1
Dewan Kesenian Jakarta Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Anggota Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan anggota DKJ dilakukan secara terbuka, melalui tim pemilihan yang terdiri Galeri Cipta II & III Taman Ismail Marzuki 25 Oktober – 13 November 2015 Penanggung Jawab | Steering Committee Komite Seni Rupa – Dewan Kesenian Jakarta Visual Arts Committee of Jakarta Arts Council
dari beberapa ahli dan pengamat seni yang dibentuk oleh AJ. Nama-nama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat maupun kelompok seni. Masa kepengurusan DKJ adalah tiga tahun. Kebijakan pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-masing
Penyunting | Editor Deasy Elsara Penulis | Writer Hafiz Rancajale, Irawan Karseno, Leonhard Bartolomeus, Martin Suryajaya Ilustrasi Sampul | Cover Ilustration Syaiful Ardianto
komite. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari dan Komite Teater. The Jakarta Arts Council The Jakarta Arts Council (Dewan Kesenian Jakarta – DKJ) is one of several organizations founded by
Desainer Grafis | Graphic Designer Riosadja Penerjemah | Translator Avin Kesuma, Gesyada Namora Penyelaras Bahasa | Proofreader Helly Minarti
Indonesian artists and had been officially stated by The Governor of Jakarta, Ali Sadikin, on June 17, 1969. The responsibility and the function of the The Jakarta Arts Council are to build partnership with the Governor of Jakarta, formulating policies for supporting the activities and development of the arts in the capital region. During the early stages, the members of The Jakarta Arts Council had been appointed by the Academy of Jakarta,
Foto & Video | Photo & Video Eva Tobing, Joel Thaher, M. Hasrul Indrabakti
consisting of intellectuals and people of the cultural and arts of Indonesia. As time progresses the selection process is conducted transparently through a team of
Komite Seni Rupa – Dewan Kesenian Jakarta Visual Arts Committee Of The Jakarta Arts Council Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya, No. 73 Jakarta 10330 T/F: +6221.31937639 www.dkj.or.id
art scholars and experts, both from within and outside the Academy of Jakarta. They receive the candidates from the public and respected arts groups, and their administration term will run for 3 years. The arts development policies will be carried out through annual programs from each committee, all prudently curate it internally. DKJ consists of 25 members and divided into 6 committees: Film, Music, Literature, Fine Arts, Dance and Drama.
2
DAF TAR I S I | CO NTE NTS
Sambutan Dewan Kesenian Jakarta
5.
Preface The Jakarta Arts Council
6.
Pengantar Komite Seni Rupa - Dewan Kesenian Jakarta Pameran Besar Pelukis yang Melukis
7.
Preface Visual Arts Committee - Jakarta Art Council The Great Painting Exhibition Which (Actually) Paint
8.
Catatan Kuratorial Rendering Regime: Tentang Pameran Besar Seni Lukis Jakarta
12.
Curatorial Statement Rendering Regime: Musing on The Great Jakarta Painting Exhibition
16.
Esai Lirisisme dan Anti-Lirisisme dalam Seni Lukis Kita
20.
Essay Lyricism and Anti-Lyricism in our Art of Paintings
28.
Biodata dan Karya | Bio and Artworks
36.
Kerabat Kerja | The Committees
98.
Terimakasih | Acknowledgments
99.
3
SAMBUTAN DEWAN KESENIAN JAKARTA
Interaksi berbagai kepentingan menjadikan Jakarta sebagai kota dunia, bahkan jauh sebelum Indonesia ada. Batavia kala itu menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, politik, ekonomi, kemasyarakatan, kebudayaan, dan kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Produk-produk akulturasi terasa jelas pada arsitektur, tari, musik, hingga kuliner, termasuk seni rupa. Adalah menarik jika meneliti lebih dalam tentang aktivitas seni rupa periode sebelum kemerdekaan. Pada era 1960-1970-an, seni lukis di Jakarta menguat dan semakin beragam bentuknya. Karya-karya yang lahir banyak merespon berbagai isu yang berkembang baik lokal maupun dunia. Salah satunya, Jakarta melahirkan pelukis-pelukis abstrak yang unik dan otentik seperti Nashar, Oesman Effendi, dan Zaini. Karyakarya pelukis Jakarta tersebut khas dan intuitif, berbeda dengan karya-karya pelukis Bandung, yang kala itu cenderung konstruktif, atau pelukis Yogyakarta yang cenderung dekoratif. Demikianlah seni lukis Jakarta yang terus bergerak dengan membuka diri dalam berbagai kecamuk yang terjadi, tapi tetap cerdik dan arif dalam menyikapinya. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merasa perlu untuk menyiapkan program yang mendukung para pelukis Jakarta, dengan strategi kuratorial dan kemasan yang lebih relevan untuk Jakarta saat ini. Maka, Komite Seni Rupa DKJ tahun ini merancang program Pameran Besar Seni Lukis Jakarta dengan mengambil tema Rendering Regime yang menjadi landasan para pelukis untuk menciptakan karya. Tema ini diangkat untuk membicarakan persoalan-persoalan sosial politik Indonesia yang sedang terjadi saat ini dari sudut pandang 30 pelukis Jakarta. Terima kasih khusus kami sampaikan kepada pelukis-pelukis yang berpartisipasi dalam pameran ini dan semua panitia yang terlibat mewujudkan pameran ini dengan apik. Irawan Karseno Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
4
PREFACE THE JAKARTA ARTS COUNCIL
There has been interaction of various interests to make Jakarta as a city of the world, even before Indonesia existed. Way back then, Batavia the former name of Jakarta under Dutch colonialism - already hailed as the center of commerce, government, politics, economics, society, culture, and the center of Dutch power in the East Indies. Products of acculturation were evident in the architecture, dance, music, culinary including the arts. It is always interesting to conduct a deeper research on the visual arts activity period before the Independence. In the 1960-1970’s, the painting scene in Jakarta became increasingly stronger and more diverse. The works produced responded to the growing issue both locally and globally. Jakarta gave birth to unique and authentic abstract painters such as Nashar, Oesman Effendi, and Zaini. The works of the Jakarta painters are distinctive and intuitive, in contrast with the works of the Bandung ones, which tend to be constructive, or Yogyakarta’s with their decorative stroke. Thus the Jakarta painters continue to move forward by opening themselves to various issues that took place, and yet they seem to remain smart and wise in reacting to them. The Jakarta Arts Council (JAC) feels the need to set up a program that supports the Jakarta-based painting artists, now armed with curatorial and packaging strategies more relevant to contmporary situation of the city. Thus, the Visual Arts Committee of JAC this year designed a program called The Great Jakarta Paintings Exhibition, with Rendering Regime as its theme, as some kind of platform for the artists to create their masterpieces. This theme is chosen as way to discuss current social issues of Indonesian politics from the perspective of 30 Jakarta painters. Our most sincere gratitude to these painters who participated in this exhibition and all those involved to make this exhibition running well and smoothly. Irawan Karseno Chairman The Jakarta Art Council 2013-2015
5
P E N GANTAR KOMITE SENI RUPA - DEWAN KESENIAN JAKARTA
PAM E R AN B E SAR PE LU KIS YAN G M E LU KIS Pada 18-31 Desember 1974, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta menggagas sebuah pameran besar seni lukis yang menjadi bagian dari Pesta Seni 1974: Pameran Besar Seni Lukis Indonesia I. Pameran ini menjadi cikal bakal Biennale Seni Lukis, yang kemudian menjadi Biennale Jakarta. Merujuk pada sejarah perkembangannya, kehadiran Pameran Besar Seni Lukis Indonesia tidak lepas dari kehadiran Dewan Kesenian Jakarta yang menjadi jantung aktivitas kesenian di Indonesia pada awal 1970-an. Peran para tokoh seni rupa pada masa itu, yang mencoba membaca persoalan ‘estetika keindonesiaan’ dalam seni lukis Indonesia, berujung pada perdebatan yang cukup panjang dan mendapat protes dari seniman-seniman muda. Pameran ini melahirkan gerakan Desember Hitam yang dipelopori oleh seniman muda dan D.A Peransi. Mereka memprotes pilihan ‘estetika keindonesiaan’ tersebut sebagai sesuatu yang dekaden, di mana para Juri dianggap tidak melihat perkembangan baru dalam seni lukis dunia. Peristiwa ini melahirkan berbagai gerakan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan seni rupa kita, antara lain Gerakan Seni Rupa Baru. Tentu Kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sekarang—khususnya, Komite Seni Rupa DKJ—tidak ingin meromantisir apa yang terjadi pada tahun 1970-an. Gagasan untuk menghadirkan kembali Pameran Besar Seni Lukis adalah sebuah keharusan, di mana seni lukis adalah salah satu ‘dasar’ untuk melihat perkembangan seni rupa kontemporer saat ini. Hampir 70 persen yang disebut sebagai perupa saat ini adalah para pelukis. Tidak bisa dipungkiri, bahwa seni lukis kita adalah yang paling berperan besar dalam perkembangan pasar seni di Asia Tenggara. Namun, yang masih terasa kurang adalah ‘pembacaan’ terhadap seni lukis itu sendiri. Seni lukis kita sekarang terjebak dalam pusaran pasar dan seakan-akan tidak bisa lepas dari dunia dagang tersebut. Perlu usaha yang lebih besar dari para pegiat seni lukis untuk mengembalikan kritisisme ke ranah seni lukis kita. Dari gambaran tersebut, Komite Seni Rupa DKJ menganggap kehadiran Pameran Besar Seni Lukis Jakarta menjadi sangat relevan dalam membaca seni lukis kita saat ini. DKJ
6
menunjuk Leonhard Bartolomeus, seorang kurator muda yang cukup punya perhatian terhadap perkembangan seni lukis tanah air, menjadi kurator pameran. Harapannya, agar posisi kurator dapat menjadi jembatan antargenerasi pelukis. Jarak antargenerasi yang mengalami perkembangan seni rupa modern Indonesia sebelum tahun Reformasi 1998 dan sekarang terasa sangat lebar. Generasi sekarang yang tidak mengalami ‘era heroik’ sebagai seorang pelukis atau seniman, tentu pendekatannya dalam ‘melukis’ sangat berbeda dengan generasi sebelumya. Generasi sekarang adalah generasi instan yang memiliki kemudahan akses informasi tentang berbagai ‘gaya’ melukis dari seluruh dunia, yang didapat berkat teknologi informasi. Sementara generasi sebelumnya seakan ‘berdarah-darah’ sekadar untuk mendapatkan informasi dan wawasan ‘melukis’. Sehingga bagi sebagian yang berhasil, menemukan estetika ‘melukis’ adalah sebuah capaian yang heroik. Dari situ kita dapat membaca jarak dua generasi ini dalam ranah seni lukis kita. Pelukis-pelukis sekarang tidak lagi membicarakan temuan-temuan estetika atau ekspresi individual, melainkan masuk ke wilayah isu yang bisa relevan dengan situasi zaman sekarang. Mereka bisa saja menggunakan teknik-teknik yang sangat standar, namun kaitannya dengan kompleksitas perkembangan sosial budaya saat ini menjadi tema-tema utama mereka. Untuk itu, menghadirkan pameran seni lukis dalam format sekarang adalah keniscayaan. Bagi Komite Seni Rupa DKJ, menghadirkan kegiatan ini diharapkan dapat menjadi platform baru dalam melihat perkembangan seni lukis kita. Ada ribuan pelukis di Indonesia yang aktif, sehingga diperlukan aktivitas berpameran yang bukan hanya memamerkan lukisan, tetapi juga memproduksi pengetahuan tentang persoalan seni lukis itu sendiri. Untuk itulah DKJ mengambil perannya dalam menginisiasi pameran yang berpihak kepada distribusi pengetahuan tentang perkembangan seni rupa Indonesia. Selamat berpameran, semoga pameran ini dapat menjadi kegiatan tahunan dan menjadi ruang bersama bagi para pelukis kita, peminat seni, dan masyarakat Indonesia. Salam, Hafiz Rancajale Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta 2013 – 2015
7
P R E FACE VISUAL ARTS COMMITTEE - JAKARTA ART COUNCIL
TH E G R E AT PAINTI N G E XH IB ITION WH ICH (AC TUALLY) PAINTS On December 18 to 31, 1974, the Visual Arts Committee of the Jakarta Arts Council initiated a major painting exhibition that became part of the Arts Festival 1974: The Great Indonesian Painting Exhibition I. This exhibition preceded the Painting Biennale, which later became The Jakarta Biennale. Referring to the history of its development, the presence of The Great Indonesian Painting Exhibition is inseparable to the Jakarta Arts Council’s presence at the heart of early 1970s artistic activities in Indonesia. The role of fine art is notable then, in their attempt to interpret the issue of ‘Indonesian aesthetics’ which, has resulted in a fairly long debate and protests from young artists. This exhibition gave birth to the Black December movement, spearheaded by young artists and DA Peransi, protesting the choice of ‘Indonesian aesthetics’ as something decadent, in which the jury were deemed unable to see new developments in the global painting art. This event gave birth to a variety of very important movements in the history of our fine art, including, the New Art Movement. Of course, the current curatorial members of the Jakarta Arts Council (JAC)-particularly the Visual Arts Committee - do not want to romanticize what happened in the 1970s. The idea to bring back The Great Indonesian Painting Exhibition is a must, because the art of painting is one of the ‘basis’ to see the development of contemporary art today. Nearly 70 % of artists nowadays are painters. It is undeniable, that paintings are most instrumental in the development of the art market in Southeast Asia. However, what is still sorely lacking is the ‘reading’ of the paintings itself. Our paintings are now trapped in the vortex of market and seem unable to escape it. There is a need to put a greater effort from the artists to return criticism to our realm of paintings. Judging from this perspective, JAC Visual Arts Committee considers the presence of The Great Jakarta Painting Exhibition extremely relevant in interpreting our art of paintings. JAC
8
pointed Leonhard Bartolomeus, a young curator who has enough attention to the development of Indonesia’s paintings, to be the curator of this exhibition. The hope is for the position of curator to serve a bridge between generations of painters. The gap between generation experiencing the development of modern art in Indonesia before the 1998 Reformation and the recent generation seems to be very wide. The present generation, who never had the experience of living in the ‘heroic era’ as painters or artists, would certainly have different approach in ‘painting’, which is very different from their predecessors. The present generation is the instant generation that has all the easy access to information about various painting ‘styles’ from around the world, obtained from information technology, while the previous generations had to fight tooth and nails simply to obtain the information and insight of the painting world, to the extent that discovering own ‘painting’ aesthetics was felt as a heroic achievement. From there, we can determine the distance of these two generations in our painting scene. Painters now no longer discuss the findings of individual aesthetic or expression, rather they to enter the territory of issues possibly relevant to current situations. They could use the techniques that are very standard, and linked it with the complexity of social and cultural development and choose them to be their major themes. Therefore, to present painting exhibition in the current format is a necessity. To JAC Visual Arts Committee, presenting this activity is expected to become a new platform in the development of our painting. There are thousands of active painters in Indonesia, so what the exhibitions needed are not only to aim at showcasing the paintings, but also to produce knowledge on the subject of the paintings itself. For that, JAC took the liberty of initiating the exhibition in favor of the distribution of knowledge about the development of Indonesian fine art. I wish you all a happy exhibition. It is my true hope that this exhibition can become an annual event and serves as a shared space for our artists, art enthusiasts, as well as the peoples of Indonesia. Regards, Hafiz Rancajale Chairman Visual Arts Committee Jakarta Arts Council 2013 - 2015
9
IMAGE
10
IMAGE
11
C ATATAN K U R ATO R IAL
RE N DE RING REG IM E TE NTAN G PAM E R AN B E SAR S E N I LU K I S JAK AR TA
LEO N HAR D BARTO LO M E U S
12
S
eni rupa Indonesia dibangun di atas kanvas dan kertas. Atau setidaknya, melalui medium lukisanlah kita pertama kali mengenal dan membangun gagasan artistik yang kemudian berkembang hingga saat ini. Sebagai sebuah media artistik, pada awalnya lukisan tidak hanya bersifat sebagai alat ekspresi, namun juga sebagai alat komunikasi dan dokumentasi. Sifat-sifat ini lahir dari kenyataan bahwa seni lukis seringkali menjadi media propaganda populer yang dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah politik. Manusia adalah makhluk politik. Hampir setiap tindak tanduknya menjadi pernyataan politis untuk menyatakan kecenderungan atau keberpihakannya pada sebuah hal. Seniman juga tidak lepas dari pengaruh ini. Meskipun ada juga kecenderungan (secara visual) untuk meninggalkan unsur-unsur politis, misalnya seperti karyakarya abstrak pada awal Orde Baru. Namun, hal ini tidak serta merta membuat seniman terlepas dari pengaruh politik. Pilihan-pilihan sikap ini kemudian membawanya kepada tiga kemungkinan: (a) karya yang terang-terangan hadir dengan membawa pesan sikap politik yang lugas, (b) karya yang menolak terlibat dalam politik dan fokus pada hal teknis dan estetis, dan (c) karya yang bermain di antaranya— menghadirkan pesan politik secara subtil. Kedekatan karya seni (lukis) dengan konteks sosial politik memang tak dapat dipungkiri. Perkembangan kebudayaan kita hampir selalu didahului oleh polemik dalam konteks yang lebih luas. Sepanjang sejarah perkembangan seni lukis di Jakarta, kita
13
dapat berkeyakinan bahwa motif-motif politik, dalam berbagai bentuknya, menjadi salah satu penggerak utama seniman berkarya. Salah satunya adalah kemunculan PERSAGI yang dimotori oleh Sudjojono yang kemudian memberikan arah baru bagi seni lukis di Indonesia dengan mendorong munculnya pemahaman ‘jiwa kethok ’. Sudjojono melontarkan pernyataan keras untuk menolak golongan pelukis Mooi Indie yang dianggapnya hanya menuruti kehendak kaum turis1. Setelahnya, dunia seni rupa (baca: lukis) kembali bergolak dengan lahirnya polemik kebudayan antara seniman-seniman Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan seniman Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Polemik itu kemudian berakhir menyusul adanya pemberangusan elemen-elemen Partai Komunis Indonesia dan mengakibatkan beberapa pelukis2 yang terlibat dalam Lekra dibatasi haknya, bahkan dihilangkan paksa. Memasuki tahun 1970, perkembangan seni lukis di Jakarta kembali siginifikan, terlihat dari menguatnya gejala abstraksi dan gaya dekoratif. Hal ini ditandai oleh kemunculan Taman Ismail Marzuki beserta pembentukan Dewan Kesenian Jakarta. Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan para seniman kala itu dan membantu menumbuhkan kegiatan seni dan budaya di Jakarta. Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974 menjadi salah satu pijakan yang berpengaruh hingga kini pada dunia seni rupa Indonesia. Pameran tersebut turut mendorong munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, serta menjadi cikal bakal Jakarta Biennale. Selain itu, muncul pula berbagai diskusi yang memberi kontribusi pada pemikiran tentang praktik melukis yang dilakukan oleh nama-nama besar, sebut saja Oesman Effendi, Trisno Sumardjo, Dr. Sudjoko, dsb. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan saja terasa menggairahkan secara intelektual, namun juga menciptakan suasana berkarya yang kompetitif dan menjadikan Jakarta sebagai kota yang berpengaruh pada perkembangan seni dan budaya Indonesia kala itu. Namun, menjelang akhir 1990-an, hampir bisa dikatakan tidak ada perkembangan gagasan yang secara signifikan mempengaruhi seni lukis di Jakarta. Boom seni lukis yang terjadi selama beberapa periode sebelumnya hanya berpengaruh pada pasar tapi tidak pada produksi pengetahuan. Usaha-usaha produksi pengetahuan lewat diskusi, simposium, hingga bincang seniman di ruang pameran dan galeri tampak tak membuahkan hasil. Ada beberapa hal yang mengemuka akibat munculnya persoalan ini. Pertama, hilangnya aliran distribusi informasi dan pengetahuan kepada publik. Kedua, bila membicarakan seni lukis di Jakarta, tentu saja harus menyertakan lingkaran lain yang berada dalam struktur, seperti komunitaskomunitas pelukis di Pasar Seni Ancol, Pasar Baru, atau kelompok-kelompok yang belum terpetakan lainnya. Ketiga, kualitas pameran yang dilakukan sebagai cara untuk membaca perkembangan pelukis di Jakarta. Pada sisi lain, ada hal-hal yang belum dibicarakan sebagai bagian dari perkembangan seni lukis di masa kini. Misalnya, di mana posisi seni lukis dalam konteks seni rupa kontemporer yang berkembang di Jakarta saat ini? Sejauh mana gagasan yang diusung? Bagaimana kita membaca perkembangan seni lukis di Jakarta? Kemudian seperti apa relasi kolektor, kurator, kritikus, serta pelukis dalam konstelasi seni lukis di Jakarta? *** Persoalan mengenai sikap dan pernyataan politis inilah yang akan dibicarakan dalam pameran Rendering Regime. Meluasnya praktik seni (rupa) kontemporer saat ini turut membawa warisan pilihan sikap tersebut. Perkembangan teknologi dan kehadiran media baru seperti video, 1 ) S. Sudjojono, “Kesenian Melukis di Indonesia”, Majalah Keboedajaan dan Masjarakat, Oktober 1939, dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi (ed), Seni Rupa Indonesia dalam Esai dan Kritik, Cetakan Pertama, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 2012, hlm. 22 2 ) Termasuk juga di dalamnya beberapa komposer, penari, pemain teater, ludruk, sastrawan, serta sutradara.
