KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Penyuluhan pembangunan adalah proses pemberian bantuan berupa: informasi, memecahkan masalah yang dihadapi, pengambilan keputusan kepada masyarakat supaya proses peningkatan mutu/kualitas hidup dapat berjalan lancar. Kegiatan penyuluhan pembangunan dilaksanakan melalui upaya sadar, terencana dan sangat membutuhkan partisipasi aktif masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan. Menurut Hanafiah (1985:4), pembangunan sebagai proses perubahan akan melibatkan aktivitas struktur dan fungsi-fungsi pembangunan, di mana struktur pembangunan disusun oleh komponen fisik, sosial-ekonomi, dan administrasi pembangunan sedangkan aktivitas berkaitan dengan perilaku mewujudkan produktivitas manusia pembangunan. (1989:28)
menjelaskan
bahwa
Sejalan dengan pendapat ini, Blakely
keberhasilan
pembangunan
mensyaratkan
mantapnya partisipasi pembangunan memfungsikan local identity termasuk lembaga masyarakat yang lahir dan diyakini sebagai wadah local business networks setempat dengan potensi ekonomi wilayah bersangkutan menjadi global network. Landis (1986:76) menambahkan bahwa sangat jarang sebuah organisasi pembangunan berfungsi tunggal, namun sekurang-kurangnya terintegrasi pada lima fungsi yaitu fungsi keluarga, pendidikan, agama, ekonomi, dan sub fungsi campur tangan pemerintah. Dengan mengadoptasi konsep tersebut, maka timbul suatu pertanyaan bagaimana potensi subak sebagai organisasi lokal Bali yang berfungsi
socio-agraris-religius
itu
dapat
menggerakkan
pembangunan
anggotanya, paling tidak diperlukan penelusuran unsur-unsur yang mungkin dapat sejalan mewadahi aktivitas penyuluhan pembangunan. Pembangunan bukanlah soal teknologi tetapi pencapaian pengetahuan dan ketrampilan baru, tumbuhnya suatu kesadaran baru, perluasan wawasan manusia, meningkatnya semangat kemanusiaan dan suntikan kepercayaan diri. Kesadaran itu tidak tumbuh dengan sendirinya, karena mereka harus dibekali pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat diperoleh melalui penyuluhan pembangunan. Lionberger dan Gwin (1984:34) menegaskan kembali pendidikan non-formal untuk semua orang, helping people to help themselves, learning by doing and
73
74
seeing is believing melalui proses belajar kontinyu untuk meningkatkan kualitas hidup sasaran. Penyuluhan pembangunan dikatakan berhasil jika sasarannya mampu memanfaatkan kesempatan dan menggerakkan sumberdaya lain menjadi produktif, sehingga penyuluhan sebaiknya dilaksanakan sebelum pembangunan dimulai dan bekerja harmonis dengan media dan budaya masyarakat (Benor, 1987:139); Mosher, 1978:5; dan Axinn, 1988:11). Soewardi (1987:10) dengan tegas mengatakan bahwa para penyuluh setidaknya mampu berdiri sendiri dan menguasai etika penyuluhan (the golden rules) dan metode penyuluhan yang benar. Berdasarkan harapan itu, timbul suatu pertanyaan seberapa besar subak berpotensi melakukan tugas itu atau potensi unsur mana yang dapat dijadikan titik tolak mengembangkan wahana belajar di subak? Konsep yang disampaikan Uphoff (1989:202) mengetengahkan tiga cara meningkatkan mutu organisasi lokal yakni gelorakan semangat kepeloporan (inception), perluas aktivitas anggota (expansion), dan operasikan tujuan dengan jelas (operations).
