32 KELUARGA DAN PERANANNYA DALAM PEMBENTUKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK Nurhayati Tine Dosen Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK Kecerdasan emosional bukan hanya sekedar fakta genetic yang tidak dapat diubah oleh pengalaman hidup, dan bahwa takdir kita dalam kehidupan terutama ditetapkan oleh faktor bawaan keluarga. Menjadi suatu pertanyaan apakah kita dapat membangun, mengembangkan bahkan mengubah prilaku anak-anak kita untuk memiliki prilaku yang lebih baik?, melalui kemampuan yang di sebut kecerdasan emosional (EQ) yang mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Peran keluarga dalam membentuk kecerdasan emosional anak berdasarkan tinjauan studi Islam merupakan hal yang sangat penting dan utama. Pembentukan kecerdasan emosional anak dalam keluarga dengan menggunakan kaidahkaidah ke Islaman khususnya membentuk watak, kepribadian dan nilai-nilai moral, spiritual, budaya dan keterampilan sederhana yang intinya pendidikan ke Islaman harus kembali pada lingkungan keluarga (back to famili). Strategi pembentukan kecerdasan emosional anak bukan hanya anak di perlu dibina, namun orang tua sebagai pendidik utama harus mampu menjadi teladan dalam pembinaannya. Disamping itu orang tua minimal memiliki pemahaman teori tentang bagaimana mengembangkan kecerdasan emosional anak. Kata kunci: anak, emosi dan pendidikan I. PENDAHLUAN Islam memandang pendidikan merupakan hal yang begitu penting, hingga banyak lahirnya konsep-konsep tentang pendidikan Islami. “Secara khusus konsep pendidikan Islam adalah; usaha yang dilakukan pendidikan terhadap anak untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.(H. Djamaluddin dan Abdullah Ali,1999). Dalam pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada seorang guru sebagai tokoh pendidik formal tetapi juga terletak pada peran serta orang tua sebagai pendidik pertama dan utama yang bertanggung jawab dalam menanamkan sikap moral keyakinan, sikap hidup, keterampilan serta pandangan dalam masyarakat. Mencermati kondisi yang terjadi saat ini, dengan sejumlah fenomena yang semakin menggejolak maka tanggung jawab orang tua sangat diperlukan untuk memberikan dasar-dasar pematangan anak terutama dalam membentuk kecerdasan emosional anak. Keluarga khususnya orang tua merupakan orang paling dekat dari seorang anak yang harus mengetahui bagaimana membentuk kecerdasan emosional sehingga berpotensi untuk menjadi satu sosok anak yang cerdas, terampil dan bermoral. Melalui studi ke Islaman bentuk jiwa atau emosional anak dibentuk dan tempa dalam lingkungan keluarga. Kecerdasan emosional bukan
33 hanya sekedar fakta genetic yang tidak dapat diubah oleh pengalaman hidup, dan bahwa takdir kita dalam kehidupan terutama ditetapkan oleh faktor bawaan keluarga. Menjadi suatu pertanyaan apakah kita dapat membangun, mengembangkan bahkan mengubah prilaku anak-anak kita untuk memiliki prilaku yang lebih baik?, melalui kemampuan yang di sebut kecerdasan emosional (EQ) yang mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan ini perlu dibentuk pada anak, untuk memberikan peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi emosi untuk membangkitkan dan mengarahkan intelektual mereka. Dalam Islam hal ini sangat dianjurkan untuk menanamkan prilaku maupun ahklaq yang baik. Islam memandang emosional atau prilaku anak menjadi baik, buruk, menjadi muslim sejati atau seorang majusi tergantung pada ibu dan ayah atau pada lingkungan keluarga itu sendiri. Maka dari itu keluarga yang tidak dibentuk dan tidak mengikuti kaidah-kaidah ke Islaman sungguh tidak mungkin dapat menciptakan prilaku yang baik atau memiliki kecerdasan emosinal pada diri anak. Di balik kemungkinan dalam keluarga, muncul tekanan moral yang mendesak yaitu ketika anak-anak kita terjung ke masyarakat yang memiliki berbagai emosi yang lebih luas, maka sifat mementingkan diri sendiri, kekerasan dan sifat jahat tampaknya senantiasa menggerogoti dan membayangi sisi kehidupan kita dalam masyarakat. Atas dasar pemikiran di atas, penulis ingin membantu menemukan serta menawarkan berbagai konsep studi Islam terhadap peran keluarga dalam membentuk kecerdasan emosional anak (normal) melalui kajian dan analisa terhadap berbagai sumber pakar pendidikan.
