Ari Ersandi Gintar Pramana Ginting Moh. Hariyanto Teater Kecil - Taman Ismail Marzuki 11 September 2015
1
Ari Ersandi Gintar Pramana Ginting Moh. Hariyanto Teater Kecil - Taman Ismail Marzuki 11 September 2015
Penanggung Jawab | Steering Committee Komite Tari - Dewan Kesenian Jakarta | Dance Committee of Jakarta Arts Council Penyunting | Editor Helly Minarti Desainer Grafis / Graphic Designer Riosadja Penerjemah / Translator Helly Minarti Ninus D. Andarnuswari Rizal Iwan Chandra P Putra Penyelaras Bahasa / Proofreader Helly Minarti Foto Eva Tobing Koleksi Pribadi
Komite Tari - Dewan Kesenian Jakarta | Dance Committee of The Jakarta Arts Council Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya, No. 73 Jakarta 10330 T/F: +6221.31937639 www.dkj.or.Id
2
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan guna mendukung kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Anggota Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan anggota DKJ dilakukan secara terbuka, melalui tim pemilihan yang terdiri dari beberapa ahli dan pengamat seni yang dibentuk oleh AJ. Nama-nama calon diajukan dari berbagai kalangan masyarakat maupun kelompok seni. Masa kepengurusan DKJ adalah tiga tahun. Kebijakan pengembangan kesenian tercermin dalam bentuk program tahunan yang diajukan dengan menitikberatkan pada skala prioritas masing-masing komite. Anggota DKJ berjumlah 25 orang, terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari dan Komite Teater. The The Jakarta Arts Council (Dewan Kesenian Jakarta – DKJ) is one of several organizations founded by Indonesian artists and had been officially stated by The Governor of Jakarta, Ali Sadikin, on June 17, 1969. The responsibility and the function of the The Jakarta Arts Council are to build partnership with the Governor of Jakarta, formulating policies for supporting the activities and development of the arts in the capital region. During the early stages, the members of The Jakarta Arts Council had been appointed by the Academy of Jakarta, consisting of intellectuals and people of the cultural and arts of Indonesia. As time progresses the selection process is conducted transparently through a team of art scholars and experts, both from within and outside the Academy of Jakarta. They receive the candidates from the public and respected arts groups, and their administration term will run for 3 years. The arts development policies will be carried out through annual programs from each committee, all prudently curate it internally. DKJ consists of 25 members and divided into 6 committees: Film, Music, Literature, Fine Arts, Dance and Drama.
3
Daftar Isi Contents 6
Sambutan Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta
7
Preface Chairman of The Jakarta Arts Council
8-9 Pengantar
Komite Tari - Dewan Kesenian Jakarta
10 - 11 Foreword
Dance Committee Jakarta Arts Council
14 - 18 Catatan Kuratorial
Mungguh dan Babaran: Panggung yang Menjadi, Bukan Dijadikan
20 - 24 Curatorial Notes
Mungguh and Babaran: The Stage That Is Becoming, Not Being Made to Become
28 - 37 Artikel
Suprapto Suryodarmo: Ritual Seni Dalam Luar Dalam
38 - 46 Article
Suprapto Suryodarmo: Art Ritual In Out In
4
48 - 52 Artikel
Yang Tersembunyi Dibalik Kata “Berlatih” dan “Pertunjukan”
54 - 58 Article
What’s Hidden Behind The Words “Practise” and “Performance”
60 - 63 Artikel
Gagasan tentang Tarian Masa Depan Saya yang Sempurna
64 - 67 Article
Thoughts on the Future Perfect of My Dance as Demon
70 - 95
Catatan Proses Koreografer | A Note on the Process by Choreographer
96 - 132
Catatan Proses Kawan Diskusi | A Note on the Process by Thinking Partner
135 - 148 Sinopsis Tari |
Dance Synopsis
135 - 177 Biografi |
Biography
178
Kerabat Kerja | The Committees
5
Pengantar Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Mendukung kreativitas anak-anak muda dalam bidang seni adalah salah satu program prioritas DKJ. Memetakan bakat baru, dan menyediakan wadah agar bakat-bakat ini dapat bersemi. Dalam bidang tari, tujuan itu disalurkan dalam program DKJ ChoreoLab: Process-in-Progress #2.
Tiga koreografer muda terpilih untuk mengikuti program ini. Format kelompok kecil adalah kesengajaan sekaligus upaya bernegosiasi dengan pendanaan yang terbatas. Program ini hadir dalam upaya membagi soal-soal mengenai koreografi yang akan mempertajam dan memperkuat karya-karya koreografer muda terpilih tadi.
Saya mengucapkan selamat kepada ketiga koreografer muda terpilih tahun ini. Semoga terus selalu ada proses yang ingin dikejar dan Choreo-Lab ini sebagai titik awal. Tidak luput, kami ucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya program ini dengan baik.
Jakarta, September 2015,
Irawan Karseno Ketua Umum Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
6
Preface Chairman of The Jakarta Arts Council Supporting young artists is one of DKJ top priorities, mapping these new talents, and providing a critical platform for them to thrive. In dance, such program is materialized in DKJ ChoreoLab #2: Processin-Progress.
Thee young choreographers are selected to join this year’s batch. A small format is deliberate as much as it is a way to negotiate with forever limited budget. This program exists to share issues on and around choreographing which hopefully can sharpen and strengthen their practices.
I thank the three choreographers selected for this year. I hope that there always will be a process to pursue which makes this ChoreoLab a starting point. I thank everyone involved in organizing this program so everything runs smoothly.
Jakarta, September 2015,
Irawan Karseno Chairman of The Jakarta Arts Council 2013-2015
7
Sambutan Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta Salam Tari Tahun ini adalah kali kedua Komite Tari DKJ Periode 2013-15 menyelenggarakan proram Choreo-Lab: Process in Progress. Program ini adalah inkarnasi dari program-program sejenis sebelumnya, yang bisa dijejak hingga akhir 1970an, ketika pemetaan koreografer muda - baik di Jakarta maupun daerah lainnya dilakukan.
Program Choreo-Lab tahun ini juga menjadi satu-satunya program utama dari Komite Tari tahun ini karena keterbatasan pendanaan. Kami memilih untuk fokus mengerjakan sebuah program secara optimal ketimbang memecah perhatian dan sumber dana dengan mengerjakan beberapa program, namun dengan kapasitas jauh dari harapan.
Seperti rekan-rekannya tahun lalu, ketiga koreografer terpilih tahun ini, Gintar Pramana Ginting (Jakarta/Medan), Hariyanto (Surabaya) dan Ari Ersandi (Yogyakarta/Lampung) menunjukan kesungguhan dalam mengikuti keseluruhan program, dan benar-benar menggunakan kesempatan ini untuk mengkaji dan mempertanyakan kembali pilihan-pilihan serta jalan artistik mereka selama ini. Dibantu dengan dua pengampu, perupa Hanafi dan „empugerak“ Suprapto Suryodarmo, mereka menjajaki kemungkinankemungkinan dari karya mereka masing-masing yang terpilih
8
menjadi ‚specimen‘ dalam laboratorium kali ini. Proses mereka juga dilengkapi oleh masukan dari narasumber Lawu Samagaha, seorang komposer yang sedang gandrung dengan kebudayaan suku Baduy dalam dan juga Ines Somellera, aktor, produser yang kini mengajar yoga. Sementara, ketika mereka kembali berproses di domisili masing-masing, mereka kembali ditemani oleh M.N Qomaruddin (Yogyakarta), Zen Hae (Jakarta) serta Hanafi yang khusus terbang ke Surabaya untuk mengamati proses Hariyanto.
Atas nama Komite Tari DKJ Periode 2013-15, saya mengucapkan terima kasih banyak pada semua pihak yang telah membantu kelancaran program ini dan sudah bekerja keras sejak Juni silam. Saya juga mengucapkan selamat kepada ketiga koreografer muda yang akan mementaskan karyanya pada 11 September 2015 ini.
Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
Sukarji Sriman Rury Nostalgia Hartati Helly Minarti
9
Preface Dance Committee Jakarta Arts Council Salam Tari This years marks the second year the Dance Committee of Jakarta Arts Council, period of 2013-15 organizing Choreo-Lab: Process in Progress. This program is incarnation of similar program which came before and could be traced back to the end of 1970s where the mapping of young choreographers from Jakarta and beyond was first initiated.
This year’s Choreo-Lab also became the only main program from the Dance Committee due to the limited funding available. We chose to focus on doing a main program optimally than dividing our intention and resources by doing several programs but with much lesser capacity.
Just like their peers last years, the three selected choreographers, Gintar Pramana Ginting (Jakarta/Medan), Hariyanto (Surabaya) and Ari Ersandi (Yogyakarta/Lampung) show their integrity in following the whole program and really use this opportunity to reconsider and question their artistic choices. With the help of two dedicated facilitators, visual artist Hanafi and the “movement master” Suprapto Suryodarmo, they explore the possibilities of each of their work to be a ‘specimen’ in this laboratorium. Their process is also complimented by feedback from other sources such as Lawu Samagaha, a composer who has been fascinated by the Baduy tribe as well as Ines Somellera, an actor/producer who also teaches
10
yoga. After the four-day workshop, they return to their studio and rehearse in the city they live, accompanied by M.N Qomaruddin (Yogyakarta), Zen Hae (Jakarta) as well as Hanafi who specially flew to Surabaya to observe the work in progress by Hariyanto.
On behalf of Dance Committee of Jakarta Arts Council Period of 2013-15, I thank you everyone who have been helping organize this program since last June. I also wish to congratulate the three young choreographers whose work will be staged on this very 11 September 2015.
Dance Committee Jakarta Arts Council 2013-2015
Sukarji Sriman Rury Nostalgia Hartati Helly Minarti
11
JUMAT / 11 SEPTEMBE TEATER KECIL, TAMAN
12
MBER 2015 / 19:30 WIB MAN ISMAIL MARZUKI
13
Catatan Kuratorial
Mungguh dan Babaran: Panggung yang Menjadi, Bukan Dijadikan
Helly Minarti 14
Salah satu intervensi Komite Tari DKJ dalam merancang DKJ Choreo-Lab: Process in Progress adalah justru dengan mengundang dua pengampu (perupa Hanafi dan filsuf-gerak Suprapto Suryodarmo) yang justru praktik keseniannya tidak berada dalam ranah pengertian koreografi yang mapan dan konvensional. Ketika pelembagaan pendidikan tari sudah begitu paripurna di Indonesia (kini tersedia pendidikan dari tingkat sarjana hingga paska di beragam institusi seni negara), terasa ada halhal penting yang justru hilang dari pembicaraan, percakapan dan proses ketika teman-teman koreografer muda berkarya. Salah satu hal yang paling membekas bagi saya ketika mengikuti lokakarya empat hari dari edisi pertama tahun lalu, adalah kualitas serta kedalaman percakapan yang melintas antara dua pengampu ketika mereka menemani ketiga koreografer terpilih mengulik kembali karya mereka, menelisik serta mempertanyakan kembali keputusankeputusan artistik mereka. Secara intuitif, tersirat, ada hal yang mendasar yang perlu dibongkar, hingga ke akarnya.
15
Tahun ini, dialog antara kedua pengampu kami rekam dalam bentuk video, dan kami kirimkan kepada ketiga koreografer terpilih: Gintar Pramana Ginting (anak Karo yang merantau ke Jakarta), Ari Ersandi (asal Lampung yang merantau ke Yogyakarta) dan Hariyanto dari Surabaya yang baru menyelesaikan studi paska sarjananya di ISI Surakarta. Dengan bekal itu, ketiganya memulai tahap awal dari Choreo-Lab ini di Studio Hanafi, Depok. Sebagai bahan referensi lainnya, kami juga memberikan tiga tulisan yang juga dimuat dalam buku program ini, yaitu tulisan Sardono pada terbitan DKJ tahun 1984 (yang saya tafsirkan sebagai esainya tentang proses latihan penari-penari Meta Ekologi, karya koreografi eksperimentalnya di tahun 1979), cuplikan tulisan Pichet Klunchun - koreografer berdomisili di Bangkok - serta tulisan Matthew Isaac Cohen tentang Suprapto Suryodarmo yang juga dikutip tahun lalu.
•••
Dari percakapan di Surakarta, terlontar dua kosakata utama yang berasal dari khasanah pengetahuan Jawa: mungguh dan
babaran. Kedua kosakata ini - menurut kedua pengampu - tidak memiliki padanan yang tepat di Bahasa Indonesia. Secara harfiah, mungguh bisa diterjemahkan sebagi pas, namun dalam konteks pembicaraan ini, mungguh ditaruh dalam konteks penalaran, rasa bahkan keberadaan dalam ruang dan waktu. Pas dalam kehati-hatian. Bagaimana ‘mungguhku’ (menurutku yang pas) dari seorang seniman, bisa berdialog dengan ‘mungguhmu’ (para kolaboratornya?). Karena, tanpa dinamika‚ mungguhku-mungguhmu‘, dialog tidak bisa terjadi, meskipun dialog di sini bisa berasal dari elemen-elemen monolog. Bagaimana aku mengerti tentang aku
16
(diri sendiri), dan memahami aku di luar aku (membuka pengertian bagi orang lain). Dalam konteks penciptaan karya seni, di mana tarik menarik antara yang individual dan komunal? Apakah bisa sertamerta ditaruh dalam perbedaan konteks penciptaan yang tradisi dan yang modern?
Istilah kedua, babaran, adalah organisme yang melahirkan, dalam konteks ini, yang dilahirkan adalah panggung. Istilah ini mengingatkan pada apa yang pernah diutarakan oleh almarhum Roedjito, skenografer yang banyak bekerja dengan senimanseniman besar Indonesia di tahun 1970an-1990an. Menurutnya, panggung itu adalah apa yang terjadi, bukan dijadikan. Jadi tidak ada desain awal, namun mengalir, organik dan melibatkan enerji ruang. Sementara, sebagai kontras, banyak pemanggungan kini dibuat di meja lain.
•••
Lintasan pemikiran-pemikiran seperti inilah yang mewarnai diskusi dalam Choreo-Lab, terutama selama lokakarya berlangsung di Studio Hanafi, awal Juni silam. Selain ketiga koreografer dan kedua pengampu, terlibat juga dalam pembicaraan komposer Lawe Samagaha dan Adinda Luthvianti, praktisi teater yang juga nyonya rumah yang membuat suasana empat hari tersebut terasa benar ‚merumah‘. Pembicaraan seringkali menukik pada karya masingmasing dan memperpanjang catatan tentang kemungkinana apa saja yang bisa dijelajahi.
Sebuah sesi Yoga dan Koreografi hadir sebagai jeda awal, yang dibawakan oleh Ines Somellera (Empu Sendok Arts Exchange)
17
- seorang aktor dan sutradara opera asal Meksiko yang telah berdomisili selama delapan tahun di Jakarta.
Tanpa sadar, alur DKJ Choreo-Lab: Process in Progress edisi kedua mengalir diantara dinamika dan tegangan mungguhku/mu dan babaran tadi.
•••
18
19
Curatorial Notes
Mungguh and Babaran: The Stage That Is Becoming, Not Being Made to Become
Helly Minarti 20
One of the interventions of Dance Committee of Jakarta Arts Council in designing DKJ Choreo-Lab: Process in Progress is by inviting two facilitators (visual artist Hanafi and ‘movement philosopher’ Suprapto Suryodarmo) whose arts practices are not within the conventional boundary of choreography. When the institutionalization of dance education has come full circle (now there are dance education from under- to postgraduate in various state-funded arts academy), it feels that there are important things which are lost from the conversation and process when young choreographers doing their work. One of the things that I find unforgettable for me when I actively participated in the 4-day workshop of last year’s edition, is the quality and the depth of conversation between the two facilitators when they responded to the selected choreographers by providing insights and at times through posting critical questions in regards to the choreographers’ artistic decisions. Intuitively, I sensed that there are fundamental things to unpack, down to its roots.
21
This year, the dialog between these two facilitators were recorded onto video which we sent to the three selected choreographers prior they were joining the workshop: Gintar Pramana Ginting (of Karo ethnicity who migrated to Jakarta), Ari Ersandi (from Lampung via Palembang who moved to Yogyakarta) and Hariyanto from Surabaya who just completed his postgraduate study at ISI Surakarta. With the video as something to watch for, the three started the first stage of the Choreo-Lab at Studio Hanafi, Depok. Another references are the three articles we publish in this program book, i.e. an article by Sardono published on an anthology of Jakarta Arts Council in 1984 (which I interpreted as his essay on the rehearsal process that his dancers had to go through during the making of Meta Ekologi, his experimental choreography in 1979), excerpts by Pitchet Klunchun a Bangkok-based choreographer - and the same article by Matthew Cohen on Suprapto Suryodarmo we included last year.
•••
From the video-taped conversation in Surakarta, emerged two main key words sourced from Javanese realm: mungguh and babaran. These two vocabularies - according the two facilitators are untranslatable to Bahasa Indonesia. Literally, mungguh can be interpreted as pas or fitting/suitable, but in this context, mungguh is put within the parameter of the art of making sense (penalaran), rasa or even existence within space and time. Fitting it, but with cautious. How does the attitude of ‘mungguhku’ (what I think fit and proper) of an artist, can engage in a dialog of ‘mungguhmu’ (those of his/her collaborators?). Because, without the dynamic ‘mungguhku-mungguhmu’, no dialog can take place, although ‘dialog’ here can come from the elements of a monolog. How does an artist
22
understand about him/his self, and about ‘I’ outside ‘me’ (to open the understanding for other people). In the context of art making, where the pull-push factor between the individual and the communal? Can it be simply putting it between the context of traditional vis-a-vis modern?
The second term, babaran, refers to an organism which gives birth to something, which, in this context, that something is the stage. This term immediately reminds them to what had been formulated by the late Roedjito, a scenographer who worked with Indonesia’s big theater-makers from the 1970s-1990s. According to him, ‘stage’ is what is happened, not what made to happen. It means, there is no pre-designed, instead everything flows, organic and involves the energy of a space. In the mean time, in contrast, there are many stagings are now made (already) on other table.
•••
Such flights of thoughts colored the discussions in Choreo-Lab, especially during those four day workshop at Studio Hanafi, last June. In addition of the three young choreographers and the two facilitators, in conversation were also composer Lawe Samagaha and Adinda Luthvianti, a theater-practician doubled as the lady of the house which made the four days felt really ‘homey’. The conversation often plunged into each choreographer’s work and it seemed to lengthen their notes about possibilities to explore in the next stage.
A session of Yoga and Choreography was included to break the early rhythm which was given by Ines Somellera (Empu Sendok Arts
23
Exchange) - an actor and opera director from Mexico who has been making Jakarta her base for at least the last eight years. Without being consciously so, the flow of this year’s DKJ ChoreoLab: Process in Progress has already moved between the dynamic and tension of the said mungguhku/mu and babaran.
