Persembahan Perempuan untuk Desa Sebuah Pendahuluan
Persembahan Perempuan untuk Desa Sebuah Pendahuluan
Borni Kurniawan Dina Mariana
Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Phase II
The Asia Foundation
Persembahan Perempuan untuk Desa Sebuah Pendahuluan
Penulis: Borni Kurniawan & Dina Mariana Penyelaras Akhir: Borni Kurniawan Penata Letak: Candracoret Desain Cover: Ipank Cetakan Pertama: April 2013 Diterbitkan atas kerjasama IRE, TAF dan ACCESS Phase II IRE YOGYAKARTA Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9.5, Dusun Tegalrejo, RT. 01/RW 09, Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Sleman Yogyakarta 55581 Telp 0274-867686, 7482091 Email:
[email protected] Copyleft © Diperkenankan untuk melakukan modifikasi, penggandaan maupun penyebarluasan buku ini untuk kepentingan pendidikan dan bukan untuk kepentingan komersial dengan tetap mencantumkan atribut penulis dan keterangan dokumen ini secara lengkap. 14 x 20 cm, xxx +156 hlm. ISBN 978-979-98181-7-7
Terima Kasih
Kami sengaja menulis buku ini karena terdorong keinginan kami untuk menampilkan narasi-narasi kecil di desa tentang inisiatif perempuan membangun keman dirian desa. Kami meyakini, sekecil apapun inisiatif perlu diapresiasi. Menganggap kecil terhadap emansipasi perempuan dalam pandangan kami adalah awal dari ketimpangan gender. Meminjam istilahnya Pramudya, pandangan seperti itu menandakan bahwa kita sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Cara pandang ini kemudian kami biaskan pada pe ngalaman kami sendiri melakukan kerja-kerja penelitian. Benar adanya, lembaga tempat kami berkiprah, IRE Yogyakarta memiliki banyak ragam penelitian sosial yang didukung oleh lembaga-lembaga seperti The Asia Foundation, ACCESS, Tifa Foundation, dan UNDEF. Tapi membenamkan diri pada suatu sikap dan perilaku yang lebih arif dan menghargai terhadap Ucapan Terima Kasih |
v
karya-karya atau inisiatif lokal, utamanya yang diperankan perempuan masih perlu dipupuk. Karena itu, kami memberanikan diri membuka dan membaca ulang berbagai dokumen hasil penelitian kami serta literatur dan hasil penelitian dari lembaga lain. Memang tidak semua cerita mampu kami hadirkan dalam buku ini, terlebih mampu kami cerna sehingga menampilkan bahan-bahan pembelajaran yang baik untuk kita terapkan dalam keseharian kita. Meskipun demikian, besar harapan kami, kehadiran buku ini dapat menyegarkan kepekaan kita pada perempuan sebagai pihak yang selama ini banyak terpinggirkan baik dalam konteks budaya maupun pembangunan. Buku ini sengaja kami tempatkan sebagai pendahuluan dari buku-buku lanjutan yang akan kami tulis untuk mengabadikan berbagai praktik inovasi yang dilakukan perempuan di sektor kehidupan, pada tempo yang berbeda serta dari perspektif yang berbeda. Selanjutnya kami sampaikan ucapan terima kasih kepada; pertama, seluruh perempuan di desa-desa Indonesia yang telah memberikan warna perubahan sosial dari bawah (endogenous change), sehingga mampu menggedor konsepsi pembangunan yang secara jamak banyak diperankan oleh pemerintah dan pasar. Barangkali mereka pantas kita sebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Sekalipun kiprah mereka tidak dikenal di tingkat nasional, bahkan internasional, tapi kemanfaatan aksi
vi
| Persembahan Perempuan untuk Desa
mereka tetap dirasakan oleh sesame. Bukankan sebaikbaik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama?. Kedua IRE Yogyakarta, utama pada pengurus Mas Sukasmanto selaku Direktur IRE, Mas Abdur Rozaki selaku Deputi Program dan Mbak Hesti Rinandari selaku Deputi Adiministrasi dan Keuangan, yang telah memberikan banyak kesempatan kepada seluruh staf untuk terus berkarya. Serta kepada seluruh peneliti yang banyak memberikan sumbangan pemikiran, kritik dan gagasan atas penulisan buku ini. Tak lupa pula pada teman-teman administrasi dan keuangan yang telah sabar mendampingi proses pengadaan buku ini. Ketiga, The Asia Foundation (TAF) yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menuliskan cerita-cerita lokal yang diperankan oleh perempuan sebagai aktor penting perubahan di desa. Dukungan TAF kepada IRE untuk pengembangan manajemen pengetahuan menjadi salah satu pemicu semangat kami untuk berkarya lebih banyak lagi untuk penguatan jagad pengetahuan maupun perubahan sosial melalui kerjakerja penelitian dan menulis buku. Keempat, ACCESS Tahap II yang telah member kesempatan kepada IRE melaksanakan Program Stock Take Study di 16 Kabupaten/kota di wilayah Timur Indonesia, yang akhirnya memberikan sumbangan besar bagi kami dalam mengumpulkan cerita-cerita peruba-
Ucapan Terima Kasih |
vii
han serta untaian pembelajaran inovasi dan emansipasi lokal yang diperankan perempuan. Kelima, TIFA, Ford Foundation, UNDEF, dan lembaga-lembaga donor lainnya, yang telah memberikan dukungan kepada IRE dalam berjuang mewujudkan kemandirian desa. Terakhir, harapan kami, semoga buku ini dapat memberi kemanfaatan tidak hanya bagi perempuan, tapi juga bagi pembaca yang bergender laki-laki. Kami, memang bukan aktivis yang tergolong progresif revolusioner karena kecakapan advokasi dan perlawanan pada penindasan di lapangan. Kami juga bukan intelektual organik yang cerdas bergerak di medan tempur pemberdayaan dan gerakan sosial. Tetapi, besar harapan kami, kata-kata yang terangkai dalam buku ini dapat turut serta memasok energi perubahan sosial.
Yogyakarta, 06 April 2013 Borni Kurniawan-Dina Mariana
viii
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Belajar Dari Kisah Gerakan Perempuan Lokal Arie Sujito Peneliti IRE;
[email protected]
BEGITU banyak kisah berserak terkait gerakan perempuan dalam memperjuangkan keadilan gender. Bukan saja terekam dalam narasi global, atau dinamika politik perempuan di level nasional. Namun, kita dapat cermati dan perhatikan peran aktif kaum perempuan dalam ragam bentuk di aras lokal. Kisah ketangguhan pe rem puan beraktivitas ekonomi, pemberdayaan sosial, peran politik, atau kreasi budaya begitu banyak dilakoninya. Rangkaian fakta dan pengalaman dikomunitas menunjukkan, bahwa mereka adalah subjeksubjek berdaya dalam menyiasati arus perubahan, yang telah membuktikan dirinya berprestasi tidak kalah de ngan kaum laki-laki. Penekanan “tidak kalah” ini pen ting, mengingat konstruksi kultur patriaki yang masih menyelimuti dalam sendi-sendi kehidupan hingga saat ini, masih saja menyimpan praktik penindasan atas
Belajar Dari Kisah Gerakan Perempuan Lokal |
ix
nama budaya. Sekalipun begitu dinamis dan cenderung secara bertahap berubah. Kita memang akui, sejak era reformasi yang mendorong demokratisasi, suasana politik memberikan sinyal po sitif. Perempuan kian berkesempatan untuk terlibat aktif di area publik, di bidang apapun. Tidak ada alasan bagi siapa saja untuk melakukan diskriminasi, karena spirit keadilan gender telah mengilhami demokrasi Indonesia. Dalam bidang politik misalnya, pemilu dan parpol telah diafirmasi dengan konsep kuota 30% sebagai syarat kekuasaan yang adil gender. Itupun tidak cukup. Negara telah juga mengharuskan agar tata kelembagaan pemerintahan sensitif pada isu keadilan gender. Cerminan nyata komitmen itu diantaranya adalah terbentuknya Kementrian Pembedayaan Perempuan di tingkat nasional sampai daerah-daerah yang masuk dalam dinas-dinas satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dari propinsi sampai kabupaten/ kota. Lalu kita kenal Komnas Perempuan yang berfungsi mengadvokasi kebijakan strategis agar meng upayakan perlindungan perempuan dan memberdayakan mereka dalam kegiatan-kegiatan strategis, bahkan melakukan edukasi sosial. Begitu pula ragam regulasi dan kebijakan pembangunan yang sebagian besar ada upaya mainstreaming keadilan gender. Lepas dari segala keterbatasan implementasinya, namun komitmen
x
| Persembahan Perempuan untuk Desa
dan arah perubahan itu begitu penting dicatat sebagai bentuk kemajuan dibanding era-era dulu jaman orde baru. Bahkan dunia pendidikan, mulai dari pendekatan pembelajaran atau metode yang dipakai, materi atau kontennya, serta kultur yang dibangun senantiasa sensitif pada keadilan gender. Meski berlangsung perubahan positif yang demikian, kita tidak bisa pungkiri pula bahwa beban dan tantangan perjuangan keadilan gender masih berat. Masih perlu kerja keras agar konsistensi kebijakan dari normatif sampai implementatif. Karena kita juga masih saksikan kisah-kisah sedih tentang peristiwa penindasan dialami perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), traficking, pelecehan seksual, kematian ibu melahirkan, kemiskinan keluarga, maupun pola-pola eksploitasi tubuh perempuan yang mengeks presikan penindasan tiada henti. Itulah masalah serius yang juga menjadi perhatian dalam advokasi demi memperjuangan keadilan gender. Atas dasar itulah, penting kiranya demi upaya dan per juangan keadilan gender itulah kita perlu pelajari ba gaimana caranya terus mendorong agar perempuan kian berdaya, berkemampuan dan makin aktif sebagai warga negara dan komunitas yang diperhitungkan. Pe rempuan berdaya artinya, mereka memiliki kapasitas dan kesadaran kritis, mengisi dan memanfaatkan ke
Belajar Dari Kisah Gerakan Perempuan Lokal |
xi
sempatan untuk menegosiasi kepentingannya dalam arus perubahan. Tujuannya, mereka harus benar-benar menjadi subjek yang diperlakukan sekaligus berperan aktif, dalam membangun kehidupan yang beradab. Apakah kita bisa lihat praktik perjuangan dan cita-cita semacam itu? Kita tidak boleh menyepelekan, bahkan harus mengapresiasi atas pengalaman otentik perempuan di aras lokal bagaimana mereka bergeliat bangkit memberi makna atas kesempatan perubahan. Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) atas pengalaman kerja pemberdayaan civil society organisation (CSO) pada komunitas warga lokal sejauh ini mengindikasikan hal itu. Begitu banyak kisah yang bisa dipetik sebagai pengalaman berharga hasil anyaman dan analisis kreatif peneliti IRE tertuang dalam buku, dimana sidang pembaca nikmati ini. Nampak, pengalaman inisiatif perempuan saat membangun organisasi warga, menumbuhkan partisipasi kelompok marginal di desa, serta daya aktif mereka de ngan berangkat dari kesederhanaan. Begitu kuat pesan yang tertuang dari untaian kisah buku ini bahwa, kemampuan perempuan menegosiasi dan mengatasi tekanan kultur patriarki sekaligus membuktikan dirinya sebagai subjek perubahan, bukan objek kultur patriarki. Cerita-cerita menarik mengenai Community Center, Pe rempuan Usaha Kecil, Jaringan Perempuan Usaha Ke
xii
| Persembahan Perempuan untuk Desa
cil, dan Kelompok Tani Wanita begitu serta pengalaman menarik lainnya tersaji beruparangkaian tulisan demi tulisan dalam buku ini. Ragam pengalaman empirik di tingkat lokal itu bahkan bermakna sebagai ruang alternatif baru bagi perempuan, khususnya bagaimana mereka mampu berorganisasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam praktik nyata pembangunan. Dalam perjalanan sejauh ini, bahwa organisasi-organi sasi warga tersebut telah berfungsi dan dikonstruksi ibarat aksi kolektif masyarakat. Fungsinya menjembata ni aspirasi warga yang selama ini tidak bersuara, mereka direpresentasikan dalam rangka memperbaiki dan mengontrol tanggung pemerintah atau negara terhadap warganya. Pengalaman tokoh perempuan lokal di bidang pendidikan, lingkungan, kegiatan ekonomi, kesehatan serta pelayanan publik lokal misalnya saat menjalani program-program pemberdayaan begitu menarik dan membanggakan. Sekalipun masih tergolong mikro, namun ternyata kisah-kisah semacam itu justru otentik dan bahkan memiliki nilai begitu besar pembentuk semangat mendobrak. Mereka bangkit dari pinggiran melawan patriarkhi dan penindasan dalam struktur sosial. Belajar dari kisah-kisah gerakan perempuan lokal sebagaimana disajikan dalam buku ini, makin menyuburkan semaian harapan perjuangan keadilan gender saat
Belajar Dari Kisah Gerakan Perempuan Lokal |
xiii
ini dan dimasa mendatang. Saya yakin, di luar apa yang berhasil diceritakan sebagai narasi kecil oleh para penulis buku ini, tentu masih banyak pula kisah-kisah lain yang perlu dieksplorasi, dikembangkan serta digandakan pelajaran berharganya. Itu menjadi tantangan peneliti dan para aktivis untuk terus menggalinya agar menjadi pengetahuan yang bisa dipelajari banyak orang, sehingga bisa menggerakkan kesadaran publik. Tiap sebuah karya pasti ada kekurangannya. Begitupun buku ini,tidak luput dari sejumlah keterbatasan subs tansi maupun teknis. Semoga menjadi bahan refleksi buat mengembangkan pengetahuan kelak. Silahkan dibaca, selamat menikmati yang tersaji semoga bermanfaat.
xiv
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Menembus Batas Patriarki (Sekapur Sirih Sambutan)
Tidak sedikit kearifan lokal yang hidup di bumi Nusantara mengandung pesan dan makna penghayatan atas penghormatan terhadap keagungan peran seorang perempuan. Dalam mitologi Jawa, kita mengenal Dewi Sri, lambang kesuburan dan keberkahan bagi komunitas petani. Komunitas-komunitas petani di sepanjang kawasan pantai utara Jawa, misalnya di kabupaten Indramayu, hingga saat ini masih telaten melestarikan budata lokal Mapag Sri. Budaya lokal ini diselenggarakan setiap kali menjelang musim panen tiba. Inti dari ritual Mapag Sri ini tidak lain simbolisasi rasa syukur para petani kepada Tuhan atas anugerah dan keberkah an yang mereka terima atas jerih payah petani menanam padi. Lalu, apa makna dan pesan yang terkandung dalam mitologi tersebut? Ya, perempuan ditempatkan sebagai satu sosok makhluk yang memiliki makam ting-
Menembus Batas Patriarki (Sekapur Sirih Sambutan) |
xv
gi dan harus dihormati. Karena by nature perempuan diyakini memiliki potensi lebih sehingga dapat me lindungi, menebarkan kesuburan alam sehingga men jamin keberlangsungan hidup jagad manusia di dunia. Menarik pembelajaran luhur mitologi Jawa diatas ke dalam belantara politik kebijakan pembangunan, ter nyata perempuan tidak mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki. Sebagaimana disinggung dalam buku ini, pembangunan sebagai konsep perubahan yang akan membawa suatu kondisi yang sebelumnya tidak baik menjadi baik, dari kondisi yang semula belum peka terhadap kesetaraan gender menjadi lebih peka dan berkeadilan gender, dan lain sebagainya. Tapi faktanya, pembangunan masih condong memperkuat dominasi laki-laki, sedangkan perempuan dinomorduakan. Penebangan hutan, proyek industrilisasi, sampai dengan globalisasi teknologi dan informasi di satu sisi melambungkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan ekonomi suatu negara. Akan tetapi dampak eksternalitas yang ditimbulkannya terhadap perempuan nyaris tidak pernah dihitung. Bagaimana tidak. Para kong lomerat yang mendapat konsesi HPH dari pemerintah dengan seenaknya menggunduli hutan, karena mereka dapat mengestimasi seberapa besar revenue keuntung an yang akan mereka dapatkan dari luasan hutan serta jumlah tanaman industri didalamnya. Tapi, mereka tidak pernah menghitung, bahkan mengabaikan dam
xvi
| Persembahan Perempuan untuk Desa
pak negative yang ditimbulkan kepada masyarakat di sekitarnya terutama perempuan. Kenapa perempuan? Tidakkah pernah kita bayangkan bahwa penggundulan hutan akan membawa ancaman bencana. Tidak hanya ancaman tanah longsor, kekering an dan banjir, tapi juga ancaman ketersediaan sumber daya yang tidak ramah pada generasi mendatang. Demikian pula dengan proyek indiustrialisasi juga membawa kerentanan tersendiri bagi masyarakat di sekitar pabrik. Dari mana datangnya kerentanan itu? Ya, tidak lain dari berbagai macam polusi yang lahir dari proses produksi suatu perusahaan. Bukan tidak mungkin su ngai yang mengalir disekitar kita mengandung berbagai macam zat-zat kimia berbahaya. Air sungai kemudian kita manfaatkan untuk konsumsi harian rumah tangga. Apakah kemudian pihak perusahaan memikirkan secara lebih dini atas ancaman eksternalitas yang ditimbulkannya? Demikian pula dengan pemerintah, apakah telah menaruh perhatian yang serius dampak proyek pembangunan tersebut terhadap warganya, terutama perempuan? Padahal, bukan tidak mungkin Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dan Angka Kematian Bayi dan balita (AKB) akar penyebabnya adalah konsep pembangunan yang tidak memikirkan sejak dini dam paknya terhadap perempuan, sehingga tidak menaruh perhatian yang serius kepada perempuan. Isi buku yang ada ditangan pembaca semua, kiranya sangat
Menembus Batas Patriarki (Sekapur Sirih Sambutan) |
xvii
menarik untuk direnungkan. Buku ini memang tidak memiliki pretensi kuat untuk berdialog dengan narasnarasi besar pembangunan dan feminisme. Buku ini, menurut penulis yang saat ini adalah pegiat dan pene liti IRE Yogyakarta, berupaya mengangkat cerita-cerita kecil yang berserak di desa tentang peran perempuan dalam pembangunan (Women in Development), sehingga dapat membuktikan bahwa perempaun sekalipun di desa mempunyai andil besar dalam upaya-upaya pembangunan. Menyimak narasi-narasi kecil peran perempuan dalam pembangunan sebagaimana tertampil dalam buku ini, sepintas dapat dikerucutkan pada konsep emansipasi. Seperti apa yang dilakukan Kartini dimana ia berjuang untuk membangun kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, cerita-cerita di dalam buku ini juga hendak menyuarakan bahwa kanal-kanal kelembagaan yang dibangun, khususnya pada zaman Orde Baru masih memiliki daya responsive yang rendah pada perempuan. Salah satu pangkal persoalannya terletak pada kekerasan sifat pemerintah Orde Baru yang lebih ba nyak menyemai organisasi-organsiasi korporatis sekaligus menahan akses tumbuhnya organsasi-organisasi warga. PKK, nampak menjadi satu-satunya ruang organisasi bagi perempuan sekaligus mewadahi aspirasi politik perempuan. Sayangnya, fungsi kritis organisasi tersebut tidak begitu jalan. Malahan menjadi ladang
xviii | Persembahan Perempuan untuk Desa
bagi pemerintah untuk melanggengkan bekerjanya proyek-proyek hegemonik pembangunan. Budaya patriarki yang masih kental menyelubungi ke hidupan masyarakat desa juga acapkali berdampak pada keaktifan perempuan di ranah publik. Dalam konteks pemberdayaan paling tidak ada dua tantangan yang harus ditembus oleh seorang wali masyarakat. Sedikit meminjam istilah Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve, wali masyarakat adalah pihakpihak (peneliti, aktivis, organisasi masyarakat, organisasi warga, pemerintah, partai politik, LSM, lembaga donor dll.) yang memiliki kehendak untuk memperbaiki. Jadi, untuk memperbaiki hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan, seroang atau pihakpihak yang memiliki the will to improve harus dapat menembus sekat budaya patriarki baik di ranah domestik (rumah tangga) maupun di ruang publik (public sector). Pengalaman gerakan perempuan membangun organisasi warga yang diangkat dari berbagai daerah sebagaimana dieksplorasi dalam buku ini kiranya hendak mengatakan kemampuan perempuan menembus budaya patriarki yang selama ini mengekang kreativitas dan emansipasi mereka. Community Center, Perempuan Usaha Kecil, Jaringan Perempuan Usaha Kecil, dan Kelompok Tani Wanita yang dibahas pada Bab II seolah menjadi ruang alterna-
Menembus Batas Patriarki (Sekapur Sirih Sambutan) |
xix
tive baru bagi perempuan khususnya dalam berorga nisasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam pembangunan. Organisasi-organisasi warga tersebut juga menjadi simbol aksi kolektif masyarakat dalam rangka menjembatani aspirasi masyarakat dalam rangka memperbaiki peran dan fungsi negara bagi warga negaranya. Buku ini memang masih belum secara mendalam melakukan kajian emansipasi lokal perempuan melalui aksi kolektif membangun organisasi warga dengan pisau-pisau analisis sosial seperti teori feminism maupun gender analysis. Meskipun demikian, semoga pembaca semua dapat memetik pembelajaran berharga dari buku ini. Selamat membaca..!
xx
Sukasmanto
Direktur Eksekutif IRE Yogyakarta
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Kata Pengantar Menghargai Emansipasi Perempuan-perempuan dari Desa
Sebagaimana diamanahkan dalam konstitusi, perhatian pemerintah terhadap peranan perempuan dalam pembangunan terus meningkat dan semakin nyata. Komitmen nasional dan internasional membuka kesempatan dan peluang bagi perempuan untuk berperan aktif disemua bidang kehidupan baik berkeluarga, berma syarakat, berbangsa dan bernegara. Komitmen tersebut diwujudkan antara lain melalui UU No. 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women-CEDAW), kemudian diperkuat dengan keberadaan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional dan Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman
Menghargai Secercah Perubahan Sosial di Desa
xxi
Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Daerah yang telah di sempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011. Pemerintah juga telah menetapkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, untuk melindungi hak azazi perempuan dalam rumah tangga. Globalisasi informasi, komunikasi, transportasi dan teknologi merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pembangunan pemberdayaan perempuan. Otonomi daerah merupakan peluang bagi pemerintah daerah untuk menyusun berbagai kebijakan, program dan kegiatan bagi peningkatan dan peluang perempuan untuk berperanserta. dan berpartisipasi dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Otonomi dalam penyusunan kebijakan, penetapan program dan pengalokasian penganggaran harus tetap memperhatikan responsifitas gender. Pelaksanaan program ACCESS tahap II yang dirancang untuk mendukung pengentasan kemiskinan di Indonesa melalui pemberdayaan masyarakat dan penguatan masyarakat miskin, dimulai pada bulan Juli 2008 di 16 kab/kota di 4 provinsi, dalam perkembangannya pada bulan Juli 2011 program diperluas ke 4 (empat) kabupaten baru yakni Kab. Sumba Barat Daya, Kab. Kepulauan Selayar, Kab. Lombok Utara, dan Kab. Sumba
xxii
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Tengah sehingga seluruhnya menjadi 20 kab/kota. Sumbangan pembelajaran dari program ACCESS Tahap II adalah semakin meningkatnya peran perempuan dalam pembangunan. Kaum perempuan di wilayah kerja program ACCESS Tahap II menunjukkan keaktifannya mendukung perbaikan ekonomi keluarga dan ekonomi perdesaan diantaranya dengan mengelola sumberdaya alam yang berada di lingkungannya. Buku kecil ini, menyuarakan cukup lantang bahwa pe rempuan-perempuan Indonesia memiliki potensi yang luar biasa sehingga mampu membangun emansipasi dalam pembangunan. Dalam pandangan kritis analisis gender, perempuan selalu dipetakan sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam pembangunan. Tapi dengan membaca buku ini, dapat diketahui bahwa perempuan tidak membuat frontperlawanan terhadap pembangunan secara diametral, melainkan membangun emansipasi dan partisipasi yang kuat dari lokal. Bentuk-bentuk emansipasi perempuan dalam pembangunan tersebut, dapat dilihat dari munculnya kelembagaankelembagaan lokal berbasis perempuan yang ternyata tidak secara eksklusif hanya memperjuangkan persoalan yang terkait dengan hak perempuan semata, namun memperjuangkan hak publik tanpa ada pembedaan gender. Dari cerita-cerita yang di tampilkan, tersirat sebuah pesan bahwa perempuan berpotensi menjadi sosok yang
Menghargai Secercah Perubahan Sosial di Desa xxiii
sukses di ranah publik, tapi tetap care terhadap keseim bangan peran dalam rumah tangga. Padahal,kalau kita simak lebih jauh, budaya patriarki dalam rumah tangga secara umum masih cukup dominan menghiasi keluar ga-keluarga di desa. Terlebih pada pembagian peran da lam rumah tangga, urusan domestik seringkali banyak dibebankan pada perempuan, hanya karena laki-laki merasa dirinya paling berjasa dalam aspek pengadaan ekonomi rumah tangga. Karenanya,laki-laki jarang se kali menyentuh tugas-tugas kerumahtanggaan yang bersifat domestik. Selanjutnya, kami patut mengapresiasi kepada ACCESS Tahap II yang telah mendokumentasikan banyak pem belajaran berharga dari lokal sebagaimana termanifes dalam buku ini. Akhirulkalam, saya sampaikan terimakasih atas sum bangan yang berharga ini dan semoga menjadi suluh bagi jiwa putera-puteri bangsa Indonesia.
