KONDISI KETIMPANGAN EKONOMI ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TIMUR
OLEH SOULMA ARUM MARDIANA H14080055
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN
SOULMA ARUM MARDIANA. H14080055. Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur (dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL). Ketimpangan ekonomi antar wilayah disebabkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah. Trend ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001 hingga 2010 yang dianalisis menggunakan Indeks Williamson menunjukkan adanya konvergensi. Namun, terdapat perbedaan yang sangat jauh antara PDRB per kapita tertinggi dengan terendah pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, sehingga kecenderungan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur masih cukup tinggi. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam mengatasi ketimpangan ekonomi antar wilayah adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, mengidentifikasi daerah relatif tertinggal dan memacu pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat dan Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan kuantitatif, yakni tujuan pertama diukur menggunakan Indeks Williamson, tujuan kedua diidentifikasi menggunakan Klassen Typology, dan tujuan ketiga dianalisis menggunakan metode data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang diukur menggunakan Indeks Williamson cenderung menurun, namun masih termasuk dalam ketimpangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,52-0,58. Ketimpangan ekonomi selama periode analasis berfluktuasi dan cenderung menurun sebesar 0,034 poin pada tahun 2010 apabila dibandingkan dengan tahun 2001. Berdasarkan klasifikasi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menggunakan Klassen Typology, terdapat enam kabupaten/kota yang masuk daerah maju dan pertumbuhan cepat dengan persentase sebesar 15,80 persen dari jumlah total kabupaten/kota, sembilan kabupaten/kota masuk dalam daerah berkembang cepat dengan persentase sebesar 23,68 persen dari jumlah kabupaten/kota, dua kabupaten/kota masuk daerah maju tetapi tertekan dengan persentase sebesar 5,26 persen dari jumlah keseluruhan kabupaten/kota, dan 21 kabupaten/kota masuk daerah relatif tertinggal dengan persentase sebesar 55,26 persen dari keseluruhan kabupaten/kota. Berdasarkan analisis regresi data panel mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah pekerja, tabungan dan anggaran pembangunan signifikan berpengaruh terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah yang sebaiknya dilakukan yaitu meningkatkan jumlah guru di daerah tertinggal agar kualitas pendidikan dapat meningkat dengan cara memberikan insentif dan fasilitas yang memadai kepada guru yang mau mengajar di daerah tersebut, meningkatkan jumlah dokter di daerah tertinggal agar kualitas kesehatan dapat meningkat dengan cara memberikan tunjangan maupun rumah dinas bagi dokter yang bersedia mengabdi di daerah tersebut, dan mengembangkan sektor-sektor yang memiliki peranan besar terhadap pertumbuhan ekonomi agar dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah relatif tertinggal. Misalnya mengembangkan sektor pertanian yang memiliki peranan paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Pengembangan agribisnis dengan basis padat karya sebaiknya dilakukan agar lapangan pekerjaan di daerah tertinggal dapat meningkat dan hal ini juga dapat meningkatkan daya saing dari komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran pembangunan di daerah relatif tertinggal untuk pembiayaan perbaikan dan pengembangan infrastruktur maupun kualitas pendidikan dan kesehatan, serta sektor-sektor lain yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu lebih cepat.
KONDISI KETIMPANGAN EKONOMI ANTAR KABUPATEN/KOTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PROVINSI JAWA TIMUR
OLEH SOULMA ARUM MARDIANA H14080055
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Soulma Arum Mardiana
NIM
: H14080055
Judul Skripsi
: Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP. 1957 0904 1983031005
Mengetahui, Ketua Departemen
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 1964 1022 1989031003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2012
Soulma Arum Mardiana H14080055
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Soulma Arum Mardiana lahir pada tanggal 3 Januari 1990 di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Nurud Dhuha dan Sri Supadmi Rahayu. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menyelesaikan jenjang sekolah dasar pada SDN Pucang II Sidoarjo, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Sidoarjo dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 3 Sidoarjo dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Koperasi Mahasiswa dan beberapa kepanitiaan yang diadakan himpunan mahasiswa.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Judul skripsi ini adalah “Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur”. Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan salah satu permasalahan di Indonesia yang belum mampu diatasi dengan baik. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur yang tinggi, tidak membuat daerah tersebut terbebas dari masalah ketimpangan antar wilayah. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut dan diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan perekonomian, terutama pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis selama proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. Agr selaku dosen penguji utama yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3.
Deniey Adi Purwanto, M.SE selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan untuk skripsi ini.
4.
Kedua orang tua penulis, Nurud Dhuha dan Sri Supadmi Rahayu, serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan restu kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
5.
Dedi Budiman Hakim, Ph.D sebagai Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
6.
Teman-teman penulis, khususnya Ilmu Ekonomi 45 untuk kebersamaannya.
7.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2012
Soulma Arum Mardiana H14080055
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
v
I.
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1
Latar Belakang .......................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ...............................................................
6
1.3
Tujuan Penelitian ...................................................................
9
1.4
Manfaat Penelitian .................................................................
9
1.5
Ruang Lingkup Penelitian .....................................................
10
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .........
11
2.1
Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah ..................................
11
2.2
Teori Pertumbuhan Ekonomi .................................................
14
2.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi .................................................................................
17
2.3.1 Sumber Daya Manusia.................................................
17
2.3.2 Infrastruktur ..................................................................
18
2.3.3 Anggaran Pembangunan...............................................
19
2.3.4 Tabungan ......................................................................
19
2.4
Penelitian Terdahulu ..............................................................
20
2.6
Kerangka Pemikiran ...............................................................
24
METODE PENELITIAN ................................................................
27
3.1
Jenis dan Sumber Data ...........................................................
27
3.2
Metode Analisis ...................................................................... 27
II.
III.
3.2.1 Analisis Ketimpangan EkonomiAntar Wilayah ...........
27
3.2.2 Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah ................... 29 3.2.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB .................................................................... 30 3.3
Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik ..............................
34
3.3.1 Multikolinearitas ...........................................................
34
3.3.2 Autokorelasi .................................................................. 34
ii
3.3.3 Heteroskedastisitas ........................................................ 35 IV.
V.
GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR ......................
36
4.1
Kondisi Geografis ..................................................................
36
4.2
Wilayah Administratif dan Kependudukan ...........................
36
4.3
Kondisi Sosial ........................................................................
39
4.4
Kondisi Perekonomian ...........................................................
40
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
44
5.1
Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur ........................................................... 44
5.2
Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur ..........................................................
45
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Daerah Tertinggal di Provinsi Jawa Timur ............................
47
5.3 5.4 VI.
Implikasi Kebijakan untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah Relatif Tertinggal di Provinsi Jawa Timur ................. 52
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
59
6.1
Kesimpulan ............................................................................. 59
6.2
Saran .......................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
61
LAMPIRAN .............................................................................................
64
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Nasional Tahun 2004-2010 (Persen) .....................
4
1.2 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (juta Rupiah) ................................................................
8
3.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen ..............................................................................
30
4.1 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) ........................................ 43 5.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Menurut Tipologi Klassen ...........................................
46
5.2 Hasil Uji Hausman ........................................................................... 48 5.3 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB di Daerah Relatif Tertinggal menggunakan Fixed Effect Model ...... 49 5.4 Notasi Variabel Bebas dan Deskripsi pada Model Estimasi Laju PDRB Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur ........... 51 5.5 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur ......................................................................... 52
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1 Hubungan Output, Konsumsi, dan Investasi dalam Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................................... 16 2.2 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 26 4.1 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2006-2010 (persen) ............................ 41 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 1998-2010 ........................................... 44
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 ........
65
2.
Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 ........
66
3.
PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 (Rp Juta) .........................................
67
PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 (Rp Juta) .........................................
68
4. 5.
Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur ......................................... 69
6.
Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ................................................ 70
7.
Hasil Uji Hausman ........................................................................... 71
8.
Hasil Estimasi Model ....................................................................... 72
9.
Cross Section Effects ........................................................................ 73
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena
global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan ekonomi telah menjadi permasalahan yang umum terjadi di suatu negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Kesenjangan ekonomi yang terjadi di negara maju timbul karena dianutnya sistem ekonomi kapitalis pada negara tersebut. Sistem tersebut justru menyebabkan kesenjangan semakin melebar, bahkan menimbulkan krisis seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. Ketimpangan ekonomi antar wilayah yang terjadi pada negara berkembang umumnya muncul karena adanya proses pembangunan yang sedang berlangsung. Pembangunan ekonomi lebih banyak dilakukan pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang baik. Sedangkan potensi sumber daya di setiap daerah berbeda. Kemampuan yang dimiliki setiap wilayah untuk membangun daerahnya sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut, misalnya sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan (modal dan infrastruktur), sumber daya sosial yang meliputi ekonomi, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, letak geografis, sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan pembangunan dan mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dicapai masyarakat di setiap daerah berbeda.
2
Pembangunan ekonomi merupakan cara bagi suatu negara untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan ekonomi dilakukan secara berkesinambungan dan terencana untuk dapat menciptakan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Program pembangunan ekonomi sebaiknya dilakukan di seluruh penjuru negara agar lebih merata. Pembangunan ekonomi bukan hanya dikerjakan di wilayah pusat pemerintahan saja, tetapi juga di daerah-daerah lain agar manfaatnya dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Program yang sebaiknya dijalankan oleh suatu negara adalah dengan cara memacu sektor industri terutama yang berbasis padat karya, sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang banyak dan akan mengurangi pengangguran. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) juga dapat dijadikan program untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Negara yang telah sukses mengembangkan program ini adalah India dengan koperasi susunya. Pemerintah juga harus memperhatikan infrastruktur yang ada di wilayahnya. Infrastruktur yang memadai dapat menarik pemodal untuk menginvestasikan dananya di wilayah tersebut. Infrastruktur juga salah satu modal yang dimiliki suatu daerah dalam meningkatkan produktivitasnya. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi pembangunan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Malaysia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat inflasi rendah. Pertumbuhan ekonomi yang baik ini didukung oleh tenaga terdidik dan trampil yang cukup banyak, serta kondisi politik yang stabil. Pemerintah Malaysia telah mengadakan investasi yang besar dalam bidang pendidikan. Berkat keberhasilan investasi pendidikan dan
3
program penciptaan lapangan kerja, Malaysia memiliki angka kemiskinan yang tergolong rendah di kalangan negara-negara berkembang, yaitu sekitar 15 persen. Program yang dilakukan oleh Cina pada tahun 1975 untuk meningkatkan perekonomiannya dikenal dengan istilah “Program Empat Modernisasi”. Program ini
bertujuan
untuk
melipatgandakan
produksi
pertanian
secara
cepat,
mengembangkan industri, memacu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperkuat pertahanan nasional. Pada tahun 1980, disahkan rencana pembangunan yang mencakup pengembangan reformasi pertanian (pemberian hak sewa tanah dalam jangka panjang dan pemberian ijin kepada para petani untuk melakukan spesialisasi dalam bercocok tanam serta terlibat aktif dalam berbagai kegiatan nonpertanian), hak swamanajemen, pengenalan persaingan pasar yang lebih besar, keringanan pajak bagi perusahaan swasta, dan pemberian aneka fasilitas kemudahan bagi pengusaha Cina untuk menjalin hubungan langsung dengan mitra-mitranya atau semua pengusaha di mancanegara. Reformasi ini membuahkan keberhasilan yang besar. Tingkat pendapatan nasional, output pertanian dan industri meningkat 10 persen per tahun selama periode 1980-1990. Pendapatan riil petani meningkat dua kali lipat, penghasilan para pekerja di perkotaan naik setengahnya. Cina juga berhasil dalam swasembada pangan. Sektor industri di pedesaan berkembang pesat dan mampu menyerap surplus tenaga kerja (Todaro, 2003). Penelitian pertama mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia dilakukan oleh Hendra Esmara pada tahun 1975 menggunakan Indeks Williamson sebagai ukuran ketimpangan antar wilayah. Namun penelitian ini belum menghasilkan kesimpulan yang jelas karena keterbatasan data. Kemudian penelitian dilanjutkan
4
oleh Uppal dan Handoko pada tahun 1986, dari penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju. Selain itu, indeks ketimpangan cenderung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan antar wilayah di Indonesia belum mencapai puncaknya. Peningkatan ketimpangan antar wilayah membawa implikasi negatif dan mendorong timbulnya kecemburuan sosial daerah terbelakang terhadap daerah maju yang dapat menimbulkan permasalahan sosial dan politik apabila tidak segera diatasi (Sjafrizal, 2008). Provinsi Jawa Timur menjadi penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali. Lokasi Jawa Timur yang strategis menjadikan provinsi ini sebagai pintu gerbang perdagangan antara Kawasan Tengah, Kawasan Timur dan Kawasan Barat Indonesia. Sehingga Jawa Timur memiliki peluang yang besar dalam pembangunan ekonomi.Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diduga dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi. Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua setelah DKI Jakarta yang memiliki laju pertumbuhan paling tinggi. Tabel 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Nasional Tahun 2004-2010 (dalam persen) Daerah Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 DKI Jakarta 5,65 6,01 5,95 6,44 6,23 5,02 6,51 Jawa Barat 4,77 5,60 6,02 6,48 6,21 4,19 6,09 Banten 5,63 5,88 5,57 6,04 22,53 4,69 5,94 Jawa Tengah 5,13 5,35 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84 DI Yogyakarta 5,12 4,73 3,70 4,31 5,03 4,43 4,87 Jawa Timur 5,83 5,87 5,80 6,11 6,16 5,01 6,68 Nasional 5,05 5,60 5,19 5,67 6,43 4,74 6,08 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Jawa Timur terus mengalami
5
kemajuan. Meskipun perekonomian di Jawa Timur menunjukkan kemajuan, tetapi berdasarkan hasil pendapatan daerah, namun kemajuan ekonominya tidak diimbangi
dengan
adanya
pemerataan
antar
kabupaten/kota.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa Provinsi Jawa Timur tidak terbebas dari masalah ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota. Kesenjangan ekonomi antar wilayah masih banyak terjadi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat memberikan dampak negatif, misalnya adanya urbanisasi dari desa ke kota.Menurut Todaro (2003), migrasi dapat memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung. Dalam sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui batasan pertumbuhan penduduk. Kehadiran para pendatang cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga yang sangat bernilai di pedesaan semakin berkurang. Ketidakseimbangan struktural akibat migrasi dalam sisi permintaan yaitu penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, sehingga permintaan tenaga kerja di perkotaan cenderung menurun. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh migrasi dapat
memperburuk
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
dan
menyebabkan
keterbelakangan di pedesaan. Migrasi meningkatkan pengangguran di perkotaan yang dapat menimbulkan permasalahan sosial, seperti kriminalitas. Oleh karena itu, masalah ketimpangan ekonomi antar wilayah penting untuk segera diatasi oleh pemerintah, agar tidak terjadi migrasi penduduk dari desa ke kota.
