ABSTRAK Aditya Ramadhan 106011000028 Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak Dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul “Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak”. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai ”Primary Community”, yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Melalui berbagai penelitian dan kajian, diketahui bahwa bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasaan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Berbagai problema akhlak atau emosional yang dihadapi para pemuda, seperti narkotika, penyimpangan seksual, tidak disiplin, lari dari rumah, egois dan berbagai problema lainnya secara langsung bersumber dari pendidikan yang salah dari kedua orang tuanya atau orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Dari kecil anak dipelihara dan dibesarkan oleh dan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda dan orang-orang serta peraturan-peraturan dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga itu sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak-anak. Bagaimana cara mendidik yang berlaku dalam keluarga itu, demikianlah cara anak itu mereaksi terhadap lingkungannya. Keluarga sebagai suatu faktor dasar dalam pembentukan kepribadian anak dimana anak akan menyerap seluruh pengalaman yang ditangkap inderanya tanpa seleksi, pengalaman itu tidak akan hilang dan akan membentuk pola kepribadian.
i
KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah SWT, Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan. Salah satu sarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana Strata Satu (S-1) di Perguruan Tinggi termasuk di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis membuat skripsi ini dengan judul :”PERANAN
KELUARGA
TERHADAP
PERKEMBANGAN
KECERDASAN EMOSIONAL ANAK”. Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dihadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut segi pengaturan waktu, pengumpulan bahan (data) maupun masalah pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat hidayah,’inayah Allah SWT dan dengan usaha yang sungguhsungguh disertai dorongan dan bantuan berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapatdiatasi dengan sebaik-baiknya.Oleh karena itu, penulis merasa wajib memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Yang Maha Agung dan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tigginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini; terutama kepada Dr.Sururin, MA. yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan petunjuk-petunjuk dan nasihatnasihat yang berharga kepada penulis. Selanjutnya, ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan pula kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Ketua dan Sekretaris Jurusan PAI, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ii
3. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberi bekal berbagai ilmu pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis 4. Ibu Dr. Sururin, M.A. selaku dosen pembimbing yang dengan bimbingan dan kesabarannya meluangkan waktu dan pikiran, perhatian serta arahan untuk membimbing skripsi ini 5. Bapak Dr. Abdul Fattah Wibisono, M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan berlangsung 6. Pimpinan
dan
seluruh
staff
administrasi
Perpustakaan
Utama,
Perpustakaan FITK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meluangkan waktu dengan membaca dan meminjamkan buku-buku kepada penulis yang digunakan sebagai referensi yang berkaitan dengan skripsi ini 7. Ayah ibuku tercinta dan tersayang, yang selalu mencurahkan doa, perhatian dan kasih sayangnya setiap saat 8. Teman-teman PAI se-angkatan (2006), khususnya kelas A dan SEJARAH yang telah memberikan semangat, masukan dan saran bagi penulis sehingga selesainya skripsi ini. Pastikan tali silaturahim kita tetap terjalin sampai akhir hayat 9. Teman-teman yang telah meminjamkan referensi-referensi yang terkait dengan skripsi ini, diantaranya Rahmah Khairunnisa, Railla Rafika, ZamZam Firdaus, Kholidatunnur “Younk”. Sukses selalu untuk kalian. 10. Kakak-kakak senior. Kak Miratul Hayati yang telah membimbing proposal skripsi saya secara non-teknis, perhatiannya sangat berarti untuk penulis. Kak Khairona Agustina yang telah meminjamkan banyak referensi untuk perkuliahan 11. Bapak dan ibu jamal selaku pemilik kost. Terima kasih atas sarana dan pra-sarananya sehingga memudahkan penulis untuk berangkat dan pulang dari kampus tanpa harus jauh-jauh ke rumah
iii
12. Masjid Nurul Huda, Fathullah dan Al-Jami’ah beserta jamaahnya, yang telah memberikan ketentraman dan kesejukan hati 13. Laptop pribadiku yang telah memudahkan untuk menulis skripsi ini dimanapun dan kapan pun penulis berada 14. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Hanya harapan dan do’a semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan segalanya dalam mengharapkan keridhoan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi penulis, khususnya keluarga, anak dan keturunan penulis kelak. Amien
Jakarta, 03 Agustus 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... ...i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ..ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ..v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………...………….……….……..1 B. Identifikasi Masalah……………………………...………………………..6 C. Pembatasan Masalah……………………………...……………………….7 D. Perumusan Masalah…………………………………...………….…….....7 E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ………………………………...…….…………7 2. Manfaat Penelitian………………………………...………………8 F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian……………………….…………...………………8 2. Sumber Data……………………….……………..……….………8 3. Metode Pengolahan Data………………………………….………9 4. Metode Penulisan………………………………………………...10 5. Sistematika Penulisan…………………………………………….10
BAB II KELUARGA A. Pengertian Keluarga………………………….……………...…………...12 B. Tujuan Berkeluarga…………………………….…………...……………16 C. Fungsi dan Peranan Keluarga 1. Fungsi Keluarga………...…………………………...….………..16 2. Peranan Keluarga……………………...…………………………19 3. Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak…………...…………...20
v
BAB III KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional…………………………...……..……25 B. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Goleman……………….……………………………………....….….…..26 C. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Howard Gardner………………………………………………..………...….…….31 D. Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan Howard Gardner; Sebuah Analisis……………………………..……..….32 E. Kecerdasan Emosional Melengkapi Kecerdasan Intelektual………….....33 F. Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual………………………35
BAB IV KETERKAITAN ANTARA KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK A. Keluarga Sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak…………………………………………..……………...…..………..39 B. Aspek-Aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak……..…......……41 C. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga ………………………………………..……………..…………42 D. Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Pendidikan Anak-Anak……...47
BAB V UPAYA-UPAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK A. Peran Orang Tua…………………………………………………………50 B. Peran Lingkungan Keluarga……………………………………………..64
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan……………………………….….…………………………..68 B. Saran…………………………………….….……………………………68
vi
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Jurusan Pendidikan Agama Islam pada fakultas Ilmu Tarbiiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2010
Aditya Ramadhan NIM: 106011000028
viii
ix
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang pertama dikenal oleh anak. Oleh karena itu keluarga disebut sebagai “Primary Community”, yaitu sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. 1 Keluarga disebut sebagai lingkungan pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Dan keluarga disebut sebagai lingkungan pendidikan yang utama karena sebagian besar hidup anak berada dalam keluarga, maka pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak ialah di dalam keluarga. Tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini. Para orang tua menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah atau pesantren. Mereka menganggap lembaga-lembaga itu seperti bengkel ketok magic yang dapat menyulap anak bengal menjadi insan shaleh dalam hitungan jam. Orang tua banyak yang beranggapan bahwa anak penyejuk mata dan jiwa itu seperti fast food yang dapat dipesan antar, yang penting orang tua punya uang untuk itu. Sebagian orang tua lupa, bahwa anak penyejuk mata dan jiwa itu adalah hasil 1 Drs.Alisuf Subri, Ilmu Pendidikan, (CV Pedoman Ilmu Jaya : Jakarta,1999), hal. 15
2
dari sebuah proses pembentukan yang berkesinambungan. Jika di sekolah anakanak diajari nilai-nilai Islam, maka setiba di rumah seringkali nilai-nilai itu dilunturkan oleh kenyataan bahwa orang tuannya sendiri tidak shalat dan tidak menunjukkan nilai-nilai Islam. 2 Orang tua zaman sekarang yang pada umumnya pasangan suami-istri yang berkarier atau bekerja dari pagi hingga malam, beranggapan bahwa untuk mengembangkan pribadi anak dengan mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik ialah tugas utama guru atau ustadz di sekolah maupun pesantren. Hal itu tidaklah salah, tetapi perlu diluruskan. Sebelum menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, orang tua harus “membentuk karakter” anak di dalam keluarga. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai agama, perilaku terpuji, kedisiplinan dan bagaimana bersikap terhadap orang yang lebih tua atau guru dan teman sebaya. Di samping memberikan pengajaran, yang paling terpenting ialah memberikan keteladanan. Percuma kalau anak diajarkan akhlak terpuji tetapi orang tuanya berakhlak buruk, tak akan berpengaruh jika anak diajarkan setiap pagi harus bangun pukul setengah lima tetapi orang tuanya tidak pernah sholat shubuh bahkan kesiangan. Teladan ini melahirkan gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditiru dan hal ini penting sekali dalam rangka pembentukan kepribadian. 3 Pengaruh orang tua sangat penting bagi anak. Pengkhianatannya atas amanat akan menjadi kejahatan yang panjang. Seorang anak datang ke dunia dengan hati yang bersih dan fitrahnya selalu menghadap kepada agama yang benar. Kemudian orang tuanya melakukan tindak pengrusakan terhadap fitrahnya dengan mencabut benih-benih iman dari hatinya dan menanamkan penyakit dan kedengkian di dalam jiwanya. 4 Imam Ibnul Qayim berkata, “Berapa banyak orang yang mencelakakan anaknya di dunia dan akhirat dengan menyia-nyiakan pendidikannya dan 2 Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak,( Pustaka Al‐ Kautsar : Jakarta,2006), hal. X 3 Hasbullah, Dasar‐Dasar Ilmu Pendidikan, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta,2006), hal. 42 4 Dr.Anas Ahmad Karzun, Anak Adalah Amanat, (Qisthi Press :Jakarta, 2006), hal. 3
3
membantunya mengikuti syahwat. Namun demikian, mereka tetap berpikir bahwa dirinya telah memuliakan anaknya. Padahal dia telah merendahkannya. Mereka berpikir bahwa dirinya telah menyayanginya. Padahal mereka telah berbuat zalim kepadanya. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan manfaat dari anaknya, baik di dunia maupun di akhirat. Jika engkau menemukan kerusakan pada anak-anak, maka sebagian besar penyebabnya adalah orang tua.” 5 Salah satu fungsi keluarga ialah fungsi sosialisasi, yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilainilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya. 6 Tapi saat ini, banyak orang tua yang cukup puas dan senang ketika anakanaknya mendapat nilai akademik yang bagus, tetapi tak cukup peduli terhadap sikap dan tingkah laku anak di luar rumah. Apakah anak sudah mengaplikasikan nilai-nilai kejujuran, konsisten, memiliki komitmen, dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain, berintegritas tinggi, berpikiran terbuka, memiliki kepercayaan diri, adil, empati, sabar, bijaksana, rasa semangat dan lain sebagainya ? Berdasarkan hasil survey di AS tentang IQ, ternyata ditemukan sebuah paradoks yang membahayakan. Skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru menurun. 7 Hal ini juga terjadi di Indonesia, banyak anak-anak pintar dan cerdas tapi mereka lebih mudah depresi, lebih cepat putus asa dan mudah marah. Jika kita perhatikan fenomena kehidupan rumah tangga sekarang ini, kita akan menemukan bahwa banyak kedua orang tua sangat perhatian terhadap kesehatan fisik anak-anak mereka. Jika salah satu anak mereka terserang penyakit, mereka akan sibuk dan bergegas untuk mengobatinya. Akan tetapi jika salah satu anak-anak mereka terserang penyakit dalam akhlak dan perilakunya, mereka tidak terlalu mempedulikannya dan tidak 5 Dr.Anas Ahmad Karzun, Anak Adalah Amanat, (Qisthi Press :Jakarta, 2006), hal. 4 6 Drs.Alisuf Subri, Ilmu Pendidikan, (CV Pedoman Ilmu Jaya : Jakarta,1999), hal 15 7 Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, (New York : Bantam Books,1999), hal.13
4
merasa sebagai suatu kesalahan. Kemudian keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka tidak peduli dan tidak menyadari musibah itu. Disinilah
pentingnya
peranan
keluarga
di
dalam
melatih
dan
mengembangkan aspek emosional anak yang akan berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku anak di dalam maupun di luar rumah. Keluarga, yang di dalamnya termasuk orang tua dan saudara-saudara yang tinggal satu rumah, harus menciptakan suasana yang kondusif, edukatif dan menyenangkan agar anak-anak memiliki mental yang sehat dan emosi yang stabil. Berbeda jika di rumah tidak terdapat keharmonisan, orang tua selalu bertengkar sehingga suasana di rumah selalu tegang, pastinya akan berdampak buruk pada mental dan emosi anak. Oleh karena itu, nasib seorang anak sampai batas tertentu berada di tangan kedua orang tuanya, dan ini terkait dengan tingkat pendidikan keduanya, dan sampai sejauh mana perhatian yang diberikan keduanya dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya. Jika seorang ayah dan ibu benar-benar menunaikan kewajibannya maka ia telah menjamin kebahagiaan dan masa depan yang cerah bagi mereka. Di samping itu, mereka juga akan memperoleh keuntungan dengan memiliki anak-anak seperti ini, dan dengan itu berarti mereka telah melakukan pelayanan yang besar kepada masyarakat. Karena mereka telah mendidik individu-individu yang berkualitas dan berguna, dan mempersembahkannya kepada masyarakat. Dengan demikian, orang tua yang semacam ini akan mendapat kemuliaan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya jika mereka bersikap lalai dan masa bodoh dalam menunaikan tanggung jawab besar ini, berarti mereka telah melakukan pengkhianatan dan tindak kejahatan besar kepada anak-anaknya, karena dengan memberikan pendidikan yang salah berarti mereka telah menyiapkan berbagai kesengsaraan bagi anak-anaknya, dan pengkhianatan seperti ini tidak akan dibiarkan tanpa balasan pada hari akhirat. Di samping itu, akibat dari pendidikan yang buruk terhadap anak akan dirasakan juga oleh kedua orang tua di dunia ini.
