1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan desa desa pakraman (dulu disebut desa adat). Desa dinas didefinisikan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan tugastugas pemerintah pusat.1 Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu kelompok masyarakat yang menjalankan aturan pemerintahannya secara otonom, demokratis, mencakup wilayah tertentu (hak ulayat) yang jelas batas-batasnya, memiliki pemimpin, peraturan (awig-awig) untuk warganya, memiliki kekayaan dan secara hirarkis tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi.2 Konsep desa adat ini berawal dari penelitian L.A.Liefrinck di Bali Utara (1886-1887) yang menyatakan desa di Bali sesungguhnya adalah sebuah republik kecil yang memililiki hukum atau aturan adat tersendiri. Penelitian ini kemudian diperkuat penelitian yang dilakukan V.E.Korn tentang studi hukum adat di Bali. Korn yang menghasilkan buku Het Adatrecht van Bali (1932) menyatakan desa-desa di Bali bersifat otonom. Dari sinilah muncul desa adat yang artinya desa yang memiliki adat atau hukum-hukum tradisi yang menjadi pedoman masyarakat.3 1
I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h.24 2 Ibid., h. 44 3 Ibid.
2
Perkembangan berikutnya muncul istilah otonomi desa pakraman. Otonomi diartikan sebagai konsep bagaimana suatu daerah atau suatu kekuasaan dapat mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri tanpa banyak dicampuri oleh pihakpihak luar. Otonomi sendiri berasal dari bahasa Latin, autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti aturan. Jadi otonomi secara etimologis berarti mengatur sendiri. Otonomi desa pakraman pun diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa, dan kemampuan sendiri.4 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas mendefinisikan desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari definisi ini sudah sudah ditegaskan desa pakraman merupakan suatu kesatuan masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati negara seperti diatur dalam Pasal 18B ayat 2 UUD NRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat 4
AA Gede Oka Parwata, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”. dalam: Ketut Sudantra dan Oka Parwata (Ed), Wicara lan Pamidanda, Udayana University Press, Denpasar, h.52
3
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Salah satu isi dari otonomi desa pakraman adalah menetap aturan sendiri yang berlaku bagi mereka. Kewenangan ini secara yuridis formal diatur dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, “Desa Pakraman mempunyai tugas membuat awig-awig.” Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Definisi ini ditegaskan lagi dalam Bab VII Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Pasal 11 mengatur (1) Setiap desa pakraman menyuratkan awig-awig-nya. (2) Awig-awig desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia. Pasal 12 mengatur (1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman desa pakraman. (2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di Kantor Bupati/Wali Kota masing-masing.
4
Sejak tahun 1969 ada kecenderungan desa pakraman menuliskan awig-awignya dalam bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya agar prajuru adat dan generasi mendatang dapat lebih memahami isi awig-awig desanya.5 Istilah awig-awig mulai memasyarakat di Bali tahun 1986 sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Sebelumnya, istilah yang digunakan bermacam-macam, antara lain pengeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta, palakerta, dan sima.6 Proses penulisan awig-awig ini bukanlah proses kegiatan sekali jadi. Pembuatan awig-awig tidak boleh awag-awag (sembarangan). Kalau awag-awag menulis awig-awig desa pakraman bisa menjadi uwug (rusak).7 Ada empat tahapan yang harus dilalui dalam pembuatan awig-awig, tahap persiapan, tahap penulisan rancangan
awig-awig,
tahap
sosialisasi
rancangan
awig-awig,
dan
tahap
penyelesaikan penulisan awig-awig. Proses selanjutnya adalah penandatanganan oleh Bupati/Wali Kota. Dari 15 awig-awig yang diteliti, awig-awig Desa Adat Bondalem dan Desa Adat Penarukan (Buleleng), Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan dan Desa Adat Bangklet (Bangli), Desa Adat Bading Kayu dan Desa Adat Yeh Buah (Jembrana), Desa Pakraman 5
Ibid., h. 54 Ketut Sudantra, dkk, 2011, Penuntun Penyuratan Awig-awig. Contoh Awig-awig Tertulis Desa Pakraman Tanah Aron Kabupaten Karangasem, Udayana University Press, Denpasar, h.18 7 Ibid., h. 25 6
5
Gadungan (Tabanan), Desa Adat Belega (Gianyar), Desa Adat Samu dan Desa Adat Ungasan (Badung), Desa Adat Sengkiding dan Desa Adat Jungut Batu (Klungkung), Desa Adat Geriyana Kangin (Karangasem), serta Desa Adat Pedungan dan Desa Pakraman Padangsambian (Denpasar) memiliki kesamaan adanya tanda tangan dan stempel dari Bupati/ Wali Kata. Awig-awig Desa Adar Bondalem (1987), Desa Adat Sengkiding (1987), Desa Adat Geriyana Kangin (1988), Desa Adat Badingkayu (1994), Desa Adat Belega (1995), dan Desa Pakraman Padangsambian (2007), menggunakan istilah Mengetahui dan Dicatat. Awig-awig Desa Adat Jungut Batu, Desa Adat Penarukan (1985), Desa Adat Pedungan (1986), Desa Adat Yeh Buah (1990), Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan (1995), Desa Adat Bangklet (1996), Desa Pakraman Gadungan (2004), Desa Adat Ungasan (2006), dan Desa Pakraman Samu (2011), menggunakan istilah Murdhaning Pamikukuh atau Kapikukuhin atau Kakukuhang
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah adalah: 1. Apa landasan yuridis dari pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota? 2. Apa makna pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota?