Selain itu, ditawarkan juga empat teknik menggerakkan
aktivitas warganya yakni tugas-tugas organisasi harus dikembangkan seluasluasnya agar warga selalu kreatif (interorganizational tasks) kenali potensi sumberdaya warga (resource tasks), memekarkan jaringan pelayanan (service tasks) dan buka hubungan dengan organisasi luar (extraorganizational). Telah banyak dikenal wadah-wadah pembangunan lokal, tetapi mencari dan memberdayakan unsur-unsur potensial agar efektif menjadi wahana pembangunan tidak mudah termasuk mengapa subak di Bali begitu populer menjadi lembaga tradisional yang dapat melayani anggotanya dalam hal irigasi? Potensi subak subak didukung oleh sarana fisik, nilai, sumber daya manusia, program dan aktifitas di subak serta kepemimpinan subak. Bahkan mungkin peran faktor di luar subak dapat saja sejalan ataupun mengganggu kemandirian subak dalam menerima inovasi pertanian. Kesesuaian unsur Subak dengan unsur pembangunan yang disuluhkan memungkinkan Subak dapat efektif menerima, mengolah, dan mengembangkan serta melaksanakan isi pesan pembangunan. Mungkin ciri komunikatif seperti lokasi yang strategi, kebersamaan, panutan guru-bhakti, tuntunan perasaan
75
bermasyarakat dan menjunjung tinggi peran prajuru-subak (pengurus subak) khususnya pada kegiatan paruman-subak (musyawarah) serta semangat ”setunggal” mentaati keputusan memungkinkan subak siap menjadi wahana belajar anggota subak sekaligus wahana pembangunan pertanian di Bali. Menyiapkan subak agar selaras dengan tujuan penyuluhan atau tujuantujuan pembangunan pertanian yang berciri terbuka dan selalu produktif mengolah sumberdaya mungkin berbenturan atau terhambat oleh adanya nilai-nilai subak yang sulit berubah atau diubah. Secara pragmatis mungkin azas kebersamaan dan rasa bakti menjadi anggota subak memudahkan terwujudnya kesamaan pandangan terhadap informasi pembangunan pertanian, alasan organisatoris di mana adanya pengakuan dan pembagian status, peran, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas memungkinkan warga subak meraih peningkatan kualitas hidupnya. Alasan sosiologis yakni subaklah yang menjadi perekat (sosial glue) semangat bersama sehingga tidak satupun warganya merasa dapat hidup sendiri. Berarti juga dengan subak, maka perbedaan opini pribadi, pengalaman dan nilai-nilai personal mudah lebur ke arah produktif seperti progresif perwujudan pelaksanaan Tri Hita Karana yaitu hubungan selaras antara warga dengan Tuhan, warga dengan warga lain, dan warga dengan alam lingkungannya. Ciri komunikatif dan inovatif subak, dapat pula dijadikan alasan menggelorakan budaya getok tular sehingga adopsi-difusi pesan pembangunan pertanian sampai dengan efektif. Alasan kultural bahwa di subaklah dijiwai ajaran Tri Kaya Parisudha yang didasari oleh semangat berpikir (manacika), berkata (wacika), dan berbuat (kayika) yang benar. Warga subak adalah anggota keluarga, bagian dari sekehe (kelompokkelompok kecil satu profesi) dan tempekan (kelompok kecil bagian dari subak) dalam suatu banjar (lingkungan tempat tinggal). Kumpulan banjar membentuk satu desa, dan ragam perilaku masyarakatnya memerlukan pengaturan. Sejalan dengan ini Sarmela (1975:221) menggambarkan organisasi tradisi sebagai sistem tidaklah statis, di dalamnya terdapat aksi-aksi seperti komunikator-komunikator informasi pembangunan, aktor sosial-ekonomi, aspirator pengetahuan baru, motivator bagi individu lainnya dan agen transformator nilai menuju perubahan yang menguntungkan. Konsep ini dijadikan gambaran menganalisis subak yakni unsur-unsur mana memungkinkan subak menjadi pusat orientasi, fokus integrasi
76
sehingga tingkat partisipasi warganya cenderung semarak.
Bagaimana ragam
emosi dan aspirasi personal berupa persepsi mereka tentang pengembangan potensi subak menjadi wahana belajar menjadi pertanyaan selanjutnya. Subak sebagai kesatuan komunitas petani, dibentuk dari fungsi unsur fisik, nilai, program dan aktivitas, dan kepemimpinan subak.
Fungsi unsur fisik
mencirikan kesatuan komunitas yang menjamin rasa aman di subak bahkan cenderung menjadi primordial yang merugikan. Balai subak sebagai tempat musyawarah, aktivitas keagamaan, aktivitas ekonomi seperti pembagian sarana produksi pertanian, tempat penyuluhan pertanian dan wahana komunikasi sosial lainnya. Pura subak menjadi tempat persembahyangan warga subak dan pengambilan tirta suci sebelum aktivitas dalam subak dimulai. Pura sekaligus menjadi perekat sesama anggota subak.
