AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOTAL PROTEIN DAN PROTEIN TERLARUT TELUR KONSUMSI PADA SUHU DAN WAKTU PEMANASAN YANG BERBEDA SKRIPSI
Oleh
NURHAMDAYANI I 111 12 253
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 i
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOTAL PROTEIN DAN PROTEIN TERLARUT TELUR KONSUMSI PADA SUHU DAN WAKTU PEMANASAN YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh
NURHAMDAYANI I 111 12 253
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 ii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : NURHAMDAYANI NIM
: I 111 12 253
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a.
Karya skripsi yang saya tulis adalah asli.
b.
Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi ini, terutama dalam Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, Mei 2016
NURHAMDAYANI NIM I 111 12 253
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Aktivitas Antioksidan, Total Protein dan Protein Terlarut Telur Konsumsi pada Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda
Nama
: Nurhamdayani
Nomor Induk Mahasiswa
: I 111 12 253
Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :
Dr. Nahariah, S.Pt, M.P. Pembimbing Utama
Prof.Dr.Ir.H.MS.Effendi Abustam, M.Sc Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco. M.Sc. Dekan Fakultas Peternakan
Prof.Dr.drh.Hj. Ratmawati Malaka,M.Sc. Ketua Program Studi Peternakan
Tanggal Lulus :
Mei 2016
iv
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis senantiasa panjatkan rahmat dan karunia Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat kesehatan jasmani dan rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir/ Skripsi yang berjudul “Aktivitas Antioksidan, Total Protein dan Protein Terlarut Telur Konsumsi pada Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda” sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan kepada : 1. Ibu Dr. Nahariah, S.Pt, M.P selaku Pembimbing utama dan bapak Prof.Dr.Ir.H.MS.Effendi Abustam, M.Sc selaku pembimbing Anggota, atas keikhlasannya dalam memberikan bimbingan, motivasi, nasehat dan saransaran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini. 2. Terima kasih yang sebesar-besarnya dengan segenap cinta dan hormat kepada almarhum ayahanda Kasman dan ibunda Darmi. Semoga saja beliau bahagia dan berbangga disisi-Nya. 3. Saudara-saudariku tercinta, Wati, Kama, Lukman dan Mima serta keponakan Afis Fitrah Ramadhan atas dukungan, motivasi, perhatian, pengertian dan cinta yang luar biasa sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 4. Kepada yang terspesial Alifran Esarianto S.Pt atas segala doa, motivasi, kasih sayang dan dukungan serta pengertiannya yang tak terbatas sehingga penulis selalu berusaha menyelesaikan skripsi ini. v
5. Ibu Dr. Fatma Maruddin, S.Pt., MP., Bapak Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt.,MP dan bapak Dr. Wempie Pakiding yang telah memberikan banyak masukan, arahan-arahan serta motivasi kepada penulis. 6. Bapak Dr. Budiman, MP selaku Penasehat Akademik. 7. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M,Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan dan Ibu Prof. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M. Sc selaku Ketua Program Studi beserta seluruh Staf Pegawai Fakultas Peternakan, terima kasih atas segala bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Peternakan. 10.Ibu Naharia dan Pak Hikmah serta Bapak/Ibu Dosen tanpa terkecuali yang telah membimbing saya selama kuliah di Fakultas Peternakan. 8. Teman-teman satu tim Agus, Anti dan Tina, juga kak Tri, kak Tawa dan Rahma terima kasih atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian. 9. Sahabat-sahabatku Fatma, Tika, Mila, Reski, Rahim, Jihad, Kandi, Tute, Yessi. Kalian adalah bagian-bagian lembaran kehidupan yang sangat ingin aku ceritakan kepada anak cucuku nanti. 10. Sahabat-sahabatku Hijri, Uni, Anty, Dewi, Tina, Ramli, Zul, Innah, Kiki, Pipin, Gunawan terima kasih atas kebersamaannya 11. Sahabat dan Keluarga besar HIMATEHATE_UH Angkatan 2012, Hap, Rudi, Agus, Ichwan, Sulkifli, Indah, Mila , Appe, Tina, Yuyu, Anti, Vina, Azizah, A. Ica dan Sari, kita berjuang bersama-sama dari awal sampai akhir perjuangan, terkhusus untuk kalian yang wisuda duluan Iwan S.Pt, dan Asmiar S.Pt,.
vi
12. Kepada angkatanku FLOCK MENTALITY2012, kita saudara meski tak sedarah. Juga SEMA FAPET-UH, HIMAPROTEK-UH, HUMANIKA-UH dan HIMSENA-UH atas segala pengalaman dan ilmu yang telah diajarkan kepada penulis. 13. Kepada Kakanda Udin S.Pt, kakanda Haikal, S.Pt, kakanda Teguh S.Pt, kakanda Roni, S.Pt., kakanda Azmi S.Pt kakanda Ana S.Pt, kakanda Ichal S.Pt. kakanda Kiki S.Pt. dan kakanda Fuad S.Pt. terima kasih atas bantuan dan motivasinya kepada penulis. 14. Terima kasih kepada Rekan-Rekan Asisten THT Dasar atas bantuan, pengalaman dan ilmu yang diberikan kepada penulis. 15. Kepada Rumput 07, Bakteri 08, Merpati 09, Lion 10, Matador 10,
Situasi
10, Flock Mantality 012, Larfa 013 dan Ant’ 014, Rantai 015. 16. Teman-teman KKN PPM DIKTI khususnya Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang; Akmal, Mela, Isna, kak Sukri, kak Arief. 17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Terima Kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dengan limpahan berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya. Amin. Melalui kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya mendidik, apabila dalam penyusunan skripsi ini terdapat kekurangan dan kesalahan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca Amin. Wassalam. Makassar,
Mei 2016
Nurhamdayani
vii
ABSTRAK
NURHAMDAYANI (I 111 12 253). Aktivitas Antioksidan, Total Protein dan Protein Terlarut Telur Konsumsi pada Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda. Dibimbing oleh NAHARIAH dan EFFENDI ABUSTAM. Pemanasan telur melalui suhu dan waktu yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas antioksidan, total protein dan protein terlarut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi suhu dan waktu yang tepat pada proses pemanasan terhadap peningkatan aktivitas antioksidan, total protein dan protein terlarut. Penelitian ini menggunakan telur utuh mentah berumur 1 hari. Perlakuan pemanasan dilakukan pada suhu 450C, 550C dan 650C dengan waktu 3, 6, dan 9 menit. Parameter yang diukur pada penelitian ini yaitu aktivitas antioksidan, total protein, dan protein terlarut. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (faktor 1 : suhu, faktor 2 : waktu) dengan 27 unit perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan suhu dan waktu pemanasan yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap aktivitas antioksidan, total protein dan protein terlarut. Aktivitas antioksidan menurun sejalan dengan bertambahnya suhu dan waktu pemanasan sementara penurunan total protein dengan bertambahnya suhu dan waktu pemanasan meningkatkan protein terlarut. Kesimpulan dari penelitian ini adalah aktivitas antioksidan telur memiliki nilai yang sama meski telah dilakukan pemanasan pada suhu dan waktu yang berbeda. Pemanasan dengan suhu 450C dengan waktu 3 menit dapat mengoptimalkan aktivitas antioksidan. Kata Kunci: Telur, Pemanasan, Aktivitas Antioksidan, Protein.
viii
ABSTRACT NURHAMDAYANI (I 111 12 253). Antioxidant Activity, Total Protein and Protein Dissolved of Egg Consumption at the different temperature and heating time. Guided by NAHARIAH and EFFENDI ABUSTAM. Heating the eggs through different temperature and time will affect antioxidant activity, total protein and soluble protein. The objective of this research was to evaluate the temperature and time in the heating process to increase antioxidant activity, total protein and soluble protein. This research used raw whole eggs 1 day old. Heat treatmeant was carried out at a temperature of 450C , 550C and 650C with the time of 3,6 and 9 minutes. The parameters measured in this research was the antioxidant activity, total protein and soluble protein. Design of research using completely randomized design (CRD) factorial (1st factor : temperature, 2nd factors: time) with 27 treatment units. Each treatment was repeated 3 times. The results showed that temperature and heating time was highly significant different (P <0.01) of antioxidant activity, total protein and soluble protein. Antioxidant activity decreases with increasing temperature and heating time while decrease of total protein with increasing temperature and heating time increase the soluble protein. The conclusion of this research that antioxidant activity of egg have the same value eventhough the heating was carried out at different temperature and time. Heating at temperature of 450C with heating time of 3 minutes can optimize antioxidant activity . Keywords: Egg, Heating, Antioxidants Activity, Protein.
ix
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xiv
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Telur ............................................................................... Telur dan Proses Pemanasan ..................................................................... Aktivitas Antioksidan ............................................................................... Total Protein ............................................................................................. Protein Terlarut .........................................................................................
3 6 10 18 22
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat .................................................................................... Materi Penelitian ....................................................................................... Metode Penelitian ..................................................................................... Analisa Data ..............................................................................................
26 26 26 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Aktivitas Antioksidan ……………………………………. ............. Uji Total Protein ..................................................................................... Interaksi antara Waktu dan Suhu Pemanasan yang Berbeda pada Telur Konsumsi terhadap Nilai Total Protein................................................... Uji Protein Terlarut ................................................................................. Interaksi antara Waktu dan Suhu Pemanasan yang Berbeda pada Telur Konsumsi terhadap Nilai Protein Terlarut ..............................................
32 35 37 38 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................
43
x
Saran ......................................................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
44
LAMPIRAN ..................................................................................................
51
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
61
xi
DAFTAR TABEL Halaman
No. Teks
1. Komposisi Asam Amino Telur Ayam (Gram Tiap Telur) ..............................
3
2. Komposisi Kimia Telur Ayam dan Itik ..........................................................
4
3. Jumlah Antioksidan yang Terdapat dalam Telur Utuh ..................................
11
4. Senyawa Antioksidan pada Telur ...................................................................
14
5. Protein dalam Putih Telur ..............................................................................
21
6. Aktivitas Antioksidan Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda...................................................................................................
32
7. Total Protein Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda ................................................................................................... ……
35
8. Protein Terlarut Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda ...........................................................................................................
38
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman
No. Teks
1. Diagram Alir Penelitian ..................................................................................
28
2. Interaksi antara Waktu dan Suhu Pemanasan yang Berbeda pada Telur Konsumsi terhadap Nilai Total Protein ...........................................................
36
3. Interaksi antara Waktu dan Suhu Pemanasan yang Berbeda pada Telur Konsumsi terhadap Nilai Protein Terlarut ......................................................
40
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
Teks 1. Hasil Perhitungan Analisis Ragam Aktivitas Antioksidan Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda ................
51
2. Hasil Perhitungan Analisis Ragam Total Protein Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda .................................
54
3. Hasil Perhitungan Analisis Ragam Protein Terlarut Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda .................................
