KAMIS, 10 NOVEMBER 2016 19:30 WIB TEATER JAKARTA, TAMAN ISMAIL MARZUKI
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
KAMIS, 10 NOVEMBER 2016 19:30 WIB TEATER JAKARTA, TAMAN ISMAIL MARZUKI
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
01
02
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN DEWAN KESENIAN JAKARTA 2016 SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA? TEATER JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI 10 NOVEMBER 2016
PENANGGUNGJAWAB DEWAN KESENIAN JAKARTA PENYUSUN HIKMAT DARMAWAN HELLY MINARTI PENYUNTING A. ROSDIANAHANGKA PENGAMPU GAGASAN LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN PREMANA W. PREMADI DESAINER GRAFIS RIOSADJA FOTO PREMANA PREMADI EVA TOBING LUKISAN SAMPUL OESMAN EFENDI
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
D A F TA R I S I
Sambutan Gubernur DKI Jakarta Pengantar Dewan Kesenian Jakarta
05 09
Akademi Jakarta & Dewan Kesenian Jakarta Suara Jernih dari Cikini
11 13
Setelah Polemik Kebudayaan: Di Mana, Ke Mana Indonesia? Format Baru Pidato Kebudayaan 15 Kedewasaan Beragama & Masalah-Masalah Kemanusiaan Masa Kini
22
Menggugah Welas Asih Lewat Pola Pikir Ilmiah
34
Acara Seni Pertunjukan Musik
60 62
Kerabat Kerja Terimakasih
63 64
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
03
04
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
S A MB U TA N G U B E R NU R DK I J A K A R TA
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yth. - Menteri Agama Republik Indonesia, Bapak Lukman Hakim Saifuddin; - Peneliti Astronomi lnstitut Teknologi Bandung, lbu Premana W. Premadi; - Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bapak lrawan Karseno; - Para lnsan Seni dan Budaya; - Hadirin yang saya hormati. ALHAMDULILLAH, merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi saya dapat bersilaturahmi dengan insan seni dan budaya dari seluruh lndonesia, menghadiri acara Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2016. Forum Pidato Kebudayaan 2016 yang menampilkan dua pembicara diskusi yang berporos pada pertanyaan Hendak Ke Mana Gerangan Indonesia, Quo-Vadis Indonesia? Sungguh sangat menarik dan menggelitik siapapun bangsa Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme, terlebih lagi pelaksanaannya bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan 10 November. Momentum Hari Pahlawan, kiranya menumbuhkan spirit kita untuk merealisasikan cita-cita para pahlawan dan para pendiri negara ini, antara lain mempertahankan NKRI dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bapak Menteri Agama dan hadirin para insan budaya yang saya hormati.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
05
06
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Sejak digulirkannya reformasi sekitar delapan belas tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah bertekad untuk membangun semangat pemerintahan yang demokratis. Melalui Program Nawacita pemerintah berupaya membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, serta melakukan revolusi karakter bangsa dengan menanamkan nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Misi besar reformasi untuk menghadirkan pemerin tahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme harus terus kita laksanakan untuk mencapai harapan. Kita tentu prihatin, terhadap praktik korupsi yang melanda hampir seluruh lembaga dan instansi kenegaraan, yang juga ikut merembes ke berbagai lapisan dari pusat hingga daerah. Pemberitaan media yang menampilkan informasi buruk seperti, kemiskinan, keteladanan, kehilangan keadilan dan perlindungan hukum, kesenjangan sosial, perluasan tindak kekerasan, kriminalitas dan premanisme, belenggu narkoba, kecelakaan transportasi dan kerawanan sarana publik, seharusnya tidak boleh terjadi karena dana yang disediakan melalui APBN dan APBD sungguh tidak kecil. Karena itu, para penyelenggara negara, penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, serta para elit tidak boleh kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Dalam reformasi tata kelola negara, yang mengharuskan adanya kepemimpinan yang kuat, komitmen dan kesepahaman bersama yang kuat dan agenda reformasi yang jelas, bertahap dan terukur. Patut kita cermati dan maknai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Bapak Prabowo Subianto pada hari Senin 31 Oktober 2016 di kediaman Pak Prabowo Desa Bojong Koneng Hambalang Kabupaten Bogor. Banyak pesan dan harapan dari pembicaraan kedua Tokoh Nasional tersebut, antara lain:
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
• Elit patut menjaga kemajemukan. • Kepentingan yang sama menjaga keutuhan NKRI. • Kegiatan penyampaian pendapat harus mengutamakan kepentingan umum dan tidak melakukan tindakan anarkis. • Fondasi negara harus kokoh, jangan sampai dirusak kepentingan tertentu. Jakarta memang tidak pernah sepi dari aksi demo. Berbagai demo yang antara lain mengatasnamakan demokrasi, tidak boleh berpotensi menimbulkan aksi anarkisme, walaupun hal itu terjadi atas nama nasionalisme. Demo buruh yang menuntut kesejahteraan, demo anti maksiat, demo menjelang pilkada di beberapa daerah, dan lain sebagainya hendaknya berlangsung dalam suasana aman, damai, tidak menghujat satu sama lain dan tidak menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang akan beraktifitas. Demo harus santun dan berbudaya agar tidak menyimpang dari tujuan mulianya, yaitu keutuhan bangsa dan NKRI, kesejahteraan masyarakat, termasuk tidak merendahkan martabat para pemimpinnya sendiri. Memang dalam ilmu politik "democracy is the learning process", perlu waktu yang lama, tetapi lamanya waktu itu, tentu tidak boleh membiarkan tindakantindakan yang makin menjauhkan dari demokrasi itu sendiri. Menjawab pertanyaan, Hendak Ke Mana Gerangan Indonesia, Quo-Vadis Indonesia? Maka jawabnya adalah semua pihak, semua elemen masyarakat mutlak harus menyadari bahwa bangsa Indonesia penuh dengan perbedaan-perbedaan (bhinneka). Tidak mungkin kita menghilangkan perbedaan tersebut, karena perbedaanperbedaan tersebut adalah alami dan historis, baik geografis, budaya, sosial, etnis (ras) dan agama. Bhinneka tapi Tunggal lka, artinya walaupun berbeda, kita punya tekad dan tujuan yang sama. Menyamakan menyatukan yang berbeda hanya dapat terlaksana apabila ada toleransi. Menanamkan
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
07
08
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
sifat-sifat toleransi inilah, kata kuncinya dan ini harus ditanamkan sejak dini. Meminjam kata-kata Bung Karno, Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berada dari rakyat, buka berada di atas rakyat. Akhirnya, para pemimpinlah yang harus menjamin kebangsaan Indonesia tetap terjaga dan seluruh komponen bangsa Indonesia terus berjuang mengisi kemerdekaan ini, ke dalam kehidupan bangsa yang cerdas, sejahtera dan disiplin. Demikian sambutan yang dapat disampaikan, semoga Forum Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2016 ini berlangsung sukses dan memberi sumbangsih bagi bangsa dan keutuhan NKRI. Semoga Allah Subhanahu Wata'ala senantiasa memberikan petunjuk dan ridho-Nya. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jakarta, 4 November 2O16 Plt. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Dr. Sumarsono, MDM NIP 195902221985031001
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
P E N G A N TA R DE WA N K E S E NI A N J A K A R TA
KETIKA tradisi tahunan Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta disegarkan kembali dengan bentuk yang lebih memberdayakan aspek panggung dan pertunjukan untuk menguatkan pidato Karlina Supelli pada 2013, ada sebuah kata kunci yang kami munculkan. Kami meniatkan tradisi itu menjadi “Suara Jernih dari Cikini“. Dalam beberapa tahun sesudahnya, hingga saat ini, kita merasakan, alangkah sulitnya menebarkan suara jernih dalam kehidupan berbangsa sehari-hari kita. Suara-suara jernih seakan selalu rapuh dan terancam tenggelam oleh kegaduhan, kekerasan, bahkan kedegilan akal yang tak sehat dan polusi suara-suara yang tercemari berbagai kepentingan politik sempit. Mimbar pidato yang menjadi wahana suara tunggal setiap tahunnya, betapa pun jernihnya, jadi terasa tak cukup. Perlu lebih banyak suara jernih. Perlu lebih banyak sudut pandang. Perlu sebuah wahana yang dirancang untuk menjadi forum aneka suara jernih. Agar persoalanpersoalan kebudayaan Indonesia masa kini yang semakin rumit dan keruh, kembali berwarna serbaneka. Itulah pikiran dan harapan Dewan Kesenian Jakarta kali ini hingga mengubah bentuk Pidato Kebudayaan menjadi Forum Pidato Kebudayaan. Dalam bentuk ini, mimbar terisi oleh lebih dari satu Pewacana. Kali ini, kami mengundang dua orang yang akan menawarkan dua sudut pandang yang seolah berakar dari ranah yang saling asing, dalam membayangkan sebuah Indonesia yang lebih baik.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
09
10
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Yang pertama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, yang saat ini adalah Menteri Agama Republik Indonesia, untuk menawarkan sudut pandang spiritual dan agama atas kehidupan berbangsa saat ini yang terasa rapuh dan penuh perpecahan. Yang kedua, strofisikawan yang saat ini mengajar di ITB, Ibu Premana W. Permadi, yang akan menggugah sikap welas asih lewat pola pikir ilmiah. Kedua sudut pandang ini menjadi pintu awal percakapan panjang tentang posisi terkini dan arah yang diharapkan bagi bangsa kita. Sebuah pertanyaan Quo Vadis—Di Mana dan Ke Manakah Indonesia? Kita ingat, pertanyaan serupa pernah jadi wacana bersama yang dinamis pada masa para bapak bangsa kita membayangkan kelahiran sebuah bangsa baru, Indonesia dalam Polemik Kebudayaan 1934. Dan kini, Indonesia di persimpangan jalan lagi. Begitu banyak gejala keterkoyakan hidup berkebangsaan kita. Kita, misalnya, melihat sepanjang 2015-2016, ada ketegangan meningkat dalam isu intoleransi agama dan rasisme. Juga membanyaknya hambatan kebebasan berekspresi di ruang kesenian dan keilmuan. Di tahun ini pula kita menapaki lebih jauh jalan terjal rekonsiliasi 1965 dan sejarah kelam kita lainnya. Janji-janji Reformasi 1998 seakan semakin dikhianati. Malam ini, dua suara jernih akan mengawali percakapan panjang tentang kebudayaan dan kebangsaan kita di masa depan. Suara-suara jernih dari Cikini akan mengalir, semoga sampai pada tujuan.