•••
24
25
26
27
Artikel
Suprapto Suryodarmo: Ritual Seni Dalam Luar Dalam
Matthew Isaac Cohen Royal Holloway, University of London
28
Dengan satu kaki di dunia seni dan kaki yang lain di dunia mistisisme, seniman gerak Jawa Suprapto Suryodarmo (lahir 1945) menafsirkan ulang tradisi seni pertunjukan, filsafat, dan mitos-mitos Jawa, yang terpengaruh India. Penafsiran itu ia lakukan dalam improvisasi terstruktur yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran akan diri dan menyelaraskan partisipan dengan lingkungan dan dunia yang ditinggalinya. Suprapto memiliki pengikut yang taat di Jerman, Inggris, dan negara-negara lain di seluruh dunia, dan ratusan mahasiswa asing telah turut serta dalam lokakaryanya. Pada saat yang sama, walaupun memiliki hubungan dekat dengan banyak seniman pertunjukan Indonesia yang terkemuka, ia juga merupakan sosok yang kontroversial di negaranya sendiri, khususnya di Jawa Tengah, di mana ia dijuluki sebagai Sang Begawan Polah. Suprapto lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 1945. Ia tidak belajar menari sejak
29
kecil dan baru mulai mempelajari seni secara formal pada saat dewasa. Pada 1966 ia mendirikan sebuah kelompok kebudayaan kecil bernama Bharada (singkatan dari bhinneka raga budaya) yang berkumpul secara rutin di rumahnya untuk belajar dan melakukan geladi. Pelatih-pelatih Bharada di antaranya adalah S. Ngaliman dan Mloyo Widodo, tokoh-tokoh terkenal di dunia tari dan gamelan yang merupakan penjelmaan nilai-nilai spiritual dan artistik Jawa tradisional. Pada 1967 Suprapto diterima di Jurusan Karawitan AKSI Surakarta (sekarang dikenal sebagai ISI Surakarta) dan, tak lama, segera dipilih sebagai ketua senat mahasiswa.
Suprapto memanfaatkan posisinya untuk meraih banyak tujuannya sendiri, mengadakan lokakarya, pertunjukan, dan festival baik dengan para seniman tradisional maupun inovatif. Hal yang paling dikenang, ia mengundang penyair dan sutradara W. S. Rendra ke ASKI Surakarta. Akhir dekade 1960-an dan awal 1970-an adalah masa-masa eksperimentasi radikal dalam teater berbahasa Indonesia. Rendra, setelah kembali dari studinya di New York, mendirikan Bengkel Teater, sebuah kolektif yang menolak praktikpraktik sandiwara dominan yang berorientasi pada teks, demi mengejar suatu estetika teater yang minim secara disengaja. Dalam penciptaan drama-dramanya yang hampir tanpa kata (teater mini kata), Rendra menggali pencak silat dan praktik-praktik meditasi tradisional, menyelidiki konsep inti Jawanisme dan berlatih serta melakukan geladi di lokasi-lokasi luar ruangan seperti Pantai Parangtritits. Walaupun Suprapto tidak memiliki afiliasi formal dengan Bengkel Teater, ada banyak kemiripan antara karya Rendra pada periode ini dan praktik yang mulai dikembangkan Suprapto pada 1970-an.
30
Suprapto juga sangat dekat dengan Gendhon Humardhani, yang ditunjuk sebagai kepala ASKI Surakarta pada 1975. Suprapto tertarik dengan “perspektif Gendhon yang sangat jernih terhadap tradisi”, yang didasarkan atas estetika universal. Gendhon adalah seorang visioner artistik yang meramalkan adanya kebutuhan untuk menyelaraskan ulang seni Jawa dengan era kontemporer, serta menghidupkan kembali pertunjukan Jawa yang dimodernisasi dan dinasionalisasikan untuk memikat audiens nontradisional. Suprapto bekerja di ASKI dan di organisasi ASKI untuk masyarakat umum, Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (kini dikenal sebagai Taman Budaya Surakarta), secara langsung di bawah Gendhon antara 1972 hingga 1983 walaupun tidak terus-menerus. Gendhon juga mendorong Suprapto untuk menuntaskan pendidikan sarjana mudanya di Jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada, almamater Gendhon. Suprapto menulis skripsi tentang filsafat Dewa Ruci, sebuah kisah kunci dalam wayang dan teks utama mistisisme Jawa.
Pada saat yang bersamaan, Suprapto mulai mempelajari Buddhisme dan Sumarah (penyerahan mutlak), sebentuk mistisisme Jawa yang melibatkan praktik meditatif melalui gerakan otomatis, selain tai chi, kungfu, dan tarian Jawa tradisional. Sudarno Ong, pamong Sumarah Suprapto yang utama, adalah seorang pemeluk Buddha dan guru meditasi terkenal bagi orang asing yang tinggal di Solo untuk mencari Kebijaksanaan Timur selama 1970-an hingga awal 1980-an. Suprapto memeluk Buddhisme pada 1974 dan pada tahun yang sama, dengan dukungan Gendhon, memimpin sebuah tim yang terdiri atas penari, dalang, musikus, dan seniman visual dari ASKI dan akademi seni murni Yogyakarta, ASRI, untuk menciptakan Wayang Buddha, pertunjukan wayang berskala besar yang menceritakan kisah-kisah Buddhis seperti riwayat Buddha,
31
Sutasoma, dan Kunjarakarna Dharmkathana. Wayang kulit besar untuk acara ini digerakkan oleh para penari, diinspirasikan dari pertunjukan wayang berskala besar dari daratan Asia Tenggara yang diperkenalkan di Jawa pada Festival Ramayana Internasional 1971 di Pasuruan. Musiknya, diarahkan oleh Rahayu Supanggah, mengombinasikan gamelan Jawa tradisional dengan elemen-elemen Bali, harmoni paduan suara, dan nyanyian oleh biksu-biksu Buddhis. Wayang Buddha dipertunjukkan baik di festival-festival seni maupun dalam acara-acara keagamaan dan liburan umat Buddha.
Penyelenggaraan Wayang Buddha bagi Suprapto merupakan perjalanan yang sulit. Ia memandangnya demikian dalam hubungannya dengan apa yang disebutnya sendiri sebagai polemik dengan Gendhon. Gendhon memahami pertunjukan sebagai seni pertunjukan (seni sekuler untuk konsumsi masyarakat umum) sedangkan Suprapto semakin lama semakin terpikat dengan gagasan tentang seni ritual. Para peserta Wayang Buddha keberatan dengan gaya tari Suprapto yang mengalir bebas. Ia ditanya apakah sedang menari atau bertapa di atas panggung, yang dijawab oleh Suprapto bahwa ia sedang menampilkan meditasi gerak dalam kerangka wayang, tari tradisional, gamelan, dan musik non-tradisional. Perbedaan estetika itu memuncak menjadi krisis pada 1978 saat Suprapto tidak diundang untuk berpartisipasi dalam pertunjukan Wayang Buddha di Festival Penata Tari Muda pertama yang diselenggarakan di pusat kesenian Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Hanya campur tangan dari seorang anggota penting saja yang membuat Suprapto akhirnya tampil.
Suprapto meninggalkan ASKI setelah kematian Gendhon pada 1983. Pada saat itu, ia telah berpisah jalan dengan pamong Sumarahnya,
32
Sudarno Ong. Suprapto telah mengembangkan teknik tubuhnya sendiri tanpa stilisasi, kini dikenal sebagai Gerakan Amerta, yang secara selektif mengambil unsur-unsur Sumarah, teknikteknik latihan teater, bela diri, dan tarian Jawa. Etos gerakannya memfasilitasi ekspresi diri tak sadar yang masih sadar akan yang lain yang ada secara bersama-sama (co-present), juga lingkungan terdekat dan dunia di mana seseorang hidup.
Hubungan Suprapto dengan Ong dan karyanya di ASKI membawanya pada perjumpaan dengan banyak orang asing. Sebagian besar seniman di Solo pada 1970-an dan 1980-an tidak memedulikan banyak orang asing yang datang untuk mempelajari seni dan kebudayaan Solo yang tersempurnakan setelah hukum dan tatanan ditegakkan di bawah kediktatoran militer Soeharto. Sebagian besar seniman Solo lebih suka mengembangkan keahlian (craft) mereka sendiri alih-alih berkolaborasi dengan orang asing; mereka tidak merasa perlu belajar Bahasa Inggris dan mengecilkan upaya-upaya orang non-Jawa yang meraba-raba dalam belajar gamelan, batik, wayang, tarian, bahasa, sastra, dan mistisisme. Suprapto adalah perkecualian yang signifikan: ia merangkul peluang untuk berdialog dengan orang asing, menjelaskan mistisisme Jawa, dan memperluas cakrawala budayanya sendiri. Persahabatan dengan sutradara dan dramaturg asal Swiss, Marcel Robert, berujung pada perjalanan luar negeri Suprapto yang pertama untuk memberikan demontrasi karyanya di Swiss dan negara-negara Eropa lain pada 1982. Suprapto sejak itu terus bepergian ke luar negeri untuk memberikan lokakarya—ia jelas salah satu seniman pertunjukan Indonesia yang paling internasional pada abad yang lalu. Suprapto lantas menciptakan sebuah pusat kesenian pada 1986, Padepokan Lemah Putih, yang hari ini berlokasi di Karanganyar,
33
dengan program lokakarya yang telah menjadi magnet bagi banyak mahasiswa asing tiap tahunnya. Lokakarya di Jawa, dan yang ia berikan di luar negeri, jarang menghasilkan produk tuntas, walaupun sesekali ada demonstrasi praktik karya yang disebut sebagian pengikutnya sebagai “kristalisasi”.
Meringkaskan lokakarya khas Suprapto sangatlah sulit tetapi ada tema-tema tertentu yang tetap selama dua dekade terakhir. Gerak bagi Suprapto merupakan moda komunikasi sekaligus ekspresi mengada (being), dan meskipun beberapa momen lokakarya secara intens bersifat reflektif terhadap diri, tujuan akhirnya adalah untuk membuka diri seseorang guna menghadapi apa yang ada di sekitar diri dan dunia pada umumnya. Lokakarya-lokakarya itu hampir secara tak terelakkan mencakup periode-periode panjang yang terdiri atas improvisasi yang terstruktur dan periode-periode saat Suprapto mendiskusikan tema-tema dari filsafat Jawa serta praktik ritual Jawa dalam kerangka perbandingan agama. Suprapto bergerak bersama para peserta lokakarya, juga bernyanyi dalam Bahasa Jawa dan melagukan kidung-kidung Buddha serta memainkan drum dan alat perkusi lain. Ada penekanan pada penyelarasan gerakan seseorang terhadap lingkungannya, dan atmosfer ritual yang bagi sebagian orang serupa dengan “agama new age”. Suprapto menyukai karya di luar ruangan, di dalam lingkungan yang alami sekaligus mengingatkan akan masa lampau yang jauh. Di Jawa, ia secara rutin membawa kelompok-kelompok muridnya ke Candi Sukuh (sebuah candi Hindu Jawa abad ke15 di lereng barat Gunung Lawu) dan situs-situs arkeologi lain. Karyanya di luar negeri juga berlokasi di situs-situs serupa—video Amerta Movement difilmkan di Dartmoor dan dalam kunjungannya pada 2008 ke Inggris ia akan melaksanakan sesi di Stonehenge (1
34
Juni) dan Avenbury (5 Juni). Karya tersebut bukan soal mengejar keantikan, melainkan lebih pada menyelaraskan kebutuhan kini partisipan, komunitas, dan dunia. Sejalan dengan itu, Suprapto merupakan salah seorang inisiator perhelatan seni ritual di Ground Zero di New York pada 2001.
Perkenalan saya secara langsung dengan karya Suprapto sendiri relatif singkat. Sewaktu mempelajari wayang di ASKI Surakarta pada akhir 1980-an, saya menyaksikan sejumlah kristalisasi yang ditampilkan oleh murid-murid Suprapto di Taman Budaya Surakarta dan mendengar banyak cerita tentang dirinya. Saya penasaran, tentu, tetapi relasi antara Suprapto dan ASKI saat itu tidaklah hangat. Staf di ASKI kerap memperingatkan mahasiswa agar tidak berkeluyuran ke Padepokan Lemah Putih dan, sebagai mahasiswa yang baik, waktu itu saya mematuhi peringatan tersebut. Walaupun demikian saya tidak dapat menahan diri saat tiba peluang untuk menyaksikan Suprapto melaksanakan lokakarya di London pada 2005 dan 2006. Saya menemukan bahwa relasi pasca-Reformasi antara Suprapto dan ISI Surakarta telah jauh lebih longgar dan bahwa selama tahun-tahun belakangan Suprapto telah bekerja dengan sejumlah seniman yang terafiliasi dengan ISI, termasuk koreografer-penari Fajar Satriadi dan dalang (almarhum) Slamet Gundono.
Suprapto, Dr. Katya Bloom (terapis tari berbasis London yang lama telah bekerja bersama Suprapto), Karin Fisher-Potsik (pengarah artistik Ricochet Dance Production yang berbasis di London), dan saya mengatur sebuah seminar dan pertunjukan yang diturunkan dari karya kreatif Suprapto pada 7 Oktober 2007 di Boilerhouse Theatre of Royal Holloway, University of London. Temanya adalah
35
“Art Ritual In Out In” dan acara itu dihadiri oleh sekelompok peserta berjumlah kurang-lebih 40 orang; sebagian di antaranya baru mengenal karya Suprapto, sebagian yang lain sudah lama mengenal karyanya.
Hari itu dimulai dengan serangkaian refleksi terhadap ruwatan— sebuah genre wayang yang menggunakan kisah Murwakala (asal mula Kala) untuk menyembuhkan orang-orang yang ditimpa kemalangan. Refleksi itu dibawakan oleh Bloom, Dr Robert Wessing (antropolog yang meneliti mitos dan ritual Indonesia), Suprapto, dan saya sendiri. Kami merenungkan apakah ruwatan masih relevan dengan Jawa kontemporer dan bagaimana strukturnya bisa menjadi bermakna bagi audiens non-Jawa. Kami lalu menyaksikan presentasi sebuah karya yang terinspirasi dari ruwatan, yang diciptakan oleh Suprapto dalam kolaborasinya dengan Fisher-Potsik dan dua penari untuk acara ini. Tiap penari mempresentasikan diri mereka sebagai tipe tertentu—perempuan hamil dengan perut bulat seperti Ganesha, sosok mirip Kristus yang terbungkus dalam kain putih (sebuah motif ruwatan), seorang warga urban yang sibuk. Suprapto menari, menyanyi, dan memainkan musik bersama dengan musikuskomposer Christopher Bernstead. Audiens diundang ke dalam ruang improvisasional.
Tujuannya, yang dinyatakan secara terbuka, adalah untuk membalikkan istilah ruwatan dan memungkinkan audiens untuk melihat bahwa para seniman membutuhkan campur tangan audiens, alih-alih pendeta-dalang menyembuhkan pasien dalam sebuah ritual. Para partisipan diminta untuk membawa serta pakaian ganti dan artefak pribadi—meskipun barang-barang ini akhirnya tidak digunakan. Hari itu berakhir dengan refleksi panjang tentang
36
pertunjukan itu—yang berlanjut dalam bentuk korespondensi yang panjang melalui surat elektronik.
Bulan demi bulan telah berlalu dan kini saya masih merusaha memahami acara itu—yang memicu banyak reaksi kontradiktif dari partisipan yang beragam. Di satu sisi ada suatu perasaan penuh perayaan karena bekerja bersama Suprapto dalam skala seperti ini dan menemukan ruang-waktu yang membuka elemenelemen lokakarya pribadi kepada kelompok yang lebih besar. Pada akhirnya, sebagian yang secara “reguler” bekerja dengan Suprapto kembali ke pola kerja lama sementara sebagian pendatang baru merasakan kesadaran diri yang intens setelah diundang untuk berimprovisasi di depan umum. Sebagian orang secara mendalam tergerak oleh pengalaman itu, sebagian orang yang lain biasa saja. Pertanyaannya tetaplah apakah pola ruwatan dari masa kuno dapat ditransfer ke luar Jawa demi penyembuhan dan komunikasi lintasbudaya. Itulah pertanyaan yang, sesuai janji Suprapto, akan terus dijelajahinya.
Publikasi utama tentang Suprapto Suryodarmo • Levelle, Lisa, Amerta Movement of Java 1986-1997: An Asian Movement Improvisation, Lund: Centre for Languages and Literature, Lund University, 2006. • Morein, Andrea, A practice called Road: Movement in meditation with Suprapto Suryodarmo in Central Java, Indonesia. Contact Quarterly (Winter/Spring 1994): 24-34. • Stange, Paul, Silences in Solonese dance production, Southeast Asian Journal of Social Science 22 (1994): 211-229. • Suryodarmo, Suprapto, Amerta Movement, Exeter: Arts Archive, 1999. • Matthew Isaac Cohen adalah pengajar senior di Departemen Drama dan Theatre, Royal Holloway University, London (Inggris).
37
Article
Suprapto Suryodarmo: Art Ritual In Out In
Matthew Isaac Cohen Royal Holloway, University of London
38
Straddling the worlds of art and mysticism, Javanese movement artist Suprapto Suryodarmo (b. 1945) reinterprets Java’s Indic myths, philosophy and performing arts traditions in structured improvisations designed to increase awareness of the self and attune participants to the environment and world they inhabit. Suprapto has a devoted following in Germany, the United Kingdom and other countries around the world, and many hundreds of foreign students have participated in his workshops. At the same time, though he has had close relations with many high profile Indonesian performing artists, he is a figure of controversy in his own country, particularly in central Java, where he is sometimes referred to tongue-in-cheek as Sang Begawan Polah, “the high priest of movement.” Suprapto was born in Surakarta, Central Java in 1945. He did not receive dance training as a child, but only started to study the arts formally as an adult. In 1966, he founded a neighbourhood cultural organization called Bharada (an abbreviation of bhinneka raga
39
budaya, “diverse forms of culture”), which met regularly in his house for practice and rehearsal. Bharada instructors included S. Ngaliman and Mloyo Widodo, well-known figures in the world of dance and
gamelan who embodied the spiritual and artistic values of traditional Java. In 1967, Suprapto enrolled in the karawitan (traditional music) department of ASKI Surakarta (now known as ISI Surakarta), and was promptly elected as the head of the student senate.
Suprapto used his position to pursue his own goals, organizing workshops, performances and festivals with both traditional and innovative artists. Most memorably, he invited the playwright, poet and director W.S. Rendra to ASKI Surakarta. The late 1960s and early 1970s was a time of radical experimentation in Indonesianlanguage theatre. Rendra, after returning from his studies in New York, formed his Bengkel Teater (Theatre Workshop) collective which rejected the dominant text-oriented sandiwara practices in order to pursue a consciously poor theatre aesthetic. In the creation of his nearly wordless dramas (teater mini kata), Rendra mined pencak
silat (martial arts) and traditional meditation practices, investigated core concepts of Javanism and trained and rehearsed in outdoors locations like Parangtritis beach. While Suprapto did not have a formal affiliation with Bengkel Teater, there are many affinities between Rendra’s work of this period and the practice that Suprapto developed starting in the 1970s.
Suprapto also developed a very close relation to Gendhon Humardhani, who was appointed head of ASKI Surakarta in 1975. Suprapto was attracted to Gendhon’s “very clear perspective on tradition,” grounded on a universal aesthetic. Gendhon was an artistic visionary who foresaw the need to retune Javanese arts to
40
the contemporary era, and revamped, nationalized and modernized Javanese performance to appeal to non-traditional audiences. Suprapto worked at ASKI and ASKI’s public outreach arm, Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (Central Java Cultural Centre, now known as Taman Budaya Surakarta), directly under Gendhon on-and-off between 1972 and 1983. Gendhon also encouraged Suprapto to complete a sarjana muda (undergraduate degree) in philosophy at Gadjah Mada University, Gendhon’s own alma mater. Suprapto wrote his thesis on the philosophy of Dewa Ruci, a key wayang story and a core text for Javanese mysticism.
At the same time, Suprapto began to study Buddhism and Sumarah (Total Surrender), a form of Javanese mysticism that involves a meditative practice of automatic movement, as well as tai chi, kungfu and traditional Javanese dance. Sudarno Ong, Suprapto’s principal Sumarah ‘guide’ (pamong) was a Buddhist and a popular teacher of meditation for foreigners in search of Eastern Wisdom living in Solo during the1970s and early 1980s. Suprapto converted to Buddhism in 1974 and in this same year, with the support of Gendhon, Suprapto headed up a team of dancers, puppeteers, musicians and visual artists from ASKI and Yogya’s fine arts academy ASRI, to create Wayang Budha, a large-scale shadow spectacle narrating Buddhist tales such as the life of the Buddha, Sutasoma and Kunjarakarna Dharmkathana. The huge hide puppets for this were animated by dancers, inspired by large-scale shadow puppets from mainland Southeast Asia introduced to Java at the 1971 International Ramayana Festival in Pasuruan. The music, directed by Rahayu Supanggah, combined traditional Javanese gamelan with Balinese elements, choral harmonies and chanting by a Buddhist monk. Wayang Budha was performed at both arts festivals and for
41
Buddhist holidays and religious occasions.
