggunakan model persamaan simultan didapatkan hasil bahwa variabel kebijakan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor jasa dan stok pangan nasional memiliki tanda parameter yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. Variabel yang memiliki tanda parameter negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di pedesaan ialah variabel kebijakan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian, dan variabel produksi pertanian sedangkan variabel inflasi dan krisis ekonomi mempunyai tanda parameter yang positif. Hasil analisis simulasi kebijakan yang berdampak pada penurunan angka kemiskinan total ialah kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, kebijakan pengurangan subsidi pupuk sebesar 25 persen, kebijakan penambahan luas areal irigasi sebesar 10 persen, kebijakan peningkatan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen, kebijakan pengurangan impor komoditas pertanian sebesar 50 persen, kebijakan peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 25 persen, kebijakan peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian sebesar 20 persen, kebijakan peningkatan pajak impor dan pajak ekspor masingmasing sebesar 25 persen, kebijakan peningkatan upah riil sebesar 10 persen, dan
17
kebijakan penurunan suku bunga domestik sebesar dua persen. Kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan ialah kombinasi kebijakan peningkatan luas areal dan kebijakan peningkatan kredit pertanian masing-masing 10 persen serta kebijakan penurunan suku bunga dua persen. Astuti (2005) dalam penelitiannya mengenai dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tujuan dalam penelitian ini ialah menganalisis dampak investasi sektor pertanian terhadap upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder yaitu data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 1995 dan 2000, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik serta data lain yang mendukung. Analisis dampak investasi menggunakan pendekatan Social Accounting Matrix (SAM) sedangkan analisis kemiskinan menggunakan indikator kemiskinan Foster Greer Thorbecke (FGT). Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan investasi di sektor pertanian maka memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebaliknya jika terjadi kenaikan investasi di sektor pertanian maka berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia terutama terhadap peningkatan penerimaan pendapatan sektor produksi, peningkatan pendapatan neraca institusi penerimaan pemerintah, perusahaan dan rumahtangga, serta penerimaan balas jasa faktor produksi tenaga kerja dan modal. Hasil analisis kemiskinan menunjukkan apabila investasi di sektor pertanian menurun maka akan berdampak terhadap kenaikan insiden kemiskinan pada setiap
18
kelompok rumahtangga dan sebaliknya, peningkatan investasi di sektor pertanian akan berdampak terhadap penurunan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumahtangga.
2.3.
Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Model Persamaan Struktural Pada tahun 2006, Syafrudin telah melakukan penelitian mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi keberhasilan studi mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan studi mahasiswa. Data yang digunakan ialah data sekunder yang berasal dari Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Insitut Pertanian Bogor sebanyak 211 sampel. Hasil analisis dengan SEM menunjukkan bahwa model awal tidak layak dalam mengolah data sehingga diperlukan perbaikan model. Perbaikan model dilakukan dengan membagi dua model terpisah sesuai dengan ukuran tingkat keberhasilan studi yaitu IPK dan masa studi serta pengurangan jumlah peubah manifes. Hasil pengujian untuk model keberhasilan studi untuk IPK menunjukkan bahwa status bekerja memberikan kontribusi dalam membangun proses studi dengan nilai koefisien sebesar 0,90. Penghasilan orang tua memiliki koefisien terbesar dalam peubah eksternal yaitu sebesar 0,63. Usia memiliki kontribusi terbesar terhadap peubah eksogen internal dengan koefisien sebesar 0,73. Hasil pengujian untuk model keberhasilan studi untuk masa studi menunjukkan bahwa status bekerja memberikan kontribusi dalam membangun proses studi dengan nilai koefisien sebesar 0,89. Penghasilan orangtua memiliki koefisien terbesar
19
dalam peubah eksternal yaitu sebesar 0,65 sedangkan usia mempunyai kontribusi terbesar terhadap peubah eksogen internal yaitu dengan koefisien sebesar 0,73. Penelitian dengan menggunakan pendekatan model persamaan struktural telah dilakukan oleh Ponianto (2007) yang menganalisis nilai pelangan dan loyalitas pelaku agribisnis terhadap tabungan Britama di BRI Unit Kramat Jati. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis nilai yang dipersepsikan oleh pelaku agribisnis terhadap produk dan pelayanan tabungan Britama serta menganalisis hubungan antara nilai yang dipersepsikan dan loyalitas pelaku agribisnis nasabah Britama serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer yang diambil dari 120 responden yang merupakan nasabah tabungan Britama di BRI Unit Kramat Jati Ramayana dan bukan nasabah pinjaman. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaku agribisnis yang memiliki tabungan Britama menilai positif terhadap produk, pelayanan, karyawan, dan citra. Dari analisis dengan model SEM, diketahui bahwa semua peubah manifes berpengaruh secara signifikan terhadap peubah laten eksogen seperti produk, pelayanan, karyawan, dan citra. Nilai yang dipersepsikan pelanggan bernilai positif dan nyata terhadap loyalitas.
2.4.
Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Proses Hirarkhi Analitik Penelitian dengan menggunakan Proses Hirarkhi Analitik telah dilakukan
oleh Rahmawati (2005) mengenai strategi pengembangan agropolitan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tujuan penelitian tersebut yang berhubungan dengan alat analisis PHA adalah menganalisis strategi pemerintah daerah dalam mengembangkan agropilitan di Kabupaten Magelang. Data untuk penelitian ini
20
bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden dengan panduan kuesioner dan diskusi. Dalam melakukan analisis data, dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Expert Choice 2000. Berdasarkan hasil analisis PHA, maka strategi prioritas dalam pengembangan agropolitan di Kabupaten Magelang adalah strategi penguatan daya saing produk yaitu strategi yang didasarkan pada keunggulan komparatif spesifik yang dimiliki kawasan sehingga setiap kawasan mampu bekerjasama dengan kawasan lain dalam rangka saling menjaga spesifikasi yang lain. Sub strategi dari strategi penguatan daya saing produk antara lain strategi penggunaan teknologi yang tepat guna, suasana investasi yang kondusif dan kelengkapan sarana-prasarana.
21
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Kesejahteraan Tingkat kesejahteraan (welfare) adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu (Yosef dalam Maharani, 2006). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain. Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya
antar
propinsi
dan
daerah
tempat
tinggal.
Dalam
mengembangkan indikator kesejahteraan rakyat tidak hanya menyajikan indikator dampak (output indicators) untuk menunjukkan hasil upaya pembangunan, tetapi juga menyajikan indikator proses (process indicators). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) jika dilihat dari suatu aspek tertentu (Maharani, 2006).
22
Menurut Badan Pusat Statistik (2004), terdapat tujuh aspek indikator kesejahteraan rakyat sebagai berikut: 1.
Kependudukan Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan
pada
peningkatan
kualitas
sumberdaya
manusia.
Disamping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. 2.
Kesehatan dan Gizi Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian utama. Upaya tersebut antara lain pemberdayaan sumberdaya manusia secara berkelanjutan, pengadaan atau
23
peningkatan sarana prasarana dalam bidang medis termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau masyarakat. 3.
Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka pembangunan di bidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semua anak Indonesia tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Titik berat pendidikan formal adalah peningkatan mutu pendidikan dan perluasan pendidikan dasar. Selain itu ditingkatkan pula kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4.
Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Di Indonesia, usia kerja yang digunakan untuk keperluan pengumpulan data ketenagakerjaan adalah usia 15 tahun ke atas.
5.
Taraf dan Pola Konsumsi Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah
penduduk
miskin
mengindikasi
menurunnya
pendapatan
penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan
24
indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. 6.