5
Berbagai problema yang dihadapi para pemuda, seperti penyimpangan seksual, tidak disiplin dan tidak taat pada peraturan, kecanduan narkotika, pengangguran, tindak pencurian, tindak kejahatan, bunuh diri, lari dari rumah, putus asa, resah dan gelisah, tidak mempunyai semangat hidup, mementingkan diri sendiri, tidak percaya diri, lemah kemauan, egois, merendahkan diri sendiri dan berpuluh-puluh problema akhlak lainnya yang menimpa para pemuda, secara langsung bersumber dari pendidikan yang salah dari kedua orang tuanya atau setidaknya hal ini mempunyai peranan yang besar dalam masalah ini. 8 Tiga belas abad yang lalu, John Lock berulang-ulang mengatakan bahwa “akal anak merupakan halaman-halaman putih yang dapat anda ukir dengan kebaikan dan belajar”. Berbeda halnya dengan pendidikan dan pengajaran pada saat dewasa, di dalamnya banyak ditemui kesulitan-kesulitan sebagaimana yang disebutkan oleh peribahasa, “kucing besar tidak akan dapat terdidik”. 9 Sebagian ayah tidak memperhatikan pendidikan anaknya sejak masih kecil. Dampaknya, ketika anak-anak menapaki usia remaja, mereka akan sulit dibiasakan kepada kebaikan, dan mereka justru mudah menjadi manusia-manusia yang menyimpang. Mereka mudah meninggalkan sholat atau malas melakukannya. Dia akan bergabung dengan teman-teman yang jahat. Ketika itu ayah baru menyadari dan ia baru ingin meluruskan penyimpangan itu. Ia berpikir bahwa dengan satu kata atau satu peringatan, ia akan mampu mengembalikan air ke salurannya. Namun ternyata, ia berhadapan dengan kenyataaan yang pahit, karena anaknya justru terus berperilaku menyimpang. Itulah akibat penyianyiaan pendidikan akhlak anak sejak kecil. Jadi, jelas bahwa pendidikan dan bimbingan anak sejak usia dini mempunyai pengaruh lebih besar terhadap perkembangan emosional (yang akan berdampak pada perilaku) anak jika dibandingkan dengan pendidikan pada usia remaja atau beranjak dewasa. Keluarga sebagai suatu faktor dasar dalam 8 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Al‐Huda : Jakarta,2006), hal.112 9 Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak,( Pustaka Al‐ Kautsar : Jakarta,2006), hal. 4
6
pembentukan kepribadian anak dimana anak akan menyerap seluruh pengalaman yang ditangkap oleh inderanya tanpa seleksi, pengalaman itu tidak akan hilang dan akan membentuk pola kepribadian. Oleh karenanya, keluarga menempati urutan pertama dan utama dalam rangka pelaksanaan, pembinaan, dan pengembangan moral anak. Pendidikan yang diterima anak dari orang tuanya merupakan dasar dari pembinaan dan pengembangan moral selanjutnya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah karya ilmiah dengan judul “ Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa betapa pentingnya kontribusi keluarga agar proses perkembangan aspek emosional anak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Berdasarkan kenyataan yang ada, maka alasan saya membahas peran keluarga disebabkan timbulnya beberapa masalah, antara lain : a. Tidak adanya kontribusi dari keluarga berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak b. Kurangnya kesadaran orang tua bahwa keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang utama dan pertama c. Mayoritas orang tua lebih menekankan IQ daripada EQ d. Sebagian orang tua belum memberikan keteladanan yang baik sebagai modal utama pembentukan kepribadian anak e. Orang tua kurang memperhatikan sikap dan perilaku anak f. Aspek emosional anak sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi keluarga.
7
C. Pembatasan Masalah Agar penulisan skripsi ini mempunyai arah dan tujuan yang jelas, maka penulis membatasi masalah pada peran keluarga terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. a. Peranan keluarga ialah tindakan, kewajiban orang tua terhadap anaknya baik dalam mendidik, membimbing, melindungi dan menghidupi dengan cara-cara yang tepat dan kondisi keluarga tempat si anak tinggal. b. Kecerdasan emosional ialah kemampuan anak untuk memahami perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga bisa berinteraksi dengan baik. Kecerdasan emosi juga melahirkan sifat dan sikap positif seperti percaya diri, jujur, rendah hati, sabar, empati, bijaksana dan lain sebagainya. c. Usia anak dibatasi
3-6 tahun. Karena pada usia ini, proses
perkembangan anak sangat pesat. Menurut Freud, pembentukan kepribadian dan kecerdasan anak terjadi pada masa lima tahun pertama. Masa ini merupakan masa peka ketika anak mudah sekali menerima rangsangan baik dari dalam maupun dari luar dirinya. 10 D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pokok, yaitu : “Bagaimana peranan keluarga terhadap perkembangan emosional anak ?” E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 10 Indra Soefandi dan S.Ahmad Pramudya, Strategi megembangkan Potensi Kecerdasan Anak, (Bee Media Indonesia, Jakarta: 2009),
8
a. Untuk
mengetahui
peranan
keluarga
terhadap
perkembangan
kecerdasan emosional anak. b. Untuk mengetahui upaya-upaya dari keluarga dan orang tua dalam mengoptimalkan perkembangan emosi anak. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukkan bagi keluarga dalam rangka mendidik anak. b. Dapat
memberikan
kontribusi
dalam
rangka
mengoptimalkan
pelaksanaan pendidikan karakter di dalam keluarga. c. Untuk memperluas paradigma berpikir dan khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam di dalam keluarga F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Berdasarkan objek penelitian ini, jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan deskriptif analitis, maka kajian ini murni menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode study pustaka. Yaitu berusaha mengungkap dan menemukan secara sistematis berbagai data mengenai peran keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama di dalam mendidik kecerdasan emosional anak. 2. Sumber Data Jenis data peneliti kumpulkan dari berbagai sumber teks yang berkaitan dengan pokok permasalahan (data primer) dan sumber-sumber teks pendukung (sekunder) yang berkaitan dalam penelitian ini. Untuk sumber data primer, peneliti mengggunakan buku yang berjudul :
9
a. Data Primer (Primary Sources): 1. 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak, karangan Muhammad Rasyid Dimas 2. Melejitkan
Kecerdasan
Emosi
(EQ)
Buah
Hati,
karangan
Al.Tridhonanto 3. Anak Adalah Amanat, karangan Dr.Anas Ahmad Karzun 4. Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Sang Buah Hati, karangan Dyah Pitaloka, S.Psi 5. Emotional Intelligent Parenting, karangan Amaryllia Puspasari 6. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, karangan Drs. M. Ngalim Purwanto, MP. b. Data Sekunder (Secondary Sources): Untuk sumber data sekunder, penulis menggunakan buku yang berjudul: 1. Pendidikan Dalam Keluarga, karangan Dr. M.I. Soelaeman 2. Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak, karangan Drs.Indra Soefandi dan S. Ahmad Pramudya S.E 3. Ilmu Jiwa Agama, karangan Prof. DR. Hj. Zakiah Daradjat 4. EQ Anak VS EQ Orang Tua, karangan Tutu April.A Suseno
3. Metode Pengolahan Data Metode yang digunakan untuk mengolah data adalah metode deskriptif yaitu data yang telah dikumpulkan ditelaah dan dikaji secara objektif dan proporsional untuk kemudian dianalisis secara komprehensif sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atau permasalahan yang dibahas atau dicari jawabannya.
10
4. Metode Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi 2007” yang disusun oleh Tim Penyusun Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari enam bab, yang setiap bab terdiri atas beberapa sub yang saling berkaitan, yaitu : BAB I, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II, dalam bab ini dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga yang terdiri dari pengertian keluarga, tujuan berkeluarga, fungsi dan peranan keluarga. BAB III, bab ini menjelaskan tentang kecerdasan emosional yang terdiri dari pengertian kecerdasan emosional, ranah utama menurut Goleman, ranah utama menurut Howard Gardner dan kecerdasan emosional melengkapi kecerdasan intelektual. BAB IV, bab ini menjelaskan keterkaitan antara keluarga dengan kecerdasan emosional. BAB V, bab ini menjelaskan pembahasan inti, yaitu tentang upaya-upaya yang mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional di dalam keluarga. BAB VI, sebagai penutup, bab ini berisi kesimpulan dari uraian yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang merupakan kontribusi pemikiran dari penulis, ditujukkan kepada segala pihak yang
11
mempunyai tanggung jawab terhadap pembinaan perkembangan kecerdasan emosional terhadap anak khususnya bagi orang tua yang mempunyai anak.
12
BAB II KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga adalah: “Ibu, bapak dengan seisi rumah, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan dalam masyarakat, kesatuan kerabat yang sangat mendasar dalam masyarakat.”1 Sedang pengertian keluarga menurut Rohiman Notowidegdo adalah: “Suatu institusi sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang terkait oleh hubungan biologis, sosial, ekonomi dan psikologi.” 2 Dari pengertian di atas, melihat pengertian keluarga secara sempit yang dapat diartikan bahwa keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Sedangkan pengertian keluarga secara luas adalah: “Suatu keluarga inti dengan
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: PT.Bina Pustaka,1988), cet.Ke‐1, hal.326 2 Rohiman Notowidegdo, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta : Pustaka Anta, 1992). Cet.Ke‐4, hal.22
13
adanya tambahan dari sejumlah orang lain baik yang sekerabat yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti. Orang-orang yang sekerabat tersebut bisa berasal dari pihak suami maupun dari pihak istri seperti kakek, nenek, paman, bibi dan saudara sepupu. Sedangkan orang lain yang dapat mewujudkan adanya keluarga luas dari suatu keluarga inti adalah pembantu rumah tangga dan pesuruh yang hidup bersama keluarga inti. Dengan melihat pengertian keluarga secara sempit dan luas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu komunitas masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang di dalamnya juga terdapat kerabat dari pihak suami dan istri serta orang lain yang dapat hidup bersama dalam suatu rumah tangga. 2. Tujuan Berkeluarga
Pembentukan keluarga dalam Islam bermula dengan terciptanya hubungan suci yang terjalin antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim melalui perkawinan yang sah dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan berdasarkan syariat Islam. Sudah barang tentu semua orang yang akan menikah mempunyai tujuan dalam perkawinan. Tujuan-tujuan tersebut selalu baik, misalnya untuk memperoleh keturunan, menjaga martabat, melindungi wanita dan untuk memelihara akhlak dan moral, yang kesemuanya itu dilakukan untuk menciptakan suatu keamanan dan keselamatan manusia dari perbuatan perzinahan. Begitu juga dalam membentuk suatu komunitas keluarga terdapat beberapa tujuan yang tentu saja terdapat beberapa tujuan yang tentu saja memberikan dampak positif dalam kehidupan individu dan masyarakat, sebab dengan berkeluarga berarti telah mempertahankan kelangsungan hidup manusia secara turun temurun, serta melestarikan agama Allah SWT di muka bumi.
14
Tujuan perkawinan adalah sebagai berikut : a. Membina kehidupan rumah tangga/keluarga yang rukun, tenang dan bahagia (sakinah) b. Untuk memperoleh rasa mawaddah, yaitu merasa diri satu nasib dan sepenanggungan, susah sama menderita dan bila senang, maka sama-sama berbahagia. c. Saling asih, asuh dan asah (rahmah) dengan penuh cinta kasih. 3 Sedangkan tujuan perkawinan lebih jelas tercantum dalam undang-undang RI No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab I pasal 1 yang berbunyi : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (berumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 4 Dari tujuan perkawinan tersebut maka tujuan terpenting dalam keluarga, menurut syariat Islam adalah sebagai berikut : a.
Mengatur Kebutuhan Biologis
Sejak manusia diciptakan di muka bumi ini, Allah SWT telah memberikan dan menetapkan berbagai kebutuhan, di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan akan biologis (kebutuhan hubungan seksual). Kebutuhan ini sudah merupakan fitrah manusia dan manusia harus menyalurkan kebutuhan tersebut dengan baik. Pernikahan merupakan suatu sarana yang halal untuk laki-laki dan perempuan melakukan suatu hubungan. Islam menghargai segala sesuatu yang dapat menghantarkan pada tercapainya tujuan-tujuan mulia dalam melestarikan sejarah kehidupan manusia yang telah diangkat sebagai khalifah di muka bumi. 5
3 Ahmad Usman,Petunjuk Membina Keluarga Bahagia, (Semarang : CV.Toha Putra, 1976). Cet.Ke‐1, hal.54. 4 R.Subekti, al‐Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT.Pradnya Paramita, 1990), cet.Ke‐22, hal.449 5 Abu Ahmad Muhammad Naufal, Langkah Menggapai Kebahagiaan Berumah Tangga, (Yogyakarta : Al‐Husna Press, 1994), cet.Ke‐1, hal.13
15
b.
Melestarikan Keturunan yang mulia
Bila pertemuan seorang laki-laki dan perempuan dalam jenjang pernikahan dipandang sebagai suatu tujuan, maka dalam segi lain dipandang sebagai suatu sarana untuk terwujudnya keturunan yang mulia. Selanjutnya keturunan merupakan buah pernikahan, sebab tujuan penciptaan alam oleh Allah SWT, adanya manusia dan kesempurnaanya. Anak yang shaleh menurut pandangan Islam merupakan amal kewajiban bagi kedua orang tua, yang membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 6 Selain sebagai suatu amal kebajikan bagi orang tua, anak merupakan unsur perhiasan serta kemegahan hidup di dunia selain harta benda. Anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Anak merupakan suatu kebanggaan bagi kedua orang tuanya, namun hendaknya kebanggan tersebut bukan dari sekedar dari jumlah banyaknya anak, akan tetapi orang tua harus pula memikirkan dan bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik bagib anaknya, agar kelak menghasilkan generasi-generasi baru yang beriman, bertakwa serta berkualitas. Karena di hari kiamat nanti Rasulullah SAW lebih merasa bangga mempunyai umat yang berkualitas bukan sekedar umat yang kuantitas.
c.