14
internet, dan media sosial juga ikut mempengaruhi apa yang kita tangkap sebagai “karya seni” saat ini. Pameran ini berupaya untuk membaca pola kerja artistik pelukis sebagai sebuah pernyataan sikap—politis maupun apolitis dan mengkaji isu yang terkait dengan masalah sosial politik di Jakarta. Rendering Regime hadir sebagai tema untuk merangkum pembacaan atas karya-karya yang hadir sebagai cerminan sikap dan pernyataan politis seniman terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Pada satu sisi, ia dapat menjelaskan upaya “rendering” atau penciptaan visual, gagasan artistik, dan struktur yang dilakukan oleh seniman. Sedangkan istilah “regime” dapat dibaca sebagai aturan, sistem, atau kondisi yang muncul dalam proses penciptaan. Dari sudut pandang sosial politik, secara umum istilah ini mencoba untuk menggambarkan hubungan mental pemerintah, media, dan masyarakat saat ini. Misalnya upaya untuk menampilkan citra diri yang baik lewat media, membungkus berbagai macam persoalan dengan cerita yang lain, serta soal kekuasaan dan aturan yang semakin sulit dipahami. Dalam Rendering Regime, setiap seniman diberi ruang gerak yang luas untuk masuk ke dalam sudut pandang yang paling dekat dengan praktik mereka, sekaligus membuka kesempatan untuk melakukan eksplorasi atas tema-tema sosial yang lebih luas. Pertanyaanpertanyaan seperti “Bagaimana seniman menjelaskan pilihan artistiknya dan sejauh mana medium lukis dapat membicarakan persoalan-persoalan sosial politik?” serta “Bagaimana seniman melihat dan menempatkan seni lukis sebagai medium dalam perkembangan seni rupa kontemporer?” diharapkan dapat terjawab di pameran ini.
LEONHARD BARTOLOMEUS lahir di Depok tahun 1987. Ia lulusan Seni Keramik di Institut Kesenian Jakarta tahun 2012. Pada tahun yang sama, Barto mengikuti Lokakarya Penulisan Kritik Seni Rupa di ruangrupa. Sejak itu, ia mulai terlibat di berbagai proyek ruangrupa. Ia juga sempat bergabung sebagai salah satu editor KarbonJournal.net. Sembari mengasah kemampuan menulisnya, ia juga bekerja sebagai koordinator artistik di PAMFLET GENERASI, sebuah organisasi pemberdayaan anak muda. Sebagai seorang peneliti, Barto memiliki hasrat mengeksplorasi isu-isu mengenai budaya urban dan hubungannya dengan praktik seni. Pada 2013, ia meluncurkan buku pertamanya tentang persoalan baliho di ruang publik Jakarta bersama para penulis Karbon Journal lainnya. Pada 2014, ia diundang untuk berpartisipasi dalam program residensi di Hiroshima Museum of Contemporary Art. Sejak 2015 ia ditunjuk sebagai kurator tetap untuk RURU Gallery.
15
CU R ATO R IAL STATE M E NT
RE N DE RING REG IM E M U S I N G O N TH E G R E AT JAK AR TA PAI NTI N G E XH I B ITIO N LEO N HAR D BARTO LO M E U S
16
I
ndonesian fine art is built on canvas and paper. Or at least, it was through the medium of painting that we first recognize and build artistic ideas which later evolve to its current situation. As an artistic medium, initially, painting was not merely acting as means of expression, but also as means of communication and documentation. These properties were born from the fact that painting often becomes a popular propaganda medium influenced by many factors, one of which is political. Humans are political beings, whose act can produce a political statement, in forms of a tendency to express support or of taking stance. Artist is also not free from this influence. Indeed, there is also a tendency to (visually) abandon the political elements, such as in the abstract works emerged in the beginning of Orde Baru (the New Order). However, this does not necessarily make the artists free from political influences. The choice of this attitude then leads the artists to three possibilities: (a) for them to create works with a straight political message, (b) creating works which refuse to get involved in politics and focus on the technical and aesthetic instead, and (c) works which played in grey areas and resulted in carrying a subtle political message. The affinity of paintings and socio-political context is undeniable. The development of our culture is almost always preceded by a debate in wider context. Throughout the history of painting development in Jakarta, we can be sure that political motives, in its various forms, have become one of the main drives of artists’ work. Among other was the establishment of PERSAGI (Association of Indonesian Draftsman) led by Sudjojono which
17
then provided a new art direction by encouraging the emergence of understanding ‘jiwa kethok’ (Javanese for visible soul). Sudjojono made harsh remarks to challenge the Mooi Indie painters who he deemed only indulging the desires of tourist1. Afterwards, the national painting world was thrown back to the turbulent birth of a cultural polemic between artists of the (leftwinged) Institute of People’s Arts (LEKRA) vis-a-vis artists of the (liberal) Cultural Manifesto (Manikebu) collective. The polemic then ended following a suppression to the elements of the Indonesian Communist Party which led to some LEKRA painters2 were given restricted rights, even forcibly made to disappear. Entering the 1970s, the development of paintings in Jakarta became increasingly significant, as seen from the strengthening of abstract and decorative styles. It was characterized by the emergence of Taman Ismail Marzuki (Jakarta Arts Centre) along with the establishment of the Jakarta Arts Council (DKJ). The establishment of these institutions was expected to accommodate the needs of the artists and to help foster artistic and cultural activities in Jakarta. The Great Indonesia Paintings Exhibition in 1974 became one of the influential stepping grounds on the Indonesian world of fine arts, to this day. The exhibition has also contributed to the emergence of Indonesian New Art Movement (GSRB), as well as it being the forerunner of the Jakarta Biennale. In addition, there were also various discussions that contributed to the thoughts about the practices of big name artists, such as Oesman Effendi, Trisno Sumardjo, Dr. Sudjoko, etc. Such activities were not only intellectually exciting, but also created a competitive work atmosphere and had made Jakarta to be the city that is influential in the development of Indonesia’s art and culture at that time. However, towards the end of the 1990s, there was virtually no development of ideas that significantly affecting painting in Jakarta. The painting boom occurred during several period before only impacted the market but not the production of knowledge. Efforts in production of knowledge through discussions, symposia, to artists talks in exhibition halls as well as galleries seemed fruitless. There were some issues surfaced out of this problem. First, the loss of the flow of information and knowledge distribution to the public. Secondly, when addressing paintings in Jakarta, of course, one must include another circle which is within the structure, such as various communities of painters in Pasar Seni Ancol, Pasar Baru, or other uncharted groups. Third, the quality of the exhibits, done as a way to assess the development of artists in Jakarta. On the other hand, there are things that have not been discussed as part of the development of current paintings. For example, where is the position of paintings in the context of contemporary art flourished in Jakarta today? To what extent the notion is promoted? How do we assess the development of paintings in Jakarta? And what kind of relationship do the collectors, curators, critics, and artists have in regards to the constellation of paintings in Jakarta? *** The question of political attitude and statement is what will be addressed in the Rendering Regime exhibition. The widespread practice of current contemporary (fine) art helped bring the choice of such attitude. Developments in technology and the presence of new media such as video, internet, and social media also affects what we perceive as a “work of art” nowadays. This exhibition attempts to assess a pattern of a painter’s artistic work as a statement of political and 1) S. Sudjojono, “Art of Paintings in Indonesia”, People and Culture Magazine, October 1939, in Bambang Bujono and Wicaksono Adi (ed), Indonesian Fine Arts in Essay and Critics, First Edition, The Jakarta Arts Council, Jakarta, 2012, page. 22 2) Including also some composers, dancers, actors, ludruk actors, poets as well as movie directors.
18
apolitical attitudes as well as examining issues related to socio-political matters in Jakarta. Rendering Regime is presented as a theme to summarize the reading of the works existing as a reflection of the attitude of an artist as well as his political statement about the condition of their social environment. On one hand, they can explain the efforts of “rendering” or of the creation of visual, artistic ideas, and structures made by the artist. On the other hand, the term “regime” can be perceived as a rule, system, or condition arising in the creation process. From the political science standpoint, this term is generally trying to describe the mental relationship of government, media and society today. For example, attempts to show one’s positive self-image through the media that in consequence function to mask a wide variety of problems by covering it with another story; as well as regarding power and regulations that become increasingly difficult to comprehend. In Rendering Regime, each artist was given a broad space to enter into the closest viewpoint to their practices, as well as opening up the opportunity to explore broader social themes. Questions like “how do artists explain his/her artistic choice and to what extent the medium of painting can address socio-political issues?” including “how do artists see and put the painting as a medium in the development of contemporary art?” This exhibition is expected to be able to provide answers to these questions.
LEONHARD BARTOLOMEUS, born 1987 in Depok, West Java, Indonesia. He graduated from Jakarta Institute of Arts in 2012 majoring in Ceramic Craft. In the same year, he joined ruangrupa’s art critique writing workshop, and then began to involved in various projects with them. Not long after, he joined as one of the editors of KarbonJournal.net. While working and honing his writing skill, he also works as artistic coordinator for PAMFLET GENERASI, an organization of youth empowerment. As a researcher, he has passion to explore issues around urban culture and its relation to art practice. In 2013, he published his first book on billboard problem in Jakarta alongside with other writers at Karbon Journal. In 2014, he was invited to participate join in Hiroshima Museum of Contemporary Art Curator in Residency Program. Since 2015, he has been appointed as curator for RURU Gallery.
19
E SAI
LIRISISM E DAN ANTI LIRISISM E DAL AM SE NI LU KIS KITA MARTI N S U RYA JAYA
20
D
alam pewacanaan seputar sejarah seni lukis di Indonesia, suatu tema yang kerap mengedepan adalah persoalan liris isme dan anti-lirisisme. Lazimnya kategori-kategori itu diterapkan untuk membaca riwayat seni lukis pasca-ekspresionisme era 1940-1950-an (atau angkatan sesudah Sudjojono). Lukisan-lukisan abstrak dan dekoratif sejak era 1950-an sering dipandang sebagai pangkal tradisi liris dalam estetika seni lukis kita, sementara karyakarya instalasi dan performance yang dipelopori oleh Gerakan Seni Rupa Baru biasa dipandang membawa semangat anti-liris. Kemudian kecenderungan ‘kembali ke lukisan’ yang semarak di Eropa era 1980an kembali mendorong hidupnya lirisisme dengan kosarupa baru (yang, misalnya, tak lagi terpaku pada ragam hias tradisional seperti dalam lukisan dekoratif) sampai hari ini. Sebaliknya, dari arah yang berlawanan, tradisi anti-liririsme juga terus berkembang dalam praktik seni post-avant-garde yang lebih menekankan dimensi intervensi atas kenyataan secara partisipatoris (misalnya dalam mu ral-mural jalanan, street art, dan praktik seni berbasis komunitas). Lirisisme dan anti-lirisisme agaknya menjadi dua kutub yang saling bertolak dan dengan itu membentuk sejarah seni lukis kita. Merefleksikan sejarah seni rupa Indonesia, Agus Burhan bahkan mencatat: “Manifestasi yang lebih konkret dalam seni rupa Indonesia adalah dorongan terjadinya tren pada penerimaan, penolakan, dan percampuran dari polarisasi pandangan dan sikap lirisisme dan non-lirisisme” (Burhan 2014a: 31). Namun sebuah persoalan segera mencuat: lirisisme (berikut juga anti-lirisisme) bukanlah kategori yang sepenuhnya jelas dan transparan.
21
Kategori itu digunakan untuk secara longgar menandai beragam karya yang masing-masing punya gaya lukis yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita perlu menjernihkannya dengan memeriksa pengandaian estetiknya.
KERAGAMAN PENGERTIAN LIRISISME DALAM WACANA SENI LUKIS KITA Dari sejumlah wacana yang beredar tentang lirisisme dalam seni lukis Indonesia, kita dapat mengidentifikasi setidaknya tiga pengertian yang, kendati mungkin beririsan, tidak sepenuhnya sama:
Lirisisme sebagai Ekspresivisme Sanento Yuliman adalah kritikus seni pertama yang mengangkat wacana seputar lirisisme dalam sejarah seni lukis kita. Dalam karya klasiknya tentang sejarah seni lukis Indonesia yang terbit pada paruh kedua dekade 1970-an, Sanento Yuliman mengidentifikasi adanya suatu kecenderungan estetis seni lukis Indonesia yang ia sebut sebagai ‘lirisisme’. Dalam sensibilitas lirik ini, lukisan dihadirkan sebagai “bidang ekspresif, tempat seorang pelukis seakan-akan ‘memproyeksikan’ emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya. Bidang lukisan itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri” (Yuliman 1976: 40). Dengan cara itulah, Sanento secara tak langsung mengasosiasikan lirisisme dengan suatu paham estetika yang lazim dikenal sebagai ekspresivisme. Ekspresivisme (bedakan dari gaya lukis ekspresionisme) merupakan suatu keyakinan estetik yang memandang karya seni sebagai pengejawantahan dari se mesta imajinasi sang seniman. Pemikir estetika seperti Benedetto Croce dan R.G. Collingwood adalah para perumus paham tersebut. Dalam kerangka estetika ini, lukisan sama sekali bukan gambaran atas kenyataan, melainkan rekaman atas proses imajinasi sang pelukis. Kata kuncinya adalah ‘perasaan’. Suatu citraan menjadi artistik bukan karena gambaran kenyataan atau gagasan rasional yang terkandung di dalamnya, melainkan karena perasaan yang dihantarkannya. Karena itu, Croce percaya bahwa seluruh karya seni yang sungguh-sungguh sejatinya berjiwa liris (Croce 1921: 32). Gagasan semacam ini berpangkal pada praktik seni zaman Romantik yang menempatkan sosok seniman sebagai seorang pencipta yang berkarya atas dasar subjektivitasnya yang unik. Oleh karena itu, sebagai ekspresivisme, lirisisme dapat ditempatkan pada tradisi besar estetika yang dimulai sejak era Romantik.
Lirisisme sebagai Penolakan atas Estetika Kerakyatan Sementara itu, Agus Burhan mengaitkan lirisisme dengan perlawanan terhadap paham estetika kerakyatan: “Ungkapan ekspresi individual sebagai suatu harkat kebebasan yang bernilai universal semakin tumbuh sebagai antitesis terhadap paham kerakyatan yang semakin bersifat politis. Secara garis besar, ekspresi individual itu bisa disebut lirisisme yang memunculkan sifat intuitif, imajinatif, dekoratif, abstraksi, dan non-formal improvisatoris. Kecenderungan ini akan menguat pada masa Orde Baru, atau pada saat melemahnya paham kerakyatan yang revolusioner” (Burhan 2004: 28). Ciri psikologistik dan individualistik yang kerap ditampilkan lukisan-lukisan bersemangat liris memang dapat memicu penafsiran bahwa karya-karya itu merupakan penolakan tak langsung atas estetika kerakyatan. Dalam komposisi abstrak Sadali, atau dalam kaligrafi Pirous, memang seperti mengetengahkan sikap diam terhadap politik atau tetek-bengek kemasyarakatan. Akan tetapi, agaknya keengganan untuk membuat lukisan bertema politik
22
lebih merupakan akibat tidak langsung dari sikap liris yang dikedepankan oleh sang perupa. Seorang perupa bersemangat liris tidak niscaya diam atas perkara sosial-politik; bisa saja perkara itu dimunculkan dalam karyanya melalui simbolisme dan alegori yang tetap bisa dinikmati secara psikologis dan sangat pribadi. Contohnya adalah karya Pirous, Mentari Setelah September 1965 (1968), yang menggambarkan situasi batin Indonesia pasca-65 dalam idiom lukis abstrak non-figuratif. Dengan demikian, lirisisme tidak anti terhadap tema-tema sosialpolitik dalam lukisan; lirisisme hanya anti terhadap estetika kerakyatan kiri seperti realisme sosialis Lekra.
