KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Kerangka Berpikir Alur berpikir dan proses penelitian disajikan dalam Gambar 5. dimulai dari: (1) alasan penelitian ini dilakukan, (2) menguraikan jawaban secara deduktif beberapa teori dasar dan hasil penelitian sebelumnya, dan (3) mengkristalisasikan teori dan hasil penelitian menjadi konsep yang dijadikan landasan untuk merumuskan model pemberdayaan yang menjadi tujuan utama penelitian ini.
Faktor pendukung usaha
Kebijakan Pemerintah Keberdayaan Pengrajin
Lingkungan Kemandirian Usaha
Kemajuan Usaha
Paradigma Pemberdayaan Keberlanjutan Karakteristik Individu Pengrajin
Perilaku Wirausaha
Persaingan Global
Model Pemberdayaan Pengrajin
Gambar 5Kerangka
Berpikir Pemberdayaan Pengrajin Gambar 5. Kerangka Berpikir Pemberdayaan Pengrajin
Usaha
Berdasarkan kerangka berpikir di atas dan untuk menjawab tujuan penelitian maka hubungan antar peubah secara keseluruhan digambarkan sebagai berikut:
Faktor pendukung usaha yang tersedia (X2) ▪Bahan baku (X2.1) ▪Pasar (X2.2) ▪Teknologi (X2.3) ▪Transportasi (X2.4) ▪Alat Komunikasi (X2.5)
Dukungan Lingkungan Usaha (X3) ▪Keluarga (X3.1) ▪Pemimpin Informal (X3.2) ▪Pemerintah Daerah (X3.3) ▪Organisasi Non Pemerintah (X3.4) ▪Norma / adat (X3.5)
Karakteristik Individu Pengrajin (X1) ▪Umur (X1.1) ▪Pendidikan (X1.2) ▪Tanggungan Keluarga (X1.3) ▪Pengalaman berusaha (X1.4) ▪Motivasi berusaha (X1.5) ▪Pemenuhan Kebutuhan (X1.6) ▪Intensitas Komunikasi (X1.7) ▪Kesetaraan Gender (X1.8)
Keberdayaan Pengrajin
Tingkat Kemandirian Usaha Y2 ▪Permodalan (Y2.1) ▪Proses Produksi (Y2.2) ▪Kerjasama (Y2.3) ▪Pemasaran (Y2.4)
Perilaku Wirausaha Y1 ▪Keinovatifan (Y1.1) ▪Inisiatif (Y1.2) ▪Pengelolaan resiko (Y1.3) ▪Daya saing (Y1.4)
Gambar 6 Hubungan Antar Peubah Penelitian
Gambar 6. Hubungan Antar Peubah Penelitian
Tingkat Kemajuan Usaha Y3 ▪Pertumbuhan Usaha (Y3.1) ▪Efisiensi usaha (Y3.2) ▪Efektifitas usaha (Y3.3)
Keberlanjutan Usaha Y4 Kontinyuitas produksi (Y4.1) Kontinyuitas penjualan (Y4.2) Kontinyuitas Input (Y4.1)
Perkembangan Paradigma Pemberdayaan Konsep pemberdayaan terus berkembang dan terus mendapat revisi baik dari kalangan birokrat maupun kalangan ilmuwan. Perubahan struktur masyarakat, kebutuhan masyarakat dan berkembangnya pemikiran kritis masyarakat menuntut perubahan makna, visi, misi dan strategi pembangunan. Konsep pemberdayaan muncul pada 1970-an, pada masa itu masyarakat mulai berkembang pemikirannya dan bereaksi untuk mengembangkan kapasitasnya. Mereka melakukan gerakan populis, antistruktur, antisistem dan antideterminisme yang diaplikasikan dalam kekuasaan. Berkaitan dengan konsep pemberdayaan tersebut, Dharmawan (2000) merangkum beberapa pemahaman tentang pemberdayaan yaitu: (1) pemberdayaan sebagai proses, mekanisme antara masyarakat, organisasi dan komunitas dalam menghadapi hidupnya, (2) pemberdayaan digunakan untuk menggambarkan cara memperoleh kekuatan sehingga dapat keluar dari kemiskinan, ini berarti dalam pemberdayaan harus ada pengetahuan, pendidikan, organisasi, hak dan suara yang posisinya sama dengan sumberdaya material dan keuangan, (3) dari sudut pandang politis, pemberdayaan dipahami sebagai adanya suatu kondisi dimana masyarakat tidak memiliki kekuatan sehingga menjadikan mereka mampu menyuarakan keinginannya kepada pemerintah, dan (4) pemberdayaan dipahami sebagai proses transformasi atas ketidakseimbangan hubungan kekuatan, ketidakselarasan struktur masyarakat dan kebijakan pembangunan sehingga terjadi perubahan dan perluasan peluang individu. Rothman (1974) menyajikan tiga pendekatan pemberdayaan melalui intervensi komunitas yaitu locality development, social planning dan social action. Pendekatan ini merupakan upaya peningkatan kapasitas masyarakat sehingga mampu menolong diri sendiri, melakukan perubahan kekuatan hubungan dan sumber daya dan menyelesaikan substansi masalah yang dihadapi masyarakat. Oxaal dan Baden (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan bukan sekedar membuka akses untuk mengambil keputusan tetapi harus memproses masyarakat
agar mereka untuk merasa mampu dan berhak menduduki ruang pengambilan keputusan. Upaya pemberdayaan ditujukan untuk menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kelompok
masyarakat,
negara,
regional
maupun
internasional.