Perumahan dan Lingkungan Manusia dan alam lingkungannya baik lingkungan fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan fisik bisa berupa alam sekitar yang alamiah dan yang buatan manusia. Untuk mempertahankan diri dari keganasan alam, maka manusia berusaha membuat tempat perlindungan, yang pada akhirnya disebut rumah atau tempat tinggal. Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut.
Berbagai
fasilitas
yang
dapat
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7.
Sosial Budaya Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa
25
orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio, dan membaca surat kabar.
3.1.2. Konsep Kemiskinan Pengertian kemiskinan sangat erat kaitannya dengan tiga konsep penting (Krisnamurthi, 2006) 5. Pertama, kemiskinan itu sendiri (poverty) yang menggambarkan ketidakmampuan seseorang atau suatu keluarga atau suatu kelompok masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kedua, ketidakmerataan dan ketidakadilan (inequality) dalam distribusi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, kerentanan (vulnerability) seseorang atau sekelompok orang untuk dapat menjadi miskin atau menjadi lebih parah kemiskinannya. Kemiskinan dapat terdiri dari dua pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu kemiskinan yang terjadi pada seseorang,
keluarga,
atau
masyarakat
yang
tingkat
pendapatan
atau
pengeluarannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran masyarakat sekitarnya . Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang terjadi apabila seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatan atau pengeluarannya berada di bawah batas minimal tertentu untuk hidup layak. Batas tersebut sering disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). 5
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. 2006. 22 Tahun Studi Pembangunan, Pengurangan Kemiskinan Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian dalam tulisan berjudul Penanggulangan dan Pengurangan Kemiskinan, halaman 175-176.
26
Berdasarkan kondisi kemiskinan yang dihadapi, kemiskinan juga dapat dibagi menjadi dua pengertian yaitu kemiskinan kronis atau struktural serta kemiskinan sementara. Kemiskinan kronis dapat terjadi apabila kondisi kemiskinan yang terjadi berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Kemiskinan sementara ialah kemiskinan yang terjadi akibat adanya perubahan atau ’shock’ yang menyebabkan seseorang, keluarga, atau masyarakat berubah dari tidak miskin menjadi miskin. Kemiskinan dapat juga dibagi menjadi kemiskinan massal dan kemiskinan individual. Kemiskinan massal adalah kemiskinan yang terjadi jika sebagian besar masyarakat mengalami kemiskinan. Kemiskinan individual adalah jika hanya beberapa orang atau sebagian kecil masyarakat yang mengalami kemiskinan. Selain itu, BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Dalam pengertian World Bank, kemiskinan didefinisikan sebagai keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari, di negara kategori pendapatan rendah. Sementara di negara maju batas kemiskinan adalah USD 14,00 per hari dan negara pendapatan sedang USD 2,00 per hari. Terdapat sembilan dimensi penting mengenai kemiskinan (Smeru dalam Krisnamurthi, 2006), yaitu : 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, papan). 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)
27
3. Tidak adanya jaminan masa depan, terutama karena tidak adanya investasi pendidikan dan keluarga. 4. Kerentanan terhadap guncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan SDA. 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik atau mental. 9. Ketidakampuan dan ketidakberuntungan sosial. A.
Faktor Penyebab Kemiskinan Selama ini, banyak sekali teori atau konsep dalam menjelaskan penyebab
kemiskinan.
Pemahaman
mengenai
penyebab
kemiskinan
akan
sangat
menentukan penetapan strategi penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada faktor utama penyebab kemiskinan. Teori yang pada umumnya digunakan dalam menjelaskan penyebab kemiskinan yaitu: 1.
Teori Lingkaran Setan Kemiskinan Salah satu konsep mengenai penyebab kemiskinan ialah teori lingkaran
setan kemiskinan (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006) 6. Teori ini menegaskan bahwa kemiskinan terjadi karena suatu kondisi yang dihadapi oleh masyarakat miskin yang sedemikian sehingga membuat kemiskinan tersebut tetap akan berada dalam masyarakat tersebut seperti yang terlihat dalam Gambar 2.
6
Ibid.,halaman 194-195.
28
Pendapatan rendah
Produktivitas rendah
Konsumsi rendah
Tabungan rendah
Investasi rendah
Sumber : World Bank, (2000) 7 Gambar 2. Lingkaran Setan Kemiskinan Teori ini menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan reinvestasi yang rendah karena sebagian besar pendapatan habis digunakan untuk konsumsi. Reinvestasi yang rendah ini (baik dalam bentuk aset fisik maupun aset SDM) akan menyebabkan tingkat produktivitas dan kemampuan bersaing yang rendah, dan produktivitas yang rendah akan menyebabkan pendapatan yang tetap rendah, dan seterusnya. 2.
Teori Kemiskinan Struktural Kemiskinan juga dapat dikonsepkan sebagai kondisi logis dari persaingan
(bebas) yang tidak sehat (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006). Kegiatan produksi masyarakat (negara) miskin yang terbatas teknologi, terbatas modal, terbatas kemampuan SDM, dan berbagai keterbatasan lain. Persaingan yang tidak sehat ini akhirnya akan membuat kegiatan masyarakat miskin bertambah miskin.
7
World Bank. 2000. Beyond Economic Growth chapter VI (poverty). www.worldbank.org .
29
Fenomena yang digambarkan teori ini terlihat dari pemiskinan daerah pertanian subur dan konversi lahan pertanian. Teori ini kemudian berkembang dengan unsur ketergantungan (dependency theory). 3.
Teori Ketidakmampuan Mengatasi Kemiskinan Kemiskinan yang berkembang juga disebabkan oleh ketidakmampuan para
pengambil keputusan dalam mengatasi kemiskinan yang sudah ada (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006). Ketidakmampuan tersebut muncul karena kurangnya komitmen dalam penanggulangan kemiskinan maupun berbagai keterbatasan dalam kemampuan menanggulangi kemiskinan, atau gabungan dari keduanya. Teori ini kemudian berkembang dengan mengedepankan ketidakmampuan birokrasi dan banyaknya aspek moral hazzard dalam berbagai organisasi pemerintah yang melaksanakan usaha penanggulangan kemiskinan tersebut. 4.
Teori Eksploitasi Kemiskinan dapat dipandang sebagai hasil dari eksploitasi suatu kelompok
masyarakat atas masyarakat lain (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006). Pada awalnya, teori ini menyertai kondisi kemiskinan yang terjadi pada negara-negara terjajah. Pada saat era kolonialisme berakhir, eksploitasi masih tetap dipandang terjadi pada hubungan kapitalis dan buruh, hubungan ekonomi tidak seimbang antara desa dan kota, kondisi hubungan asimetri industri dan pertanian, serta eksploitasi sumberdaya alam yang berakibat pada tereksploitasinya sumberdaya masyarakat.
30
B.
Pengukuran Kemiskinan Dalam mengukur suatu kemiskinan dapat digunakan beberapa indikator
kemiskinan (Foster-Greer-Thorbecke dalam BPS, 2005) 8 yaitu: 1. The incidence of poverty (the poverty headcount index atau Rasio H) yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. 2. The depth of poverty (the poverty gap index) yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu wilayah. Indeks ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. 3. The severity of poverty yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah dengan memperhitungkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Selain indikator-indikator di atas, kemiskinan relatif dapat diukur dengan kurva Lorentz dan Gini Ratio. Gini Rasio berkisar antara 0 – 1. Bila rasio Gini = 0 maka kemerataan yang sempurna. Bila rasio Gini = 1 berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam distribusi pendapatan. Rasio Gini tersebut terletak antara kurva Lorentz dengan garis kemerataan sempurna. Semakin jauh dari garis kemerataan sempurna, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
8
Badan Pusat Statistik. 2006. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2005, halaman 64-66.
31
C.