Terima kasih,
Irawan Karseno Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2016-2018
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
A K A DE MI J A K A R TA & DE WA N K E S E NI A N J A K A R TA
AKADEMI Jakarta merupakan lembaga kehormatan seniman yang berfungsi sebagai penasihat gubernur dalam bidang seni dan budaya. Anggota Akademi Jakarta terdiri dari seniman atau budayawan yang sudah berprestasi pada bidangnya, berasal dari seluruh Indonesia, dengan masa keanggotaan seumur hidup. Anggota Akademi Jakarta: Taufik Abdullah (Ketua), Toeti Heraty N. Roosseno, Iravati M. Sudiarso, A.D. Pirous, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ajip Rosidi, Amrus Naltalsya, Endo Suanda, Ignas Kleden, Mochtar Pabottingi, Nh. Dini, Nono Anwar Makarim, Saini K.M., Sardono W. Kusumo, Tatiek Maliyati W.S., Goenawan Mohamad. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah lembaga otonom yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan untuk pertama kali dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968. DKJ bertugas sebagai mitra kerja gubernur untuk merumuskan kebijakan serta merencanakan berbagai program guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Jakarta. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri dari seniman, SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
11
12
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
budayawan, dan pemikir seni, yang terbagi dalam enam komite: Film, Musik, Sastra, Seni Rupa, Tari, dan Teater. Setiap tiga tahun, anggota DKJ dipilih oleh Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anggota Dewan Kesenian Jakarta 2015–2018: PENGURUS HARIAN Irawan Karseno (Ketua Umum) Danton Sihombing (Sekretaris) Hafiz Rancajale (Ketua Bidang Umum) Aini Sani Hutasoit (Ketua Bidang Administrasi dan Keuangan) Helly Minarti, Aksan Sjuman (Ketua Bidang Program) KOMITE FILM Hikmat Darmawan (Ketua), Lulu Ratna (Sekretaris), Agni Ariatama, Meiske Taurisia, Prima Rusdi (Anggota) KOMITE MUSIK Anto H. Hoed (Ketua), Anusirwan (Sekretaris), Otto Sidharta, Aksan Sjuman, (Anggota) KOMITE SASTRA Yusi Avianto Pareanom (Ketua), Yahya Andi Saputra (Sekretaris), Linda Christanty, Aini Sani Hutasoit (Anggota) KOMITE SENI RUPA Mia Maria (Ketua), Danton Sihombing, Irawan Karseno, Hafiz Rancajale (Anggota) KOMITE TARI Hartati (Ketua), Yola Yulfianti (Sekretaris), Rusdi Rukmarata, Helly Minarti, (Anggota) KOMITE TEATER Afrizal Malna (Ketua), Dinda Luthvianti (Sekretaris) Budi Sobar, Rita Matumona (Anggota)
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
SUARA JERNIH DARI CIKINI
PIDATO KEBUDAYAAN Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan program tahunan DKJ bersama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Tradisi yang diselenggarakan sejak 1989 sebagai bagian perayaan ulang tahun TIM ini, setiap tahunnya mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual. Para pembicara berusaha menjawab tantangan yang tengah melanda bangsa Indonesia dengan pemikiran-pemikiran jernih dari perspektif kebudayaan. Pada kurun 1989–1996, misalnya, ekses negatif dari liberalisasi dan deregulasi yang dilakukan sejak 1980—an mulai terasa. Modernisasi yang datang bersama keterbukaan mengakibatkan kebudayaan daerah terpinggirkan dan pembangunan terpusat di Pulau Jawa. Modernisasi juga memunculkan pola hidup konsumtif dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Umar Kayam (1989), Emil Salim (1991), B.J. Habibie (1993), Mochtar Kusumaatmadja (1994), dan Fuad Hassan (1995) mengusulkan relasi-relasi baru yang menghubungkan SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
13
14
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
daerah-pusat, tradisi-modernisasi, dan budaya-teknologi. Sementara Ginanadjar Kartasasmita (1996) dan Ali Sadikin (1999) menawarkan gagasan good government dan partisipasi publik untuk memperbaiki keadaan. Menjelang dan setelah reformasi, tokoh yang aktif menentang Orde Baru seperti Rendra (1997), Amien Rais (1998), Ali Sadikin (1999), dan Todung Mulya Lubis (2000, 2003) –selain juga Sri Sultan Hamengkubuwono (2002)– mendapat kesempatan menguraikan gagasan-gagasannya dalam bidang kebudayan dan hukum/HAM untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Sementara, persoalan-persoalan baru yang muncul di era reformasi berusaha dijawab dengan argumentasi berbasis moral oleh Ayzyumardi Azra (2001), Hidayat Nur Wahid (2004). Ahmad Syafii Ma’arif (2005), Zawawi Imron (2007), Busyro Muqqodas (2011), dan Mahfud MD (2012). Dua pembicara, Herry Priyono (2006) dan I Gusti Agung Ayu Ratih (2008), melihat kebuntuan demokrasi sebagai persoalan utama kita saat itu. Dua lainnya, Ignas Kleden (2009) dan Rocky Gerung (2010), mengusulkan gagasan untuk memperkuat ruang privat dan ruang publik. Sebelumnya, Karlina Supeli (2013) memprioritaskan delapan siasat untuk mentransformasikan kebiasaankebiasaan publik sebelum mewanacakan peta besar atau strategi kebudayaan tertentu. Hilmar Farid (2014) mengajak kita melihat sejarah sebagai kritik. Nirwan Arsuka (2015) mengajak kita untuk memulai lagi percakapan dengan semesta. Praktis selama lebih dari dua dekade, Pidato Kebudayaan DKJ senantiasa melantunkan suara-suara jernih dari Cikini. Pemikiran-pemikiran yang selama ini melintas di ruang-ruang penyelenggaraan Pidato Kebudayaan DKJ sangat bernilai untuk direnungkan, dan harus diberi banyak kaki—disebarluaskan kepada siapa pun yang masih mencintai negeri ini—agar memberi kemanfataan bagi kemajuan kehidupan dan peradaban kita.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA? F O R M AT B A R U P ID AT O K E B UD AYA A N DK J
DEWAN Kesenian Jakarta (DKJ) tahun ini hendak melakukan percobaan bentuk dalam pelaksanaan tradisi tahunan Pidato Kebudayaan DKJ. Tradisi tahunan yang sempat hilang dalam percakapan publik tersebut, kita tahu, disegarkan kembali pada 2013 dengan menampilkan Karlina Supelli dengan format pidato tunggal yang disampaikan dengan bantuan seni panggung yang mencakup seni video, infografik, dan musik, serta penataan panggung untuk mengoptimalkan penyampaian buah pikiran sang cendekiawan. Setelah itu, secara berturut-turut, kemasan serupa juga dilakukan untuk penyampaian gagasan dari Hilmar Farid (2014) dan Nirwan Arsuka (2015). Tahun ini, DKJ memutuskan untuk melakukan lagi perubahan, kali ini dalam format dasarnya: dari penyampaian pidato tunggal, menjadi penyampaian gagasan bersama dari beberapa orang cendekiawan yang kami pilih sebagai suara-suara terkini bagi keadaan terkini kebudayaan Indonesia. Kami menyebut bentuk tersebut sebagai “Forum Kebudayaan”.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
15
16
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Pilihan bentuk tersebut tersebab gagasan bahwa saat ini lebih diperlukan sebuah forum bagi gagasan-gagasan kebudayaan yang tidak berupa wahana suara yang tunggal. Forum ini juga lebih diarahkan untuk memantik diskusi dan penggalian wacana lanjutan setelah acara, dalam bentuk yang mirip dengan Polemik Kebudayaan pada 1935-an, ketika para cendekiawan di masa Hindia-Belanda seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, Poerbatjaraka, Ki Hadjar Dewantoro, dan banyak lagi, melontarkan gagasan-gagasan tentang “Indonesia” dan visi tentang orientasi kebudayaan bagi bangsa baru tersebut. Indonesia pada 2016 tampaknya mengalami situasi persimpangan kebudayaan kembali. Revolusi demokrasi tahap lanjut pada 1998 telah membuka sebuah era yang dipenuhi tawaran-tawaran aneka kelompok dalam masyarakat mengenai bagaimana seharusnya “Menjadi Indonesia” pada abad ke-21 ini: ada yang menawarkan visi berwatak liberal, ada yang menawarkan visi agamis, visi sosialistik, visi pragmatik, bahkan ada juga yang militeristik dan/atau berwatak fasis. Kadang, tawarantawaran itu dibarengi kekerasan-kekerasan bahasa, ruang, psikologis, hingga fisik. Dalam situasi persimpangan yang tersebut, sebuah upaya metodis dan sistematis bisa dimulai untuk membangun sebuah Polemik Kebudayaan baru yang hendak membayangkan sebuah masa depan Indonesia yang lebih baik pada abad ke-21. Upaya metodis itu bisa dimulai dengan penciptaan sebuah wahana (atau platform) percakapan gagasan yang demokratik, dinamik, dialektik, dan berkelanjutan. Untuk mengawali, kami mengadakan sebuah forum gagasan yang tak lagi berbentuk mimbar tunggal, tapi mimbar pemantik diskusi lanjutan yang menampilkan tiga pembicara yang menawarkan tiga perspektif awal yang khusus, sesuai kedalaman pengetahuan masing-masing. Dengan harapan, bentuk Forum ini akan berlanjut menjadi sebuah rangkaian diskusi berporos pertanyaan: Setelah
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Polemik Kebudayaan; Di Mana, Ke Mana Indonesia? Kami memilah dan memilih dua tema khusus untuk Forum Pidato Kebudayaan 2016 ini: I. Kedewasaan Beragama dan Masalah-masalah Kemanusiaan Masa Kini Pengampu gagasan: Lukman Hakim Saifuddin DENGAN hanya melihat lalulintas percakapan di media sosial dan media daring yang menyangkut peran agama di dalam masyarakat modern saat ini, khususnya yang terkait dengan konflik politik seputar Pilpres dan Pilkada, akan tampak sebuah oposisi bipolar: pertarungan antara kaum “liberal” vs. kaum “jihadis”, kaum “progresif” vs. kaum “(ultra)konservatif”, yang masing-masing menganggap pihak seberang sebagai sesat. Retorika kekerasan seperti “bunuh”, “penggal”, “dungu”, “bakar”, dsb., tampak membanjir setiap pagi hingga pagi lagi di Facebook, Twitter, dan Whatsapp berbahasa Indonesia. Tapi, jika kita tutup semua media sosial itu, juga semua media daring, apakah situasi penuh retorika kekerasan dan kekerasan retorika itu akan hilang? Kita melihat mimbar-mimbar Jumat dipenuhi propaganda kekerasan, narasi ketertindasan yang mengharuskan sebuah narasi perlawanan terhadap kekuatan global yang dibayangkan sedang menyerang Islam, dan bahkan bangkitnya wacana fundamentalisme di semua agama, termasuk Hindu dan Budha, yang muncul dalam diskusidiskusi di ruang tertutup maupun ruang terbuka. Dan tampaknya, wacana keagamaan di Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Jerman, Turki, hingga negeri-negeri Timur Tengah, memang mengalami situasi yang sama. Pertanyaan yang mengeras adalah: di saat masalah kemanusiaan begitu nyata, apakah agama sanggup menjadi sebuah kekuatan progresif membangun dunia lebih baik, atau justru menjadi sumber dari masalah-masalah kemanusiaan saat ini. Dan dalam kasus Indonesia, mengeras
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
17
18
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
pula pertanyaan mengenai di mana peran agama dalam membangun sebuah keadaan yang lebih baik bagi Indonesia? Pertanyaan besar, dan agak reduksionis ini, terasa relevan karena Agama selalu menjadi variabel penting dalam gagasan kebangsaan Indonesia. Soekarno, dalam Pidato di depan BPUPKI mengenai dasar-dasar kebangsaan bagi sebuah negara baru bernama Indonesia (yang kemudian ia namai sebagai “Pantja-Sila”) menyebutkan asas “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Sejak awal, salah satu Bapak Bangsa terbesar ini menyadari potensi positif agama dan keberagamaan di masyarakat Indonesia, tapi juga potensi konflik ketika asas Ketuhanan itu tak berpijak pada hayat hidup kemanusiaan di bumi Indonesia. Tapi, masihkan gagasan tersebut realistik dalam situasi keberagamaan vis a vis kebangsaan di Indonesia pada abad ke-21? Abad Millennial ini telah membawa banyak persoalan kemanusiaan baru: Keragaman yang semakin berwarna, pengungsian global, masalah lingkungan hidup yang tak bisa lagi dihadapi secara moral susila, menguatnya angkatan kerja perempuan, kekuatan dan logika korporasi yang merasuki juga dakwah dan bisnis berbasis agama, kemudahan-kemudahan informasi tentang bagaimana ikut serta dan menciptakan teror di berbagai belahan dunia. Sementara, diskursus keagamaan di Indonesia saja, yang ada di media sosial maupun media massa dan mimbar-mimbar keagamaan, tampak justru mengalami penyempitan dan kemunduran dari segi kedewasaan berpikir. Bahkan, tradisi pemikiran agama yang sempat memuncak pada 1990-an lewat tokoh-tokoh seperti Kuntowijoyo, Romo Mangun, Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, dsb., tampak tak mendapat tempat lagi di media sosial dan media massa saat ini. Masihkah ada celah dan peran bagi sebuah watak keberagamaan yang lebih positif dan progresif bagi kemajuan Indonesia di abad ke-21 ini?