56
4. Dokumentasi .........................................................................................
59
xiv
PENDAHULUAN Telur merupakan bahan pangan sumber hewani yang bernilai gizi tinggi dan lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup. Protein telur mengandung semua asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh untuk hidup sehat. Kandungan nilai gizi yang tinggi pada telur menjadikannya sebagai makanan fungsional. Makanan fungsional atau makanan kesehatan dapat berasal dari makanan segar atau dari hasil olahan yang dianggap memiliki sifat-sifat yang dapat meningkatkan kesehatan atau pencegahan penyakit diluar fungsi nutrisinya. Sifat fungsional telur didapatkan melalui mekanisme pengolahan, antara lain dengan metode pemanasan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa telur melalui prinsip pemanasan mampu meningkatkan aktivitas antioksidan telur. Telur melalui mekanisme pemanasan dengan suhu tertentu dapat mendegradasi protein membentuk ikatanikatan peptida yang mengubah struktur protein menjadi lebih sederhana seperti oligopeptida. Oligopeptida mampu menghambat reaksi oksidatif dan bersifat sebagai antioksidan. Penelitian Nahariah et al. (2014a) menyatakan bahwa pemanasan pada pembuatan tepung putih telur dengan oven pada suhu 45°C selama 39 jam menghasilkan aktivitas antioksidan sebesar 26,85%. Demikian pula dengan penelitian Evo (2014) menyatakan bahwa penggunaan suhu dan waktu pemanasan pada proses pengeraman yang sesuai dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Penggunaan suhu pengeraman 38°C pada telur infertil dapat menghasilkan aktivitas antioksidan yang tinggi, yakni sebesar 77,99%. Pengeringan dan
1
pengeraman pada kedua penelitian tersebut pada dasarnya memiliki prinsip yang sama yakni pemanasan. Pemanasan pada suatu produk dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas antioksidan, total protein dan protein terlarut namun belum banyak penelitian yang mengkaji pengaruh suhu dan waktu pemanasan khususnya pada telur konsumsi terhadap aktivitas antioksidan, total protein dan protein terlarut sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Telur Telur adalah salah satu bahan makanan hewani dari jenis unggas seperti ayam, bebek dan unggas lainnya. Telur mengandung zat-zat lengkap bagi pertumbuhan makhluk hidup baru. Kandungan protein pada telur terdistribusi di dalam putih dan kuning telur secara merata dengan unsure asam amino yang seimbang. Susunan asam amino esensial yang lengkap menjadi standar dalam penentuan protein dari bahan lain (Yuwanta, 2004). Komposisi asam amino di dalam telur disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Asam Amino Telur Ayam (Gram Tiap Telur) Kuning telur Putih telur Alanine 0,140 0,215 Arginine 0,193 0,195 Aspartic acid 0,233 0,296 Cystine 0,050 0,083 Glutamic acid 0,341 0,467 Glycine 0,084 0,125 Histidine 0,067 0,076 Isoleucine 0,160 0,204 Leucine 0,237 0,291 Lysine 0,200 0,250 Methionine 0,171 0,130 Phenylalanine 0,121 0,210 Proline 0,116 0,126 Serine 0,231 0,247 Theronine 0,151 0,149 Tryptophan 0,041 0,051 Tyrosine 0,120 0,134 Valine 0,170 0,251 Sumber : Yamamoto et al. (1997).
Secara umum, telur terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu kulit telur (± 11% dari berat total telur), putih telur (± 57% dari berat total telur), dan kuning
3
telur (± 32 % dari berat total telur) (Powrie et al., 1996). Kandungan utama telur terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Jumlah dan proporsi zat kimia tersebut berbeda-beda oleh setiap spesies di pengaruhi perbedaan keturunan, jumlah dan proporsi makanan serta keadaan lingkungan. Komposisi telur ayam dan itik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Telur Ayam dan Itik Telur ayam Komposisi Putih Kuning Telur (%) telur Telur utuh Air 88,57 48,50 73,70 Protein 10,30 16,15 13,00 Lemak 0,03 34,65 11,59 Karbohidrat 0,65 0,60 0,65 Abu 0,55 1,10 0,90
Telur itik Putih Kuning telur telur 88,00 47,00 11,00 17,00 0,00 35,00 0,80 0,80 0,8 1,2
Telur utuh 70,60 13,10 14,30 0,80 1,0
Sumber : Winarno dan Koswara (2002).
Kualitas telur segar bagian dalam tidak bisa dipertahankan tanpa perlakuan khusus terutama penyimpanan di ruang terbuka (suhu kamar). Semakin lama disimpan, kualitas dan kesegaran telur semakin menurun. Penyimpanan telur konsumsi akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari dua minggu. Kerusakan tersebut terjadi karena telur mengalami evaporasi air dan mengeluarkan CO2 dalam jumlah tertentu sehingga kesegaran telur semakin menurun pada penyimpanan yang lama (Winarno dan Koswara, 2002). Kerusakan air biasanya ditandai dengan bercampurnya isi telur, yakni albumen dan yolk telur dan bila dipecah isinya menjadi encer (Haryoto, 1996). Putih telur memiliki senyawa yang dapat membunuh bakteri yang disebut lysozyme. Selain itu, alkalinitas putih telur yang tinggi tidak menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri sehingga selama penyimpanan tidak terjadi dekomposisi
4
(kerusakan) protein putih telur. Putih telur memiliki sistem pertahanan terhadap serangan mikroorganisme. Lysozyme merupakan protein yang ada pada putih telur yang bersifat sebagai antimikroba. Lysozyme dapat melarutkan (lisis) membran sel bakteri. Albumin yang ada pada putih telur dapat menghambat bahkan mematikan banyak jenis mikroba namun senyawa tersebut tidak terdapat pada kuning telur atau campuran kuning dan putih telur (Sutjipto dan Sardjono, 2007). Telur merupakan bahan pangan hewani yang mengandung protein tinggi, mudah, murah, dan memiliki antioksidan endogenous. Indikasi antioksidan pada telur berasal dari jenis pakan yang diberikan pada ayam petelur. Aktivitas antioksidan endogenus pada ayam ras petelur lebih tinggi dari putih telur ayam kampung dan itik. Hal ini karena unggas bersifat bio convert yang mampu mengubah pakan menjadi telur yang baik untuk kesehatan (Nahariah et al., 2014b). Matram (1994) menjelaskan bahwa susunan, keluasan, bentuk dan cara pemberian pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting dalam mempengaruhi komposisi kimia telur. Penelitian Oktaviani et al. (2012) menunjukkan bahwa kadar protein dalam telur bebek yang tidak mendapat penambahan limbah udang nyata lebih besar dibandingkan dengan telur bebek yang mendapatkan limbah udang. Matsura (2011) menjelaskan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi kimia telur diantaranya adalah modifikasi pakan. Faktor pakan merupakan hal yang sangat penting karena kandungan zatzat nutrisinya dapat terdeposisi pada telur. Kandungan protein, mineral dan vitamin pada jagung dapat menjadi sumber antioksidan alami yang berupa
5
karotenoid (lutein dan zeaxantine). Karotenoid menurut Boileu et al. (1998) dapat menetralkan radikal bebas, meningkatkan pertahanan oksidasi, menyehatkan mata dan mencegah timbulnya penyakit jantung. Yang et al. (2002) menjelaskan bahwa antioksidan, seperti vitamin E, asam askorbat dan karotenoid, dapat ditemukan pada konsentrasi tinggi pada otot dari hewan yang diberi rumput daripada otot dari hewan yang dibesarkan dengan pakan konsentrat. Kandungan antioksidan diindikasi ada pada telur karena sifat unggas sebagai bio convert yang mengubah komponen pakan menjadi telur yang baik untuk kesehatan. Penelitian mengenai aktivitas antioksidan juga dilakukan oleh Evo (2014) menemukan bahwa penggunaaan suhu dan waktu pengeraman yang sesuai pada telur infertil dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Pengeraman dengan suhu 380 C pada telur infertil menghasilkan aktivitas antioksidan yang tinggi, yakni sebesar 77,99%. Telur dan Proses Pemanasan Telur mudah mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh lingkungan berupa kelembaban, suhu dan lama penyimpanan. Salah satu cara untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan melakukan pengawetan dengan pemanasan. Pemanasan telur merupakan salah satu cara untuk membunuh mikroba khususnya Salmonella yang terdapat pada cangkang telur tanpa mengurangi sifat fungsionalnya. Selain itu, pemanasan juga bertujuan untuk membunuh mikroba patogen yang berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit,
6
memperpanjang umur simpan produk, dan menginaktivasi enzim dalam bahan dengan mempertimbangkan mutunya (Sukasih, 2009). Pemanasan cairan telur utuh dan cairan kuning telur pertama kali dilakukan oleh industri pada tahun 1930. Tahap yang dilakukan pada proses pemanasan telur sama dengan pemanasan susu yaitu dengan menggunakan metode HTST. United States Departemen of Agriculture mengatakan bahwa suhu pemanasan yang sesuai dan digunakan pada proses pemanasan telur adalah 600C selama 3,5 menit. Pentingnya kombinasi yang tepat antara suhu dan waktu pemanasan adalah agar didapat hasil yang baik pada produk tersebut (Cunningham, 1995). Stadelman dan Cotterill (1995) menjelaskan bahwa perlakuan pemanasan pada putih telur mentah (tanpa fermentasi dan tanpa penambahan bahan lain) dengan kisaran suhu pemanasan dapat merusak sifat fungsional cairan putih telur. Departemen pertanian amerika serikat (USDA) mengharuskan melakukan pemanasan selama 3.5 menit pada suhu 56.700C atau 6.2 menit pada suhu 55.500C untuk putih telur atau 6.2 menit pada suhu 600C untuk telur utuh (campuran putih telur dan kuning telur). USDA (1980) merincikan bahwa persyaratan telur pemanasan untuk beberapa negara lainnya untuk Polandia adalah suhu 66°C menjadi 68°C; 63,3°C selama 2,5 menit untuk China; 62°C selama 2,5 menit untuk Australia; dan 65°C selama 90 detik di Denmark (Cunningham, 1995). Inggris membutuhkan 64,4°C selama 2,5 menit (Statutory Instruments, 1963). Pemanasan telur dapat mempertahankan kualitas dan daya simpan telur. Penelitian Rihastuti (1994) bahwa telur melalui proses pemanasan dapat
7
mempertahankan mutu telur sampai hari ke-22 pada penyimpanan suhu kamar. Hasil yang lebih baik ditemukan pada perlakuan kombinasi pemanasan dengan penyimpanan suhu refrigerator dengan masa simpan yang lebih lama, mencapa hari ke- 31. Stadelmen dan Cotteril (1995) bahwa telur tanpa pemanasan hanya dapat dipertahankan sampai hari ke-7 pada penyimpanan suhu kamar. Banyak cara untuk melakukan pemanasan telur yaitu dengan cara memberi perlakuan panas pada telur, proses asam laktat pH 7, proses panas dengan hidrogen piroksida, proses panas dengan vakum dan proses perlakuan panas hingga kering pada putih telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Pemanasan telur ada 2 cara yaitu dengan metode Long Temperatur Long Time (LTLT) dan metode High Temperature Short Time (HTST). Penggunaan suhu 610C selama tiga menit, pada suhu 650C selama 2,5 menit atau pada suhu 600C selama 3,5 menit merupakan metode LTLT. Metode HTST menggunakan pemanasan pada suhu 710C selama beberapa detik. Putih telur akan menggumpal setelah pemanasan 600C dan akan lebih cepat lagi setelah dipanasi pada suhu 730C (Stadelman dan Cotteril, 1995). Bagian-bagian telur, baik putih telur, telur utuh dan kuning telur memiliki efek yang berbeda-beda terhadap pemanasan disebabkan oleh perbedaan pH, kepadatan dan kandungan alaminya. Penelitian Brown dan Zabik (1967), mengurangi jumlah bakteri pada telur melalui pemanasan terhadap cairan putih telur pada suhu sekitar 54,40C selama 3 menit dan penyimpanan putih telur kering pada suhu 53,30C selama 5 hari.
8
Putih telur mengandung senyawa avidin, suatu zat protein yang dapat memberikan
pengaruh-pengaruh
negatif
bagi
tubuh
(toksin)
karena
kemampuannya mengikat biotin (vitamin B7). Biotin akan terikat kuat oleh avidin sehingga tidak dapat diserap oleh usus dan akhirnya dikeluarkan bersama feses. Keracunan avidin memberikan gejala seperti kebotakan dan kelainan syaraf. Namun tidak semua orang yang mengonsumsi telur mentah mengalami keracunan. Dosis keracunan tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas avidin dan jumlah telur yang dikonsumsi tapi juga disebabkan oleh faktor lain seperti kadar biotin dari makanan lain yang dikonsumsi serta status biotin yang berbeda-beda dalam darah setiap orang. Pengolahan telur melalui pemanasan akan merusak avidin sehingga tidak lagi merugikan tubuh (Mustofa, 2015). Pemanasan menyebabkan perubahan komponen telur dari cair (sol) menjadi semi padat (gel) yang disebut dengan koagulasi (Stadelmen dan Cotteril, 1995). Koagulasi terjadi akibat pengurangan kadar air dalam telur setelah mengalami pemanasan. Li dan Wu (2009) menyatakan bahwa mucin berperan dalam proses koagulasi. Kalaza mempunyai kandungan mucin yang tinggi dan mempunyai daya tahan terhadap penggumpalan. Putih telur dilakukan perebusan kemudian berubah bentuk menjadi gumpalan. Gumpalan-gumpalan tersebut terbentuk pada suhu sekitar 60 ºC dalam waktu kurang lebih 30 menit. Protein telur mudah mengalami perubahan alamiah berupa denaturasi yang disebabkan oleh asam, basa, pelarut organik, pH, garam maupun sinar radiasi radioaktif. Degradasi protein oleh panas membentuk ikatan-ikatan peptida dan asam amino yang merubah struktur protein telur menjadi oligopeptida.
