Paradigma Pembangunan Pertanian Indonesia Masa Depan: Visi dan Misi (Tuesday, 19 June 2007) - Contributed by Wahju Qamara Mugnisjah - Last Updated (Wednesday, 20 June 2007)
(Paradigm on The Development of Coming Indonesian Agriculture: Vision and Mission)ABSTRACT The development of agricultural sector in Indonesia in terms of agribusiness performances has been evaluated using iceberg analysis. This analysis has come to the conclusion that former paradigm of the Indonesian agricultural development, especially under the New Order government, has positioned agricultural sector simply as a supporting agent against the macro-economic policy. A new paradigm of coming agricultural development has been proposed, i.e. the development of sustainable agriculture with industrial manner, global competitive and ecosystemic approach. This new paradigm is expected to be alternative of those proposed by the so called governments of Reforming Cabinet, National Unity Cabinet, Collaborating Cabinet, and United Indonesian Cabinet ones. The vision of agricultural development under the new paradigm is a knowledge and resource-based sustainable agriculture as prime mover to the highly competitive national economy in the global level. Its missions are producing sufficient food and nutrition, improving quality live of the community as well as contributing to high national economic growth and to the improvement of quality environment. Key words: paradigm, agribusiness, iceberg analysis, agricultural development ABSTRAK Pembangunan sektor pertanian di Indonesia dalam bentuk kinerja agribisnis telah dievaluasi menggunakan analisis gunung es. Analisis ini menghasilkan kesimpulan bahwa paradigma terdahulu dari pembangunan pertanian Indonesia, khususnya di bawah pemerintahan Orde Baru,telah menempatkan sektor pertanian sesederhana sebagai agen pendukung bagi kebijakan ekonomi makro. Paradigma baru pembangunan pertanian masa depan telah diusulkan, yaitu pembangunan pertanian berkelanjutan berbudaya industri, berkompetisi global, dan berpendekatan ekosistem. Paradigma baru ini diharapkan menjadi alternatif paradigma yang dianut oleh Kabinet Reformasi, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, dan Kabinet Indonesia Bersatu. Visi pembangunan pertanian dengan paradigma baru adalah pertanian berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan dan sumber daya sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang sangat kompetitif dalam tingkat global. Misinya adalah menghasilkan pangan dan gizi yang cukup, memperbaiki kualitas hidup masyarakat, dan berkontribusi bagi bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi dan bagi perbaikan kualitas lingkungan. Kata-kata kunci: paradigma, agribisnis, analisis gunung es, pembangunan pertanian PENDAHULUAN Krisis moneter 1997 yang diikuti oleh krisis ekonomi dan dampaknya masih terasa hingga saat ini di Indonesia disebabkan terutama oleh fondasi ekonomi negara kita yang rapuh, berupa kebergantungan yang besar pada kekuatan ekonomi luar negeri. Kebergantungan pada komponen luar negeri dialami juga oleh sektor pertanian, terbukti dengan besarnya produk impor yang digunakan dalam masukan usaha tani berupa agrokimia dan mesin pertanian. Akibatnya, pada saat nilai rupiah menurun tajam di puncak krisis, sektor yang sarat masukan impor ini pun menerima dampaknya. Di pihak lain, kebergantungan pada masukan eksternal telah menghasilkan praktek pertanian Indonesia yang tidak aman terhadap lingkungan hidup karena menyebabkan degradasi lahan dan terganggunya berbagai organisme yang semestinya bermanfaat bagi kegiatan pertanian itu sendiri. Berdasarkan pertimbangan potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, para pakar ekonomi makro pada umumnya menyadari perlunya membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang terpuruk itu dengan bertumpukan pada kekayaan alam tersebut. Kesadaran yang juga dimiliki oleh para