KARAKTERISTIK FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR YANG DIKERINGKAN DENGAN FREEZE DRYER PADA SUHU DAN KETEBALAN BERBEDA
SKRIPSI
Oleh:
SHINTA SIMON I 411 09 257
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
KARAKTERISTIK FUNGSIONAL TEPUNG PUTIH TELUR YANG DIKERINGKAN DENGAN FREEZE DRYER PADA SUHU DAN KETEBALAN BERBEDA
SKRIPSI
Oleh:
SHINTA SIMON I 411 09 257
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Shinta Simon
NIM
: I 411 09 257
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan sepenuhnya.
Makassar, 26 Agustus 2014 TTD
Shinta Simon
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Karakteristik Fungsional Tepung Putih Telur yang
Dikeringkan dengan Freeze Dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda Nama
: Shinta Simon
No. Pokok
: I 411 09 257
Program Studi
: Teknologi Hasil Ternak
Jurusan
: Produksi Ternak
Fakultas
: Peternakan Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. H. MS. Effendi Abustam, M. Sc NIP. 19520606 197602 1 001
Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P NIP. 19741205 200604 1 001
Diketahui Oleh :
Dekan Fakultas Peternakan
Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof.Dr.Ir.Syamsuddin Hasan, M.Sc NIP. 19520923 197903 1 002
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc. NIP. 19641231 198903 1 025
Tanggal Lulus : 14 Mei 2014
iv
ABSTRAK
SHINTA SIMON. I 411 09 257. Karakteristik Fungsional Tepung Putih Telur yang Dikeringkan dengan Freeze Dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda. Di bawah bimbingan Effendi Abustam dan Muhammad Irfan Said. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya interaksi antara suhu freeze dryer dan ketebalan cairan yang berbeda terhadap karakteristik fungsional tepung putih telur. Penelitian ini disusun berdasarkan rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah suhu Freeze Dryer (30 oC, -33 oC dan -36 oC ), sedangkan faktor kedua adalah ketebalan cairan putih telur (4,5 mm, 5,5 mm dan 6,5mm). Parameter yang diukur adalah sifat fungsional (daya busa, stabilitas busa, waktu koagulasi dan kekuatan gel). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan ketebalan serta interaksi antara suhu dan ketebalan tidak menunjukkan adanya interaksi terhadap daya busa tepung putih telur. Suhu tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase stabilitas busa tepung putih telur, sedangkan ketebalan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase stabilitas busa tepung putih telur serta interaksi antara suhu dan ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase stabilitas busa tepung putih telur. Waktu koagulasi menunjukkan bahwa suhu dan ketebalan serta interaksi antara suhu dan ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu koagulasi tepung putih telur. Suhu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai kekuatan gel tepung putih telur, sedangkan ketebalan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai kekuatan gel tepung putih telur serta interaksi antara suhu dan ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kekuatan gel tepung putih telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan suhu -36oC dengan ketebalan 4,5 mm sebagai bahan untuk mengeringkan tepung putih telur direkomendasikan karena menghasilkan tepung putih telur yang baik dan sifatnya bernilai ekonomis. Kata kunci : Freeze Dyer, Fungsional, Tepung Putih Telur.
v
ABSTRACT SHINTA SIMON . I 411 09 257. Functional Characteristics of Egg White Powder Dried using a Freeze Dryer at Different Temperatures and Thicknesses. Supervised by Effendi Abustam and Muhammad Irfan Said. A study was conducated to investigate the interaction between different temperature of freeze dryer and the thickness of liquids on the functional characteristics of egg white powder. The study was based on the completely randomized design of factorial pattern 3 x 3 with 4 replications. The first factor was the Freeze Dryer temperature (-30 ° C, -33 ° C and -36 ° C), the second factor was the thickness of the egg white liquid (4.5 mm, 5.5 mm and 6.5 mm). The parameters measured were functional properties (foaming capacity, foaming stability, coagulation time and gel strength). The results showed that the temperature and thickness as well as the interaction between temperature and thickness did not show any interaction to foaming capacity of egg white powder. Temperature had no significant effect (P>0.05) on the percentage of the foaming stability of egg white powder, while the thickness significantly (P<0.05) affected the percentage of the foaming stability of egg white powder as well as the interaction between temperature and thickness had significant (P<0,01) effect on the percentage of the foaming stability of egg white powder. Coagulation time showed that the temperature and thickness as well as the interaction between temperature and thickness had significant (P<0.01) effect on coagulation time of egg white powder. Temperature was significantly (P<0.05) increased the gel strenghth value of the egg white powder, while the thickness was not significantly (P>0.05) affecting to the value gel strenght of egg white powder and the interaction between temperature and thickness had significant (P<0.01) effect on gel strenght of the egg white powder. The results of this study concluded that the use of temperature at -36 oC with a thickness of 4.5 mm as the material for drying egg white powder is recommended because it produced a good egg white powder and its economic value.
Keywords: Functional Characteristics, Freeze Dyer, Egg White Powder
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada Yesus Kristus karena berkat dan karuniaNya sehingga Tugas Akhir/Skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Skripsi dengan judul “ Karakteristik Fungsional Tepung Putih Telur yang Dikeringkan dengan Freeze Dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda” Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis hanturkan dengan penuh rasa hormat kepada : 1. Prof. Dr.Ir. H. MS. Effendi Abustam, M.Sc selaku Pembimbing utama dan Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P selaku pembimbing Anggota, atas segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat dan saran-saran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini. 2. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan segenap cinta dan hormat kepada ayahanda tersayang Simon Tappi dan ibunda tersayang Halidjah Bungin atas segala doa, motivasi, dan kasih sayang serta materi yang dberikan kepada penulis dan saudara-saudara saya Ari (Alm), Feri, Mery, Bibak, Gerson, Helvira, Yomar dan Semuel yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi untuk selalu lebih semangat. 3. Ibu Ir. Johana C. Likadja, Ms dan Ibu Hajrawati, S.Pt, M.Si selaku Penasehat Akademik.
vii
4. Prof. Dr. Samsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan dan seluruh Staf Pegawai Fakultas Peternakan, terima kasih atas segala bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 5. Bapak dan ibu dosen program studi Teknologi Hasil Ternak Prof. Dr.Ir. H. MS. Effendi Abustam, M.Sc Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc, Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P, Dr. Hikmah M. Ali, S.Pt, M.Si, Dr. Fatma Maruddin, S.Pt, M.P, Endah Murpiningrum, S.Pt, M.P, Hajrawati, S.Pt, M.Si, Nahariah S.Pt, M.P, drh. Farida Nur Yuliati, M.Si dan Ir. Johana C. Likadja, Ms yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M,Sc selaku ketua Jurusan Produksi Ternak beserta seluruh Dosen dan Staf jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswi. 7. Bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt sebagai Sekertaris Jurusan dan Koordinator Laboratorium Reproduksi ternak, Terima Kasih yang sebesarbesarnya atas bimbingan, dukungan dan bantuannya kepada Penulis. 8. Sahabat-sahabatku “Merpati 09” terima kasih yang setinggi-tingginya serta penghargaan yang sebesar-besarnya atas segala cinta, pengorbanan, bantuan, pengertian, canda tawa serta kebersamaan selama ini, waktu yang dilalui sungguh merupakan pengalaman hidup yang berharga dan tak mungkin untuk terlupakan. Teriring dengan doa semoga rekan dan sahabatku sukses selalu. 9. Teman penelitian Stevi Pratiwi dan Edi Nurwang terima kasih atas bantuan dan perhatiannya selama penelitian dan penyelesaian Skripsi.
viii
10. Kepada Saudara-saudaraku dalam Persekutuan “KBMK Fapetrik UH” yang telah banyak memberikan dukungan melalui doa dan motivasi. 11. Terima kasih kepada teman suka dukaku Inja, K’ Nirto, Ivan, Nafwilda Sara, Mba Murni, Mulyanti Munda, Adhe Astria, Blakis dan Moi yang selalu memberikan semangat, berbagi suka dan duka, serta canda dan tawa. 12. Terima kasih kepada Teman- teman KKN Gel. 82. Desa Pantai Timur : Amel, Rara, Mamat, Rusdi, Afif, Sahar dan Afir serta sekecamatan Takkalalla Kabupaten Wajo. Terima Kasih telah mengajarkan arti kekeluargaan dan dukungannya selama KKN. 13. Terima Kasih kepada Teman – teman Teknologi Hasil Ternak K’Arham, Wahda, Warni, Bio, Haikal, Teguh, Lukman, Syahroni, Caca, Rani, Pida, Nana, Asmi, Afda, Fadliah, Natalia, Saldy, Anugrah, Yasir, Anti 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Terima Kasih atas bantunnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan tapi semuanya telah penulis lakukan dengan sebaik-baiknya demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis membuka diri terhadap kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini dan demi kemajuan ilmu pengetahuan nantinya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri penulis sendiri. Amin.
Makassar, 26 Agustus 2014
Shinta Simon
ix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
ABSTRCT .......................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Telur ....................................................................
3
B. Tepung Putih Telur ........................................................................
5
Daya dan Stabilitas Busa Putih Telur ............................................
6
Waktu Koagulasi dan Kekuatan Gel .............................................
10
C. Pengeringan Beku (Freeze Drying) ...............................................
13
D. Pengaruh Suhu dan Ketebalan ........................................................
17
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ...............................................................................
18
Materi Penelitian .................................................................................
18
A. Rancangan Penelitian ...............................................................
18
B. Prosedur Penelitian ..................................................................
20
x
C. Parameter yang Diukur .............................................................
20
Analisa Data ........................................................................................
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Busa ...........................................................................................
24
Stabilitas Busa ......................................................................................
27
Waktu Koagulasi .................................................................................
30
Kekuatan Gel ......................................................................................
32
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
37
LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL No.
