49
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Kemampuan masyarakat (peternak) untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar untuk memperoleh dan memahami informasi,
kemudian
memprosesnya
menjadi pengetahuan
tentang
adanya
kesempatan-kesempatan bagi dirinya, melatih diri agar mampu berbuat, dan termotivasi agar mau benar-benar bertindak (Slamet, 2003). Kegiatan proses belajar tentang sesuatu program dapat mencapai hasil yang baik dalam waktu yang lebih singkat, diperlukan usaha -usaha khusus yang bersistem dan berstrategi di bidang pendidikan non -formal. Lingkup tugas tersebut merupakan kerja Penyuluhan, yang merupakan pendidikan non -formal untuk semua orang, untuk menolong dirinya sendiri, melalui belajar sambil be kerja dan dengan melihat menjadi yakin secara kontinyu untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Lionberger dan Gwin, 1982; Dahama dan Bhatnagar, 1985). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah berdiri sendiri. Slamet (2003) menegaskan bahwa praktek penyuluhan pembangunan di lapangan jelas sekali menuntut pendekatan interdisiplin. Menurut beliau, pembangunan pertanian di Indonesia dapat berhasil karena sejak semula menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu penyuluhan pembangunan (Slamet, 1992; Slamet, 2003). Lebih lanjut, Slamet (2003) mensinyalir bahwa para petani Indonesia sebagai khalayak sasaran penyuluhan pembangunan telah berubah secara nyata. Pada umumnya profil populasi petani Indonesia juga telah berubah secara positif. Secara makro populasi petani telah menjadi lebih kecil jumlahnya secara persentil tetapi lebih tinggi kualitasnya, yang ditandai oleh lebih baiknya tingkat pendidikan mereka, lebih me ngenal kemajuan, kebutuhannya meningkat, harapan-harapannya juga meningkat, serta pengetahuan dan keterampilan bertaninya juga telah jauh lebih baik. Para petani kini telah memiliki pola komunikasi yang terbuka. Mereka telah lebih mampu berkomunikasi dengan orang-orang dari luar sistem sosialnya, dan
50
telah lebih mampu berkomunikasi secara impersonal melalui berbagai media massa (Slamet, 1995; Kasryno, 1995; dan Slamet, 2003). Pernyataan yang dikemukakan Slamet dan Kasryno ini sebenarnya telah diungkapkan oleh Hagen (1962), bahwa berubahnya petani dalam berusahatani disebabkan karena berubahnya pengetahuan petani, pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh fungsi informasi. Dalam kaitan ini pengaruh media massa seperti siaran radio, televisi, suratkabar dan berbagai terbitan lainnya, dapat mendorong lebih cepatnya penerimaan gagasan dan teknologi baru yang disampaikan dalam penyuluhan pembangunan pertanian, di samping interaksi sosial secara langsung. Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi petani, termasuk dalam hal ini peternak sapi potong dalam mengikuti kegiatan penyuluhan diduga telah bergeser, yang dulunya dominan memanfaatkan informasi penyuluhan melalui saluran komunikasi interpersonal lewat sistem penyuluhan “tetesan min yak” bersifat top down ke sistem penyuluhan “LAKU” (latihan dan kunjungan), dan kini diduga sudah lebih memanfaatkan atau “terdedah” informasi penyuluhan melalui media massa. Komunikasi sebagai gejala sosial yang turut membentuk perilaku dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yaitu pertama: faktor struktural yang di dalamnya termasuk aspek karakteristik personal, pelapisan sosial, dan ketersediaan sarana-prasarana (accessibility).
yang
memberikan
kemudahan
mendapatkan
informasi
Kedua, adalah penerimaan informasi (acceptability) menyangkut
aspek kultural (kebudayaan).
Jadi keberhasilan komunikasi ditinjau dari ada
tidaknya hambatan struktural (karakteristik personal) dan penerimaan (kultural). Dari kerangka berpikir di atas dapat dilakukan eksplorasi teoritikal mengenai kasus-kasus yang menimbulkan gagasan untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik personal dikaitkan dengan tingkat pengunaan media massa dan jaringan komunikasi di perdesaan. Pertama, mengapa penelitian komunikasi yang menjadi fokus pe ngamatan? Karena, ingin melihat bagaimana pola jaringan komunikasi di antara peternak sapi potong. Apakah benar telah terjadi perubahan perilaku pada khalayak sasaran penyuluhan ke arah perilaku komunikasi impersonal. Diduga telah terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak untuk
51
mendapatkan informasi. Dalam penelitian ini “pergeseran ” dilihat dari perbedaan penggunaan media komunikasi oleh peternak maju dibandingkan dengan peternak kurang maju. Peternak kurang maju, kurang memanfaatkan media massa dalam mendapatkan informasi dan lebih mengandalkan media interpersonal. Sebaliknya, peternak maju tingkat pemanfaatan media massanya lebih besar dibandingkan pada peternak kurang maju dalam mendapatkan informasi.
