BAB I Pendahuluan
1.1. Latar belakang Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki ribuan amal usaha di bidang dakwah, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta tanggal 18 Nopember 1912 M bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. Kehadiran Muhammadiyah merupakan sebuah tuntutan atas terjadinya kompleksitas persoalan kehidupan yang berada pada era penjajahan kolonialisme. Ketika itu umat Islam berada pada posisi yang sangat terpuruk dan memprihatinkan. Masyarakatnya terbelakang dalam hal tingkat pendidikan, perekonomian, dan secara politis kemampuan masyarakatnya dalam kondisi tidak berdaya. Pada saat itulah seorang tokoh bernama KH Ahmad Dahlan tergerak untuk melakukan pembaharuan terhadap paham keagamaan, budaya, dan pendidikan. Beliau meluruskan kembali praktek keberagamaan dengan jargon “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah” serta mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan kesehatan yang dapat menciptakan kader-kader yang memiliki kepekaan sosial dan memiliki kemampuan menangkap pesan-pesan Islam yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai”Ulul Albab”.
Dalam
perkembangannya, di mana Muhammadiyah telah memiliki ribuan amal usaha yang tersebar di seantero Indonesia, ternyata kurang diikuti dengan peran-peran pembaharuan dan belum optimal dalam menyelesaikan problem sosial yang
2
terjadi. Pertumbuhan dan kebangkitan Muhammadiyah tidak terlepas dari tiga proses yang saling bersinergi, yaitu proses pemikiran (kerja intelektualitas), proses institusionalisasi (kerja kelembagaan), dan proses pembentukan amal usaha (Sukriyanto, 2009). Makin ke belakang justru kader dan aktivis Muhammadiyah lebih banyak terjebak pada kerja-kerja amal usaha, dan semakin mengecilkan peran-peran pemikiran dan intelektualitas.
Tabel 1.1 Data Amal Usaha Muhammadiyah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis Amal Usaha
Jumlah TK/TPQ 4.623 Sekolah Dasar (SD)/MI 2.604 Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs 1.772 Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA 1.143 Pondok Pesantren 67 Perguruan Tinggi Muhammadiyah 172 Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP 457 Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dll. 318 Panti jompo 54 Rehabilitasi Cacat 82 Sekolah Luar Biasa (SLB) 71 Masjid 6.118 Musholla 5.080 Tanah 20.945.504 m2 Sumber data: www.Muhammadiyah.or.id (2014)
Muhammadiyah yang dikenal sebagai gerakan pembaharu, di kemudian hari tumbuh menjadi organisasi Islam modern yang cukup besar. Predikat yang terhormat itu kini menjadi beban sejarah, yaitu bagaimana warga Muhammadiyah dapat melanjutkan dan menunjukkan karya-karya baru yang lebih anggun dalam pembaharuan Islam di bumi tercinta ini. Jika beban sejarah ini tidak mampu dipikul oleh Muhammadiyah, maka Muhammadiyah boleh mengucapkan selamat
3
tinggal pada kejayaan masa lampau dari prestasi pembaharuan yang telah diukirnya. Sebaliknya, Muhammadiyah akan mengukir sejarah baru manakala mampu memainkan peran pembaharuannya yang lebih brilian guna mengarahkan dan memimpin peradaban ummat manusia di era abad ke 21 (Maarif, 2005).