Ir. Diah Indrajati, M.Sc Direktur Pemberdayaan Adat dan Sosial Budaya masyarakat Ditjen PMD, Kementerian Dalam Negeri
xxiv | Persembahan Perempuan untuk Desa
Kata Pengantar ACCESS Tahap II Menghargai Secercah Perubahan Sosial dari Desa
Kehadiran buku berjudul “Persembahan Perempuan untuk Desa” bertujuan mengangkat pengalaman pe rempuan yang layak kita ambil pembelajaran berharga karena perjuangan di tengah-tengah masyarakat di pedesaan. Meskipun mereka beraksi pada lingkup lokal, pengalaman mereka memperjuangkan perubah an di lingkup mereka ini luar biasa. Cerita-cerita kecil, atau oleh penulis disebut narasi kecil dari desa, dalam pandangan kami patut disejajarkan dengan deretan cerita-cerita prestisius dari perempuanpe rempuan yang biasa diangkat di tingkat nasional maupun internasional melalui berbagai media maupun majalah terkenal. Cerita ini menyampaikan kesaksian yang tulus atas munculnya inovasi dan emansipasi pe rempuan dalam khasanah besar pembangunan. Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk berkunjung dan membenamkan diri sejenak dengan kehidupan Daftar Singkatan |
xxv
perempuan-perempuan desa untuk mereguk pembelajaran berharga dari mereka. Pembelajaran menyangkut baik perubahan pada diri mereka sendiri maupun pada masyarakat sekitarnya sebagai dampak dari perjuangan mereka. Kegigihan mereka memanfaatkan sumber daya lokal, kemampuan mereka membangun komunikasi dengan berbagai pihak dan komitmen mereka terhadap perjuangan perempuan dan kelompok marjinal lainnya membuktikan bahwa mereka mampu memanfaatkan ruang dan peluang yang diraih demi sebuah kehidupan yang lebih layak. Buku ini memaparkan pengalaman perempuan-perempuan desa membangun inovasi diberbagai bidang kehidupan. Beberapa contoh diantaranya, di bidang pendidikan ada Ibu Musdalifah yang gigih membangun yayasan pendidikan sebagai jawaban atas lambatnya akses pendidikan yang diselenggarakan pemerintah di desa Langkomu, Buton Utara. Di sector perlindungan lingkungan hidup, ada Ibu Saidah barangkali dapat disetarakan dengan seorang motivator karena kesukarelawanannya yang tinggi menyelamatkan terumbu karang teluk Langkomu, Buton, hingga akhirnya desa mengakuinya dengan membuat Peraturan Desa untuk melindungi kerusakan terumbu karang dan ekosistem teluk Langkomu. Perempuan-perempuan di desa Ke keri, Lombok Barat, menjembatani ketidakberdayaan warga menyampaikan kritik atas buruknya layanan
xxvi | Persembahan Perempuan untuk Desa
publik yang mereka terima kepada pemerintah kabupa ten melalui sebuah wadah yang disebut Community Center (CC). Persoalan layanan publik tersebut misal nya terkait dengan mahalnya biaya pendidikan, ren dahnya akses ibu-ibu rumah tangga terhadap program peningkatan gizi masyarakat dan rendahnya perhatian pemerintah terhadap perlindungan TKW. Perempuanperempuan di desa-desa sekitar kawasan hutan Sesaot, Lombok Barat, juga memperlihatkan aktivitas yang pro gresif. Mereka mengorganisasikan diri ke dalam wadah kelompok wanita tani. Singkat cerita, kelompok-kelompok tani ini berhasil memperoleh hak pengelolaan hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) di te ngah sistem perijinan pengelolaan hutan yang panjang dan pro pemodal. Buku ini juga mengajak untuk menaruh penghargaan yang tulus kepada kelembagaan lokal yang dibangun oleh kaum perempuan sebagai bagian dari upaya perubahan sosial. Disinilah kiranya kelebihan dari buku ini. Penulis mengajak pembaca menghargai perempuan dari perspektif gerakan sosial. Pemikiran feminisme yang menjadi salah satu pisau analisis penulis, melihat bahwa gerakan lokal yang digagas oleh perempuan desa tidak lain adalah bentuk negosiasi perempuan atas perlakuan sistem pembangunan yang menafikan po tensi dan peran perempuan secara utuh. Dalam sudut pandang ini kami jadi teringat pada pendapat almar
Daftar Singkatan | xxvii
hum Mansur Fakih (2001) yang mengatakan bahwa feminism merupakan sekumpulan pemikiran, pendirian, dan aksi yang berangkat dari kesadaran, asumsi dan kepedulian terhadap ketidakadilan, ketidakseta ra an, penindasan atau diskriminasi terhadap kaum perempuan, serta merupakan gerakan yang berusaha untuk menghentikan segala bentuk ketidakadilan atau diskriminasi terhadap perempuan. Maka ada benarnya ketika buku ini mengatakan bahwa pembangunan yang diperkenalkan paska perang dunia ke-2 syarat dengan ketidakadilan terhadap perempuan. ACCESS Tahap II, sebagai salah satu program pengem bangan kapasitas warga yang didukung oleh AusAID, berupaya mendukung kerja-kerja pemberdayaan yang menghargai aspek lokalitas dan menempatkan perem puan sebagai subyek pembangunan yang memiliki posisi setara dengan laki-laki. Terakhir, kami sampaikan terima kasih kepada IRE Yogyakarta yang telah menghimpun cerita dan gerakan perubahan sosial yang dimotori perempuan, termasuk pengalaman ACCESS Tahap II dalam buku ini. Semoga terbitnya buku ini dapat menjadi inspirasi para pembaca. Paul Boon Direktur Program ACCESS Tahap II
xxviii | Persembahan Perempuan untuk Desa
Daftar Singkatan
Australian Community Development and Civil Strengthening Scheme AKB Angka Kematian Bayi/Balita AKI Angka Kematian Ibu APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBDes Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ASPPUK Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil BKAD Badan Kerjasama Antar Desa BKM Badan Keswadayaan Masyarakat BPS Badan Pusat Statistik BUMDes Badan Usaha Milik Desa CBO Community Based Organization CC Community Center CEDAW Convention on the Elimination of ACCESS
Daftar Singkatan | xxix
All Forms of Discrimination Against Women CPNSD Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah CSR Corporate Social Responsibility DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Repu blik Indonesia DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah FPPD Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Gapoktan Gabungan Kelompok Tani GEM Gender Empowerment Measurement GNP Gross National Product HK Hutan Konservasi HKm Hutan Kemasyarakatan HL Hutan Lindung HP Hutan Produksi HPH Hak Pengelolaan Hutan IDG Indeks Pembanguan Gender IPM Indeks Pembangunan Manusia IRE Institute for Research and Empo werment JarPUK Jaringan Perempuan Usaha Kecil JMS Jaringan Masyarakat Sipil KB Keluarga Berencana KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga KMPH Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan
xxx
| Persembahan Perempuan untuk Desa
KPPMD Kader Perempuan Pemberdayaan Masyarakat Desa KPUK Kelompok Perempuan Usaha Kecil KTP Kartu Tanda Penduduk LED Lembaga Ekonomi Desa LKM Lembaga Keuangan Mikro LP2DER Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat Musrenbangdes Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa NGOs Non Government Organization P2KP Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan PDB Produk Domestik Bruto PHBS Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PIR Perkebunan Inti Rakyat PKK Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PUG Pengarus Utamaan Gender PUK Perempuan Usaha Kecil RKP Rencana Kerja Pemerintah RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RT Rukung Tangga RUU Desa Rancangan Undang Undang Desa
Daftar Singkatan | xxxi
SD SK SKTM SLTA SLTP SPP TAF TBC TKI TKW YLBH
Sekolah Dasar Surat Keputusan Surat Keterangan Tidak Mampu Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Simpan Pinjam untuk Perempuan The Asia Foundation Tuberculosis Tenaga Kerja Indonesia Tenaga Kerja Wanita Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
xxxii | Persembahan Perempuan untuk Desa
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih........................................................ v Kata Pengantar Belajar Dari Kisah Gerakan Perempuan Lokal............. ix Menembus Batas Patriarki (Sekapur Sirih Sambutan)............................................... xv Menghargai Emansipasi Perempuan-perempuan dari Desa........................................................................... xxi Kata Pengantar ACCESS Tahap II Menghargai Secercah Perubahan Sosial dari Desa.......................................................................... xxv Daftar Singkatan............................................................ xxix Daftar Isi....................................................................... xxxiii Bab I Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan Perempuan........................................1 Perempuan dalam Kilasan Literatur dan Peradaban................................................................1 Menyembunyikan Perempuan...........................13 Pembagian Peran dan Pengkotak-kotakan Perempuan............................................................30 Perempuan dalam Emansipasi Lokal................44 Daftar Isi | xxxiii
Bab II Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa .............................................55 Community Center: Meningkatkan Akses dan Kualitas Pelayanan Publik..........................58 Melahirkan Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) ........................................................69 Berpengetahuan dan Berjejaring: Strategi Keluar dari Kemiskinan......................................83 Partisipasi Politik berdampak Ekonomi...........85 Peningkatan Pendapatan Penenun Sukarare, Lombok Tengah..................................90 Pengalaman Mengakses Modal untuk KPUK-KUB, Kabupaten Kupang.......................91 Harmoni dengan Alam........................................94 Hutan Sesaot, Penghidupan Kaum Perempuan..........................................................101 Melawan Patriarki dengan Air.........................107 Pelopor Desa Sehat.............................................111 Reformasi Adat untuk Keadilan Gender........116 Awig-awig untuk Perlindungan Sosial..........125 Khasiat Buah Belimbing untuk Si Miskin.......130 Partisipasi Perempuan dalam Perencanaan dan Penganggaran Desa....................................138 Bab III Menyibak Makna Dibalik Cerita..................143 Kebangkitan Organisasi Perempuan...............144 Tantangan Menjawab Kemiskinan..................146 Mendorong Kesetaraan dan Keadilan Gender..................................................................148 Daftar Pustaka.................................................................151 Tentang Penulis...............................................................155
xxxiv | Persembahan Perempuan untuk Desa
Bab I Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan Perempuan
Perempuan memiliki kemampuan luar biasa dalam dirinya. Namun kemampuan tersebut seringkali terpendam, bahkan terabaikan. (Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Farid Moeloek, SpM (K))
Perempuan dalam Kilasan Literatur dan Peradaban Tidak sedikit cerita fiksi rakyat maupun cerita legenda, ide ceritanya berpangkal pada kehidupan dan karakter sosok perempuan. Kisang bawang merah dan bawang putih, kisah klenting kuning, klenting abang (merah) dan klenting hijau, cerita radio Misteri Gunung Merapi, Misteri Gunung Lawu dan masih adalah beberapa contohnya. Pada umumnya perempuan digambarkan sebagai sosok yang berperangai buruk. Kisah Misteri
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
1
Gunung Lawu maupun Misteri Gunung Merapi, selalu menampilkan seorang nenek berilmu hitam yang mempunyai watak jahat. Tidak kalah banyak juga ide ceritanya yang mengetengahkan kelakuan buruk para lelaki. Sebut saja seperti kisah Sangkuriyang, dan Malin Kundang. Kedua kisah tersebut di satu sisi menjelaskan kedurhakaan anak kepada ibunya dan hendak menyampaikan pesan betapa mustajab doa seorang ibu. Jangankan doa yang berpretensi baik, kutukan untuk anaknya pun terkabul. Dalam literatur-literatur keagamaan juga kita temukan cerita-cerita yang mengisahkan kemuliaan perempuan. Dalam Al Quran misalnya ada sejumlah cerita seperti kisah Siti Hajar dan Sarah, istri Nabi Ibrahim AS dan Maryam (Maria) ibu Nabi Isa AS. Mereka adalah sosoksosk perempuan hebat yang mampu mendidik putraputra mereka hingga menjadi tokoh besar yang dikenal kekal hingga saat ini. Jadi, mereka bukanlah sekadar perempuan pendamping suami belaka. Siti Hajar, saat anaknya Ismail merengek-rengek menangis karena kehausan, beliau rela berlarian puluhan kilo dari bukit Shofa ke bukit Marwah untuk mencari sumber air. Perjuangan dan jerih payahnya, pada akhirnya berbuah manis yakni dengan mengalirnya air dari sumber air yang sekarang dikenal dengan sumur Zam Zam. Demikian pula Siti Khatijah, seorang janda kaya raya, dirinya menjadi penopang ekonomi suaminya yang tidak
2
| Persembahan Perempuan untuk Desa
lain adalah Nabi besar umat Islam sedunia (Muhammad SAW), sehingga proses dakwah yang diperankan suaminya berjalan baik. Dalam konteks kekinian, kebijakan pembangunan juga mulai dikaji dari sudut pandang keberpihakan kepada perempuan. Kebijakan publik yang tidak responsif gender biasanya banyak merugikan kaum perempuan, tidak hanya dari segi proses pembuatan kebijakan, tapi sampai formula dan implementasinya. Penerapan kebijakan dan program pembangunan yang bias gender ini memiliki relasi yang cukup kuat dengan akar sosial dan budaya dimana para pembuat kebijakan hidup. Sekadar menjelajah peradaban dunia, bentuk-bentuk peradaban manusia secara tidak langsung menjustifikasi ketertindasan perempuan. Pertama, pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Kaum laki-laki diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan perempuan dipuja untuk itu. Karenanya, tidaklah mengherankan kalau patungpatung perempuan telanjang dari Yunani yang masih dikagumi hingga sekarang adalah bagian dari bukti adanya cara pandang masyarakat Yunani terhadap perempuan. Kedua, dalam sejarah Romawi, kultur sosial yang ada mem-fetakompli bahwa perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
3
itu mencakup kewenangan menjual, emngusir, meng aniaya hingga membunuh. Kultur yang hampir sama juga hinggap dalam tradisi jahiliyah di jazirah Arab dimana anak laki-laki menjadi kebanggaan keluarga daripada anak perempuan. Saking malunya memiliki anak perempuan, Sayyidina Umar Khatab saat belum mengenal Islam tega membunuh anak perempuannya sendiri. Ketiga, dalam peradaban Yahudi, perempuan disamakan dengan pembantu. Masyarakat Yahudi berkeyakinan perempuan adalah sumber laknat. Karena perempuanlah Adam diusir oleh Tuhan dari surga. Demikian pula dengan pandangan masyarakat Kristen masa lalu, tidak lebih baik dari peradaban-peradaban diatas. Keempat, dalam budaya Jawa, cara pandang terhadap perempuan terdapat pada akar kultural historisnya yang menempatkan perempuan sebagai the second class. Pemeo swarga nunut neraka katut yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri bergantung pada suami.1 Dalam konteks peradaban diatas dapat kita maknai bahwa perempuan pada umumnya ditempatkan sebagai pelengkap (konco wingking) kaum lakilaki saja. Yang di depan ya suami, bagian perempuan di belakang. Dalam sudut lensa yang lain, perdaban Indonesia sebenarnya mencatat bahwa perempuan memegang pe 1 Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 40-44.
4
| Persembahan Perempuan untuk Desa
ranan penting bahkan dalam bidang politik sekalipun. Kasultanan Buton, sekarang kabupaten Buton, pernah diperintah oleh serorang sultan perempuan. Di Jawa, nama-nama seperti Ratu Sima Sanggranawijaya Dharmaprasodotunggadewi dikenal adalah tangan kanan Prabu Erlangga. Kemudian dalam babad Singasari, ada Ken Dedes yang menjadi otak penyusunan strategi untuk memperlancar langkah Ken Arok menduduki kursi raja Tumapel yang kala itu diduduki suaminya sendiri Tunggul Ametung. Pada zaman Majapahit ada tokoh yang bernama Rajapatni ibu dari Ratu Tribuwana. Rajapatni merupakan penghubung dinasti wangsa Singasari dan Majapahit. Dialah yang menggantikan kakak laki-lakinya tirinya pada tahun 1329 dan memerintah seluruh kerajaan Majapahit seorang diri sampai tahun 1350.2 Ketika Indonesia dijajah oleh para kolonialis, kita mengenal beberapa pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Martha Tia Hahu, Nyi Ageng Serang dan R.A. Kartini. Menyimak peradaban saat ini, Indonesia telah menam pilkan banyak perempuan-perempuan yang berprestasi, hampir disegala bidang. Di ranah politik, jelas Indonesia pernah memiliki presiden perempuan. Amerika Serikat, sekalipun mendaulatkan diri sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dan menjunjung nilai ke 2 Handayani, Christina S., dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS. hlm. 29-31.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
5
setaraan gender, ternyata 200 tahun lebih belum pernah dipimpin seorang presiden perempuan. Tidak hanya di level pusat, perempuan kini juga banyak meng hiasi struktur pemerintahan daerah baik sebagai gubernur maupun bupati. Demikian pula untuk anggota legislative baik di level pusat (DPR RI) maupun daerah (DPRD) juga sudah banyak dihiasi perempuan, sekalipun belum memenuhi kuota 30%. Di level desa, tidak sedikit pula perempuan yang berhasil menduduki posisi kepala desa. Ukuran kemajuan perempuan tentu tidak bisa kita sandarkan pada prestasi-prestasi di ranah sosial, politik, maupun ekonomi dalam kontestasi kelas nasional atau internasional. Di level lokal, perempuan-perempuan desa juga tidak kalah kiprahnya membangun keberdayaan masyarakat. Hanya, karena levelnya desa, se ringkali mata hati kita tidak mengakuinya sebagai bagian dari prestasi perempuan yang patut kita banggakan dan petik pembelajarannya. Berikut ini kami mengajak pembaca sekalian untuk menyelami prestasi seorang perempuan bernama Musdalifah dari desa Tomoahi, di kabupaten Buton Utara. Musdalifah memang tidak kesohor atapun perempuan yang memiliki akses luas terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik. Namun keberadaannya di desa memberi manfaat pada sesama. Semoga dengan sedikit meluangkan perhatian kita untuk memaknai hidup seorang ibu rumah tangga beri-
6
| Persembahan Perempuan untuk Desa
kut, kita dapat pembelajaran berharga (I’tibar) sehingga pengakuan kesuksesan menjadi hak paten perempuanperempuan yang mungkin saat ini mengklaim diri sebagai public figure3. La Oti adalah warga desa Tomoahi. Lelaki ini berusia sekitar 46 tahun. Istrinya bernama Musdalifah, berusia 40 tahun dan berasal dari Surabaya. Keduanya dikaruniai 5 anak. Anak yang terakhir diasuh orang lain se hingga sekarang hanya menanggung 4 jiwa yang tinggal bersama. Dari keempat anak yang hidup bersamanya, satu orang anak pe rempuan dan tiga orang anak laki-laki. Masing-masing bernama Mukdianti, Dawan Raharjo, Dasrianto dan Fadil Latifa. La Oti sejak tahun 2004 mengabdi di SD 29 dengan menjadi tenaga guru agama islam. Setiap kali ada penerimaan CPNSD, La Oti selalu tidak melewatkannya. Sayangnya, sekalipun ia sudah mengantongi gelar sarjana agama Islam, setiap kali mendaftar, tidak lolos-lolos selalu diraihnya. Sekarang, La Oti sudah tidak mengajar akibat kelebih an guru dan memilih berkebun. Kebun, di3 Kalau kita menyimak acara-acara infotainment yang menyajikan berita-berita seputar selebriti (penyanyi, pemain film, pesinetron atau secara umum sering disebut artis) tidak jarang mereka menyebut dirinya public figure. Apakah public figure adalah mereka, yang hanya karena sering masuk TV kemudian menjadi pub lic figure?. Tapi kenyataannya tidak sedikit dari sisi kehidupan mereka yang tidak layak dicontoh.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
7
tanaminya dengan berbagai jenis tanaman tumpang sari seperti tanaman pisang dise lingi dengan beragam jenis tanaman ubi se perti ubi kayu, ubi jalar dan keladi. Biasanya dalam satu bulan mereka bisa panen pisang tiga sampai empat kali. Penerimaan yang bisa dibawa pulang biasanya berkisar Rp 60.000,-/tandan. Dalam satu bulan, jika diakumulasikan, pendapatan rumah tangga dari penjualan pisang bisa mencapai Rp 150.000. Sedangkan dari penjualan ubi kayu, karena musim panennya tidak menentu, biasanya La Oti hanya mengantongi untung sampai Rp.500.000,-. Itupun kalau ubi kayu tidak diserang babi hutan. Selain pisang dan ubi, jambu mete juga menjadi komoditi lain yang member nilai tambah pada pendapatan rumah tangga La Oti. Per sekali panen bisa mencampai 50 Kg. Namun kalau tiba musim hujan jambu mete tidak berproduksi maksimal. Maka pada saat itulan pemasukan dari jambu mete menurun. Pemasukan lainnya berasal dari usaha kopra. Tapi lain dengan komiditas sebelumnya yang ia dapatkan dari kebun sendiri, untuk kopra ia peroleh dari usaha bagi hasil de ngan pemilik kebun kelapa. Dalam satu tahun La Oti bisa mengumpulkan pendapatan bersih Rp 200.000,- setelah sebelumnya dibagi dengan pemilik kelapa.
8
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Sadar pemasukan keluarga yang kurang dari cukup, istri La Oti, Ibu Musdalifa, melakukan banyak upaya agar income per kapita keluarganya bertambah. Pertama, ia berjualan keripik. Sayangnya, ketika permintaan naik, modal usaha menjadi kendala sehingga dia tidak mampu memenuhi permintaan pasar tersebut. Padahal di sisi lain dia sadar, ketersediaan pisang di desanya sangat menjanjikan. Jika diproduksi menjadi makanan ringan, lalu dipasarkan, kebutuhan pasar pasti bisa tercukupi. Ibu Musdalifah kemudian mencoba berjual an cendol. Kendalanya, kini muncul dari warga di sekitarnya yang mengatakan kalau cendol adalah makanan anjing. Hal ini disadarinya karena cendol lebih banyak dikenal di Jawa daripada di Sulawesi. Tidak cukup berhasil mengembangkan usaha cendol, Ibu Musdalifa beralih usaha membuat pisang ijo. Lagi-lagi Ibu Musdalifah mendapatkan tekanan dari masyarakat yang mengatakan kalau Pisang Ijo buatannya memakai pemanis buatan. Akhirnya Ibu Musdalifah pun berhenti berjualan pisang ijo. Ibu Musdalifah kemudian beralih usaha jualan kue. Kali ini, usahanya berkembang dan mendapat sam butan baik dari konsumen. Karenanya, ketika dimata masyarakat usaha Musdalifah mulai berbuah keuntungan, banyak masyarakat Tomoahi mengikuti jejaknya berjualan kue.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
9
Salah satu kunci kendala sekaligus pembuka sehingga usahanya berkembang dengan baik adalah bahasa. Diakui Ibu Musdalifah, pada awalnya tidak tidak capak berbahasa Ereke. Maklum karena dia berasal dari Surabaya. Mungkin karena kelemahannya berbahasa Ereke, pada awal-awal usaha daganya sering kandas karena kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Kini setelah lancar berbahasa Ereke, usaha dagang kue Musdalifah tidak mengalami kendala pemasaran lagi. Peran Ibu Musdalifah ternyata tidak hanya di sekitar urusan rumah tangga (domestik), termasuk menambah jumlah penerimaan rumah tangga. Pada Tahun 1999 Ibu Musdalifah bersama ibu-ibu desa Tomoahi mendirikan yayasan Taman Kanak-Kanak. Balai desa dijadikannya sebagai tempat belajar. Pada tahun yang sama, Ibu Musdalifah merintis kelompok Majelis Taklim sebagai wadah pertemuan ibu-ibu rumah tangga desa Tomoahli. Selain diisi pengajian, majelis taklim dirancangnya sebagai ruang sirkulasi dan transfer pengetahuan serta informasi antarwarga. Yayasan Taman Kanak-Kanak yang didirikan Ibu Musdalifah sampai sekarang masih berkembang dengan baik. Gedung tempat belajar mengajar yang semula numpang di
10
| Persembahan Perempuan untuk Desa
kantor desa, kini sudah mempunyai gedung sendiri bantuan dari PNPM. Dulu, tenaga pe ngajarnya hanya dua orang, sekarang sudah ada 6 orang tenaga pengajar honorer dan 1 orang Pegawai Negeri Sipil yang bertugas sejak tahun 2009. Di tengah-tengah kesibuk annya mengurus Taman Kanak-Kanak, Ibu Musdalifah masih menyempatkan diri aktif di PKK dan aktivitas paguyuban sosial seperti arisan. Untuk menjaga kesinambungan pendidik an anak-anaknya, semua penghasilan yang Ibu Musdalifah dapatkan ditabung di Bank swasta setempat. Bahkan atas hasil musyawarah bersama suaminya, Ibu Musdalifah memasukan anak-anaknya ke dalam asu ransi pendidikan. Tiap 6 bulan Keluarga La Oti menyetor Rp 290.000. Sedangkan pendapatan suaminya dari membuat kopra dan hasil kebun dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika ada kelebihan, ditabung untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. dan yang mengatur semua jalannya keuangan keluarga adalah Ibu Musdalifah.
Ada beberapa pembelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman hidup ibu Musdalifah. Pertama, pandang an awam kepala sebuah rumah tangga adalah suami. Padahal kalau kita lihat apa yang diperankan ibu Mus da lifah adalah jenis-jenis pekerjaan yang selama ini Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
11
dilabelisasikan secara salah kaprah pada suami sebagai kepala keluarga. Jadi, yang namanya kepala rumah tangga kerjanya mencari nafkah untuk anak dan istri di rumah. Ibu Musdalifah tetap bekerja mencari pendapatan untuk menghidupi keluarganya. Di sisi lain Ibu Musdalifah juga tetap memerankan fungsinya sebagai ibu yang mengerjakan tugas-tugas sebagaimana layaknya istri dan ibu dari anak-anak yang butuh pendidikan dari orang tua. Jadi, dalam konteks ini, dalam pandangan hemat kami, sebutan kepala rumah tangga tidak bisa dimonopoli satu sama lain baik oleh suami maupun istri. Kepala rumah tangganya adalah suami dan istri. Kedua, manifestasi suami-istri adalah kesatuan kepala rumah tangga dalam keluarga Ibu Musdalifah diatas tercermin pada sistem pengambilan keputusan kebijakan rumah tangga yang selalu dimusyawarahkan. Dalam budaya patriarkhi, maka kebijakan rumah tangga berada ditangan seorang suami, sedangkan sang istri dan anak harus mengikuti apa yang digariskan suami. Jadi, model pengambilan keputusan yang terapkan dalam keluarga Ibu Musdalifah merupakan tindakan yang bijak dimana satau sama lain (suami-istri) memiliki hak yang sama untuk bersuara, menyampaikan usul hingga akhirnya dicapai kesepakatan bersama. Dengan cara seperti ini, maka dominasi informasi bisa diminimalisasi. Ketiga, Ibu Musdalifah menerapkan managemen rumah tangga yang baik. Hal ini ditunjukan pada kegiatan
12
| Persembahan Perempuan untuk Desa
ekonomi rumah tangganya yang tidak menyia-nyiakan aset pekarangan yang dimiliki serta penyediaan asurani (tabungan) untuk pendidikan anak-anak mereka. Optimalisasi potensi ekonomi dari pekarangan yang dimilikinya secara tidak langsung dapat menambah in come per kapita rumah tangga dan mengurangi pengeluaran konsumsi rumah tangga. Barangkali strategi inilah yang kemudian menolong Ibu Musdalifah menyediakan anggaran untuk investasi pendidikan anak-anak nya. Keempat, di tengah tugas domestiknya sebagai ibu rumah tangga, Ibu Musdalifah masih menyempatkan diri untuk berkiprah di ranah publik, misalnya mendirikan yayasan pendidikan bersama warga desa. Dalam konteks ini, dapat dimaknai bahwa Ibu Musdalifah dapat mematahkan mitos bahwa perempuan-perempuan desa sulit berkembang karena selalu direpotkan urusan rumah tangga seperti mencuci, masak, melayani suami dan lain-lain. Jadi, kata kuncinya ada pada bagaimana pembagian peran antara suami, istri dan anggota keluarga lainnya dapat disepakati dan saling mendukung satu sama lain bukan pada penguasaan atas peran.
Menyembunyikan Perempuan Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan menuju kualitas kehidupan yang lebih baik. Konsep “Pembangunan” semakin jamak dikenal usai
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
13
perang dunia ke-2. Sebagaimana kita ketahui dalam lintasan sejarah peradaban dunia, paling tidak ada dua kekuatan besar yang saling bertentangan yaitu aliran kapitalisme dan sosialisme. Dua aliran tersebut mempunyai negara-negara pendukungnya sendiri-sendiri. Pertentangan yang semula berakar pada pebedaan cara pandang (world view) ternyata berlanjut pada praktik kolonialisme dan perang fisik. Karenanya, dunia kemudian terbelah menjadi dua yaitu negara-negara penjajah dan negara terjajah. Usai perang dunia ke-2, kedua belah pihak ternyata sama-sama mengalami kerugian, terutama dari segi ekonomi. Untuk memulihkan kondisi ekonomi yang porak poranda karena perang, hampir semua negara baik kelompok kapitalis maupun kelompok sosialis menerapkan konsep pembangunan. Paling tidak ada dua model strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan oleh masing-masing kelompok yaitu model pembangunan yang bermadzhab Keynesian dan welfarisme di satu sisi dan model pembangunan bermadzhab sosialisme dan marxisme di sisi yang lain. Ternyata, dari segi kecepatan pencapaian hasil, lebih tepatnya pertumbuhan ekonomi, kubu kapitalis lebih cepat. Salah satu kunci keberhasilanya, karena sejak awal konsep pembangunan yang dijalankan negara-negara kapitalis berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (growth based) dengan bertumpu pada proyek industralisasi.
14
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Keberhasilan proyek industrialisasi negara-negara maju tidak lain karena ditopang oleh komoditas primer dan tenaga kerja murah dari negara-negara jajahan. Mengapa? Karena pada dasarnya kapitalisme tidak bisa mengembangkan kapitalnya di negerinya sendiri (Setiawan, 2003). Oleh karena itu, ia harus mencari negeri lain. Negara-negara bekas jajahan yang pada umumnya berlimpah sumber daya alam namun miskin sumber daya manusia yang berkualitas menjadi sasaran empuk negara-negara kapitalis sebagai tempat menyemai serta mengembangbiakkan modal. Di satu sisi, kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selalu menggunakan peningkatan income perkapita dan Gross National Product (GNP) sebagai indikator ukur capaian pembangunan.4 Namun di sisi yang lain, kita tidak dapat melihat secara lebih detail dampak positif dari proyek pembangunan terhadap kualitas hidup manusianya. Dalam perkembangannya, praktik-praktik pembangunan yang idealnya melahirkan perbaikan taraf hidup manusia, ternyata melahirkan kesenjangan dan kemiskinan di berbagai belahan dunia. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi telah meninggalkan esensi dari tujuan pembangunan itu sendiri. Salah satu dampak negatif pembangunan yang nyaris tidak dikalkulasi yaitu bahwa 4 Di Indonesia GNP disebut dengan PDB (Produk Domestik Bruto).
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
15
pembangunan melahirkan praktik peminggiran terhadap perempuan. Menurut Vandana Shiva (1993) pembangunan bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua masyarakat di Dunia Ketiga. Untuk beberapa wilayah dan beberapa masyarakat, tujuan pemba ngunan yang dijanjikan tersebut memang mewujud, akan tetapi di sebagian besar wilayah dan sebagian besar masyarakat dunia yang lain, pembangunan justru menyebabkan degradasi lingkungan dan kemiskin an. Shiva kemudian berpendapat bahwa letak kesalahan paradigma pembangunan ada pada beberapa hal. Pertama, pembangunan semata-mata dititikberatkan pada model kemajuan ekonomi industri Barat, de ngan asumsi bahwa kemajuan model Barat itu bisa diterapkan di semua negara. Pembangunan yang telah berhasil mengangkat derajat ekonomi negara-negara pelaku kolonialisme, diintrodusir secara terus menerus kepada negara-negara bekas jajahan agar pengalaman pembangunan negara-negara Barat diadopsi pula oleh negara-negara bekas jajahan mereka. Padahal konteks sosial, politik, budaya dan kebutuhan pokok negaranegara bekas jajahan sama sekali berbeda dengan negara-negara pemegang kekuasaan koloni. Bahkan kita patut menaruh curiga jikalau globalisasi pembangunan yang dilakukan negara-negara pertama atas negara dunia ketiga mengandung kepentingan memperpan-
16
| Persembahan Perempuan untuk Desa
jang praktik hegemoni sehingga tercapai kolonisasi permanen. Melalui kolonialisasi permanen, maka pusat kendali dan penguasaan aset negara-negara ketiga akan selalu berada dibawah ketiak negara-negara maju. Bukan tidak mungkin, dibalik ide pembangunan yang di kembangkan negara-negara penjajah menyimpan agen da penghancuran ekonomi negara ketiga secara alamiah. Kedua, pembangunan secara khusus ditikberatkan pada indikator-indikator finansial seperti GNP. Dalam prak tik pembangunan yang berorientasi pada GNP di satu sisi berhasil memajang ukuran keberhasildan pembangunan dengan menghitung margin keuntung an dan kerugian transaksi barang dan jasa dari sektor rumah tangga, investasi dan government expenditure. Tapi pada sisi yang lain, pembangunan mengabaikan ukuran-ukuran kerugian sebagai akibat kemajuan industri tidak tertampilkan. Model pertumbuhan ekonomi tersebut tidak pernah menyajikan hitungan berapa besaran kerugian masyarakat yang kehilangan akses air bersih, berapa besar kerusakan lingkungan dan ekosistem hutan karena aktivitas produksi yang diselenggarakan sebuah perusahaan kayu. Privatisasi air yang mengizinkan komersialisasi air sehingga menjamur perusahaan-perusahaan air mineral kemasan, di satu sisi berhasil menyerap tenaga kerja dan menambah GNP namun tidak pernah menampilkan berapa petani yang harus kehilangan akses air untuk produksi padi mereka.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
17
Ketiga, indikator-indikator ekonomi sebagaimana tertampil dari model penghitungan pertumbuhan GNP hanya menghitung aktivitas-aktivitas yang terjadi melalui mekanisme pasar, tidak peduli apakah aktivitas tersebut produktif, non-produktif atau justru destruktif. Dalam ekonomi pasar, prinsip pemanfaatan terhadap dumber daya alam adalah memaksimalkan keuntungan dan akumulasi kapital. Bertemunya kepentingan alam dengan kebutuhan manusia diatur melalui mekanisme transaksi (permintaan dan penawaran). Permintaan terhadap sumber daya alam yang tinggi, maka dengan mekanisme pasar, akan dipenuhi dengan cara memaksa atau mengeksploitasi alam sedemikian rupa sehingga permintaan pasar dapat dipenuhi. Sekalipun generasi mendatang kehilangan cadangan kebutuhan sumber daya alam, maka pasar akan mengabaikannya. Dalam konteks keberlanjutan generasi, maka secara biologis dan kodrati, perempuan adalah manusia yang akan melahirkan generasi-generasi baru yang akan meng huni bumi. Terjadinya gangguan pada perempuan akan berdampak luas pada kualitas generasi mendatang. Maka kegiatan pembangunan yang berfokus pada pendapatan dan aliran uang tunai dalam GNP semata, sama dengan mengabaikan dan tidak memprioritaskan kualitas perempuan, anak dan lingkungan.5 5 Lihat Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminisme: Pers pektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press. hlm, 79-84.
