BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebuah situs Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan memuat sebuah acara tentang upacara tradisional di sebuah desa yang termasuk wilayah Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan yang dijadwalkan pada bulan April tahun 2012. Situs dari dinas tersebut saya lihat pada bulan Oktober 2012 ketika saya dan tim mendapat tugas untuk melakukan penelitian di sebuah desa yang menghadirkan upacara tersebut. Upacara tradisional yang dimaksud adalah upacara mendhak atau masyarakat (dan instansi kedinasan) menyebutnya sebagai upacara nyanggring, sebuah tradisi adat yang dilakukan setiap satu tahun sekali di Desa Tlemang. Ketika wawancara dengan pihak dinas saat itu, promosi acara mendhak baru dilakukan tahun itu. Namun, begitu memasuki tahun 2013 dan pergantian susunan pengurus dinas, situs dinas sudah tidak lagi menampilkan dan menghilangkan berita tentang upacara tersebut. Dengan
sebuah
buku
referensi
tentang
upacara
tradisional
mendhak/nyanggring oleh Rudjiati, dkk. yang terbilang lawas (diterbitkan pada tahun 1991 1 ) kami jadikan sebagai pedoman untuk mengenal upacara adat mendhak yang sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang. Upacara tradisional yang sempat masuk dalam paket wisata yang diadakan oleh 1
Lihat Rudjiati, dkk. 1991. Upacara Adat Mendhak/Nyanggring di Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1
Dinas Pariwisata Kabupaten Lamongan pada bulan April tahun 2012 belum mampu menarik wisatawan untuk menyaksikan upacara tersebut. Akan tetapi, apakah upacara tersebut menarik perhatian pengunjung atau tidak, masyarakat Tlemang tetap akan melakukan tradisi itu. Seperti penuturan Pak Yari, mantan Kepala Dinas Pariwisata: “Nyanggring itu upacara adat yang sudah ada sejak zaman Belanda, dan hingga kini masyarakat Desa Tlemang masih menjalankan upacara adat nyanggring. Tujuan upacara adat tersebut dihubungkan dengan sejarah upacara nyanggring, yakni untuk merayakan wisudanya Ki Buyut Terik. Mungkin sebenarnya harus disebut mendhak-an, karena setelah upacara nyanggring semua masyarakat akan berziarah ke makam Mbah Ki Buyut Terik.” Upacara tradisional mendhak bagi pihak dinas pariwisata merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan dan memperlihatkan kebudayaan yang masih konsisten di tengah arus globalisasi dan modernisasi dimana banyak anggapan bahwa mempertahankan hal yang kuno sudah tidak begitu menarik. Pada sisi lainnya, justru keberadaan tradisi tersebut menguatkan pemikiran bahwa masyarakat pendukung masih sangat memerlukan tradisi dan di sana akan terlihat bagaimana tradisi itu dipertahankan. Selain itu, tradisi mendhak juga menjadi salah satu contoh keberagaman budaya Indonesia dalam hal upacara tradisional. Keberagaman budaya yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kebudayaan oleh Koentjaraningrat meliputi bahasa, sistem religi, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, organisasi sosial, dan sistem peralatan hidup dan teknologi (1990: 217) mendapatkan banyak perhatian terlebih di Indonesia yang memiliki ragam budaya yang sangat banyak. Para peneliti baik peneliti dari Indonesia sendiri bahkan dari luar negeri pun begitu memperhatikan keragaman 2