9
Oligopeptida yang dihasilkan memiliki kemampuan menghambat reaksi oksidatif dan kemampuan menghambat radikal bebas sebagai antioksidan (Sudarmadji et al., 1989). Sifat fungsional pada telur menjadikannya sebagai salah satu bahan penting dalam pengolahan pangan (Stadelmen dan Cotteril, 1995). Sifat fungsional telur merupakan sifat fisik dan kimia yang terdapat pada telur selain dari sifat gizinya (Siregar et al., 2012). Sifat tersebut berperan menentukan kualitas produk akhir dalam industri pangan. Cunningham (1995) bahwa pemanasan dapat mempengaruhi sifat fungsional produk telur tergantung pada waktu dan suhu yang digunakan. Suhu pemanasan antara 54°C hingga 60°C akan merusak sifat busa pada putih telur. Aktivitas Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi senyawa lain yang diakibatkan oleh adanya radikal bebas (Winarsi, 2007). Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif karena memiliki elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya sehingga dapat bereaksi dengan molekul sel tubuh. Radikal bebas mengikat elektron sel dan mengakibatkan reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas baru (Ketaren, 1986). Keberadaan antioksidan sebagai subtansi dapat menunda, mencegah, menghilangkan kerusakan oksidatif pada molekul target, seperti lemak, protein, dan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2000) akibat adanya radikal bebas (Winarsi,
10
2007). Antioksidan juga merupakan suatu inhibitor dari proses oksidasi bahkan pada konsentrasi yang relatif kecil, dan memiliki peran fisiologis yang beragam dalam tubuh (Kumar, 2011). Antioksidan yang digunakan dalam sistem biologis berfungsi untuk mengatur kadar radikal bebas agar kerusakan pada molekul penting dari tubuh tidak terjadi dan tercipta sistem perbaikan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari sel (Milbury dan Richer, 2011). Banyak senyawa dari putih dan kuning telur yang berperan sebagai antioksidan. Protein telur seperti ovalbumin, ovotransferrin, phosvitin, lipid telur seperti fosfolipid, serta mikronutrien tertentu seperti vitamin E, vitamin A, selenium, dan karotenoid, dilaporkan memiliki sifat antioksidan. Selain itu, telur dapat lebih diperkaya dengan antioksidan (misalnya, karotenoid, vitamin E, selenium dan yodium) melalui manipulasi pakan ternak (Ngo et al., 2011). Kadar antioksidan dalam telur disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Antioksidan yang Terdapat dalam Telur Utuh No. Nama senyawa Jumlah dalam telur (%) 1. Ovalbumin 54 2. Ovotransferrin 12 3. Ovomucin 3,5 4. Lysozyme 3,4 5. Cystatin 0,05 6. Phosvitin 4 7. Phospholipids 10 Total 86,95 Sumber : Nimalaratne dan Wu (2015).
Proulx (2011) dalam artikelnya menyebutkan bahwa Jianping Wu, Andreas Schieber dan mahasiswa pascasarjana Chamila Nimalaratne dan Daise Lopes-Lutz dari UA Departemen Pertanian dan Ilmu Pangan Gizi telah memeriksa antioksidan pada telur cukup tinggi. Kandungan antioksidan dalam
11
telur yang diberi pakan gandum dan jagung dua kali lebih besar dibanding antioksidan dalam apel. Bahkan dua butir telur mentah kadar antikosidannya setara dengan 25 gram cranberries. Antioksidan kuat di dalam telur bersumber dari asam aminonya antara lain triptofan dan tirosin. Bagian kuning pada telur juga mengandung lutein, xeaxanthin dan karotenoid yang memberikan pigmen warna kuning pada telur. Penelitian Nahariah et al (2014a) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan dan antihipertensi tepung putih telur pada proses pengeringan dengan suhu 500C selama 48 jam sebesar 75,06%. Protein pada telur diubah oleh enzim-enzim di perut dan usus halus menjadi peptida yang berfungsi seperti ACE inhibitor yang berfungsi untuk menurunkan tekanan darah. Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas dengan cara mengurangi konsentrasi oksigen, mencegah pembentukan singlet oksigen yang reaktif, mencegah inisiasi rantai pertama dengan menangkap radikal primer seperti radikal hidroksil, mengikat katalis ion logam, mendekomposisi produk-produk primer radikal menjadi senyawa non-radikal dan memutus rantai hidroperoksida (Kahkonen et al., 2003). Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dikelompokkan menjadi (Pomeranz, 1978) : 1. Antioksidan primer yaitu, antioksidan yang bereaksi dengan radikal lipid berenergi tinggi untuk menghasilkan produk yang memiliki kestabilan termodinamis lebih baik. Contohnya antioksidan golongan fenol (isoflavon).
12
2. Antioksidan sekunder (preventive antioxidant) memperlambat reaksi inisiasi dengan memutus rantai hiperoksidasi. Contohnya dilauril thiodipropionate dan asam thiodipropionic. Senyawa antioksidan memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida dan mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Sementara turunan radikal antioksidan yang dihasilkan lebih stabil dibandingkan radikal lipida karena akan terjadi delokalisasi perbaikan elektron dari ikatan rangkap pada cincin benzen sebagai indikasi oleh ikatan isomer valensi (Voight, 1994). Karadag et al. (2009) menjelaskan bahwa mekanisme kerja antioksidan bertindak sebagai : a) hambatan fisik untuk mencegah akses ROS (Reactive Oxigent Species) ke bagian penting biologis, misalnya filter UV, membran sel; b) perangkap kimia (menyerap energi dan elektron), menghambat kerja ROS seperti karotenoid, antosianidin; c) katalisator yang menetralisir atau mengalihkan ROS, misalnya antioksidan enzim SOD (superoxide dismutase), katalase, dan glutathione peroxidase; d) mengikat/inaktivasi ion logam untuk mencegah generasi ROS, misalnya ferritin, ceruloplasmin, katekin; dan e) antioksidan rantai pemecah yang menangkap dan menghancurkan ROS, seperti asam askorbat (vitamin C), tokoferol (vitamin E), asam urat, glutathione dan flavonoid. Fungsi aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh jumlah antioksidan yang terkandung dalam suatu bahan dan kemampuan senyawa antioksidan tersebut
13
dalam menangkap radikal bebas. Penelitian yang telah dilakukan oleh Nahariah et al. (2014) bahwa putih telur bebek memiliki konsentrasi flavonoid dan asam fenolat yang tinggi, tetapi tingkat aktivitas antioksidannya rendah. Cook dan Samman (1996) menjelaskan bahwa flavonoid merupakan antioksidan yang potensial, penangkap radikal bebas, pengkelat logam dan penghambat oksidasi lemak. Flavonoid memiliki fungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas karena memiliki struktur yang terdiri dari grup hidroksil pada karbon ketiga, memiliki ikatan ganda antara karbon kedua dan ketiga, posisi karbon keempat terdapat grup karbonil serta polihidroksilasi pada cincin aromatik A dan B. Beberapa antioksidan lainnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Senyawa Antioksidan pada Telur Golongan Senyawa Karotenoid Lutein, xeaxanthin Mineral
Selenium (Se)
Sulfide/Thiol
A
B2 (Riboflavin)
B3 (Niasin) Vitamin Biotin B12 (Kobalamin)
Fungsi Berperan dalam menjaga kesehatan mata Menetralkan radikal bebas yang dapat merusak sel, meningkatkan fungsi kekebalan. Menjaga kesehatan mata, fungsi kekebalan dan kesehatan tulang, berperan dalam menjaga integritas sel Mendukung pertumbuhan sel, membantu mengatur metabolism. Membantu mendukung pertumbuhan sel, mengatur metabolism Membantu mengatur metabolisme dan sintetis hormone Menjaga fungsi mental, membantu mengatur metabolisme dan mendukung pembentukan sel darah.
Sumber: International Food Information Council Foundation (2007).
14
Aktivitas
antioksidan
flavonoid
bersumber
pada
kemampuan
mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppet et al., 1954). Antioksidan flavonoid pada makanan dan minuman anggur memiliki kontribusi dalam menghambat oksidasi LDL (low density lipoprotein) secara ex-vivo (penyebab terjadinya penyempitan pembuluh darah koroner). Antioksidan yang terdapat pada kuning telur adalah lutein dan zeaxanthin, dua antioksidan tersebut membantu mencegah macular degeneration, penyebab utama kebutaan. Jin-yeum et al (2010) menuturkan bahwa tindakan antioksidan dalam sistem biologis, misalnya diplasma tergantung dari beberapa faktor, yaitu sifat oksidan yang dikenakan pada sistem biologis, aktivitas dan jumlah antioksidan, dan sifat sinergis atau interaksi dari antioksidan. Antioksidan digolongkan menjadi 2 berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik sangat efektif dalam menghambat reaksi oksidasi lemak. Akan tetapi penggunaan antioksidan sintetik menimbulkan kekhawatiran akan efek sampingnya yang ditimbulkannya (Pratt, 1992). Antioksidan alami merupakan jenis antioksidan yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Contoh dari antioksidan alami seperti tokoferol, asam askorbat, komponen fenolik, turunan senyawa hidroksinat, kuramin (Kumar, 2011). Antioksidan alami yang terdapat dalam bahan pangan antara lain vitamin C, vitamin E, antosionin, klorofil dan senyawa flavonoid. Antioksidan alami pada
15
umumnya berbentuk cairan pekat dan sensitif terhadap pemanasan (DeMan, 1997). Penelitian Estiasih dan Sofia (2009) menemukan bahwa panas yang dihasilkan saat perebusan mempengaruhi kestabilan senyawa antioksidan dalam bubuk keluwak. Menurut Pokorny (2001), tokoferol, karoten flavonoid dan senyawa antioksidan fenolik lainnya dapat rusak oleh pemanasan. Karena itu, waktu kontak dengan panas perlu diminimumkan. Penelitian Febrianti et al. (2014) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi pada pembuatan minuman sari ubi jalar ungu dengan suhu pemanasan 700C selama 5 menit menghasilkan aktivitas antioksidan sebesar 90,63%. Antioksidan rentan terhadap proses pemanasan. Semakin meningkatnya suhu pemanasan dan lama pemanasan pada pembuatan minuman sari ubi jalar ungu, aktivitas antioksidan yang dihasilkannya juga semakin rendah. Suhu dan waktu pemanasan menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Penelitian Astruc et al. (2007) mengalami peningkatan 3 kali lipat karbonil dari protein sapi setelah dimasak pada suhu 100°C dengan waktu 45 menit. Peningkatan oksidasi setelah terjadinya proses pemasakan diketahui bahwa otot kehilangan perlindungan antioksidan (HOAC et al., 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antioksidan adalah (Pokorny et al., 2001) : 1. Faktor fisik : Tekanan oksigen yang tinggi, luas kontak dengan oksigen, pemanasan ataupun iradiasi menyebabkan peningkatan terjadinya rantai inisiasi dan propagasi
16
dari reaksi oksidasi dan menurunkan aktivitas antioksidan yang ditambahkan dalam bahan. 2. Faktor substrat : Sifat antioksidan dalam lipida atau dalam pangan merupakan sistem yang dependent. Tingkat inisiasi dan propagasi merupakan fungsi dari tipe dan tingkat lipida tidak jenuh dan secara signifikan mempengaruhi aktivitas antioksidan. 3. Faktor fisikokimia : Sifat hidrofobik dan hidrofilik senyawa antioksidan dalam bahan pangan dan sistem biologi sangat mempengaruhi efektifitas antioksidatifnya. Semakin polar antioksidan maka akan lebih aktif dalam lipida murni, sedangkan antioksidan non polar lebih efektif dalam substrat yang polar seperti emulsi. Kandungan aktivitas antioksidan sampel uji diukur dengan melihat kemampuan telur setelah pemanasan dalam menghambat aktivitas radikal bebas DPPH (1,1 Difenil 2 pikril hidrazil). Metode DPPH digunakan karena merupakan
radikal bebas yang stabil dalam larutan methanol serta memiliki serapan kuat dalam bentuk teroksidasi dalam panjang gelombang 515 nm. Halliwell dan Gutteridge (2000) menjelaskan bahwa radikal bebas DPPH mampu menerima elektron atau radikal hidrogen dari senyawa lain sehingga membentuk molekul diamagnetik yang stabil. DPPH memberikan serapan pada elektron yang tidak berpasangan, menyebabkan absorbansinya menurun secara stokiometri sesuai jumlah elektron yang diambil. Metode DPPH berfungsi untuk mengukur elektron tunggal seperti transfer hidrogen sekaligus juga untuk mengukur aktivitas penghambatan radikal bebas.
