KARAKTERISTIK KONSUMSI PANGAN HEWANI DI BERBAGAI WILAYAH MENURUT INDIKATOR KESEJAHTERAAN
KARIM MUSTOFA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Konsumsi Pangan Hewani di Berbagai Wilayah Menurut Indikator Kesejahteraan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015 Karim Mustofa NIM I14090018
3
ABSTRAK KARIM MUSTOFA. Karakteristik Konsumsi Pangan Hewani di Berbagai Wilayah Menurut Indikator Kesejahteraan. Dibimbing oleh HIDAYAT SYARIEF dan IKEU TANZIHA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan karakteristik konsumsi pangan hewani di berbagai wilayah menurut indikator kesejahteraan. Desain penelitian ini menggunakan Ecological Study. Data yang digunakan adalah data sekunder publikasi Susenas tahun 2009, 2010, 2011. Hasil menunjukan pangsa pengeluaran pangan hewani di berbagai wilayah bersifat fluktuatif, penduduk di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Pola pengeluaran pangan hewani yaitu ikan, telur dan susu, serta daging. Proporsi ikan, telur dan susu cenderung menurun sementara daging meningkat. Kontribusi protein pangan hewani di sebagian besar wilayah mengalami peningkatan. Penduduk di perkotaan memiliki kontribusi yang lebih baik. Tingkat Kecukupan Protein di berbagai wilayah terus meningkat. Penduduk di perkotaan memiliki TKP yang lebih baik dibanding di pedesaan. Hasil uji regresi diketahui bahwa ekonomi, kependudukan, memiliki pengaruh yang nyata dan signifikan terhadap pengeluaran pangan hewani (rupiah/bulan) pada taraf 5% dengan r sebesar 0.807. Kata kunci: konsumsi pangan, indikator kesejahteraan, pangan hewani ABSTRACT KARIM MUSTOFA. The Characteristic of Animal Food Consumption in Various Regions base on Welfare Indicators. Supervised by HIDAYAT SYARIEF and IKEU TANZIHA This study are aim to know about development of characteristic animal food consumption base on welfare indicators. An Ecological design was use in this study. The date of this research is Susenas publication 2009, 2010, and 2011. The result show that share of animal food expenditure in various regions is fluctuation. Share of Animal food expenditure in urban areas more higher than rural. The pattern of animal food expenditure is fish, eggs and milk, meat. Fish, eggs and milk proportion are decrease while the meat increases. Protein contribution of animal food in various regions is increases. Then, the population in urban areas has better protein contribution than rural. Protein adequacy level in various regions is increase continuously. The urban population has a better protein adequacy level than rural. The result of regression test known that the economic and demographic factor has a significant impact on animal food expenditure in various region at 5% level with r = 0.807. Keywords: food consumption, welfare indicators, animal food
4
KARAKTERISTIK KONSUMSIPANGAN HEWANI DAERAHMENURUT INDIKATOR KESEJAHTERAAN
KARIM MUSTOFA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
5
Judul Skripsi : Karakteristik Konsumsi Pangan Hewani di Berbagai Wilayah Menurut Indikator Kesejahteraan Nama : Karim Mustofa NIM : I14090018
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS Pembimbing I
Prof Dr Ir Ikeu Tanzikha, MS Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
6
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat berkat dan rahmat-Nya sehingga tugas akhir ini terselesaikan dengan baik. Tema dalam karya ilmiah ini adalah konsumsi pangan hewani, dengan judul Karakteristik Konsumsi Pangan Hewani di Berbagai Wilayah Menurut Indikator Kesejahteraan. Banyak pihak yang memiliki peran besar sehingga terselesaikannya penelitian ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof Dr Ir Hidayat Syarief, MS dan Dr Ir Ikeu Tanzikha, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan mendidik penulis dengan baik dan sabar. 2. Dr Ir Yayuk Farida Baliwati, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan komentar positif dan perbaikan secara maksimal. 3. Kedua orangtua yaitu Sujiono (ayah), Darmuni (Ibu) dan Kasyifatul Himah (adik), serta keluarga besar yang telah membarikan doa restu dan dukungannya. 4. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS atas motivasi dan perhatiannya. 5. Anna Vipta Resti Mauludyani, M.Sc atas saran positif dan bimbingan tambahannya. 6. Dr. Rimbawan (Ketua Departemen) beserta seluruh staf departemen gizi masyarakat atas dukungan dan motivasinya. 7. Evi Astuti Widya Sari S.Gz atas dukungan, perhatian, dan kesabarannya. 8. Arrido YVA dan keluarga atas bantuan sarana pendukung dan nasihatnya. 9. Teman-teman IPB: Babang, Rian, Ronald, Bagus, Bimo, Soni, Aji, Bebet, Hadi, Ali, Ayu, Aisyah, Michel, Grevi, Saida, Haffiyan, Dika, Asyif, Imam, Ubay, Waluyo, Avendi, Fitri, Icha, Oki, Hani, Sarah, Lita, Nuri, Sara, dan lainlain atas doa dan perhatiannya.
Bogor, Maret 2015
Karim Mustofa
7
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Umum
2
Tujuan Khusus
2
Hipotesis
2
Manfaat penelitian
2
KERANGKA PEMIKIRAN 2 METODE
4
Desain, Tempat, dan Waktu
4
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
6
Definisi Operasional
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Pangsa Pengeluaran Pangan Hewani
8
Proporsi Pengeluaran Jenis Pangan Hewani
10
Kontribusi Protein Pangan Hewani
12
Tingkat Kecukupan Protein Pangan Hewani
14
Pengaruh Indikator Kesejahteraan terhadap Konsumsi Pangan Hewani
16
SIMPULAN DAN SARAN 17 Simpulan
17
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA 18 RIWAYAT HIDUP
21
8
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis data yang digunakan, tahun, dan sumber data penelitian Pengolahan dan analisis data Perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009-2011 Perkembangan proporsi pengeluaran jenis pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009-2011 Perkembangan proporsi pengeluaran jenis pangan hewani (%) menurut pedesaan dan perkotaan pada tahun 2009-2011 Perkembangan kontribusi protein pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009-2011 Perkembangan tingkat kecukupan protein (TKP) pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009-2011 Perkembangan tingkat kecukupan protein pangan hewani (%) menurut pedesaan dan perkotaan pada tahun 2009-2011
4 5 8 10 11 13 15 16
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Kerangka Pemikiran Perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani (%) menurut pedesaan dan perkotaan pada tahun 2009-2011 Perkembangan kontribusi protein pangan hewani (%) menurut pedesaan dan perkotaan pada tahun 2009-2011
3 9 13
9
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan hewani adalah bahan makanan yang berasal dari produk perikanan atau peternakan meliputi ikan, daging, telur dan susu (Suharyanto 2009). Dilihat dari aspek gizinya, pangan hewani memiliki kualitas protein tinggi karena asam amino essensialnya lengkap serta mudah dicerna (Tejasari 2005). Kandungan zat besi (Fe) dalam pangan hewani juga tinggi. Oleh karena itu, pangan hewani memiliki peran yang sangat penting dalam regulasi tubuh. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun, biokatalisator, hormon, antibodi, sumber energi, dan pengangkut zat gizi serta molekul lain. Menurut Wiseman (2002), mengonsumsi protein yang berkualitas dapat membantu menjaga kesehatan tubuh secara optimal karena pembentukan jaringan yang membutuhkan asam amino essensial dapat tercukupi dengan baik. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap individu juga berjalan dengan sempurna sehingga mampu menciptakan generasi sumberdaya manusia yang berkualitas. Kualitas sumberdaya manusia (SDM) diukur menggunakan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Kualitas SDM Indonesia saat ini masih berada di peringkat (108) dan tertinggal dari beberapa negara di tingkat ASEAN seperti: Singapura (9), Brunei (30), Malaysia (62) dan Thailand (89) (UNDP 2014). Tingkat kesejahteraan masyarakat juga masih rendah dan belum merata. Pangan hewani sebagai bahan pangan yang memiliki harga relatif tinggi masih sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi pangan hewani sebagai sumber zat gizi yang menunjang terciptanya sumberdaya manusia berkualitas perlu diketahui perkembangannya. Informasi mengenai perkembangan konsumsi pangan hewani tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pangan khususnya untuk peningkatan konsumsi pangan hewani masyarakat. Konsumsi pangan hewani adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan hewani yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah et al. 2001). Menurut Lumbatoning (2005), konsumsi pangan dapat diukur melalui beberapa cara, diantaranya adalah dengan nilai proporsi penggunaan dan pengeluarannya. Susenas merupakan Survei Sosial Ekonomi Nasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh pemerintah yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengumpulkan data sosial ekonomi penduduk seperti: data pendidikan, kesehatan/gizi, lingkungan perumahan, sosial-budaya, termasuk konsumsi/pengeluaran rumah tangga. Konsumsi dalam Susenas digambarkan melalui nilai pengeluaran dengan satuan rupiah/kapita/bulan dan nilai zat gizi karbohidrat dan protein dengan satuan gram/kapita/hari. Data Susenas merupakan data berskala nasional yang memiliki kualitas tinggi dengan jumlah sampel mencapai 68.800 rumah tangga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Data tersebut dibedakan antara pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik konsumsi pangan hewani di berbagai wilayah menurut indikator kesejahteraan dengan menggunakan data publikasi Susenas tahun 2009, 2010, 2011 untuk mengetahui perkembangan karakteristik konsumsi pangan hewani antar wilayah.