6
1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup penelitian berkaitan dengan latar belakang dan rumusan masalah. Ruang lingkup masalah digunakan untuk membatasi area penelitian dan untuk mempersempit pembahasan yang hanya pada permasalahan yang sudah ditetapkan. Sesuai permasalahan yang sudah ditetapkan, ruang lingkupnya adalah sejak adanya penyeragaman pembuatan awig-awig di Bali tahun 1969 dimana secara umum awig-awig sudah memiliki standar. Fokusnya pada landasan yuridis pengukuhan awig-awig oleh Bupati/Wali Kota dan makna dari pengukuhan ini.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibedakan ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus. 1.4.1. Tujuan Umum Upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah berakhir untuk mencari kebenaran di bidang objek masing-masing. Dalam penelitian ini akan mengkaji secara kritis makna pengukuhan dalam awig-awig.
1.4.2. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa landasan yuridis dari pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota
7
2. Untuk mengetahui dan menganalisa makna pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu hukum khususnya konsentrasi hukum dan masyarakat karena akan menggambarkan bagaimana hukum berlaku di masyarakat.
1.5.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberi sumbangan pengetahuan kepada masyarakat, pemerintah, dan akademisi tentang proses penyusunan awigawig, landasan yuridis, dan makna pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penulisan awig-awig oleh desa pakraman.
1.6. Orisinalitas Penelitian Dari beberapa penelusuran mengenai tesis yang berkaitan dengan awig-awig maupun peran Bupati/Wali Kota, ada tiga tesis yang mengangkat tema tersebut. Pertama, tesis “Penerapan Sanksi terhadap Pelanggaran Awig-awig Desa Adat oleh Krama Desa di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali” oleh Budi Kresna Aryawan, Program Studi Magister Kenotariatan
8
Universitas Diponegoro, Semarang.8 Tesis ini membahas awig-awig di dalam desa adat sangat diperlukan, karena di samping sebagai aturan-aturan pelaksana di dalam wadah dari kesatuan masyarakat hukum adat di Bali berdasarkan satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup yang diwariskan secara turun-temurun dan diikat oleh falsafah Tri Hita Karana, dimana desa adat dan awig-awignya sesuai dengan fungsi dan posisinya, akan selalu berperanan aktif dalam rangka menjaring nilai-nilai baru dalam pembangunan sehingga keberadaanya dan penerapannya mutlak diperlukan. Rumusan masalah yang dikemukan dalam tesis ini adalah bagaimana penerapan sanksi awig-awig Desa Adat Mengwi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi? Bagaimanakah hambatan-hambatnnya dalam penerapan sanksi awig-awig Desa Adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi? Kedua, tesis “Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan Kelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian tentang Tradisi dan Perubahan” yang dibuat Ida Bagus Dharmika, Universitas Indonesia.9 Tesis ini mengupas awig-awig desa adat Tenganan Pegringsingan dan ketaatan penduduk untuk menegakkan aturan-aturan yang bersangkutan memungkinkan sumber daya lingkungan alam tetap terpelihara. Berkat ketaatan penduduk dalam menjalankan aturan-aturan yang ada dalam awig-awig ini, 8
Budi Kresna Aryawan, “Penerapan Sanksi terhadap Pelanggaran Awig-awig Desa Adat oleh Krama Desa di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali” (tesis), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, http://eprints.undip.ac.id/16843/1/BUDI_KRESNA_ARYAWAN%2C_SH.pdf, diunduh 31 Mei 2014 9 Ida Bagus Dharmika, “Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan Kelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian tentang Tradisi dan Perubahan” (tesis), Universitas Indonesia, http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=81933&lokasi=lokal, diunduh 31 Mei 2014
9
penduduk desa Tenganan Pegringsingan memperoleh penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan tahun 1989. Rumusan masalah yang dikemukakan adalah mengapa pranata seperti awig-awig itu masih dipertahankan dan dilaksanakan oleh masyarakat desa adat Tenganan sampai sekarang? Adakah perubahan-perubahan yang terjadi baik pada tingkat peraturan-peraturan dan penafsiran maupun pada tingkat perilaku masyarakat yang bersangkutan? Kalau ada, bagaimana perubahanperubahan itu? Ketiga, tesis “Fungsi Kepala Daerah dalam Penyelenggaran Pemerintahan Daerah sesuai dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi” yang dibuat oleh I Nengah Suriata, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana tahun 2011.10 Tesis ini meneliti apakah fungsi kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah telah sesuai atau belum dengan norma/kaidah berlandaskan otonomi daerah serta standar kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut prinsip-prinsip demokrasi. Kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah otonom mempunyai hak dan berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, atas prakarsa dan inisiatif daerah telah sesuai dengan norma atau kaidah yang berlandaskan otonomi daerah. Rumusan masalahnya, apakah fungsi kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah telah sesuai dengan kaidah atau norma-norma berlandaskan asas otonomi daerah? Apakah standar 10