17
Total Protein Protein total merupakan pengukuran kandungan nitrogen (N) dalam sampel. Wibowo (2009) protein merupakan polimer heterogen molekul-molekul asam amino. Struktur protein terlihat seperti hierarki, yaitu berupa struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener. Struktur primer protein (tingkat satu) merupakan urutan asam amino penyusun protein yang dihubungkan melalui ikatan peptida (amida). Dua asam amino dapat berikatan melalui suatu ikatan peptida dengan melepas sebuah molekul air. Struktur sekunder protein (tingkat dua) adalah struktur tiga dimensi lokal dari berbagai rangkaian asam amino pada protein yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Struktur tersier protein (urutan ketiga) merupakan gabungan aneka ragam dari struktur sekunder yang menghasilkan struktur tiga dimensi. Struktur ini biasanya berupa gumpalan. Struktur kuartener protein (urutan keempat) merupakan susunan dari beberapa molekul protein yang dapat berinteraksi secara fisik tanpa ikatan kovalen membentuk oligomer yang stabil. Protein pada struktur kuartener tidak fungsional
setelah struktur
kompleksnya berpisah. Protein disusun dari asam-asam amino yang terikat satu dengan lainnya. Mutu protein ditentukan oleh asam amino dan jumlahnya (Sudaryani, 2003) yang masing-masing dihubungkan dengan ikatan peptida. Peptida adalah jenis ikatan kovalen yang menghubungkan suatu gugus karboksil satu asam amino dengan gugus asam amino lainnya sehingga terbentuk suatu polimer asam amino (Toha, 2001). Jika protein dimasak dengan asam atau basa kuat, asam amino unit pembangunnya dibebaskan dari ikatan kovalen yang menghubungkan molekul-
18
molekul ini menjadi rantai (Lehninger, 1990). Kualitas protein ditentukan oleh kandungan asam amino penyusunnya. Tidak semua protein mempunyai jumlah dan jenis asam amino yang sama (Harper et al., 1979). Pada prinsipnya suatu protein yang dapat menyediakan asam amino esensial dalam suatu komposisi yang hampir menyamai kebutuhan manusia, mempunyai mutu yang tinggi. Selcuk et al. (2010) bahwa asam amino esensial untuk orang dewasa terdiri dari lisin, leusin, isoleusin, treonin, metionin, valin, fenilalanin, dan triptofan, sedangkan asam amino esensial bagi anak-anak adalah arginin dan histidin. Asam amino non esensial terdiri dari asam aspartat, asam glutamat, alanin, asparigin, sistein, glisin, prolin, tirosin, serin, dan glutamin. Protein telur merupakan protein yang bermutu tinggi dan mudah dicerna. Dalam telur, protein lebih banyak terdapat pada kuning telur, yaitu sebanyak 16,5%, sedangkan pada putih telur sebanyak 10,9%. Sebutir telur yang berbobot sekitar 50 gram mengandung total protein sebesar 6 gram (Soewedo, 1983). Protein pada kuning telur terdiri dari dua macam, yaitu ovovitelin dan ovolitelin dengan perbandingan 4:1. Ovovitelin adalah senyawa protein yang mengandung fosfor (P) sedangkan ovolitelin sedikit mengandung fosfor tapi banyak mengandung belerang (S) (Agus, 1988). Protein telur terdapat pada bagian putih dan bagian kuning telur. Protein putih telur terdiri dari protein serabut yaitu ovomusin dan protein globuler yaitu ovalbumin, conalbumin, ovomucoid, ovoconalbumin, lisozim, flavoprotein, ovoglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Protein pada kuning telur umumnya berikatan dengan lemak secara kompleks kecuali livetin dan posvitin.
19
Dalam protein globuler, rantai-rantai samping hidrofil dan polar berada di bagian luar dan rantai samping hidrofob dan nonpolar berada di bagian dalam (Stadelman dan Cotterill, 1995). Ovomucin merupakan suatu glikoprotein yang tidak larut dalam air tapi larut dalam garam (Linden dan Lorient, 1999). Ovomucin mencapai 1,5%. Ovomucin bersifat kental dan mengandung karbohidrat yang tinggi (30%). Proses pemanasan pada suhu 900C dengan pH sekitar 7,1-9,4 selama 2 jam tidak mengubah viskositas protein ini (Stadelmen dan Cotterill, 1995). Ovalbumin adalah komponen utama yang menyusun putih telur (54% dari total protein putih telur). Ovalbumin merupakan phosphoglycoprotein. Ovalbumin bersifat lebih stabil terhadap panas selama penyimpanan telur. Perubahan sifatsifat fisik ovalbumin dipengaruhi oleh perubahan gugus sulfihidril menjadi disulfida. Ovalbumin mudah mengalami denaturasi dan terkoagulasi akibat adanya pengocokan. Akan tetapi, ovalbumin lebih tahan terhadap proses pemanasan. Pemanasan pada suhu 620C selama 3,5 menit dengan pH 9 akan menyebabkan denaturasi ovalbumin sebanyak 3-5% (Stadelman dan Cotterill, 1995). Belitz and Grosch (2009), denaturasi secara umum mempunyai sifat reversible ketikat rantai peptida distabilkan dalam keadaan yang tidak terikat oleh agen denaturasi yaitu protein telur selama mengalami perebusan. Winarno dan Koswara (2002) menyatakan bahwa endapan yang terjadi pada proses koagulasi menunjukkan bahwa endapan tersebut masih bersifat sebagai protein, hanya saja telah terjadi perubahan tersier ataupun kwartener sehingga protein tersebut
20
mengendap. Perubahan struktur tersier putih telur tidak dapat diubah kembali ke bentuk semula. Hal ini bisa dilihat dari tidak larutnya endapan putih telur ke dalam air. Protein yang tercampur oleh senyawa logam berat akan terdenaturasi. Koagulasi (penggumpalan) protein dimulai ketika suhu mencapai 74ºC. Putih telur merupakan campuran protein yang tinggi dan setiap komponennya mempunyai fungsi yang spesifik. Protein yang terkandung dalam putih telur sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah dan karakteristik protein telur dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Protein dalam Putih Telur Jumlah relatif Jenis protein dalam putih telur (%) Ovalbumin 54 Conalbumin 13 Ovomucoid 11 Lyzozyme 3,5 G2 globulin 4,0 G3 globulin 4,0 Ovomucin 1,5 Flavoprotein 0,8 Ovoglycoprotein 0,5 Ovomacroglobulin 0,5 Ovoinhibitor 0,1 Avidin 0,05
Karakteristik Phospoglcoprotein Mengikat logam terutama besi Menghambat trypsin Membunuh beberapa bakteri Sialoprotein Mengikat riboflavin Sialoprotein Menghambat beberapa bakteri protease Mengikat biotin
Sumber : Stadelman dan Cotteril (1995).
Nahariah et al. (2014a) menyatakan bahwa suhu pemanasan pada waktu tertentu mempengaruhi pemecahan protein yang dapat menghasilkan urutan asam amino (peptida) dan diindikasi bersifat sebagai antihipertensi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suhu 550C pada proses pengeringan putih telur kemungkinan telah mengubah struktur protein yang diindikasi sebagai antihipertensi sehingga
21
nilainya lebih rendah. Kearney et al. (2008) perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya perubahan suhu, fase, dan pengeringan yang diindikasi menjadi penyebab kerusakan protein. Proses pemanasan dapat menurunkan kadar protein dengan mekanisme denaturasi protein. Menurut Lehninger (1998) denaturasi adalah peristiwa terbukanya susunan tiga dimensi molekul protein menjadi struktur acak dengan lipatan protein menyebabkan enzim pencernaan yang lebih mudah untuk menghidrolisis dan mudah memecah protein menjadi monomer-monomer. Angleimer (1976) penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air. Analisis kualitatif protein dengan cara pemanasan mengindikasikan adanya reaksi pengendapan. Panas dapat menggumpalkan protein, dan suhu yang efektif adalah 380 – 750 C dan paling baik pada titik isoelektriknya. Gumpalan ini tidak larut lagi bila pelarutnya menyebabkan hidrolisa. Sifat penggumpalan ini dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk memisahkan protein (Ridwan, 1990). Protein Terlarut Protein terlarut merupakan oligopeptida dan terdapat rantai kurang dari 10 asam amino serta memiliki sifat mudah diserap oleh sistem pencernaan (Purwoko dan Handajani, 2007). Protein terlarut sering juga disebut daya cerna. Daya cerna protein adalah salah satu faktor yang menentukan mutu protein karena menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daya cerna yang rendah
22
berarti protein yang masuk ke tubuh tidak dapat larut dan digunakan oleh tubuh (Muchtadi, 1989). Berdasarkan kelarutan, terdapat 4 jenis protein yaitu albumin, globulin , glutelin dan prolamin. Albumin adalah protein yang larut dalam air murni. Globulin adalah protein yang tidak dapat larut dalam air murni akan tetapi larut di dalam larutan garam. Sedangkan glutelin merupakan protein yang tidak larut baik pada air murni maupun larutan garam encer, tetapi larut di dalam asam atau basa encer. Prolamin adalah protein yang larut di dalam alkohol 70-800C akan tetapi tidak larut didalam air maupun larutan netral. Yolk pada telur akan terpisah menjadi 3 fraksi yaitu livetin, komponen granular dan lipovittellenin. Lipovitelin dan lipovitellenin adalah campuran komplek lipoprotein yang apabila lipidanya diekstrak dengan 80% alkohol akan meninggalkan phosphoprotein, vitelin dan vitellenin (Girindra, 1990). Pemanasan berpengaruh terhadap tingkat protein suatu bahan pangan. Penelitian Pramuditya et al. (2014) menunjukkan penurunan protein seiring dengan meningkatnya lama pemanasan. Menurunnya protein disebabkan adanya sebagian protein yang terlarut selama pemanasan. Penelitian Vasanthi et al. (2006) menjelaskan bahwa pemanasan pada bahan pangan seperti daging melarutkan zat penyusun daging seperti kolagen. Kelarutan kolagen meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan lama pemasakan dalam air. Kelarutan protein mengacu pada jumlah protein total pada suatu bahan yang masuk ke dalam larutan dalam kondisi tertentu (Zayas, 1997) dan tergantung pada struktur protein, pH, konsentrasi garam, suhu, lama ekstraksi dan banyak
23
faktor instrinsik lainnya. Tanda- tanda denaturasi protein yang tercermin dalam perubahan kelarutan. Metode pengolahan mempengaruhi kelarutan protein terutama jika mereka terkena panas (Gelichpour, 2011). Penelitian Rochmah (2006) bahwa tempe kara benguk yang ditumbuk memiliki kadar protein terlarut yang paling besar dibandingkan tempe kara benguk yang tidak ditumbuk halus. Pengecilan ukuran (penumbukan) akan membuat protein yang berupa untaian panjang polipeptida yang rumit menjadi untaian panjang yang sederhana. Kadar protein terlarut berbanding lurus dengan nilai gizi suatu bahan. Semakin besar protein terlarut maka semakin besar pula nilai gizi suatu bahan pangan. Semakin terurai struktur protein suatu bahan semakin mudah dicerna dan semakin banyak persentase protein terlarutnya. Hidajah et al. (2010) menyatakan salah satu zat gizi yang berubah oleh pemanasan adalah protein. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-900 C) selama satu jam atau kurang. Pemanasan merupakan proses pengolahan yang mampu meningkatkan daya cerna. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kedelai yang mengalami pemanasan akan terurai proteinnya baik itu dinyatakan sebagai asam amino esensial maupun non esensial sehingga kadar protein yang dapat larut semakin tinggi. Faktor penentu kadar protein terlarut adalah jenis dan cara pengolahannya. Semakin mengalami pengolahan yang kompleks, protein akan berkurang. Pemanasan seperti perebusan, penggorengan dan pemanggangan serta fermentasi dapat mengurangi kadar protein dan nilai gizi namun meningkatkan kemampuan protein terlarut. Pengecilan ukuran juga dapat meningkatkan protein terlarut suatu
24
bahan. Semakin tinggi protein terlarut dalam air semakin tinggi nilai gizi produk yang akan dicerna oleh tubuh (Gelichpour dan Shabanpour, 2011). Salah satu metode pengukuran protein terlarut alaha metode lowry folin. Metode lowry folin dalam pengukuran protein terlarut hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode lowry adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E) membentuk warna biru sehingga dapat menyerap cahaya (Alexander dan Griffiths, 1992).