The management of Wayang Budha was fraught with difficulties for Suprapto. Suprapto sees this in relation to a self-described ‘polemic’ with Gendhon. Gendhon understood performance as seni
pertunjukan (secular art for public consumption) while Suprapto increasingly was fixated on the idea of seni ritual (art infused with ritual). Wayang Budha participants objected to Suprapto’s free-flow dancing style. He was asked whether he was dancing or meditating on stage, to which Suprapto responded that he was performing meditasi gerak—meditation through movement—within the frame of wayang, traditional dance, gamelan and non-traditional music. This aesthetic difference came went into crisis mode in 1978 when Suprapto was not invited to participate in a Wayang Budha performance at the first Festival Penata Tari Muda (Young Choreographers Festival) held at the Taman Ismail Marzuki arts centre in Jakarta. Only the intervention of a key team member allowed him to perform in the end.
Suprapto left ASKI with Gendhon’s death in 1983. By this time, he had already parted ways with his Sumarah guide Sudarno Ong. He had developed his own non-stylized bodily technique now known as Amerta Movement, drawing selectively on features of Sumarah, theatre training techniques, martial arts and Javanese dance. The ethos of movement facilitated unselfconscious self-expression while still being aware of others who are co-present, the immediate environment and the world in which one lives.
Suprapto’s association with Ong and his work at ASKI had brought him into contact with many foreigners. Most artists in Solo in the
42
1970s and 1980s were indifferent to the many foreigners who came to study Solo’s refined arts and culture after the establishment of law and order under Soeharto’s military dictatorship. The bulk of Solonese artists preferred to develop their own craft rather than collaborate with foreigners; they were indifferent to learning English and condescending of fumbling attempts by non-Javanese to learn gamelan, batik, puppetry, dance, language, literature and mysticism. Suprapto was a significant exception: he embraced the opportunity to dialogue with foreigners, expositing upon Javanese mysticism and expanding his own cultural horizons. Friendship with Swiss director and dramaturg Marcel Robert led to Suprapto’s first trip abroad to give work demonstrations in Switzerland and other European countries in 1982. Suprapto has been going abroad to give workshops ever since—he is without question one of the most international of Indonesian performing artists of the last century. Suprapto created an arts centre in 1986 called Padepokan Lemah Putih (White Earth Retreat), located today in Karanganyar, with a programme of workshops that has drawn many foreign students each year. The workshops in Java, and the ones he gives abroad, rarely result in final products, although there are occasional demonstrations of work practices that are referred to by some Suprapto followers as “crystallizations.”
Summarizing a typical Suprapto workshop is very difficult, but there are certain themes that have been constant over the last two decades. Movement for Sardono is both a mode of communication and an expression of being, and while some moments of the workshop are intensely self-reflexive, the ultimate goal is to open oneself to dealing with those around oneself and the larger world. Workshops almost inevitably include both long periods of
43
structured improvisation and periods when Suprapto discusses themes from Javanese philosophy and Javanist ritual practice in a comparative religion framework. Suprapto moves together with workshop participants, and also sings in Javanese and intones Buddhist chants and plays the drum and other percussion instruments. There is an emphasis on attuning one’s movements to the environment around oneself, and a ritual atmosphere that some liken to ‘new age religion.’ Suprapto favours outdoor work in environments that are both natural and redolent of the distant past. In Java, he regularly brings groups to Candi Sukuh (a fifteenthcentury Javanese Hindu temple on the western slope of Mount Lawu) and other pre-Islamic archaeological sites. The work abroad favours equivalent sites – the video of Amerta Movement was filmed in Dartmoor, and in his 2008 visit to the United Kingdom he will be conducting sessions at Stonehenge (1 June) and Avebury (5 June). The work is not antiquarian, rather it is attuned to the present needs of participants, communities and the world. In line with this, Suprapto was one of the initiators of a ritual art event at Ground Zero in New York in 2001.
My own direct exposure to Suprapto’s work has been relatively brief. While studying puppetry at ASKI Surakarta in the late 1980s, I saw a number of crystallizations performed by Suprapto students at Taman Budaya Surakarta and heard many stories about him. I was curious of course but relations between Suprapto and ASKI were not cordial at this time. Staff at ASKI frequently warned students not to venture to White Earth Retreat and good student that I was I heeded this peringatan (piece of advice). I could not resist the opportunity to see Suprapto conduct workshops in London in 2005 and 2006, however. I found that post-reformasi relations between Suprapto
44
and ISI Surakarta have been much less strained, and that Suprapto has been working in recent years with a number of ISI affiliated artists, including dancer-choreographer Fajar Satriadi and puppeteerdirector Slamet Gundono.
Suprapto, Dr Katya Bloom (a London-based dance therapist who has long worked together with Suprapto), Karin Fisher-Potsik (artistic director of London-based Ricochet Dance Productions) and I arranged a seminar and performance springing from the creative work Suprapto on 7 October 2007 at the Boilerhouse Theatre of Royal Holloway, University of London. The theme of this was ‘Art Ritual In Out In,’ and it was attended by a group of approximately 40 participants, some new to Suprapto’s work, some old hands.
The day began with a series of reflections on ruwatan – a wayang genre which uses the story of Murwakala (Origin of Kala) to heal people afflicted with misfortunes by Bloom, Dr Robert Wessing (an anthropologist who works on Indonesian myth and ritual), Suprapto and myself. We pondered whether ruwatan was relevant to contemporary Java and how its structures might be made meaningful to non-Javanese audiences. We then saw the presentation of a piece inspired by ruwatan that was created by Suprapto in collaboration with Fisher-Potsik and two dancers for this event. Each of the dancers presented themselves as certain types – a pregnant woman with a round Ganesha-like belly, a Christ-like figure wrapped in white cloth (a ruwatan motif), a busy urbanite. Suprapto danced, sang and played music together with composermusician Christopher Benstead. The audience was invited into the improvisational space. The publicized aim was to reverse the terms of ruwatan, and allow the audience to see the performers as
45
requiring their intervention, instead of the puppeteer-priest healing the ritual client. Participants were asked to bring along a change of clothes and personal artefacts – though these were not used in the end. The day concluded with a long reflection on the performance – which continued also in the form of long e-mail correspondence.
Months have gone by and I am still trying to make sense of the event – which provoked many contradictory reactions among the diverse participants. There was on one hand a sense of celebration in working together with Suprapto on this scale and to discover a space-time which opened up the private workshop elements to a larger constituency. Inevitably, some Suprapto ‘regulars’ lapsed into old patterns of work while some newcomers felt intensely selfconscious about being called upon to improvise movement in public. Some felt intensely moved by the experience, others left indifferent. The question remains whether the age-old patterns of ruwatan can be transferred outside of Java for the sake of healing and crosscultural communication. It is a question that Suprapto promises to continue to explore.
Key publications on Suprapto Suryodarmo • Levelle, Lisa, Amerta Movement of Java 1986-1997: An Asian Movement
Improvisation, Lund: Centre for Languages and Literature, Lund University, 2006. • Morein, Andrea, A practice called Road: Movement in meditation with Suprapto Suryodarmo in Central Java, Indonesia. Contact Quarterly (Winter/Spring 1994): 24-34. • Stange, Paul, Silences in Solonese dance production, Southeast Asian Journal of Social
Science 22 (1994): 211-229. • Suryodarmo, Suprapto, Amerta Movement, Exeter: Arts Archive, 1999. • Matthew Isaac Cohen is Senior Lecturer in the Department of Drama and Theatre, Royal Holloway. He is currently completing a book titled Performing Java and Bali on
International Stages: Routes from the Indies for Palgrave-Macmillan.
46
47
Artikel
Yang Tersembunyi Dibalik Kata “Berlatih” dan “Pertunjukan”
Sardono W. Kusumo 48
Pada hari pertama satu demi satu mereka melangkah ke tengah sawah. Kaki mereka membenam dalam lumpur liat. Tubuh mereka terhuyung. Menjaga keseimbangan ketika harus membetot kaki yang terbenam. Rangsangan fisik ini jelas langsung mempengaruhi perasaan mereka: mereka berada dalam satu sensasi, kelihatan ada mobilitas dalam perasaan mereka. Mungkin saja mereka berada dalam kesadaran menangkap realita sawah tidak seperti yang selama ini mapan dalam bayangan mereka. Sesekali goncangan keseimbangan tubuh itu menghasilkan sikap reaktif, secara psikologis mereka makin menolak untuk akrab menyatu dengan lumpur. Semakin lama mereka semakin menuju ke tengah ruang sawah. Seorang mulai tegak dan stabil, sementara mata mereka nyalang memandang sekeIiling, jelas mereka merasa asing ketika mendapati dirinya dalam ruang yang tak pernah diinjaknya. Seseorang lainnya muiai meloncat-Ioncat mempermainkan sensasi yang timbul dari keganjilan keseimbangan tubuhnya. Sementara yang lain hanya cuping hidungnya yang aktif bergerak,
49
bau tanah mungkin lebih berpengaruh padanya daripada yang lain.
Hari pertama lewat; tak ada satu pun yang tidak bertahan untuk tegak berdiri, hubungan dengan tanah itu sesekali mereka nyatakan dengan tangan, sesekali menyentuh, sesekali meremas, sesekali meraih segumpal tanah diangkat ke depan wajah, diamati, disedot baunya untuk kemudian mereka lempar kembali. Mereka bertahan pada posisi bahwa seharusnya manusia tegak berdiri di atas tanah dengan tegar. Sekali lagi dengan tegar.
Kita semua duduk di pinggir keluasan ruang. Malam itu memang tak ada bulan. Beberapa jam yang lalu kita berada di tengah-tengahnya dan mengalami goncangan-goncangan fisik dan psikis kita. Sekarang keluasan ini makin lama makin hilang, lalu kita tinggal menghadapi kelam. Mata kita sia-sia saja menangkap sesuatu. Bunyi-bunyi malam semakin nyata, telinga semakin aktif, sementara mata kita lebih sering memejam. Kita lebih banyak diam dan membiarkan bunyi-bunyi serangga itu tak terganggu, tanpa sadar kita sedang menikmatinya. Ada yang minta rokok pada temannya itu tak terlihat. Jressss . . .! Lintang pematang dan sosok pohon itu hadir sebentar untuk sekejab hilang lagi.
Yang merokok berdiri lalu melangkah. Sesekali hidung dan pipinya nampak, tapi selebihnya cuma api di ujung rokoknya. Api itu jalan menjauh ke sana. Ketika berbaring ada juga semacam itu jauh di sana. Ada beberapa berserak-serak di kegelapan semakin lama semakin banyak berkelap-kelip. Rumput sekeliling semakin lembab, malam semakin larut. Tubuh kita terasa dingin. Tegangkan sedikit saja tubuh kita langsung gemetar. Gampang sekali membikin situasi lebih buruk, bila “rasa” bergeser sedikit. Biarkan rasa dingin itu, ini lebih baik.
50
Satu-satu berdiri melangkah pulang. Mungkin kita ingin berceloteh seperti biasanya. Tapi ada sesuatu di luar kemauan dan keinginan kita. Sesuatu itu membawa diam.
Pagi Hari Warna merah kuning di sana nyata lebih berpengaruh daripada hamparan sawah di tempat kita berdiri. Mereka ‘tegak di sawah, lebih sering·menatap langit daripada merasakan lumpur yang membetot kaki. Seorang mendadak menekuk kaki, lalu duduk tenggelam sebatas dada; ini semua hanya untuk lebih seksama menatap cahaya. Lewat langit, tanah dan lumpur menjadi bagian dari dirinya.
Lalu mereka merebahkan diri terlentang dan menatap ke atas, hanya langit. Seperti kemarin tegak berdiri di atas tanah, dan hanya fana. Terlentang di atas sawah, matahari memberi hangat, sementara lumpur menerima tubuh kita dengan lembut dan dingin. Seseorang tertidur pulas di tengah sawah, sendiri tanpa mimpi.
Hari Berikutnya Melalui langit, lumpur ‘dan serangga, emosi dan naluri estetik dalam diri kami lumpuh tak berkutik. Usaha-usaha lewat ketrampilan dan kebiasaan kaidah seni hanya mampu melahirkan bentuk-bentuk yang kemudian lenyap kembali. Ada sesuatu yang lebih jauh dari itu.
Seseorang menutup dirinya rapat-rapat dalam rasa, seolah-olah mengambil jarak paling jauh dengan suasana sekeliling yang begitu membius. Tubuhnya bergerak pelan-pelan, hanyut mengalir dengan pasrah. Ketika mencapai satu titik tertentu, kemandirian rasa itu
51
melemparkan tubuhnya terguling menyuruk dan membenam ke dalam lumpur. Segumpal tanah berbentuk manusia kemudian tegak di tengah sawah.
Sosok-sosok lain seketika bermunculan. Sosok-sosok itu adalah sosok manusia dalam citra yang paling purba. Mereka bergoyang pelan. Tubuhnya membenam. Dari kaki, lalu perut, dada, terus ke leher dan kepala. Akhirnya sosol-sosok ini lenyap, yang tinggal hanya lumpur sayag daro tanah kembali ke tanah.
Malam Harinya Kembali kita menghadapi sawah yang sekarang tinggal hamparan kelam. Bunyi-bunyi malam membikin kami lebih suka bercakap dalam hati. „Ada kemungkinan kita semua akan jadi buta atau tuli karena lumpur.“ Kita semua mendengar, tapi sesuatu yang lebih dalam sedang bergerak pada diri kita. Bunyi-bunyi malam membikin kita lebih suka menjawab dalam hati.
Dikutip dari buku TARI, Editor: Dr Edi Sedyawati, Dewan Kesenian Jakarta, 1984
52
53
Article
What’s Hidden Behind The Words “Practise” and “Performance”
Sardono W. Kusumo 54
On the first day, they walked to the middle of the rice field, one by one. Almost knee-deep in mud, they stumbled, trying to keep their balance when they pulled their legs out of the soft, sticky soil. This physical stimulation directly influenced their emotions: they were in the midst of a sensation, there was something visibly mobile in their psyche. Perhaps they were caught in the awareness that the reality of the rice field was nothing like what had been carved in their minds. Once in a while, the turbulence of their bodies led to a reactive state of mind. Psychologically, they became increasingly adamant to resist being one with the mud. Gradually, they were getting close to the middle of the rice field. One of them stood tall, stable, while their eyes darted around wildly, obviously feeling strange to find themselves in an unfamiliar space. Another started to jump around, playing with the sensation from his awkward balance. Another one only moved the tip of his nose; maybe the scent of the soil had the strongest effect on him.
55
The first day passed. All of them had tried to stand tall, exploring with their hands their relationship with the soil. At times they touched, squeezed, or took a handful of soil and scrutinized it in front of their face, inhaling its scent, and threw it back away. They were strongly holding on in the position where humans were supposed to be. Standing on the ground steadfastly. Yes, once again, steadfastly.
We were all sitting on the side of the vast space. There was no moon that night. A few hours before, we had been in the middle of the space, with our physical and psychological turbulences. Now, the vastness was slowly leaving us, and we were left to face the dark. Our eyes failed to catch anything. The nocturnal sounds got more real, our ears got more active, while our eyes were often closed. We were immersed in silence, letting the sounds of the nocturnal insects go on uninterrupted. Heedlessly, we were enjoying them. Someone asked a friend for a cigarette, unseen. And then... a fleeting light. The lanes of the rice fields and the trees were visible for a brief second, only to disappear again.
The smoker stood up and walked about. A weak silhouette of his nose and cheeks showed, but we could tell his position by his lit up cigarette tip. The flaming dot moved away from us. When we were lying down, we also saw something similar, far away, scattered in the dark. More and more of them, like fireflies. The surrounding grass grew increasingly damp, and the night grew increasingly old. A stretch could send shivers through our bodies. It was so easy to make the situation worse, when the “sensation” shifted. Let the cold be. It was better that way.
One by one, we got up and left. Maybe we wanted to chatter like
56
we always did every day. But there was something beyond what we wanted. Something that brought silence.
The Next Morning The red and yellow up there were more impactful than the sweeping rice field where we were standing. They stood tall on the rice field. Their eyes were fixated on the sky much more than their feet were feeling the muddy soil. Someone sat down, and let himself sink chest-deep into the mud; all for a better view of the light in the sky. Because of the sky, he became one with ground.
Then, they lied down on their backs and looking straight up to the sky, just the sky. Like how the day before they stood on the ground, all transitory. On our backs, on the rice field, soaking up the warmth of the sun, while the muddy soil was accepting our bodies, softly and coldly. Someone fell fast asleep in the middle of the rice field, dreamless, on his own.
The Next Day Through the sky, the mud, and the insects, the emotions and aesthetic instincts within us went helpless and paralyzed. Endeavors we made through skills and rules in art could only give birth to forms that would disappear again. There was something more than that.
Someone wrapped himself in his senses, as if taking the furthest distance from the enchanting surrounding. His body moved ever so slowly, going with the flow in submission. Reaching a certain point, the autonomy of his senses threw his body into the mud. Then, a mass of soil in the form of a human figure stood up in the middle of the rice field.
57
Other figures began to appear. They were humans in their most ancient image. They were moving slowly, deeper and deeper into the mud. From legs, to stomach, to chest, up to the neck and head. And then, the figures were no longer seen, leaving only mud. From earth to earth.
The Following Night We were back facing the rice field, now a vast spread of darkness. The nocturnal sounds silenced us; we would rather speak with our minds. “The mud might make us all go blind or deaf.” We were all listening, but something more profound was moving inside of us. The nocturnal sounds silenced us; we would rather answer in our minds.
An excerpt from the book TARI, Editor: Dr Edi Sedyawati, Jakarta Arts Council, 1984
58
59
Artikel
Gagasan tentang Tarian Masa Depan Saya yang Sempurna
Pichet Klunchun 60
Saya diminta untuk menuangkan pemikiran tentang masa depan tarian saya atau tentang sikap terhadap tarian saya di masa depan. Apa yang terjadi saat saya sedang bekerja? Dan untuk apa saya bekerja? Entah apakah saya akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang besar dan penting seperti itu, tapi mungkin ada yang bisa mendapatkan sesuatu dari kata-kata berikut ini. Saya belajar menarikan tokoh iblis dalam tradisi Thailand klasik yang berbasis Ramayana. Saya tahu bahwa si iblis selalu berlaga untuk sesuatu yang penting. Ia penuh gairah, penuh kebanggaan, akurat, dan terfokus, tetapi selalu kalah. Namun toh laganya yang penuh gairah dan tariannya yang terfokus itu membuat dunia tetap berputar, mungkin dengan membuatnya rusuh. Itu betul seribu tahun yang lalu, seratus tahun yang lalu, dan begitu juga sepuluh tahun lalu, lima tahun lalu, dan minggu lalu. Sebagai seorang penari sang iblis, saya tahu risiko ini dan laga ini dengan baik. Sebagai iblis, saya akan kalah dan membuat dunia rusuh—tetapi saya tetap menari. Mengapa? Karena saya juga tahu bahwa tarian saya berlandaskan pada sebuah tradisi disiplin,
61
kesabaran, presisi, dan konsentrasi yang intens; dan bahwa tarian saya, termasuk masa depannya, terbuka; dan bahwa saya berlaga melawan saya dan dunia yang telah menjadi seperti ini. Jadi saya akan terus menari sampai saya berubah, sampai si iblis menang, sampai si iblis beruntung, sampai dunia berubah, menari dengan kesabaran, presisi, dan fokus yang besar. Ini yang berani saya tarikan. Ini mengapa saya sudah akan menari. Ini tarian masa depan saya yang sempurna (future perfect dance).