6
1.2
Perumusan Masalah Permasalahan ketimpangan ekonomi di Indonesia sudah muncul sejak tahun
1970-an.Perbedaan potensi sumber daya yang dimiliki setiap daerah di Indonesia menjadi salah satu penyebab ketimpangan yang terjadi di negara ini.Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, perbedaan pengelolaan ekonomi wilayah, kondisi demografis juga menjadi penyebab lain dari ketimpangan ekonomi antar wilayah. Masalah ketimpangan ekonomi antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur pernah menjadi isu politik bahkan menimbulkan gerakan separatisme. Adanya perbedaan pembangunan antara Indonesia bagian barat dengan timur menimbulkan kecemburuan dari masyarakat di Indonesia bagian timur. Pembangunan lebih diutamakan di daerah Indonesia bagian barat, termasuk Pulau Jawa. Sehingga masyarakat di kawasan Indonesia timur melakukan tindakan separatisme dengan membentuk suatu perkumpulan seperti Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kesenjangan sosial-ekonomi bukan hanya terjadi diantara Pulau Jawa dengan Luar Jawa. Permasalahan ini juga muncul di dalam Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Timur. Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai pemerataan sejak tahun 1969 dengan adanya program pembangunan jangka panjang yang disebut Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Namun pada saat itu, pemerataan belum menjadi prioritas utama. Sejak memasuki Pelita III (1979-1984) hingga Repelita VI (1994-1999), pemerataan menjadi prioritas utama. Akan tetapi, program ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kesejahteraan masyarakat di Indonesia meningkat daripada masa-masa sebelumnya, tetapi
7
peningkatan ini tidak dengan sendirinya mengurangi ketimpangan ekonomi. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pada masa Orde Baru dalam mengatasi ketimpangan ekonomi adalah dengan membuat kebijakan mengenai Otonomi Daerah, kemudian dibentuklah Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada Undang-undang ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Meskipun telah dibentuk UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah, namun pada kenyataannya yang terjadi adalah sentralisasi
yang
dominan
dalam
perencanaan
maupun
implementasi
pembangunan Indonesia, ketergantungan Pemerintah Daerah masih relatif tinggi terhadap Pemerintah Pusat. Setelah masa Orde Baru berakhir, UU No. 5 Tahun 1974 kemudian digantikan oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mengatasi masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah. Keberadaan Otonomi Daerah memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk membangun wilayahnya dengan lebih baik dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat di daerahnya.
Pemerintah
Daerah
memiliki
wewenang
untuk
melakukan
pembangunan ekonomi dalam rangka mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Karena wewenang ada pada Pemerintah Daerah maka diharapkan kegiatan pembangunan yang dilakukan dapat lebih merata dan tepat sasaran, sehingga pada akhirnya akan mengurangi kesenjangan antar wilayah.
8
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa masih ada jarak yang cukup jauh antara PDRB per kapita kabupaten/kota di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari nilai PDRB per kapita tertinggi pada tahun 2010 diduduki oleh Kota Kediri dengan nilai sebesar 88,65 juta rupiah. Sedangkan PDRB per kapita terendah hanya sebesar 2,66 juta rupiah, sangat jauh dari rata-rata provinsi yang sebesar 9,49 juta rupiah. Hal ini menunjukkan masih belum meratanya distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Tabel 1.2 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 (juta Rupiah) No. Kode Kabupaten/Kota 1. 71 Kota Kediri 2. 78 Kota Surabaya 3. 73 Kota Malang 4. 15 Kab. Sidoarjo 5. 25 Kab. Gresik 6. 77 Kota Madiun 7. 76 Kota Mojokerto 8. 74 Kota Probolinggo 9. 16 Kab. Mojokerto 10. 4 Kab. Tulungagung 11. 72 Kota Blitar 12. 79 Kota Batu 13. 10 Kab. Banyuwangi 14. 23 Kab. Tuban 15. 8 Kab. Lumajang 16. 13 Kab. Probolinggo 17. 75 Kota Pasuruan 18. 7 Kab. Malang 19. 12 Kab. Situbondo
Nilai 88,65 33,33 18,33 14,37 14,12 12,50 10,78 9,54 8,15 8,00 7,67 7,56 7,07 6,86 6,39 6,34 6,19 6,16 5,45
No. Kode Kabupaten/Kota 20. 18 Kab. Nganjuk 21. 17 Kab. Jombang 22. 6 Kab. Kediri 23 20 Kab. Magetan 24. 24 Kab. Lamongan 25. 5 Kab. Blitar 26. 9 Kab. Jember 27. 22 Kab. Bojonegoro 28. 29 Kab. Sumenep 29. 14 Kab. Pasuruan 30. 19 Kab. Madiun 31. 3 Kab. Trenggalek 32. 11 Kab. Bondowoso 33. 2 Kab. Ponorogo 34. 26 Kab. Bangkalan 35. 21 Kab. Ngawi 36. 27 Kab. Sampang 37. 1 Kab. Pacitan 38. 28 Kab. Pamekasan Rata-rata Provinsi Jawa Timur
Nilai 5,23 5,21 5,21 5,10 5,04 5,03 4,94 4,81 4,57 4,56 4,50 4,42 4,40 3,84 3,72 3,69 3,30 2,75 2,66 9,49
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Kesenjangan masih menjadi persoalan yang penting untuk diatasi oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur. Apabila kesenjangan tidak segera diselesaikan, maka masalah ini dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah:
9
1. Bagaimana kecenderungan ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur? 2. Apabila ketimpangan ekonomi antar wilayah semakin melebar atau telah berkurang namun masih cukup tinggi, berapa banyak daerah yang termasuk daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah yang tertinggal? 4. Bagaimana implikasi kebijakan yang tepat dalam memacu pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah: 1.
Mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.
2.
Mengidentifikasi daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan.
4.
Merumuskan
implikasi
kebijakan
yang
tepat
dalam
memacu
pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
sebagai
bahan
pertimbangan dan masukan bagi pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam
10
merumuskan dan menentukan kebijakan yang tepat, sehingga dapat mengatasi kesenjangan ekonomi di masa yang akan datang. Penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi masyarakat yang akan melakukan penelitian sejenis sebagai bahan acuan untuk pengembangan pembangunan ekonomi khususnya di Provinsi Jawa Timur dan wilayah lain secara umum.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah menganalisis ketimpangan ekonomi antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah tertinggal di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, analisis faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan hanya pada daerah-daerah yang tertinggal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan
ekonomi
antar
wilayah
merupaka
ketidakseimbangan
pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan muncul karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Sehingga kemampuan suatu daerah dalam proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu, pada setiap daerah terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang.
Ketimpangan
juga
memberikan
implikasi
terhadap
tingkat
kesejahteraan masyarakat antar wilayah yang akan mempengaruhi formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah (Sjafrizal, 2008). Beberapa faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi menurut Sjafrizal (2008) adalah: a. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam Adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan
kandungan
sumberdaya
alam
cukup
tinggi
akan
dapat
memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah
12
dibandingkan
dengan
daerah
lain
yang
mempunyai
kandungan
sumberdaya alam lebih rendah. Sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. b. Perbedaan Kondisi Demografis Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah. c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi. Apabila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Migrasi yang kurang lancar dapat menyebabkan kelebihan tenaga kerja pada suatu daerah. Akibatnya daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. d. Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi cukup besar. Kondisi ini
13
akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah Investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Upaya untuk menanggulangi ketimpangan ditentukan oleh faktor-faktor penyebab ketimpangan yang telah diuraikan sebelumnya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan yaitu (a) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (b) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (c) pengembangan pusat pertumbuhan; dan (d) pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Todaro (2003), pertumbuhan ekonomi uang dihasilkan oleh beberapa orang saja akan menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan yang semakin parah. Kemiskinan dan ketimpangan akan menimbulkan pengaruh negatif yang dapat merugikan masyarakat. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi, masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikan bagi anak mereka ataupun mengembangkan bisnis. Disparitas (kesenjangan) pembangunan antar daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam: (a) pendapatan perkapita, (b) kualitas sumber daya manusia, (c) ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan telekomunikasi, (d) pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dsb., dan (e)
14
akses ke perbankan. Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama disebabkan oleh: (a) distorsi perdagangan antar daerah, (b) distorsi pengelolaan sumber daya alam dan (c) distorsi sistem perkotaan-perdesaan. Distorsi sistem perkotaan-perdesaan menggambarkan tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan over-concentration pertumbuhan pada kotakota tertentu, terutama kota-kota besar dan metropolitan di Pulau Jawa. Di sisi lain, pertumbuhan kota-kota lain dan perdesaan relatif lebih tertinggal. Padahal idealnya, sebagai suatu sistem perkotaan-perdesaan, terdapat keterkaitan dan interaksi yang positif baik antar tipologi kota maupun antara perkotaan dengan perdesaan. Dalam perspektif tersebut, perkotaan perdesaan merupakan satu kontinum (Daryanto, 2003). Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang pertama kali dikemukakan adalah Indeks Williamson pada tahun 1966. Indeks ini digunakan oleh Jeffrey G. Williamson untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.