Merasakan hidup bersama
Dengan adanya perkawinan seorang suami istri dapat hidup bersama dalam membina istri dalam membina rumah tangga yang penuh cinta kasih, karena itu keduanya harus dapat bekerja sama untuk saling melengkapi satu sama lain. Dalam berkeluarga suami adalah pemimpin bagi istri, anak dan keluarganya. Selain itu juga seorang suami harus mengerjakan kewajiban-kewajibannya yang lain yaitu mencari nafkah, mengurus kehidupan keluarga, berjuang menegakkan agama Allah dan menciptakan perdamaian seta keselamatan bagi keluarganya. Semua tugas itu tidak akan dilaksanakan tanpa adanya pendamping di sisinya, yakni istri yang shalehah. Istri yang senantiasa membantu menyertai serta 6 Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh Menurut Al‐Quran dan Sunnah, (Jakarta : Lentera, 1996), cet.Ke‐1, hal.18
16
menghiburnya atau bahkan yang mampu meringankan beban hidupnya serta menjaga rumah dan memelihara anak-anaknya. Dengan demikian, maka suami istri harus dapat bekerja sama dalam menjalankan semua tugas dan kewajibannya dalam berkeluarga, sehingga dapat melahirkan dan mendidik anak-anak yang shaleh dan berkualitas. 3. Fungsi dan Peranan Keluarga a.
Fungsi Keluarga
Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan keluarga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang dan akan binasalah pergaulan seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologi keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman, tentram, bahagia dan sejahtera, yang kesemuanya itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga social yang terkecil. Dalam buku keluarga muslim dalam masyarakat modern, dijelaskan bahwa : “Berdasarkan pendekatan budaya keluarga sekurang-kurangnya mempunyai tujuh fungsi, yaitu fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi, rekreatif dan ekonomi.” 7 1. Fungsi Biologis Fungsi biologis keluarga berhubungan dengan “pemahaman-pemahaman kebutuhan biologis anggota keluarga”. 8 Di antara kebutuhan biologis ini kebutuhan akan keterlindungan fisik guna melangsungkan kehidupannya, keterlindungan kesehatan, keterlindungan dari rasa lapar, haus, kedinginan, kepanasan, kelelahan, kesegaran fisik. Termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan mendapatkan keturunan dengan melahirkan anak-anak sebagai generasi penerus dan dengan kata lain kelanjutan identitas keluarga. 2. Fungsi Edukatif 7 Jalaludin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994),cet.Ke‐2, hal.20‐21 8 M.I. Soelaeman, Pendidikan dalam Keluarga, (Bandung : CV.Alpabeta,1994) hal.113
17
Yang dimaksud fungsi edukatif ialah “fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan anak khusussnya serta pembinaan pendidikan anggota keluarga pada umumnya.” 9 Fungsi ini mengharuskan setiap orang tua mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan yang dapat mendorong anak-anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tujuan pendidikan. Dalam melaksanakan fungsi edukatif ini keluarga sebagai salah satu tri pusat pendidikan, dalam hal ini orang tua memegang peranan utama dalam proses pembelajaran anaknya terutama dikala mereka belum dewasa. Kegiatan pembelajaran orang tua antara lain melalui asuhan, pembiasaan dan contoh teladan. 3. Fungsi Religius Fungsi ini berkaitan dengan kewajiban keluarga untuk memperkenalkan dan mengajak anak serta anggota keluarga lainnya dalam kehidupan beragama dengan melakukan semua kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran dan ketentuan agama dengan menuju keridhoan-Nya. 4. Fungsi Protektif Fungsi protektif (perlindungan) dalam keluarga ini berfungsi “memelihara merawat dan melindungi si anak baik fisik maupun sosialnya.” Fungsi ini menangkal pengaruh kehidupan pada saat sekarang dan masa yang akan datang. 5. Fungsi Sosialisasi Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, dalam melaksanakan fungsi ini “keluarga membentuk kepribadian anak melalui intreraksi social, mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat yang kesemuanya itu dilakukan dalam rangka perkembangan kepribadiannya.” 6. Fungsi Ekonomis Fungsi ekonomis keluarga meliputi “pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajaran dan manfaatnya.” Pada dasarnya yang mengemban kesejahteraan 9 M.I. Soelaeman, Pendidikan dalam ………………………hal.685
18
keluarga, termasuk pencarian nafkah keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa istri tidak diperkenankan mencari nafkah, namun dalam keadaan demikian tanggung jawab yang diemban oleh seorang suami tidaklah diserahkan istri sepenuhnya karena hal ini dilakukannya untuk masa depan anak-anak dan keluargannya. 7. Fungsi Rekreatif Fungsi ini tidak harus dengan kemewahan serba ada, melainkan melalui penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan damai. Fungsi rekreatif ini juga dapat membawa anggota keluarga dalam merealisasikan dirinya dalam suasana yang bebas dan nyaman sebagai selingan dari kesibukan sehari-hari. Hal ini dapat juga di dapat dengan mencari hiburan di alam segar bersama keluarga.
Dengan melihat fungsi keluarga di atas, hendaknya dalam pelaksanaan fungsi haruslah seiring sejalan antara yang satu dengan fungsi yang lain, ketujuh fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan. Sebuah keluarga tanpa fungsi biologis, maka keluarga akan punah, tidak ada generasi penerus yang akan melanjutkan identitas keluarga. Tanpa fungsi edukatif generasi yang dilahirkan akan berantakan, tanpa fungsi religius generasi akan tersesat, tanpa fungsi protektif tidak ada ketentraman dan kedamaian dalam keluarga, tanpa fungsi sosialisasi akan muncul generasi-generasi yang memiliki sifat individual yang tinggi, tanpa fungsi rekreatif rumah tangga terasa membosankan dan meliputi kejenuhan dan tanpa fungsi ekonomis kesejahteraan rumah tangga akan goyah. Sedangkan H.Ali Akbar mengemukakan tentang fungsi keluarga sebagai berikut: 1.
Tempat istirahat sesudah kerja fisik mencari nafkah
2.
Menumbuhkan rasa cinta kasih dan melestarikannya
3.
Mendidik anak (kedua orang tua ialah guru pertama dan utama dalam bidang ini
4.
Mendidik diri sendiri dalam bidang agama seperti sholat berjama’ah dan membaca Al-Qur’an
19
5.
Mendidik anak dalam beribadah, ketabahan, ketekunan belajar, kesabaran, akhlak, bertutur kata, berpakaian dan lain sebagainya
6.
Mendiddik anak dalam bidang kasih sayang, baik di antara mereka maupun terhadap family dan orang lain di tengah masyarakat
7.
Mendidik manajemen perbelanjaan untuk tidak boros
8.
Mendidik
anak
dalam
menyelesaikan
pertikaian
dengan
musyawarah. 10 b.
Peranan Keluarga
Setiap keluarga terdiri atas beberapa anggota keluarga yang masingmasing anggota keluarga memiliki peranannya sendiri-sendiri sesuai dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, sehingga menambah keharmonisan kehidupan keluarga. Dalam keluarga sosok seorang ibu sangat diperlukan sebagai pendidik dasar bagi anak-anaknya, maka dari itu seorang ibu hendaklah seorang yang bijaksana dan pandai mendidik anak-anaknya. Sesuai dengan fungsi serta tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga. Peran ibu dalam pendidikan anakanaknya adalah sebagai berikut : 1)
Sumber dan pemberi kasih sayang
2)
Pengasuh dan pemelihara
3)
Tempat mencurahkan isi hati
4)
Pengatur kehidupan dalam rumah tangga
5)
Pembimbing hubungan pribadi
6)
Pendidik dalam segi emosional 11
Bukan saja peran seorang ibu yang sangat dibutuhkan dalam keluarga. Tetapi peran seorang ayah juga lebih sangat dibutuhkan dalam membentuk perkembangan keluarga. Adapun peranan ayah sebagai berikut : 10 Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih Untuk Mewujudkan Keluarga Sejahtera, Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet.ke 54 11 M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan (Teoritis dan Praktis), Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1995), cet.Ke‐8, hal.82
20
1)
Sumber kekuasaan dalam keluarga
2)
Penghubung intern keluarga dalam masyarakat/dunia luar
3)
Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
4)
Pelindung terhadap ancaman dari luar
5)
Hakim yang mengadili jika terjadi perselisihan
6)
Pendidik dalam segi-segi rasional.
Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan orang tua dalam mendidik, sehingga banyak pakar pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa “Alam keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan.” 12 Maksudnya adalah bahwa orang tua pendidik, penuntun dan pengajar yang pertama bagi anak-anaknya. Peranan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan jiwa anak, apabila orang tua salah mendidik maka anaknya pun akan mudah terbawa arus kepada hal-hal yang tidak baik, maka dengan adanya peranan masing-masing hendaknya orang tua saling melengkapi sehingga dapat membentuk keluarga yang utuh dan harmonis dan dapat menjalankan perintah agama dengan sebaik-baiknya. c.
Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak
Anak merupakan titipan (amanah) dari Allah SWT. Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci, sebagaiman sabda Rasulullah SAW :
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮد إﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻄﺮة ﻓﺄﺑﻮاﻩ ﻳﻬﻮداﻧﻪ أو ﻳﻨﺼﺮاﻧﻪ أو ﻳﻤﺠﺴﺎﻧﻪ آﻤﺎ ﺗﻨﺘﺞ اﻟﺒﻬﻴﻤﺔ ﺑﻬﻴﻤﺔ ﺟﻤﻌﺎء هﻞ ﺗﺤﺴﻮن ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﺪﻋﺎء “Setiap anak dilahirkan itu dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak menjadi yahudi, nasrani dan majusi”. (HR. Muslim). 13 Hadits di atas menyatakan orang tua merupakan pemeran utama dalam mendidik anak-anaknya. Secara kodrati bayi dilahirkan dalam keadaan suci, keluargalah yang membesarkannya menjadi baik atau buruk. Keluarga dan 12 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : logos wacana Ilmu, 1997), cet.Ke‐1, hal.115 13 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Al‐Musriyah: Al Maktabah Maktabuha, 1924), Juz 16, hal. 207
21
pendidikan dalam keluarga berpengaruh, bahkan dapat menghilangkan sifat-sifat khas yang diwarisinya. Yang dimaksud fitrah dalam hadits di atas ialah potensi yang dibawa oleh anak semenjak lahir. Orang tua dalam hal ini bertanggung jawab untuk selalu mengembangkan potensi tersebut agar lebih baik. Dalam konsep Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama terpeliharanya potensi tersebut. Para ahli pendidikan dan para ahli ilmu jiwa sepakat bahwa menanamkan pendidikan pada anak sejak dini (dalam rumah tangga) adalah masalah yang strategis. Kita ketahui bahwasannya pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama. Disini anak didik sepanjang waktu dan meliputi berbagai bidang kehidupan, seperti kesehatan, kebersihan, sopan santun pergaulan, disiplin pribadi, tanggung jawab, kerja sama, pengenalan kehidupan keagamaan dan lain sebagainnya. Hal ini akan mempunyai pengaruh yang sangat mendalam bagi pembentukan kepribadian anak dan watak kepribadiannya di masa yang akan datang, karenanya, suatu rumah tangga yang di dalamnya penuh dengan liputan kasih sayang dan suasana keislaman, maka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang wajar. Sedangkan dalam suatu rumah tangga yang di dalamnya telah terputus hubungan kasih sayang dan cinta, penuh dengan suasana muram, maka dari rumah tersebut akan tumbuh pribadi-pribadi yang tidak diinginkan. Mereka kelak akan menjadi beban bagi masyarakat dan orang-orang yang berada dalam rumah itu sendiri. Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari oleh kasih sayang yang tulus, menyebabkan anak-anaknya akan mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia yang pada umumnya ialah kegiatan yang bersifat individual, kegiatan social dan keagamaan. 14 Suasana keluarga yang baik sekurang-kurangnya harus ditunjang oleh 3 faktor antara lain: 15 1.
Keluarga dapat memberikan suasana emosional yang baik bagi anakanak, misalnya perasaan senang, aman, disayangi dan dilindungi.
14 Hasan Basri, Keluarga Sakinah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 1995) cet. Ke ‐2, hal.90 15 Drs. Hery Noer Aly, MA, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999) cet. Ke‐2, hal.212‐217
22
Suasana ini dapat tercipta apabila kehidupan rumah tangga diliputi suasana yang sama. 2.
Mengetahui dasar-dasar kependidikan terutama yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan mental anak. Lebih lanjut, orang tua juga bertanggung jawab pada tujuan dan isi pendidikan yang diberikan kepada anaknya.
3.
Bekerja sama dengan lembaga pendidikan dimana orang tua memberikan amanatnya dalam mendidik anaknya. Bentuk kerja sama ini antara lain menyangkut anak belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari lembaga pendidikan tersebut.
Berdasarkan pandangan di atas, Pendidikan Islam dalam kerangka tauhid harus melahirkan dua kemestian strategis sekaligus, yaitu: 1.
Menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah.
2.
Melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya.
Menurut Utami Munandar bahwa secara umum keluarga (orang tua) mempunyai tiga peranan terhadap anak, yaitu : 16 1.
Perawatan fisik anak, agar anak belajar tumbuh berkembang dengan sehat.
2.
Proses sosialisasi anak, agar anak menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
3.
Kesejahteraan psikologi dan emosional anak.
Segala sesuatu yang telah dilakukan oleh orang tua kepada anak merupakan pembinaan kebiasaan yang akan tumbuh menjadi tindakan moral di kemudian hari. Dengan kata lain, setiap pengalaman anak baik yang diterimannya melalui penglihatan, pendengaran dan perlakuan pada waktu kecil akan menjadi 16 Utami Munandar, Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Anatra, 1992), cet. Ke‐2, hal.174
23
kebiasaan yang akan tumbuh di kemudian hari. Karena itulah orang tua sangat penting dan besar pengaruhnya terhadap pendidikan anak. Dengan demikian, keluarga memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembentukan kepribadian anak yang tangguh. Oleh karena itu, di bawah ini akan dibahas secara rinci mengenai peranan masing-masing anggota keluarga dalam menyiapkan generasi yang berkepribadian tangguh. 1. Peranan Ayah Pria adalah pemimpin bagi kaum wanita. Ayah adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran :
☺ ⌧ ⌧
☺ ☺
☺ ⌧ ⌧ ⌧ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”. (QS.an-Nisa/4: 34)
24
Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, baik secara fiologis maupun psikologis maka suami yang mempunyai otoritas dan tegas untuk memimpin, membela dan melindungi keluarga. 17 Adapun peran seorang ayah dalam keluarga, Singgih dan Y. Singgih D. Gunarsa mengatakan antara lain : a.