10
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan karakteristik konsumsi pangan hewani di berbagai wilayah menurut indikator kesejahteraan, dengan tujuan khusus: 1. Mengkaji perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani menurut wilayah pada tahun 2009-2011. 2. Mengkaji Perkembangan proporsi pengeluaran jenis pangan hewani menurut wilayah pada tahun 2009-2011. 3. Mengkaji perkembangan kontribusi protein pangan hewani menurut wilayah pada tahun 2009-2011. 4. Mengkaji perkembangan tingkat kecukupan protein pangan hewani menurut wilayah pada tahun 2009-2011. 5. Menganalisis pengaruh indikator kesejahteraan (ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan) terhadap konsumsi pangan hewani. Hipotesis Ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan sebagai indikator kesejahteraan memiliki pengaruh terhadap konsumsi pangan hewani. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan maka konsumsi pangan hewani akan semakin baik. Manfaat Penelitian Studi karakteristik konsumsi pangan hewani di berbagai wilayah menurut indikator kesejahteraan dapat menggambarkan situasi atau kondisi konsumsi pangan hewani masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dan acuan bagi pemerintah sebagai langkah awal dalam merumuskan kebijakan peningkatan konsumsi pangan hewani agar sesuai dan tepat sasaran. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi mengenai ketersediaan data yang berkualitas di pemerintah pada skala nasional sehingga dapat dioptimalisasikan pemanfaatannya.
KERANGKA PEMIKIRAN Kesejahteraan masyarakat di berbagai wilayah menjadi ukuran penting untuk menentukan tercapainya kemakmuran. Terpenuhinya kebutuhan pangan akan semakin baik bila faktor penentu kesejahteraan baik pula. Kesejahteraan rakyat dapat diukur melalui sebuah indikator yang disebut IKR (Indikator Kesejahteraan Rakyat). BPS (2013) menyebutkan bahwa beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai alat ukur kesejahteraan rakyat, antara lain: ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Ekonomi sebagai indikator kesejahteraan rakyat dapat diukur melalui nilai rata-rata pendapatan perkapita dengan satuan rupiah/kapita/bulan. Semakin tinggi rata-rata pendapatan, kesejahteraan rakyat semakin baik. Peningkatan pendapatan
11
akan mendorong daya beli sehingga kemampuan membeli pangan hewani lebih baik, kuantitas maupun kualitasnya. Kependudukan sebagai indikator kesejahteraan rakyat dapat diukur dengan menggunakan data jumlah penduduk atau banyaknya penduduk yang berada di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk dapat mengindikasikan bahwa perkembangan daerah tersebut baik. Namun, jika dilihat dari sektor pangan, semakin tinggi jumlah penduduk maka pangan yang harus tersedia juga semakin besar. Pendidikan sebagai indikator kesejahteraan rakyat dapat diukur dengan menggunakan angka rata-rata lama sekolah. Semakin tinggi nilai rata-ratanya, maka penduduk tersebut dimungkinkan memiliki produktivitas yang tinggi dan mampu memperoleh pekerjaan yang lebih layak sehingga penghasilan juga lebih tinggi. Sementara itu, kesehatan sebagai indikator kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari angka usia harapan hidup. Pangan hewani memiliki peran vital dalam regulasi tubuh sehingga konsumsi pangan hewani yang lebih baik dapat menunjang kesehatan lebih baik pula. Oleh karena itu, perlu diketahui implikasi peningkatan status kesejahteraan rakyat terhadap konsumsi pangan hewaninya. Kesejahteraan Rakyat
Ekonomi
Kependudukan
Pendidikan
Konsumsi Pangan hewani
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Keterkaitan yang dilihat
Kesehatan
12
METODE Desain. Tempat. dan Waktu Penelitian Desain studi penelitian adalah ecological study. Ecological study atau studi korelasi populasi adalah studi epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis yang bertujuan mendeskripsikan hubungan antara paparan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Gordis 2004). Desain tersebut dipilih karena unit analisisnya berupa provinsi atau kelompok (agregat) individu yang lebih besar dan dibatasi secara geografik. Penelitian dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga September 2014. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Seluruh data penelitian merupakan data sekunder. Data yang digunakan adalah data publikasi Susenas dan indikator kesejahteraan rakyat (IKR) tahun 2009, 2010, 2011 dalam bentuk softfile yang dapat diolah sesuai dengan keperluan analisis. Data publikasi Susenas diterbitkan dalam tiga buah buku. yaitu Buku 1 (konsumsi/pengeluaran tingkat nasional), Buku 2 (konsumsi kalori dan protein tingkat nasional dan provinsi), serta Buku 3 (konsumsi/pengeluaran tingkat provinsi). Data yang digunakan dalam penelitian ini secara terperinci dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1 Jenis data yang digunakan, tahun, dan sumber data penelitian No 1
2
Jenis data Variabel Konsumsi pangan Pangsa pengeluaran pangan hewani hewani Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani Kontribusi protein pangan hewani Tingkat Kecukupan Protein pangan hewani Kesejahteraan Ekonomi Kependudukan Pendidikan Kesehatan
Pengumpulan Susenas. BPS
BPS
Cara pengumpulan data Susenas dilakukan melalui wawancara langsung kepada rumah tangga sampel atau anggota rumahtangga yang paling mengetahui keadaan di rumah tangga yang bersangkutan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang sudah dipersiapkan dengan metode ”recall” (mengingat kembali). Data yang digunakan merupakan data pengeluaran baik untuk pangan maupun non pangan. Pengeluaran pangan dikumpulkan dalam waktu seminggu terakhir sedangkan pengeluaran non pangan sebulan atau setahun terakhir. Data konsumsi pangan hewani yang digunakan adalah data pengeluaran dalam seminggu atau sebulan terakhir dengan satuan rupiah/kapita/bulan dan data konsumsi protein dalam satuan gram/kapita/hari. Pangan hewani yang diolah dalam penelitian ini berjumlah 62 jenis pangan yang disusun ke dalam 8 sub kelompok pangan, antara lain: ikan segar. udang dan hewan air lainnya yang segar. ikan diawetkan. udang dan hewan air lainnya yang diawetkan. daging segar.