2.2
Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat
yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah
15
selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut, juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Tarigan, 2004). Boediono (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, jadi persentase pertambahan output harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Ada ahli ekonomi yang membuat definsi lebih ketat yaitu pertumbuhan harus bersumber dari proses interen perekonomian tersebut, ketentuan yang terakhir ini sangat penting di perhatikan dalam ekonomi wilayah karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi petumbuhan itu tercipta karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu terhenti apabila suntikan dana dihentikan. Dalam kondisi seperti ini sulit dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh. Wajar apabila suatu wilayah terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar di bandingkan wilayah lain. Akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu, wilayah tersebut harus tetap bisa tumbuh walaupun tidak memperoleh alokasi yang berlebihan. Menurut Mankiw (2004), untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk domestik bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana tabungan, pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya
16
sepanjang waktu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksinya. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output. y
Depresiasi = δk Output = f(k) c
Investasi = sf(k) i k
Sumber: Mankiw, 2004
Gambar 2.1 Hubungan Output, Konsumsi, dan Investasi dalam Pertumbuhan Ekonomi Terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal, yaitu investasi (i) dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, hal ini menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, sehingga menyebabkan persediaan modal berkurang. Setiap nilai k, jumlah output ditentukan oleh fungsi produksi f(k), dan alokasi output itu di antara konsumsi (c) dan tabungan ditentukan oleh tingkat tabungan s. Dumairy (1996) menuliskan bahwa PDB secara umum disebut agregat ekonomi, yang berarti angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu negara. Dari agregat ekonomi ini dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil, harus menghilangkan pengaruh
17
perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku, sehingga terbentuk angka agregat ekonomi menurut harga konstan. Pola pertumbuhan ekonomi dapat dianalisis menggunakan Klassen Typology. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Terdapat empat karakteristik pola pertumbuhan ekonomi dalam tipologi ini, yaitu daerah maju dan pertumbuhan cepat, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif tertinggal.
2.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kemampuan suatu daerah dalam memajukan wilayahnya pasti dipengaruhi
oleh bermacam-macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi perlu diteliti agar dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Apabila pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu, maka diharapkan hal ini dapat
mengurangi
bahkan
menghilangkan
kesenjangan
ekonomi
antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. 2.3.1 Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan salah satu modal yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Prahara (2010), sumber daya yang dicerminkan pada kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia berhubungan dengan proses produksi. Tenaga kerja dianggap sebagai faktor
18
positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja merupakan modal utama bagi suatu daerah untuk berproduksi. Kualitas sumber daya manusia juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila kualitas sumber daya manusia di suatu daerah baik, maka diharapkan perekonomiannya juga akan lebih baik. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari kualitas pendidikan, kesehatan, atau indikatorindikator
lainnya.
Tingkat
pendidikan
yang
baik
akan
mempengaruhi
perekonomian melalui peningkatan kapabilitas penduduk, sehingga akan meningkatkan produktivitas dan kreativitas, serta menentukan kemampuan dalam menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Kualitas pendidikan yang tinggi tidak akan berarti jika tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah. Tingkat kesehatan yang rendah akan memberikan dampak pada produktivitas yang tidak maksimal. Sehingga kualitas kesehatan harus dijaga dengan cara memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Sehingga produktivitas tenaga kerja semakin baik dan mampu meningkatkan produksi yang berarti akan meningkatkan perekonomian. 2.3.2 Infrastruktur Infrastruktur merupakan penunjang utama terselenggaranya proses usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya. Infrastruktur menjadi elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah karena infrastruktur memfasilitasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan ekonomi. Contoh-contoh infrastruktur adalah jalan raya, fasilitas air bersih, telekomunikasi, pertanian teririgasi, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, infrastruktur dianalisis melalui panjang jalan, produksi air yang disalurkan kepada masyarakat, dan luas sawah
19
yang teririgasi. Kondisi jalan yang baik dapat memperlancar mobilitas barang dan jasa. Fasilitas irigasi dapat memperbaiki kualitas lahan pertanian, sehingga produktivitasnya akan meningkat. Ketersediaan air bersih merupakan penunjang bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat. Selain itu air bersih juga menjadi penunjang proses produksi suatu komoditi (Todaro, 2003). 2.3.3 Anggaran Pembangunan Anggaran pembangunan merupakan dana yang dialokasikan untuk pembangunan bagi suatu daerah. Pada penelitian yang dilakukan Prahara (2010), anggaran pembangunan menjadi salah satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Anggaran tersebut menjadi salah satu alat yang berperan penting dalam peningkatan pembangunan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. Masyarakat yang sejahtera merupakan salah satu indikator bahwa daerah tersebut telah berkembang dan mengalami kemajuan perekonomian. 2.3.4 Tabungan Menurut model pertumbuhan Solow tingkat tabungan dalam jangka panjang pada perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output (Mankiw, 2004). Dalam model Solow, kenaikan tingkat tabungan memunculkan periode pertumbuhan yang cepat, tetapi akhirnya pertumbuhan itu melambat ketika kondisi mapan yang baru dicapai. Sehingga tabungan diduga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah.
20
2.4
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai ketimpangan regional untuk tingkat nasional pernah
dilakukan oleh Prasasti (2006) dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia selama periode 1993-2003 semakin merata, sebagaimana terlihat pada Indeks Williamson yang semakin menurun. Nilai ketimpangan distribusi PDRB per kapita pada tahun 1993 sebesar 1,5247. Nilai ketimpangan hingga pada tahun 1996 terus mengalami peningkatan menjadi 1,6794. Namun nilai ketimpangan pada tahun 1997 menjadi 1,6778 dan terus mengalami penurunan. Sehingga pada tahun 2003 nilai ketimpangan ini menjadi 0,8974. Hasil perhitungan konvergensi yang bernilai negatif menunjukkan bahwa PDRB per kapita di daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah kaya dan telah terjadi penurunan kesenjangan. Besarnya laju konvergensi adalah 4,5 persen per tahun selama periode 19932003. Fitria (2006), melakukan penelitian yang menganalisis kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 1993-2004 dengan menggunakan formulasi Williamson. Dari hasil analisis diperoleh bahwa tingkat kesenjangan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis ekonomi periode 1993-1998 tinggi, sedangkan setelah krisis pada periode 1998-2004 tingkan kesenjangan mulai menurun. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan pendapatan sebesar 0,9908, sedangkan pada tahun 1996 menurun menjadi 0,9900. Pada periode setelah krisis tahun 1998, tingkat kesenjangan kembali meningkat menjadi 0,9924, namun pada tahun 2004 kesenjangan menurun menjadi 0,9910. Menurunnya tingkat kesenjangan ini disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang
21
lebih baik dan kualitas sumberdaya manusia yang meningkat juga. Perubahan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistis juga turut memberikan pengaruh terhadap adanya penurunan kesenjangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan pada masing-masing wilayah untuk dapat mengembangkan potensi sehingga daerahnya semakin maju dan pembagian pendapatn lebih merata. Hasil analisis konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 menunjukkan tidak ada konvergensi, dengan kata lain terjadi divergensi. Nilai koefisien regresi lebih besar dari nol, maka tingkat pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak merata. Hasil pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB adalah: untuk periode 1993-1994 faktor yang signifikan yaitu tingkat pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB periode 1997-1998 adalah pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan pendidikan. Pada periode 20032004 yang signifikan berpengaruh adalah jumlah penduduk. Untuk periode tahun 1993-2004
yang
signifikan
mempengaruhi
pertumbuhan
PDRB
antar
kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Penelitian yang dilakukan oleh Bhinadi (2003) mengenai disparitas pertumbuhan ekonomi Jawa dengan luar Jawa menggunakan metode fixed effect menunjukkan bahwa perbedaan angka pertumbuhan pendapatan per kapita riil antara Jawa dengan luar Jawa terutama disebabkan oleh perbedaan produktivitas faktor total. Pertumbuhan kapital secara positif juga signifikan di dalam mempengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita dan mempunyai peran paling besar dibandingkan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas sumber daya manusia. Peran pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas SDM
22
sangat kecil dan tidak signifikan di dalam model pertumbuhan ekonomi regional. Pertumbuhan tenaga kerja mempunyai kontribusi negatif, dan kontribusi pertumbuhan kualitas SDM kontribusinya positif. Hasil pengujian secara statistik menggunakan uji t dan uji F untuk mengetahui ada tidaknya disparitas regional di Indonesia memberikan hasil bahwa tidak terdapat disparitas pertumbuhan pendapatan per kapita antara Jawa dengan luar Jawa. Permasalahan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur pernah diteliti oleh Kristiyanti (2007). Dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur”, Kristiyanti mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu). Penelitian ini difokuskan pada sektor basis di Provinsi Jawa Timur. Alat analisa yang digunakan yaitu Location Quotient(LQ)untuk mengetahui sektor basis ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Indeks Williamson untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan daerah. Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah atau PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar
23
dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah. Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama perode pengamatan sebesar 45 persen. Purnamasyari
(2010)
melakukan
penelitian
mengenai
kesenjangan
pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2001-2008 dengan menggunakan Indeks Ketimpangan Williamson, Klassen Typology dan model data panel. Indeks Ketimpangan Williamson digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan pendapatan serta menganalisa trend kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota. Berdasarkan Indeks Ketimpangan Williamson pada periode pengamatan tahun 2001-2008 kesenjangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,61 sampai 0,69 yang berarti berada di atas 0,50 sebagai batas kesenjangan taraf sedang. Ketimpangan selama periode analisis berfluktuasi dan cenderung menurun dengan penurunan sebesar 0,03 poin pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2001. Klassen Typology digunakan untuk mengetahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. Berdasarkan Klassen Typology, selama periode analisis kondisi terbaik terjadi
24
pada tahun 2002 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju dan pertumbuhan cepat sebanyak 18,18 persen dari jumlah total kabupaten/kota. Sedangkan kondisi terburuk terjadi pada tahun 2007 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah kurang berkembang sebanyak 63,64 persen dari jumlah total kabupaten/kota di Jawa Barat. Sedangkan model data panel digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang dapat mendorong untuk membantu peningkatan PDRB terutama bagi daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Hasil analisis menggunakan data panel menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif secara signifikan terhadap PDRB, sedangkan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri berpengaruh negatif secara signifikan terhadap PDRB. Indeks pendidikan dan indeks kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB.
2.5
Kerangka Pemikiran Karakteristik alam, ekonomi, sosial, dan budaya yang beraneka ragam pada
masing-masing daerah menimbulkan pola pembangunan ekonomi yang berbeda. Hal ini menyebabkan adanya beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lain tumbuh dengan lambat. Perbedaan kemampuan untuk bertumbuh menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti ketimpangan pendapatan antar wilayah, sektor, golongan, dan desa-kota. Desentralisasi sistem pemerintah merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketimpangan. Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengatur
pembangunan
wilayahnya.
Setiap
daerah
diharapkan
dapat
25
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh daerahnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Tujuan pembangunan ekonomi dapat dicapai melalui suatu perencanaan yang baik dan terkendali. Perencanaan yang dibuat harus sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi yang besar dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian ini berupaya menjawab beberapa tujuan yaitu mengukur tingkat kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan Indeks Williamson. Besarnya nilai ketimpangan ekonomi setiap tahun selama periode penelitian dapat diketahui, kemudian diplot ke dalam sebuah grafik agar terlihat trend ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Analisis pola pertumbuhan ekonomi dilakukan menggunakan Klassen Typology. Klassen Typology dianalisis menggunakan data PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah di Provinsi Jawa Timur. Sehingga diperoleh hasil wilayah-wilayah yang mengalami kemajuan atau kemunduranpada tahun 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB di setiap kabupaten/kota yang masuk ke dalam daerah tertinggal pada Klassen Typologydianalisis menggunakan metode data panel dengan beberapa indikator yaitu kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan. Setelah diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju PDRB, diharapkan pemerintah dapat
26
menentukan kebijakan yang sesuai agar terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya mampu mengurangi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.