25
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Daging dan Telur dan di Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Materi Penelitian Alat yang digunakan antara lain gelas ukur, waterbath, tabung reaksi, labu ukur, labu kjeldahl, stopwatch, oven, spectrophotometer UV-VIS, timbangan analitik, mikropipet 1000μm, vortex mixer, erlenmeyer, destilator, dan timbangan digital, inkubator, pemanas, spoit, destilator dan centrifuge. Bahan yang digunakan adalah telur ayam ras umur satu hari, akuades, akuabidistila, alkohol, metanol, asam fenolat, H2SO4, air es, HCl, Folin Ciocalteu, Na2CO3 10%, K2SO4, HgO, NaOH-tiosulfat, reagen Lowrey, reagen Folin, Kalsium Permanganat (PK), Diphenyl Picryl Hdrazyl (DPPH), Tricarboxylic Acid (TCA) dan Bovine Serum Albumine (BSA). Metode Penelitian Rancangan Penelitan Penelitian dilaksanakan secara eksperimental berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial (3x3) dengan masing-masing 3 kali ulangan sehingga terdapat 27 unit perlakuan. Setiap ulangan menggunakan 20 ml
26
telur. Jumlah telur yang digunakan adalah 27 butir
dengan susunan sebagai
berikut : Faktor I (Waktu Pemanasan) W1 = 3 menit
W2 = 6 menit
W3 = 9 menit.
Faktor II (Suhu Pemanasan) S1 = 450C
S2 = 550C
S3 = 650C.
Prosedur Penelitian Memilih telur yang baik dan segar yang diperoleh dari Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Telur yang digunakan adalah telur berumur satu hari (one day). Telur kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat telur yang relatif sama dan seragam. Telur selanjutnya di fumigasi menggunakan serbuk Kalsium Permanganat (PK) dan formalin pada ruang tertutup selama 5 menit dan berturut-turut dibersihkan dengan menggunakan lap basah, air hangat, larutan klorin dan selanjutnya diusap dengan alkohol menggunakan kapas. Telur yang telah dibersihkan selanjutnya dipecah, dipisahkan antara kulit dengan isi telurnya dan ditampung di dalam gelas ukur. Selanjutnya menghomogenkan telur tersebut untuk mencampur albumen dan yolk telur menggunakan mixer. Telur yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur menggunakan spoit masing-masing sebanyak 20 ml dan selanjutnya dipanaskan ke dalam waterbath. Masing- masing telur diberikan perlakuan yaitu 3 menit dengan suhu masing- masing 450C, 550C dan
27
650C, selanjutnya 6 menit masing-masing 450C 550C dan 650C, dan 9 menit 450C 550C dan 650C. Berikut diagram alir prosedur penelitian :
Telur utuh Penimbangan Fumigasi dengan menggunakan serbuk PK dan formalin Pembersihan Pemecahan dan pelepasan cangkang
Menggunakan air bersih (panas) Menggunakan klorin Menggunakan alkohol
Penampungan isi telur Homogenisasi
Pemanasan
Suhu (45, 55 dan 650 C)
Waktu ( 3, 6 dan 9 menit)
Parameter Aktivitas antioksidan
Total protein
Protein terlarut
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
28
Parameter yang Diukur a. Aktivitas antioksidan Uji aktivitas antioksidan dengan metode Diphenyl Picryl Hdrazyl (DPPH) (Gasic et al., 2014). Sampel ditimbang sebanyak 10 mg kemudian dilarutkan pada labu ukur yang berisi metanol sebanyak 10 ml, maka diperoleh sampel dengan konsentrasi 1mg/ml, dilakukan pengenceran dengan menambah metanol sehingga diperoleh sampel dengan konsentrasi 10, 30, 50, 70 dan 90 μg/ml. Masing-masing konsentrasi di pipet sebanyak 0,2 ml larutan sampel dan dimasukkan ke vial kemudian ditambahkan larutan 5,8 μm DPPH (3,8 ml) dan larutan metanol 0,2 ml. Campuran sampel dikocok menggunakan vortex dan dibiarkan selama 30 menit ditempat gelap, selanjutnya serapan larutan diukur dengan spektrofotometer UVVis pada panjang gelombang 515 nm. Besarnya aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus :
DPPH Radical Scavenging Effect (%) =
A kontrol : Absorbansi DPPH A sample : Absorbansi sampel
(A DPPH – A sampel) х 100 A DPPH A sampel
b. Total Protein Pengujian total protein AOAC (1984), memasukkan sampel sebanyak 2 gram ke dalam labu kjeldahl bersama dengan 20 g K2SO4, 1gr HgO dan 25 ml H2SO4 pekat. Labu kemudian didihkan hingga terbentuk larutan yang jernih dan diteruskan selama 30 menit. Labu dibiarkan dingin dan secara perlahan-lahan menambahkan aquades sebanyak 200 ml sampai suhu mencapai 250C.
29
Menambahkan larutan NaOH-tiosulfat secara berhati-hati untuk mencegah pencampuran mendadak. Menghubungkan labu dengan peralatan destilasi dan dipanaskan sampai semua ammonia terdestilasi. Larutan asam standar yang tersisa dititrasi dengan larutan NaOH standar. Rumus :
N(g/kg) = Vx1,401/W
Dimana : N : Jumlah Nitrogen V : Volume W : Berat sampel (1 ml asam 0,1 N = 1,401 mg N) b. Protein terlarut Wikandari et al. (2011) yang dimodifikasi, estrak sampel larut TCA sebanyak 0,1 ml ditambahkan 1,9 ml aquades dan ditambahkan pula reagen lowrey sebanyak 2,5 ml. Campuran dihomogenisasi dan disimpan pada suhu ruang selama 10 menit. Selanjutnya menambahkan 0,5 ml reagen Folin dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit hingga warna biru terbentuk. Selanjutnya mengukur absorbansi sampel pada spektrofotometer (perkin elmer Lambda 35) dengan panjang gelombang 600 nm, menggunakan standar larutan Bovine Serum Albumine (BSA). Nilai protein terlarut terbaca pada layar monitor. Protein terlarut (%) =
(A Sampel – A BSA ) х 100 A Sampel A sampel
A sampel : Absorbansi sampel A kontrol : Absorbansi standar BSA
30
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (3x3) dengan pola faktorial (Gasperz, 1991) dengan model matematika sebagai berikut : Yijk = μ + αi +βj + (αβ)ij + €ijk i j k
= 1,2,3 = 1,2,3 = 1,2,3 (ulangan)
Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada unit perlakuan ke-k yang diperoleh dari suhu pemanasan berbeda ke-i dan waktu ke-j.
µ
= Nilai tengah sampel/rata-rata perlakuan.
αi
= Pengaruh perlakuan suhu pemanasan ke-i
βj
= Pengaruh waktu pemanasan ke-j.
(αβ)ij
= Pengaruh suhu pemanasan ke-i dan waktu ke-j.
€ijk
= Pengaruh galat yg timbul perlakuan ke-k yang diperoleh dari suhu pemanasan ke-i dan perlakuan waktu ke-j. Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka
lanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
31
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Aktivitas Antioksidan Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa suhu dan waktu pemanasan yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap aktivitas antioksidan telur konsumsi namun tidak ada interaksi antara keduanya. Tabel 6. Aktivitas Antioksidan Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Suhu (0C) Waktu (menit) Rata-rata 45 55 65 …………. % ………… 3 92,69±1,43 86,89±1,04 87,47±1,80 89,02±3,04b 6 89,89±0,56 87,63±1,43 83,58±2,54 87,03±3,14b 9 86,80±5,47 85,45±0,77 81,73±1,68 84,66±3,67a Rata-rata 89,79±3,81a 86,66±1,36b 84,26±3,09c Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01)
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada aktivitas antioksidan seiring dengan penambahan suhu pemanasan. Aktivitas antioksidan telur pada suhu 450C sebesar 89.79% berkurang pada suhu 550C menjadi 86.66% dan semakin menurun lagi pada suhu 650C menjadi 84.26%. Menurunnya aktivitas antioksidan telur kemungkinan diakibatkan oleh adanya perubahan struktur protein pada suatu bahan serta sifat antioksidan yang mudah teroksidasi. Hal ini sesuai dengan Miryanti et al. (2011) bahwa antioksidan dapat rusak karena suhu tinggi dan mudah teroksidasi. Pokorny et al. (2001) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi antioksidan adalah pengeringan bahan, pemanasan maupun radiasi menyebabkan terjadinya
32
peningkatan rantai inisiasi dan propagasi dari reaksi oksidasi dan menurunkan aktivitas yang ditambahkan dalam bahan. Tabel 6 juga menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan memiliki nilai ratarata yang sama antara perlakuan. Pemanasan dengan suhu 450C dengan waktu 3 menit mengalami penurunan yang tidak signifikan setelah penambahan waktu 6 dan 9 menit. Hal tersebut berarti bahwa pemanasan dengan suhu 450C dalam waktu 3 menit lebih baik dan lebih efisien dibandingkan dengan lama pemanasan lainnya terhadap nilai aktivitas antioksidan telur. Salah satu sumber antioksidan pada telur berasal
dari pakan yang diberikan. Telur yang digunakan sebagai sampel berasal dari ayam yang diberi pakan jagung. Proulx (2011) menyatakan bahwa telur yang diberi pakan gandum dan jagung mengandung antioksidan dua kali lebih besar dibandingkan antioksidan dalam apel. Antioksidan yang terdapat pada telur adalah karotenoid. Karotenoid memberi pigmen warna kuning pada telur. Yang et al. (2002) menjelaskan bahwa antioksidan, seperti vitamin E, asam askorbat dan karotenoid, dapat ditemukan pada konsentrasi tinggi pada otot dari hewan yang diberi rumput daripada otot dari hewan yang dibesarkan dengan pemberian pakan konsentrat. Tabel 6 menunjukkan aktivitas antioksidan telur setelah pemanasan pada suhu 450C selama 3 menit sebesar 92,69% dan semakin menurun seiring penambahan suhu dan waktu pemanasan. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil yang ditemukan oleh Nimalaratne dan Wu (2015) mengenai antioksidan telur utuh yang mentah sebesar 86,95%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan antioksidan telur mentah dari 86,95% menjadi 92,69% dan optimal setelah mengalami pemanasan pada suhu 450C selama 3 menit. Hal ini sesuai 33
dengan pendapat Sudarmadji et al. (1989) bahwa perubahan struktur protein menjadi oligopeptida melalui mekanisme pemanasan mampu menghambat reaksi oksidatif dan bersifat antioksidan. Namun suhu yang tinggi juga dapat merusak antioksidan (Miryanti et al. 2011) sehingga perlu kontrol suhu untuk mempertahankan aktivitas antioksidan telur. Tabel 6 menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan pada waktu 3 menit dan 6 menit tidak memiliki perbedaan yang nyata namun berbeda nyata pada penambahan waktu 9 menit. Semakin lama waktu pemanasan yang diberikan pada telur konsumsi, semakin rendah pula aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Pemanasan telur konsumsi dengan suhu pemanasan 450C dalam waktu 3 menit memiliki aktivitas antioksidan terbaik dibandingkan dengan
suhu dan waktu
pemanasan lainnya yaitu sebesar 92.69%. Hal ini disebabkan perlakuan pemanasan dengan waktu yang relatif lama mengurangi kandungan nutrisi pada telur. Nutrisi yang berkurang tersebut dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan. Nutrisi pada telur yang mengalami kerusakan akibat pemanasan adalah karotenoid yang terdapat pada kuning telur. Karotenoid merupakan pigmen antioksidan yang diperoleh dari pakan dan tidak diproduksi oleh tubuh ternak (Betrand et al., 2011). Nahariah et al. (2014ᵇ) menyatakan bahwa kemampuan sifat bio convert ayam petelur yang mampu merubah pakan menjadi telur yang baik bagi kesehatan sehingga menjadi faktor adanya kandungan antioksidan yang diperoleh dari pakan jagung yang mengandung banyak antioksidan phenolat.