Halaman Teks
1. Komposisi Ketiga Komponen Pokok Telur dalam Persen .........................
4
2. Standar Mutu Tepung Telur Menurut FDA (AS) ......................................
6
3. Rataan Daya Busa (%) Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda ......................................................................................................
24
Rataan Stabilitas Busa (%) Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda .....................................................................................................
27
4. Rataan Waktu Koagulasi (Menit) Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda .....................................................................................
30
5. Rataan Kekuatan Gel (g Bloom) Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda .....................................................................................
33
xii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman Teks
1. Prinsip Kerja Pengeringan Beku ................................................................
16
2. Diagram Alir Penelitian Prosedur Pembuatan Tepung Putih Telur ...........
19
3. Grafik Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Stabilitas Busa Tepung Putih Telur..................................................................................................
29
4. Grafik Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Waktu Koagulasi Tepung Putih Telur ....................................................................................
32
5. Grafik Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Stabilitas Busa Tepung Putih Telur..................................................................................................
35
xiii
PENDAHULUAN
Putih telur yang jumlahnya sekitar 60% dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat. Putih telur saat ini telah banyak digunakan dalam industri makanan, karena sifat daya busa putih telur yang dapat meningkatkan kualitas produk pangan. Penggunaan putih telur dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan kendala-kendala berupa besarnya volume yang dibutuhkan, penanganan yang harus maksimal serta dapat terjadinya penurunan sifat fungsional putih telur (Deptan, 2013). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu melakukan pengeringan putih telur untuk menghasilkan produk tepung putih telur. Tepung putih telur dapat memperkecil volume penyimpanan dan memperlama masa simpan putih telur tanpa mengurangi kandungan gizi yang sama dengan putih telur segar (Nahariah dkk., 2010). Sekarang ini telah banyak dikembangkan proses pengeringan telur yaitu metode pan drying dan freeze drying. Akan tetapi pengeringan dengan metode pan drying dapat berpengaruh terhadap kualitas tepung telur yang dihasilkan, salah satu masalah yang sering muncul adalah timbulnya reaksi Mailard mengakibatkan produk tepung putih telur menjadi berwarna lebih gelap dan tidak mudah larut. Oleh karena itu, salah satu strategi yang dapat digunakan yaitu dengan cara melakukan pengeringan beku dengan menggunakan freeze dryer. Freeze dryer merupakan alat pengering yang menggunakan metode pembekuan dimana alat ini mengeringkan bahan dengan cara mengeluarkan air dan
pelarut
secara
sublimasi.
Keunggulan
pengeringan
beku
dalam
1
mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas antara lain dapat mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan aroma, warna, dan unsur organoleptik lain), dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan (pengkerutan dan perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil) dan hasil pengeringan yang berupa sifat fisiologis, organoleptik dan bentuk fisik yang hampir sama dengan sebelum pengeringan). Dalam pembuatan tepung putih telur dengan metode freeze dryer, beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu suhu freeze dryer dan ketebalan cairan. Pengaruh suhu freeze dryer terhadap lama pengeringan tepung putih telur belum diketahui. Hal inilah menjadi dasar maka dilakukan penelitian mengenai karakteristik fungsional tepung putih telur yang dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu dan ketebalan berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya interaksi antara suhu freeze dryer dan ketebalan cairan yang berbeda terhadap karakteristik fungsional tepung putih telur. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi ilmiah tentang karakteristik tepung putih telur yang dikeringkan dengan freeze dryer dengan suhu dan ketebalan berbeda serta menjadi kajian awal untuk melihat suhu freeze dryer yang baik digunakan untuk mengeringkan tepung putih telur dengan ketebalan tertentu.
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Telur Telur merupakan bahan alami yang penting pada proses pengolahan suatu produk pada industri pangan karena telur mempunyai beberapa sifat fungsional seperti daya busa, daya koagulasi dan kekuatan gel. Sifat telur yang sering dipermasalahkan yaitu telur merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan perlakuan pengawetan yaitu dengan pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung putih telur (Kasanah, 2013). Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti lemak, protein, vitamin, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Telur ayam terdiri dari tiga bagian utama yaitu kulit telur 8-11%, kuning telur 27-32% dan albumen (putih telur) 56-61%. Bagian-bagian tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa lapisan telur (Sirait, 1986). Protein telur merupakan dua bagian yang terpisah yaitu protein putih telur dan kuning telur. Tiap bagian ini mempunyai campuran yang sangat berbeda dimana putih telur merupakan larutan protein, garam dan gula, sedangkan kuning telur merupakan campuran lipida, lipoprotein dan mengandung protein. Protein utama yang berperan terhadap sifat fungsional seperti ovalbumin (54%), conalbumin (12%), ovomucoid (11%) dan lyzozome (3,5%) (Arzeni et al., 2009). Menurut Sudaryani (2003) bahwa komposisi sebutir telur terdiri dari 11% kulit telur, 58% putih telur dan 31% kuning telur. Kandungan gizi sebutir telur
3
ayam dengan berat 50 g terdiri dari protein 6,3 g, karbohidrat 0,6 g, lemak 5 g, vitamin dan mineral. Komposisi dari telur ayam ras dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Ketiga Komponen Pokok Telur dalam Persen Bahan Kulit Penyusun Bahan 95,1 anorganik Protein 3,3 Glukosa Lemak Garam Air 1,6 Sumber : Purnomo dan Adiono (2010).
Albumen
Kuning telur
-
-
12,0 0,4 0,3 0,3 87,0
17,0 0,2 32,2 0,3 48,5
Menurut Suprapti (2002), telur merupakan salah satu produk peternakan unggas yang memiliki kandungan gizi lengkap dan mudah dicerna. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani disamping daging, ikan dan susu. Secara umum terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu kulit telur atau cangkang (11 % dari bobot tubuh), putih telur (57 % dari bobot tubuh) dan kuning telur (32 % dari bobot tubuh). Putih telur terdiri dari empat lapisan. Lapisan luar terdiri dari cairan kental yang banyak mengandung serat-serat musin. Lapisan tengah merupakan anyaman musin setengah padat. Lapisan ketiga merupakan cairan yang lebih encer, sedangkan khalazifera berbentuk serat-serat musin yang terjalin seperti anyaman tali dan membatasi antara putih dan kuning telur, berfungsi untuk menahan kuning telur agar tetap pada tempatnya. Putih telur bersifat lebih alkalis dengan pH sekitar 7,6.
Komponen utama dari putih telur adalah
protein, sedangkan lemak terdapat dalam jumlah kecil. Protein putih telur utama terdiri dari ovalbumin, conalbumin, ovomucoid, lizozime, dan globulin.
4
Senyawa antimikroba yang terdapat pada telur adalah lizozime, conalbumin, dan ovoinhibitor yang berfungsi untuk membantu memperlambat proses kerusakan telur (Anonim, 2010). B. Tepung Putih Telur Tepung telur pada dasarnya masih merupakan telur mentah juga, namun sudah dikeringkan sebagian besar kandungan airnya, hingga hanya tersisa kurang lebih 10 % saja. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan tepung telur ini adalah telur-telur yang mengalami retak atau pecah telur, serta telur-telur yang telah mendekati batas akhir umur penyegaranya (Suprapti, 2002). Keuntungan dari tepung telur adalah volume bahan menjadi jauh lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan biaya pengangkutan. Tepung telur juga memungkinkan jangkauan pemasaran yang lebih luas dan penggunaannya lebih beragam dibandingkan dengan telur segar (Winarno dan Koswara, 2002). Putih telur digunakan secara luas dalam industri pangan seperti industri kue, roti dan pengolahan daging karena sifat putih telur yang sangat baik dalam meningkatkan daya busa dan kekenyalan produk. Sifat ini merupakan dampak dari kandungan protein putih telur yang mencapai 80% (Li-Chan et al., 1995). Penggunaan putih telur dalam industri terkendala dengan volume yang besar, penanganan khusus, resiko penurunan mutu fisik dan fungsional. Salah satu alternatif adalah pengeringan cairan putih telur dan dilanjutkan dengan pembuatan tepung. Pembuatan tepung putih telur dapat meningkatkan daya simpan (shelf life) tanpa mengurangi nilai gizi, volume bahan menjadi lebih kecil, sehingga lebih hemat ruang dan biaya penyimpanan, tepung telur juga memungkinkan jangkauan
5
pemasaran yang lebih luas dan penggunaannya lebih beragam dibandingkan telur segar (Winarno dan Koswara, 2002). Indonesia belum mempunyai mutu untuk tepung telur. Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, parameter-parameter mutu tepung telur yang diutamakan ialah kadar air, kadar lemak, kadar protein, warna, aroma dan tidak adanya Salmonella. Standar mutu tepung telur menurut (FDA) Amerika Serikat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Standar Mutu Tepung Telur Menurut FDA (AS) Parameter Mutu
Tepung Putih Telur 8,0
Tepung Kuning Telur 5,0
Tepung Telur Utuh 5,0
Sedikit
57,0
40,0
Kadar Protein (maks, %)
80,0
30,0
45,0
Gula Pereduksi (maks, %)
0,1
0,1
0,1
10.000
25.000
25.000
10
10
10
Salmonella
Negatif
Negatif
Negatif
pH
6,5-7,5
6,0-6,6
7,0-8,0
Kadar Air (maks, %) Kadar Lemak
Total Mikroba/g (maks.) Coliform /g(maks.)