• • • •
Ketidakseimbangan Pertumbuhan Ekonomi Antar Wilayah
Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota
Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Klassen Typology)
Analisis Ketimpangan Ekonomi (Indeks Williamson)
Daerah maju dan pertumbuhan cepat Daerah berkembang cepat Daerah maju tetapi tertekan Daerah relatif tertinggal
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB Daerah Tertinggal
Rekomendasi Kebijakan Pemerintah
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode
tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten dan kota yang dianalisis berjumlah 38, terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Data yang diperlukan meliputi: (1) jumlah penduduk, (2) PDRB, (3) jumlah pekerja, (4) luas pertanian teririgasi, (5) panjang jalan, (6) anggaran pembangunan daerah, (7) produksi air yang disalurkan, (8) tabungan, (9) rasio murid terhadap guru, (10) rasio dokter setiap puskesmas. Sumber data tersebut diperoleh dari: (1) BPS Pusat, (2) BPS Provinsi Jawa Timur, dan (3) literatur lain yang mendukung. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2010 dan software Eviews 6.
3.2
Metode Analisis Metode yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesenjangan ekonomi
antar wilayah, analisis trend ketimpangan, dan analisis pola pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan metode deskriptif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan PDRB. 3.2.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur diukur menggunakan Indeks Williamson. Rumus Indeks Williamson adalah sebagai berikut:
28
∑ CVW
.
=
Dimana: CVW : Indeks Williamson fi
: Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i (jiwa)
f
: Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur (jiwa)
Yi
:PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i (Rp juta)
Y
: PDRB per kapita Provinsi Jawa Timur (Rp juta) Apabila nilai ketimpangan kurang dari 0,35 maka di daerah tersebut terdapat
ketimpangan namun rendah. Jika nilai ketimpangan di atas 0,5 maka ketimpangan yang ada di daerah tersebut termasuk tinggi. Kriteria yang digunakan untuk menentukan taraf ketimpangan adalah: CVW < 0,35
: Kesenjangan taraf rendah
0,35 < CVW< 0,5
: Kesenjangan taraf sedang
CVW > 0,5
: Kesenjangan taraf tinggi
Trend ketimpangan diamati dari perkembangan nilai indeks ketimpangan ekonomi antar wilayah yang diperoleh dari hasil perhitungan Indeks Williamson yang digambarkan dalam sebuah grafik. Kemudian dianalisis secara deskriptif bagaimana trend ketimpangan dalam grafik tersebut dapat terjadi. Pada penelitian ini terdapat dua indeks Williamson, yaitu nilai indeks Williamson berdasarkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dan nilai indeks Williamson kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya. Apabila menggunakan nilai indeks Williamson yang pertama, maka nilai yang dihasilkan yaitu lebih dari 1 (Lampiran 5) sehingga tidak sesuai
29
dengan teori yang menyebutkan bahwa nilai indeks Williamson yaitu antara 0 hingga 1. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis nilai indeks Williamson yang kedua, tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya, karena nilai yang dihasilkan sesuai dengan teori. Nilai PDRB per kapita di Kota Kediri dan Kota Surabaya yang sangat jauh dari rata-rata merupakan penyebab dari nilai indeks Williamson yang melebihi 1. Sehingga penelitian ini tidak memasukkan Kota Kediri dan Kota Surabaya ke dalam perhitungan nilai indeks Williamson yang dianalisis. 3.2.2 Klasifikasi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Klasifikasi pertumbuhan ekonomi daerah dianalisis menggunakan Klassen Typology (Tipologi Klassen). Tipologi Klassen membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: 1. Daerah maju dan pertumbuhan cepat, adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan provinsi. 2. Daerah
berkembang
cepat,
adalah
daerah
yang
memiliki
tingkatpertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi pendapatan per kapitanya lebih rendahdibandingkan provinsi. 3. Daerah maju tetapi tertekan, tingkatpertumbuhan
ekonomi
adalah daerah yang memiliki rendah
sedangkan
kapitanya lebih tinggi dibandingkan provinsi.
pedapatan
per
30
4. Daerah
relatif
tertinggal,
adalah
daerah
yang
memiliki
tingkatpertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan provinsi. Tabel 3.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Menurut Tipologi Klassen PDRB per Kapita Laju Pertumbuhan Laju Pertumbuhan di atas Rata-rata Provinsi Laju Pertumbuhan di bawah Rata-rata Provinsi
Pendapatan per Kapita di Atas Rata-rata Provinsi
Pendapatan per Kapita di Bawah Rata-rata Provinsi
Daerah Maju dan Pertumbuhan Cepat Daerah Maju Tetapi Tertekan
Daerah Berkembang Cepat Daerah Relatif Tertinggal
Sumber: Sjafrizal, 2008
3.2.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur maka menggunakan analisis panel data. Faktor-faktor yang dianalisis adalah kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan. LPDRBit
= α + β1 PDKit + β2KESit + β3 LNTKit + β4 LNJLNit + β5 LNAIRit + β6 LNPTNit + β7 LNTABit + β8 LNPEMit + eit
Dimana: α
: Intersep
β
: Slope
i
: Individu ke-i
t
: Periode waktu ke-t
LPDRB
: Laju PDRB (persen)
LNDIK
: Logaritma natural rasio murid terhadap guru (orang)
LNKES
: Logaritma natural jumlah penduduk terhadap jumlah dokter (orang)
31
LNTK
: Logaritma natural jumlah pekerja (jiwa)
LNJLN
: Logaritma natural panjang jalan (km)
LNAIR
: Logaritma natural produksi air bersih (m3)
LNPTN
: Logaritma natural luas pertanian teririgasi (Ha)
LNTAB
: Logaritma natural tabungan (Rupiah)
LNPEM
: Logaritma natural anggaran pembangunan (Rupiah)
e
: Error Berdasarkan hasil analisis data panel akan didapat besarnya nilai t-statistik,
F-statistik, dan R2. Nilai t-statistik menunjukkan apakah variabel bebas berpengaruh signifikan secara nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan Fstatistik menunjukkan apakah variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan secara nyata terhadap variabel terikat. Nilai R2 digunakan untuk melihat sejauh mana keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat. Menurut Baltagi (1995), keunggulan penggunaan metode panel data dibandingkan time series dan cross-section adalah: 1. Estimasi data panel dapat menunjukkan adanya heterogenitas dalam tiap individu. 2. Dengan data panel, data lebih informatif dan bervariasi, sehingga mengurangi kolinearitas antar variabel dan meningkatkan derajat kebebasan (degree of freedom), serta lebih efisien. 3. Studi data panel lebih memuaskan untuk menentukan perubahan dinamis dibandingkan dengan studi berulang dari cross-section.
32
4. Data panel mampu mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diukur oleh data time series atau cross-section. 5. Data panel membantu menganalisis perilaku yang lebih kompleks. 6. Data panel mampu meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data yang banyak. Dalam analisis model data panel terdapat tiga macam pendekatan yaitu Pooled Least Square (PLS), Model Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Model Efek Acak (Random Effect Model). Ketiga pendekatan pada model data panel akan dijelaskan berikut ini: 1.
Pooled Least Square (PLS) Dalam pendekatan ini terdapat regressor (K) dalam (xit), kecuali konstanta. Jika efek individual (αi) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i) maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai αi sama untuk setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien untuk α dan β. PLS merupakan pendekatan yang sederhana, namun hasilnya tidak memadai karena setiap pengamatan diperlakukan seperti pengamatan yang berdiri sendiri.
2.
Fixed Effect Model (FEM) Asumsi intersep dan slope yang konsisten pada model data panel umumnya sulit terpenuhi. Variabel dummy berguna dalam mengatasi masalah tersebut, sehingga perbedaan nilai parameter pada crosssection maupun time series diperbolehkan. Pendekatan dengan
33
memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan istilah fixed effect model (FEM) atau Least Square Dummy Variable (LSDV). 3.
Random Effect Model (REM) Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam FEM dapat mengurangi besarnya derajat kebebasan, sehingga efisiensi dari parameter yang diestimasi akan berkurang. Model data panel yang di dalamnya melibatkan korelasi antar error term akibat berubahnya waktu karena berbedanya observasi dapat diatasi dengan pendekatan model efek acak (random effect model).
Untuk menentukan model yang layak digunakan maka model diuji menggunakan uji Hausman. Uji Hausman adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan FEM atau REM. Uji Hausman dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : REM H1 : FEM Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan Statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: m = (β - b)(M0 - M1)-1(β - b)
~X2 (K)
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect modeldan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model. Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari X2-Tabel, atau nilai Hausman Test lebih besar dari taraf nyata, maka tidak cukup bukti untuk melakukan penerimaan
34
terhadap H0. Sehingga model yang digunakan adalah fixed effect, demikian pula sebaliknya.
3.3
Pengujian Penyimpangan Asumsi Klasik
3.3.1 Multikolinearitas Multikolinearitas berarti terdapatnya hubungan linier yang sempurna diantara
beberapa
variabel
yang
menjelaskan
model
regresi.
Indikasi
multikolinearitas tercermin dari nilai t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak signifikan sementara dari hasil Fhitung signifikan, maka patut dicurigai adanya multikolinearitas. Tanda-tanda penyebab multikolinearitas yaitu : •
R2 tinggi tetapi uji individu tidak banyak yang nyata atau bahkan tidak ada yang nyata.
•
Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (Rij tinggi).
•
R2< Rij2
Nilai koefisien korelasi tidak boleh melebihi rule of thumb 0,8 karena diduga mengandung multikolinearitas, namun hal ini dapat diabaikan dengan uji Klen yaitu apabila nilai R2 lebih besar daripada koefisien korelasi variabel eksogen. 3.3.2 Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan
menurut
waktu
dan
ruang.
Akibat
dari
autokorelasi
dapat
mempengaruhi efisiensi dan estimatornya. Dampak lain dari autokorelasi pada model adalah varian residual yang diperoleh akan lebih rendah daripada
35
semestinya sehingga menyebabkan R2 menjadi lebih tinggi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan uji Breusch-Godfrey Correlation LM atau dengan melihat nilai Durbin-Watson. Hipotesis pada uji Breusch-Godfrey Correlation LM adalah sebagai berikut : H0
: β = 0, tidak ada autokorelasi
H1
: β ≠ 0, ada autokorelasi
Cara menguji autokorelasi dengan Durbin-Watson (DW) yaitu dengan melihat nilainya. Apabila nilainya mendekati 2, maka menunjukkan tidak ada autokorelasi. 3.3.3 Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model BLUE adalah semua variasi dari faktor pengganggu adalah sama. Jika pada model dijumpai hetersokedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, apabila regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka pada hasil regresi akan tetap terjadi misleading (Gujarati, 2003). Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada pengolahan data panel yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari Sum Squared Resid Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.
BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR
4. 1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur membentang antara 111° 0’ BT - 114° 4’ BT dan 7° 12’ LS - 8°48’ LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, dan daerah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Letak Jawa Timur yang strategis memberikan keuntungan bagi daerah ini karena menjadi penghubung antara wilayah Indonesia bagian barat dengan bagian tengah. Topografi di Provinsi Jawa Timur beragam, ada yang berupa pegunungan, perbukitan, dan kepulauan. Oleh karena itu, wilayah ini memiliki sumber daya pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertambangan yang potensial. Iklim di daerah Jawa Timur termasuk dalam tropis lembab dengan curah hujan rata-rata 2.100 mm setiap tahun. Suhu udara di daerah ini berkisar antara 18°-35° Celcius. Struktur geologi di Provinsi Jawa Timur didominasi oleh batuan sedimen Alluvium. Batuan hasil gunung berapi juga tersebar di bagian tengah wilayah Jawa Timur sehingga daerah ini relatif subur. Beragam jenis batuan yang tersebar di Jawa Timur menyebabkan besarnya ketersediaan bahan tambang di wilayah ini.