34
Uji Total Protein Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total protein telur konsumsi dan terdapat interaksi antara keduanya meskipun perlakuan waktu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 7. Total Protein Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Suhu (0C) Waktu (menit) Rata-rata 45 55 65 ……….. % ………… 3 12,42±0,13 11,53±0,09 11,46±0,54 11,80±0,54 6 11,76±0,49 11,81±0,27 11,25±0,19 11,61±0,40 9 12,51±0,22 11,12±0,92 11,83±0,12 11,82±0,61 b a a Rata-rata 12,23±0,45 11,49±0,33 11,51±0,51 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi penurunan total protein telur konsumsi
dari suhu 450C sebesar 12,23% menjadi 11,49% pada suhu 550C dan meningkat tidak signifikan menjadi 11,51% pada suhu 650C. Hal ini disebabkan karena suhu mampu mengubah struktur protein. Pemanasan yang tinggi menyebabkan protein mengalami denaturasi. Zulfikar (2008) menjelaskan bahwa denaturasi merupakan suatu keadaan dimana protein mengalami perubahan atau perusakan struktur sekunder, tersier dan kuartenernya. Sedangkan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein adalah pemanasan, suasana asam atau basa, kation logam berat atau penambahan garam jenuh. Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar total protein terendah terdapat pada perlakuan 550C sebesar 11,49%, lebih rendah dari suhu 650C yakni sebesar 11,51%. Rendahnya kadar protein pada perlakuan 550C disebabkan oleh
35
kestabilan kadar air pada telur saat dipanaskan. Perubahan kadar protein dipengaruhi oleh kadar air suatu bahan pangan. Selain itu, perbedaan kandungan protein pada bahan segar juga mempengaruhi jumlah kadar protein akhir. Penelitian Novia et al. (2011) menunjukkan bahwa suhu pengovenan menurunkan nilai kadar protein telur asin dari 37,54 pada suhu 700C menjadi 28,40 pada suhu 800C. Kenaikan total protein dari 11,49% pada suhu 550C menjadi 11,51% pada suhu 650C tidak berbeda nyata secara statistik. Hal ini senada dengan penelitian Novia et al. (2011) yang mengkaji kadar protein menggunakan oven dengan suhu pemanasan 800C sebesar 33,14% dan meningkat menjadi 42,82 pada suhu 900C. Hal ini terjadi karena pada suhu tersebut telah terjadi koagulasi yang sempurna sehingga kadar protein tidak berpengaruh. Lebih lanjut dijelaskan oleh Zulfikar (2008) bahwa pemanasan dapat menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen yang menopang struktur sekunder dan tersier suatu protein sehingga menyebabkan sisi hidrofobik dari gugus samping polipeptida akan terbuka. Peningkatan protein pada suhu 650 C juga disebabkan oleh kadar air telur yang rendah sehingga menyebabkan total solid yaitu salah satunya kadar protein. Menurut Daun (1989) susutnya air bahan pangan akan meningkatkan kadar protein bahan tersebut.
36
Interaksi antara Waktu dan Suhu Pemanasan yang Berbeda pada Telur Konsumsi terhadap Nilai Total Protein Hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara suhu dan waktu pemanasan yang berbeda pada telur konsumsi terhadap nilai total protein yang disajikan pada Gambar 2. Interaksi antara suhu dan waktu pemanasan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa total protein telur konsumsi melalui pemanasan pada suhu 450C dan waktu 6 menit mengalami penurunan. Selanjutnya pada suhu 550C dan 650C meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu pemanasan. Interaksi suhu dan waktu pemanasan telur konsumsi terjadi pada suhu 450C, 550C dan 600C dalam waktu 3,6 dan 9 menit. Perbedaan suhu dan waktu yang digunakan pada saat pemanasan dapat mengubah struktur protein pada telur sehingga nilai total protein yang ditunjukkan pada Gambar 2 berbeda-beda. 13
Total protein (%)
12,5 12
waktu (Menit)
11,5
3
11
6 9
10,5 10 45
55
65
suhu (0 C)
Gambar 2. Interaksi antara Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Telur Konsumsi terhadap Nilai Total Protein Panas dapat mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar. Peningkatan suhu dari 450C, 550C hingga 650C
meningkatkan energi 37
kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul protein tersebut (Winarno, 2008). Hal tersebut juga berpengaruh terhadap sifat fungsional pada telur. Cunningham (1995) bahwa pemanasan dapat mempengaruhi sifat fungsional produk telur tergantung pada waktu dan suhu yang digunakan. Suhu pemanasan antara 54°C hingga 60°C akan merusak sifat busa pada putih telur. Penelitian Rizal et al.
(2012) bahwa pemanasan telur menggunakan
waterbath pada suhu 630C selama 3 menit dan pemanasan menggunakan oven suhu 700C selama 60 menit membuat protein telur dan membran kulit telur menggumpal. Uji Protein Terlarut
Tabel 8 menunjukkan bahwa suhu dan waktu pemanasan yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap protein terlarut telur konsumsi dan terdapat interaksi antar keduanya. Tabel 8. Protein Terlarut Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Suhu (0C) Waktu Rata-rata (menit) 45 55 65 ……….. % ………… 3 0,24 0,24 0,31 0,26b 6 0,19 0,24 0,25 0,23a 9 0,20 0,30 0,29 0,26b Rata-rata 0,21a 0,26b 0,28c Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01)
Tabel 8 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan protein terlarut telur
konsumsi seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan berturut-turut 450C 38
sebesar 0.21 g/ml menjadi 0.26 g/ml pada suhu 550C dan meningkat kembali menjadi 0.28g/ml pada suhu 650C. Nugroho (2012) menjelaskan bahwa pada umumnya kelarutan protein naik pada suhu 0-400C. Namun hasil pada Tabel 8 terlihat tidak stabil kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan sifat fisik pada telur setelah melalui beberapa suhu pemanasan. Wirahadikusuma (1981) menjelaskan bahwa sifat fisik sangat berpengaruh terhadap sifat fungsional protein karena mempengaruhi interaksi protein dengan pelarut air. Protein mudah mengalami perubahan disebabkan oleh panas. Tabel 8 menunjukkan perubahan nilai protein terlarut pada setiap perlakuan. Pada suhu di atas 600C kelarutan protein akan berkurang (koagulasi) karena pada suhu yang tinggi energi kinetik molekul protein meningkat sehingga terjadi getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau struktur sekunder, tertier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi (Winarno, 2008). Sudarmadji et al. (1989) bahwa protein sangat mudah mengalami perubahan secara alamiah yang disebabkan oleh denaturasi asam, basa, pelarut organik, pH, garam, maupun sinar radiasi radioktif. Hasil uji beda nyata LSD menunjukkan bahwa protein terlarut pada perlakuan lama pemanasan 3 menit berbeda nyata dengan pemanasan 6 menit sedangkan pemanasan 3 menit tidak berbeda dengan pemanasan 9 menit. Perlakuan 450C berbeda nyata dengan suhu 550C begitu pula dengan suhu 650C . Hal ini terjadi diduga karena suhu dan waktu pemanasan menyebabkan adanya energi kinetik yang mampu mengacaukan ikatan protein pada telur sehingga terjadi perbedaan nilai protein terlarut tiap perlakuan. Hal ini sesuai dengan Ophart (2003) bahwa suhu panas dapat digunakan untuk merusak ikatan hidrogen
39
dan interaksi hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Selama pemasakan, telur juga mengalami denaturasi dan koagulasi. Beberapa makanan dimasak untuk mendenaturasi protein yang dikandung supaya memudahkan enzim pencernaan dalam mencerna protein tersebut. Ophart (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi nonkovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit. Interaksi antara Waktu dan Suhu Pemanasan yang Berbeda pada Telur Konsumsi terhadap Nilai Protein Terlarut Hasil penelitian (Tabel 8) menunjukkan bahwa protein terlarut mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu dan lama pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan pada telur konsumsi akan semakin banyak pula nilai protein yang larut.
40
Protein terlarut (g/ml)
0,35 0,3 0,25
waktu (Menit)
0,2
3
0,15
6
0,1
9
0,05
0 45
55
65
suhu (0 C) Gambar 8. Interaksi antara Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Telur Konsumsi terhadap Nilai Protein Terlarut
Hasil penelitian pada pemanasan telur dengan suhu 650C dan waktu 6 menit menyebabkan telur mulai mengalami pemadatan. Pemadatan ini disebut juga dengan koagulasi sebagai akibat dari adanya pemanasan. Telur yang terdiri atas protein terlarut dalam air memiliki komponen berupa albumin dan berbagai asam amino yang berbeda-beda dan membentuk rantai polimer yang berlipat-lipat. Pang (2007) menjelaskan bahwa rantai polimer berlipat-lipat tersebut secara padat dalam sebuah struktur 3D bersifat unik dan relatif stabil. Ketika dipanaskan telur akan terdehidrasi dan rantai proteinnya mengurai dan mengalami denaturasi. Panas menyebabkan gugus sulfur hidrogen pada asam amino sistein mengalami oksidasi dan membentuk ikatan kovalen diantara molekul yang bersebelahan. Proses ini menyebabkan rantai-rantai membentuk jaringan sehingga telur akan memadat saat dipanaskan pada suhu yang tinggi dan waktu yang lama. Hasil pemanasan telur yang seperti ini berbeda dengan hasil pemanasan pada benda atau bahan lainnya yang umumnya akan mengurai atau mencair.