Balai kulkul atau kentongan subak
bermakna komunikatif baik intra, inter, dan antar anggota subak.
Irama dan
prekuensi pukulan yang berbeda menyiratkan tujuan yang berbeda. Unsur fisik lainnya adalah dapur, perangkat kesenian, sumur, papan data dan informasi. Nilai subak mengatur perilaku anggota dan pengurus subak sekaligus sebagai tuntutan dalam berprilaku dalam mencapai tujuan hidup. Konsep nilai Tri Hita Karana sebagai tiga cara mencapai kesejahteraan (Geriya, 1993:93) yaitu menyelaraskan tiga hubungan di atas. Konsep Tat Wam Asi, artinya Ia adalah Kamu yang secara luas berarti menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Nilai kebersamaan dan kebaktian, tidak memungkinkan munculnya kreativitas individu bahkan dikorbankan demi komunal dan kolektivitas.
Robinson
(1989:96) mengakui pula bahwa tindakan meniadakan kreativitas, dan daya saing sebenarnya melawan pembangunan. Konsep nilai lainnya yaitu desa-kala-patra artinya program pembangunan disesuaikan dengan tata ruang-waktu-situasi sehingga keseimbangan lahir dan bathin menjadi pedoman berperilaku di subak. Ajaran Rwa-Bhineda dan Bhineka Tunggal Ika menyiratkan agar perbedaan dijadikan alat mencapai tujuan bersama atau teknik musyawarah pada paruman subak justru menghormati variasi pola pikir, berkata dan berbuat. Konsep Tri Guru yaitu Guru Rupaka yang mewajibkan setiap orang hormat kepada orang tua yang melahirkan; Guru Pengajian mewajibkan taat pada petunjuk guru di sekolah
77
dan Guru Wisesa, tunduk pada pemerintah. Konsep guru terakhir ini menjadikan subak korban induktif pemerintah dan memasung inisiatif dan subak Masuknya metode SRI ke dalam Subak menunjukkan daya dan efektivitas subak mengenal dan mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki untuk seterusnya dijadikan pedoman mengembangkan potensi diri mencapai tujuan pribadi, subak, dan pembangunan pertanian. Oleh sebab itu diperlukan dukungan sumberdaya yang memadai. Sumberdaya menyiratkan keragaman sumberdaya manusia, alam dan sumberdaya pendukung yang memengaruhi kiprah subak. Sumbedaya manusia di subak mengatur warganya dalam status dan peran yang berbeda, yaitu Prajuru Subak terdiri dari seorang kelian subak (Pimpinan), Penyarikan subak (Sekretaris), Petengen (Bendahara), beberapa Kelian Tempek (Ketua kelompok kecil) dan sisanya Kerame Subak (anggota). Selain itu, kepemimpinan subak juga tidak kalah penting.
Kepemimpinan ditunjukkan dari kematangan warga,
hubungan prajuru dan kerame subak, struktur tugas subak, kedudukan pemimpin, gaya kepemimpinan dan struktur kekuasaan pemimpin. Berdasar ciri Subak di atas, maka sangat penting dibuktikan apakah potensi Subak menjadi wahana belajar petani di Bali dipengaruhi oleh fungsi unsur dan semangat subak? Sebagai wahana belajar berarti tempat pelaksanaan proses belajar mengajar (Kochhar, 1981:25-26).
Ciri aktivitas belajar dan
mengajar adalah integrasi peran penyuluh, materi, sarana dan sasaran agar lebih produktif (Bertz, 1983:19-20; dan Kunzik, 1983:123). Ciri lain menurut Sutjipta (1994:1) bahwa penyuluhan adalah usaha terencana dan dilaksanakan dalam hubungan terbuka, tanpa adanya kesenjangan dalam menumbuhkan motivasi internal masyarakat. Sejalan dengan itu Kaufman (1979:31) menggambarkannya sebagai interrelasi, kooperasi dan partisipasi antar komponen belajar. Rogers (1983:290) menekankan adanya interkoneksi, dan Bertrand (1974:108) menyebut sebagai sosialisasi yang dinamis antar elemen kelompok.