1.1.1. Evaluasi Amal Usaha Muhammadiyah Hingga saat ini berbagai kegiatan Amal Usaha Muhammadiyah telah bertahan lama dalam suasana perubahan yang cepat berjalan di abad 20. Melalui kerja keras, keuletan serta kejujuran dan keikhlasan para tokoh dan pimpinan Muhammadiyah saat itu telah mengantarkan Muhammadiyah tetap mampu eksis dan dipercaya oleh masyarakat secara luas sebagai gerakan Islam. Modal kepercayaan yang telah terbina serta ditanamkan dalam Muhammadiyah tentu saja merupakan
modal
yang
paling
berharga
dalam
mempertahankan
dan
mengembangkan amal usaha. Pesan KH Ahmad Dahlan yang paling dikenal adalah” hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan hidup dari Muhammadiyah” merupakan aspek budaya yang selalu dijadikan pedoman warga Muhammadiyah. Keikhlasan dan ibadah serta amanah menjadi kata kunci dalam mengimplementasi budaya tersebut. Jumlah kegiatan Amal Usaha Muhammadiyah yang dikelola dalam bidang layanan kesehatan hingga saat penelitian berlangsung sampai tahun 2011 telah memiliki 76 RS dengan perincian seperti pada tabel 1.2. Menurut Hamid (2005), dalam menjalankan Amal Usaha Muhammadiyah diperlukan sikap profesional dengan unsur-unsur yang seharusnya dimiliki, yaitu:
4
a. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bidangnya. b. Menjadikan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya sebagai pekerjaan utama. c. Mengupayakan perwujudan hasil kinerja yang optimal dan terbaik. d. Memiliki integritas dan tanggung jawab atas tugasnya dan kepada masyarakat. e. Memiliki disiplin dan memegang komitmen waktu. f. Bersikap jujur. g. Memiliki kepekaan sosial. h. Memiliki etos kerja yang tinggi. i.
Memperhatikan semua kepentingan Stake holder-nya Tabel 1.2 Jumlah RS Muhammadiyah Aisyiyah Jumlah tempat tidur
Jumlah Rumah Sakit
Lebih dari 200 tt
4
101-200
13
50-100
29
Kurang dari 50
30
Jumlah
76 Sumber: Data Internal PP Muhammadiyah (2010)
Hasil evaluasi Amal Usaha Muhammadiyah ternyata memiliki kenyataan yang berbeda. Secara kuantitas memang menggembirakan dengan kemajuan yang berarti, tetapi secara kualitas kemajuan tadi tidak memadai (Nugroho, 2006).
5
Perbedaan kualitas di antara Amal Usaha Kesehatannya sungguh nyata, yang mengakibatkan kinerja dan daya saingnya sangat berbeda. Keadaan tadi antara lain disebabkan oleh sikap profesionalisme yang kurang terbangun secara kuat dan matang di Muhammadiyah, dan merasa puas dengan kondisi saat itu. Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Muhammadiyah Pengurus Pusat Muhammadiyah (MKKM PPM) periode 2005-2010, merupakan Majelis Pembantu Pengurus Pusat Muhammadiyah yang diberikan amanah untuk mengkoordinasikan
urusan
kesehatan
dan
kesejahteraan
masyarakat
di
Muhammadiyah. Menurut Nugroho (2006) di dalam Rencana Stratejik Tahun 2005-2010, telah mengidentifikasi hal-hal sebagai berikut: a. Bidang manajemen: manajemen korporat dan manajemen klinik kurang tertata dengan baik; selain itu RS berkembang sendiri-sendiri, walaupun tetap milik Muhammadiyah; belum adanya unggulan di masing-masing RS; citra belum berkembang; marketing syariah belum dikembangkan; dan belum ada aliansi jaringan yang jelas dan mengikat. b. Mutu pelayanan: secara umum kualitas layanan masih rata-rata/ kurang memuaskan; belum ada sistem mutu yang handal; mutu layanan belum dijadikan fokus layanan; dan pedoman pelayanan Islami dikembangkan sendiri-sendiri. Tehnologi: fasilitas medis kurang dikembangkan karena kendala dana; kemajuan tehnologi informasi belum dimanfaatkan dengan baik. c. Sumber daya insani: kompetensi Sumber Daya Insani (SDI) perlu dikembangkan segera; pola rekruitmen dan remunerasi belum berbasis
6
kompetensi; program pelatihan dan pendidikan berkelanjutan belum jadi prioritas; dan belum ada sistim mutasi antar RS. d. Keuangan,
akuntansi,
sistem
pembiayaan:
pada
permasalahan-
permasalahan seperti pedoman akuntansi dan keuangan syariah belum berjalan dengan baik; sistem pengurang pajak tidak semua ada di RS, pengembangan RS dan SDI nya belum memanfaatkan sumber mitra internal dan eksternal; dan pembiayaan dhuafa/ kemanusiaan belum dikembangkan dengan baik.