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
II. Membudayakan Nalar Ilmiah dalam Menghadapi Konflik Sosial yang Meluas Pengampu gagasan: Premana W. Premadi POLITIK praktis Indonesia sebagaimana yang dipercakapkan dalam media dan media-sosial di Indonesia sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, lalu terutama jelang dan selama Pilpres 2014, mengalami peningkatan pesat (eskalasi) dari segi kekerasan bahasa dan wacana, sehingga tampak ada ketegangan sosial yang oleh banyak pengamat dianggap bisa membawa pada konflik terbuka secara horizontal (antarkelompok masyarakat) dan vertikal (perlawanan terhadap Negara, atau Negara melakukan tindakan kekerasan pada kelompokkelompok sipil dalam masyarakat). Salah satu gejala yang tampak meluas adalah praktikpraktik penyebaran hoax dan ajakan-ajakan emosional untuk memperjuangkan identitas keagamaan dalam berkonflik politik saat ini. Maka semaraklah kontroversi keras, bahkan bisa melibatkan retorika kekerasan seperti “bunuh” atau “bakar”, di media sosial maupun di mimbar-mimbar agama dan ruang-ruang publik yang dipakai untuk demonstrasi dan ekspresi politik kelompok. Maka muncul polemik dan konflik wacana mengenai peran agama dalam politik-sosialekonomi, identitas kelompok, dan apa makna bangsa dan keberbangsaan. Di tengah segala kegaduhan, ada peluang untuk pencarian kembali jiwa “Indonesia”. Benarkah agama atau keberagamaan (khususnya, dalam kaitannya dengan politik praktis) adalah satusatunya penyebab eskalasi kekerasan wacana dan konflik antarkelompok? Ataukah sebab lebih mendasar, adalah kegagalan membudayakan penalaran ilmiah dalam sekolahsekolah? Kita bisa melihat, betapa banyak kelompok terdidik, bahkan terpapar pendidikan tinggi, dari kelas menengah kota yang justru percaya aneka hoax, retorika emosional keagamaan maupun non-keagamaan, dan enteng saja serba melabel dan mencaci, bahkan mengancam bunuh mereka yang berbeda pikiran. Bukan hanya terdidik di perguruan
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
19
20
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
tinggi, mereka pun pengguna aktif teknologi informasi dan teknologi lainnya. Seolah ada gejala yang boleh dibilang patologis: masyarakat kita mengkonsumsi secara aktif teknologi, tapi kita tak mau mengambil sains dan penalaran ilmiah yang menghasilkan teknologi itu. Apakah jalan keluarnya ada dalam penataan pendidikan dan segala unsur penyangga pendidikan, formal maupun informal, yang harus menghadapi persoalan pembudayaan berpikir ilmiah sebagai antitesa penalaran emosional yang kini merajalela? Mungkinkah tawaran seperti NOMA (Non-Overlapping Magestaria, penataan agar magestaria sains dan magestaria humaniora (termasuk agama) sama-sama hidup dan hadir secara sama martabatnya, tapi tidak saling tumpang tindih) seperti diusulkan Stephen Jay Gould bisa jadi alternatif? Ataukah pendekatan kesadaran kosmos seperti yang pernah dituliskan Romo Mangun dalam Putri Duyung yang Mendamba bisa membantu manusia Indonesia memposisikan diri dalam semesta dan bisa saling sejajar dan menghormati antarsesama, adalah alternatif lain? Ataukah jalan keluarnya ada pada konsep STEAM (Science-Technology-ArtsMathematics) yang ditanamkan pada guru-guru di Indonesia seperti telah dimulai oleh Ibu Premana W. Permadi pada 2014? Diharapkan, sudut pandang seorang ahli kosmologi bisa menawarkan sebuah jalan alternatif dalam menghadapi gelombang konflik kekerasan wacana dalam lakon kebudayaan Indonesia abad ke-21 ini.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
21
22
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
KEDEWASAAN BERAGAMA & MASALAHMASALAH KEMANUSIAN MASA KINI Oleh Lukman Hakim (Menteri Agama RI)
Saifuddin
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh, Hadirin dan hadirat yang saya hormati,
S
ejak dulu bangsa Indonesia bertahan hidup dengan dua hal: budaya dan agama. Kebutuhan primer, sekunder, dan tersier masyarakat dipenuhi melalui produk budaya dan agama. Budaya dan agama seperti gula dan kopi yang saling melengkapi dalam secangkir kopi tubruk. Kopi saja tanpa gula, rasanya terlalu serius sehingga hanya orang tertentu yang bisa menikmatinya. Gula saja tanpa kopi, manisnya terlalu legit. Agama terkadang menjadi parameter kecukupan dan kenikmatan hidup. Orang dihormati jika sudah menggunakan hartanya untuk agama, misalnya berhaji atau membangun rumah ibadah. Di sisi lain, orang bisa merasa amat bersyukur meski hidupnya nampak melarat. Tak sedikit orang yang berdoa, mengadu kepada Yang Maha Kuasa, ketika ditimpa masalah. Bahkan, demi menggaet seorang gadis pun terkadang menggunakan wirid alias ajian pengasihan. Atau, mengejar materi dengan merapal mantra pesugihan. Saking kentalnya agama dalam kehidupan masyarakat, landasan dasar negara ini pun tak luput dari pengaruh agama. Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan jelas, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dst.” Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian terdapat sedikitnya delapan ketentuan yang secara eksplisit mempertegas bahwa nilai-nilai ketuhanan atau nilai agama merupakan roh dari konstitusi. Ketentuan itu terwakili dalam sejumlah pasal pada UUD 1945. Terdapat pula regulasi yang mengatur kehidupan beragama, seperti UU Perkawinan, UU Haji, UU Zakat, hingga UU Jaminan Produk Halal. Sebagian aturan lain juga memuat poin tentang agama. Sebut saja misal UU Pilkada No. 10/ 2016 Pasal 69 yang mengatur kampanye dengan isu agama. Masuknya unsur agama dalam hukum di negeri ini adalah bentuk refleksi masyarakat kita yang agamis.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
23
24
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Selain mengikat diri dalam sistem sosial berkerangka agama, masyarakat kita juga gemar membudayakan perayaan agama. Kita bahkan punya momen Mudik Lebaran yang tak hanya berasal dari budaya tapi juga merupakan refleksi pengamalan agama. Urusan Mudik Lebaran melibatkan banyak instansi karena hari raya itu sudah jadi milik bersama rakyat Indonesia. Alhasil, bila ada anggapan bahwa agama dan budaya sukar diakurkan, maka Indonesia menepisnya. Bagi bangsa ini, agama dan budaya adalah sejoli yang saling melengkapi. Jika hilang satu, tamatlah keharmonisan Indonesia. Karena itu, menyitir cuitan salah seorang selebritas di Twitter, “Janganlah Indonesia bercerai. Saya sudah pernah. Repot ngurusnya.” Para agamawan, budayawan, dan semua yang hadir di sini, Kompleksitas budaya yang meliputi unsur sosial, politik hingga ekonomi sangat mempengaruhi cara masyarakat mengekspresikan keyakinannya. Itu sebabnya, wajah keberagamaan bisa berbeda-beda di setiap tempat sesuai kondisinya. Di Indonesia terdapat sedikitnya empat cara masyarakat dalam beragama: Pertama, tradisional atau beragama berdasarkan tradisi. Orang beragama dengan mengikuti tradisi dan pakem ritual yang turun temurun. Kedua, formal atau beragama berdasarkan formalitas atau meniru cara beragamanya penguasa atau tokoh berpengaruh. Ada ungkapan agama rakyat adalah agama raja. Ketiga, rasional atau beragama dengan mendahulukan rasio. Agama dipahami, dihayati dan diamalkan jika dapat dinalar dengan akal, bisa dihitung secara matematis, atau terbukti secara empiris. Keempat, konstektual atau beragama dengan menggunakan pikiran sekaligus perasaan. Meskipun menggunakan rasio, cara beragama ini mensyaratkan terjaganya kesinambungan ajaran dari sumber yang otoritatif.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Semua cara beragama itu tumbuh karena pada dasarnya masyarakat kita bersifat terbuka. Agama mudah diterima karena dianggap bisa merekatkan solidaritas, menjadi pengontrol moral, sekaligus memotivasi perubahan. Norma-norma yang baik memiliki daya dorong yang kuat ketika termaktub dalam kitab suci. Pada budaya Jawa misalnya, ada ajaran Molimo yang berintikan larangan terhadap 5 hal: Main, Minum, Madat, Madon, dan Maling. Ajaran ini sesuai dengan anjuran kitab-kitab suci. Dalam konsep yang sederhana, hubungan agama dan budaya ibarat botol ketemu tutup yang klop. Ketika agama membutuhkan perangkat, budaya menyediakannya. Kewajiban menutup aurat bagi umat Islam, misalnya, memerlukan produk budaya berupa pakaian. Dan, produk budaya yang digunakan sebagai atribut biasanya dibikin dengan kualitas terbaik. Sebut contoh, candi dibangun semegah dan seindah mungkin sebagai tempat bersemedi bagi pemeluk Hindu dan Budha. Siapa yang menyangsikan kemegahan Borobudur dan Prambanan. Berpadunya budaya dan agama di Indonesia meninggalkan produk-produk fisik seperti candi yang merepresentasikan tingginya peradaban. Namun menariknya, ketika Islam datang, produk semacam itu tetap berdiri dan muncul akulturasi pada bangunan baru seperti Masjid Kudus yang memadukan Hundu-Budha-Islam dan Jawa-IndiaArab. Produk non fisik seperti peringatan kematian tetap dilestarikan, tapi diubah substansinya dengan pembacaan ayat-ayat suci atau dikenal dengan Tahlilan. Itu artinya, masyarakat kita sudah terbiasa berbaur antarpemeluk agama dan antarpemilik kebudayaan. Bukan hal aneh ketika di beberapa daerah masjid berdiri di sebelah gereja dengan masing-masing menonjolkan ciri khas bangunannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa agama tak perlu menjadi pemisah sesama warga. Juga menegaskan bahwa kerukunan adalah ruh bangsa ini. Kerukunan melengkapi budaya lain yang luhur seperti gotong royong dan sopan santun. Jika dicermati, konflik-konflik agama di
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
25
26
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Indonesia terjadi bukan karena pertentangan antar-ajaran agama, melainkan bermula dari hal di luar agama itu sendiri. Mulai dari soal politik, ekonomi, hingga hal yang bersifat personal seperti asmara. Saudara-saudari sekalian yang berbahagia, Masyarakat Nusantara yang berperadaban, konon tinggal cerita. Pada abad ke-18 dan 19, cerita dari daerah ke daerah berisi perbudakan dan penjajahan. Kondisi ini memantik gagasan akan lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Bangsa yang tak jumud dan siap menyongsong kemajuan. Pada 1930-an, Sutan Takdir Alisyahbana memimpikan bangsa Indonesia baru yang lepas dari bayang-bayang masa lalu. Sebuah bangsa yang bukan kelanjutan Mataram, Banjarmasin, atau Sunda. Ia membayangkan bangsa Indonesia seperti orang Barat yang aktif dan dinamis. Menurutnya, Barat bergerak maju karena mengedepankan rasionalisme, individualisme, dan positivisme. Sanusi Pane, menyatakan pendapat berbeda. Menurut dia, Indonesia harus dibawa ke arah yang sempurna, yaitu menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme. Ia berharap kebudayaan Indonesia meluas, bukan mengubah dasarnya. Pemikir lain, Purbatjaraka, menawarkan jalan tengah dengan mengingatkan, janganlah mabuk kebudayaan kuno dan mabuk kebaratan pula, pilihlah yang terbaik dari keduanya. Pergulatan tentang Indonesia ini makin mengemuka ketika pemikir-pemikir lain seperti Sutomo, Adinegoro, dan Ki Hajar Dewantoro turut berpendapat. Achdiat Kerta Miharja kemudian mengumpulkan pergulatan ide para pemikir itu dalam buku berjudul Polemik Kebudayaan. Beragam gagasan yang terangkum dalam Polemik Kebudayaan itu pada akhirnya mewarnai cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam rumusan
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Pancasila dan UUD 1945. Pada masa Reformasi, gagasangagasan tersebut ditakar ulang untuk menjawab pertanyaan: ke mana Indonesia? Hasil penakaran itu mewujud pada amandemen konstitusi. Dialektika pada masa Reformasi mempertegas adanya sinergitas dan simbiosis mutualisma antara agama dan nasionalisme. Hal ini dapat dilihat pada spirit dan filosofi UUD yang selaras dengan nilai-nilai agama. Konsep dasar seperti keadilan sosial, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, permusyawaratan, dan lain-lain merupakan konsep yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan yang bersumber dari agama yang ada di Indonesia. Dalam konstitusi hasil amendemen, agama menempati posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Aspirasi rakyat agar agama menjadi panduan moral negara diakomodasi dengan baik dalam konstitusi. Pengelolaan negara dan pemerintahan harus berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Penyelenggara negara tak hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi juga kepada Tuhan sesuai dengan sumpahnya saat awal menjabat. Pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Saudara-saudari se-Tanah Air, Hari ini kita dihadapkan pada pertanyaan serupa pada zaman pra kemerdekaan maupun masa reformasi: di mana, ke mana Indonesia? Pertanyaan ini kembali mengemuka karena kita berada di persimpangan yang menantang. Indonesia yang strategis dari sisi geografis dan demografis menjadi sasaran perebutan hegemoni Barat, Timur, dan Timur Tengah. Tarik menarik kepentingan akhirnya menyeret anak bangsa pada polarisasi yang saling menegasikan. Pada saat nasionalisme meluntur, anak negeri terpencar ke dalam kelompok konservatif, kelompok liberal, komunis,