II. PEMBAHASAN Keluarga adalah suatu kekerabatan yang sangat mendasar dimasyarakat yang terdiri dari bapak, ibu dan anak (Atang Abdul Hakim dan Fahid Muharok,2002). Proses lahirnya keluarga atau rumah tangga dimulai dari hasrat dan keinginan individu untuk menyatu dengan individu lainnya dalam ikatan pernikahan. Hasrat merupakan fitrah yang dibawa sejak lahir, yang terdiri atas; pertama menjadi satu dengan manusia lain di sekiliingnya, kedua menjadi satu dengan suasana sekelilingnya. Oleh karena itu terbentuknya sebuah keluarga di awali dengan proses memilih yang dilakukan oleh individu yang berlainan jenis kelamin, lalu melamar dan diakhiri dengan perkawinan, uraian di atas digambarkan dalam al Qur’an surat ar Rum ayat 21, yaitu: Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-NYA di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S Ar Rum:21) Perasaan yang dimaksud dalam ayat ini adalah perasaan tenang dan tentram yang lahir dari cinta kasih antara pasangan suami isteri yang mendapat rahmat Allah SWT, cinta kasih akan muncul jika keduanya cocok atau serasi dalam banyak hal, oleh karena itu diperkenankan teori kafa’ah yakni sebanding atau serasi dalam memilih pasangan hidup. Diantara nilai-nilai yang harus ditetapkan dalam sebuah keluarga adalah pertama; nilai religius atau nilai-nilai keagamaan. Artinya bahwa ayah dan ibu maupun anak harus membiasakan diri berbuat baik dan mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang
34 kebaikan pula, sehingga seluruh anggota keluarga menjadi baik dan bahagia di dunia dan di akhirat, artinya menjagalah diri (orang tua) dan keluarganya dari siksa api neraka, akan tetapi jika anak dibiarkan berbuat dan berprilaku buruk maka masa depan anak menjadi suram mencelakakan dirinya dan keluarganya di akhirat nanti. Untuk itu wajiblah orang tua untuk menjaga anak-anaknya dari perbuatan dosa dan mendidik serta mengajarkan berahklak baik. Kedua; nilai efek sensorik artinya yang berorientasi pada yang menyenangkan dan menyedihkan. Misalnya memperlakukan anak dengan lemah lembut, menghormatinya di depan kawan-kawannya dengan tidak melepaskan kekuasaan kepada anak-anak. Ketiga; nilai pragmatis artinya nilai yang berorientasi pada berhasil atau gagalnya (Atang Abdul Hakim dan Fahid Muharok,2002) Substansi dari kecerdasan emosional adalah emosional, yang memiliki kata dasar emosi, dengan akar kata adalah “movere” (kata kerja dari bahasa latin) yang berarti; menggerakkan, bergerak. Maka emosional pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi (Danial Goleman,2002). Bahwasannya emosi memancing aneka ragam tindakan perasaan yang timbul karena rangsangan yang dapat berwujud takut, marang, girang, benci, kasihan dan lain-lain. (Koentjaraningrat, 1984). Untuk menciptakan suatu kehidupan yang berhasil dalam sebuah keluarga, khususnya mengenai kecerdasan emosional anak yang perlu diperhatikan adalah keadaan hubungan dan harus mengadakan kerja sam yang baik antara anggota keluarga. Kehidupan sosial pula sangat mempengaruhi kelangsungan hidup sebuah keluarga, harus disadari pula peran keluarga dapat dipengaruhi oleh kebutuhan hidup seperti sandang, pangan dan papan serta kebutuhan akan pendidikan yang merupakan bagian dari kehidupan sosial. Sebab jika keadaan seperti ini terhenti maka dengan sendirinya kehidupan dan peran dalam keluarga dalam membentuk kecerdasan emosional anak akan terganggu. Psikolog John Gottman (2005) dalam bukunya yang bertajuk Raising An Emotionally Intelligent Child menyatakan, jika Anda ikut membantu anak Anda memahami dan mengatasi berbagai perasaan yang dirasakannya, maka Anda telah ikut membantu meningkatkan kecakapan emosionalnya (EQ). Seorang anak yang memiliki kecakapan emosional yang tinggi akan lebih mampu dan lebih baik mengelola perasaannya, mampu memahami dan berhubungan dengan orang lain secara lebih baik serta mampu membentuk perkawanan yang lebih kuat dan erat dibanding anak yang memiliki kecakapan emosional yang rendah. Sejumlah pakar menyatakan, anak-anak yang memiliki kecakapan emosional yang tinggi cenderung akan menjadi orang dewasa yang lebih bertanggungjawab, percaya diri dan berhasil di bidangnya. Akan tetapi, persoalannya, bagaimana Anda dapat dengan tepat ikut membantu meningkatkan kecerdasan emosional anak Anda tersebut ? John Gottman menyodorkan sejumlah langkah sebagai berikut: 1. Dengarkan dengan penuh empati Curahkan perhatian Anda sepenuhnya terhadap apa yang sedang anak Anda rasakan. Ketika dia rewel saat Anda telah meninggalkannya karena suatu urusan, misalnya, tanyakan kepadanya apakah hal inilah yang telah membuatnya dia rewel. 2. Bantu mengungkapkan perasaan Dengan keterbatasan kosa kata yang dimilikinya, anak usia 12-24 bulan seringkali mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaan yang dialaminya. Dalam hal
35 ini, Anda dapat membantunya menemukan kosa kata atau kalimat yang cocok untuk menggambarkan perasaan yang sedang dialaminya. Jika seumpamanya, dia terlihat murung karena tidak bisa main di luar, mungkin Anda bisa bilang kepadanya, "Oh, kamu sedih ya sayang, karena tidak bisa main di luar." 3. Ajari pemecahan yang wajar Ketika anak Anda "ngambek" kepada seseorang, ajarilah dia mengetahui batas-batas kemarahan yang wajar. Lynne Namka, seorang spesialis pengelola kemarahan, menyarankan, bantulah anak untuk mengungkapkan rasa marahnya dengan kata-kata atau ucapan yang wajar. Anak harus mulai diberi pemahaman bahwa adalah wajar untuk marah namun tidak berlebihan, seperti melempar benda atau menyerang orang lain. 4. Hindari ucapan keras dan kasar Anda tidak perlu menutupi rasa marah atau rasa tidak suka Anda di depan anak Anda. Namun, perasaan Anda tersebut tidak perlu diungkapkan dengan emosi yang meledak-ledak yang disertai dengan kata-kata atau ucapan yang keras dan kasar. "Mama sedih kalau kamu begitu" jauh lebih baik Anda ungkapkan daripada "Kamu jelek dan membuat mama marah!" Hindari pula cercaan yang sangat berlebihan karena pada akhirnya justru akan membuat anak kehilangan rasa percaya diri.