1.1.2. Praktek Manajemen RS MA Muktamar Muhammadiyah di Malang 2005 telah memberikan sinyal perubahan antara lain berupa peningkatan kualitas Amal Usaha Kesehatan, peningkatan kualitas manajemen dan pelayanan amal usaha kesehatan serta mengembangkan konsep dan pelaksanaan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan yang terpadu. Lebih lanjut dijabarkan dalam program Revitalisasi Amal Usaha Kesehatan Muhammadiyah dalam bidang pengelolaan dan pelayanan, sumber daya insani, permodalan dan keuangan, jejaring dan aliansi dalam bentuk Konsorsium RS MA (Laporan Majelis dan Lembaga serta Organisasi Otonom PP Muhammadiyah 2005-2010). Dalam perjalanan waktu ternyata usaha-usaha pembinaan dan peningkatan mutu RS kurang memberikan hasil yang baik. Sehingga harus dicari ikhtiar bagaimana organisasi yang sebesar dan setua Muhammadiyah ini tetap bisa ámengendalikan dan meningkatkan mutu Amal Usaha Kesehatannya.
7
Usaha mandiri di semua amal usaha Muhammadiyah yang didirikan dan praktek sistem pengelolaannya yang berjalan selama itu membuktikan bahwa praktek otonomi seluas-luasnya sudah dijalankan di kalangan Muhammadiyah; walaupun dokumen resmi yang menyatakannya tidak pernah didapatkan secara resmi. Dengan satu kepemilikan di Persyarikatan Muhammadiyah, ternyata warna otonomi penyelenggaraannya sangat dominan. Manajemen RS tergantung kepada warna yang diberikan oleh pendirinya. Di lain pihak Aisyiyah sebagai Badan Otonom Muhammadiyah juga diberi keleluasaan untuk mendirikan dan mengelola Amal Usaha Kesehatan sendiri. Pedoman Penyelenggaraan Amal Usaha Muhammadiyah-Aisyiyah bidang Kesehatan belum jelas memperinci hak dan kewajiban
masing-masing
pihak
dalam
mengelolanya,
sehingga
sering
memberikan konflik tersendiri. Masalah tadi seharusnya terinci dalam Statuta RS Muhammadiyah yang ternyata juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dengan mempelajari kurang suksesnya praktek otonomi di RS MA, maka harus dikaji ulang apakah praktek otonomi tadi masih bisa dibiarkan berjalan terus. Praktek otonomi yang kurang berhasil tadi akan membawa akibat tidak adanya keunggulan kompetitif yang disebabkan: 1) Kurangnya kontrol antar pengurus persyarikatan dan di dalam kepengurusan; 2) Kompetensi SDI mengalami penurunan atau tidak mencapai tujuan karena kurangnya supervisi dan pembangunan
kapasitas;
3)
Kemampuan
pengurus
persyarikatan
untuk
berkreativitas terbatas; 4) Terjadinya konflik akibat kurang jelasnya pembagian kewenangan dan ambisi pribadi (Omar M, 2001). Otonomi tidak berhasil karena tidak adanya pembatasan kewenangan yang jelas dan tegas, terutama terhadap
8
pendiri. Pendiri dapat melakukan intervensi pada pengelolaan sehari-hari RS, walaupun telah menunjuk
Badan Pelaksana Harian (BPH) yang merupakan