Ayah sebagai pencari nafkah
b.
Ayah sebagai suami yang dapat memberikan rasa aman
c.
Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak
d.
Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan mengasihi keluarga. 18
2.
Peranan Ibu
Sebagaimana ayah, maka ibu pun mempunyai peranan yang sangat Sentral dan penting dalam keluarga. Dengan adanya peran serta dari seorang ibu, maka akan terciptalah keluarga yang bahagia. Adapun peranan ibu yang dimaksud antara lain : a.
Memenuhi kebutuhan fisiologis dan praktis
b.
Peranan ibu dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten’
c.
Peran
ibu
sebagai
pendidik
yang
mampu
mengatur
dan
mengendalikan anak. d.
Ibu sebagai contoh tauladan
e.
Ibu sebagai manajer yang bijaksana
f.
Ibu memberi rangsangan dan pelajaran
g.
Peran ibu sebagai istri
17 Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih Untuk Mewujudkan Keluarga Sejahtera, Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), cet.ke 30 18 Singgih D.Gunarsa dan Y D.Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1983), cet. Ke‐1, hal.54
25
Tugas dan tanggung jawab di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh suami istri dalam hal ini peranan ayah dan ibu dalam keluarga. Apabila kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka akan terciptalah keluarga yang harmonis dan bahagia.
25
BAB III KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilibatkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Solovey dari Harvard University of New Hampshire untuk menerangkan
kualitas-kualitas
emosional
yang
tampaknya
penting
bagi
keberhasilan. 1 Menurutnya kualitas-kualitas itu meliputi : empati, mengungkapkan dan memahami perasan, mengendalikan amarah, kemandirian, menyesuaikan diri, disukai,
kemampuan
menyelesaikan
masalah
antar
pribadi,
ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat. Menurut Bar-Ojn kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan keterampilan yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang
1
hal. 2
Tutu April A.Suseno, EQ Anak VS EQ Orang Tua, (Yogyakarta: Diglossia Printika, 2009),
26
dalam mengatasi tuntutan oleh tekanan lingkungan dan secara langsung memepengaruhi seluruh kesejahteraan psikologi individu. 2 Menurut Goleman Emotional Intelligence adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligen (to manage our emotional life with intelligence)
menjaga
keselarasan
emosi
dan
mengungkapkannya
(the
appropriatnesss emotion and its expression) melalui keterrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan social. 3 Dalam definisi Goleman yang lainnya, kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. 4 Kecerdasan emosi mencakup kemampuan yang berbeda-beda, tetapi saling melengkapi,
dengan
kecerdasan
akademik
(academic
intelligence),
yaitu
kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi tapi kecerdasan emosi rendah tidak banyak membantu. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. 5 Berikut ini akan dijabarkan mengenai keselarasan atau lebih popular dengan Ranah utama Goleman.
B. Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Goleman
1) Kesadaran Diri Orang dengan kecakapan ini : a.
Tahu emosi mana yang sedang mereka rasakan dan mengapa
2
Sri Lanawati, Hubungan antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis, (Jakarta, Universitas Indonesia,1999), hal.66 3 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama,2000), cet ke‐1, hal.53 4 Agus Nggermanto, Quantum Quotient, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2002), hal.98 5 Agus Nggermanto, Quantum Quotient,…………… hal.99
27
b.
Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang mereka pikirkan, perbuat, dan katakan
c.
Mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja
d.
Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan sasaransasaran mereka. 6 Menurut Richard kecakapan ini memusatkan perhatian, kesadaran tentang
adanya instrument ukur batiniah dan sinyal-sinyal samar yang menginformasikan perasaan sebagai pedoman untuk menuntun kerja. Instrumen tersebut biasa dikenal dengan intuisi yang bekerja di dalam logika bawah sadar. Intuisi berkaitan dengan kemampuan mengindra pesan-pesan dari gudang penyimpanan memori emosi kita tempat tersimpannya kebijaksanaan dan kearifan sendiri. Kemampuan ini terdapat di pusat kesadaran diri. Kesadaran diri menuntut seseorang untuk dapat mengenal, memahami kualitas, intensitas dan durasi emosi yang sedang berlangsung. Kesadaran akan intensitas emosi dapat member informasi sejauh mana individu dipengaruhi oleh kejadian itu. Intensitas emosi yang tinggi cenderung memotivasi individu untuk bereaksi dibandingkan intensitas emosi yang rendah. Sungguh sangat tidak beruntung bagi orang-orang yang rendah emosinya karena orang-orang ini tidak mengenali emosinya sendiri. Dengan kata lain mereka buta emosi, terhalang dari dunia realitas yang sangat penting untuk sukses dalam hidup secara keseluruhan, termasuk kerja. Apabila individu tidak mampu untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya, dia berada dalam kekuasaan perasaan. Karena itu, tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya akan berakibat buruk bagi pengambilan keputusan akan masalah. 7 Dengan demikian orang yang tidak mengenal emosinya sendiri maka yang lebih tampak dan lebih detail adalah dunia luar 6
Daniel Goleman, (Alih Bahasa: Alex Tri Kantjoro), Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003), cet ke‐5, hal.84‐342 7 Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati. (Jakarta, PT Elex Media Komputindo : 2009), hal. 6
28
dibandingkan dunia batiniahnya. Mereka juga susah membedakan emosi yang baik dan yang tidak, ini dikarenakan rentang emosi yang terbatas. Sebuah emosi sangat erat kaitannya dengan hati dimana di dalam hati sebuah perkara baik dan buruk dapat dibedakan secara nyata. Namun hati yang sesuai dengan fitrahlah yang dapat melakukan itu dan bukan hati yang buta. Ari Ginanjar Agustian menjelaskan untuk mendapatkan hati yang sesuai fitrah dengan cara : mengingat nama-nama Allah secara berulang-ulang, melalui ucapan, pikiran, dan hati sekaligus mampu mendorong pikiran menjadi suci dan bersih, sehingga membekas di hati. Ucapan Subhanallah (Maha Suci Allah) harus ditetapkan untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic Power”, yang akan menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk. 8
2)
Pengendalian Diri Pengendalian diri adalah kemampuan mengendalikan emosi sendiri dan
mengelola emosi agar dapat terungkap dengan selaras. Orang dengan kecakapan ini : a.
Mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-emosi yang menekan mereka. Perasaan seseorang dikatakan dikelola dengan baik, bila individu mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. 9
b.
Tetap teguh, tetap optimis, dan tidak goyah bahkan dalam situasi yang paling berat
c.
Berpikir dengan jernih dan tetap terfokus kendati dalam tertekan
8
Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga,2002), cet ke‐7, hal.46 9 Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) …………, ,hal. 7
29
Tujuan pengendalian emosi itu adalah keseimbangan dan keselarasan dalam mengungkapkan emosi.
3)
Motivasi Diri Motivasi diri adalah kemampuan untuk bertahan dan terus berusaha
menemukan banyak cara untuk mencapai tujuan. Orang yang memiliki motivasi diri cukup terampil dan fleksibel dalam menemukan cara alternatif agar sasaran tercapai atau mengubah sasaran jika sasaran tidak mungkin tercapai juga cukup mampu memecahkan tugas yang amat berat menjadi tugas kecil yang mudah dijalankan.10 Kecakapan motivasi seseorang diantaranya : a.
Dorongan Berprestasi : Dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan. Orang dengan kecakapan ini : 1)
Berorientasi kepada hasil, dengan semangat juang tinggi untuk meraih tujuan dan memenuhi standard
2)
Menetapkan sasaran yang menantang dan berani mengambil resiko yang telah dipenuhi
3)
Mencari
informasi
sebanyak-banyaknya
guna
mengurangi
ketidakpastian dan mencari cara yang lebih baik 4)
b.
Terus bekerja untuk meningkatkan kinerja mereka
Komitmen : setia pada visi dan sasaran perusahaan atau kelompok Orang dengan kecakapan ini : 1)
Siap berkorban demi pemenuhan sasaran perusahaan yang lebih penting
2)
Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar
10
Sri Lanawati, Hubungan antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis, (Jakarta, Universitas Indonesia,1999), hal.63
30
3)
Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan
4)
c.
Aktif mencari peluang guna memenuhi misi kelompok
Inisiatif dan Optimisme: kedua kecakapan kembar yang menggerakan orang untuk menangkap peluang dan membuat mereka menerima kegagalan dan rintangan sebagai awal keberhasilan. Orang dengan kecakapan inisiatif diantaranya: 1)
Siap memanfaatkan peluang
2)
Mengejar sasaran lebih daripada yang tidak prinsip bila perlu agar tugas dapat dilaksanakan
3)
Berani melanggar batas-batas atau aturan-aturan yang tidak prinsip bila perlu agar tugas dapat dilaksanakan
4)
Mengajak orang lain melakukan sesuatu yang tidak lazim dan bernuansa peluang.
Orang dengan kecakapan optimisme diantaranya: 1)
Tekun dalam mengejar sasaran kendati banyak halangan dan kegagalan
2)
Bekerja dengan harapan untuk sukses bukannya takut gagal.
3)
Memandang kegagalan atau kemunduran sebagai situasi yang dapat dikendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi.
4)
Empati Empati adalah kemampuan dalam membaca emosi orang lain, kemampuan
merasakan perasaan orang lain melalui keterampilan membaca pesan non-verbal : nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan sebagainya. 11 Wahana pikiran rasional 11
Daniel Goleman, (Alih Bahasa:T.Hermaya) Emotional Intelligence, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,1999), cet ke‐8, hal.136
31
adalah kata-kata, sedangkan wahana emosi adalah pesan non verbal. Orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal, menunjukkan lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul dan lebih peka. 5)
Keterampilan Sosial Keterampilan sosial adalah kemampuan menjalin hubungan dengan orang
lain, kemampuan membaca reaksi dan perasaan orang lain. Ada beberapa keterampilan social yang diungkapkan oleh Daniel Goleman : a.
Memiliki taktik untuk melakukan persuasi
b.
Mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan
c.
Kepemimpinan : membangkitkan insipirasi dan memandu kelompok dengan orang lain
d.
Manajemen konflik : negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
e.
Kolaborasi dan Kooperasi : kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama Keterampilan social juga sangat berpengaruh untuk menciptakan sebuah
keputusan suatu masalah dalam kelompok, sehingga keterampilan ini mutlak diperlukan guna mencapai mufakat.
C.
Ranah Kecerdasan Emosional Menurut Howard Gardner
Kecerdasan emosi menurut Howard Gardner terdiri dari dua kecakapan yaitu intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence. Kecerdasan
interpersonal
(interpersonal
intelligence)
terkait
dengan
kepandaian untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Kecerdasan ini menuntut seseorang untuk memahami, bekerja sama, dan berkomunikasi. Serta 11
Lauren Schmidt, Jalan Menuju 7 Kali Lebih Cerdas, (Bandung: Kaifa,2002), cet ke‐1, hal.36
32
memelihara hubungan baik dengan orang lain. 12 Sedangkan kecerdasan intrapersonal tidak cepat puas dengan hasil pekerjaan mereka. Mereka memiliki pengetahuan dengan dirinya, terutama kepekaan terhadap nilai, tujuan dan perasaan mereka. Sifatsifat tersebut membuat mereka mandiri, penuh percaya diri, punya tujuan, dan disiplin. 13 Seperti yang diajarkan Islam bila seseorang telah memahami dirinya sendiri dengan baik maka akan baik pula mengenal dan memahami orang lain yang berpangkal pada pengenalan Tuhan.
D.
Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan Howard Gardner; Sebuah Analisis
Perbandingan Kecerdasan Emosional Menurut Daniel Goleman dan Howard Gardner Ranah Daniel Goleman a. Kesadaran Diri (mengenal emosi dalam diri)
a. Interpersonal (mampu
b. Pengendalian Diri (sabar, teguh, optimis dan tidak goyah) c. Motivasi
Ranah Howard Gardner
Diri
(dorongan
berprestasi, komitmen, inisiatif
bekerja
Intelligence sama
dan
berkomunikasi) b. Intrapersonal
Intelligence
(mandiri, penuh percaya diri, punya tujuan dan disiplin)
dan optimisme) d. Empati e. Keterampilan Sosial
12 13
Lauren Schmidt, Jalan Menuju 7 Kali Lebih Cerdas, (Bandung: Kaifa,2002), cet ke‐1, hal.36 Lauren Schmidt, Jalan Menuju …………………..……., hal.37
33
Daniel Goleman lebih spesifik dan detail dalam membagi unsur-unsur kecerdasan emosional, akan tetapi ranah kesadaran diri, pengendalian diri dan motivasi diri bisa masuk ke ranah intrapersonal intelligence Howard Gardner. Sedangkan ranah empati dan keterampilan sosial Goleman bisa masuk ke ranah interpersonal intelligence Gardner. Sejauh pengamatan penulis, belum banyak dari kalangan ilmuwan muslim dan para ulama yang membahas tentang kecerdasan emosional, menurut definisi yang penulis buat, kecerdasan emosional menurut perspektif Islam adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau peka terhadap hati nuraninya atau sesuai kehendak fitrah. Sebagai contoh, pengendalian diri adalah suatu ranah kecerdasan emosional yang dibuat Goleman. Salah satu unsur pengendalian diri ialah sifat sabar, jika seseorang ditimpa musibah, pasti hati nurani selalu berkata “bersabarlah” atau jika kita melihat pengemis dengan pakaian lusuh meminta-minta kepada kita, pasti suara hati berkata “sedekahlah untuk pengemis itu”. Jika mampu mengikuti kehendak hati nurani, maka orang tersebut memiliki kecerdasan emosional. Hati nurani selalu mengajak manusia kepada kebenaran dan kebaikan, karena suara hati ialah petunjuk Tuhan yang dianugerahkan kepada setiap umat manusia
E.