18
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Contoh kasus lama yang dapat menggambarkan bagai mana pendekatan ekonomi pasar yang diterapkan pe merintah yang di satu sisi menawarkan kemajuan tapi di sisi yang lain mengabaikan dampaknya terhadap pe rempuan yaitu kebijakan politik pembangunan industri kehutanan di era Orde Baru. Kebijakan ini memberikan konsesi HPH (Hak Pengelolaan Hutan) sejumlah konglomerat. Pemberian HPH salah satunya ditujukan kepada PT. Indorayon yang memperoleh konsesi HPH seluas 269.000 hektar di kabupaten Simalungun. Dalam waktu tiga tahun (1984-1988), Indorayon mampu membabat hutan seluas 3.000 hektar. Dampak ikutan dari kebijakan ini adalah terancamnya desa-desa seperti di kecamatan Porsea, dan kecamatan Habinsaran dari ancaman bencana (misalnya tanah longsor, kekeringan dan banjir) akibat penebangan ribuan pohon yang dilakukan perusahaan pulp tersebut. Sekitar 43 KK warga desa Sianipar I dan II harus kehilangan 15 hektar sawah akibat tanah longsor. Demikian pula dengan warga desa Natumingka kecamatan Habinsaran harus mengikhlaskan 17 warganya tewas karena tanah longsor.6 Kerugian yang harus diterima warga sebenarnya tidak hanya dalam bentuk kerusakan karena bencana yang berakar pada buruknya tata kelola hutan, tapi juga 6 Lihat Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru: Perlawanan Komu nitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosi. Yogyakarta: IRE Press. hlm. 110-112.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
19
karena pemaksaan pembebasan tanah yang dijalankan PT. Indorayon. Salah satu korbannya adalah desa Sugapa, kecamatan Silaen kabupaten Toba Samosir. Dalam Silaen (2006) PT. Indorayon, pada tahun 1987, lewat perantaraan Kepala Desa dan Camat Silaen (de ngan cara disuap)7 berhasil membujuk beberapa warga untuk menyerahkan tanah adat Parsibarungan selaus 51,36 hektar. Indorayon akan menjadikannya sebagai kawasan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang akan ditanami pohon ekaliptus sebagai bahan dasar pembuat bubur kertas. Sekitar 36 ibu-ibu (bahasa batak inanginang) yang akhirnya mengerucut menjadi 10 inang melakukan gerakan perlawanan kepada Indorayon de ngan mencabuti tanaman industri Indorayon sebagai pilihan terakhir karena voice mereka sama sekali tidak digubris baik oleh pemerintah kecamatan maupun pemerintah kabupaten, berikut DPRD-nya. Gerakan tersebut dipimpin oleh Nai Marsinta Sibarani. Kesepuluh inang tersebut dipenjarakan oleh Indorayon melalui kaki tangan kelembagaan kepolisian yang bertugas menangkap kesepuluh inangi dan lembaga Pengadilan Negeri Taruntung yang menjatuhkan vonis 6 bulan penjara dengan alasan, kesepuluh inang tersebut telah me lakukan tindakan pidana yaitu mencabuti 16.660 pohon ekaliptus milik Indorayon. Singkat cerita, atas 7 Dalam bahasa batak disebut pago-pago atau uang damai, bisa juga uang ungkapan terima kasih.
20
| Persembahan Perempuan untuk Desa
advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Medan, hukuman diperingan menjadi 3 bulan penjara.8 Perlawanan ibu Saida dari desa Langkomu kabupaten Buton bisa kita sepadankan dengan dengan gerakan perempuan para inang dari desa-desa di Toba Samosir diatas, terutama dalam hal penyelamatan akses ekonomi perempuan. Ibu Saida adalah salah satu sosok perempuan dari desa Langkomu yang resah dengan kerusakan ekosistem teluk di desa tersebut. Aktivitas pencarian ikan yang dilakukan para nelayan dengan cara yang destruktif (misalnya menggunaan pukat harimau dan bom-bom ikan lainnya) telah merusak habitat terumbu karang, merusak ekosistem hutan bakau se hingga mengganggu perkembangbiakan ikan dan kepiting. Padahal ikan dan kepiting merupakan komoditas unggulan warga nelayan desa tersebut. Ibu Saida berani vis a vis dengan para nelayan dipastikan semuanya maskulin untuk mengingatkan agar aktivitas penangkapan ikan dengan bom dihentikan. Bahkan tak segansegan Ibu Saida melaporkan para nelayan kepada polisi dengan membawa alat bukti “ikan-ikan mati” akibat bom ikan. Melalui berbagai ruang sosial, Ibu Saida juga tak lelah melakukan gerakan penyadaran kepada masyarakat. Lambat laun, perjuangannya mendapat dukungan masyarakat, organisasi kelompok tani dan pemerintah desa Langkomu. Bahkan pemerintah desa 8 Ibid. hlm. 244-251.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
21
Langkomu telah mengeluarkan Peraturan Desa yang melarang aktivitas pencarian ikan dengan cara-cara yang merusakan ekosistem teluk.9 Menyimak perjuangan dan gerakan kesepuluh inang Toba Samosir melawan gurita korporasi perusahaan pemegang HPH dan perjuangan ibu Saida diatas dapat ditarik pembelajaran bahwa perempuan ternyata memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Bahkan bisa dikatakan mereka memiliki pemikiran jauh ke depan. Pemerintah Desa, pemerintah kecataman dan kabupaten di Toba Samosir yang dikepalai seorang maskulin (laki-laki) ternyata malah menjadi agen perusahaan yang dengan mudah menerima uang pelicin dan turut menghilangkan kepemilikan tanah warga. Pemerintah desa Langkomu juga demikian, bergerak dan menga kui bahwa apa yang diperjuangkan Ibu Saida adalah tindakan penyelamatan lingkungan yang harus didu kung, setelah Ibu Saida bergerak. Dengan kata lain, munculnya kepekaan dan kepedulian pemerintah atas hak masyarakat terhadap akses sumber daya alam selalu terlambat dari masyarakat. Tanah adalah aset jangka panjang yang tidak hanya mem beri kemanfaatan pada satu, dua generasi saja. 9 Lihat Haryanto, Titok dan Wa Ode Fitri. 2012. Melawan Kemiskin an Berbasis Potensi Lokal: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Stock Taking Study: Pembelajaran dari ACCESS Tahap II Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Yogyakarta: IRE-ACCESS.
22
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Tanah adalah sumber kehidupan yang harus diperjuangkan. Indorayon yang menghilangkan secara sepihak kepemilikan tanah para inang sama dengan menghancurkan akses perempuan terhadap kebutuhan dasar mereka dan keluarganya. Demikian pula dengan aksi nelayan ikan di teluk Langkomu yang menggunakan bom ikan sama dengan mengurangi hak ibu-ibu rumah tangga di desa Langkomu. Bagaimana tidak, ketika sumber-sumber kehidupan laut hilang, sementara anak-anak mereka membutuhkan asupan makanan bergizi, padahal ikan mengandung kadar protein dan asam amino tinggi, maka tidak menutup kemungkinan anak-anak tumbuh dalam kondisi “kurang gizi” menjadi ancaman. Pembelajaran lain yaitu kebijakan pemberian HPH kepada para konglomerat merupakan upaya yang berorientasi pengejaran angka pertumbuhan (growth oriented). Pemerintah ingin dalam waktu cepat segera meraih pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi tidak mempedulikan hilangnya kepemilikan tanah warga negaranya. Pemerintah juga tidak menghitung biaya sosial yang harus ditanggung masayarakat sebagai akibat hilangnya tanah, mata pencaharian, dampak polusi serta ancaman-ancaman bencana karena hilangnya cagar alam yang selama ini diperankan oleh hutan. Menggunakan GNP sebagai alat ukur kemajuan ekonomi suatu negara memang tidaklah buruk. Tapi mengabaikan kemajuan kualitas hidup warga negara akan
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
23
mendorong indikator ekonomi semakin tidak bermakna. Ditinjau dari laju pertumbuhan ekonomi, kinerja perekonomian sampai dengan tahun ketiga Repelita VI dari orde pemerintahan Soeharto memperlihatkan perkembangan ekonomi yang cukup baik. Laju pertumbuhan ekonomi pada periode 1993-1996 berturut-turut adalah 7,3 persen, 7,5 persen, 8,2 persen dan 8 persen. Data statistik ini tentu sangat menakjubkan. Namun pada pertengahan 1997, seperti yang dialami Negaranegara Asia Timur dan Asia Tenggara pada umumnya, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kemudian berbalik melambat menjadi 4,7 per sen. Nilai GNP atas dasar harga konstan naik dari Rp. 354.640,80 miliar pada tahun 1994 menjadi Rp. 376,374,9 pada tahun 1998. Sedangkan nilai PDB per kapita atas dasar harga berlaku baik dari Rp. 1,76 juta pada tahun 1993 menjadi Rp. 4,76 juta pada tahun 1998.10 Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada perte ngahan 1997 tersebut menyebabkan kegiatan ekonomi me ngalami kemunduran dan menyebabkan tingkat ke sejah teraan penduduk merosot. Tidak hanya itu, krisis ekonomi juga menohok aktivitas produksi, distri busi, ketersediaan pangan dan tingkat nilai tukar mata uang Indonesia labil. Kurs rupiah yang selalu 10 Lihat AR, Mustopadidjaja. 2012. Bappenas dalam Sejarah Peren canaan Pembangunan Indonesia 19945-2025. Jakarta: LP3ES-Pegu yuban Alumni Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe nas).
24
| Persembahan Perempuan untuk Desa
melemah mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan hidup (sembako) naik melambung.11 Pengangguran yang meluas karena banyak perusahaan yang merumahkan tenaga kerjanya, pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat. Menurunnya pendapatan penduduk berpotensi kuat menurunkan kondisi sosial serta meningkatkan jumlah warga yang miskin. Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia tersebut, pada akhirnya membuka tabir kerentanan ekonomi nasional. Secara statistik capaian ekonomi sebelum krisis memperlihatkan angka-angka agregat kemajuan yang baik tapi didalamnya masyarakat mengalami kekeroposan ketahanan ekonomi. Menurut laporan BPS, jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1996-2008 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 19,96 juta karena krisis ekonomi yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen men-
11 Dalam Laporan Mingguan (Weekly Report) Bank Indonesia Nomor 2002-2018 Tahun 1998 disebutkan pada 1994, 1995, dan 1996 pendapatan per kapita berturut-turut adalah 928 dolar AS, 1,044 dolar AS, dan 1,155 dolar AS. Namun pada tahun 1997, turun menjadi 1.089 dolar AS. Antara lain karena disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Sejak Agustus 1997, kurs tengah mata uang asing (USD) terhadap rupiah tercatat terus meningkat dan pada minggu ketiga Januari 1998 mencapai Rp. 12.900. Selanjutnya menurun sejalan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian nasional.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
25
jadi 23,43 persen pada tahun yang sama.12 Kejatuhan ekonomi karena krisis moneter ini kiranya menyampaikan pesan bahwa orientasi pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada penumpukan uang mengabaikan aspek pemberdayaan dan pemuliaan manusia sebagai subyek utama pembangunan. Di era reformasi, khususnya selama kurun waktu 20052008 perekonomian Indonesia semakin membaik. Tandanya, pertumbuhan ekonomi dari 5,7 persen pada 2005 menjadi 6,1 persen pada 2008. Bahkan pada tahun 2007 pernah mencapai 6,3 persen. Tidak hanya itu, di tengah melemahnya perekonomian dunia pada semester pertama tahun 2009 perekonomian Indonesia ternyata masih mampu tumbuh positif sebesar 4,2 persen. Dalam perhitungan BI, pada tahun 2011, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia secara umum meningkat mencapai 3.543 dolar AS. Dengan tingkat kurs dolar Rp. 9.625, maka dalam satu tahun, pendapatan per kapita penduduk senilai dengan Rp. 34.101.375. Pada tingkat belanja pemerintah, pertumbuhannya juga meningkat sebesar 3,2%, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 0,3% pada tahun 2010. Sedangkan untuk kinerja investasi, pada tahun 2011 menun jukkan trend yang membaik dengan tingkat pertumbuh an 8,8%. Angka agregat ini naik dari persentase tahun sebelumnya yang hanya 8,5%. 12 Prayitno, Ujianto Singgih. 2010. Memerangi Kemiskinan Dari Orde Baru sampai Reformasi. Jakarta: P3DI Sekretariat Jendral DPR RI. hlm. 86.
26
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Posisi Indonesia saat ini menduduki peringkat sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, yang ditandai dengan 45 juta anggota kelas konsumen, 53% penduduk tinggal diperkotaan dan menghasilkan 74% PDB, serta memiliki 55 juta tenaga kerja terampil dalam perekonomian Indonesia, pada tahun 2030. Pada tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan mencapai pertumbuhan ekonomi PDB tahunan hingga level 7 persen. Pada tahun tersebut, maka anggota kelas konsumen meningkat menjadi 135 juta, penduduk yang tinggal di perkotaan menurun menjadi 71% dan menghasilkan 86% PDB. Untuk jumlah tenaga terampilnya me ningkat hingga 113 juta dengan tingkat peluang pasar dalam jasa konsumen, agrikultur dan perikanan, sumber daya energi dan pendidikan sebanyak 1,8 triliun dolar AS dari jumlah saat ini yang hanya mencapai 0,5 triliun dolar AS. Dengan posisi ekonomi yang demikian, tidak sedikit kalangan yang memprediksikan bahwa Indonesia akan menduduki peringkat ke-7 dunia sebagai negara paling leading dalam pertumbuhan ekonominya. Salah satu lembaga yang memprediksi kejayaan ekonomi Indonesia di masa mendatang yakni McKinsey&Company (2012). Lembaga penelitian yang bermarkas di Amerika Serikat ini optimis kalau Indonesia akan menjadi negara terbesar ke-7 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil dan Rusia, bahkan melampaui Jerman dan Inggris.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
27
Tabel Angka Kematian Ibu di Beberapa Negara
Negara
Malaysia China Sri Lanka Vietnam Filipina India Myanmar Indonesia Korea Utara Papua Nugini
Angka Kematian Ibu per 100.000 kelahiran 1995 2000 2005 2008 46 39 34 31 82 60 44 38 73 59 45 39 120 91 66 56 140 120 110 94 470 390 280 230 350 290 250 240 440 350 270 240 270 260 250 250 300 290 270 250
Sumber: (Budiantoro, et all, 2012)
Terlepas terbukti tidaknya ramalan diatas, yang jelas dibalik angka agregat pertumbuhan ekonomi nasional, negara Indonesia masih dibayang-bayangi buruknya kualitas hidup warga negaranya. Merujuk pada tabel diatas, maka dari sector kesehatan terlihat dengan jelas bahwa angka kematian ibu dan balita masih cukup tinggi. Dalam hal Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan, Indonesia masuk peringkat 9 besar dari 11 negara yang menyumbang 65 persen AKI dunia pada tahun 2008 kemarin. Indonesia masih tertinggal dari Myan-
28
| Persembahan Perempuan untuk Desa
mar dan berada sedikit diatasnya Korea Utara. Bahkan Indonesia berada jauh di bawah Malaysia. Demikian pula dengan kematian balita dan bayi, Indonesia juga masih tinggi dibanding dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Laju penurunan angka kematian balita dan bayi dari tahun ke tahunnya juga masih kalah jauh. Dengan Malaysia misalnya, pada tahun 1990 kematian balita di Indonesia mencapai 86, sementara di Malaysia hanya mencapai 18. Pada tahun 2008, kematian balita di Indonesia turun menjadi 41, tapi Malaysia turun hingga pada angka 6. Demikian pula dengan kematian bayi. Kematian bayi di Indonesia pada tahun 1990 sebanyak 56 kemadian pada tahun 2008 turun menjadi 31/100.000 kelahiran, sementara Malaysia turun dari 16 pada tahun 1990 menjadi 6/100.000 kelahiran pada tahun 2008.13 Secara tersirat menunjukkan bahwa intervensi program yang diselenggarakan Indonesia masih kalah disban ding Malaysia. Simak tabel dibawah ini:
13 Lihat Prasetyantoko, A, Setyo Budiantoro, Sugeng Bahagi-
jo (Eds.). 2012. Pembangunan Inklusif Prospek dan Tantangan Indonesia. Jakarta: LP3ES. hlm. 294-296.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
29
Tabel Angka Kematian Bayi dan Balita di Beberapa Negara Asia Tenggara
Negara Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam
Kematian Balita 86 41 18 6 61 32 32 14 56 14
Sumber: (Budiantoro, et all, 2012)
Kematian Bayi 56 31 16 6 42 26 26 13 39 12
Pembagian Peran dan Pengkotak-kotakan Perempuan Menyitir kembali pendapat Vandana Shiva diatas, pe rempuan memiliki posisi penting dalam proses rege nerasi sebuah bangsa. Namun pada saat yang sama, jika proses pembangunan yang diselenggarakan suatu negara abai terhadap perempuan, jangan harap generasi mendatang dapat menikmati kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik dari generasi saat ini. Menelusuri jejak-jejak proyek pembangunan di berbagai belahan dunia, perempuan diketahui sebagai kelompok yang kalah atau selalu mengalah terhadap laki-laki. Fakta sosial hingga kajian agama cenderung mendukung suatu sistem atau prinsip-prinsip pemerintahan atau penguasaan suatu negara, kelompok-kelompok pekerja atau kelompok lainnya berdasar pengelolaan hubu ngan
30
| Persembahan Perempuan untuk Desa
seperti ayah dan anak (Webster, 1991, dalam Ange ningsih, 2005). Dalam pola hubungan seperti ini, seorang ayah secara authoritative memerintahkan semua tingkah laku dan pengambilan keputusan yang penting bagi anak-anaknya. Semua dilakukan atas keyakinan baik sang ayah dan demi kepentingan serta kebaikan anak-anaknya. Penerapan perintah berbuat baik dari seorang ayah kepada anaknya berdasarkan pada suatu pemikiran bahwa sang anak belum matang atau tidak memiliki moral yang sama dengan ayahnya. Contoh gamblang penerapan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada analogi hubungan ayah dengan anak yaitu program keluarga berencana (KB). Secara normatif program ini dirancang untuk meningkatkan keberlanjutan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional. Dapat dipastikan pula bahwa program ini berangkat dari kekhawatiran laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain jika terjadi ledakan penduduk, maka kapasitas ekonomi nasional tidak akan mampu memenu hi kebutuhan pangan nasional. Karenanya, program yang berakar pada teori Robert Maltus ini, akhirnya memutuskan untuk menekan laju pertumbuh an penduduk. Perempuan miskin kemudian menjadi target group utama yang “dipaksa” untuk mengikuti program KB. Para perempuan dipaksa memakai berbagai jenis alat kontrasepsi. Sekalipun program ini me
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
31
nuai keberhasilan dimana laju pertumbuhan penduduk Indonesia turun dari 2,3 persen pada 1971-1980 menjadi 2,0 persen pada 1980-1990. Akan tetapi keberhasilan ini pada sisi yang lain telah menempatkan perempuan sebagai obyek pembangunan, tepatnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya ledakan penduduk. Pemerintah malah tidak memeriksa sejauh mana kebijakan ekonomi berselaras dengan kebijakan demografi. Padahal kita tahu, pemerintah acapkali gagal membangun keberdayaan ekonomi serta pemera taan hasil-hasil pembangunan nasional. Kebijakan lain yang dapat kita setarakan memarginalkan perempuan adalah kebijakan impor sapi, bawang merah, bawang putih, dan beberapa bahan pangan lainnya. Dalam catatan Tempo, edisi 24 Maret 2013, tiga pekan terakhir pada bulan Maret harga bawang merah dan bawang putih yang biasanya berkisar antara Rp 10.000-40.000 per kg-nya naik hingga pada level Rp 80.000-90.000, bahkan menembus hingga Rp 100.000 per kg. Sampai bulan April 2013 harga bawang merah dan bawang putih masih bertahan. Harga bawang merah di Pontianak, Kalimantan Barat mencapai Rp 30.000 per kg. Padahal satu pekan sebelumnya hanya Rp 20.000. Di Padang, Sumatra Barat, harga cabai naik dari Rp 16.000 per kg menjadi Rp 18.00020.000 per kg-nya. Di jember, Jawa Timur harga bawang merah di tingkat grosir mencapai Rp 45.000-50.000 per kg. Di tingkat eceran mencapai harga Rp 60.000 per kg.
32
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Menurut Hendri Saparini; Ekonom AEPI, kenaikan harga pangan yang memicu inflasi sangat berdampak terhadap masyarakat bawah yang sebagian besar pe nge luaran mereka adalah untuk pangan. Sementara, menurut Henry Saragih; Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, dengan memanfaatkan momentum kebijakan impor bahan pangan, dengan perhitungan lonjakan harga bawang Rp 20.000 per kg dan impor Rp 160.000 ton, maka para pemburu rente komoditas bawang dapat mengumpulkan uang dari rakyat sebesar Rp 3,2 triliun. Selain tidak memberi manfaat tambahan terhadap pendapatan nasional, kebijakan perdagangan impor bahan pangan ini jelas tidak memikirkan resikonya terhadap perempuan. Apalagi rumah tangga-rumah tangga pe tani itu sendiri dan warga miskin pada umumnya. Pandangan masyarakat tentang laki-laki dan peremuan yang ideal menurut pandangan budaya masyarakat, sering menjadi hambatan (Moeloek, 2013). Cara pandang yang bias gender seringkali membias juga pada kebijakan publik yang timpang gender. Pada umumnya perempuan menjadi aktor yang paling dirugikan. Kerugian yang diderita perempuan biasanya berupa rendahnya pelibatan masyarakat pada level perencanaan program pembangunan, serta pada penguasaan level pengambil kebijakan dalam struktur organisasi. Mi nimnya keterlibatan perempuan dalam dua ruang ini akan berdampak pada rendahnya gender mainstreaming
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
33
dalam formula kebijakan publik. Berdasarkan data BPS (2011), 63% penduduk miskin berada di desa. Bicara soal kemiskinan di desa, perempuan menjadi kelompok paling rentan. Secara umum, dilihat dari perspektif IPG (Indeks Pembangunan Gender), menurut badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA), IPG Indonesia mengalami peningkatan. Namun jika dilihat dari indikator-indikator komposit penyusun IPG sendiri, masih terdapat kesenjangan yang cukup curam antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal pendapatan karena jumlah upah yang diterima pekerja perempuan hanya berkisar 50 persen dari jumlah upah pekerja laki-laki. Dilihat dari Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) atau Gender Empowerment Measurement (GEM) nilainya me ningkat setiap tahun, namun tidak signifikan. GEM diukur berdasarkan angka partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. Berdasarkan catatan BPS dan KPP&PA, GEM Indonesia meningkat dari 0,623 pada tahun 2008 menjadi 0,635 pada tahun 2009. Walaupun demikian, dalam pandangan pemerintah sendiri, angka tersebut masih mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan, ekonomi dan politik belum naik secara berarti. Ketidaksetaraan antara lakilaki dan perempuan dalam dunia kerja pada umumnya
34
| Persembahan Perempuan untuk Desa
terlihat dari aspek, pembagian unit kerja, dan sistem pengupahan. Di bidang ketenagakerjaan praktik subordinasi perempuan masih kental terlihat. Pembagian peran dalam sebuah rantai produksi secara umum masih didominasi pekerja laki-laki. Dominasi laki-laki atas perempuan dalam area kerja formal tersebut pada umumnya dipengaruhi kualitas pendidikan dan keterampilan pekerja perempuan yang lebih rendah dibanding pekerja lakilaki. Masih sedikit perempuan yang menduduki posisi-posisi penting dalam sebuah mata rantai produksi, termasuk juga struktur organisasi perusahaan tempat mereka bekerja. Hasil studi Cifor (2008) tentang pembagian peran dalam mata rantai produksi industri mebel di Jepara antara pekerja laki-laki dan perempuan memperlihatkan adanya ketimpangan. Tepatnya, dominasi peran laki-laki atas perempuan. Simak bagan dibawah ini;
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
35
Bagan 1 Pembagian Peran Pekerja Laki-laki dan Perempuan dalam Rantai Produksi Industri Kayu Pembelian Kayu
Penggergajian
Ngemal dan Pemotongan
Pengukiran
Pengerjaan Komponen
Penyetelan
Finishing Sumber: Gender Study Cifor Presentation, 8 Desember 2009, dalam Legowo, et all, 2011
Dalam rantai produksi kayu di Jepara sebagaimana tergambar pada figur diatas, sangat terlihat bahwa pekerja perempuan menduduki posisi pada dua unit produksi saja yakni unit pengukiran dan finishing. Padahal pekerja perempuan memiliki potensi dan hak yang sama dengan pekerja laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan untuk melakukan tugas pembelian kayu. Pe 36
| Persembahan Perempuan untuk Desa
rempuan bahkan juga mempunyai kemampuan untuk menggergaji kayu. Relasi pembagian kerja yang sudah berlangsung lama di sektor industri kayu di Jepara ini menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan didalamnya. Padahal, jenis pekerjaan tidak memiliki jenis kelamin. Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan hak yang sama untuk mengerjakan jenis pekerjaan apapun. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan dalam sektor industri ini juga berlaku pada alokasi waktu kerja. Kesimpulan ini dapat kita telusuri pada hasil penelitian Murdianto (1999, dalam Hasanaudin, 2009). Hasanudin, melakukan studi gender dalam rumah tangga pengrajin gula aren lahan kering di Jawa Barat. Perempuan (istri) kebanyakan terlibat pada pada proses produksi yang banyak membutuhkan energi. Dengan menghitung alokasi waktu kerja, Hasanudin menyimpulkan bahwa curahan waktu total perempuan di sektor industri gula aren mencapai 2,5 kali lipat laki-laki. Di sektor industri tembaga kuning di desa Cepogo, Boyolali menunjukkan kondisi sebaliknya. Surahan waktu dari pekerja laki-laki mencapai 6 jam, sedangkan pekerja perempuan hanya 2 jam. Namun di sisi lain, perempuan harus mengerjakan semua urusan domestik rumah tangga, seperti mencuci, momong anak, memasak, mengambil air dan lain sebagainya.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
37
Program-program masuk desa yang membawa misi pemberdayaan perempuan juga masih belum berhasil mengangkat posisi perempuan setara dengan laki-laki. Studi Sa’adah (2012) terhadap Program Nasional Pem berdayaan Masyarakat (PNPM) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di desa Kembaran kabupaten Kebumen memperlihatkan trend dominasi laki-laki dalam struktur organisasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Ketua BKM dipegang laki-laki, dari delapan anggota BKM, hanya ada tiga anggota perempuan. Jika dalam suatu pengambilan keputusan dengan cara voting, maka suara perempuan bisa dipastikan selalu kalah daripada suara anggota laki-laki. Bagan 2 Struktur Pengurus BKM Desa Kembaran Kec. Kebumen Kab. Kebumen Kepala Desa/Lurah
Koord. BKM (L)
Anggota (L)
Anggota (P)
Anggota (P)
Anggota (L)
Anggota (L)
Anggota (L)
Anggota (P)
Anggota (L)
Sekretaris (P)
UPS (L)
UPL (P)
(sumber: Sa’adah 2012)
38
| Persembahan Perempuan untuk Desa
UPK (P)
Sistem pembagian kerja juga berlangsung di rumah tangga masyarakat nelayan. Studi pembagian kerja pada masyarakat nelayan di kabupaten Takalar yang dilakukan Ikhsan (2012) menemukan fakta lapangan bahwa pembagian jenis pekerjaan masih didominasi oleh laki-laki.14 Simak tabel 3 dibawah. Dari segi kuantitas atau bobot pekerjaan, memang lakilaki lebih padat dari pada perempuan. Tapi dari sudut pandang besaran curahan energi yang dibutuhkan, maka kelompok laki-laki lebih memungkinkan untuk mengerjakan jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih serta memiliki tingkat resiko tinggi. Sedangkan kelompok perempuan mengerjakan jenisjenis pekerjaan yang relative ringan dan beresiko rendah, terutama dari aspek keselamatan kerja. tenaga dan tingkat resiko menjadi indikator pembatas yang jelas antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Dari sudut pandang lain dapat kita maknai bahwa pembagian kerja yang ada dalam komunitas nelayan yang demikian, merupakan upaya mereka untuk menjaga kelompok 14 S, Ikhsan. 2012. Analisis Peran Kelompok Perempuan Pesisir
dalam Upaya Pengembangan Kemandirian Ekonomi Berbasis Rumput Laut di Kabupaten Takalar. Makassar: Mahasiswa Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin. Penelitian Ikhsan ini mendapat support dari IRE Yogyakarta yang bekerjasama dengan ACCESS Tahap II dalam kegiatan Sayembara Penelitian tahun 2012. Dokumen ini tidak dipublikasikan.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
39
perempuan terperangkap dalam domain pekerjaan yang mambahayakan keselamatan serta rentan terhadap kualitas kesehatan reproduksi perempuan. Tabel 3 Sistem Pembagian Kerja Masyarakat Pesisir di Kabupaten Takalar No
Jenis pekerjaan
SL
BL
L+P
BP SP
1.