Proses
pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu: (1) proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan (2) proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan, menentukan hal-hal yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses belajar. Hubeis (2000) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat (Community Empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P; Pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, Penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat dan Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. Berpijak pada perkembangan paradigma pemberdayaan diatas, tampak bahwa kebutuhan peningkatan kapasitas manusia sangat mendesak untuk dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi semakin penting, apalagi didukung dengan pemberdayaan yang berorientasi pada pertumbuhan sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Mengkritisi pendekatan pemberdayaan yang berbasis pada pertumbuhan, bahwasanya dalam model pembangunan pertumbuhan telah terjadi bias pengukuran kekayaan (affluent-bias measures) dan berkembangnya budaya korupsi, sehingga visi
pemberdayaan harus disusun dengan semangat untuk membangkitkan kemampuan mengekspresikan diri (self-expression) dan menentukan nasib sendiri (self determination) (Dharmawan, (2000); Adi (2003), Nadvi dan Barientoss 2004; dan Baden 1997)). Berdasarkan perkembangan paradigma pemberdayaan di atas, maka dalam konteks pengrajin makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya, (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang lebih baik.
Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan akan dapat
berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga masyarakat pengrajin lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan partisipatif.
Model Pemberdayaan bagi Komunitas Pengrajin Mengacu pada pengertian pemberdayaan yang telah diuraikan sebelumnya dan melihat keterbatasan yang dihadapi pengrajin, kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin, maka penelitian ini mencoba memformulasikan model pemberdayaan dengan melakukan peningkatan kualitas SDM pengrajin melalui proses pembelajaran yang berkesinambungan agar tercapai perilaku wirausaha berkualitas, tingkat kemandirian dan keberlanjutan usaha yang tinggi, dan memajukan usaha pengrajin. Salah satu model pemberdayaan yang memiliki relevansi dengan upaya pemberdayaan pengrajin adalah yang disintesakan secara deduktif dari tiga model intervensi komunitas dari Rothman (1974) seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Sintesa Model Intervensi dalam Pemberdayaan untuk Komunitas Pengrajin Variabel
Model A, (Locality Development) Peningkatan kapasi tas integrasi : menolong diri sendiri
Model B (Social Planning) Penyelesaian : Substansi masalah dari komunitas
Model C (Social Action) Perubahan kekuatan hubungan dan sumberdaya
Sintesa (Model Untuk Komunitas Pengrajin) Peningkatan Kapasitas menuju kemandirian
Asumsi kondisi problem komunitas secara struktural
Kemunduran komunitas anomi, hubungan yang tak harmonis, kemampuan menyelesai-kan masalah komunitas tradisional yang statis
Substansi masalah sosial pada kejaahatan, kesehatan mental dan fisik, perumahan, rekreasi dll.
Ketidakadilan sosial, deprivasi, unequality
Kemampuan menyelesaikan masalah komunitas tradisional yang statis.
Strategi dasar perubahan
Melibatkan komunitas dalam menentukan dan memecahkan
Memburu data tentang masalah dan membuat keputusan dalam yang logis
Kristalisasi isu dan mobilisasi massa
Melibatkan komunitas dalam menentukan dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan logis
Karakteristik perubahan: taktik dan tehnis
Konsensus, komunikasi antar kelompok yg. memperhatikan kepentingan melalui diskusi/musyawarah
Konsensus atau konflik
Konfrontasi konflik, aksi langsung atau negosiasi
Konsensus, komunikasi antar kelompok yg. memperhatikan kepentingan melalui diskusi/musyawarah
Peran Praktisi
Sebagai katalisator : mengkoordinasi ahli pemecah masalah yang bersumber dari dari nilai-nilai idealistik
Pencari fakta, penganalisis, pengimplentasi program serta pelancar/ penghubung
Advokasi aktivis, agitator, negosiator, partisipan
Sebagai katalisator, mengkoordinasi ahli pemecah masalah dan menjadi penghubung komunitas dengan pasar atau mitra.
Media perubahan
Petunjuk kecil, orientasi tugas kelompok
Petunjuk formal organisasi dan data
Petunjuk organisasi massa dan proses politik
Petunjuk kecil, orientasi tugas kelompok
Orientasi thd kekuasaan struktur
Kekuasaan struktur berada pada kolaborasi keanggotaan
Kekuasaan struktur berada pada penguasa dan sponsor
Kekuasaan struktur bersifat eksternalpenindas
Kekuasaan struktur berada pada kolaborasi keanggotaan
Batasan atas target yang diuntungkan
Total komunitas secara geografi
Total atau sebagian komunitas
Sebagian komunitas
Sebagian komunitas yang memiliki kesamaan usaha
Asumsi Kepentingan
Kepentingan bersama atau perdamaian dengan perbedaan
Penyatuan kepentingan atau konflik
Pertentangan kepentingan yang tidak mudah didamaikan, sumberdaya terbatas
Kepentingan bersama atau perdamaian dengan perbedaan
Yang diuntungkan
Warga komunitas
Pengguna
Korban
Warga komunitas
Peran target yang diuntungkan
Partisipan yg dapat berinteraksi dgn proses penyelasaian masalah
Konsumen atau penerima
Pekerja, pemilih, anggota
Partisipan yg dapat berinteraksi dengan proses penyelasaian masalah
Penggunaan wewenang
Membangun kapasitas komunitas untuk mendukung kerjasama dan pengambilan keputusan
Mendapatkan pola kebutuhan dan pelayanan serta informasi pilihan bagi pengguna
Pencapaian sistem kekuasaan yang objektif terhadap yang memegang peranan
Membangun kapasitas komunitas untuk mendukung kerjasama, penyediaan informasi dan pengambilan keputusan
Kategori tujuan
Jadi hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sintesa model pemberdayaan yang akan memandirikan pengrajin dalam berusaha, meningkatkan kualitas perilaku wirausaha dan memajukan usahanya. Pemberdayaan pengrajin merupakan bagian dari kegiatan penyuluhan pembangunan. Pokok-pokok pikiran mengenai penyuluhan pembangunan yang menunjang pembangunan industri kecil di masa depan tidak terlepas dari paradigma baru penyuluhan pembangunan. Menurut Slamet (2003), penyuluhan adalah jasa pendidikan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan pokok-pokok pikiran seperti yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Pokok-pokok Pikiran Strategi Penyuluhan Pembangunan Penunjang Pembangunan Industri Kerajinan dan Rumah Tangga Pokok Pikiran a. Ruang lingkup
b. Tujuan.