41
Setiap protein mempunyai kelarutan tertentu yang ditentukan oleh komposisi kelarutannya. Kelarutan protein ditentukan oleh pH dan umumnya mempunyai nilai yang minimum pada pH isoelektrik. Kusnandar (2010) menjelaskan bahwa protein bersifat amfoter. Protein akan mencapai titik terendah pada saat mencapai titik isoelektriknya. Interaksi protein dengan protein pada titik ini lebih kuat dibandingkan dengan interaksi protein dengan air. Hal ini diduga kelarutan protein dalam telur cair yang telah dipanaskan rusak akibat denaturasi panas dan terjadinya perubahan sifat karakteristik telur cair, yaitu terjadinya pemadatan (gel). Soepomo (1992) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan atau lama pemasakan, makin besar protein yang rusak sampai mencapai tingkat yang konstan sehingga diperoleh hasil yang cukup rendah. Kuning telur dan albumen telur mendapatkan tekstur mereka dari protein globuler yang terlarut dalam keduanya. Bentuk-bentuk bulat ini terjadi karena molekul-molekul protein yang seperti rantai cenderung bergelung menjadi bola dan bertugas menahan protein dalam bentuk-bentuk yang paling sesuai dengan fungsi masing-masing. Struktur yang seperti bola tidak permanen. Ikatan-ikatan akan terlepas dan muatan-muatan yang semula berpasangan dengan muatan dalam molekul sendiri berpisah setelah melalui pemanasan. Muatan-muatan saling berlawanan dalam molekul-molekul yang bersebelahan saling bertemu saat terurai sehingga sesama protein membentuk gumpalan-gumpalan besar yang kusut (Richfield, 2007).
42
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aktivitas antioksidan telur memiliki nilai yang tidak berbeda nyata meski telah dilakukan pemanasan pada suhu dan waktu yang berbeda. Aktivitas antioksidan menurun seiring dengan bertambahnya suhu dan waktu pemanasan serta penurunan total protein meningkatkan protein terlarut telur. Saran
Untuk mempertahankan aktivitas antioksidan pada telur konsumsi sebaiknya melakukan pemanasan pada suhu 450C selama 3 menit.
43
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. 12th. Ed. Association of Official Analysis Chemist. Washington D.C Agus, B. M. 1988. Mengelola Itik. Kanisius. Yogyakarta. Alexander R.R. dan J.M.Griffiths. 1992. Basic biochemical methods, Wiley-Liss, New York, ed ke-2. Angleimer, A.E and M.W. Montgomery. 1976. Amino Acids Peptides and Protein. Mercil Decker Inc. New York. Boileu. T.W.M., A.C. Moore dan J.W Erdman. 1998. Carotenoids and Vitamin A. in : papas, A.M (ed). Antioxidant Status, Diet, Nutrition and Health. CRC Press. New York. Bertrand. P, C.P Ting, Y. Mine, L.R. Juneja, T. Okubo, S. F. Gauthier and Y. Pouliot. 2011. Comparative composition and antioxidant activity of peptide fractions obtained by ultrafiltration off egg yolk proteinmenzymatic hydrolyssates. 1, 149-161;doi:10.3390/membranes 1030149. Brown, S. L. dan M. E. Zabik. 1967. Effect of Heat Treatments On The Physical And Fungtion Properties Of Liquid And Spray Dried Egg Albumen. Food Technol. 21(1) : 87. Cook, N.C., & S. Samman. 1996. Flavonoids and Chemistry, Metabolism, Cardioprotective Effect, and Dietary Sources, J. Nutritional Biochemistry 7: 66–67. Cunningham, F. E. 1995. Egg Product Pasteurization. Dalam: W. J. Stadelmen and O. J. Cotterill (Editor). Egg Science and Technology. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York. Cuppet, S., M. Schrepf and C. Hall III. 1954. Natural Antioxidant – Are They Reality. Dalam Foreidoon Shahidi : Natural Antioxidants, Chemistry, Health Effect And Applications, AOCS Press, Champaign, Illinois: 12-24. Daun, H. 1989. Interaction of Wood Smoke Component and Food. Food Technol. (5): 66-70. DeMan, M. John. 1997. Kimia Makanan. Bandung : ITB.
44
Estiasih, T. dan E. Sofia. 2009. Stabilitas antioksidan bubuk keluwak (Pangium edule reinw.) selama pengeringan dan pemasakan. Jurnal Teknologi Pertanian 10 (2) : 115-122 Evo. 2014. Potensi Antioksidan pada Telur Infertil Hasil Seleksi Berdasarkan Waktu Pengeraman yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Febrianti, A. Gebi, D., Wiwi S,. 2014. Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antioksidan dan total antosianin minuman sari ubi jalar ungu (ipomoea batatus L.). Jurnal Sains Dan Teknologi Kimia-jilid 5. Bandung. Gasic, U., S. Keckes, D. Dabic, J. Trifkovic, D. M. Opsenica, M. Natie, and Z. tesic 2014. Phenolic profile and antioxidant activity of Serbian polyforal honeys. Food Chem. 145: 599-607. Gelichpour, M and B. Shabanpour. 2011. The Investigation of Proximate Composition and Protein Solubility in Processed Mullet Fillet. International Food Research Journal 18 (4): 1343 – 1347. Girindra, A. 1998. Biokimia 1st . PT. Gramedia. Jakarta. Halliwell, B. & J.M.C. Gutteridge. 2000. Free Radical in biology and medicine. Ed 4th. Oxford University Press, New York Harper, H., V.M. Rodwell, & P.A. Mayes. 1979. Biokimia. Terjemahan dari: Harper’s Biochemistry. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Haryoto. 1996. Pengawetan Telur Segar. Yogyakarta. Kanisius. Hidajah, N., S. Anwar., N. Rahman. 2010. Daya Terima dan Kualitas Protein In Vitro Tempe Kedelai Hitam (glycine soja) yang Diolah pada Suhu Tinggi. Gizi Masyarakat. Universitas diponegoro. Semarang. Hintono, A. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Telur. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. International Food Information Council Foundation (IFIC). 2007.Glutamat and Monosodium Glutamat : Examining The Myths (review). Washington DC. Li, J dan Wu, E. 2009. Adsorption of hydrogen on porous material of activated carbon and zeolite nax crossover critical suhue. Journal of supercritical fluids. 49. P. 196-202. Lehninger. A.L. 1998. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan, M. Thenawidjaja. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
45
Jin-Yeum, K.J., N.U. Russell, A. Majid, M. Fiaz , & A.H. Shah. 2010. Antibacterial activity of some medicinal mangroves againts antibiotic resistant pathogenic bacteria. Indian J. Pharmacue. Sci 72 (2): 167-172. Kahkonen, P. Marja dan M. Heinonen. 2003. Antioksidan Activity of Anthocyanins and Their Aglicons. Journal Agriculture Food Chemical 51:628-633. Karadag, A., B. Ozcelik, dan S. Saner. 2009. Reviewof Methods to Determine Antioxidant Capacities. Food Analytical Methods. Vol. 2:41-60. Kearney, N., C. Stanton, C. Desmond, M. Coakley, J. K. Collins, G. Fitzgerald, and R. P. Ross. 2008. Challenges Associated with the Development of Probiotic-Containing Functional Foods. In: Handbook of Fermented Functional Foods. Farnworth,E.R. CRC Press. New York. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta : UI-Press. Kumar, S. 2011. Free radicals and antioxidants:human and food system. Adv. in Appl. Sci.Res., 2(1): 129-135. Kusnandar, F. 2010. Mengenal Sifat Fungsional Protein. Departemen Ilmu Teknologi Pangan-IPB :22-44. Lehninger. 1990. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Alih bahasa oleh Maggy Thenawidjaja. Jakarta: Erlangga. Maruddin, F. 2004. Kualitas Daging Sapi Asap pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. J. Sains dan Teknologi. 4 (2): 83-90. Matram R.B. 1992. Pengaruh Imbangan Kalori atau Protein dalam Pembatasan Ransum Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Telur Itik Bali. Disertasi. Bandung : UNPAD. Matsura, H. 2001. Saponins In Garlic as Modifiers of The Risk of Cardiovascular Disease. Jou. Nutr. 131 : 1000S-1005S. Milbury, P.E., & A.C. Richer. 2011. Understanding the antioxidant controversy: Scrutinizing the ‘fountain of youth’. Greenwood Publishing Group. USA. Miryanti YIP.Sapei L.Budiono K.Indra S. 2011. Ekstraksi Antioksidan dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Jurnal. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyaratkat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Mustofa, S. 2015. Avidin, Protein Pengikat Biotin. http://staff.unila.ac.id/ syazilimustofa/2015/03/24/avidin/. Diakses : 10 Mei 2016.
46
Muchtadi, D. 1989. Protein : Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi . Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nahariah, A.M Legowo, E. Abustam dan A. Hintono. 2014a. Aktivitas Antioksidan dan Antihipertensi Tepung Putih Telur Hasil “Pan Drying” pada Suhu dan Waktu Pengeringan yang Berbeda. Seminar Nasional Optimalisasi Sumberdaya Lokal pada Peternakan Rakyat Berbasis Teknologi. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Nahariah, A. M. Legowo, E. Abustam, A. Hintono, V. P. Bintoro, dan Y. B. Pramono. 2014b. Evaluasi potensi aktivitas ACE-Inhibitor endogenous pada putih telur dari jenis unggas yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Optimasi Sumber Daya Lokal pada Peternakan Rakyat Berbasis Teknologi: Peningkatan Produktivitas Ternak Lokal. Tanggal 9-10 Oktober 2014. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 207-213. Novia, D., S. Melia, dan N.Z. Ayuza. 2011. Kajian Suhu Pengovenan Terhadap Kadar Protein dan Nilai Organoleptik Telur Asin. Jurnal peternakan vol 8. Hal :70-76 Nugroho, M. 2012. Isolasi Albumin dan karakteristik berat molekul hasil ekstraksi secara pengukusan ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Jurnal teknologi pangan vol.4 no.1. Ngo, D. Wijesekara, I. Vo, T. 2011. Marine food-derived functional ingredients as potential antioxidants in the food industry: An overview. Food Res. Int., 44, 523–529. Oktaviani, H., Nana Kariada dan Nur Rahayu Utami. 2012. Pengaruh Pengasinan Terhadap Kandungan Zat Gizi Telur Bebek Yang Diberi Limbah Udang. FMIPA. Universitas Negeri Semarang. Ophart, C.E. 2003. Virtual Chembook. Illinois: Elmhurst College Press. Pang, I. dalam M. O’Hare. 2006. Mana yang lebih banyak, Orang Mati atau Orang Hidup dan Mengapa Rambut Menjadi Uban. Ufuk Publishing House. Jakarta Selatan. Pramuditya, G. S.S Yuwono. 2014. Penentuan Atribut Mutu Tekstur Bakso Sebagai Syarat Tambahan Dalam Sni Dan Pengaruh Lama Pemanasan Terhadap Tekstur Bakso. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.2 No.4 p.200-2009.
47
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants from Plant Material. In: Huang M.T., C.T. Ho, C.Y. Lee (Eds.). Phenolic Compound in Food and Their Effect on Health. Washington DC. American Society. Pellet, P.L and VR Young (eds). 1980. Nutritional Evaluation of Protein Food. The United Nations University. Tokyo. Proulx, M. 2011. Researchers at the University of Alberta have discovered eggs ontain antioxidant properties, which help in the prevention of cardiovascular disease and cancer. https://uofa.ualberta.ca/news-andevents/newsarticles/2011/07/getcracking#sthash.sHEnUPh7.dpuf. Diakses : 6 Mei 2016. Pokorny, J., N. Yanishlieva. and M. Gordon. 2001. Antioxidant in Food. CRC Press Boca Raton Boston, New York. Pomeranz. 1978. Wheat, Chemistry and Technology 3rd Edition. American Association of Cereal Chemists. St. Paul U.S.A. Powrie, W. D., H. Little and N. A. Lopez. 1996. “Gelation of Egg Yolk”. Journal Food Science: 38. Prasetyo A, Sadhana U, Pratiwi I. Profil Lipid dan Ketebalan Dinding Arteri Abdominalis Tikus Wistar pada Injeksi Inisial Adrenalin Intra Vena (IV) dan Diet Kuning Telur Intermitten. Media Medika Indonesiana, 35 : 3. Richfield. dalam M. O’Hare. 2006. Mana yang lebih banyak, Orang Mati atau Orang Hidup dan Mengapa Rambut Menjadi Uban. Ufuk Publishing House. Jakarta Selatan Ridwan, S. 1990. Kimia Organik edisi I. Binarupa Aksara: Jakarta Rihastuti, R.A. 1994. Pengaruh Cara Pemanasan dan Penyimpanan Terhadap Kualitas Telur Ayam Konsumsi. Bulletin Peternakan. 18. 1994. Rizal, B., A.Hintono dan Nirwantoro. 2012. Pertumbuhan Mikroba pada Telur Pasca Pemanasan. Fakultas Peternakan. Universitas diponegoro. Semarang. Animal Agriculture Journal. Vol. 1 Hal: 208-218. Rokhmah, L.N. 2008. Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Tempe Kara Benguk (Mucuna pruriens, L) dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian universitas sebelas maret. Surakarta. Sen, S., R. Chakraborty, C. Sridharl, Y.S.R. Reddy, & B.De. 2010. Free radicals, antioxidants, diseases and phytomedicines: Current status and future prospect. Inter. J. Pharmaceu.Sci.Rev and Res., 3(1): 91-100.