Kecerdasan Emosional Melengkapi Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan dalam arti umum merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memahami dan menyadari terhadap apa yang dialaminya baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan. Dalam berpikir biasanya seorang individu mengalama berbagai hal terhadap apa yang dialaminya sehingga dia mampu untuk merangkai, merumuskan, membandingkan dan menganalogikan. 14 14
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) …………, ,hal. 3
34
Seorang yang dikatakan cerdas apabila ia dapat bereaksi secara logis dan mampu melakukan sesuatu yang berguna terhadap apa yang dialami lingkungannya. Sebelumnya para ahli perkembangan manusia menemukan kecerdasan yang sifatnya kognitif atau dikenal dengan istilah kecerdasan intelektual sebagai kecerdasan yang mutlak. Kecerdasan intelektual atau dikenal dengan IQ (Intelligence Quotient) ialah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan dengan menggunakan akal sehat sehingga dalam hal ini berhubungan dengan pemahaman seseorang. Karena itu, pada saat itu teori kesuksesan individu diukur dari sejauh mana IQ dimiliki seseorang. Bila individu memiliki IQ yang tinggi, ia pun memiliki harapan untuk sukses dibanding individu yang memiliki IQ rendah. Namun lambat laun teori itu menjadi perdebatan diantara ahli-ahli psikologi perkembangan. Pada kenyataanya, individu yang memiliki IQ tinggi tidak selalu sukses, malah sebaliknya, dimana individu yang memiliki IQ menengah bahkan rendah mampu meraih sukses dengan sempurna. Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa banyak anak-anak pintar dan cerdas di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, tapi mereka lebih mudah depresi, lebih cepat putus asa dan mudah marah.
Sepertinya, dalam kasus tersebut terdapat kejannggalan. Dan,
kejanggalan tersebut disikapi sepenuhnya oleh Daniel Goleman, yakni seorang ahli psikologi perkembangan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. 15 Goleman memaparkan beberapa hasil penelitiannya mengenai kecerdasan lain dalam kejiwaan manusia, dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence yang diterbitkannya pada tahun 1995. Ia mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu orang lain, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Beliau juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan 15
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ)………….., hal. 5
35
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang mampu menempatkan emosi secara tepat, memilah kepuasaan dan mengatur suasana hati. Lambat laun teori kecerdasan emosional inipun disempurnakan oleh ahli psikologi perkembangan tepatnya pada tahun 1999, yakni oleh Cooper dan Sawaf. Mereka berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energy dan pengaruh yang manusiawi. Di dalam kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain. Selain itu, mampu menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energy emosi dalam kehidupan sehari-hari. Di tahun yang sama, dua orang ahli perkembangan juga memiliki pendapat mengenai kecerdasan emosional. Dua orang ahli tersebut bernama Howes dan Herald. 16 Mereka juga berpendapat bahwa kecerdasan emosional komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi, bila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kecerdasan emosioanal menuntut manusia agar dapat mengembangkan kemampuan emosionalnya dan kemampuan sosialnya. Kemampuan emosional sendiri meliputi sadar akan keadaan emosi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan menyatakan perasaan kepada orang lain. Apabila ditinjau lebih dalam, ternyata terdapat tiga unsur yang pokok mengenai kecerdasan emosional, yakni mengenai kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial 16
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ)……………... hal 5
36
(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain). Ketiga unsur pokok inilah yang membentuk kecerdasan emosional secara utuh.
F.
Fungsi Emosi Sebagai Pengembangan Intelektual Menurut Amaryllia Puspasari, fungsi emosi sebagai pengembangan
intelektual diantaranya:
1.
Fungsi pengatur terhadap pertumbuhan jiwa. Emosi yang terlatih dapat mengembangkan tingkat kedewasaan seseorang,
dalam arti lain semakin kita mengerti pemahaman emosi kita semakin kita tahu cara pengendaliannya. 17 Anak yang dikembangkan dengan dilatih emosi secara intensif oleh orang tuanya tentu akan memahami arti emosi bagi dirinya dan orang lain. Anak tahu ketika ibunya senang, ia dapat meminta mainan kesukaanya tanpa perlu omelan panjang dan tidak memakan waktu lama. Tentunya, anak akan mengerti bahwa jangan meminta mainan kepada ibunya ketika ibunya sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Sang anak berpikir jangankan membeli mainan, bisa saja dia menjadi korban ibunya. Rasa empati tidak akan muncul dengan sendirinya. Anak yang diajarkan untuk berbagi dengan saudaranya baik dalam hal mainan maupun makanan, ia memiliki konsep konsep terhadap empati yang berbeda dengan anak yang di didik individualistic. Beberapa penelitian psikologi menunjukkan behwa anak tunggal umumnya memiliki kesulitan terhadap memahami arti berbagi dibandingkan dengan anak yang memiliki saudara, meskipun kadangkala mereka memiliki pencapaian akademis yang lebih baik. Langkah awal untuk mengajarkan anak agar bersikap lebih peduli adalah dengan menerima anak dengan kelebihan dan kekurangannya. Selain itu anak perlu diberikan contoh. Perlihatkan simpati orang tua pada perasaan anak maupun orang lain, untuk menumbuhkan rasa empati anak pada lingkungan 17
Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence Parenting, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009) hal.10
37
sekitarnya. Memberikan anak tanggung jawab yang ringan misalnya membereskan mainannya. Mengajak si kecil bersosialisasi juga dapat menumbuhkan sifat peduli. Dalam pergaulan, dia akan melihat pentingnya sikap berbagi dan saling memperhatikan orang lain. 18 Empati dapat berkembang dan membantu pembentukan intelektualitas. Keterbukaan seseorang akan banyak membantu orang tersebut dalam mengumpulkan pesan emosi yang sangat berguna dalam pembentukan kemampuan verbalnya. Anak yang memiliki empati tentu akan memiliki kemampuan mengorganisasikan bahasa dalam berkomunikasi kepada setiap orang.
2.
Memahami
dan
melakukan
anallisis
terhadap
emosi;
memperkaya
pengetahuan terhadap emosi. Emosi harus terus menerus dilatih untuk menjadi kaya. Seorang anak yang memiliki interaksi social yang tinggi dengan teman sebayanya, saudaranya maupun orangtuanya tentu akan memiliki pengetahuan emosi yang lebih kaya dibandingkan anak sebayanya yang memilki interaksi social lebih rendah. Kebiasaan seorang kakak menjahili adiknya adalah sebagian perilaku anak untuk mengendalikan emosi. Ia melihat kalau ia menunjukan mimik lucu pada wajahnya, adiknya akan tertawa, kalau ia berteriak-teriak disamping adiknya, adiknya akan menangis karena terkejut. Kalau ia mencubit pipi adiknya, adiknya akan menangis kesakitan. Respons yang berbeda yang ditimbulkan oleh adik mengenalkan arti emosi kepada sang kakak. Pengetahuan akan emosi akan membantu pengembangan intelektual, terutama dalam bidang studi yang berkaitan dengan adanya kausal (sebab akibat) seperti sejarah dan bahasa, juga akan membantu proses pemahaman logika sederhana. 19 18
Dyah Pitaloka, Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Buah Hati, (Yogyakarta: Lentera Media, 2009), hal. 102 19 Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence ………………. hal.12
38
3.
Emosi sebagai penunjang pola berpikir. Mungkin hanya beberapa orang yang menyadari bahwa emosi sangat
menunjang pola berpikir. Kecenderungan seorang anak dapat berpikir kreatif apabila berada di sekeliling orang yang menciptakan emosi positif seperti membuat dirinya senang, tenang dan bersemangat, pasti dipahami oleh seluruh orang tua. Sebaliknya dalam kondisi yang tidak menyenangkan, tentu seorang anak akan sulit berpikir. Kadang kala kesulitan seorang anak dalam mempelajari matematika lebih disebabkan adanya ketakutan yang berlebihan, akibatnya soal matematika yang mudah terlihat menjadi sulit untuk dikerjakan. Mengapa? Ternyata guru yang tegas dan keras serta tidak segan untuk menghukum lompat kodok kepada murid, menyebabkan seorang anak menjadi cemas dan tidak mampu menyerap maupun memahami pelajaran matematika yang diberikan. Namun, apakah terjadi kepada semua murid? Ternyata tidak, murid yang memiliki kecerdasan emosi yang cukup tinggi melihat bahwa tekanan tersebut merupakan salah satu tantangan untuk terus maju dan berkembang. 20 Anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kesempatan untuk mengembangkan pola berpikirnya menjadi lebih baik karena ia mengurangi tekanan maupun kecemasan yang disebabkan oleh pengaturan emosi yang tidak tepat dan berlebihan.
4.
Persepsi, penghargaan, dan ekspresi emosi. Ekspresi terbentuk dari emosi, pola asuh anak selalu melibatkan emosi.
Normalnya ketika orang tua melakukan kontak dengan anaknya selama proses pengasuhan maka orang tua membina keterikatan emosi. 21 Anak menyadari bahwa apabila dia menangis maka sang ibu akan mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi dengan wajah berusaha melindungi anaknya. Terbentuklah adanya persepsi emosi pada sang anak, bahwa ibunya menyayanginya dan melindunginya apabila 20 21
Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence ………………. hal.13 Amaryllia Puspasari, Emotional intelligence ………………. hal.14
39
anak merasa terancam dan tidak nyaman. Akhirnya dari ekspresi emosi yang orang tua timbulkan menimbulkan bentukan persepsi emosi pada seorang anak.
39
BAB IV
KETERKAITAN ANTARA KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
A. Keluarga sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga. 1 Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan 1
Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak”, dari www.blogspot.com, 1 Maret 2008
40
gaya hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap kedua orang tuanya terhadap agama dan guru agama khususnya. 2 Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk
mendidik,
mengasuh,
dan
mensosialisasikan
anak,
mengembangkan
kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”. Menurut pakar pendidikan, William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. 3 Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuankemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Hubungan orang tua sesama anak sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena dia mempunyai kesempatan yang cukup dan baik untuk bertumbuh dan berkembang. Tapi hubungan orang tua yang tidak serasi, banyak percekcokan dan perselisihan akan membawa anak kepada pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk, karena anak tidak mendapatkan suasana yang baik untuk berkembang, sebab selalu terganggu oleh suasana orang tuanya. 4 Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit 2
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang,2003), Cet.16, hal. 67 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ………………………. 4 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa ……………………………..…… hal. 67 3
41
bagi
institusi-institusi
lain
di
luar
keluarga
(termasuk
sekolah)
untuk
memperbaikinya. Dalam mendidik anak-anak, sekolah melanjutkan pendidikan anakanak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun di masyarakat. 5 Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
B. Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. 1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak. 2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan 5
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan (Teoretis dan Praktis), Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1995), cet.Ke‐8, hal.79
42
yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby, normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal. 6 3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya
sehingga
menjadi
anak
yang
gembira,
antusias
mengeksplorasi
lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
C. Pola Asuh Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lainlain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras
6
Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ……………………….
43
dengan lingkungannya. 7 Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Secara umum, Tutu April A.Suseno mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu : Pola asuh otoriter, pola asuh permisif , dan pola asuh otoritatif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Orang tua otoriter memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat dan menuntut agar peraturan-peraturan itu dipatuhi. Mereka yakin bahwa anak-anak harus “berada di tempat yang telah ditentukan” dan tidak boleh menyuarakan pendapatnya. Orang tua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal, tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak. Dalam bukunya, Raising a Responsible Child, Elizabeth Elis menulis, “Banyak penelitian menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang menerapkan keotoriteran dan pengawasan ketat tidak memperlihatkan pola yang berhasil. Anak-anak cenderung tidak bahagia, penyendiri dan sulit memercayai orang lain. Kadar harga dirinya paling rendah (dibanding anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak terlalu mengatur)”. 8 Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Orang tua permisif berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin, tapi cenderung sangat pasif ketika sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Orang tua permisif tidak begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, karena yakin bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya. Orang tua otoritatif, berbeda dengan orang tua otoriter maupun orang tua permisif, berusaha menyeimbangkan antara batas-batas yang jelas dan lingkungan rumah yang baik untuk tumbuh. Orang tua memberi bimbingan, tetapi tidak 7
Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ……………………….
8
hal. 16
Tutu April A.Suseno, EQ Orang Tua VS EQ Anak, (Yogyakarta:Diglossia Printika, 2009). Cet.1,
44
mengatur, mereka memberi penjelasan tentang yang mereka lakukan serta membolekan anak member masukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak-anaknya, tetapi menuntut mereka memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga, teman dan masyarakat. Ketergantungan dan sifat kekanak-kanakan tidak diberi tempat. Upaya untuk berprestasi mendapat dorongan dan pujian. 9 Dari setiap penelitian, orang tua otoritatif dianggap mempunyai gaya yang lebih mungkin menghasilkan anak-anak percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi, dan disukai banyak orang, yakni anak-anak dengan kecerdasan emosional berderajat tinggi. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang diterapkan oleh orang tua dari ciriciri masing-masing pola asuh tersebut, yaitu sebagai berikut : Pola asuh otoriter mempunyai ciri : a. Kekuasaan orangtua dominan b. Anak tidak diakui sebagai pribadi. c. Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat. d. Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh. Pola asuh demokratis mempunyai ciri : a. Ada kerjasama antara orangtua dan anak. b. Anak diakui sebagai pribadi. c. Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua. d. Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku. Pola asuh permisif mempunyai ciri : a. Dominasi pada anak. b. Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua. c. Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua. d. Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang. 10 9
Tutu April A.Suseno, EQ Orang Tua …………., hal. 16 Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ……………………….
10
45
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak oleh keluarga. Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang tua) dengan “si patuh” (anak). Ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah. Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam pendidikan karakter anak. Orangtua yang demokratis lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara, orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah., anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk
46
mengungkapkan
agresivitasnya
dalam
bentuk
tindakan-tindakan
merugikan.
Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan. Ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu : 1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik. 2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya. 3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan berkatakata kasar. 4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya. 5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini. 6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak. 11 Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, akan menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah. •
Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
•
Secara emosional tidak responsif, dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
•
Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
•
Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
11
Melly Latifah, “Peranan Keluarga Dalam ……………………….