Strategi Pembentukan Emosional Anak Pada Usia Enam Tahun Pertama Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.) Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini. Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut: 1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu. Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. “Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak.(Muhammad Quthub,Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.) Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya. 2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya. Kami kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap,
36 sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini. Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang. 3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya. Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. “Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak. Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya.” (Ibid.) 4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya. Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)” Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus. ” Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri. ” Dilarang tidur tertelungkup dan dibiasakan ·tidur dengan miring ke kanan. ” Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya. ” Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya. ” Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus. ” Dilarang bermain dengan hidungnya.”Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.”Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.” Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.” Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.” Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.” Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur. ” Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.” Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkalikali setiap hari.” Dibiasakan membaca “AZhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan. “Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”. ” Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.” Dibiasakan
37 berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.” Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan katakata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak). ” Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.” Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.” Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya. ”Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.” Diajari katakata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.” Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.” Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.” Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.” Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.” Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.” Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri. Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka mengenakan kerudung penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan mudah untuk mengenakan jilbab yang syar’i. Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka. Lima Strategi pendidikan orang tua dalam pembentukan karakter anak dalam pandangan Islam: Hal pertama, kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anak menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati. Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185) Hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah
38 mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat. Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati: Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT. Yang kedua, di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya. Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan. Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita. Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia: 1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kirakira 7 tahun. 2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kirakira 7 tahun sampai 14 tahun. 3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kirakira mulai 14 tahun ke atas. Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya. Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam. Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah. Dan ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT. Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) Pendidikan Keimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) Pendidikan Sosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan (sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka. Dan terakhir ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini: Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa
39 nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain. (Muhammad Quthb:Manhaj Tarbiyah Islamiyah). III. P E N U T U P Peran keluarga dalam membentuk kecerdasan emosional anak, berdasarkan tinjauan studi Islam. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak, peran keluarga dalam membentuk kecerdasan emosional anak berdasarkan tinjauan studi Islam merupakan hal yang sangat penting dan utama. Pembentukan kecerdasan emosional anak dalam keluarga dengan menggunakan kaidah-kaidah ke Islaman khususnya membentuk watak, kepribadian dan nilai-nilai moral, spiritual, budaya dan keterampilan sederhana yang intinya pendidikan ke Islaman harus kembali pada lingkungan keluarga (back to famili). Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka, serta seorang anak dapat dibentuk oleh orang tuanya berprilaku baik atau buruk bahkan kafir adalah peran orang tuanya, kaidah-kaidah ke Islaman ini sangat jelas apa yang menjadi peran keluarga khususnya orang tua. Untuk membentuk kecerdasan emosional pada anak lebih ditekankan adalah fungsi keteladanan dan dominan untuk dipraktekkan, baik dengan tingkah laku serta perasaan yang terus terjaga. Prilaku orang tua secara langsung maupun tidak langsung akan menjadi contoh dan diikuti oleh anak atau anak yang lebih tua dengan tingkah lakunya akan menjadi contoh bagi adik-adiknya. DAFTAR PUSTAKA Abu Umar Al-Bankawy dari kitab Kaifa Nurabbi Auladana karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu dan hadits-hadits tentang hukum gambar ditambahkan dari Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah karya Syaikh Muqbil bin Hadi. Atang Abdul Hakim dan Fahid Muharok, “Metodologi Studi Islam”, (Cet.V: Bandung Remaja Rosda Karya, 2002) Ari Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual”, (Cet.II; Jakarta: Arga, 2001) Danial Goleman, “Emotional Intelligence”, Kecerdasan Emosional, (Cet. Ke 12; Jakarta:Gramedia, 2002), Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjamahnya, (Jakarta; Surya cipta aksara, 1993) John Gottman (2005); Raising An Emotionally Intelligent Child. Muhammad Quthb: Manhaj Tarbiyah Islamiyah