4.2
Wilayah Administratif dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur memiliki 229 pulau dengan luas wilayah daratan
sebesar 47.130,15 km2 dan wilayah lautan seluas 110.764,28 km2. Provinsi ini
37
terbagi menjadi 29 kabupaten, meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung,
Blitar,
Kediri,
Malang,
Lumajang,
Jember,
Banyuwangi,
Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, serta 9 kota, yaitu Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo dan Mojokerto. Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Jawa Timur (Bakorwil)
dibentuk
guna
memantapkan
dan
meningkatkan
koordinasi
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan serta dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di seluruh wilayah Jawa Timur. Terdapat empat Bakorwil yaitu, Bakorwil-I yang berkedudukan di Kota Madiun, dengan wilayah kerja meliputi Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Kabupaten Nganjuk. Bakorwil-II berkedudukan di Kabupaten Bojonegoro, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban, Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Kediri, dan Kota Kediri. Bakorwil-III berkedudukan di Kota Malang, dengan wilayah kerja meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso. Bakorwil-IV berkedudukan di Kabupaten Pamekasan, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Bangkalan,
38
Kabupaten Sumenep, Kabupaten Sampang, Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Sidoarjo. Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur pada tahun 1998 dari hasil proyeksi penduduk oleh BPS Jawa Timur adalah sebanyak 33.447.470 jiwa. Kota Surabaya menjadi daerah yang mempunyai jumlah penduduk paling besar, yaitu 2.373.082 jiwa. Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto dengan 107.123 jiwa. Jumlah penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2005, jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur mencapai 37.070.731 jiwa. Dari data sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki berdasarkan data tersebut sebesar 49,37 persen dan penduduk perempuan sebesar 50,63 persen. Sejak tahun 2000, pertumbuhan penduduk di Jawa Timur sudah berada di bawah satu persen, yaitu sebesar 0,7 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Timur selama sepuluh tahun terakhir, periode 20002010, seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan laju penduduk kecuali Kabupaten Lamongan. Kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kabupaten Sidoarjo dengan laju sebesar 2,21 persen per tahun. Sepuluh kabupaten/kota yang memiliki laju pertumbuhan penduduk di atas 1 persen adalah Kabupaten Gresik dengan laju 1,59 persen, Kabupaten Sampang dengan laju 1,58 persen, Kabupaten Pamekasan dengan laju 1,44 persen, Kota Probolinggo dengan laju 1,26 persen, Kota Batu dengan laju 1,22 persen, Kabupaten Mojokerto dengan laju 1,20 persen, Kabupaten Bangkalan dengan laju 1,20 persen, Kota Pasuruan dengan laju 1,02 persen, Kota Blitar dengan laju 1,01 persen, dan Kabupaten Pasuruan dengan laju 1,00 persen. Sedangkan
39
kabupaten/kota lainnya memiliki laju pertumbuhan penduduk di bawah 1 persen, dan yang paling rendah lajunya adalah Kabupaten Lamongan dengan laju minus 0,02 persen.
4.3
Kondisi Sosial Kondisi sosial di Jawa Timur berkaitan dengan kualitas pendidikan dan
kesehatan untuk masyarakat di daerah ini. Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah perguruan tinggi negeri terbanyak di Indonesia. Kota Surabaya memiliki lima perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Negeri Surabaya, Politeknik Negeri Surabaya dan IAIN Sunan Ampel. Sedangkan di Malang terdapat empat perguruan tinggi negeri. Selain itu masih banyak lagi perguruan tinggi negeri yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Banyaknya jumlah perguruan tinggi di Provinsi Jawa Timur diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah ini. Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Timur pada tahun 1999 adalah 61,8 menduduki peringkat ke 22. Nilai IPM Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, nilai IPM Jawa Timur sebesar 69,18 menduduki peringkat 20. Sedangkan pada tahun 2010, nilai IPM sebesar 71,62 berada di peringkat 18 dari 33 provinsi. Kondisi kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pengetahuan tentang pola hidup sehat, upaya pencegahan dan pengobatan penyakit, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang terjangkau, ketersediaan tenaga medis dan paramedis, apotik dan toko obat, lingkungan hidup, tempat tinggal yang sehat dan bersih, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan diberikan
40
oleh Dinas Kesehatan bagi masyarakat di Provinsi Jawa Timur. Pemantauan kesehatan pada anak balita dan anak pra sekolah dilakukan melalui deteksi dini tumbuh kembang. Pemeriksaan tumbuh kembang di Jawa Timur pada tahun 2010 telah dilakukan pada 2.321.542 anak balita dan pra sekolah. Sedangkan pelayanan kesehatan untuk anak usia sekolah difokuskan pada Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Kualitas kesehatan didukung juga oleh keberadaan sarana kesehatan. Terdapat 10 jenis sarana kesehatan yang ada di Provinsi Jawa Timur, yaitu Rumah Sakit sebanyak 309 unit, Puskesmas sebanyak 950 unit, Puskesmas Pembantu sebanyak 2.273 unit, Puskesmas Keliling sebanyak 1.063, Pondok Kesehatan Desa sebanyak 1.608 unit, Desa Siaga sebanyak 8.501 unit, Posyandu sebanyak 45.603 unit, Pondok Bersalin Desa sebanyak 4.580 unit, Rumah Bersalin sebanyak 236 unit, dan Balai Pengobatan Klinik 804 unit. Selain itu, kualitas kesehatan untuk masyarakat juga didukung oleh banyaknya tenaga kesehatan di Jawa Timur yang mencapai 64.400 orang.
4.4
Kondisi Perekonomian Angka pertumbuhan ekonomi diperoleh dari perubahan nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah yang dinilai atas dasar harga konstan, sehingga dinamika perekonomian yang terjadi benar-benar berasal dari pertambahan jumlah barang dan jasa yang diproduksi. Semakin banyak jumlah barang dan jasa yang diproduksi, maka semakin tinggi sisi permintaan barang dan jasa dari konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pertumbuhan ekonomi.
41
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur saat ini relatif stabil. Berdasarkan Gambar 4.1 laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004-2006 cenderung konstan. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada tahun 2009, terjadi penurunan laju pertumbuhan ekonomi, namun hal ini dapat diatasi, karena pada tahun 2010 laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur kembali meningkat. 8
Laju PDRB (persen)
7 6 5 4 3 2 1 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010
Gambar 4.1 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2010 (persen) Laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 1998 mencapai angka negatif yaitu sebesar -6,71 persen. Hal ini terjadi karena adanya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Sehingga laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis. Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi mencapai nilai positif pada tahun 2001. Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001 memiliki laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,37. Daerah dengan laju pertumbuhan paling tinggi pada saat itu adalah Kabupaten Madiun
42
sebesar 10,11 persen. Sedangkan daerah yang memiliki laju pertumbuhan paling rendah adalah Kabupaten Sampang dengan laju sebesar 1,53 persen. Pada tahun 2010, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur mencapai 6,68 persen. Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang tertinggi saat itu sebesar 10,97 persen terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi yang paling rendah sebesar 5,40 persen di Kabupaten Sampang. Kondisi perekonomian daerah juga dapat dilihat dari PDRB tiap sektor. Sektor yang memberikan kontribusi besar dalam PDRB Jawa Timur pada tahun 1998 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran. Sektor tersebut memberikan kontribusi sebesar 32.069.409,12 juta rupiah. Selain sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran, sektor Industri Pengolahan, sektor Jasa-jasa, dan sektor Pertanian turut berperan besar dalam pembentukan PDRB Jawa Timur. Sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi sekitar 17,25 persen terhadap PDRB, sektor Jasa-jasa berkontribusi sebesar 13,59 persen bagi PDRB, dan sektor Pertanian memiliki kontribusi sebesar 11,24 persen bagi PDRB Jawa Timur. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi paling kecil adalah sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar 0,57 persen. Kontribusi yang kecil ini terjadi karena pada masa itu, sektor Pertambangan dan Penggalian belum terlalu dieksploitasi karena masih minimnya teknologi yang dimiliki. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran memberikan kontribusi yang tinggi bagi pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Timur, hal ini disebabkan karena letak Jawa Timur yang strategis. Provinsi Jawa Timur menjadi penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Bali dan Pulau Kalimantan.
43
Sehingga sektor perdagangan terus berkembang pesat dan memberikan dampak yang besar bagi pembentukan PDRB. Peranan sektor ini pada tahun 1998 hingga 2002 menunjukkan peningkatan mencapai 42 persen. Namun pada tahun 2003, peranannya menurun menjadi 27 persen. Sebaliknya, sektor Industri Pengolahan justru menunjukkan peningkatan kontribusi terhadap PDRB yaitu sebesar 28 persen. Tiga sektor dengan kontribusi paling tinggi dalam pembentukan PDRB tahun 2010 adalah sektor Perdagangan, Hotel, dan Restauran dengan kontribusi sebesar 31 persen, sektor Industri Pengolahan berkontribusi sebesar 25 persen, dan sektor Pertanian dengan kontribusi sekitar 15 persen.
Tabel 4.1 Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Persen) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restauran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
2005 2006 17,43 16,71 1,96 2,02 27,55 27,27 1,72 1,33 3,47 3,49 29,07 28,55 5,66 6,31 4,94 5,19 8,17 9,10
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2011
Tahun 2007 2008 2009 2010 16,24 15,81 15,65 14,99 2,11 2,17 2,21 2,26 26,92 26,52 25,96 25,38 1,43 1,39 1,36 1,36 3,34 3,24 3,21 3,21 29,17 29,75 29,91 31,03 6,41 6,60 7,10 7,32 5,30 5,40 5,42 5,45 9,07 9,10 9,17 8,97
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
dihitung menggunakan data PDRB Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun juga mempengaruhi PDRB per kapita yang diperoleh dari pembagian antara PDRB Provinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduk.
0.6
Nilai CVW
0.58 0.56 0.54 0.52 0.5 0.48 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2001-2010 (diolah)
Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2010 Trend ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur diamati melalui indeks ketimpangan antar wilayah yang dihitung dengan teori Williamson (Lampiran 5). Nilai tersebut kemudian digambarkan dalam sebuah grafik. Grafik pada Gambar 5.1 yang berfluktuasi menunjukkan adanya perbedaan ketimpangan pendapatan yang berbeda setiap tahun. Trend ketimpangan pada
45
gambar cenderung menurun meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2002. Namun mulai tahun 2004 hingga 2009 trend ketimpangan cenderung terlihat stabil pada nilai 0,54. Hasil akhir analisis trend ketimpangan berdasarkan grafik tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan mengalami penurunan sebesar 0,015 pada akhir periode analisis yaitu tahun 2010. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan, meskipun masih termasuk dalam karakteristik ketimpangan dengan taraf tinggi. Nilai Indeks Williamson yang kecil menggambarkan tingkat kesenjangan rendah ataupemerataan yang baik, dan sebaliknya nilai Indeks Williamson yang besar maka tingkat kesenjangan semakin tinggi. Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur menunjukkan nilai lebih dari 0,5 yang berarti ketimpangan ekonomi di daerah tersebut tinggi. Nilai indeks tertinggi diperoleh pada tahun 2003 sebesar 0,59. Namun nilai Indeks Williamson dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan. Hal ini menandakan adanya peningkatan pemerataan antar wilayah di Provinsi Jawa Timur. Sedangkan nilai Indeks Williamson yang terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0,52. Meskipun masih dalam taraf kesenjangan yang tinggi, tetapi Provinsi Jawa Timur telah berhasil mengurangi ketimpangan yang terjadi di daerahnya.