Badan Pembantu Pengurus Setempat untuk mengawasi dan membina RSnya. Untuk itu RS MA perlu membangun daya saing secara berkelanjutan. Peluang untuk menciptakan keunggulan kini bergeser dari pengelolaan aset yang berwujud (tangible assets) seperti gedung-gedung ke pengelolaan strategis berbasis pengetahuan yang menampilkan aset tidak berwujud (intangible assets) organisasi seperti: kepemimpinan, komitmen organisasi, budaya organisasi, hubungan dengan pelanggan, produk dan layanan inovatif, proses operasi yang bermutu tinggi, tehnologi informasi, kapabilitas, ketrampilan dan motivasi karyawan (Kaplan dan Norton, 2001; Sampurno, 2005). Daya saing lahir dari keunggulan dalam efisiensi, keunggulan mutu, keunggulan inovasi serta keunggulan dalam pelayanan kepada pelanggan (Porter, 2006). Salah satu sumber daya yang merupakan asset terpenting dan sulit ditiru oleh para pesaing dalam menciptakan nilai
keunggulan bersaing berkelanjutan bagi organisasi adalah sumber daya
insani (SDI)/ Sumber Daya Manusia (SDM). Situasi di atas disadari oleh jajaran Pengurus Penolong Kesengsaraan Ummat (PKU) Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur beserta Pengurus Wilayahnya sejak dekade 1980, yang berusaha untuk mengkaji situasi yang ada. Usaha tadi untuk merubah dan mengembangkan sistem otonomi yang berjalan longgar selama itu ke arah yang lebih baik. Diskusi dengan para ahli di Jawa Timur untuk mencari bentuk yang terbaik menghasilkan konsep manajemen yang sedang muncul pada
9
saat itu, yaitu konsep menajemen dari Porter 1985 yang memunculkan keunggulan bersaing organisasi. 1.1.3. Integrasi Manajemen Rumah Sakit dalam Format Holding Hospital Atas dasar permasalahan yang teridentifikasi di atas, diketahui bahwa telah terjadi permasalahan dalam pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah. Saat ini semua kegiatan tersebut belum memiliki kesatuan yang utuh dan terintegrasi, masing-masing RS memiliki model pengelolaan yang tersendiri dan berbeda satu sama lainnya. Sehingga permasalahan ini berdampak kepada tidak adanya standar pelayanan RS yang terintegrasi dan menyeluruh yang menjadi satu kesatuan milik organisasi Muhammadiyah. Strategi pengelolaan rumah sakit dengan menggunakan sistim terpadu jaringan ternyata telah dijalankan oleh RS MA Jawa Timur (MKKM PWM Jawa Timur, 2003). Mengapa mereka melakukannya? a.
Selama itu di Muhammadiyah pendirian Amal Usaha Kesehatan, seperti RS, lebih banyak tergantung kepada inisiatif Pengurus setempat tanpa campur tangan Pengurus di atasnya. Dengan demikian terjadilah praktek otonomi dalam menjalankan manajemennya. Keberadaan Majelis sebagai Badan Pembantu Persyarikatan lebih banyak sebagai koordinator. Praktek demikian sangat merugikan Persyarikatan dalam meningkatkan kualitas RS nya, sehingga mengurangi daya saing. Adanya konflik antar pemangku kepentingan akan menambah rantai masalah di daerah tersebut. Keadaan tadi bertambah di RS yang mempunyai BPH sebagai kepanjangan tangan Pengurus Persyarikatan setempat.
10
b.
Untuk menyatukannya, maka perlu diikat dalam aturan-aturan manajemen yang bisa berlaku di seluruh Jawa Timur dengan tidak menghilangkan ciriciri khas masing-masing RS MA nya. Dengan demikian ada aturan yang berlaku di seluruh RS MA Jawa Timur dan ada aturan-aturan yang berlaku di masing-masing RS MA setempat.
c.
Kesadaran akan perlunya daya saing yang baik serta RS MA sebagai alat dakwah dalam bidang kesehatan, menyebabkan sedikitnya konflik.
d.