Mencari Ikan
+
2.
Membuat dan memperbaiki perahu
+
3.
Memperbaiki mesin perahu
+
4.
Membuat dan memperbaiki jaring
5.
Mengikat pancing pada senar
+
6.
Membuat/memasang sarang ikan
+
7.
Meminggirkan dan menengahkan perahu
+
8.
Membeli bahan bakar perahu
9.
Mangangkut hasil ikan
+
10.
Membudidayakan rumput laut
+
11.
Mengikat bibit rumput laut
12.
Berdagang ikan
13.
Mengelola warung atau toko
+
14.
Beternak
+
15.
Mengadakan arisan atau simpanan
+
+
16. Membuat ikan kering Sumber: Ikhsan, 2012
40
| Persembahan Perempuan untuk Desa
+ +
+ +
Keterangan: SL = Selalu Laki-laki BL = Biasanya Laki-laki L+P = Laki-laki dan Perempuan BP = Biasanya Perempuan SP = Selalu Perempuan Sketsa pembagian kerja dalam rumah tangga masya rakat pembudidaya rumput laut mencerminkan pola yang berbeda dengan yang berlaku pada keluarga nela yan. Kerja-kerja domestik seperti membersihkan rumah, belanja rumah tangga, mengasuh anak, mencuci pakaian dan lain sebagainya merupakan bagian kesehari an dari perempuan. Sementara untuk laki-laki berada pada posisi urusan-urusan domestik yang sifatnya bisa dikatakan lebih ringan misalnya memberi sumbangan, menerima tamu dan menghadiri rapat kelurahan. Ikhsan (2012) menggambarkan pola pembagian kerja lakilaki dan perempuan pada rumah tangga pembudidaya rumput laut tersebut dapat disimak pada tabel dibawah ini;
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
41
Tabel 4 Pembagian Kerja Rumah Tangga Pembudidaya Rumput Laut di Kabupaten Takalar No
Jenis Pekerjaan
SL
BL L+P
BP
SP
1.
Membersihkan rumah
+
2.
Memperbaiki kerusakan peralatan dapur
+
3.
Berbelanja konsumsi
+
4.
Memasak
5.
Mengambil air/mengisi bak mandi
6.
Memelihara/mengasuh anak
+
7.
Menjahit pakaian yang rusak
+
8.
Mencuci pakaian
+
9.
Mancari pinjaman uang, barang dsb
10.
Memberi sumbangan sosial
11.
Mengelola keuangan rumah tangga
12.
Menerima tamu
13.
Menyuruh anak bekerja
14.
Memperbaiki kerusakan bagian-bagian rumah
+
15.
Memperbaiki perabot rumah tangga (meja, kursi, lemari, tempat tidur)
+
16.
Menghadiri rapat kelurahan
+
+ +
+ + + + +
17.
Mengundang tetangga untuk selamatan Sumber: Ikhsan (2012)
42
+
| Persembahan Perempuan untuk Desa
+
Keterangan: SL = Selalu Laki-laki BL = Biasanya Laki-laki L+P = Laki-laki dan Perempuan BP = Biasanya Perempuan SP = Selalu Perempuan Potret pembagian peran antara laki-laki dan perempu an dalam rumah tangga ini sejatinya bermanfaat bagi pihak-pihak yang hendak melakukan suatu intervensi atau program pembangunan. Hampir semua pendekat an program-program pembangunan dan penguatan masyarakat menjadikan keluarga sebagai target pene rima manfaat. Program penanggulangan kemiskinan misalnya, mulai data, aktivitas hingga penerima manfaat kegiatannya adalah keluarga. Tantangannya kemudian, program-program tersebut tidak menjadikan dinamika hubungan gender dalam suatu keluarga sebagai bahan refleksi untuk memaksimalkan kerja-kerja logical frame work yang sudah disiapkannya. Penulis sendiri pernah menemukan pengupahan yang sangat rendah bagi tenaga kerja yang terlibat dalam sebuah proyek pembuatan rabat beton di sebuah desa terpencil di Kupang. Waktu itu, program pemberdayaan ini hahnya mengalokasikan upah sebesar Rp 6000 s/d Rp 7000 per hari. Jumlah ini tentu tidak hanya kecil dilihat dari standar pengupahan, tapi juga sama sekali tidak menghargai bagaiman perempuan-perempuan yang terlibat didalamnya ada-
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
43
lah ibu-ibu ruamh tangga yang merelakan waktu yang mungkin seharunya ia utamakan untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Penghargaan dalam bentuk “upah” seharusnya tidak hanya disandarkan pada pertimbangan standar minimum atau maksimum yang berlaku, tapi perlu melihat pada besaran waktu yang disediakan perempuan sehingga merelakan sebagian perannya di rumah tangga sebagai ibu rumah tangga. Perlakuan system pengupahan seperti ini sangat mungkin berkaitan dengan cara pandang yang menempatkan pekerjaan domestik seperti mengasuh anak, memandikan anak, memasak di dapur, dan lain-lain sebagai “bukan pekerjaan”, sehingga kehilangan waktu tersebut tidak mempengaruhi nilai tambah bagi perempuan.
Perempuan dalam Emansipasi Lokal Emansipasi bukanlah konsep yang asing bagi orang Indonesia. Ia dikaitkan dengan gerakan seorang Kartini yang memperjuangkan persamaan hak, peran dan derajat kaum kaum perempuan di hadapan kaum laki-laki. Jauh sebelum itu, emansipasi telah menjadi salah satu butir pemikiran para filsuf Yunani Kuno yang mereka kaitkan dengan konsep kewargaan (citizenship). Warga pada dasarnya merupakan individu yang dianggap sebagai pribadi yang utuh, yang menempatkan politik sebagai kegiatan sosial alami, dan yang menempatkan
44
| Persembahan Perempuan untuk Desa
negara dan pemerintah – atau polis – bukan merupakan wujud yang asing dan jauh dari dirinya sendiri. Prinsip emansipasi telah diperkenalkan untuk semua warga di dalam polis, yaitu persamaan semua warga yang berhak berbicara dalam majelis pemerintahan (isegoria) dan persamaan di depan hukum (isonomia). [Raphael Sealey, 1976, dalam Mariana, et.al. 2012.]. Memasuki era modern, emansipasi menjadi jantung pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial dan teori kritis. Karl Marx sebagai soko guru teori kritis berujar sebagai berikut: Setiap emansipasi merupakan suatu restorasi dunia manusia dan juga merupakan perbaikan relasi manusia dengan sesamanya. Emansipasi akan sempurna ketika seorang individu berhasil mengintegrasikan ‘insan abstraknya’ ke dalam dirinya sendiri; ketika sebagai seorang individu, dalam kehidupan sehari-harinya, dalam pekerjaannya, dan dalam relasi-relasinya, manusia menjelma sebagai insan; dan ketika menyadari dan mengorganisir kekuatan diri sebagai kekuatan sosial, manusia tidak lagi membedakan kekuatan sosialnya yang juga sebagai kekuasaan politik.
Pada dasarnya emansipasi merupakan sebuah antitesis atas bekerjanya kekuasaan yang menciptakan do minasi, subordinasi, alienasi dan marganisasi terhadap individu maupun kelompok seperti kaum pe
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
45
rempuan, budak, buruh, dan lain-lain. Kendati ada totalitas kekuasaan menindas yang bekerja lewat relasi dominansi dalam masyarakat, namun para pemikir kritis masa kini bersikeras bahwa orang tetap dapat dimerdekakan lewat emansipasi. Emansipasi memerlukan pembebasan, baik bebas dari ideologi, relasi kekuasaan, paradigma yang membelenggu, dan epistimologi yang membatasi, serta memerlukan pemberdayaan lewat kombinasi antara teori dan praktik yang transformatif, yang merupakan cerminan kritis atas masyarakat setempat maupun masyarakat luas (Fay, 1987; Fromm, 1976, dalam Mariana dan Eko. 2012.). Dengan demikian “emansipasi” adalah konsep rumit yang mensyaratkan tiadanya dominansi, sebuah kekuasaan, yang pernah menolak individu dan kemampuan untuk menerapkan kemampuan tertentu (misalnya, menggunakan metode yang sudah ada tetapi belum siap untuk memproduksi hasil akhir yang dikehendaki, untuk mentransformasi wacana dan praktik yang mendominansi, untuk berkembang menjadi wacana dan praktik yang emansipatoris). Singkatnya, “emansipasi” membebaskan orang untuk menggunakan kekuatan pada proses pemikiran, kehidupan-dunia dan membebaskan dari siapapun yang mengganggunya, seraya memberdayakan mereka secara individu dengan kemampuan yang diperlukan untuk mewujudkan kepen tingan yang sesungguhnya.
46
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Tidak seperti kaum laki-laki, perempuan harus melalui beberapa tahap dan pos-pos penjagaan yang cukup menghambat laju optimalisasi potensi perempuan berkembang dengan baik sehingg dapat berkiprah secara bebas dan positif serata dengan laki-laki. Persoalan-persoalan perempuan secara struktural, berakar dari system budaya patriarkis yang membuat hubungan laki-laki dan perempuan tidak setara. Dalam kebijakan ekonomi, Negara lebih memilih memberikan perlindungan kepada pemilik modal daripada menjaga sumber daya alam dan mensejahterakan perempuan. Pemiskinan secara struktural berakibat pada sulitnya perempuan mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar. Termasuk juga air dan tanah. Perempuan secara sistematis telah dikondisikan untuk tidak berpeluang memikirkan wilayah publik dan mengambil keputusan yang sebenarnya, termasuk menentukan keberlangsungan hidupnya serta tidak memiliki posisi sebagai pengambil keputusan bersama di sektor publik. Terhadap hambatan struktural ini, sekelompok aktivis perempuan secara nasional pernah berkumpul hingga akhirnya mengeluarkan manifesto untuk mendorong Negara lebih serius memberikan perlindungan pada perempuan. Dalam manifesto tersebut para aktivis pe rempuan menuntut negara untuk melakukan beberapa hal berikut; 1) dapat menjamin perlindungan terhadap perempuan dan kelompok minoritas dan segala ben-
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
47
tuk ancaman dan sub-ordinasi gender berdasarkan ras, agama, etnis, kelas, usia, diffability, preferensi politik dan orientasi seksual, 2) membuat kebijakan yang sensi tive gender serta mengamandemen kebijakan yang merugikan perempuan, 3) mengoptimalkan kebijakan pengarusutamaan gender dan penanggulangan kemiskinan serta menolak pembangunan berbasis hutang, dan 4) mengalokasikan anggaran yang sensitif gender dan berpihak kepada rakyat untuk peningkatan kesejahteraan. Hambatan yang ditemui perempuan untuk berkembang sebenarnya tidak hanya di level struktural (makro). Di internal keluarga perempuan harus berdialog, bernegosiasi bahkan bertarung dengan budaya patriakis yang melingkupi kehidupan keluarga. Domestifikasi perempuan adalah salah satu hambatan terbesarnya. Pagi-pagi seorang istri sudah disibukkan dengan tugas memasak, membuatkan secangkir the/kopi untuk suaminya, memandikan anak hingga menyiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan anak-anaknya yang hendak berangkat sekolah. Peran-peran perempuan dalam rumah tangga yang menganut budaya patriarkis, kadang tidak dilihat sebagai peran (emansipasi). Pembagian peran yang tidak seimbang dan tanpa dilandasi kesadaran untuk saling memberdayakan sumber-sumber daya manusia dalam suatu rumah tangga (laki-laki maupun perempuan) adalah tantang terberat bagi perempuan
48
| Persembahan Perempuan untuk Desa
berkiprah di ranah publik. Berkaca pada pengalaman gerakan para inang di Toba Samosir ataupun pengalam an Ibu Saidah, Ibu Musdalifah dan perempuan-perempuan yang akan dituturkan pada Bab II dari buku ini, maka secara skematis gerakan sosial akan lebih kuat karena ditopang oleh kemampuan perempuan melakukan penyadaran/penetrasi budaya patriarki di dalam keluarga itu sendiri. Bagan 3 Posisi Keluarga dalam Interaksi Negara, Modal dan Gerakan Sosial
Modal asing Aparat eksekutif
Aparat Represif
Modal dalam negeri Aparat ideologis
Parlemen & parpol
BUMN/UKM
Aktivis gerakangerakan sosial
Keluarga/Rumah Tangga
(diadaptasi dan dimodifikasi dari Aditjondro, dalam Silaen, 2006)
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
49
Sekali lagi, kiprah perempuan di ranah publik mempunyai kaitan erat dengan keberdayaannya mengelola sebuah rumah tangga. Baik di ranah publik maupun domestik, perempuan sama-sama menghadapi tantangan patriarki. Kemampuan perempuan membangun harmoni dialogis antara budaya patriarki dengan budaya matrilinear akan turut menentukan dukungan bagi seorang perempuan dari suami untuk berkiprah lebih luas di level publik tanpa hambatan domestifikasi. Pe rempuan di pedesaan, kalau kita cermati memiliki kecerdasan luar biasa dalam konteks ini. Pembagian pe ran antara laki-laki dan perempuan ditempatkan secara lentur. Antarsuami-istri bisa saling tukar peran. Tidak jarang pula kita temui, suami-suami di desa momong anak. Banyak pula kita temui, para perempuan desa bekerja keras bak layaknya seorang suami. Catatan pe ngalaman hidup Wa Emasi berikut ini mungkin memberikan pembelajaran tersebut. Wa Emasi tidak tamat SD. Maklum, karena dahulu ia berasal dari keluarga miskin. Wa Emasi tinggal di desa Parida Kec. Lasalepa, Kab. Muna. Sejak remaja, Wa Emasi sudah terjun sebagai pekerja penggali dan pemecah batu. Kini, setelah berkeluarga, ia masih menekuni pekerjaan tersebut bersama suaminya. Buat apa lagi kalau bukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika dihitung, sudah dua puluh tahun lebih beliau
50
| Persembahan Perempuan untuk Desa
bekerja sebagai penggali dan pemecah batu gunung di desa Parida. Pada tahun 2004, Wa Emasi meniup peluit akselerasi untuk mengejar ketertinggalan ekonominya. Cita-citanya adalah beralih dari sekadar menjadi penggali dan pemecah batu, melainkan menaikkan levelnya menjadi wirausahawan. Wa Emasi memberanikan diri mengadu nasib ke kota. Bukan bermaksud urbanisasi, tapi melakukan pemetaan peluang usaha dagang batu. Dengan kata lain mencari peluamg pasar. Berjalan kaki dari rumah ke rumah mencari pembeli pun ia jalani. Untuk satu rit batu ukuran 4 kubik dijualnya dengan harga Rp 400.000. Dalam sehari beliau dapat mengangkut 4 rit. Dalam perkembangannya, Wa Emasi tidak hanya menjual batu, tapi juga beberapa jenis bahan bangunan lainnya seperti semen. Setelah 3 tahun berjalan, usahanya menga lami peningkatan dan banyak dikenal se hingga pelanggannya pun bertambah. Kini, ia sudah memiliki tempat usaha resmi yang memiliki surat izin. Usaha Dagang yang didirikannya, ia beri nama UD. Makmur Jaya. Sesuai dengan surat izinnya, UD ini ber alamat di Desa Parida Kec.Lasalepa. Surat Izin Usaha berlaku sejak tanggal 25 Agustus 2008 sampai dengan tanggal 25 Agustus 2013. UD. Makmur Jaya kemudian menambah jumlah layanannya dengan menyedia-
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
51
kan fasilitas mobil, untuk kali pertama, satu unit truk yang digunakan untuk mengangkut berbagai jenis pesanan material bangunan dari para pelanggan. Dengan cara ini semua urusan pengiriman material menjadi lancar. Dalam waktu singkat beliau dapat menambah fasilitas mobil truk menjadi 2 unit yang dikemudikan oleh suami dan adik Wa Emasi. Sekalipun Wa Emasi telah meraup keberhasilan dari usaha dagangnya, dan jam terbangnya pun bertambah, ia tetap tidak melupakan perannya sebagai ibu rumah tangga. Apalagi kalau sudah menyangkut pendidikan anak-anaknya, Wa Emasi menaruh perhatian besar. Posisinya sebagai pendiri UD. Makmur Jaya tidak kemudian menjadikannya dominan dalam hal pengambilan keputusan rumah tangga. Berkait dengan arah kebijakan pendidikan anak-anaknya, ia selalu memusyawarahkannya dengan sang suami. Hanya, kalau sudah menyangkut urusan kebijakan usaha dagang, Wa Emasi memegang kendali pengambilan keputusan. Tidak lain karena dari segi kapasitas pengetahuan dan pengalaman menjalankan usaha dagang, ia lebih cakap dibanding suaminya.
Pengalaman hidup seperti yang dialami Ibu Musdalifah ataupun Wa Emasi diatas, justru agak berbalikan, ketika kita menyimak pemberitaan perceraian anggota
52
| Persembahan Perempuan untuk Desa
parlemen, poligami para pejabat dan lain sebagainya yang seharusnya secara ekonomi, intelektualitas lebih mapan. Mungkin bisa dikatakan disini, bahwa dalam keluarga yang seperti mengalami disharmoni, sistem pembagian peran dan komunikasi antar perempuan dan laki-laki didalamnya tidak bekerja dengan baik sehingga satu sama lain merasa paling berhak menentukan kebijakan rumah tangga, bahkan mengarah pada penundukan hak atas suami kepada istri atau istri kepada suami. Maka tidak ada salahnya kita belajar pada perempuan-perempuan desa. Sekalipun kiprah mereka tidak seluas aktivis nasional, tidak menasional seperti bupati, gubernur, menteri ataupun presiden, namun kiprah mereka di lokal, tapi memberikan makna yang dalam bagi kehidupan disekitarnya.
Memajang Kemajuan Menyembunyikan Kerentanan...|
53
Bab II Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa
Siapa yang tidak kenal PKK? Kepanjangan dari Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang dulu bernama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. Ini adalah satu-satunya organisasi perempuan yang mengakar kuat dari tingkat pusat hingga desa, bahkan RT. Akan tetapi meskipun secara kelembagaan organisasi ini terbilang kuat, namun tidak sedikit kritik tajam diarahkan karena kiprahnya yang dinilai tidak mampu menjawab banyak persoalan perempuan dan keluarga utamanya di desa. PKK juga kerap dikritik sebagai lembaga yang eksklusif mengingat pengurus dan anggotanya biasa diisi oleh istri dari elite pemerintahan sebagaimana instruksi dari Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2000 tentang Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga dan Permendagri No. 28 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberdayaan dan Kesejahte raan Keluarga dalam Membantu Meningkatkan dan Mewujudkan Tertib Administrasi Kependudukan. Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
55
Di tingkat desa, kiprah PKK cukup beragam, ada yang aktif menjalankan 10 program pokok PKK, namun tidak sedikit juga yang keberadaannya antara ada dan tiada, artinya secara kelembagaan masih ada, namun hanya terjebak pada rutinitas saja, seperti arisan. Upaya mela kukan revitalisasi terhadap PKK pun terus dilakukan, diawali dengan merubah namanya dari “Pembinaan” menjadi “Pemberdayaan”, selain itu kerap dilakukan kegiatan-kegiatan training dalam rangka meningkatkan kapasitas anggota PKK agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan, PKK pun sudah mulai terlibat dalam perencanaan pembangunan, dan yang paling sering kita lihat adalah bagaimana anggota PKK berusaha menghidupkan Posyandu di tingkat lokal (Ani: 2013). Organisasi korporatis di desa selain PKK, sebagaimana diakui secara legal dalam PP No. 72 Tahun 2005 adalah Rukun Tetangga, Rukun Warga, Karang Taruna dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Secara tidak langsung, pengakuan secara yuridis terhadap organi sasi korporatis ini, telah mengarahkan negara hanya mengakui lima organisasi tersebut. Oleh karenanya, hanya organisasi korporatis yang bisa memperoleh dukungan alokasi anggaran baik yang bersumber dari APBD ataupun APBDes. Jika ditilik dari sudut pandang politik kebijakan, organisasi warga yang notabenenya diinisiasi dari dalam diri masyarakat desa, cenderung diacuhkan pemerintah desa. Dengan kata lain, tidak
56
| Persembahan Perempuan untuk Desa
ada kewajiban bagi pemerintah desa membina apalagi menyediakan anggaran untuk organisasi nonkorporatis tersebut. Meski kurang mendapat pengakuan dari negara, keberadaan organisasi-organisasi warga, dalam perkembangan saat ini, memberi makna yang cukup baik bagi penguatan kapasitas warga desa dalam membangun demokrasi di arasy lokal. Demikian pula dam pak secara tidak langsung bagi penciptaan tata kelola kebijakan pembangunan desa. Organisasi-organisasi warga mampu mendorong kepekaan organisasi korporatis dan pemerintah desa untuk membuka ruang partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan. Secara kronologis, organisasi-organisasi warga pada umumnya merupakan kristalisasi dari infiltrasi gera kan pemberdayaan yang diperankan organisasi masya rakat sipil semacam LSM. Menurut Antlov (2002, da lam Li, 2012) LSM adalah organisasi kemasyarakatan yang memprakarsai berbagai program penguatan masyarakat sipil yang berupaya keras melawan main stream pemikiran orde baru dalam pembangunan. Bagi lembaga-lembaga bantuan pembangunan LSM dipandang sebagai sarana untuk menyuarakan keinginan masyarakat serta mendorong demokratisasi. Namun karena tidak memiliki karakter kesadaran yang sejati sebagai masyarakat sipil, upaya-upaya penumbuhan organisasi warga menjadi bagian dari strategi yang dilakukannya untuk menghasilkan organisasi warga
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
57
yang kritis sehingga dapat mengimbangi peran dominasi negara dan pasar.15 Bab II ini mencoba mengangkat khasanah gerakan or ganisasi warga yang dalam konteks kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari kiprah perempuan desa sebagai inisiator. Dengan berselancar dari satu organisasi war ga ke organisasi warga tersebut, kita akan melihat di aspora inisiatif dan emansipasi perempuan yang selama ini hanya terkanalisasikan dalam satu wadah yang bernama PKK saja. Diaspora gerakan perempuan di desa saat ini dapat dikatakan menunjukkan animo yang cukup kuat dan tumbuh dari dalam perempuanperempuan di desa. Berawal dari kesadaran pribadi, kemudian tumbuh menjadi kesadaran kolektif, perempuan-perempuan desa kini semakin getol membangun kontestasi politik lokal yang selama didominasi lembaga-lembaga desa yang cenderung berwatak maskulin.
Community Center: Meningkatkan Akses dan Kualitas Pelayanan Publik Cerita tentang Community Center, selanjutnya disingkat “CC”, kami temukan di Kabupaten Lombok Barat, salah satu kabupaten yang berdasarkan catatan BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya masih terbi15 Lihat Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri.
58
| Persembahan Perempuan untuk Desa
lang rendah, jauh dari rata-rata IPM NTB terlebih-lebih lagi IPM Nasional. Rendahnya IPM Lombok Barat ini dipengaruhi oleh tiga indikator sebagai tolak ukur, yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pelayanan publik bidang pendidikan dan kesehatan memang dirasakan oleh masyarakat masih jauh dari yang mereka harapkan. Puskesmas yang seharusnya mampu menjalankan empat fungsi, yaitu: promotif (promosi kesehat an), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan), faktanya tidak banyak meme rankan diri untuk hadir di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula dengan pendidikan, banyak sekolah didirikan akan tetapi masih membatasi akses masyarakat untuk bersekolah karena biayanya yang tinggi serta kualitasnya yang masih jauh dari harapan. Selain persoalan pendidikan dan kesehatan, ada juga masalah pelayanan publik lainnya yaitu pencatatan sipil. Pemerintah desa seringkali mengalami kesulitan mengingat masih ba nyak warga yang belum memiliki kesadaran akan pen tingnya pencatatan identitas, baik berupa KTP maupun Kartu Keluarga (KK). Problem pelayanan publik inilah yang membuat ma syarakat khususnya kaum perempuan menjadi resah, kenapa perempuan? Jelas, karena perempuan khusus nya kaum ibulah yang terbilang paling direpotkan de ngan masalah pendidikan dan kesehatan, karena sistem patriarki menempatkan perempuan seolah menjadi
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
59
sosok yang paling bertanggungjawab terhadap urusan domestik, termasuk didalamnya harus mengurus pen didikan dan kesehatan keluarganya. Meski sudah mulai banyak yang sadar dengan masalah ini, namun belum ada upaya yang sistemik untuk bisa memahami akan pentingnya memperbaiki kualitas pelayanan publik, akan tetapi pengetahuan yang terbatas serta ruang komunikasi yang belum tersedia membuat masalah yang ada tidak terselesaikan, sehingga kasus kekerasan pada TKW/TKI terus terjadi, kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan masih terbilang rendah. Berangkat dari persoalan pelayanan publik inilah lahir banyak gerakan perempuan yang melakukan advokasi untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di tingkat desa, salah satunya community center (CC). CC memilih dialog sebagai strategi advokasi. Dialog ditempuh dengan cara mempertemukan warga dengan instansi pemberi layanan publik, seperti dengan Puskesmas, lembaga pendidikan Sekolah, pemerintah desa, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. Pe mer intah daerah pun bersedia berdialog sekaligus me la kukan sosialisasi beberapa program misalnya jaminan sosial kesehatan (Askeskin). Terbukanya ruang dialog antara penyedia layanan dengan pengguna layanan dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat. Sekitar 47 persen penduduk desa Kekeri yang selama ini tergolong mis-
60
| Persembahan Perempuan untuk Desa
kin merasakan adanya ruang dialog yang selama tertutup oleh sekat pembangunan yang bersifat terbuka diatas tapi tertutup dibawah. Pembentukan CC memang tidak dapat dilepaskan dari peran 3 orang perempuan, yaitu: Kustiyah, Sri Rahmadani dan Johra dari Desa Kekeri, Lombok Barat. Dimana awalnya mereka prihatin akan kondisi kesehatan masyarakat, terutama perempuan dan keluarga miskin yang mengalami Gizi Buruk. Community Center sebagai pusat layanan informasi, pengaduan dan pembelajaran yang mudah diakses warga, serta menjadi alat kontrol efektif bagi unit-unit pelayanan publik proses kelahirannya difasilitasi oleh Jaringan Masyarakat Sipil (JMS), sebuah NGO yang menjadi mitra ACCESS. JMS melakukan proses pengorganisasian di tingkat lokal sehingga membongkar kesadaran warga akan hak-hak mereka, terutama kaum perempuan. Pendekatan yang ditempuh oleh JMS tergambar pada gambar berikut: Gambar 4. Rute Advokasi JMS di Tingkat Desa
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
61
Pertama, proses membangun kesadaran warga terma suk kaum perempuan dilakukan dengan menampilkan data-data empiris mengenai masih rendahnya kualitas pelayanan publik serta pengenalan tentang hak-hak warga negara. Kedua, melakukan pembelajaran dan pengorganisasian warga. Ketiga, melembagakan organi sasi warga dalam wadah community center di beberapa desa. Desa Kekeri adalah satu diantara 15 desa di Kecamatan Gunung Sari. Desa Kekeri terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Dusun Kekeri, Dusun Gegutu Dayan Aik dan dusun Kekeri Timur. Penduduk desa ini berjumlah 4.465 orang dengan komposisi perempuan 2.273 orang dan laki-laki 2.192 orang. Jumlah KK keseluruhan adalah 1.204 KK, dimana 574 KK masuk dalam kategori Rumah Tangga Miskin (RTM). Mata pencaharian utama masyarakat adalah petani, buruh lepas (baik buruh tani maupun bangunan), dan banyak juga yang menjadi Tenaga Kerja di luar negeri, terutama Saudi Arabia dan Malaysia. Ada beberapa peran advokasi kebijakan layanan publik berhasil dilakukan CC antara lain: Pertama, menjadi wadah dan sarana penyampaian complain atas publik ser vice delivery dari warga terhadap pelayanan publik. CC memodifikasi Gawe rapah menjadi media komunikasi antara warga dengan instansi pemberi layanan publik.