Sumber : Winarno dan Koswara (2002). Daya dan Stabilitas Busa Putih Telur Daya busa merupakan ukuran kemampuan dari tepung telur untuk membentuk busa bila dilakukan pengocokan. Pengocokan tersebut akan menyebabkan ikatan-ikatan dalam molekul protein telur terbuka sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Penelitian yang dilakukan Akbar (2008) melaporkan bahwa nilai persentase tepung telur rata-rata daya busa tertinggi
6
diperoleh 295,1% yang difermentasi dengan ragi roti tetapi pada ragi tempe tidak berpengaruh nyata. Rendahnya nilai daya busa dari tepung telur bisa disebabkan masih adanya kuning telur yang tercampur menjadi satu dalam tepung. Busa merupakan dispersi koloid dari fase gas (CO2) dalam fase cair (H2O) yang dapat terbentuk pada saat telur dikocok. Mekanisme terbentuknya busa telur adalah terbukanya ikatan-ikatan dalam molekul protein sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Kemudian udara masuk di antara molekul-molekul yang terbuka rantainya dan tertahan sehingga terjadi pengembangan volume (Winarno dan Koswara, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi daya busa adalah sebagai berikut : a)
Suhu Produksi busa terbaik akan dicapai pada suhu ruangan. Pada suhu dingin
akan menghasilkan volume busa yang rendah, tetapi stabilisasinya tidak terpengaruh. Sebaliknya suhu di atas 580C mendekati suhu pasteurisasi meningkatkan tegangan permukaan, sebagai dampak denaturasi protein (Bell and Weaver, 2002). Pengocokan putih telur pada suhu 10 - 25oC tidak mempengaruhi pembentukan busa, tetapi pada suhu ini dapat mengakibatkan penurunan tegangan permukaan yang akan mempermudah pembentukan busa. Pengocokan telur pada suhu 46,11oC menghasilkan busa yang lebih baik (Winarno dan Koswara, 2002). Ovalbumin merupakan protein utama yang sangat berperan untuk sifat fungsional dari putih telur tetapi dapat terdenaturasi pada suhu 84oC. Conalbumin sangat sensitif dengan perlakuan pemanasan karena dapat terdenaturasi pada suhu 63oC (Arzeni et al., 2009).
7
b) pH Bell and Weaver (2002) melaporkan bahwa pH tinggi berpengaruh pada volume busa dan lama pengocokan. Putih telur yang tidak dipanaskan sampai pada pH 8,75 memberikan hasil yang baik, namun stabilitas dari daya busa karena menurun bila terjadi perubahan pH (Lomakina and Mikova, 2006). c) Aditif Penambahan zat seperti air, gula, garam (Bell and Weaver 2002) serta penambahan
beberapa
zat
aditif
seperti
aluminium
sulfat,
saccharose,
maltodextrin, natrium pyhrophosfat dan natrium hexametaphosphate. Hasil penelitian Lomakina and Mikova (2006) melaporkan bahwa penambahan enzim papain dalam konsentrasi tinggi dapat menghasilkan daya busa yang lebih tinggi. Komponen putih telur yang berperan dalam pembentukan buih adalah ovomucin yang berfungsi menstabilkan buih. Ovoglobulin berperan dalam menunjang adanya viskositas yang tinggi dan mengurangi tendensi cairan untuk mengering dari gelembung udara, serta membantu tahap awal pembuihan (Stadelman dan Cotterill, 1995). Menurut Winarno dan Koswara (2002) bahwa volume dan kestabilan busa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur telur, suhu, kualitas telur, pH, lama pengocokan dan ada tidaknya bahan lain yang ditambahkan. Menurut
Romanoff
dan
Romanoff
(1963),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi daya dan kestabilan buih putih telur antara lain lama pengocokan, pH, suhu, serta penambahan bahan kimia atau bahan tambahan lainnya. Volume buih putih telur akan meningkat seiring lamanya waktu pengocokkan, namun
8
setelah lama pengocokan 6 menit, tidak ada lagi kenaikan volume buih. Kestabilan buih tertinggi didapat setelah lama pengocokkan 2 menit, sehingga untuk mendapatkan kestabilan buih yang diinginkan, putih telur sebaiknya tidak dikocok hingga mencapai volume maksimum. Volume dari putih telur yang dikocok akan meningkat seiring kenaikan nilai pH. Selanjutnya disebutkan bahwa putih telur dengan nilai pH di bawah 8 memerlukan waktu pengocokan yang lebih lama untuk memperoleh buih yang stabil. Pemanasan putih telur pada suhu di atas 50 oC dapat menyebabkan penurunan kestabilan buih dan volume buih putih telur yang dihasilkan juga akan menurun sekitar 30% lebih rendah dari umumnya (Romanoff dan Romanoff, 1963). Salah satu daya guna putih telur adalah pembentuk buih. Semakin banyak udara yang terperangkap, buih yang terbentuk akan semakin kokoh dan mampu menahan air sehingga tidak mudah mencair. Daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persen terhadap putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Daya buih merupakan salah satu faktor penting yang menentukan nilai telur sebagai pangan misalnya dalam pembuatan tepung telur dan kue. Telur yang baik memiliki daya buih sebesar 6 sampai 8 kali volume putih telur (Georgian Egg Commission, 2005). Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Indikator kestabilan
9
buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan buih (Stadelman dan Cotterill, 1995). Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas yang rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau direnggangkan seluas mungkin (Stadelman dan Cotterill, 1995). Waktu Koagulasi dan Kekuatan Gel Putih Telur Koagulasi merupakan sifat koloid yang bereaksi membentuk gumpalan zat dari cair menjadi semi padat. Reaksi koagulasi koloid bergabung dengan partikelpartikel koloid secara bersama membentuk zat dengan massa yang lebih besar. Koagulasi pada telur ditandai dengan kelarutan atau berubahnya bentuk cairan (sol) menjadi padat (gel). Perubahan struktur molekul ini dapat disebabkan oleh pengaruh panas, mekanik, asam, basa, garam, dan perekasi garam lain seperti urea. Koagulasi karena pengaruh panas disebabkan pemanasan pada suhu 60-70 0
C. Sifat koagulasi ini dimiliki oleh putih dan kuning telur (Anonim, 2010). Koagulasi atau penggumpalan adalah perubahan struktur protein telur yang
mengakibatkan peningkatan kekentalan dan hilangnya kelarutan, atau dapat juga berarti perubahan bentuk dari cairan (sol) menjadi bentuk padat atau semi padat
10
(gel). Koagulasi protein telur dapat terjadi karena panas, garam, asam, basa atau pereaksi lainnya (misalnya urea) (Lee and Chen, 2002). Koagulasi oleh panas terjadi akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein karena ikatan-ikatan antar molekul. Putih telur ayam akan terkoagulasi pada suhu 62oC. Sedangkan kuning telurnya terkoagulasi pada 65oC. Putih telur bebek terkoagulasi pada suhu yang lebih rendah, yaitu 55oC setelah 10 menit pemanasan (Winarno dan Koswara, 2002). Sifat koagulasi telur atau kemampuannya untuk berubah bentuk dari cair menjadi padat/semipadat selama proses pemanasan bermanfaat sebagai bahan pengikat komponen lain dalam formulasi makanan (misalkan pada sauce, isi pie, custard, topping maupun produk-produk bakery) dan membentuk tekstur. Kemampuan koagulasi ini memungkinkan telur untuk mengikat air dan mempertahankan kesan basah produk bakery selama penyimpanan. Untuk terkoagulasi, kuning telur membutuhkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan putih telur. Selain suhu, koagulasi juga dipengaruhi oleh keberadaan ingridien lain dan tingkat keasaman. Secara umum, makin tinggi pH, maka sifat koagulasi (kekuatan gel) akan melemah. Hal ini perlu diperhatikan, karena pH telur biasanya meningkat selama penyimpanan (Anonim, 2010). Pentingnya pembentukan gel dalam makanan sudah diketahui dengan baik, misalnya pada daging. Pada bentuk gel, protein menjadi tekstur utama pembangun komponen-komponennya. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa protein putih telur (ovalbumin) dapat membentuk suatu gel yeng terinduksi panas dengan baik pada kondisi tertentu. Pada proses pembentukan gel, tahap pertama yang terjadi adalah
11
proses denaturasi protein dan tahap yang kedua adalah proses agregasi. Perbandingan laju antara tahap denaturasi dan tahap agregasi dapat membantu untuk menentukan karakteristik dari suatu gel (Rahmansyah, 2005). Kekuatan gel adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein pangan. Kualitas beberapa bahan pangan terutama tekstur dan mouthfeel ditentukan oleh kapasitas gel protein. Sifat unik dari protein gel adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan. Gel sebagai fenomena agregasi protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-pelarut setimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk (Kusnandar, 2005). Menurut Kusnandar (2005), gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen polipeptida uncoiled yang berinteraksi pada titik tertentu membentuk jaringan tiga dimensi. Formasi gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan hidrofobik, ikatan Van der Waals, dan ikatan kovalen disulfida dan kekuatan gel berhubungan dengan ukuran dan bentuk polipeptida dalam matriks gel. Beberapa faktor yang mempengaruhi sifat gel protein, yaitu (Kusnandar, 2005):
Konsentrasi protein. Kekuatan gel meningkat dengan semakin tingginya konsen-trasi
protein.
Konsentrasi
protein
yang
dibutuhkan
untuk
pembentukan gel tergantung dari jenis protein. Gelatin dapat membentuk gel dengan konsentrasi yang relatif rendah, sedangkan protein globular membutuhkan konsentrasi yang tinggi.
12
Nilai pH dan kekuatan ion. Untuk protein dengan persentase asam amino hidro-fobik yang besar seperti albumin, pH gel tergantung dari konsentrasi protein. Gel yang terbentuk pada kekuatan ion yang rendah (0.25 M KCl) menunjukkan mikrostruktur yang baik, dan gel yang dibentuk pada kekuatan ion yang besar (0.6 M KCl) menunjukkan mikrostruktur yang kasar.