47
•
Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
•
Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
•
Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
•
Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menjadikan orang tuannya sebagai teladan atau panutan. Anak akan lebih percaya kepada teman kelompoknya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
D. Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Pendidikan Anak-Anak
Keadaan tiap-tiap keluarga berlain-lainan satu sama lain. Ada keluarga yang kaya, ada keluarga yang kurang mampu. Ada keluarga yang besar (banyak anggota keluarganya), dan ada pula keluarga kecil. Ada keluarga yang selalu diliputi oleh suasana tenang dan tentram, ada juga yang selalu gaduh, bercekcok dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, keadaaan dalam keluarga yang bermacam-macam coraknya itu akan membawa pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap pendidikan anak-anak. 12 Dari kecil anak dipelihara dan dibesarkan oleh dan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga, baik yang berupa benda-benda dan orang-orang serta peraturan-peraturan dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga itu sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak-anak. Bagaimana cara 12
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan ……………….. hal.84
48
mendidik yang berlaku dalam keluarga itu, demikianlah cara anak itu mereaksi terhadap lingkungannya. Jika di dalam lingkungan keluarganya, misalnya anak itu sering ditertawakan dan diejek jika tidak berhasil melakukan sesuatu, maka dengan tidak sadar ia akan selalu berhati-hati tidak akan mencoba melakukan yang baru atau yang sukar. Ia akan menjadi orang yang selalu diliputi oleh keragu-raguan. Jika di dalam lingkungan keluarganya ia selalu dianggap dan dikatakan bahwa ia masih kecil dank karena itu belum dapat melakukan sesuatu, kemungkinan besar anak itu akan menjadi orang yang selalu merasa kecil, tidak berdaya, tidak sanggup mengerjakan sesuatu. Ia akan berkembang menjadi orang yang bersifat masa bodoh, tidak atau kurang mempunyai perasaan harga diri. Sebaliknya, jika anak itu dibesarkan dan dididik oleh orang tua atau lingkungan keluarga yang mengetahui akan kehendaknya dan berdasarkan kasih sayang kepadanya, ia akan tumbuh menjadi anak yang tenang dan mudah menyesuaikan diri terhadap orang tau dan anggota-anggota keluarga lainnya, serta terhadap teman-temannya. Wataknya akan berkembang dengan tidak mengalami kesulitan-kesulitan yang besar. Dalam kenyataan masih banyak kita dapati kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh anggota keluarga dalam mendidik anak-anaknya. Akibat umum yang timbul karena kesalahan-kesalahan pendidikan dalam lingkungan keluarga dapat disebut mempertebal perasaan harga-diri kurang pada anak-anak. 13 Maksudnya anak menjadi kurang percaya diri, merasa dirinya tidak dianggap dan merasa tidak bisa apa-apa. Mengingat buruknya akibat tersebut, dan tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan kita sekarang ini, maka perlu kiranya disini diberikan beberapa petunjuk untuk memberantas, atau sekurang-kurangnya mengurangi, perasaan kurang harga diri: 13
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan ……………….. hal.85
49
• Tidak melemahkan semangat anak dalam usahanya hendak berdiri sendiri. Dalam hal ini masih banyak orang tua yang selalu menganggap anaknya itu masih kecil, belum dapat berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga orang tua seringkali melarang anak-anaknya. Umpamanya, membawa piring atau gelas tidak boleh, takut kalau-kalau pecah; mengangkat adiknya tidak boleh, takut-takut kalau jatuh, dan sebagainya. • Tidak memalukan atau mengejek anak-anak di muka orang lain. Sangat disayangkan pendapat orang tua, bahkan juga gurunya, yang masih menganggap alat pendidikan yang salah ini sebagai satu-satunya cara mendidik yang dapat mendatangkan hasil. • Tidak terlalu membeda-bedakan dan berlaku “pilih kasih” terhadap anak-anak dalam keluarga, baik antara anak yang besar dan kecil maupun antara anak lakilaki dan anak perempuan. Berusaha agar dalam segala tingkah laku dan perbuatan orang tua menunjukkan cinta dan kasih sayang yang merata kepada mereka. • Tidak memanjakan anak, tetapi tidak baik pula jika orang tua tidak mempedulikan, sedikit juga kepada anak-anak. Seorang anak yang dimanjakan akan kurang rasa tanggung jawabnya, selalu bersandar dan minta pertolongan kepada orang lain, merasa diri tidak sanggup, dan sebagainya. Demikian pula anak yang tidak dipedulikan atau kurang terpelihara oleh orang tuanya, akan merasa bahwa dirinya itu rendah tak berharga, merasa diasingkan oleh orang lain, dan sebagainya. Akibatnya, ia akan berbuat sekehendak hatinya. 14
14
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan ……………….. hal.86
50
BAB V UPAYA-UPAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
A. Peran Orang Tua Peran orang tua untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak diantaranya: 1. Memberikan Keteladanan Yang Baik Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritualitas dan etos sosial anak. Para orang tua dituntut untuk memberikan keteladanan yang baik, sebab anak yang sedang tumbuh dan berkembang akan mengamati perilaku dan ucapan keduanya, serta akan bertanya-tanya tentang hal dari sebab tersebut. Seandainya perilaku dan ucapan orang tuanya baik, maka ia akan tumbuh baik pula, seperti yang dilakukan seorang anak yang bernama Abdullah bin
51
Abi Bakrah yang mengamati doa-doa yang dipanjatkan ayahnya, lalu menanyakan tentang doa tersebut, dan ayahnya menjawabnya. Dari Abdullah bin Abi Bakrah Rahimahullah berkata, saya berkata kepada ayahku, “Wahai ayah, saya mendengar engkau selalu berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dalam pendengaranku, Ya Tuhanku ampunilah aku dalam penglihatanku, dan tiada Tuhan kecuali Engkau” sebanyak tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pula pada waktu sore. Ayahnya menjawab, “wahai anakku, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa dengan doa tersebut, dan saya ingin mengikuti sunnahnya.” 1 Para orang tua dituntut untuk mempraktikkan perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya, baik berupa perilaku, amalan, atau hal-hal lainnya. Karena, anakanak mereka terus-menerus mengamati tindak-tanduk mereka, baik di waktu pagi dan sore hari, atau dalam setiap waktu. Maka, kemampuan anak untuk merespon orang tua (baik sadar ataupun tidak) adalah sangat besar, bahkan lebih besar dari yang kita duga biasanya, dan kita sering melihatnya sebagai sosok kecil yang tidak mengetahui dan tidak menyadari apapun. Teladan dalam pendidikan merupakan sarana yang paling berpengaruh dalam mempersiapkan anak secara moral dan membentuknya secara psikologis dan sosial. Ini disebabkan, seorang pendidik merupakan contoh yang paling tepat dalam pandangan anak sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan sebagai teladan yang paling baik di mata mereka. Ia akan meniru, baik secara perilaku atau moral, dengan sadar ataupun tidak. Lebih dari itu akan tercetak dalam jiwa dan perasaanya gambaran gurunya tersebut, dari sisi ucapan, perbuatan, perasaan dan sifat internalnya, baik disadari ataupun tidak. Dengan demikian, teladan merupakan faktor yang besar dalam memperbaiki anak, atau merusaknya. Jika seorang pengasuh atau pendidik itu memiliki akhlak yang baik, mulia, berani dan menjaga kehormatan dirinya, maka anak akan tumbuh 1
Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak, (Jakarta: Pustaka Al‐ Kautsar, 2006), Cet.2, hal. 15
52
dalam kejujuran, amanah, berakhlak mulia, berani dan menjaga dirinya. Sebaliknya apabila pendidik itu memiliki sifat pendusta, khianat, memutuskan silaturahim, pengecut dan hina, maka anak juga akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, memutuskan silaturahim, pengecut dan hina. Karena itu, para pendahulu kita telah memperhatikan hal ini dengan memilih sebaik-baik pengasuh/pendidik bagi anak-anak mereka. Umar bin Utbah menulis kepada pengasuh anaknya, “hendaknya langkah pertama dalam memperbaiki anakku adalah memperbaiki dirimu terlebih dahulu, karena mata mereka tergantung pada matamu, sehingga yang baik bagi mereka adalah apa yang engkau lakukan, sedangkan yang buruk bagi mereka adalah apa yang engkau tinggalkan.” 2 Sifat ini juga mutlak harus ada pada diri orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak, setelah itu baru para guru/pendidik di luar rumah. Sesungguhnya anak, meskipun kesiapannya terhadap kebaikan sangat besar, dan meskipun fitrahnya murni dan lurus, tetapi ia tidak akan mampu merespon prinsip-prinsip kebaikan dan dasar-dasar pendidikan yang utama selama ia tidak melihat orang tua atau pengasuhnya memiliki puncak dan nilai kebaikan, serta menjadi teladan yang tepat. Adalah hal yang mudah bagi setiap orang tua untuk membimbing anak dengan salah satu metode pendidikan. Tetapi, merupakan hal yang sulit bagi anak untuk merespon metode ini ketika ia melihat orang yang mendidik dan mengarahkannya tidak mereliasisasikan metode tersebut, dan tidak mempraktikkan dasar dan prinsip-prinsipnya. Karena itu, hindarilah kontradiksi antara ucapan dan perbuatan kita. Seandainya kita merenungi Al-Quran, niscaya akan mendapati di dalamnya sangat mengingkari segala sesuatu yang bertentangan antara perbuatan dan ucapannya, termasuk di dalamnya, para ayah, ibu, dan para pendidik lainnya, serta seluruh orang yang di pundaknya memikul tanggung jawab pendidikan. 2
Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi ……………, hal. 16
53
Allah SWT berfirman,
8Õµ R[k ¡e y % [JÊÆ " a1µ ÉA%Ê ±® IÎ `ÎÞá" I `k@µÉ )Þ % pÉy ²® [JÎ `ÎÞá" y % ÊÆ "
“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan?” (Ash-Shaf: 2-3).
Jika para orang tua meremehkan sholat dan tidak berusaha melaksanakan pada waktunya, bagaimana mungkin orang tua menuntut anak-anaknya untuk menjaga dan memperhatikan sholatnya ? Jika orang tua tidak bersikap jujur, tanggung jawab, dan lain-lain, bagaimana mungkin orang tua mencegah anak-anaknya dari berbohong dan meminta mereka untuk bersikap amanah. Ada ayah berkata kepada anaknya, “Katakanlah kepada si Fulan bahwa ayah tidak ada!” Secara tidak langsung, sang ayah telah mengajarkan kebohongan kepada anaknya. Pengalaman akan menancap di hati anak, sekuat apapun sang ayah menasihatinya tentang pentingnya bersikap jujur, tak akan meresap ke hati dan jiwa anak. Jadi, mata anak terhadap orang tua adalah bagaikan mikroskop, 3 dimana ia melihat sesuatu yang kecil dengan jelas. Orang tua mungkin pernah mengatakan kepada seseorang “dasar bodoh!”, ucapan orang tua ini akan tertanam di benak putraputri mereka dan terkadang para orang tua tidak menyadari hal itu, kecuali setelah melihatnya berkata “dasar bodoh!” kepada teman atau saudaranya dengan emosi. 3
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), cet II, hal.113
54
Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang orang berbohong kepada anakanak, walau dengan bercanda atau bermain-main. Dikhawatirkan anak akan mengentengkan sikap berbohong. Abdullah Ibn Amir berkata, “Rasulullah datang ke rumah kami dan ketika itu aku masih anak-anak. Kemudian aku hendak bergegas keluar rumah untuk bermain. Ibuku lantas berkata, ‘Wahai Abdullah kemarilah. Aku akan memberimu sesuatu!’ kemudian Rasulullah bertanya, ‘Apa yang akan engkau berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab, ‘Aku akan memberinya kurma.’ Rasulullah berkata, ‘Jika saja engkau tidak memberinya sesuatu, engkau akan dicatat telah berdusta!” (HR. Abu Daud dan Ahmad). Merokok adalah kebiasaan buruk yang tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Seberat apapun seseorang kecanduan rokok, pasti dia tidak akan rela anak-anaknya melakukan itu. Akan tetapi anak-anak akan meniru ayahnya. Paling tidak, dia akan menganggap lumrah kebiasaan itu. Maka ketika ia hendak mencobanya, tangannya tidak akan ragu lagi untuk menyentuh bungkus rokok. Yang lebih dahsyat lagi, rumah menjadi tempat yang nyaman untuk berbagai maksiat, film-film yang merusak akhlak, majalah-majalah porno, nyanyian-nyanyian murahan dan seterusnya. Anak-anak melihat berbagai pemandangan cabul melalui layar televisi dan para orang tua tidak peduli. Apakah orang tua mengharapkan anakanaknya akan tumbuh menjadi manusia yang konsisten, taat dan jauh dari keharaman, tapi mereka dididik dengan pemandangan seperti tersebut di atas ? seorang penyair berkata, “Jika kepala rumah tangga menabuh gendang, maka anggota keluarga akan menjadi penari.” 4 Jadi, para orang tua hendaknya mengetahui bahwa orang tua yang tidak menjadi teladan seperti orang yang menulis di atas air.5 Ia tidak akan melihat bekasnya, nasihatnya tidak berguna, arah-arahannya tidak akan dilaksanakan, perkataanya tidak didengar, dan dalam segalanya ia tidak akan dihormati. Anak-anak 4 5