Lirisisme sebagai Pengejawantahan Humanisme Universal Ada juga yang menghubungkan lirisisme dalam seni lukis dengan keyakinan estetik para penandatangan Manifes Kebudayaan, yakni keyakinan ‘humanisme universal’. Ini tampak, antara lain, dalam pembabakan sejarah seni rupa dalam katalog koleksi Galeri Nasional Indonesia. Di situ berbagai pelukis mulai dari Trisno Sumardjo sampai Hanafi—dengan rentang waktu karya antara tahun 1959 sampai dengan 2006—dikelompokkan menjadi satu di bawah kategori “Periode Lirisisme Humanis Universal”. Dengan begitu, beragam gaya lukis dipandang dapat dikelompokkan ke dalam sensibilitas liris: mulai dari dekorativisme (Widayat), primitivisme (Abbas Alibasyah), surealisme (Amang Rahman Jubair), abstraksionisme (Popo Iskandar), abstrakisme (Hanafi), kubisme (Fadjar Sidik), abstrak-ekspresionisme (Aming Prayitno), bahkan realisme (Chusin Setiadikara). Asosiasi antara lirisisme dan humanisme universal mengemuka dalam asal-usul tradisi liris itu sendiri. Banyak pendukung dan penandatangan Manifes Kebudayaan yang menyerukan humanisme universal berasal dari para pelopor semangat liris dalam seni lukis, misalnya Zaini, Pirous, Trisno Sumardjo, dan Nashar. Mereka jengah dengan kecenderungan para pelukis Jogja pada era 1960-an yang gemar mengkritik lukisan-lukisan yang apolitis. Asosiasi lirisisme dengan humanisme universal juga tampak dalam pilihan pokok ihwal lukisan. Tema-tema yang dipandang sebagai fenomena universal manusia yang lintas-kelas dan mengatasi sekat-sekat sosio-historis sering muncul dalam lukisan-lukisan liris, seperti kefanaan dan masa tua (Amang Rahman Jubair), sufisme (Danarto), hubungan individu dan Tuhannya (Pirous), dan harmoni antara manusia dan alam (Widayat).
MENCARI AKAR LIRISISME LOKAL: ROMANTISISME MOOI INDIE Apabila pengertian lirisisme ternyata begitu longgar, adakah benang merah yang mempersatukannya? Benang merahnya adalah kecenderungan umum untuk menempatkan karya seni (dalam hal ini lukisan) sebagai hasil kontemplasi subjektif sang seniman atas keindahan. Kecenderungan ini ditentang keras oleh perupa yang lebih senior seperti Sudjojono. Sebagai pelukis yang aktif pada masa-masa revolusi fisik dan bergeloranya estetika kerakyatan, Sudjojono mengerdilkan jenis lukisan yang mengagung-agungkan keindahan bentuk—sesuatu yang disebutnya ‘kebagusan’. Ia sendiri lebih mengutamakan paradigma keindahan yang lebih menyejarah dan kontekstual, yakni keindahan yang dapat menangkap jiwa kenyataan sekalipun hal itu tampil dalam wujud yang secara visual ‘buruk’ (contoh yang ia berikan, misalnya, keindahan kaleng minyak tanah). Posisi estetiknya ia perlawankan dengan pandangan estetik Mooi Indie (Hindia Elok). Di situlah kita mesti mencari akar dari tradisi liris dalam sejarah seni lukis Indonesia modern. Seni lukis Mooi Indie adalah beragam gaya lukis yang berkembang di Hindia Belanda antara 1900-an sampai 1940-an, mulai dari naturalisme (Carel Dake), dekorativisme (Walter Spies), sampai impresionisme (Isaäc Israël). Ada tiga fase penggunaan istilah tersebut sekaligus
23
pergeseran maknanya (Burhan 2014b: 35). Mula-mula, istilah Mooi Indie dipakai dalam ranah kesusastraan Belanda untuk merujuk pada sekumpulan puisi yang berbicara tentang keindahan Hindia Belanda (pada dekade 1910-an). Kemudian, istilah itu dipakai sebagai judul katalog pameran di Amsterdam, 1930, yang memuat sebelas lukisan cat air Du Chattel tentang kehidupan pedesaan yang permai di Hindia Belanda. Terakhir, istilah itu direbut Sudjojono dan dijungkirkan maknanya untuk menyebut segala bentuk lukisan yang dibuat dengan idealisasi romantik atas keindahan Hindia Belanda sekaligus mengesampingkan wajah Nusantara yang sebenarnya, yakni sebagai bangsa jajahan Belanda. Dalam pengertian Sudjojono, istilah Mooi Indie digunakan sebagai piranti kritik pasca-kolonial atas warisan kultural penjajahan dalam tradisi lukis Indonesia modern. Akar kultural dari lukisan-lukisan Mooi Indie adalah romantisisme Eropa yang menciutkan Timur menjadi sekadar alegori dari keindahan visual. Wawasan tentang keindahannya pun begitu sempit: keelokan untuk dipandang. Inilah yang dikritik Sudjojono sebagai seni lukis yang mengejar ‘kebagusan’ saja. Apa yang ditampilkan oleh karya-karya itu adalah suatu turisme visual: berbagai impresi yang menyenangkan menatap perpaduan warna yang serasi, objekobjek yang membikin hati damai, singkatnya lukisan sebagai wahana relaksasi dan rekreasi para pelancong. Apabila kita menghapus aspek representasional dari lukisan-lukisan Mooi Indie, hasilnya adalah lukisan-lukisan liris modern. Keduanya punya asumsi dasar yang serupa: keindahan formal yang bertopang pada permenungan subjektif sang pelukis. Keduanya punya akar tradisi yang sama, yakni tradisi romantik Eropa yang membuahkan estetika ekspresivisme.
ANTI-LIRISISME SEBAGAI GERAK KEMBALI KE KARYA SENI SEBAGAI BENDA Salah satu perlawanan paling terarsipkan atas semangat liris dalam seni lukis kita datang dari Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Kejengahan terhadap kecenderungan lukisan Indonesia modern yang apolitis dan cenderung mengambil tema-tema pribadi dan subjektif tercermin dalam artikel Jim Supangkat, Lima Jurus Gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru. Sanento Yuliman menulis GSRB merupakan “langkah awal menjauhi subjektivisme dan individualisme, gerak permulaan menyimpang dari laku seni rupa yang berorientasi kepada pencipta” (Yuliman 2012: 333). Penolakan GSRB terhadap pakem lirisisme juga kerap muncul dalam lontaran-lontaran para pegiatnya. F.X. Harsono, salah seorang eksponen gerakan, menyatakan: “Karya-karya para pelukis muda yang dipamerkan tidak lagi mengikuti cara dan teknik melukis dari para guru dan senior mereka. Penciptaan seni menolak lirisisme, kedalaman (deepness), ketunggalan, penciptaan yang dilakukan oleh tangan seniman. Seluruh proses penciptaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai estetis yang menempatkan seniman sebagai individu yang otonom. Semua nilai-nilai itu ditolak dengan menghadirkan karya-karya yang tidak lagi bisa diidentifikasi sebagai praktik penciptaan yang tidak lagi merepresentasikan aura si seniman, karena orisinalitas, ketunggalan dan keunikan dari jiwa seniman yang terpancar tidak lagi dianggap sebagai suatu yang penting. [...] Lirisisme menyaring dan mentransformasikan pengalaman serta emosi ke dalam dunia imajiner, maka dalam nonlirisisme seniman seakan-akan menghindari penyaringan dan transformasi. Bukan gambaran benda-benda yang diperlihatkan, melainkan benda-benda itu sendiri disuguhkan. Bukan rasa jijik yang ditampilkan dalam lukisan, tetapi rasa jijik yang ditampilkan karena hadirnya benda yang sesungguhnya. Karya seni bukan lagi sepotong
24
dunia imajiner yang direnungi dari suatu jarak, melainkan obyek konkret yang melibatkan penanggap secara fisik.”1 Di situ tampak bahwa penolakan atas lirisisme adalah sekaligus juga penolakan atas ciri kontemplatif praktik seni yang “menempatkan seniman sebagai individu yang otonom” lengkap dengan “orisinalitas, ketunggalan, dan keunikan dari jiwa seniman”. Melalui pernyataan itu terlihat juga bagaimana anti-lirisisme dimengerti sebagai gerak kembali ke karya seni sebagai benda, bukan lagi representasi atau alegori atas kehidupan batin-privat sang seniman. Apabila dalam tradisi liris, karya seni diposisikan sebagai wahana pencurahan kegalauan batin sang seniman, dalam tradisi anti-liris, karya seni ditempatkan sebagai benda yang secara langsung melibatkan para pemirsanya sebagai pencipta karya itu sendiri (setidaknya lewat pemaknaan dan penafsiran). Jadi, di sini kita bisa jumpai pergeseran dari karya seni sebagai representasi kesan subjektif atas kenyataan menuju karya seni sebagai presentasi langsung kenyataan yang dialami bersama oleh seniman dan pemirsa. Dengan kata lain, suatu pergeseran dari karya seni sebagai gambaran tentang kenyataan ke karya seni sebagai benda, sebagai bagian dari kenyataan itu sendiri. Inilah yang menjelaskan pergeseran dari seni lukis ke instalasi, performance, happening, dan beragam praktik seni lain sejak GSRB.
PENUTUP: LIRISISME DAN ANTI-LIRISISME BARU Akibat dominasi lirisisme dalam seni lukis, perlahan-lahan anti-lirisisme pun kian dimengerti sebagai praktik seni yang meninggalkan seni lukis. Namun dikotominya sebetulnya tidak sekaku itu. Betul bahwa nyaris seluruh praktik seni berbasis komunitas (yang meninggalkan ranah seni lukis) bergerak pada aras anti-lirisisme. Akan tetapi, kecenderungan liris dalam karya non-lukisan juga lazim kita temukan dewasa ini. Karya-karya instalasi garapan Bunga Jeruk dan Putu Sutawijaya, misalnya, kerapkali membawa semangat liris dan berbicara tentang semesta yang sangat subjektif. Dengan begitu, lirisisme pasca-GSRB sebetulnya tidak terbatas pada wahana lukisan. Hendro Wiyanto, misalnya, menulis: “Pengalaman akan sesuatu yang liris mungkin saja dapat hadir melalui kehadiran obyek-obyek nyata sejauh orang dapat memandangnya bahwa ruang dan benda-benda itu telah hadir melalui serangkaian kepekaan para seniman. Pengalaman semacam itu agaknya bukan lagi suatu penyerapan obyek yang berakhir pada dunia subyektif para seniman, namun dunia para seniman itu tak lebih hanyalah sebuah medium yang mengantarkan para penonton kepada pengalaman baru akan ruang dan kehadiran benda-benda” (Wiyanto 2004: 134). Dalam ranah seni lukis sendiri, tradisi lirisisme juga masih hidup, misalnya dalam karyakarya Ugo Untoro, Rudi Mantofani, Handiwirman, Ay Tjoe Christine, dan dalam berbagai karya para pelukis dari angkatan yang lebih muda. Tema-tema yang dipilihnya lebih kaya daripada tema-tema lukisan liris pra-GSRB, seperti seksualitas, kebertubuhan, keterasingan dalam kehidupan urban, dsb. Semua itu diungkapkan lewat kosarupa kontemporer, misalnya cenderung ke arah gaya minimalis ketimbang abstrak-geometris seperti era 1960-an, dan dengan pilihan warna yang juga terasa baru (krem, pink dan putih, misalnya, ketimbang merah, kuning dan biru). Akan tetapi, suasana yang dihadirkan tetap liris—sangat pribadi dan bermuara pada kegelisahan eksistensial sang perupa dalam bilik batinnya yang paling privat. Tradisi liris semacam ini sepertinya memang tidak akan mati, apalagi menimbang fakta ekonomi bahwa pasar seni rupa kita sepertinya selalu bersedia untuk menyerap karya-karya semacam itu— 1 ) FX Harsono, Desember Hitam, GSRB Dan Kontemporer, dalam http://arslitera.net/desember-hitam-gsrb-dankontemporer/
25
seperti halnya lukisan-lukisan abstrak di awal Orde Baru yang diburu para pengusaha dan orang kaya baru untuk mengisi hotel, kantor, dan rumah-rumah mereka (Siregar 2010: 105-106). Lain halnya dengan tradisi anti-liris dalam seni lukis kita. Selepas Dede Eri Supria di era 1980-an, sepertinya semangat anti-liris makin jarang dituangkan dalam wahana kanvas atau dengan teknik lukis konvensional. Bagi para perupa anti-liris seperti Taring Padi, wahana kanvas digantikan dengan wahana kertas poster atau kain spanduk yang dikerjakan dengan teknik cukil kayu, sablon dan berbagai cara produksi seni grafis lainnya. Semangat anti-lirisnya nampak dalam gambar-gambar yang selalu mengedepankan suasana kolektif dan membidik tema-tema yang sarat muatan kritik sosial-politik. Praktik seni kontemporer di luar tradisi liris yang masih berpijak dalam aktivitas ‘melukis’ adalah street art. Karya-karya street art berupa grafiti dan mural bahkan digarap secara kolektif dan mengintervensi ruang-ruang publik secara langsung. Pengandaian estetiknya sepenuhnya lain dari pengandaian estetik seni lukis liris kontemporer: bukan untuk menghadirkan kegelisahan batin atau penafsiran subjektif tentang dunia, melainkan untuk mengubah relasi sosial dan karena itu, mengubah dunia. Risikonya, berbeda dari lukisan-lukisan liris, karya-karya semacam itu sepertinya masih sepenuhnya asing dari pasar seni rupa kita. Grafiti dan mural sulit dikoleksi tanpa menceraikannya dari situs tempat intervensi semula dibayangkan terjadi oleh sang seniman. Apalagi praktik seni lukis yang dikerjakan dalam ranah yang disebut Sanento sebagai ‘seni rupa bawah’, macam lukisan pada bak truk, slebor becak, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA •
•
• • • •
• •
26
Burhan, Agus M. 2004. “Seni Lukis Indonesia Periode 1940-1960, Suatu Pengantar”. Dalam Enin Supriyanto & J.B. Kristanto, ed. Perjalanan Seni Lukis Indonesia: Koleksi Bentara Budaya. Jakarta: KPG, 27-28. . 2014a. “Masterpieces: Karya Pilihan Koleksi Galeri Nasional Indonesia dalam Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia”. Dalam Agus M. Burhan dan Suwarno Wisetrotomo. Masterpieces of The National Gallery of Indonesia. Jakarta: Galeri Nasional Indonesia dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 13-82. . 2014b. Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indië sampai Persagi di Batavia, 1900-1942. Jakarta: Galeri Nasional Indonesia. Croce, Benedetto. 1921. The Essence of Aesthetics, terjemahan Douglas Ainslie. London: William Heinemann. Siregar, Aminudin TH. 2010. Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S. Sudjojono. Tangerang dan Jakarta: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna. Wiyanto, Hendro. 2004. “Beberapa Catatan Ringkas Seni Lukis 1980-2000”. Dalam Enin Supriyanto & J.B. Kristanto, ed. Perjalanan Seni Lukis Indonesia: Koleksi Bentara Budaya. Jakarta: KPG, 131-145. Yuliman, Sanento. 1976. Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. . 2012. “Seni Rupa Dalam Pancaroba: Ke Mana Semangat Muda?”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 333-338.
MARTIN SURYAJAYA adalah seorang penulis filsafat dan editor jurnal Indoprogress. Ia menghasilkan beberapa buku filsafat bertema sosial-politik seperti Asal-Usul Kekayaan (2013), Materialisme Dialektis (2012) serta Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (2011). Saat ini sedang dalam proses menerbitkan buku terbarunya, Sejarah Estetika.
27
E S SAY
LYRICISM AND ANTI LYRICISM IN OUR ART OF PAINTINGS MARTI N S U RYA JAYA
28
I
n the discussion surrounding the history of the art of paintings in Indonesia, a theme that often rises to the surface, is the issue of lyricism and anti-lyricism. Normally these categories are applied to read the history of post-expressionism paintings, of 1940-1950 era (after Sudjojono generation). Abstract and decorative paintings since the 1950s are often viewed as the beginning of the lyric tradition in the aesthetics of our art of paintings, while the installation works and performances pioneered by the Gerakan Seni Rupa Baru (New Art Movement) are commonly seen as carrying anti-lyrical spirit. Later, the tendency to ‘return to painting’ that was vibrant in 1980s Europe has re-encouraged lyricism with new art vocabulary (which, for example, is no longer fixated on traditional ornamentation in decorative paintings) until today. Instead, from the opposite direction, anti-lyricism tradition also continues to grow in the practice of the post-avant-garde arts emphasising more on interventional dimension of participatory facts (eg in street murals, street arts, and community-based art practices). Lyricism and anti-lyricism seem to be two conflicting poles and with it formed the history of our painting. Reflecting on the history of Indonesia’s art, Agus Burhan even noted: “The manifestation in Indonesian art that is more concrete is an encouragement to the trends of the acceptance, rejection, as well as the mixture of polarization of lyricism and non-lyricism views and attitude “ (Burhan 2014a: 31). But an immediate problem emerges: lyricism (including antilyricism) is not a category that is completely clear and transparent. The category is used to loosely mark a variety of works that each
29
has a different style of painting. Thus, we need to clarify it by examining the aesthetic presuppositions.