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
27
28
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
hingga kalangan permisif. Di sinilah mulai terjadi perubahan karakter. Anak bangsa yang toleran mendadak bertindak intoleran. Kesantunan tertutupi aksi kekerasan. Keramahan berganti rupa jadi keserakahan. Tak pelak, konflik merebak di segala tingkatan. Pesatnya teknologi komunikasi informasi menggerus interaksi sosial yang selama ini jadi ruang kompromi untuk meredam benturan kebudayaan. Forum musyawarah tergantikan oleh chatting dan telekonferensi yang seringkali gagal fokus. Kerja bakti tergantikan kesibukan kerja individual di kantor virtual. Persahabatan luntur karena tangan tak lagi saling menjabat, berganti jemari yang menari di atas laptop. Dan, ketrampilan menulis jadi tumpul karena kertas surat sudah dipangkas pesan pendek dari ponsel. Menjamurnya media membawa virus hiperealitas dengan gejala pengaburan realitas sehingga seringkali citra lebih dipercaya ketimbang fakta. Orang terbuai iklan dan sinetron sehingga mengejar harapan palsu melalui cara instan, ingin meraih sesuatu semudah makanan cepat saji. Dalam kepalsuan itu, sulit dibedakan antara kebaikan dan keburukun atau halal dan haram. Memasuki era digital, hiperealitas berangsur memicu hipermoralitas atau hilangnya daya nalar dan batas moral. Penyebabnya adalah fatalitas komunikasi tiada henti: informasi-informasi tak penting dan serba tak jelas berkembang biak cepat menyebar ke arah ekstrim, langsung menjejali otak. Akibatnya, orang mudah mengumpat, menghujat, bersumpah serapah, bahkan membunuh dengan kata-kata. Untungnya, sekali lagi untungnya – ini kata yang khas Indonesia banget – masih ada Mukidi, guyonanguyonan segar yang menurunkan tensi. Saat ini, apa pun agama dan kepercayaan kita, pada akhirnya kita semua berada dalam posisi yang sama: menjadi “umat digital”. Ekspresi beragama telah berevolusi. Kaum muslim kini bertasbih gawai, mendaras ayat Quran digital, fikihnya adalah Kanjeng Google, rajin mengikuti majlis
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Al-Fesbukiyah, berceramah lewat Twitter, bermuhasabah di Instagram, dan berguru pada Youtube. Media massa dan media sosial, yang masih amat longgar regulasinya, seolah arena pertarungan bebas sekaligus panggung drama yang gratis. Pembunuhan karakter, perampokan karya cipta, perundungan, bercampur aduk dengan penipuan dan pertunjukan. Tuntunan jadi tontonan, dan tontonan jadi tuntunan. Terjadilah distorsi informasi, glorifikasi pesan, dan kesemrawutan konten. Akibatnya, orang tak sempat mengunyah kabar yang matang. Informasi agama ditelan mentah-mentah dari internet sehingga rentan tersesat, jadi penghujat, dan gagal memaknai jihad. Di mana Indonesia? Pertanyaan ini begitu menghunjam ketika sesama netizen saling mengancam. Jawabannya, Indonesia tidak beranjak ketika zaman telah jauh bergerak. Bangsa ini telat mengantisipasi perkembangan zaman. Laju teknologi dan banjir informasi tak terbendung regulasi dan edukasi. Padahal dua hal itulah sumber ketahanan budaya. Kita terlalu lama miskin literasi sehingga terkaget-kaget dengan air bah informasi. Kita juga terlalu abai mengelola kekayaan negeri sehingga hanya bisa marah ketika semua komoditas telah berpindah. Kita tak maju-maju karena tak kunjung mengejar standar mutu. Kita alpa meningkatkan kualitas religi untuk membentuk generasi yang berbudi. Dan, kita lupa mengajarkan keanekaragaman sehingga gegar budaya ketika berhadapan dengan kelompok berbeda. Saudara-saudari sekali yang saya kasihi, Di tengah segala ketelanjuran, kita masih punya kesempatan untuk berbenah. Hari-hari ini kita mendapatkan ujian tentang kebangsaan. Apa yang terjadi belakangan ini terkait isu-isu SARA, anggaplah sebagai batu loncatan menuju kemajuan. Inilah saatnya kita diingatkan tentang pentingnya arti persatuan dan kesatuan serta dalamnya makna kebhinekaan.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
29
30
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Kita sedang berada pada kondisi serupa ketika pemikiran tentang masa depan Indonesia perlu dipergulatkan. Kita memerlukan lebih banyak dialog yang mencerahkan untuk menyamakan persepsi menuju Indonesia yang lebih bermartabat. Hal pertama yang harus didialogkan adalah ihwal jatidiri bangsa. Kita tak perlu mencari rumusan baru, cukuplah memperkuat kesepakatan para pendahulu bahwa NKRI adalah harga mati dan Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi denyut nadi. Tahun 1956, Menteri Agama saat itu KH Muhammad Ilyas memetakan pemeluk agama Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia ke dalam tiga kelompok besar. Yaitu, Islam Amaliah atau kaum saleh yang rajin beribadah. Lalu, Islam Ilmiah yang berarti kelompok intelektual muslim. Kemudian, Islam Seumangat atau umat Islam yang cepat mendidih darahnya ketika agama atau kitab sucinya dilecehkan. Di antara tiga kelompok itu, nomor tiga atau Islam Seumangat paling banyak jumlahnya. Sekarang tahun 2016. Pemetaan itu relatif belum jauh berubah. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa kepekaan terhadap sentifitas masih amatlah penting bagi keutuhan bangsa. Keharmonisan harus dibangun dari kesadaran dan kepedulian. Toleransi harus dijaga para pihak dengan sepenuh hati. Janganlah usil memainkan isu agama karena dampaknya bisa fatal. Marilah mengejawantahkan kembali kata-kata yang cukup lama hilang dari ingatan bangsa ini, tenggang rasa dan tepo seliro. Di tengah persaingan global yang kian ketat, bangsa Indonesia tak boleh diam di tempat. Satu-satunya cara untuk naik kelas jadi negara maju adalah bangsa Indonesia harus meningkatkan kapasitas. Religiusitas harus diimbangi dengan kemampuan teknis untuk menggerakkan ekonomi, memanfaatkan teknologi, hingga mengolah informasi. Energi spiritual yang memuat nilai ketuhanan harus terjiwai dalam diri penggerak pembangunan maupun penegak keadilan. Tegasnya, setiap anak bangsa harus
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
mengamalkan lima nilai budaya: integritas, profesionalitas, inovasi, tanggung jawab, dan keteladanan. Dengan demikian, manusia Indonesia yang ideal adalah sosok yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, sekaligus kecerdasan kultural. Bila sebagian besar anak negeri bercirikan seperti ini, maka kita mencapai transformasi nasional yang berkeadaban – tanpa politik transaksional dan gaya beragama yang sensasional. Itu artinya, model keberagamaan harus lebih dewasa, dari sekadar amaliah menjadi ilmiah. Kesalehan individu harus mewujud dalam kesalehan sosial, dari sekadar rajin berdoa menjadi ramah tamah dan ikhlas bersedekah. Pemuka agama jangan lagi melulu mempromosikan puritanisme dan konservatisme, tapi juga perlu mewacanakan pengembangan ekonomi umat dan wawasan kebangsaan. Jika anak-anak muda yang agamis plus nasionalis sibuk berkarya, niscaya tak sempat lagi mereka mengkafirkan orang lain. Pada titik ini, agama ditampilkan secara promotif dan bukan konfrontatif. Tentu tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil. Langkah awalnya, marilah kita mulai dari diri sendiri. Detik ini juga mari kita manfaatkan media sosial untuk hal-hal positif saja. Selanjutnya, marilah kita kawal media agar kembali kepada fungsinya bagi negeri, yaitu turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan begitu, rakyat Indonesia akan menjadi bangsa yang produktif sehingga bisa mewarnai peradaban dunia secara positif dan konstruktif. Demikian, semoga Tuhan membimbing kita ke jalan yang benar dan menjaga keutuhan NKRI. Jayalah Indonesia! Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
31
32
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
PROFIL
LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN Lukman Hakim Saifuddin lahir di Jakarta, 25 November 1962 adalah lulusan Universitas Islam As-Syafiiyah di Jakarta dan sebelumnya belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Ia menjabat sebagai Menteri Agama Indonesia pada 9 Juni 2014 dalam Kabinet Indonesia Bersatu II dan kembali terpilih di Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014. Ia pernah menjadi anggota DPR RI periode 1999—2004, 2004—2009, dan 2009-2014 dari Partai Persatuan Pembangunan mewakili Jawa Tengah. Ia juga pernah menjabat Wakil Ketua MPR RI periode 2009—2014. Lukman Hakim adalah seorang tokoh NU dan pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) 1985-1988. Selanjutnya pada tahun 1988-1999, Lukman berkiprah di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam). Pada 9 Juni 2014, Lukman Hakim resmi dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Agama menggantikan Suryadharma Ali yang mengundurkan diri karena terlibat kasus dugaan korupsi dana haji di Kementerian Agama. Lukman juga anak dari Menteri Agama ke-9, Saifuddin Zuhri.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
33
34
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
MENGGUGAH WELAS ASIH LEWAT POLA PIKIR ILMIAH Oleh Premana (Astrofisikawan)
W. Premadi
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Untuk tahu di mana kita, perlu kita kuakkan jendela lebar-lebar. Hadirin sekalian, mari temani saya mengembara dalam semesta.
K
ita tinggalkan Bumi menuju Bulan, sesekali menoleh ke belakang melihat Bumi dari kejauhan. Cukup jauh untuk bisa melihat seluruh Bumi yang bulat, yang terbit dan terbenam, membalikkan perspektif harian kita; tapi cukup dekat untuk masih dapat melihat warna Bumi yang biru dengan tabir atmosfer tipis yang indah. Kita teruskan perjalanan melintas Tata Surya, melewati saudara-saudara Bumi, planet-planet yang rupawan. Dari Planet Saturnus yang cincinnya begitu menawan, Bumi kita hanya nampak seperti titik cahaya, bahkan Matahari hanya tampil seperti bola lampu yang kecil dan redup. Matahari, bintang kepala keluarga Tata Surya kita, hanyalah satu dari ratusan milyar bintang yang patuh mengitari pusat Galaksi Bima Sakti atau Milky Way, galaksi rumah kita. Di antara bintang-bintang itu hanya ada ruang gelap yang amat dingin dan nyaris kosong. Untuk mencapai bintang terdekat, Proxima Centauri, dengan roket berteknologi terkini perlu waktu 80.000-an tahun, artinya tak kurang dari 2500 generasi manusia. Di seluruh alam semesta ini terlihat puluhan juta galaksi dengan bentuk, ukuran, warna yang beraneka ragam, dan diduga masih ada triliunan lagi. Kita temukan tak sedikit pasangan galaksi menari pas de deux, dan melahirkan bintang-bintang baru. Alam semesta ini sungguh terlalu besar dan kaya untuk muat dalam lamunan. Dan teramat senyap. Kesenyapan yang menakutkan untuk kita yang dibesarkan dalam kehiruk-pikukan. Kita tidak berharap akan ada yang menyapa kita selama pengembaraan kita ini. Sepengetahuan kita hingga kini, manusia sebatang kara di alam semesta, belum kita temukan makhluk lain, apalagi makhluk berkesadaran dan berintelegensia.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
35
36
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Manusia hanya punya sesamanya untuk saling bergantung, dan hanya punya Bumi untuk merumahinya. Di mana kita? Kita menuju ke mana? Sepertinya kita punya jawaban yang lebih mudah secara astronomis, daripada untuk judul retorik forum malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan “Kita ingin apa? Apa arti ini semua?” ditanyakan oleh bangsa mana pun di dunia ini. Yang menarik adalah variasi jawabannya banyak bergantung pada tingkat pendidikan mereka selain pada variasi kultur dan geografi. Ini saya tangkap sebagai betapa kontekstualnya kita merespon tantangan, bahkan untuk yang saya pikir common sekalipun. Lalu saya bertanya pada diri sendiri: apakah ada landasan berpikir dan cara berpikir yang common untuk semua orang? Dalam kesempatan ini izinkan saya dengan segala kerendahan hati mengundang hadirin untuk mendengarkan percakapan batin saya, menyelami pikiran saya, merasakan kegelisahan saya, dan membantu saya mencangkul dan menanam di ladang pekerjaan nyata yang hampir sepenuhnya mengkonsumsi jiwaraga saya: sains dan membangun pola pikir saintifik. Sains adalah suatu badan usaha raksasa, suatu enterprise, yang melibatkan banyak orang di seluruh penjuru dunia, yang diamanati untuk mencari tahu dan membangun pengetahuan, yakni himpunan pengetahuan manusia terkini tentang alam dan tentang dirinya. Kita perlu membedakan pengetahuan dari sekedar opini; pengetahuan harus didukung oleh bukti atau evidence; pengetahuan harus terperiksakan dan teruji, dan tak boleh dimuati oleh bias. Persyaratan ini menggiring agar sedapat mungkin setiap kebenaran saintifik bersifat universal dan serbaguna atau versatile. Dengan sifat inilah manusia jadi memiliki modal bersama, yang netral, yang kemudian dimanfaatkannya untuk mengembangkan peradaban. Saya harus pula mengatakan arah kausalitas yang sebaliknya:
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
peradaban mendorong kemajuan sains karena sains adalah badan usaha manusia. Ini adalah salah satu penyebab mengapa sains senantiasa berstatus tentatif; perbaikan dan pelengkapannya memerlukan kemajuan kognitif manusia (antara lain: Gould, 2003) Disiplin yang ketat dalam enterprise sains ini untuk menjamin produknya, yakni pengetahuan, dapat dipercaya dan diandalkan. Tidak perlu kita beranjak dari tempat duduk untuk melihat seberapa jauh sains telah mendorong maju peradaban. Enam belas tahun yang lalu pesawat telpon selular saya seukuran walkie-talkie, lengkap dengan antenanya yang 5 cm-an, battery yang perlu di-charge di atas docking-nya setiap 3 jam, dan semua itu hanya untuk 2 fitur: bicara dan pesan teks singkat. Tak banyak di antara kita yang memahami sains garda depan yang mendasari teknologi dan engineering yang menjadikan HP hadirin sekalian sekarang begitu canggihnya, begitu kita andalkan dalam keseharian kita, dan telah mengubah cara kita berkomunikasi, bahkan mengubah tatanan kehidupan generasi kini. Saya ingin tahu, seberapa ingin-tahunya masyarakat kita terhadap sains dan teknologi yang menopang hidup kita sehari-hari. Seberapa tekunnya kita dalam mencari tahu. Seberapa kuatnya dorongan untuk menemukan solusi untuk pertanyaan dan masalah yang kita hadapi. Pertanyaan yang naif, saya sadari. Tetapi jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang membedakan antara masyarakat maju dan masyarakat tertinggal. Kata sains dan teknologi memang terdengar teknis dan kerumitannya mungkin mengintimidasi. Namun pada prinsipnya setiap produk sains dan teknologi dapat kita bongkar untuk dapat kita cermati dan analisa rantai logika yang menunjukkan aliran hubungan sebab akibat yang jernih yang menjadikan sains dan teknologi itu bekerja. Jika orang tidak ingin tahu tentang apa yang paling dekat dengannya, yang paling banyak ia manfaatkan, maka tipis harapan ia ingin tahu hal lain yang pikirnya tak ada hubungan dengan
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
37
38
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
dirinya. Ketidakingintahuan hanyalah satu langkah sebelum ketidakpedulian. Inilah isu yang saya ingin angkat. Sikap tidak ingin tahu bukan hanya menutup lubang-lubang untuk cahaya ilmu masuk, tetapi sekaligus melemahkan “agen-agen” berpikir. Tidak berbeda dari atrofi otot tangan, kaki, yang saya tahu diakibatkan oleh tak dipakainya otot yang bersangkutan. Kita tahu betapa beratnya menggerakkan sesuatu yang besar dan lemah. Oleh karena itu, dengan menunggang momentum keingintahuan anak yang masih tinggi, sejak dini kita tanamkan kesukaan untuk berpikir. Omong-omong, tentang kebiasaan bertanya, apakah Bapak dan Ibu sekalian mengamati juga bahwa putraputri Bapak dan Ibu berhenti bertanya macam-macam justru ketika mereka sudah bersekolah? Apa kira-kira yang terjadi di sekolah? Kebiasaan bernalar inilah yang mengkonstruksi pola pikir saintifik yang saya sebutkan di awal. Pola pikir saintifik atau ilmiah saya akui sebagai terjemahan sempit untuk istilah scientific mind, namun saya pakai karena memberikan konteks yang jernih dan siap untuk dielaborasi. Lanskap scientific mind melampaui domain sains yang konvensional, meliputi semua cara pandang rasional, serta kondisi, proses, dan pengalaman mental yang relevan dengan rasionalitas itu. Jadi scientific mind adalah property pribadi, dan adalah ladang yang amat berpotensi untuk dikembangkan demi pelayanan terbaik pada pemiliknya. Produk sains yang menurut saya juga versatile bukan hanya pengetahuan saja, tetapi budaya sains. Budaya yang terbentuk dari etos kerja sains yang meminta kejujuran, keterbukaan, adil, saling menghormati, bertanggung-jawab, dan profesional dalam setiap langkah kerjanya: mulai dari pengajuan gagasan, perancangan eksperimen, perolehan dan pengolahan data, pengujian, diskusi, hingga diseminasi hasil kerja. Elemen-elemen dasar etika itu tidak hanya dijunjung tinggi tetapi juga diharuskan. Menjunjung tinggi berkesan normatif, sedangkan mengharuskan adalah eksekutif, yang
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
artinya, atau seharusnya, disertai dengan penegakannya. Di dalam enterprise sains, penegak utamanya adalah peers, yakni para saintis di seluruh dunia yang bekerja pada topik sains yang sama atau relevan. Rekan-rekan sesama saintis ini pada umumnya saling mendukung, saling berkompetisi sehat, tapi tidak kenal ampun untuk mereka yang dengan sengaja melanggar etika. Karena kami paham, setetes tinta yang tidak pada tempatnya, bukan hanya akan merusak susu sebelanga, tetapi akan meruntuhkan integritas sains. Pembelajaran sains di sekolah mestinya menyertakan disiplin kerja sains, sebab inilah yang membangun pola pikir ilmiah yang memperkuat kemampuan dan kebiasaan rasional, sekaligus melengkapinya dengan pagar-pagar etika. Apakah bangsa kita menginvestasi dengan benar untuk masa depannya? Investasi tak ternilai, sekaligus paling beresiko, yang setiap zaman tanamkan adalah pendidikan; karena taruhannya adalah kualitas sumber daya manusia pada generasi berikutnya, yang akan menentukan kelangsungan peradaban pada abad-abad berikutnya. Masalah-masalah besar yang bangsa kita hadapi sekarang adalah impak akumulasi masalah pendidikan Indonesia. Setiap orang dan setiap jenjang pendidikan adalah bagian dari statistik itu, dan kita tidak bisa melarikan diri. Singkatnya, pendidikanlah yang mengemudikan bangsa. Quo vadis, Indonesia? Pendidikan yang menjawab. Tentu orang tidak hanya belajar selama mengikuti pendidikan di sekolah. Adalah normal bahwa orang melanjutkan belajar di tempat kerja, sehingga sangat penting tempat kerja mengakomodasi dan menstimulasi pembelajaran yang berkualitas. Orang juga “belajar” dari sumber-sumber lepas yang tersedia di berbagai jenis media. Korporasi media pun perlu mengambil tanggung jawab lebih serius dalam pendidikan bangsa. Bayar perhatian masyarakat dengan materi yang substansial, menginspirasi untuk berpikir konstruktif, dan memperhatikan keseimbangan dalam pendewasaan akalbudi bangsa.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
39
40
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Beberapa minggu yang lalu belasan siswa kelas IV SD dari Propinsi Bangka-Belitung datang ke Observatorium Bosscha di Lembang. Mereka lalap semua cerita dan gambar-gambar dari alam semesta dengan penuh semangat dan keriaan seperti kebanyakan anak-anak yang hampir setiap hari mengunjungi observatorium kami. Tapi untuk anak-anak dari pulau kecil di seberang ini, kunjungan itu adalah momen yang betul-betul mereka nantikan; mereka ternyata datang dengan uang sendiri yang mereka tabung setahun. Sebagai saintis sekaligus pendidik, saya terhenyak, dan mengukur diri, apakah sudah saya bekali anak-anak kita dengan yang terbaik? Masuk ke dalam ranah pendidikan, maka harus kita sebut “sang gajah dalam ruangan”. Kurikulum. Kurikulum di seluruh dunia, untuk setiap jenjang pendidikan, didesain untuk menanamkan pengetahuan dan kecakapan atau ketrampilan pada siswa agar siap menghadapi masa depan. Mereka bukan hanya sekedar harus bisa bertahan hidup, tetapi harus dapat mengembangkan diri dan mengoptimalkan hidup sesuai aspirasinya. Manusia menyadari sejak awal bahwa ia jelas tak bisa bertahan sendiri, dan kurikulum menangkap keperluan ini dengan pembekalan kecakapan mental yang konstruktif untuk kebaikan hidup bersama. Hanya dalam referensi kebersamaan inilah sebutan manusia yang holistik menjadi bermakna. Kebersamaan yang dimaksud mencakup juga lingkungan alamnya, karena sejak peradaban kuno pun manusia menyadari bahwa kebaikan dan kelangsungan hidupnya ditopang oleh kemurahan Bumi dalam menyediakan pelbagai sumber daya alamnya. Kurikulum modernpun dibenahi untuk dapat memuat materi tentang pelestarian alam. Perkenankan saya untuk berbagi dengan hadirin sekalian elaborasi saya atas ekstraksi dari spirit kurikulum berbagai negara yang saya terima sebagai cita-cita luhur pendidikan modern. Kerangka kurikulum ini
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
menggarisbawahi yang fundamental, dan secara eksplisit menyertakan pentingnya menjaga kesetimbangan dan hubungan harmonis antar penghuni Bumi. Memang kurikulum dengan orientasi universal ini diperlukan dalam era globalisasi, tapi lagi-lagi universalitas diperlukan juga secara lokal untuk refleksi. Dalam kurikulum masa kini kata kuncinya bukan lagi survival, tetapi sustainability, atau keberlangsungan. Kepentingan keberlangsungan saya pilah menjadi tiga, keberlangsungan individu, keberlangsungan komunal atau kelompok, dan keberlangsungan semesta. Saya akan sampaikan rationale-nya, dan sedikit ilustrasi yang mengambil dari scientific evidence. Keberlangsungan individual. Dasarnya adalah setiap orang berhak untuk mengembangkan diri hingga mencapai jatidiri yang terbaik dalam segala aspek hidupnya, untuk mengambil peran dalam menentukan hidupnya, dan berpartisipasi dalam hal-hal di mana ia merupakan bagian. Individu adalah tempat di mana nature dan nurture berjumpa lalu berkonspirasi untuk membentuk sang individu. Ada situasi-situasi di mana tak banyak yang bisa dilakukan untuk memodifikasi apa yang sudah hadir secara alami (nature). Di lain pihak, bagaimana dan dalam lingkungan seperti apa kita dibentuk (nurture) idealnya dapat dioptimasi. Dengan semangat ini kita membahas pendidikan. Kurikulum yang umum diberlakukan di dunia mencakup bahan ajar dasar yang dapat mengembangkan potensi siswa agar ia siap bekerja untuk mencapai kondisi diri yang dimotivasikan tadi. Masalahnya, kurikulum sering memuat terlalu banyak topik ilmu sehingga guru sering terpaksa hanya singgah terlalu sebentar pada bagian yang sebetulnya penting. Dalam hal konstruksi pola pikir saintifik, masalah yang lebih parah adalah proses pembelajaran sering memisahkan bahan ajar ke dalam kotak-kotak yang tidak saling berkomunikasi. Akibatnya siswa sulit membangun peta mental untuk substansi yang dia pelajari.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
41
42
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Yang paling memprihatinkan adalah banyak proses belajar yang hanya mementingkan pengkoleksian informasi, dan mengabaikan pengkonstruksian kemampuan bernalar, kemampuan untuk menelusuri hubungan sebab-akibat dengan runut dan cermat. Kehilangan yang terlalu besar, yang impaknya panjang. Bagaimana mengajar menalar? Kebiasaan menalar dipicu dengan mendorong siswa untuk bertanya. Pertanyaan-pertanyaan tentang mekanisme di belakang fenomena yang tampak, seperti “bagaimana bisa…?”, pertanyaan kritis: “tetapi…, bagaimana mungkin…?”, pertanyaan-pertanyaan kondisional dan hipotetikal yang melatih imajinasi, seperti “bagaimana jika…?”, dan pertanyaan-pertanyaan terbuka lainnya. Untuk dapat mengakomodasi pembelajaran seperti ini, guru tentu harus jauh lebih siap. Mereka tak bisa hanya mengandalkan buku teks pegangan guru. Tanpa kemampuan menalar yang cukup, orang sulit menganalisa informasi yang menyebabkannya mudah terdisorientasikan karena ia tak berdiri di atas pijakan logika yang kokoh. Dengan informasi dewasa ini yang mengalir dengan cepatnya dan dengan spektrum kontennya yang begitu lebar, tak heran banyak orang merasa kewalahan. Pengetahuan mereka belum cukup untuk menilai dan menyaring informasi. Banyak masalah di dunia ini adalah hasil dari salah pengertian, salah paham, salah perhitungan, salah judgment, yang akarnya adalah amat kurangnya latihan berpikir yang mengakibatkan sempitnya ruang gerak pikiran. Di dalam era informasi ini, perkaranya bukan ketidaktahuan, tetapi ketidakpahaman dan ketidakrasionalan. Ketidakrasionalan ini lebih banyak bersumber pada kelembaman berpikir yang ditambahi beban bias dan miskonsepsi yang menumpuk. Orang yang enggan berpikir cenderung memilih informasi yang dia suka, tanpa menalar. Bahkan informasinya pun sering masih rapi terbungkus; diterima begitu saja karena percaya pada pemberinya.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Psikologi massal juga mendorong orang memilih informasi yang disukai banyak orang, yang membuatnya diterima di kelompok itu. Singkatnya, amat minim proses bernalar yang dilalui untuk tiba pada suatu keputusan. Tidak jarang ini mencapai kondisi ekstrim di mana orang menolak menerima evidence dan memutar-balikkan logika. Gerhana Matahari Total (GMT) yang melintas Indonesia pada pagi hari 9 Maret 2016 membangunkan kepercayaan masyarakat akan sains. Ketepatan prediksi lokasi dan waktu GMT dan mekanisme terjadinya gerhana yang relatif mudah dimengerti adalah sebab utamanya. Di lokasi-lokasi yang dilewati totalitas, masyarakat mengujinya dengan melakukan hitung mundur detik totalitas. Bukti Bumi bulat dan berotasi. Saya tidak tahu pada hari itu bersembunyi di mana para penyanjung bumi datar. Apakah mempercayai fakta itu opsional? Apakah melanggar logika dan menafikan hukum alam itu suatu kemenangan kreativitas? Para hadirin dapat menilai seberapa berhasilnya pendidikan sains dan matematika di negara kita dengan menyimak cara berpikir dan perilaku bangsa kita sehari-hari. Masalah ini laten, dan repotnya baru mengemuka ketika orang dihadapkan pada konflik. Bayangkan seandainya kita mengindera adanya konflik, tetapi tidak memahami isu penyebab konfliknya, apa yang mau kita lakukan? Kita tidak siap untuk beradu argumentasi yang substansial. Tanpa kemampuan bernalar, sulit untuk menumbuhkan kemampuan berdialog. Sebabnya adalah kemampuan berbahasa, yakni kemampuan untuk menata dan mengejawantahkan pikiran, ikut melemah. Jadinya, tak ada lagi konten yang dapat dikomunikasikan kecuali emosi dan kosa kata mentah. Keberlangsungan komunal. Bahwasanya manusia saling membutuhkan menjadikannya makhluk sosial. Individu-individu yang terikat dalam