Anas Ahmad Karzun, Anak Adalah Amanat, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), Cet. 1, hal. 59 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga……… hal.113
55
bagaikan bahan yang elastis. Jika bahan itu orang tua tempatkan di dalam cetakan sampai mengering dan bebentuk, maka orang tua akan mengalami kesulitan untuk mengembalikannya. Karena itu sebelum terlambat, pilihlah bentuk yang paling baik ketika mereka masih mudah dibentuk. Menurut Covey, kata-kata hanya memberi dampak sekitar 20 persen kepada anak. Sedangkan keteladanan memegang peran yang lebih efektif. Orang tua yang berkomitmen menjadi teladan kecerdasan emosi akan memancarkan radiasi emosi positif kepada lingkungan dan memudahkan bagi anak-anak untuk meningkatkan kecerdasan emosi. 6 Memberikan teladan yang baik dalam pandangan Islam merupakan metode pendidikan yang paling membekas pada anak didik. Ketika si anak menemukan kedua orang tua memiliki teladan yang baik dalam segala hal, maka ia telah meneguhkan prinsip-prinsip kebaikan yang membekas dalam jiwa anak. Ketika kedua orang tua menginginkan sang anak tumbuh dalam kejujuran, amanah, menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak diridhoi agama, kasih sayang, maka hendaklah kedua orang tua memberikan teladan yang baik. Tanpa memberikan teladan yang baik, pendidikan tidak akan berhasil dan nasihat tidak akan berpengaruh. 2. Membiasakan Anak Menentukan Perasaan Secara Tepat Orang tua sebaiknya mulai membiasakan anak untuk menentukan perasaannya sendiri. Orang tua bias memulainya ketika anak masih dini, yakni usia 2 tahun karena biasanya pada usia tersebut anak sudah dapat membedakan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. 7
6 7
hal. 48
Agus Nggermanto, Quantum Quotient, (Bandung: Penerbit Nuansa: 2002) hal. 106 Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati, (Jakarta: PT Gramedia, 2009),
56
Dalam hal ini peran orang tua sangat diperlukan sebab pada usia dini ia akan mencontoh segala perilaku orang tua. Mereka harus mengajarkan anak untuk mengungkapkan perasaan secara benar sehingga tidak terkesan negatif atau terdengar kasar. Misalnya, ketika orang tua dengan anak sedang berbelanja di supermarket, tiba-tiba sewaktu akan pulang turun hujan. Orang tua mengatakan, “Wah … menyebalkan kenapa juga harus hujan!” Bagaimana jika kalimat tersebut diganti, “Ternyata kita harus bersabar ya .. nak, untuk menunggu hujan reda.” Dengan kata yang kedua terlihat kalimatnya lebih santun. Itu karena pengungkapan perasaan kecewa, namun diungkapkan secara positif. 8 Dengan pengungkapan kalimat dari perasaan yang muncul dari diri anda secara tepat, anak juga akan belajar untuk mengungkapkan perasaanya secara tepat namun juga positif. Ajarkanlah anak untuk selalu mengungkapkan perasaan tanpa menilai kondisi atau situasi secara terburu-buru. Misalnya saja seorang anak mengeluh ketika diberi hadiah oleh pamannya, “Lho .. aku kan sudah punya mainan seperti ini, lagian lebih bagus mainanku.” Dari contoh tersebut, si anak langsung menilai tidak suka dengan hadiah dari pamannya karena sudah memiliki mainan yang sama dengan hadiah tersebut. Penilaian sesaat tersebut malah membuat ketidakenakan di lain pihak. Untuk itu, sebaiknya anak tersebut diajarkan bagaimana caranya berterima kasih serta mengungkapkan perasaanya tanpa menyinggung perasaan orang lain. Bagaimana jika ungkapan tersebut diganti dengan, “Terima kasih atas hadiahnya paman, kini aku punya dua mainan yang sama satu merah dan yang lain biru.” Perasaan tidak selalu positif atau menyenangkan sebab suatu saat perasaan yang muncul adalah perasaan yang kurang menyenangkan atau negatif. Orang tua dapat mengajarkan bagaimana anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat 8
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi……………., hal. 49
57
dengan berbagai kegiatan di antarannya mengenalkan warna, mengenalkan lagu dan musik, melukis dan menggambar, bercerita atau mendongeng. Dengan adanya kegiatan tersebut, kesadaran anak akan perasaan, tumbuh dan ia pun mampu mengekspresikan perasaan secara tepat dan positif. Jika anak tidak dilatih untuk mengungkapkan perasaannya secara tepat, maka setelah remaja dan beranjak dewasa akan terbiasa menyatakan emosinya dengan brutal, luapan kemarahan dan menyinggung perasaan orang lain. 3. Mengajarkan Anak Menyatakan Kebutuhan Emosinya Emosi yang tersalurkan dengan baik akan membawa energi yang positif bagi seseorang. Pokok bahasan kali ini berhubungan dengan bagaimana cara seseorang dalam menyikapi perasaannya. Seorang anak juga perlu diajarkan untuk menyatakan kebutuhan emosi atau menyikapi emosi yang ada di dalam dirinya. Hal ini dapat dimulai dari orang tua. Misalnya, sepulang dari perjalanan akhirnya pulang ke rumah. Dengan riang gembira anak menyambut kedatangan orang tua. Karena itu, orang tua dapat memeluk anaknya dan mengatakan, “Nak, ibu kangen banget..” Dengan demikian, anak akan mencontoh orang tua untuk menyatakan kebutuhan emosinya bila suatu saat dia juga mengalami kangen dengan orang lain. 9 Mengungkapkan kebutuhan emosi juga sama halnya dengan mengungkapkan pendapat pribadi. Seorang anak akan bebas mengungkapkan kebutuhan emosi apabila lingkungan mendukung. Seorang anak tidak akan segan-segan menceritakan apapun jika orang tua mau mendengarkan serta tidak memberikan sebuah ancaman. Bila anak ingin berbicara kepada orang tua, sementara orang tua sedang melakukan pekerjaan, sepert misalnya menyapu, hentikan pekerjaan itu barang sejenak. Kemudian perhatikkan anak sewaktu ia menceritakan sesuatu, dengan 9
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi……………., hal. 50
58
demikian ia akan merasa diperhatikan. Ia tidak akan merasa tertekan bila hendak menceritakan sesuatu kepada orang tua, baik itu pengalaman yang menyenangkan maupun sebaliknya. Bila anak mengungkapkan sesuatu hal yang kurang menyenangkan,sebaiknya orang tua jangan langsung memberikan penilaian. Namun, biarkanlah ia mengungkapkan semua hal yang tidak menyenangkan itu, baru kemudian ajaklah dia berdiskusi. Dengan diskusi, anak juga akan belajar memecahkan masalahnya sendiri. Tetapi terlalu membebaskan anak dalam mengungkapkan emosi dapat sangat memengaruhi pola pengasuhan terhadap karakteristik emosi anak tersebut. Dapat dikenali bahwa kebebasan yang berlebihan cenderung mendapatkan respon yang negative dan terlihat terlalu mengeksplorasi pola pengasuhan yang ada. Anak yang terlalu mudah untuk menangis apabila ditemukan adanya masalah yang mengganggu, atau mudah untuk marah dan memiliki kecenderungan untuk secara agresif mengungkapkan emosi yang dimilikinya. Terlalu terbukanya emosi anak dapat membuat adanya dugaan bahwa anak mencari perhatian, sebagai akibat dari kurangnya perrhatian yang didapatkan oleh anak tersebut yang merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua untuk memeberikan perhatian kepada anak. Poin utama yang dibutuhkan dalam pengendalian emosi dan pembatasan eksplorasi emosi yang muncul adalah agar anak lebih memerhatikan situasi dan kondisi yang tepat untuk menunjukkan emosi yang muncul. Amarah yang berlebihan ataupun rasa sedih yang terlalu diumbar dapat menyebabkan orang melihat sensitivitas emosi yang tinggi pada anak dan kadang kala orang di sekitar lingkungan anak melihat hal ini sebagai nilai lemah dan negatif dari anak yang kemudian akan membatasi lingkungan pergaulan dari anak itu sendiri. 10
10
Amaryllia Puspasari, Emotional Intelligent Parenting, (Jakarta: PT Gramedia, 2009) hal. 59
59
4. Menghormati Perasaan Orang Lain Seorang
anak
bebas
untuk
mengungkapkan
perasaannya
ataupun
mengungkapkan kebutuhan emosi. Namun, di lain sisi ia juga harus menghormati perasaan orang lain yang juga diungkapkan. Dalam hal ini, anak dapat diajarkan untuk menerima perbedaan yang ada. Orang tua dapat mengajarkan anak untuk menghormati perasaan orang lain dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bila anak mengatakan bahwa ia sudah capek untuk belajar, jangan paksa ia untuk kembali belajar. Biarkanlah ia untuk beristirahat beberapa saat, kemudian orang tua dapat melanjutkan kegiatan belajar bila anak sudah tidak capek lagi. Dengan demikian, ia pun merasa bahwa ungkapan perasaannya diperhatikan orang tua sehingga ia pun dapat belajar menerapkannya pada teman maupun orang lain. Sebagai orang tua, sebaiknya hindari pola asuh yang bersifat over protective dan otoriter. Sebab, semakin anak dikekang, kepekaannya dalam menghormati perasaan orang lain menjadi berkurang. Biarkanlah ia bebas mengutarakan isi hatinya kepada orang tua, kemudian lakukan diskusi dengan anak. Sebab, pola asuh demokratis akan membiasakan anak untuk peduli dengan perasaan orang lain. Bila anak mengutarakan suatu pendapat tanyakan alasannya, “Kenapa, Fido memilih baju merah ini?” Ajaklah ia untuk kritis memahami gejolak perasaanya sendiri, kemudian biarlah dia bebas mengutarakan pendapatnya. Jika anak dapat menjawab dengan alasan yang tepat, ia juga telah belajar bertanggung jawab atas pendapatnya. 11 5. Menunjukkan Empati dan Peduli Pada Orang Lain
11
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi ……………… hal. 52
60
Menurut J.Piaget seorang psikolog perkembangan anak, perkembngan egosentrisme anak umumnya dimulai pada anak usia 2-7 tahun, namun hal ini tergantung juga pada kematangan kognitif masing-masing anak dan tentu saja proses pembelajarannya yang berlangsung terus-menerus. 12 Sering kita jumpai anak-anak di sekitar kita yang cuek pada lingkungannya, sulit berempati dengan orang lain bahkan tidak peduli terhadap lingkungan. Sikap tidak peduli, umumnya dikarenakan balita masih berada pada masa egosentris yang memandang dirinya sebagai pusat dunia. Sehingga tak heran pada masa ini balita cenderung berpikir dari sudut pandang dan kepentingannya saja. Memang tak mudah mencetak anak yang punya rasa kepedulian yang tinggi. Suasana keluarga yang hangat dan saling peduli diantara anggota keluarga menjadi ajang belajar anak untuk meningkatkan sikap peduli kepada sekitarnya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, empati adalah kemampuan alam perasaan seseorang untuk menempatkan perasaan dirinya ke dalam alam perasaan orang lain sehingga dapat memahami pikiran, perasaan dan perilaku orang lain. Berikut
adalah
beberapa
upaya
yang
dilakukan
orang
tua
untuk
mengembangkan empati buah hatinya : a.
Memberi kasih sayang yang cukup pada buah hati.
b.
Memberi pengertian makna persahabatan pada buah hati.
c.
Selalu mendengarkan anak ketika berbicara kepada orang tua.
d.
Mengarahkan anak agar selalu memerhatikan keadaan orang lain, seperti membantu teman ketika kesusahan dan mengunjungi teman yang sakit.
e.
Mengajak anak untuk mendoakan orang lain yang sedang mengalami penderitaan.
12
Dyah Pitaloka, Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Sang Buah Hati, (Yogyakarta: Lentera Media, 2009) Cet. 1, hal.102
61
f.
Melibatkan anak untuk membantu pekerjaan orang tua. Misalnya, membantu ayah mencuci mobil, ataupun membantu ibu menyiapkan masakan.
g.
Mengajak anak untuk peduli akan kepentingan umum dan menjelaskan maksudnya, seperti menjaga kebersihan tempat umum dan membuang sampah pada tempatnya.
h.