5.2
Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur
dianalisis menggunakan Tipologi Klassen.Tipologi Klassen dilakukan dengan cara membandingkan PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota dengan
46
PDRB per Kapita Provinsi Jawa Timur dan membandingkan laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota dengan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data pada lampiran 6, Provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat klasifikasi Tipologi Klassen sebagai berikut: Tabel 5.1 Klasifikasi Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Menurut Tipologi Klassen PDRB per kapita (y) y1> y y1< y Laju Pertumbuhan (r) r1> r
r1< r
Daerah maju dan pertumbuhan cepat: Kab. Gresik Kota Malang Kota Probolinggo Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya
Daerah maju tetapi tertekan: Kab. Sidoarjo Kota Kediri
Daerah berkembang cepat: Kab. Pacitan Kab. Tulungagung Kab. Malang Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Bojonegoro Kab. Lamongan Kota Batu Kota Blitar Daerah relatif tertinggal: Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Tuban Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Pasuruan
47
Berdasarkan Tabel 5.2, terdapat enam daerah yang masuk dalam klasifikasi daerah maju dan pertumbuhan cepat. Lima daerah yang termasuk ke dalam daerah maju dan pertumbuhan cepat merupakan wilayah perkotaan dan satu wilayah kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa daerah perkotaan bertumbuh lebih cepat dan maju daripada daerah kabupaten. Sedangkan pada daerah relatif tertinggal didominasi oleh daerah kabupaten. Terdapat 21 wilayah yang masuk ke dalam daerah relatif tertinggal, 20 wilayah merupakan daerah kabupaten dan satu daerah perkotaan, yaitu Kota Pasuruan. Daerah relatif tertinggal memiliki persentase sebesar 55,26 persen. Sedangkan daerah maju dan pertumbuhan cepat memiliki persentase sebesar 15,80 persen. Kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah berkembang cepat ada 23,68 persen atau sebanyak sembilan daerah. Sisanya berada pada kategori daerah maju tapi tertekan, yaitu sebesar 5,26 persen. Dari perbandingan persentasi pada masing-masing kategori wilayah, terlihat bahwa jumlah daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur masih sangat banyak, sedangkan hanya beberapa daerah saja yang maju. Hal ini membuktikan bahwa ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur masih tinggi.
5.3
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRBDaerah Tertinggal di Provinsi Jawa Timur Fokus utama yang dianalisis pada penelitian ini adalah melihat seberapa
besar pengaruh kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur yang diperoleh dari hasil analisis Tipologi Klassen. Faktor-faktor yang mempengaruhi
48
laju PDRB pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur dianalisis agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut. Sehingga daerah-daerah relatif tertinggal dapat memacu pertumbuhan ekonominya dengan membuat kebijakan yang sesuai dan pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB Kabupaten/kota yang termasuk dalam daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur diestimasi menggunakan metode data panel. Keunggulan dari metode data panel adalah model ini memberikan keleluasaan bagi peneliti untuk melihat heterogenitas tiap unit cross section dari contoh penelitian. Heterogenitas unit cross sectionyang ditunjukkan oleh perbedaan antar kabupaten/kota dapat diperoleh dengan pendekatan fixed effect ataupun pendekatan random effect. Uji Chow tidak digunakan dalam penelitian ini karena apabila menggunakan pendekatan pooled least square, heterogenitas tiap unit cross section tidak dapat diestimasi. Dasar statistika untuk memutuskan apakah akan menggunakan pendekatan fixed effect atau random effect menggunakan Uji Hausman. Nilai probabilitas Uji Hausman sebesar 0,0000, lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Artinya tolak H0, maka model yang digunakan adalah model fixed effect. Tabel 5.2 Hasil Uji Hausman Chi-Sq. Statistic 32.934585
Chi-Sq. d.f. 8
Prob. 0,0001
Hasil estimasi menggunakan fixed effect model dapat dilihat pada Tabel 5.4. Berdasarkan tabel tersebut, terdapat lima variabel yang berpengaruh signifikan secara statistik terhadap PDRB daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur.
49
R-squared (R²) atau koefisien determinasi pada hasil estimasi sebesar 0,466575 yang menunjukkan PDRB daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model sebesar 46,66 persen. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen), nilai probabilitas F-statistic yaitu 0,000000 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dan dapat dinyatakan pula bahwa hasil estimasi tersebut mendukung keabsahan model. Uji signifikansi individu (uji t) menggunakan t-statistik dengan taraf nyata 5 persen yang dibandingkan dengan nilai mutlak t-statistik dari hasil estimasi, menunjukkan bahwa empat variabel penjelas signifikan mempengaruhi variabel terikat. Satu variabel penjelas lainnya signifikan pada taraf nyata 10 persen dan terdapat tiga variabel yang tidak signifikan dari delapan variabel bebas yang digunakan. Tabel 5.3 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB di Daerah Relatif Tertinggal menggunakan Fixed Effect Model Variabel LNAIR LNDIK LNJLN LNKES LNPEM LNPTN LNTAB LNTK C
∗ **
Koefisien Std. Error 0,146504 0,094421 -0,380196 0,119492 0,300261 0,190789 -0,417015 0,094195 0,083601 0,029128 -0,114202 0,249117 -0,028604 0,016568 1,364902 0,275378 -17,98781 5,378209 Kriteria Statistik
R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat Signifikan pada taraf nyata 5 persen Signifikan pada taraf nyata 10 persen
t-Statistik 1,551596 -3,181757 1,573783 -4,427126 2,870121 -0,458425 -1,726493 4,956470 -3,344573
Prob. 0,1225 0,0017* 0,1173 0,0000* 0,0046* 0,6472 0,0860** 0,0000* 0,0010 Nilai 0,466575 0,384056 5,654159 0,000000 1,453012
50
Menurut Gujarati (2003), untuk memperoleh model yang baik harus memenuhi asumsi regresi klasik, model harus terbebas dari masalah-masalah dalam regresi yaitu heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Untuk mengetahui
ada
atau
tidaknya
heteroskedastisitas,
diberikan
perlakuan
Generalized Least Square (GLS) dan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Karena model fixed effect yang digunakan telah diberi perlakuan GLS dengan Crosssection weights maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat dihilangkan. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai probabilitas t-statistik dan nilai probabilitas F-statistik. Dari hasil regresi, empat variabel bebas signifikan pada taraf nyata 5 persen dan satu variabel signifikan pada taraf nyata 10 persen, sedangkan nilai probabilitas F-statistik signifikan pada taraf nyata 10 persen. Sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan. Untuk melihat ada atau tidaknya autokorelasi, maka dideteksi dengan melihat nilai Durbin-Watson statistik. Nilai Durbin-Watson sebelum diberi bobot dibandingkan dengan nilai sesudah diberi bobot. Apabila nilai Durbin-Watson setelah diberi bobot lebih besar, maka asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan. Berdasarkan estimasi dan pengujian asumsi regresi klasik terhadap model fixed effect, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut layak untuk digunakan. Berdasarkan hasil estimasi model data panel dengan menggunakan fixed effect setelah melalui serangkaian uji, maka diperoleh model terbaik dengan hasil estimasi sebagai berikut:
51
LPDRBit
= 0,1465 LNAIRit – 0,3802 LNDIKit + 0,3003 LNJLNit – 0,4170 LNKESit + 0,0836 LNPEMit – 0,1142 LNPTNit - 0,0286 LNTABit + 1,3649 LNTKit - 17,9878 + [CX=F] + eit
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi laju PDRB daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur antara lain : kualitas pendidikan (LNDIK), kesehatan (LNKES), jumlah pekerja (LNTK), anggaran pembangunan (LNPEM), dan tabungan (LNTAB). Sedangkan interpretasi dari hasil estimasi adalah sebagai berikut: Tabel 5.4 Notasi Variabel Bebas dan Deskripsi pada Model Estimasi Laju PDRB di Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur
1.
Notasi Variabel LNDIK
2.
LNKES
Setiap peningkatan rasio jumlah penduduk terhadap dokter sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,4170 satuan (ceteris paribus).
3.
LNTK
Setiap peningkatan jumlah pekerja sebesar 1 orang maka laju PDRB akan meningkat sebesar 1,3649 satuan (ceteris paribus).
4.
LNPEM
Setiap peningkatan anggaran pembangunan sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan meningkat sebesar 0,0836 satuan (ceteris paribus).
5.
LNTAB
Setiap peningkatan tabungan sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,3802 satuan (ceteris paribus).
6.
LNAIR
Produksi air bersih tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
7.
LNJLN
Panjang jalan tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
8.
LNPTN
Lahan pertanian teririgasi tidak berpengaruh nyata terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.
No.
Deskripsi Setiap peningkatan rasio murid terhadap guru sebesar 1 satuan maka laju PDRB akan berkurang sebesar 0,3802 satuan (ceteris paribus).
52
5.4
Implikasi Kebijakan untuk Memacu Pertumbuhan Ekonomi Daerah Relatif Tertinggal di Provinsi Jawa Timur
1.
Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan modal bagi pertumbuhan ekonomi karena
berhubungan dengan faktor produksi. Pekerja merupakan salah satu modal dalam pembangunan ekonomi. Pekerja yang memiliki produktivitas tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pekerja memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, peningkatan jumlah pekerja akan mampu meningkatkan produktivitas, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dipacu. Agar jumlah pekerja dapat meningkat, maka perlu meningkatkan lapangan kerja. Pemerintah daerah sebaiknya memperhatikan sektor apa saja yang memiliki potensi. Sehingga sektorsektor yang berpotensi tersebut dapat dikembangkan dengan baik agar memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Tabel 5.5 Peranan Sekotor-sektor Perekonomian Daerah Relatif Tertinggal Provinsi Jawa Timur 2006 37,79
2007 37,34
Tahun 2008 37,24
Perdagangan, Hotel, dan Restauran
22,69
23,43
23,41
23,65
23,92
Industri Pengolahan
13,13
13,08
14,24
14,16
14,06
Lainnya
26.39
26,15
25,11
25,39
25,95
Lapangan Usaha Pertanian
2009 36,80
2010 36,07
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)
Sektor-sektor yang menjadi unggulan di Provinsi Jawa Timur adalah sektor perdagangan, hotel, dan restauran, sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan. Namun pada daerah relatif tertinggal, pertanian masih menjadi sektor yang memiliki peranan cukup besar terhadap perekonomian. Oleh karena itu, pengembangan pada sektor pertanian perlu dilakukan oleh pemerintah agar dapat
53
meningkatkan daya saing daerah relatif tertinggal. Selain itu, peranan dari industri kecil juga perlu ditingkatkan, karena industri kecil berbasis padat karya sehingga membutuhkan jumlah pekerja yang lebih banyak. Kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah yaitu mengembangkan lapangan pekerjaan di sektor pertanian dengan basis padat karya agar dapat mempekerjakan orang lebih banyak. Peningkatan jumlah pekerja dinilai mampu meningkatkan laju PDRB bagi daerah relatif tertinggal, namun peningkatan ini juga harus diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia berhubungan dengan kualitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat. Agar kualitas sumber daya manusia membaik dan memiliki potensi dalam memajukan perekonomian daerahnya maka kualitas pendidikan dan kesehatan harus ditingkatkan. Jumlah guru di daerah tertinggal harus ditingkatkan, sehingga rasio murid terhadap guru akan berkurang dan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Agar jumlah guru di daerah tertinggal dapat meningkat, maka pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi guru-guru yang berkenan mengajar di daerah tersebut. Misalnya memberikan rumah dinas, kendaraan dan fasilitas-fasilitas lainnya agar banyak guru yang mau mengajar di daerah tertinggal. Berdasarkan Departemen Pendidikan Nasional, rasio murid terhadap guru di Indonesia yaitu sebesar 1:14, sedangkan rasio murid terhadap guru di daerah relatif tertinggal Provinsi Jawa Timur yaitu 1:16. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan jumlah guru agar rasionya berkurang. Pemerataan jumlah guru juga
54
perlu dilakukan, agar guru-guru tidak terpusat di wilayah perkotaan saja, tetapi juga di daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Hal ini perlu dilakukan agar kualitas pendidikan di daerah tertinggal dapat merata. Kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu memberikan beasiswa kepada murid-murid berprestasi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun dengan syarat apabila telah lulus, mereka akan mengabdi di daerah asalnya sebagai guru. Dengan begini jumlah guru di daerah tertinggal dapat mengalami peningkatan. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas yang memadai, misalnya dengan mengadakan program pelatihan kerajinan agar masyarakat memiliki kemampuan khusus dan memiliki daya saing tinggi. Kualitas kesehatan juga turut mempengaruhi potensi sumber daya manusia, apabila kesehatan pekerja memburuk, maka dapat mengurangi produktivitas. Sehingga peningkatan pelayanan kesehatan perlu dilakukan agar proses produksi tidak terganggu dan berjalan lancar. Kualitas kesehatan diukur menggunakan rasio jumlah penduduk terhadap dokter. Rasio jumlah penduduk terhadap dokter di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 1:12458, sedangkan rasio ini di daerah tertinggal mencapai 1:15000. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan jumlah dokter di daerah tertinggal. Upaya peningkatan laju PDRB dapat dilakukan melalui penambahan jumlah dokter pada setiap rumah sakit maupun puskesmas di daerah tertinggal. Agar banyak dokter yang tertarik untuk betugas di puskesmas, maka pemerintah dapat memberikan insentif seperti rumah dinas, kendaraan, ataupun tunjangan kepada dokter yang mau bertugas di daerahnya. Pemerintah juga sebaiknya memberikan
55
penyuluhan mengenai pentingnya kebersihan dan kesehatan bagi masyarakat. Apabila kualitas kesehatan baik, maka hal ini akan memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas masyarakat, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. 2.