Tak seorang pun, termasuk saya, yang tahu apa yang akan terjadi dalam satu jam mendatang, dalam satu hari mendatang, satu bulan, atau satu tahun. Saya tidak dapat memberitahu Anda tarian saya akan jadi apa karena saya tidak tahu. Saya hanya dapat memberitahu Anda: tarian saya sudah akan menjadi apa. Saya hanya dapat memberitahu tentang masa depan sempurna tarian saya. Tarian itu adalah tarian iblis nekat yang sudah akan menang di dunia baru. Saya tahu bahwa masa depan tarian saya akan sama-sama bergantung pada pengalaman dan latihan tari saya serta upaya saya sebagai seniman, dan juga pada peluang kerja dan penonton yang harus digarap. Saya telah bekerja keras. Saya telah belajar untuk memfokuskan pikiran dan tubuh saya melalui latihan panjang dan konsentrasi keras. Latihan saya telah mengajarkan saya untuk mengemas gerakan yang halus dan pelan dengan gairah mendalam. Gairah pun meletup dari tiap gerakan yang saya lakukan. Pikiran dan tubuh bergerak bersama saat saya bergerak dan berlaga dalam pertempuran-pertempuran besar. Gairah mengalir melalui saya untuk mengubah saya, mempengaruhi dunia, dan mengguncang penonton. Inilah dunia saya sebagai seorang penari iblis dan tempat dari mana saya berjuang demi masa depan sempurna tarian saya. Saya berlaga melawan hal-hal ini dan melawan diri saya dengan
62
kesabaran, disiplin, dan kekuatan.
Gerakan saya yang terfokus penuh dengan gairah. Penonton kadang keliru mengira gerakan penuh gairah saya sebagai sematamata bentuk tarian Asia. Ini satu pertempuran yang saya harus saya lakukan. Saya meminta penonton untuk melihat bentuk yang gamblang itu sebagai gairah murni. Saya berlaga melawan bentuk itu dengan gairah setiap hari. Pandangilah dengan cermat dan Anda akan melihatnya. Saya sudah akan menciptakan karya yang sudah akan membawa saya dan penonton saya pada cara baru untuk memandang gairah pertempuran-pertempuran saya. Dalam tarian masa depan saya yang, saya sudah akan membawa diri dan penonton saya ke tempat yang baru—tempat di mana si iblis menang, di mana bentuk klasik Asia semata-mata dipandang sebagai fokus penuh gairah untuk mengubah dunia. Maka, masa depan saya dalam tari sudah akan menjadi penciptaan kontak-kontak baru dan cara baru untuk melampaui tarian saya menuju audiens. Saya akan membuat kita berfokus pada apa yang kita miliki bersama—hakikat gairah manusia dan kehidupan—agar para penari sekaligus penonton dapat betul-betul berbagi sesuatu yang baru, menggerakkan, kuat. Apakah Anda berani bergabung dengan saya? Apakah Anda juga akan menjadi iblis seperti saya?
Pichet Klunchun, abstraksi dari “Thoughts on the Future Perfect of My Dance as Demon”, dalam Ungerufen, Tanz und Performance der Zukunft/Uncalled: Dance and Performance
of the Future, Sigird Gareis dan Krassimira Kruschkova (eds) (Berlin: Theater der Zeit, 2009) 316-317.
63
Article
Thoughts on the Future Perfect of My Dance as Demon
Pichet Klunchun 64
I was asked to provide some thoughts on the future of my dance or on the attitude towards my dance in the future. What happens when I am working? And what am l working for? I don’t know if I can answer such big and important questions, but maybe someone else can learn from the following words. I have learned to dance as a demon in the classical Thai tradition that is based on title Ramayana. I,know that the demon always fights for something important. He is passionate, proud, precise and focused, but lie always loses. Yet the demon passionate fight and his focused dance keep the world moving, perhaps by upsetting it. His dance also a fight against himself and against who he is as a demon. That was true a thousand and a hundred years ago as much as it was true ten years ago, five years ago, and last week. As demon dancer, I know this risk and this fight well. As a demon I will always lose and upset the world - yet I keep dancing. Why? Because I also know that my dance is grounded in a tradition of discipline, patience, precision and intense concentration, and that my dance, including its future, is open, and that I fight against what I and the world have become.
65
So, I will continue to dance until I have changed, until the demon wins, until the demon comes out ahead, until the world transforms, dancing with great patience, precision and focus. That is what I am daring to do. That is why I will have danced. That is my future perfect dance.
No one, including me, knows what will happen in an hour, tomorrow, in a month, or in a year. I cannot tell you what my dance will be, because I do not know. I can only tell you what my dance will have been. I can only tell about my future perfect dance. It will have been the daring dance of a demon who will have won in a new world. I know that the future of my dance will depend as much on my own dance training and experience and my efforts as an artist as it will depend on the opportunities for work and audiences to work for. I have worked hard. I have learned to focus my mind and body through long training and much concentration. My training has taught me to pack my slow, smooth movements in deep passion. Passion bursts from every move I make. Mind and body can flow together as I move and as I fight great battles. Passion flows through me to alter me, affect the World and shake audiences. That is my world as a demon dancer and the place from which I strive to make my future perfect dance. I fight against these things and against myself with patience, discipline and power.
My focused movement is packed with passion. Audiences sometimes mistake my passionate movement with mere Asian dance form. That is one battle I have to fight. I am asking audiences to see the obvious form as pure passion. I fight the form passionately every day. Look closely and you will see it. I will have to create work that will have brought me and my audiences to a new way of seeing the passion
66
of my battles. In my future perfect dance, I will have brought myself and my audiences into a new place - a place where the demon wins, where mere Asian classical form is seen as a passionate focus to alter the world. So my future in dance will have been the creation of new contacts and new ways of reaching beyond my dance towards my audiences. I will make us focus on what we share - the fundamentals of passionate human nature and life - so that dancer as well as audiences can really share something new, moving and.potent. Will you dare to join me? Will you become a demon like me, too?
Pichet Klunchun, extract from.’Thaughts on the Future Perfect of My Dance as Deamon’, in Ungerufen Tanz und Performance der ZUkunft/Uncalled: Dance and Performance of
the Future, ed. Sigird Gareis and Krassimira Kruschkova (Berlin: Theater der Zeit, 2009) 316-17.
67
68
Catatan Proses A Note on the Process 69
Catatan Proses Koreografer
Choreo-Lab: Process-inProgress #2
Ari Ersandi 70
Choreo-lab merupakan ruang yang sangat positif untuk mewadahi kreatifitas para koreogarfer dan penari muda saat ini. Mencari ruangruang yang tidak hanya memfasilitasi secara teknis merupakan hal yang sangat jarang ditemukan, apalagi ditambah dukungan oleh Dewan Kesenian Jakarta dengan menempatkan para seniman senior dari berbagai lintas disiplin untuk mengamati, membongkar serta memberi pemahaman baru dan segar bagi para seniman muda tari. Terkadang seorang koreografer tidak berani untuk mengkritisi diri dan karyanya. Menutupi kekurangan dan kelemahan dengan berbagai kata serta visual yang memukau. Saya rasa Choreo-lab, memberi kesadaran kepada saya, untuk melihat potensi karya dari kacamata lain sehingga celah yang seharusnya bernilai negatif justru dapat menjadi hal yang bernilai dan positif, terbukti dapat saya rasakan langsung melalui program awal workshop pada tanggal 2-6 Juni 2015 di Studio Hanafi, Jakarta, bersama Bapak Hanafi, Mbah Prapto Suryodarmo, Lawe Samagaha, Ibu Adinda Luthvianti, dan teman-teman dari DKJ. Selama empat hari kami berdiskusi dan berbicara
71
mengenai kesenian khususnya seni tari yang berkembang pada waktu ini. Memperjelas pencapaian dari setiap diri seniman tari untuk keberlanjutan karya serta sasaran kepada masyarakat luas tentang keberadaan tari itu sendiri.
Bingung dan pusing jelas dirasakan tidak hanya oleh diri saya mungkin ini juga dirasakan oleh kedua rekan saya yang menjadi peserta pada program ini. Rindu itulah yang saya rasakan pada saat itu, sudah lama dan jarang sekali saya bertemu dan aktif langsung pada obrolan-obrolan yang seakan mencuci otak dan menyadarkan saya dari tidur panjang dari rasa nyaman dan kemapanan dalam bentuk dan teknik yang sudah dimiliki. Belajar, mencermati, dan memoles kembali itu lah dampak yang saya rasakan terhadap ingatan dan pengalaman yang saya miliki terhadap disiplin ilmu saya setelah beberapa saat bersama teman-teman Choreo-Lab dan DKJ.
Harapan saya ini bukan lah yang terkahir untuk koreografer muda seperti saya untuk mendapatkan kesempatan seperti ini, serta terjalinnya hubungan yang baik kedepannya.
Terima kasih Dewan Kesenian Jakarta dan Choreo-Lab.
72
73
A Note on the Process by Choreographer
Choreo-Lab: Process-inProgress #2
Ari Ersandi 74
Choreo-Lab is a tremendously positive space for young choreographers and dancers today to nurture their creativity. Finding a space that does more than providing technical facilities is not an easy thing to do. This is further supported by the Jakarta Arts Council, through the involvement of seasoned artists from various disciplines to observe, deconstruct, and give a fresh and new comprehension to young dance artists. Sometimes, choreographers are not brave enough to apply self-criticism to their body of work, and so they cover their weaknesses with verbose words and visuals. I think Choreo-Lab gives me an awareness to look at a body of work’s potential from another perspective, so that I can turn a negative point into something positive and valuable. I learned about this firsthand in the workshop on 2-6 June 2015 at Hanafi Studio, Jakarta, with Hanafi himself, Mbah Prapto Suryodarmo, Lawe Samagaha, Adinda Luthvianti, and my peers from the Jakarta Arts Council. During those four days, we discussed about today’s ever growing art, particularly dance. The discussion gave a better clarity about the
75
achievement dance artists should aim for, in order to sustain their body of work and raise public awareness of dance itself.
At times, the discussions were hard to follow, and my two friends, who also participated in the program, felt the same way. It was a feeling I have been missing and longing for, because it has been a while since I got involved in such stimulating discussions, like a wake up call from a long sleep in my comfort zone filled with familiar techniques and forms I have gotten used to. Spending time with fellow artists from Choreo-Lab and the Jakarta Arts Council gave me the opportunity to learn, examine, and rejuvenate the memory and experience of my art as a dancer.
I hope that this will not be the last time for a young choreographer like me to have such an opportunity, and that it will the start of a good relation with my fellow artists in the future.
Thank you, the Jakarta Arts Council and Choreo-Lab.
76
77
Catatan Proses Koreografer
Choreo-Lab: Process-inProgress #2
Gintar Pramana Ginting 78
Satu kesempatan yang luar biasa bagi saya bisa tepilih menjadi salah satu koreografer yang mengikuti program Choreo-Lab ‘Process in Progress’ #2 yang di selenggarakan oleh Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta. Dimana saya diberikan kesempatan untuk mengikuti workshop koreografi, berdiskusi, dan berbagi cerita dan pengalaman bersama seniman-seniman yang luar biasa untuk meramu ulang ataupun menciptakan sebuah karya yang baik. Sebuah pengalaman baru dimana saya bisa belajar melihat, merasakan, dan mengapresiasi sebuah karya dari sudut pandang seni rupa, seni teater, seni musik, seni sastra dan lintas kesenian yang lainnya. Empat hari mengikuti workshop koreografi di Studio Hanafi, Depok meghasilkan banyak pengetahuan baru yang bisa saya terapkan dalam proses berkarya selanjutnya. Berdiskusi bersama Mas Hanafi, Ines Somellera, Mbah Suprapto, dan Mas Lawe menambah wawasan saya untuk menilai sebuah karya tari tidak hanya melalui kacamata dunia tari. Tapi saya
79
juga bisa menilai dan menciptakan sebuah karya tari dari sudut pandang seni rupa, seni teater, seni musik, seni sastra serta lintas kesenian lainnya. Keberagaman susut pandang ini sekilas terlihat begitu memusingkan, namun jika kita menikmati dan terjun ke dalam prosesnya, keberagaman ini menjadi sebuah motivasi dan pegangan yang kuat untuk menciptakan karya yang baik.
Berdiskusi bersama dan membedah ulang konsep koreografi yang pernah saya pentaskan sebelumnya, mencoba untuk melihat kekurangan dan kelebihan dari keseluruhan karya tersebut, dimulai dari konsep ide garapan, konsep koreografi, musik, tata busana, tata cahaya, penguasaan panggung dan lain sebagainya. Berdiskusi bersama Mas Hanafi mengenai panggung pertunjukan sebagai bingkai membuka wawasan saya untuk tidak hanya menggunakan panggung sebagai media untuk mempresentasikan karya yang saya pentaskan. Panggung itu sendiri tentunya bisa di kembangkan menjadi suatu bentuk yang lain dan memiliki perspektif yang berbeda. Memiliki dimensi lain yang bukan hanya sekedar panggung tetapi menjadi nyawa bagi setiap bentuk yang kita hadirkan di dalam panggung.
Bersama Mbah Suprapto saya mendapatkan pengalaman bagaimana merasakan dan menjadikan apapun yang ada di sekitar kita menjadi salah satu bahan yang dapat kita olah dalam menciptakan sebuah karya. Bagaimana karya tersebut tidak hanya menjadi sebuah pajangan tetapi dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi setiap orang yang menyaksikannya. Mbah Suprapto secara tidak langgung mengajarkan saya bagaimana lebih menyadari keberadaan di sekitar kita sebagai salah satu sumber inspirasi untuk megembangkan ide dan konsep garapan yang kita miliki. Bagaimana kesadaran
80
ruang tubuh, ruang panggung dan ruang keseluruhannya menjadi maksimal dan memiliki perannya dalam sebuah karya.
Materi pembahasan musik untuk tari yang diberikan oleh Mas Lawe menambah wawasan saya dalam menggarap sebuah iringan musik untuk sebuah karya tari. Bagaimana musik itu memiliki satu kesatuan utuh tanpa saling tumpang tindih dengan garapan tari yang saya buat. Bagaimana musik dan tari bertemu dalam satu titik yang saling melengkapi satu sama lain sehingga tercipta satu harmonisasi dalam pencapaian pesan yang ingin di sampaikan dalam sebuah karya tari. Selain itu saya juga mendapatkan pengalaman berlatih Yoga bersama Ines Somellera. Dimana materi Yoga yang sajikan dihubungkan dengan koreografi, dimana gerak tari yang di lakukan oleh penari tidak hanya sebatas pada tenaga yang di keluarkan, melainkan bagaimana seorang penari mampu menikmati setiap gerak tubuh yang dilakukan tanpa harus memaksakan tubuhnya untuk bekerja keras namun bisa menghasikan gerak yang berkualitas.
Berbekal hasil workshop dan diskusi yang saya ikuti selama empat hari di Studio Hanafi Depok, banyak hal-hal baru yang saya temukan ketika kembali masuk ke studio bersama penari untuk berproses dan menggarap karya koreografi yang akan saya pentaskan dalam program Choreo-Lab ‘Proces in Progress’ #2. Salah satunya adalah perubahan pada konsep dan gagasan ide yang akan saya kembangkan menjadi lebih sederhana dan terstruktur sehingga dalam penggarapan karya akan lebih mudah untuk menentukan karakter dan penyampaian pesan kepada penonton. Perubahan pada garapan karya tari yang lebih memaksimalkan karakter penari dalam memerankan karakter, garapan musik yang minimalis
81
namun memiliki kekuatan untuk memperkuat suasana dan adegan dalam garapan karya. Penggunaan set artistik panggung yang lebih memaksimalkan ruang panggung sehingga semua aspek memiliki hubungan dan makna yang mewakili representasi dari pesan yang ingin saya sampaikan kepada penonton.
Bagaimana panggung itu menjadi; karya itu memiliki nasib; panggung sebagai bingkai dalam sebuah pertunjukan; bagaimana karya itu menjadi mungguh ku dan sesuai pada tempatnya. Terlebih dari itu semua, ucapan terimakasih yang terdalam untuk Komite Tari, Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memberikan kesempatan yang begitu berharga bagi saya. Kesempatan untuk mengikuti Program Choreo-Lab ‘Process in Progress’ #2, memperkenalkan saya serta belajar dan berdiskusi dengan seniman-seniman yang luar biasa; Mbah Suprapto, Mas Hanafi, Mas Lawe, Mba Adinda, Mba Helly Minarti, Ines Somellera, Ibu Hartati, Mas Sukarji Sriman, dan Mba Rury. Apresiasi yang luar biasa bisa menjadi salah satu bagian dari program Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta; Choreo Lab ‘Process in Progress’ #2.
82
83
A Note on the Process by Choreographer
Choreo-Lab: Process-inProgress #2
Gintar Pramana Ginting 84
It is an incredible opportunity for me to be selected as one of the choreographers in the Choreo-Lab’s program ‘Process in Progress’ #2 by Jakarta Arts Council’s Dance Committee. In the program, I had the chance to participate in a choreography workshop, get involved in discussions, share stories and experiences with amazing artists, who create or reinvent some beautiful bodies of work. It is a new experience, with which I get to see, feel, and appreciate a body of work from the perspective of visual art, theatre, music, literature, and other disciplines. The four days of the choreography workshop at Studio Hanafi, Depok, have enriched me with a great deal of new knowledge that I can apply in my future endeavors. My discussions with Mas Hanafi, Ines Sommelera, Mbah Suprapto, and Mas Lawe has expanded my horizon, and taught me to look at a dance piece with more than just a dance perspective. I can also judge and create a dance piece from the perspective of visual art, theatre, music, literature, and other disciplines. At first glance, the variety of perspectives might be
85
perplexing, but if we enjoy and submit to the process, the variety becomes a motivation and a strong guideline to create a good work. Discussing and revisiting the choreographic concepts I have done before, I tried to see the weakness and the strength of my work: from the concept idea, the choreography, the music, the costume, the stage presence and so on. The discussion with Mas Hanafi about the stage as a frame opened up my mind to use more than the stage in presenting my work. The stage itself can be developed into another form and a different perspective. It can have another dimension and be more than just a stage, but the soul of every form that we present on stage.
From Mbah Suprapto, I learnt how to feel and turn anything around us into a material that we can explore and develop in creating our work. A work of art should not only be decorative but has to be useful for everyone who sees it. He taught me how to be more aware of the things around us as a source of inspiration for developing our ideas and concepts. These things can maximize our awareness of the body, the stage, and the overall space we are working with, and contribute to the work.
Discussions on music for dance performances with Mas Lawe, again, broadened my horizon in working with music for a dance piece. He taught me how music can be integrated without overlapping with the dance. Music and dance should have a meeting point, and complement each other to achieve a harmony in conveying the message of the work. I also had the experience to practice yoga with Ines Somellera. The yoga material given was connected to choreography. I learned that a dancer’s move is not all about the energy, but also about how they can enjoy every single movement
86
of their body, without exerting too much, but still aiming for quality.
The four-day workshop and discussions at Studio Hanafi Depok have armed me with new discoveries when I step back into the studio with my dancers, to start the process and work on the choreography I am going to present in the ‘Process in Progress’ #2 program in Choreo-Lab. I implemented changes to my concept and ideas. I made them simpler and more structured, so that it is easier for us to give the piece character and to convey the message to the audience. My piece is now optimizing each dancer‘s character to embody the character they perform. It is also using a minimalist but powerful piece of music to strengthen the mood and the scenes in the performance. The art decoration makes the most out of the stage, so that all aspects are interconnected and have meanings to represent the message I‘m conveying to the audience.
