Cenayang - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Awawa Yogarta Senin, 17 Juni 2013 07:57 -
1
Raut wajah cenayang sekonyong-konyong menjadi dingin, tanpa ekspresi. Tatapannya yang tajam membuat siapapun yang memandangnya akan menghempaskan mata. Perawakan si cenayang bertubuh gempal. Rambutnya gondrong beruban, terjuntai tak terurus. Wajahnya tak bisa menyembunyikan umurnya yang sudah uzur. Tak ada yang tahu persis berapa umurnya. Para warga desa sepakat, bahwa umur orang ini sudah lebih dari satu abad. Kakek pernah bercerita tentang orang ini. Ia adalah seorang pertapa yang menyembah roh hutan. Kakek dan para warga desa lumrah memanggilnya “Samara”.
Kisah dimulai dari Barat pulau Jawa. Terdapat sebuah desa yang dikelilingi hutan hujan tropis yang lebat nan luas serta membingungkan bagai labirin. Hutan yang begitu dikeramatkan. Menurut para leluhur, hutan itu konon menjadi tempat persinggahan Adam dan Hawa ketika terlempar dari Taman Firdaus. Siapa pun yang memasuki hutan, tak akan bisa keluar dengan selamat, karena disesatkan oleh roh hutan. Hanya sang cenayanglah yang mengetahui seluk beluk isi hutan.
“Waktu perang melawan Jepang, ia membantu para prajurit kemerdekaan untuk bersembunyi di hutan. Para prajurit kemerdekaan masuk ke hutan, bergerilya menghadapi pasukan Jepang. Pasukan Jepang yang masuk ke hutan, tak kan bisa keluar dan hanya berputar-putar hingga mati kelaparan. Mereka tak berani memasuki hutan ini lagi, tak ingin mengulangi kesalahan prajurit sebelumnya,” ucap kakek ketika menjelaskan kisah Samara.
Sang cenayang juga kerap membantu dengan memanggil roh hutan ketika kemarau melanda desa. Kemarau yang berkepanjangan, mampu diselingi dengan hujan lebat yang turun selama dua hari dalam seminggu. Sebuah hal yang sulit dipercaya, karena selama musim kemarau, desa kami biasanya tak pernah disinggahi hujan. Ketika kakek menjadi Kepala Desa ia berusaha membangun hubungan yang lebih hangat dengan si cenayang.
Kakek sempat menawarkan Samara untuk tinggal di desa. Namun ia menolaknya dengan halus. Ternyata Samara menyimpan sebuah rahasia.
1/6
Cenayang - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Awawa Yogarta Senin, 17 Juni 2013 07:57 -
“Kau tahu Zeta. Seharusnya diriku sudah mati, jika harus tunduk pada hukum alam. Salah satu organ tubuh ku telah tertembus peluru pada saat perang gerilya dengan pasukan Jepang. Selama beberapa jam aku hampir merenggang nyawa tanpa sepengetahuan mu saat itu. Sehingga aku harus mengikat perjanjian dengan roh hutan untuk menyambung nyawa. Ia memberikan ku jaminan kehidupan, asalkan hutan ini tetap lestari dan aku tidak boleh meninggalkan hutan,” ujarnya kepada Zeta, panggilan kecil kakek.
Kakek hanya mengangguk, setengah tak percaya. Tapi apa daya, kenyataan memang menunjukkan hal itu. Bukankah kakek sungguh-sungguh melihat ia memiliki kesaktian bak cenayang ?. Kakek percaya akan kekuatan mistis, tapi ada hal yang menggelisahkan hatinya. Warga tidak suka jika kakek berteman dengan Samara.
2
Sebenarnya bagaimana wujud roh hutan itu ? Apakah ia sekumpulan jin, setan atau pohon yang dikeramatkan. Hanya si cenayang yang tau. Mulut para warga desa tak luput menggunjings si cenayang. Desas-desus tentang kepercayaan Samara beredar luas. Para warga mulai menerka-nerka. Ada yang berspekulasi bahwa si pertapa memuja setan atau semacam kepercayaan leluhur seperti animisme dan dinamisme. Ada pula yang berkata bahwa si cenayang adalah dajjal yang sudah turun ke bumi, untuk menyesatkan siapa pun yang tidak beriman pada Tuhan.
Hal ini sampai ke telinga para pemuka agama. Para pemuka agama di kampung ku mewanti-wanti agar masyarakat desa berhati-hati dengannya. Bisa ketularan musyrik jika bermain dengannya. “Kalian harus berhati-hati, ia tidak menyembah Tuhan,” kata salah satu pemuka agama terpandang di desa ku.