VARIOUS UNDERSTANDINGS OF LYRICISM IN OUR ART OF PAINTINGS From a number of circulating discussions about lyricism in Indonesian art of paintings, we can identify at least three senses, that although perhaps intersecting, are not entirely the same:
Lyricism as Expressivism Expressivism (not to be confused with expressionism, the style of painting) is an aesthetic conviction that sees works of art as a manifestation of the universe of the artist’s imagination. Aesthetic thinkers like Benedetto Croce and R.G. Collingwood are the pioneers of this school of thought, understood as the first to coin the term. Within the framework of this aesthetic, the painting was not a picture of reality, but the recording on the painters’ imagination. The key word is ‘feeling’. An image becomes artistic not because of the rational picture or ideas contained in it, but because of the feeling that is delievered. Therefore, Croce believes that the entire genuine work of art have a lyrical soul (Croce 1921: 32). This idea stems from the artistic practice in the Romantic period which puts the figure of the artist as a creator who works on the basis of unique subjectivity. Thus, as expressivism, lyricism can be placed on the great aesthetics tradition which began in the Romantic era.
Lyricism as Refusal to Populist Aesthetics Meanwhile, Agus Burhan associated lyricism with resistance to populist aesthetic understanding: “Individual expression as a universal dignity of freedom is growing as antithesis to populist belief which becomes increasingly political in nature. Broadly speaking, individual expression can be called lyricism, that gives rise to intuitive, imaginative, decorative, abstraction nature, and nonformal improvisatoris. This trend would strengthen in the Orde Baru (New Order) period, or during the weakening of revolutionary populist belief. “(Burhan 2004: 28). Psychologistic and individualistic traits often displayed by lyrical spirited paintings can indeed trigger a passionate interpretation that these works constitute indirect rejection on populist aesthetic. In Sadali’s abstract composition, or in the Pirous’ calligraphy, it is indeed as if presenting a silent treatment towards politics or social trivia. However, it seems that the reluctance to make politically-themed painting is moreover an indirect result of the lyrical attitude put forward by the artist. A lyrically passionate artists does not necessarily stay silent on sociopolitical matters; they could have risen such themes in works through symbolism and allegory that can still be enjoyed psychologically and very personal in nature. An example is the work of Pirous, titled Mentari Setelah September 1965 (The Sun After September 1965) (1968), which describes Indonesia’s post-65 inner situation in the idiom of abstract non-figurative paintings. Thus, lyricism does not reject socio-political themes in painting; lyricism only rejects left-wing populist aesthetic like LEKRA (Institute fot the People’s Culture) socialist realism.
Lyricism as the Embodiment of Universal Humanism There are also those who link the lyricism in the art of painting with the aesthetic beliefs of the Cultural Manifesto signatories, namely the ‘universal humanism’ belief. It appears, among others, in the chaptering of fine art history in the National Gallery of Indonesia catalog. A variety of works
30
by artists ranging from Trisno Sumardjo to Hanafi, from 1959 to 2006, are grouped together under the category of “Universal Humanist Lyricism Period”. By doing so, a variety of painting styles are considered to be falling into the category of lyrical sensibility: from Decorativism (Widayat), Primitivism (Abbas Alibasyah), Surrealism (Amang Rahman Jubair), Abstractionism (Popo Iskandar), Abstracism (Hanafi), Cubism (Fadjar Sidik), Abstract-expressionism (Aming Prayitno) and even Realism (Chusin Setiadikara). Association between lyricism and universal humanism surfaced in the tradition origin of lyrical itself. Many supporters and signatories of the Cultural Manifesto called for a universal humanism derived from the pioneers of the lyrical spirit in painting, for example, Zaini, Pirous, Trisno Sumardjo, and Nashar. They were uncomfortable with the tendency in 1960s Jogja painters who liked to criticize apolitical paintings. Lyricism association with universal humanism is also visible in the choice of the paintings’ subject matter. The themes that are seen as human universal phenomenon of cross-class human and overcoming the socio-historical barriers often appear in lyrical paintings, such as mortality and old age (Amang Rahman Jubair), Sufism (Danarto), relationship between an individual and his God (Pirous), and the harmony between man and nature (Widayat).
FINDING THE ROOT OF LOCAL LYRICISM: ROMANTICISM OF MOOI-INDIE If the sense of lyricism turns to be so loose, is there a common thread that unites it? The common thread is a general tendency to place the artwork (in this case a painting) as a result of subjective contemplation of the artist on beauty. This tendency was strongly opposed by the more senior artists like Sudjojono. As a painter who was active in the physical revolution years and the glorified populist aesthetic, Sudjojono belittled paintings glorifying the beauty of form -of something he would call as ‘tacky’. He himself prefered the beauty paradigm that is more historical and contextual, the beauty that can capture the true spirit even if it appears in the form that is visually ‘bad’ (the example he gave, was the beauty of kerosene cans). He made aesthetic position opposes the aesthetic view of Mooi Indie (Elegant Indies). That is where we should look for the roots of lyric tradition in the history of modern Indonesian painting. Mooi Indie paintings are different styles of painting that developed in the Netherlands East Indies between 1900 to the 1940s, ranging from naturalism (Carel Dake), decorativism (Walter Spies) to impressionism (Isaac Israël). There are three usage phases of these terms including the shifting of their meaning (Burhan 2014b: 35). First, the term Mooi Indie was used in the realm of Dutch literature to refer to a collection of poems speaking of the beauty of the Dutch East Indies (in the 1910s). Later, the term was used as the title of an exhibition catalog in Amsterdam, 1930, which featured eleven water colors paintings of Du Chattel on scenic rural life in the Dutch East Indies. Lastly, the term was taken by Sudjojono and he overturned its meaning to refer to any form of paintings made with the romantic idealization of the beauty of the Dutch East Indies and at the same time alienating the real face of Indonesia, which was a Dutch colony. In Sudjojono sense, the term Mooi Indie was used as a post-colonial criticism tool on the colonialization cultural heritage in the tradition of modern Indonesian painting. The cultural root of Mooi Indie paintings is the romanticism of Eastern Europe that shrank The East to become a mere allegory of visual beauty. Insights on its beauty was so narrow: only as some beauty to look at. This is what Sudjojono criticized as a painting that only sought to merely portray an idea of ‘beauty’. What is shown by those works were simply visual tourism: a variety of delightful impressions staring at harmonious mix of colors, objects that evoke peace, in short, painting as the means of relaxation and leisure for travelers. If we remove the representational aspect of Mooi Indie paintings, the result was a modern lyrical paintings. Both have a similar basic
31
assumption: formal beauty that relies on subjective reflections of the artist. Both have the same traditional roots, namely the European Romantic tradition which led to expressivism aesthetic.
ANTI-LYRICISM AS A COMEBACK TO WORK OF ARTS AS OBJECTS One of the most archived resistances on lyrical spirit in our paintings came from the New Art Movement (GSRB). Embarrassment to the tendency of modern Indonesian paintings which were apolitical and had the tendency to take on personal and subjective themes, was reflected in the article by Jim Supangkat, Five Breakthrough Steps of The New Art Movement. Sanento Yuliman wrote that GSRB was “the first step away from the subjectivism and individualism, a deviation from fine arts that was oriented to God” (Yuliman 2012: 333). GSRB’s refusal to basics of lyricism was often appeared in the sayings of its activists. F.X. Harsono, one of the exponents of the movement, who stated: “The exhibited works of young artists no longer follow the way and painting techniques from their teachers and seniors. Art creation refused lyricism, depth, the unity, the creation of which is accomplished by the artist’s hand. The whole process of creation upholds aesthetic values that put the artist as an autonomous individual. All those values were rejected by presenting works that can no longer be identified as a practice of creation that no longer represents the aura of the artist, because originality, singularity and uniqueness of life that radiates from the artist are no longer considered as important. [...] Lyricism filters and transforms the experience and emotion into an imaginary world, therefore in non-lyricism, an artist seemed to avoid filtering and transformation. Not a picture of the objects displayed, but the objects themselves are presented. It is not disgust that was shown in the painting, but the disgust displayed because of the presence of the real thing. Artwork is no longer a piece of an imaginary world that was contemplated from a dista n ce, but a con c rete object that involves responders.”1 It appears that there is a rejection to lyricism as well as rejection to contemplative practices characteristic of art that “put the artist as an autonomous individual” complete with “originality, singularity and uniqueness of the artist’s soul “. Through the statement, we can alo see how the anti-lyricism is perceived as a movement back to the work of art as an object, thus it is no longer a representation or allegory on the private and spiritual inner life of the artist. In the lyrical tradition, the artwork is positioned as a vehicle for the outpouring of inner turmoil of the artist. In the tradition of anti-lyrical, artwork is placed as an object that directly involves viewers as the creators of the work itself (at least through the meaning and interpretation). So, here we can encounter a shift of works of art as a representation of the subjective impression of reality to the work of art as a direct presentation of the reality experienced by artists and audiences together. In other words, a shift from the artwork as a picture of reality into the artwork as an object, as part of reality itself. This is what explains the shift from painting to installations, performances, happenings, and a variety of other art practices since GSRB.
1) FX Harsono, Desember Hitam, GSRB Dan Kontemporer, dalam http://arslitera.net/desember-hitam-gsrb-dankontemporer/
32
EPILOGUE: NEW LYRICISM AND ANTI-LYRICISM As the result of lyricism dominance in art of paintings, slowly but surely, anti-lyricism was increasingly perceived as the artistic practice that abandons it. However the actual dichotomy is not as rigid as that. True, that almost all community-based art practices (which leave the realm of painting) are moving at anti-lyricism level. However, lyrical tendencies in non-painting works are also commonly found nowadays. Installation works by Bunga Jeruk and Putu Sutawijaya, for example, often carry the spirit of lyricism and talk about a very subjective universe. Therefore, post-GSRB lyricism is actually not limited to paintings. Hendro Wiyanto, for example, wrote: “It seems that the experience of something lyrical might be present through real objects as far as people can see that the space and objects were present through a series of sensitivity of the artist. Such experience seems no longer an object absorption that ended in the subjective world of the artists, but the artists’ world is merely a medium that leads the audience to the new experience of space and the presence of objects “(Wiyanto 2004: 134). In the realm of painting itself, lyricism tradition is still very much alive, for example in the works of Ugo, Rudi Mantofani, Handiwirman, Ay Tjoe Christine, and in various works of painters from younger generation. The themes chosen are richer than the themes of the pre-GSRB lyrical paintings, such as sexuality, stature, alienation in urban life etc. All of them are expressed through contemporary visual vocabulary, for example, having tendency toward the minimalist style rather than abstract-geometric as found in the 1960s, and with a choice of colors that feels new (beige, pink and white, for example, instead of red, yellow and blue). However, the atmosphere presented remains lyrical, very personal and comes down to the existential anxiety of the artist in the innermost private chambers of his soul. This type of lyrical tradition is likely perpetual, especially in weighing the economic fact that our art market always seems to be willing to absorb such works -like the abstract paintings at the beginning of Orde Baru, which were hunted by businessmen and rich people to fill their hotels, offices, and mansions (Siregar 2010: 105-106). When it comes to the anti-lyrical tradition in our paintings, it s a whole different story. After Dede Eri Supria in the 1980s, it seemed that the anti-lyrical spirit had become increasingly rare poured on canvas or in conventional painting techniques. For the anti-lyrical artists like Taring Padi collective, the canvas was replaced by posters or banners done with woodcuts, screen printing and a variety of other graphic arts production methods. Their anti-lyrical spirit is visible in the images that always put forward collective atmosphere and aims at themes loaded with socio-political criticism. Contemporary art practices beyond the lyrical tradition still have both feet in ‘painting’ activity is street art. The works of street art in the form of graffiti and mural even if it is worked in a collective way and directly intervenes public spaces. Their aesthetic presupposition is completely different from that of contemporary lyrical paintings: not to bring inner restlessness or subjective interpretation of the world, but to change the social relations and therefore, changing the world. The risk is, different from lyrical paintings, this type of works are likely foreign from our art market. Graffitis and murals are difficult to be separated from their original sites, the places which were used by the artists. Moreover, the practice of painting is done in the scene of what Sanento referred as grassroot fine art, the kind of paintings found on the backside of trucks, rickshaws etc.
33
BIBILIOGRAPHY •
•
•
• •
•
• •
Burhan, Agus M. 2004. “Seni Lukis Indonesia Periode 1940-1960, Suatu Pengantar” (Indonesia Art of Paintings 1940-1960 Period, An Introduction). Dalam Enin Supriyanto & J.B. Kristanto, ed. Perjalanan Seni Lukis Indonesia: Koleksi Bentara Budaya. (The Voyage of Indonesian Art Paintings: Bentara Budaya Collection) Jakarta: KPG, 27-28. . 2014a. “Masterpieces: Karya Pilihan Koleksi Galeri Nasional Indonesia dalam Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia”. Dalam Agus M. Burhan dan Suwarno Wisetrotomo. Masterpieces of The National Gallery of Indonesia. Jakarta: Galeri Nasional Indonesia dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 13-82. . 2014b. Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indië sampai Persagi di Batavia, 1900-1942. (Development of Art of Paintings: Mooi Indië to Persagi in Batavia) Jakarta: Galeri Nasional Indonesia. Croce, Benedetto. 1921. The Essence of Aesthetics, terjemahan Douglas Ainslie. London: William Heinemann. Siregar, Aminudin TH. 2010. Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S. Sudjojono. (The Picture Master: Sketches, Drawings and Thoughts of S. Sudjojono) Tangerang dan Jakarta: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna. Wiyanto, Hendro. 2004. “Beberapa Catatan Ringkas Seni Lukis 1980-2000”. (Some brief notes on Art of Paintings 1980-2000) Dalam Enin Supriyanto & J.B. Kristanto, ed. Perjalanan Seni Lukis Indonesia: Koleksi Bentara Budaya. (The Voyage of Indonesian Art of Paintings: Bentara Budaya Collection) Jakarta: KPG, 131-145. Yuliman, Sanento. 1976. Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. (Indonesian Neo Art of Paintings: An Introduction) . 2012. “Seni Rupa Dalam Pancaroba: Ke Mana Semangat Muda?”. (Fine Arts in Transition: Where are The Yout hful Spirits?) Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. (Indonesian Fine Arts, in critics and essays) Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 333-338.
MARTIN SURYAJAYA is philosophy writer and editor of Indoprogress journal. He has written several philosophy books with social-political theme in Bahasa Indonesia such as AsalUsul Kekayaan or The Origins of Wealth (2013), Materialisme Dialektis or Dialectical Materialism (2012) as well as Masa Depan Marxisme or Alain Badiou and the Future of Marxism (2011). He is currently in the process for publishing his forthcoming book on the history of the aesthetic.
34
35
AD R E W D E L AN O
Adrew Delano adalah seniman kelahiran tahun 1986 yang mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dan lulus sebagai sarjana pada 2009. Gelar Master ia raih di bidang penciptaan karya di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2013. Karya terbarunya turut dipamerkan dalam pameran BARDO di Edwin Gallery. Kini, ia tinggal dan berkarya di Jakarta sembari mengajar di almamaternya. Adrew Delano is an artist born in 1986 who studied at the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts and finished his undergraduate degree in 2009. He earned Master degree in Arts Creation in the Graduate Program of the Yogyakarta Indonesia Institute of the Arts (ISI) in 2013. His latest work was also exhibited in BARDO in Edwin Gallery. Now, he resides and works in Jakarta, while teaching at his alma mater.
36
REINKARNASI III PENSIL PADA KERTAS 2015
Dalam Reinkarnasi III, Adrew Delano mencoba menampilkan cara pandangnya atas persoalan tubuh manusia, yakni proses dekonstruksi tubuh. Ia menggambarkan sesosok tubuh yang tengah terbaring dalam posisi yang rumit. Pada beberapa bagian, tubuh manusia itu terkelupas, memperlihatkan lapisan dan konstruksi serupa kawat besi yang menyerupai susunan urat syaraf. Di beberapa bagian tubuh lain, hal yang sama juga terjadi. Andrew memperlihatkan proses ekstraksi anatomi itu secara nyata. Pada beberapa bagian lain, ia menampillkan daun-daun yang berjatuhan, dua diantaranya menggores dan menimbulkan luka pada bidang gambar. In Reincarnation III, Adrew Delano tries to visualize his perspective on human body, which is its deconstruction process. He depicts a figure in an intricate reclining position. Some parts of the body are delaminated, showing layers and construction similar to iron wire, resembling structure of human nerves. The same case happens in another part of the body. Andrew gives realistic vision of such anatomy extraction process. In another part, he shows leaves falling; with two of them are scratching and causing wounds on the drawing surface.
37
B U N GA Y U R I D E S PITA
Bunga Yuridespita lahir pada 1989 dan menyelesaikan pendidikan arsitektur di Universitas Pelita Harapan pada 2013. Kini ia sedang melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Dalam berkarya, dengan gaya lukisan yang khas, Bunga seringkali mengangkat topik perempuan dan hubungan sosialnya. Selain melukis, Bunga juga bekerja sebagai fotografer untuk kelompok musik SORE dan Generasi 90-an. Bunga Yuridespita was born in 1989 and completed her study in architecture at Pelita Harapan University in 2013. She is currently continuing her education in Postgraduate Program of Faculty of Art and Design of the Bandung Institute of Technology. In her works, with a distinctive style of painting, Bunga is keen to bring up women and their social connections as subject matter. In addition to painting, Bunga also works as a photographer for the music group SORE and Generation 90s
38
FALSELY YOURS I CAT AKRILIK PADA KANVAS, 100 X 80 CM 2015
FALSELY YOURS II CAT AKRILIK PADA KANVAS, 100 X 80 CM 2015
Bunga menampilkan dua panel yang membicarakan persoalan wanita dalam lingkaran politik dan berangkat dari beberapa berita terkait skandal korupsi dan seks yang melibatkan anggotaanggota DPR. Dalam dua panel lukisan tersebut, ia menempatkan figur perempuan sebagai objek utama. Pada Falsely Yours I, terlihat sosok perempuan bersama laki-laki berdasi dan figur menyerupai anak kecil di bagian kiri bawah. Sementara pada Falsely Yours II hanya ada satu figur sentral yang tengah merokok. Bunga menampilkan warna-warna ‘pop’ sebagai latar belakang karya. Sementara seluruh figur ditampilkan dalam gaya dekoratif yang menimbulkan kontras secara keseluruhan. Baginya, perempuan memiliki posisi penting dalam memainkan cerita politik. Bunga shows two panels with interest on women issue inside the circle of politics, sourced from some news regarding to corruption and sex scandals that dragged the members of the parliament. In those two panels, she places women figure as the main object. In Falsely Yours I, there is seen a woman figure before a man with tie and child-like figure in the bottom left side. While on the Falsely Yours II, there is only one central figure of a woman smoking cigarette. Bunga uses “pop” colors as the background set, whereas all of the figures are presented in decorative style so as to generate contrast for whole painting. For her, women have important part in pulling the strings of political stories
39
DWI WI C AKSO N O S U RYA S U M I R AT
Dwi Wicaksono Suryasumirat atau Ube, lahir di Depok pada 1987. Ia menyelesaikan pendidikan seni lukis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 2010. Pada tahun yang sama, ia melangsungkan pameran tunggal pertamanya yang bertajuk NOL di Galeri Tembi Rumah Budaya, Jakarta. Ia juga salah satu penggagas kelompok menggambar Gambar Selaw. Ube dapat dikenali melalui gaya naïve painting yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. Tahun ini, ia menjadi salah satu seniman muda yang berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2015. Dwi Wicaksono Suryasumirat or Ube, was born in Depok, 1987. He graduated from Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in 2010. In the same year, he held his first solo exhibition, entitled NOL, at Tembi House of Culture Gallery, Jakarta. He is one of the initiators of Gambar Selaw drawing collective. Ube is notable through his naïve style of painting that depicts the daily life. This year, he became one of the young artists who participated at the Jakarta Biennale 2015.