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
43
44
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
keanggotaan unit komunal ini bergabung, menyumbang potensi dan tantangan masing-masing yang secara kolektif menjadi warna unit ini. Idealnya, kondisi dalam komunitas menjamin terjaganya rasa aman, adil, dan saling percaya antar anggotanya. Kepentingan dan masalah individual digendong bersama sebagai kepentingan dan masalah komunal. Masing-masing individu menjadi saling mawas akan kondisi satu sama lain. Latihan bertanya “bagaimana jika…”, dapat diberi konteks lingkungan, menjadi “bagaimana jika saya berada dalam kondisi seperti dia?” Pertanyaan analitik yang bernuansa empati. Rasa memiliki di antara sesama anggota suatu kelompok ditumbuhkan untuk secara konstruktif menghidupkan nilai yang dijunjung oleh kelompok itu, dengan mengingat kelompok lain pun mengupayakan hal serupa, yang sama pentingnya. Perbedaan antar kelompok yang mengemuka perlu diakui dan dihormati, sementara kesamaan yang ada perlu dipertegas dan diperkuat untuk menjadi serat-serat yang menjembatani perbedaan (antara lain: Putnam, 2003). Setiap unit komunal dapat berupa sistem yang kompleks. Tantangannya adalah bagaimana suatu unit komunal yang kompleks dapat sustain? Di dalam fisika, kita tahu bahwa untuk mempertahankan suatu sistem fisis diperlukan energi terus menerus. Energi ini bisa dipasok dari luar, dan/ atau dituai dari energi yang dihasilkan dari koleksi energi interaksi antara berbagai komponen pengisi sistem tersebut. Fisika juga mendiktekan bahwa ukuran maksimal sistem bergantung kepada besar energi yang tersedia dan juga bagaimana energi tersebut terdistribusikan pada seluruh sistem. Tanpa energi yang cukup sistem ini akan kolaps. Evidence melimpah, mulai dari ukuran mikro hingga makro pada berbagai sistem fisis di Bumi, termasuk manusia dan makhluk hidup lainnya, hingga bintang dan jejaring galaksi di alam semesta. Beginilah caranya kawanan ratusan ribu burung
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
starlings bersama-sama mencari makan dan menjaga diri dari ancaman pemangsanya: menjaga jarak, terbang dengan laju yang kurang lebih sama, dan senantiasa bergerak ke arah pusat. Pelajaran yang kita lihat dari sini untuk mempertahankan keutuhan sistem: akui identitas anggota, jangan biarkan kesenjangan terlalu lebar, hormati aspirasi bersama. Dalam chaos ada keteraturan. Dalam banyak aspek, sistem sosial juga bekerja seperti sistem fisis. Konstituen apa dalam sistem sosial yang fungsinya ekivalen dengan energi dalam sistem fisis? Informasi. Atau dalam konteks yang lebih luas: konten yang kita komunikasikan. Ini dapat berupa ide, dana, termasuk yang mental dan spiritual seperti kasih, doa, semangat, dan lain-lain. Konten yang alirannya mengganggu tatanan kita konotasikan sebagai konten negatif. Ini dapat berupa informasi hoax, kecurangan, kecurigaan, atau perasaan negatif lain. Sementara bahasa, sebagai tatanan informasi dan moda penyampaian yang disepakati menentukan kenyamanan dan keefektifan penerimaan pesan. Dunia alami, atau natural world, bekerja mengikuti kaidah-kaidah alam: ada hukum gravitasi, hukum elektromagnetik, dan lain-lain. Semua sistem fisis yang sudah dikenali nampak patuh pada hukum-hukum ini. Para ahli ilmu sosial masih meneliti apakah di dalam sistem sosial ada juga aturan-aturan yang fundamental dan universal yang ekivalen dengan hukum-hukum fisika. Sebagai sistem fisis (biologis) manusia adalah sistem yang amat kompleks. Himpunan manusia dengan perilaku kolektifnya, dan dengan segala lingkungan biotik dan abiotik yang mendukung hidupnya, adalah sistem yang maha kompleks. Ini belum memperhitungkan dimensi non-fisik manusia. Sistem yang kompleks dan dinamis akan memunculkan proses non-linier yang menyebabkan kondisi dari saat ke saat sulit diprediksi secara akurat. Hasil ekstrimnya dapat berupa emergent phenomena yang prediksi kemunculannya memerlukan statistik atas banyak sample.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
45
46
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Indonesia adalah negara juara dalam lomba heterogenitas, dan dengan geografinya yang arkipelagis, dengan distribusi ekonomi dan pembangunan yang belum adil, sustainabilitas negara ini menjadi tantangan luar biasa. Yang sangat lebih luar biasa, dan patut kita syukuri, adalah kita sustain selama ini. Jadi kita perlu analisa apa yang bekerja dengan baik untuk kita, mana yang kurang cocok atau perlu diperbaiki. Bangsa kita menanggung banyak masalah yang memprihatinkan. Pertambahan penduduk yang pesat yang tidak dipadani dengan penambahan sarana hidup, ditambah dengan permintaan modern untuk beraktivitas dalam jejaring dunia, memunculkan kompleksitas yang amat tinggi. Penambahan populasi pada tiap unit komunal menyebabkan banyak unit mencapai massa kritisnya, dan mereka akan meminta pengakuan atas identitas unit. Ini dapat berdampak positif atau negatif bergantung pada nilai yang dipromosikan unit tersebut. Menguatnya gerakan ekstremisme adalah salah satu wujud negative emergent phenomena akibat kompleksitas tinggi dalam sistem dinamik. Sementara banyak juga unit komunal dengan semangat positif yang melahirkan berbagai program inisiatif yang sangat efektif membantu pemerintah, misalnya dalam menjangkau masyarakat di pelosok dan kelompok-kelompok yang termarginalkan. Bagaimana kita mengelola ketidakpastian, dan tetap memastikan peradaban tidak runtuh, sementara ruang fleksibilitas sempit? Hampir semua peradaban yang tercatat sejarahnya runtuh karena problem internal, yang umumnya berupa peperangan berkepanjangan (yakni masalah pada manajemen kekuasaan) dan/atau berupa masalah kehabisan sumber daya hidup (yakni masalah pada manajemen lingkungan dan sumber alami untuk hidup). Sebagian besar dari peperangan pun berakar pada perebutan sumber hidup primer atau komoditas. Pola dalam hubungan sebab-akibat inilah yang perlu kita cermati. Dengan pelajaran ini, demi bertumbuhnya peradaban yang merupakan komunitas raksasa dengan multilevel
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
complexity, orang menyadari pentingnya menyusun berbagai aturan dan hukum yang disepakati harus ada untuk mengatur arah dan besar aliran energi sistem yang akan menjamin keberlangsungan sistem tersebut. Aturan dan hukum ini secara hierarkis bertugas seperti fondasi dan rangka bangunan, yang memastikan peradaban itu tidak runtuh karena bobotnya sendiri. Setiap subsistem memiliki organisasi sendiri. Salah satu yang kita kenali sebagai fondasi adalah yang dinyatakan dalam hak-hak azasi manusia. Agar prinsip fondasional ini berfungsi dalam praktek keseharian, harus dibuatkan derivatnya dalam bentuk hukum dan aturan sesuai dengan konteks yang relevan. Dalam konteks ekonomi yang luas misalnya, dipastikan ada aturan-aturan yang dapat meminimalkan vile maxim yang dikhawatirkan oleh Adam Smith (Chomsky & Otero, 2003), untuk menghindari pengambilan keuntungan yang tak terbatas oleh sekelompok kecil yang menyebabkan kesengsaraan banyak pihak. Kurikulum harus memuat konten ini. Wujud pembelajaran terbaik adalah dengan teladan yang membuat siswa paham mengapa ada banyak aturan dan bahwa penting untuk hidup taat aturan dan menghormati tata krama yang telah disepakati suatu komunitas. Kita belum bicarakan dari mana munculnya kompleksitas. Kompleksitas tumbuh dari adanya fluktuasi atau ketidakseragaman yang tersebar dalam sistem yang dinamis. Ketidakseragaman dapat tumbuh terus menjadi subsistem-subsistem kecil dan menjadi semi-mandiri sepanjang sistem induknya terjaga kesetimbangannya selama waktu dinamiknya. Salah satu syarat untuk memenuhi kesetimbangan ini adalah semua anggota sistem memiliki kebebasan untuk bergerak dan berinteraksi. Karena setiap anggota dapat memiliki beberapa derajat kebebasan, maka ada banyak moda interaksi untuk masingmasing anggota. Dalam sistem yang setimbang dan mapan, keanekaragaman akan berkesempatan untuk berakar dan tumbuh sehingga memberi dampak pengayaan pada sistem. Peningkatan kompleksitas adalah salah satu indikasi
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
47
48
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
pengayaan sebetulnya. Evolusi makhluk hidup di Bumi dapat berlangsung karena Bumi menjadi tempat hidup yang terjaga keseimbangannya untuk skala waktu miliaran tahun, skala waktu yang nampaknya memang diperlukan untuk evolusi dari makhluk hidup sederhana seperti trilobytes hingga yang kompleks seperti ordo primata. Saya sendiri tak henti-hentinya takjub. Perlu waktu miliaran tahun untuk menghasilkan keindahan itu, namun tak perlu waktu untuk menghancurkannya. Kompleksitas dapat diterima sebagai suatu keindahan menurut satu perspektif, tetapi mungkin beresiko malapetaka menurut perspektif atau dalam konteks lain. Misalnya badai raksasa di Bumi adalah malapetaka untuk banyak tempat di dunia, sementara badai superraksasa yang dikenal sebagai Red Spot tampak oleh kita sebagai penghias Planet Jupiter. Peningkatan kompleksitas adalah konsekuensi natural dalam sistem yang dinamis, tidak ada yang bisa dipersalahkan. Sistem yang mengandung kantong-kantong yang sangat nonlinier, artinya kompleksitas terlalu tinggi, rentan terhadap gangguan dan menjadi katastrofik. Tentu saja kompleksitas yang ekstrim dan katastrofik tidak berarti krisis atau konflik untuk lingkungan abiotik. Tetapi untuk manusia dan lingkungan biotik katastrofi muncul sebagai krisis dan konflik. Jadi jelas untuk makhluk hidup, peningkatan kompleksitas perlu dikelola dan dikendalikan agar tak menjadi ekstrim dan mengakibatkan krisis. Ini menjadi materi yang urgent untuk diajarkan dalam kurikulum modern. Di dalam sistem manusia, keanekaragaman terbukti memperkaya peradaban. Kita lihat kota-kota besar di dunia yang tumbuh besar, bertahan, dan juga flourishing, serta warganya hidup penuh vigor, adalah kota-kota yang mengakomodasi keanekaragaman. Tetapi kita tahu tentu ini bukan tanpa usaha. Pertukaran “energi baik” antar warga kota, ketaatan pada aturan-aturan yang telah disepakati, adalah kunci keberhasilan. Di dalam peradaban, keanekaragaman bukan hanya memperkaya, tetapi hadir untuk fungsi yang menurut saya
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
lebih fundamental untuk manusia: yakni sebagai sarana refleksi. Kita menjadi lebih mengenali diri kita sendiri dengan bercermin pada tetangga kita. Saya juga sadari ini dari perspektif astronomi: kita memahami Bumi kita dengan lebih baik setelah mengenali planet-planet lain. Kepemahaman yang membuahkan respek dan panggilan untuk saling melindungi. Ini mengantarkan saya untuk meneruskan pembicaraan mengenai kurikulum tadi untuk cakupan yang lebih luas: semesta itu sendiri. Keberlangsungan lingkungan universal Sudah jelas bahwa Bumi harus dapat menjadi tempat hidup yang layak untuk seluruh penghuninya untuk waktu selama mungkin. Selain itu, dari Bumilah kita mengeksplorasi jagad raya ini. Dan atas dasar eksplorasi ini kita dapat menjawab sebagian dari pertanyaan mendasar yang kita ajukan di awal, walau terbatas dalam konteks sains fisis. Kita tahu kita di mana , dan sedang bergerak ke mana, sekaligus sejarah kita. Saya dididik menjadi kosmologis. Rasanya setiap hari saya punya alasan untuk menyebut kata “alam semesta” atau universe. Kata yang tidak hanya muncul sebagai terminologi teknis, tapi kata yang juga saya maknai sebagai rumah. Perasaan yang muncul setiap kali mengatakan “universe” sama seperti ketika mengucapkan rumah: penuh dengan rasa cinta, respek, kepemilikan. Di dalam sistem alami proses yang memunculkan gangguan pada kesetimbangan dikompensasi oleh proses, yang sebagian ilmuwan sebut sebagai homeostasis, yang berusaha merestorasi kesetimbangan. Peradaban manusia bukanlah sistem yang sepenuhnya alami sehingga proses restorasi harus dirancang dan diimplementasi sesuai konteks. Selain itu, jaminan kelangsungan peradaban bukan hanya meminta kesetimbangan tetapi juga menginginkan perkembangan atau kemajuan. Dua jenis permintaan yang saling sikut-menyikut. Lebih dari itu, perkaranya juga diberati