budaya dimana dari kebudayaan-kebudayaan yang terlahir di sebuah tempat kemudian dilakukan oleh masyarakat pendukungnya menjadikan sebuah tradisi itu sebagai pedoman hidup untuk mencapai ketentraman hidup dengan memenuhi kebutuhan spiritualnya. Mengutip Abdullah (2002), “Kajian mengenai upacara suatu suku bangsa semakin menarik, selain menemukan bentuk-bentuk aslinya, juga memungkinkan untuk melacak gagasan-gagasan yang melatarbelakangi tindakan itu.” Pada pengambilan fokus tentang sistem religi, yang lebih sering dibicarakan adalah mengenai upacara memiliki andil besar dalam menjalankan segala aktivitas hidup kelompok masyarakat pendukungnya. Menurut Julian Steward, upacara dibentuk dari hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya sehingga melalui upacara
dan
ritual
(tradisional)
masyarakat
mampu
mengekspresikan,
melestarikan dan mengomunikasikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya agar menjadi referensi hidup, dan mewujudkan solidaritas sosial (Moran, 2002 dalam Hudayana, dkk., 2012: 1). Sebuah upacara yang sering disebut oleh para ahli antropologi sebagai bentuk simbolisasi keeksistensian manusia terhadap lingkungan sebagai bentuk pemikiran dari segala bentuk kegiatan sosial sehari-hari (Geertz, 1983: XI-XII dalam Abdullah, 2002: 3-4) sehingga sebuah upacara masih sering dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan sejak nenek moyang mereka. Upacara merupakan sebuah fenomena sosial yang sangat kompleks. Meskipun ini dianggap sebagai milik/properti studi agama (lihat Leach, 1968), dari segi aktifitasnya, terdapat banyak sekali hal (termasuk yang tidak berkaitan dengan agama) yang secara teknis dapat 3
dimasukkan dalam kategori ritual. Turner (1969 dalam James, 2003) membagi ritual ke dalam dua kelompok besar; yakni ritual yang bersifat religius dan ritual yang bersifat sekular. Ritual yang pertama didorong oleh alasan dan dogmadogma agama dalam pelaksanaannya, sementara yang kedua lebih mirip dengan perayaan. Dari segi perspektif keilmuan yang digunakan, Bell (1992: 3) menunjukkan betapa ritual telah menjadi objek kajian, metode penelitian, perspektif, dan bahkan menjadi style dalam berbagai disiplin ilmu. Berangkat dari pemikiran Turner tentang ritual religius dan ritual sekular, hal ini menjadi pertimbangan lain dalam membahas kajian yang akan diuraikan dalam skripsi ini. Pembahasan mengenai perbedaan upacara dan ritual sendiri dibahas berdasarkan terhadap paradigma kebutuhan masyarakat terhadap tindakan religi tersebut. Misalnya saja Soehada (2008) mengutip Turner (1966: 19) mengartikan ritual sebagai perilaku formal yang dilakukan secara berkala dan mengacu pada tindakan yang didasari keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis dan membedakannya dengan upacara yang sifatnya lebih pada rutinitas yang sifatnya teknis. Kemudian, Eliade (1987 dalam Soehada, 2008) menyebut ritual sebagai pengertian perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang sebagai wujud keyakinan keagamaan, dan upacara merupakan kegiatan yang menunjuk pada tindakan sebagai acara sosial (social event). Upacara dan ritual dibedakan pada saat pengambilan keputusan dan berdasarkan anggota yang akan mengikuti kegiatan tersebut. Akan tetapi, seringkali upacara juga sering disebut sebagai kegiatan agama komunal yang melibatkan seluruh masyarakat yang berada dalam lingkup wilayah lingkungannya, dan ritual lebih 4