Muncul kecurigaan berlebih. Peristiwa hilangnya uang Haji Samiun sebesar 10 juta dan lenyapnya Badrun, anak nyai Zenab karena bermain di dekat hutan, membuat para warga melayangkan tuduhan kepada cenayang.
Para provokator muncul bagai percik api yang siap membakar amarah di rongga dada. Kakek berusaha menenangkan warga yang mulai kehilangan kesabaran. “Tenang-tenang. Semuanya tidak bisa dihadapi dengan prasangka buruk,” kata Kakek menengahi.
2/6
Cenayang - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Awawa Yogarta Senin, 17 Juni 2013 07:57 -
Salah seorang warga mencetuskan agar memanggil Samara untuk menjelaskan masalah ini. Ide itu diterima beberapa warga. Namun kakek bimbang karena teringat suatu hal. Cenayang tidak bisa keluar dari hutan, karena tubuhnya terikat secara kosmik dengan roh hutan. Kakek berusaha mencari solusi. Namun warga kampung akan curiga jika ia menolak membawa pertapa di forum. Sedangkan tuduhan yang paling kuat mengarah kepada Samara. Dan tak mungkin pula kakek berujar bahwa cenayang tak bisa keluar hutan.
“Bagaimana menurutmu pak Kades?” tanya seorang warga kepada kakek.
“Saya setuju. Tapi hari sudah larut malam. Dan tidak baik bagi kita untuk pergi ke hutan malam-malam meskipun beramai-ramai. Saya mengusulkan agar besok pagi atau siang kita ke hutan. Hari ini bapak-bapak beristirahat saja,” kata kakek.
Para warga saling melirik. Beberapa perdebatan kecil sempat terjadi untuk mencari persetujuan. Akhirnya usulan kakek diterima. Secara perlahan mereka membubarkan diri. Sedangkan kakek hanya termenung dengan gema pertanyaan, “Apa yang akan terjadi esok hari ?”
3
Suara azan subuh berkumandang dengan syahdu, mengetuk daun telinga setiap muslim untuk segera melaksanakan salat. Kakek sudah terjaga satu jam lebih awal mendahului azan subuh.. Salat Tahajud sebisa mungkin tidak ditinggalkannya. Kakek memanjatkan beberapa permintaan kepada Tuhan. Salah satunya agar tak terjadi apa-apa dengan cenayang.
Sinar matahari mulai menyusup ke rumah melalui celah jendela. Kakek sudah beranjak dengan setelan baju dinas dan kopiah serta sepatu pantofel hitam yang menjadi ciri khasnya . Kakek berjalan dengan sigap. Dilihatnya puluhan warga sudah berkumpul di lapangan kantor kepala desa. Para warga membawa senter, golok dan kotak P3K, sebagai peralatan standar untuk menembus hutan.
3/6
Cenayang - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Awawa Yogarta Senin, 17 Juni 2013 07:57 -
Dalam hatinya, kakek tidak pernah berhenti berdoa. Ini biasa dilakukannya acapkali menghadapi saat-saat genting. Bibirnya bergerak dengan cepat melafalkan dzikir, tanda kelemahan diri sebagai manusia. Kakek juga meminta agar para warga selalu berdoa dan menjaga sikap selama berada di hutan.
Tak lama berselang, puluhan langkah kaki berjalan sigap menuju hutan belantara. Sinar matahari yang biasa menyinari desa, perlahan mulai lenyap, tak mampu menembus celah rentetan pohon tinggi lebat yang tertancap di sepanjang jalan menuju hutan. Hawa sejuk mulai terasa, menyentuh tengkuk para warga yang seketika membangkitkan bulu kuduk. Beberapa warga saling melirik, sebagai pertanda kegentaran. Kakek berusaha tak memutus lafal doanya.
Akhirnya mereka sampai di gerbang hutan. Kakek melihat dua mahluk besar yang sejajar dengan pohon beringin tua menyambutnya. Sebenarnya, semenjak berjalan menuju hutan, kakek sudah melihat mahluk-mahluk aneh yang meliriknya dengan tatapan sinis. Mahluk ini lah yang membuat jantung kakek berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya . Kakek menghentikan langkahnya dan menghimbau kembali warga desa agar senantiasa berdoa. Kakek mengacuhkan mahluk tersebut, karena bukan ia yang ingin kakek tuju.