62
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Gawe rapah sendiri merupakan wadah bermusyawarah antara pemerintah dengan warga sekaligus sebagai ikhtiar untuk optimalisasi fungsi kedua aktor utama ini dalam pembangunan secara setara, terbuka dan siner gis.16 Kedua, CC diperankan sebagai wadah ber bagi ilmu dan keterampilan antarwarga. Meskipun awal keberadaannya CC lahir untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik, namun dalam perkembangannya CC mampu menjadi arena bersama untuk saling mem perkuat pengetahuan, termasuk soal pentingnya mem perkuat partisipasi warga dalam perencanaan dan pe nganggaran di tingkat desa hingga kabupaten. Selain itu, dikenalkan juga pentingnya perempuan memper kuat posisi dan perannya dalam ranah publik maupun domestik. Ketiga, menjadi representasi masyarakat sipil untuk me ngontrol dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dalam konteks ini, CC berhasil membangun kesepakat an bersama dengan Dinas Kesehatan, ditandai dengan penandatanganan MoU Kesehatan ditingkat Kabupa ten. MoU ini bertujuan mengontrol kualitas layanan Puskesmas. Keempat, CC telah memfasilitasi penyelesai an masalah-masalah terkait dengan TKI, yang bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ibu Kustiah, di desanya lebih dari 50 16 Tim JMS Lobar, Gawe Rapah Warga, Menilik Masa Lalu, Menata Hari ini, Merangkai Masa Depan, JMS-IDSS-AIP.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
63
persen perempuan memilih bekerja sebagai TKI. Sa yangnya, banyak dari mereka tidak mengetahui informasi seputar TKI, sehingga seringkali pulang dengan membawa persoalan. Karena itu, CC mengambil peran untuk melakukan transformasi pengetahuan sehingga pilihan untuk menjadi TKI bisa menjadi pilihan yang rasional serta seorang TKI sebelum berangka sudah harus mengetahui hak-haknya juga. CC di desa Kekeri juga melakukan advokasi kepada pemerintah desa agar turut memberikan perlindungan kepada warganya sehingga tidak terjebak pada bentuk-bentuk kecurangan dalam pengurusan administrasi calon TKI, seperti pemalsuan umur. Bicara soal sejarah relasi antara CC dengan Pemerintah Desa, awalnya keberadaan CC dipandang sebelah mata oleh pemerintah desa, mengingat anggotanya mayoritas adalah perempuan, ujar Kustiyah. Bahkan ketika CC pernah mengajukan diri untuk turut berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan desa (Musrenbang Desa), kepala desa bahkan berkomentar seakan meragukan kapasitas CC. Akan tetapi perlahanlahan pengakuan atas eksistensi CC pun mulai muncul ketika pemerintah desa dan masyarakat merasakan manfaat yang cukup besar dari kehadiran CC, terlebih-lebih ketika CC berhasil memperjuangkan usulan desa dalam proses musrenbang di tingkat kabupaten, sehingga desa mendapatkan anggaran pembangunan
64
| Persembahan Perempuan untuk Desa
yang cukup. Hingga tahun 2012, keberadaan CC di Ke keri meluas hingga mencapai 13 Community Center di 6 kecamatan (Batulayar, Gunung Sari, Narmada, Kediri, Kuripan, Gerung) dan 1 yang sedang terinisiasi (desa Giri Sasak) di Kabupaten Lombok Barat. Tabel 2.1. Community Center di Kabupaten Lombok Barat serta isu yang ditangani Kecamatan Batulayar
Desa
Nama
Pendekatan Pembentukan
Isu Advokasi
Senteluk
CC Pade Angen
Tokoh KDRT, SKTM, Masyarakat KTP. dan kelompok tani
Sandik
CC Saling Anton
Kelompok Perempuan
KDRT, La yanan Puskesmas
CC Mandiri
Kelompok Perempuan
KDRT, Trafiking, Layanan puskesmas, SKTM, Akta nikah, Jamkesmas/Jamkesda
Lembaga Adat Paer Desa Mambalan (awalnya bernama Titisan Gempeng Bumi Mambal)
Lembaga Adat
SKTM, KTP, Akta Nikah, Jamkesmas/ Jamkesda
Gunung Kekeri Sari
Mambalan
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
65
Narmada
Kediri
Nyur lembang
CC Banyu Gentar
Kelompok Warga dan PKK
Akta Nikah, Pilkades, Jamkesmas/ Jamkesda
Tanah Beak
Forum Kadus
Kadus
KTP, KK
Suranadi Kelompok Warga
Laki –laki dan perempuan
SKTM, KTP
Ombe Baru
Lembaga Keuangan Mikro
Akta Nikah
Kadus
Akta Nikah dan KTP
LKM Maju Bersama
MonForum tong Are Kadus Kuripan Kuripan Selatan
Kelompok Kader
Kader desa (Posyandu)/Natural Leader
Layanan Rumah Sakit, Jamkesmas/ Jamkesda
Kuripan Utara
Kelompok Pemuda
Kelompok Tukang Ojek
KTP
Giri Sasak
Sedang terinisiasi
Tokoh RPJM Desa, Masyarakat KTP, Jamkesmas/Jamkesda
Gerung Selatan
CC Peduli Masyrakat
Kelompok Laki-laki dan perempuan
KDRT, Trafiking, pene lantaran Anak, SKTM, KTP
Babussalam
CC Imbas Bersinar
Kelompok laki-laki dan Perempuan
KDRT, Komite Sekolah, Jam ksesmas/Jamkesda, KTP, Akta Nikah, Layana Rumah Sakit
Gerung
Sumber: Jaringan Masyarakat Sipil (JMS)
66
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Kehadiran CC di desa telah memberikan manfaat yang cukup besar, diantaranya: Pertama, membongkar kesadaran kognitif warga khususnya perempuan, dengan memberikan pemahaman akan hak-hak warga negara. CC juga memberikan banyak informasi kepada kaum perempuan desa yang akan menjadi TKW, sehingga mereka tidak mudah ditipu dan memiliki posisi tawar yang kuat. Begitu pula munculnya kesadaran akan pentingnya hak-hak pencatatan sipil sebagai warga negara, sehingga tidak ada lagi keluarga miskin yang terhalang aksesnya untuk mendapatkan Akte Kelahiran karena biaya pembuatannya yang mahal. Kedua, CC menjadi penyambung lidah masyarakat yang tidak berani menyampaikan kritik atas penyelenggaraan layanan publik. Pengalaman CC desa Kekeri yang melakukan advokasi kebijakan bidang pendidikan di kabupaten Lombok Barat kiranya membuktikan kemanfaatan kedua ini. CC membuka pos-pos pengaduan masyarakat yang merasa mengalami kesulitan untuk bersekolah karena mahalnya biaya pendidikan. Pengaduan ini pun ditindaklanjuti dengan advokasi kepada pihak sekolah dan Dinas Pendidikan dan Olah Raga. Advokasi ini telah berhasil memaksa Dinas Pendidikan dan Olah Raga kabupaten Lombok Barat mengeluarkan surat No 821/101/Dikpora/2011 tertanggal 24 Mei 2011 tentang larangan pungutan biaya pendaftaran dan pungutan lainnya dalam bentuk apapun. Ketiga, di bidang
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
67
kesehatan, yang terpenting adalah proses advokasi CC kepada Puskesmas mendorong perbaikan layanan kesehatan untuk warga desa. Akhirnya Puskesmas mau berbenah diri untuk memperbaiki pelayanannya. Bahkan Puskesmas Penimbung menjadi lembaga penyedia layanan kesehatan terbaik di Kabupaten Lombok Barat dengan kategori sebagai penyedia dokter teladan, penanganan malaria terbaik, layanan suster teladan dan pelayanan puskesmas teladan. Diakui oleh dr.I.Made Arimbawa selaku Kepala Puskesmas Penimbung, bahwa prestasi Puskesmas tersebut berkat adanya dukungan CC melalui proses advokasi kesehatan terhadap Puskesmas Penimbung. Kemanfaatan ketiga, secara tidak langsung CC menjadi ruang belajar bagi warga desa sehingga meningkat kapasitasnya tidak hanya dalam pengetahuan organisasi tapi juga menjadi ruang pengembangan jiwa kerelawanan sosial. Kemanfaatan tersebut paling tidak terungkap dari testimoni ST. Hawa, Ketua CC desa Jambu kabupaten Dompu berikut ini; Satu tahun lebih saya menjadi pengurus sekaligus sebagai ketua CC Desa Jambu. Belum banyak yang bisa dilakukan selama ini, tetapi saya sudah berusaha untuk membantu masyarakat merasakan pelayanan publik yang optimal di desa Jambu. Hingga hari ini saya bersama CC tetap menjadi mitra petu-
68
| Persembahan Perempuan untuk Desa
gas kesehatan alias bidan di desa. Satu keberhasilan yang saya harus sebut berulangulang adalah sukses mendorong Pemerintah Desa mengeluarkan Perdes Persalinan yang mengharuskan setiap ibu hamil melibatkan bidan dalam proses melahirkan. (sumber: _____, 2012. Kumpulan Cerita Perubahan Kepem impinan Perempuan di Kabupaten Bima & Dompu. Solo: Gita Pertiwi)
Kembali mengenal posisi CC dalam relasi struktur politik lokal, organisasi tersebut adalah organisasi nonkorporatis yang secara legal formal belum diakui negara. Sekalipun politik lokal belum membuka ruang kontestasi yang seimbang bagi CC, ternyata CC di Lombok Barat ini telah menjadi trigger lahirnya kepekaan layan an publik dari pemerintah desa kepada warganya. Selain itu, CC berpotensi memicu organisasi-organisasi kor poratis desa lainnya menghidupkan kembali visi dan misi awalnya pada saat didirikan oleh negara.
Melahirkan Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) Jika pembaca sekalian hendak mengetahui wajah ke miskinan di negeri kita, ketiklah kalimat “Kemiskinan Berwajah Perempuan” misalnya di laman google search engine. Dalam waktu sekejap kita akan menemukan banyak tulisan yang mengangkat tema tersebut. Kes-
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
69
impulan akhir dari tulisan-tulisan yang nantinya kita temukan, kira-kira hendak mengatakan bahwa baik dari segi subyek penyelenggara pembangunan, formula maupun subyek penerima pembangunan itu sendiri menunjukan ketimpangan gender.17 Kemiskinan begitu dekat dengan perempuan. Dengan kata lain, dalam ke seharian perempuan lebih banyak mendapatkan dam pak pemiskinan dari pada laki-laki. Perempuan me ngalami kesulitan mengatur uang belanja, karena harus bernegosiasi dengan jenis kebutuhan rumah tangga yang kian beragam dan banyak dari hari ke hari. Akhirnya, depresi psikologis acapkali menghampiri kehidupan rumah tangga. Kasus ibu dan anak bunuh diri sebagai akibat ketidakmampuan perempuan menanggung beban ekonomi, yang muncul akhir-akhir ini merupakan indikator pembangunan ini belum adil pada perempuan. “Perempuan memegang peranan penting dalam se luruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dan salah satu peran penting perempuan yang sering di abaikan adalah di bidang pengembangan ekonomi, padahal kenyataannya 46,23% perempuan meru pakan pelaku ekonomi, akan tetapi hak-hak ekonomi perempuan masih kurang terfasilitasi”18 17 Beberapa tulisan diantaranya bisa diakses di; http://eckapunyacerita.blogspot.com/2008/09/kemiskinan-berwajah-perempuan.html, http://kaffahmedia.com/mienmuntoro/?ci=2&csi= 3&cai=1,http://radiosahabat.blogspot.com/2009/07/kemiskin an-di-ntt-berwajah-perempuan.html 18 Presentasi Success Story JARPUK-PUK di Lombok Tengah, Praya, 29 November 2011.
70
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Kutipan di atas menggambarkan bahwa perempuan memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan ekonomi di tingkat lokal, akan tetapi fasilitasi negara masih terbilang lemah. Berangkat dari keprihatinan terhadap nasib perempuan ini lahir gagasan pemberdayaan bagi perempuan yang memiliki usaha ekonomi kecil. Pada tanggal 29 September 2001 bertempat di BLK Tampar-ampar kabupaten Lombok Tengah, sekitar 30 orang perempuan yang bergerak di bidang usaha kecil menggagas terbantuknya jaringan perempuan usaha kecil yang diberi nama Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JarPUK) ”Rindang”. Di Kabupaten Kupang, Pendirian JarPUK diawali pada Tahun 2003 dengan nama Ina Fo’a dan disusul JarPUK Feto Hamutuk di Tahun 2006. Di dua kabupaten tersebut terdapat banyak perempuan yang tergabung dalam berbagai kelompok yang disebut Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK). Anggotanya, memiliki ba nyak ragam jenis usaha. Organisasi ini bersifat terbuka. Jadi perempuan yang tidak memiliki usaha dapat bergabung dengan organisasi tersebut. Mengapa, karena organisasi ini memang bertujuan member bekal pada perempuan agar berdaya dari segi ekonomi. Menjadi pengusaha adalah bagian dari harapan akhirnya. Sebagaimana peran JMS, keberadaan KPUK tidak dapat dilepaskan dari peran ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil) sebagai organisasi yang selaDari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
71
ma ini melakukan pendampingan dan pemberdayaan terhadap JarPUK. ASPPUK memiliki visi “terwujudnya Perempuan Usaha Kecil-Mikro (PUK-Mikro) yang kuat dan mandiri dalam masyarakat sipil yang demokratis, sejahtera, setara dan berkeadilan gender”. Selain itu, untuk merealisasikan visi tersebut, ASPPUK mengembangkan dan memberdayakan anggotanya melakukan beberapa kegiatan diantaranya; 1. Memfasilitasi dan menguatkan-Ornop anggota asosiasi dan advokasi, networking dan fund raising 2. Penguatan Perempuan Usaha Kecil-Mikro 3. Membangun dan Menguatkan - Jaringan Pasar bagi Produk PUK-Mikro 4. Advokasi Kebijakan untuk - Memperjuangkan Hak dan Kepentingan PUK-Mikro 5. Publikasi 6. Jaringan kerjasama Tahun 2009 adalah awal kebangkitan ASPPUK di Kabupaten Lombok Tengah. Kebangkitannya, ditandai dengan upayanya menggandeng banyak pihak untuk mendukung program yang diinisiasinya, seperti peme rintah daerah dan ACCESS. Kemajuan yang cukup pe sat dari sisi kuantitas akhirnya mulai dirasakan. Semula anggotanya hanya terdiri dari 160 PUK, paling tidak hingga 2012 anggotanya sudah mencapai 2.609 PUK sebagaimana tergambar pada gambar 2.2 berikut ini.
72
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Gambar 2.2. Perkembangan jumlah PUK dan KPUK Lombok Tengah 2009-2011
Bukan hanya jumlah PUK yang terus bertambah, penyebarannya pun semakin luas. Hal ini dikarenakan pembangunan jaringan sehingga semakin banyak perempuan yang tertarik untuk bergabung dengan harapan adanya perbaikan taraf hidup mereka. Gambar 2.3. Coverage Wilayah PUK di Tingkat Kabupaten Lombok Tengah
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
73
KPUK tidak membatasi dengan ketentuan-ketentuan yang ketat pada pihak-pihak yang hendak bergabung. Siapa saja boleh menjadi PUK. Bahkan mereka yang belum memiliki usaha sekali pun, namun berkeinginan untuk memiliki keterampilan dan usaha, bisa berga bung. Ditilik dari segi emansipasi, KPUK memiliki peran dalam pembangunan yaitu, mengisi ruang kosong yang selama ini kurang diperhatikan pemerintah. Ruang kosong yang mana, yaitu dalam aspek transfer knowledge dan skill bagi masyarakat perempuan. Selama ini, profesi atau kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat tumbuh secara alamiah. Pengetahuan dan keterampilan yang tidak memadai seringkali menjadi kendala bagi perempuan untuk memulai usaha. Nah, dalam konteks ini, KPUK mencoba hadir sebagai starting point mendorong keberanian perempuan untuk mengembangkan diri di sektor ekonomi. Gambar berikut ini memperlihatkan persebaran anggota KPUK yang beragam. Anggota KPUK memang memiliki latar belakang yang beragam. Banyak anggota yang sudah memiliki usaha, namun ada pula yang belum atau baru akan merintis. Jenis usaha yang dikembangkan PUK, diantaranya: Kerajinan tenun tradisional Loteng, kerajinan ketak, ingke, rotan, peternakan (sapi, kerbau, kambing, ayam, itik), pertanian, pedagang kecil (pengumpul, warungan, pedagang Keliling, jualan di pasar, kios, jual pulsa), art
74
| Persembahan Perempuan untuk Desa
shop, menjahit, tata rias, katering, warung/rumah makan, dan lain-lain. Gambar 2.4. Persentase Komposisi PUK berdasarkan Jenis Usaha dan Latar Belakang Profesi Anggota
KPUK-KPUK di kemudian hari memiliki perkembangan yang cukup progresif dan kian beragam dari segi kelembagaannya. Dari 156 KPUK yang ada, sudah ada 4 kelompok yang membentuk koperasi. Masingmasing koperasi pun memiliki perkembangan yang berbeda-beda. ASPPUK memfasilitasi koperasi-kope rasi yang telah tumbuh di dalam jaringan advokasinya, dengan menjembatani terbangunnya kemitraan antara pelaku/perempuan usaha kecil dengan pemerintah daerah, utamanya melalui Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam konteks ini sebenar nya dapat kita lihat adanya gerakan politik warga yang
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
75
melakukan perimbangan atas peran negara dalam sektor ekonomi, terutama pada segmen penguatan potensi tenaga kerja (labor). Di Kabupaten Kupang, JarPUK telah beranggotakan 13 KPUK yang tersebar di empat kecamatan. Masing-ma sing PUK terdiri dari 10-15 PUK. Hingga saat ini tercatat JarPUK Ina Fo’a beranggotaka 500 PUK yang tergabung dalam 20 KPUK. Sebagaimana kegiatan ekonomi di KPUK Lombok Tengah, KPUK di Kupang juga memiliki keragaman jenis usaha, seperti ternak babi dan ayam, pengolahan makanan lokal, kerajinan tenun, pertanian, dan lain-lain. Sedangkan JarPUK Feto Hamutuk memiliki anggota 11 KPUK atau 109 PUK yang sebagian besar adalah pedagang kecil di Pasar Oesao. Terkesan sederhana memang, jika sekitar 10-15 orang perempuan, berkumpul membentuk kelompok, dan selanjutnya membicarakan apa yang menjadi kebutuhan mereka serta menyusun strategi untuk mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Akan tetapi bagi banyak perempuan desa di Lombok Tengah, kegiatan ini merupakan kemajuan yang luar biasa, di tengah segala ketidakberdayaan yang dimiliki. Apabila awalnya kumpul bersama yang mereka lakukan hanya sekadar berkeluh kesah saja, saat ini sudah ada kemajuan de ngan mulai mendiskusikan langkah-langkah konkret yang bisa ditempuh untuk mengurai benang kusut
76
| Persembahan Perempuan untuk Desa
kemiskinan yang sudah berpuluh-puluh tahun menje rat mereka. Isu-isu publik seringkali lebih sulit menjadi tema obrolan harian masyarakat, namun keberadaan KPUK secara tidak langsung membiasakan warga untuk berbincang tema-tema publik, sehingga terbangun kesadaran kewargaanegaraan di kalangan pelaku usaha kecil desa.
Dari Social Capital menuju Economic Capital Banyak perempuan yang bekerja di ranah domestik, sehingga mereka lebih memiliki waktu untuk bersosiali sasi dengan sesama perempuan lain di kampungnya. Ini mungkin yang bisa disebut bahwa perempuan memiliki networking yang sangat kuat bila dibandingkan laki-laki. Networking adalah modal sosial bagi mereka. Perempuan-perempuan yang manfaatkan ajang sosialisasi serta memanfaatkannya sebagai ruang untuk berbagi persoalan yang dekat dengan mereka, lebih mudah menerima satu sama lain sehingga secara tidak langsung telah merajut jejaring social. Sayangnya, ketika para perempuan berkumpul, acapkali distigmakan “penggosip” alias menu diperbincangkan adalah tematema yang lebih bersifat individualistis dari pada isu publik. Meski demikian, kemampuan perempuan untuk bersosialisasi satu sama lain adalah modal sosial yang
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
77
bernilai. Modal sosial menurut Putnam19 diartikan sebagai gambaran organisasi sosial, seperti jaringan, norma, kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Modal sosial seperti ini, dalam masyarakat desa memang masih sangat kuat. Terlebih bagi mereka yang memiliki banyak persamaan, termasuk sama-sama terbelit oleh persoalan kemiskinan. Gotong-royong, tolong menolong, pinjam meminjam adalah kegiatan yang sangat lumrah terjadi di desa. Gap ekonomi yang tidak terlalu jauh mengakibatkan tingginya rasa solidaritas diantara warga desa, karenanya meski hidup dalam kondisi yang serba terbatas, banyak orang miskin di desa yang lebih bisa bertahan hidup daripada mereka yang berada di perkotaan. Bagi perempuan-perempuan pelaku usaha kecil di desa, persoalan utama yang paling sulit mereka pecahkan selama ini adalah keterbatasan modal produksi ekonomi, terutama uang. Untuk mendapatkan modal uang bukan pekerjaan yang mudah. Untuk mendapatkan modal secara mandiri, perempuan-perempuan yang memiliki usaha kecil melakukan beberapa terobosan. Pertama, mengembangkan model keuangan alternative melalui kegiatan jimpitan. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Inilah peribahasa yang kiranya cukup pas 19 Putnam, R.D. “The prosperous community: Social capital and publik life”. The American Prospect.1993, Vol.4, no. 13
78
| Persembahan Perempuan untuk Desa
untuk menggambarkan upaya perempuan-perempuan ini dalam menghimpun modal yang sangat mereka butuhkan untuk pengembangan ekonomi produksi mereka. Beras yang terkumpul kemudian diuangkan. Sekali pun lambat, dengan cara seperti ini, modal usaha bisa didapatkan tanpa harus menggantungkan diri pada lembaga keuangan komersial. Kedua, membangun kesepakatan untuk melakukan ke giatan produksi secara bersama-sama, dan menabung keuntungan yang diperoleh guna memperkuat modal. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, se pertinya tepat digunakan untung menggambarkan usaha penguatan modal kelompok jenis ini. Dalam kegiatan produksi, tidak ada laba yang mereka bagikan kepada anggota kelompok untuk beberapa waktu lamanya. Keuntungan yang diperoleh dari usaha bersama tersebut, selanjutnya ditabung. “ekonomi keluarga saya selama ini tergantung pada upah suami sebagai buruh tani dan juga keuntungan saya sendiri yang tidak seberapa dari menjual makanan kecil di areal sekolah SD Mangkung. Kondisi ekonomi yang sulit sering memaksa saya untuk meminjam dana sebagai tambahan modal untuk berjualan pada “Bank Nyengkeng” dengan bunga yang mencekik leher” (Inaq Muhaddis, anggota KPUK) Kisah Inaq Muhaddis diatas, mungkin dialami oleh hampir semua perempuan di desa, dimana kebutuhan
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
79
hidup yang begitu besar serta keterbatasan modal untuk usaha seringkali memaksa perempuan untuk berutang, baik pada saudara, tetangga, ataupun Bank. Tidak jarang juga yang meminjam hutang kepada rentenir. Hutang kepada rentenir ini lah yang dirasakan paling mudah dilakukan apabila dalam keadaan mendesak, mengingat prosesnya yang relatif mudah tanpa agunan. Dengan modal KTP saja, uang bisa segera cair seketika. Padahal, meminjam uang kepada rentener adalah kategori ekonomi biaya tinggi. Mengapa, karena dari segi bunga pinjaman yang dijual, jatuhnya sangat tinggi. Akhirnya tidak jarang ibu-ibu rumah tangga yang kuwalahan mengangsur dari pada mengumpulkan keuntungan atau laba dari usahanya. Kehadiran Bank Deoq/Bank Nyengkeng/Bank Subuh20 di 20 Bank Deoq/Bank Nyengkeng/Bank Subuh adalah sebutan lain untuk koperasi-koperasi liar (berpraktek nyaris seperti rentenir) yang banyak tumbuh di Lombok Tengah. Dikatakan sebagai Bank Deoq karena dalam menagih angsuran kepada klien biasanya seperti orang main kucing-kucingan. Hal ini terjadi karena klien seringkali sembunyi ketika waktu untuk menyetor angsuran tiba, meng ingat bunga yang ditetapkan sangat tinggi sehingga banyak klien yang tidak mampu melunasi pinjamannya sesuai dengan waktu yang disepakati bersama. Kenyataan lain adalah, penundaan waktu pembayaran tagihan akan membuat pihak bank menghitung tunggakan tersebut sebagai pinjaman baru yang harus disetor berikut bunganya. Dengan demikian keterlambatan dalam membayar angsuran pada bank deoq sesungguhnya justru mempersulit keadaan klien. Semakin sering menunggak pembayaran, maka jumlah pinjamannya pada bank deoq akan terus membengkak. Dikatakan bank Nyengkeng, karena untuk dapat men-
80
| Persembahan Perempuan untuk Desa
pedesaan secara umum telah disadari warga mengan dung implikasi kerentanan bagi pelaku usaha kecil. Akan tetapi karena keterdesakan ekonomi dan keter batasan aset, akhirnya tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan kebutuhan modalnya pada bankbank tersebut. Skema perbankan resmi memang tidak memungkinkan bisa diakses oleh masyarakat miskin dengan segala keterbatasannya. Ragnar Nurkse (1953)21 dalam konsepnya “the vicious circles of poverty (lingkaran setan kemiskinan)” meng ungkapkan bahwa adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka diterima pelaku usaha. Pendapatan yang rendah akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya seperti lingkaran yang tidak berujung. Fenomena kemiskinanstruktural dan kultural semacam ini menggambarkan bagaimana penduduk miskin gakses dana dari bank tersebut tidak membutuhkan persyaratan dan prosedur yang rumit. Cukup menemui petugas bank dan masyarakat mengutarakan niatnya untuk meminjam, dana pun cair. Hatta sambil duduk jongkok (nyengkeng) proses tersebut dapat diselenggarakan. Dikatakan bank subuh, karena juru tagih tidak segan datang ke rumah klien pada pagi buta untuk mengejar klien yang dianggap bengel dalam melunasi pinjaman. 21 Ragnar Nurkse, “Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat”, 1953. http://www.geocities.com
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
81
tetap menjadi miskin karena keadaan awal miskin, dan demikian terus berlaku secara terus-menerus. Pendu duk miskin akan semakin terjerat dalam “kubangan ke miskinan” karena mereka mendapatkan pinjaman uang dari lintah darat/rentenir yang menagih cicilan dengan bunga tinggi. Keberadaan KPUK mendorong model keuangan alter native, telah membawa perubahan yang cukup signifikan bagi banyak perempuan di desa. Dengan mana gemen yang sederhana, KPUK dapat memanfaat kan uang yang mereka kumpulkan untuk modal simpan pinjam. Bunga pinjamannya pun lebih ringan dan dapat dipastikan akan kembali juga dalam bentuk sisa hasil usaha untuk kepentingan anggota kelompok, la yak nya konsep koperasi. Masing-masing KPUK memiliki aturan main yang berbeda, misalnya soal batas maksimum pinjaman serta bunganya. Batas maksimum dan minimum memang berbeda antar KPUK tapi tetap memperhatikan prinsip-prinsip social yang kuat seperti “bunga tidak memberatkan dan terpenting bisa menolong anggota untuk mengembangkan usahanya”. Selain itu, untuk menjaga kemanfaatan pinjaman modal yang telah diberikan kepada anggota, organisasi KPUK berupaya memberikan pendidikan dan keterampilan kepada anggota kelompoknya, sehingga modalnya dapat memacu rantai produksi dengan baik.
82
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Sekalipun dalam skala kecil, inisiatif KPUK mencari te robosan pengadaan modal usaha untuk anggota nya, dapat menunjukkan adanya kemampuan jejaring eko nomi lokal memotong mata rantai rentenir yang selama ini tumbuh marak di pedesaan. Dari segi meto dologi pengembangan kemampuan produksi ekonomi, KPUK secara tidak langsung membuktikan keberdaya an ekonomi dengan model koperasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, koperasi adalah satu model soko guru ekonomi Indonesia yang diyakini oleh pendiri bangsa (terutama Mohammad Hatta), merupakan model pe ngembangan ekonomi yang paling tepat dikembangkan di Indonesia. Dengan berkoperasi maka kesejahteraan dapat diperoleh bersama-sama tanpa menjadikan anggota yang lainnya menderita. Sebaliknya dengan ber koperasi antar anggota akan saling berkembang karena ditopang oleh kekuatan solidaritas sosial yang tinggi.
Berpengetahuan dan Berjejaring: Strategi Keluar dari Kemiskinan Para PUK memiliki cukup banyak cerita tentang penga lamannya selama menjadi anggota KPUK dan JarPUK. Bagi mereka, pengetahuan dan keterampilan diyakini sebagai modal dasar untuk menghasilkan kelembagaan ekonomi yang kuat dan berproduksi secara optimal. Ka renanya, ASPPUK memfasilitasi berbagai bentuk
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
83
Gambar 2.5. Salah satu aktifitas KPUK yang saling bertukar pengetahuan tentang cara membuat ingke (piring dari rotan)
Sumber foto: dokumen IRE 2012
pelatihan, baik yang diselenggarakan secara formal maupun informal. Pertama, memperkuat kelembagaan de ngan pelatihan managemen organisasi. Beberapa pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan da lam agenda pelatihan misalnya seperti managemen ke uangan, pembuatan kebijakan organisasi serta penyusunan program kerja dan strategi usaha. 84
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Kedua, ASPPUK memberikan asistensi dan pembekal an bagi anggotanya dengan tujuan pengetahuan dan modal keuangan yang dimiliki para perempuan peng usaha kecil dapat berputar dengan baik dalam rangka mendorong turbin produksi ekonomi. Ketiga, pelatihan berikutnya memperkuat kapasitas produksi yang lebih kreatif dan inovatif. Salah satu kelemahan sektor industri kecil daya inovasi dan kreasi produk yang lemah. Tidak seperti pelaku-pelaku usaha di dunia pertama, selalu berhasil menciptakan produk-produk baru pada waktu yang relative cepat. Karenanya, pengetahuan tentang wawasan teknik industry penting ditularkan kepada anggota ASPPUK. Keempat, memberikan pe ngetahuan tentang jaringan pemasaran. Ketersediaan pasar sering kali menjadi kendala produksi yang dijalankan pelaku usaha kecil. Melalui pengetahuan ini diharapkan, jaringan dan pasar yang sudah terbentuk kuat akan membantu proses pemasaran lebih baik dan berkelanjutan.