pada kegiatan yang berhubungan dengan agama dan keyakinan, serta kegiatannya dan ekonominya lebih menggunakan milik pribadi. Dengan pembedaan yang jelas antara ritual dan upacara, maka diharapkan akan terlihat bahwa nyanggring yang dahulunya dijadikan sebagai upacara tradisional (Lihat Bab III), belakangan ini mengalami pergeseran-pergeseran akibat adanya pengaruh-pengaruh luar yang justru menyebabkan berubahnya pandangan dan makna mendhak bagi masyarakat Tlemang saat ini (Lihat Bab IV). Upacara yang dilakukan oleh masyarakat lokal di beberapa tempat masih sangat terasa kental dengan dibumbui mitos-mitos dan keyakinan dari masyarakat itu sendiri. Kemudian masyarakat yang masih yakin dengan mengadakan upacara dan ritual tetap menjalankannya sesuai dengan tata cara dan perilaku yang biasa mereka lakukan seperti nenek moyang mereka. Akan tetapi, seringkali upacara dan ritual tidak begitu dikenal oleh para pendukungnya sehingga pengadaan upacara ritual sudah tidak menjadi hal yang penting lagi, dan terjadi penurunan-penurunan pada aspek-aspek pelestarian budaya terlebih pada aksi solidaritas sosial yang mengadakan upacara dan ritual. Memudarnya upacara ritual bisa jadi disebabkan karena kemajuan teknologi di era modern yang lebih mengedepankan informasi-informasi lain, namun jarang untuk menampilkan informasi tentang budaya lokal. Kemungkinan hal ini terjadi karena gerakan modernisasi yang muncul pada masa Orde Baru (Hudayana, 2012:1) dimana pada masa itu penguasa mulai meminggirkan budaya tradisional dengan alasan ingin mewujudkan pembangunan yang akan mengangkat kesejahteraan
5
masyarakat sehingga informasi mengenai budaya tradisional atau lokal hanya bisa didapatkan pada buku cetak pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Pada tataran sosial, perubahan-perubahan akibat pengaruh faktor-faktor internal yang muncul dari dinamika yang tumbuh dari dalam atau pun akibat pengaruh yang berasal dari luar masyarakat pendukung kebudayan (Sairin, 2002: 7). Akan tetapi, perubahan-perubahan yang terjadi tidak benar-benar mengubah nilai-nilai budaya yang tertanam dalam diri masyarakat. Seperti pada aspek perubahan sosial, dimana pranata-pranata di dalamnya menuntut ikut berubah menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan adanya pengaruh-pengaruh aspek-aspek lain seperti politik dan ekonomi memunculkan sebuah paradigma baru terhadap makna mendhak bagi masyarakat pendukung yang menjalankannya.
1.2 Permasalahan Dalam buku Rudjiati (1991) tentang upacara mendhak di Desa Tlemang belum banyak dibahas bagaimana masyarakat memaknai upacara pada beberapa aspek yang memengaruhinya, seperti aspek sosial, aspek religi, politik dan ekonomi.
Upacara mendhak
yang
dikemukakannya hanya
menguraikan
mekanisme pelaksanaan upacara mendhak yang diadakan selama empat hari berturut-turut pada tanggal 24 sampai 27 Jumaddilawal seperti membersihkan sumber mata air (sendhang) dilakukan pada hari pertama, membersihkan makam Ki Buyut Terik—yang merupakan seorang tokoh masyarakat yang dalam ceritanya beliau adalah orang yang menyebarkan agama Islam di sekitar daerah Tlemang dan juga menjadi sentral dari kegiatan upacara mendhak, karenanya 6
upacara mendhak juga disebut sebagai mendhak/haul Ki Buyut Terik. Pelaksanaan hari ketiga dan keempat merupakan rangkaian acara puncak mulai dari persiapan atau pra-nyanggring pada hari ketiga dan puncaknya adalah memasak sayur sanggring atau nyanggring. Setelah menyantap sanggring, warga berbondongbondong pergi ke makam Ki Buyut Terik untuk melakukan kegiatan terakhir yakni berziarah sebagai penutup rangkaian prosesi upacara mendhak. Tapi, apa yang mempengaruhi masyarakat untuk mengadakan upacara mendhak? Atas dasar apa mereka tetap melaksanakan upacara mendhak di era yang sudah terkontaminasi oleh moderintas sehingga terancamnya kehilangan nilai-nilai budaya sangat besar? Kemudian, bagaimana masyarakat Tlemang memaknai mendhak saat ini?