13
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan program Microsoft Office Excel dan SPSS 16.0 for windows. Data yang diolah yaitu: (1) data pengeluaran pangan hewani dan pengeluaran pangan (rupiah/kapita/bulan), (2) data pengeluaran jenis pangan hewani kelompok ikan, daging, telur dan susu (rupiah/kapita/bulan), (3) data konsumsi protein pangan hewani (gram/kapita/hari), (4) data ekonomi berupa rata-rata pendapatan masyarakat (rupiah/kapita/bulan), (5) data kependudukan berupa jumlah penduduk, (6) data pendidikan berupa rata-rata lama sekolah (tahun), dan (7) data kesehatan berupa usia harapan hidup (tahun). Data dianalisis melalui uji statistika deskriptif dan inferensia. Statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan perkembangan karakteristik konsumsi pangan hewani sedangkan statistika inferensia digunakan untuk mengetahui pengaruh indikator kesejahteraan (ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan) terhadap konsumsi pangan hewani melalui uji regresi stepwise. Data akan disajikan dalam bentuk tabel tabulasi silang dan grafik sebaran sampel. Secara terperinci pengolahan dan analisis data dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2 Pengolahan dan analisis data Variabel Pangsa pengeluaran panga hewani Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani Kontribusi protein pangan hewani Tingkat kecukupan protein (TKP) pangan hewani Pengaruh indikator kesejahteraan (ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan) terhadap konsumsi pangan hewani
Analisis Data Deskriptif
Inferensia
Pengolahan data untuk menjawab tujuan penelitian 1 sampai tujuan penelitian 4 dilakukan menggunakan program Ms Office Excel 2010. Data diolah secara deskriptif untuk menggambarkan perkembangan karakteristik konsumsi pangan hewani, yaitu: pangsa pengeluaran pangan heawani, Proporsi jenis pangan hewani, kontribusi protein pangan hewani, dan tingkat kecukupan protein pangan hewani. Analisis tersebut dibedakan berdasarkan wilayah, pedesaan dan perkotaan. Pangsa pengeluaran pangan hewani dihitung dengan membandingkan jumlah uang yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan hewani terhadap jumlah uang yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan keseluruhan, dinyatakan dalam persen (%). Pengukuran pangsa pengeluaran pangan hewani digunakan untuk menggambarkan prioritas konsumsi pangan hewani tersebut menurut wilayah, pedesaan dan perkotaan. Persamaannya adalah sebagai berikut:
Keterangan: Pph = Pangsa pengeluaran pangan hewani (%) Tph = pengeluaran pangan hewani (Rupiah) Tp = Total Pengeluaran pangan (Rupiah)
14
Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani adalah perbandingan jumlah uang yang dikeluarkan untuk mengonsumsi jenis pangan hewani (ikan, daging, telur dan susu) terhadap jumlah uang yang dikeluarkan untuk mengonsumsi pangan hewani keseluruhan. Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani diukur untuk mengetahui pola pengeluaran pangan hewani serta melihat perubahannya menurut wilayah, pedesaan dan perkotaan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan: Kph = Proporsi jenis pangan hewani (ikan/daging/telur dan susu) Jph = Pengeluaran jenis pangan hewani Tph = Pengeluaran pangan hewani Kontribusi protein pangan hewani adalah persentase jumlah sumbangan protein (gram/kapita/hari) dari pangan hewani terhadap sumbangan protein dari pangan secara keseluruhan. Kontribusi protein dihitung untuk menggambarkan kualitas asupan protein masyarakat menurut wilayah, pedesaan dan perkotaan. Acuan kontribusi protein dari pangan hewani yang digunakan adalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) IX yaitu sebesar 25%. Persamaannya adalah sebagai berikut:
Keterangan: tKP = Kontribusi Protein pangan hewani (%) tAP = Asupan Protein pangan hewani (g/kap/hari) totAP = Total asupan Protein pangan (g/kap/hari) i = Ikan j = Daging k = Telur dan susu Tingkat Kecukupan Protein pangan hewani adalah persentase asupan protein pangan hewani aktual terhadap asupan protein acuan yang dianjurkan. Nilai acuan protein menggunakan WNPG IX tahun 2008 yaitu sebesar 15 gram/kapita/hari. Tingkat kecukupan protein dihitung untuk menggambarkan pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat menurut wilayah, pedesaan dan perkotaan. Pengolahan data untuk menjawab tujuan penelitian 5 adalah menggunakan program SPSS versi 16.0 for Windows melalui uji regresi stepwise. Penggunaan stepwise dimaksudkan untuk memperoleh persamaan terbaik sehingga diketahui variabel kesejahteraan yang benar-benar mempengaruhi konsumsi pangan hewani
15
dengan tingkat keeratan tinggi. Variabel tetap yang digunakan adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi pangan hewani dalam satuan rupiah/kapita/bulan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 +β3X3 +β4X4 + e Keterangan : Y β1β2β3β4β5 X1 X2 X3 X4 e
= Pengeluaran pangan hewani = Koefisien = Ekonomi = Kependudukan = Pendidikan = Kesehatan = Galat
Definisi Operasional Indikator Kesejahteraan adalah suatu alat untuk melihat atau mengukur tingkat kesejahteraan rakyat yang dapat diukur melalui: ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan (BPS 2013). Ekonomi sebagai indikator kesejahteraan diukur dengan rata-rata pendapatan, kependudukan diukur dengan jumlah penduduk suatu wilayah, pendidikan diukur dengan rata-rata lama sekolah, dan kesehatan diukur dengan usia harapan hidup. Karakteristik konsumsi pangan hewani adalah ciri-ciri khusus dari konsumsi pangan hewani berupa pangsa pengeluaran pangan hewani, proporsi pengeluaran jenis pangan hewani, kontribusi protein pangan hewani, dan tingkat kecukupan protein pangan hewani. Konsumsi pangan hewani adalah rata-rata pangan hewani yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama sebulan yang dicerminkan melalui nilai pengeluarannya, dinyatakan dalam satuan rupiah/kapita/bulan. Pengeluaran tersebut berupa jumlah uang yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan hewani selama sebulan. Pangsa pengeluaran pangan hewani adalah perbandingan jumlah pengeluaran untuk pangan hewani terhadap jumlah pengeluaran untuk pangan secara keseluruhan, dinyatakan dalam persen (%). Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani adalah perbandingan jumlah pengeluaran untuk masing-masing jenis pangan hewani (ikan, daging, telur dan susu) terhadap jumlah pengeluaran untuk pangan hewani secara keseluruhan, dinyatakan dalam persen (%). Kontribusi protein pangan hewani adalah perbandingan asupan protein dari pangan hewani terhadap asupan protein secara keseluruhan, dinyatakan dalam persen (%). Tingkat kecukupan protein (TKP) pangan hewani adalah perbandingan asupan protein pangan hewani aktual terhadap acuan asupan protein yang dianjurkan, dinyatakan dalam gram/kapita/hari. Nilai anjuran dalam penelitian ini menggunakan WNPG IX tahun 2008 yaitu 15 gram/kapita/hari.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Pangsa Pengeluaran Pangan Hewani Pangsa pengeluaran pangan hewani adalah perbandingan jumlah pengeluaran untuk pangan hewani terhadap jumlah pengeluaran untuk pangan secara keseluruhan, dinyatakan dalam persen (%). Perhitungan Pangsa pengeluaran pangan hewani digunakan untuk menggambarkan prioritas konsumsinya. Tabel 3 menampilkan perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani pada tahun 2009—2011 menurut wilayah. Data tersebut menunjukan bahwa secara umum, pangsa pengeluaran pangan hewani bersifat fluktuatif, yaitu menurun pada tahun 2010 kemudian meningkat pada tahun 2011. Tabel 3 Perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009—2011 Pangsa pengeluaran pangan hewani 2009 2010 2011 Sumatra 20.96 21.48 22.09 (0.52) (1.13) Jawa 16.46 16.37 16.16 (-0.09) (-0.30) Bali-Nusa Tenggara 16.75 17.48 17.25 (0.73) (0.50) Kalimantan 24.70 24.40 24.59 (-0.30) (-0.11) Sulawesi 22.29 21.23 24.01 (-1.06) (1.72) Maluku-Papua 22.18 20.66 22.23 (-1.52) (0.05) Nasional 20.92 20.72 21.50 (-0.20) (0.58) Rata-rata 20.56 20.27 21.05 (-0.29) (0.49)