c. Pendekatan.
d.Peran penyuluh
e. Peran Pengrajin f. Teknik Penyuluhan
f. Outcome
Penyuluhan yang Kurang Memberdayakan (Memperdayai) Penyuluhan industri kecil merupakan penyampaian informasi kepada pengrajin agar terjadi peningkatan produksi. ▪Meningkatkan kuantitas produksi ▪Transfer teknologi ▪Penguasaan pengetahuan ▪Top Down Planning perencanaan ditetapkan dari atas / policy maker, dengan berdasarkan pada kebutuhan dan keinginan policy maker. ▪Non Partisipatif, tidak melibatkan pengrajin dalam kegiatan perencanaan implementasi dan evaluasi. ▪Bersifat monologis, abstrak dan verbal ▪Source of knowledge, penyuluh sebagai sumber pengetahuan. ▪Director, mengarahkan pengrajin untuk melakukan suatu kegiatan berdasarkan petunjuknya. ▪Agen Pemerintah, menjalankan tugas sesuai dengan program yang dibuat seragam dalam skala nasional. ▪Evaluator, semata-mata sebagai tim penilai keberhasilan program. ▪Problem Solver, berperan sebagai pemecah masalah pengrajin. ▪Obyek penyuluhan ▪Penerima informasi ▪Penerap teknologi ▪Ceramah ▪Presentasi tulisan atau gambar. ▪Tanya jawab. ▪Produktifitas, menghasilkan pengrajin yang dapat memenuhi jumlah produksi tertentu, menghasilkan produk tertentu. ▪Ketergantungan, setelah tidak ada penyuluhan kegiatan usaha berhenti.
Penyuluhan yang Memberdayakan Penyuluhan industri kecil merupakan proses perubahan perilaku individu pengrajin dan keluarganya. ▪Perubahan Perilaku ▪Memecahkan masalah pengrajin ▪Peningkatan kualitas usaha ▪Meningkatkan kesejahteraan masa depan. ▪Bottom up planning, melakukan perencanaan dari bawah / dengan berdasarkan pada kebutuhan pengrajin. ▪Partisipatif, melibatkan pengrajin dalam seluruh kegiatan. Mulai dari merencanakan, implementasikan dan mengevaluasi. ▪Bersifat dialogis, nyata dan terapan. ▪Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. ▪Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan usahanya, membangun network (jejaring) dengan pasar, penyedia input atau dengan pemerintah. ▪Motivator, memotivasi pengrajin untuk menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinya sendiri. ▪Advocator, berperan sebagai konsultan untuk menangani masalah pengrajin. ▪Subyek penyuluhan ▪Pengolah informasi ▪Penghasil teknologi ▪Diskusi kelompok ▪Simulasi ▪Demonstrasi ▪Praktek kerja ▪Kunjungan lapangan ▪Peningkatan kualitas perilaku. ▪Kemandirian, menghasilkan pengrajin industri kecil yang mandiri. ▪Kemajuan usaha. ▪Sustainability, perubahan berkelanjutan.
Agar dapat memenuhi pokok-pokok pikiran tentang strategi penyuluhan pembangunan industri kecil di atas, maka hendaknya didasarkan pada : Prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, bahwasanya penyuluhan adalah proses pendidikan orang dewasa maka harus memperhatikan karakteristik orang dewasa yang kembali belajar. Cara mengorganisasikan pengalaman belajar akan digunakan teori-teori belajar orang dewasa, misalnya: Teori Belajar Bebas dari Carl Roger, Teori Belajar Sosial dari Albert Bandura, dan sebagainya. Hal tersebut akan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan orang dewasa. Intervensi Komunitas Terencana, bahwasanya pemberdayaan pengrajin adalah
salah satu bentuk pengembangan sekelompok masyarakat, sehingga proses perubahan yang dibutuhkan untuk menuju keberdayaan pengrajin diperlukan pendekatan intervensi komunitas. Pendekatan yang dimaksud adalah mengacu pada pendapat Rothman (1974), pendekatan yang sesuai untuk pengrajin adalah pada area entreprise yang merupakan gabungan (intermixed) antara pendekatan Social Planning dan Locality Development dengan posisi model intervensi seperti yang tercantum dalam Gambar 7. Pertimbangan digunakan model Development Planning (Gabungan Locality Development dan Social Planning) adalah: (1) pengembangan pada industri kecil masih membutuhkan kontribusi dari luar, misalnya pemerintah, dan (2) pengrajin merupakan sekelompok kecil masyarakat yang bersifat spesifik lokal. Posisi model intervensi Development planning Social Planning
Enterprise Locality Development
Action Planning
Intermixed
Action Development
Social Action Gambar 7 Paradigma Intervensi Masyarakat dan Gabungan Beberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974)
Gambar 7. Paradigma Intervensi Masyarakat dan Gabungan Beberapa Pola Intervensi (Rothman, 1974)
Partisipatif: proses penyuluhan dilakukan secara partisipatif yang memerlukan keterlibatan klien secara interaktif dan maksimal dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan penilaian dengan tetap memperhatikan prinsip lokalitas dan kemampuan klien. Berorientasi pada kebutuhan pengrajin: kebutuhan pengrajin merupakan fokus kegiatan penyuluhan (bukan kebutuhan program atau penyuluh), sehingga kelemahan-kelemahan program pemberdayaan masa lalu yang berorientasi pada kebutuhan nasional bisa dikaji kembali untuk diarahkan pada kebutuhan pengrajin. Pendekatan kelompok: penyuluhan dilakukan dengan pendekatan kelompok bukan hanya karena prinsip efisiensi, tetapi agar terjadi interaksi antar pengrajin yang sekaligus menjadi forum belajar dan forum pengambilan keputusan diantara mereka. Selain itu, proses difusi inovasi juga lebih mudah terjadi dengan pendekatan kelompok.