48
Soepomo. 1992. Ilmu Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. Soewedo. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Yogyakarta. Stadelman, W. J. and O. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York. Statutory Instruments, 1963. The liquid egg (pasteurization) regulations 1963, No. 1503, Her Majesty’s Stationery Office, London, UK. Stevi G.D. Dewa G.K.Vanda S.K. 2012. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Fenolik Dari Kulit Buah Manggis (Gracinia mangostana L.). Jurnal MIPA Unsrat Online. Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sudarmadji, S., B.Haryono dan Suhardi. 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan. Sudaryani. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Tangerang. Sukasih, E., S. Prabawati, T. Hidayat. 2009. Optimasi Kecukupan Panas pada Pemanasan Santan dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Santan yang Dihasilkan. Jurnal pasca panen 6 (1) : 34-42. Sutjipto dan Y. Sardjono. 2007. Efek Radiasi Gamma Terhadap Kandungan Nutrisi Sampel Lingkungan Telur Itik. Pustek Akselerator dan Proses Bahan. Batan, Yogyakarta. Toha, A. H. 2001. Biokimia: Metabolisme Biomolekul. Bandung: Alfabeta. USDA. 1980. Regulations Governing Inspection of Egg Products. Vasanthi, C., V. Venkataramanujam, and K. Dushyanthan. 2006. Effect of Cooking Temperature and Time On Thephysico-Chemical, Histological and Sensory Properties of Female Carabeef (Buffalo) Meat. Department of meat science and technology. Madras veterinary college. Chennai. Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi Kelima, Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wibowo, L. 2009. Deskripsi dan Macam-Macam Tingkatan Struktur Protein. Bandung
49
Wikandari, P.R., Suparmo, Y. Marsono, dan E.S Rahayu. 2011. Potensi bekasem sebagai Sumber Angiotensin I-converting Enzyme Inhibitory. Biota. 16 (1) : 145-152. Wirahadikusuma, M. 1981. Biokimia Protein, Enzim dan Asam Nukleat. Penerbit ITB. Bandung. Winarno, F.G dan S. Koswara. 2002. Telur, Penanganan dan Pengolahannya. MBRIO Press. Bogor. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta. Yamamoto, T., Juneja, L.R. Hatta dan M. Kim. 1997. Hen Eggs. CRC Press. New York. Zayas, J. F. 1997. Functionality of Protein in Food. Springer, Berlin. Zulfikar. 2008. Kimia Kesehatan Jilid 3. Departemen Pendidikan Nasional. ISBN. 978-602-8320-48-1. Jakarta.
50
Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Ragam Aktivitas Antioksidan Telur konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label waktu
suhu
N
W1
W1
9
W2
W2
9
W3
W3
9
S1
S1
9
S2
S2
9
S3
S3
9
Descriptive Statistics Dependent Variable:antioksidan waktu
suhu
Mean
Std. Deviation
N
W1
S1
92.6900
1.43816
3
S2
86.8967
1.04735
3
S3
87.4700
1.80133
3
Total
89.0189
3.04056
9
S1
89.8967
.56518
3
S2
87.6300
1.43774
3
S3
83.5867
2.54622
3
Total
87.0378
3.14329
9
S1
86.8067
5.47372
3
S2
85.4533
.77365
3
S3
81.7300
1.68570
3
Total
84.6633
3.67884
9
S1
89.7978
3.81876
9
S2
86.6600
1.36400
9
S3
84.2622
3.09464
9
Total
86.9067
3.65257
27
d
W2 i
m
e
n
s
W3
i
o
n
1
Total
51
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:antioksidan Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
249.510a
8
31.189
5.766
.001
203924.755
1
203924.755
37700.570
.000
Waktu
85.601
2
42.800
7.913
.003
Suhu
138.712
2
69.356
12.822
.000
waktu * suhu
25.197
4
6.299
1.165
.359
Error
97.363
18
5.409
Total
204271.629
27
346.874
26
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .719 (Adjusted R Squared = .595)
Estimated Marginal Means Grand Mean Dependent Variable:antioksidan 95% Confidence Interval Mean
Std. Error
86.907
Lower Bound
.448
Upper Bound
85.966
87.847
Post Hoc Tests waktu Multiple Comparisons Dependent Variable:antioksidan (I) waktu
(J) waktu
Difference (I-J) LSD
W1
W2
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
1.9811
1.09636
.088
-.3223
4.2845
W3
4.3556*
1.09636
.001
2.0522
6.6589
W1
-1.9811
1.09636
.088
-4.2845
.3223
W3
2.3744*
1.09636
.044
.0711
4.6778
W1
-4.3556*
1.09636
.001
-6.6589
-2.0522
W2
-2.3744*
1.09636
.044
-4.6778
-.0711
dimension3
W3
Std. Error
W2 dimension3
dimension2
95% Confidence Interval
Mean
dimension3
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.409.
52
suhu Multiple Comparisons Dependent Variable:antioksidan (I) suhu
(J) suhu
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
LSD
S1
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
S2
3.1378*
1.09636
.010
.8344
5.4412
S3
5.5356
*
1.09636
.000
3.2322
7.8389
S1
-3.1378*
1.09636
.010
-5.4412
-.8344
S3
2.3978*
1.09636
.042
.0944
4.7012
S1
-5.5356*
1.09636
.000
-7.8389
-3.2322
S2
-2.3978*
1.09636
.042
-4.7012
-.0944
dimension3
S2
Std. Error
dimensio
dimension3
n2
S3 dimension3
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.409. *. The mean difference is significant at the .05 level.
53
Lampiran 2. Hasil Perhitungan Analisis Ragam Total Protein Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Between-Subjects Factors Value Label waktu
suhu
N
W1
W1
9
W2
W2
9
W3
W3
9
S1
S1
9
S2
S2
9
S3
S3
9
Descriptive Statistics Dependent Variable:t.protein waktu
suhu
Mean
Std. Deviation
N
W1
S1
12.4233
.13051
3
S2
11.5333
.09074
3
S3
11.4633
.54647
3
Total
11.8067
.54387
9
S1
11.7633
.49723
3
S2
11.8133
.27755
3
S3
11.2533
.19655
3
Total
11.6100
.40342
9
S1
12.5100
.22650
3
S2
11.1267
.09238
3
S3
11.8333
.12423
3
Total
11.8233
.61455
9
S1
12.2322
.45163
9
S2
11.4911
.33595
9
S3
11.5167
.39096
9
Total
11.7467
.51677
27
d
W2 i
m
e
n
s
W3
i
o
n
1
Total
54
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:t.protein Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
5.419a
8
.677
8.000
.000
3725.573
1
3725.573
43998.979
.000
waktu
.253
2
.127
1.496
.251
suhu
3.186
2
1.593
18.812
.000
waktu * suhu
1.980
4
.495
5.846
.003
Error
1.524
18
.085
Total
3732.516
27
6.943
26
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .780 (Adjusted R Squared = .683) Grand Mean Dependent Variable:t.protein 95% Confidence Interval Mean
Std. Error
11.747
Lower Bound
.056
Upper Bound
11.629
11.864
Multiple Comparisons Dependent Variable:t.protein (I) suhu
(J) suhu
Difference (I-J) LSD
S1
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
S2
.7411*
.13717
.000
.4529
1.0293
S3
.7156*
.13717
.000
.4274
1.0037
S1
-.7411*
.13717
.000
-1.0293
-.4529
S3
-.0256
.13717
.854
-.3137
.2626
S1
-.7156*
.13717
.000
-1.0037
-.4274
S2
.0256
.13717
.854
-.2626
.3137
dimension3
S2
95% Confidence Interval
Mean
dimensio
dimension3
n2
S3 dimension3
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .085. *. The mean difference is significant at the .05 level.
55
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Analisis Ragam Protein Terlarut Telur Konsumsi dengan Suhu dan Waktu Pemanasan yang Berbeda Between-Subjects Factors Value Label waktu
suhu
N
W1
W1
9
W2
W2
9
W3
W3
9
S1
S1
9
S2
S2
9
S3
S3
9
Descriptive Statistics Dependent Variable: proteinterlarut waktu
suhu
Mean
Std. Deviation
N
W1
S1
.2433
.01155
3
S2
.2467
.01528
3
S3
.3067
.01528
3
Total
.2656
.03321
9
S1
.1933
.01155
3
S2
.2400
.01000
3
S3
.2567
.00577
3
Total
.2300
.02958
9
S1
.2000
.02000
3
S2
.3000
.00000
3
S3
.2900
.01000
3
Total
.2633
.04899
9
S1
.2122
.02682
9
S2
.2622
.02991
9
S3
.2844
.02404
9
Total
.2530
.04027
27
d
W2 i
m
e
n
s
W3
i
o
n
1
Total
56
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:protein terlarut Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.039a
8
.005
32.457
.000
Intercept
1.728
1
1.728
11377.780
.000
waktu
.007
2
.004
23.512
.000
suhu
.025
2
.012
81.098
.000
waktu * suhu
.008
4
.002
12.610
.000
Error
.003
18
.000
Total
1.770
27
.042
26
Corrected Total
a. R Squared = .935 (Adjusted R Squared = .906)
Grand Mean Dependent Variable:proteinterlarut 95% Confidence Interval Mean
Std. Error
.253
Lower Bound
.002
Upper Bound
.248
.258
Dependent Variable:proteinterlarut (I) waktu
(J) waktu
Difference (I-J) LSD
W1
95% Confidence Interval
Mean Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
W2
.0356*
.00581
.000
.0234
.0478
W3
.0022
.00581
.707
-.0100
.0144
W1
-.0356*
.00581
.000
-.0478
-.0234
W3
-.0333*
.00581
.000
-.0455
-.0211
W1
-.0022
.00581
.707
-.0144
.0100
W2
.0333*
.00581
.000
.0211
.0455
dimension3
W2 dimension2
dimension3
W3 dimension3
Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .000. *. The mean difference is significant at the .05 level.
57
suhu Multiple Comparisons Dependent Variable:proteinterlarut (I) suhu
(J) suhu
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
LSD
S1
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
S2
-.0500*
.00581
.000
-.0622
-.0378
S3
-.0722
*
.00581
.000
-.0844
-.0600
S1
.0500*
.00581
.000
.0378
.0622
S3
-.0222*
.00581
.001
-.0344
-.0100
S1
.0722*
.00581
.000
.0600
.0844
S2
.0222*
.00581
.001
.0100
.0344
dimension3
S2
Std. Error
dimensio
dimension3
n2
S3 dimension3
58
59
60
RIWAYAT HIDUP Nurhamdayani, lahir pada tanggal 17 Oktober 1992 di Jauhpandang, Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Kasman dan Ibu Darmi. Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis Sekolah Dasar di MI Muhammadiyah Jauhpandang lulus tahun 2005. Kemudian penulis melanjutkan sekolah di MTs Muhammadiyah Jauhpandang lulus pada tahun 2008 kemudian melanjutkan sekolah di MA Muhammadiyah Jauhpandang dan lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan MA, penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Selama kuliah, penulis aktif sebagai asisten Laboratorium Teknologi Hasil Ternak. Penulis juga aktif sebagai pengurus di Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak Universitas Hasanuddin (HIMATEHATE_UH).
61