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
49
50
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
oleh aspek peradaban yang alami: pertambahan populasi. Kemajuan, atau advancement, lalu bukan lagi sekedar pilihan, tetapi memang harus ada, kalau kita mau memastikan 9 milyar orang yang diprediksi akan menghuni Bumi tahun 2050 dapat hidup layak. Jika kita meneruskan gaya hidup kita sekarang, dan tetap bergantung pada teknologi kini yang tanpa malu-malu menghembuskan CO2 dengan melimpah ke atmosfer, maka kita ikut menambah jumlah mereka yang hidup sengsara. Selama itu semua terjadi pada “mereka”, kita belum merasa perlu untuk bangkit menolong situasinya. Kita baru berhenti menjadikan krisis dunia sebagai tontonan dan lelucon ketika krisis itu mendarat di rumah kita. Di sinilah saya ingin menggarisbawahi tesis ini: bahwasanya kemampuan menalar, kemampuan untuk memahami hubungan kausal yang relevan dengan kehidupan kita, sebagai makhluk fisis maupun sosial, mendorong terbangunnya critical awareness terhadap lingkungan, yang pada gilirannya dapat menggugah rasa welas asih, compassion. Kita perlu menyediakan waktu untuk hening, untung mendengarkan lagi suara nurani kita, yang kita haluskan lewat refleksi dan kontemplasi. Apabila pendidikan gagal menciptakan masyarakat yang mayoritas kompeten, maka resikonya adalah lingkaran setan ini: Ketidakkompetenan → frustrasi → putus harapan → apatis → umpan balik negatif pada komunitas → komunitas terpuruk → pendidikan terpuruk → ketidakkompetenan: cycle Ketidakrasionalan individu menjadi ketidakrasionalan komunitas. Dalam bukunya, The Unscientific America, Mooney dan Kirshenbaum (2009) memperingatkan bahwa iliterasi sains dapat mengancam masa depan. Berbeda dari situasi iliterasi dan inumerasi abad lalu: orang tahu bahwa dia tidak tahu. Masalah sekarang adalah orang berpikir dia tahu tetapi tidak menyadari bahwa yang diketahuinya
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
mungkin salah atau tidak lengkap. Dalam negara demokratis di mana secara prinsip rakyat berkuasa, maka resikonya tinggi jika masyarakatnya belum dapat diandalkan kemampuan bernalarnya. Contoh kasus sebagai ilustrasi: Pemanasan global adalah masalah Bumi yang dampaknya makin lama makin dirasakan oleh banyak hunian. Penyumbang terbesar masalah ini adalah aktivitas manusia, terutama yang menghasilkan karbondioksida, seperti penggunaan bahan bakar fosil. Masih banyak yang menolak bukti dan penjelasan rasional penyebab pemanasan global. Sebagian memang sengaja melontarkan penjelasan alternatif untuk menutupi motif tertentu. Nyatanya adalah sebagian besar warga dunia masih belum paham sehingga tidak dapat menentukan sikap. Bagi mereka, yang paling mudah untuk sementara ini adalah dengan meneruskan saja gaya hidupnya. Tentu ini semakin memperdalam masalah dan memperuncing konflik. Masalah-masalah alam seperti ini yang seyogyanya didiskusikan dan dikelola secara rasional malahan menjadi masalah politik yang juga emosional. Pengetahuan yang tidak lengkap dan pandangan-pandangan yang bias membuat penalaran menjadi timpang. Masalah yang serupa dengan sedih kita lihat pada perdebatan keruh antara pendukung-pendukung calon-calon pemimpin. Proses kampanye pemilihan bercerita lebih banyak tentang karakter masyarakat kita daripada tentang para calon pemimpin yang mau dipilih (Haidt, 2013). Substansi dan cara mereka berdebat mengemukakan banyak tentang konstituen bangsa ini yang memprihatinkan. Salah satu kendala atau constraint alami adalah kekalnya energi total. Energi dapat berubah bentuk, tapi jumlahnya tetap. Dalam situasi konflik, energi masyarakat habis dikobarkan dalam bentuk amarah. Tak banyak yang lalu tersisa untuk hal konstruktif. Apa yang bisa dilakukan jika dialog yang substansial tidak bisa diadakan karena para pihak memiliki tingkat
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
51
52
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
pengetahuan dan persepsi berbeda tentang kelangsungan hidup bersama? Kita lekas kembali ke square one, sebelum terlambat. Benahi pendidikan pada akarnya untuk memberdayakan nalar. Pendidikan sains seperti yang saya kemukakan membuka jalan untuk terbentuknya pola pikir ilmiah. Tentu saja tetap dengan mengingat dan mengakui bahwa sains tidak pernah meng-claim mengetahui atau akan mengetahui keseluruhan realita. Sains juga tidak meng-claim mempunyai solusi untuk semua masalah. Tapi sains menawarkan cara kerja yang plausible untuk mendekatkan kita pada solusi ideal yang mestilah asimtotik. Saya selalu percaya bahwa kebaikan akan selalu menang. Bernalar, berakal-sehat, adalah bagian dari kebaikan. Saya menghimbau untuk kita fokuskan energi dan perhatian kita untuk hal konstruktif, dan memulai budaya bernalar dari diri sendiri. Gagasan pembelajaran pola pikir ilmiah ini kita tenunkan pada gagasan pembelajaran yang sudah mulai banyak diadopsi, yaitu pembelajaran terintegrasi: Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). Menambahkan Arts ke dalam STEM (menjadi STEAM) adalah untuk memperluas cakupan upaya pembentukan manusia seutuhnya dengan ikut dalam pencarian kebenaran (dari ilmu), keindahan (dari seni), dan kebaikan (dari etika) (Gardner, 2011). Pembelajaran ini secara eksplisit mengasimilasi konsep-konsep beberapa disiplin yang diintegrasikan, dengan proporsi yang adil antara disiplin-disiplin termaksud. Siswa membuka diri terhadap konten disiplin ilmu STEAM melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka, yang disampaikan dengan sopan. Ini pembuka penting dalam kegiatan eksplorasi dan eksperimen. Peran guru sangat sentral tetapi tidak dominan dalam mengelola kelas, menanggapi pertanyaan dan komentar para siswa dengan penuh respek, dan menstimulasi diskusi di antara mereka. Diskusi adalah bentuk refleksi komunal. Keterlibatan langsung tiap anggota team membentuk pengalaman pribadi yang bermakna
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
karena mereka merasa dihargai kontribusinya dalam perolehan solusi untuk suatu masalah bersama. Pengalaman pribadi ini lalu membangun rasa percaya diri yang positif. Dan, karena perasaan positif ini mutual, maka tidak muncul kecurigaan atau pikiran destruktif lainnya. Ini latihan nyata untuk menyiapkan mereka sebagai pemikir, pekerja, sekaligus warga yang menghormati sistem kerjasama. Untuk pengalaman belajar yang optimal, perlu diperhatikan kesiapan siswa menerima pembelajaran dan daya peningkatan kognitif yang bergantung pada umur, serta pada lingkungan dan dukungan belajar. Hingga usia remaja, pada umumnya pikiran anak-anak belum secara alami diboboti oleh bias. Pikiran mereka tidak disetir oleh nilai-nilai, tetapi oleh apa yang menurut mereka masuk akal. Kombinasi antara keingintahuan yang tinggi dan kebebasan berpikir (artinya bebas dari bias kognitif) ini menjadikan kelompok usia muda ini pelajar terbaik. Apakah selama ini kita manfaatkan momentum ini secara positif? Rasional Pendidikan STEAM masa kini. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk mengharuskan adanya peningkatan yang pesat pula pada kuantitas dan kualitas ketersediaan kebutuhan hidup, sementara sumber alam makin terkikis. Ketersediaan kebutuhan hidup tidak terdistribusi secara adil, yang menjadikan kompetisi semakin ganas. Contoh nyata: air tawar adalah kebutuhan hidup yang tidak dapat disubsitusi. Jumlah dan kualitas air tawar menurun terus. Beberapa minggu dalam setahun saya ikut tinggal di pedalaman Timor di mana semua orang, termasuk anak-anak, harus berjalan berkilometer setiap hari untuk mengambil beberapa jerigen air. Air akan sangat mungkin menjadi komoditas termahal. Selain itu, dalam jejaring dan lalu lintas warga dunia situasi lokal tersambung langsung dengan situasi global. Segala sesuatu mengedar dengan cepat, yang baik maupun yang buruk, seperti epidemi. Kita memerlukan solusi yang robust agar prediksi seram ini tidak
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
53
54
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
mewujud. Pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia di seluruh dunia memerlukan dengan segera cara terobosan untuk produksi yang efektif dan efisien, yang sekaligus dapat mempertahankan kesetimbangan lingkungan alam, demi kebaikan alam itu sendiri maupun demi menjamin kelangsungan hidup manusia yang bermartabat untuk jangka waktu selama mungkin (Diaconu, 2013). Keperluan akan kebaruan sains dan teknologi ini mendiktekan peningkatan 14 hingga 20 % kebutuhan SDM berkompetensi STEAM dalam lima tahun ke depan (antara lain: di Gropello et al (2011) dan Education Council of Australia (2015)). Pembelajaran STEAM akan menghasilkan SDM dengan kompetensi yang kokoh dan berwawasan interrelasi yang luas. Ini meliputi karakter (namun tidak terbatas pada): independen, yakni mampu beradaptasi dan mengembangkan diri; professional, yakni dapat bekerja dengan kompetensi dan etos tinggi, bertanggungjawab, secara invidu maupun dalam team; dan percaya diri untuk ikut ambil bagian dalam kompetisi yang sehat. Lebih dari itu prosedur pembelajaran STEAM membentuk etos kerja yang selanjutnya membentuk attitude atau perilaku yang berwelas-asih, yang perseptif dan mau proaktif untuk perbaikan diri maupun lingkungan, dan yang inklusif dalam menghormati dan merangkul keberagaman. Metoda pembelajaran STEAM juga dapat diterapkan pada jenjang yang lebih tinggi dan terspesifikasi, seperti industri dan korporasi. Hal ini normal di negara-negara maju di mana banyak industri berasosiasi langsung dengan riset sains dan teknologi garda terdepan. Di Indonesia peran korporasi dan industri dalam pembelajaran STEAM sangat crucial dan perlu segera digalakkan karena menjadi jalan pintas dan strategis untuk memperkecil kesenjangan antara kualitas mayoritas populasi usia kerja sekarang dan kualitas yang diperlukan. Masyarakat yang terpekerjakan dengan layak akan cenderung berusaha terus mengembangkan diri. Tentu ini akan menguntungkan pekerja maupun industrinya. Dampak penting yang lebih luas adalah kecil
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
kemungkinannya masyarakat cerdas seperti ini untuk menghanyutkan diri dalam gelombang ide dan aksi irasional, karena mereka terokupasi dengan afiat dan memang memiliki perilaku dan kompetensi STEAM seperti yang disebutkan di atas. Kepentingan lain yang relevan dengan kondisi Indonesia: korporasi yang terus mengkinikan aspek STEAM dalam pekerjaannya, akan dapat menyerap tenaga kompeten yang disiapkan oleh pendidikan. UNESCO mengkhawatirkan dalam dua dekade ke depan laju peningkatan ekonomi negara berkembang dan laju modernisasi industri dan korporasinya masih lebih lambat daripada laju peningkatan kompetensi penduduknya (McNeely & Hahm, 2013). Akibatnya prosentase yang signifikan dari tenaga terdidik tadi akan beremigrasi karena tidak terserap di dalam negaranya sendiri yang justru sebetulnya membutuhkan mereka. Kita tahu ini sudah mulai terjadi. Saya juga ingin menghimbau kolega akademisi, sebagai mahaguru yang memberikan polesan terakhir pada anak-anak kita sebelum mereka terjun ke masyarakat, untuk keluar dari balik buku, dari balik laptop, untuk berperan lebih nyata dalam mendewasakan nalar masyarakat. Tentu selain STEAM tetap diperlukan konten pendidikan yang lain untuk melengkapi dimensi manusia seutuhnya. Bapak Menteri Agama meliput aspek dimensi spiritual. Yang ditawarkan oleh STEAM adalah kemampuan bernalar yang merupakan elemen fundamental yang universal dan dapat menjadi modal dasar bersama dalam berdialog dan membangun bangsa. Kemampuan untuk berdialog secara substansial dapat menjadi penghalang utama tumbuhnya unit komunal berjiwa negatif yang disebutkan terdahulu. Harus kita sambut dan kita kembangkan platform bersama di atas mana sekarang ini agama dan sains berdialog dan berkomitmen untuk mengembalikan kepercayaan bangsa kita pada nilai-nilai luhurnya (Haught, 2006 & Polkinghorn, 1998).