pakar ekonomi mikro, bahkan para pakar pertanian itu, dan telah menjadi bahan diskusi di berbagai seminar, simposium, dan lokakarya sejak masa pemerintahan Kabinet Reformasi, baru pada saat ini, di bawah pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, mendapat perhatian yang besar. Padahal, perekonomian nasional yang sarat dengan utang luar negeri dan tekanan internasional yang kapitalistik tidak akan bisa bangkit kembali dalam waktu yang singkat. Kebangkitan ekonomi nasional berbasis sumber daya domestik merupakan keharusan dan sektor pertanian berperan besar untuk mencapainya. Tulisan ini bermaksud melakukan analisis atas kinerja pembangunan pertanian yang berjalan hingga saat ini di Indonesia, yang dengannya paradigma pembangunan pertanian tersebut dapat dikenali. Selanjutnya, paradigma pembangunan pertanian Indonesia masa depan akan diusulkan sebagai alternatif dari “naskah” paradigma baru pembangunan pertanian yang pernah diketengahkan oleh Departemen Pertanian sejak pemerintahan Kabinet Reformasi. KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN HINGGA KINI Menurunnya kinerja agribisnis sejak akhir Pelita VI menghasilkan situasi rawan pangan seperti yang masih dirasakan saat ini, terbukti dengan demikian rentannya ketahanan pangan ketika banjir melanda berbagai daerah belakangan ini. Dengan pentingnya arti agribisnis bagi peningkatan kesejahteraan petani dan ekonomi nasional, analisis gunung es (iceberg analysis) dilakukan atas kondisi agribisnis Indonesia hingga saat ini. Dalam analisis itu, berbagai peristiwa (events) khususnya yang menjadi masalah, kecenderungan dan pola (trends and patterns)-nya, serta sistem sistemik (systemic structure) dari peristiwa-peristiwa dalam agribisnis tersebut dipelajari. Di sini, agribisnis sebagai suatu sistem dianggap memiliki lima subsistem sebagai berikut: (1) subsistem paling hulu berupa faktor-faktor pendukung yang memungkinkan keempat subsistem lainnya berjalan dengan baik; (2) subsistem kegiatan pertaniannya sendiri di lapang produksi; (3) subsistem perdagangan hasil/produk pertanian; (4) subsistem pengolahan hasil pertanian atau agroindustri; (5) subsistem perdagangan hasil kegiatan agroindustri. Berbagai Peristiwa yang Terjadi Di bawah ini disajikan berbagai permasalahan yang dihadapi agribisnis Indonesia hingga kini sebagai tataran peristiwa menurut subsistemnya. Senarai permasalahan yang diungkapkan bisa jadi belum menyebutkan seluruh permasalahan yang ada, tetapi diperkirakan telah cukup memadai untuk menggambarkan kinerja agribisnis kita saat ini. Dalam subsistem masukan dan lembaga pendukung, (1) ketersediaan benih (tanaman)/bibit (hewan) unggul terbatas dan biasanya berharga mahal; (2) ketersediaan agrokimia (pupuk dan pestisida buatan) terbatas dan harganya mahal; (3) tenaga kerja usaha tani yang mahal dan kadang-kadang terbatas jumlah dan keterampilannya; (4) kemampuan lembaga penelitian dan pengembangan tanaman, hewan, pangan, dan teknologi ketiganya masih terbatas dan produknya (khususnya teknologi produksi) pun seringkali tidak sampai kepada petani; (5) sikap lembaga perbankan “diskriminatif” kepada petani; (6) jaminan asuransi atas resiko kegagalan usaha tani belum operasional; (7) koperasi pertanian yang ada bersifat horisontal (masing-masing bekerja menurut stratum kegiatan produksi) atau berdasarkan komoditi; (8) pola http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 18 January, 2017, 03:01