I learnt how the stage has its own presence; how a body of work has a destiny; how the stage can frame a performance; how the work becomes my mungguh, or guideline, in its own rights. Moreover, I would like to express my deepest gratitude to the Dance Committee of Jakarta Arts Council, who has given me a tremendously valuable experience in participating in the Choreo-Lab program ‘Process in Progress’ #2; an experience that has allowed me to learn from and have discussions with amazing artists: Mbah Suprapto, Mas Hanafi,
Mas Lawe, Mba Adinda, Mba Helly Minarti, Ines Somellera, Uni Hartati, Mas Sukarji Sriman, and Mba Rury. For this, you have my greatest appreciation.
87
Catatan Proses Koreografer
Choreo-Lab: Process-inProgress #2
Moh. Hariyanto 88
Ketika saya mendapatkan kabar bahwa saya terpilih untuk mengikuti Choreo-Lab #2: Process in Progress yang merupakan program Dewan Kesenian Jakarta, saya sangat bahagia dan terkejut mendengarnya, karena program ini sangat membantu koreografer muda untuk lebih berkembang menjadi koreografer yang sadar dan peka terhadap fenomena yang mempunyai nilai yang berbobot, tentunya dengan artistik visual yang sangat menarik. Choreo-Lab ini dilaksanakan dengan cara karantina selama empat hari di studio Hanafi dengan jadwal yang sangat menarik dan tersusun, diantaranya diskusi, eksplorasi dan mengapresiasi. Studio Hanafi mempunyai fasilitas yang sangat lengkap dan menarik, baik secara ruang maupun arsitekturnya yang menimbulkan imajinasi gerak dan gagasan. Suasana yang terjadi di studio sangat tenang dan kondusif sehingga agenda yang direncanakan bisa terlaksana dengan baik. Diskusi berlangsung setiap hari. Bahkan, ketika pertama saya datang ke Studio Hanafi, saya langsung berhadapan dengan semua peserta untuk mengetahui konsep
89
kami masing-masing-masing. Diskusi tersebut berjalan dengan seru dan serius, tentunya dengan secangkir kopi dan sebatang rokok, muncullah ide-ide yang kreatif. Walaupun mata mulai memerah - tanda sudah ngantuk - perbincangan semakin terarah dan meruncing kepada konsep ketiga koreografer yaitu saya, Hari Ghulur, Gintar dan Eri Arisandi. Waktu terus berjalan. Keesokan hari saya berkesempatan untuk mengapresiasi dan menyimak video hasil diskusi antara Mbah Prapto dan Mas Hanafi di Padepokan Lemah Putih. Salah satu topik pembicaraan video tersebut adalah tentang konsep “panggung terjadi dan menjadi”.
Panggung - dalam hal ini prosenium - dibahas tuntas oleh kedua pengampu dan diaplikasikan dalam pertunjukan spontan atau improvisasi di depan kamera. Kasus panggung prosenium di Indonesia ini sudah mengakar bahwa semua pertunjukan harus di bawa ke panggung prosenium. Akhirnya ada sebuah contoh pertunjukan di Salihara yang kami tonton, yaitu Mutiara Jawa karya Atilah Soerjadjaja. Koreografi yang berbasis bedhaya - yang aslinya dipentaskan di ruang pendhapa - kini dipertunjukan di panggung prosenium. Apakah transformasinya mulus terjadi? Apakah panggung tersebut tidak justru ‘mematikan’ karya yang begitu megah itu? Obrolan dengan Mbah Prapto ini membuat saya sadar bahwa pertunjukan karya saya, bertajuk Ghulur, di format panggung proscenium menjadi pokok utama yang harus disentuh.
Hari ketiga kami dikenalkan dengan tubuh yang terstrukur dengan melalui latihan yoga yang dipimpin oleh Inez Somellera. Di situ saya mengalami kegelisahan dengan tubuh saya sendiri karena tubuh saya merasa tidak seimbang (balance) disebabkan latihan yang terlalu dipaksakan, sehingga tubuh tidak bisa rileks.
90
Setelah istirahat, Mbah Prapto mengajak kami untuk latihan pengembaraan gerak di outdoor dengan masing-masing menggunakan kursi. Latihan berjalan dengan serius dan tenang, lalu datang seorang komposer, Lawe, yang dengan spontan membunyikan instrumennya, merespon gerak yang muncul dari tubuh saya. Namun lagi-lagi saya mengalalmi kegelisahan bahwa saya terlarut dalam rasa, sehingga tubuh ini dikendalikan oleh alam, angin, suara air, dan lain-lain. Lalu saya bertanya kepada Mbah Prapto kenapa seperti ini? Mbah Prapto menjawab dengan santai bahwa tubuh manusia itu menjadi subyek, bukan menjadi obyek. Jadilah tubuh yang sejati.
Menjelang hari terakhir, terjadilah diskusi yang sangat intens dengan mas Hanafi, bahwa saya pribadi dalam berkesenian ini tidak lepas dari kehidupan dan yang terbesar adalah kehidupan rumah tangga. Mas Hanafi berkata “.... dahulukan kepentingan keluarga baru kamu akan merasa merdeka disaat proses berkesenian”. Hal ini memberikan spirit dalam kehidupan saya khusunya berkesenian (tari).
91
A Note on the Process by Choreographer
Choreo-Lab: Process-inProgress #2
Moh. Hariyanto 92
When I was told that I had been chosen to participate in Choreo-Lab #2: Process in Progress, a program from Jakarta Art Council, I was so happy and shocked because (I know that) this program aimed to help for young choreographers to become a sensitive choreographer. Choreo-Lab was carried out with a camp for four days in Hanafi Studio full with interesting and planned schedule, like discussions, explorations, and appreciation. Hanafi Studio was very well equipped and interesting, either the room itself or the architecture which evokes imagination and idea. The ambiance was very calm, conducive for the tight schedule.
The discussion took place every day. First, I got to know the other two participants and learnt about each choreographic concept. Discussion alternated between fun and serious, and obviously a cup of coffee and a cigarette helped trigger ideas. Although the eyes started to get red - a sign of being sleepy - the conversation was getting sharper, analyzing the concept of us three choreographers: Gintar, Ari Ersandi and me. Time passed by. The next day I had a chance
93
to appreciate and watch the video of discussions between Mbah Prapto and Mas Hanafi in Padepokan Lemah Putih. One of the topic was a concept of ‘the stage that is becoming, not being made to be’. Stage, in term of proscenium, was discussed thoroughly by these mentors and was also done in spontaneous performance or the improvisation in front of the camera. The idea of proscenium stage in Indonesia was rather new actually and it could spoil all the segments of performance that an artist had to bring on to the stage.
Eventually, there was a performance in Salihara that we watched, titled a Mutiara Jawa by Atilah Soerjadjaja. The choreography was based on bedhava form, originally performed in pendhapa, but here was transformed onto the proscenium stage. Would the transformation happen? Would the stage not kill this sublime dance instead? My conversation with Mbah Prapto made me aware that a performance themed Ghulur, in form of proscenium, needed to be reconsidered.
The third day, we were introduced to the idea of structured body through a yoga class by Ines Somellera. I was rather confused with my body because I was not in balance due to probably over training, so as it turns out, my body cannot be in relax-state.
Right after the break, Mbah Prapto asked me to practice the movements outdoor by using chairs. The practice session was serious and calm then a senior composer, Lawe, spontaneously played his instrument, responding to my movement. However, this rather confused me in the sense that as if I was drowned to my feeling so that my body was actually dictated by nature, wind, water sound, and so on.
94
Then I asked Mbah Prapto why it happened so. He answered calmly that human body was a subject, not an object in order to be a “true body”. By the end of last day, I got involved in such intense discussion with Mas Hanafi which concludes on the note that personally in art, I could not stay away from my family. Mas Hanafi said “… prioritize family matters then you can be free when doing art”. This moment reconfirmed my concept of life, especially as dancer/choreographer.
95
Catatan Proses Kawan Diskusi
Ari Ketika Menggagas Tari
M.N. Qomaruddin 96
Ari Ersandi, seniman berdarah Palembang dan besar di Lampung. Ia yang secara tak sengaja belajar tari di ISI Yogyakarta, kemudian harus berjuang keras untuk mengenali tubuhnya dan atau dari tubuh orang lain. Ia juga harus berdialektika dengan keadaankeadaan dan diskusi yang keras— dalam lingkungan institusi dimana ia belajar—seputar seni tradisi, modern, dan kontemporer. Istilah-istilah yang digunakan untuk melabeli praktik seni tertentu yang—karena jarang dilihat konteks sejarah dan tujuannya—justru seringkali membatasi apa yang bisa atau mungkin dijelajahi/dipelajari oleh para mahasiswanya. Tentu pernyataan saya tersebut sangat bisa diperdebatkan atau bahkan bisa dianggap tidak punya dasar yang kuat untuk diuji kebenarannya. Namun saya menyatakannya bukan dalam rangka mendiskusikan benar atau salah, tapi untuk mendiskusikan sejauh mana pemberian label tersebut berguna dalam praktik proses belajar dan penciptaan karya seni.
97
Sebelum terlalu jauh berspekulasi dan agar tetap berpijak pada konteks, saya akan mengemukakan beberapa alasan kenapa tulisan ini saya awali dengan menyebutkan sedikit tentang latar belakang Ari mengenal tari (koreografi) di Yogyakarta. Pertama, seringkali—sebab tidak selalu—latar belakang seniman menjadi faktor penentu, gagasan, pilihan-bentuk, atau estetika, dari karya yang ia ciptakan. Kedua, dalam konteks dramaturgi, latar belakang (sejarah) seniman merupakan salah satu faktor yang akhir-akhir ini digunakan untuk menemukan strategi pembahasaan karya seni kontemporer dalam kaitannya dengan publik seni. Ketiga, karena Ari adalah salah satu koreografer terpilih pada program komite tari Dewan Kesenian Jakarta bertajuk Choreo-Lab. Maka dalam konteks Choreo-Lab saya menempatkan latar belakang Ari tersebut sebagai sebuah teori yang sedang coba dibuktikan dan diuji melalui eksperimentasi di dalam laboratorium. Ari dan Laboratoriumnya Kita tentu akrab dan sering mendengar kata Lab (Lab c. 1600, “building
set apart for scientific experiments,” from Medieval Latin laboratorium “a place for labor or work,” from Latin laboratus, past participle of laborare “to work” (see labor (n.)). Figurative use by 1660s.). Kata serapan yang lekat dengan apa yang justru sering kita kenal sebagai ilmu pasti. Secara etimologi ia merupakan ruang yang secara khusus dikonsentrasikan sebagai tempat berlangsungnya eksperimentasi ilmu pengetahuan. Eksperimen dalam pengertian mengamati, mencoba sesuatu, atau percobaan atas sesuatu, dan membuktikan sesuatu. Kali ini Ari sedang bereksperimen. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang kerap ia jumpai selama ini sebagai seniman
98
muda yang mengasyiki tari. Ia merangkum pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam karyanya “PINTU MENUSIA“, yang sebelumnya ia ciptakan sebagai tugas akhir studi S1 jurusan tari ISI Yogyakarta. PIN-IN-TU MENU-SIA. Ia punya penjelasan rinci atas pememilihan judul yang juga ia jadikan konsep dan pijakan penciptaan karyanya tersebut. Tetapi bukan penjelasannya atas judul tersebut yang menarik perhatian saya, melainkan bagaimana ia menggunakan “kata-kata“ sebagai jalan masuk memahami ide serta gagasan koreografinya. Kata yang ia coba gali kemungkinan pengertian, makna, dan penggunaannya. Mencari hubungan antar suku kata dan tanda di baliknya. Semacam praktik studi semiotika. Mungkin karena ia belajar dan tinggal di Yogyakarta. Sebab dalam konteks memaknai dan menelaah hal-hal, masyarakat Jawa mengenal dan mempraktikkan istilah Otak-atik Gathuk (dapat kita baca pada
ramalan Jawa kuno, seperti pada kitab ramalan Jayabaya) untuk memaknai peristiwa dalam kehidupan sehari-harinya. Mengungkapkan sebuah gagasan melalui kerangka berpikir semiotika memang menawarkan ketidakterdugaan yang menyenangkan. Namun sejauh yang saya amati dalam proses, Ari belum terlalu terbiasa menerapkan proses berpikir semiotika tersebut dalam gerak atau koreografi yang ia rancang. Ia meng-iyakan amatan saya tersebut. Ia mengungkapkan bahwa banyak ide yang berkecamuk dalam kepalanya juga selalu berubah dan berkembang seiring waktu berjalan. Situasi semacam ini terkadang memang tidak menguntungkan khususnya bagi para penari. Mereka harus punya kepekaan adaptasi secara cepat pada ide-ide dan bentuk baru. Kebetulan saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk
99
menyaksikan proses latihan Ari. Menyaksikan bagaimana ia melontarkan gagasan pada para penari, dan seluruh timnya. Menyaksikan personil—yang sebagian besar adalah mahasiswa ISI Yogyakarta itu—mencoba gerakan, menghafal cue, mengingat posisi, mendengarkan musik dan berdiskusi. Bertempat di halaman rumah kontrakan yang Ari sewa dan tata menjadi semacam studio kecil sebagai laboratorium mereka. Tentu menjalankan fungsi sebagai koreografer bukan kerja yang gampang, terutama karena tugas utamanya adalah mentransfer gagasan/hasil pemikiran (abstrak) ke dalam bentuk tubuh (konkret). Kebetulan saya menyaksikan ketidakmudahan itu. Dengan hati-hati Ari mencoba mengajak para penari untuk berusaha bersama-sama memaknai gagasan karya ini melalui atau dengan tubuh mereka. Yang saya ingat dalam diskusi setelah latihan, salah seorang penari mengungkapkan bahwa “proses kali ini membuat saya tidak hanya bergerak atau menari, tapi juga berpikir tentang diri saya dan apa yang saya gerakkan”. Ari mengajak empat penari muda—tubuh-tubuh baru—dan menantang mereka untuk berpetualang ke benua lain guna menemukan wilayah baru yang belum pernah mereka singgahi/diami. Hasil Eksperimentasi Suatu ketika foto jepretan ponsel pintar yang kita unggah ke sosmed dengan maksud membuat lelucon, justru menuai komentar serius, bahkan membuat orang lain marah. Dalam komunikasi kita mengenal istilah pengirim dan penerima pesan, dalam contoh kasus sosial media diatas, komunikasinya sudah melibatkan feedback. Komunikasi yang bersifat interaksional. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan pertunjukan tari? Bagaimana penonton akan menangkap apa yang disajikan di atas panggung? Apakah penonton akan menangkap ide dan gagasan si seniman?
100
Bagaimana semestinya pola komunikasi yang diberlangsungkan supaya efektif? Apakah kita bisa sejajarkan dengan analogi fenomena sosmed diatas? Menurut saya, kita (seniman dan penonton) tidak harus benarbenar menemukan jawaban tunggal atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab jawabannya tak pernah dan tak mungkin tunggal. Terlebih dalam menonton pertunjukan tari—yang medium utama komunikasinya adalah tubuh penari. Serta sifatnya yang selalu kini dan saat ini—sensasinya hanya bisa dirasakan utuh apabila kita langsung menyaksikannya, berbagi nafas, waktu, dan ruang yang sama. Maka pemaknaan dan kesan atas tontontan tak bisa ditunggalkan, bahkan dalam komunikasi lisan atau tulisan yang kita akrab dalam kehidupan sehari-hari selalu menyisakan ruang untuk kebingungan, kesalahpahaman, perdebatan, dan seterusnya. Ia tak pernah tunggal. Dalam konteks presentasi hasil kerja lab para koreografer muda ini, bagi Anda yang hadir dan membaca tulisan ini sebelum menonton (yang baru membaca setelah menonton maka bisa lanjut membaca paragraf selanjutnya) saya menawarkan untuk abaikan perihal arti, makna, dan maksud dari presentasi yang Anda tonton. Bebaskan diri Anda untuk menerima sensasi dari seluruh interaksi yang disajikan diatas panggung. Silahkan bereksperimen dalam menyaksikan hasil eksperimentasi dari para koreografer muda ini. Refleksi Kegelisahan-kegelisahan Ari Ersandi Nietzsche [ . . . ] the body is the site for the emanation of the will to
power (or several wills), an intensely energetic locus for all cultural production, a concept I believe may be more useful in rethinking the subject in terms of the body. (Grosz 1994: 147)
101
Ketika berdiskusi dengan Ari perihal latar belakang dan kegelisahannya tentang proses berkarya, saya teringat dengan ungkapan Nietzche diatas. Ungkapan tersebut juga membantu saya melihat keluasan sekaligus inti dari konsep tubuh sebagai medium gagasan, yang tak hanya melulu perihal bagaimana bergerak tapi juga tentang berpikir hal di balik gerak. Sekaligus mengajak berpikir atau melihat sesuatu dengan cara dan sudut pandang lain yang tidak rutin. Ari sedang mulai mengasyiki temuan-temuan barunya pada praktik penciptaan, terlebih karena dia tidak hanya fokus pada tubuhnya sebagai penari, tapi juga sebagai koreografer. Selanjutnya hanya keliaran ide bentuklah yang menentukan sejauh mana gagasan dimanifestasikan dalam bentuk. Program semacam Choreo-Lab ini dapat menjadi ruang alternatif bagi para koreografer muda untuk lebih jauh lagi melakukan eksperimentasi atas gagasan, pendekatan, dan praktik tari, yang barangkali sudah rutin. Sebagai usaha menemukan kesegaran. Kalaupun tidak menemukannya, maka usaha menemukannya tersebut adalah kesegaran. Karena suatu eksperimentasi tak mengenal kata gagal. Sebagaimana ungkapan terkenal dari penemu bola lampu Thomas Alva Edison “Aku tidak gagal. Aku hanya menemukan 10.000 cara yang tidak bekerja”.
Referensi: Book: Andre Lepecki, Exhausting Dance Performance and the Politics of Movement. http://sarma.be/docs/2869
102
103
A Note on the Process by Thinking Partner
Ari, Dance, and His Ideas
M.N. Qomaruddin 104
Ari Ersandi is an artist, who comes from Palembang and grew up in Lampung. He studied dance by chance at Indonesia Arts Institute (ISI) in Yogyakarta. This chance encounter led him to a struggle in exploring and getting to know his own body and others’ as well. He also had to engage in dialectics of tough situations and discussions — at the institution where he pursued his study — around traditional, modern, and contemporary art. The terms used to label certain art practices are often limiting the learning and exploring process of the students, because the objective and historical contexts are seldom examined. My statement is, of course, highly debatable, or can even be considered lacking a strong base for validation. However, I am making the statement not to discuss the right or the wrong, but to discuss how useful the labelling is for a learning process or a creation of a body of art.
Before getting too far in speculations, and to keep it contextual, I will point out a few reasons why I started my piece by mentioning
105
Ari’s incidental background in studying dance (choreography) in Yogyakarta.
First, often times — not always — an artist’s background becomes a key factor, an idea, a form or aesthetic choice in the work they are creating. Second, in the context of dramaturgy, an artist’s background or history becomes a factor in finding a strategy of expression for a contemporary artwork in relation to its public. Third, Ari is one of the selected choreographers in Choreo-Lab, a Jakarta Arts Council’s dance programme. Therefore, I am putting Ari’s background as a theory we are trying to test through experimentations in the lab. Ari and His Lab We are familiar with the word “lab” (Lab c. 1600, “building set apart
for scientific experiments,” from Medieval Latin laboratorium “a place for labor or work,” from Latin laboratus, past participle of laborare “to work” (see labor (n.)). Figurative use by 1660s.). It is a word strongly associated with exact science. It refers to a space dedicated to conducting scientific experimentations, which include observing, trying or testing, and proving something.