Konsep Perilaku Wirausaha Pengertian Wirausaha Menurut Meredith et al. (1996), para wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan yang ada; mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Wirausaha akan berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Sejalan dengan pendapat di atas, Winardi (2003) mendefinisikan kewirausahaan sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan atau pelayanan yang lebih baik pada pelanggan/masyarakat. Caranya dengan selalu berusaha mencari dan melayani langganan lebih banyak dan lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien, melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovasi serta kemampuan manajemen.
Definisi di atas mengandung asumsi bahwa setiap orang yang mempunyai kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan berusaha. Menurut Sukardi (1991), terdapat sembilan ciri psikologis wirausaha yang berhasil: (1) selalu tanggap terhadap peluang dan kesempatan berusaha yang berkaitan dengan peluang kinerjanya; (2) selalu berusaha memperbaiki prestasi, menggunakan umpan balik, menyenangi tantangan dan berupaya agar kinerjanya lebih baik dari sebelumnya; (3) selalu bergaul dengan siapa saja, membina kenalan, mencari kenalan baru dan berusaha menyesuaikan diri dalam berbagai situasi; (4) dalam berusaha selalu terlibat dalam situasi kerja, tidak mudah menyerah sebelum pekerjaan selesai; (5) optimis bahwa usahanya akan berhasil, percaya diri dan bergairah, tidak ragu-ragu; (6) tidak khawatir meng-hadapi situasi yang tidak pasti, berarti mengambil antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan kegagalan, segala tindakan diperhatikan secara cermat; (7) benar-benar memperhitungkan apa yang harus dilakukan dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri; (8) selalu bekerja keras mencari cara-cara baru yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerjanya; dan (9) hal yang dilakukannya merupakan tanggung jawabnya, kegagalan dan keberhasilan dikaitkan dengan tindakan pribadinya. Profil wirausaha, menurut Meredith et al. (1996) adalah memiliki ciri: (1) percaya diri, (2) berorientasikan tugas dan hasil, (3) pengambil risiko, (4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi masa depan. Memperhatikan uraian tersebut di atas, wirausaha bukanlah sekedar pengetahuan praktis, tetapi lebih cenderung pada suatu gaya hidup dan prinsipprinsip tertentu yang akan mempengaruhi kinerja usaha. Apabila hal tersebut dimiliki oleh pengrajin dengan kualitas yang tinggi, maka kesejahteraan pengusaha dan tenaga kerja serta keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha tersebut akan dapat ditingkatkan.
Pengertian Perilaku Wirausaha Menurut Bird (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang: mencermati peluang (opportunistis), mempertimbangkan dorongan nilai-
nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif. Gagasan-gagasannya disesuaikan dengan format dimulainya bisnis, pertumbuhan usaha atau transformasi bisnis. Haber dan Reichel (2006) menemukan empat faktor yang menentukan proses kewirausahaan dalam menciptakan usaha baru: (1) keterlibatan individual dalam perencanaan usaha, (2) aktivitas yang dilakukan selama proses usaha, (3) struktur dan strategi organisasi, dan (4) konteks lingkungan usaha. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aktivitas wirausahawan dalam mengelola usahanya dengan inovasi radikal, strategi proaktif dan pengambilan resiko yang dimanifestasikan dalam dukungan proyek dan dengan hasil yang tidak pasti. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka pengertian perilaku wirausaha dalam konteks pengembangan pengrajin adalah perilaku yang dimiliki pengrajin dalam menjalankan aktivitas usahanya yang terdiri dari kecermatan terhadap peluang usaha, keberanian dalam menghadapi resiko, keinovatifan dalam menghasilkan produk dan daya saing usahanya. Pengrajin yang memiliki perilaku wirausaha adalah mereka yang secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko. Berdasarkan hasil penelitian Perry, Batstone dan Pulsarum (2003), pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Ditemukan bahwa keberhasilan usaha kecil menengah eceran di Thailand meningkat karena dipengaruhi faktor: orientasi kewirausahaan, pengalaman bisnis wirausahanya, strategi peningkatan penjualan, dan pembangunan intangible asset. Kajian yang dilakukan berbagai pihak membuktikan ternyata tidak terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dan kapasitas berusaha. Sebaliknya, justru waktu berwirausaha (entrepreneurial age) merupakan variabel yang dominan. Sehubungan dengan hal ini, kenyataan memang menunjukkan hanya wirausaha kecil yang memiliki pengalaman panjang dalam jenis usaha
tertentu yang dapat berhasil sedangkan orang-orang yang baru masuk kedalam usaha atau selalu berganti-ganti usaha lebih sulit berkembang (Ismawan, 2002) Berpijak pada kajian tentang perilaku wirausaha di atas, dan mengacu pada definisi perilaku wirausaha dari Bird (1996), Meredith et al. (1996) dan Sukardi (1991) maka dapat dinyatakan bahwa perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan berdaya saing. Perbandingan kualitas perilaku wirausaha dapat diliohat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas Perilaku Wirausaha Aspek Perilaku Wirausaha Keinovatifan
Inisiatif
Pengelolaan Resiko
Daya saing
Perilaku Wirausaha Berkualitas Rendah (1) Menunggu datangnya informasi dari pengrajin lainnya. (2) Menerapkan cara-cara berusaha yang telah ada. (3) Mencoba menerapkan inovasi setelah orang lain menerapkannya. (1) Menghasilkan produk sejenis dengan pengrajin lain. (2) Melayani pasar yang sudah ada. (3) Mengabaikan peluang usaha baru karena takut mengalami kerugian. (1) Memulai suatu usaha tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya resiko. (3) Takut menghadapi resiko kegagalan. (3) Berputus asa pada saat menghadapi resiko (1) Menghasilkan produk sesuai dengan standar kemampuan dirinya. (2) Mengupayakan terjualnya produk seperti yang dicapai pada hari-hari sebelumnya tanpa persaingan. (3) Berusaha tanpa strategi untuk menghadapi perubahan lingkungan.