Fluktuasi tersebut mengindikasikan bahwa prioritas pangan hewani menurun pada tahun 2010 dan meningkat pada tahun 2011. Hal ini diduga karena terjadi gejolak harga bahan pangan akibat inflasi. Inflasi merupakan fenomena moneter dimana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi (Silvia 2013). Kemenkeu (2009—2011) dalam siaran pers perkembangan makroekonomi nasional melaporkan bahwa pada tahun 2010, ratarata inflasi mencapai 6.75 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun 2009 dan 2011 yaitu sebesar 3 persen dan 5.3 persen. Menurut Ragandhi (2011), inflasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi masyarakat. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2010 menunjukan bahwa komoditas bahan pangan pokok seperti beras dan bumbu-bumbuan memberikan kontribusi kenaikan harga yang sangat besar sehingga kelompok volatile food mencapai 17.74 persen, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang hanya
17
mencapai 3.95 persen. Mauludyani (2008) menyatakan bahwa beras termasuk kebutuhan pokok dimana permintaannya kurang elastis terhadap harga sehingga kenaikan harga akan memicu peningkatan pengeluaran untuk pangan tersebut. Prioritas pangan hewani di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara masih rendah. Hal ini terlihat dari nilai pangsa pengeluaran pangan hewani yang belum mencapai angka 20%. Faktor preferensi sumber protein yang lebih beragam, tingkat pendapatan, serta ketersediaan pangan hewani diduga sebagai penyebab rendahnya pangsa pengeluaran pangan hewani di wilayah tersebut. Menururt Ariningsih (2004), pangsa pengeluaran pangan sumber protein nabati di Jawa lebih dominan dibanding sumber protein hewani karena harganya lebih murah. Perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua searah dengan fluktuasi perkembangan pangsa pengeluaran pangan hewani rata-rata dan nasional. Kondisi ini menjelaskan bahwa peningkatan harga bahan pangan lain khusunya pangan pokok sangat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di wilayah tengah dan timur Indonesia. Faktor ketersediaan dan pemerataan distribusi diduga sebagai pemicu fluktuasi harga di wilyah tersebut. Atmanti (2010) menjelaskan bahwa distribusi pangan faktor penting tercapainya stabilitas harga pangan antar waktu dan antar wilayah sehingga rumah tangga mampu menjangkau kebutuhan pangannya dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Fluktuasi pangsa pengeluaran pangan hewani yang dialami oleh sebagian besar wilayah juga terjadi di pedesaan dan perkotaan. Gambar 2 menunjukan bahwa pangsa pengeluaran pangan hewani di pedesaan dan perkotaan menurun pada tahun 2010 kemudian meningkat pada tahun 2011. Namun, penduduk di perkotaan mempunyai pangsa pengeluaran pangan hewani yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa prioritas pangan hewani di perkotaan lebih baik daripada di pedesaan.
Gambar 2 Perkembanganpangsa pengeluaran pangan hewani pada tahun 2009— 2011 di pedesaan dan perkotaan. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan pilihan kualitas pangan hewani penduduk di perkotaan yang lebih baik menyebabkan pangsa pengeluaran pangan hewaninya meningkat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pendapatan di perkotaan 35-39 persen lebih tinggi dibanding di pedesaan. Jenis ikan yang lebih banyak dikonsumsi sebagian besar masyarakat perkotaan adalah ikan kakap, tuna, kepiting, udang, bandeng, lele, dan mas. Faktor lain yang mempengaruhi
18
adalah tingginya rata-rata jumlah anggota rumah tangga di pedesaan sehingga mempengaruhi nilai rataan pengeluaran perkapita. Ragandhi (2011) menunjukan bahwa pendapatan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap konsumsi masyarakat. Proporsi Pengeluaran Jenis Pangan Hewani Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani adalah perbandingan jumlah pengeluaran untuk masing-masing jenis pangan hewani (ikan, daging, telur dan susu) terhadap jumlah pengeluaran untuk pangan hewani secara keseluruhan, dinyatakan dalam persen (%). Proporsi pengeluaran jenis pangan hewani digunakan untuk menggambarkan pola pengeluaran serta konsumsi pangan hewani masyarakat. Tabel 4 menunjukan bahwa secara umum, pola pengeluaran pangan hewani penduduk di berbagai wilayah adalah ikan, telur dan susu, serta daging. Setiawan (2006) juga menemukan bahwa sumber protein hewani yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia berasal dari produk perikanan. Tabel 4
Perkembangan proporsi pengeluaran jenis pangan hewani menurut wilayah pada tahun 2009—2011 Ikan
Daging
Telur dan Susu
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
Sumatra
55.06
Bali-NT
41.15
Kalimantan
54.69
Sulawesi
69.88
17.82 (2.02) 25.89 (1.23) 31.35 (2.25) 18.43 (2.93) 10.75 (2.59) 14.44 (-0.97) 18.89 (2.32)
21.11 (5.31) 27.71 (3.05) 32.26 (3.16) 20.84 (5.34) 15.93 (7.77) 17.14 (1.73) 21.3 (4.73)
29.14
31.84
51.50 (-3.56) 32.26 (0.42) 42.84 (1.69) 53.62 (-1.07) 63.29 (-6.59) 61.09 (-1.84) 51.93 (-2.39)
15.80
Jawa
53.43 (-1.63) 32.59 (0.75) 41.27 (0.12) 53.22 (-1.47) 66.56 (-3.32) 62.74 (-0.19) 53.04 (-1.28)
28.76 (-0.38) 41.53 (-1.98) 27.38 (-2.37) 28.35 (-1.47) 22.69 (0.73) 22.83 (1.16) 28.52 (-0.55)
27.39 (-1.75) 40.04 (-3.47) 24.9 (-4.85) 25.55 (-4.27) 20.78 (-1.18) 21.77 (0.10) 26.7 (-2.37)
51.64 (-0.95)
50.77 (-1.82)
18.11
19.78 (1.67)
22.5 (4.39)
29.31
28.59 (-0.72)
26.74 (-2.57)
Maluku-Papua 62.93 Nasional
54.32
Rata-rata
52.59
24.66 29.10 15.50 8.16 15.41 16.57
43.51 29.75 29.82 21.96 21.67 29.07
Sebagian besar wilayah memiliki pola pengeluaran pangan hewani yang sama kecuali Jawa. Wilayah tersebut memiliki pola pengeluaran telur dan susu, ikan, kemudian daging. Hal ini diduga karena telur khususnya mudah diperoleh dan harganya terjangkau. Selain karena mudah diperoleh, telur dan susu merupakan sumber protein yang praktis dan bergizi tinggi. Menurut laporan BPS tahun 2011, harga telur di Jawa paling rendah dibanding wilayah lainnya. Jawa merupakan salah satu sentra produksi hasil peternakan dan olahannya.