kemitraan pemodal dengan petani masih terbatas; (9) lembaga perlindungan konsumen belum efektif melindungi petani dari pemalsuan sarana produksi yang dibelinya; (10) Tri Dharma Perguruan Tinggi Pertanian belum berjalan integratif dengan kegiatan pertanian di kalangan masyarakat tani. Dalam subsistem pertanian (on farm), (1) pendidikan petani tidak cukup mendukung posisinya sebagai wiraswastawan; (2) posisi tawar petani di hadapan pemodal seringkali rendah; (3) modal dan pendapatan petani rendah; (4) petani kadang-kadang kurang mendapat kesempatan untuk memilih komoditi usaha taninya; (5) akses petani terhadap teknologi pertanian terbatas; (6) kelompok tani yang ada lebih berperan dalam kegiatan on farm; (7) lahan petani sempit, terfragmentasi, dan di antaranya dengan kesuburan tanah yang marginal dan tidak terjangkau jaringan irigasi; (8) lahan pertanian terkonversi menjadi lahan nonpertanian, antara lain, lahan permukiman dan industri; (9) lahan pertanian tidak termanfaatkan (lahan tidur); (10) penggunaan teknologi pertanian (prapanen, panen, dan pascapanen) di kalangan petani umumnya belum maju; (11) produktivitas tenaga kerja buruh tani rendah; (12) proses produksi secara keseluruhan tidak efisien; (13) kehilangan hasil dalam proses produksi biasanya masih tinggi; (14) penggunaan pupuk organik rendah, lebih mengutamakan pupuk buatan; (15) penggunaan pestisida alamiah atau predator rendah, lebih mengutamakan pestisida buatan; (16) produk memiliki mutu kurang baik atau rendah; (17) produk kurang/tidak mampu bersaing di pasar domestik dan global; (18) kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian nasional rendah; (19) kerusakan lingkungan terjadi karena proses produksi yang "tidak bijaksana". Dalam subsistem perdagangan hasil pertanian, (1) produk pertanian impor membanjiri pasar dan toko swalayan; (2) harga produk di tingkat petani tidak stabil dan tidak terjamin tinggi; (3) “mafia pasar" sering kali menyulitkan pemasaran hasil oleh petani. Dalam subsistem agroindustri/pengolahan hasil pertanian, (1) teknologi pangan tertentu belum diketahui/dikuasai oleh petani atau pelaku agroindustri; (2) perusahaan agroindustri masih terbatas kemampuan permodalannya. Dalam subsistem perdagangan hasil agroindustri, (1) diversifikasi pangan belum memasyarakat benar di kalangan bangsa Indonesia; (2) daya beli masyarakat rendah; (3) pemasaran produk agroindustri masih konvensional dan terbatas; (4) subsektor retail produk agroindustri belum berkembang. Kecenderungan dan Pola dari Berbagai Peristiwa Dengan mencermati berbagai peristiwa tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa kinerja pertanian (dari sudut pandang agribisnis) saat ini telah terjebak di dalam kecenderungan dan pola agribisnis yang tidak berpedoman pada prinsip efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan keberlanjutan. Agribisnis demikian bercirikan, antara lain, sebagai berikut di setiap subsistemnya. Dalam subsistem masukan dan lembaga pendukung, (1) masukan sarat dengan barang impor yang menyebabkan agribisnis berbiaya tinggi dan tidak kompetitif; (2) lembaga-lembaga pendukung agribisnis kurang berpihak kepada petani sehingga kegiatan di tingkat on farm tidak optimal dan kurang dapat diimbangi oleh kegiatan di tingkat off farm. Dalam subsistem pertanian (on farm), (1) petani dan kelompoknya kurang memiliki kualifikasi sebagai wiraswastawan sehingga tidak mampu untuk melaksanakan perubahan-perubahan baik secara internal (berkaitan dengan teknologi produksi) maupun eksternal (berkaitan dengan tuntutan pasar domestik dan global); (2) kepemilikan lahan yang sempit oleh petani menyebabkan usaha tani menjadi tidak efisien, lebih-lebih jika letaknya terpencil dengan aksesibilitas yang rendah ke sumber masukan dan lembaga pendukungnya serta ke pasar produknya; (3) pertanian cenderung mengarah pada pertanian bermasukan eksternal tinggi (HEIA, high-external-input agriculture) atau yang bermasukan eksternal rendah (LEIA, low- external-input agriculture), yang kedua-duanya tidak dapat berkelanjutan; (4) persepsi dan pengetahuan petani yang kurang memadai serta keterbatasannya dalam aspek permodalan berkontribusi bagi mutu produk pertanian yang tidak prima di kalangan petani tradisional; (5) penggunaan masukan eksternal berupa agrokimia buatan (pupuk dan pestisida) yang berlebihan dan penggunaan masukan internal berupa bahan organik yang rendah menyebabkan