C. Pengeringan Beku (Freeze Drying) Pengeringan merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan dari pengawetan makanan yang bertujuan mengurangi kadar air sehingga kerusakan akibat reaksi dan mikroba dapat diminimalkan (Molina et al., 2011). Pengeringan selain untuk mengawetkan makanan juga mempunyai beberapa keuntungan antara lain akan mengurangi kesulitan dalam pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan. Menurut Wirakartakusumah dkk., (1992), pengeringan membuat bahan menjadi padat dan kering sehingga lebih memudahkan dalam pengangkutan, pengemasan maupun penyimpanan. Disamping keuntungan tersebut, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain-lain. Kondisi pengeringan yang tidak terkendali menimbulkan bau gosong, sifat bahan dan ukuran bahan mempengaruhi kecepatan pengeringan. Pengeringan berbagai produk telur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain pengeringan semprot (Spray drying), pengeringan busa (Foaming drying), pengeringan lapis tipis (Pan drying) dan pengeringan beku (Freeze
13
drying). Pengeringan beku lebih efisien dibandingkan dengan pengeringan spray untuk proses pengeringan partikel-partikel kecil dan direkomendasikan untuk integritas partikel dan total padatan yang dihasilkan (Novitasari, 2006). Pengeringan semprot (Spray drying) biasanya digunakan dalam membuat tepung telur dan tepung kuning telur tetapi tidak dapat digunakan dalam pembuatan
tepung.
putih
telur,
karena
dapat
menyebabkan
terjadinya
penggumpalan dan penyumbatan pada nozzle alat pengering semprot (Novitasari, 2006). Foaming drying dilakukan untuk pengeringan bahan yang bersifat cair dan dapat dibusakan seperti putih telur. Pembusaan ini dilakukan untuk memperluas permukaan dan mempercepat proses pengeringan. Suhu pengeringan yang o
digunakan pada metode ini adalah 82,22 C selama 12 menit. Kandungan air yang diperoleh pada pengeringan ini adalah sebesar 2-3 persen (Novitasari, 2006). Metode pan drying merupakan metode pengeringan yang mudah dilakukan dan membutuhkan biaya yang murah. Pengeringan ini dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur, tepung kuning telur maupun tepung telur utuh. Pengeringan ini dilakukan dengan menggunakan oven. Suhu yang digunakan pada o
pengeringan ini berkisar antara 45-50 C Novitasari (2006). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) suhu yang digunakan dalam pengeringan pan drying adalah o
pada suhu sekitar 40-45 C dengan tebal lapisan bahan sekitar 6 mm selama 22 jam akan diperoleh produk kering dengan kadar air 5%. Freeze Dryer merupakan suatu alat pengeringan yang termasuk kedalam Conduction Dryer/ Indirect Dryer karena proses perpindahan terjadi secara tidak
14
langsung yaitu antara bahan yang akan dikeringkan (bahan basah) dan media pemanas terdapat dinding pembatas sehingga air dalam bahan basah / lembab yang menguap tidak terbawa bersama media pemanas. Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan panas terjadi secara hantaran (konduksi) (Lestari, 2012). Menurut
Lestari (2012), untuk proses pengeringan beku (freeze dryer)
bahan yang dikeringkan terlebih dahulu dibekukan kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah sehingga kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap, dikenal dengan istilah sublimasi. Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah. Penggunaan freeze drying ini sendiri juga telah banyak diaplikasikan dalam pengeringan produk makanan, hasil dari pengeringan ini tidak merubah tekstur dari produk itu sendiri dan cepat kembali kebentuk awalnya dengan penambahan air. Pengeringan menggunakan alat freeze dryer/pengering beku lebih aman terhadap resiko terjadinya degradasi senyawa dalam ekstrak. Hal ini kemungkinan karena suhu yang digunakan untuk mengeringkan ekstrak cukup rendah. Pengeringan beku ini dapat meninggalkan kadar air sampai 1%, sehingga produk bahan alam yang dikeringkan menjadi stabil dan sangat memenuhi syarat untuk pembuatan sediaan farmasi dari bahan alam yang kadar airnya harus kurang dari 10% (Lestari, 2012). Pada prinsipnya pengeringan beku terdiri atas dua urutan proses, yaitu pembekuan yang dilanjutkan dengan pengeringan. Dalam hal ini, proses pengeringan berlangsung pada saat bahan dalam keadaan beku, sehingga proses
15
perubahan fase yang terjadi adalah sublimasi. Sublimasi dapat terjadi jika suhu dan tekanan ruang sangat rendah, yaitu dibawah titik tripel air (Gambar 1. ) Menurut Liapis dan Bruttini (1995) mengatakan bahwa proses pengeringan beku terdiri atas tiga tahap yaitu : a.
Tahap pembekuan, pada tahap ini bahan pangan atau larutan didinginkan hingga suhu dimana seluruh bahan baku menjadi beku.
b.
Tahap pengeringan utama, disini air dan pelarut dalam keadaan beku dikeluarkan secara sublimasi. Dalam hal ini tekanan ruangan harus kurang atau mendekati tekanan uap kesetimbangan air di bahan beku. Karena bahan pangan atau larutan bukan air murni tapi merupakan campuran bersama komponen-komponen lain, maka pembekuan harus dibawah 0
o
C dan
biasanya dibawah -10 oC atau lebih rendah, untuk tekanan kira-kira 2 mm Hg atau lebih kecil. Tahap pengeringan ini berakhir bila semua air telah tersublim. Gambar 1. Prinsip Kerja Pengeringan Beku
Sumber : (Chan, 2011)
16
c.
Tahap pengeringan sekunder, tahap ini mencakup pengeluaran air hasil sublimasi atau air terikat yang ada dilapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai segera setelah tahap pengeringan utama berakhir
D. Pengaruh Suhu dan Ketebalan Pengeringan berbagai produk telur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain spray drying (putih telur, kuning telur dan telur utuh), pan drying (putih telur), dan freeze drying (telur utuh). Pengeringan sangat berpengaruh terhadap suhu dan ketebalan cairan. Hasil penelitian Budiman dkk., (2009) melaporkan bahwa pengeringan putih telur dilakukan dengan metode pan drying dengan ketebalan 6 mm dengan suhu 50oC membutuhkan waktu selama 42 jam untuk mengeringkan tepung putih sampai kering dan membentuk flake. Suhu pengeringan dan ketebalan cairan sangat berpengaruh terhadap lama pengeringan tepung putih telur. Hasil penelitian lain dari Herman (2000) melalukan penelitian pengeringan bawang putih dengan ketebalan 2 mm yang dikeringkan dengan freeze dryer dengan suhu -80oC membutuhkan waktu selama 35 jam untuk menghasilkan tepung bawang. Anggoro (2007) yang melakukan penelitian dengan alat yang sama melakukan pengeringan daging sapi menjadi tepung daging sapi dengan ketebalan 3 mm dengan menggunakan suhu pengeringan -50oC membutuhkan waktu selama 48 jam untuk menghasilkan tepung daging sapi. Suhu dan ketebalan pengeringan dengan freeze dryer tidak hanya berpengaruh terhadap lama pengeringan tetapi kandungan dari larutan yang dikeringkan juga dapat mempengaruhi lama pengeringan dari suatu produk.
17
Pujihastuti (2009) melakukan penelitian pengawetan tomat dengan cara tomat dibersihkan kemudian diiris dengan ketebalan 3-5 mm kemudian dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -50oC selama 33 jam.
18
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2013, bertempat di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Materi yang digunakan antara lain telur ayam ras strain Lohman brown yang diperoleh dari Peternakan Ayam Petelur Komersial Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Telur yang digunakan adalah telur yang berumur 1–2 hari. Bahan-bahan pendukung antara lain, akuades dan tissue. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, mixser, plastik klip, kertas label, stopwatch, waterbath, tabung silinder, alat ukur kekuatan gel. A. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x3 dengan 4 kali ulangan, yang terdiri dari 2 faktor. Faktor I (Perlakuan Suhu) S1 : -30 oC, S2 : -33 o, S3 : -36 oC Faktor II (Ketebalan Cairan) K1 : 4,5 mm, K2 : 5,5 mm, K3 : 6,5 mm
19
Diagram Alir Penelitian Prosedur Pembuatan Tepung Putih Telur Telur ayam ras
Persiapan telur
Pemecahan telur
Pemisahan isi telur dan homogenisasi
Pembekuan dalam Freezer : 24 Jam
Suhu Ketebalan
Pengeringan beku : -30oC, -33oC, -36oC : 4,5mm, 5,5mm, 6,5mm
Tepung putih telur ayam ras Analisis sifat fungsional
1.
Daya Busa
2.
Stabilitas Busa
3.
Waktu Koagulasi
4.
Kekuatan Gel
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
20
B. Prosedur Penelitian Tahap-tahap pembuatan tepung putih telur adalah sebagai berikut : 1. Persiapan telur. Telur dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran-kotorannya. 2. Pemisahan isi telur dan homogenisasi. Telur dipecahkan kemudian dipisahkan bagian kuning dan putih telurnya, lalu putih telur dihomogenkan dengan menggunakan mixser selama 3 menit hingga tercampur rata. 3. Putih telur dibekukan di freezer selama 24 jam 4. Putih telur yang telah dibekukan, kemudian dimasukkan kedalam freeze dreyer pada suhu -30 oC, -33 oC, -36oC dengan ketebalan 4,5mm, 5,5mm dan 6,5mm. 5. Seteleh kering putih telur kemudian di haluskan. Kemudian uji daya busa, stabilitas busa, waktu koagulasi dan kekuatan gel. C. Parameter yang Diukur Pada yang akan diukur dalam penelitian meliputi : 1.
Daya busa (Nahariah dkk., 2012) Daya busa tepung putih telur dihitung dengan mengencerkan tepung telur menggunakan aquades (1 : 9), kemudian di kocok dengan menggunakan mixer selama 3 menit dan didiamkan selama 60 menit. Perhitungan daya busa tepung telur dihitung dengan rumus sebagai berikut :
BJ =
W
V
BJ = berat jenis putih telur W = berat busa putih telur V = Volume busa
V = volume putih telur
21
Daya busa (F) dihitung dengan rumus : F = [
BJ . V busa W busa
X 100% ] – 100%
Keterangan :
2.