Kedu a, karena metode
penelitian ini menggunakan hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis, maka jaringan komunikasi dapat juga dijadikan peubah yang turut diamati sebagai peubah terikat. Ketiga, peubah terikat lain yang juga ingin dipelajari adalah perubahan informasi yang terjadi pada kegiatan penyuluhan sapi potong, diukur berdasarkan peubah distorsi pesan.
Mengingat obyek studi mengenai jaringan
komunikasi ini adalah seluruh partisipan kelompok peternak, maka karakteristik peternak tersebut otomatis dapat diartikan juga sebagai pelapisan sosial. Pelapisan di sini atau karakteristik personal haruslah dipandang sebagai suatu kontinum agar dapat diuji secara statistik, untuk melihat perbedaan kategori karakteristik personal mana yang menghalangi komunikasi antara anggota jaringan komunikasi dengan orang-orang yang tidak menjadi anggota jaringan komunikasi. Rogers (1995) menyatakan bahwa jaringan komunikasi akan lebih mudah terbentuk di antara orang-orang yang mempunyai persamaan atribut. Faktor karakteristik personal yang diduga mempengaruhi jaringan komunikasi tersebut adalah: pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa. Faktor tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak dilihat berdasarkan perilaku keterdedahan media massa (media exposure) meliputi: keterdedahan terhadap siaran radio, televisi dan suratkabar ) dalam mencari dan menerima informasi. Adapun faktor perilaku responden dalam memanfaatkan media interpersonal dilihat dari perilaku komunikasi interpersonal peternak sapi potong dalam mencari, menerima, mengklarifikasi dan menyebarkan terpaan pesan dari media massa atau diperoleh dari sumber interpersonal lain. Ketiga faktor ini diduga berhubungan dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. Dimana ketiga faktor tersebut pada penelitia n ini dijadikan sebagai peubah bebas. Walaupun demikian, diduga karakteristik personal pun berhubungan dengan perilaku
52
keterdedahan media massa dan perilaku memanfaatkan media interpersonal. Keterkaitan antar peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi penyuluhan ini, digambarkan dalam model penelitian seperti tersaji pada Gambar 2 berikut.
Karakteristik Personal: X1 = Tingkat p endidikan X2 = Kelas ekonomi X3 = Pemilikan media massa
Perilaku komunikasi interpersonal (X 4)
Keterdedahan Media Massa:
Peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan (Y1 )
D I S T O R S I Y2
X5 = Keterdedahan radio X6 = Keterdedahan televisi X7 = Keterdedahan suratkabar
X8 = Pemuka pendapat
Gambar 2. Kerangka berpikir model hubungan berba gai peubah penelitian Desa lokasi penelitian ini dapat dikategorikan sebagai “desa terbuka.” Artinya mudah disentuh oleh berbagai macam informasi yang berasal dari luar desa, karena adanya berbagai prasarana dan fasilitas media massa. Prasarana tersebut misalnya jalan aspal, fasilitas kesehatan, pasar dan koperasi (KUD).
Sarana
pelayanan ini juga menjadi ajang tempat pertemuan untuk saling tukar-menukar informasi bagi orang-orang yang saling berjumpa di tempat-tempat tersebut. Selain media massa, “informasi” yang sampai ke warga masyarakat di lokasi penelitian lewat saluran birokrasi desa, penyuluh lapangan, pedagang, pemodal, pendamping, ketua kelompok, melalui sesama anggota kelompok, rumah ibadah dan sebagainya. Dengan adanya berbagai prasarana, media massa dan berbagai lembaga yang mampu menyalurkan berbagai informasi tersebut, maka desa lokasi penelitian ini dapatlah dikatakan penyaluran informasinya sejalan dengan model komunikasi
53
banyak tahap. Kelemahan model ini adalah tidak mampu menggambarkan orangorang yang tidak terlibat pada jaringan komunikasi interpersonal
dan tidak
dipengaruhi oleh pemuka pendapat, tetapi selalu nampak pada hampir setiap penelitian yang menggunakan metode analisis jaringan komunikasi. Mereka ini juga perlu dikenai atau disentuh informasi, atau bahkan yang paling membutuhkan informasi untuk dapat serta memanfaatkan fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan perdesaan. Orang-orang inilah yang disebut sebagai pemencil (Rogers dan Kincaid, 1981). Untuk memperjelas proses terjadinya jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok ternak di desa penelitian, Gambar 3 berikut ini mencoba memvisualisasi proses pembentukan jaringan tersebut yang mampu menggambarkan para pemencil jaringan komunikasi yang dite liti.