40
HAPPY WITH WHAT YOU HAVE TO BE HAPPY WITH INSTALASI LUKISAN, PALET CAT DIMENSI BERVARIASI 2015
Bagi Ube, bicara soal politik sangat membosankan. Penuh drama, intrik, dan kepalsuan. Sebagai seniman, baginya yang terpenting adalah menghargai segala macam hal yang bisa ia kerjakan dalam hidup. Tugas utamanya tentu saja menyebarkan kebahagian melalui lukisan-lukisan. Ia sedang membentuk ‘rezim kebahagiaan’. Talking about politics is very boring for Ube. Too much drama, intrigues, and false things happened. As an artist, the most important thing for him is to appreciate everything that can be done in life. His main assignment is of course to spread happiness through paintings. He’s establishing a “happiness regime”.
41
GAD I S FITR IANA
Gadis Fitriana adalah seniman kelahiran tahun 1994. Ia menyelesaikan pendidikan seni lukis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 2015. Dalam berkarya, ia sering membicarakan isu psikologi dan eksistensi manusia. Simbol-simbol yang subtil memainkan peran besar dalam karya-karyanya untuk menghantarkan hal-hal yang sulit, tidak menyenangkan, paranoia, serta segala hal yang bersifat depresif. Gadis banyak terlibat dalam pameran bersama, beberapa di antaranya NALAR|SENSASI|SENI di Galeri Nasional Indonesia dan 100 Tahun Basuki Abdullah. Kini, ia tinggal dan berkarya di Jakarta. Gadis Fitriana was born in 1994. She just finished her study in painting at Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in this year. In her works, she tends to talk about issues on psychology and human existence. Subtle symbols play a major role in her works as ways to deliver complicated-, unpleasant states, paranoia, and anything of depressive nature. Gadis was involved in numerous group exhibitions, some of them are NALAR|SENSASI|SENI in National Gallery of Indonesia and 100 Years of Basuki Abdullah. She currenlty lives and works in Jakarta.
42
MAUVAISE FOI CAT MINYAK PADA KAYU 116 X 86 CM 2015
Mauvaise Foi (Bad Faith) berangkat dari sebuah pernyataan dalam paham Eksistensialisme tentang kebebasan individu untuk membuat pilihan dan tuntunan hidup sesuai dengan tujuan masing-masing. Pernyataan itu menyatakan bahwa kita tidak bisa lari dari ‘kebebasan’ itu sendiri, bahkan ketika dihadapkan dalam kondisi-kondisi sulit. Hal itu kemudian dipresentasikan Gadis melalui lukisan seorang perempuan dalam pose serupa Maria, Perawan Suci, yang sering muncul pada jaman Neo-klasik. Nuansa warna gelap menyelimuti sebagian besar permukaan kanvas. Hanya pada bagian kulit yang terbuka ia menampilkan warna-warna terang. Meski demikian, sulit untuk mengidentifikasi perempuan itu karena kanvasnya dirusak pada bagian wajahnya. Lapisan-lapisan catnya seperti terkelupas dan meninggalkan bekas yang amat kasar. Melalui karya ini, Gadis ingin bercerita tentang persoalan rezim atau kuasa untuk ‘memilih’ dalam kehidupan manusia. Antara kita yang mengontrol kekacauan atau kekacauan yang mengontrol kita. Mauvaise Foi (Bad Faith) is derived from Existentialism statement on individual freedom to make life choices and demands aligned with their own purposes. Such statement says that we cannot run from the “freedom” itself, even when we are confronting tough conditions. Gadis later conveys this viewpoint through a painting showcasing a woman in pose of Mary , the Holy Virgin as appeared in Neo-Classic period in many instances. The nuances of the dim colors enshroud most of the canvas’ surface. The bare skin is the only part to have bright colors glow. Nevertheless, it’s hard to identify the woman since the canvas is already being damaged in the part of the face. Layers of paint look like being scraped and leave a very brute mark on it. Through this painting, Gadis seems to tell a story about regime or power to “choose” in the human life. It’s either us who take over the chaos or chaos who take over us.
43
G U NTU R WI B OWO
Guntur Wibowo lahir di Temanggung pada 1980. Ia lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta tahun 2005. Karya-karya muralnya tersebar di berbagai tembok Jakarta. Selain membuat mural, ia juga aktif berpameran, di antaranya Asian Art Biennale (Bangladesh) dan Jakarta Biennale 2013: SIASAT. Hingga kini, Guntur tinggal di Jakarta dan mengajar di almamaternya. Guntur Wibowo was born in Temanggung in 1980. He is a graduate of the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in 2005. His murals are spread in various walls of Jakarta. Besides making mural, he is also actively involved in exhibitions, including the Asian Art Biennale (Bangladesh) and the Jakarta Biennale 2013: Tactic. Guntur has been a Jakarta resident and teaching at his alma mater.
44
POLITICAL FABLE MURAL 2015
Seekor kakaktua merah mengenakan mahkota kerajaan dan jas hitam dengan tanda lencana di dada sebelah kiri dan memandang ke arah beberapa binatang: buaya, cicak, ular berkepala tiga, macan tutul, tikus, dan gagak. Pada latar belakangnya, terdapat kumpulan bunga Kamboja. Karya Guntur mencoba merangkum isu-isu ‘binatang’ yang terdapat dalam lingkungan sosial politik kita. Baginya, kehidupan politik sekarang tidak ubahnya sebuah cerita binatang atau fabel yang menjadi tontonan seluruh rakyat. Hewan-hewan ditampilkan dengan nyata dan dalam nuansa warna monoton. Sementara Kakatua merah berjas hitam itu merupakan representasi pemerintah kita saat ini, yang hanya bisa melihat dan mengamati perilaku koruptor tanpa bisa melakukan tindakan nyata. Political Fable merupakan sebuah representasi atas apa yang hadir dalam kehidupan rakyat Indonesia selama ini. A red cockatoo wearing a royal crown and black suit complete with a badge on the left of its chest, is staring at other animals: crocodile, gecko, three-headed snake, leopard, mouse and raven. On its background, there is a cluster of frangipani flowers. By this work, Guntur attempts to comprehend issue about “animals” that can be found in our social-politics environment. For him, our political situation now is no different than a popular fable. The animals here are shown realistically, with monotonous nuance of color. On the other hand, the red-suited cockatoo depicts our government nowadays, who can only stare and watch the corruptors’ wrongdoings without doing any real action. Political Fable is a representation of the life of Indonesian people for the whole generations.
45
HAR I S P U R N O M O
Haris Purnomo lahir di Klaten pada 1958. Seusai menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta, Ia melanjutkan ke Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Semasa di ASRI, Haris tergabung dalam Gerakan Kepribadian Apa (PIPA) yang kritis mempertanyakan perkembangan seni rupa Indonesia kala itu. Sikap kritis Haris terus terbawa dalam karya-karyanya saat ini yang sarat unsur sosial politik. Sebagai pelukis, reputasinya telah diakui dunia dengan berpameran di berbagai galeri di banyak negara. Kini Haris tinggal dan berkarya di Jakarta sembari mengelola ruang seni yang ia buat, Roemah 9A. Haris Purnomo was born in Klaten in 1958. After finishing his education in Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta (SMSR), a high school of fine art, he continued to the Indonesian Academy of Fine Arts (ASRI) (now the Indonesia Institute of the Arts) in Yogyakarta. During his ASRI period, Haris joined the What Identity Movement (PIPA) who critically questioned the development of Indonesian art at the time. Haris’ critical attitude carried over into his works up to no w-laden with current social-politics elements. As a painter, his reputation has been recognized by exhibiting at various galleries in many countries. Haris now lives and works in Jakarta while managing an art space that he created, Roemah 9A.
46
ROLLING STONE CAT MINYAK PADA KANVAS 145 X 45 CM 2015
Dalam Rolling Stone, Haris Purnomo—yang terkenal dengan gaya hiper-realisnya— menampilkan belasan tubuh telanjang bayi, seperti melayang-layang di ruang tanpa gravitasi. Di antara bayi-bayi itu terdapat puluhan kerikil hitam melayang dalam ukuran yang bervariasi. Tetapi ada yang tak lazim pada bayi-bayi itu. Pada tubuh mereka terdapat gambar (tato) naga yang beragam; ada yang hampir menutupi seluruh tubuh, ada pula yang muncul sebagian di tempat-tempat tertentu. Tubuh bayi bertato itu menimbulkan suasana yang kontradiktif. Tato yang pada masa lampau identik dengan kriminal, kini disandingkan dengan bayi yang identik dengan kemurnian. Haris seolah ingin berbicara tentang stigma-stigma yang melekat, bahkan sedari bayi, yang belum memiliki kemampuan untuk memilih. Lukisan ini termasuk dalam seri bayi yang terkenal dari Haris Purnomo. In Rolling Stone, Haris Purnomo-who is notable for his hyper-realistic style-paints dozens of naked babies, floating in a supposed space with no gravity. Between these babies, there are dozens of floating black pebbles, each in different sizes. There is something odd about the baby, though. They have dragon tattoos on their bodies: one has it almost all over the body; another only has it in several parts. Those tattooed babies then impress a contradictive scene. Tattoo, that in the past had equal meaning with criminal, is now being paired with baby, who symbolizes innocence. It seems that Haris wants to speak about affixed stigmas, even for the newborn, who still doesn’t have the ability to choose. This painting is part of the well-known baby series from Haris Purnomo.
47
HAU R ITSA
Hauritsa lahir pada 1977. Ia lulusan Seni Grafis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Sebagai seorang seniman, karyanya sering bicara tentang persoalan antara manusia dan sekitarnya yang dilambangkan dengan objek-objek di sekitar. Ia juga kerap menyertakan teks puisi sebagai bagian proses kreatifnya yang tidak terbatas pada medium. Hauritsa mendirikan kolektif seniman Jakarta Wasted Artists (JWA) yang gemar bekerja pada isu budaya urban. Hauritsa born in 1977. He is an alumni of the Printmaking Department of the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of the Arts. As an artist, his works often talk about the problems between humans and their surroundings, symbolized by the everyday objects. He also includes poem in many instances as part of the creative process that does not limited to certain medium. Hauritsa founded the artist collective Jakarta Wasted Artists (JWA) who take up an interest in issues about urban culture.
48
YOU SAID, STOP BEING SO CHARMING. I SAID, I CAN’T CAT AKRILIK PADA KANVAS 140 X 120 CM 2015
Kanvas besar itu dipenuhi oleh sapuan-sapuan lebar cat putih yang tampak tidak rata, di selasela sapuan putih itu, samar-samar terlihat latar merah terang. Pada bagian depan, terdapat ikon serupa jantung berwarna merah yang digambar dengan sederhana. Dengan sangat teliti, Hauritsa menempatkan tiga baris kalimat yang dilukis dengan transparan, sehingga hanya bisa terlihat ketika mendapat pantulan cahaya atau pengunjung mengubah sudut pandangnya. Tulisan itu adalah “I MISSED YOU YESTERDAY, I MISS YOU TODAY, I’LL MISS YOU TOMORROW”. Baginya, tulisan itu merupakan hal yang sangat pribadi, kerinduan seseorang akan sesuatu: kekasih, teman, tempat, suasana, dan kenangan. Namun di sisi yang lain, ia menemukan hal yang sama dalam ingatan kolektif masyarakat akan Orde Baru, seperti gambar-gambar yang bertuliskan “Piye kabare le? Isih penak jamanku to?”. The big canvas is covered with wide and messy brushstrokes of white paint, where the bright red background peeks from each gaps. A simple heart-like icon with red color stands alone on the foreground. But there are three sentences, “I MISSED YOU YESTERDAY, I MISS YOU TODAY, I’LL MISS YOU TOMORROW”, placed carefully by Hauritsa, that only appear if its get reflected by light or the audience move their point of view. For him, those writings are a very personal matter, when someone longing for something/someone, such as lover, friend, places, nuance, and memory. On the other hand, though, he finds similar point in the collective memories of people about New Order, like pictures that reads (in Javanese, Soeharto’s ethnicity) “Piye kabare le? Isih penak jamanku to?” (How are you, buddy? Missing the time when I was in power?).
49
H E N RY FO U N DATI O N
Henry Foundation adalah seniman lulusan Seni Grafis Fakultas Seni Rupa Insitut Kesenian Jakarta tahun 2000. Ia bekerja dengan banyak medium, yakni musik, video, grafis, digital, performans, hingga instalasi. Tahun 2003 ia bersama Anggun Priambodo mendapat penghargaan Video Musik Terbaik di ajang MTV Awards. Ia merilis grup musik elektro-pop Goodnight Electric dan memeriahkan berbagai pesta dan acara di Jakarta sebagai DJ. Pada 2009, ia melangsungkan pameran tunggalnya yang bertajuk COPY-PASTE EXTRAORDINAIRE di RURU Gallery. Kini ia tergabung dalam kolektif seniman Jakarta Wasted Artist. Henry Foundation is an artist graduated from the Printmaking Department of the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of the Arts in 2000. He worked with many media, i.e. music, video, printmaking, digital, performance, up to installation. In 2003, togetherwith Anggun Priambodo, he was awarded with Best Music Video at the MTV Awards. He released the electro-pop band Goodnight Electric and shakes various parties and events in Jakarta as a DJ. In 2009, he held his solo exhibition entitled COPY-PASTE EXTRAORDINAIRE in RURU Gallery. Now he joined the artist collective Jakarta Wasted Artist.
50
ORIGINAL EXPRESS (1) POLIMER SINTETIS TRANSFER (SYNTHETIC POLYMER TRANSFER), SELOTIP (MASKING TAPE), CETAK PADA KAIN, ENAMEL, DAN CAT AKRILIK PADA KANVAS, 200 X 160 CM 2015
ORIGINAL EXPRESS (2) POLIMER SINTETIS TRANSFER (SYNTHETIC POLYMER TRANSFER), SELOTIP (MASKING TAPE), CETAK PADA KAIN, ENAMEL, DAN CAT AKRILIK PADA KANVAS, 200 X 160 CM 2015
Bagi Henry Foundation, istilah rendering amat identik dengan nuansa digital; sesuatu yang terkomputerisasi. Kondisi ini kemudian ia tuangkan ke dalam dua kanvas yang serupa tapi tak sama. Ia menyapukan kuasnya lebar-lebar dan membentuk blok warna-warni. Dalam ruangruang warna itu ia menempelkan potongan gambar, selotip, serta melukis beberapa simbol dan huruf. Ia mencoba menantang kemampuannya sendiri untuk menciptakan hasil jiplakan semirip mungkin, sekaligus mengundang pengunjung untuk memperhatikan detail dari bagian-bagian karyanya. Bagi Henry Foundation, istilah rendering amat identik dengan nuansa digital; sesuatu yang terkomputerisasi. Kondisi ini kemudian ia tuangkan ke dalam dua kanvas yang serupa tapi tak sama. Ia menyapukan kuasnya lebar-lebar dan membentuk blok warna-warni. Dalam ruangruang warna itu ia menempelkan potongan gambar, selotip, serta melukis beberapa simbol dan huruf. Ia mencoba menantang kemampuannya sendiri untuk menciptakan hasil jiplakan semirip mungkin, sekaligus mengundang pengunjung untuk memperhatikan detail dari bagian-bagian karyanya.
51
I P O N G P U R NAMA S I D H I
Lahir dan tumbuh di Yogyakarta, Ipong memutuskan untuk bekerja di kelompok Kompas Gramedia Jakarta sejak 1982 sebagai desainer buku dan Ketua Pengelola dan Kurator Bentara Budaya Jakarta dan pensiun pada Februari 2015. Beberapa judul buku populer hasil desainnya antara lain Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Kamus Inggris-Indonesia karya John McEchols, dan Manusia Jawa karya Magnis Susilo. Ipong yang menyelesaikan studi di Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) jurusan seni lukis ini pernah menjadi seniman tamu di Royal University of Fine Art di Stockholm, Swedia. Hingga kini ia telah tiga kali berpameran tunggal dan ikut dalam beberapa pameran berkelompok di dalam dan di luar negeri. Born and raised in Yogyakarta, Ipong decided to work for Kompas Gramedia Jakarta since 1982 as a book designer and Chairman and Curator of Bentara Budaya Jakarta. He retired in February 2015. Some popular book titles he ever designed are Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari, English-Indonesian Dictionary by John McEchols, and Java Man by Magnis Susilo. Ipong, who completed his study in painting at the Indonesian Academy of Fine Arts (now the Indonesia Institute of Arts), was once a guest artist at the Royal University of Fine Art in Stockholm, Sweden. Until now he has held three solo exhibitions and participated in several group exhibitions in Indonesia and abroad.
52
BEHIND THE MASK CAT AKRILIK DAN ENAMEL PADA KERTAS 160 X 145 CM 2015
Ipong Purnama Sidhi melukiskan pandangannya terhadap persoalan politik di tanah air dengan menampilkan sosok badut besar sebagai objek utama. Ia menampilkannya sebagai manifestasi aktor-aktor politik di layar kaca. Tentu bukan hal baru bagi kita untuk menyaksikan tingkah polah para anggota DPR ataupun pejabat pemerintahan yang selalu berpura-pura dan melakukan pencitraan yang baik di mata media. Ipong Purnama Sidhi paints his thought towards the social-politics issue in this nation by portraying a large clown figure as the central object. The clown becomes a manifestation of the political actors on the television screen. It’s not something new, indeed, watching how those members of parliaments or government officials always pretend or mask a good image in front of the media.