Partisipasi Politik berdampak Ekonomi Kata “pemberdayaan” memang tidak selalu identik dengan penguatan ekonomi saja. Tapi meggerakkan sumber daya perempuan dalam banyak bidang, termasuk memperkuat posisi tawar perempuan dalam ranah publik bagian dari pemberdayaan. Jargon partisipasi banyak dipakai dalam arena perencanaan dan Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
85
penganggaran pembangunan sehingga menyemarakkan kontestasi politik kebijakan paska reformasi 1998. Dalam konteks ini, perempuan mulai diberikan ruang lebih luas, agar bisa terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan. Harapannya, keterlibatan kelompok perempuan dalam arena politik kebijakan menghasilkan balance of power yang selama ini dominan berada pada kutub kelompok maskulin. Akibatnya voice pe rempuan minor terdengar di atas panggung politik kebijakan perencanaan dan penganggaran pembangunan. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) adalah salah satu wadah deliberasi masyarakat, termasuk perempuan untuk menyampaikan aspirasi nya. Sayangnya, banyak praktik musrenbang selama ini, yang tidak memperhatikan komposisi gender tidak hanya dalam proses musrenbang, tapi juga substansi usulan didalamnya. Akhirnya, tidak jarang pembangunan yang diselenggarakan masih abai terhadap kepentingan-kepentingan perempuan. Banyak regulasi yang sebenarnya mendukung partisipasi perempuan untuk terlibat dalam proses musrenbang seperti UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Ada pula kebijakan-kebijakan yang melindungi dan menjamin partisipasi perempuan dalam Musrenbang seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapus
86
| Persembahan Perempuan untuk Desa
an Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW); Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksana an Pengarus Utamaan Gender (PUG) dan Pembangun an Nasional; Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah; Perpres No. 21 Tahun 2009 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010; Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK 02/2010 tentang Petunjuk penyusunan dan Penelaahan (Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian/Lembaga (RKA-KL) dan Pengesahan Pelaksana an DIPA TA. 2011. Banyaknya regulasi yang membuka peran terhadap partisipasi perempuan dalam proses pembangunan ini lah yang harus dimanfaatkan oleh perempuan untuk mengambil haknya agar terjadi peningkatan kapasitas, pemberdayaan, penguatan ekonomi, politik dan sosial perempuan. Sebagai bagian dari upaya pemberdayaan politik perempuan, ASPPUK mendorong partisipasi perempuan dalam proses musrenbang dari level desa hingga kabupaten. Perempuan yang tergabung dalam KPUK-KPUK dibekali dengan pengetahuan dasar tentang arti penting keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan pembangunan tersebut. Banyak kemanfaatan yang pada akhirnya didapatkan perempuan dari keterlibatan mereka dalam siklus perencanaan dan penganggaran pembangunan. Setidaknya, suara
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
87
mereka kini sudah mulai didengar sebagai masukan bagi perumusan kebijakan. Kue pembangunan dari pos program ekonomi yang sebelumnya banyak tercerap untuk kelompok ekonomi kelas atas, kini mulai ada alokasi yang mengalir pada pos belanja pengembangan usaha kecil. Selain itu, melalui kegiatan penguatan Lembaga Ekonomi Desa (LED), ASPPUK menularkan kepada PUK materi-materi yang berkaitan dengan advokasi perencanaan dan penganggaran. Materi ini dirasa memberikan dampak yang luar biasa bagi PUK, terutama PUK perajin tenun. Berawal dari pengetahuan itulah, mereka mengetahui tentang berbagai kebijakan pemerintah kabupaten. Salah satunya PUK menjadi tahu bahwa dalam formula perencanaan pembangunan mengandung peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan. Salah satunya tentang rencana pemerintah kabupaten untuk pengadaan pakaian dinas untuk PNS dari bahan tenun lokal. Terhadap peluang ini, mereka pun mulai koordinasi dan konsolidasi untuk mematangkan advokasi agar peluang pasar domestik tersebut tidak diambil kelompok ekonomi pragmatis. Dalam pengalaman program procurement daerah jarangan sekali member peluang bagi keikutsertaan kelompok usaha kecil. Karenanya, demi memuluskan kepentingan tersebut hearing dengan anggota dewan dan eksekutif dilakukan agar memperoleh ijin terlibat dalam proses pengadaan barang dan
88
| Persembahan Perempuan untuk Desa
jasa pemerintah. Advokasi yang dilakukan oleh PUK, akhirnya memberikan hasil yang sangat menggemberikan. Pemerintah berkenan mengeluarkan SK Bupati No. 06/2011 tentang penggunaan kain tenun tenun kedogan bagi PNS Lombok Tengah yang pengadaannya dengan cara membeli pada pelaku usaha kecil lokal. Meskipun tidak mungkin datang setiap tahun, peluang procurement barang dan jasa yang diselenggarakan pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku usaha kecil lokal membawa berkah tersendiri bagi keberlanjutan usaha ekonomi lokal. Pada umumnya peluang pasar yang datang kepada para pelaku usaha kecil di daerah datang secara alamiah. Seperti pengalaman para pengrajin tudung (caping) bambu di desa-desa di Kecamatan Petanahan, Kebumen. Bangunan relasional pemasaran tudung yang dimiliki para pengrajin bermula dari banyaknya penduduk yang merantai ataupun bertransmigrasi ke lain daerah. Karena bermatapencaharian sebagai petani, akhirnya tudung banyak didatangkan dari Kebumen. Daerah-daerah pemasaran yang hingga hari ini masih menjadi langganan diantaranya Sumate ra, Lampung, dan Jawa. Keberkahan pelibatan PUK dalam procurement daerah tersebut tentu berdampak pada meningkatnya pendapatan pelaku usaha. Berdasarkan riset yang dilakukan ASPPUK secara kuantitatif terdapat peningkatan pen-
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
89
dapatan anggota PUK yang cukup fantastis. Dalam kurun waktu tiga tahun, peningakatan pendapatan anggota KPUK rata-rata mencapai 30 persen. Pengalaman Misnawati sebagaimana dieksplorasi dalam box dibawah ini, kiranya dapat menjelaskan salah satu dampak positif tersebut. Peningkatan Pendapatan Penenun Sukarare, Lombok Tengah Misnawati adalah PUK dari Dusun Belong Daye, Desa Sukarare Kec. Jonggat Kab. Lombok Tengah. Kesehariannya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang sekaligus penenun dan pengumpul dengan penghasilan awalnya sekitar Rp. 300.000/bulan. Misna mengenal ASPPUK melalui acara pameran yang kebetulan diselenggarakan di desanya, dan kemudian ia juga mengikuti kegiatan sosialisasi tentang JarPUK, lalu terbentuklah 2 kelompok yaitu kelompok Bahri, dimana ia menjabat sebagai ketua dan Kelompok Nirmala yang anggotanya masing-masing 10 orang perempuan penenun. Sejak bergabung dengan JarPUK, Misna bercerita bahwa ia dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti: pelatihan pengorganisasian, pengelolaan usaha, advokasi dan pameran. Melalui jaring an pemasaran yang difasilitasi oleh ASPPUK dan Pemerintah, penghasilan Misna sekarang menjadi meningkat hingga 1 juta perbulan, akunya. Bahkan apabila mengikuti pemarena, penghasilannya bisa mencapai 3-4 juta perhari. Hal serupa juga terjadi pada penenun lainnya, dimana selama ini mereka hanya produksi 1 lembar kain perbulan dengan penghasilan kotor Rp. 60.000,-. Sekrang setelah banyak pesanan, penghasilan mereka bertambah karena dalam satu bulan mereka bisa memproduksi sampai 4 lembar dengan upah perlembar Rp. 80.000, - 100.000,-, artinya minimal
90
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Pengalaman Mengakses Modal untuk KPUK-KUB, Kabupaten Kupang Salah satu KPUK di Kabupaten Kupang ada di Desa Oemasi, yang bernama Kelompok Usaha Baru (KUB) yang dibentuk pada Tahun 2004 dengan jumlah anggota 16 orang. Saat ini KUB memiliki modal sebesar Rp 8.500.000,- yang berasal dari iuran pokok dan iuran wajib anggota. Selain mengumpulkan uang dari anggota, KUB juga meminjam dana dari SPP PNPM sebesar Rp 11.500.000,yang dimanfaatkan untuk modal usaha. Selain berproduksi, KUB juga aktif mengikuti proses perencanaan dan penganggaran di tingkat desa, sehingga mereka difasilitasi mesin jahit dan mesin obras dengan anggaran sebesaar Rp 2.250.000,- dari APBDes.
Dari segi pendekatan, sepintas, pendekatan penguat an ekonomi yang ditempuh KPUK dengan model SPP (Simpan Pinjam untuk Perempuan) ada kemiripan. Keduanya sama-sama menjadikan perempuan kelompok penerima manfaat program pembangunan ekonomi. Namun secara substansi, kedua kelompok ini sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yaitu dari aspek strategi yang dibangun menuju kapasitas organisasional kelompok. Secara linear strategi penguatan kelompok yang diperankan masing-masing pendekatan dapat disimak pada gambar 2.5. dibawah ini.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
91
Gambar 2.5. Strategi Penguatan Kelompok
Untuk mengetahui titik perbedaan strategi penguatan kapasitas dalam konstruksi SPP dengan KPUK dapat disimak pada tabel berikut. Tabel 2.2. Perbedaan Pendekatan Penguatan Masyarakat Model ASPPUK dan SPP Indikator
KPUK
SPP
Pendekatan
Community Driven Development
Money Driven Development
Motovasi dalam pembentukan kelompok
Didorong oleh adanya kebutuhan untuk menyelesaikan persoalan ekonomi atau kemiskinan (kelompok membentuk modal)
Didorong oleh keinginan untuk mengakses modal untuk usaha atau kebutuhan lainnya (Modal membentuk kelompok)
Anggota kelompok
Perempuan yang sudah maupun belum memiliki usaha. Kebanyakan anggota kelompok adalah perempuan dari keluarga miskin
Perempuan yang sudah memiliki usaha.Tidak sedikit anggota kelompok justeru dari elite desa atau kelas menengah di desa
92
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Kekuatan Modal
Modal usaha biasanya dari Iuran anggota, namun ada juga yang berasal dari: 1. Jimpitan 2. Laba dari usaha bersama 3. Dana bergulir dari Pihak III Pinjaman yang diberikan kepada anggota kelompok biasanya di awal belum terlalu besar karena terbatasnya modal kelompok.
Modal usaha berasal dari UPK PNPMMP. Pinjaman yang diberikan kepada kelompok bervariasi, tergantung proposal yang diajukan. Ratarata dana berkisar antara 500 ribu – 1 juta.
Proses mengakses modal
Diskusi atau rembug anggota kelompok karena terbatasnya modal yang dimiliki kelompok
Modal diakses dengan cara mengikuti kompetisi. Proposal yang dinilai layak maka akan diberikan pinjaman modal dari UPK
Bunga pinjaman
Besaran bunga ditentukan berdasarkan hasil rembug kelompok
Bunga pinjaman sesuai aturannya, 15% untuk UPK dan tidak lebih dari 5% untuk kelompok.
Jenis usaha
Tidak ada batasan usaha, dan kalau pun ada, tergantung kebijakan di tingkat kelompok.
Diutamakan bagi warga yang ingin membuka usaha, tapi banyak yang tidak berhasil.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
93
Pengelolaan Keuangan
Bunga pinjaman dikelola untuk penguatan modal dan sebagian untuk SHU bagi anggota kelompok
Bunga pinjaman untuk UPK dan untuk kelompok. Untuk kelompok biasa dipergunakan untuk administrasi, transportasi desakecamatan.
Pola pemberdayaan
Antar anggota atau antar kelompok dalam jaringan PUK saling bertukar pengetahuan untuk memperkuat kapasitas PUK. ASPPUK juga melakukan pendampingan dan membangun jaringan baik antar kelompok mupun dengan pihak luar seperti pemerintah daerah, swasta maupun pasar.
Terdapat fasilitator sosial yang sebenarnya diperankan untuk membantu memperkuat kelompok, akan tetapi faktanya proses pendampingan dan penguatan kelompok tidak banyak dilakukan.
Fokus gerakan
Gerakan ekonomi dan Gerakan ekonomi keadilan gender
Harmoni dengan Alam Indonesia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam, seperti hutan, laut, bahan tambang, pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Kekayaan itu pastinya harus dikelola dengan baik dalam rangka pemenuhan hajat hidup orang banyak, sebagaimana yang diamanatkan
94
| Persembahan Perempuan untuk Desa
oleh konstitusi. Namun dalam prakteknya, alam kita semakin hari semakin hancur. Penyebab kehancuran tersebut dikarenakan kebijakan lingkungan yang tidak tepat, seperti pemberian ijin eksploitasi dan eksplorasi alam yang tidak proporsional kepada pihak swasta. Walaupun, ada juga kontribusi masyarakat yang turut merusak alam. Dua cerita berikut ini akan menggambarkan bagaimana perempuan berusaha menjaga harmoni dengan alam dalam rangka meningkatkan kese jahteraan mereka sekaligus menjaga kelestarian alam termasuk hutan. Hutan memiliki fungsi ekonomi yang dapat memberikan penghidupan bagi masyarakat desa. Hutan juga mempunyai fungsi sebagai penyangga kehidupan yaitu untuk menjaga kelestarian sumber air, memelihara kesuburan tanah, mencegah banjir, erosi dan juga sebagai tempat bernaung beraneka flora dan fauna. Oleh karenanya menjaga kelestariaannya mutlak harus dilakukan untuk menjaga keberlanjutan hidup manusia terutama warga masyarakat yang bermukim di desa pinggir hutan. Hutan juga merupakan sumber daya alam yang keberadaannya banyak terdapat di desa. Sebelum penguasaan hutan banyak diambil oleh negara, dulu masyarakat desa hidup harmonis dengan alam, sehingga hutan dapat memanfaatkan sumber dayanya tanpa harus merusak. Namun ketika hutan sudah banyak dikuasai oleh negara, akses rakyat terhadap hutan
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
95
pun semakin kecil. Bahkan tidak jarang rakyat hanya menjadi penonton ketika hutan mereka dieksploitasi oleh para pemodal dari luar. Ironis memang, rakyat yang seharusnya hidup hormonis dengan hutan, sekarang justru hanya menerima dampak dari pengrusakan hutan, seperti banjir dan longsor. Pengembangan ekonomi desa pinggir hutan harus menitikberatkan pada pengelolaan hutan untuk me ningkatkan kesejahteraan yang dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan komunitas atau wilayahnya. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat desa harus secara bersama-sama mengambil inisiatif dalam pengembangan ekonomi lokal. Salah satunya, dengan program pemberdayaan masyarakat. Selama ini yang dapat mengambil keuntungan terbesar dari kekayaan hutan justru para pemegang HPH yang memberikan kontribusi besar pada semakin menyempitnya areal hutan di Indonesia. Terlebih lagi para pemegang HPH yang dapat mengelola hasil hutan dari hulu sampai dengan hilir. Dalam banyak kasus, sepak terjang para pengusaha di bidang kehutanan ini meninggalkan kerusakan lingkungan hutan yang tentu saja menimbulkan akibat-akibat serius di bidang lingkungan. Secara umum akibat-akibat kerusakan lingkungan itu dirasakan secara luas, namun para penduduk di sekitar
96
| Persembahan Perempuan untuk Desa
hutanlah yang sebenarnya merasakan langsung. Terutama mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan, yang harus kehilangan lahan penghidupan. Bagaimana peran negara dalam hal ini pemerintahan pusat, pemerintahan daerah maupun pemerintahan lokal desa dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyatnya? Pertanyaan ini justru dijawab dengan fakta-fakta memperihatinkan yaitu semakin maraknya praktik penebangan hutan yang mendapatkan izin dari pemerintah dengan dalih investasi dengan segala akibatnya sebagaimana diuraikan di atas. Bagaimana pula de ngan pemberdayaan masyarakat sekeliling hutan dalam mengoptimalkan pemanfaatan hasil hutan? Dalam hal ini pun belum terlihat adanya upaya yang serius, sehingga dalam banyak kasus para penduduk di sekeliling hutan masih saja bekerja dalam batas-batas ekstraktif saja tanpa ada nilai tambah dari hasil kerja mereka secara ekonomi. Keadaan ini mengakibatkan nilai ekonomi hasil hutan yang dihasilkan oleh para penduduk di sekitar hutan cenderung stagnan. Ketiadaan kapasitas masyarakat yang memadai untuk melakukan pemberian nilai tambah pada produk hasil hutan turut serta memberikan kontribusi pada kemiskinan penduduk desa sekitar hutan yang secara geografis terpencil. Karenanya diperlukan upaya-upaya terobosan untuk meningkatkan nilai ekonomi hasil hutan.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
97
Di Indonesia ada sekitar 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, dimana sekitar 15 persennya masih tergolong dalam kerentanan hidup yang tinggi secara ekonomi. Pada sisi lain, laju deforestasi cukup tinggi, dengan rata-rata 1 juta ha/pertahun, dengan tingkat laju kerusakan tertinggi mencapai 2,5 juta per tahun pada tahun 1998-2000 (CIFOR: 2006). Dua persoalan inilah yang menyebabkan Kementerian Kehutanan mencari strategi terobosan baru dalam pe ngelolaan hutan, yang salah satunya melalui Program Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Mendorong kehutanan masyarakat pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang baik (good forestry governance), di mana di dalamnya terdapat unsur-unsur keadilan, kesetaraan, transparansi, dan demokratisasi. Upaya mendorong kehutanan masyarakat tidak hanya sebatas untuk menangani kendala-kendala kehutanan seperti deforestasi, mengingat deforestasi sendiri sesungguhnya tidak sesuai dengan pandangan-pandangan ortodoks yang menyebutkan bahwa itu terjadi secara bertahap, de ngan penyebab utama pertambahan penduduk dan aktivitas ekonomi masyarakat lokal yang berbasis lahan. Deforestasi tidak hanya dikendalikan oleh faktor-faktor lokal (semacam populasi), tetapi juga oleh faktor ekstra lokal yang lebih bersifat struktural, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik ekonomi (Eko: 2012).
98
| Persembahan Perempuan untuk Desa
Titik terang bagi masyarakat desa adalah ketika lahirnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Regulasi ini memberikan peluang akses masyarakat terhadap sumber daya hutan melalui kebijakan CBFM (Community Base Forest Man agement), seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat dan kemitraan. Peraturan Peme rintah ini juga menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat mendapatkan manfaat dari sumber daya hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan kelestarian hutan. Pasal 84 PP ini menyebutkan pula tiga skema pola pemberdayaan masyarakat sekitar yang dapat dilakukan, yaitu hutan kemasyarakatan, pola kemitraan, dan hutan desa. Le bih jelasnya mengenai model pemberdayaan dalam pe ngelolaan hutan sebagai berikut:
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa |
99
Tabel 2.3. Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Model
Jenis Hak/ izin
Jangka waktu
Pemberi izin
Penerima izin
Fungsi Hutan
Jenis Ke giatan
Hutan Kema syara katan (HKm)
Ijin pemanfaatan
35 thn dan dapat diperpanjang
Menteri Untuk kayu dan Bupati untuk non kayu
Kelompok dan koperasi
HP, HL, dan HK1
Pemungu tan kayu dan non kayu; pe manfaatan kawasan, jasa lingkung an, non kayu untuk HL dan pemanfaatan kayu untuk HP
Hutan Desa (HD)
Hak pengelolaan
35 thn dan dapat diperpanjang
Menteri Kayu dan Gubernur untuk non kayu
Lembaga desa dan atau BUMDes
HP dan HL
Idem dengan HKm
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Ijin pemanfaatan
60 thn dan dapat diperpanjang
Menteri dan dilimpahkan ke Bupati
Perorangan dan koperasi
HP
Pemanfaatan kayu
Kemitraan
MoU
Tergantung MoU
Pemegang ijin/ konsesi
Kelompok dan koperasi
HP, HL, dan HK
Tergantung MoU
Sumber: Naskah Akademik IRE-FPPD untuk RUU Desa
100 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Hutan Sesaot, Penghidupan Kaum Perempuan Secara secara normatif keempat model pemberdayaan masyarakat desa hutan sebagaimana dijelaskan pada tabel 2.3. diatas memberikan ruang yang besar atas pengelolaan sumber daya hutan. Namun dalam praktiknya masih sangat banyak kasus pengajuan ijin yang terbentur pada jalur birokrasi yang panjang dan sangat merepotkan bagi masyarakat desa. Mengingat besarnya arti hutan bagi masyarakat desa, maka banyak masyarakat desa dan pemerintah desa yang menempuh jalan birokrasi itu untuk memperoleh ijin, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan Hutan Sesaot, Lombok Barat. Sesaot banyak dikenal oleh masyarakat Lombok dan luar Lombok sebagai kawasan wisata alam yang cukup menarik untuk dikunjungi. Di kawasan ini terdapat banyak pohon-pohon yang kokoh dan tinggi dengan diameter pangkal batang utama tidak kurang dari 100 cm. Selain itu terdapat juga fasilitas pemandian berupa sungai yang penuh bebatuan. Sesaot memang tidak hanya dikenal karena hutan dan sungainya yang lestari saja, melainkan di kawasan ini terdapat struktur masyarakat dan sistem sosial yang unik. Masyarakat Sesaot adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan, yang selama ini memperoleh hak pengelolaan hutan dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hu-
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 101
tan kemsyarakatan adalah sebuah konsep pengelolaan hutan sesuai dengan fungsinya yang melibatkan pe ran serta masyarakat. Mereka warga masyarakat desa Sesaot adalah masyarakat hutan yang mencari nafkah lewat apa saja yang ada di dalam hutan kecuali kayukayu penting di areal lahan garapan mereka yang tidak boleh terjamah. Dalam rangka membentuk tatanan sosial yang berkelanjutan dan menjamin kelestarian alam dan manusia, masyarakt desa hutan Seaot mengatur diri di dalam beberapa perangkat hukum yang disebut awig-awig.22 Awig-awig tingkat pertama yaitu Forum Kawasan yang merupakan gabungan dari empat kelompok besar yaitu KMPH, Wana Abadi, Wana Dharma dan Wana Lesari berikut awig-awig dari masing-masing kelompok tersebut sebagai awig-awig tingkat kedua dengan aturan yang lebih spesifik. Lalu, berikutnya ada kelompokkelompok kecil yang ada di masing-masing dari keempat kelompok besar tersebut juga memiliki aturan yang lebih spesifik lagi, akan tetapi biasanya tidak tertulis. Hal-hal yang diatur di dalam Forum Kawasan me nyangkut persoalan-persoalan yang sifatnya umum. Pengaturan digelontorkan melalui mekanisme awig22 Awig-awig adalah aturan tidak tertulis yang disepakati bersama oleh masyarakat setempat. Namun dalam perkembangannya, ada pula awig-awig yang sengaja ditulis, dengan harapan agar terdokumentasi dan dapat dijaga konsistensinya hingga generasi berikutnya.
102 | Persembahan Perempuan untuk Desa
awig untuk mempertahankan status lahan hutan yang berdampingan dengan individu-individu yang hidup di antara hutan dan non-hutan. Hal-hal yang di atur di dalam awig-awig Forum Kawasan adalah: 1. Lahan kelola kelompok adalah hutan Negara yang tidak boleh dijadikan Hak milik. dan tidak boleh diperjualbelikan maupun digantirugikan/gantirugi lahan garapannya. 2. Penggarap bersama kelompok dan Forum kawasan wajib menjaga dan memelihara lahan kelola kelompok dari tindakan-tindakan yang Merusak Kelestarian Hutan seperti mengupas kulit pohon, mengambil akar, menebang, membakar, dll. dan melakukan Perlindungan Kawasan serta mengamankan Kawasan huta. 3. Penggarap adalah warga masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan sesaot yang dikuatkan dengan Keterangan dari desa yang bersangkutan (Desa Sesaot, Lebah Sempage, Sedau, Suranadi, Selat, Batu Mekar dan Batu Kumbung). 4. Bagi penggarap yang berada pada batas garis limit wilayah kelola, berkewajiban menjaga batas tersebut dengan menanam pohon-pohon pinang,pada jarak tertentu guna menghindari perambahan baru dan memelihara tanaman tersebut dengan melibatkan semua penggarap dan ketua-ketua blok. 5. Batas antar lahan garapan harus jelas, dengan tanda yang disepakati bersama disetiap kelompok dan tidak boleh dipindah-pindah. 6. Komposisi tanaman dilahan garapan dalam blok pengelolaan adalah 70% MPTs dan 30% kayu-kayuan dengan jenis yang disepakati oleh kelompok dan setiap penggarap dalam blok tersebut berkewajiban menjaga dan mengamankan semua tanaman tersebut dan semua tanaman dijaga bersama
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 103
7. Jarak tanam adalah 6 x 6 meter untuk tanaman MPTs dan jarak tanam kayu-kayuan 20 x 10 meter minimal 265 pohon/Ha atau 64 pohon/25 are dengan sebaran yang merata dengan komposisi MPTs dan Kayu sesuai dengan kondisi lapangan. 8. Penggarap tidak boleh menelantarkan lahannya dengan tidak menanam MPTs dan kayu-kayuan sesuai aturan yang disepakati atau tidak memelihara tanamannya sama sekali. 9. Dilarang mengganggu, merusak, mencuri tanaman dan hasil-hasilnya yang berada dilahan kelola kelompok yang akan mengakibatkan kerusakan kawasan atau merugikan penggarap 10. Dilarang memindahkan lahan kelola kepada pihak lain tanpa melalui mekanisme kelompok dan Pemindahan hak kelola lahan dari orang tua kepada anaknya harus dilakukan melalui kesepakatan dan mekanisme kelompok. 11. Tidak boleh tinggal menetap di dalam kawasan hutan dan membuat pondok permanen dalam kawasan hutan. 12. Dilarang beternak didalam kawasan hutan. 13. Untuk Penggarap yang lokasinya dekat mata air, daerah tebing, terjal, maka berkewajiban menanam tanaman pelindung mata air dan pelindung tebing untuk melindu ngi mata air dan menghindari longsor dengan tanaman yang telah disepakati 14. Dilarang melakukan galian C dalam kawasan hutan. 15. Bagi masyarakat yang menyaksikan pelanggaran di dalam kawasan, berkewajiban melaporkan hal tersebut pada ke lompok dan pelapor diberikan perlindungan dan identitasnya dirahasiakan. 16. Seluruh penggarap bersedia mematuhi awiq-awiq yang telah disepakati bersama dalam kelompok.
104 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Yang menarik dari cerita pengelolaan hutan Sesaot ini adalah, aktor yang banyak terlibat aktif mengoptimalkan kemanfaatan hutan bagi kehidupan yaitu perempuan, mulai dari penanaman, pemeliharaan, panen hingga pemasaran. Kaum laki-laki hanya mencangkul dan jenis-jenis pekerjaan tertentu saja. Ada beberapa kelompok perempuan yang cukup aktif diantaranya: 1. Kelompok Hidup Baru, kelompok ini terdiri dari 32 perempuan yang memiliki keingainan kuat untuk mengelola hutan dengan alasan kesejahteraan. Mengingat raraknya koperasi-koperasi yang masuk ke kampung Bajur menawarkan pinjaman dengan proses cepat dan bunga tinggi yang dalam perjalanananya justeru menjebak mereka pada hutang karena bunganya yang tinggi. 2. Kelompok Perempuan Ale-Ale. Pembentukan ke lompok perempuan Ale-Ale didasarkan atas kese pakatan anggota yang tergabung dalam satu kawasan hutan sesaot yang terdiri dari 3 desa. Alasan yang mendasari pembentukan kelompok ini pun tidak jauh berbeda dengan Kelompok Hidup Baru, yaitu alasan ekonomi. 3. Kelompok Dahlia. Kelompok Dahlia berdiri pada tanggal 21 januari 2006 dengan jumlah anggotanya 11 orang yang dilatarbelakangi dengan kebutuhan untuk mencari peluang usaha terutama dibidang pembibitan tanaman buah-buahan dan tanaman
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 105
kayu-kayuan, disamping itu kumpulam perempu an ini memiliki keterampilan sejak dulu dibidang pembibitan. Sedangkan wilayah kerja kelompok ini ada di wilayah Desa Suranadi. 4. Kelompok Perempuan Pade Mele Baru. Berdiri nya Gabungan kelompok Pade Mele Baru berdasar kan hasil pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 8 maret 2011 yang dihadiri oleh 4 kelompok perempuan (kelompok Melati, kelompok Ale-Ale, Kelompok Hidup Baru dan kelompok pade doang) yang berada diwilayah Desa Sesaot. Adapun yang menjadi latarbelakangnya, yaitu: pertama, tidak me ratanya kelompok-kelompok perempuan punya kesempatan dalam mengakses program-program baik dari pemerintah maupun dari pihak lain,dan disamping itu banyaknya program yang tumpang tindih ke salah satu kelompok. Kedua, banyaknya potensi komoditi hutan yang belum bisa diolah secara maksimal. Ketiga, usaha yang dikembang selama ini masih bersifat usaha perorangan. Di dalam kelompok-kelompok kecil baik perempuan maupun kaum laki-laki mengadakan arisan untuk saling membantu permodalan dalam pengelolaan lahan yang dikenal dengan istilah “besiru”. Besiru pada dasarnya adalah sebuah sistem yang dibangun antara pemegang hak kelola hutan untuk saling membantu secara bergantian dengan jadwal yang disepakati bersama.
106 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Masyarakat melalui kebudayaannya memang memiliki cara-cara tersendiri dalam menjaga harmoni kehidup an dengan alam, bukan sekadar mengambil hasil hutannya saja, tetapi juga bertanggung jawab agar menjaga hutan tetap lestari. Kemanfaatan ekonomis yang mereka dapat dari hutan selama ini bermanfaat mengeluarkan mereka dari jerat hutang karena kemiskinan. Pemanfaatan hutan memang bukanlah sumber pendapatan yang secara regular mengalirkan pemasukan bagi rumah tangga penduduk desa sekitar hutan. Tapi, dalam konteks neraca pendapatan rumah tangga, aktivitas ekonomi yang dijalankan oleh perempuan me lalui kelompok petani hutan diatas dapat mengurangi ketergantungan keluarga pada pendapatan aktiv yang biasanya banyak mengandalkan sektor formal.