F
= Daya busa putih telur (%)
BJ
= Berat jenis putih telur (g/cc)
V
= Volume busa (cc)
W
= Berat busa (g)
Stabilitas busa (Stadelman dan Cotterill, 1995) Busa tepung putih telur yang telah didiamkan selama 60 menit kemudian ditiriskan kedalam tabung ukur untuk melihat volume tirisan dari tepung putih telur dan selanjutnya busa putih telur ditimbang. L=
BJ x I x 100% W
Keterangan : L = Persentase tirisan busa per jam (%) I
= Volume tirisan buih per jam (cc)
W = Berat busa (g) BJ = Berat Jenis (g/cc) 3.
Waktu koagulasi (Nahariah dkk., 2012) Waktu koagulasi tepung putih telur dihitung dengan mengencerkan tepung telur menggunakan aquades (1 : 9) kemudian di aduk menggunakan pengaduk kaca tanpa menghasilkan busa, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung
22
koagulasi kemudian dimasukan kedalam waterbath dengan suhu 80oC. Waktu koagulasi ditentukan dengan pengamatan waktu mulai saat dimasukkan tabung ke dalam waterbath sampai terbentuknya gumpalan larutan telur dalam satuan menit dengan rumus sebagai berikut :
WK = W1 – W0 Keterangan :
4.
WK
= Waktu Koagulasi
W1
= Waktu Terbentuknya Koagulasi
W0
= Waktu tabung dimasukkan ke dalam penangas air
Kekuatan Gel (British Standard 757, 1975) Sampel sebanyak 1g dilarutkan dengan aquades 9 ml, kemudian dipanaskan. Kemudian di aduk menggunakan pengaduk kaca tanpa menghasilkan busa, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung kemudian dimasukan kedalam waterbath dengan suhu 80oC, setelah itu didinginkan pada 10oC (suhu refrigator) selama 24 jam. Gel yang terbentuk selanjutnya diukur menggunakan CD-Shear Force kemudian nilai akan tertera pada layar. Perhitungan dilihat pada saat alat mulai menekan gel. Hasil dari tekanan yang diperoleh ditentukan kekuatan gelnya sebagai berikut : 1 kg = 9,81 N Kekuatan Gel (g bloom) = 20 + 2,86.10-3 D Keterangan : D = Kekuatan Gel (dyne/cm2) F
Kekuatan gel (dyne/cm2) = G x 980
23
F = Gaya (Newton) G = Konstanta (0,07) Analisa Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam sesuai dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dan perlakuan yang memberi pengaruh nyata diuji lebih
dengan menggunakan uji Beda Nyata
Terkecil. Adapun model matematikanya yaitu : Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk I j k
= 1,23 = 1,2,3 = 1,2,3,4 (ulangan)
Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada tepung putih telur ke-k yang menggunakan perbedaan suhu ke-i dan ketebalan cairan ke-j
μ
= Nilai rata-rata perlakuan
αi
= Pengaruh perbedaan suhu ke-i terhadap kualitas tepung putih telur ke-k
βj
= Pengaruh ketebalan cairan ke-i terhadap kualitas tepung putih telur
(αβ)ij = Pengaruh interaksi perbedaan suhu ke-i terhadap ketebalan cairan ke-k €ijk
= Pengaruh galat yang menerima perlakuan ketebalan cairan ke-i dan perbedaan suhu ke-j Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka
dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Busa Daya busa merupakan ukuran kemampuan dari tepung putih telur untuk membentuk busa bila dilakukan pengocokan dan biasanya dinyatakan dalam persen terhadap putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Daya busa dari tepung putih telur dengan penggunaan suhu dan ketebalan berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Rataan Daya Busa (%)Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda Ketebalan (mm) Suhu (oC) Rata-rata 4,5 5,5 6,5 -30 809,12 536,17 592,09 645,79 -33 775,97 790,62 606,77 724,45 -36 686,49 642,05 803,66 710,73 Rata-rata 757,19 656,28 667,51 Hasil analisis ragam (Tabel 3) menunjukkan bahwa suhu dan ketebalan
tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase daya busa tepung putih telur serta interaksi antara suhu dan ketebalan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase daya busa tepung putih telur. a.
Pengaruh Suhu Terhadap Persentase Daya Busa Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 3) rata-rata persentase daya busa tepung putih telur akan
meningkat seiring dengan penurunan suhu dan optimal pada suhu -33oC. Hal ini menunjukkan bahwa suhu -36oC dan suhu -30oC menunjukkan penurunan persentase daya busa tepung putih telur. Rata-rata persentase volume daya busa tepung putih telur tertinggi diperoleh pada suhu -33oC sebesar 724,45%.
25
Menurut Amiarti (2007) menyatakan bahwa daya busa yang dicapai masih termasuk lebih rendah (kurang dari 600%) atau belum sesuai dengan harapan. Tingginya daya busa dalam penelitian ini disebabkan oleh penggunaan suhu yang rendah pada saat proses pengeringan, dimana cairan putih telur dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer. Hal ini sesuai dengan pendapat Armansyah (2013) bahwa pengeringan menggunakan freeze dryer menyebabkan bentuk bahan tidak mengalami perubahan yang besar dibandingkan sebelumnya, serta proses rehidrasi air (pembasahan kembali) lebih baik dari pada proses pengeringan lainnya. Penelitian Nahariah (2012) melaporkan bahwa pembuatan tepung putih telur dengan metode pan drying pada putih telur yang difermentasi dengan yeast dan ditambahkan gula menggunakan suhu 55oC menghasilkan nilai rataan daya busa 523,07%. Penelitian yang sama dilakukan oleh Amiarti (2007) melaporkan bahwa pengeringan tepung putih telur itik dengan metode pan drying menggunakan suhu 50oC dengan penambahan asam sitrat yang berbeda menghasilkan nilai daya busa sebesar 522,22%. b. Ketebalan Terhadap Persentase Daya Busa Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 3) rata-rata persentase daya busa tepung putih telur dengan ketebalan yang rendah menunjukkan persentase daya busa lebih tinggi dibanding dengan ketebalan yang tertinggi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi ketebalan maka akan menurunkan persentase daya busa tepung putih telur akan tetapi terjadi sedikit peningkatan pada ketebalan yang tertinggi.
26
Rata-rata persentase volume daya busa tepung putih telur tertinggi dalam penelitian ini diperoleh pada ketebalan 4,5mm sebesar 757,19%. Penelitian Hintono (2013) melaporkan bahwa pembuatan tepung putih telur hasil pengeringan vakum-freeze drying pada tekanan 0,37 mbar dan ketebalan cairan sampel 5 mm menghasilkan karakteristik fungsional dengan nilai rataan daya busa (339,03%). Puspitasari (2006) melakukan penelitian sifat fisik dan fungsional tepung putih telur ayam ras dengan waktu desugarisasi berbeda dengan metode pan drying dengan ketebalan 6 mm menghasilkan nilai rataan daya busa 511,10%. Ketebalan tidak berpengaruh terhadap daya busa tepung putih telur. Jadi baik ketebalan putih telur yang rendah maupun ketebalan putih telur yang tinggi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai daya busa tepung putih telur. Oleh karena itu, penggunaan ketebalan yang rendah lebih baik dibanding dengan ketebalan yang tinggi karena dengan ketebalan yang rendah dapat menghasilkan daya busa yang lebih baik. c.
Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Persentase Daya Busa Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 3) persentase interaksi antara suhu dan ketebalan tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap daya busa tepung putih telur. Hasil ini menunjukkan bahwa pengeringan tepung putih telur menggunkan freeze dryer baik pada suhu dan ketebalan yang rendah maupun tinggi tidak memberikan pengaruh terhadap persentase daya busa tepung putih telur.
27
Stabilitas Busa Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume, atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah (Stadelman dan Cotterill, 1995). Tabel 4.
ab
Rataan Stabilitas Busa (%)Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda Ketebalan (mm) Suhu (oC) Rata-rata 4,5 5,5 6,5 -30 99,77 99,69 99,72 99,72 -33 99,77 99,80 99,50 99,69 -36 99,77 99,64 99,80 99,74 Rata-rata 99,77b 99,71ab 99,67a Superskrip yang berbeda mengikuti nilai rataan pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa suhu tidak berpengaruh
nyata (P>0,05) terhadap persentase stabilitas busa tepung putih telur, sedangkan ketebalan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase stabilitas busa tepung putih telur serta interaksi antara suhu dan ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase stabilitas busa tepung putih telur. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu dan ketebalan memberikan pengaruh terhadap stabilitas busa tepung putih telur. a.