53
R.A.I.H (REZA AFISINA & ISWANTO HARTONO)
R.A.I.H adalah dua seniman yang menggabungkan diri ke dalam satu wadah karya lalu mencampur dan mengaduknya dengan cermat dan seksama, berpadu dengan eksplorasi dan eksperimentasi. Mereka senantiasa mencoba dan membuka kemungkinan bekerja dengan pengolahan medium yang beragam namun tetap memadukan pendekatan ketubuhan dan bentuk bangun dari ruang sampai sejarah, yang secara sederhana diamati, dicermati, dipelajari, dan kemudian dicerna serta dipertanyakan ulang dalam hubungannya dengan aktivitas keseharian, kehidupan, serta pekerjaan yang selalu dihadapi. Pada 2011 mereka terlibat dalam City_Net Asia di Seoul Museum of Arts dan pada 2012 mengikuti Pameran Besar MANIFESTO#3 Orde dan Konflik. R.A.I.H are two artists who merged themselves into one working vessel and then mixing and stirring it, carefully and thoroughly, combining exploration and experimentation. They always try and open up the possibility of working with diverse way of medium processing but still combining bodily, structural form of a space and historical approaches, which is simply observed, examined, studied, and then digested to be questioned about its connection with the activities of daily life, as well as constant flow of worksthat they face all the times. In 2011 they were involved in City Net Asia at Seoul Museum of Arts and in 2012 participated in Great Exhibition of MANIFESTO # 3 Order and Conflic
54
SEMENTARA ITU, KEMALASAN KAMI BERBUAH KARYA, EDISI TERBATAS. YANG KEMUDIAN KAMI TAWARKAN DENGAN HARGA TERTENTU, PAS, LUMRAH, TERJANGKAU DAN LALU BERJABAT TANGAN, TANPA PERLU TAWAR MENAWAR. BAGI KAMI TAWAR MENAWAR HARGA KARYA DENGAN SENIMAN ADALAH SIKAP YANG TIDAK BONAFIDE CAT MINYAK PADA KANVAS 2015
Judul panjang sekaligus deskripsi karya itu sudah menjelaskan apa yang menjadi perhatian utama duo seniman ini. Dengan menampilkan visual yang amat kuat, mereka juga menempatkan slogan penting, “Bieden Kunstenaar Kunstwek is Zuigt!”. This long title and also description at one time has already explained the main interest of this duo. By presenting a strong visual, they also post an important slogan, “Bieden Kunstenaar Kunstwek is Zuigt!”.
55
ITO DJ OYOATM OJ O
Ito Djoyoatmojo lahir pada 1958. Pada tahun 1973, ia menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta dan kemudian melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 1977. Sejak itu ia kerap menyelenggarakan pameran tunggal dan pameran bersama, dalam skala nasional maupun internasional. Ito dikenal dengan gaya melukis hiper-realisnya. Sejak 1987 hingga sekarang, ia tinggal dan berkarya di Zurich, Swiss. Ito Djoyoatmojo Ito was born in 1958. In 1973, he was educated at the Indonesia School of Fine Arts (SSRI) in Yogyakarta, and then continued to the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in 1977. Since then he often organized solo and group exhibitions, either of national and international scale. Ito is known for his hyper-realistic style of painting. From 1987 he has been living and working in Zurich, Switzerland.
56
NYANYIAN SEMUT OLAH DIGITAL, AP1 (2 AP, 3ED.) 58 X 58 CM 2015
NYANYIAN LALAT OLAH DIGITAL, AP1 (2 AP, 3ED.) 58 X 58 CM 2015
Nyanyian Lalat dan Nyanyian Semut adalah dua dari seri Nyanyian Serangga yang dibuat dalam kurun waktu 2014-2015. Nyanyian yang membawa semangat dan kebahagiaan, tidak gegap gempita menggema tetapi melantun menyusup udara ke dalam telinga. Nyanyian yang mungkin lebih bersifat senandung yang mengiringi kegiatan sehari-hari. Senandung yang saling mengisi dan merupakan pengulangan yang bersifat fraktal. Dalam proses pembuatan Digital Rendering, bentuk visual lahir secara virtual dari bentuk geometri dasar yang dikembangkan secara fraktal. Ini mungkin merupakan cara yang sesuai dengan senandung yang terdengar saling mengisi. Bentuk yang terjadi merupakan pertumbuhan dari dalam dan bukan penumpukan atau imbuhan dari luar. Kelebihan dari proses ini, gagasan dan bentuk yang lahir hanya dalam bentuk “virtual” dan sesuai dengan kebutuhan nyata, serta dapat dicetak dalam bentuk 2D maupun 3D. The Chants of Flies and The Chants of Ants are two series of The Chants of Insects that being created from 2014-2015. Chants that brings energy and joy, are not the loud, fanfare-ish one, but the one that slowly seeps through the air, into the ears. Perhaps the kind of chants that resemble humming that is accompanying the humdrum of daily activities. A humming that complements each other and repeats like a fractal. In the process of creating Digital Rendering, visual form is generated virtually by developing a fractal from basic geometry forms. This is perhaps similar with the way humming sounds, which is like complementing to each other. The form is generated by growing from the inside and not by stacking up or having added on something. The advantage of this process is the generated form and the idea are presented only in the form of “virtual” and fit into the reality necessity. It can also be printed in 2D or even 3D-formats.
57
JAY U J U LI E
Jayu Julie adalah seniman kelahiran 1988 yang sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Jakarta. Ia kemudian bergabung dengan Forum Lenteng dan RURU Corps. Jayu menggunakan cat air sebagai medium utama dan mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan perempuan. Ia sering terlibat dalam pameran bersama, beberapa di antaranya ARTE Art Festival Indonesia 2014 dan Urban Alienation di Waga Gallery. Kini ia tinggal dan berkarya di Jakarta. Jayu Julie is an artist born in 1988 who had studied at the Faculty of Economics and Business, State Islamic University of Jakarta. She then joined Forum Lenteng and RURU Corps. Jayu uses watercolor as the main medium and interests in raising women related theme. She often involved in group exhibitions, some of which are ARTE Art Festival Indonesia 2014 and Urban Alienation in Waga Gallery. Now she lives and works in Jakarta..
58
FEM.FATAL (SERIES) CAT AIR PADA KERTAS A4 18 FRAME 2015
Dalam seri lukisan cat air ini, Jayu mencoba menyampaikan pandangannya tentang posisi perempuan dalam politik. Ia merasa meskipun upaya penyetaraan gender, kebebasan berpendapat, serta hak pilih perempuan telah berkembang jauh dibandingkan masa kolonial, namun masih ada rasa enggan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini terutama dapat kita amati dalam lingkup domestik. Baginya, perempuan seharusnya bisa tampil lebih vokal dan frontal dalam menyuarakan hak dan kewajibannya. Melalui teknik cat air, Jayu menampilkan warna-warna cerah yang mendorong figur-figur dalam piguranya menjadi lebih menonjol. Ia juga memperhatikan gestur dari masing-masing figur hingga menimbulkan komposisi bentuk yang enak dilihat. Selain gambar, ia menyelipkan pula tiga kata kunci: ‘Umpan Balik’, ‘Tabu’, dan ‘Kontrol’. In this series of watercolor paintings, Jayu tries to convey her stance about women’s position in politics. It seems to her, even though the attempt of gender equality, the freedom of speech, and women’s right to vote have far advanced than the colonial times, there’s still reluctance for women to participate in politics. This issue can be mainly seen from the domestic field. To Jayu, woman should be more outspoken and forward to voice their rights and duties. Through watercolor technique, Jayu features bright colors to motivate the figures in their frames to stand out more. She also plans the gestures of each figures carefully to create a delightful composition. Besides pictures, she also slips three keywords: “Feed Back”, “Taboo” and “Control”.
59
J E R RY TH U N G
Jerry Thung lahir pada 1962. Ia menyelesaikan pendidikan melukis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta tahun 1994. Semasa kuliah, Jerry pernah belajar bersama pelukis di Pasar Seni Ancol demi meningkatkan kemampuan melukisnya. Dalam berkarya, ia sering mengangkat filosofi kehidupan manusia di balik citra dan sikap Buddha, aksara Tionghoa, dan mudra (bahasa tangan Budha) yang coba ia kaitkan dengan simbol akhlak, emosi, dan nafsu duniawi. Pada 2014, ia mengadakan pameran tunggal bertajuk Still Got The Blues di Galeri Cipta II, Jakarta. Kini Ia menetap dan berkarya di Jakarta. Jerry Thung was born in 1962. He graduated from Painting Department at Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in 1994. During his time at the art school, Jerry had studied with the painter in Ancol Art Market in order to enhance his painting skill. In his work, he often raised the philosophy of human life and the attitude behind the image of Buddha, Chinese characters, and mudras (Buddhist hand language) in which he tries to associate it with the symbol of morality, emotions, and lust. In 2014, he held a solo exhibition entitled Still Got The Blues at Galeri Cipta II, Jakarta. He is now settled and working in Jakarta.
60
WITH GOD ON OUR SIDE CAT AKRILIK PADA KANVAS 120 X 180 CM 2015
With God On Our Side menceritakan pengalaman sejarah paling aktual saat ini, yakni persoalan pengungsi. Jerry melakukan apropriasi pada karya Théodore Géricault, The Raft of the Medusa (1818-1819). Dalam lukisan itu, Ia menambahkan beberapa detail elemen yang memperkaya gagasan soal konflik pengungsi di Suriah, Myanmar, dan bagian dunia lain. Pada bagian layar kapal, terdapat logo UNHCR. Terlihat pula seorang perempuan yang tengah menutup wajah di bagian tengah mengenakan ikat kepala bendera Suriah. Kemudian pada bagian pojok kanan lukisan, terdapat gambar terkenal dari Aylan Kurdi, seorang bocah laki-laki yang tenggelam di laut Mediterania dan mayatnya ditemukan di pinggir pantai. Dalam perspektif Jerry, persoalan pengungsi global ini adalah bencana terbesar yang pernah diciptakan manusia. Ia mengaitkan hal itu dengan cara kerja rezim-rezim yang berkuasa di dunia. With God on Our Side narrates the most actual historical happenings of today, which is the refugee crisis. Jerry executes an appropriation of Théodore Géricault, The Raft of the Medusa (1818-1819). He enriches the painting by giving few added elements to inform the ideas relating to refugee conflicts in Syria, Myanmar, and other hemisphere of the world. On the side of the sail, there’s seen a UNHCR logo. Also seen in the middle, there’s a woman covering her face with Syria flag as her headband. On the right corner of the painting, there’s a famous picture of Aylan Kurdi, a little boy who was drowned in the Mediterranean Sea and his dead body found in the beach shore during the fleeing. In Jerry’s perspective, this global refugee issue is the worst man-made disaster ever happened. He connects this issue with the way ruling regimes in this world works.
61
J I M I M U LTHA Z AM
Jimi Multhazam lahir pada 1974. Seniman serba bisa yang lebih dikenal sebagai vokalis grup musik The Upstairs dan Morfem ini mengenyam pendidikan melukis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 1995. Di sana ia menemukan bahwa kreativitas tidak berbatas pada media, sehingga ia melakukan berbagai ekplorasi karya, seperti musik, menulis, hingga performans. Ia terlibat dalam banyak pameran dan proyek seni di Jakarta. Jimi Multhazam was born in 1974. This versatile artist who is better known as the vocalist of rock band The Upstairs and Morfem had actually painting education at the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in 1995 on his sleeve. There he discovered that creativity is not limited to a singlemedium, which makes him exploring wide range of creative pieces, such as music, writing, up to performance. He was involved in many exhibitions and art projects in Jakarta.
62
TEENAGE NEW ORDER CAT AKRILIK PADA KANVAS 150 X 150 CM 2015
Teenage New Order dapat diartikan secara harafiah sebagai “Remaja Orde Baru”. Karya Jimi Multhazam ini memang berupaya untuk menangkap elemen-elemen visual yang hadir dan menandai masa itu. Sepasang kaki digambarkan berdiri di timbangan badan. Jarum penunjuknya berhenti di angka 66, tahun dimulainya Orde Baru dan munculnya gerakan mahasiswa baru. Sepasang kaki itu dibungkus kaos kaki yang berbeda. Kaki sebelah kanan mengenakan kaos kaki putih dengan garis merah tebal yang mempertegas bentuknya. Sementara kaos kaki sebelah kiri lebih berwarna-warni dan diisi garis hitam tebal. Dua kaos kaki itu menggambarkan dua kenyataan yang muncul pada masa Orde Baru, ketika mahasiswa dan remaja dianggap sebagai biang keladi, tukang onar, urakan, dan sebagainya, sehingga diperlukan aturan untuk menertibkannya. Kontrol ketat ini kemudian dilawan dengan upayaupaya kreatif sebagai saluran berekspresi. As the title literally suggests, this Jimi Multhazam’s work is an attempt to capture the visual elements that once existed and marked the New Order regime. A pair of feet portrayed to be standing on weight scale. The arrow pointed at the number of 66, the year where New Order started and new student movement emerged. That pair of feet are wrapped with different type of socks. The right foot wearrs a white sock with thick red line that defines the form, while the other foot has more colorful sock filled with thick black stripes. Both socks represent two realities that happened in New Order regime, when the youngs were considered rebel, troublemaker, undisciplined and all that. This strict control was later confronted with creative attempts as a channel of expression.
63
K E MALR EZ A G I B R AN
Kemalreza Gibran lahir di Jakarta pada 1985. Ia lulusan Fakultas Desain Grafis Institut Kesenian Jakarta. Gibran banyak membuat karya ilustrasi, mural, dan media campuran. Karyanya banyak membahas tentang budaya massa. Dalam proses berkarya, ia menggunakan pendekatan baru ‘membaca kota’, yakni dengan tidak mengikuti kriteria logis, namun berdasarkan asosiasi subyektif dan paralel formal yang berusaha untuk ‘menghasut’ penonton. Karya-karyanya merupakan gabungan antara realita dan yang diimajinasikan oleh mereka yang melihatnya, dan fokus pada pertanyaan-pertanyaan yang menentukan eksistensi kita. Gibran banyak terlibat di pameran dan proyek seni, misalnya Sketch Book Exhibiton, Google Chrome Openspace Project, dan Ini Tempat Main Gue, proyek mural NIKE yang berkolaborasi dengan Saleh Husein Kemalreza Gibran was born in Jakarta in 1985. He is a graduate of Graphic Design Department of the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts. Gibran created a lot of illustration, murals, and mixed media works. His works largely talked about the mass culture. In his creative process, he uses new approach called “reading the city”, namely by not following logical criteria, instead based on subjective association and formal parallels that seeks to ‘lure’ the audience. His works are a combination of reality and the one imagined by those who saw it, and focus on the questions that determine our existence. Gibran has been much involved in exhibitions and art projects, for example Sketch Book Exhibition, Google Chrome Openspace Project, and Ini Tempat Main Gue, NIKE mural project in collaboration with Saleh Hussein.
64
BRETTON GREEN CAT AKRILIK PADA KANVAS 185 X 135CM 2015
Bretton Green merupakan sebuah usaha dari Kemalreza Gibran untuk membaca motif-motif yang melatarbelakangi situasi sosial-politik kita saat ini. Ia menggunakan desain kartu warna dari PANTONE, sebuah perusahaan penghasil warna-warna, dan menempatkan warna hijau sebagai elemen utama. Pada bagian bawah terdapat keterangan kartu, “POLITIC SOLID COATED” dengan nomor seri “010744 B”. Nomor itu merupakan tanggal yang merujuk pada Konferensi Bretton Woods, sebuah pertemuan yang kemudian melahirkan International Monetary Fund (IMF). Dalam perspektifnya, tanggal tersebut menjadi signifikan karena kemudian mempengaruhi banyak hal, termasuk politik di dunia, khususnya pada negaranegara berkembang. Bretton Green is an effort to apprehend the motives behind our current social-politics condition. Utilizing the color card from PANTONE, a company in color technology, he assigns the color of green as the key element. On the bottom, there’s card description read “POLITIC SOLID COATED” with serial number of “010744 B”. That number refers to the date of Bretton Wood Conference, a conference which later resulted in the founding of the International Monetary Fund (IMF). To his viewpoint, that date has become significant since it has affected multifarious matters, including world politics, especially to the so-called Third World countries
65
K P HAR D I DAN U WIJ OYO
KP Hardi Danuwijoyo atau lebih dikenal sebagai Pelukis Hardi, lahir di Blitar pada 1951. Ia adalah sosok penting di balik Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Hardi pertama kali belajar seni di AKSERA Surabaya, sebelum pindah pada 1971 ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Ia tidak tamat dan dikeluarkan dari sekolah karena terlibat dalam Pernyataan Desember Hitam 1974. Setahun sesudahnya, bersama FX Harsono, Bonyong Munni A., Jim Supangkat, dan beberapa orang lain mencetuskan GSRB. Pada 1975-1977 Ia melanjutkan studi di de Jan Van Eyck Academie, Maastricht, Belanda. Pada 1980, Hardi ditahan oleh LAKSUSDA JAYA karena karya grafisnya Presiden RI Tahun 2001 Suhardi. Sebagai seniman, Hardi juga telah menerbitkan beberapa buku hasil pemikirannya. Pada 2012, ia mendapat peparing dalem kraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Kanjeng Pangeran Danuwijoyo. Hingga kini ia masih aktif terlibat sebagai narasumber diskusi atau bincang-bincang terkait masalah kebudayaan. KP Hardi Danuwijoyo or better known as a Hardi the Painter, was born in Blitar in 1951. He was a key figure behind the New Art Movement (Gerakan Seni Rupa Baru or GSRB). At first, Hardi was studying art in AKSERA Surabaya, before moving in 1971 to the Indonesian Academy of Fine Arts (ASRI) in Yogyakarta. He did not finish and was expelled for engaging in the 1974 Black December Statement. A year later, together with FX Harsono, Bonyong Munni A., Jim Supangkat, and several others, declared GSRB. In the 1975-1977 he continued his studies at de Jan Van Eyck Academie, Maastricht, the Netherlands. In 1980, Hardi was detained by LAKSUSDA JAYA because of his print Presiden RI Tahun 2001 Suhardi. As an artist, Hardi has also published several books on his thoughts. In 2012, he received the honorary titled peparing dalem from the Kraton Surakarta Hadiningrat royal palace with the title of Prince Danuwijoyo Kanjeng. Up to now he is still actively involved as a source for discussion or talk related to cultural issues.