Roberts (1987:82)
menekankan prinsip learning by doing ditingkatkan menjadi learning by interaction. Faktor yang diduga dapat memberikan pengaruh terhadap petani untuk mengadopsi atau menerapkan suatu inovasi dalam usahataninya adalah faktor yang berkaitan dengan karakteristik petani dan keluarganya, faktor yang berkaitan
78
dengan usahatani yang dijalankan dan faktor lingkungan. Apabila dilihat dari faktor yang memengaruhi percepatan adopsi, maka faktor yang memengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri yang akan diintroduksi harus mempunyai kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, dan budaya yang ada di petani (Musyafak dan Ibrahim, 2005:49). Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui peubah-peubah yang termasuk ke dalam faktor-faktor yang memengaruhi petani menerapkan inovasi tertentu. Faktor-faktor yang berkaitan dengan karakteristik petani dan keluarganya antara lain umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, sikap (Yanuar, 2002:10; Suharyanto et.al., 2005:15; Yuliarmi 2006:39; dan Basuki, 2008:40). Pendidikan diukur berdasarkan lamanya petani mengenyam pendidikan formal.
Lama pendidikan formal mempunyai hubungan yang tidak langsung
terhadap sikap petani dalam mengadopsi inovasi.
Petani yang berpendidikan
tinggi relatif lebih cepat dalam mengadopsi inovasi, sebaliknya petani yang berpendidikan rendah agak sulit untuk mengadopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988:60). Makin muda umur petani biasanya mempunyai semangat dan keinginan untuk mengetahui apa yang belum diketahui/mencoba-coba hal baru, sehingga berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi (Soekartawi, 1988:60). Selanjutnya jumlah anggota keluarga diduga memengaruhi pengadopsian suatu inovasi. Semakin banyak keluarga maka tingkat pengadopsian semakin cepat karena kebutuhan hidup dan biaya hidup semakin besar, untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah maka petani mengadopsi suatu inovasi agar dapat meningkatkan produktivitas usahataninya. Lahan pertanian merupakan penentu dari pengaruh faktor produksi komoditas pertanian. Luas lahan berkorelasi positif dengan sikap adopsi petani, artinya luas lahan petani, semakin besar peluang petani dalam mengadopsi teknologi. Beberapa kemajuan teknologi baru mesyaratkan operasi dalam skala usaha yang besar dan memerlukan sumberdaya ekonomi yang substansial untuk menerapkannya, dengan demikian petani yang memiliki lahan yang luaslah yang akan mampu secara ekonomi untuk menerapkan praktik usahatani yang lebih modern (Lionberger dan Gwin, 1984:54).
79
Pemilik lahan mempunyak kuasa yang lebih luas daripada penyewa lahan. Pemilik lahan dapat langsung membuat keputusan dalam mengadopsi suatu inovasi, namun penyewa lahan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari pemilik lahan sebelum menerapkan suatu praktik baru apabila penyewa lahan masih mendapat bantuan finansial dari pemilik lahan (Lionberger dan Gwin, 1984:61) Keikutsertaan anggota subak dalam pelatihan memungkinkan anggota subak mendapatkan informasi mengenai teknologi yang belum diketahuinya dan merupakan sarana pendidikan non formal. Anggota subak yang selalu mengikuti berbagai pelatihan baik di daerahnya maupun di luar mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengadopsi inovasi, dikarenakan mempunyai pengetahuan yang lebih lengkap. Khusus untuk penelitian ini pelatihan yang diikuti anggota subak harus mengenai pelatihan atau penyuluhan tentang SRI. Pengalaman usahatani adalah lamanya anggota subak dalam melakukan usahatani padi dari sejak pertamakali memulai
sampai penelitian dilakukan.
Peubah ini merupakan gambaran dari budaya atau kebiasaan yang diturunkan dari generasi sebelumnya. Anggota subak yang sudah lama bertani diperkirakan sulit bahkan tidak bersedia mengubah sistem pertaniannya, sehingga semakin lama pengalaman anggota subak maka semakin sulit untuk mengubah pola pikirnya untuk dapat menerapkan suatu inovasi.
Pengalaman menyimpulkan bahwa
praktik usahatani yang dilakukan selama bertahun-tahun adalah yang paling baik, sehingga ketika inovasi pertanian diperkenalkan anggota subak membutuhkan waktu yang lama untuk menerimanya. Pendapatan usahatani padi merupakan perolehan bersih petani dinilai dalam bentuk yang diterima dari hasil usahatani padinya.