Memberi contoh pada anak untuk melakukan perbuatan amal dan menjelaskan maksudnya, seperti memberi sedekah pada pengemis dan memberi pakaian pantas untuk korban bencana. 13
Tujuan yang dicapai dari mengembangkan empati pada anak adalah mengembangkan empati kognitif agar ia mampu melihat dari sudut pandang orang lain. Untuk usia anak-anak, biasanya ia terbatas memberikan empatinya dengan orang yang pernah dijumpai. Dengan demikian, dia akan peduli dengan sesama untuk sementara adalah teman sebaya, keluarga ataupun orang-orang dalam lingkup lingkungannya. Namun, pada perkembangannya nanti, kepedulian anak akan berkembang sesuai dengan kedewasaan dan pergaulannya. 6. Mengutamakan Hubungan Dengan Orang Lain Berilah pengertian kepada anak bahwa kita adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan. Seorang anak akan merasa bahwa ia bagian dari kehidupan sosial bila ia juga terlibat dalam hubungan social. Hubungan social sangat berpengaruh terhadap kematangan emosi anak. Bila anak terbiasa dalam berhubungan sosial, ia akan banyak mendapatkan pelajaran berharga untuk kematangan emosinya. Berbeda dengan anak yang jarang melakukan kontak dengan orang lain selain orang tua, emosinya akan labil. Dalam mengembangkan sosialisasi anak, orang tua dan orang dewasa lainnya merupakan guru yang penting bagi anak untuk belajar bagaimana dia dapat berhubungan dengan teman-temanya. Jika orang tua adalah tipe pemalu atau kurang 13
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) ……………………hal. 53
62
peka dengan aturan social, kemungkinan anak pun akan berkembang menjadi individu yang demikian. 14 Disadari atau tidak, orang tua memengaruhi cara anak berteman. Jika seorang anak dapat menjalin hubungan dengan orang lain, ia akan merasa bahagia. Kebahagiaan dalam berhubungan sosial dapat memicu perkembangan kepribadian dan emosi anak. Seorang anak akan belajar banyak hal dari hubungan dengan orang tua, teman, maupun orang lain. Ia akan belajar untuk menghargai, mengungkapkan perasaan, rasa empati, bahkan mengelola emosi saat berhubungan sosial. Orang tua dapat membiasakan anak untuk memberikan salam pada orang lain yang berkenalan dengannya, misalnya dengan mengucapkan nama ketika berjabat tangan. Dengan demikian, anak akan belajar kesopanan ketika berkenalan dengan orang yang masih asing. Pada usia dini, biasanya, anak masih terlalu mementingkan diri sendiri. Namun tidak menutup kemungkinan bila orang tua mengajarkan bagaimana caranya untuk berbagi dengan orang lain. Orang tua dapat mengajarkan bagaimana bertindak adil, misalnya dengan pembagian kue sama besar dan panjang pada anak-anak, ketika makan bersama. Dengan demkian, ia pun termotivasi untuk menunjukkan kerelaannya pada orang lain untuk berbagi. Dalam berhubungan sosial, kadang ditemukan kebuntuan ataupun penolakan. Siapapun tentu tidak mengiginkan tragedi itu terjadi. Namun, kadang hal itu tak dapat dihindari. Bagi seorang anak biasanya penolakan dalam berhubungan social merupakan hal yang ditakuti. Misalnya saja, tiba-tiba sekelompok anak melarang seorang anak lain untuk main bersama. Biasanya anak yang ditolak dalam kelompoknya akan merasa kecewa. Tetapi sebenarnya dapat disikapi jika anak 14
Indra Soefandi dan Ahmad Pramudya, Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak, (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2009), hal. 102
63
memiliki kerelaan untuk menerima apapun kondisinya. Ajaklah anak untuk selalu merefleksikan kondisi penolakan tersebut, kemudian besarkan hatinya. “Kenapa adik sedih ? Adik kan bisa main dengan kakak di rumah bila teman-teman tidak mau bermain.” Dengan adanya kekecewaan karena penolakan kelompok, sebenarnya anak sedang belajar mengenai kehidupan social sebab tidak selamanya hidup itu menyenangkan. Namun, ketegaran menghadapi apapun juga mesti dipupuk sejak dini ketika ia masih anak-anak. 15 Orang tua jangan segan-segan untuk menunjukkan perasaan ketika anak berprestasi. Misalnya dengan memberi pujian dan menunjukkan rasa bangga ketika anak meraih prestasi yang gemilang atau memuji anak yang sudah bisa mandiri dalam melakukan beberapa hal. 7. Menggunakan “Rasa” Ketika Akan Mengambil Keputusan Dalam mengambil keputusan kadang seorang anak masih cenderung spontan tanpa harus dia renungkan terlebih dahulu. Akibat dari pengambilan keputusan yang salah menimbulkan kekecewaan bagi diri anak. Untuk anak-anak yang lebih dewasa, yakni usia 5 tahun ke atas, biasannya mereka sudah mampu mengolah rasa untuk mengambil keputusan. Namun, untuk anak yang di bawah umur 5 tahun, sering kali mereka mengambil keputusan tanpa pertimbangan. Misalnya saja, ketika seorang ibu menawarkan minuman kepada anaknya dengan menanyakan, “Ahmad mau minum susu apa teh?” Tanpa berpikir panjang Ahmad menjawab, “Teh!” Ketika ibunya menyodorkan minuman teh, Ahmad menolak. Ternyata yang ia inginkan adalah minum susu. Jika anak masih bingung menentukan pilihannya, ajaklah anak untuk ke dapur, untuk melihat macam
15
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) ……………………hal. 55
64
minuman yang dimaksud. Dengan demikian, ia tidak salah lagi menentukan pilihannya. 16 Pengambilan keputusan anak ini berhubungan dengan hati nuraninya. Bila anak merasa senang melakukannya, ia akan mengambil keputusan itu. Tetapi, bila ia tidak menyukainnya, ia tidak akan melakukannya. Walau demikian sebaiknya orang tua mengajarkan bagaimana anak mengolah rasa dalam mengambil keputusan. Cobalah untuk mengajarkan anak budi pekerti. Orang tua dapat menanamkan budi pekerti melalui cerita ataupun larangan serta alasan atas larangan tersebut. Orang tua boleh melarang anak untuk tidak bermain di terik matahari terlalu lama, namun sebutkan alasan yang tepat sehingga anak juga tahu alasannya. Dengan demikian, anak pun dapat mengembangkan perasaannya berdasarkan hati nuraninya untuk mengambil keputusan dengan baik.
B. Peran Lingkungan Keluarga Peran lingkungan keluarga untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak diantaranya: 1. Suasana yang baik dalam lingkungan keluarga Hal ini terutama bergantung pada bapak dan ibu sebagai pengatur keluarga. Dasar dari pendidikan keluarga ialah perasaan cinta mencintai. Orang tua agar selalu berusaha agar di dalam lingkungan keluarga selalu terdapat tolong menolong, kasih sayang antara anggota-anggota keluarga, dan harus diliputi suasana kegembiraan dan ketentraman. Perlu diingatkan di sini bahwa kesenangan dan ketentraman keluarga itu tidak hanya bergantung kepada banyak sedikitnya harta benda yang dipunyai atau yang 16
Al.Tridhonanto, Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) ……………………hal. 58
65
dapat diusahakan oleh keluarga itu. Di dalam suatu keluarga yang baik selalu akan terdapat kejujuran, kesetiaan, keteguhan hati, kesabaran, kerajinan, kerapian, dan kebersihan di antara anggota-anggota keluarganya. 2. Tiap-tiap anggota keluarga belajar berpegang pada hak dan tugas kewajiban masing-masing Hal ini terutama menurut kedudukan dan umurnya masing-masing. Tidak mungkin seorang anak kecil akan sama hak maupun kewajibannya dengan anak yang sudah besar. Orang tua harus berusaha agar anak-anaknya sedikit demi sedikit secara berangsur-angsur tahu akan kewajibnnya sebagai anggota keluarga. Untuk itu, anakanak perlu dibiasakan melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mengenakan pakaian sendiri, mandi, tidur, makan pada waktunya, mengasuh adik, membantu ibu dan ayah, pekerjaan membereskan dan mengatur kebersihan rumah tangga. Jika tiap-tiap anggota keluarga sudah tahu dan menjalankan tugas kewajibannya masing-masing menurut aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga itu, akan terciptalah ketertiban dan kesenangan serta ketentraman dalam keluarga itu. 17 3. Orang tua serta orang dewasa lainnya dalam keluarga mengetahui tabiat dan watak anak-anak Hal ini mudah diusahakan karena orang-orang tualah yang setiap hari bergaul dan bermain dengan anak-anaknya. Dari pergaulan dan dari ikut serta bermain dengan anak-anak, orang tua dapat mengetahui bagaimana sifat-sifat dan tabiat anaknya masing-masing. Pengetahuan ini sungguh merupakan harta yang tak ternilai harganya untuk mendidik anak kea rah kedewasaan. Seorang pendidik akan dapat lebih berhasil usahannya jika ia dapat mengetahui siapa dia. 17
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan (Teoritis dan Praktis), Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1995), cet.Ke‐8, h.87
66
Lagi pula, adanya pengetahuan orang tua tentang watak anak-anaknya dan adanya saling mengetahui tabiat masing-masing akan dapat menghindarkan perselisihan dan mendatangkan kerukunan serta ketentraman dalam keluarga. 4. Menghindari segala sesuatu yang dapat merusak pertumbuhan jiwa anakanak Orang tua dan anggota keluarga lainnya tidak mengejek atau mengecilkan hati anak-anak Karena ada ungkapan ”Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyayangi diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”.
18
Orang tua
harus membesarkan hati anak-anak dalam segala usahannya yang baik. Beri anakanak pujian, anjurkan kepada mereka bahwa apa yang dapat dikerjakan orang lain, dia pun dapat mengerjakannya. Orang tua jangan selalu melarang atau menegur jika memang tidak perlu. Lebih bijaksana jika larangan-larangan itu diganti dengan suruhan. Sebagai contoh, jangan mengatakan: “Jangan bermain-main dengan pisau, nanti teriris jarimu!” Lebih baik jika orang tua katakan: “Tolonglah Nak, simpankan pisau itu di atas meja, tentu kamu pandai menyimpannya, bukan?” dan sebagainya. 19 Demikian pula, orang tua tidak boleh menggunakan hukuman itu sebagai alat pendidikan satu-satunya. Anak-anak yang sering mendapat hukuman akhirnya bahkan akan kebal terhadap hukuman itu, dan tidak akan menjadi anak yang patuh dan 18
H.A. Fulex Bisri, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, (Mujahid Grafis: Bandung, 2004),
19
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan ………………………………….., hal.87
hal. 5
67
menurut, tetapi bahkan sebaliknya. Orang tua harus hemat dalam memberi hukuman dan teguran atau larangan. 5. Membiarkan anak-anak bergaul dengan teman-temanya di luar lingkungan keluarga. Masih ada beberapa orang tua yang merasa khawatir anak-anaknya akan mendapat pengaruh buruk dari teman-temannya. Ini sungguh keliru. Anak-anak adalah calon manusia dewasa yang akan hidup dalam masyarakat yang bermacammacam corak ragamnya. Pergaulan dengan teman-teman sebaya pertumbuhan jiwa anak-anak, terutama pertumbuhan perasaan sosialnya dan pertumbuhan wataknya.20 Orang tua tidak boleh mengurung anak-anak di lingkungan rumah sendiri saja. Memberi kesempatan anak-anak bermain dengan teman-temannya ialah hal yang harus diprioritaskan orang tua. Jika sampai waktunya, masukkan anak-anak ke sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar. Karena di sekolah, anak-anak akan mendapatkan pengalaman sosial yang lebih banyak.
20
M.Ngalim Poerwanto, Ilmu Pendidikan ………………………………….., hal.88
68
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapatlah penulis simpulkan sebagai berikut: Keluarga mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak, karena keluarga merupakan wahana untuk mendidik, mengasuh dan
mensosialisasikan
anak.
Peran
lingkungan
keluarga
di
dalam
mengembangkan dan mendidik aspek emosional anak diantaranya: Menciptakan suasana yang baik dalam lingkungan keluarga, setiap anggota keluarga melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing, menghindari segala sesuatu yang dapat merusak pertumbuhan jiwa anak, misalnya saling mengejek sesama anggota keluarga dan memberi kesempatan kepada anak untuk bergaul dengan teman-temannya di luar lingkungan keluarga. B. Saran-saran 1. Kepada para orang tua, hendaklah memberikan keteladanan yang baik, mendidik dan mengajarkan pendidikan agama sejak dini dengan kasih sayang dan persahabatan. Seperti ungkapan yang telah penulis paparkan sebelumnya,
69
”Jika anak dibesarkan dengan celaan, dia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, dia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyayangi diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.” 2. kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat hendaklah lebih dekat dengan kehidupan anak-anak dan ikut berpartisipasi pada kegiatan anak-anak. Para tokoh agama hendaknya menyampaikan kisah-kisah moral islami, agar anak bisa mengerti tentang akhlak dan moral nabi, sahabat-sahabat nabi dan para ulama terdahulu yang sudah teruji akhlaknya, sehingga anak-anak bisa mencontoh sifat dan perilaku mereka. 3. Kepada guru dan para pendidik, hendaknya mencintai anak-anak muridnya, ilmu yang menjadi spesifikasinya dan profesinya. Kondisi mental anak-anak tergantung dari kecintaan guru terhadap mereka dan profesinya, semakin besar kecintaan itu maka semakin baik kondisi mental dan emosional murid. Para guru juga harus menggunakan strategi dan metode mengajar yang bervariasi agar anak-anak murid merasa senang dan tidak stres ketika proses belajarmengajar. Keteladanan yang baik juga harus diberikan guru kepada murid, karena pendidikan yang efektif ialah dengan teladan dibanding dengan katakata.
DAFTAR PUSTAKA
A.Suseno Tutu April, EQ Orang Tua VS EQ Anak. Yogyakarta:Diglossia Printika, 2009.
Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga,2002
Ahmad Karzun, Anas, Anak Adalah Amanat. Jakarta: Qisthi Press, 2006
Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik. Al-Huda : Jakarta,2006.
Amini, Ibrahim, Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Quran dan Sunnah. Jakarta : Lentera, 1996.
Bisri, H.A. Fulex, Ketika Orang Tua Tak Lagi Dihormati, Mujahid Grafis: Bandung, 2004.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang,2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.Bina Pustaka,1988.
E.Shapiro, Lawrence, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Goleman, Daniel Alih Bahasa: Alex Tri Kantjoro, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003
Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional. Jakarta:Pt Gramedia Pustaka Utama,2000
Goleman, Daniel, Working With Emotional Intelligence. New York : Bantam Books,1999
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta,2006.
Indra Soefandi dan Ahmad Pramoedya, Strategi megembangkan Potensi Kecerdasan Anak. Bee Media Indonesia, Jakarta: 2009
Jalaludin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994
Lanawati, Sri, Hubungan antara EI dan IQ Dengan Prestasi Belajar, Tesis. Jakarta, Universitas Indonesia,1999
Latifah, Melly “Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak”, dari www.blogspot.com, 1 Maret 2008
Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Menggapai Kebahagiaan Berumah Tangga. Yogyakarta: Al-Husna Press, 1994.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: logos wacana Ilmu, 1997
Nggermanto, Agus, Quantum Quotient. Bandung: Penerbit Nuansa: 2002
Notowidegdo, Rohiman, Ilmu Sosial Dasar. Jakarta : Pustaka Anta, 1992.
Pitaloka, Dyah, Melejitkan Kecerdasan Intelektual&Emosional Sang Buah Hati. Yogyakarta: Lentera Media, 2009.
Poerwanto, M.Ngalim, Ilmu Pendidikan (Teoritis dan Praktis). Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1995.
Puspasari, Amaryllia, Emotional Intelligent Parenting. Jakarta: PT Gramedia, 2009.
R.Subekti,
al-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : PT.Pradnya
Paramita, 1990
Rasyid Dimas, Muhammad, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa&Akal Anak. Pustaka AlKautsar : Jakarta,2006
Schmidt, Lauren, Jalan Menuju 7 Kali Lebih Cerdas., Bandung: Kaifa,2002
Soelaeman, M.I., Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: CV.Alpabeta,1994
. Subri, Alisuf, Ilmu Pendidikan. CV Pedoman Ilmu Jaya : Jakarta,1999.
Tridhonanto, Al., Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) Buah Hati. Jakarta: PT Gramedia, 2009
Usman, Ahmad, Petunjuk Membina Keluarga Bahagia. Semarang : CV.Toha Putra, 1976