66
CATATAN KEBUDAYAAN SENI DAN POLITIK CAT AKRILIK PADA KANVAS, 9 PANEL DIMENSI BERVARIASI 2015
Hardi, salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), membawa semangat revolusinya ke dalam Galeri. Dalam Catatan Kebudayaan Seni dan Politik, ia menampilkan presentasi visual atas kegiatan yang ia lakukan selama satu tahun terakhir, melakukan protes terhadap kehidupan politik di Indonesia. Satu hal yang cukup banyak disorot adalah persoalan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR. Hardi menampilkan visual yang amat berani: warna-warna kuat, simbol-simbol eksplisit, dan bahasa lugas. Sebagai pelengkap dari lukisan protes itu, ia menempatkan pula sebuah manifesto atas pandangannya mengenai perkembangan seni dan budaya di jaman sekarang. Hardi memberikan sebuah kesegaran dan semangat muda dalam karyanya. Hardi, as one of the initiators of New Art Movement (GSRB) carries his revolutionary spirit into the gallery. In The Notes on Arts and Politics Culture, he delivers a visual presentation of his recent activities for the last one year, protesting the political situation in Indonesia. One of the issues being highlighted largely is the corruption by the members of parliament. Hardi communicates with such brave and strong visuals: vibrant colors, explicit symbols, and direct language. As to complete the protest, he also states a manifesto of his perspective regarding the development of arts and culture nowadays. Hardi serves a freshness and young spirit in his works.
67
M O N I C A HAP SAR I
Monica Hapsari adalah seniman kelahiran Jakarta tahun 1983. Ia lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Saat ini ia mengajar di La Salle College Indonesia dan bekerja lepas sebagai penata busana, penulis, dan ilustrator. Gaya yang khas dengan memanfaatkan serat dan benang menjadi salah satu cirinya dalam berkarya. Ia telah terlibat dalam banyak pameran bersama dan proyek seni, baik dalam skala nasional maupun internasional. Beberapa pameran terakhir yang ia ikuti adalah EXI(S)T 3 di Jakarta, Shigotoba di Tokyo, dan WANITA Project di Melbourne. Monica Hapsari is Jakarta based artist and born in 1983. She graduated from Faculty of Art and Design of the Bandung Institute of Technology. She is now teaching in La Salle College Indonesia and doing freelance works as fashion stylist, writer and illustrator. Her distinctive style by using yarn and fiber became one of her artworks’ signatures. She has taken part in many collective exhibitions and art projects, right from national or international scale. Her last exhibitions were EXI (S) T3 in Jakarta, Shigotoba in Tokyo and WANITA Project in Melbourne.
68
OMINOUS ARANG, BORDIR, DAN BENANG KAIN PADA KANVAS DIAMETER 120 CM 2015
Ominous mencoba bicara tentang persoalan kemelut, intimidasi, dan kekuasaan dalam hubungan antara manusia dan alam. Ia menampilkan kanvas bulat besar yang digambar dengan menggunakan arang dan juga bordir untuk membentuk tekstur awan hitam. Dari gumpalan-gumpalan awan tersebut, ia menjahit benang-benang dalam warna yang senada menjuntai hingga menyentuh lantai. Karya ini sengaja digantung terbalik untuk memberi kesan yang berbeda bagi pengunjung sekaligus mencoba mendekati nuansa aslinya. Bagi Monic, awan hitam merepresentasikan situasi yang tidak baik. Ia menemukan dalam banyak budaya, awan kelabu besar menandakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Gagasan itu kemudian ia kaitkan dengan situasi lingkungan dan politik di Indonesia saat ini. Kerusakan alam selalu berkaitan dengan modal, industri, politik, dan peraturan yang selalu dikorupsi. Penggambaran awan hitam ini merupakan sebuah pertanda buruk bagi bangsa kita, apalagi jika tidak segera diselesaikan. Ominous aims to talk about crisis, intimidation and power game between the relation of human and nature. She displays a large rounded canvas, drawn with charcoal and embroidered to form the texture of black clouds. Extending down to the floor, more yarns in the same color are being stitched out of those clouds. This artwork is deliberately hung upside down to command different attentions from the audience, luring them to approach the real nuance. For Monica, black clouds indicate something bad is going to happen. She found that in many cultures, large gray clouds are associated as bad omen. She follows this idea by relating it with the current political and environmental issues. Environmental damage always correlates with interest, industry, politics and recurring corruption to laws. This depiction of black cloud is a bad sign to our nation, if it’s not going to be solved soon.
69
M U S H OWI R B I N G
Mushowir Bing lahir pada 1974 dan menempuh pendidikan di jurusan Seni Grafis di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Bersama tiga orang kawannya, ia mendirikan kolektif Jakarta Wasted Artists (JWA) pada 2010. Bing banyak membicarakan persoalan budaya urban dan bekerja menggunakan beragam media. Ia cukup aktif mengikuti pameran bersama dan program residensi seniman. Kini, bersama JWA ia terlibat dalam gelaran Jakarta Biennale 2015. Mushowir Bing was born in 1974 and studied at Printmaking Department of the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts. Together with three of his friends, he founded the collective Jakarta Wasted Artists (JWA) in 2010. Bing largely talks about the problems of urban culture and working using a variety of medium. He is quite active to participate in group exhibitions and artist residency programs. Now, along with JWA he was involved in the Jakarta Biennale 2015.
70
TALK! TALK! TALK! MURAL 2015
Kebebasan berbicara telah menjadi sebuah keistimewaan yang menandai munculnya era baru. Diskusi-diskusi yang dulu sulit dilakukan secara terbuka, kini menjadi tontonan setiap hari di layar kaca. Namun, ada kalanya, keistimewaan ini terasa semu karena yang kita lakukan kemudian hanya bicara, bicara, dan bicara. Berbicara seolah menjadi prioritas untuk memberikan pengaruh baik terhadap satu tokoh atau organisasi tertentu. Padahal di balik itu, hasilnya jauh panggang dari api. Sementara itu, dalam dunia seni rupa, kebebasan ini dirayakan dengan melakukan bincang seniman, diskusi karya, dan simposium. Tentu saja kita harus menunggu 3-5 tahun lagi untuk mendapatkan hasilnya, namun semoga kita tidak sekadar mengekor para politikus yang hanya senang bicara, bicara, bicara. The freedom to speak has become a privilege that marks the rise of new era. Whereas before, discussion was something that cannot be done in public, but today it became a daily consumption through our television screen. However, there are times that this privilege felt obscure, because what we finally do now is just talking, talking, and talking. Talking became an unintended priority to cement a position, right from certain figures or organization, while in fact, the result is far from expected. Meanwhile, in the art world, this freedom is celebrated by having artist talk, artwork discussion, and symposium. Indeed, we have to wait for another 3-5 years to achieve the result, but hopefully, we’re not just following those politicians who only love to talk, talk, and talk.
71
R I CK Y MAL AU
Ricky Malau adalah seniman kelahiran Jakarta tahun 1974. Ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Selepas lulus, ia banyak terlibat dalam pameran bersama dan proyek seni. Malau juga dikenal sebagai seorang juru akting yang andal. Berbagai peran untuk film dan sinetron telah ia lakoni. Pada 2011, ia turut menggagas pembentukan Komunitas Gambar Selaw. Ricky Malau is an artist born in Jakarta in 1974. He finished his study in Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of the Arts. After graduating, he was involved in many collective exhibitions and art projects. Malau is also known as an excellent actor. He had acted for numerous roles in films and soap operas. In 2011, he also initiated the Gambar Selaw Community.
72
FRAME BY FRAME CAT AIR PADA KERTAS, PENA PADA KERTAS DIMENSI BERVARIASI 2015
Dalam Frame by Frame, Ricky Malau mencoba menyampaikan pernyataan penting tentang dunia kreatif yang ia geluti: akting dan seni rupa. Ia menampilkan puluhan gambar dan lukisan orang atau tokoh penting dalam hidupnya. Baginya, berkarya adalah menjalani sepenuh hati apa yang kita cintai. Malau menempatkan sketsa-sketsa tersebut sebagai manifestasi medium berkarya di luar kamera. Ia menangkap gestur, mimik, dan karakter wajah orang secara detail sebagai aplikasi dari berakting di dalam kamera. Kebiasaannya untuk bergerak dalam sebuah bingkai turut mempengaruhi pemilihan sudut pandang karyanya. In Frame by Frame, Ricky Malau tries to deliver an important statement about the creative world he is involved in: acting and visual art. He exhibits dozens of drawings and paintings of people or important figures in his life. For him, creating artworks is to do wholeheartedly what we have loved. Malau places those sketches as a manifestation of working space outside the camera. He capturs gestures, expression and people facial characters in detail as being brought up by acting in front of camera. His manner to move in certain frames contributes to affect the selection of angles in his works.
73
R I O FAR AB I
Rio Farabi lahir di Jakarta pada 1982. Ia menyelesaikan studi seni lukis di Fakultas Seni RupaInstitut Kesenian Jakarta pada 2005. Sejak 2003 hingga kini, ia bekerja sebagai perancang grafis dan tata letak, mural, dan juga direktur artistik pada sebuah perusahaan swasta. Selain bekerja di bidang visual, ia juga tergabung dalam White Shoes and the Couples Company, band pop Indonesia yang turut memberikan sentuhan visual dalam karyanya. Rio Farabi was born in Jakarta in 1982. He finished his study in painting in Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts in 2005. Since 2003, he worked as a graphic and layout designer, mural artist, and also an artistic director in private company. Besides working in visual fields, he’s also part of White Shoes and the Couples Company, Indonesian pop band known for its quirky visual approach on their works.
74
CHOICES CAT AKRILIK PADA KANVAS 3 PANEL, 30 X 200 CM 2015
Politik adalah pilihan. Dalam aturan negara demokrasi ini kita dituntut untuk selalu memilih. Konsep tentang pilihan itulah yang kemudian dijadikan sebagai landasan berkarya oleh Rio. Dalam perspektifnya, seniman juga selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan: medium, material, konsep, teknik, dan sebagainya. Dalam karya ini, ia memutuskan untuk bermain-main dengan visual dengan melakukan pemotongan objek gambarnya. Jika biasanya kita melihat secara horizontal, Rio menawarkan sudut pandang vertikal dalam karya lukisnya. Ketiga objek yang dipilih merupakan tiga hal yang menurutnya paling mendasar dalam konteks kehidupan pribadinya dan pengunjung diundang untuk melihat dan menerka ketiganya. Politics is a choice. This democratic rule in our nation forces us to choose many aspects. Such concept about choice becomes the groundwork of Rio for this painting. To his account, artists also face choices: medium, material, concept, technique and so on. In this work, he decides to play with the visual by cropping his objects. Our habit to see horizontally, is here being inverted by making a painting seen from vertical point of view. The selected three objects of the painting are what he considers the most fundamental in the context of his personal life, and spectators are invited to see and guess those three objects.
75
R I S H MA R IYA SA
Rishma Riyasa lahir pada 1990 dan menyelesaikan pendidikan seni rupa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Jakarta. Karya-karyanya sering mengangkat isu yang berkaitan dengan perempuan dan persoalan domestik. Ia banyak terlibat dalam pameran bersama, di antaranya Jakarta 32ºC (2011), Animal Instinct (2013), dan Fever Pitch (2015). Kini ia masih aktif berkarya sembari mengajar di beberapa tempat di Jakarta. Rishma Riyasa was born in 1990 and graduated from Visual Arts Education at the Faculty of Cultural Sciences, State University of Jakarta. Her works frequently raise issues related to women and domestic issues. She was involved in many group exhibitions, including Jakarta 32ºC (2011), Animal Instinct (2013), and Fever Pitch (2015). Now she still actively works while teaching at several places in Jakarta
76
D.H.M.J (DIKASIH HATI MINTA JANTUNG) TINTA PADA KERTAS 105 X 75 CM 2015
P.M.T (PAGAR MAKAN TANAMAN) TINTA PADA KERTAS 105 X 75 CM 2015
Dalam karya dua panel ini, Rishma Riyasa menampilkan ketrampilannya mengolah garis menjadi sebuah elemen penting. Ia menampilkan objek-objek yang saling bertumpuk dan membentuk sebuah komposisi tunggal di tengah kertas. Karya yang bercerita tentang problem domestik dalam kehidupan sosial politik ini dikerjakan dengan sangat teliti untuk mendapatkan hasil yang sangat halus. Rishma juga piawai dalam memilih objek yang dianggap sesuai untuk menjadi pendukung elemen pencerita dalam karyanya. In these two panels of artworks, Rishma Riyasa presents her skill to play with lines as an important element. Group of objects are drawn and formed a singular composition in the middle of paper. Raising issues about domestic field in the social-politics life, this piece is done in a precise care to achieve such fine and sleek result. Not to mention her savvy selection of objects that can support the narrative she tells through her works.
77
R UTH MAR B U N
Ruth Marbun lahir pada tahun 1985. Ia menyelesaikan pendidikan seni di Jurusan Mode Busana di Raffles Design Institute, Singapura pada 2008. Pekerjaannya di bidang fashion membuatnya aktif menggambar dan melukis. Pada Agustus 2015, ia menyelenggarakan pameran tunggal lukisannya bertajuk Waktu Tak Pandai Berbohong di SUAR ART SPACE, Jakarta. Ruth juga terlibat dalam beberapa proyek seni dan pameran bersama, di antaranya EXI(S)T 4 dan XeroFest 2. Kini ia tinggal dan berkarya di Jakarta. Ruth Marbun was born in 1985. She completed her art education at the Department of Fashion Design at Raffles Design Institute, Singapore in 2008. Working in fashion made her engaged to be active in drawing and painting. In August 2015, she held a solo exhibition of paintings entitled Waktu Tak Pandai Berbohong (Time Doesn’t Lie) in SUAR ART SPACE, Jakarta. Ruth is also involved in several art projects and joint exhibitions, including EXI (S) T 4 and Xero-Fest 2. She now lives and works in Jakarta.
78
PERPETUAL AMBIGUITY IN THE EPHEMERAL MARCH OF AFFINITY CAT AIR, AKRILIK, DAN GRAFIT PADA KANVAS 2015
Karya ini mencoba menunjukkan pada publik bahwa politik, bahkan dalam skala kecil sekalipun, tidak akan pernah diasosiasikan sebagai bentuk kenyamanan. Pentingnya hal ini tidak dipertanyakan lagi, namun berbeda dengan hasrat dan ambisinya – bahkan saat sedang berada di bawah - hidup selalu bergantung pada keinginan manusia yang satu itu. Penggunaan medium cat air memberikan kesan samar pada objek-objek di dalam bidang gambar. Hal ini juga memperkuat kesan soal ketidakpastian dan keraguan kita dalam mengerti persoalan politik. This artwork tries to show the public how politics, even in the small scale, will never be associated as a form of comfort. The importance of this notion is no longer asked, but it’s different with the craving and the ambition for politics – even when they are in a lower stage, life always relies on that particular human’s goal. The use of watercolor gives a blurred impression of the objects on the drawing surface. This is also to strengthen the uncertainty and our doubt to understand political issues.
79
SALE H H U S E I N
Saleh Husein adalah seniman kelahiran Jeddah tahun 1982. Ia mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, jurusan Seni Lukis. Saleh juga dikenal sebagai gitaris kelompok musik White Shoes and the Couples Company. Dalam berkarya, ia banyak bekerja dengan memanfaatkan arsip dan dokumentasi sejarah. Karyanya seringkali mempersoalkan batasan antara fakta dan fiksi. Pada 2012, Saleh menyelenggarakan pameran tunggal pertamanya, Riwayat Saudagar, di RURU Gallery. Setahun kemudian, ia terlibat dalam Jakarta Biennale 2013 dengan karya Arabian Party. Sepanjang 2015 ini, karyanya dipamerkan dalam rangkaian tur Time of Others di Tokyo, Osaka, Singapura, dan Queensland. Saleh Hussein is an artist born in Jeddah in 1982. He studied at the Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of the Arts, majoring in Painting. Saleh is also known as the guitarist of White Shoes and the Couples Company. In his artistic practices, he mostly works by utilizing archives and historical documentation. His work is often questioning the boundaries between fact and fiction. In 2012, Saleh held his first solo exhibition, Riwayat Saudagar (The Life Story of Traders), in RURU Gallery. A year later, he was involved in the Jakarta Biennale 2013, with the work entitled Arabian Party. Throughout 2015, his work was exhibited in a series of tour Time of Others in Tokyo, Osaka, Singapore, and Queensland.
80
AFTERIMAGE INSTALASI, TEKS, VIDEO DIMENSI BERVARIASI 2015
Dalam Afterimage, Saleh Husein ingin menceritakan tentang oknum lain di luar seniman yang turut berperan dalam menjaga karya seni, yakni konservator atau restorator. Ide ini berawal dari kisah Saleh tentang lukisan peninggalan sang ibu yang sudah dalam kondisi rusak parah. Lukisan itu merupakan lukisan terakhir dan satu-satunya yang masih tersimpan dalam arsip keluarga. Setelah menikah, sang ibu tidak lagi diizinkan untuk melukis karena aturan agama. Saleh kemudian menyadari bahwa ada suatu ‘rezim’ yang memiliki kuasa atas sebuah karya setelah tidak berada di tangan sang pencipta. Hal ini kemudian mendorongnya untuk mencari individu atau lembaga yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki lukisan. Melalui karya ini, kita diajak untuk memahami konsep ‘menyimpan’ dan ‘menjaga’ sebuah karya sebagai bagian yang harus dilakukan untuk menjaga nilai historis dan artistik. In Afterimage, Saleh Husein wants to give a spotlight on other persona outside the artists themselves that take part in caring the artwork, that is the conservator. This idea originates from Saleh’s story about the inherited painting from his mother that is severely damaged. It is the only surviving painting belonged to his family. After the wedding, his mother was not allowed anymore to paint because of the religion restriction. Saleh later notices that there’s some kind of regime that has power over an artwork when it is no longer in the hand of its creator. This matter later encourages him to find a person or institutions to restore the painting. Through this works, we are invited to understand the idea of “keeping” and “taking care of” an artwork as one of the acts to preserve the historical and artistic values.