Kepemimpinan Wilayah dan Budaya Organisasi yang kuat di Jawa Timur lebih mendorong adanya perubahan strategi pengelolaan RS di wilayahnya. Untuk memotong birokrasi dan meminimalkan konflik, maka Pengurus MKKM setempat sekaligus bertindak sebagai inti Badan Pelaksana Harian/ Dewan Pengawas RS yang bersangkutan di daerahnyaa
Dengan
demikian, di dalam penelitian ini akan dilakukan kajian atas integrasi aktivitas bisnis RS pada seluruh RS yang berada di lingkungan Muhammadiyah wilayah Jawa Timur yang berbeda dengan wilayah lain. Dalam abad ke 21 ini RS di seluruh dunia akan tetap atau makin kompetitif bila menjalankan paradigma baru dalam pelayanan yang berfokus kepada pasien (hospital patient care), yaitu patient satisfaction, patient loyalty, patient safety ((JCI, 2011). Untuk itu setiap RS harus bisa menciptakan nilai (value) untuk kostumernya: pasien, dokter, dan pemangku kepentingan lainnya. Swayne et al (2006) mengemukakan adanya nilai tambah yang kompetitif yang bisa diraih oleh RS ataupun kelompok/ jaringan RS dengan
11
pendekatan analisis aktivitas bisnis menggunakan Analisis Rantai Nilai RS (hospital value chain) yang dikembangkannya untuk aplikasi pada jasa RS. Esensi dari rantai nilai Porter (1985) terbagi atas dua aktivitas utama, yaitu aktivitas utama (primary activities) dan aktivitas pendukung (support activities). Aktivitas utama meliputi proses logistik internal, operasional, logistik eksternal, pemasaran dan penjualan, dan pelayanan pasca penjualan. Selanjutnya untuk aktivitas pendukung meliputi aktivitas usaha infrastruktur, manajemen SDI, pengembangan tehnologi, dan pembelian. Kedua aktvitas utama tersebut akan membangun kekuatan, kompetensi, kapabilitas dan sumber daya, sehingga dapat memberikan daya saing perusahaan melalui margin yang didapatkannya. Swayne et al., (2006) mengatakan bahwa analisis rantai nilai dimaksudkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif organisasi RS berdasarkan analisis lingkungan internalnya. Analisis rantai nilai ini terbagi atas dua komponen utama, yang pertama adalah berkaitan dengan pelayanan kesehatan (service delivery) yang meliputi kegiatan pre-service, point-of-service, dan after service. Selanjutnya komponen utama kedua merupakan aktivitas pendukung (support activities) yang meliputi budaya organisasi (organization culture), struktur organisasi (organizational structure), dan sumber daya strategis (strategic resources). Kedua komponen utama tersebut digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan RS, sehingga atas dasar hasil analisis tersebut didapatkan keunggulan kompetitif (competitive advantage) bagi RS. Adapun kekuatan dan kelemahannya yang terkait dengan sumber daya, kompetensi, dan kapabilitas. Pada service delivery, maka RS masih bisa menjalankan peraturan-peraturan
12
yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing (berjalan proses otonomi). Sedangkan pada aktivitas pendukungnya berjalan sama untuk semua RS (berjalan proses terpadu). Dengan menggunakan pendekatan rantai nilai yang telah dikembangkan oleh Swayne et al., (2006) tersebut, maka penelitian ini akan melakukan kajian atas aplikasi rantai nilai pada dua kelompok RS yang memiliki perbedaan dalam pengelolaan, yaitu RS MA Jawa Timur sebagai RS yang telah menerapkan manajemen terpadu atau manajemen korporatisasi, dan RS MA Jawa Tengah sebagai RS yang masih menerapkan manajemen
otonomi. Dipilihnya dua
kelompok RS ini untuk mengetahui seberapa besar perbedaan dan persamaan profil RS, daya saing dan kinerjanya yang dianalisis dengan menggunakan pendekatan rantai nilai.
1.2.
Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang sejarah perkembangan Muhammadiyah dan Amal
Usaha Kesehatannya serta permasalahan yang disampaikan di atas, maka rumusan masalah yang akan dijawab pada penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah ada perbedaan hasil pelaksanaan manajemen RS Muhammadiyah-Asyiyah Jawa Timur yang menggunakan sistim Rantai Nilai Rumah Sakit dibandingkan dengan kelompok
RS Muhaammadiyah-Asyiyah
Jawa Tengah, dan adakah
kemungkinan untuk dikembangkan di RS Muhammadiyah-Aisyiyah lainnya?”
13
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah tersusunnya model pengelolaan RS MA yang terpadu melalui pendekatan rantai nilai. Sehingga dengan model tersebut keseluruhan RS MA memiliki standarisasi pengelolaan dan pelayanan yang sama dan bisa memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat banyak. Tujuan Khusus Secara khusus tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Menilai kinerja RS MA Jawa Timur yang melaksanakan sistem manajemen terpadu. b. Menilai kinerja RS MA Jawa Tengah yang melaksanakan sistem manajemen otonomi. c. Menilai dua sistem tersebut, manakah yang memberikan hasil kinerja dan memiliki daya saing terbaik. d. Menilai apakah sistem yang lebih baik tersebut dapat diterapkan di seluruh RS MA Indonesia atau tidak.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak sebagai berikut, yaitu:
a.