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
55
56
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Gagasan, seberapapun cemerlangnya, akan meluruh dan lapuk jika tidak ditindaklanjuti dengan pekerjaan di lapangan. Upaya strategis untuk menggerakkan dan menyinambungkan budaya bernalar ini adalah dengan menyiapkan guru. Saya berhutang budi pada banyak sahabat yang mendukung pekerjaan di ladang pendidikan ini. Dengan sejumlah individu dan institusi, utamanya alumni ITB angkatan 1983, telah tiga tahun ini direalisasi program penguatan dan pendampingan guru untuk memahami materi dan metode pembelajaran STEAM. Sementara sejak tahun 2007 relawan Universe Awareness Indonesia menggotong teleskop ke pelosok-pelosok tanah air untuk menginspirasi generasi muda tentang indahnya alam semesta yang membentangkan cakrawala mereka; menjelaskan keterkoneksian manusia dengan bintang secara fisika dan kimia sehingga terungkap asal muasal yang tunggal. Jangan kita lupakan common history kita yang panjang yang membuat kita semua bersaudara. Mengenal alam semesta membuka pintu untuk merestorasi harmoni. Kita telah tiba kembali di tempat kita berangkat. Saya akhiri dengan mengulangi: Manusia hanya punya sesamanya untuk saling bergantung, dan hanya punya Bumi untuk merumahinya. Untuk bertahan, kita sungguhsungguh perlu saling merawat, tidak ada cara lain. Umat manusia berhasil belajar menajamkan akalbudinya dan menghaluskan nuraninya selama puluhan ribu tahun; kita punya kredensial untuk bisa meneruskan tradisi welas asih itu dan tetap optimis. Terimakasih untuk menemani saya berkelana.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Referensi Chomsky, N. & Otero C.P. (2003), “Chomsky on Democracy and Education: Social Theory, Education, and Cultural Change”, Routledge, New York Diaconu, L.(2013),”The Role of Innovation in Economic Growth and Development of the States: The Case of Emerging Countries”, https://ideas.repec.org/p/ wiw/wiwrsa/ersa11p391.html di Gropelo, E., Krusse, A., & Tandon, P. (2011), “Skills for the Labor Market in Indonesia: Trends in Demands, Gaps, Supply, The World Bank, Washington D.C. Education Council of Australia, (2015), “National STEM School Education Strategy” Gardner, H.(2011), ”Truth, Beauty, and Goodness Reframed: Educating the Virtues in the Age of Truthiness and Twitter”, Basic Books, New York Gould, S. J. (2003), “The Hedgehog, the Fox, and The Magister’s Pox: Mending the Gap between Science and the Humanities”, Three River Press, New York Haught , J. F. (2006), “Is Nature Enough: Meaning and Truth in the Age of Science”, Cambridge University Press Haidt, J. (2013), “The Righteous Mind: Why Good People Are Divided By Politics and Religion”, Vintage Books, New York McNeely, C. L. & Hahm, J-O., (2012), “The Global Chase for Innovation:Is STEM Education the Catalyst?”, Global Studies Review Mooney, C. & Kirshenbaum, S. (2009), “Unscientific America”, Basic Books, New York Polkinghorne, J. (1998), “Beyond Science: The Wider Human Context”, Canto Edition, Cambridge Putnam, R. & Feldstein, L. M. (2003), “Better Together: Restoring the American Community”, Simon & Schuster, New York
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
57
58
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
PROFIL
PREMANA W. PREMADI Premana W. Premadi mengajar di Departemen Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung (ITB). Lahir di Surabaya, perempuan yang akrab dipanggil Nana ini lulus dari ITB tahun 1988 di bidang Astronomi, melanjutkan studi doktoralnya di University of Texas, Austin, AS, dan rampung pada 1996. Ia lantas menjadi staf pengajar di almaternya ITB dengan minat riset tentang galaksi dan kosmologi. Nana menjadi anggota beberapa asosiasi ilmuwan internasional, selain juga memimpin Bandung Society for Cosmology and Religion (BSCR), sebuah Metanexus yang mendukung inisiatif masyarakat lokal dan didanai oleh The John Templeton Foundation.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
59
60
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
ACARA SENI
TADEUSZ KANTOR: “DIE TOTE KLASSE”, 1975 (KOLEKSI PINAKOTHEK MUSEUM, MUNICH). FOTO: AFRIZAL MALNA.
THE DEAD CLASS (KUTU BUSUK & ANJING LAPAR) Instalasi Pertunjukan Kolabolasi Hanafi dan Lab Teater, berdasarkan The Dead Class karya Tadeusz Kantor “Die Tote Klasse –The Dead Class” (1975) adalah pertunjukan teater karya Tadeusz Kantor. Karya ini sudah dipentaskan lebih 1.500 kali dalam rentang waktu 1977— 1986 di seluruh dunia dan dilihat sebagai karya postdramatic awal dalam dunia teater. Karya ini berangkat dari gagasan “kita tidak bisa kembali ke masa lalu”. Sejumlah orang dalam pertunjukan ini, setelah mereka tua, rindu dan ingin kembali ke sekolah; masuk ke kelas anak-anak. Suasana yang tragik, sedih dan sunyi mewarnai keinginan yang mustahil ini. Pertunjukan memang dibayangi latar Nazi maupun kehancuran Eropa dalam Perang Dunia II. Salah satu artefak karya ini dikoleksi oleh Pinakothek Museum, Munich.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
Tadeusz Kantor adalah seorang seniman asal Polandia. Ia lulus dari Krakow Academy tahun 1939. Selama pendudukan Nazi di Polandia, ia mendirikan Independent Theatre, menjabat sebagai profesor di Akademi Seni di Krakow dan menjadi sutradara teater eksperimental di Krakow dari tahun 1942 ke 1944. Hanafi mengangkat kembali karya ini dan membawanya ke konteks lingkungan kita, yaitu ke masalah pendidikan. Berangkat dari silogisme: “Dunia pendidikan telah memberikan begitu banyak pengetahuan kepada kita, sebanyak yang tidak bisa diberikan kepada kita”. Hanafi berkolaborasi dengan Lab Teater (Holifah Wira, Washadi, Busyro Yusuf B, Novi), menggunakan bangkubangku SD Inpres era Orde Baru (koleksi Bustomy Kaldera). Menggunakan suara Sutan Takdir Alisjahbana dari pidato kebudayaan 47 tahun lalu, 1969, di Taman Ismail Marzuki. Suara STA dikutip sepanjang 3.37 menit tentang waktu, bahasa, perbedaan Abad 5 dan Abad Pertengahan, tentang kutu busuk dan anjing lapar.
KOLABORASI INSTALASI PERTUNJUKAN HANAFI. DOKUMENTASI DKJ. FOTO: EVA TOBING.
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
61
62
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
PERTUNJUKAN MUSIK
TOMORROW PEOPLE ENSEMBLE KUARTET yang terdiri dari Nikita Dompas (gitar), Indra Perkasa (contra bass), Adra Karim (Hammond/Organ) dan Elfa Zulham (drum) tergabung dalam TPE (Tomorrow People Ensemble). Kata “tomorrow“ menurut persepsi band ini adalah untuk selalu menatap ke depan tanpa mengabaikan masa lampau; sementara kata „ensemble“ berarti sekolompok musisi bernyanyi dan memain musik bersama. Pada 2004, setelah main musik di sana sini, situasi pun menjadi lebih serius, terutama setelah mereka menggelar konser mini di sebuah pusat kesenian dan berjam-session setiap Jumat. “Kami membiarkan segala jenis musik mampir di telinga sebagai inspirasi, tapi jelas sekali ada banyak elemen jazz di dalam musik kami (irama, harmoni, improvisasi), selain rock ‚n roll, blues, reggae, musik elektronik, Afro Cuban, musik-musik Afrika, musik klasik dan musik tradisional Indonesia. Satu hal, “... selama musik yang kami mainkan berkembang dan tetap terdengar segar di telinga, kami berharap akan tetap bersama“. SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
K E R A B AT K E R J A
PENANGGUNG JAWAB DEWAN KESENIAN JAKARTA 2015—2018
MANAJER PROGRAM ANA ROSDIANAHANGKA
STEERING COMMITTEE IRAWAN KARSENO DANTON SIHOMBING AINI SANI HUTASOIT HAFIZ RANCAJALE HELLY MINARTI HIKMAT DARMAWAN AFRIZAL MALNA ADINDA LUTHVIANTI PRIMA RUSDI
MANAJER UMUM SHERLEY BANOWATI MANAJER TASK FORCE ANITA DEWI PUSPITA HUTASUHUT MANAJER KEUANGAN TRI SUCI MEILAWATI HUMAS DITA KURNIA
PENYAJI PIDATO LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN PREMANA W. PREMADI
DESAINER GRAFIS RIOSADJA
PENGISI ACARA MUSIK TOMORROW PEOPLE ENSEMBLE
PELAKSANA PROGRAM LYDIA TRI ARYANI
SENI RUPA PERFORMATIF HANAFI, HOLIFAH WIRA, BUSYRO YUSUF BUSYRO, NOVIYANTI
MANAJER PANGGUNG DERAY
PENATA BUSANA AUGUSTE SOESASTRO
MULTIMEDIA EPHRAIM TAN, HAFIZ CAMAY, RIO TUPAI PERISET VISUAL BERTO TUKAN LIVE STREAMING CANGKIR KOPI DOKUMENTASI EVA TOBING JOEL TAHER REGISTRASI UNDANGAN FANNY OKTAVIANI, HELDA CHANIAGO PENGANTAR TAMU SUMINI, DILLYANI, RINI TASLAN, SHINTA MAULIDA, WINDA ANGGRIANI, TUTY, INDRA KURNIAWAN, ANGGARA SUBOWO, RIZALDY BAGGUS KEBERSIHAN JULIAN, SAIFUL, JAELANI, DEDY
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?
63
64
FORUM PIDATO KEBUDAYAAN 2016
TERIMA KASIH
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN DKI JAKARTA KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA AKADEMI JAKARTA SELURUH ANGGOTA DEWAN KESENIAN JAKARTA PERIODE 2015-18 STAF DEWAN KESENIAN JAKARTA PUSAT KESENIAN JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI KOALISI SENI INDONESIA CANGKIR KOPI AUGUST SOESASTRO AGATHA ASTARI SELURUH KERABAT YANG TELAH MEMBANTU TERSELENGGARANYA ACARA INI DAN TIDAK DAPAT DISEBUTKAN SATU PER SATU
DIDUKUNG OLEH
SETELAH POLEMIK KEBUDAYAAN: DI MANA, KE MANA INDONESIA?