Pengaruh Suhu Terhadap Persentase Stabilitas Busa Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 4) rata-rata persentase stabilitas busa tepung putih telur
pada suhu tertinggi mengalami peningkatan stabilitas busa dan mengalami
28
penurunan pada suhu yang lebih rendah akan tetapi kembali mengalami peningkatan pada suhu yang paling rendah. Menurut Winarno dan Koswara (2002) bahwa volume dan kestabilan busa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur telur, suhu, kualitas telur, pH, lama pengocokan dan ada tidaknya bahan lain yang ditambahkan. Persentase stabilitas busa tepung putih telur dalam penelitian ini diperoleh pada suhu terendah memberikan hasil yang sedikit lebih baik sekitar 99,74%. Hasil penelitian Amiarti (2007) melaporkan bahwa pengeringan tepung putih telur itik dengan metode pan drying menggunakan suhu 50oC dengan penambahan asam sitrat yang berbeda menghasilkan nilai stabilitas busa sebesar 88,83%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sa’adah (2007) melaporkan bahwa daya dan kestabilan buih putih telur ayam ras pada umur simpan dan level penambahan asam sitrat yang berbeda menghasilkan nilai stabilitasa busa sebesar 98,18%. b. Pengaruh Ketebalan Terhadap Persentase Stabilitas Busa Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 4) rata-rata persentase stabilitas busa tepung putih pada ketebalan yang rendah menghasilkan nilai persentase stabilitas busa yang lebih baik dibanding dengan cairan tepung putih telur pada ketebalan yang tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tebal cairan tepung putih telur maka akan menurunkan nilai stabilitas busa. Nilai kestabilan busa berbanding terbalik dengan persentase tirisan busa (Stadelman dan Cotterill, 1995). Semakin rendah tirisan busa yang dihasilkan, maka menunjukkan kestabilan busa tepung putih telur semakin tinggi. Nilai persentase dari rata-rata stabilitas tertinggi dalam penelitian
29
ini diperoleh pada ketebalan 4,5mm sebesar 99,97%. Penelitian Hintono (2013) melaporkan bahwa pembuatan tepung putih telur hasil pengeringan vakum-freeze drying pada tekanan 0,37 mbar dengan ketebalan 5mm menghasilkan karakteristik fungsional dengan nilai rataan stabilitas busa 97,57 %. Tingginya nilai stabilitas busa dari penelitian ini karena menggunakan telur yang berumur 1 – 2 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar dkk.,(2012) yang menyatakan bahwa semakin lama umur telur maka stabilitas busa telur semakin rendah, dikarenakan ovomucin yang berperan pada telur segar sebagai protein pengikat air sudah lemah sehingga kestabilan busa telur rendah. c.
Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Persentase Stabilitas Busa Tepung Putih Telur. Interaksi antara suhu dan ketebalan (Tabel 4) berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap stabilitas busa tepung putih telur ditunjukkan pada Gambar 3. Penggunaan ketebalan menunjukkan peningkatan stabilitas busa tepung putih telur dengan perlakuan suhu. Namun demikian dengan penggunaan suhu -30oC maupun pada suhu -33oC pada ketebalan 5,5mm dan 6,5mm menghasilkan stabilitas busa lebih rendah dibanding dengan suhu -36oC. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan suhu yang rendah dapat menghasilkan stabilitas busa yang lebih baik, dapat dilihat pada (Tabel 4).
30
Gambar 3. Grafik interaksi antara suhu dan ketebalan terhadap stabilitas busa tepung putih telur. Waktu Koagulasi Koagulasi merupakan sifat koloid yang bereaksi membentuk gumpalan zat dari cair menjadi semi padat. Koagulasi pada telur ditandai dengan kelarutan atau berubahnya bentuk cairan (sol) menjadi padat (gel) (Anonim, 2010). Rataan waktu koagulasi dari tepung putih telur berdasarkan suhu dan ketebalan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5.
ab
Rataan Waktu Koagulasi (Menit) Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda Ketebalan (mm) Suhu (oC) Rata-rata 4,5 5,5 6,5 -30 4,00 5,00 7,00 5,33c -33 5,00 6,00 4,00 5,00b -36 4,00 5,00 5,00 4,67a Rata-rata 4,33a 5,33b 5,33b Superskrip yang berbeda mengikuti nilai rataan pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis ragam (Tabel 5) menunjukkan bahwa suhu dan ketebalan serta
interaksi antara suhu dan ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap waktu koagulasi dari tepung putih telur.
31
a.
Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Koagulasi Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 5) rata-rata waktu koagulasi tepung putih telur pada
suhu yang tinggi mengalami peningkatan waktu koagulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka waktu koagulasi yang dibutuhkan semakin lama, sebaliknya semakin rendah suhu maka waktu koagulasi yang dibutuhkan semakin sedikit. Waktu koagulasi terendah dalam penelitian ini terjadi pada suhu yang tinggi dengan waktu yang relatif lama yaitu 5,33 menit sehingga terjadi denaturasi protein dalam jumlah yang banyak sedangkan koagulasi tinggi terjadi pada suhu rendah dengan waktu yang relatif cepat yaitu 4,67 menit sehingga protein yang terdenaturasi sedikit, hal ini dapat dilihat pada (Tabel 5). Menurut Jing et al., (2009), penurunan koagulasi putih telur mengakibatkan denaturasi protein meningkat dan membutuhkan waktu yang lama untuk membentuk gel pada putih telur. b. Pengaruh Ketebalan Terhadap Waktu Koagulasi Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 5) rata-rata waktu koagulasi tepung putih telur pada ketebalan yang rendah mengasilkan waktu koagulasi yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ketebalan yang rendah menghasilkan waktu koagulasi yang baik sedangkan pada ketebalan yang tinggi waktu koagulasinya kurang lebih sama. Waktu koagulasi terendah dalam penelitian ini terjadi pada ketebalan yang tinggi dengan waktu yang relatif lama yaitu 5,33 menit sehingga terjadi denaturasi protein dalam jumlah yang banyak sedangkan koagulasi tinggi terjadi pada ketebalan yang rendah dengan waktu yang relatif cepat yaitu 4,33 menit sehingga protein yang terdenaturasi sedikit, hal ini dapat dilihat pada (Tabel 5). Penelitian
32
Hintono (2013) melaporkan bahwa pembuatan tepung putih telur hasil pengeringan vakum-freeze drying pada tekanan 0,37 mbar dan ketebalan cairan sampel 5 mm menghasilkan karakteristik fungsional waktu koagulasi 5,33 menit. Cepatnya waktu koagulasi pada penelitian ini diduga karena disebabkan dalam tepung putih telur masih banyak glukosa yang ada dalam tepung telur. Musfika (2008) menyatakan bahwa waktu koagulasi tidak hanya ditentukan oleh kandungan glukosa dalam putih telur, tetapi faktor lain juga ikut menentukan. Peryataan ini juga didukung oleh Bell and Weaver (2002), yang menyatakan bahwa waktu koagulasi dipengaruhi oleh pH, garam, bahan lain dan lama pemanasan. c.
Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Waktu Koagulasi Tepung Putih Telur. Interaksi antara suhu dan ketebalan (Tabel 5) berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap waktu koagulasi tepung putih telur ditunjukkan pada Gambar 4. Penggunaan ketebalan menunjukkan peningkatan waktu koagulasi tepung putih telur dengan perlakuan suhu. Namun demikian dengan penggunaan suhu -30oC maupun pada suhu -36oC pada ketebalan 4,5mm dan 5,5mm menghasilkan stabilitas busa lebih rendah dibanding dengan suhu -33oC. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan suhu yang tinggi dan suhu yang rendah membutuhkan waktu koagulasi yang lama, dapat dilihat pada (Tabel 5).
33
Gambar 4. Grafik interaksi antara suhu dan ketebalan terhadap Waktu koagulasi tepung putih telur. Kekuatan Gel Kekuatan gel adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein pangan. Sifat unik dari protein gel adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan. Gel tepung putih telur terbentuk bila dilakukan pemanasan (Houska, 2004). Nilai hasil pengukuran kekuatan gel dapat dilihat pada (Tabel 6). Tabel 6.
ab
Rataan Kekuatan Gel (g Bloom) Tepung Putih Telur dengan Suhu dan Ketebalan Berbeda Ketebalan (mm) Suhu (oC) Rata-rata 4,5 5,5 6,5 -30 142,75 124,09 98,23 121,69ab -33 137,84 120,82 152,24 136,96b -36 107,07 100,20 138,17 115,14a Rata-rata 129,22 115,03 129,55 Superskrip yang berbeda mengikuti nilai rataan pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis ragam (Tabel 6) menunjukkan bahwa suhu berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap nilai kekuatan gel tepung putih telur, sedangkan ketebalan tidak
34
berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai kekuatan gel tepung putih telur serta interaksi antara suhu dan ketebalan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kekuatan gel tepung putih telur. Hal ini menunjukkan bahwa suhu dan ketebalan memberikan pengaruh terhadap nilai kekuatan gel tepung putih telur. a.
Pengaruh Suhu Terhadap Kekuatan Gel Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 6) rata-rata nilai kekuatan gel tepung putih telur pada
suhu yang tinggi dan suhu yang terendah mengalami penurunan nilai kekuatan gel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kekuatan gel yang terbaik diperoleh pada suhu -33oC. Penelitian yang dilakukan oleh (Lee and Chen, 2002) melaporkan bahwa karakteristik fungsional putih telur dengan perlakuan enzim papain pada putih telur tanpa desugarisasi menghasilkan nilai kekuatan gel sebesar 1,08 KN/cm2. Rendahnya kekuatan gel dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti panas yang menyebabkan rendahnya waktu koagulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat (Kusnandar, 2005) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel adalah panas, pH, kekuatan ion dan konsentrasi protein. Panas akan mendenaturasi dan menjadikan bentuk protein membuka dan memacu terjadinya pertukaran ikatan disulfid dan terjadi pembentukan ikatan disulfid yang baru. Wiratmaja (2006) juga melaporkan bahwa lemahnya kemampaun protein dalam mengikat air akan menurunkan daya pembentukan gel.
35
b. Pengaruh Ketebalan Terhadap Kekuatan Gel Tepung Putih Telur. Berdasarkan (Tabel 6), rata-rata nilai kekuatan gel tepung putih telur pada ketebalan yang terendah dan ketebalan yang tertinggi menghasilkan nilai kekuatan gel yang baik. Tepung putih telur yang dihasilkan dalam penelitian ini mampu membentuk gel tapi setelah pengujian nilai kekuatan gel yang dihasilkan rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Amiruldin (2007) yang menyatakan bahwa asam amino prolin dan hidroksiprolin yang sedikit menyebabkan rendahnya kekuatan gel. Lebih lanjut Sompie (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa keberadaan hidroksiprolin menyebabkan kestabilan ikatan hidrogen antara molekul air dan gugus hidroksil bebas dari asam amino, hal ini sangat penting untuk kekutan gel. c.