Pendekatan Teoritis dalam Identifikasi Kemiskinan
1.
Penentuan Kemiskinan Absolut : Garis Kemiskinan Pengukuran kemiskinan secara absolut dapat dilakukan dengan berbagai
metode, antara lain dengan konsep garis kemiskinan Sayogyo dan konsep garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada konsep Sayogyo dinyatakan bahwa untuk perdesaan kelompok masyarakat dikatakan miskin bila pengeluarannya kurang dari 320 Kg per kapita per tahun setara beras : miskin sekali jika pengeluaran tersebut kurang dari 240 Kg per kapita per tahun; dan paling miskin bila kurang dari 180 Kg per kapita per tahun. Sedangkan untuk perkotaan, masing-masing kriteria tersebut memiliki tolak ukur 480, 360, dan 270 Kg per kapita per tahun. 2.
Penentuan Kemiskinan Relatif : Gini Rasio Gini Rasio merupakan salah satu metoda untuk melihat ketidakmerataan
pendapatan. Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dapat dibagi atas dua pendekatan, yaitu (a) pengukuran yang dilakukan pada suatu waktu tertentu untuk mengetahui ketimpangan pendapatan antar wilayah dan (b) pengukuran yang bersifat intemporal atau antar waktu. Pengukuran ini bermanfaat untuk melihat ke arah mana terjadinya perubahan distribusi pendapatan pada wilayah tertentu. D.
Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan : Hipotesis Kuznets Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada
awalnya didominasi oleh Hipotesis Kuznets (Tambunan, 2003). Dengan memakai data lintas negara dan data deret waktu dari sejumlah survei/observasi di setiap negara, Simon Kuznets menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik. Hasil ini
32
diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi pedesaan ke suatu ekonomi perkotaan, atau dari ekonomi pertanian (tradisional) ke ekonomi industri (modern). Teori
ini
menjelaskan
bahwa
pada
awal
proses
pembangunan,
ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi. Setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun. Ketimpangan menurun pada saat sektor industri di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan (sektor pertanian).Ketimpangan juga mengalami penurunan pada saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. Tingkat kesenjangan
Tingkat pendapatan per kapita Sumber : Tambunan (2003) Gambar 3. Hipotesis U Terbalik dari Kuznets Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga
33
kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak ada lagi. E.
Tinjauan mengenai Aset dan Kapabilitas Masyarakat Miskin World Bank (2002) telah membahas suatu hubungan antara aset,
kapabilitas, serta kesejahteraan. Masyarakat miskin baik pria maupun wanita membutuhkan aset dan kapabilitas untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Aset merujuk pada aset berupa material baik fisik maupun finansial. Aset dapat berbentuk lahan, tempat tinggal, ternak, tabungan, dan perhiasan. Kepemilikan aset yang terbatas oleh masyarakat miskin dapat membatasi mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kapabilitas ialah sesuatu yang memungkinkan masyarakat untuk memberdayakan aset yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan. Kapabilitas sumberdaya manusia dapat berupa kesehatan yang baik, pendidikan, produksi, serta kemampuan lainnya yang dapat menunjang kehidupan masyarakat. Kapabilitas sosial dapat berupa kepemimpinan, kepercayaan, kemampuan berorganisasi, dan sebagainya. Suatu masyarakat dengan kesehatan yang baik, berkemampuan tinggi, dan berpendidikan relatif lebih mudah dalam mendapatkan pendapatan yang layak. Dengan pendapatan yang layak, masyarakat dapat meningkatkan keadaan ekonomi mereka sehingga kepemilikan aset meningkat. 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kabupaten Bogor terdiri dari 41 kecamatan yang dibagi berdasarkan tiga
wilayah pembangunan yaitu: Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Wilayah pembangunan Bogor Barat untuk sektor pertanian, sektor manufaktur untuk wilayah pembangunan Bogor Tengah, dan sektor industri untuk wilayah
34
pembangunan Bogor Timur. Dengan pembagian ke dalam tiga wilayah pembangunan, akan terdapat suatu keragaman dalam hal kondisi baik sosial maupun ekonomi di Kabupaten Bogor. Salah satu bentuk keragaman kondisi sosial maupun ekonomi di wilayah Kabupaten Bogor terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia wilayah Bogor Timur yang paling rendah dibandingkan wilayah lain. Rendahnya IPM di wilayah ini berbanding terbalik dengan PDRB per kapita Bogor Timur yang relatif lebih tinggi dibandingkan Bogor Barat dan Tengah. Hal ini mengindikasikan masih terdapatnya
ketidakmerataan
pendapatan
di
wilayah
Bogor
Timur.
Ketidakmerataan dan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia tersebut mempunyai implikasi pada tingkat kemiskinan di wilayah ini juga yang belum juga mengalami penurunan khususnya kemiskinan di tingkat rumah tangga. Untuk
mengidentifikasi
kondisi
kemiskinan
rumah
tangga
yang
merupakan salah satu alat ukur kesejahteraan, diperlukan suatu kriteria tertentu. Diperlukan suatu indikator sosial maupun ekonomi untuk menggambarkan keadaan kemiskinan suatu rumah tangga. Selama ini Badan Pusat Statistik mencoba untuk melihat kondisi kemiskinan dengan menggunakan 14 kriteria (Lampiran 5). Variabel-variabel dalam kriteria tersebut menggambarkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang dikenal dengan karakteristik rumah tangga. Penggunaan pendekatan karakteristik rumah tangga dimaksudkan untuk lebih memahami karakteristik penduduk miskin sehingga mengacu pada permasalahan riil yang dihadapi masyarakat miskin 9. Karakteristik rumah tangga tersebut diklasifikasikan lagi menurut keterkaitan antara variabel-variabel tersebut
9
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor.op cit,halaman 19.
35
seperti karakteristik ketenagakerjaan, karakteristik perumahan, karakteristik pendidikan, dan karakteristik ekonomi. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan suatu gambaran mengenai karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur yang mempunyai PDRB per kapita tinggi namun IPM-nya rendah. Setelah gambaran mengenai karakteristik rumah tangga terlihat maka selanjutnya bagaimana keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah ini. Selain itu, diperlukan strategi yang tepat terkait dengan kemiskinan yang terjadi di wilayah pembangunan Bogor Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran umum karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur serta menganalisis keterkaitan antara karakteristik dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis gambaran umum karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Analisis deskriptif dilakukan dengan tabulasi silang masing-masing variabel yang menunjukkan karakteristik rumah tangga. Model persamaan struktural digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Dengan model persamaan struktural, dapat dianalisis pengaruh serta hubungan antar variabel laten dan variabel manifesnya. Penentuan strategi prioritas penanggulangan kemiskinan dianalisis dengan menggunakan Proses Hirarkhi Analitik (PHA). Gambar 4 memperlihatkan bagan kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini.
36
Pembagian 3 wilayah pembangunan Kabupaten Bogor berdasarkan sektor
Keragaman kondisi di Kabupaten Bogor
PDRB per kapita Bogor Timur tinggi
IPM Bogor Timur rendah
Ketidakmerataan pendapatan
Karakteristik rumah tangga di Bogor Timur (14 indikator kemiskinan)
Gambaran karakteristik rumah tangga di Bogor Timur Analisis deskriptif
Rendahnya kesejahteraan rumah tangga di Bogor Timur
Keterkaitan antara karakteristik dengan kesejahteraan rumah tangga Analisis model persamaan struktural
Strategi prioritas penanggulangan kemiskinan
Proses hirarkhi analitik
Rekomendasi bagi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di Bogor Timur Gambar 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
37
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Waktu dan Wilayah Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bogor pada wilayah
pembangunan Bogor Timur. Ruang lingkup wilayah pembangunan Bogor Timur ialah Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Jonggol, Kecamatan Klapanunggal, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Gunungputri dan Kecamatan Cariu. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan alasan Indeks Pembangunan Manusia Bogor Timur yang masih berada di bawah rata-rata Kabupaten Bogor dan Jawa Barat. Hal ini berbanding terbalik dengan PDRB per kapita yang tinggi di wilayah ini. Pada tahun 2005, IPM Bogor Timur adalah sebesar 67,29 yang berada di bawah IPM rata-rata provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 69,9 dan IPM Kabupaten Bogor sebesar 68,99. Penelitian ini dilakukan dalam waktu lima bulan mulai bulan Januari 2008 sampai Mei 2008.