Anggaran Pembangunan Anggaran pembangunan berguna untuk memberdayakan berbagai sumber
ekonomi yang mampu meningkatkan pendapatan per kapita dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan memberikan peranan penting dalam sektor perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Daerah
dengan
pembangunan yang
maju
dapat
meningkatkan
pertumbuhan ekonominya, karena fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan masyarakat telah tersedia sehingga dapat menunjang produktivitas di daerah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebaiknya meningkatkan anggaran pembangunan untuk mengembangkan daerahnya. Pemasukan untuk anggaran pembangunan dapat ditingkatkan melalui penggalian potensi-potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Anggaran ini dapat digunakan untuk meningkatkan infrastruktur ataupun kualitas pendidikan dan kesehatan di daerah tertinggal agar pertumbuhan ekonomi di daerah ini dapat melaju dengan cepat dan tinggi. 3.
Tabungan Model Solow menunjukkan bahwa tingkat tabungan adalah determinan
penting dari persediaan modal. Jika tingkat tabungan tinggi, maka perekonomian akan mempunyai persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi. Namun pada penelitian ini, tabungan signifikan berpengaruh negatif terhadap laju PDRB. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan tabungan berarti mengurangi
56
konsumsi, apabila konsumsi berkurang maka hasil kegiatan produksi tidak memberikan keuntungan sebesar dahulu. Sehingga PDRB akan menurun dan laju pertumbuhan ekonomi juga menurun. Pemerintah sebaiknya berinvestasi dalam bentuk selain tabungan, misalnya investasi pada sektor-sektor yang memiliki potensi yang besar terhadap perekonomian seperti pertanian. Pemerintah dapat memberikan modalnya untuk mengembangkan agribisnis dari hulu ke hilir agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. 4.
Infrastruktur Infrastruktur merupakan penunjang utama terselenggaranya proses usaha,
pembangunan, proyek, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, infrastruktur diukur melalui panjang jalan, produksi air yang disalurkan, dan luas pertanian teririgasi. Ketiga variabel tersebut belum mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan laju PDRB pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur. Jalan merupakan penunjang bagi proses mobilisasi barang dan jasa. Apabila mobilitas barang dan jasa lancar, maka kegiatan perdagangan antar wilayah akan berkembang dengan baik dan migrasi tenaga kerja akan berjalan lancar. Sehingga kelebihan produksi di suatu wilayah dapat disalurkan ke wilayah lain agar memperoleh keuntungan. Migrasi tenaga kerja yang berjalan lancar dapat mengurangi efek negatif dari kelebihan penawaran tenaga kerja, sehingga kelebihan tenaga kerja di suatu daerah dapat disalurkan ke daerah lain yang membutuhkan. Namun pada penelitian ini, panjang jalan tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini mungkin terjadi karena masih banyak jalan-jalan yang rusak di daerah tertinggal. Jumlah jalan yang rusak di daerah relatif
57
tertinggal mencapai 30 persen. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya memperbaiki jalan-jalan di daerah tertinggal dan menambah jumlahnya agar dapat meningkatkan perekonomian di daerah tersebut. Penyediaan air bersih merupakan salah satu infrastruktur yang dapat menunjang proses produksi di suatu daerah. Air bersih juga digunakan dalam kegiatan produksi. Penyediaan air bersih dapat meningkatkan produktivitas, sehingga air bersih ikut memberikan pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun pada penelitian ini produksi air bersih tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Hal ini mungkin terjadi karena produksi air yang disalurkan lebih banyak digunakan untuk konsumsi masyarakat saja, bukan untuk penunjang proses produksi suatu komoditi. Sehingga produksi air tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Pertanian teririgasi merupakan salah satu infrastruktur yang turut menunjang perekonomian di suatu daerah. Pertanian merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi cukup besar bagi PDRB. Oleh karena itu, peningkatan infrastruktur pada sektor pertanian mampu memberikan pengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi pada daerah relatif tertinggal di Provinsi Jawa Timur. Namun pada penelitian ini lahan pertanian teririgasi tidak memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Hal ini mungkin terjadi karena jumlah lahan pertanian teririgasi hanya sekitar 10 persen dari seluruh luas lahan pertanian. Lahan pertanian tidak hanya dilihat dari besarnya jumlah sawah teririgasi, tetapi ada pula lahan pertanian
58
bukan sawah. Sehingga lahan pertanian teririgasi tidak mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal. Pemerintah daerah sebaiknya mengalokasikan anggaran pembangunan untuk mengembangkan atau memperbaiki infrastruktur di daerah tertinggal. Agar infrastruktur yang ada dapat efektif memberikan pengaruh terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Selain itu, bantuan dana dari pemerintah pusat juga diperlukan agar daerah tertinggal dapat meningkatkan kualitas infrastruktur di daerah tersebut.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 1.
Kesimpulan Tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur selama periode analisis tahun 2001-2010 berada pada kesenjangan taraf tinggi,
yaitu
lebih
dari
0,50.
Trend
ketimpangan
ekonomi
antar
kabupaten/kota berfluktuatif dan nilainya cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk dapat mengatasi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. 2.
Berdasarkan Tipologi Klassen tahun 2010, pola pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang masuk dalam daerah relatif tertinggal, dengan persentase lebih dari 50 persen. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal perlu dipacu agar dapat mengejar daerah maju, sehingga ketimpangan ekonomi dapat berkurang.
3.
Berdasarkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah pekerja, anggaran pembangunan dan tabungan mampu mempengaruhi laju PDRB di daerah tertinggal.
4.
Kebijakan pemerintah yang sebaiknya dilakukan yaitu meningkatkan jumlah guru di daerah tertinggal agar kualitas pendidikan dapat meningkat dengan cara memberikan insentif dan fasilitas yang memadai kepada guru yang mau mengajar di daerah tersebut, meningkatkan jumlah dokter di daerah tertinggal
60
agar kualitas kesehatan dapat meningkat dengan cara memberikan tunjangan maupun rumah dinas bagi dokter yang bersedia mengabdi di daerah tersebut, dan mengembangkan sektor-sektor yang memiliki peranan besar terhadap pertumbuhan ekonomi agar dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah relatif
tertinggal.
Pemerintah
juga
perlu
meningkatkan
anggaran
pembangunan di daerah relatif tertinggal untuk pembiayaan perbaikan dan pengembangan infrastruktur maupun kualitas pendidikan dan kesehatan, serta sektor-sektor lain yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
6.2 1.
Saran Pemerintah daerah sebaiknya mengembangkan sektor pertanian yang memiliki
peranan
paling
besar
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
Pengembangan agribisnis sebaiknya dilakukan agar lapangan pekerjaan di daerah tertinggal dapat meningkat dan hal ini juga dapat meningkatkan daya saing yang dimiliki daerah tersebut. Selain itu, sebaiknya pemerintah daerah meningkatkan anggaran pembangunan untuk mengembangkan infrastruktur dan meningkatkan kualitas pendidikan maupun kesehatan, agar pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu lebih cepat. 2.
Pemerintah pusat sebaiknya menyediakan dana alokasi khusus kepada daerah tertinggal agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki daerah tertinggal dan membangun daerahnya dengan baik. Sehingga daerah tertinggal dapat berkembang dengan cepat dan masalah ketimpangan ekonomi antar wilayah bisa diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2001. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Indonesia 1998-2001. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2003. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Indonesia 2000-2003. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Indonesia 2004-2008. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2011. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Timur: Kabupaten/Kota Se Jawa Timur 2006-2010. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2001. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2001. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2002. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2002. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2003. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2003. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2005. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2005. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2006. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2006. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2007. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2007. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2008. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2008. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2009. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2009. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2010. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2010. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2011. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2011. Surabaya: BPS. Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2001-2003. Jakarta: BPS.