degradasi sumber daya lahan dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Dalam subsistem perdagangan hasil pertanian, daya adaptasi dan inovasi agribisnis yang rendah menyebabkan produknya sulit memenuhi keinginan konsumen, khususnya di tataran global. Dalam subsistem agroindustri/pengolahan hasil pertanian, teknologi pangan yang berhubungan dengan budaya masyarakat menghambat perkembangan industri rumah tangga di kalangan keluarga tani. Dalam subsistem perdagangan hasil agroindustri, diversifikasi pangan belum memasyarakat benar di kalangan bangsa Indonesia dan daya beli masyarakat yang rendah kurang mendukung bagi pemasaran produk agroindustri. Struktur Sistemik dari Berbagai Peristiwa Kecenderungan dan pola agribisnis di masa lalu itu tidak dapat terlepas dari kebijakan pemerintah, khususnya Orde Baru, yang memusat dan dalam hal tertentu represif atas kreativitas, yang melahirkan berbagai kebijakan pembangunan pertanian yang pada prakteknya menimbulkan kegiatan agribisnis berbiaya tinggi. Namun, perubahan pemerintahan ke Orde Reformasi di bawah pemerintahan Kabinet Reformasi, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Gotong Royong, dan Kabinet Indonesia Bersatu ternyata masih belum mampu dengan significant melepaskan kinerja agribisnis dari keterpurukannya. Struktur sistemik yang mendasari model mental pembangunan pertanian itu secara makro adalah (1) kebijakan ekonomi yang tidak berbasis pada kekuatan sumber daya domestik dan (2) kebijakan di bidang pertanian yang kurang mendukung perkembangan agribisnis. Secara mikro, struktur sistemik tersebut (1) sarat dengan praktek KKN yang merasuk ke segala aspek kehidupan masyarakat sehingga melemahkan kinerja agribisnis nasional dan (2) kekurangan inisiatif dan kreativitas struktural yang penting perannya untuk membangun sistem agribisnis (sejak hulu sampai hilir) yang berdaya saing tinggi di tataran global. Tampaklah bahwa pembangunan sektor pertanian masa lalu, khususnya selama kurun pemerintahan sebelum Kabinet Reformasi, ditempuh tanpa visi yang jelas sehingga misinya pun lebih condong kepada peningkatan produksi pertanian jika dibandingkan dengan kepada misi lainnya sebagaimana yang kini diamanatkan oleh GBHN pada masa itu, yakni peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta pengisian dan perluasan pasar domestik dan global. Bahkan, pada kenyataannya peningkatan produksi pun tidak terlalu menggembirakan, terbukti dari kegagalan dalam mempertahankan swasembada beras. Kinerja pembangunan pertanian masa lalu terbelenggu oleh paradigma pembangunan pertanian yang oleh Menteri Pertanian Kabinet Reformasi disebut hanya berupa "pendukung", bukan "mesin penggerak" perekonomian nasional. Akibatnya, sektor pertanian diposisikan sebagai pemasok bahan kebutuhan pangan dan bahan baku industri berharga murah, pengendali stabilitas harga, dan pemasok tenaga kerja http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 18 January, 2017, 03:01
murah. Jadi, paradigma pembangunan pertanian masa prareformasi yang hanya menempatkan sektor pertanian sebagai pendukung ekonomi nasional itu tidak sesuai dengan kekuatan negara yang justru memiliki sumber daya alam tropis yang berlimpah dan sumber daya tenaga kerja pertanian yang banyak dan tinggal di pedesaan. Dalam pandangan Menteri Pertanian Kabinet Pertanian Bersatu, pembangunan pertanian dalam kurun 50 tahun terakhir berparadigmakan produksi, yang diikuti dengan paradigma sistem dan agribisnis dalam 15 tahun terakhir, khususnya dalam 5 tahun terakhir. VISI DAN MISI Pembangunan Pertanian Masa Depan Konsepsi pembangunan pertanian masa depan telah dicoba perumusannya oleh empat pemerintahan pasca-Orde Baru. Tinjauan yang kritis atas keempat konsepsi itu perlu dilakukan dan konsepsi alternatifnya jika dipandang perlu akan dirumuskan berdasarkan pendekatan ‘matriks tindakan pembelajaran’ (the learning action matrix). Tinjauan