Interaksi Antara Suhu dan Ketebalan Terhadap Kekuatan Gel Tepung Putih Telur. Interaksi antara suhu dan ketebalan (Tabel 6) berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap kekuatan gel tepung putih telur ditunjukkan pada Gambar 5. Penggunaan ketebalan menunjukkan peningkatan waktu koagulasi tepung putih telur dengan perlakuan suhu. Namun demikian dengan penggunaan suhu -30oC maupun pada suhu -36oC pada ketebalan 5,5mm dan 6,5mm menghasilkan stabilitas busa lebih rendah dibanding dengan suhu -33oC. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan suhu yang tinggi dan suhu yang rendah menghasilkan nilai kekuatan gel yang rendah, dapat dilihat pada (Tabel 6).
36
Gambar 5. Grafik interaksi antara suhu dan ketebalan terhadap Nilai Kekuatan Gel tepung putih telur.
37
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perlakuan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap daya busa tepung putih telur namun berpengaruh nyata terhadap stabilitas busa, waktu koagulasi dan kekuatan gel tepung putih telur.
2.
Perlakuan ketebalan tidak berpengaruh nyata terhadap daya busa dan kekuatan gel tepung putih telur namun berpengaruh nyata terhadap stabilitas busa dan berpengaruh sangat nyata pada waktu koagulasi tepung putih telur.
3.
Tidak adanya interaksi antara suhu dan ketebalan tepung putih telur terhadap persentase daya busa namun terhadap stabilitas busa, waktu koagulasi dan kekuatan gel menunjukkan adanya interaksi yang berpengaruh sangat nyata.
Saran Penggunaan suhu -36oC dengan ketebalan 4,5mm sebagai bahan untuk mengeringkan tepung putih telur direkomendasikan karena menghasilkan tepung putih telur yang baik dan sifatnya bernilai ekonomis.
38
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, N. I. 2008. Pengaruh Penggunaan Ragi Tape terhadap Karakteristik Fisik dan Sifat Fungsional Tepung Putih Telur yang Difermentasi secara Aerob. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Amiarti, D. R. 2007. Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Itik dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Amiruldin, M. 2007. Pembuatan Dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggoro, D. C. 2007. Pembuatan Tepung Daging Sapi sebagai Produk Antara dengan Menggunakan Metode Pengeringan yang Berbeda. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2010. Telur. http://kuliahpangan77.wordpress.com/2010/04/14/telur/. Diakses pada tanggal 27 Februari 2013. Armansyah. 2013. Pengertian pengeringan beku (definition of freeze drying) _ mechanical blog.html. Diakses pada tanggal 5 juni 2013. Arzeni.C, O.E. Perez., and A.M.R. Pilosof. 2009. Aggregation and Gelatin Properties of Egg White Proteins As Affected by High Intensity Ultrasound. http://www.icef11.org/content/papers/nfp/NF317.pdf. Diakses pada tanggal 16 Mei 2013. Asteria. 2008. Pengaruh Pemberian Level Ragi Tape dan Lama Fermentasi Secara Aerob Terhadap Kuantitas dan Kualitas Tepung Telur Ayam Ras. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Bell, D.D and W.D Weaver. 2002. Commercial Chicken Meat and Production. Kluwer Academic Publisher, United Stated of America. British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Di dalam : Imeson, editor. Thickening and Gelling Agents For Food. New York: Academic Press. Budiman, Z. Wulandari., dan T. Suryati. 2009. Suplementasi Tepung Putih Telur untuk Memperbaiki Nilai Nutrisi Snack Ekstrusi Berbahan Grits Jagung. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
39
Chan, Y. 2011. Pengertian Pengeringan Beku (Definition of Freeze Drying). http://yefrichan.wordpress.com/2011/02/26/pengeringan-beku-freezedrying/. Diakses pada tanggal 05 Juni 2013. Deptan. 2013. Inovasi teknologi dan pengolahan telur asap ”lurik”. http://epetani.deptan.go.id/berita/inovasi-teknologi-dan-pengolahan-telurasap-“lurik”-7918. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013. Georgia Egg Commission. 2005. Albumen. http://www.Georgiaeggs.org/pages/foam. Diakses pada tanggal 25 April 2013 Herman, E. 2000. Formulasi Bubuk Bawang Putih (Allium sativa L.) sebagai Seasoning Komersial. Skripsi Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hintono, A., Sutaryo., Nahariah., A.M. Legowo. 2013. Evaluasi metode pengeringan vakum-freeze drying pada tekanan pengeringan dan ketebalan cairan sample yang berbeda terhadap karakteristik fungsional tepung putih telur. Prosiding Seminar Rekayasa Kimia dan Bioproses (SRKP). Tanggal 28-29 Agustus 2013. Fakultas Teknik Kimia, Universitas Diponegoro. Semarang. ISSN: 1411-4216. Houska, M., Kyhos K., Novotna P., Landfelt A., 2004. Gel strength of the native egg white. Czech J. Food Sci., 22: 58–66. Jing, H. M. Yap, P. Y.Y. Wong and D. D. Kitts. 2009. Comparison of Pysicochemical and inulin Maillard Reactian Products: Food Bioprocess Tech. 11: 269-279 Kasanah, I. N. 2013. Makalah teknologi pengolahan pangan hewani“ tepung telur”. http://indah-smart.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 28 Mei 2013. Kusnandar, F. 2005. Mengenal sifat fungsional protein. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id =143&Itemid=94. Diakses pada tanggal 19 Februari 2014. Lee.W.C and T.C.Chen. 2002. Functional Characteristic of Egg White Solids Obtained From Papain Treated Albumen. Journal of Food Engineering Vol 51 : 263-266. Lestari, F. Haryani, Maulina dan Haqoiroh, 2002. Mengenal lebih dekat alat pengering “Freeze Dryer”. http://tsffarmasiunsoed2012.wordpress.com/2012/06/15/mengenal-lebih-
40
dekat-alat-pengering-freeze-dryer/. Diakses pada tanggal 27 Februari 2013. Liapis, A. I., and R. Bruttini. 1995. Freeze Drying, p.309-343. In Arun S. Mujumdar (ed). Handbook of Industrial Drying. Marcel Dekker, Inc. New York. Li-Chan, E . C . Y., W. D. Powrie, dan S. Nakai. 1995. The chemistry of eggs and egg products. In: Egg Science and Technology, Eds. W. J. Stadelman and O. J. Cotterill. 4th ed. The Haworth Press, Inc., New York. pp. 105–176. Lomakina.K and K.Mikova. 2006. A Study of the Factors Affecting the Foaming Properties of Egg White-a Review. Czech Journal Food Science Vol.24. No.3 :110-118 Molina Filho.L, A.K.R.Goncalves., M.A.Mauro and E.C.Frascareli. 2011. Moisture Sorption Isotherms of Fresh and Blanched Pumpkin (Cucurbita moschata). Brazilian Journal of Food Science and Technology. Vol 31(3):714-722. Musfika. 2008. Karakteristik Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras yang Difermentasi dengan Ragi Tape Secara Anaerob. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Mutiara, D. 2007. Karakteristik Gelatin Kulit Kambing Berdasarkan Perbedaan Lokasi Anatomi Kulit dan Konsentrasi Asam Asetat (CH3COOH). Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Nahariah., E. Abustam dan R. Malaka. 2010. Karakteristik Fisikokimia Tepung Putih Telur Hasil Fermentasi Saccharomyces cereviceae dan Penambahan Sukrosa pada Putih Telur Segar. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. JITP Vol. 1 No.1. Nahariah., E. Abustam dan R. Malaka. 2012. Sifat fungsional tepung putih telur hasil fermentasi yeast dan penambahan gula pada putih telur ayam ras. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan 4: Inovasi Agribisnis Peternakan untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. Bandung. Hal. 265-269. Novitasari, 2006. Sifat Fisik Dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras Dengan Penambahan Taraf Asam Sitrat Yang Berbeda. Skripsi Program Studi Teknolog Hasil Ternak Fakultas Peternakan, institut Pertanian Bogor. Pujiastuti, I. 2009. Teknologi Pengawetan Buah Tomat dengan Metode Freeze Drying. Jurusan Teknik Kimia PSD III Teknik, UNDIP Semarang.
41
Purnomo, H., dan Adiono. 2010. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta. Puspitasari, R. 2006. Sifat Fisik dan Fungsional Tepung Putih Telur Ayam Ras dengan Waktu Desugarisasi Berbeda. Skripsi Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor. Rahmansyah, M. 2005. α-casein memperbaiki sifat gel putih telur kering. Departemen Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. 2th. Ed . The Avian Egg. Jhon Wiley andSons, New York. Sa’adah, U. 2007. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Ayam Ras pada umur Simpan dan Level Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Siregar. R. F., A. Hintono dan S. Mulyani. 2012. Perubahan Sifat Fungsional Telur Ayam Ras Pasca Pasteurisasi. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p 521 – 528 Online at : http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/aaj Sompie, M. 2012, Pengaruh Umur Potong dan Konsentrasi Larutan Asam Asetat terhadap Sifat Fisik dan Kimia Gelatin Kulit Babi, Sains Peternakan Vol. 10 (1), Maret 2012: 15-22 ISSN 1693-8828, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Manado. Stadelman, W. F. and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Edition. Food Products Press., An Imprint of the Haworth Press, Inc., New York. Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta. Suprapti, M. L. 2002 Pengawetan telur : Telur Asin, tepung telur, dan telur beku. Kanisius, Yogyakarta. Suryani, N., F. Sulistiawati dan A. Fajriani. 2009. Kekuatan gel gelatin tipe B dalam formulasi granul terhadap kemampuan mukoadhesif. Makara, kesehatan, vol. 13, hal. 1-4. Winarno, F. G. dan S. Koswara. 2002. Telur, Penanganan dan Pengolahannya. MBRIO Press, Bogor.