Anehnya, meskipun hutan ini jarang terjamah, semak-semak dan akar yang menjuntai tidak sampai menghalangi jalur menuju bagian dalam hutan. Seakan-akan hutan ini sudah siap menyambut kedatangan kami, sehingga golok yang dibawa oleh para warga benar-benar tiada guna.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, mereka terus masuk ke dalam hutan. Bermodal kompas, mereka menuju tengah hutan. Barangkali si cenayang memang bermukim disitu. Dan benar, di bawah pohon beringin besar yang akar tunggangnya bergelayutan meliuk-liuk tersapu angin, duduk bersila Samara. Seakan sudah menunggu kedatangan para rombongan, ia menyiapkan beragam buah-buahan yang disusun secara simetris, sehingga masing-masing dari kami bisa mengambilnya secara teratur. Tapi siapa yang butuh buah ?
Samara bangkit dari pertapaannya. Mengambil tongkat untuk membantunya berjalan. Langkahnya pun tertatih dengan tongkat yang dihujamkan di tanah, memperkuat pijakan. Kakek yang tak kuasa melihatnya, secara spontan berlari menuju ke arahnya. Merangkul dan membantunya berjalan hingga Samara berada tepat di hadapan para warga.
4/6
Cenayang - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Awawa Yogarta Senin, 17 Juni 2013 07:57 -
“Aku sudah tahu ihwal kedatangan kalian. Jujur, bukan aku yang melakukan tindakan itu. Namun berkat bisikan roh hutan, aku tahu siapa dalang semua ini,” kata Samara dengan suara yang parau.
Samara menatap wajah kakek dengan mata menerawang. Matanya tiba-tiba melotot seperti ingin memamerkan kedigdayaannya. Secara spontan kakek melepas rangkulannya sehingga si cenayang hampir terjatuh. Kakek menghindarinya karena ia akan mengeluarkan jurus “Paringrunggang”, yang mampu mengambil sukma seseorang jika menatap matanya.
Dengan sigap kakek merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sepucuk bedil. Ia mengarahkannya kepada si cenayang, dengan telunjuk yang sudah siap menekan pelatuk.
“Dor…!!! Dor….!!! Dor….!!!” suara tembakan menggelegar. Dahi cenayang tampak bolong karena tertembus tiga butir peluru, sembari mengeluarkan cairan merah yang agak menghitam. Samara masih berusaha berdiri kokoh, meskipun hukum alam menyatakan ia sudah mati, roh hutan berusaha menahan nyawanya agar tidak melayang.
Kakek lalu mengeluarkan tasbih diikuti gerakan mulut yang berkomat-kamit. Perlahan-lahan tubuh cenayang yang berdiri kokoh pun akhirnya lunglai dan jatuh terjerembab. Tubuh Samara perlahan mengering dan perlahan berubah menjadi abu.
4
Tak ada lagi si cenayang. Tak ada lagi kejadian-kejadian aneh. Hutan yang seram itu harus tunduk oleh kemajuan zaman, yang menihilkan semua mitos tentang hutan dan cenayang. Secara berangsur, warga memanfaatkan hutan untuk membuka ladang dan menebang pohon yang menjulang untuk diambil batangnya. Kakek secara perlahan mampu menguasai hutan untuk memakmurkan diri, sehingga menjadi salah satu orang terkaya di desa. Secara berturut-turut kakek mewariskan jabatan kepala desa kepada ayah, yang kemudian mewariskannya kepada ku. Hutan yang dulu lebat perlahan menggundul. Kegundulan hutan menjadi hal yang wajar, karena berbanding lurus dengan meningkatnya perekonomian warga.
5/6
Cenayang - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Awawa Yogarta Senin, 17 Juni 2013 07:57 -
Sepuluh tahun telah berselang. Pertumbuhan ekonomi desa menuntut permbangunan infrastruktur secara merata. Pembangunan jalan layang mulai menggerus isi hutan. Aku secara berkala mengawasi pembangunan itu.
Namun terjadi peristiwa tak terduga. Konstruksi jalan layang yang kokoh tiba-tiba runtuh. Paku bumi yang tertancap di dalam tanah, seakan tiada berarti. Seseorang disana merubuhkannya hanya dengan sebilah tombak. Ku lihat orang itu !!!. Ahh… Bukankah itu Samara si cenayang ? Orang yang dahulu sudah dibumi hanguskan kakek tiba-tiba berdiri sejajar dihadapanku hanya dalam kedipan mata. Matanya mendelik, memperlihatkan bola mata berwarna memerah murup yang membakar mata ku. Tombak panjang dengan ujung yang meruncing dipegangnya. Dihujamkan tombak itu tepat mengenai jantungku tanpa berbelas kasihan, mencabik-cabik, lalu mengambilnya. Diirisnya jantung ku menjadi bagian yang sama rata, sebagai camilan kala senja tiba. Joomla SEO by AceSEF
6/6