4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan sekunder.
Data primer berupa data hasil wawancara dengan pemerintah Kabupaten Bogor dengan
menggunakan
kuesioner
untuk
menentukan
strategi
prioritas
penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Kabupaten Bogor yang menjadi responden ialah kepala dan staf sub-bidang sosial Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS), kepala bidang prasarana wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta camat Kecamatan Sukamakmur.
38
Data sekunder berupa data sensus sosial ekonomi daerah (SUSEDA) Kabupaten Bogor tahun 2006 untuk wilayah Bogor Timur. Data sensus sosial ekonomi daerah Kabupaten Bogor tahun 2006 ini berupa data cross section tahun 2006 per kepala keluarga yang dikelompokkan berdasarkan kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Bogor. Data tersebut merupakan 14 indikator kemiskinan berupa karakteristik rumah tangga. Dari data sensus daerah tersebut, diambil data F2 (data indikator kemiskinan rumah tangga) dan data F1 (data anggota rumah tangga) wilayah pembangunan Bogor Timur. Dalam hal ini, hanya diambil lima kecamatan dari tujuh kecamatan yang ada di wilayah pembangunan Bogor Timur karena ketidaklengkapan pada data hasil sensus yang diperkirakan lengkap pada akhir 2008. Data yang diambil ialah seluruh variabel yang ada pada data F2 sebanyak 18 variabel sedangkan dari F1 hanya diambil satu variabel yaitu variabel pendapatan kepala rumah tangga dari sektor pekerjaan utama. Data pendapatan dari F1 kemudian dicocokkan untuk digabungkan dengan nama kepala rumah tangga di F2. Dalam proses penggabungan, terdapat ketidaksesuaian antara data F1 dengan F2 di Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan Klapanunggal sehingga dua kecamatan tersebut tidak dimasukkan dalam data untuk diolah. Sebelum dilakukan pengolahan data lebih lanjut, dilakukan pemilihan data (clearing) karena masih terdapat banyak data yang kosong (missing data) pada setiap rumah tangga. Pemilihan data dilakukan pada data F1 maupun F2 sampai diperoleh data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu data yang lengkap untuk setiap rumah tangga.
39
Data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian setelah dilakukan pemilihan data ialah sebanyak 20.817 rumah tangga dari 123.524 rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengkategorikan suatu rumah tangga miskin atau tidak berdasarkan 14 indikator. Berdasarkan 14 kriteria BPS, sebanyak 3.210 rumah tangga merupakan rumah tangga miskin dari 20.817 rumah tangga. Data rumah tangga sebanyak 20.817 rumah tangga digunakan sebagai input dalam analisis deskriptif dengan tabulasi silang. Dalam input analisis SEM, digunakan 19.455 data rumah tangga dari 20.817 rumah tangga karena masih terdapat data yang kurang baik dari 20.817 rumah tangga. Proses pengumpulan data sampai dengan pengolahan data ditunjukkan oleh Gambar 5.
Pengumpulan data
Data SUSEDA F1
Data SUSEDA F2
Pemilihan data
Penggabungan data
Analisis deskriptif
Analisis SEM
Gambar 5. Proses Pengolahan Data SUSEDA 2006 Selain itu, digunakan data-data
pendukung seperti data Indeks
Pembangunan Manusia serta PDRB per kapita di Kabupaten Bogor pada tahun
40
2005. Rencana dan strategi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor digunakan
sebagai
dasar
dalam
pembuatan
urutan
strategi
prioritas
penanggulangan kemiskinan. Informasi lainnya diperoleh dari jurnal-jurnal ilmiah, literatur, serta penelitian-penelitian sebelumnya. Tabel 4 memperlihatkan jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian No
Jenis data
1
Karakteristik rumah tangga (14 indikator kemiskinan)
2
IPM Kabupaten Bogor
3
Rencana dan strategi penanggulangan kemiskinan Kabupaten Bogor
4
PDRB per kapita Kabupaten Bogor
4.3.
Sumber data BPS Kabupaten Bogor
Bappeda Kabupaten Bogor
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis
kualitatif dan kuantitatif. Dalam analisis kualitatif digunakan analisis tabulasi silang variabel-variabel yang termasuk indikator-indikator kemiskinan untuk menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Analisis Model Persamaan Struktural (SEM) digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik rumah tangga dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Untuk menentukan dan menganalisis strategi penanggulangan kemiskinan digunakan Proses Hirarkhi Analitik (PHA). Dalam pemilihan dan penggabungan data digunakan Microsoft Excel 2003. Untuk analisis tabulasi silang, digunakan SPSS 11.5, untuk analisis SEM digunakan LISREL 8.30, serta Expert Choice 2000 untuk pengolahan data PHA.
41
4.3.1
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik rumah
tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Analisis karakteristik rumah tangga dilakukan melalui tabulasi silang (cross tabulation) antara variabel sektor pekerjaan utama kepala rumah tangga dengan indikator-indikator kemiskinan. Sektor pekerjaan utama dibagi menjadi sektor pertanian dan sektor non-pertanian untuk menyelaraskan dengan pembagian wilayah pembangunan kabupaten Bogor yang didasarkan pada sektor utama di masing-masing wilayah. Hasil tabulasi silang masing-masing variabel
kemudian diinterpretasikan agar diperoleh
gambaran karakteristik rumah tangga di Bogor Timur.
4.3.2. Analisis Model Persamaan Struktural Model persamaan struktural atau Structural Equation Model ialah suatu model yang digunakan untuk mengukur peubah yang tidak dapat diukur secara langsung. Pengukuran peubah ini haruslah melalui peubah lain sebagai indikatorindikatornya. Peubah yang tidak dapat diukur secara langsung disebut peubah laten sedangkan peubah-peubah indikatornya disebut peubah manifes. Model yang menggambarkan
hubungan
antara
peubah
laten
dengan
peubah-peubah
manifesnya dinamakan model pengukuran (measurement model). Bila di dalam model terdapat hubungan antara peubah-peubah laten dinamakan model atau analisis persamaan struktural (Firdaus dan Apendi, 2008). Model Persamaan Struktural digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Variabel laten dalam model ini sebanyak empat variabel laten
42
dengan 18 variabel manifes. Dalam hal ini, yang menjadi variabel laten ialah kesejahteraan rumah tangga, karakteristik pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. Kesejahteraan rumah tangga dapat diukur dengan mengidentifikasi apakah suatu rumah tangga dikategorikan miskin atau tidak. Berdasarkan kriteria kemiskinan BPS, kemiskinan rumah tangga diukur dengan 14 indikator kemiskinan. Berdasarkan hal tersebut, maka digunakan indikator-indikator kemiskinan tersebut sebagai variabel manifes / indikator variabel kesejahteraan rumah tangga. Dalam hal ini hanya digunakan 12 indikator kemiskinan karena variabel pendidikan kepala rumah tangga dan sektor pekerjaan utama digunakan sebagai variabel manifes untuk variabel laten pendidikan dan pekerjaan. Variabel karakteristik pendapatan diukur dengan menggunakan variabel pendapatan kepala rumah tangga dari sektor pekerjaan utama. Terdapat tujuh langkah dalam permodelan SEM (Firdaus dan Apendi, 2008) yaitu: 1. Pengembangan model teoritis. Pada prinsipnya merupakan pengujian kausalitas secara empiris dari teori yang sudah ada dan digunakan untuk mengkonfirmasi model teoritis tersebut. Hubungan kausalitas dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan arti namun pola hubungan akan menjadi rasional bila dilandaskan pada suatu teori. 2. Pengembangan diagram path atau diagram alur. Diagram dibangun berdasarkan pada konstruk untuk menunjukkan hubungan kausalitas. Cara membangun konstruk dengan mencari peubah penjelas yang dapat menjelaskan
konstruk
tersebut.