19
Perkembangan proporsi pengeluaran ikan, telur dan susu pada tahun 2009— —2011 di berbagai wilayah cenderung menurun sedangkan proporsi pengeluaran daging meningkat. Hasil ini menunjukan adanya perubahan konsumsi pangan hewani yang bergeser ke arah konsumsi daging. Penurunan ikan, telur dan susu harus diwaspadai oleh pemerintah karena berkaitan dengan kelangsungan konsumsi pangan hewani nasional. Ikan sebagai sumber utama pangan hewani nasional harus terus dipertahankan karena komoditas ini dinilai mampu mencukupi kebutuhan pangan hewani nasional. Selain itu, ikan memiliki keunggulan dari segi harga, jenis, cita rasa, dan kandungan gizinya. Telur dan susu juga perlu terus ditingkatkan karena konsumsi masyarakat masih rendah. Data FAO tahun 2006 mencatat rata-rata konsumsi telur 67 butir/kap/tahun sedangkan konsumsi susu sebesar 7 kg/kap/tahun. Peningkatan konsumsi daging di masyarakat diduga karena meningkatnya tingkat pendapatan. Peningkatan pendapatan akan memicu daya beli yang lebih tinggi sehingga daging semakin mudah dijangkau. Namun, jika dibandingkan dengan jenis pangan hewani lainnya, konusmsi daging masih sangat rendah. Hal ini juga menunjukan bahwa upaya pemerintah untuk melakukan swasembada daging dinilai terlalu dini dan masih jauh dari target. Sebagai Negara meritim yang luas lautannya lebih besar dibanding luas daratan, komoditas ikan sangat dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani masyarakat bahkan tidak sulit untuk mencapai swasembada ikan. Tabel 5 menampilkan proporsi pengeluaran jenis pangan hewani pada tahun 2009—2011 di pedesaan dan perkotaan. Data tersebut menunjukan bahwa ikan sangat mendominasi pengeluaran pangan hewani baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hal ini karena komoditas ikan memiliki beberapa kelebihan dari segi harga, cita rasa, keberagaman, selera, dan kandungan gizi. Menurut Khomsan (2004) Asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terdapat dalam ikan dan produk olahannya berperan dalam peningkatan kecerdasan anak. Tabel 5 Perkembangan proporsi pengeluaran jenis pangan hewani pada tahun 2009—2011 di pedesaan dan perkotaan Pedesaan
Perkotaan
2009 60.49
2010 2011 2009 2010 2011 Ikan 58.53 57.23 50.32 49.49 48.73 (-1.96) (-3.26) (-0.83) (-1.59) Daging 15.09 17.05 20.09 16.67 18.44 21.06 (1.96) (5.00) (1.77) (4.39) Telur dan susu 24.42 24.42 22.69 33.01 32.07 30.21 (0.00) (-1.73) (-0.94) (-2.80) Total
100
100
100
100
100
100
Proprosi pengeluaran ikan, telur dan susu di pedesaan dan perkotaan menurun sedangkan proporsi pengeluaran daging meningkat. Hal ini menunjukan bahwa terjadi sedikit pergeseran konsumsi masyarakat di pedesaan dan perkotaan dari ikan, telur dan susu menjadi daging. Peningkatan pendapatan dan semakin populernya daging di masyarakat diduga sebagai faktor penting pergeseran konsumsi pangan hewani tersebut. Suyastrini (2008) menjelaskan bahwa pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan perilaku konsumsi pangan.
20
Semakin tinggi pendapatan, maka terdapat kecenderungan untuk mengkonsumsi pangan yang bervariasi dan meningkatkan kualitas pangannya dengan cara membeli bahan pangan yang nilai gizinya lebih tinggi. Proporsi pengeluaran ikan lebih tinggi di pedesaan dibanding di perkotaan. Hasil ini menggambarkan bahwa konsumsi pangan hewani di pedesaan masih lebih tergantung pada ikan. Faktor ketersediaan dan daya beli diduga sebagai penyebab tingginya proporsi pengeluaran ikan di pedesaan. Adam (2007) menunjukan bahwa komoditas ikan memiliki nilai fleksibilitas pendapatan yang positif di daerah pedesaan yang berarti ikan mudah dijangkau oleh tingkat pendapatan penduduk di pedesaan. Sementara itu, proporsi pengeluaran daging, telur dan susu di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi serta ketersediaan daging, telur dan susu yang lebih melimpah di perkotaan diduga sebagai penentu tingginya proporsi pengeluaran jenis pangan hewani tersebu. Komoditas daging, telur dan susu memiliki harga yang relatif lebih tinggi sehingga semakin tinggi pendapatan, peluang untuk mengkonsumsi akan semakin tinggi karena daya beli meningkat. Penelitian Danil (2013) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan tingkat konsumsi. Apabila tingkat pendapatan semakin meningkat, maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk konsumsi.