Manfaat Praktis bagi Organisasi Muhammadiyah
14
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti bagi organisasi Muhammadiyah dan khususnya bagi praktisi yang mengelola RS MA, karena penelitian ini pada akhirnya akan memberikan sebuah bentuk model manajemen terpadu RS MA yang berlaku secara luas bagi semua RS MA di Indonesia, dan hal-hal lain yang akan membuat penelitian ini berbeda, yaitu: 1.
Penelitian ini dilakukan di sebagian besar RS MA, yang mempunyai amanah memberikan pelayanan kepada kaum dhuafa, di saat RS MA juga memerlukan sumber dana yang besar untuk meningkatkan mutu layanan dan membangun infrastruktur lainnya.
2.
Peneliti terlibat langsung dalam proses pelaksanaan manajemen operasional RS MA sejak 25 tahun yang lalu.
3.
Proses penelitian ini terjadi di saat RS harus cepat merubah perencanaan stratejiknya dengan berlakunya UU Kesehatan no.36/2009 dan UU RS no.44/2009, dan masuknya Indonesia dalam persaingan AFTA dan WTO.
4.
Merupakan sumbangsih pemikiran ulang sistim manajemen RS MA dalam menyongsong 100 tahun Muhammadiyah.
5.
Merupakan kesaksian dan pengalaman pribadi peneliti baik saat sebagai pimpinan maupun karyawan, serta dokter purna waktu di RS MA.
6.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sehingga hasil yang didapat lebih komprehensif bagi perumusan strategi integrasi RS MA di masa depan.
15
7.
Memberikan rekomendasi untuk standarisasi model proses bisnis RS MA yang dikelola secara korporatisasi melalui pendekatan rantai nilai.
b.
Manfaat Akademisi bagi Program Doktor Universitas Gadjah Mada dan Perguruan Tinggi lainnya Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi yang sangat bermanfaat bagi kalangan akademisi yang berminat dalam manajemen stratejik RS, sehingga dapat dijadikan acuan bagi penelitian sejenis yang lebih mendalam.
1.5.
Penelitian terdahulu
1. Hsiao W dan Yip WC 92003) Di Hong Kong Hsiao W dan Yip WC melaporkan dalam Autonomizing a Hospital System: Corporate Control by Central Authorities,
adanya
transformasi jaringan rumah sakit dari sistim otonomi ke korporatisasi RS tersebut meliputi RS pemerintah, publik non profit, rs privat for profit. 2. Phua KH (2003) Di Singapura, Phua KH melaporkan dalam Attacking Hospital Performance on Two Front: Network Corporatization and Financing Reforms in Singapore (2003) telah dilakukan penelitian korporatisasi RS publik disertai reformasi dalam bidang pembiayaan kesehatan. Pemerintah Singapura melakukan reformasi manajemen RS lewat regulasi penuh dalam korporatisasi, kompetisi antar RS, dan dalam bidang manajemen keuangan. 3. Halina RH, Al-Junid S, Nyunt SU, Baba Y, Geydent WD (2003)
16
Halina RH et.al melaporkan praktek korporatisasi di Pusat Jantung Nasional Malaysia, seperti yang dilaporkan dalam Corporatization of a Single Facility: Reforming the Malaysian National Heart Institute. Pada Pusat Pelayanan Jantung Malaysia dilakukan korporatisasi dengan kompetisi terbatas. 4. Penelitian ini merupakan studi kasus RS yang terjadi pada lingkungan organisasi
Muhammadiyah,
tepatnya
pada
Majelis
Kesehatan
dan
Kesejahteraan Masyarakat Muhammadiyah. Tempat ini merupakan tempat di mana peneliti mengabdikan pengetahuan dan karirnya sehingga akan menjamin keaslian karya ilmiah ini untuk diangkat menjadi disertasi. Selain itu, Peneliti akan meneliti lebih jauh pengaruh sistim manajemen terpadu/ korporatisasi yang sudah berlangsung di Jawa Timur dan sistem otonomi yang terdapat di Jawa Tengah terhadap keberadaan dan kinerja RS di daerah tersebut.