Perilaku Wirausaha Berkualitas Tinggi (1) Ulet mencari informasi baru
(2) Melakukan modifikasi untuk meningkatkan kinerja usaha. (3) Mampu menghasilkan inovasi penunjang perkembangan usaha. (1) Mengupayakan untuk memulai memproduksi jenis produk baru (2) Mengupayakan untuk melayani pangsa pasar baru (3) Sesegera mungkin memanfaatkan peluang usaha. (2) Memprediksi terjadinya resiko pada setiap akan dimulainya usaha.
(2) Selalu percaya diri dalam menghadapi resiko. (4) Mengupayakan meningkatkan kemungkinan sukses dan mengurangi kemungkinan gagal. (1) Mengupayakan pembuatan produk yang bermutu sesuai selera konsumen dan permintaan pasar. (2) Berusaha meraih penjualan tertinggi dibanding pengrajin lainnya. (3) Mengamati setiap perubahan lingkungan persaingan dan menyiapkan strategi bersaing yang tepat.
Konsep Kemandirian Usaha Kant (1962) menyatakan bahwa kemandirian seseorang itu terkait dengan kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian tersebut memiliki nilai-nilai moral yang harus ditaati. Seseorang yang merasa dirinya mandiri, dia akan bertanggung jawab terhadap keputusannya dan akan menerima segala konsekuensinya. Orang yang mandiri sadar bahwa tindakannya harus dapat menggambarkan hak dan kewajibannya terhadap orang lain dalam sosial. Adapun ciri-ciri individu yang mandiri antara lain: mempunyai keyakinan diri, kepercayaan moral, visi yang jelas dan fokus, serta bertanggungjawab terhadap tindakannya. Menurut Hubeis (2000), kemandirian merupakan perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang dicirikan oleh kemampuan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Covey (1999) menjelaskan bahwa kematangan individu dalam satu kontinuum kematangan dimulai dari: ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence) hingga kesalingtergantungan (interdependence). Individu yang tergantung membutuhkan orang lain untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, individu yang mandiri dapat memperoleh apa yang mereka kehendaki melalui usaha sendiri dan individu yang saling tergantung menggabungkan upayanya sendiri dan upaya orang lain untuk mencapai keberhasilan terbesar bersama. Kemandirian, menurut Hatta (Swasono, 2003), bukan berarti pengucilan diri, kemandirian berada dalam ujud dinamiknya yaitu interdependensi. Namun dalam kaitannya dengan kemandirian global dan ekonomi terbuka tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Paham kemandirian dianggap sebagai lawan dari ketergantungan dan menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit namun yang penting adalah terjadi kerjasama antar ummat manusia.
Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa kemandirian adalah kesaling tergantungan (interdependence), sehingga kemandirian petani akan mantap apabila potensi petani diwarnai dengan aspek perilaku petani
yang berciri
modern, efisien, dalam bisnis pertanian yang berdaya saing yang menghasilkan kesaling tergantungan yang berkesinambungan. Di dalam bidang usaha, kemandirian seseorang dapat dikaitkan dengan aspek permodalan. Modal seringkali menjadikan seseorang tergantung dengan pihak
lain
sehingga
beberapa
aktivitasnya menjadi
tersubordinasi
dan
dikendalikan (diatur) oleh pihak pemberi modal. Berdasarkan hal tersebut di atas dan dikaitkan dengan konteks industri kecil, maka pengertian kemandirian pengrajin meliputi unsur kemampuan yang dimiliki dalam dirinya bergabung dengan kemampuan individu lain yang membentuk kerjasama guna mewujudkan kemajuan usahanya. Jadi kemandirian adalah kesaling tergantungan, (Covey, 1999; Sumardjo, (1999); dan Hatta (Swasono, 2003)) bukan individualisme, eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme dimana dengan kemampuan yang tidak tersubordinasi oleh pihak lain menjalin kerjasama yang harmonis dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan bersama. Pengrajin yang kurang berminat untuk menjadi mandiri (autonom) dalam berusaha akhirnya akan kurang dapat merealisasikan pertumbuhan usaha. Hal ini disebabkan
keterbatasan
modal,
keengganan
untuk
menambah
hutang,
keengganan menambah pekerjaan atau menambah resiko, sehingga orientasi kemandirian sering dinomorduakan oleh pengusaha kecil, Getz (2005) Zhao dan Aram (1995) menemukan bahwa aktivitas memperkuat jejaring (networking) sangat penting untuk memotivasi kemandirian. Jarak dan intensitas kontak dengan jejaring akan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan usaha, penentu keberhasilan bagi usaha baru, dan keberhasilan meraih sumber daya yang dibutuhkan. Dalam konteks kemandirian permodalan Zhao dan Aram (1995) menambahkan pentingnya networking bagi wirausahawan. Hal ini terkait dengan konteks “asset parsimony” (sikap hemat dalam pengelolaan aktiva/harta). Networking berperan dalam kegiatan wirausahawan mendistribusikan harta
seminimal mungkin untu mencapai tujuan usaha dan mengatur kebutuhan sumber daya dengan biaya seminimal mungkin. Pengrajin yang mempunyai kemandirian dalam berusaha bisa dimengerti sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri dalam mengambil keputusan secara bebas dan bijaksana (Karsidi, 1999). Pengrajin yang mandiri akan dapat terlihat dari potensi yang dimiliki dalam bekerjasama dengan yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Ismawan (2002) menyatakan bahwa, yang perlu mendapat tekanan dalam pengembangan industri kecil/UKM adalah agar SDM sektor ini memiliki kapasitas dan mulai membangun paradigma kerja sama dan kesalingtergantungan (interdependency). Berdasarkan kajian tentang pengrajin di atas (Karsidi, 1999 dan Ismawan, 2002) serta pengertian kemandirian dari Hatta (Swasono, 2003), Sumardjo (1999) dan Covey (1999) maka kemandirian usaha pengrajin dalam penelitian ini dimaknai sebagai kemampuan pengrajin dalam kegiatan produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan bersama. Perbandingan tingkat kemandirian usaha diuraikan pada Tabel 4.
Konsep Keberdayaan Pengrajin Arti berdaya menurut Slamet (2003) sama dengan tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Menurut Sumardjo (1999), masyarakat yang berdaya memiliki ciri-ciri: (1) mampu
memahami
diri
dan
potensinya;
(2)
mampu
merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya; (3) memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai; dan (4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
Tabel 4. Paradigma Kemandirian Usaha Kemandirian Usaha Proses Produksi
Usaha yang Tergantung (Dependence) (1) Menghasilkan produk dengan menggunakan pola yang sudah ada. (2) Lambat dalam berproduksi dan banyak menghasilkan produk cacat. (3) Mampu menghasilkan produk sebatas dengan standar dirinya.
Pemasaran
Permodalan
Kerjasama
Usaha yang Mandiri (Interdependence) (1) Mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan konsumen. (2) Terampil, cekatan dan teliti dalam berproduksi
(3) Mampu menghasilkan produk yang memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen. (4) Menggunakan peralatan yang (4) Melakukan upaya modifikasi sudah ada dan memperbaiki jika peralatan efisien dan sesuai ada kerusakan. dengan tuntutan produk. (5) Menerapkan cara-cara produksi (5) Mampu mengembangkan teknik yang sudah ada. produksi yang paling efisien dan sesuai dengan tuntutan produk. (1) Menjual yang dapat dihasilkan (1) Menghasilkan produk yang (orientasi produk). dibutuhkan konsumen (orientasi pasar). (2) Melayani pembeli sebatas (2) Melayani pembeli dengan kemampuan pelayanan. pelayanan prima. (3) Kurang tertarik pada kegiatan (3) Mempromosikan produk untuk promosi produk. meraih loyalitas pelanggan. (4) Mengabaikan kepuasan konsumen (4) Mengutamakan kepuasan dan kualitas pelayanan. konsumen (1) Tergantung pada sumber (1) Mampu mencari sumber permodalan. permodalan alternatif. (2) Tidak proaktif mencari bantuan (2) Mampu meraih modal sesuai modal. kebutuhan usaha. (3) Mengelola modal dengan (3) Mampu mengelola modal dan pertimbangan jangka pendek dan berkeinginan tinggi tidak ada orientasi mengakumulasikan keuntungan mengakumulasikan keuntungan ke ke dalam investasi modal. dalam investasi modal. (1) Melakukan kerjasama pada (1) Percaya diri dalam bekerjasama lingkup yang terbatas, yang dalam lingkup yang lebih luas. dikenali. (2) Bekerja untuk dirinya dan (2) Mampu bekerjasama dengan usahanya sendiri. pelanggan, distributor, supplier dan pemodal demi kemajuan bersama. (3) Menerima tindakan subordinasi (3) Mampu bersinergi dengan dan deprivasi asal mendapat menghindari subordinasi dan keuntungan. deprivasi dalam kerjasama (4) Orientasi kerjasama untuk (4) Orientasi kerjasama untuk jangka keuntungan jangka pendek. panjang dan kemitraan.
Menurut Ife (1995) masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kekuatan atau kemampuan dalam mengakses sumberdaya dan peluang serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Dharmawan (2000) menyatakan bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kemampuan, dapat mengambil keputusan sendiri dan memiliki kemudahan dalam mengakses sumber daya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dibuat suatu rangkuman tentang ciri masyarakat berdaya dan masyarakat yang lemah seperti ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Masyarakat Berdaya Aspek Perilaku Kognitif
Masyarakat Lemah
(1) Mempunyai relatif sedikit ilmu pengetahuan (2) Kurang mampu memahami kebutuhan riil dan potensi diri (3) Tidak mengetahui adanya permasalahan yang dihadapi Afektif (1) Takut mengalami kegagalan (2) Meninggalkan tanggung jawab (3) Tergantung pada pihak lain (4) Menerima hasil yang diperoleh apa adanya Psikomotorik (1) Ceroboh dan sering salah dalam bekerja (2) Memiliki respon yang lemah atas peluang usaha (3) Bekerjasama tanpa memperhitungkan untung atau rugi (4) Bekerja semampunya
Masyarakat Berdaya (1) Mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup (2) Faham atas kebutuhan riilnya dan potensi dirinya (3) Memiliki pengertian atas permasalahan yang dihadapi.
