KECAMBAH SEBAGAI ALAT DETEKSI KEBUNTINGAN PADA INDUK SAPI
Wahyuningsih
JURUSAN PENYULUHAN PETERNAKAN SEKOLAH TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN BOGOR
2014
0
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuidaya perkecambahan biji yang direndam dalam urin induk sapi diduga buntingserta nilai sensitivitas dan spesifisitas ujinya. Dalam penelitian ini terpilih biji Kacang Hijau sebagai pendeteksi kebuntingan sapi. Sebanyak 15 butir biji Kacang Hijau direndam dengan air selama 1,5 jam sebelum digunakan. Sampel urin diencerkan dengan aquadest, dengan perbandingan 1:4; 1:10; dan 1:14. Pengamatan dilakukan pada hari ke-2 dan ke-5 setelah hari perendaman. Peubah yang diamati adalahj umlah biji yang berkecambah dan panjang tunasnya. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pengenceran urin dengan perbandingan 1:4 memberikan hasil yang paling baik dengan waktu pengamatan 2 hari. Biji Kacang Hijau yang direndam dalam pengenceran 1:4 pada induk bunting kurang dari 3 bulan hanya membengkak, sedangkan dari induk tidak bunting dan induk bunting lebih dari 3 bulan tetap mampu berkecambah dan bertunas. Sensitivitas uji 57,3% dengan spesifitas uji 63,0%.
Kata kunci: Urin sapi, Kacang Hijau, pengenceran
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2DS) memerlukan percepatan peningkatan populasi sapi potong secara nasional melalui peningkatan jumlah kelahiran pedet dan bibit calon induk sapi dalam jumlah besar. Ketersediaan bibit dalam kualitas dan kuantitas yang cukup dapat mendorong peningkatan produktivitas. Kegagalan dalam pembentukan bibit dapat menghambat pencapaian target produksi, kehilangan waktu dan biaya, terutama pada usaha ternak sapi potong yang membutuhkan jangka waktu panjang (Dirjen Peternakan, 2008). Keberhasilan P2DS tidak terlepas dari keterampilan peternak dalam melakukan budidaya pada ternaknya. Salah satunya adalah kemampuan induk untuk melahirkan satu ekor pedet per tahun. Bunting atau tidaknya induk ditandai dengan tidak kembalinya birahi. Deteksi dini kebuntingan sangat penting bagi keberhasilan program reproduksi yang diterapkan. Deteksi
kebuntingan biasanya dilakukan
oleh petugas
pemeriksa
kebuntingan. Peternak jarang melakukan deteksi sendiri karena caranya yang rumit (melalui palpasi rektal) dan memerlukan pelatihan yang panjang dengan biaya yang relatif mahal. Petugas pemeriksa kebuntingan jumlahnya masih terbatas, sehingga tidak semua ternak betina yang diduga bunting mendapatkan pelayanan pemeriksaan dengan cepat. Peternak rata-rata mengetahui ternaknya bunting apabila ternak tersebut tidak birahi pada siklus birahi berikutnya. Sebuah teknik yang dapat diandalkan untuk deteksi dini kebuntingan akan memudahkan
2
peternak mengambil langkah lanjutan untuk ternak induknya. Dengan diketahuinya status kebuntingan induk dalam waktu yang lebih cepat dan akurat, peternak dapat mengambil tindakan lanjutan, misal menyesuaikan pakan apabila induk bunting atau menjual ternaknya apabila tidak terdekteksi kebuntingan akibat infertilitas, sehingga peternak tidak akan mengalami kerugian yang besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan (Istiana, 2011). Metoda deteksi kebuntingan telah berkembang dengan pesat, diantaranya ultrasonografi, uji hormon, dan radiografi. diperoleh dari metoda tersebut sangat akurat, namun peralatan
yang
cukup
mahal
dan
tenaga
yang
Hasil yang membutuhkan terdidik
untuk
mengoperasikannya, sehingga tidak terjangkau dan tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan peternak. Dengan demikian dibutuhkan suatu metoda deteksi kebuntingan yang dapat dilakukan sendiri oleh peternak, sederhana teknologinya, murah harganya, dan akurat hasilnya. Deteksi kebuntingan pada ternak ruminansia dengan memanfaatkan kecambah di India sudah banyak diadopsi oleh peternak. Metode ini disebut metoda punyakoti. Metode ini dikembangkan oleh Veena (1997) di sebuah veterinary college di Bangalore India. Metode ini menggunakan biji tanaman yang direndam dalam urin sapi yang diduga bunting. Menurut penelitinya metode ini cukup sederhana sehingga bisa dilakukan oleh peternak sendiri, murah biayanya, dan akurat hasilnya, walaupun memakan waktu yang agak lama. Di India, metode ini memanfaatkan biji gandum yang direndam dalam urin sapi yang diduga bunting, dengan
3
kriteria jika biji gandum tumbuh dalam 5 hari maka induk sapi tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya. Uji ini tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih. Peternak yang ada di daerah terpencil, yang akses terhadap
petugas
pemeriksa
kebuntingan
begitu
terbatas,
bisa
memanfaatkan metode ini untuk mendiagnosis kebuntingan ternaknya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian “Kecambah sebagai alat deteksi kebuntingan pada induk sapi”. Perumusan Masalah Deteksi membutuhkan
kebuntingan
dengan
tenaga
dalam
ahli
cara
palpasi
pelaksanaannya
rektal/abdomen dan
memiliki
kelemahan, yaitu terjadinya abortus jika pelaksanaannya tidak tepat. Deteksi kebuntingan secara hormonal dan ultrasonografi, membutuhkan tenaga ahli, biaya dan peralatan yang berharga mahal, sehingga tak terjangkau oleh peternak kebanyakan. Untuk itu, pada penelitian ini ingin mendapatkan jawaban dari metode Punyakoti, yaitu: 1. Biji tanaman apakah yang tahan direndam dalam larutan urin sapi selama 5 hari? 2. Seperti apakah pola perkecambahan biji terpilih yang direndam dalam urin induk sapi bunting? 3. Apakah biji yang terpilih cukup sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnosa kebuntingan induk sapi?
4
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan biji tanaman yang mampu berkecambah dalam 5 hari di dalam larutan urin sapi. 2. Melihat
pengaruh
urin
induk
bunting
terhadap
daya
perkecambahan biji. 3. Menentukan nilai sensitivitas dan spesifisitas uji.
Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Peternak mampu melakukan deteksi kebuntingan pada ternaknya sendiri. 2. Peternak mendapatkan kepastian akan hasil yang diperoleh dari usahatani yang dilakukan. 3. Peternak mampu merancang perbaikan manajemen reproduksi dan pemeliharaan induk.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah dalam bidang ilmu peternakan. Yaitu tentang cara/metode yang murah dan mudah dilaksanakan
oleh
petani
untuk
mendeteksi
kebuntingan
ternak
Ruminansia secara dini yang dikenal dengan metode “Punyakoti”
5
TINJAUAN PUSTAKA Perkawinan yang tepat pada ternak sapi, baik melalui inseminasi buatan (IB) maupun kawin alam, diharapkan dapat meningkatkan jumlah kelahiran pedet dan jumlah calon induk. Untuk mendukung peningkatan jumlah populasi tersebut, terutama pada usaha peternakan rakyat, diperlukan suatu teknologi tepat guna spesifik lokasi yang sesuai dengan kondisi agroekosistem dan kebutuhan pengguna yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak (Affandy, Dikman dan Aryogi 2007).
Kunci dari keberhasilan manajemen
perkawinan adalah deteksi birahi, waktu perkawinan yang tepat baik melalui IB maupun kawin alam, deteksi kebuntingan, komposisi dan jumlah pakan yang tepat, waktu kelahiran dan lepas sapih. Pengaturan siklus birahi pada ternak merupakan upaya peternak didalam mengelola reproduksi ternak yang dipelihara agar memiliki penampilan reproduksi yang lebih efisien. Selain pengaturan birahi yang baik
maka
untuk
selanjutnya
peternak
harus
dapat
mendeteksi
kebuntingan, karena ketepatan penentuan bunting merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam mencapai tingkat keberhasilan reproduksi yang optimal. Deteksi Kebuntingan Kebuntingan merupakan keberhasilan yang sangat penting dari pelaksanaan perkawinan, diharapkan berlanjut kepada berhasilkan melahirkan pedet.
Deteksi kebuntingan dini pada ternak ruminansia
6
menjadi penting bagi keberhasilan sebuah manajemen reproduksi sebagaimana ditinjau dari segi ekonomi (Lestari 2006).
Mengetahui
kepastian bahwa ternaknya bunting atau tidak, akan menjadi dasar bagi keputusan dari sebuah tindakan budidaya yang harus dilakukan oleh peternak. Pemilihan
metoda
deteksi
tergantung
pada
spesies,
kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa.
umur
Menurut
Jainudeen dan Hafez (2000) diagnosa kebuntingan dini diperlukan untuk: 1) Mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat. 2) Pertimbangan apabila ternak harus dijual atau di culling. 3) Menekan biaya pada breeding program yang menggunakan teknik hormonal yang mahal. 4) Membantu manajemen ternak yang ekonomis. Metode Klinis pada Diagnosa Kebuntingan Metoda klinis tergantung deteksi pada konseptus-fetus, membran fetus dan cairan fetus. Metoda ini meliputi eksplorasi rektal dan teknik ultrasonografi. Radiografi sebagai metoda diagnosa kebuntingan pada domba, kambing dan babi saat ini sudah harus ditinggalkan karena adanya bahaya radiasi bagi operatornya. Eksplorasi Rektal Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya
7
adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus. Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi menyebabkan eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur et al. 1996). Untuk mampu mendeteksi kebuntingan dengan cara eksplorasi rektal dibutuhkan pengalaman dan latihan bagi petugas yang melakukannya, sehingga tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia kebuntingan di atas 30 hari (Broaddus dan de Vries 2005). Metoda diagnosa kebuntingan dengan cara eksplorasi rektal bukan tanpa kelemahan. Pemeriksaan dengan teknik ini mengharuskan ternak yang diduga bunting untuk berjalan ke lokasi pemeriksaan yang disepakati, biasanya dilakukan dalam 1 atau 2 bulan sekali.
Lokasi
tersebut bisa dekat bisa juga jauh dari peternakan, kondisi ini membuat stres induk yang bunting. Selain itu menurut Venaa (2006), 10-20% palpasi rektal bisa menyebabkan pendarahan rektum atau kematian embrio. Ultrasonografi Ultrasonografi merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri.
Harga alat ini masih sangat mahal,
8
diperlukan operator yang terlatih untuk dapat menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. pemeriksaan
akibat
Ada resiko kehilangan embrio pada saat
traumatik
pada
saat
memasukkan
probe.
Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan antara 20-22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari (Youngquist dan Threlfall 2007). Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA.
Metoda-metoda yang
menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda palpasi rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Uji Punyakoti Salah satu catatan tertua uji kehamilan dengan menggunakan urin ditemukan pada jaman Mesir kuno (sekitar 4000 SM).
Pada papyrus
dijelaskan bahwa diagnosa kehamilan pada wanita, dilakukan dengan merendam biji gandum dan barley dengan urin wanita yang dicurigai hamil selama beberapa hari.
Wanita yang disangka hamil diminta untuk
mengencingi sekantung biji gandum dan barley.
Wanita tersebut
dinyatakan hamil jika biji berkecambah dan tidak hamil jika biji gagal berkecambah. Calon anak diduga laki-laki jika biji barley yang tumbuh dan perempuan jika biji gandum yang tumbuh. Pengujian metoda tersebut pernah dilakukan pada tahun 1963, dan menemukan bahwa 70% uji yang dilakukan
menunjukkan
bahwa
urin
wanita
hamil
merangsang
9
pertumbuhan biji, sedangkan urin wanita yang tidak hamil dan laki-laki tidak.
Para peneliti pada waktu itu beranggapan bahwa hasil uji ini
menunjukkan adanya bahan unik dalam urin wanita hamil, dan diduga karena peningkatan level estrogen (Veena 2006). Metode yang mirip telah dicoba diterapkan dengan menggunakan urin induk sapi bunting, yang ternyata menghambat pertumbuhan biji gandum dibandingkan dengan urin ternak yang tidak bunting. Metode tersebut disebut uji PUNYAKOTI (Veena dan Narendranath, 1993). Kegagalan perkecambahan diduga karena ketiadaan estrogen di dalam urin induk sapi bunting. Namun Nirmala et al (2008) telah membuktikan bahwa
estrogen
dan
progesteron
gagal
didalam
merangsang
perkecambahan biji gandum. Didalam uji Punyakoti digunakan 15 biji gandum yang direndam dalam 15 ml larutan urin (1 ml urin diencerkan dengan 14 ml air) yang diperoleh dari induk sapi bunting.
Secara simultan disiapkan juga biji
gandum yang direndam dalam air sebagai kontrol. Setelah 5 hari, induk sapi dapat didiagnosa bunting jika biji lambat atau tidak berkecambah dan berubah menjadi coklat kehitaman (rata-rata germinasi 46,48±4,24%, dan rata-rata panjang kecambah 0,93 ±0,83 cm) dan didiagnosa tidak bunting jika biji berkecambah (rata-rata germinasi 75,40±6,99%) dan memperlihatkan perkecambahan yang baik (rata-rata panjang kecambah 4,00±0,47 cm). Tampilan kedua tersebut sama dengan perkecambahan biji gandum yang direndam dalam air (rata-rata germinasi 87,70±5,13%, dengan rata-rata panjang kecambah 6,43±0,34 cm). Rata-rata germinasi
10
dan panjang kecambah gandum yang direndam dalam urin sapi bunting secara signifikan memberikan hasil yang berbeda dari biji yang direndam dalam air atau urin sapi tidak bunting. Hasil yang diperlihatkan oleh ternak sapi juga berlawanan dari gambaran yang diperlihatkan oleh wanita seperti yang tertulis pada papyrus Mesir kuno (Venna et al 1997). Metode ini dikembangkan agar cocok untuk mendeteksi kebuntingan pada ternak ruminansia. Metode ini dapat dilakukan sendiri oleh peternak sapi di pedesaan, karena teknologinya cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia dan alat yang canggih (Istiana 2011). Di India uji ini telah dilakukan pada lebih dari 250 ekor sapi dan kerbau dan telah didemonstrasikan kepada petani yang berkunjung ke Krishimela di University of Agricultural Sciences, Bangalore,
dan
pengetahuan tersebut secara perlahan menyebar diantara petani. Untuk beberapa kepentingan, petani telah melakukan modifikasi uji tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sebagai contoh, di Canara Utara
Distrik Karnataka, biji gandum tidak selalu tersedia, maka mereka menggunakan biji padi sebagai gantinya dan memberikan hasil yang serupa (Venna 2006). Urin Sapi Urin merupakan ekskresi ginjal yang mengandung air, urea, dan produk metabolit yang lain. Menurut During dan McNaught (1961), urin merupakan sumber nitrogen, kalium dan magnesium. Kandungan nitrogen dan kalium dalam urin beragam menurut jenis pakan (ransum) dan musim,
11
yaitu kandungannya paling tinggi pada akhir musim gugur, bertepatan dengan mulai mengeringnya rumput Gajah. Penelitiaan Manston dan Vagg (1970) menemukan bahwa urin juga berperanan sebagai sumber fosfat.
Bentuk pemeliharaan dan kondisi
ternak ternyata mempengaruhi kandungannya di dalam urin. Sapi yang dikerem urinnya mengandung fosfat 10% lebih tinggi dari sapi tidak dikerem, dan sapi yang bunting menunjukkan peningkatan kadarnya. Dengan demikian urin merupakan salah satu jenis pupuk kandang yang baik. Urin ternak mengandung 90-95% air dan beberapa unsur hara lainnya, seperti urea (2,5%) dan campuran mineral, garam, enzim dan hormon (Abishek 2010). Kandungan hara dalam urin tersaji pada Tabel 2. Tabel 1. Kandungan hara dalam urin ternak (Lingga dan Marsono, 2007) Kadar Hara (%)
Jenis
Kadar air
Ternak
(%)
Nitrogen
Kalium
Fosfor
Sapi
92
1,00
0,50
1,50
Kerbau
92
1,00
0,15
1,50
Kambing
85
1,50
0,13
1,80
Domba
85
1,35
0,05
2,10
Babi
87
0,40
0,10
0,45
Kuda
90
1,40
0,02
1,60
Ayam
55
1,00
0,80
0,40
Hormon tanaman yang ditemukan di dalam urin ternak adalah hormon pertumbuhan, diantaranya Giberilin dan Auksin. Kadarnya
12
didalam urin ternak tergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi, jenis kelamin ternak, dan pola pemeliharaan. Konsentrasi hormon didalam urin tidak hilang karena penyimpanan (Prawoto dan Suprijadji 1992). Hormon tersebut berada di dalam urin karena proteinnya tidak mampu diurai didalam tubuh, maka dikeluarkan sebagai filtrat bersama urin. Auksin jika diserap oleh tanaman akan mendorong terbentuknya perakaran (Yunita 2012). Selain itu dari penelitian Veena (2006), diketahui bahwa urin sapi bunting mengandung hormon tanaman yang dikenal sebagai Abscisic acid (ABA). ABA inilah yang diduga mengakibatkan hambatan pertumbuhan pada biji padi, kacang hijau dan sebagainya. Bahan ini yang digunakan sebagai landasan pada metode uji Punyakoti. Perkecambahan Copeland dan McDonald (2001) mendefinisikan perkecambahan biji secara fisiologi adalah muncul dan berkembangnya struktur-struktur penting dari embrio biji sampai dengan akar menembus kulit biji. Proses metabolisme perkecambahan biji ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh terhadap perkecambahan biji adalah sifat dormansi dan komposisi kimia biji. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkecambahan biji adalah air, gas, suhu dan cahaya. Perkecambahan merupakan tahap awal perkembangan suatu tumbuhan, khususnya tumbuhan berbiji. Dalam tahap ini, embrio di dalam biji yang semula berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan
fisiologis
yang
menyebabkannya
berkembang
menjadi
13
tumbuhan muda (kecambah).
Perkecambahan diawali dengan
penyerapan air dari lingkungan sekitar biji, baik tanah, udara, maupun media lainnya dalam proses fisik yang disebut imbibisi. Kehadiran air di dalam
sel
mengaktifkan
sejumlah
enzim
perkecambahan
awal.
Fitohormon asam absisat menurun kadarnya, sementara giberelin meningkat. Perubahan pengendalian ini merangsang pembelahan sel di bagian yang aktif melakukan mitosis, seperti di bagian ujung radikula. Akibatnya ukuran radikula makin besar dan kulit atau cangkang biji terdesak dari dalam, yang pada akhirnya pecah. Pada tahap ini diperlukan prasyarat bahwa cangkang biji cukup lunak bagi embrio untuk pecah menjadi kecambah. Bewley dan Black (1985) menyatakan bahwa keseluruhan proses perkecambahan melewati tiga fase, yaitu fase I (fase imbibisi), fase II (lag phase) dan fase III (fase pertumbuhan). Fase I diawali dengan proses penyerapan air oleh biji, baik biji dorman dan non-dorman, biji viabel maupun biji non-viabel.
Proses penyerapan air berlangsung karena
adanya perbedaan potensial air di dalam biji dengan air disekitarnya. Potensial air di dalam biji kering dapat mencapai -1000 bar, sementara pada air disekitarnya 0 bar. Fase II atau lag phase adalah periode mulai aktifnya metabolisme sebagai persiapan perkecambahan pada biji nondorman, sementara pengaktifan metabolisme tidak terjadi pada biji mati. Fase III atau fase pertumbuhan terjadi hanya pada biji non-dorman yang viabel, ditandai dengan munculnya akar dan diikuti dengan proses
14
pembelahan sel yang ekstensif, peningkatan laju penyerapan air dan perombakan cadangan makanan.
Copeland dan Mc Donald (2001)
menyatakan imbibisi tergantung pada komposisi kimia biji, permeabilitas kulit biji dan ketersediaan air. Viabilitas biji dapat diindikasikan oleh tolok ukur secara langsung dengan menilai pertumbuhan dengan pendekatan fisiologi. Salah satu indikasi langsung menggunakan tolok ukur daya berkecambah. Biji viabel dan non-dorman akan berkecambah sempurna. Biji yang viabel dapat diidentifikasi dari pertumbuhan organ seminalnya, bahkan bisa diketahui pada saat munculnya radikula dari testa biji tanpa perlu mengetahui pertumbuhan tanaman secara keseluruhan (Sadjad 2008). Pengujian viabilitas biji dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, salah satunya adalah melalui pendekatan fisiologi, yaitu mengamati proses pertumbuhan di laboratorium dan di lapangan. Viabilitas biji dapat diindikasikan
oleh
tolok
ukur
secara
langsung
dengan
menilai
pertumbuhan dengan pendekatan fisiologi. Salah satu indikasi langsung menggunakan tolok ukur daya berkecambah (DB), dan untuk padi sendiri perhitungan DB pada hari ke-5 dan hari ke-7.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian akan dilakukan menggunakan sampel biji tanaman dan sapi induk. Untuk biji direncanakan berasal dari tanaman monokotil dan dikotil yang mudah didapat di pedesaan, yaitu padi, sorghum, kacang
15
hijau dan kedelai. Untuk induk sapi yang digunakan induk sapi perah yang dimiliki oleh peternak di Kecamatan Caringin dan Cijeruk Kabupaten Bogor. Pengujian sampel dilakukan di laboratorium Pasca Panen Jurusan Penyuluhan Peternakan STPP Bogor. Waktu pelaksanaan pengujian sampel direncanakan pada bulan MeiOktober 2012, analisis data dan penulisan laporan dilaksanakan pada bulan November-Desember 2012. Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan adalah urin sapi pagi hari (tidak bunting, bunting < 3 bulan, bunting > 3 bulan), es batu, kantong plastik, karet gelang, air, biji-bijian (padi, kacang hijau, kedelai dan sorghum), kertas saring, sarung tangan karet/plastik, sabun pencuci, benang rami, aquadest, alkohol 70%, rivanol, kapas, kertas tissu, kertas HVS, tinta printer, ATK. Alat yang digunakan adalah kateter untuk sapi, botol mulut lebar berpenutup, beker gelas, cooler box, cawan petri, tabung reaksi dan rak tabung reaksi, pipet, spuit 5 ml, kutimeter, penggaris 20 cm, toples berpenutup, gunting kertas, pH meter digital (Hanna®), kalkulator, komputer. Metoda Metode penelitian ini terdiri atas dua tahap.
Tahap pertama
adalah menentukan biji tanaman yang tahan direndam dalam larutan urin sapi selama
5 hari. Tahap kedua adalah deteksi kebuntingan dengan
urin ternak ruminansia dengan biji tanaman terpilih, yang kegiatannya
16
terdiri atas pengambilan sampel urin dan germinasi biji. Secara ringkas tahapan penelitian ini tersaji pada Gambar 1.
PENENTUAN BENIH: 1. Benih Padi
Diukur: 1. Daya tahan
Analisi s:
SAMPLING URIN INDUK: 1. Tidak bunting 2. Bunting < 3 bulan 3. Bunting > 3 bulan Dilarutkan dengan perbandingan 1:4 ; 1:10 ;
Mayoritas tidak/
Mayorit
Buntin
Tidak
Gambar 1. Desain penelitian aplikasi metode Punyakoti pada induk sapi
A. Penentuan biji tanaman yang tahan dalam larutan urin sapi 1. Sampel Biji padi dan sorghum dipilih sebagai contoh dari tanaman monokotil yang mudah diperoleh di pedesaan. Biji biji diperoleh dari petani pembenih yang berdomisili di Kecamatan Caringin. Biji telah disimpan selama kurang lebih 2 bulan. Biji kacang hijau dan kedelai dipilih sebagai contoh dari tanaman dikotil yang mudah didapat di pedesaan. Biji diperoleh dari swalayan yang dikemas secara vacuum. 2. Germinasi biji dalam larutan urin Biji yang akan digunakan diseleksi dengan cara dimasukkan kedalam gelas beker yang telah berisi air. Biji yang mengambang diambil, sedangkan biji yang tenggelam tetap direndam selama 1,5 jam.
17
Sebanyak 15 biji tanaman Sorghum, Kacang Hijau, Padi dan Kedelai direndam didalam 15 ml larutan urin 1:4 selama 5 hari. Pengamatan dilakukan pada hari ke-2 dan ke-5 setelah perendaman.
Karakter yang diamati Karakter yang diamati adalah fisik kulit biji, bentuk biji, rata-rata waktu berkecambah, bentuk kecambah, dan daya tahan selama 5 hari. 3. Analisis data Data hasil perkecambahan biji dibandingkan, dan ditentukan biji yang paling cocok digunakan untuk kelanjutan uji derngan ketentuan: 1) biji mampu berkecambah dan bertahan di dalam larutan urin selama 5 hari, 2) kecambah yang tumbuh cukup besar guna memudahkan pengamatan.
B. Uji Urin untuk Deteksi Kebuntingan (Venna et al, 1997) 1. Penentuan sampel Sampel adalah urin induk sapi perah yang sehat, dipilih secara purposif, dengan ketentuan berasal dari: 1) sapi yang sedang tidak bunting, 2) sapi yang sedang bunting < 3 bulan, dan 3) sapi yang sedang bunting > 3 bulan. Kondisi bunting dan tidak buntingnya induk ditentukan dari catatan peternak yang dikonfirmasi oleh petugas Pemeriksa Kebuntingan. Sampel untuk masing-masing kelompok berjumlah 5, 15 dan 6 ekor. 2. Pengambilan urin
18
Pengambilan sampel urin dilakukan di pagi hari antara pukul 08.0010.00. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan kateter ternak.
Sebelum digunakan, kateter disanitasi dengan menggunakan
kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Selanjutnya vulva induk dilap dengan kapas yang telah diberi larutan rivanol. Dengan menggunakan sarung tangan, kateter dipandu memasuki spinchter vesika urinaria. Kateter didorong (tidak terlalu dalam) sampai urin keluar. Urin kemudian ditampung dalam botol bermulut lebar sebanyak
50-100 ml. Botol
kemudian ditutup dan diberi label yang berisi keterangan kondisi ternak. Seluruh sampel dibawa dalam cooler box dan segera diuji setelah sampai di laboratorium.
Kepada seluruh sampel dilakukan pengukuran pH.
Pengambilan urin dilakukan setiap hari selama 5 hari berturut-turut sebagai ulangan. 3.Germinasi biji Biji tanaman yang terpilih direndam dengan air selama 1,5 jam sebelum digunakan. Sampel urin diencerkan dengan aquadest, dengan perbandingan 1: 4; 1:10; dan 1:14. Urin yang telah diencerkan dituang sebanyak 15 ml ke dalam cawan petri yang telah dialasi dengan kertas saring. Kedalam masing-masing cawan petri kemudian ditambahkan 15 biji yang akan diuji kemampuan germinasinya.
Pemeriksaan sampel dilakukan secara duplo. Sebagai
kontrol digunakan biji yang direndam dalam air. Pengamatan dilakukan pada hari ke-2 dan ke-5 setelah hari perendaman. 4. Peubah yang diamati
19
Peubah yang diamati adalah panjang tunas (shoot legth) masingmasing biji dan jumlah biji yang berkecambah dari masing-masing cawan petri. 5. Analisis data Data hasil perkecambahan biji dianalisis secara deskriptif dan diuji sensitivitas dan spesifisitasnya dengan cara yang dijelaskan oleh Martin et al (1987) seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 2. Cara melakukan uji sensitifitas dan spesifisitas (Martin et al. 1987) Kondisi induk Hasil penelitian Bunting
Tidak Bunting
Positive
a
b
Negative
c
d
a+c
b+d
Total
Sensitivitas = a/(a+c) Spesifisitas = d/(b+d)
Menentukan nilai ekonomis. Untuk menentukan nilai ekonomis uji Punyakoti adalah dengan nemganalisis data pembelian bahan dan alat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penentuan biji Hasil uji coba ketahanan 4 macam biji yang direndam dalam urin sapi selama 5 hari, memperlihatkan bahwa biji yang dapat digunakan adalah dari tanaman sorghum dan kacang hijau (Gambar 2). Biji padi sebenarnya dapat digunakan hanya waktu perkecambahannya lebih lama
20
yaitu pada hari ke-5, sedangkan biji tanaman kedelai tidak mampu berkecambah,
karena
membusuk.
Perbedaan
respon
tersebut
disebabkan oleh ketebalan kulit ari biji, dimana padi memiliki kulit ari yang paling tebal dan kedelai memiliki kulit ari yang tipis.
Menurut Sadjad
(2008) perkecambahan padi mulai terjadi pada hari ke-5. Karakter biji tanaman yang direndam dalam urin sapi selama 5 hari tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Karakter biji tanaman yang direndam dalam urin sapi selama 5 hari
Biji tanaman Karakter Padi
Sorghum
Kulit biji
Tebal
Bentuk biji
Pipih lonjong Bulat kecil
Rata-rata waktu perkecambahan
5 hari
Kedelai
Tipis
Tipis
Bulat sedang
Bulat besar
2 hari
2 hari
Tidak berkecambah
Bentuk kecambah Kurus
Kurus
Gemuk
Tidak tumbuh
Daya tahan selama 5 hari
Tahan
Tahan
Busuk
Tahan
Tipis
Kc. Hijau
21
Sorghum
Padi
Kacang Hijau
Gambar 2. Performan biji-bijian yang direndam dalam urin sapi betina. Gambar atas direndam selama 2 hari dan gambar bawah perkecambahan umur 5 hari.
Dari biji tanaman Sorghum dan Kacang Hijau, ternyata kecambah Kacang Hijau tumbuh lebih gemuk daripada kecambah Sorghum, sehingga memudahkan dalam pengamatan.
Untuk selanjutnya dalam
penelitian ini menggunakan biji Kacang Hijau. Uji Urin untuk Deteksi Kebuntingan a. pH urin sampel Urin merupakan produk hasil metabolit ginjal yang berbentuk cair dan memiliki sifat-sifat tertentu diantaranya pH. pH urin sampel baik induk yang bunting maupun induk tidak bunting berkisar antara 7,8-8,5 (Tabel 5). pH tersebut cenderung netral. Hasil penelitian Dilrukhsi dan Pereira (2009) memperlihatkan pH urin sapi yang lebih rendah yaitu antara 7,17,4. Perbedaan tersebut terjadi kemungkinan karena komposisi pakan yang tidak sama.
22
Tabel 5. pH urin induk sapi tidak bunting, bunting ≤ 3 bulan dan bunting >3 bulan Bunting ≤ 3
Bunting > 3
bulan
bulan
5
15
6
7,8 – 8,5
7,8 – 8,4
7,8 – 8,4
Tidak bunting Jumlah ternak (ekor) pH
b. Pertumbuhan Kecambah Kacang Hijau dalam Aquadest Rata-rata panjang kecambah Kacang Hijau yang direndam dalam aquadest (sebagai kontrol) adalah 6,22 ± 1,276 cm pada pengamatan hari ke-2 dan 11,39 ± 1,441 cm pada pengamatan hari ke-5. Dengan persentase perkecambahan 100% (Gambar 3).
A
B
Gambar 3.Perubahan biji Kacang Hijau (A) setelah direndam dalam aquadest selama 2 hari (B). c. Pertumbuhan Kecambah Kacang Hijau dalam Urin Induk Sapi Perendaman biji Kacang Hijau dengan larutan urin induk tidak bunting dan urin induk bunting 3 bulan memperlihatkan pola perkecambahan yang mirip baik pada pengamatan hari ke-2 maupun hari
23
ke-5 (Tabel 6). Rata-rata panjang kecambah yang tumbuh dalam perendaman urin 1:4 adalah 0,16 cm dan 0,17 cm pada hari ke-2 dan 1,62 cm dan 1,07 cm pada hari ke-5. Pola yang sama juga terjadi pada panjang kecambah yang tumbuh dalam perendaman urin 1:10 dan 1:14.
Tabel 6 Rata-rata panjang kecambah Kacang Hijau pada hari ke-2 dan hari ke-5 setelah direndam dalam urin induk tidak bunting, bunting ≤ 3 bulan dan bunting 3 bulan Rata-rata panjang kecambah (cm) Sampel
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
4
10
15
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Tidak bunting
0,16 ±
1,62 ±
2,02 ±
5,80 ±
3,20 ±
9,60 ±
(n=5 ekor)
0,114
0,415
0,760
0,837
0,975
2,408
0,84 ±
0,55 ±
3,18 ±
1,60 ±
5,96 ±
0,582
0,641
1,795
1,822
2,189
Bunting ≤ 3 bulan (n=15 ekor)
0,00
Bunting 3 bulan
0,17 ±
1,07 ±
1,58 ±
3,75 ±
3,28 ±
5,50 ±
(n=6 ekor)
0,082
0,653
0,917
1,500
0,486
0,500
Perendaman biji Kacang Hijau dengan larutan urin induk bunting 3 bulan pada pengenceran 1:4 selama 2 hari memperlihatkan bahwa seluruh biji baru sampai pada tahap membengkak (Tabel 7), sehingga sulit untuk diukur panjang akarnya. Keadaan tersebut berbeda pada pengencerannya yang lebih tinggi, perkecambahan sudah terjadi. Pengamatan pada hari ke-5 pada pengenceran 1:4 pertumbuhan kecambahnya tetap lambat. Lambatnya pertumbuhan juga terlihat pada biji yang direndam dalam larutan urin dengan pengenceran 1:10 dan 1:14.
24
Pola kecepatan pertumbuhan kecambah tergambar dengan jelas pada grafik yang tersaji pada Gambar 4, 5 dan 6. Secara umum terlihat bahwa didalam urin induk bunting ≤ 3 bulan ada suatu bahan yang mampu menekan pertumbuhan kecambah (Tabel 6 dan 7). Menurut penelitian Veena et al (2003), diketahui bahwa urin induk sapi bunting mengandung hormon tanaman yang dikenal sebagai Abscisic acid (ABA). Konsentrasi ABA yang tinggi ditemukan pada urin induk sapi bunting (170,62 nanomol/ml), sedangkan pada urin induk sapi yang tidak bunting kadarnya rendah (74,46 nanomol/ml). ABA inilah yang diduga menghambat
pertumbuhan
pada
benih
padi,
kacang
hijau
dan
sebagainya.
Bahan ini yang digunakan sebagai landasan pada uji
Punyakoti.
Tabel 7.Tampilan perkecambahan Kacang perendaman dengan urin induk sapi
Hijau pada hari ke-2
25
Rata-rata panjang kecambah (cm)
1:14, H5, 9.6
1:10, H5, 5.8 1:4 1:10 1:14 1:14, H2, 3.2 1:10, H2, 2.02
1:4, H0, 1:10, 1:14, H0,00
1:4, H5, 1.62
1:4, H2, 0.16 Hari ke-
Gambar 4 Pola pertumbuhan kecambah yang direndam dalam urin induk sapi tidak bunting (H0 = hari ke-0, H2 = hari ke-2, H5 = hari ke5).
Rata-rata panjang kecambah (cm)
1:14, H5, 5.96
Keterangan: 1:4 1:10, H5, 3.18 1:10 1:14 1:14, H2, 1.6 1:10, H2, 0.55 1:4, H0, 1:10, 1:14, H0,00
1:4, H5, 0.84
1:4, H2, 0 Hari ke-
Gambar 5 Pola pertumbuhan kecambah yang direndam dalam urin induk sapi bunting ≤ 3 bulan (H0 = hari ke-0, H2 = hari ke-2, H5 = hari ke-5).
26
Rata-rata panjang kecambah (cm)
1:14, H5, 5.50
1:10, H5, 3.75 1:4 1:10 1:14
1:14, H2, 3.28
1:10, H2, 1.58 1:4, H5, 1.07
1:4, H0, 1:10, 1:14, H0,00
Hari ke1:4, H2, 0.17
Gambar 6 Pola pertumbuhan kecambah yang direndam dalam urin induk sapi bunting > 3 bulan (H0 = hari ke-0, H2 = hari ke-2, H5 = hari ke-5).
Dari Gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa pengenceran 1:4 merupakan pengenceran yang tepat untuk bahan sosialisasi uji Punyakoti ke penyuluh dan petani, karena semakin encer larutan urin pertumbuhan kecambah Kacang
Hijau
semakin
cepat
dan
semakin
panjang
mendekati
pertumbuhan kecambah Kacang Hijau yang direndam dalam air.
Hal
tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh dari penelitian Swamy et al. (2010) dengan menggunakan biji gandum dan Hussain (2012) yang menggunakan biji jagung, yang direndam dalam larutan urin 1:4, dimana panjang kecambah pada hari ke-5 untuk gandum adalah 0,95±0,47 cm (induk sapi bunting) dan 3,62±0,51cm (induk sapi tidak bunting), sedangkan pada jagung adalah rata-rata 2,27 cm (induk sapi bunting) dan 6,33 cm (induk sapi tidak bunting). Prosentase perkecambahan kacang hijau yang direndam dalam urin induk sapi tidak bunting, bunting 3 bulan, dan bunting 3 bulan
27
tersaji pada Tabel 8 dan Gambar 7. Pada pengenceran 1:4 terlihat bahwa rata-rata persentase perkecambahan pada perendaman hari ke-2 adalah hampir tidak berbeda yaitu 63,0%, 52,7% dan 57,5%, dan pada pengamatan hari ke-5 rata-ratanya adalah 63%, 63% dan 61,7%. Prosentase pertumbuhan kecambah Kacang Hijau semakin baik pada pengenceran 1:10 dan 1:14. Tabel 8 Rata-rata persentase perkecambahan Kacang Hijau pada hari ke2 dan hari ke-5 setelah direndam dalam urin induk tidak bunting, bunting ≤ 3 bulan dan bunting 3 bulan Rata-rata persentase perkecambahan (%) Kondisi induk
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
4
10
15
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Tidak bunting
63,0 ±
63,0 ±
86,0 ±
89,0 ±
87,0 ±
87,0 ±
(n=5)
17,2
17,2
15,2
12,9
14,0
14,0
Bunting ≤ 3 bulan
52,7 ±
63,3 ±
70,0 ±
84,7 ±
77,3 ±
84,7 ±
(n=15)
11,3
13,3
13,0
14,6
17,4
14,6
Bunting 3 bulan
57,5 ±
61,7 ±
76,7 ±
91,7 ±
91,7 ±
91,7 ±
(n=6)
6,9
4,1
18,3
11,7
11,7
11,7
28
Rata-rata persentase perkecambahan Kc. Hijau
Bunting > 3 bulan, Tidak bunting, Tidak bunting, 1:14, 91.7 1:14, 87.0 1:10, 86.0 Bunting > 3 bulan, Bunting ≤ 3 bulan, 1:14, 77.7 76.7 Bunting ≤ 1:10, 3 bulan, 1:10, 70.0 Tidak bunting, Bunting > 3 bulan, 1:4, 63.0 Bunting ≤ 31:4, bulan, 57.5 1:4, 52.7
Pengenceran urin Tidak bunting
Bunting ≤ 3 bulan
Bunting > 3 bulan
Gambar 7 Rata-rata persentase perkecambahan Kacang Hijau yang direndam dalam urin induk tidak bunting, bunting ≤3 bulan, bunting >3 bulan di hari ke-2 perendaman
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini sedikit berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Swamy et al (2010), dimana urin induk sapi bunting (sapi Gildanad) mampu menekan pertumbuhan kecambah gandum sampai rata-rata 73,65%, data yang hampir sama juga diperlihatkan dalam penelitian Hussain (2012). Husain (2012) dalam penelitiannya dengan menggunakan biji jagung, menyatakan bahwa pengenceran dengan perbandingan 1:4 memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan perbandingan 1:8, yaitu dengan cara menghambat germinasi biji dan pertambahan panjang kecambah. ABA merupakan bahan yang menekan inisiasi pertumbuhan radikel, dengan cara menghambat penyerapan
air
(Schopfer
et
al 1979).
Konsentrasi
tinggi
ABA
menyebabkan rendahnya germinasi benih dan panjang kecambah.
29
Dengan demikian pengenceran urin 1:4 dapat digunakan sebagai standar pengenceran. Pemanfaatan biji Kacang Hijau sebagai indikator kebuntingan nampaknya masih kurang sensitif dan kurang spesifik, dari perhitungan didapatkan bahwa nilai sensitivitas adalah 57,3% dengan nilai spesifisitas 63%. Hussain (2012) dalam penelitiannya mendapatkan nilai 78,57% (biji jagung).
Nampaknya
pola
penghambatan
pertumbuhan
pada
biji
penelitian
ini
monokotil dan dikotil tidak sama. Secara menegaskan
umum
hasil
observasi
yang
yang
diperoleh
telah
dalam
dilakukan
oleh
Veena
dan
Narendrananth (1993), Swamy et al (2010), dan Hussain (2012) bahwa germinasi biji dan panjang kecambah dapat digunakan sebagai salah satu indikator pada diagnosa kebuntingan non palpasi rektal.
2. Nilai Ekonomis Berdasarkan harga bahan dan peralatan yang digunakan, maka biaya untuk uji ini sangat murah yaitu Rp. 400,- untuk setiap cawan petri. Menjadi semakin murah lagi jika peralatan yang digunakan sederhana sesuai yang ada di pedasaan. Dengan modifikasi teknologi ini dapat dilakukan oleh petani sendiri dirumah.
30
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3. Penentuan biji Hasil uji coba ketahanan 4 macam biji yang direndam dalam urin sapi selama 5 hari, memperlihatkan bahwa biji yang dapat digunakan adalah dari tanaman sorghum dan kacang hijau (Gambar 2). Biji padi sebenarnya dapat digunakan hanya waktu perkecambahannya lebih lama yaitu pada hari ke-5, sedangkan biji tanaman kedelai tidak mampu berkecambah,
karena
membusuk.
Perbedaan
respon
tersebut
disebabkan oleh ketebalan kulit ari biji, dimana padi memiliki kulit ari yang paling tebal dan kedelai memiliki kulit ari yang tipis.
Menurut Sadjad
(2008) perkecambahan padi mulai terjadi pada hari ke-5. Karakter biji tanaman yang direndam dalam urin sapi selama 5 hari tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Karakter biji tanaman yang direndam dalam urin sapi selama 5 hari
Biji tanaman Karakter Padi
Sorghum
Kulit biji
Tebal
Bentuk biji
Pipih lonjong Bulat kecil
Rata-rata waktu perkecambahan
5 hari
Kedelai
Tipis
Tipis
Bulat sedang
Bulat besar
2 hari
2 hari
Tidak berkecambah
Bentuk kecambah Kurus
Kurus
Gemuk
Tidak tumbuh
Daya tahan selama 5 hari
Tahan
Tahan
Busuk
Tahan
Tipis
Kc. Hijau
31
Sorghum
Padi
Kacang Hijau
Gambar 2. Performan biji-bijian yang direndam dalam urin sapi betina. Gambar atas direndam selama 2 hari dan gambar bawah perkecambahan umur 5 hari.
Dari biji tanaman Sorghum dan Kacang Hijau, ternyata kecambah Kacang Hijau tumbuh lebih gemuk daripada kecambah Sorghum, sehingga memudahkan dalam pengamatan.
Untuk selanjutnya dalam
penelitian ini menggunakan biji Kacang Hijau.
Uji Urin untuk Deteksi Kebuntingan d. pH urin sampel Urin merupakan produk hasil metabolit ginjal yang berbentuk cair dan memiliki sifat-sifat tertentu diantaranya pH. pH urin sampel baik induk yang bunting maupun induk tidak bunting berkisar antara 7,8-8,5 (Tabel 5). pH tersebut cenderung netral. Hasil penelitian Dilrukhsi dan Pereira (2009) memperlihatkan pH urin sapi yang lebih rendah yaitu antara 7,17,4. Perbedaan tersebut terjadi kemungkinan karena komposisi pakan yang tidak sama.
32
Tabel 5. pH urin induk sapi tidak bunting, bunting ≤ 3 bulan dan bunting >3 bulan Bunting ≤ 3
Bunting > 3
bulan
bulan
5
15
6
7,8 – 8,5
7,8 – 8,4
7,8 – 8,4
Tidak bunting Jumlah ternak (ekor) pH
e. Pertumbuhan Kecambah Kacang Hijau dalam Aquadest Rata-rata panjang kecambah Kacang Hijau yang direndam dalam aquadest (sebagai kontrol) adalah 6,22 ± 1,276 cm pada pengamatan hari ke-2 dan 11,39 ± 1,441 cm pada pengamatan hari ke-5. Dengan persentase perkecambahan 100% (Gambar 3).
A
B
Gambar 3.Perubahan biji Kacang Hijau (A) setelah direndam dalam aquadest selama 2 hari (B). f. Pertumbuhan Kecambah Kacang Hijau dalam Urin Induk Sapi Perendaman biji Kacang Hijau dengan larutan urin induk tidak bunting dan urin induk bunting 3 bulan memperlihatkan pola perkecambahan yang mirip baik pada pengamatan hari ke-2 maupun hari
33
ke-5 (Tabel 6). Rata-rata panjang kecambah yang tumbuh dalam perendaman urin 1:4 adalah 0,16 cm dan 0,17 cm pada hari ke-2 dan 1,62 cm dan 1,07 cm pada hari ke-5. Pola yang sama juga terjadi pada panjang kecambah yang tumbuh dalam perendaman urin 1:10 dan 1:14.
Tabel 6 Rata-rata panjang kecambah Kacang Hijau pada hari ke-2 dan hari ke-5 setelah direndam dalam urin induk tidak bunting, bunting ≤ 3 bulan dan bunting 3 bulan Rata-rata panjang kecambah (cm) Sampel
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
4
10
15
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Tidak bunting
0,16 ±
1,62 ±
2,02 ±
5,80 ±
3,20 ±
9,60 ±
(n=5 ekor)
0,114
0,415
0,760
0,837
0,975
2,408
0,84 ±
0,55 ±
3,18 ±
1,60 ±
5,96 ±
0,582
0,641
1,795
1,822
2,189
Bunting ≤ 3 bulan (n=15 ekor)
0,00
Bunting 3 bulan
0,17 ±
1,07 ±
1,58 ±
3,75 ±
3,28 ±
5,50 ±
(n=6 ekor)
0,082
0,653
0,917
1,500
0,486
0,500
Perendaman biji Kacang Hijau dengan larutan urin induk bunting 3 bulan pada pengenceran 1:4 selama 2 hari memperlihatkan bahwa seluruh biji baru sampai pada tahap membengkak (Tabel 7), sehingga sulit untuk diukur panjang akarnya. Keadaan tersebut berbeda pada pengencerannya yang lebih tinggi, perkecambahan sudah terjadi. Pengamatan pada hari ke-5 pada pengenceran 1:4 pertumbuhan kecambahnya tetap lambat. Lambatnya pertumbuhan juga terlihat pada biji yang direndam dalam larutan urin dengan pengenceran 1:10 dan 1:14.
34
Pola kecepatan pertumbuhan kecambah tergambar dengan jelas pada grafik yang tersaji pada Gambar 4, 5 dan 6. Secara umum terlihat bahwa didalam urin induk bunting ≤ 3 bulan ada suatu bahan yang mampu menekan pertumbuhan kecambah (Tabel 6 dan 7). Menurut penelitian Veena et al (2003), diketahui bahwa urin induk sapi bunting mengandung hormon tanaman yang dikenal sebagai Abscisic acid (ABA). Konsentrasi ABA yang tinggi ditemukan pada urin induk sapi bunting (170,62 nanomol/ml), sedangkan pada urin induk sapi yang tidak bunting kadarnya rendah (74,46 nanomol/ml). ABA inilah yang diduga menghambat
pertumbuhan
pada
benih
padi,
kacang
hijau
dan
sebagainya.
Bahan ini yang digunakan sebagai landasan pada uji
Punyakoti.
Tabel 7.Tampilan perkecambahan Kacang perendaman dengan urin induk sapi
Hijau pada hari ke-2
Tabel 7. Tampilan perkecambahan Kacang Hijau pada hari ke-2 perendaman dengan urin induk sapi Pengamatan hari ke-2 Sampel Urin
Tanpa Pengenceran
Pengenceran 1:4
Pengenceran 1:10
Pengenceran 1:14
Tidak Bunting
Bunting <3 bulan
Bunting >3 bulan
35
Rata-rata panjang kecambah (cm)
1:14, H5, 9.6
1:10, H5, 5.8 1:4 1:10 1:14 1:14, H2, 3.2 1:10, H2, 2.02
1:4, H0, 1:10, 1:14, H0,00
1:4, H5, 1.62
1:4, H2, 0.16 Hari ke-
Gambar 4 Pola pertumbuhan kecambah yang direndam dalam urin induk sapi tidak bunting (H0 = hari ke-0, H2 = hari ke-2, H5 = hari ke5).
Rata-rata panjang kecambah (cm)
1:14, H5, 5.96
Keterangan: 1:4 1:10, H5, 3.18 1:10 1:14 1:14, H2, 1.6 1:10, H2, 0.55 1:4, H0, 1:10, 1:14, H0,00
1:4, H5, 0.84
1:4, H2, 0 Hari ke-
Gambar 5 Pola pertumbuhan kecambah yang direndam dalam urin induk sapi bunting ≤ 3 bulan (H0 = hari ke-0, H2 = hari ke-2, H5 = hari ke-5).
36
Rata-rata panjang kecambah (cm)
1:14, H5, 5.50
1:10, H5, 3.75 1:4 1:10 1:14
1:14, H2, 3.28
1:10, H2, 1.58 1:4, H5, 1.07
1:4, H0, 1:10, 1:14, H0,00
Hari ke1:4, H2, 0.17
Gambar 6 Pola pertumbuhan kecambah yang direndam dalam urin induk sapi bunting > 3 bulan (H0 = hari ke-0, H2 = hari ke-2, H5 = hari ke-5).
Dari Gambar 4, 5 dan 6 terlihat bahwa pengenceran 1:4 merupakan pengenceran yang tepat untuk bahan sosialisasi uji Punyakoti ke penyuluh dan petani, karena semakin encer larutan urin pertumbuhan kecambah Kacang
Hijau
semakin
cepat
dan
semakin
panjang
mendekati
pertumbuhan kecambah Kacang Hijau yang direndam dalam air.
Hal
tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh dari penelitian Swamy et al. (2010) dengan menggunakan biji gandum dan Hussain (2012) yang menggunakan biji jagung, yang direndam dalam larutan urin 1:4, dimana panjang kecambah pada hari ke-5 untuk gandum adalah 0,95±0,47 cm (induk sapi bunting) dan 3,62±0,51cm (induk sapi tidak bunting), sedangkan pada jagung adalah rata-rata 2,27 cm (induk sapi bunting) dan 6,33 cm (induk sapi tidak bunting). Prosentase perkecambahan kacang hijau yang direndam dalam urin induk sapi tidak bunting, bunting 3 bulan, dan bunting 3 bulan
37
tersaji pada Tabel 8 dan Gambar 7. Pada pengenceran 1:4 terlihat bahwa rata-rata persentase perkecambahan pada perendaman hari ke-2 adalah hampir tidak berbeda yaitu 63,0%, 52,7% dan 57,5%, dan pada pengamatan hari ke-5 rata-ratanya adalah 63%, 63% dan 61,7%. Prosentase pertumbuhan kecambah Kacang Hijau semakin baik pada pengenceran 1:10 dan 1:14. Tabel 8 Rata-rata persentase perkecambahan Kacang Hijau pada hari ke2 dan hari ke-5 setelah direndam dalam urin induk tidak bunting, bunting ≤ 3 bulan dan bunting 3 bulan Rata-rata persentase perkecambahan (%) Kondisi induk
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
Pengenceran 1 :
4
10
15
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Hr ke-2
Hr ke-5
Tidak bunting
63,0 ±
63,0 ±
86,0 ±
89,0 ±
87,0 ±
87,0 ±
(n=5)
17,2
17,2
15,2
12,9
14,0
14,0
Bunting ≤ 3 bulan
52,7 ±
63,3 ±
70,0 ±
84,7 ±
77,3 ±
84,7 ±
(n=15)
11,3
13,3
13,0
14,6
17,4
14,6
Bunting 3 bulan
57,5 ±
61,7 ±
76,7 ±
91,7 ±
91,7 ±
91,7 ±
(n=6)
6,9
4,1
18,3
11,7
11,7
11,7
38
Rata-rata persentase perkecambahan Kc. Hijau
Bunting > 3 bulan, Tidak bunting, Tidak bunting, 1:14, 91.7 1:14, 87.0 1:10, 86.0 Bunting > 3 bulan, Bunting ≤ 3 bulan, 1:14, 77.7 76.7 Bunting ≤ 1:10, 3 bulan, 1:10, 70.0 Tidak bunting, Bunting > 3 bulan, 1:4, 63.0 Bunting ≤ 31:4, bulan, 57.5 1:4, 52.7
Pengenceran urin Tidak bunting
Bunting ≤ 3 bulan
Bunting > 3 bulan
Gambar 7 Rata-rata persentase perkecambahan Kacang Hijau yang direndam dalam urin induk tidak bunting, bunting ≤3 bulan, bunting >3 bulan di hari ke-2 perendaman
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini sedikit berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Swamy et al (2010), dimana urin induk sapi bunting (sapi Gildanad) mampu menekan pertumbuhan kecambah gandum sampai rata-rata 73,65%, data yang hampir sama juga diperlihatkan dalam penelitian Hussain (2012). Husain (2012) dalam penelitiannya dengan menggunakan biji jagung, menyatakan bahwa pengenceran dengan perbandingan 1:4 memberikan hasil yang terbaik dibandingkan dengan perbandingan 1:8, yaitu dengan cara menghambat germinasi biji dan pertambahan panjang kecambah. ABA merupakan bahan yang menekan inisiasi pertumbuhan radikel, dengan cara menghambat penyerapan
air
(Schopfer
et
al 1979).
Konsentrasi
tinggi
ABA
menyebabkan rendahnya germinasi benih dan panjang kecambah.
39
Dengan demikian pengenceran urin 1:4 dapat digunakan sebagai standar pengenceran. Pemanfaatan biji Kacang Hijau sebagai indikator kebuntingan nampaknya masih kurang sensitif dan kurang spesifik, dari perhitungan didapatkan bahwa nilai sensitivitas adalah 57,3% dengan nilai spesifisitas 63%. Hussain (2012) dalam penelitiannya mendapatkan nilai 78,57% (biji jagung).
Nampaknya
pola
penghambatan
pertumbuhan
pada
biji
penelitian
ini
monokotil dan dikotil tidak sama. Secara menegaskan
umum
hasil
observasi
yang
yang
diperoleh
telah
dalam
dilakukan
oleh
Veena
dan
Narendrananth (1993), Swamy et al (2010), dan Hussain (2012) bahwa germinasi biji dan panjang kecambah dapat digunakan sebagai salah satu indikator pada diagnosa kebuntingan non palpasi rektal.
4. Nilai Ekonomis Berdasarkan harga bahan dan peralatan yang digunakan, maka biaya untuk uji ini sangat murah yaitu Rp. 400,- untuk setiap cawan petri. Menjadi semakin murah lagi jika peralatan yang digunakan sederhana sesuai yang ada di pedasaan. Dengan modifikasi teknologi ini dapat dilakukan oleh petani sendiri dirumah.
40
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Benih Kacang hijau mampu tumbuh didalam larutan urin sapi sampai hari ke-5, dengan kecambah yang cukup besar untuk diamati dan diukur. 2. Tingkat penghambatan pertumbuhan biji Kacang Hijau mencapai 57,3% dalam larutan 1:4 untuk urin induk sapi bunting < 3 bulan, dengan biji yang masih membengkak pada hari ke-2 pengamatan dan rata-rata panjang kecambah 0,84±0,58 cm pada pengamatan hari ke-5. 4. Sensitivitas uji 57,3% dan spesifitas uji 63%. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan biji monokotil sebagai indikatornya. 2. Konsetrasi uji sebaiknya pada dugaan umur kebuntingan dari 3 bulan. 3. Jika akan diuji cobakan untuk ruminansia kecil, maka dibutuhkan peralatan ultra sonografi sebagai peneguh diagnosa kebuntingan, karena pada ternak kambing dan domba tidak mungkin dilakukan palpasi rektal. 4. Uji ini dapat diaplikasikan ke petani sebagai acuan awal kondisi kebuntingan ternaknya, yang kemudian harus ditegakkan diagnosa melalui palpasi rektal untuk ternak sapi maupun kerbau, dan ultrasogorafi untuk kambing, domba, dan kuda.
DAFTAR PUSTAKA
41
5. Abhishek, T. 2010. Healing-Keajaiban Terapi Urin. http://www.lifepositive.com/ body/traditional-therapies/urine-therapy.asp. Diakses 30 April 2011. 6. 7. Affandy, L., Dikman, DM., Aryogy. 2007. Petunjuk Teknis Manajemen Perkawinan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. 8. 9. Arthur, GH., Noakes, DE., RJ., Parkinson, TM. 1996. Veterinary Reproduction and Obstetrics. WB. Saunders, London. 10. 11. Bewley, JD., Black, M. 1985. Seeds: Physiology of development and Germination. Plenum Press, New York. 12. 13. Broaddus, B., de-Vries, A. 2005. A Comparison of Methods for Early Pregnancy Diagnosis. Proceeding 2nd Florida Road Show. Florida: University of Florida. 14. 15. Chauhan, FS., Waziri, MA. 1991. Evaluation of rectal-abdominal palpation technique and hormonal diagnosis of Pregnancy in small ruminants. Indian Journal of Animal Reproduction, 12: 63−67. 16. 17. Copeland, LO., McDonald, MB. 2001. Principles of Seed Science and Technology. Edisi ke-4. Kluwer Academic Publishers. London. 18. 19. Dilrukshi, HNN, Perera, ANF. 2009. Evaluation of An ancient technique to diagnose the pregnancy in cattle using urine. Wayamba Journal of Animal Science: P6-P8. 20. 21. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Roadmap Perbibitan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. 22. 23. During, C., McNaught, KJ. 1961. Effect of cow urine on growth of pasture and uptake of nutrients. New Zealand Journal of Agricultural Research 4:591-605 24. 25. Hasanah, H. 1989. Fisiologi benih. Seed technology trainings for researcher. Central Research Institute for Food Crops. Dec. 4, 1989 - Jan. 27, 1990. 26. Husain, Z. 2012. Pregnancy Diagnosis in Dairy Animals Through Inhibition of Seed Germination. Thesis. Faculty of Sciences, Allama Iqbal Open University, Islamabad.
42
1. Istiana, S. 2011. Uji Punyakotti teknik deteksi kebuntingan pada sapi yang murah dan akurat. Edisi Khusus Penas XIII, 20 Juni 2011. BPTP Jawa Timur. 2. Jainudeen, MR., Hafez, ESE. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez, ESE dan 3. Hafez, B (ed.). Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 4. Lestari, TD. 2006. Metode Deteksi Kebuntingan pada Ternak Sapi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. 5. Ott, RS., Braun, WF., Lock, TF. et al. 1981. A comparison of intrarectal Doppler and rectal abdominal palpation for pregnancy testing in goats. J Am Vet Med Assoc 178:730. 6. Manston, R., Vagg, MJ. 1970. Urinary phosphate excretion in the dairy cow. The Journal of Agricultural Science 73: 161-167. 7. Martin, SW. 1984. Estimating disease prevalence and the interpretation of screening test results. Prev. Vet. Med. 2:463–472. 8. Narayana Swamy, M, Ravikumar, C, Kalmath, GP. 2010. Seed Germination inhibition test for pregnancy detection in Malnad Gidda Cows. Veterinary World 3(3):107-108. 9. Nirmala, GC, Veena, T, Jyothi, MS, Suchitra, BR. 2008. Effect of estrogen and progeterone on seed germination. Veterinary World 1(8): 241-242. 10. Prawoto, AA., Suprijadji, G. 1992. Kandungan hormon dalam air seni beberapa jenis ternak. Pelita Perkebunan 7 (4): 79-84. 11. Sadjad, S. 2008. Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
12. Swamy, MN., Ravikumar, C., Kalmath, GP. 2010. Seed germination inhibition test for pregnancy detection in Malnad Gidda Cows. Veterinary World 3(3): 107-108.
43
13. Veena, T., Narendranath, R. 1993. An Ancient Egyptian Pregnancy Test Extended to Cattle. Current Science, 65:989-990. 14. Veena, T., Narendranath, R., Sarma, PV. 1997. The realibility of Ancient Egyptian pregnancy diagnosis for cows/buffaloes. Advances in Contraceptives and Delivery Systems, 113:49-53. 15. Veena, GT. 2006. Punyakoti Test-An Ancient Egyptian Test (2200 BC) Extended to diagnose Pregnancy in Cattle dalam Traditional Knowledge Systems of India and Sri Lanka. Balasubramanian, AV dan Nirmala Devi, TD (eds). COMPAS Asian Regional Workshop on Traditional Knowledge Systems and their Current Relevance and Applications, Bangalore 3-5 July 2006, Bangalore. 16. Youngquist, RS., Threlfal, WRl. 2007. Pregnancy Diagnosis dalam Current Therapy in Large Animal Theriogenology (Ed. Ke-2), R.S. Youngquist and R. Threlfall (editor). Saunders Elsevier, St. Louis, MO. 17. Yunita, R. 2012. Pengaruh pemberian urin sapi, air kelapa, dan Rootone F terhadap pertumbuhan setek tanaman Markisa (Passiflora edulis var. Flavicarpa). Thesis. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Andalas, Padang.
44