This time, Ari is experimenting. He is attempting to find answers to the questions he gets while honing his craft as a young dance artist. He compiles the questions in his work called “PINTU MENUSIA”, which originated as a final assignment to get his Bachelor’s Degree in Dance from ISI. PIN-TU MENU-SIA. He has a detailed explanation for his title, which also serves as the concept and platform of creation for his work.
106
However, what intrigued me is not his explanation for the title, but how he utilises words as a way in to understand the idea of his choreography. He tried to dig deep into the definition, the meaning, and the use of those words. He is looking for a relation between syllables and the sign behind it, much like a study in semiotics. Perhaps it has something to do with the fact that he has been studying and living in Yogyakarta. In interpreting and examining things around them, the Javanese people have what they call “otak-atik gathuk”, a Javanese form of semiotics found in ancient scriptures, such as the prophecy of Jayabaya.
Expressing an idea through a semiotic frame of mind offers a delightful unexpectedness. However, in my observation, Ari is not yet used to applying the semiotic way of thinking in the moves and choreography that he created. He seemed to agree with my observation. He said that his head was full of rapidly changing and evolving ideas. It is not always an ideal situation, especially for dancers. They need to develop a sensitivity to keep up with new forms and ideas.
I had the privilege of seeing Ari’s rehearsal process in person. I saw how he tossed around ideas with his team and dancers. I saw the dancers — most of which are ISI students — trying out moves, memorizing cues, remembering positions, listening to the music, and discussing. All this took place in the yard of Ari’s rented house, which he has arranged into a mini studio as their lab. Being a choreographer is not an easy task. Their main job is to transfer ideas — something abstract — into a bodily form — something concrete. I witnessed this difficult process myself. Carefully, Ari tried to get the dancers to collectively interpret the idea of the piece with their
107
bodies. One of the dancers said in a discussion after practice, “This process not only made me move or dance, but also think about myself and what I am moving.” Ari invited four young dancers — fresh bodies — and challenged them on an adventure to discover a new, uncharted territory.
The Experiment’s Result A photo we take with a smartphone and upload to the social media as joke can spark serious comments, even infuriate people. In communication, there is a sender and a receiver of messages. In the example of the social media case, the communication has involved feedback. It is an interactive communication. Now, the question is, what about a dance performance? How will an audience get what is being performed on stage? Will they get the artist’s notions and ideas? What kind of communication should be applied to make it effective? Can we compare this with the social media phenomenon analogy?
In my opinion, we (the artist and the audience) don’t always have to find a single answer to a question. There is never and can never be one answer. This is especially true in a dance performance — where the main medium of communication is the dancer’s body. It is always in the now and in the moment — we can only experience the sensation wholly when we see the performance live; sharing the same space, time, and breath. Therefore, there cannot be one impression and interpretation of a performance. Even our daily verbal and written communication still leaves a space for confusion, misunderstanding, argument, and so on. It is never one.
As for the result of the lab processes from the young
108
choreographers, for those who are reading this before seeing the performances (those who are reading this after seeing the performances can proceed to the next paragraph), I suggest that you don’t think about the meanings and intentions behind what you see. Just set yourself free to receive the sensation from the whole interaction on stage. Feel free to experiment yourself while seeing the result of these young choreographers’ experiments.
A Reflection of Ari Ersandi’s Anxieties Nietzsche [ . . . ] the body is the site for the emanation of the will to
power (or several wills), an intensely energetic locus for all cultural production, a concept I believe may be more useful in rethinking the subject in terms of the body. (Grosz 1994: 147) While discussing with Ari about the background and the anxieties behind his process, I remembered Nietzche’s words. The words help me see the vastness and the essence of the concept of the body as a medium for ideas. It is not only about how to move but also about the meaning behind the movement. It encourages us to think and see things in a different way and with a different perspective, to break ourselves free from the routine.
Ari is enjoying his new discoveries in his creative practices, all the more because he is not only focused on his body as a dancer, but also as a choreographer. From this point on, only the wildness of his ideas that will determine how far his thoughts will be manifested into form.
Programmes like Choreo-Lab can be an alternative space for young choreographers to further experiment with their dance ideas,
109
approaches, and practices. It can be their chance to break from the routines and find fresh air. Even if they don’t find it, the attempt is already a form of fresh air. Because an experiment does not know failure. Just like what Thomas Alva Edison, the inventor of the electric light bulb, said, “I have not failed. I’ve just found 10,000 ways that won’t work.”
Reference: Book: Andre Lepecki, Exhausting Dance Performance and the Politics of Movement. http://sarma.be/docs/2869
110
111
Catatan Proses Kawan Diskusi
Ndemi Ku Kita: Dari Karo untuk Indonesia
Zen Hae 112
Ndemi Ku Kita karya Gintar Pramana Ginting mencoba memetakan kembali hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dan tanah kelahirannya. Lebih dari itu, ia mencoba melihat secara kritis tanah kelahiran setelah lama ditinggalkan. Terutama ketika seorang anak kampung yang telah merantau ke kota, menjadi bagian dari kehidupan kota yang gemerlap dan berkemajuan, mesti kembali ke kampung halamannya nun di sana. Maka kembali di sini bukanlah perkara mudah. Pelbagai tegangan yang telah menjadi klasik merundungnya: antara tradisi dan modernitas, antara yang statis dan penuh dinamisme, antara kampung halaman dan kota, antara masa silam dan masa kini. Tegangan ini mengantarkan si anak pada masalah baru yang berkaitan dengan jati dirinya, juga cara pandangnya terhadap lingkungan yang ada. Apakah yang akan ia perbuat bagi kampung halaman yang telah ia tinggalkan itu? Mengapa kampung itu kini terlihat sebagai sesuatu yang asing? Tapi,
113
mengapa pula yang tampak asing itu terus menggodanya untuk kembali? Apakah ia bisa melepaskan kota yang telah menghidupinya selama ini ketika kelak ia berada di kampung halaman? Apa sebenarnya makna kembali?
Koreografi ini tampil dengan satu tilas cerita yang cukup jelas. Tentang perantauan seorang anak Batak Karo. Pembagian karya ini menjadi empat bagian memudahkan kita untuk menelusuri perjalanan nasib anak Karo tersebut, mulai dari ia berpamitan kepada keluarganya, hidup di kota dan mesti kembali ke kampung halamannya. Alur yang tampak linear ini dibangun berdasarkan prinsip pengadeganan dalam teater. Ada perkenalan kisah, juga tegangan dan klimaks menjelang akhir. Namun, bagian akhir dibiarkan terbuka dan memancing sejumlah pertanyaan penonton.
Panggung dibuka dengan tujuh orang penari yang berkumpul pada satu titik di kanan belakang panggung, dengan pose berbeda satu sama lain. Serunai mengalun, ditingkahi bunyi semacam gong, sekitar satu menit, kemudian black out. Pembukaan itu sebenarnya hanya untuk memancing penonton masuk ke dalam bagian-bagian berikutnya. Pada bagian kedua, tujuh penari itu tampil kembali dalam dua formasi: berkumpul di sudut belakang kiri panggung dan memencar di bagian tengah dan depan kanan panggung. Pada bagian ini kita bisa menyaksikan semacam prosesi pelepasan seorang anak Karo yang ingin merantau. Tilas kisah yang kuat membuat bagian ini tampak sebagai sebuah fragmen. Eksplorasi gerak di bagian ini belum terlalu banyak, tetapi ia menampilkan hal penting untuk bagian-bagian selanjutnya. Adegan penyerahan tumpak lada (pisau tradisional Karo) dan penyobekan kain putih
114
dengan pisau tersebut menyimbolkan terbukanya jalan bagi si perantau sekaligus memutuskan pertalian batinnya dengan kampung halaman.
Bagian ketiga adalah bagian yang sepenuhnya mengeksplorasi pelbagai gerak, dengan tilas kisah yang makin samar-samar. Pada bagian ini seluruh kosagerak diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Karo. Mulai dari menyapu, berkebun hingga tari pergaulan. Di bagian ini pula seluruh panggung menjelma menjadi wilayah kampung dengan pelbagai pesona geraknya. Kekayaan gerak ditampilkan begitu rupa dengan komposisi penari yang menyebar hampir ke seluruh wilayah panggung.
Sang koreografer juga berhasil menampilkan komposisi gerak yang indah dan kompak di bagian ini. Misalnya, pada formasi penari menyilang dari ujung kanan depan panggung ke ujung kiri belakang panggung, dengan persilangan di tengah ke arah yang berlawanan. Sapu lidi yang dimainkan dengan gerap serupa menyapu, juga gerakgerak lain yang mengeksplorasi kelenturan tubuh penarinya, membuat bagian ini, dan bagian terakhir, menjadi bagian yang penting.
Sementara di bagian keempat atau bagian terakhir panggung dibagi menjadi dua: wilayah kampung dan kota. Kampung yang dominan di bagian ketiga mulai surut, hanya berupa sekelompok penari yang menjelajahi bagian belakang panggung. Sementara kota mengambil wilayah tengah dan depan, bagian yang lebih dekat dengan penonton, untuk menampilkan si anak Karo yang sendirian dirundung kebimbangan. Apakah ia akan kembali ke kampung halaman atau tetap bertahan di kota?
115
Kosagerak mulai dipisahkan antara yang tradisional dan yang modern. Yang tradisional telah menjadi milik kampung halaman, sementara yang modern menjadi adalah hak anak Karo yang terperangkap dalam tarik-menarik antara kampung halaman dan kota. Situasi dilematis ini juga muncul dengan intensitas gerak yang makin cepat pada si penari tunggal. Ia seakan-akan ingin bertahan dengan kekotaannya di tengah panggilan kampung halaman yang tidak mungkin lagi ia abaikan. Sementara pesona kampung kian menyusut seiring keluarnya satu persatu penari di wilayah belakang panggung.
•••
Dengan bentuknya yang linear dan agak naratif di bagian awal,
Ndemi Ku Kita bagi saya adalah sebuah karya koreografi yang tidak berpretensi mengejar kebaruan. Ia justru memaksimalkan kosagerak tari tradisional demi mencapai nilai baru untuk dirinya. Katakanlah ini sebuah tafsir ulang atas khazanah tari tradisional yang berkembang di Karo dan sekitarnya. Tapi sebuah tafsir ulang tidak akan berlangsung baik jika sang koreografer tidak menguasai khazanah tari tradisional yang menjadi sumber ciptaannya. Dalam hal ini Gintar Pramana Ginting cukup menguasai apa yang saya maksud. Ia menampilkan ulang, dengan pelbagai ubahan di sana-sini, kekayaan tari tradisional Karo yang memang sangat ia kuasai.
Karya ini adalah karya tari kontemporer yang bersumber pada tari tradisional. Sisi naratif karya ini memberi kita satu problematika umum yang merundung para perantau—tak terkecuali sang koreografer sendiri. Dengan kata lain, memiuhkan pendapat penyair dan kritikus sastra Subagio Sastrowardoyo, “koreografer modern sebagai manusia perbatasan”. Sang koreografer, sebagaimana para
116
penari yang memainkan karyanya, tidak bisa sepenuhnya kembali ke kampung halamannya, tetapi sebaliknya, ia juga membawa terus tilas kampung halamannya dalam kehidupannya di kota metropolitan. Pada Gintar tegangan ini bermakna positif. Ia justru memaksimalkan apa-apa yang ia kuasai dari khazanah tradisional untuk melahirkan karya tari kontemporer.
Bergerak di wilayah perbatasan antara yang tradisional dan modern, itulah yang dilakukan Gintar dalam karyanya kali ini. Ia begerak bolak-balik antara tradisi yang menjadi sumber ciptaannya dan khazanah modern yang ia reguk di bangku kuliahnya dan lingkungan kehidupannya di Jakarta kini. Ia meneguhkan satu prinsip yang luwes dalam berhadapan dengan dua kontras ini. Ia tidak mengejek apa yang tradisional, sebaliknya, ia mengambil saripati yang unggul dan layak dikembangkan dari khazanah tersebut. Ia juga meneguhkan lagi semangat menjembatani yang tradisional dengan yang modern dalam seni tari kontemporer kita.
Dengan begini sebenarnya cadangan kreativitas tari kontemporer kita menjadi tidak terbatas. Gintar Pramana Ginting adalah salah satu contoh dari koreografer Indonesia generasi terkini yang mencoba mendalami tradisi untuk menghasilkan karya tari kontemporer yang memberi kita perspektif yang menyegarkan akan khazanah tari tradisional kontemporer kita. Saya berharap Gintar bisa berkembang lebih luas lagi. Terutama pada keberaniannya mengeksplorasi kosagerak tari modern, tanpa kehilangan pijakannya pada khazanah tradisional yang selama ini ia kuasai.
Yang juga tak boleh diabaikan adalah terpeliharanya iklim penciptaan yang subur dan terjaga dari waktu ke waktu. Itu artinya
117
program semacam ini mesti lebih banyak lagi diselenggarakan, terutama untuk para koreografer muda yang belum mendapatkan tempat yang cukup layak untuk menunjukkan kebolehan mereka. Lembaga seperti DKJ dan IKJ mesti mengambil peran menyiapkan lahan yang subur bagi pertumbuhan kreativitas seniman muda kita.
118
119
A Note on the Process by Thinking Partner
Ndemi Ku Kita: From Karo for Indonesia
Zen Hae 120
Ndemi Ku Kita by Gintar Pramana Ginting tried to map the unbreakable relationship between man and their homeland. Furthermore, he tried to critically overview the homeland after long gone. Especially, of a country boy who has been living to new city, involving into the part of the alive and developed city, had to return to his far away hometown. This was not an easy job to do. Various obstacles happened to him classically: between tradition and modernity, between static and dynamic life, between hometown and new city and between past and present. This tension drove this boy to a new problem about himself, also the point of view to the recent environment. What would he do to his hometown he left before? Why did the hometown look foreign? Nonetheless, why did that foreign thing keep inducing him to return? What was the definition of return?
This choreography is played with clear narration, about the journey of Batak Karo boy. This story is divided into four parts, making it easy to trace the fate of that Karo
121
boy, from the moment he left his family, then lived in city and the time he had to return to his hometown. The plot is based on scene in theater and seems to be linear. There is story introduction, and the tension and climax before the ending. However, the end remains open and it leaves some questions hanging.
Stage starts with seven dancers gathering at one point in the rightback of the stage, each with different pose. Serunai - a bamboo flute - is being played, and accompanied by a sort of gong sound for one minute before it blacks out. This opening stage is actually used to attract audiences to join to the next parts. In the second part, the seven dancers will perform into two formations: assembling into the left-back corner of the stage and will disperse to the center and right-front of the stage.
During this part, we will enjoy a farewell procession of Karo boy wanting to live away from home. The strong narration makes this part look as a fragment. The movement exploration in this part is not that many, but he performs the importance to the next parts. Scene of handing over a tumpak lada (a traditional Karo knife) and tearing white fabric with that knife symbolizes the path opened for him and also to cut the relationship with his homeland at the same time.
The third part is fully about various movement explorations, with obscure narration. In this part, all the movements are taken from daily activities of Karo people, from sweeping, gardening to social dance. This part also shows the stage turning into village with various enchanting movements. The rich movements are performed with dancers dispersing to almost every corner.
122
The choreographer successfully shows the beautiful and compact dancing composition. For instance, in the formation includes dancers move diagonally from right-up corner to left-down corner. The broom is played with movement as if sweeping is happening, and also other movements exploring the flexibility of the dancers. These make this part, and the last part eventually, become the most important.
Meanwhile the fourth part or the last part is divided into two: city and village. The village - which is dominant in part three - will slowly dismiss, only a few dancers will explore in the back most of the stage. The city part will take the center and front, the closer to the audiences, to show the lone Karo boy who is facing a dilemma: should he stay in his village or keep his struggle in the city?
The movements start being divided between traditional and modern. The traditional belongs to the hometown, while the modern belongs to a Karo boy having dilemma between city and hometown. This dilemmatic situation also appears by the soloist performing rapid movement at high intensity. He, as if, will stay with his modernity with an echoing call from his hometown that he cannot deny. Meanwhile the village’s spell gradually disappears when the dancers start leaving the stage to the back stage.
•••
With its linearity and slightly narrative at the beginning, Ndemi Ku
Kita for me, personally, is a choreography that does not pretend to go beyond novelty. Instead, it maximizes the movements of traditional dance to reach novelty for itself. Let’s say that this is an
123
interpretation of tradition that will not fold out nicely without the choreographer mastering the Karo’s traditional dance vocabulary as his source. In this term, Gintar Pramana Ginting understood well his materials. He represented, with various changes, the richness of Karo dance that he does know.
This piece is a contemporary dance which is based on traditional dance. The narrative side gives us one familiar problem deemed to be had by an immigrant who the choreographer embodies himself. In other words, quoting the poetry and literature critics’ expert, Subagio Sastrawardoyo, “Modern Choreographer as a liminal human”. The choreographer, as his dancers in his piece, can not fully return to his hometown, instead, he brings the trace of his hometown to his life in metropolitan city. For Gintar, this tension meant positivity. He instead maximizes things he understood from his traditional culture to create contemporary dance.
Moving in grey area between traditional and modern, that is what Gintar does in this performance. He moves back and forth from tradition that inspired his choreography and the modern life he learnt from college and his present residency in Jakarta. He applies this strong principle flexibly. He does not mock what traditional is, on the contrary, he takes the good essence of it. He also reconfirms to bridge the traditional and the modern within our contemporary arts.
Thus, the source for our creativity of contemporary dance will be limitless. Gintar Pramana Ginting is one of Indonesian choreographers who tries to deeply master the tradition in his own attempt to create contemporary dance that gives us a fresh perspective to our contemporary dance scene. I personally hope
124
that Gintar can further expand, especially boldly exploring the vocabulary of modern dance without losing the foundation of the traditional dance he has mastered.
The thing he cannot neglect is that he nurtures the creative situation from time to time. This means the program like this must be conducted more often, especially targeting the young and new choreographers who are still struggling to create their works. Institutions like DKJ and IKJ should take more an active role for cultivating such field on which our new artists can thrive.
125
Catatan Proses Kawan Diskusi
Ghulur, Keprihatinan Tanah Retak
Hanafi 126
“ ………aku mendengar bunyi tanah retak yang terus menerus meratap, aku menemukan bahasa di bawah seng gelombang, dari cahaya yang menerangi tangisanku “ Surabaya jam lima sore, matahari masih disana membakar kota ini, diantara jalan bercabang untuk kepergian dan sebuah kepulangan yang lain. Langit kota mewarnai dirinya dengan gairah kehidupan yang membakar kedua telingaku, lalu, lampu-lampu kota menyala...
Dari Bandara mobilku melesat ke jalan Raya Darmo dan menikung ke Taman Budaya Surabaya, untuk menemui koreografer muda, Mohamad Hariyanto, yang mempertanyakan kembali tentang kesuburan tanah bagi keberlangsungan dan pertumbuhan kehidupan.
Tetapi, sebuah kota adalah pihak yang lain, yang membangun dirinya dibalik seng, bahkan kita tidak tahu lagi, bahwa kita berada di luar atau di dalam kota yang sibuk itu.
Cahaya lampu-lampu kota dinyalakan dari dalam kamar-kamar mereka, tetapi cahaya itu bukan hanya untuk menerangi jalan, namun
127
juga menyilaukan mata kita.
Tatapan cahaya gemerlap itu seakan ingin menelanku, dan aku laron yang mengitari cahaya, bergulung dan bergulung, bergulir dan berghulur, sampai matahari terbit kembali.
Keprihatinan, mungkinkah masih bisa merupakan doa kecil bagi tanah retak, atau, doa pun telah retak bersama-sama bumi di bawah kakiku.
Surabaya-Depok, 30 Agustus 2015
128
129
A Note on the Process by Thinking Partner
Ghulur, the apprehensive of Tanah Retak
Hanafi 130
“….. I am listening to the sound of cracking land that mourns; I am finding a language under the waving zinc, from the light that illuminates my cry” Surabaya at 5 pm, the sun still burns the city, between the crossroads into departure and a different returning. The city skies colors it with life passion burning both of my ears, then, the city lights blazes.