Semakin tinggi
pendapatan yang akan diterima petani akibat penerapan teknologi tertentu diduga semakin cepat petani untuk beralih menerapkan inovasi dalam usahataninya. Pendapatan usahatani padi yang tinggi berhubungan dengan inovasi pertanian (Soekartawi, 1988:61). Dalam penelitian ini pendapatan usahatani dihitung berdasarkan satuan rupiah/musim tanam/ha.
Karakteristik Anggota subak Anggota Subak X1 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Umur Pendidikan formal Luas lahan usahatani Pengalaman Jumlah tanggungan keluarga Motivasi berusaha Tingkat subsistensi Modal usahatani Partisipasi dalam subak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Persepsi anggota subak tentang SRI (Y1) Lebih baik dari metode konvensional Memberikan banyak keuntungan Tidak bertentangan dengan aturan subak (awig-awig) Tidak memiliki tingkat kesulitan untuk diterapkan Tidak bertentangan dengan norma Tidak bertentangan dengan tata nilai Tidak bertentangan dengan adat istiadat Sesuai dengan kebiasaan setempat Tidak terlalu rumit Mudah dicoba Hasilnya dapat dilihat langsung
Kompetensi Fasilitator/Penyuluh (X5) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Kemampuan mengemukakan pendapat Kejelasan bahasa yang digunakan Daya adaptasi Kesistematisan dalam menyampaian materi Kemampuan memberi semangat klien Pemahanan kebutuhan anggota subak Alat bantu penyuluhan yang digunakan Penampilan menarik Efisiensi waktu memberi penyuluhan Penguasaan Materi SRI Pengalaman yang bagus dengan SRI
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Sikap anggota subak tentang SRI (Y2) Sri irit air Ramah lingkungan Menggunakan lebih sedikit benih Masa tanam lebih cepat Menggunakan bibit lebih muda Jumlah anakan lebih banyak Kualitas batang dan daun lebih baik Tahan terhadap hama dan penyakit Bulir padi lebih bernas Rasa nasi lebih enak Produktivitas tinggi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Kemandirian Anggota Subak (Y3) Akses informasi Dapat belajar mandiri Kerjasama dengan pedagang Penyediaan modal usaha tani Penguasaan lahan (sewa) Akses pada kredit usahatani Berani menanggung risiko Proses pengambilan keputusan Ketepatan pengambilan keputusan
Kompetensi Pengurus (X4) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Menyebarluaskan informasi Menganjurkan menerapkan SRI Mempengaruhi anggota subak Memberikan contoh Melibatkan anggota dalam pengambilan keputusan Memberikan semangat Mencarikan jalan pemecahan masalah Memiliki pengetahuan dan wawasan tentang SRI Sifat jujur dan terbuka Membuka diri dari segala macam kritikan
Gambar 15. Kerangka berpikir penelitian
Pengadopsian Paket Teknologi SRI oleh Anggota Subak(Y4) (1) Persiapan dan Pengolahan Lahan (2) Pemilihan Benih (3) Persemaian (4) Penanaman (5) Penyiangan (6) Pengairan (7) Pemupukan (8) Pengendalian hama dan
penyakit (9) Panen
81
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah penjelasan sementara tentang suatu tingkah laku, gejalagejala, atau kejadian tertentu yang telah terjadi atau yang akan terjadi. hipotesis adalah harapan yang dinyatakan oleh peneliti mengenai hubungan antara peubahpeubah di dalam masalah penelitian (Sevilla dkk., 1993:13). Hipotesis umum penelitian ini adalah derajat pengadopsian SRI di kalangan anggota subak masih rendah walaupun anggota subak telah mendapatkan informasi yang memadai tentang SRI, dan derajat pengadopsian SRI tersebut ditentukan oleh beberapa faktor internal dan faktor eksternal anggota subak. Hipotesis: (1) Karakteristik individu anggota subak, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus berpengaruh terhadap persepsi anggota subak tentang SRI. (2) Karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, dan persepsi anggota subak tentang SRI berpengaruh terhadap sikap anggota subak terhadap SRI. (3) Karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, persepsi anggota subak tentang SRI, dan sikap anggota subak terhadap SRI berpengaruh terhadap kemandirian anggota subak menerapkan SRI. (4) Karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI berpengaruh terhadap pengadopsian SRI di kalangan anggota subak.