81
SO N N Y E S K A
Sonny Eska adalah seniman kelahiran tahun 1955. Ia aktif memamerkan karya-karyanya dalam pameran tunggal maupun bersama. Pameran tunggal pertamanya diselenggarakan pada tahun 1993. Sonny dikenal melalui permainan garis dan warna yang membentuk gaya abstrak dalam lukisannya. Pameran tunggal terakhirnya bertajuk KREDO dan digelar di Srisasanti art House pada tahun 2011. Kini ia tinggal dan berkarya di Jakarta. Sonny Eska is an artist born in 1955. He is actively exhibiting his works in solo and collective exhibitions. His first solo exhibition was held in 1993. Sonny is known through his fiddling lines and colors that form the abstract style in his paintings. His last solo exhibition entitled KREDO (Credo) and held in Srisasanti art House in 2011. He now lives and works in Jakarta.
82
SAYA MULTATULI CAT AKRILIK PADA KANVAS 2015
Dalam Multatuli, Sonny Eska mencoba bicara tentang problematika rakyat yang semakin menderita dan tidak pernah mendapatkan ruang untuk menyampaikan aspirasi. Sonny melukiskan seraut wajah serupa manusia, namun dengan penampang yang berbeda-beda. Pada bagian mata ia menampilkannya dari sisi depan, sementara bagian mulut diperlihatkan dari samping. Ia melakukan abstraksi pada bagian-bagian lain, sehingga tidak terlihat utuh. Di depan mulutnya, terdapat tiga buah mikrofon yang bertuliskan tiga lembaga demokrasi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. In Multatuli, Sonny Eska tries to talk about the problems where people endure suffering and never get space to express their aspirations. Multatuli depicts a human-like face, but with different cross sections. He displays the eyes on the front side, while the mouth is shown from the side. He does abstractions on the other parts, so it does not look intact anymore. In front of his mouth, there are three microphones that read three institutions of democracy: the executive, the legislative, and the judicial one.
83
TATAN G R AMAD HAN B O U Q I E
Tatang Ramadhan Bouqie adalah seniman kelahiran Bandung tahun 1953. Ia lulusan Fakultas Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung. Sejak 1978, ia aktif menjadi Manajer Artistik dan Desainer Panggung untuk berbagai pertunjukan Teater Bel Bandung, Teater Lisette Bandung, Teater Ketjil, Teater Mandiri, Teater Sae, dan Satu Merah Panggung. Berbagai profesi pernah ia geluti, seperti desainer grafis, ilustrator, dan Penata Artistik dan Kreatif di banyak media massa antara lain TEMPO, Matra, Editor, dan Belanja. Posisi terakhir yang ia pegang adalah Direktur Kreatif di Media Indonesia, Metro TV, dan Media Group. Kini ia mengajar di berbagai institusi seni dan desain dan aktif terlibat dalam berbagai penyelenggaraan pameran, baik berskala nasional maupun internasional. Pada 2010 ia meraih penghargaan Indonesian Art Award Competition yang disponsori oleh The Phillip Morris Awards. Tatang Ramadhan Bouqie was born in Bandung in 1953. He graduated in from Visual Communication Design Department, Fine Art and Design Faculty of The Institute of Technology Bandung. From 1978 he has been active as Artistic Manager and Designer for performances such as those of Teater Bel Bandung, Teater Lisette Bandung, Teater Ketjil, Teater Mandiri, Teater Sae and Satu Merah Panggung. He has been working in various professions such as graphic designer, illustrator and Artistic and Creative Director for a number of printed and electronic media including TEMPO, MATRA, EDITOR and BELANJA. His last position was with Media Indonesia, Metro TV and Media Group as Creative Director. Now he teaches at various art and design institutions as well as at several other centers of learning and takes part in both national and international exhibitions. He received the Indonesian Art Award Competition of 2010 sponsored by The Phillip Morris Awards.
84
KAMI MENDENGAR, KAMI MELIHAT CAT AKRILIK PADA KANVAS 3 PANEL, 1 PANEL 200 X 240 CM, 2 PANEL 140 X 140 CM 2015
Salah satu hal yang ingin dibicarakan dalam Rendering Regime adalah bagaimana pengaruh media (massa) terhadap praktik kekuasaan saat ini. Hal ini coba ditelaah oleh Ramadhan Bouqie dalam karya berukuran tujuh meter ini. Ia membagi lukisannya ke dalam tiga panel. Dua panel disusun dan diletakan secara diagonal, menampilkan daun telinga dan sebuah mata sebagai elemen utamanya. Sebagai pengisi bidang, Bouqie menempatkan banyak karakter yang memperlihatkan gestur, mimik, dan karakter tertentu. Ia seperti menyusun kekacauan informasi dan berita yang selama ini didengar dan dilihat. Pada panel bagian tengah, ia melukiskan lima figur serupa manusia: empat tanpa kepala dan satu mengahadap ke belakang. Pada bagian latar, ia melukiskan beberapa ekor anjing dengan motif polkadot berwarna-warni. One of the cases from Rendering Regime to be brought up in this exhibition is the influence of (mass) media towards the power game nowadays. Ramadhan Bouqie tries to examine this case through this seven meters long painting, where he divides his painting into three sections. Two panels are being tilted diagonally, showing ears and eyes as the main elements. Filling the canvases, Bouqie posts numerous figures with specific gesture, expressions and characteristic, here and there. Apparently, Bouqie tries to visualize the chaos of information and news that have been heard and saw by us. In the middle panel, he portrays five human-like figures: four are beheaded, and one turns his back. On the background, he paints several dogs with colorful polka dots.
85
TIAR S U K MA P E R DANA
Tiar Sukma Perdana atau yang biasa dipanggil Cocot, adalah seniman kelahiran tahun 1979. Ia sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dan dikenal dengan gaya menggambarnya yang berkarakter kuat, aneh, dan mengerikan. Ia telah terlibat dalam berbagai pameran bersama dan proyek seni di Jakarta, Bandung, dan Bali. Tiar kini juga berprofesi sebagai Staff Pusat Pelestarian & Benda Bersejarah P.T. KAI dan turut terlibat dalam penyelenggaraan pameran Bangunan Cagar Budaya milik P.T. KAI. Tiar Sukma Perdana or nicknamed Cocot, is a 1979-born artist. He once studied at Faculty of Visual Arts of the Jakarta Institute of Arts and notable for his strong, odd, and horror drawing style. He had taken part in various collective exhibitions and art projects in Jakarta, Bandung, and Bali. Tiar now works as a staff in Artefacts & Preservation Center of P.T. KAI and is also involved in conducting the exhibition of Cultural Heritage Building, property of P.T KAI.
86
LEGISLATIF RESIN DAN AKRILIK 2015
Berbeda dengan karya lain, Tiar Sukma Perdana mencoba metode presentasi yang berbeda. Ia menggunakan kemeja yang dikeraskan dengan teknik tertentu, baru kemudian dilukis. Pada bagian depan kemeja, ia menampilkan wajah badut yang sedang mengenakan peci. Bila mengacu pada judul karya, ia sedang menampilkan sosok anggota dewan perwakilan rakyat sebagai badut politik. Pada bagian belakang, ia melukiskan tengkorak yang sedang menjulurkan lidah bercabang dua. Tiar mencoba memberikan kesan bahwa di balik wajah badut terdapat iblis yang kata-katanya tidak dapat dipercaya. Ia menggunakan warna-warna primer yang menguatkan kesan pop dan kontras pada karyanya. Different than any other artworks, Tiar Sukma Perdana experiments with a new method of presentation. He utilizes a shirt made stiff by particular technique, and paints on it as if it is a canvas. On the frontal side, there’s a face of a clown wearing a kopiah (local cap). Referring to the title of this work, he’s currently picturing a Member of Parliament as political clown. One the rear side, he paints a skull sticking out its forked tongue. Tiar wants to give an impression that behind the mask of the clown, there’s a devil whose words we cannot trust. He uses primary color to strengthen the impression of pop flavor and contrast in his work.
87
VO N N Y R ATNA I N DAH
Vonny Ratna Indah adalah seniman kelahiran tahun 1978. Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Desain Indonesia (STDI) Bandung pada 1997 sebelum akhirnya pindah ke Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) setahun setelahnya. Ia aktif berpameran sejak masih kuliah dan berkarya dengan beragam media. Pada 2006, Ia mengikuti program Artist In Residence di Cheongju, Korea. Kini ia tinggal dan berkarya di Jakarta, sambil sesekali mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Vonny Ratna Indah is born in 1978. She was educated at the Indonesia College of Design (STDI) Bandung in 1997 before moving to the Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB) the year after. She has been participating in exhibitions since she was in college and working with a various media. In 2006, she followed the Artist In Residence program in Cheongju, Korea. Now she lives and works in Jakarta, while occasionally teaches at Multimedia Nusantara University (UMN).
88
PURE BREED OLAH DIGITAL, CETAK PADA KERTAS FOTO 100 X 350 CM 2015
Pure Breed merupakan karya olah digital yang mempresentasikan nasib seorang peranakan Tiongkok yang tinggal di Indonesia dengan nasib seekor anjing ras campuran anjing gembala Jerman dan anjing kampung. Kedua citra olahan ini mempunyai simbol keterbalikan nasib, bagaimana seorang “bukan asli Indonesia” dipandang berbeda nilainya dan disandingkan dengan anjing ras campuran. Kesamaannya adalah mereka sama-sama tidak bisa memilih dilahirkan sebagai apa dan dianggap remeh atau diperlakukan ‘menyimpang’ oleh masyarakat. Kondisi ini kerap terjadi sebelum tahun 1965 sampai sekarang. Karya ini adalah perwakilan ikon yang sebenarnya. Seniman dan anjing hidup bersama, sudah genap 3 tahun lamanya. Seniman bernama Vonny Ratna Indah, nama yang terdiri dari 3 kosa kata, identik dengan nama aslinya, Lim Se Mei. Anjingnya bernama Cocaine, seperti nama narkotika yang memabukkan dan fenomenal. Seniman dan anjing sama-sama berjenis kelamin perempuan. Pure Breed is a digitally-processed work to represent the fate of a Chinese-Indonesians living lives in Indonesia through the fate of a crossbred dog, a mix of german shepherd dog and local dog. Both of these processed images symbolize the inverted fate, of how someone who’s not “real Indonesian” is seen differently and being compared to a crossbred dog. Both share a similarity: they cannot choose to be born as someone else and now being treated “discriminatingly” by the people. This condition has been happening since 1965. This work represents the actual icon. The artist and the dog are living together for three years. The artist’s name, Vonny Ratna Indah, consists of three words, is identical with her real Chinese name, Lim Se Mei. Her dog is called Cocaine, referring to the phenomenal and intoxicating drug. Both of the dog and the artist are female.
89
V U K AR LO DAK
Vukar Lodak lahir di Palembang tahun 1969 dan berlatar belakang pendidikan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Sejak 1988 hingga kini, ia banyak terlibat dalam pameran dan pertunjukan seni di berbagai kota. Vukar aktif mengajar seni rupa dan musik, serta banyak terlibat dalam kegiatan diskusi budaya, baik teater, sastra, seni rupa, musik, maupun film. Ia juga kerap menjadi narasumber berbagai diskusi budaya. Vukar Lodak was born in Palembang in 1969 and had educational background in Social and Political Sciences. Since 1988 until now, he was involved in many art exhibitions and performances in various cities. Vukar actively teaches art and music, and is frequently involved in the cultural discussion, ranging from theater, literature, art, music to film. He is also often serves as guest speaker various cultural discussions.
90
MEMOAR LELAKI DAN KUNANG-KUNANG CAT MINYAK PADA KANVAS 150 X 85 CM 2015
Vukar menyuguhkan suasana mencekam lewat permainan warna-warna gelapnya. Pada bagian atas dekat kepala, Vukar memberikan bercak-bercak kuning yang dianalogikan sebagai kunang-kunang. Karya ini cukup unik jika dilihat dari segi pewarnaan, karena meskipun bernuansa gelap, ia mampu memberikan materi warna yang cukup beragam, yang hanya bisa dilihat jika terkena cahaya. Lewat karya ini, kita dibawa kembali ke masa-masa kelam di bawah represi Orde Baru. Vukar presents a haunting atmosphere through his dark choice of color. Vukar places yellow spots, close at top of the head, as a metaphor of fireflies. This work has a unique quality through its coloring, since it is able to provide diverse hues when being exposed to light, even though the painting is done in dim tone. This painting takes us back to the dark times under the repression of New Order.
91
Y U S R IZ AL
Yusrizal lahir di Palembang tahun 1956. Ia merupakan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung tahun 1985 di bawah bimbingan beberapa maestro seni rupa Indonesia seperti Prof. Muchtar Apin, Prof. Kaboel Soeadi, Dr. Sanento Yuliman, Prof. Achmad Sadali, dan Prof . Joan Sommers (master of Sume-e) ketika ia berada North Carolina, Amerika Serikat. Sejak tahun 1982 ia aktif berpameran tunggal maupun bersama-sama, baik di dalam dan luar negeri. Pelukis yang pernah menjadi seniman residen di Private Commissioned Art Project di Tokyo dan Nagoya, Jepang (1995) dan Vermont Studio Center Amerika Serikat (2000) ini, tercatat beberapa kali memperoleh penghargaan, di antaranya ; Certificate from Paris American Academy (1984, Asian Artists Fellowships), Freeman Foundation Award (2000), dan Asian Artists Honorable Mention Grant, The Freeman Foundation (2001). Ia melukis bukan karena ingin menjadi terkenal atau mencari popularitas, apalagi harta. Melukis merupakan panggilan hidupnya. Yusrizal was born in Palembang in 1956. He’s an alumni of Faculty of Arts and Design of the Bandung Institute of Technology in 1985 under the guidance of several Indonesian art maestros like Prof. Muchtar Apin, Prof. Kaboel Soeadi, Dr. Sanento Yuliman, Prof. Achmad Sadali, and Prof. Joan Sommers (master of Sume-e) when he was in North Carolina, USA. Since 1982, he has been participating in many collective or solo exhibitions, in Indonesia or abroad. This artist who once took up residency programs at Private Commissioned Art Project in Tokyo and Nagoya, Japan (1995) and Vermont Studio Center USA (2000), is noted for receiving several awards: Certificate from Paris American Academy (1984, Asian Artists Fellowships), Freeman Foundation Award (2000), and Asian Artists Honorable Mention Grant, The Freeman Foundation (2001). He paints not for fame, popularity, or even wealth. Painting has become a calling.
92
PERGULATAN KEPENTINGAN CAT AKRILIK PADA KANVAS 135 X 135 CM 2015
Dalam Pergulatan Kepentingan, Yusrizal menampilkan sapuan-sapuan ekspresif dalam warnawarna gelap. Coretan-coretan itu saling tumpang tindih. Cat merah, coklat, jingga, putih, dan hitam saling bertabrakan di tengah kanvas dan membentuk sebuah pusat kekacauan. Melalui karya ini kita dapat melihat hiruk pikuk perebutan kekuasaan yang terjadi pada konstelasi politik tanah air. Partai Merah melawan Partai Hitam melawan Partai Biru, dan seterusnya. Hasilnya adalah warna keruh yang tidak dapat diidentifikasi lagi. In The Game of Interest, Yusrizal presents brisk brushstrokes in dark shades. Those scribbles overlap in the middle of the canvas and form a center of chaos. Through this work we can see the hustle and bustle of power game that take place in the political constellations of our nation. Red Party opposing the Black Party opposing the Blue Party and so on. The result is a muddy color that no longer can be identified.
93
94
95
96
97
K E R ABAT K E RJA | TH E CO M M IT TE E S
PENANGGUNG JAWAB | STEERING COMITEE Dewan Kesenian Jakarta | Jakarta Arts Council Irawan Karseno (Ketua Umum Pengurus Harian | Chairman) Alex Sihar (Sekretaris Umum | General Secretary) Madin Tyasawan (Ketua Bidang Umum | Head Of General Affairs) Helly Minarti (Ketua Bidang Program | Head Of Program) Komite Seni Rupa – Dewan Kesenian Jakarta | Visual Arts Committee Of Jakarta Arts Council Hafiz Rancajale (Ketua | Chairman), Inda C. Noerhadi (Sekretaris | Secretary), Irawan Karseno (Anggota | Member), Sarnadi Adam (Anggota | Member)
Pelaksana Program | Program Officer: Andike Widyaningrum • Pelaksana Proyek | Project Officer: Ajeng Nurul Aini • Kurator | Curator: Leonhard Bartolumeus • Keuangan | Finance: Tri Suci • Manajer Humas | Public Relation Manager: Dita Kurnia Rahardjo • Desainer Grafis | Graphic Designer: Riosadja • Fotografer | Photographer: Eva Tobing, M. Hasrul Indrabakti, Tian Reffina • Videografer | Videographer: Joel Taher • Percetakan | Printing: Gajah Hidup • Produksi | Production: 301 Studio • Kebersihan | Cleaning: Julian, Syaiful, Djaelani, Dedi • Manajer Panggung | Stage Manager: Rama • Pembawa Acara | MC: Adjis Doaibu • Pertunjukan Khusus | Special Performance: Efek Rumah Kaca, We Love ABC • Tim Jaga Pamer | Exhibition Guide: Agustian, Guntur, Ibal, Isrohmadi, Immah Khusnul Khotimah, Nia Lukman, Revli, Yunita
98
TE R I MAK A S I H | ACK N OWLE DG M E NTS
REKAN | PARTNER Unit Pelayanan Pusat Kesenian Jakarta - Taman ismail Marzuki (Isti Hendrati)
REKAN MEDIA | MEDIA PARTNER Whiteboardjournal.com (Ken Jenie) | Antaranews.com (Lara Monica) | Rururadio.org (Oomleo, Hauritsa, Ari Dagienkz) | Indoartnow.com (Hafidh Ahmad Irfanda) | Provoke! Magazine (Joko Suryono Nusantara) | Sindonews.com (Kinanti Ayu) | Seputarevent.com (Yudika Nababan) | Liputan6.com (Medina Adistya) | Rajawali Televisi (Andri Sere)
DUKUNGAN PRODUK | PRODUCT SUPPORT Cocomeo (Ken Zefanya)
PERTUNJUKAN KHUSUS | SPECIAL PERFORMANCE Efek Rumah Kaca (Boss Yurai, Cholil Mahmud ) | We Love ABC (Ricky Surya Virgana)
PERCETAKAN | PRINTING Gajah Hidup (Lilia Nursita)
99
100