(1) Berani menghadapi resiko (2) Mempunyai rasa tanggung jawab atas tindakannya (3) Menolak tindakan subordinasi atas dirinya (4) Menyukai prestasi
(1) Teliti dalam menyelesaikan setiap pekerjaannya (2) Tanggap dalam memanfaatkan peluang (3) Cermat dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan (4) Memiliki etos kerja yang tinggi
Berdasarkan terminologi masyarakat berdaya di atas, maka ciri-ciri perilaku wirausaha dan kemandirian merupakan ciri-ciri yang ada pada masyarakat yang berdaya. Oleh karena itu, dalam konteks pengrajin dapat dinyatakan bahwa pengrajin yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciri-ciri yang ada pada perilaku wirausaha dan kemandirian. Pengrajin yang berdaya dengan berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko.
Konsep Kemajuan Usaha Dalam konteks industri kecil, kemajuan usaha terkait dengan kemajuan di bidang keuangan. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) mengindikasikan kemajuan usaha kecil dari peningkatan penjualan dan peningkatan asset, efisiensi, diferensiasi mutu dan inovasi produk, dan reduksi biaya. Megginson, Byrd dan Megginson (2000) mengemukakan bahwa kemajuan usaha dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemajuan di bidang profit, kepuasan konsumen, kepuasan manajer dan non financial rewards. Menurut (Badri et al., 2000) bagi kebanyakan perusahaan kemajuan dan pertumbuhan usaha di masa depan tergantung pada ekspansi usaha pada pasar yang lebih besar yang di luar batas operasi usahanya, terutama pada pasar global. Terkait dengan kemajuan usaha, Bird (1996) merumuskan kemajuan usaha dengan pendekatan model Kinerja Wirausahawan P = A x M, yakni P=Performing adalah pemilihan karier wirausaha dan profitabilitas, sedangkan
A adalah
Abilities (kemampuan) dan M adalah Motivasi. Kemampuan dan motivasi dinilai melalui ukuran kepribadian dan melalui latar belakang pribadi. Jika keduanya rendah, maka kinerjanya juga akan rendah. Menyadari akan pentingnya faktor individual, (Stewart JR et al, 1998) menilai kemajuan usaha seorang wirausahwan berdasarkan kecemerlangan aspirasi wirausahawan dalam memandang peluang di masa depan yang penuh
resiko, sehingga hal ini dapat meningkatkan keberhasilan usaha. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja sangat ditentukan oleh faktor individu. Berdasarkan output dan outcome yang diperoleh, Pelham (1999) mengukur kinerja usaha kecil berdasarkan (1) pemasaran / efektifitas penjualan yang merupakan hasil implementasi strategi berupa peningkatan kualitas produk, keberhasilan produk baru, dan kepuasan konsumen; (2) pertumbuhan usaha yang terdiri dari item : tingkat pendapatan, pertumbuhan penjualan, peningkatan efisiensi biaya dan waktu, peningkatan pangsa pasar; dan (3) profitabilitas yang diukur dari laba bersih, ROE (tingkat pengembalian modal) dan investasi aktiva. Lebih luas lagi, Getz (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan usaha kecil diukur dari keberhasilannya dalam memperoleh peningkatan ukuran usaha, pertumbuhan usahanya, kemandirian pemilik usaha, menjadi bos di tempatnya sendiri, dimana terdapat perbedaan antara pengrajin yang opportunistis dan pengrajin yang enggan menghadapi resiko, pertumbuhan usahanya lambat, dan memfokuskan diri pada kenyaman hidup. Haber dan Reichel (2006) mengukur kinerja usaha kecil berdasarkan empat kategori: (1) short-term objective measures, (2) long-term objective measures, (3) short-term subjective measures, dan (4) long-term subjective measures.
Ditemukan
bahwa
kinerja
obyektif
jangka
panjang
(seperti
pertumbuhan pendapatan dan jumlah tenaga kerja) relatif jarang Berdasarkan pendapat tersebut di atas dan apabila dikaitkan dengan konsep kesalingtergantungan, maka kemajuan usaha adalah perkembangan usaha yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan dalam asset, penjualan, keuntungan, dan diversifikasi produk serta dicapainya efektifitas dan efisiensi usaha. Usaha kerajinan yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien serta
mengalami
peningkatan
dari
segi
keuangan
(profit
dan
asset),
pengembangan produk dan perluasan jejaring (networking). Pemikiran tentang kemajuan usaha digambarkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Paradigma Kemajuan Usaha Aspek Kemajuan Usaha Pertumbuhan Usaha
Efisiensi
Efektifitas
Ciri-ciri Usaha Konvensional (1) Tidak ada pertumbuhan permintaan konsumen dan produksi statis. (2) Volume penjualan stagnan dan hanya mampu memasarkan produk ke pasar tradisional terdekat. (3) Menghasilkan produk yang monoton. (4) Beroperasi dengan modal yang terbatas. (1) Mengabaikan penjadwalan kerja sehingga terdapat banyak waktu menganggur. (2) Tidak mempertimbangkan aspek mutu sumber daya manusia. (3) Mengabaikan hal-hal yang dapat memberi nilai tambah dan pendapatan. (4) Meninggalkan kegiatan perencanaan keuangan sehingga meningkatkan biaya tak terduga. (1) Tidak menjadikan perencanaan sebagai awal melaksanakan usaha. (2) Bekerja tidak teratur tanpa ada koordinasi.