atas Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Masa Lalu hingga Kini Di bawah Kabinet Reformasi, Departemen Pertanian Republik Indonesia dalam mengantisipasi lingkungan strategis yang berubah dengan cepat telah melakukan penajaman dalam arah kebijakan dan perencanaan pembangunan pertanian Indonesia di masa yang akan datang. Antisipasi tersebut dilakukan melalui perumusan visi Departemen Pertanian sebagai berikut: "pertanian modern yang berbudaya industri dalam rangka membangun industri pertanian berbasis pedesaan". Berdasarkan visi ini, misi pembangunan pertanian telah pula dirumuskan, yaitu (1) optimasi pemanfaatan sumber daya domestic, (2) perluasan spektrum pembangunan pertanian, (3) penerapan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi, dan (4) peningkatan efisiensi sistem agribisnis dengan pemanfaatan IPTEK. Selanjutnya, Departemen Pertanian telah menetapkan sasaran dan strategi pembangunan pertanian yang pada dasarnya dikelompokkan ke dalam tiga aspek utama: (1) memantapkan ketahanan pangan; (2) meningkatkan ekspor nonmigas (pertanian); dan (3) mengembangkan perekonomian petani/nelayan. Ketiga sasaran dan strategi ini diarahkan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan keunggulan komparatif hasil-hasil pertanian dan memperluas spektrum kegiatan pembangunan pertanian sebagaimana yang dinyatakan dalam misi pembangunan pertanian. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan pertanian akan tercermin dalam peningkatan pendapatan dan ketersediaan bahan pangan pokok di kalangan masyarakat yang selanjutnya akan memacu berkembangnya sektor industri dan jasa serta mempercepat transformasi struktur perekonomian nasional. Dalam Seminar Nasional Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) se-Sumatera yang membahas "Agenda Reformasi Bidang Pertanian", Menteri Pertanian Kabinet Reformasi telah menguraikan agenda reformasi pertanian berdasarkan pada visi dan misi tersebut di atas, yaitu menciptakan sektor pertanian menjadi sektor andalan dan mesin penggerak ekonomi nasional; melaksanakan kebijakan yang berpihak kepada petani; meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan; mengembangkan agribisnis; meningkatkan keberdayaan petani dan kelembagaan kelompok tani; memperbaiki tingkat pelayanan aparat pertanian kepada petani dan nelayan; mempertajam orientasi dan arah perkembangan komoditi pertanian; mendukung proses demokratisisasi dalam pembangunan pertanian. Sejalan dengan Departemen Pertanian, Badan Agribisnis sebagai salah satu dari dua badan yang terdapat dalam Departemen Pertanian pada waktu itu, telah pula merumuskan visinya dalam rangka mendorong pembangunan pertanian modern sebagaimana yang dinyatakan pada visi Departemen Pertanian. Visi Badan Agribisnis tersebut adalah "pertanian modern berorientasi agribisnis berbasis perdesaan". Secara ringkas misi Badan Agribisnis adalah sebagai berikut: memperlancar dan meningkatkan akses pasar hasil-hasil pertanian; mengembangkan sistem jaminan mutu hasil pertanian; mewujudkan pengembangan usaha melalui optimalisasi sumber daya dan pemantapan kelembagaan dengan pendekatan kemitraan; mendorong terciptanya sumber dan pola pendanaan agribisnis yang efektif dan iklim investasi yang berwawasan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis skala kecil, menengah, dan besar; merumuskan perencanaan dan kebijakan agribisnis serta memberikan pelayanan teknis dan administrasi secara efektif dan dinamis pada semua unsur di lingkungan Badan Agribisnis. Berdasarkan kinerja yang diinginkan oleh Departemen Pertanian dan Badan Agribisnis tersebut di atas, tampak bahwa pembangunan pertanian diharapkan akan memberikan peran yang besar bagi pemeliharaan ketahanan pangan dan ekonomi nasional. Namun, ketahanan pangan nasional sebelum terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997 lebih diartikan sebagai penyediaan pangan secara nasional sehingga selalu didekati dengan upaya penyeimbangan