Gambar
6
kesejahteraan rumah tangga wilayah Bogor Timur
menggambarkan
model
43
3. Mengkonversi diagram path ke dalam persamaan. Diagram path dikonversikan ke dalam bentuk persamaan struktural untuk menyatakan hubungan kausalitas. 4. Menentukan matrik input dan estimasi model. Data input SEM merupakan matrik kovarian untuk melakukan pengujian model dari teori yang ada setara dengan regresi untuk digunakan dalam penjelasan atau prediksi fenomena yang dikaji. 5. Pendugaan koefisien model Kadangkala proses pendugaan memberikan hasil yang irasonal. Hal ini disebabkan ketidakmampuan struktur model dalam menduga hasil yang unik atau setiap koefisien memerlukan model tersendiri atau terpisah dalam pendugaannya. Untuk menanggulangi model tak teridentifikasi perlu dilakukan penetapan beberapa nilai koefisien pada nilai tertentu (fix coefficient) dan peubah laten yang hanya memiliki satu peubah indikator ditetapkan nilainya (umumnya 1). Pendugaan parameter dalam analisis SEM didasarkan pada matriks koragam data peubah-peubah manifes, bukan data asal. Hal ini dikarenakan fokus analisis SEM bukan pada masing-masing pengamatan namun lebih pada pola hubungan antar pengamatan. Dalam pendugaan parameter digunakan matriks korelasi sebagai alternatif input matriks di dalam analisis SEM karena matriks korelasi juga merupakan matriks koragam hanya saja peubah-peubahnya telah dibakukan terlebih dahulu. Ukuran contoh juga memegang peranan penting dalam analisis SEM karena ukuran contoh mempengaruhi di dalam pendugaan dan interpretasi hasil yang diperoleh. Terdapat empat hal yang berkaitan dengan penentuan ukuran
44
contoh yang memadai, yaitu: (1) kesalahan spesifikasi model, (2) ukuran model, (3) ketidaknormalan data, dan (4) prosedur pendugaan. Kesalahan spesifikasi model timbul akibat adanya spesification error. Error ini dapat dihindari apabila semua peubah manifes maupun peubah laten yang relevan secara teori telah dimasukkan ke dalam model SEM. Dengan ukuran contoh yang memadai, kesalahan ini dapat diidentifikasi. Ukuran contoh yang dibutuhkan mestinya lebih besar dari banyaknya unsur pada matriks koragam atau korelasi yang digunakan. Dalam hal ini, ukuran contoh yang disarankan berkisar antara 5 sampai 10 kali banyaknya unsur pada matriks koragam atau korelasi. Selain itu, terkait dengan ketidaknormalan data, semakin jauh penyimpangan data terhadap sebaran normal, maka rasio pengamatan per parameter yang akan diduga juga semakin besar dengan panduan yang umum digunakan adalah 15 pengamatan untuk setiap parameter yang akan diduga. Metode pendugaan yang paling sering digunakan ialah metode pendugaan kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimation). Hanya saja pada ukuran contoh yang sangat besar (lebih dari 400) metode ini menjadi terlalu sensitif sehingga banyak perbedaan yang dideteksi antara model dengan data, sehingga pada gilirannya ukuran kebaikan model menjadi jelek. Beberapa metode lain yang dapat dijadikan alternatif antara lain metode kuadrat terkecil terboboti (Weighted Least Square/WLS), metode kuadrat terkecil terampat (Generalized Least Square/GLS), dan metode bebas sebaran secara asimtotik (Asymptotically Distribution Free/ADF).
45
Identifikasi Model Struktural Setelah model disusun, langkah berikutnya adalah penentuan apakah model tersebut dapat diduga yang dikenal dengan identifikasi model. Berkaitan dengan identifikasi model, suatu model tergolong underidentified apabila model tersebut tidak dapat diperoleh dugaan bagi parameter-parameternya, just identified apabila dapat diperoleh dugaan yang unik bagi parameter-parameternya, dan overidentified apabila terdapat berbagai kemungkinan dugaan bagi parameterparameternya. Derajat bebas (db) di dalam analisis SEM merupakan selisih antara banyaknya koragam atau korelasi data dengan banyaknya koefisien yang akan diduga, dengan formula sebagai berikut ini
db =
1 [( p + q )( p + q + 1)] − t 2
dimana p = banyaknya peubah manifes untuk peubah laten endogen q = banyaknya peubah manifes untuk peubah laten eksogen t = banyaknya koefisien model yang akan diduga Untuk penentuan identifikasi model, terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi, yaitu rank dan order condition. Order condition merupakan syarat perlu bagi identifikasi model, dimana suatu model dapat diduga apabila besarnya derajat bebas model lebih dari atau sama dengan nol. Apabila derajat bebas model sama dengan nol, maka model tersebut tergolong just identified, sedangkan apabila lebih dari nol, maka model tergolong overidentified. Apabila order condition tidak dipenuhi, yaitu derajat bebas model bernilai negatif, maka model tersebut tergolong underidentified.
46
Selain harus memenuhi order condition, suatu model juga harus memenuhi rank condition yang merupakan syarat cukup bagi identifikasi model. Pendekatan yang bisa digunakan pada syarat ini adalah pertama, apabila suatu peubah laten diukur dengan paling tidak oleh tiga peubah manifes (three measures rule) maka peubah laten tersebut akan selalu dapat diidentifikasi/diduga (identified). Pendekatan kedua adalah aturan model rekursif (recursive model rule) yang menyatakan bahwa model rekursif (model yang tidak memiliki hubungan timbal balik yang dicirikan dengan tidak adanya panah dua arah pada diagram lintas) dengan peubah latennya tergolong dapat diidentifikasi (dari three measure rule) maka model rekursif tersebut akan selalu dapat diidentifikasi. 6. Evaluasi kriteria goodness-of-fit SEM tidak mempunyai alat uji statistik tunggal untuk menguji antara model dengan data yang disajikan. Beberapa indeks kesesuaian dan cut-off-value yang umumnya digunakan adalah sebagai berikut: a.