TAHAP PERTAMA
(1) Sebelum terkena informasi
(2) Sesudah terkena informasi
TAHAP KEDUA
(3) Jaringan yang terbentuk setelah terkena informasi
Gambar 3. Proses pembentukan jaringan komunikasi
Ilustrasi (1) dan (2) adalah kepala keluarga belum membentuk jaringan komunikasi. Pada ilustrasi (2) kepala keluarga sudah mendapat informasi, yang kemungkinan diperoleh dari berbagai macam saluran, forum dan media. Sedangkan ilustrasi (3) terlihat sejumlah kepala keluarga peternak sapi potong membentuk jaringan komunikasi dengan cara bertanya kepada orang-orang yang dipercayainya sebagai usaha konfirmasi ata s informasi yang didapatnya.
54
Dari Gambar 3 terlihat bahwa hanya sebagian dari warga desa atau anggota kelompok peternak yang memberikan respons terhadap informasi yang diterimanya dari berbagai saluran dengan mencari tambahan informasi atau mengonfirmasikan informasi tersebut kepada jaringan sosialnya. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi anggota jaringan komunikasi yang mendapatkan tambahan informasi melalui jaringan sosialnya. Sedangkan sebagian lagi tidak berusaha menanyakan kembali atau mengonfirmasikan informasi yang telah mereka terima. Dalam kerangka teori, studi empirik menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai banyak hubungan cenderung memiliki informasi dan pengaruh yang besar. Orang-orang ini disebut sebagai pemuka pendapat. Tentu saja hal ini juga berlaku di desa lokasi penelitian, dimana masyarakat desa di Jawa umumnya menggunakan orientasi nilai paternalistik yang menyebabkan peranan pemuka pendapat sangat besar dalam derap dinamika masyarakat. Terutama dalam hal pengambilan keputusan, dimana orang-orang cenderung membentuk pola jaringan komunikasi yang memusat kepada orang-orang tertentu, yaitu mereka yang kelas ekonominya relatif lebih tinggi dan memiliki semacam kredibilitas karena dianggap mengetahui atau memang memahami hal-hal yang ingin diketahui oleh anggota masyarakatnya.
Di samping itu, karena jaringan komunikasi sapi potong yang
diteliti ini merupa kan program pemerintah, maka yang menjadi pemuka pendapat semestinya cenderung pula adalah orang-orang yang juga mempunyai status formal. Karena desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian bukan termasuk desa dengan masyarakat sudah maju, maka pemuka pendapatnya cenderung bersifat polimorfik. Artinya, seorang pemuka pendapat dapat menjadi sumber informasi lebih dari satu jenis informasi. Hal ini dimungkinkan karena pemuka pendapat ialah orang yang mobilita s dan kontak sosialnya tinggi.
Hipotesis Penelitian Hipotesis utama yang diuji dalam penelitian ini adalah “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi.” Dengan melihat asumsi pada kerangka berpikir di atas yang menyebutkan, peternak sapi potong dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
55
golongan yakni “peternak kurang maju” dan “peternak maju” sebagai pengganti dimensi waktu. Dimana indikasi perbedaan pemanfaatan media massa antara peternak maju dan kurang maju, menunjukkan pergeseran tingkat pemanfaatan media massa. Termasuk perbedaan di antara masing-masing kategori berdasarkan tingkat pendidikan formal dan status ekonomi peternak sapi potong dalam memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi, merupakan indikator terjadinya pergeseran pemanfaatan media massa.
Sehingga pengujian hipotesis
pertama di atas, dapat ditunjukkan oleh hipotesis kerja sebagai berikut: H1a = adanya perbedaan nyata tingkat pemanfaatan media massa mendapatkan informasi antara peternak maju dengan kurang maju. H1b = di antara masing-masing peubah personal (tingkat pendidikan, ekonomi, pemilikan media massa) dan perilaku pemanfaatan interpersonal peternak, terdapat perbedaan nyata tingkat pemanfaatan massa untuk informasi dari lokasi yang berbeda.
untuk kelas media media
Selain hipotesis utama di atas, dari kerangka berpikir tentang keterkaitan antar peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, dirumuskan pula beberapa hipotesis kerja sebagai berik ut: H2 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan keterdedahan media massa. H3 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan perilaku komunikasi interpersonal informal. H4 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. H5 = Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. H6 = Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan media massa dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. H7 = Terdapat hubungan nyata antara peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi.