Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PAKAN RUMINANSIA (Policy and Program of Ruminant Feed Development) YULIZAR1 dan KUSWANDI2 1
Direktorat Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Jl. Harsono RM No. 3 Gedung C Lt.9 Ragunan, Jakarta Selatan 2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Buffalo development should be supported by the major food source of forage and concentrate. Most forage grasses and shrubs were a low nutrient (protein content between 6 – 10% and TDN content of 50% or less) so it just suitable and support for basic living ruminants. In the dry season, crop wastes especially rice straw was plentiful so potentially as an important source of forage grass on the side. Forage legumes can be used to feed protein source (over 10%) forexample legume vines, cover crops and legume trees. Plantation crop wastes were highly prospective as a source of fiber. Integration of crop-livestock systems (SITT) was very important and more environmentally friendly without interfering with the production of agricultural, horticulture and plantation crops. Limited supply of concentrate feed sources in the future potentially was not dependent on imports as the development of food, horticulture and plantation crops quite rapidly. Ruminant feed development strategy issued by the Directorate of Livestock Feed, Directorate General of Livestock and Animal Health emphasizes to the adequacy of local feed with guaranteed quality so as to meet the needs of ruminants towards self-sufficiency in meat (PSDSK) and milk. Program development of livestock feed always take both quantity and quality with emphasis on integration with all the sub-sectors of agriculture. Agricultural machinery development effort can be saved by the Directorate of Agricultural Infrastructure will be very significant in supporting livestock development. Key Words: Buffalo, Forage, Agricultural Waste, Integration Systems, Feed Processing Machine ABSTRAK Pengembangan kerbau harus ditunjang oleh sumber pakan utama hijauan dan juga pakan tambahan (penguat). Sebagian besar hijauan pakan adalah rerumputan dan semak dengan gizi yang rendah (kandungan protein antara 6 – 10% dan kandungan TDN 50% atau kurang) sehingga hanya cocok dan sekedar dapat menunjang untuk hidup pokok ternak ruminansia. Pada musim kemarau limbah tanaman pangan khususnya jerami padi berlimpah sehingga berpotensi menjadi sumber penting hijauan di samping rumput. Hijauan leguminosa dapat digunakan untuk pakan sumber protein (lebih dari 10%) dengan jenis leguminosa merambat, leguminosa herba jenis penutup tanah di perkebunan dan leguminosa pohon. Limbah tanaman perkebunan sangat prospektif pula sebagai penyedia pakan sumber serat. Sistem integrasi tanaman-ternak (SITT) menjadi sangat penting dan lebih ramah lingkungan tanpa mengganggu produksi tanaman pertanian, hortikultura dan perkebunan. Keterbatasan pasokan sumber pakan penguat (konsentrat) di masa yang akan datang berpeluang tidak tergantung kepada impor seiring perkembangan tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan yang cukup pesat. Strategi pengembangan pakan ruminansia yang dikeluarkan oleh Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menekankan pada kecukupan pakan lokal dengan mutu terjamin sehingga dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia menuju swasembada daging (PSDSK) dan susu. Dalam pembinaan pakan ternak, program pengembangannya selalu memperhatikan baik kuantitas maupun kualitas dengan mengutamakan integrasi dengan semua subsektor lingkup pertanian. Upaya pengembangan alsintan yang diprogramkan oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pertanian akan sangat berarti dalam menunjang pembangunan peternakan. Kata Kunci: Kerbau, Hijauan Pakan, Limbah Pertanian, Sistem Integrasi, Mesin Pengolah Pakan
36
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
PENDAHULUAN Penurunan populasi ternak kerbau di Indonesia, sebesar 7,42% per tahun dalam kurun waktu 8 tahun (PPSPK, 2011), perlu segera diatasi melalui pengendalian pemotongan, perbaikan mutu genetik dan perbaikan manajemen pakan dan reproduksi. Pengembangan kerbau harus ditunjang oleh sumber pakan utama hijauan, baik dari hijauan alam, budidaya maupun perkebunan dan lainlain. Demikian juga pakan tambahan (penguat), dengan memanfaatkan hasil samping industri pengolahan hasil pertanian. Namun pemanfaatan kedua golongan sumber pakan tersebut belum optimal. Potensi pakan hijauan Pada peternakan secara tradisional di luar Jawa dan Bali, rumput kebanyakan diperoleh dari padang penggembalaan, sedangkan di Jawa dan Bali dimana penduduknya padat dan areal sumber rumputnya terbatas, diperoleh dari pinggir jalan, pematang sawah dan tanahtanah bera lepas panen tanaman pangan. Sumber potensial sebenarnya dapat diperoleh dari kawasan hutan dan lahan perkebunan. Hanya untuk ketertibannya, diperlukan kesepakatan bersama atau semacam peraturan yang menjamin kepentingan masing-masing pihak. Sebagian besar hijauan pakan adalah rerumputan dan semak dengan gizi yang rendah (kandungan protein antara 6 – 10% dan kandungan TDN 50% atau kurang) sehingga hanya cocok dan sekedar dapat menunjang untuk hidup pokok ternak ruminansia. Bahkan di musim kemarau persediaan maupun kualitasnya rendah. Di musim penghujan hijauan ini berlimpah, sebaliknya di musim kemarau sedikit. Hal ini menumbuhkan pemikiran dan upaya dan sosialisasi serta alih teknologi untuk penyimpanan, baik dalam bentuk kering (hay) ataupun segar awetan (silase). Apabila dilakukan penyimpanan dalam bentuk kering, hijauan ini dapat dimanfaatkan selama musim kemarau (KUSWANDI, 1990a,b), sedangkan dalam bentuk silase digunakan untuk jangka yang tidak terlalu lama dan memerlukan keterampilan khusus dalam
penanganannya (KUSWANDI dan SUTIKNO, 1991). Pada musim kemarau limbah tanaman pangan, khususnya jerami padi berlimpah sehingga berpotensi menjadi sumber penting hijauan di samping rumput. Jerami ini kualitasnya sangat rendah (mengandung protein 5% atau kurang dan kecernaan sekitar 30 – 40%) sehingga tidak menunjang kebutuhan hidup pokok. Meskipun demikian, karena produktivitasnya tinggi, 6 – 11 ton bahan kering/ha produk ini harus dimanfaatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seekor sapi seberat 300 kg mampu mengkonsumsi bahan kering jerami olahan sebanyak 8 kg/hari (DAVIS et al., 1983). Untuk itu harus ditingkatkan gizinya dengan perlakuan seperti amoniasi agar dapat dimanfaatkan secara optimal (KUSWANDI, 1990c). Hijauan leguminosa telah disosialisasikan untuk pakan sumber protein (lebih dari 10%). Di samping jenis yang merambat, leguminosa herba jenis penutup tanah di perkebunan seperti sentro dan kalopo merupakan sumber amonia yang baik untuk pencernaan mikrobial di rumen (KUSWANDI, 1988) dan sudah dimanfaatkan. Sungguhpun demikian, sosialisasi maupun pengembangannya di masyarakat belum dilakukan. Bahkan tanamantanaman penutup tanah (cover crops) di lahanlahan perkebunan seperti yang dikembangkan di zaman penjajahan Belanda, sekarang jarang ditemukan. Hal ini menjadi peluang untuk memanfaatkan lahan antara tanaman pokok perkebunan bagi penanaman hijauan pakan ternak. Tentu saja diperlukan sosialisasi dan pemahaman antara perusahaan perkebunan dan peternak, dan kalau perlu dibuatkan Perda yang memayungi upaya integrasi itu. Leguminosa pohon cocok dibudidayakan untuk mengatasi kekurangan hijauan. Di antaranya adalah lamtoro, glirisidia, kaliandra, turi dan akasia, di mana hanya lamtoro dan glirisidia yang sudah dimanfaatkan oleh peternak. Protein dari hijauan ini relatif lambat dicerna di rumen sehingga memasok amonia di rumen secara kontinu sepanjang hari. Karena produksinya relatif rendah, diperlukan teknologi pengawetan hasil di saat berlimpah terutama untuk keperluan di musim kemarau (SUNARSO, 2003). Tanaman-tanaman berbentuk pohon ini menjadi andalan dalam memasok hijauan pakan yang kurang, terutama
37
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
di musim kemarau, bahkan nilai gizinya jauh lebih baik dari rumput. Namun petani belum banyak mengembangkannya, karena disamping kekuranglaziman menggunakannya untuk pakan ternak, pemeliharaannya di pertanaman mengalami kesulitan terutama pada fase kritis pertumbuhan vegetatif. Hal ini memerlukan bimbingan dari penyuluh untuk mensosialisasikan teknologi hasil-hasil penelitian. Dipahami bahwa pengembangan ternak ruminansia, termasuk kerbau, adalah suatu keniscayaan dalam rangka perwujudan swasembada daging nasional (PSDSK) sejalan dengan meningkatnya permintaan terhadap pangan hewani. Kekurangan rumput diramalkan akan terjadi dengan lajunya peningkatan usaha ternak ruminansia. Oleh karena itu, di masa yang akan datang limbah tanaman pangan, perkebunan dan daun pohon penghijauan akan menjadi sumber pakan penting bagi ternak ruminansia. Pada tahun 2010, diperkirakan tersedia tidak kurang dari 151 juta ton hijauan kering dari limbah tanaman pangan. Dengan asumsi penggunaan 50% dari total pakan serat dan satu satuan ternak setara 250 kg bobot hidup, sejumlah 138 juta ekor sapi dapat dicukupi dari limbah ini (BAMUALIM et al., 2007). Namun demikian, hal ini hanya memungkinkan kalau sumber pakan ini dimanfaatkan secara optimal dan teknologi perbaikan gizinya disosialisasikan, serta pembinaan peternaknya dikembangkan. Saat ini pemerintah mengembangluaskan tanaman perkebunan, sehingga prospektif pula sebagai penyedia limbah pakan sumber serat (KUSWANDI, 2011). Limbah-limbah itu antara lain dari perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao, tebu, dan jambu mete. Dari estimasi tersebut diperkirakan tersedia biomasa kering limbah sawit 39,684 juta ton, kulit kopi 282.736 ton, kulit buah kakao 43,770 juta ton dan dari limbah tebu 10,504 juta ton, sehingga keseluruhannya tersedia 94,241 juta ton bahan kering. Dengan asumsi 70% untuk pakan, maka dapat mencukupi kebutuhan ternak ruminansia setara 45,184 juta sapi seberat 250 kg bila dalam ransum terkonsumsi limbah kering sebanyak 4 kg per ekor per hari (KUSWANDI, 2011). Dengan demikian, sistem integrasi tanaman-ternak (SITT) menjadi sangat penting dan harus diwujudkan. Disamping itu, SITT ini lebih ramah
38
lingkungan tanpa mengganggu produksi tanaman pertanian secara luas, karena tidak terkait dengan pemanfaatan lahan pertanian tersebut. Pakan tambahan Dengan pengembangan tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan, keterbatasan pasokan sumber pakan penguat (konsentrat) di masa yang akan datang tidak perlu lagi tergantung dari impor, seperti jagung, bungkil, tepung ikan, dan lain-lain. Industri pengolahan hasil pertanian di Indonesia menghasilkan juga limbah seperti dedak, pecahan bijian (menir), bungkil, ampas dan kulit (pod) (KUSWANDI, 1990b; DARMAWIDAH et al., 1998; BAMUALIM et al., 2007; KUSWANDI, 2007b; PANGESTU et al., 2008). Bahan-bahan ini menjadi sumber utama protein, energi dan mineral tetapi berbeda kandungan, palatabilitas dan kecernaannya. Oleh karenanya Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan sangat mengharapkan hasil-hasil rekayasa dengan teknik-teknik tertentu yang murah, sederhana dengan bahan yang mudah diperoleh dan dipersiapkan dalam pemanfaatannya. Disamping itu, penyiapan bahan menjadi layak dan siap pakai ini juga harus didukung oleh ketersediaan alat-alat mesin pertanian (alsintan). Kualitas Di samping kualitas yang rendah, ketersediaan pakan berfluktuasi sejalan pergantian musim. Kebanyakan rumput hanya memiliki kecernaan 55% dan TDN 50% atau kurang (SITORUS, 1987; KUSWANDI, 1990b). Pada musim penghujan rumput berlimpah, tetapi pada musim kemarau terutama pada bulan Juli sampai September produksinya minimal, yaitu 50% dari produksi rata-rata setahun (WIRYOSAPUTRO, 1983). Ini tergambar jelas dengan porsi rumput di antara hijauan lain pada pakan sapi Bali di Bali dari 72,23% pada musim penghujan, menjadi hanya 45,65% di musim kemarau (FKHP, 1980). Di lain pihak, di musim kemarau rumput yang tersedia bergizi rendah (BAMUALIM, 1983). Oleh karena itu, pakan inkonvensional seperti limbah pertanian harus didayagunakan dan
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
pada saat berlimpah diawetkan untuk menghadapi krisis pakan musim kemarau. Dengan demikian, peranan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam merekayasa manajemen penggunaan pakan lokal makin diperlukan di masa depan. Perbaikan pakan difokuskan pada perbaikan pakan lokal yang berbasis alamiah dengan kandungan protein 6 – 7% menjadi introduksi pakan serat melalui introduksi rumput dan leguminosa pohon budidaya seperti rumput Gajah (Pennisetum purpureum), kaliandra dan konsentrat. Dengan kandungan protein rumput sebesar minimal 8% serta penambahan leguminosa pohon seperti glirisidia dan kaliandra dan/atau pakan konsentrat, maka kebutuhan gizi kerbau dan ternak ruminansia pada umumnya dapat terpenuhi sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan dan pencapaian bobot kawin yang lebih cepat, pasokan daging maupun susu. STRATEGI PENGEMBANGAN PAKAN RUMINANSIA Dalam strategi pengembangannya, Direktorat Pakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menekankan pada pencukupan pakan lokal dengan mutu terjamin sehingga dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia menuju swasembada daging (PSDSK) dan susu. Oleh karena itu, dalam pembinaan pakan ternak, program pengembangannya selalu memperhatikan baik kuantitas maupun kualitas dengan mengutamakan integrasi dengan semua subsektor lingkup pertanian. Strategi yang dilakukan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan itu adalah sebagai berikut: 1. Penyediaan benih/bibit hijauan pakan. Pemerintah tetap melanjutkan bantuan untuk pengembangan benih/bibit rumput, baik rumput budidaya yang sudah lazim digunakan seperti rumput Gajah, rumput Raja dan Setaria, juga mengintroduksikan tanaman pakan baru ke berbagai wilayah. 2. Budidaya tanaman pakan. Pengembangan tanaman pakan juga diiringi teknik budidaya tanaman pakan di berbagai daerah agroklimat pada lahan-lahan yang tidak dikembangkan untuk kepentingan lain
3. Pengembangan unit usaha hijauan pakan melalui SMD. Terkoordinasinya usaha peternakan terutama dalam pasokan hijauan pakan terutama di musim-musim krisis pakan disertai pembinaan kelompok peternak, dan usaha penggudangan hijauan pakan. Untuk itu SMD akan dipersiapkan dan dioptimalkan fungsinya di tiap pedesaan. 4. Pemanfaatan biomasa hasil samping perkebunan, pertanian, hortikultura melalui kegiatan integrasai. SITT diperluas dengan melanjutkan keberhasilannya dalam pemanfaatan jerami padi dan limbah perkebunan kelapa sawit. 5. Pemanfaatan lahan kehutanan untuk penanaman tanaman pakan. Tanaman pakan dibudidayakan di lahan-lahan kehutanan dan perkebunan. 6. Pengembangan pastura/ lahan penggembalaan. Dengan kemunduran produksi dan kerusakan lahan penggembalaan, pengembangan pastura akan dilakukan dengan mempertimbangkan ekologi lingkungan, serta memanfaatkan tanaman pakan yang teradaptasi, tahan injakan (penggembalaan) dan produktif sehingga mampu memasok pakan bagi ternak ruminansia di lingkungannya. 7. Pemanfaatan teknologi dengan basis hijauan pakan (hay, silase). Teknologi ini sudah dikenal sejak lama, namun sosialisasi dan penerapannya di lapangan belum berkembang. Bahkan pembinaan dan pengembangannya di daerah proyek pengembangan belum berdampak pada keberlanjutan di tingkat petani pada umumnya. Dukungan alsintan Upaya pengembangan alsintan yang diprogramkan oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pertanian akan sangat berarti dalam menunjang pembangunan peternakan. Itu berarti harus ada serangkaian kegiatan dalam mencukupi pasokan pakan dan menjaga kualitasnya. Dalam pengembangan peternakan ruminansia, peralatan mesin yang diperlukan adalah alat proses sejak pengangkutan hasil dan pengolahan pakan maupun limbah ternak. Di antara peralatan yang terlibat adalah mesin
39
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
pencacah, penghalus, pengolah, penyimpan, pengering, pencampur, penimbang, pemelet, pembuat wafer atau balok/kubus, pengepres, pencetak dan pengangkut. Penggunaan alsintan di dalam pabrik pakan skala kecil digambarkan secara detil pada Gambar 1 dan contoh alat mesin pengolah pakan yang biasa digunakan (Gambar 2). Teknologi pengeringan pakan dan pembuatan pelet memiliki prospek usaha
berskala industri karena produknya mudah disimpan dan diangkut. Kini mesin pelet berdiameter 1 cm sudah dikembangkan dan pakan komplit bentuk kubus mulai diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Perlakuan ini tidak mengganggu nilai biologis pakan (KUSWANDI, 1990b), bahkan berdampak melindungi protein dan lemak sehingga meningkatkan produktivitas ternak (KUSWANDI dan ROBARDS, 1999).
Gambar 1. Penggunaan alsintan di dalam proses pembuatan pakan di pabrik pakan kecil
Gambar 2. Contoh beberapa alat mesin pengolah pakan
40
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Peranan kelembagaan Dalam upaya pengembangan pakan menunjang pembangunan peternakan ruminansia, keterkaitan sistem kegiatan, integrasi, dan keterkaitan unit kerja, bahkan sektor lain menyangkut sarana, distribusi, sumberdaya lahan, SDM dan permodalan sangatlah penting (Gambar 3). Secara garis besar, dalam program penyediaan pakan hijauan, satuan kerja yang terlibat adalah yang menangani sumber bibit/benih hijauan pakan ternak, unit usaha hijauan pakan ternak, unit pemanfaatan lahan dan kawasan penggembalaan. Dalam program penyediaan pakan konsentrat, satuan kerja yang terlibat adalah pabrik pakan dan unit usaha bahan pakan. Disamping itu tumbuhnya koperasikoperasi yang bergerak di bidang pertanian adalah potensial untuk melayani pengadaan, prosesing dan pengangkutan bahan pakan dan pakan jadi. Namun fungsi ini belum dipraktekkan oleh kopersai yang ada. Lebih lanjut Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menempuh tiga bentuk program penyediaan pakan hijauan (Gambar 4), yaitu program pengembangan sumber benih/ bibit hijauan pakan ternak (melalui BPTU, UPTD, kelompok tani, swasta), pengembangan desa mandiri pakan (melalui LP, kebun
hijauan pakan ternak, embung) dan penguatan kawasan penggembalaan (integrasi, padang penggembalaan, hutan). Program aplikasi teknologi dan pengembangan industri pakan ruminansia dilaksanakan melalui tiga program utama (Gambar 5) yaitu Pengembangan UPP dan PP-SK (Program 1), Pengembangan Lumbung Pakan (Program 2) dan Bimbingan Teknologi dan Manajemen Pakan (Program 3). Disamping program penyediaan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan memiliki program pengembangan mutu pakan ternak (Gambar 6). Pengembangan standar mutu pakan (bahan pakan dan pakan jadi) diserahkan kewenangannya pada Komisi Pakan Nasional, Panitia Teknis Pakan Direktorat Mutu, BSN. Peningkatan mutu pakan melalui pengupayaan bimbingan teknis formulasi ransum, pengawetan dan penyimpanannya dengan meng up date teknologi baru dalam perbaikan mutu pakan. Dengan peningkatan mutu pakan ini peran industri pakan sangat penting, dan pengembangan industri pakan ini dikaitkan dengan UPP, PP-SK dan LP. Dalam pengawasan mutu pakan, kelayakan pakan dinyatakan dengan sertifikat. Sertifikasi mutu pakan ini dilakukan oleh laboratoriumlaboratorium. Bukti sertifikasi harus diperkuat dengan pelabelan produk.
Gambar 3. Diagram program penyediaan pakan ruminans
41
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
Program-1 Pengembangan Sumber Benih/Bibit HPT (BPTU, UPTD, kelompok, swasta)
Program penyediaan pakan hijauan
Program-2 Pengembangan Desa Mandiri Pakan (LP, kebun HPT, embung) Program-3 Penguatan Kawasan Penggembalaan (integrasi, padang gembala, hutan)
Gambar 4. Program penyediaan pakan hijauan
Program-1 Pengembangan UPP dan PP-SK Program Aplikasi Teknologi dan Pengembangan Industri Pakan Ruminansia
Program-2 Pengembangan Lumbung Pakan Program-3 Bimbingan Teknologi dan Manajemen Pakan
Gambar 5. Program aplikasi teknologi dan pengembangan industri pakan ruminansia
Gambar 6. Program pengembangan mutu pakan
42
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
KESIMPULAN 1. Keterbatasan pakan seiring pengembangan ternak ruminansia dalam menunjang program PSDSK menuntut kontinuitas pengadaan bahan pakan dan perbaikan mutu pakan. 2. Sumber-sumber pakan pakan ruminansia baik pakan hijauan maupun konsentrat hanya memungkinkan tersedia secara cukup kalau usaha peternakan diintegrasikan dengan pemanfaatan sumber pakan konvensional untuk hijauan (padang penggembalaan, lahan perkebunan dan hutan) dan inkonvensional (hijauan asal tanaman pangan, hortikultura, perkebunan), serta bahan konsentrat dari pemanfaatan limbah industri pengolahan hasil pertanian. 3. Perlu pembinaan mutu pakan baik melalui mutu pakan simpanan, maupun pengolahan bahan pakan rendah gizi melalui uapayaupaya fisik, kimiawi, biologis dan pengayaan gizi 4. Pengadaan alsintan untuk proses pengadaan pakan dan pupuk maupun perbaikan mutu pakan, baik untuk menunjang pengembangan pabrik pakan maupun koperasi pengadaan pakan belum berkembang 5. Jaringan kelembagaan terkait kontinuitas pengadaan pakan belum berkembang, sedangkan upaya sertifikasi bahan pakan dan pakan sudah ada 6. Kebijakan dan program pengembangan mutu pakan ruminansia saat ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan jumlah dan mutu pakan ternak ruminansia dengan memanfaatkan bahan lokal serta sarana dan prasarana untuk pembangunan peternakan ruminansia. DAFTAR PUSTAKA BAMUALIM, A. 1983. Peranan peternakan dalam usaha tani di daerah Nusa Tenggara. J. Litbang Pertanian VII(3): 69 – 74. BAMUALIM, B., KUSWANDI, A. AZAHARI dan B. HARYANTO. 2007. Sistem usahatani tanamanternak. Pros. Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah. Muara, Bogor, 22 – 23 Mei 2007. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 19 – 33.
DARMAWIDAH, A., A. NURHAYU dan M. SARIUBANG. 1998. Pemanfaatan kulit biji kakao sebagai pakan ternak. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1 – 2 Desember1998. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 523 – 525. DAVIS, C.H., M. SAADULLAH, F. DOLBERG and M. HAQUE. 1983. Ammonia treatment of straw for cattle production in intensive agrarian agriculture. Proc. 4th Seminar, Bangladesh, 2 – 4 May 1983. pp. 1 – 25. FKHP. 1980. Survai data makanan ternak. Persediaan dan kebutuhan hijauan makanan ternak di Bali. Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Udayana, Bali. KUSWANDI. 1990a. Peranan pengeringan dalam meningkatkan mutu dan nilai tambah bahan pakan ternak ruminansia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Pengeringan Komoditas Pertanian. Jakarta, 21 – 22 Nopember, 1990. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. hlm. 96 – 113. ANDI.
1990b. Nilai biologis rumput kering pada domba. Pros. Seminar Nasional Teknologi Pengeringan Komoditas Pertanian. Jakarta, 21 – 22 Nopember 1990. Badan Litbang Pertanian. Jakara. hlm. 561 – 568,
KUSWANDI. 1990c. Nitrogen metabolism in sheep fed poor quality hay with protein supplements. Proc. 13rd MSAP Animal Conference. Malaysian Res. Dev. Institute, Malaysia. KUSWANDI and I. SUTIKNO. 1991. The effect of industrial by-products as additives on the quality of Brachiaria brizantha silages. Proc. Workshop on Agricultural Biotechnology. Minist. Agric. May 21 – 24, 1991. Central Research Institute for Food Crops. AARD. pp. 199 – 204. KUSWANDI. 1988. Aspek penimbunan nitrat pada hijauan pakan ternak. J. Litbang Pertanian VII/4: 87 – 92. KUSWANDI. 2007a. Teknologi pakan untuk limbah tebu sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa 17(2): 82 – 92 KUSWANDI. 2007b. Peluang pengembangan ternak kerbau berbasis pakan limbah pertanian. Wartazoa 17(3): 137 – 146. KUSWANDI. 2011. Teknologi pemanfaatan pakan lokal untuk menunjang peningkatan produksi ternak ruminansia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak. 7 April 2011. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
43
Lokakarya Nasional Perbibitan Kerbau 2012
KUSWANDI and G.E. ROBARDS. 1999. The efficiency of utilization by growing sheep of rice hullbased rations containing protein meals. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. XXII, 259. Sydney, Australia. PANGESTU, E., KUSWANDI, B. UTOMO dan F. WAHYONO. 2008. Implementasi penambahan ampas tebu terfermentasi sebagai karier padat gizi dalam complete feed sapi potong. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
44
PSPK2011. 2011. Hasil rilis sensus peternakan di Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. SITORUS, S.S. 1987. Combination of cassava leaves and native grass in diets for goats. Ilmu dan Peternakan 2(3): 23 – 26. WIRYOSAPUTRO, S.S. 1983. Proc. Seminar Pemanfaatan limbah pangan dan limbah pertanian untuk makanan ternak. Yogyakarta, 10 – 12 Januari 1983. LKN-LIPI, Yogyakarta. hlm. 221 – 232.