Melawan Patriarki dengan Air Lombok, memang tidak dapat dilepaskan dengan budaya patriarkinya, terutama masyarakat suku Sasak. Demikian kira-kira kesimpulan yang kami dapatkan saat melakukan wawancara dengan pak Raden, salah seorang tokoh adat dari Desa Mambalan, Lombok Barat. Menurutnya budaya ini harus dirubah, agar pe rempuan mendapat posisi yang terhormat dan setara dengan laki-laki. Di Lombok dan banyak daerah lain di Indonesia, perempuan adalah aktor yang seringkali dilekatkan dengan kewajiban-kewajiban domestik. Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 107
Masyarakat suku Sasak menempatkan laki-laki pada struktur yang lebih tinggi dibandingkan posisi kaum perempuan. Dalam kehidupan rumah tangga, posisi tawar seorang istri lebih rendah. Dampak tidak langsungnya adalah kasus-kasu KDRT baik fisik maupun psikis yang menimpa perempuan Sasak. Mayoritas para suami di dusun Duduk Bawah sehari-harinya bekerja sebagai petani. Pagi-pagi sekali mereka berangkat ke sawah atau ladang yang cukup jauh dengan berjalan kaki sekitar 30-90 menit dari rumah mereka. Sedangkan para istri juga membantu pekerjaan suami-suami mereka, meski tidak selama suami yang bekerja hingga sore. Perempuan-perempuan tersebut bekerja di sawah hingga siang hari saja, mengingat mereka memiliki kewajiban lain yaitu mengurus rumah, anak-anak hingga menyiapkan kebutuhan suami mereka, baik makan maupun air untuk mandi. Bicara soal ketersediaan air, di kawasan pesisir Lombok Barat memang terbilang cukup sulit untuk mendapatkan akses air bersih. Terbilang hanya ada satu mata air yang letaknya cukup jauh dari pemukiman warga. Banyak kaum perempuan harus jalan kaki berkilo-kilo meter dengan medan yang cukup berat untuk sekadar mendapatkan air bersih. Sudah demikian, para perempuan harus merelakan tubuhnya untuk memikul air tersebut dengan ember atau jrigen yang pasti bobot nya tidak ringan. Perempuan biasa mengambil air dari
108 | Persembahan Perempuan untuk Desa
sumber mata air di pagi dan sore hari, ketika suami dan anak-anak mereka hendak memulai dan usai beraktifitas. Terkesan sederhana, tapi faktanya rumah tanpa air seringkali memicu terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga, terutama ketika suami pulang dari sawah dalam keadaan lelah dan kotor, sedangkan di bak penampungan air atau masyarakat lokal biasa menyebutnya bong tidak tersedia air untuk mandi. Pertengkaran tersebut tidak jarang berujung dengan tindak kekerasan atau bahkan perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap istri, ujar ibu Djumilah salah satu nara sumber kami. Tingginya tingkat kekerasan yang dipicu oleh persoalan “sumur” inilah yang memaksa perempuan berfikir keras keluar dari persoalan air yang cukup merepotkan mereka selama ini, mengingat jarak tempuh yang jauh untuk mendapatkan air bersih juga cukup menyita waktu mereka dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya. Berangkat dari beratnya beban perempuan serta dam pak yang mereka rasakan dari masalah air bersih inilah, para perempuan dusun Duduk, akhirnya melakukan pertemuan-pertemuan untuk sekadar berbagi persoal an hidup dengan sesama. Akhirnya, pertemuan-pertemuan tersebut melahirkan ide bagaimana strategi agar mata air yang berada jauh di punggung bukit desa dapat menjangkau rumah tangga penduduk desa tanpa
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 109
harus menguras energi. Para perempuan itu pun mulai menginisiasi sumbangan dalam bentuk uang sebesar 20 ribu/orang sehingga terkumpul dana Rp 8 juta. Uang tersebut selanjutnya mereka manfaatkan untuk membeli pipa sepanjang 3.000 meter dan membuat bak penampungan air di hulu dengan luas 2 m2 dengan ketinggian 1 m. Selanjutnya mereka pun berswadaya untuk menyalurkan ke rumah masing-masing. Pastinya mereka pun mengajak para suami mereka untuk bekerjasama membangun saluran air ini. Secara teknis, air yang keluar melalui mata air di tampung dengan bak penampungan hulu. Kemudian dari bak penampungan dihubungkan dengan pipa utama yang mengalir dari hulu ke areal pemukiman warga. Para perempuan itu pun bersepakat untuk membuat saluran air bersih dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Saat ini, air sudah bukan lagi menjadi persoalan rumit bagi perempuan di dusun Duduk Bawah. Hanya di saat-saat kemarau saja, terkadang mata air debit airnya menyusut. Pembelajarannya, gerakan 20 ribu dari warga perempuan untuk air bersih ini merupakan bentuk inovasi kemandirian perempuan menjawab kebutuhan dasar mereka yang selama ini kurang terperhatikan oleh negara. Inisiatif pembangunan saluran air tersebut memang bukan sekadar upaya perempuan untuk memi nimalisir terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Akan tetapi yang tidak kalah penting ada-
110 | Persembahan Perempuan untuk Desa
lah perempuan menjadi lebih banyak memiliki waktu un tuk diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat publik.
Pelopor Desa Sehat Kemiskinan seringkali berimplikasi pada persoalan kesehatan. Seseorang yang jatuh sakit rentan mengalami kemiskinan karena mahalnya biaya pengobatan. Artinya kemiskinan dan kesehatan adalah dua hal yang begitu dekat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Masalah layanan kesehatan kepada penduduk miskin selalu menjadi isu dari waktu ke waktu, meski terdapat perdebatan atas perbedaan indikator dalam mengukur kemiskinan. Masalah kesehatan sangat menonjol terutama pada golongan masyarakat miskin. Pendapatan dan kesejah teraan yang rendah menyebabkan mereka lebih memfokuskan sumber penghasilannya pada pemenuhan kebutuhan makanan daripada kesehatan. Di samping itu, kemiskinan telah memaksa mereka tinggal di lingkung an perumahan yang tidak sehat. Sebagian dari penduduk miskin tinggal di pemukiman kumuh, dengan sanitasi yang sangat buruk. Lingkungan hidup yang demikian sudah jelas membuat rentan kehidupan warga miskin dari berbagai serangan penyakit. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga juga mengakibatkan
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 111
ketidakmampuan rumah tangga mengkonsumsi makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup. Belum lagi perilaku hidup yang rendah dari masyarakat miskin kian memperkuat ancaman tersebut. Pelayanan kesehatan adalah salah satu bentuk pelayan an publik yang harus diberikan oleh negara kepada warganya. Di level kecamatan kita mengenal lembaga pelayanan beranama Puskesmas. Tujuannya sudah pasti untuk mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat desa. Sedangkan di level desa, kita mengenal lembaga layanan kesehatan beranama Posyandu atau Poskesdes. Kedua lembaga ini secara hierarkis tidak bertanggungjawab kepada Puskesmas ataupun Dinas Kesehatan, sekalipun secara programatik seringkali dijadikan obyek kebijakan dan program kesehat an. Posyandu dan Poskesdes yang tersebar di setiap desa memiliki tugas memberikan pelayanan kesehatan khususnya kepada ibu dan anak. Biasanya setiap desa terdapat beberapa Posyandu yang buka setiap jangka waktu tertentu. Operasionalisasi layanan Posyandu pada umumnya diperankan oleh kader-kader Posyandu yang tidak lain adalah warga perempuan dari desa setempat. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu rumah tangga. Posyandu di masa orde baru cukup berjaya, karena sistem yang sentralistik bisa memaksakan program hing-
112 | Persembahan Perempuan untuk Desa
ga dilevel bawah. Namun paska reformasi, Posyandu pun mulai redup. Pemerintahan SBY kemudian menghidupkan kembali Posyandu, seiring keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan kesepakatan internasional yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs) yang harus berhasil menurunkan angka kematian ibu hamil dan bayi pada tahun 2015. Di banyak desa, Posyandu digerakkan oleh kaum perempuan yang umumnya disebut Kader Posyandu (KP). Perempuan dengan loyalitas yang sangat tinggi ini begitu bersemangat menjaga kesehatan, bukan hanya kesehatan ibu dan anak melainkan juga kesehatan lingkungan. Posyandu memang tidak dibebani dengan tugas yang berat, akan tetapi tidak sedikit Posyandu yang justeru mampu melakukan tugasnya atau memiliki inovasi yang luar biasa dalam layanan kesehatan. Studi kami mendapati beberapa daerah di kawasan Indonesia timur memiliki posyandu yang didukung oleh kader-kader yang secara sukarela memelihara kegiatan posyandu. Sekalipun hanya mendapatkan honor sebesar Rp 10.000,- per bulan atau bahkan tidak mendapatkan honor sekalipun. Namun mereka tetap bekerja tanpa pamrih. Di Desa Kopang Rembiga, Lombok Tengah misalnya, para kader Posyandu dan kader Pemberdayaan Masyarakat bekerjasama untuk menjaga kesehatan lingkungan. Kerjasama tersebut juga berupaya membudayakan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), guna
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 113
mengubah pola hidup masyarakat yang awalnya sering buang air besar di sembarang tempat, perlahan-lahan bersedia membangun toilet yang bersih dan buang air pada tempatnya. Upaya ini tentu bukan pekerjaan mudah. Para relawan psoyandu bertandang dari rumah ke rumah warga dalam rangka sosialisasi hidup sehat, hingga akhirnya kesadaran hidup bersih di masyarakat pun mulai tumbuh dari setiap rumah tangga. Pelan tapi pasti kesadaran itu tertampil dalam bentuk kesediaan ibu-ibu hamil atau mereka yang mempunyai balita secara teratur memeriksakan kesehatan baik ke posyandu maupun puskesmas terdekat. Hal serupa juga disajikan oleh beberapa desa lain, se perti di Desa Pao dan Desa Julubori, Kabupaten Goa. Begitu pula di Desa Loli, Kabupaten TTS. Meski kondisi infrastruktur masih buruk serta pelayanan yang belum intensif, para kader posyandu tetap bekerja keras menjaga kesehatan lingkungan desa dan masyarakat. Setiap bulan mereka tetap menyelenggarakan kegiatan Pos yandu meski hanya menumpang di rumah salah satu kader saja. Tapi semangat untuk tetap memberikan pelayanan yang terbaik tetap dilakukan walau kondisi kesejahteraan mereka pun tidak banyak yang memperhatikan. Berbeda dengan desa-desa sebelumnya, cerita lain yang cukup maju berasal dari Gonda Baru, Kota Bau-bau.
114 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Kader-kader posyandu di kelurahan ini semula terjebak pada rutinitas kegiatan Posyandu saja, seperti pemeriksaan kesehatan ibu dan anak, penimbangan balita dan sesekali ada penyuluhan dari tenaga kesehatan yang ahli. Kader di Gonda Baru mengembangkan kegiat an posyandu menjadi lebih beragam. Sebagai ruang koordinasi antarkader arisan dipilih menjadi kegiatan yang dipandang paling efektif. Melalui forum arisan ini, proses tukar menukar informasi dan pengetahuan berlangsung, sehingga mendorong kreasi-kreasi baru dalam upaya-upaya pengembangan fungsi posyandu sebagai wadah untuk penyehatan masyarakat. Salah satu inisiatif yang cukup menonjol adalah pembudayaan gerakan menanam tanaman obat-obat tradisi onal. Kader-kader posyandu digerakkan untuk meman faatkan lahan kosong menjadi warung hidup. Sedikit lebih maju lagi dari Gonda Baru, Posyandu di Kelurahan Bugi, masih di Kota Baubau, mengorientasikan model penguatan kesehatan masyarakat dengan cara mengembangkan keberdayaan ekonomi lokal. Ibu-ibu rumah tangga digiatkan untuk memanfaatkan jahe dan kunyit menjadi produk minuman instan alami. Beberapa kisah di atas dapat memberikan pemahaman bahwa Posyandu sejatinya merupakan kelembagaan lokal yang berpotensi sebagai modal sosial yang cukup signifikan mendorong terwujudnya kesehatan masyarakat dari dalam. Kesadaran para kader Posyan-
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 115
du menjadi semacam energy kinetic yang mampu menggerakkan mindset dan cara pandang baru masyarakat dalam menghayati kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Ibu-ibu rumah tangga menjadi lebih care merawat kesehatan ibu hamil, bayi yang dilahirkan, balita yang diasuh para perempuan, serta menjalankan kehendak pemerintah nasional untuk mensukseskan KB. Di posyandulah masyarakat dapat mengoptimalkan berbagai kreasi layanan kesehatan secara mandiri.
Reformasi Adat untuk Keadilan Gender Di banyak negara berkembang termasuk Indonesia keadilan gender sering dikaitkan dengan masalah budaya dan agama. Budaya dan adat yang berkembang di masyarakat dunia ketiga seringkali menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat. Budaya yang berkembang di masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan yang berimplikasi pada keharusan perempuan untuk patuh dan taat pada laki-laki sebagai suami di konteks keluarga. Ketidakadilan gender sebagai akibat dari budaya patriarkhi sangat kuat melekat di masyarakat. Budaya patriarki yang kian terlanggengkan melalui nilai budaya, sosial dan norma kehidupan telah membawa dampak pada pembedaan akses, peminggiran dan kekerasan terhadap perempuan.
116 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Adat yang berkembang pada umumnya tidak berpihak kepada perempuan. Salah satunya dalam hal pembagian hak waris dalam sebuah rumah tangga. Di desa Mambalan kabupaten Lombok Barat, ada beberapa atur an adat yang merugikan perempuan, misalnya dalam pembagian waris dan model pernikahan. Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan berada pada posisi yang lebih dirugikan daripada laki-laki. Model pernikahan yang berjalan selama ini, banyak merugikan pe rempuan karena banyak dilakukan dengan perempuan di bawah umur, terutama di daerah pedesaan. Dampak ikutannya yakni banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, karena secara psikologis belum matang. Ke biasaan poligami yang cukup jamak mentradisi dalam kaum lelaki di Lombok pada umumnya membawa kerentanan tersendiri atas munculnya kekerasan fisik dan psikis pada perempuan dan anak-anak. Di sektor lapangan kerja, adanya segmentasi jenis kelamin dalam praktek penerimaan karyawan dan promosi jabatan sangat merugikan perempuan. Ketidakadilan gender yang berlangsung di masyarakat akan menghambat perkembangan kesejahteraan ma sya rakat karena perempuan yang memiliki potensi andil dalam membangun kesejahteraan langkahnya masih tertahan oleh budaya patriarki. Oleh karena itu perlu ada dekonstruksi pada tataran nilai sosial, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan perubah
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 117
an pola hubungan sosial yang lebih adil gender. Hasil studi IRE di Lombok Barat menemukan restorasi adat yang cukup progresif di desa Mambalan. Desa Mambalan secara kasat mata tidak jauh berbeda dengan desa-desa lainnya di Lombok. Keunikan desa ini adalah terletak pada upayanya tetap bertahan de ngan status desa adat. Desa dengan penduduk 4.573 jiwa dan luas 384,85 ini konon merupakan desa tua dengan nilai-nilai adat yang kuat. Desa yang berdiri sekitar tahun 1650-an ini awalnya terdiri dari 11 dusun. Sselanjutnya pada tahun 2010 mengalami penyusutan jumlah dusunnya, karena kebijakan pemekaran desa. Kata Mambalan berasal sendiri berasal dari kata Meam bal-ambal yang artinya bersama-sama atau patuh-patuh, Menurut tokoh-tokoh masyarakat setempat dan para leluhur desa, kata “Mambalan” ini sinonim dengan kata Rembitan (Reme Bi Entan) yang dapat diartikan dengan patuh. Masyarakat Mambalan sampai sekarang masih mempertahankan identitas atau jati dirinya sebagai masyarakat adat, Identitas tersebut dapat dilihat dengan masih berlakunya status sosial dalam masyarakat seperti; Datu, Raden, Lalu, dan Jajar Karang, namun ini bukan berarti antara mereka tidak saling menghargai, tetapi kerukunan selalu dikedepankan karena motto mengambal–ambal itu tetap menjadi pegangan utama yaitu kebersamaan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
118 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Desa Mambalan cukup dikenal di Lombok maupun di luar Lombok karena upayanya tetap mempertahankan nilai-nilai adat yang kuat. Desa Mambalan memang tergolong memiliki banyak penduduk miskin, tercatat dari 1.299 KK, 896 diantaranya adalah rumah tangga miskin. Masyarakat desa Mambalan kebanyakan berpenghasilan dari sektor buruh, baik buruh lepas, buruh tani maupun buruh tukang. Selain itu masih banyak juga penduduk yang belum bekerja, dan berdasarkan data pemerintah desa, tercatat 1.430 jiwa yang belum bekerja. Di bidang pendidikan tercatat 1.481 penduduk tidak bersekolah atau tidak tamat SD, 1.232 tamat SD, dan hanya 320 penduduk yang tamat SLTP, 337 tamat SLTA, 30 orang yang tamat program diploma, dan 18 orang tamat S1. Pendidikan masih dirasakan sebagai persoalan penting bagi desa. Meskipun pemerintah sudah menyediakan sejumlah sekolah, namun persoalan ekonomi dan budaya dinilai masih menjadi penghambat akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Sedangkan untuk bidang kesehatan, pemerintah desa juga masih cukup tergopoh-gopoh dalam menyelesaikan masalah-masalah kesehatan, perilaku hidup sehat yang masih rendah mengakibatkan ada banyak wabah penyakit yang sering muncul di desa, baik TBC, demam berdarah dan lain-lain. Desa Mambalan tidak jauh berbeda dari sisi kapasitas keuangan dengan desa-desa lainnya di Lombok. Ta-
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 119
hun 2010 tercatat penerimaan dalam APBDes sebesar Rp. 1.487.367.000, Namun hanya sebagian kecil saja yang dikelola oleh desa, selebihnya hanya berupa bantuan yang peruntukan dan pengelolaannya diluar tanggung jawab pemerintah desa, seperti PNPM dan raskin. Pemerintah desa masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah terkait dengan agenda pengurangan kemiskinan, misalnya masalah pengangguran dan tingkat pendapatan penduduk yang masih rendah. Termasuk de ngan masalah pendidikan, kesehatan, lingkungan dan lain-lain. Selain itu, pengaruh adat yang kuat juga membawa permasalah tersendiri, dimana banyak persoalan sosial yang dipengaruhi budaya patriarki. Pertama, banyaknya pernikahan perempuan di bawah umur. Banyak perempuan di Desa Mambalan yang dipaksa oleh orang tua untuk menikah sebelum waktunya. Dan, tidak jarang pula diantara perempuan desa Mambalan yang menikah dengan status sebagai istri kedua, ketiga dan seterusnya. Orang tua seringkali tidak memikirkan soal masa depan anak perempuan, dan tidak jarang mereka dipaksa meninggalkan sekolah hanya karena dipaksa untuk menikah. Masa depan anak perempuan seringkali tidak banyak diperhatikan oleh para orang tua, dan oleh sebagian orang tua berangapan bahwa ketika anak mereka dinikahkan dengan seorang laki-laki, maka itu lah masa depan mereka.
120 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Kedua, banyaknya pernikahan yang tidak tercatat atau pernikahan di bawah tangan. Di desa Mambalan, perkawinan siri itu dianggap lumrah atau wajar oleh sebagian besar penduduk, dan banyak dari mereka yang belum menyadari resiko-resiko dari pernikahan yang tidak disahkan oleh negara tersebut. Pernikahan tidak tercatat pun kemudian akan rentan dengan resiko perceraian yang tidak tercatat, dan suami bebas memiliki istri lebih dari satu. Angka kawin cerai pun terbilang cukup tinggi sebagai resiko dari perkawinan tidak tercatat. Peluang laki-laki melakukan poligami menjadi besar, mengingat perempuan menjadi aktor yang pa ling dirugikan dari perkawinan tidak tercatat ini. Ketiga, tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. RPJM Desa juga mencatat persoalan KDRT sebagai masalah sosial yang banyak terjadi di Desa Mambalan. Budaya petriarki memang turut menyumbang pada tingginya angka KDRT mengingat perempuan yang bertugas menyelesaikan urusan domestik seringkali diposisikan lebih rendah dari pada laki-laki yang bekerja di ranah publik, sehingga memicu terjadinya perselisih an dalam rumah tangga yang berujung pada tindak kekerasan baik fisik maupun psikis. Keempat, banyaknya TKI yang bermasalah. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Lombok merupakan salah satu daerah yang menyumbang TKI yang cukup
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 121
besar ke luar negeri, salah satunya berasal dari Desa Mambalan. Angka kemiskinan yang tinggi dan sulitnya mendapatkan pekerjaan memaksa banyak perempuan di Desa Mambalan memilih untuk hijrah menjadi TKI di luar negeri. Akan tetapi pilihan tersebut ternyata tidak cukup mampu menjadi solusi bagi persoalan rumah tangga mereka.Terkadang yang terjadi justru sebaliknya, banyak TKI yang pulang dengan membawa persoalan, baik yang dipulangkan paksa karena persoalan administrasi hingga ada pula yang pulang karena mendapat tindak kekerasan dari majikan. Dalam adat suku Sasak, perempuan seringkali mendapat perlakuan tidak adil tidak hanya dalam urusan publik, melainkan juga private. Dalam urusan publik, akses perempuan seringkali dibatasi. Perempuan tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan maupun kesempatan untuk tampil dalam ruang-ruang publik. Sedangkan dalam hal private, pe rempuan selalu mendapatkan waris yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Selain itu juga, terkait dengan perkawinan, adat Sasak tidak memper kenankan anak perempuan suku sasak dari kelas bangsawan mendapatkan laki-laki dengan kasta yang lebih rendah, dan apabila hal tersebut sampai terjadi, artinya aka nada sanksi keras, dimana anak perempuan bisa “dibuang” dari keluarga.
122 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang tua yang sudah mulai gelisah dengan aturan hukum adat yang menomorduakan perempuan tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang memikirkan khawatir pada nasib anak perempuan mereka. Akan tetapi seringkali para orang tua pun tidak bisa berbuat banyak me lawan hukum adat yang dinilai diskriminatif. Hukum pada dasarnya memiliki dua sifat pokok, yaitu bersifat mengatur (regelen/anvullen recht) dan bersifat memaksa (dwingen recht). Yang diatur oleh kaidah hukum adalah perilaku masyarakat untuk menciptakan suasana ke teraturan, ketertiban, ketentraman dan kedamaian. Sedangkan sifat memaksa suatu kaidah hukum tercermin dari penerapan sanksi oleh penegak hukum dari semua pelanggaran yang dilakukan.23 Sistem hukum di Indonesia cukup majemuk. Hukum negara bukan satu-satunya hukum yang ada di masya rakat, tapi ada hukum adat dan hukum agama yang tumbuh dan berkembang di suatu komunitas. Hukum adat dan hukum agama seringkali lebih mendapat perhatian dari masyarakat daripada hukum negara. Hal serupa terjadi pula pada implementasi awig-awig di desa Mambalan, dimana awig-awig lebih mendapatkan pengakuan dan ditaati oleh masyarakat dari pada hu23 Rachmat Syafa’at, dkk., Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lo kal, In-Trans Publishing dan ANA Konsultan Hukum, Malang, 2008, hlm. 55.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 123
kum negara dikarenakan beberapa alasan: Pertama, dari sisi substansi awig-awig berisi nilai-nilai konkret yang bertujuan untuk menata harmonisasi antar manusia dengan manusia dalam komunitas serta antara manusia dengan alam atau lingkungannya. Dalam perkembangannya, awig-awig mulai bergeser yang awalnya hanya mengatur soal-soal private dan komunitas, kini mulai mengatur hal-hal yang berkaitan dengan wacana publik sebagaimana yang terjadi di desa Mambalan. Kedua, dari sisi proses perumusan atau pembuatannya, awig-awig disusun oleh masyarakat secara kolektif, de ngan tetap memperhatikan kebutuhan komunitas. De ngan kata lain tingkat partisipasi yang tinggi dalam proses perumusan awig-awig membuat masyarakat me rasa memiliki aturan tersebut. Hal ini berbeda dengan hukum negara yang cenderung bersifat sentralistik me lalui implementasi politik yang universal, dimana kodifikasi hukum diberlakukan bagi seluruh rakyat dalam teritori negara, sehingga jarang memperhatikan kearif an-kearifan lokal. Ketiga, adanya paksaan berupa sanksi sosial bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sanksi yang diberikan oleh awig-awig terhadap berbagai jenis pelanggaran merupakan bentuk ancaman nyata bagi masyarakat karena akan berakibat semakin terasingnya si pelanggar hukum dari lingkungan sosialnya. Keem pat, layaknya hukum adat yang lain, awig-awig relatif adaptatif dengan perkembangan zaman, dimana awig-
124 | Persembahan Perempuan untuk Desa
awig sangat fleksibel untuk dilakukan perubahan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, tidak kaku dan tidak melalui mekanisme yang rumit untuk proses revisinya, asalkan sudah mendapat kesepakatan bersama.
Awig-awig untuk Perlindungan Sosial Awig-awig sebagai instrumen hukum masyarakat suku Sasak telah mengalami pergeseran dari awalnya mengatur norma-norma yang terkait dengan persoalan pri vate dan community yaitu relasi antar orang dalam komunitas maupun antara manusia dengan alam. Saat ini sudah mulai merambah ke persoalan publik yang menjadi ranah negara. Atas musyawarah bersama para tokoh adat dan masyarakat termasuk kaum perempuan, Awig-awig mulai diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah seperti soal-soal pela yanan publik. Urusan pendidikan dan kesehatan sudah tidak hanya dimaknai sebagai tanggung jawab negara saja, melainkan sudah mulai dirasakan menjadi tanggung jawab bersama, dimana warga harus turut terlibat dalam mengurus soal-soal publik tersebut. Awig-awig di desa Mambalan disahkan dan terdokumentasi mulai pada bulan November 2009. Pengesah an awig-awig tersebut dilatarbelakangi oleh kesadaran akan pentingnya menghidupkan dan mempertahankan
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 125
nilai-nilai kearifan lokal. Dengan sedikit memodifikasi awig-awig agar dapat selaras dengan zaman-nya, maka para tokoh penting (stakeholder) di desa Mambalan bersepakat untuk mengabadikannya dalam wujud dokumen tertulis layaknya sebuah Peraturan Desa. Dusun Mambalan adalah salah satu dusun yang me lakukan adaptasi awig-awig terhadap isu dan tantangan kekinian. Sebagai pranata lokal, awig-awig mengalami transformasi, yang selama ini hanya berkutat pada isu-isu komunal, lalu berkembang sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial dan mampu melin dungi kelompok-kelompok rentan. Pak Raden adalah salah satu tokoh penting yang mengawali reform ini. Ia ingin pembaharuan awig-awig dapat menata dengan selaras atas kondisi lingkungan sosial, bebas dari praktik diskriminasi terhadap perempuan karena kentalnya budaya patriarki pada suku Sasak. Karena itulah pak Raden secara perlahan menata awig-awig, agar nilainilai adat lebih berkeadilan gender. Saat ini hampir seluruh dusun di desa Mambalan sudah memiliki awigawig yang tertulis dan berisi pengaturan tentang isu-isu publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Point penting dari pengaturan awig-awig yang telah terbarukan antara lain: Pertama, dalam bidang pendidikan diatur tentang kewajiban bagi orang tua untuk mema sukkan anak mereka pada institusi pendidikan formal.
126 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Anak perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan hingga 9 tahun. Pengaturan ini dirasakan penting mengingat selama ini hak anak perempuan untuk memperoleh pendidikan seringkali terabaikan (berbeda dengan anak laki-laki). Dulunya anak perempuan hanya disekolahkan hingga tamat SD saja, berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mengenyam pendidikan hingga sekolah lanjutan. Rendahnya pendidikan anak perempuan berdampak pada tingginya perkawinan usia muda dan juga memicu tingginya tingkat kekerasan dalam rumah tangga maupun perceraian. Awig-awig yang ada saat ini mengatur tentang pengaturan hak anak untuk mengenyam pendidikan minimal hingga SLTP, dan ada sanksi bagi orang tua yang tidak menjalankan perintah awig-awig tersebut berupa teguran dari kepala dusun maupun ketua RT. Awig-awig meletakkan pendidikan sebagai tanggung jawab semua pihak, bukan hanya kewajiban orang tua saja. Awig-awig mengharuskan setiap warga desa turut serta memperhatikan pendidikan anak-anak usia sekolah di lingkungan. Termasuk memperhatikan anak-anak yang memiliki kelainan fisik/mental. Kedua, dalam bidang kesehatan, awig-awig memberikan perlindungan kepada perempuan terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Perempuan yang hamil diwajibkan untuk memeriksakan kesehatan ke Posyandu, Polindes, Bidan maupun Dokter praktek
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 127
sesuai kemampuan masing-masing. Selain itu, proses persalinan pun harus ditolong oleh tenaga medis guna menekan angka kematian ibu dan bayi saat melahirkan. Awig-awig juga menjadi instrumen untuk menekan angka angka gizi buruk yang dulunya terbilang tinggi, karena awig-awig mewajibkan orang tua untuk memeriksakan balitanya ke Posyandu. Di Posyandu setiap bayi dikontrol kesehatannya sehingga perlahan-lahan mulai memperbaiki kualitas gizi balita. Serupa dengan pengaturan dalam bidang pendidikan, dalam bidang kesehatan pun diatur sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan untuk menimbulkan efek jera karena adanya hukuman sosial bagi yang tidak mentaati per aturan. Diakui oleh kepala dusun Mambalan, awig-awig ini terbukti efektif mengikat perilaku publik mengarah pada satu kesepakatan bersama diatas seperti upayaupaya pengurangan angka kematian ibu melahirkan dan balita. Ketiga, awig-awig tentang “aji krame” yang mengatur relasi perempuan dan laki-laki dalam hubungan perkawin an maupun waris. Dalam adat suku Sasak, perempuan dari golongan bangsawan dilarang menikah dengan laki-laki yang tidak memiliki status yang sama. Sanksi atas pelanggaran tersebut, maka anak perempuan akan dibuang dari keluarganya. Anak perempuan tersebut juga akan kehilangan seluruh haknya. Begitu juga nilai adat yang mengatur tentang pembagian waris, dimana
128 | Persembahan Perempuan untuk Desa
anak perempuan seringkali mendapatkan bagian yang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan anak lakilaki. Keberadaan awig-awig ini pun selanjutnya ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi kaum pe rem puan, dimana nilai-nilai adat yang diskriminatif terhadap perempuan harus segera dirombak. Bukan hal yang mudah untuk melakukan reformasi atas nilainilai adat. Akan tetapi proses penyadaran terus dilakukan dengan melakukan pendekatan kepada para tokoh-tokoh adat, mengingat banyak juga orang tua yang sudah berpikiran maju dan tidak sepakat dengan nilai adat yang diskriminatif terhadap anak perempuan mereka. Hingga akhirnya warga pun bersepakat untuk melakukan perombakan atas nilai-nilai adat yang tidak berkeadilan gender tersebut. Pergeseran sifat awig-awig dari yang awalnya tidak ter tulis menjadi tertulis lebih dikarenakan tujuan agar masyarakat mengetahui secara utuh isi dari awig-awig tersebut. Disamping itu keberadaan awig-awig tertulis bisa menjadi secara jelas diketahui tidak hanya oleh generasi saat ini, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Awig-awig yang bersifat tertulis ini sudah 4 tahun berlaku di masing-masing dusun, dan per lahan-lahan masyarakat pun mulai merasakan dam paknya, misalnya yang terkait dengan awig-awig aji krame, sehingga saat ini prosesi membuang anak pe rempuan yang dinilai melanggar adat pun sudah mulai
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 129
ditinggalkan. Melihat perkembangan awig-awig yang manfaatnya mulai dirasakan secara nyata oleh masya rakat, pemerintah desa pun kemudian merasa penting untuk mendorong dusun yang lain mempunyai awigawig yang serupa guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Saat ini seluruh dusun di desa Mambalan telah memiliki awig-awig yang serupa, dan diyakini oleh pemerintah desa bahwa keberadaan awig-awig tersebut telah berhasil meninkatkan derajat kesehatan masyarakat serta membuat masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan bagi putra putri mereka.