besarnya kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia dengan kemampuan penyediaannya secara nasional. Sehubungan dengan upaya tersebut, gerakan nasional untuk mencapai swasembada pangan, khususnya beras, pada kenyataannya telah membebani petani pangan, khususnya padi. Hal ini menyebabkan daya beli mereka rendah karena tingkat pendapatan usaha taninya yang rendah, yang akhirnya juga menyebabkan kerawanan pangan di kalangan mereka. Pada masa pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional, analisis oleh Departemen Pertanian atas berbagai masalah yang timbul akibat paradigma pembangunan pertanian masa lalu yang tidak tepat telah sampai pada perumusan visi sebagai berikut: “terwujudnya pertanian yang modern, tangguh, dan efisien menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera”. Berdasarkan visi ini, misi pembangunan pertanian telah pula dirumuskan, yaitu (1) menggerakkan berbagai upaya untuk memanfaatkan sumber daya pertanian secara optimal dan menerapkan teknologi tepat serta spesifik lokasi dalam rangka membangun pertanian yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan, dan (2) memberdayakan masyarakat pertanian menuju wiraswasta agribisnis yang mandiri, maju, dan sejahtera. Di bawah Kabinet Gotong Royong, Departemen Pertanian memiliki visi sebagai berikut: “terwujudnya masyarakat yang sejahtera khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan tersentralisasi. Misinya adalah sebagai berikut: (1) mendorong perkembangan industri hulu (pembibitan/perbenihan, industri agrokimia, industri agrootomotif); (2) mempromosikan kebijakan dan membangun infrastruktur pertanian/agribisnis yang diperlukan agar memberikan iklim kondusif bagi investasi di bidang agribisnis; (3) mendorong pengembangan usaha agribisnis dari berbagai tingkatan skala usaha baik on farm maupun off farm dan mendorong berkembangnya kerja sama kemitraan bisnis antarusaha dalam konsep saling menguntungkan; (4) mempromosikan pendayagunaan keragaman sumber daya alam dan hayati secara optimal dan berkelanjutan; (5) meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik aparat pemerintah maupun pelaku agribisnis, khususnya petani; (6) mempromosikan tumbuh-kembangnya organisasi ekonomi petani dan jaringan usahanya pada http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 18 January, 2017, 03:01
industri hulu pertanian maupun pada industri hilir pertanian; (7) mengembangkan inovasi teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan baik pada industri hulu, usaha tani, usaha perkebunan, usaha peternakan maupun hilir pertanian/peternakan/perkebunan. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, sebagaimana yang dapat disimak dari dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) Indonesia 2005, Departemen Pertanian tidak secara eksplisit menyatakan visinya, tetapi menggunakan istilah harapan-harapan yang dikelompokkan ke dalam tiga hal sebagai berikut: (1) kondisi petani, nelayan, dan petani-hutan yang berdaya, bermartabat, dan sejahtera serta kondisi pelaku usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan (PPK) Indonesia yang usahanya terlindungi dan berkepastian hukum, berdaya saing dan produktif, serta terakses pada sumber pembiayaan, informasi, dan teknologi; (2) kondisi sumber daya PPK Indonesia yang terbalikkan dari proses pengrusakan menjadi pengelolaan yang lebih produktif dan lestari, dan (3) kondisi produk dan bisnis PPK Indonesia yang mampu mengatasi berbagai pemasalahan dan menyandarkan keunggulan produksi dan distribusinya pada kekuatan dan kehandalan kegiatan luar usaha tani (khususnya agroindustri dan agroservices) dalam satu sistem dan rantai hilir yang integratif. Jadi, Kabinet Indonesia Bersatu mempunyai “visi” pembangunan pertanian yang menuju pada perbaikan kondisi pelaku agibisnis, sumber daya PPK, dan produk dan bisnis PPK. Misi pembangunan pertanian kabinet yang kini sedang berkuasa ini pun tidak