Kontribusi Protein Pangan Hewani Kontribusi protein pangan hewani adalah perbandingan asupan protein dari pangan hewani terhadap asupan protein secara keseluruhan, satuan dinyatakan dalam persen (%). Kontribusi protein pangan hewani dihitung untuk menggambarkan kualitas asupan protein pangan hewani penduduk. Besarnya kontribusi protein pangan hewani mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke IX yaitu sebesar 25%, 15% dari kelompok ikan dan 10% dari kelompok ternak. Kontribusi protein pangan hewani (ikan dan ternak) di berbagai wilayah pada tahun 2009—2010 disajikan pada Tabel 6. Data tersebut menunjukan bahwa secara umum kontribusi protein pangan hewani meningkat dan tergolong baik. Peningkatan kontribusi protein pangan hewani diduga karena adanya peningkatan pendapatan di masyarakat. Menurut Elvis et al. (2014), pendapatan rumah tangga memiliki pengaruh nyata terhadap konsumsi pangan hewani. Pendapatan akan mempengaruhi daya beli sehingga bahan pangan yang harganya relatif tinggi akan semakin mudah diperoleh. Namun, kontribusi protein pangan hewani antar wilayah belum merata. Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara masih tergolong rendah sedangkan di wilayah lainnya sudah baik bahkan kontribusinya lebih dari 25%. Redahnya kontribusi protein pangan hewani di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diduga karena konsumsi ikan di wilayah tersebut lebih rendah dibanding wilayah lainnya. Ikan merupakan komoditas pangan hewani unggulan nasional. Selain mudah diperoleh, ikan juga memiliki kandungan protein dengan kulaitas tinggi dan mudah dicerna. Susanto & Fahmi (2012) menyatakan bahwa ikan merupakan
21
pangan hewani yang memiliki kandungan protein tinggi, mudah dicerna, fungsional, dan murah. Tabel 6 Perkembangan kontribusi protein pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009-2011 Ikan
Ternak
Pangan Hewani
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
Sumatra
18.15
Bali-NT
10.07
Kalimantan
19.35
Sulawesi
22.58
11.97 (2.08) 11.77 (0.74) 8.69 (0.99) 13.91 (2.60) 7.64 (1.95)
12.82 (2.93) 11.89 (0.86) 8.61 (0.91) 13.79 (2.48) 7.63 (1.94)
28.04
9.09
19.07 (0.92) 9.92 (0.83) 11.53 (1.46) 20.89 (1.54) 24.00 (1.42)
9.89
Jawa
19.62 (1.47) 9.58 (0.49) 11.37 (1.30) 20.95 (1.60) 23.93 (1.35)
31.59 (3.55) 21.35 (1.23) 20.06 (2.29) 34.86 (4.19) 31.57 (3.30)
31.90 (3.86) 21.81 (1.69) 20.14 (2.37) 34.68 (4.01) 31.63 (3.36)
Maluku-Papua 25.91
26.21 (0.30)
27.65 (1.74)
8.61
8.68 (0.07)
9.05 (0.44)
34.52
34.89 (0.37)
36.70 (2.18)
Nasional
17.87
18.51 (0.64)
18.75 (0.88)
9.21
10.43 (1.22)
11.04 (1.83)
27.08
28.94 (1.86)
29.79 (2.71)
Rata-rata
17.57
18.6 (1.03)
18.83 (1.26)
9.06
10.44 (1.38)
10.69 (1.63)
26.64
29.04 (2.40)
29.52 (2.88)
11.03 7.70 11.31 5.69
20.12 17.77 30.67 28.27
Rendahnya kontribusi protein ikan di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diduga dipengaruhi oleh ketersediaan ikan ataupun sumber protein lain yang lebih mudah diperoleh. Sementara itu, tingginya kontribusi protein ikan di luar Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diduga karena wilayah tersebut sebagian besar adalah sentra produksi ikan nasional. Ariningsih (2009) menyatakan bahwa tingginya asupan protein di luar jawa karena sumbernya masih melimpah dan jumlah penduduk masih rendah sehingga ketersediaan baik. Kontribusi protein ternak di wilayah Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi tergolong rendah sedangkan di wilayah lainnya sudah cukup baik. Rendahnya kontribusi protein ternak di wilayah tersebut diduga karena beberapa faktor, antara lain: tingkat pendapatan masyarakat, ketersediaan ternak, budaya, dan daya beli masyarakat. Permasalahan kontribusi protein pangan hewani juga terlihat di pedesaan dan perkotaan meskipun perkembangannya cenderung meningkat. Gambar 3 menunjukan bahwa kontribusi protein pangan hewani asal ternak pada tahun 2009—2011 masih dibawah nilai yang dianjurkan sementara untuk komoditas ikan sudah baik. Hal ini diduga karena komoditas pangan hewani asal ternak masih memiliki harga yang relatif tinggi dan tidak sesuai dengan daya beli dan ketersediaan belum memenuhi kebutuhan. Menurut Firmansyah (2010), kondisi ekonomi keluarga serta ketersediaan pangan hewani di tingkat rumah tangga berpengaruh positif terhadap konsumsi pangan hewani baik kuantitas maupun kualitasnya.
22
Gambar 3 Perkembangan kontribusi protein pangan hewani di pedesaan dan perkotaan pada tahun 2009—2011. Kontribusi protein ikan lebih tinggi di pedesaan sedangkan kontribusi protein daging, telur dan susu lebih tinggi di perkotaan. Tingginya kontribusi protein ikan di pedesaan diduga karena harga ikan lebih terjangkau serta mudah didapat sedangkan tingginya kontribusi protein daging, telur dan susu di perkotaan diduga karena tingkat pendapatan yang lebih baik. Menurut Farhan (2008), kondisi sosial budaya dan ekonomi keluarga serta ketersediaan pangan hewani di tingkat rumah tangga berpengaruh positif terhadap konsumsi pangan hewani baik jumlah maupun kualitas protein pangan hewaninya. Pontoh (2011) mengatakan bahwa besarnya tingkat pendapatan berpengaruh secara nyata terhadap besarnya tingkat konsumsi. Jika pendapatan rendah maka konsumsi pun rendah. Ariningsih (2004) menunjukan bahwa terdapat perbedaan tingkat konsumsi protein hewani di perkotaan dan pedesaan. Konsumsi protein hewani lebih tinggi di daerah perkotaan karena tingkat pendapatan penduduk perkotaan lebih tinggi. Ariningsih (2008) juga melaporkan bahwa proporsi rumah tangga defisit energi dan protein masih relatif tinggi terutama pada rumah tangga berpendapatan rendah.
Tingkat Kecukupan Protein Pangan Hewani Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi IX tahun 2008 merekomendasikan kecukupan protein bagi masyarakat Indonesia adalah sebesar 57 gram/kapita/hari pada tingkat konsumsi. Dari angka kecukupan tersebut, direkomendasikan bahwa sekitar 25% diantaranya atau sekitar 15 gram/kapita/hari harus dipenuhi dari pangan hewani. Berdasarkan pertimbangan preferensi, potensi, dan kesehatan, dianjurkan dari 15 gram tersebut 9 gram/kapita/hari berasal dari ikan dan 6 gram/kapita/hari berasal dari ternak. Perkembangan tingkat kecukupan protein pangan hewani menurut wilayah disajikan pada tabel 7. Data tersebut menunjukan bahwa secara keseluruhan, tingkat kecukupan protein pangan hewani meningkat. Peningkatan tersebut diduga karena tingkat pendapatan di masyarakat terus naik. Pendapatan akan memacu daya beli sehingga mampu menjangkau bahan pangan yang berharga tinggi seperti pangan hewani. Menurut Hadini et al. (2011), pendapatan merupakan salah satu