Khasiat Buah Belimbing untuk Si Miskin Pengalaman berharga lainnya yang tidak kalah pen ting untuk disampaikan adalah saat IRE mendukung salah satu CBO lokal bernama Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Surya Abadi yang menjalankan program di desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Perempuan kembali menjadi aktor penting dalam program ini, dimana ide kreatif perempuan untuk memanfaatkan buah belimbing yang melimpah di desanya menjadi bermacam-macam pro duk olahan ternyata merupakan upaya kunci yang me reka lakukan untuk menjawab kemiskinan. Masyarakat setempat banyak yang mananam buah belimbing dalam jumlah yang cukup besar. Setiap 1 Ha
130 | Persembahan Perempuan untuk Desa
lahan perkebunan terdapat 500 pohon dengan kapasitas produksi 80 Kg/Pohon/Tahun. Dari lahan perkebunan tersebut terdapat potensi ekonomi yang sangat signifikan, dimana dari 8500 pohon belimbing menghasilkan produksi 660.000 Kg (660 Ton)/Tahun. Jika harga jual rata – rata Rp. 3.000,- maka hasil perkebunan mencapai Rp. 1.980.000.000,- per tahun. Tetapi selama ini tingkat pendapatan dan kesejahteraan para petani belim bing stagnan karena penghasilan mereka terkadang tidak sebanding dengan biaya produksi yang telah mereka keluarkan. Biaya produksi yang mereka keluar kan meliputi pengairan, pemupukan, pendangiran, penyemprotan, pembungkusan, dan penjarangan buah. Selama ini petani belimbing menjual hasil panennya langsung dalam bentuk buah segar dengan harga yang bervariatif. Mulai Rp. 1.500,- sampai Rp. 4.000,-/Kg dan harga mengikuti musim. Dari permasalahn tersebut diatas, maka BKAD Surya Abadi sebagai Lembaga Sosial yang salah satu tujuannya untuk pemberdayaan masyarakat, mencoba melakukan inovasi untuk mengolah buah belimbing segar menjadi produk – produk kemasan (sirup, sari buah, keripik, selai, manisan dan jelly) yang mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Langkah pertama yang dilakukan BKAD Surya Abadi adalah memberikan pelatihan bagi para ibu rumah tangga supaya mereka mempunyai pengetahuan, keahlian, dan keterampilan untuk mengembangkan diversifikasi
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 131
produk olahan dari buah belimbing. Selanjutnya mereka juga melakukan pendampingan kepada para pe rempuan tersebut agar kualitas hasil makanan olahan bisa baik. Selain itu, ada upaya juga untuk membuka jaringan pasar sehingga produk yang dihasilkan bisa segera terjual dan mereka mendapatkan keuntungan yang cukup guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan diolahnya belimbing menjadi aneka panganan olahan, seperti sirup, sari buah, manisan, keripik, dan lain-lain, ternyata mampu memberikan nilai lebih bagi perempuan-perempuan kreatif ini. Kreatifitas lain perempuan mengembangkan potensi ekonominya juga dapat kita baca pada pengalaman pe rempuan di pesisir kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Gunungkidul hingga 2011 lalu masih identik dengan daerah miskin, gersang dan sulitnya akses terhadap air bersih. Namun disisi lain, masyarakat Gunungkidul memiliki semangat kerja yang kuat dan solidaritas yang tinggi. Penelitian IRE di Gunungkidul tentang livelihood menunjukkan cukup banyak pelajaran, bagaimana pe rempuan justeru menjadi penyangga dan penyelamat ekonomi rumah tangga, sebagaimana yang kami temui di desa Kemadang, Gunungkidul. Desa ini banyak dikenal karena wisata pantainya, dimana terdapat 6 pantai, dua diantaranya yang terkenal adalah Pantai Kukup dan Pantai Baron. Berkembang
132 | Persembahan Perempuan untuk Desa
nya objek wisata di desa ini mengakibatkan banyak masyarakat yang kemudian menggantungkan hidup dari sektor pariwisata maupun kelautan. Ada yang bekerja sebagai pedagang, pemilik homestay, pengolah makanan hasil laut. Banyak pula warga laki-laki desa yang bekerja sebagai nelayan. Yang tak kalah menarik dari desa ini adalah banyak kelompok yang diinisiasi pembentukannya oleh dinas terkait, dalam rangka mengakses bantuan modal maupun alat kerja serta kegiatan-kegiatan pelatihan dalam rangka program pemberdayaan. Salah satu kelompok disana bernama Kelompok Mina Mandiri. Kelompok ini awalnya terbentuk dari kelompok nelayan Pantai Baron dan Drini (Kelompok Badri), kelompok ini berkembang menjadi kelompok simpan pinjam dan penjualan peralatan nelayan beranggota 30 orang dengan aset saat ini mencapai 5 M. Namun tidak hanya anggota kelompok yang boleh meminjam, yang bukan anggota juga dapat meminjam dengan aturan tertentu. Kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung pada musim, baik musim yang dipengaruhi oleh alam maupun musim libur. Hal ini jelas berbeda dengan mereka yang bekerja pada sektor formal maupun primer, kebijakan pemerintah atas penataan kawasan pantai, kondisi alam maupun konflik atau persaingan dagang menjadi kerentanan yang mengancam sustainable liveli hood mereka.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 133
“Jualan di pantai seperti ini hasilnya musiman, kalau pas musim libur, saya bisa dapat hingga 800 ribu, untung bersih mencapai 200 ribu per hari, tapi kalau lagi sepi mau dapat untung 50 ribu saja sulit, bahkan kalau bulan puasa begini malah sehari bisa gak dapat apa-apa.” (Mbak Yum, Pedagang warung di Pantai Baron) Berdagang memang ada kalanya ramai dan tidak jarang juga sepi. Apa yang diungkapkan oleh Mbak Yum ini adalah gambaran penghidupan pedagang di Pantai Baron dan Kukup pada umumnya. Mbak Yum sendiri berjualan di Pantai Baron sudah cukup lama, baginya tidak ada pilihan pekerjaan lagi selain berjualan, mengingat ia tidak memiliki keahlian lebih. Berjualan memang tidak dapat menjanjikan keuntungan yang besar, mengingat ada banyak kebutuhan seperti modal dagang dan biaya sewa tempat yang terbilang mahal. Selain biaya sewa tahun sebesar 1,75 juta, ia juga harus mengeluarkan biaya perpanjangan sewa sebesar 86 ribu per 3 bulan dan biaya retribusi harian dengan hitungan 200 rupiah per meter, dimana tokonya memiliki luas sekitar 15 meter artinya setiap hari ia harus membayar 3.000 per meter. Cerita serupa juga dialami oleh pedagang-pedagang lain yang berjualan di sekitar pantai, seperti yang dikeluhkan oleh Situm, seorang pedagang souvenir, maupun kios-kios pengolahan ikan. Artinya, biaya sewa tempat yang terbilang cukup mahal ternyata menjadi
134 | Persembahan Perempuan untuk Desa
beban tersendiri dalam mengembangkan usaha. Padahal di sisi lain, mereka juga memiliki kebutuhan yang cukup besar seperti biaya sosial di dusun, iuran dan simpan pinjam di kelompok masing-masing, maupun biaya hidup yang tidak sedikit. Biaya hidup ditengarai sebagai komponen pengeluaran terbesar rumah tangga, diakui mereka dalam sehari minimal pasti keluar uang 25 ribu untuk kebutuhan makan dan jajan anak. Penghasilan para istri nelayan yang menggantungkan hidup dari berdagang memang terbilang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan-nelayan itu sendiri, sebagaimana tergambar pada tabel berikut:
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 135
Tabel 2.4. Kepemilikan aset dan tingkat kerentanan nelayan dan pedagang pantai di Kemadang Jenis Pekerjaan
Kepemilikan Aset
Pemanfaatan Aset
Pen dapatan
Nelayan (Lakilaki)
Keahlian melaut secara tradisional, memiliki kapal dan perlengkapan melaut yang merupakan pemberian dari pemerintah, memiliki lahan pertanian sedikit serta hewan ternak
Pendapatan mereka sangat bergantung pada alam, dalam setahun pasti ada musim angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Pada saat tidak melaut, nelayan memilih menjadi petani atau buruh guna menyambung hidup.
Musim angin: tidak melaut Kalau melaut dan banyak ikan bisa mencapai 30-100 ribu
Sangat rentan terhadap alam
Peng rajin dan pedagang souvenir (Perempuan)
Memiliki keahlian membuat souvenir dari pelatihan yang dilakukan oleh Pemda, serta difasilitasi tempat berdagang tanpa dikenakan biaya sewa yang tinggi.
Keahlian yang dimiliki terus dikembangkan untuk membuat produk yang inovatif
Sepi : 20 ribu Ramai: 200 ribu
Rentan terhadap akses permodalan dan bahan baku
136 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Kerentanan dan Permasa lahan
Peda gang wa rungan (Pe rempu an)
Memiliki kesempatan untuk mengakses modal usaha yang cukup besar melalui kelompok atau bank
Sepi: kurang dari 50 ribu Ramai: 100-200 ribu
Rentan terhadap kebijakan penataan lokasi
Pengolah makanan laut (Perempuan)
Memiliki keterampilan mengolah makanan, memiliki alat kerja pengolahan makanan yang cukup lengkap bantuan dari pemerintah
Sepi : 20 ribu Ramai: 150-200 ribu
Konflik antar pedagang
Perempuan pengolah ikan ternyata memiliki pendapatan 2-3 kali lipat daripada suami mereka yang bekerja sebagai nelayan. Sektor pariwisata yang hidup di desa ini juga memberikan kontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi meskipun perempuan menjadi penyangga utama per ekonomian keluarga, namun mereka tetap dibebani de ngan kewajiban-kewajiban domestik, termasuk mela yani suami dengan menyiapkan makanan, mencuci pakaian, dan lain-lain. Meningkatnya pendapatan per-
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 137
empuan ternyata belum cukup mampu mendorong relasi gender yang seimbang dalam rumah tangga.
Partisipasi Perempuan dalam Perencanaan dan Penganggaran Desa Musyawara Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa adalah bagian penting dalam proses pembangun an di desa, oleh karena regulasi mensyaratkan pen tingnya partisipasi masyarakat termasuk kaum perempuan dalam proses tersebut, agar pembangunan tidak bias kepentingan elite dan berorientasi pada fisik semata. Musrenbang desa yang diselenggarakan setiap tahun, merupakan wadah bagi seluruh masyarakat untuk saling berdiskusi dan memutuskan prioritas pembangunan apa saja yang akan diselenggarakan di desanya, dan tidak jarang pembangunan fisik selalu mendominasi usulan, mengingat komposisi gender yang tidak seimbang dalam proses tersebut. Kalau pun ada perempuan, seringkali suara mereka tidak banyak diberi kesempatan untuk tampil, walhasil, keputusan musrenbang desa pun dari tahun ke tahun tidak ba nyak yang berubah. Upaya untuk mendorong partisipasi perempuan dalam musrenbang pun akhirnya menjadi sangat penting, bukan sekadar keterhadirannya saja, melainkan bagaimana suara perempuan bisa mempengaruhi proses dan
138 | Persembahan Perempuan untuk Desa
hasil musrenbang desa, agar program dan kegiatan yang dilahirkan pun sensitif pada kebutuhan kaum pe rempuan. Inilah yang sudah mulai dirintis oleh banyak desa, baik di wilayah Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB dan wilayah Indonesia lainnya. Di Gunungkidul, perempuan sudah banyak terlibat dalam proses musrenbang desa, yang banyak mengangkat isu-isu pemberdayaan perempuan, seperti pelatihan, fasilitasi usaha, dan lain-lain, dengan harapan dapat menghidupkan ekonomi lokal. Hal serupa juga terjadi di banyak desa, termasuk di Desa Bumi Pajo, Kabupaten Bima. Dahulu anggapan perempuan hanya mampu dalam urusan domestik terbantahkan oleh pikiran kaum pe rempuan yang lebih kritis dibanding laki-laki yang selama ini mendominasi perencanaan desa. Terbukti bahwa Kader Perempuan Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPPMD) yang dibentuk LP2DER Desa Bumi Pajo telah diakui oleh kepala desa mampu menghasilkan dokumen RPJMDes yang lebih berkualitas. Terbentuknya KPPMD telah menggugah perempuan desa terlibat dalam kegiatan desa. Hingga 40% perempuan hadir dalam pertemuan di kantor desa, dibanding dahulu yang hadir hanya sekitar lima orang tokoh pe rempuan saja. Kaum perempuan ini ketika diberi ruang untuk musyawarah tidak hanya sekadar hadir, mereka cukup aktif bertanya, berbicara mengajukan usul
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 139
di desa. Bahkan kepala desa ini mengakui kewalahan membatasi suara perempuan dalam pertemuan. Mas’ah (42 tahun) adalah salah satu sebagai kader telah mendorong perempuan agar mampu mempengaruhi pengambilan keputusan di desa. Ia telah menjadi kader desa sejak tahun 2006, ia pun menjadi pemimpin kelompok perempuan/ibu rumah tangga bernama Wadu Tuti. Aktifnya kelompok Wadu Tuti terlihat dengan masuknya kelompok ini bergabung dengan kelompok tani (Gapoktan Mancina) yang sebagian besar adalah laki-laki. Wadu Tuti turut menyertakan modal untuk mengembangkan usaha Gapoktan. Perkembangan Gapoktan selama 2-3 tahun berjalan cukup baik sehing ga mendapat apresiasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Namun pada pertengahan tahun 2010, managemen organisasi gapoktan mengalami kemunduran karena tidak ada transparansi dalam pengelolaan keuangan. Sebagai orang yang dipercaya dalam kelompok perempuan, Mas’ah memperjuangkan hak nya untuk bertanya dan meminta pertanggungjawaban laporan pengurus gapoktan dan melengserkan pengurus gapoktan. Respon negatif justru diterimanya de ngan teror dan ancaman dari pengurus. Terlebih pihak pemerintah (BUKP) menyatakan pengurus lama yang diakui dan tetap berlaku kepengurusannya. Mendapat perlakuan yang tidak adil, maka kelompok Wadu Tuti sepakat keluar dari keanggotaan gapoktan.
140 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Gerakan perempuan tidak berhenti sampai disitu. Me reka melakukan inovasi terhadap kegiatan lain, termasuk berinovasi memanfaatkan pekarangan dengan menanam sayuran untuk mengisi waktu luang setelah kelompok Wadu Tuti dinyatakan bubar. Ternyata sa yuran yang ditanam di pekarangan rumah cukup subur dan hasil panen sayuran itu dibagikan ke warga sekitar nya. Berkat dorongan LP2DER kepada warga yang te lah mendapatkan sayuran gratis, maka anggota kelompok perempuan yang telah bubar itu bersatu kembali mengkampanyekan gerakan pengembangan pemanfaatan pekarangan untuk kebutuhan memasak seharihari. Mereka para perempuan, membentuk kelompok lagi dengan nama kelompok P2KP (Pemanfaatan Pekarangan dan Kesejahteraan Petani). Itulah sebabnya di Desa Bumi Pajo tidak pernah terjadi kelaparan dan kurang gizi.
Dari Perempuan untuk Kemandirian Desa | 141
Bab III Menyibak Makna Dibalik Cerita
Cerita tentang gerakan inovasi dan emansipasi perempuan di level desa tidak pernah akan ada habisnya. Pasti akan selalu muncul dengan isu dan dinamika yang beragam, namun memiliki tujuan yang nyaris sama, yaitu sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka dan bentuk perlawanan atas budaya patriarki. Kisah yang terangkai dari cerita-cerita perempuan diatas memberikan banyak pelajaran berharga, bukan hanya untuk pe rempuan yang lain, melainkan bagi desa yang selama ini terpinggirkan oleh pembangunan yang seringkali diabaikan oleh negara. Cerita ini pun pastinya akan sangat bermakna bagi perjuangan desa untuk mendapatkan pengakuan negara dalam RUU Desa, baik pe ngakuan atas organisasi masyarakat yang ada di desa termasuk organisasi perempuan, perencanaan pemba ngunan yang partisipatif, pemberian kewenangan ke-
Menyibak Makna Dibalik Cerita | 143
pada desa, hingga hak desa dalam mengelola sumber daya alam. Perempuan yang awalnya tidak banyak diperhitungkan di tingkat desa, faktanya justeru melahirkan berbagai bentuk emansipasi yang bermakna besar. Mereka yang bergerak baik secara individu seperti kisah ibu Saidah, hingga yang berkelompok seperti community centre, KPPMD, KPUK dan lain-lain, sedikit banyak telah me nunjukkan bukti bahwa perempuan dan desa memiliki kapasitas untuk menggerakkan aset atau capital di tingkat lokal sebagai bukti kemandirian desa. Meski PP No. 72 Tahun 2005 tidak banyak memberikan ruang bagi hadirnya organisasi kemasyarakatan utamanya orga nisasi perempuan di desa selain PKK, namun dalam perkembangannya, di desa telah tumbuh begitu banyak organisasi perempuan yang memang keberadaannya harus direkognisi dan difasilitasi oleh pemerintah desa.
Kebangkitan Organisasi Perempuan Model pembentukkan organisasi perempuan di desa pun cukup beragam. Pertama, organisasi yang lahir seba gai konsekuensi program dari atas atau pemerintahan supra desa, yang banyak dipelopori oleh kementerian/ lembaga atau SKPD. Masing-masing sektoral memiliki program yang beragam dan tidak jarang setiap program melahirkan organisasi juga, misalnya: Kelompok SPP
144 | Persembahan Perempuan untuk Desa
PNPM-MP, Kelompok PUAP, Kelompok Wanita Tani dan masih banyak lagi. Organisasi ini dibentuk melalui kebijakan atau bahkan regulasi sebagai syarat untuk peluncuran berbagai jenis bantuan, yang trend belakangan cukup marak adalah dalam rangka pemberian bantuan modal usaha. Kedua, organisasi yang dibentuk oleh pihak diluar desa, baik oleh swasta maupun NGO. Program CSR perusahaan juga merupakan salah satu pemicu lahirnya berbagai organisasi di desa. Riset IRE di Kutai Kartanegara misalnya menemukan ada banyak organisasi di desa berbentuk yayasan yang pembentukkannya didorong oleh PT Total Indonesie dan Chevron sebagai perusahaan migas terbesar di Kaltim. Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Anggana adalah salah satu contoh organisasi bentukan perusahaan, dalam rangka mengakses dana program CSR. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan, yang anggotanya juga didominasi oleh kaum perempuan. Hal serupa juga dilakukan oleh NGO, tidak sedikit NGO yang menginisasi lahirnya organisasi di desa dalam rangka menjalankan program mereka. Ketiga, organisasi yang dibentuk oleh peme rintah desa, misalnya kelompok-kelompok pengelola BUMDes. Sejak BUMDes menjadi primadona di desa mengingat ada banyak cerita sukses BUMDes yang menjadi “ilham” bagi desa-desa lain, belakangan mulai marak dibentuk BUMDes dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan pening-
Menyibak Makna Dibalik Cerita | 145
katan PADes pada khususnya. Kelompok pengelola Air Bersih sebagai bagian dari unit usaha BUMDesa adalah salah satu contohnya, dimana organisasi ini dibentuk oleh pemerintah desa, meski dengan model yang partisipatif, dan dikuatkan melalui regulasi desa. Keempat, organisasi yang lahir dari dalam masyarakat sendiri, berangkat dari kebutuhan bersama untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial. Terlepas bagaimana proses terbentuknya organisasi perempuan tersebut, yang perlu diapresiasi adalah kinerja mereka dalam melakukan perubahan, semangat loyalitas dan kerja keras tanpa kenal lelah. Kader Pos yandu yang identik dengan “ujung tombok kesehatan keluarga” (bukan ujung tombak), perlu diapresiasi luar biasa upayanya menjaga kesehatan lingkungan dan masyarakat.
Tantangan Menjawab Kemiskinan Desa yang identik dengan kemiskinan, dijawab oleh JarPUK, Kelompok Mina Mandiri, Kelompok Perempuan di sekitar Hutan Sesaot dan BKAD Surya Abadi melalui kegiatan produktif dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar mereka. Desa memiliki kekayaan yang luar biasa, dan mereka pun tidak hanya terjebak pada modal alam dan finansial saja, melainkan memanfaatkan seluruh potensi yang ada seperti modal fisik, modal
146 | Persembahan Perempuan untuk Desa
manusia, hingga modal sosial pun tidak luput dari analisa mereka yang harus dimanfaatkan dalam menjawab tantangan kemiskinan. PUK menjawab tantangan modal dengan melakukan kegiatan jimpitan. Mina Mandiri memanfaatkan modal sosial dengan memperkuat kelompok, dan kelompok perempuan di sekitar Hutan Sesaot serta BKAD Surya Abadi memanfaatkan potensi alam yang mereka olah menjadi bahan pangan yang memiliki nilai lebih. Krea tifitas tanpa batas inilah yang akiharnya membuat mereka perlahan-lahan bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Artinya, desa tidak perlu hanya se penuhnya berharap dari turunnya program pemerintah yang bernama “Penanggulangan Kemiskinan”, mengingat sesungguhnya masyarakat sendiri pun memiliki ke mampuan, hanya saja seringkali tidak menyadari akan potensi yang ada. Pemerintah melalui program penanggulangan kemis kin annya pun seharusnya bisa membaca kebutuhan dan potensi yang ada di tingkat lokal, sehingga program tidak lagi bias kepentingan dari atas saja, melainkan berbasis pada masyarakat. Perencanaan partisipatif dan proses musrenbang desa bisa menjadi ranah yang mempertemukan berbagai kepentingan, baik dari atas, dari luar maupun dari dalam desa itu sendiri. Artinya harus ada sinergi antar aktor, baik pemerintah seba-
Menyibak Makna Dibalik Cerita | 147
gai pemegang kebijakan dan regulasi, masyarakat dan pihak swasta untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan di desa.
Mendorong Kesetaraan dan Keadilan Gender Ketika perempuan sudah bergerak, ketika perempuan sudah berdaya secara ekonomi, ketika perempuan sudah memiliki posisi tawar yang kuat dalam perumusan kebijakan, pertanyaannya apakah perjuangan perempuan sudah selesai? Apakah cerita Ibu Misnawati maupun kelompok perempuan pengolah di Pantai Kukup dan Baron yang berhasil meningkatkan pendapatan mereka, lantas mereka sudah menikmati yang namanya keadilan gender? Melawan budaya patriarki memang tidak mudah, apa lagi yang sudah dikemas dengan adat dan agama. Akan tetapi bukan tidak mungkin mewujudkan keadilan gender, dimana ada pembagian peran dan kerjasama di dalamnya. Meningkatnya kapasitas dan pendapatan perempuan pastinya sebuah langkah baik untuk me ningkatkan posisi tawar perempuan, bukan hanya di ranah private melainkan juga di ranah publik. Kita tidak sedang bersekutu melawan laki-laki, akan te tapi kita harus mampu menjadi mitra bagi lakilaki dalam menjawab persoalan bersama, persoal an kemiskinan, persoalan akses dan kualitas pela yan an 148 | Persembahan Perempuan untuk Desa
publik yang masih rendah, diskriminasi gender, hingga persoalan hak pengelolaan sumber daya alam yang masih belum cukup berpihak pada kepentingan ma syarakat desa. Inilah pesan penting yang ingin kami sampaikan bagi para perempuan Indonesia agar mampu menjadi sahabat bagi perempuan lainnya, bagi para laki-laki yang masih terjebak dalam budaya patriarki, dan bagi negara yang selama ini masih memandang desa sebelah mata.
Menyibak Makna Dibalik Cerita | 149
Daftar Pustaka
AR, Mustopadidjaja. 2012. Bappenas dalam Sejarah Pe rencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025. Jakarta: LP3ES-Peguyuban Alumni Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappe nas). Dewi, Rosita, Fiskara Indawan, Imam Gunadi, M. Noor Nugroho (dkk.). 2011. Ketahanan Perekonomi an Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global. Laporan Perekonomian Indonesia 2011. Jakarta: Bank Indonesia. Brod, Harry. 1992. Hegel’s Philosophy of Politics Idealism, Identity, and Modernity. Boulder, San Fransisco & Oxford: Westview Press. Gertner, Jon. 2011. Mengukur Kesejahteraan Menga pa Produk Domestik Bruto bukan tolok ukur yang tepat untuk menilai kemajuan?. Mutiara Arumsari dan Fitri Bintang Timur (Penerj.). Jakarta: Marjin Kiri
Daftar Pustaka | 151
Haryanto, Titok dan Wa Ode Fitri. 2012. Melawan Kemis kinan Berbasis Potensi Lokal: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Teng gara. Stock Taking Study: Pembelajaran dari ACCESS Tahap II Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Yogyakarta: IRE-ACCESS. Hasanudin, Tubagus Maulana. 2009. Relasi Gender dalam Perspektif Akses dan Kontrol Terhadap Sumber Daya: Kasus pada Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Pur wakarta, Provinsi Jawa Barat. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Kabeer, Naila. 1994. Reversed Realities Gender Hierarchies in Development Thought. London-New York: Verso. Mariana, Dina dan Sutoro Eko. 2012. Emansipasi Lokal di Tengah Desa Transisional: Pembelajaran Ber harga dari Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Stock Taking Study: Pembelajaran dari Program ACCESS Tahap II Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Yogyakarta: IRE-ACCESS. Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prasetyantoko, A, Setyo Budiantoro, Sugeng Bahagijo (Eds.). 2012. Pembangunan Inklusif Prospek dan Tantangan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
152 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Prayitno, Ujianto Singgih. 2010. Memerangi Kemiskinan Dari Orde Baru sampai Reformasi. Jakarta: P3DI Sekretariat Jendral DPR RI. S, Ikhsan. 2012. Analisis Peran Kelompok Perempuan Pe sisir dalam Upaya Pengembangan Kemandirian Ekonomi Berbasis Rumput Laut di Kabupaten Takalar. Makassar: Mahasiswa Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin. Sa’adah, Yaya Septia Khuria. 2012. Efektifitas Sistem Pen gawasan Pemberian Pinjaman Unit Pengelola keuangan (UPK) pada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mugi Waras: Program Pin jaman Bergulir PNPM di Desa Kembaran Ke camatan Kebumen. Kebumen: Program Studi Akuntansi Sekolah Tinggi Ekonomi Putra Bangsa. Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminisme: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Kelik Ismunanto dan Lilik (Penerj.). Yogyakarta: IRE Press. Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru: Perlawanan Ko munitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Sa mosi. Yogyakarta: IRE Press. Soetomo. 2009. Pembangunan Masyarakat Merangkai Se buah Kerangka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sucipto, Ani W dan Shelly Adelina. 2013. Suara dari Desa Menuju Revitalisasi PKK. Jakarta: Marjin Kiri.
Daftar Pustaka | 153
Surat Kabar dan Majalah Kompas, Edisi, 3 April 2013 Kompas, Edisi, 4 April 2013 Colours, Edisi, April 2013 Jurnal Perempuan, Edisi, 48 tahun 2006
154 | Persembahan Perempuan untuk Desa
Tentang Penulis
Dina Mariana. Setelah menamatkan studi dari Fakultas Hukum UGM (2005), melanjutkan S2 (2010) di kampus yang sama dengan konsentrasi pada Hukum Kenegaraan. Bergabung dengan IRE Yogyakarta sejak Tahun 2006 sebagai peneliti dengan fokus penelitian pada isu Deepening Democracy. Pengalaman mengikuti Training Metodologi Feminis menjadi dasar dalam melakukan berbagai riset dengan menggunakan kacamata feminis yang sensitif pada problem ketidakadilan gender terutama di ranah desa sebagai ruang publik dan dalam kehidupan domestik. Berbekal pisau analisis feminis tersebut, saat ini ia sedang berjuang mendorong RUU Desa yang peka terhadap hak perempuan. Borni Kurniawan. Selesai menamatkan studinya di Fa kultas Teknik Universitas Darul ‘Ulum Jombang, pada tahun 2004 hijrah ke Malang untuk belajar Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Tentang Penulis | 155
Widya Sasana. Dunia penelitian ditekuninya sejak bergabung dengan IRE Yogyakarta secara voluntary pada tahun 2005. Saat ini dipercaya sebagai salah satu peneliti di lembaga yang berdiri pada tahun 1994 tersebut dengan concern kajian governance and policy reform. Pada tahun 2010, bersama Sutoro Eko Yunanto menjadi Tim Ahli Bappenas untuk sebuah studi Kelembagaan Lokal di lima provinsi. Saat ini sedang bermunajat di Magister Ekonomika Pembangunan (MEP) UGM Yogyakarta.
156 | Persembahan Perempuan untuk Desa