dinyatakan secara tegas butir-butirnya di dalam dokumen RPPK Indonesia 2005. Misi tersebut tampaknya terdiri dari tiga, yaitu (1) meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan petani-hutan; (2) menjaga kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan, dan (3) meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan, dan kehutanan. Dengan demikian, ketiga “misi” itu sejalan dengan ketiga “visi” tersebut, bahkan, diartikan sebagai upaya (kesadaran, pemahaman, sekaligus komitmen dan gerak langkah, menurut dokumen RPPK) untuk mengembalikan arti penting PPK baik secara proporsional (yakni sebagai suatu bidang usaha yang komplementer dan sinergik dengan bidang-bidang usaha lain) maupun secara kontekstual (yakni sebagai suatu bidang usaha yang harus disegarkan kembali daya hidup, kemampuan, daya saing, dan kinerjanya) demi kesejahteraan seluruh rakyat, khususnya para pelakunya yakni petani, nelayan, dan petani-hutan. Pertanian modern yang ingin diwujudkan dalam visi Departemen Pertanian dalam Kabinet Reformasi dan Kabinet Persatuan Nasional tersebut di atas dapat diperdebatkan karena istilah tersebut terbuka untuk pemahaman sistem pertanian konvensional yang sarat dengan masukan eksternal (sistem HEIA, high external input agriculture) sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup. Demikian juga, pernyataan memanfaatkan sumber daya pertanian secara optimal dan menerapkan teknologi tepat serta spesifik lokasi dalam salah satu misinya masih cukup merisaukan. Pernyataan tersebut tidak menjamin penggunaan masukan yang mengutamakan sumber daya lokal dengan menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan (misalnya sistem LEISA, low-external-input and sustainable agriculture) meskipun dalam misi tersebut disebutkan bahwa sistem pertanian yang ingin dibangun akan berkelanjutan. Lebih jauh, jika visi pembangunan pertanian dari ketiga kabinet pasca-Orde Baru itu diperbandingkan, tampak bahwa pentingnya peran ilmu pengetahuan dan sumber daya domestik dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan kurang mendapat perhatian yang besar. Kabinet Reformasi memang menyatakan kedua hal itu di dalam misinya, bukan sebagai visinya. Tidak seperti di ketiga kabinet Orde Reformasi, jika penulis tidak salah dalam memahami visi dan misi pembangunan pertanian dalam Kabinet Indonesia Bersatu, tampak bahwa dalam kabinet ini pemerintah telah berupaya untuk “menyatukan” kembali pengelolaan komoditi pertanian (tanaman, ternak, dan ikan) yang kini tersebar di tiga departemen yang terpisah (yaitu Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Kehutanan) dalam “satu atap” di bawah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Pemerintah juga telah sampai pada pemahaman pentingnya keseimbangan antara pendekatan pembangunan pertanian (dalam arti luas mencakup tanaman, ternak, dan ikan di ketiga departemen yang terpisah itu) yang berbasis pada sumber daya dan ilmu pengetahuan. Namun, kedua pendekatan itu tidak secara eksplisit dan lugas dikemukakan dalam suatu visi pembangunan pertanian. Selain itu, terdapat pula kerancuan pernyataan antara ”visi” dan ”misi”, yang kedua-duanya terkesan sama saja. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Masa Depan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, berikut ini diusulkan visi alternatif pembangunan pertanian, yaitu “sistem pertanian berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan dan sumber daya sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi dalam tataran ekonomi global”. Misi yang diemban sektor pertanian dengan visi ini adalah sebagai berikut: (1) mencukupi kebutuhan pangan dan gizi dalam negeri; (2) memperbaiki kualitas hidup bangsa Indonesia, khususnya masyarakat pertanian; (3) memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi nasional; (4) menunjukkan peran yang nyata dalam perbaikan kualitas lingkungan. SIMPULAN Dengan visi dan misi alternatif