23
faktor penentu dalam permintaan suatu barang. Apabila pendapatan meningkat maka masyarakat/konsumen akan meningkatkan permintaannya. Tabel 7 Perkembangan tingkat kecukupan protein (TKP) pangan hewani (%) menurut wilayah pada tahun 2009-2011 Ikan SM JW B-NT KL SW MP NS RR
Ternak
Pangan Hewani
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
113.00
118.60
113.20
91.90
108.30
114.30
102.45
113.45
113.75
(5.60)
(0.20)
56.33 64.67 125.25 140.83 138.50 107.90 106.43
59.17
59.83
(2.84)
(3.50)
72.00
71.67
(7.33)
(7.00)
130.50
128.50
(5.25)
(3.25)
150.83
143.50
(10.00)
(2.67)
137.75
142.25
(-0.75)
(3.75)
113.16
110.65
(5.26)
(2.75)
111.48
109.83
(5.05)
(3.40)
(16.40) (22.40) 102.50 76.00 109.25
108.50
107.67
(6.00)
(5.17)
85.67
82.00
(9.67)
(6.00)
129.75
127.25
(11.00) (11.30) 79.42 70.33 117.25
(20.50) (18.00) 46.33
61.33
68.50
83.43
70.25
68.25
(0.25)
(-1.75)
95.61
97.74
93.58
93.97
94.66
(11.31) (12.00)
78.83
76.83
(8.50)
(6.50)
130.13
127.88
106.08
106.00
(12.50) (12.42) 104.25 98.11
(12.18) (14.31) 82.66
83.75
(4.33)
(12.88) (10.63)
(15.00) (22.17) 70.00
83.83
(4.41)
94.55
104.00
105.25
(-0.25)
(1.00)
106.14
105.49
(8.03)
(7.38)
102.72
102.24
(8.17)
(7.69)
Peningkatan konsumsi ikan dan daging harus terus dipertahankan dan ditingkatkan terutama pemerataannya. Tingkat kecukupan protein ikan sudah baik sementara tingkat kecukupan protein ternak masih belum mencapai target. Hal ini diduga karena produk ternak memiliki harga yang relatif lebih mahal disbanding ikan. Selain itu, produksi ternak dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Suryana (2009) menyatakan bahwa sapi sebagai salah satu ternak ruminansia yang memiliki kontribusi terbesar masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri yang cenderung meningkat setiap tahun. Kebijakan impor daging pun terus dilakukan dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, komoditas ikan harus terus dikembangkan agar kebutuhan pangan hewani nasional tercukupi. Tabel 7 menunjukan bahwa tingkat kecukupan protein (TKP) pangan hewani belum merata. Beberapa wilayah seperti Jawa, Bali, Nusa tenggara dan Sulawesi masih rendah. Hal ini terjadi karena salah satu pangan hewani baik ikan maupun ternak atau keduanya masih rendah. Banyaknya pilihan sumber protein lain seperti protein nabati diduga mempengaruhi rendahnya TKP pangn hewani di wilayah Jawa. Sementara di Nusa tenggara dan sulawesi, tingkat kemiskinan masih tinggi sehingga daya beli secara umum rendah (BPS 2011). Wilayah Bali memiliki pola yang sedikit berbeda, faktor budaya serta tingginya konsumsi makanan dan minuman jadi diduga sebagai penyebab rendahnya TKP pangan hewani. Nur dan Nuryati (2012) menemukan bahwa di wilayah Maluku, Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara produk pangan hewani khususnya telur memiliki fluktusi harga yang sangat tinggi. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab
24
rendahnya TKP asal ternak. Kondisi lingkungan dan jauhnya jarak distribusi menyebabkan pangan hewani produk ternak memiliki harga yang mahal. Tingkat kecukupan protein pangan hewani di pedesaan dan perkotaan tahun 2009-2011 disajikan pada table 8. Data tersebut menunjukan bahwa secara umum TKP pangan hewani di pedesaan mengalami peningkatan. Hal ini diduga karena tingkat pendapatan penduduk di pedesaan juga terus meningkat. TKP ikan sudah baik sementara TKP ternak masih sangat rendah. Kondisi ini menunjukan bahwa ikan sangat membantu memenuhi kebutuhan pangan hewani di masyarakat. Tabel 8 Perkembangan tingkat kecukupan protein pangan hewani di pedesaan dan perkotaan pada tahun 2009-2011 Pedesaan Perkotaan 2009 2010 2011 2009 2010 2011 Ikan 108.66 113.73 114.26 112.92 117.53 113.03 (5.07)
(5.60)
(4.61)
(0.11)
Ternak
63.85
74.49 (10.64)
78.28 (14.43)
109.31
123.43 (14.12)
120.33 (11.02)
Pangan hewani
90.73
98.04 (7.31)
99.87 (9.14)
111.47
119.89 (8.42)
115.95 (4.48)
Tingkat kecukupan protein pangan hewani di perkotaan bersifat fluktuatif yaitu meningkat pada tahun 2010 kenudian menurun pada tahun 2011. Fluktuasi tersebut terjadi pada produk ikan dan ternak. Namun, dilihat dari nilainya, TKP di perkotaan sudah baik bahkan melebihi anjuran. Hal ini diduga karena faktor pendapatan dan pengetahuan yang semakin baik sehingga lebih kuantitas dan kualitas konsumsi pangan hewani tetap terjaga. Tingkat kecukupan protein pangan hewani baik kelompok ikan maupun ternak di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Kondisi ini juga menunjukan bahwa kontribusi protein ikan yang lebih tinggi di pedesaan bukan berarti lebih baik konsumsinya. Hal tersebut terjadi karena total protein pangan hewani di perkotaan lebih baik. Tingkat pendapatan di perkotaan yang lebih tinggi serta pilihan kualitas pangan hewani yang lebih baik diduga sebagai faktor utama tingginya TKP pangan hewani. Penelitian Ariningsih (2008) juga menemukan bahwa rendahnya konsumsi pangan hewani di pedesaan karena tingkat pendapatan lebih rendah sehingga daya beli menurun. Pengearuh Indikator Kesejahteraan terhadap Konsumsi Pangan Hewani Konsumsi pangan hewani digambarkan melalui pengelurannya dengan satuan rupiah/kapita/bulan. Pengeluaran merupakan proksi dari konsumsi karena pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli pangan hewani dengan keperluan konsumsi. Sementara itu, indikator kesejahteraan merupakan suatu alat untuk melihat atau mengukur tingkat kesejahteraan yang mengacu pada BPS (2013), antara lain: ekonomi, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Penggunaan indikator tersebut karena datanya tersedia dan diasumsikan memiliki pengaruh terhadap konsumsi pangan hewani.