62
Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2003-2004. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2004-2005. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2005-2006. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2006-2007. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2007-2008. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2008-2009. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2009-2010. Jakarta: BPS. Bhinadi, Ardito. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa dengan Luar Jawa. Dalam: Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 8 (1): 39-48. Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis. Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4. Yogyakarta: BPFE. Daryanto, Arief. 2003. Disparitas Pembangunan Perkotaan Indonesia. Dalam Agrimedia Vol. 8 No. 2: 30-39. Dumairy, M. A. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Fitria, Endang. 2006. Analisis Kesenjangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Pulau Jawa [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Firdaus, Muhammad. 2011. Ekonometrika: Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta: Bumi Aksara. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. Kristiyanti, L. 2007. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpoangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Mankiw, N. Gregory. 2004. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
63
Prahara, Guntur. 2010. Analisis Disparitas Antar Wilayah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Prasasti, Diah. 2006. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita 30 Provinsi Di Indonesia Periode 1993-2003: Pendekatan Disparitas Regional dan Konvergensi. Dalam: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 21 (4): 344-360. Purnamasyari, Meika. 2010. Analisis Kesenjangan Pendapatan Regional Kabupaten/Kota Periode Tahun 2001-2008 di Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media. Tarigan, Robinson. 2004. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
LAMPIRAN
65
Lampiran 1. Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2002 Kabupaten/Kota Kab. Pacitan Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Malang Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Bojonegoro Kab. Tuban Kab. Lamongan Kab. Gresik Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Prov. Jawa Timur
2001 2002 2003 2004 2005 532.726 535.674 538.392 542.556 546.150 864.424 866.995 869.359 875.448 880.701 663.790 667.582 671.076 677.185 682.465 949.197 954.853 960.067 968.983 976.691 1.100.663 1.105.902 1.110.726 1.121.716 1.131.222 1.454.244 1.464.954 1.474.840 1.493.209 1.509.135 2.322.699 2.331.120 2.338.865 2.368.372 2.393.959 987.939 993.971 999.533 1.009.349 1.017.839 2.205.492 2.219.175 2.231.793 2.248.968 2.263.794 1.526.870 1.533.679 1.539.948 1.552.867 1.564.026 700.692 704.831 708.646 714.836 720.183 613.778 617.570 621.067 626.600 631.382 1.017.365 1.027.181 1.036.262 1.048.616 1.059.322 1.381.027 1.401.079 1.419.716 1.443.550 1.464.297 1.592.385 1.638.669 1.682.278 1.738.285 1.787.771 938.758 954.161 968.502 989.965 1.008.740 1.152.962 1.163.083 1.172.439 1.187.178 1.199.958 1.015.318 1.022.050 1.028.260 1.041.812 1.053.569 653.421 655.243 656.918 660.873 664.282 621.738 621.222 620.750 621.160 621.511 833.944 837.072 839.949 846.355 851.884 1.195.706 1.204.542 1.212.700 1.226.691 1.238.811 1.061.529 1.069.618 1.077.088 1.087.121 1.095.795 1.221.528 1.229.000 1.235.890 1.249.867 1.261.972 1.026.488 1.043.747 1.059.822 1.081.800 1.101.000 864.279 875.584 886.077 907.651 926.560 812.575 823.498 833.640 855.405 874.512 722.148 731.487 740.154 755.331 768.587 1.016.812 1.024.843 1.032.260 1.045.501 1.056.985 251.697 251.872 252.033 253.287 254.367 122.683 123.027 123.344 124.203 124.944 756.294 762.155 767.567 773.703 779.002 196.591 198.493 200.252 203.056 205.490 172.840 174.859 176.730 179.587 182.072 110.100 111.087 111.999 114.339 116.383 169.595 169.536 169.481 170.260 170.931 2.633.067 2.647.283 2.660.381 2.681.092 2.698.972 170.030 173.763 177.256 181.631 185.467 35.633.394 35.930.460 36.206.060 36.668.408 37.070.731
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002
66
Lampiran 2. Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 Kabupaten/Kota Kab. Pacitan Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Malang Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Bojonegoro Kab. Tuban Kab. Lamongan Kab. Gresik Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Prov. Jawa Timur
2006 549.768 885.986 687.786 984.460 1.140.809 1.525.231 2.419.822 1.026.400 2.278.718 1.575.265 725.571 636.200 1.070.137 1.485.342 1.838.666 1.027.871 1.212.876 1.065.459 667.709 621.862 857.449 1.251.051 1.104.538 1.274.194 1.120.541 945.863 894.046 782.076 1.068.595 255.452 125.689 784.337 207.953 184.591 118.464 171.605 2.716.971 189.384 37.478.737
2007 553.865 892.527 691.207 992.248 1.144.528 1.531.187 2.442.422 1.034.334 2.293.740 1.580.441 727.790 638.537 1.081.063 1.496.474 1.869.350 1.041.269 1.233.279 1.073.126 667.841 622.966 860.029 1.263.411 1.107.691 1.281.176 1.142.817 965.568 914.016 795.801 1.076.592 258.734 127.338 791.970 210.446 185.507 119.051 173.447 2.720.156 192.059 37.794.003
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
2008 557.029 895.921 675.380 988.731 1.070.122 1.451.630 2.413.779 1.024.849 2.320.844 1.531.753 707.242 623.042 1.043.671 1.448.370 1.781.405 1.005.486 1.285.739 1.000.132 642.518 625.424 834.847 1.263.551 1.078.641 1.189.087 1.194.821 956.996 902.429 835.101 1.016.907 270.374 132.278 816.637 226.643 174.073 113.201 178.291 2.630.079 187.813 37.094.836
2009 558.644 899.074 675.765 992.048 1.070.446 1.451.861 2.425.311 1.028.103 2.327.957 1.535.701 708.905 624.888 1.044.237 1.452.629 1.802.948 1.013.988 1.301.459 1.002.530 642.638 626.092 836.767 1.270.876 1.080.956 1.189.615 1.215.603 973.681 919.548 851.690 1.017.147 272.610 133.408 820.857 230.464 174.173 113.327 179.391 2.631.305 189.604 37.286.246
2010 540.756 855.087 674.928 990.841 1.116.870 1.500.340 2.447.051 1.007.251 2.349.213 1.556.101 737.347 648.249 1.096.933 1.512.767 1.952.376 1.025.566 1.202.827 1.017.108 662.249 620.216 817.123 1.209.729 1.118.651 1.179.770 1.180.299 909.059 879.238 797.429 1.042.859 267.832 132.239 820.787 217.417 186.636 120.327 170.965 2.768.729 190.176 37.523.341
67
Lampiran 3. PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 (Rp Juta) Kabupaten/Kota Kab. Pacitan Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Malang Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Bojonegoro Kab. Tuban Kab. Lamongan Kab. Gresik Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Prov. Jawa Timur
2001 0,66 0,80 0,80 1,23 1,02 1,04 1,26 0,99 1,04 1,21 0,86 1,46 1,39 1,09 2,50 1,40 0,97 1,15 0,91 1,03 0,84 0,87 1,12 0,94 4,58 0,94 0,70 0,68 0,92 25,96 1,43 3,28 2,29 1,65 2,25 1,78 5,33 2,12
2002 0,67 0,83 0,82 1,27 1,06 1,05 1,20 1,01 1,07 1,24 0,89 1,48 1,43 1,12 2,52 1.,42 0,99 1,18 0,93 1,06 0,85 0,93 1,15 0,97 4,72 0,96 0,71 0,68 0,93 25,23 1,48 3,53 2,37 1,69 2,41 1,86 5,50 2,14
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008
2003 0,68 0,85 0,84 1,32 1,09 1,08 1,24 1,04 1,11 1,28 0,91 1,54 1,46 1,14 2,61 1,45 1,03 1,23 0,96 1,10 0,87 0,95 1,18 0,99 4,83 0,98 0,73 0,69 0,95 26,07 1,53 3,65 2,44 1,74 2,49 1,93 5,73 1,15 2,18
2004 2,06 2,82 2,48 5,77 3,68 3,36 4,42 4,53 3,48 5,17 2,36 4,11 4,67 3,36 10,79 4,38 3,82 3,35 3,06 3,85 2,69 3,46 4,09 2,96 10,26 2,83 2,36 2,05 3,72 74,01 4,37 12,40 7,06 4,51 7,76 4,97 21,00 4,93 6,76
2005 2,13 2,92 2,57 6,01 3,84 3,47 4,59 4,71 3,64 5,38 2,46 4,28 4,84 3,48 11,13 4,53 3,98 3,50 3,18 4,03 2,80 3,59 4,35 3,07 10,80 2,91 2,40 2,11 3,81 73,88 4,59 13,01 7,37 4,71 8,04 5,20 22,18 5,14 6,96
68
Lampiran 4. PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2010 (Rp Juta) Kabupaten/Kota Kab. Pacitan Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Malang Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Bojonegoro Kab. Tuban Kab. Lamongan Kab. Gresik Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Prov. Jawa Timur
2006 2,20 3,04 2,67 6,29 4,01 3,59 4,80 4,91 3,82 5,59 2,58 4,48 5,06 3,64 11,44 4,69 4,16 3,67 3,31 4,24 2,93 3,76 4,65 3,21 11,33 2,98 2,45 2,16 3,92 77,38 4,84 13,70 7,71 4,90 8,33 5,47 23,44 5,37 7,28
2007 2,30 3,22 2,80 6,60 4,23 3,73 5,05 5,14 4,02 5,89 2,71 4,72 5,31 3,83 11,89 4,91 4,34 3,87 3,48 4,46 3,07 3,93 4,98 3,38 11,86 3,07 2,49 2,23 4,07 79,85 5,07 14,41 8,11 5,15 8,78 5,74 24,88 5,66 7,61
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
2008 2,42 3,39 3,03 7,00 4,78 4,11 5,39 5,47 4,22 6,43 2,94 5,09 5,82 4,20 13,07 5,38 4,41 4,40 3,82 4,67 3,33 4,16 5,48 3,87 12,05 3,24 2,64 2,24 4,48 79,98 5,19 14,84 7,97 5,78 9,73 5,93 27,34 6,19 8,01
2009 2,50 3,45 4,16 7,49 4,95 5,08 5,83 5,91 4,70 6,75 4,33 5,34 6,27 4,47 14,69 7,72 4,52 4,99 4,37 4,78 3,39 4,26 6,69 4,68 12,84 3,29 2,99 2,36 4,45 82,17 7,13 17,19 8,46 6,26 10,73 11,14 32,63 7,08 8,95
2010 2,75 3,84 4,42 8,00 5,04 5,21 6,16 6,39 4,94 7,08 4,40 5,45 6,34 4,56 14,37 8,16 5,21 5,23 4,49 5,10 3,69 4,81 6,86 5,05 14,12 3,72 3,30 2,66 4,57 88,65 7,67 18,33 9,54 6,19 10,78 12,50 33,33 7,56 9,49
69
Lampiran 5. Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
f 35.463.364 35.756.697 36.206.060 36.668.408 37.070.731 37.478.737 37.794.003 37.094.836 37.286.246 37.523.341
Y (Rp juta) 2,11839513 2,141752722 2,182541336 6,762334754 6,964751065 7,283740683 7,612085289 8,013551045 8,950280651 9,488442824
∑(Yi-Y)².fi/f 5,976215683 5,803169837 6,147504048 56,27689359 58,38940262 64,241617 70,08324792 78,04702057 96,37785508 105,7307258
CVW 1,1540 1,1248 1,1360 1,1093 1,0971 1,1004 1,0998 1,1024 1,0969 1,0837
Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur Tanpa Kota Kediri dan Kota Surabaya Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
f 32.578.600 32.857.542 33.293.646 33.734.029 34.117.392 34.506.314 34.815.113 34.194.383 34.382.331 34.486.780
∑ CVW
=
Y (Rp juta) 1,345527 1,386190 1,420178 4,498724 4,683265 4,887805 5,125613 5,477609 6,258428 6,627198
.
∑(Yi-Y)².fi/f 0,556599 0,661335 0,695715 5,904927 6,466784 7,052579 7,741769 8,662544 11,21820 11,88644
CVW 0,554471 0,586662 0,587317 0,540154 0,542995 0,543326 0,542843 0,537318 0,535176 0,520231
70
Lampiran
Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 71 72 73 74 75 76 77 78 79
6.
Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010
Kabupaten/ Kota
Laju Pertumbuhan PDRB (Persen)
Kab. Pacitan Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Malang Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Bojonegoro Kab. Tuban Kab. Lamongan Kab. Gresik Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Provinsi Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
6,66 5,89 6,16 6,65 6,12 6,07 6,57 5,94 6,16 6,26 5,69 5,89 6,25 6,23 5,92 6,87 6,65 6,32 5,96 5,81 6,19 10,97 6,30 6,86 6,89 5,47 5,40 5,77 5,51 5,99 6,66 6,60 6,41 5,99 6,66 6,97 7,47 7,16 6,68
PDRB per kapita (Rupiah) 2.751.463 3.840.217 4.423.334 8.000.429 5.036.522 5.213.229 6.162.108 6.387.774 4.949.431 7.076.065 4.401.970 5.448.050 6.344.982 4.565.888 14.372.750 8.156.361 5.213.428 5.232.560 4.499.142 5.105.785 3.695.464 4.811.073 6.863.538 5.047.904 14.119.228 3.723.310 3.305.630 2.662.163 4.575.250 88.649.988 7.672.403 18.335.823 9.543.549 6.194.105 10.783.241 12.503.151 33.331.726 7.561.791 9.488.443
71
Lampiran 7. Hasil Uji Hausman H0 : Model Random Effect H1 : Model Fixed Effect Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ01 Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
32.934585
8
0.0001
Nilai Prob (0,0001) < α 5% maka tolak H0, artinya model yang dipilih adalah model Fixed Effect.
72
Lampiran 8. Hasil Estimasi Model Dependent Variable: LPDRB Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/18/12 Time: 22:33 Sample: 2001 2010 Periods included: 10 Cross-sections included: 21 Total panel (balanced) observations: 210 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNAIR LNDIK LNJLN LNKES LNPEM LNPTN LNTAB LNTK C
0.146504 -0.380196 0.300261 -0.417015 0.083601 -0.114202 -0.028604 1.364902 -17.98781
0.094421 0.119492 0.190789 0.094195 0.029128 0.249117 0.016568 0.275378 5.378209
1.551596 -3.181757 1.573783 -4.427126 2.870121 -0.458425 -1.726493 4.956470 -3.344573
0.1225 0.0017 0.1173 0.0000 0.0046 0.6472 0.0860 0.0000 0.0010
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.466575 0.384056 0.255320 5.654159 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.682097 0.627735 11.79911 1.453012
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.423570 11.99207
Mean dependent var Durbin-Watson stat
1.495141 1.428532
73
Lampiran 9. Cross Section Effect Daerah Kab. Ponorogo Kab. Trenggalek Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Tuban Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kota Pasuruan
CROSSID 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Effect 0.045778 0.345440 -0.086570 -0.900387 -0.134400 -1.213286 -0.866002 0.198859 0.318449 0.126292 -0.785522 -0.174383 0.527946 0.240138 0.178651 -0.025408 0.137540 0.150267 0.169234 -0.684677 2.432044