1.3 Kerangka Pemikiran Upacara ritual diyakini oleh banyak peneliti sebagai bagian dari sebuah religi, dimana lahirnya upacara ritual dianggap sebagai bentuk penghormatan dan tanda syukur kepada kekuatan lain yang melebihi manusia (seperti roh dan alam) dan lahirnya upacara ritual juga mampu mengekspresikan tatanan sistem sosial budaya masyarakat dan konsepsi mekanisme adaptif yang membuat manusia menjaga kehidupan sosial sebagai suatu komunitas yang teratur (Morris, 2003; James, 2003; Soehada, 2008) sehingga pada akhirnya keberadaan upacara ritual itu menjadi sebuah pertunjukkan tradisi tentang interaksi sosial yang harus selalu dijaga dan diusahakan untuk terus ada demi keberlangsungannya. Sztompka (2010) mengatakan bahwa tradisi yang sifatnya nasional seperti lagu, bendera, 7
emblem, mitologi dan ritual umum adalah kesediaan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi nasional selalu dikaitkan dengan sejarah, menggunakan masa lalu untuk memelihara persatuan bangsa serta kelompok atau komunitas tertentu. Nyanggring atau masakan sayur sanggring dibuat sebagai ucapan syukur kepada Tuhan YME dan sebagai perayaan atas wisudanya Ki Buyut Terik (Rudjati, dkk. 1991: 37) tidak semata-mata dipandang sebagai masakan komunal untuk dimakan bersama-sama dengan semua masyarakat di Tlemang, namun nyanggring juga memperlihatkan sistem budaya seperti gagasan dan konsep terciptanya upacara mendhak, nilai-nilai, norma-norma, yang mampu menata dan mempengaruhi tindakan dan tingkah laku manusia; serta juga terdapat sistem sosial atau interaksi antar individu yang diatur oleh adat istiadat (Koentjaraningrat, 1990). Asal-usul nyanggring tak terlepas pada asal-usul berdirinya Desa Tlemang, yang di dalamnya juga dikisahkan tentang Ki Buyut Terik yang merupakan sosok penting dalam upacara mendhak dan Desa Tlemang. Reuter menulis mengenai masyarakat Bali Aga (2005) sangat yakin bahwa “asal-usul” merupakan konsep utama dan nilai yang mengilhami masyarakat kontemporer untuk melihat diferensiasi masa lampau dan masa kini dimana “asal-usul” juga merupakan sejarah migrasi-migrasi dan pendirian desa-desa sebagai tempat pemberhentian dalam perjalanan nenek moyang dan memberikan status ritual desa tertentu berdasarkan tingkat kedekatan terhadap asal-usul perjalanan. Konsep ini 8
nampaknya juga berlaku terhadap keyakinan masyarakat Tlemang tentang gagasan-gagasan, konsep, nilai-nilai dan norma-norma dari upacara mendhak sangat dipengaruhi oleh pendiri desa itu sendiri, yakni Ki Buyut Terik. Pada gagasan dan konsep upacara dapat melihat keseluruhan prosesi mendhak mulai dari membersihkan sumber mata air hingga pada puncaknya membuat masakan sayur sanggring sebagai satu paket ritual yang tidak boleh dihilangkan bagianbagiannya, karena dalam menjalankan kegiatan dari persiapan membersihkan sumber mata air hingga memasak telah terikat pada nilai-nilai budaya dan normanorma sosial agar semua dapat terpenuhi. Pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial dalam upacara mendhak membentuk do (yang diperbolehkan) dan don’t (yang tidak diperbolehkan) selama menjalankan seluruh prosesi upacara. Sistem seperti ini biasanya diatur oleh suatu kelompok atau organisasi yang yang dibuat untuk menertibkan dan melancarkan jalannya prosesi upacara. Organisasi sosial dalam kategori masyarakat tentu memiliki tingkatan-tingkatan status perihal upacara ritual seperti umumnya sebuah desa memiliki perangkat desa mulai dari kepala desa, wakil kepala desa atau jika tidak diperlukan langsung menunjuk pada sekretaris desa dan bendahara desa hingga pada perangkat desa berupa seksi-seksi, dan anggota masyarakat. Dalam upacara ritual, tentu akan diketahui siapakah kepala adat atau orang yang memimpin jalannya upacara, koordinator atau wakil pelaksana upacara, kemudian pada anggota masyarakat. Pada tingkatan status sosial dalam upacara ritual didahulukan kepada orang-orang tertentu yang mengetahui secara mendalam tentang bagaimana 9
menjalankan prosesi upacara ritual. Akan tetapi, upacara mendhak justru dipimpin oleh kepala adat yang merangkap menjadi kepala desa (Rudjati, 1991: 24-25) dimana peran-peran seorang kepala desa juga muncul secara bersamaan dengan saat ia sedang menjadi seorang kepala adat. Weber (lihat Etzioni and EtzioniHalevy, 1973: 6) melihat dua fungsi struktur kepemimpinan ini seperti sebuah sistematika untuk melegitimasi kekuasaan yang diperolehnya. “… man is caught in the institutional web he himself set up, but at charismatic moments, he breaks in. remodeling the institutional structure to bring it closer to his wish. But at the same time too, there is no sign that man is free to reverse this process, should he charge his mind about it.” Perubahan sistem pada tingkat atas akan tentu akan mempengaruhi tingkatan-tingkatan yang berada di bawahnya, sehingga masyarakat akan mengalami degradasi pengetahuan religi seperti yang dikatakan Shils (1981: 21 dalam Sztompka, 2010): “… memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Karena salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi. Karena biasanya mereka yang ingin mengatakan pembenaran akan menjawab ‘selalu seperti itu’ atau ‘orang selalu mempunyai keyakinan demikian’. Meski dengan resiko yang paradoksal yakni bahwa tindakan tertentu hanya akan dilakukan karena orang lain melakukan hal yang sama di masa lalu atau keyakinan tertentu diterima semata-mata karena mereka telah menerimanya sebelumnya.”