Offending Estimates
Sebelum evaluasi terhadap hasil analisis SEM dilakukan terlebih dahulu perlu diperiksa adanya offending estimates atau dugaan yang tidak wajar. Beberapa dugaan yang tergolong offending estimates antara lain: (1) ragam galat yang bernilai negatif atau ragam galat yang tidak nyata pada sembarang peubah laten, (2) koefisien terbakukan yang melebihi atau hampir bernilai 1.0, dan (3) galat baku bagi sembarang dugaan parameter yang bernilai sangat besar. Masalah ragam galat yang bernilai negatif (dikenal dengan Heywood cases) dapat diatasi dengan menetapkan nilai yang sangat kecil (katakanlah 0.005) bagi ragam galat tersebut. Dua masalah berikutnya serupa dengan masalah multikolinier dalam analisis regresi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan memeriksa kembali
47
validitas peubah laten yang digunakan atau dengan membuang peubah laten yang memiliki korelasi yang sangat kuat dengan peubah lain. b. Root Means Square Error of Approximation (RMSEA)
RMSEA adalah indeks untuk mengkompensasikan chi-square dalam contoh besar, menunjukkan kesesuaian yang dapat diharapkan bila model diestimasi. RMSEA ≤ 0,08 adalah syarat agar model menunjukkan close fit dari model tersebut. Formula bagi RMSEA adalah RMSEA =
F (θ ) − db (n − 1)db
dimana F (θ ) merupakan fungsi yang diminimumkan pada metode pendugaan parameter. Nilai RMSEA merupakan ukuran ketidakcocokan model sehingga diharapkan kecil. Patokan antara 0,05 – 0,08 sering dijadikan acuan bagi model ideal. c. Goodness of Fit Index (GFI)
Ukuran GFI mirip dengan ukuran R2 di dalam analisis regresi biasa, yang pada dasarnya merupakan ukuran seberapa besar model mampu menerangkan keragaman data. Tidak ada kriteria yang baku mengenai kapan suatu model dikatakan layak atau mampu menerangkan data cukup berdasarkan nilai GFI. Namun batas minimal 0,9 sering dijadikan patokan suatu model dikatakan layak. Formula dari GFI tergantung dari metode pendugaan yang digunakan.
•
Metode kemungkinan maksimum
[(
tr Σˆ −1 S − I GFI = 1 − 2 tr Σˆ −1 S
[(
)] 2
)]
48
•
Metode Unweighted Least Square (ULS)
[(
)] [ ]
tr S − Σˆ GFI = 1 − tr S 2
•
2
Metode Generalized Least Square (GLS)
[(
tr I − Σˆ S −1 GFI = 1 − k
)] 2
dimana k = p + q dengan p = banyaknya peubah manifes untuk peubah laten endogen q = banyaknya peubah manifes untuk peubah laten eksogen d. Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI)
Ukuran ini merupakan modifikasi dari GFI dengan mengakomodasi derajat bebas model dengan model lain yang dibandingkan. Formula bagi AGFI adalah ⎡ k (k + 1) ⎤ [1 − GFI ] AGFI = 1 − ⎢ ⎣ 2db ⎥⎦ dengan k = p + q seperti pada GFI. Nilai AGFI paling tidak sebesar 0,8 sering dijadikan patokan suatu model dikatakan layak. 7. Interpretasi dan modifikasi model. Setelah model diterima, interpretasi hanya dilakukan mengikuti teori yang mendasarinya. Modifikasi hanya boleh dilakukan dengan kehati-hatian dan modifikasi dilakukan jika terdapat perubahan
yang
signifikan
dengan
dukungan
data
empirik.
49
X11
Y21
Y22
Y23 Y24
Pendidikan
Y25 Y26 Y27 Pendapatan
Kesejahteraan
Y28 Y29 Y210
Y11 Y211
Pekerjaan Y215
Y214
Y213
Y212
X21
Gambar 6. Model Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Pendekatan SEM
50
Keterangan Variabel : X11 X21 Y11 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Y210 Y211 Y212 Y213 Y214 Y215
: : : : : :
: : : : : : : : : : : :
Pendidikan kepala rumah tangga Sektor pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian Pendapatan kepala rumah tangga dari sektor pekerjaan utama Frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun Frekuensi makan dalam sehari Frekuensi pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu Kepemilikan emas Kepemilikan televisi Kepemilikan kulkas/mesin cuci Kepemilikan sepeda motor Sumber penerangan listrik Jenis lantai rumah Jenis dinding rumah Sumber air minum terlindung Sarana buang air besar Jenis bahan bakar untuk memasak Luas lantai per kapita Kemampuan berobat
4.3.3. Proses Hirarkhi Analitik (PHA)
Proses Hirarkhi Analitik digunakan untuk menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur. Terdapat tiga prinsip pokok dan delapan langkah utama dalam memecahkan persoalan dengan analisis logika ekplisit (Saaty, 1993), yaitu: a.
Prinsip Menyusun Hierarki
Hirarki merupakan abstraksi struktur dari suatu sistem yang menunjukkan interaksi fungsional antar komponen dan dampaknya terhadap sistem. Menurut Saaty (1993), tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah tingkatan pada struktur keputusan yang terstratifikasi, dan juga jumlah elemen pada setiap tingkatan keputusan.
51
b.
Prinsip Menetapkan Prioritas
Penetapan prioritas yang dimaksud adalah menentukan peringkat elemenelemen menurut relatifnya. Berdasarkan penilaian terhadap keputusan yang diberikan oleh responden atau pihak-pihak yang terkait terhadap kuesioner. c.
Prinsip Konsistensi Logis
Prinsip ketiga dari pemikiran analitik adalah konsistensi logis artinya, pertama bahwa pemikiran atau obyek yang serupa dikelompokan menurut homogenitas dan relevansinya. Kedua bahwa intensitas relasi antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu, saling membenarkan secara logis. PHA memasukkan baik aspek kualitatif maupun kuantitatif pikiran manusia, aspek kualitatif untuk mendefinisikan persoalan dan hierarkinya, dan aspek kuantitatif untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas. Analisis Informasi
Informasi baik kualitatif dan kuantitatif diperoleh dari berbagai institusi yang terkait dengan pengambil kebijakan. Data dan informasi yang diperoleh digunakan untuk mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penyusunan strategi yang selanjutnya dibuat manjadi suatu struktur hierarki. Urutan prosedur analisis informasi ialah sebagai berikut: I.
Tahap Menyusun Hierarki
Menurut Saaty (1993), tidak ada batasan tertentu mengenai jumlah tingkatan pada struktur keputuasan yang terstratifikasi, dan juga jumlah elemen pada setiap tingkatan keputusan. Struktur hierarki yang telah disusun menjadi dasar untuk pembuatan kuesioner yang diberikan kepada responden (expert).
52
Hierarkhi tersebut terdiri dari tujuan (goal), faktor-faktor utama yang mempengaruhi, sub faktor utama, sub-sub faktor utama dan alternatif strategi. II.
Menyusun Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks banding berpasangan dimulai dari puncak hierarki yang merupakan dasar untuk melakukan perbandingan berpasangan antar elemen yang terkait yang ada dibawahnya. Pembandingan berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua terhadap fokus yang ada di puncak hierarki. Suatu elemen yang ada di sebelah kiri (F1) diperiksa perihal dominasi atas elemen yang ada di sebelah kanan (F2, F3, ..., Fn) terhadap suatu elemen di puncak matriks. Pembandingan berpasangan kedua dilakukan pada elemen tingkat ketiga antara elemen (A1), perihal dominasi atas (A2, A3,..,An) terhadap tingkat dua. Kemudian seterusnya membandingkan elemen di setiap tingkatan mengikuti struktur hierarki. Perbandingan berpasangan antar elemen tersebut dilakukan dengan pernyataan: “Seberapa kuat elemen baris ke-j dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak hierarki, dibandingkan dengan kolom ke-i ?”. Apabila elemen-elemen yang dibandingkan merupakan suatu peluang atau waktu, maka: “Seberapa lebih mungkin suatu elemen baris ke-j dibandingkan dengan elemen kolom ke-i, sehubungan dengan elemen di puncak hierarki”. Untuk mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen dibanding dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah. Angka 1-9 digunakan apabila Fi lebih mendominasi atau
53
mempengaruhi sifat fokus puncak hierarki (X), dibandingkan dengan Fj, sedangkan apabila Fi kurang mendominasi sifat (X) dibanding Fj maka digunakan angka kebalikannya. Pembobotan setiap elemen diberikan berdasarkan skala dasar perbandingan pada PHA. Tabel 5. Matriks Perbandingan Berpasangan dalam PHA X
A1
A2
A3
…………..
An
A1
A11
A12
a13
…………..
a1n
A2
A21
A22
a23
…………..
a2n
A3
A31
A32
a33
…………..
a3n
…………..
…………..
…………..
…………..
…………..
…………..
An
An1
An2
An3
…………..
Ann
Sumber : Saaty (1993) Matriks pembanding dalam metode PHA dibedakan menjadi: matriks pendapat individu (MPI) dan matriks pendapat gabungan (MPG). MPI adalah matriks hasil perbandingan yang dilakukan individu. Struktur hierarki yang telah disusun menjadi dasar untuk pembuatan kuesioner yang diberikan kepada responden. Kegunaan kuesioner ialah untuk mengetahui pembobotan setiap elemen pada seluruh tingkat struktur hierarki. Kuesioner dibuat dalam bentuk matriks banding berpasangan. Terdapat dua matriks pembanding dalam metode PHA. yaitu: Matriks banding berpasangan antar elemen pada baris ke-i dengan setiap elemen pada kolom ke-j (matriks pendapat individu/MPI).
54
Tabel 6. Skala Dasar Perbandingan pada PHA Intensitas tingkat kepentingan 1 3 5 7 9
2, 4, 6, 8
Nilai kebalikan
Definisi
Sama penting Sedikit lebih penting Lebih penting Sangat lebih penting Mutlak lebih penting Nilai tingkat kepentingan yang mencerminkan suatu nilai kompromi Nilai tingkat kepentingan jika dilihat daari arah yang berlawanan, misalnya jika A sedikit lebih penting dari B (intensitas 3), maka berarti B sedikit kurang penting dibanding A (intensitas 1/3)
Sumber : Saaty (1993) Matriks pendapat gabungan (MPG), adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu. Matriks pendapat gabungan ini harus memiliki rasio inkonsistensi yang lebih kecil atau sama dengan 10 persen. Selain itu, setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. Persyaratan MPG yang bebas dari konflik adalah: a. Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki selisih kurang dari empat satuan antara nilai pendapat individu yang tertinggi dengan nilai yang terendah. b. Tidak terdapat angka kebalikan (resiprokal) pada barisan kolom yang sama.
55
Tabel 7. Matriks Pendapat Gabungan X
G1
G2
G3
…………..
Gn
G1 G2 G3 …………..
G11 G21 G31 …………..
G12 G22 G32 …………..
g13 g23 g33 …………..
………….. ………….. ………….. …………..
Gn2
gn3
…………..
g1n g2n g3n …………. . Gnn
gn1 Gn Sumber: Saaty (1993)
Dalam perhitungan rata-rata geometrik dipergunakan rumus sebagai berikut:
m
g ij = m ∏ ( aij )k k =1
dimana:
gij
= elemen MPG baris ke-i kolom ke-j
(aij)
= elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-k
m
∏
= perkalian dari elemen k=1 sampai ke k=m
m
= jumlah MPI yang memenuhi persyaratan
m
= akar pangkat m
k =1
III.
Tahap Menetapkan Prioritas (Pembobotan)
Struktur hierarki yang telah disusun menjadi dasar untuk pembuatan kuesioner yang diberikan kepada responden untuk mengetahui pembobotan setiap elemen pada seluruh tingkat struktur hierarki. Pembobotan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya dan seterusnya. Pengolahan matriks pendapat dalam studi ini dilakukan berdasarkan pengolahan horizontal. Pengolahan tersebut dapat dilakukan untuk MPI dan MPG.
56
Pengolahan horizontal, terdiri dari tiga bagian, yaitu penentuan vektor prioritas (vektor eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang memiliki rasio inkonsistensi tinggi. Tahapan perhitungannya adalah sebagai berikut: a. Perkalian baris (Z) dengan rumus: n
Zi =
∏
n
a ij
k =1
untuk i, j =1,2,3, ...,n. b. Perhitungan vektor prioritas (VP) atau eigen vektor adalah: n
n
∏
k =1
a ij
VPi = n
n
∑
i=1
n
∏
k =1
a ij
VP = (Vpi), untuk I = 1,2,3,...,n. c. Perhitungan nilai eigen maks (Maks λ ), dengan rumus: VA = (aij) x VP VA VB = VP 1 n = ∑vbi Maks n i=k untuk I = 1,2,3, ....,n.
dengan VA = (vai) dengan VB = (vbi)
λ
d. Perhitungan indeks inkonsistensi (CI) dengan rumus:
CI =
λ
Maks
−n
n −1
e. Perhitungan rasio inkonsistensi (CR) adalah: CR =
CI RI
57
Rasio inkonsistensi merupakan indeks acak (random index) yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory (Saaty, 1993) dari matriks berorde 1 sampai dengan 15 yang menggunakan sampel berukuran 100. Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertangungjawabkan. Tabel 8. Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 2 sampai 8 Orde (n) 2 3 4 5 6 7 8 Sumber: Saaty (1993) IV.
Indeks Acak (RI) 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41
Evaluasi Konsistensi
Pada saat pengisian kuesioner pada tahap matriks perbandingan berpasangan,
terdapat
kemungkinan
terjadinya
penyimpangan
dalam
membandingkan elemen satu dengan elemen yang lainnya, sehingga diperlukan suatu uji konsistensi. Dalam PHA penyimpangan diperbolehkan dengan toleransi rasio inkonsistensi dibawah 10 persen. Langkah ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas-prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang mengunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks. Rasio inkonsistensi diperoleh setelah matriks diolah secara horizontal dengan menggunakan program komputer Expert Choice Version 2000. Jika rasio
58
inkonsistensi mempunyai nilai yang lebih besar dari 10 persen, maka mutu informasi harus ditinjau kembali dan diperbaiki. Perbaikan mutu informasi dapat dilakukan dengan memperbaiki cara menggunakan pertanyaan ketika melakukan pengisian ulang kuesioner dan dengan lebih mengarahkan responden. Pada PHA ini digunakan 4 tingkat (hirarkhi) yaitu: 1.
Tujuan (goal) untuk menentukan strategi proritas penanggulangan kemiskinan,
2.
faktor – faktor penyebab kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur,
3.
alternatif strategi penanggulangan kemiskinan,
4.
alternatif sub-strategi penaggulangan kemiskinan. Urutan-urutan prioritas strategi penanggulangan kemiskinan di wilayah
pembangunan Bogor Timur yang telah disusun berdasarkan teknik PHA dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini :
59
Strategi penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur
Ketimpangan pembangunan di Bogor Timur
Meningkatkan pelayanan pendidikan
Peningkatan jumlah sarana dan prasarana pendidikan
Pemberian beasiswa dan biaya operasional
Kurangnya akses masyarakat terhadap pelayanan umum
Meningkatkan pelayanan kesehatan
Peningkatan jumlah sarana dan prasarana kesehatan
Penambahan tenaga medis
Rendahnya kualitas SDM
Memperbanyak pembangunan infrastruktur
Transportasi
Komunikasi
Faktor penyebab kemiskinan
Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
Kursus dan pelatihan
Bantuan sarana produksi
Permodalan
Gambar 7. Urutan Prioritas Strategi Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Analisis PHA
Alternatif strategi penanggulangan kemiskinan
Alternatif substrategi penanggulangan kemiskinan
60
4.4.
Definisi Operasional
•
Kemiskinan
adalah
ketidakmampuan
seseorang
dalam
memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya. •
Indikator kemiskinan adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan kemiskinan atau suatu alat pengukur perubahan dari kemiskinan.
•
Bekerja adalah melakukan kegiatan/pekerjaan paling sedikit 1 (satu) jam berturut-turut selama seminggu dengan maksud untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
•
Angkatan kerja adalah penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja atau mencari pekerjaan.
•
Pendidikan kepala rumah tangga yang tidak tamat SD mencakup jenjang pendidikan TK dan SD serta tidak pernah sekolah.
•
Pendidikan kepala rumah tangga yang tamat SD mencakup jenjang pendidikan sejak SMP sampai pascasarjana.
•
Sumber penerangan listrik mencakup sumber penerangan yang berasal dari PLN, Listrik Swasta, dan Genset/Diesel.
•
Sumber air minum terlindung mencakup sumber air minum yang berasal dari air minum dalam kemasan serta PDAM.
•
Rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja di sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama.
•
Rumah tangga non-pertanian adalah rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja di sektor non-pertanian sebagai mata pencaharian utama.
61
V. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR
Berdasarkan 14 indikator kemiskinan BPS, 15,38 persen rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur merupakan rumah tangga miskin sedangkan sebagian besar merupakan rumah tangga yang tidak miskin. Persentase rumah tangga miskin yang tertinggi terdapat pada Kecamatan Tanjungsari sebesar 29,74 persen. Persentase rumah tangga miskin yang terendah terdapat pada Kecamatan Gunungputri sebesar 0,6 persen. Desa yang mempunyai persentase rumah tangga miskin tertinggi ialah Desa Sukajaya di Kecamatan Jonggol dengan persentase sebesar 48,43 persen. Persentase rumah tangga miskin yang terendah terdapat pada Desa Bojongkulur di Kecamatan Gunungputri sebesar 0,32 persen. Kecamatan Gunungputri identik dengan sektor non-pertanian yaitu sektor industri sedangkan sektor pertanian masih menjadi sektor yang dominan di Kecamatan Tanjungsari. Hal ini memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin yang tinggi terdapat pada kecamatan-kecamatan dengan sektor pertanian sebagai sektor yang dominan seperti Kecamatan Tanjungsari, Cariu, dan Jonggol. Kecamatan yang identik dengan sektor industri seperti Kecamatan Gunungputri dan Cileungsi relatif memiliki persentase rumah tangga miskin yang rendah. Apabila diklasifikasikan menurut rumah tangga miskin saja, sebagian besar rumah tangga miskin di wilayah pembangunan Bogor Timur mempunyai kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 77,7 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa rumah tangga miskin di wilayah pembangunan Bogor Timur sebagian besar merupakan rumah tangga pertanian sedangkan rumah tangga yang tidak miskin sebagian besar merupakan rumah tangga non-pertanian.
62
Tabel 9 memperlihatkan jumlah dan persentase rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur pada tahun 2006. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Miskin di Bogor Timur Tahun 2006* Kecamatan dan desa Kecamatan Jonggol Desa Balekambang
Total sampel
Jumlah rumah tangga miskin
Persentase rumah tangga miskin
7.917 960
1.749 374
22,09 38,96
704
193
27,41
523 1.776
221 144
42,26 8,11
Desa Singasari
969
167
17,23
Desa Singajaya
1.068
164
15,36
Desa Sirnagalih
108
13
12,04
Desa Sukagalih
721
254
35,23
Desa Sukajaya Desa Sukamanah
446 642
216 3
48,43 0,47
4.388 1.127
64 13
1,46 1,15
483
18
3,73
Desa Bendungan Desa Cibodas Desa Jonggol
Kecamatan Cileungsi Desa Cileungsi Desa Cipenjo Desa Cipeucang
356
19
5,34
Desa Limusnunggal
2.422
14
0,58
Kecamatan Gunungputri Desa Bojongkulur
3.156 2.202
19 7
0,60 0,32
Desa Bojongnangka
741
3
0,40
Desa Ciangsana
213
9
4,23
2.955 543 558
655 177 109
22,17 32,60 19,53
Kecamatan Cariu Desa Babakan Raden Desa Bantar Kuning Desa Cariu
777
67
8,62
Desa Cibatutiga
737
256
34,74
Desa Tegalpanjang
340
46
13,53
2.401 526 372
714 224 61
29,74 42,59 16,40
Desa Selawangi
540
150
27,78
Desa Sukarasa
648
212
32,72
Kecamatan Tanjungsari Desa Buanajaya Desa Pasirtanjung
Desa Tanjungrasa
315
67
21,27
Total / rata-rata
20.817
3.210
15,38
Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006 Keterangan : * Dari data setelah pemilihan (clearing).
63
5.1.
Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga . Berdasarkan hasil tabulasi silang untuk rumah tangga miskin, terlihat
bahwa baik rumah tangga pertanian maupun rumah tangga non-pertanian sebagian besar pendidikan kepala rumah tangganya tidak tamat SD. Untuk rumah tangga tidak miskin, terlihat bahwa sebagian besar rumah tangga non-pertanian kepala rumah tangganya telah tamat SD yaitu sebesar 56 persen. Untuk kepala rumah tangga pertanian yang tidak miskin, sebagian besar tidak tamat SD sebesar 93,2 persen. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa pendidikan kepala rumah tangga pertanian untuk rumah tangga miskin dan tidak miskin relatif setara yaitu tidak tamat SD. Hal tersebut juga memperlihatkan bahwa kepala rumah tangga pertanian cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian di wilayah Bogor Timur yang hanya merupakan buruh tani. Tabel 10 memperlihatkan perbandingan jumlah rumah tangga miskin dan tidak miskin berdasarkan pendidikan kepala rumah tangga. Tabel 10. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga (persen)
Pendidikan kepala rumah tangga Tidak tamat SD Tamat SD
Sektor pekerjaan utama RT miskin Pertanian
Nonpertanian
Sektor pekerjaan utama RT tidak miskin Pertanian
Nonpertanian
98,9
98,6
93,2
44,0
1,1
1,4
6,8
56,0
100,0
100,0
100,0
Total 100,0 Sumber : Suseda Kabupaten Bogor 2006
64
5.2.
Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Pendapatan Kepala Rumah Tangga
Hasil tabulasi silang memperlihatkan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian masih mempunyai pendapatan di bawah 600 ribu rupiah sebesar 89,3 persen. Sebagian besar kepala rumah tangga miskin yang bekerja di sektor non-pertanian juga masih mempunyai pendapatan di bawah 600 ribu rupiah per bulan yaitu sebesar 79,9 persen. Untuk rumah tangga tidak miskin, terlihat bahwa kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian masih memiliki pendapatan di bawah 600 ribu rupiah yaitu sebesar 88,8 persen. Sebagian besar kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non-pertanian telah memiliki pendapatan di atas 600 ribu rupiah yaitu sebesar 59,2 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki pendapatan yang relatif rendah baik untuk rumah tangga miskin maupun tidak miskin. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian merupakan buruh tani yang berpendapatan rendah. Pendapatan yang rendah tersebut salah satunya disebabkan oleh jenis tanah di wilayah Bogor Timur yang kurang cocok untuk kegiatan pertanian. Hal ini mengakibatkan produktivitas dari komoditas pertanian tidak maksimal sehingga hasil pertanian yang berkualitas untuk dipasarkan sulit didapat. Dengan terbatasnya hasil pertanian yang dapat dijual, maka petani pun cenderung mendapat pendapatan yang relatif rendah dari hasil kerjanya. Tabel 11 memperlihatkan perbandingan jumlah rumah tangga miskin dan tidak miskin berdasarkan pendapatan kepala rumah tangga.
65
Tabel 11. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Pendapatan Kepala Rumah Tangga (persen)
Pendapatan KK dari sektor pekerjaan utama
Sektor pekerjaan utama RT miskin Pertanian