Usaha Maju (1) Volume produksi meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan konsumen. (2) Mengalami peningkatan (improvement) volume penjualan dan perluasan daerah pemasaran. (3) Terdapat variasi jenis produk yang dihasilkan. (4) Terdapat peningkatan jumlah modal. (1) Selalu mengupayakan penggunaan waktu secara lebih produktif.
(2) Mengupayakan penggunaan sumber daya manusia lebih berkualitas secara optimal. (3) Berusaha meningkatkan nilai tambah dan meraih peluang. (4) Melakukan kegiatan penganggaran pada setiap kegiatan usaha sebagai acuan pengeluaran biaya. (1) Menyusun perencanaan berbasis pada evaluasi.
(2) Memiliki struktur yang mengikuti fungsi pencapaian tugas (3) Berusaha tanpa (3) Mempunyai target dan menyusun target pencapaian target pada pencapaian keuntungan. setiap periode tertentu. (4) Bersikap pasif atas (4) Mengevaluasi pencapaian kerugian atau target berdasarkan periode penurunan keuntungan. tertentu.
Konsep Keberlanjutan Usaha Menurut Labuschagne et al. (2005) keberlanjutan usaha didefinisikan sebagai berikut: “business sustainability is ‘‘adopting business strategies and activities that meet the needs of the enterprise and its stakeholders today whileprotecting, sustaining and enhancing the human and natural resources that will be needed in the future’’. Hal ini menunjukkan bahwa seorang wirausahawan tidak cukup memandang usahanya hari ini saja, tetapi memandang usahanya ke depan juga sangat penting. Oleh karena itu, Olson et al. (2003) juga menyatakan bahwa keberlanjutan dan keberhasilan usaha akan dapat menjamin ketahanan keuangan keluarga dan kesejahkteraan ekonomi lokal. Sejalan dengan itu, Young (2006) menyatakan bahwa masyarakat bisnis yang menginginkan usahanya dapat berkelanjutan, mereka hanya harus bersifat inovatif terhadap efektifitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Masyarakat pengusaha akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola resiko dan memanfaatkan inovasi. Tekanan pasar terhadap produk yang bersifat inovatif menuntut peningkatan eksperimen di kalangan pengusaha. Pembangkitan inovasi merupakan bagian penting untuk dapat menarik pasar. Haber dan Reichel (2006) mengindikasikan bahwa peluang usaha kecil bisa tetap survive dan berkelanjutan adalah rendah. Seringkali usaha kecil berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan untuk hidup (survival) dan meningkatkan pendapatan keluarga secukupnya dan gaya hidup wirausahawan masih kurang tertarik pada pertumbuhan cepat. Menurut Korten (Supriatna, 1997), pembangunan yang berorientasi pada manusia sebagai subyek manusia dilandasi pada tiga kebutuhan dasar yaitu: justice, sustainability and inclusiveness. Konsep keberlanjutan menjadi sangat penting bagi masyarakat kecil seperti pengrajin, sebab komunitas ini mampu mempertahankan usahanya secara turun temurun dari orang tua mereka (Wijaya, 2001). Orientasi kegiatan penyuluhan tidak semata-mata pada peningkatan produktivitas saja akan tetapi pada perubahan perilaku klien. Dengan adanya perubahan perubahan perilaku tersebut diharapkan klien dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, aspek keberlanjutan usaha pengrajin menjadi penting untuk dikaji. Usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu. Keberlanjutan usaha akan dapat dicapai jika pada pengrajin memiliki kiat-kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Dalam penelitian ini keberlanjutan usaha diartikan sebagai sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang. Perbandingan tingkat keberlanjutan usaha diuraikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Keberlanjutan Usaha Keberlanjutan Kontinyuitas Produksi
(1) (2)
(3)
Kontinyuitas penjualan
(1)
(2)
(3)
(4) Kontinyuitas bahan (1) baku
(2)
(3)
Rendah Tidak ada keajegan dalam memproduksi barang. Memproduksi barang berdasarkan “insting” tanpa melakukan perencanaan. Mengabaikan mutu produk dan menghasilkan produk sebatas kemampuan saat ini. Berusaha menjual produk semampunya dan tidak memiliki target penjualan. Penjualan sangat fluktuatif dan tidak menentu. Pelayanan tidak menjadi bagian dari kegiatan usahanya. Tidak tersedia dana untuk kegiatan promosi. Melakukan pembelian bahan baku secara mendadak pada saat produksi dijalankan. Tidak melakukan pengecekan terhadap tersedianya bahan baku. Faktor mutu bahan tidak menjadi pertimbangan utama dalam pengadaan bahan baku.
Tinggi (1) Mampu menghasilkan produksi barang secara terus menerus. (2) Melakukan perencanaan produksi dengan didasarkan prediksi jumlah kebutuhan konsumen. (3) Selalu mengupayakan dihasilkannya produk bermutu sesuai kebutuhan konsumen. (1) Senantiasa mengupayakan terpenuhinya target penjualan. (2) Trend penjualan meningkat.
(3) Selalu melakukan tindakan proaktif untuk melayani konsumen. (4) Secara sadar mengalokasikan dana untuk promosi. (1) Melakukan perencanaan kebutuhan bahan baku yang tepat dan secara periodik. (2) Selalu mengupayakan pengendalian bahan baku secara cermat. (3) Selalu mengupayakan terpenuhinya kebutuhan bahan baku yang bermutu.