Dengan pembenaran pernyataan yang ditulis oleh Shils akan menyebabkan perubahan-perubahan lain dalam sistem sosial, dari tindakan atau perilaku sosial, interaksi antarindividu baik secara resmi (pranata) atau pun tidak resmi, loyalitas, 10
ketergantungan, integrasi sosial, bahkan dalam memainkan peran dan siapa saja yang bisa masuk dalam lingkaran pelaku upacara ritual. Terlebih, dengan berubahnya sistem sosial, maka sejalan dengan itu, sistem budaya dan kognisi masyarakat terhadap mendhak juga akan mengalami perubahan sedikit demi sedikit.
1.4 Metode Penelitian Meneliti upacara ritual mendhak atau nyanggring yang dilaksanakan di Desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni wawancara, studi pustaka, dan observasi partisipasi. a. Wawancara dilakukan kepada pelaku pelaksanaan upacara mendhak, dan beberapa warga yang dipilih secara acak. Wawancara dilakukan pada waktu-waktu luang mereka dengan persetujuan kedua belah pihak. Penerapan metode tersebut sangat berguna dalam menghimpun data dari para informan terkait dengan pandangan mereka mengenai gaya hidup sehat yang tengah mereka jalani. Penyusunan pertanyaan dibuat dengan tujuan agar penelitian tidak menyimpang dengan permasalahan yang hendak dikaji. Para informan terbiasa dengan metode wawancara ringan atau sering disebut dengan mengobrol. Karena dengan metode tersebut mereka merasa nyaman dan tenang dalam menjawab pertanyaan serta mengungkapkan gagasan mereka. Metode wawancara juga sangat efektif untuk menganalisis faktor psikologis informan. Cara mereka menjawab 11
dan gerak tubuh yang ditunjukan dapat menghasilkan jawaban tambahan yang berguna dalam melakukan cek kecocokan. b. Demi mendapatkan data lapangan secara maksimal, penulis pun turut serta dalam lingkaran masyarakat atau yang biasa disebut obervasi partisipasi, sebuah metode pendekatan terhadap narasumber yang juga dilakukan saat melakukan pengamatan ketika upacara ritual sedang berlangsung, mengamati bagaimana raut wajah dan tingkah laku para pelaku atau para peserta upacara ritual tersebut. Tidak cukup hanya melihat dengan sepasang mata, maka upacara ritual tersebut terdokumentasikan dalam bentuk foto digital. Kemudian, untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam, penulis pun turut melakukan kegiatan yang dilakukan saat upacara ritual berlangsung sehingga hasil penelitian tidak bersifat subjektif dan etnosentris. c. Studi pustaka Teori merupakan prinsip dasar yang terwujud dan berlaku secara umum dan akan mempermudah seorang penulis untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi tuntuan kerja bagi pernulis. Mengenai upacara mendhak terbilang sulit karena sedikit sekali tulisan bahkan berita mengenai upacara ritual ini. Akan tetapi, studi pustaka tetap dilakukan untuk mencari perbandingan-perbandingan upacara mendhak dengan upacara ritual lain yang serupa. Selain itu, guna mendukung data hasil wawancara dengan informan, sumber tertulis juga turut dicantumkan. Seperti sumber-sumber 12
dari buku, jurnal, dan informasi tertulis lainnya. Media elektronik seperti internet juga turut menjadi sumber yang dapat menjadi acuan analisis penelitian.
13