25
Ekonomi sebagai indikator kesejahteraan diukur dengan menggunakan tingkat pendapatan penduduk, dinyatakan dalam satuan rupiah/kapita/bulan. Kependudukan sebagai indikator pendapatan diukur dengan menggunakan jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah, dalam penelitian ini digunakan data jumlah penduduk antar provinsi. Di sisi lain, Pendidikan sebagai indikator kesejahteraan diukur dengan menggunakan rata-rata lama sekolah, dinyatahan dalam satuan tahun. Sedangkan kesehatan sebagai indikator kesejahteraan diukur dengan menggunakan data usia harapan hidup sejak lahir, dinyatakan dalam tahun. Berdasarkan hasil uji regresi stepwise pada penelitian ini diketahui bahwa ekonomi dan kependudukan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pangan hewani daerah pada taraf 5% dengan nilai p = 0.000 dan Rs = 53.5 persen. Persamaan terbaik yang diperoleh melaui uji ini adalah Y = 40 604 + 0.007 X1 – 0.001 X2. Ekonomi atau tingkat pendapatan penduduk memiliki hubungan yang searah dengan konsumsi pangan hewani. Semakin tinggi pendapatan atau status ekonomi, maka konsumsi pangan hewani akan semakin baik. Peningkatan pendapatan secara langsung akan meningkatkan daya beli sehingga peluang untuk mengkonsumsi pangan hewani juga lebih meningkat. Hasil ini sesuai dengan penelitan danil (2013) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, maka pengeluaran untuk konsumsi akan semakin meningkat. Kependudukan atau jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah memiliki pengaruh terhadap konsumsi pangan hewani. Semakin tinggi jumlah penduduk, konsumsi pangan hewani daerah akan menurun. Hal ini dapat terjadi karena jumlah penduduk akan mempengaruhi ketersediaan bahan pangan. Semakin tinggi jumlahnya, bahan pangan yang harus disediakan akan semakin banyak. Sementara itu, pendidikan yang diukur dengan rata-rata lama sekolah dan kesehatan yang diukur dengan usia harapan hidup sebagai salah satu indikator kesejahteraan tidak berpengaruh terhadap konsumsi pangan hewani daerah. Hal ini diduga karena penduduk yang memiliki pendidikan dan kesehatan tinggi tidak selalu mengkonsumsi pangan hewani dalam jumlah lebih banyak. Bahkan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dibidang pangan, konsumsi pangan hewani semakin dibatasi karena berhubungan dengan gangguan kardiovaskular. Hal lain yang dapat dijelaskan adalah bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap konsumsi pangan hewani karena kurangnya pengetahuan tentang pangan sehingga pola konsumsi masyarakat yang berpendidikan tinggi dan rendah cenderung sama.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pangsa pengeluaran pangan hewani menurut wilayah pada tahun 2009-2011 bersifat fluktuatif. Penduduk di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara memiliki pangsa pengeluaran pangan hewani yang rendah. Sementara penduduk di perkotaan pangsa pengeluarannya lebih baik dibanding penduduk di pedesaan. Pola pengeluaran pangan hewani secara umum adalah ikan, telur dan susu,
26
daging. Berdasarkan perkembangan menurut wilayah, proporsi pengeluaran ikan, telur dan susu menurun sedangkan proporsi pengeluaran daging meningkat. Proporsi pengeluaran ikan lebih tinggi di pedesaan sedangkan proporsi pengeluaran daging, telur dan susu lebih tinggi di perkotaan. Kontribusi protein pangan hewani pada tahun 2009-2011 meningkat. Namun, kontribusi protein pangan hewani asal ikan di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara masih rendah sedangkan kontribusi protein pangan hewani asal ternak di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua masih rendah. Penduduk di perkotaan memiliki kontribusi protein yang lebih baik daripada di pedesaan. Dilihat dari Tingkat kecupan protein (TKP) pangan hewaninya, secara umum sudah baik. Peningkatan yang kontinu terjadi pada komoditas daging sedangkan pada komoditas ikan bersifat fluktuatif. TKP pangan hewani di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara masih rendah. Penduduk di wilayah perkotaan masih lebih baik daripada di pedesaan. Berdasarkan hasil regresi, ekonomi dan kependudukan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi pangan hewani daerah. semakin tinggi status ekonomi atau pendapatan, konsumsi pangan hewani daerah semakin baik. Sedangkan semakin banyak jumlah penduduk, konsumsi pangan hewani akan semakin rendah. Saran Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian ini adalah dalam upaya peningkatan konsumsi pangan hewani daerah, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan kependudukan. Pemerataan pendaptan dan membuka lapangan kerja antar wilayah perlu diperhatikan agar peningkatan pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan serta tidak terjadi penumpukan jumlah penduduk di wilayah sentra-sentra lapangan pekerjaan. Selain itu, wilayah-wilayah perlu seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua masih perlu mendapat perhatian khusus karena konsumsi pangan hewaninya masih rendah. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan analisis tambahan mengenai makanan dan minuman jadi karena tren perkembangannya meningkat signifikan dan konsumsi seluruh pangan hewani dapat terhitung.
DAFTAR PUSTAKA Adam L. 2007. Analisis ekonomi perubahan pola konsumsi ikan di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ariningsih E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani Pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor (ID): Departemen Pertanian. Ariningsih E. 2009. Konsumsi dan kecukupan energi dan protein rumah tangga pedesaan di Indonesia: analisis data susenas 1999, 2002, dan 2005.
27
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 233-247. Bogor (ID): Departemen Pertanian. Atmanti HD. (2010). Kajian ketahanan pangan di Indonesia. Media ekonomi dan manajemen vol 21.No 1. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. BPS. 2013. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Indicators). Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Danil Mahyu (2013). Pengaruh pendapatan terhadap tingkat konsumsi PNS kantor bupati kabupaten Bireuen. Jurnal ekonomika universitas almuslim bireuen- aceh. vol IV No. 7. Bireun (ID): Universitas Almuslim. Elvis FW, Rorimpandey B, Lenzun GD, & Endoh EKM (2014). Analisis pengaruh pendapatan rumah tangga terhadap konsumsi daging dan telur di Kecamatan Suluun Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Zootek Vol 34 No 1:37-47. Manado (ID): Universitas Sam Ratulangi Farhan M. 2008. Kecukupan konsumsi pangan hewani di kota jambi dalam hubungannya kualitas sumberdaya manusia keluarga serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu peternakan vol XI No. 2. Jambi (ID): Universitas Jambi Firmansyah, Afzalani, & Farhan M (2010). Keanekaragaman dan kecukupan konsumsi pangan hewani dalam hubungannya dengan kualitas sumberdaya manusia keluarga di provinsi jambi. Jurnal penelitian universitas jambi seri humaniora.Vol 12 No.1 (63-70). Jambi (ID): Universitas Jambi Hadini HA, Nurtini S, & Sulastri E. 2011. Analisis permintaan dan prediksi konsumen serta produksi daging broiler di kota kendari provinsi Sulawesi utara. Jurnal Peternakan Vol 35(3): 202-207. Kendari (ID): Universitas Haluoleo Mauludyani AV. 2008. Elastisitas permintaan pangan strategis berdasarkan data Susenas kaitannya terhadap peningkatan konsumsi pangan. Jurnal pangan dan gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nuryati Y & Nur YH.2012. Variabilitas harga telur ayam ras di Indonesia. Buletin Ilmiah litbang perdagangan vol 6 no 2. Jakarta (ID): kementrian perdagangan Pontoh O. 2011. Pengaruh tingkat pedapatan terhadappola konsumsi nelayan di kecamatan tenga kabupaten minahasa selatan, Sulawesi utara. Pacific Journal Vol 1 (6): 1038-1040. Sulawesi Utara (ID): Dewan Riset daerah Purba RP. 2004. Analisis perubahan pola konsumsi daging di Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ragandhi A. 2011. Pengaruh pendapatan nasional, inflasi, dan suku bunga deposito terhadap konsumsi masyarakat di Indonesia. Jurnal studi ekonomi Indonesia : 32-47. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Setiawan N. 2006. Perkembangan konsumsi protein hewani di Indonesia. Jurnal ilmu ternak vol 6 No.1: 68-74. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Suryana. 2009. Pembangunan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan. Jurnal litbang pertanian 28 (1): 29-37. Kalimantan Selatan (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Susanto E & Fahmi AS. 2012. Senyawa fungsional dari ikan: aplikasinya dalam pangan. Jurnal aplikasi teknologi pangan. (ID): Vol 1 No.4: 95-102
28
Suyastrini NM. 2008. Diversifikasi pangan pokok berbasis potensi lokal dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan.13: 51-60 Tejasari. 2005. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta (ID). Graha Ilmu
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap, pada tanggal 20 Januari 1991 dari seorang ayah yang bernama Sujiono dan seorang ibu yang bernama Darmuni. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto dari tahun 2006 hingga tahun 2009. Pada tahun 2009 melalui jalus Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (Himagizi). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan di tingkat Departemen, Fakultas, Institusi serta Nasional seperti Nutrition Fair 2010 dan 2012, Indonesia Ecology Expo (INDEX) 2010 dan 2012, Masa Perkenalan Fakultas (MPF) 2011,Bina Desa BEM KM 2010, Ikatan Sarjana Gizi Indonesia 2012. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis mengikuti kuliah kerja profesi (KKP) di pulau Nusakambangan, Cilacap. Pada bulan Februari-Maret 2013 penulis melaksanakan Internship Dietetic di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.