From the airport, my car runs past to Jalan Raya Darmo and turns into the Surabaya Arts Center, to meet a young choreographer, Mohamad Hariyanto, who questions the fertility necessary for life’s sustainability and growth.
However, a city is another existence, who builds herself under a zinc, to which we don’t even know, whether we are outside or inside the busy city.
The city lights are lit from their chambers, but those lights are not only for lighting the streets, but also for blinding our eyes.
The staring splendid lights have me enveloped, and I fly around this light, coiling and coiling,
131
rolling and berghulur, until the sun rises again.
Keprihatinan, is that possible that it is like a little prayer for the cracking land or even prayer has been cracked together with the earth under my feet.
Surabaya-Depok, 30 August 2015
132
133
134
Sinopsis Tari Dance Synopsis 135
Ari Ersandi
Pintu MeNUSIa
136
Penata Tari | Choreographer Ari Ersandi Penari | Dancer Ahmad Susantri, Raden Ajeng Renata Astria, Rines Onyxi Tampubolon, Silvia Dewi Marthaningrum Pemusik | Musician Ryan Tumanda Tambunan, Roby Shylla Hasibuan, Hairul Anwar Penata Cahaya| Lighting Designer Beni Susilo Wardoyo Artistik | Artistic Jibna, Ujang Irawanto, Suhendi Angga Brimansyah Penata suara | Sound Engineer Firman Ariadi
137
Ari Ersandi
Pintu MeNUSIa On Choices and Being Human
Ini hanya pilihan huruf yang coba dirangkai dari menu yang berada di pikiranku. Aku mencoba menganalisa “Pintu” berdasarkan data. Ini bukanlah tentang bentuk atau rupa yang elok, tapi esensi mendasar di dalam diri manusia itu sendiri. Secara subjektif aku mengatakan bahwa hidup merupakan pilihan dan kumpulan dari tanda tanya. Baik buruk itu hanya merupkan istilah yang berada di pikiran, kini waktunya mempertanyakan dan mengkritisi diri tentang manusia itu sendiri. Tertawa, mentertawakan dan ditertawakan, pertanyaan ku sebagai manusia: siapa sebenarnya yang terhibur dari sepenggal pertunjukan ini?
Kumpulan huruf angka dan simbol tertanam sejak manusia dikatakan masih kecil, dewasa dan tua, akhirnya mati. Sejauh ini aku merasa bayangan semakin pekat karena cahaya yang perlahan meredup. Manusia dikatakan berwujud karena memiliki bayangan, berbeda dengan yang dikatakan oleh sinetron yang berada dalam frame (21) inch, “Jika tidak ada bayangannya maka itu hantu atau sebaliknya”. Jika diizinkan, bolehkah aku mengistilahkan pilihanpilihan yang selalu berdampingan dengan tanda tanya (?), sama halnya dengan bayangan? Semakin banyak pilihan semakin besar dan gelap, lama kelamaan diri manusia yang dikatakan hidup tidak ada bedanya dengan “manusia” yang bersifat imajinatif.
138
Ini hanya pernyataan sementaraku pada ruang ini tentang manusia, terlepas dari prespektif disiplin lain dan hanya kesementaraan sama seperti pertunjukan ini, karena di luar sana aku masih berusaha mencari cahaya untuk dapat menerangi, menuntun dan memperjelas tubuh dan rupa yang berada disekeliling diriku sebagai manusia, dengan cara belajar memperhatikan, memasangkan dan berpasangan sehingga menjadi keseimbangan yang memanusiakan manusia dan tidak menjadi manusia yang sia-sia kerena pilihannya sendiri.
These are merely letters I am trying to put together from the “Menu” in my mind. I am attempting to analyze “Pintu”, or “The Door” based on data. This is not about an aesthetic form or façade, but the basic essence of being human, or “Manusia”. Subjectively, I am saying that life is about choices and a series of question marks. “Good” or “bad” are just terms dwelling in our mind; it is time to question and criticize ourselves about being human. To laugh, to laugh at, or to be laughed at -- my question as a human being would be: who gets entertained by this piece of performance?
Numbers and symbols have been implanted in our mind ever since we were children, all the way to adulthood and on to our inevitable demise. So far, I am sensing a darkening shadow from the slowly diminishing light. Humans are said to have form because they have shadows, contrary to what is said in those moving pictures inside our 21-inch monitor, “If one has no shadow, he must be a ghost. If one does, he is human.” Allow me to look at the choices that are
139
always hand in hand with question marks (?) and compare them with shadows. The more choices there are, the bigger and darker the shadows, and gradually, flesh and blood humans will be no different than imaginary ones.
This is merely my temporary statement about human beings, completely detached from the perspectives of other disciplines. It is transitory in nature, just like this performance, because out there, I am still in search of a light to shine on, guide, and accentuate the body and the face that is enveloping me as a human being; by learning to observe, match, and find complementary mates in order to achieve an equilibrium that humanizes humans, so that human beings do not lead a futile existence by their own choices.
140
141
Gintar
Ndemi Ku Kita
142
Penata Tari | Choreographer Gintar Pramana Ginting Penata Musik | Music Arranger Arif Susanto Penari | Dancer Irfan Setiawan, Adina Kasih Hodges, Festy Fayara Putri, Densiel Prismayanti Lebang, Widya Ayu Trisna, Andintan Mithayani, Decky Setyawan Ramadhan. Pemusik | Musician Yoel Kaban, Gintarting Arts Artistik | Artictic Kiki Penata Busana | Costume Designer Gintar Ginting Manajemen Produksi | Production Management Jahur Ahmad
143
Gintar
Ndemi Ku Kita Raga ini mungkin masih mampu menetap dimanapun sejauh kaki melangkah dan nafas masih berhembus. Meskipun terpisah antara ruang dan waktu, kerinduan ini selalu mengikat karena aku tak akan pernah bisa lepas daripadamu. Ndemi Ku Kita, sebagai pelengkap di antara aku dan kita. Sebagai pengobat rindu antara aku dan mereka, dan kampung halamanku.
This body may be able to live anywhere, as long as it still has feet to walk with and breath to keep it alive. Despite the space and time between us, I will forever be bound by this longing, because I can never detach myself from you. Ndemi Ku Kita, a complementing bridge between you and I. An antidote for this yearning between me and them, and my hometown.
144
145
Moh. Hariyanto
Ghulur
146
Penata Tari | Choreographer Moh. Hariyanto Penari | Dancer Moh. Hariyanto Pemusik | Musician Lawe Samagaha Artistik | Artistic Yusup Eko Nugroho Dokumentasi | Documentation Wijati Riannisa Penata Cahaya | Lighting Designer Fatacha Hidayat
147
Moh. Hariyanto
Ghulur Ghulur, Keprihatinan Tanah Retak
Ghulur,
The story of
Cracking land
148
149
150
Biografi Biography 151
Ari Ersandi Ari Ersandi lahir di Lampung pada tahun 1989, lulus S1 minat penciptaan tari di ISI Yogyakarta pada tahun 2013, dan baru saja menyelesaikan studi penciptaan tari di program S2 ISI Yogyakarta. Pengalaman tubuh yang sangat terbatas menjadi faktor pendorong untuk selalu berproses menggali potensi dan kemampuan untuk melakukan dan membuktikan sesuatu yang baru.
Pada tahun 2010 Ari mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam sebuah proses tari yang diselanggarakan di Padepokan Bagong Kasudiardja yang bertajuk No mind dance pada program Jagongan Wagen. Kesempatan ini menjadi sebuah pintu yang mengantarkannya kepada proses-proses lainnya, baik di area ISI Yogyakarta sendiri maupun luar kota. Sehingga tubuh memiliki dan mengalami begitu banyak peristiwa menari. Pada tahun 2010, Ari terplilih mengikuti hibah seni yang dipentaskan di Kairo (Mesir). Pada tahun 2011-2015 ia aktif dalam beberapa proyek kecil bersama Amron Paul Yuwono, OTT Tembi Rumah Budaya dan World Dance Day di Surakarta. Pada tahun 2013 ia mengikuti residensi tari topeng di Korea Selatan selama 6 bulan dan residensi di Chongsong
152
city di tahun 2014. Pada tahun 2014 mendapat undangan dari KBRI Harare untuk menari di HIFA (Harare International Festival of Art) Afrika, dan International festival yang berada di dalam negeri seperti JIPA, Festival Payung (Solo), Lanjong Art Festival (Kalimantan Barat). Kini Ari membangun komunitas seni DELAPAN (Dance Laboratory And Performance Arts Network) yang bergerak dalam seni pertunjukan dengan mempersiapkan dan menciptakan ruang-ruang pementasan untuk para koreografer dan penata musik muda yang bertajuk Dancember Project di akhir tahun serta proyekproyek kecil setiap dua bulan.
Ari Ersandi was born in Lampung in 1989, graduated from dance major at ISI Yogyakarta in 2013 and just completed his master degree on choreography at the same institute. The limitation of his body has become a driving force to keep growing, digging the inner potential and ability to do and proving something new.
In 2010, Ari had a chance to participate in a dance event held in Padepokan Bagong Kasudirdja, performing a work titled No mind dance, in the JAGONGAN WAGEN program. This chance opened door sending him to perform the next process, either in ISI or other cities so that he could have many dance experiences. In 2014, Ari was chosen to participate performing Cairo, Egypt. Between 20112015, he has been actively involved in small projects with Amron Paul Yuwono, OTT Tembi Rumah Budaya and World Dance Day in Solo. In 2013, he did residency in South Korea for six months and in Chongsong city in 2014. The same year he was invited by Indonesian embassy in Harare, Zimbabwe, to dance in HIFA (Harare International
153
Festival of Art); as well as performed in various festivals in Indonesia such as JIPA, Umbrella festival in Solo and Lanjong Art Festival in West Kalimantan. Ari has just set up DELAPAN (Dance Laboratory and Performance Arts Network), an arts community focusing on preparing and creating spaces for young choreographers and music directors. They hold December Project in addition to a bimonthly small project.
154
155
Gintar Pramana Ginting Gintar Pramana Ginting adalah mahasiwa lulusan Seni Tari, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), angkatan tahun 2007. Ndemi Kuta Kita adalah salah satu karya koreografinya yang dipentaskan pada 8 Juli 2013 silam di Gedung Teater Luwes, IKJ, sebagai materi tugas akhir untuk menyelesaikan jenjang studi Strata Satu (S1) Seni Tari bersamaan dengan diresmikannya kelompok kesenian Gintarting Arts Performance. Selain aktif menekuni seni tari di IKJ, Gintar aktif menari dan belajar mengenai seni tari bersama seniman dan penata tari ternama di Indonesia seperti Tom Ibnur, Marzuki Hasan,Deddy Luthan, Sentot Sudiharto, Retno Maruti, Wiwiek Sipala, Sukarji Sriman dan lainnya.
Gintar juga pernah berpartisipasi sebagai penari bersama rombongan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DKI Jakarta yang bekerjasama dengan IKJ Dance Company dalam acara HUT 60th Hubungan Diplomasi Jakarta-Berlin dan Promosi Kesenian Indonesia di Berlin, Jerman pada bulan Oktober 2012 dan pada acara The World’s Leading Travel Trade Show di Hall 26, ITB Berlin pada bulan Maret 2013. Selain itu, Gintar Pramana Ginting juga
156
turut serta sebagai salah penari dalam pembukaan acara STQ pata tanggal 12 Mei 2013 di Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Pernah bekerjasama dengan Komunitas Bara Teater bersama Jaka Suyudi untuk menyukseskan acara Gebyar Sastra 2011 di Gedung Kesenian Miss Tjitjih Jakarta. Hingga saat ini masih aktif menjabat divisi seni dan budaya pada Organisasi Orang Muda Karo Katholik (OMKK) se-Jabodetabek di Jakarta.
Di penghujung tahun 2013, Gintar Pramana Ginting mendapatkan kesempatan mementaskan karya Kuta Kemulihen di Gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat; dan di Kota Solok, Sumatra Barat dalam perhelatan akbar Solok Folklore Festival 2013. Ia juga menjadi delegasi yang mewakili Indonesia mementaskan karya In Our Home Town pada perhelatan Macau Chinese New Year Parade 2014 di Macau, China. Mengikuti program Young Choreograpers Workshop, Indonesia Dance Festival 2014 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Hingga saat ini Gintar masih tetap melakukan proses berkesenian bersama dengan seniman-seniman muda Indonesia dan berkalaborasi dengan Widya Ayu Trisna (Jakarta), mementaskan karya Suara Kerinduan dalam perhelatan Dokan Arts Festival 2015 di Desa Dokan, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Gintar Pramana Ginting was graduated from Jakarta Institute of the Arts (IKJ), majoring in dance, in 2007. Ndemi Kuta Kita is one of his choreographies performed on July 8th, 2013, in Teater Luwes Building, IKJ, as final exam to earn a B.A. alongside the inauguration of Gintarting Art Performance Art Community. Gintar also actively danced for other choreographers such as for Dance Laboratory and Performance Arts Network.
157
As a dancer, Gintar participated in an ad-hoc group set up by Jakarta Culture and Tourism Board in co-operation with IKJ Dance Company on the 60th anniversary of diplomatic relationship of JakartaBerlin to promote Indonesian arts and culture in Berlin, Germany on October 2012; and in the program of the World’s Leading Travel Trade Show in Hall 26, ITB Berlin in March 2013. In addition, Gintar also danced in opening of STQ on May 12th, 2013, in Lamandau, Central Kalimantan. He also has worked with Bara Teater Community with Jaka Suyudi in the occassion of Gebyar Sastra 2011 in Gedung Kesenian Miss Tjitjih, Jakarta. Until now, he is active at the Young Karo Catholic Organization, in charge of art and culture division.
At the end of 2013, Gintar had a chance to perform Kuta Kemulihen in Gedung Graha Bakti Budaya, TIM; and in Solok (West Sumatra) in the grand performance of Solok Folklore Festival. He was also a delegate representing Indonesia to perform “In Our Home Town” in Macau Chinese New Year Parade 2014. He participated in Young Choreographers workshop, Indonesian Dance Festival 2014 in Jakarta. Recently, Gintar is rehearsing for his collaborative work with Widya Ayu Trisna (Jakarta), a performance titled Suara Kerinduan for Dokan Arts Festival 2015, in his hometown, Karo (North Sumatera).
158
159
Moh. Hariyanto Moh. Hariyanto atau biasa dipanggil Hari, lahir di Sampang, Madura 16 Oktober 1986. Mengawali dunia tari saat menjuarai lomba tari Topeng Getak se-Pulau Madura pada tahun 2006. Sejak saat itu, Hari memutuskan untuk menekuni bidang tari dengan mengambil studi S1 di Jurusan Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2010. Tahun 2011 melanjutkan studi S2 bidang Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan lulus pada tahun 2013.
Selama proses studi, Hari bekerjasama dengan banyak seniman seperti Heri Lentho, Peni Puspito, Sukarji Sriman, Kuku (Taiwan), Carlos Gracia Esteves (Spanyol) dan Rianto (Jepang/Indonesia). Berbagai festival juga kerap ia ikuti, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Selama 4 tahun berturut-turut Hari menjalankan tugas sebagai koreografer dalam menggelar pertunjukan Dramatari Kolosal di Gedung Negara Grahadi yang disaksikan oleh Gubernur dan pejabat setempat. Tahun 2008 ia berhasil meraih Juara 1 sebagai Duta Penari Jawa Timur. Ia juga
160
terpilih sebagai Duta Indonesia yang mengemban misi kesenian ke Kunming (China) tahun 2009. Tahun 2012 hari menjalani menari 24 jam nonstop yang diselenggarakan oleh panitia World Dance Day di ISI Surakarta.
Hari banyak mempelajari tarian tradisional (Jawa Timuran khususnya) dan mulai merambah dunia kontemporer saat menjadi penari dari beberapa koreografer ternama. Dengan bekal fisik yang kuat saat menjadi atlet semasa SMP-SMA membuat kekuatan dan kelenturan tubuhnya menjadi semakin terasah. Kini Hari tidak hanya belajar mengenai tradisi tetapi mulai mempelajari balet dan gymnastic untuk memperkaya eksplorasi ketubuhannya.
Berbagai karya telah diciptakan Hari dan meraih beberapa prestasi. Karya pertama yang diciptakannya berjudul Topeng Magnet yang diciptakan dalam ujian Koreografi 2 saat menempuh studi S1. Dilanjutkan dengan karya kedua Ngojhur yang diciptakan untuk mengikuti Festival Mahasiswa tingkat Perguruan tinggi se-Jawa Timur pada tahun 2009 dan meraih penyaji terbaik, penata tari terbaik, naskah terbaik dan penata musik terbaik. Karya ketiga yang berjudul NAS merupakan karya Tugas Akhir dalam menyelesaikan studi S1. Sebelum melanjutkan studi S2, Hari masih terus menciptakan beberapa karya diantaranya; Menjadi Kupu-Kupu diciptakan dalam Temu Koreografer se Jawa Timur di Gedung Cak Durasim tahun 2011. Tahun 2012 menciptakan karya Magma dari
Hilir yang dipentaskan dalam Srawung Seni Candi di Karanganyar, Solo. Tahun yang sama menciptakan karya Polisi Tidur dipentaskan dalam acara “Tidak Sekedar Tari“ di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah. Setelah itu menciptakan karya Panji Remeng dalam Temu Taman Budaya se- Indonesia dan dipentaskan kembali pada Festival
161
Seni Pertunjukan Indonesia meraih penata tari terbaik. Saat diminta dosen di Unesa dalam melakukan penelitian kesenian Sandur di Tuban Jawa Timur, Hari menciptakan tari berjudul Bonafide Cawik yang merupakan hasil restorasi dari kesenian Sandur.
Tahun 2013 Hari menginisiasi kolaborasi antara para penari tradisional dengan penari balet di Surabaya, hasilnya tercipta karya
Crossline yang berhasil meraih Hibah Seni Kelola kategori Karya Inovatif dan dipentaskan di Balikpapan dan Surabaya. Di tahun yang sama menciptakan karya Durasim dalam mengikuti Festival Karya Tari se- Jawa Timur dan meraih Penyaji Terbaik, Penata Tari Terbaik dan Penata Busana Terbaik. Tahun 2013 hari terpilih menjadi salah satu seniman yang mewakili Indonesia mengikuti kolaborasi seniman dunia dalam Kaki Seni Art Exchange di Kuala Lumpur Malaysia.
Kemudian Hari menciptakan karya Ghulur yang merupakan proses pencarian selama 2 tahun untuk menyelesaikan tugas akhir studi Pascasarjana S2. Hingga kini, Hari masih konsisten dalam melakukan proses terhadap karya Ghulur hingga karya ini mengalami beberapa kali perubahan, baik secara koreografi maupun jumlah personil penari. Ghulur awalnya ditarikan oleh 8 penari putra dan putri. Kemudian berubah menjadi duet yang ditarikan 2 orang laki-laki saat tampil di Bedog Art Festival. Terakhir, Ghulur ditampilkan secara tunggal oleh Hari sendiri dalam mengikuti Indonesian Dance Festival 2014.
Kini Hari menjadi dosen pengajar di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan mendirikan studio tari “Sawung Dance Studio” sebagai wadah bagi para penari dan koreografer di
162
Surabaya dalam melakukan proses kreatif dan mencipta karyakarya inovatif.
Moh. Hariyanto or usually called Hari, was born in Sampang, Madura on October 16th, 1986. He started seriously to dance when he won Madura’s Getak Mask Dance Competition in 2006. Since then, Hari decided to focus on dancing by taking Acting, Dancing, and Music in Faculty of Language and Art, State University of Surabaya at the same year, and graduated in 2010. In 2011, he continued his master degree in Choreography in Indonesia Institute of the Arts (ISI) Surakarta and graduated in 2013.