42
Wirakartakusumah, A., A. Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas, Bogor. Wiratmaja, H. 2006. Perbaikan Nilai Tambah Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus Sp) Menjadi Gelatin Serta Analisis Fisika-Kimia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1.
a.
Daya Busa Tepung Putih Telur (%) Tepung Putih Telur yang Dikeringkan dengan Freeze dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda.
Deskriptif Descriptive Statistics Dependent Variable:Daya_Busa Ketebal Suhu
an
S1
K1
8.0912E2
106.01501
4
K2
5.3617E2
198.77629
4
K3
5.9209E2
232.30317
4
Total
6.4579E2
208.99063
12
K1
7.7596E2
81.99634
4
K2
7.9062E2
186.93264
4
K3
6.0677E2
175.80578
4
Total
7.2445E2
165.48634
12
K1
6.8649E2
144.79237
4
K2
6.4204E2
78.96529
4
K3
8.0366E2
48.93294
4
Total
7.1073E2
114.63179
12
K1
7.5719E2
116.37307
12
K2
6.5628E2
184.08777
12
K3
6.6750E2
184.25596
12
Total
6.9366E2
166.35644
36
S2
S3
Total
Mean
Std. Deviation
N
44
b. Anova Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Daya_Busa Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
8
43493.673
1.892
.103
1.732E7
1
1.732E7
753.538
.000
Suhu
42370.393
2
21185.197
.922
.410
Ketebalan
73412.425
2
36706.213
1.597
.221
Suhu * Ketebalan
232166.567
4
58041.642
2.525
.064
Error
620656.858
27
22987.291
Total
1.829E7
36
968606.244
35
Corrected Model Intercept
Corrected Total
Squares 347949.386
a
a. R Squared = ,359 (Adjusted R Squared = ,169)
45
Lampiran 2.
a.
Stabilitas Busa Tepung Putih Telur (%) Tepung Putih Telur yang Dikeringkan dengan Freeze dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda.
Deskriptif Descriptive Statistics Dependent Variable:Stabilitas_Busa Suhu
Ketebalan
Mean
Std. Deviation
N
S1
K1
99.7675
.09674
4
K2
99.6925
.06702
4
K3
99.7175
.11325
4
Total
99.7258
.09130
12
K1
99.7725
.07411
4
K2
99.8050
.07047
4
K3
99.4975
.05679
4
Total
99.6917
.15649
12
K1
99.7725
.08302
4
K2
99.6375
.07588
4
K3
99.8025
.04992
4
Total
99.7375
.09873
12
K1
99.7708
.07704
12
K2
99.7117
.09722
12
K3
99.6725
.15190
12
Total
99.7183
.11734
36
S2
S3
Total
46
b.
Anova Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Stabilitas_Busa Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
8
.039
6.393
.000
357974.856
1
357974.856
5.805E7
.000
Suhu
.014
2
.007
1.104
.346
Ketebalan
.059
2
.029
4.769
.017
Suhu * Ketebalan
.243
4
.061
9.850
.000
Error
.167
27
.006
Total
357975.338
36
.482
35
Corrected Model
.315
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = ,654 (Adjusted R Squared = ,552)
c.
Duncan Stabilitas_Busa Subset Ketebalan a
Duncan
N
1
2
K3
12
99.6725
K2
12
99.7117
K1
12
Sig.
99.7117 99.7708
.232
.076
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,006. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
47
d.
LSD Multiple Comparisons
Dependent Variable:Stabilitas_Busa (I)
(J)
Ketebalan Ketebalan LSD K1
K2
K3
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
K2
.0592
.03206
.076
-.0066
.1249
K3
.0983
*
.03206
.005
.0326
.1641
K1
-.0592
.03206
.076
-.1249
.0066
K3
.0392
.03206
.232
-.0266
.1049
K1
-.0983
*
.03206
.005
-.1641
-.0326
K2
-.0392
.03206
.232
-.1049
.0266
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,006. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
48
Lampiran 3.
a.
Waktu Koagulasi Tepung Putih Telur (%) Tepung Putih Telur yang Dikeringkan dengan Freeze dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda.
Deskriptif Descriptive Statistics Dependent Variable:Waktu_koagulasi Suhu
Ketebalan
S1
K1
4.0000
.00000
4
K2
5.0000
.81650
4
K3
7.0000
.81650
4
Total
5.3333
1.43548
12
K1
5.0000
.00000
4
K2
6.0000
.00000
4
K3
4.0000
.00000
4
Total
5.0000
.85280
12
K1
4.0000
.00000
4
K2
5.0000
.00000
4
K3
5.0000
.00000
4
Total
4.6667
.49237
12
K1
4.3333
.49237
12
K2
5.3333
.65134
12
K3
5.3333
1.37069
12
Total
5.0000
1.01419
36
S2
S3
Total
Mean
Std. Deviation
N
49
b. Anova Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Waktu_koagulasi Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
32.000
a
8
4.000
27.000
.000
Intercept
900.000
1
900.000
6.075E3
.000
Suhu
2.667
2
1.333
9.000
.001
Ketebalan
8.000
2
4.000
27.000
.000
21.333
4
5.333
36.000
.000
Error
4.000
27
.148
Total
936.000
36
36.000
35
Suhu * Ketebalan
Corrected Total
a. R Squared = ,889 (Adjusted R Squared = ,856)
c. LSD Multiple Comparisons Dependent Variable:Waktu_koagulasi 95% Confidence Interval
Mean (I) Suhu LSD
S1
S2
S3
(J) Suhu
Difference (I-J) Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
S2
.3333
*
.15713
.043
.0109
.6557
S3
.6667
*
.15713
.000
.3443
.9891
S1
-.3333
*
.15713
.043
-.6557
-.0109
S3
.3333
*
.15713
.043
.0109
.6557
S1
-.6667
*
.15713
.000
-.9891
-.3443
S2
-.3333
*
.15713
.043
-.6557
-.0109
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,148. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
50
d. Duncan Waktu_koagulasi Subset Suhu a
Duncan
N
1
S3
12
S2
12
S1
12
2
3
4.6667 5.0000 5.3333
Sig.
1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,148. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
e. LSD Multiple Comparisons Dependent Variable:Waktu_koagulasi 95% Confidence Interval
Mean Difference (I) Ketebalan (J) Ketebalan LSD
K1
K2
K3
(I-J)
Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
K2
-1.0000
*
.15713
.000
-1.3224
-.6776
K3
-1.0000
*
.15713
.000
-1.3224
-.6776
K1
1.0000
*
.15713
.000
.6776
1.3224
K3
.0000
.15713 1.000
-.3224
.3224
K1
1.0000
.000
.6776
1.3224
K2
.0000
.15713 1.000
-.3224
.3224
*
.15713
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,148. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
51
f. Duncan Waktu_koagulasi Subset Ketebalan a
Duncan
N
1
2
K1
12
K2
12
5.3333
K3
12
5.3333
Sig.
4.3333
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,148. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
52
Lampiran . 4
a.
Kekuatan Gel Tepung Putih Telur (%) Tepung Putih Telur yang Dikeringkan dengan Freeze dryer pada Suhu dan Ketebalan Berbeda.
Deskriptif
Descriptive Statistics Dependent Variable:Kekuatan_Gel Suhu
Ketebalan
S1
K1
.3150
.02646
4
K2
.2650
.07188
4
K3
.1975
.01258
4
Total
.2592
.06459
12
K1
.2975
.03948
4
K2
.2575
.08382
4
K3
.3350
.01732
4
Total
.2967
.05929
12
K1
.2200
.03742
4
K2
.2025
.02754
4
K3
.3000
.07789
4
Total
.2408
.06487
12
K1
.2775
.05345
12
K2
.2417
.06617
12
K3
.2775
.07412
12
Total
.2656
.06553
36
S2
S3
Total
Mean
Std. Deviation
N
53
b.
Anova Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kekuatan_Gel Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.081
a
8
.010
3.934
.003
Intercept
2.539
1
2.539
987.683
.000
Suhu
.019
2
.010
3.781
.036
Ketebalan
.010
2
.005
1.998
.155
Suhu * Ketebalan
.051
4
.013
4.978
.004
Error
.069
27
.003
Total
2.689
36
.150
35
Corrected Total
a. R Squared = ,538 (Adjusted R Squared = ,401)
c.
LSD
Multiple Comparisons Dependent Variable:Kekuatan_Gel 95% Confidence Interval
Mean Difference
LSD
(I) Suhu
(J) Suhu
S1
S2
-.0375
.02070
.081
-.0800
.0050
S3
.0183
.02070
.384
-.0241
.0608
S1
.0375
.02070
.081
-.0050
.0800
S3
.0558
*
.02070
.012
.0134
.0983
S1
-.0183
.02070
.384
-.0608
.0241
S2
-.0558
*
.02070
.012
-.0983
-.0134
S2
S3
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,003. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
54
d. Duncan Kekuatan_Gel Subset Suhu a
Duncan
N
1
2
S3
12
.2408
S1
12
.2592
S2
12
Sig.
.2592 .2967
.384
.081
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,003. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000.
55
RIWAYAT HIDUP
Shinta Simon dilahirkan pada tanggal 13 Mei 1992 di Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak terakhir dari sembilan bersaudara dari pasangan Simon Tappi dan Halidjah Bungin. Pada tahun 1997 penulis memulai pendidikan di SD Negeri 93 Tombang dan tamat pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SMP Negeri 2 Lamasi, tamat pada tahun 2006. Kemudian penulis melanjutkan ke SMA Negeri 2 PaLopo pada tahun 2006 dan tamat pada tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri dan lulus melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Jurusan Produksi Ternak, Program studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
56