yang diusulkan di atas, paradigma pembangunan pertanian masa depan adalah sebagai berikut: “pembangunan pertanian berkelanjutan yang berbudaya industri, berdaya saing global, dan berpendekatan ekosistem”. Dalam paradigma yang baru ini, pertanian berkelanjutan mengandung arti pertanian yang secara ekologik aman dan dapat beradaptasi, secara ekonomis menguntungkan, dan secara sosial humanis dan dapat diterima orang-orang yang terlibat dan tinggal di sekitarnya atau yang kemungkinan terpengaruh oleh kehadirannya. Budaya industri merujuk pada kegiatan agribisnis yang mementingkan produktivitas dan efisiensi meskipun tempatnya di perdesaan, dengan para pelakunya yang hanya orang-orang desa yang berprofesi petani. Berdaya saing global menunjukkan kemampuan mempertahankan produknya di pasar global. Berpendekatan ekosistem berarti tidak lagi mengutamakan keuntungan yang dicapai oleh keunggulan komoditinya per se, tetapi juga keunggulan ekosistem yang memberikan keuntungan ganda akibat pengusahaan berbagai komoditi yang sesuai di atasnya. Dengan paradigma barunya tersebut, pembangunan pertanian masa depan akan sangat ditentukan oleh dukungan ilmu dan pengetahuan serta sumber daya alam dan manusia, serta faktor pendukung lainnya yang tersedia. Pembangunannya yang berwawasan agribisnis akan mengubah sektor pertanian tidak lagi sebagai pendukung, melainkan sebagai penggerak utama ekonomi nasional.BAHAN BACAAN Alif, S. 1990. Tantangan pembangunan pertanian dalam http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 18 January, 2017, 03:01
menghadapi globalisasi. Pangan 6 (Vol. II): 42 - 48. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. 1998. Rencana Strategis (Program dan Kegiatan Badan Agribisnis TA 1999/2000 - 2001/2002). Jakarta. Departemen Pertanian. 2000. Kebijakan dan Program Utama Pembangunan Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian. 1999a. Analisis Kinerja Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura pada Pelita VI (Tahap II, final). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian. 1999b. Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian. 1999c. Kinerja Pelaksanaan Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura TA 1998/1999. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian. 1999d. Kebijaksanaan Pembangunan Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultura. Menteri Pertanian RI. 2000. Memposisikan Pertanian sebagai Poros Penggerak Perekonomian Nasional: Penajaman Kebijakan dan Program Pembangunan 2000-2004. Departemen Pertanian. Jakarta. Mugnisjah, W.Q. 1999. Paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia. Naskah bahan diskusi di Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Mugnisjah, W.Q., Sudradjat. 2000. Penilaian kritis terhadap kebijakan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura. Makalah dalam Diskusi Pakar Arah Pembangunan Pangan dan Hortikultura. Bandung. 8 Maret 2000. Prakosa, M. (Menteri Pertanian RI). 1999. Kebijakan pembangunan pertanian sebagai poros penggerak pembangunan nasional pada era transparansi global. Makalah pada “Simposium Nasional Inovasi Pertanian dan Pameran Aneka Produk Unggulan 1999”. Surabaya, 24 November 1999. Saefuddin, A.M. 1998. Pembangunan pangan dan pertanian. Seminar dan Lokakarya Nasional Perguruan Tinggi Pertanian Menjawab Tantangan Krisis Pangan Nasional. Bogor, 13-14 Juli 1998. Saragih, B. 1996. Pertanian Abad 21: Agribisnis, cara baru melihat pertanian. Pangan 27 (Vol. VII): 8 - 16. Catatan Kaki: - Sebagian pokok-pokok fikiran dalam artikel ini pernah disampaikan kepada Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, Kabinet Reformasi Republik Indonesia - Jalan Kecubung No. 6, Bogor 16143; Telp. 0251-313787; HP 0812 807 3786; E-mail:
[email protected]
http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara Mugnisjah, Powered M.Agr. by ::Mambo : :: © copyleft 2006 :::
Generated: 18 January, 2017, 03:01