During his study, Hari worked with many artists like Peni Puspito, Sukarji Sriman, Kuku (Taiwan), Carlos Gracia Esteves (Spain) and Rianto (Japan/Indonesia). He has participated in many festivals, both national and international. For four consecutive years, Hari worked as choreographer of a colossal dance-drama in Negara Grahadi Building, Surabaya. In 2008, he successfully won a dance competition in East Java. He was also chosen as Indonesia’s representative in cultural missions in Kunming, China in 2009. In the same year, Hari did 24 hours nonstop dancing held by World Dance Day in ISI, Surakarta.
Hari has learnt traditional dances (especially of East Java style) and started entering contemporary world since dancing for the work of some prominent choreographers. He gained his strong physicality - both strength and flexibility - from his days as a young athlete during high school. Nowadays, Hari is starting to learn some ballet technique and gymnastic to enrich his exploration.
163
He has created some choreographies. The first was entitled Topeng
Magnet created in Choreograph 2 examination when he was taking his undergraduate. The second, titled Ngojhur, was created to join East Java’s University Student Festival and in 2009 he won the best presenter. His third, entitled NAS was, a thesis project. Before he continued to postgraduate, Hari created more numbers such as
Menjadi Kupu-Kupu performed during East Java’s Choreographer Meeting in Cak Dusasim Building in 2011. In 2012, he created
Magma dari Hilir performed in Srawung Senu Candi in Karanganyar. In the same year he created Polisi Tidur performed in program “Tidak sekedar tari” in Wisma Seni Budaya, Central Java. After that he created Panji Remeng for Indonesia’s Artist Meeting and he earned the best choreographer. When he was requested to be lecturer in State University of Surabaya in Tuban, East Java, Hari choreographed Bonafide Cawik.
In 2013, Hari initiated a collaboration between traditional dancers and ballet dancers in Surabaya resulted in Crossline and earned an art grant in Innovative work category and was performed in Balikpapan and Surabaya. In the same year he created Durasim in joining East Java’s Dancing Festival and was awarded as the best performer, best choreographer, and best designer. In 2013, Hari was chosen as one of the artists representing Indonesia to participate in World Artists in Kaki Seni Art, Kuala Lumpur, Malaysia.
Hari then created Ghulur, a two years process as part of completing his master degree. Until now, Hari has modified Ghulur several
164
times. Ghulur was first danced by eight male and females dancers, then it changed to be a duet of male dancers performed for Bedog Art Festival. Lastly, Ghulur was performed as a solo piece by Hari himself and was showcased in Indonesian Dance Festival 2014. Recently, Hari lectures at STKW Surabaya - a private arts school and has established “Sawung Dance Studio” as a place for Surabaya’s dancers and choreographers who wish to create innovative works.
165
Suprapto Suryodarmo Suprapto Suryodarmo adalah salah seorang tokoh utama yang menghubungkan spiritualitas dengan seni pertunjukan. Di tahun 1960an, beliau belajar tari tradisional Jawa di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Solo dan Jurusan Filsafat di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ia menginisiasi Dewan Kesenian Surakarta di tahun 1969 dan dalam kurun 1972-1975 menjabat sebagai Sekretaris untuk Proyek Pemerintah Indonesia: Pusat Kesenian Jawa Tengah di Solo. Selama 1978-1983 ia menjadi Pimpinan ASKI (sekarang menjadi ISI), hingga tahun 1986 sebelum ia mengembangkan sekolahnya sendiri, Padepokan Lemah Putih, yang bertempat di taman yang unik di daerah Mojosongo, sebelah utara kota Solo, Jawa Tengah. Suprapto telah memberi lokakarya tentang Joged Amerta - pendekatan geraknya di Indonesia maupun berbagai kota di Eropa sejak tahun 1990an.
Suprapto Suryodarmo, is one of the foremost figures in linking spirituality with performing arts. In the 1960s he studied traditional Javanese arts at ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia / the Indonesian Academy of Music) in Solo and philosophy at Gadjah
166
Mada University in Yogyakarta. He initiated the Surakarta Arts Council in 1969 and from 1972–1975 was Secretary for the Indonesian Government Project: Pusat Kesenian Jawa Tengah/ Central Java Cultural Centre in Solo. From 1978–1983 he was the Deputy Chief of ASKI (now known as ISI), before leaving in 1986 to develop his own school Padepokan Lemah Putih in his uniquely landscaped garden in Mojosongo, just north of the City of Solo in Central Java, Indonesia. Suprapto has given numerous workshops of his Joged Amerta - his approach and method of movement - in Indonesia and Europe since 1990s.
167
Hanafi Hanafi dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah, 05 Juli 1960. Menempuh pendidikan seni di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta. Karya Hanafi tidak melulu lukisan, tetapi juga seni instalasi, patung, artistik panggung dalam kolaborasi dengan seniman tari, teater dan sastra. Sejak awal tahun 1990 hingga tahun 2015 ini, Hanafi telah menggelar 38 pameran tunggal dan 80 pameran bersama.
Karya kolaborasi dengan seniman lain, misalnya, Mirah Mini: Hidupmu
Keajaibanmu, bersama novelis Nukila Amal; Window, bersama Liem Fei Shen ( Singapore) dan Maxine Happner ( Kanada), Substation, Singapore; Cross Oceans, bersama lintas seniman antar negara, York University-Canada. Beberapa kali membuat seni pertunjukan bersama Afrizal Malna, Fitri Setyaningsih, Boi G Sakti, Hartati, Godi SwarnaSeniman Bandung dan Lingkaran Doa Untuk Sitor.
Saat ini tengah mempersiapkan artistik panggung untuk ChoreolabDKJ, bersama tiga koreografer muda: Hariyanto, Ari Ersandi dan Gintar Pramana Ginting.
168
Hanafi telah memenangkan sejumlah penghargaan seni seperti 10 terbaik Philip Morris Art Award, Anugrah Kebudayaan Universitas Indonesia dan Indofood Art Award (2002 dan 2003).
Hanafi was born in Purworejo, Central Java on July 5th, 1960. He studied art at the School of Fine Arts of Indonesia, Yogyakarta. Hanafi works not only with painting, but also installation, sculpture, stage, the latest in collaboration with dancers, theater-makers and writers. From early 1990s to 2015, Hanafi has held 38 solo- and 80 group exhibitions.
Collaborative works with other artists include Mirah Mini: Hidupmu
Keajaibanmu (Mirah Mini: Your Life Your Miracle) with novelist Nukila Amal; Window, with Liem Fei Shen (Singapore) and Maxine Heppner (Canada), in Substation, Singapore; Cross Oceans, with with international artists, in York University-Canada. He collaborated with Indonesian performing artists such as Afrizal Malna, Fitri Setyaningsih, Boi G Sakti, Hartati, Godi Swarna-Seniman Bandung and Lingkaran Doa Untuk Sitor (the Circle of Prayer for Sitor).
Currently he preparing the artistic stage for Choreolab-DKJ, along with three young choreographers: Hariyanto, Ari Ersandi and Gintar Pramana Ginting.
Hanafi has won several art awards such as the 10 Best of Philip Morris Art Award, University of Indonesia Culture Award and Indofood Art Award (2002 and 2003).
169
S. Lawe Nur Hayuning Atau bisa dikenal dengan nama Lawe Samagaha. Awal proses berkeseniannya banyak di tempuh secara otodidak, dimulai dengan Studi Lukis pada (Alm) T.Nitya AS di teater KAP Jakarta. Tahun 1998–2000 nyantrik pada komponis S.Yasudah di Surakarta. Pada tahun 1999 mengikuti workshop bersama Slamet Abdul Syukur dan I Wayan Sadre di Balai Pemuda Surabaya. Pada tahun 2001 hijrah ke Bandung untuk Studi Komposisi pada Doddy Satya E.G di kelompok KETUK serta terdaftar sebagai Mahasiswa Karawitan STSI Bandung. Tahun 2002 pernah bergabung di kelompok Zithermania pimpinan Dedy Satya. Tahun 2003 membentuk kelompok LD (Langsuran Daur) bersama Dodong Kodir yang mengkhususkan diri membuat alatalat musik dari barang bekas. Tahun 2007 bersama kawan-kawan Bandung membentuk kelompok Crew Tetabuh mahasiswa. Tahun 2009 bersama Taufik Darwis dan seniman-seniman curug Dago membentuk kelompok SAMAGAHA. Tahun 2009 bergabung pada komunitas Oyag Forum pimpinan BENNY JOHANES. Tahun 2010 sampai sekarang, bersama kelompok yang didirikannya KUMPULAN BUNYI SUNYA melakukan workshop dan konser di beberapa kota. Aktif mengikuti berbagai Festival diantaranya : Festival Kalimas
170
Surabaya, Jak@rt Festival, Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, Festival Seni Surabaya, Festival Musik Kontemporer Solo, Palu Indonesia Dance Festival dan GSP Bali.
The beginning of his artistic process mostly through self-initiated, starting with painting under the tutelage of (the late) T.Nitya AS in KAP theater commynity in Jakarta. In 1998-2000 he learnt from composer S.Yasudah in Surakarta. In 1999 Lawe participated in the workshops of (both the late) renowned composers Slamet Abdul Syukur and I Wayan Sadre in Surabaya. In 2001 he moved to Bandung to study composition under Doddy Satya E.G of KETUK group and was registered as a student of the Music School (STSI Bandung). In 2002 he joined the group Zithermania led by Dedy Satya. In 2003 he founded LD (Langsuran Daur) with Dodong Kodir, specializing making musical instruments from recycled materials. In 2007 with some friends from Bandung he co-founded Crew Tetabuh.. In 2009 together with Taufik Darwis and Curug Dago artists he formed SAMAGAHA group. In 2009 he joined Oyag Forum communities led by Benny Johanes. From 2010 until now, he cofounded KUMPULAN BUNYI SUNYA, giving workshops and concerts in several cities. Lawe actively participates in various festivals in Indonesia and overseas and collaborates with other performing artists.
171
Zen Hae Zen Hae menulis puisi, cerpen, kritik sastra dan esai bahasa. Ia menamatkan pendidikan terakhirnya di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada 1994 dengan skripsi tentang puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dalam buku puisi Keroncong Motinggo. Setamat dari IKIP Jakarta, ia bekerja sebagai wartawan hingga 1999. Setelah itu ia bekerja di sejumlah LSM, menjadi penulis naskah infotainmen di Bintang Grup, serta menjadi penulis lepas. Pada 2006 ia dipilih sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta dan duduk di Komite Sastra hingga 2013. Sejak Februari 2012 hingga sekarang ia adalah manajer penerbitan di Komunitas Salihara.
Selain sebagai penulis, Zen Hae juga menulis dan menyunting sejumlah buku, di antaranya: penulis (bersama Aning Katamsi)
Panduan Pelafalan Seriosa Indonesia (KPG & DKJ, 2011); penyunting terjemahan Kamus Sejarah Indonesia (Komunitas Bambu, 2012); penyunting Sejarah Hak Cipta Lukisan dan Busana Jawa Kuna karya Inda Citraninda Noerhadi (Komunitas Bambu, 2012); penyunting bunga rampai kritik sastra Dari Zaman Citra ke Metafiksi (KPG &
172
DKJ, 2009).
Karya-karya Zen Hae disiarkan di media massa. Ia telah menerbitkan kumpulan cerpen Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan buku puisi Paus Merah Jambu (AKAR Indonesia, 2007). Cerpen dan puisinya yang lain terbit di sejumlah bunga rampai, di antaranya,
Out of Ubud (Lontar & UWRF, 2014), Narasi 34 Jam (KSI, 2001), Datang dari Masa Depan (Pesta Sastra Tasik, 1999), Pemintal Ombak (Sanggar Purbacaraka Bali, 1996) dan Sayong (Sanggar Minum Kopi, Bali, 1994).
Buku puisi Paus Merah Jambu mendapat penghargaan Buku Sastra Terbaik 2007 dari majalah Tempo dan termasuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2007-2008 (kini Kusala Sastra Khatulistiwa). Sementara Rumah Kawin termasuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award 2005.
Zen Hae writes poetry, short stories, literary criticism and essay. He graduated from Department of Language and Indonesia Literature IKIP Jakarta (now State University of Jakarta) in 1994 with a thesis on the poetry of Subagio Sastrowardoyo in Kroncong
Motinggo poetry book. He then worked as a journalist until 1999. After that he worked in a number of NGOs, became infotainment scriptwriter for Bintang Grup and a freelance writer. In 2006 he was elected as a member of the Jakarta Arts Council and sat on the Literature Committee until 2013. Since February 2012 until now he is the publishing manager at Komunitas Salihara. Besides writing, Zen Hae also wrote and edited a number of books, among them:
Pronunciation Guide for “Seriosa Indonesia Music” (KPG & DKJ,
173
2011, co-author with Aning Katamsi); Indonesia Historical Dictionary translation editor (Komunitas Bambu, 2012); History of Copyright
Painting and Javanese Old Clothing work of Citraninda Noerhadi Inda (Komunitas Bambu, 2012); editor for the anthology of literary criticism Dari Zaman Citra ke Metafiksi (KPG & DKJ, 2009). Zen Hae works have been also published in the mass media. He has published a collection of short stories Rumah Kawin (KataKita, 2004) and Paus
Merah Jambu poetry book (AKAR Indonesia, 2007). His others short stories and poems were published in several anthologies, among them, Out of Ubud (Lontar & UWRF, 2014), Narasi 34 Jam (KSI, 2001), Datang Dari Masa Depan (Pesta Sastra Tasik, 1999), Pemintal
Ombak (Sanggar Purbacaraka Bali, 1996) and Sayong (Sanggar Minum Kopi, Bali, 1994). Paus Merah Jambu poetry book was awarded the 2007 Best Literary Book from Tempo magazine and ranked in the fifth of Khatulistiwa Literary Award 2007-2008 (now Kusala Sastra Khatulistiwa). Rumah Kawin was among the best top 10 of Khatulistiwa Literary Award 2005 list.
174
175
Muhammad Nur Qomaruddin Muhammad Nur Qomaruddin adalah calon aktor muda yang rajin mengikuti kursus akting Teater Garasi dan lulus kelas mahir dengan pujian (2006 - 2009) sebelum ia menjadi salah satu seniman warga Teater Garasi. Langkah beraninya yang pertama bekerja untuk produksi Teater Garasi adalah di Domba-domba Revolusi (2007) dan Bocah Bajang (2009) disutradarai oleh Gunawan Maryanto. Kemampuan matangnya dalam bergaya akting realistik terlihat (saat berperan) sebagai Trigorin di Camar (versi Indonesia dari Anton Chekov the Seagull) disutradarai oleh Corrina Manara,
artist-in-residence asal Belanda dari Teater Garasi (2008). Fleksibilitas, kekuatan dan kelembutannya dalam bermain berbagai karakter terbukti lebih lanjut di Goyang Penasaran disutradarai oleh Naomi Srikandi (2011). Kolaborasinya dengan koreografer Fitri Setyaningsih di Selamat Datang Dari Bawah, arahan Naomi Srikandi di Medea Media (2010), dan selanjutnya dengan Yudi Ahmad Tajudin dalam After The Voices # 1 (2014) menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam menghasilkan bentuk-bentuk dan gaya sebuah pertunjukkan. Sementara Qomar adalah salah satu pembaca dramatis langganan di Festival tahunan Indonesia Dramatic
176
Reading, ia juga menjabat sebagai inisiator dan koordinator di Studio Pertunjukkan dan Lab kegiatan Teater Garasi. Qomar adalah artist-
in-residence di Cheunchen, Korea Selatan (2012) dan bekerja dengan koreografer Arco Renz untuk berkolaborasi dengan para penari di Padang Panjang co-missioned oleh Indonesia Dance Festival (2014).
Muhammad Nur Qomaruddin was aspiring young actor who diligently attended Teater Garasi’s acting courses and passed the advance class with distinction (2006 – 2009) before he became one of Teater Garasi’s resident artists. He ventured first steps working for Teater Garasi’s productions in Domba-domba Revolusi (2007) and Bocah Bajang (2009) directed by Gunawan Maryanto. His maturing ability in realistic acting style was seen as Trigorin in Camar (Indonesian version of Anton Chekov’s The Seagull) directed by Corrina Manara, a Dutch artist-in-residence of Teater Garasi (2008). His flexibility, strength and delicacy in playing range of characters is further evidence in Goyang Penasaran directed by Naomi Srikandi (2011). His collaborations with choreographer Fitri Setyaningsih in Selamat Datang dari Bawah, director Naomi Srikandi in Medea
Media (2010), and further with Yudi Ahmad Tajudin in After The Voices #1 (2014) show his remarkable talent to result any possible forms and styles of performance work. While Qomar is one of the frequent dramatic readers in the annual Indonesia Dramatic Reading Festival, he also serves as initiator and coordinator in Teater Garasi’s Performer Studio and Lab activities. Qomar was artist-in-residence in Cheunchen, South Korea (2012) and working with choreographer Arco Renz for a collaboration with dancers in Padang Panjang comissioned by Indonesia Dance Festival (2014).
177
Kerabat Kerja The Commmittees Penanggung Jawab | Steering Committee: Dewan Kesenian Jakarta Irawan Karseno (Ketua Umum Pengurus Harian | Chairman) Alex Sihar (Sekertaris Umum | General Secretary) Madin Tyasawan (Ketua Bidang Umum | Head of General Affairs) Irvan A. Noe’man (Ketua Bidang Administrasi & Keuangan | Head of Finance & Admin) Helly Minarti (Ketua Bidang Program | Head of Program) Komite Tari-Dewan Kesenian Jakarta | Dance Committee of Jakarta Arts Council Sukarji Sriman, Rury Nostalgia, Hartati, Helly Minarti Koreografer | Choreographer: Ari Ersandi (Yogyakarta), Moh. Hariyanto (Surabaya), Gintar Pramana Ginting (Jakarta) • Pengampu | Maestro: Suprapto Suryodarmo (Surakarta), Hanafi (Jakarta) • Pemateri | Speaker: Lawe Samagaha (Depok), Ines Somellera (Jakarta/Mexico) • Pencatat Proses Workshop | Minutes: Lambertus Berto Tukan • Konsultan Artistik | Artistic Consultant: Hanafi • Konsultan Musik | Music Consultant: Lawe Samagaha • Kawan Diskusi | Thinking Partner: Muh. Nur Qomaruddin (Yogyakarta) untuk Ari Ersandi, Zen Hae (Jakarta) untuk Gintar Pramana Ginting, Hanafi (Jakarta) untuk Moh. Hariyanto Pelaksana Program | Program Officer: Andike Widyaningrum • Pelaksana Muda | Project Officer: Deddy Hendrawan • Keuangan | Finance: Tri Suci • Manajer Humas | Public Relation Manager: Dita Kurnia Rahardjo • Desainer Grafis | Graphic Designer: Riosadja • Fotografer | Photographer: Eva Tobing • Videografer | Videographer: Joel Taher (Jakarta), Jepri Ristiyono (Solo) • Konsumsi | F&B: Tri Suci • Pengemudi Transportasi | Driver: Sukadi • Kebersihan | Cleaning: Julian, Syaiful, Djaelani, Dedi • Manajer Panggung | Stage Manager: RR Firsty Dewi Muharwati • Pembawa Acara | MC: Rury Nostalgia • Penata Lampu | Lighting Designer: Rico SAF • Asisten Penata Lampu | Assistant Lighting: Mamed Slasov • Kru | Crew: Novan Seri Putra, Apri Wibowo, Nofri Zalianto, Danang Apriliawan, Frendi Yessi, Richard Van Hamdan • LO: Mohammad JJ, Syaputra Ramadhan, Erda Gultom • Penerima Tamu | Usher: Cik’im, Lintang Permatasari
178