I Nengah Suriata, “Fungsi Kepala Daerah dalam Penyelenggaran Pemerintahan Daerah sesuai dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi” (tesis), Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-380-8569029tesis%20i%20nengah%20suriata.pdf, diunduh 8 Juni 2014
10
penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh kepala daerah menurut prinsip-prinsip demokrasi ? Dari ketiga rumusan masalah tesis sebelumnya ini, tidak ditemukan adanya kesamaan dengan rumusan masalah dalam tesis ini. Tesis pertama membahas awigawig tetapi dalam hal penerapan sanksi. Tesis kedua membahas awig-awig tetapi lebih ke kajian tradisi dan perubahan. Tesis ketiga tidak membahas awig-awig tetapi membahas fungsi kepala daerah yang dikaitkan dengan otonomi daerah. Hal ini memiliki kedekatan dengan tesis ini karena ada peran kepala daerah dalam era otonomi. Karena tidak ada hal yang sama, maka bisa dijamin keaslian atau orisinalitas dari penelitian ini.
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1. Teori Hukum Normatif karena Grundnorm Setiap penelitian disertai pemikiran-pemikiran teoritis karena ada hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan pengumpulan data, analisa, serta konstruksi data. Penggunaan teori juga akan memperjelas fenomena yang dihadapi. Kerlinger mengungkapkan, “a theory is a set of interrelated constructs (concept), definitions and proposition that presents a systematic vies of a phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena.” Teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau untuk membahas permasalahan penelitian yang bertujuan mewujudkan kebenaran ilmu
11
hukum melalui penelusuran. Makin banyak teori, konsep, dan asas yang berhasil diidentifikasi untuk mendukung penelitian, makin tinggi tingkat kebenaran yang bisa diperoleh. Alexander Peczenik mengatakan, “What is legal theory? It has many names: general theory of law, theory of state and law, allgemeine Rechtslehre, jurisprudence. It’s content is a mixture of legal philosophy, methodology of law, sociology of law, logical analysis of normative concepts, some comparative law and some study of national positive law. The didactic value of legal theory is great.”11 Selain pandangan Peczenik tentang legal theory (teori hukum), perlu juga dipahami teori sistem hukum seperti yang dikemukakan H.L.A. Hart, “in a modern legal system where there a variety of ‘sources’ of law, the rule of recognition is correspondingly more complex: the criteria for identifying the law are multiple and commonly include a written constitution, enactment by legislature, and judicial precedents.”12 Hart juga menjelaskan pemikirannya mengenai primary rules dan secondary rules yang merupakan pusat dari sistem hukum. Primary rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk hukum (forms of law). Primary rules eksis apabila memenuhi dua syarat, adanya suatu keteraturan perilaku dalam masyarakat dan aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban.
11 12
Alexander Peczenik, 2001, “A Theory of Legal Doctrine”. Ratio Juris: Vol 14 No 1, USA. H.L.A.Hart, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York, p.101.
12
Secondary rules menekankan aturan tentang aturan (rules about rules) yang menjelaskan kapan aturan itu dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change), dan bagaimana serta oleh siapa dapat dikuatkan atau ditegakkan (rules of adjudication). Jika ditelaah lebih jauh, rules of adjudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku dan rules of recognition bersifat reduksionis. Hart dalam teori sistemnya menempatkan secondary rules sebagai fokus lain disamping primary rules dalam penguraian pikirannya. Eksistensi keduanya dinilai penting bagi keberadaan sistem hukum. Beberapa pemikir bahkan menilai secondary rules lebih nampak sebagai aturan sosial tentang para pejabat. Aturan sosial memerlukan pengamatan eksternal yang konsisten, baik mengenai perilaku juga kritik terhadap mereka yang melakukan pelanggaran. Secondary rules adalah kekuasaan atau kemampuan tentang tatacara negosiasi dalam pembuatan undang-undang dan apabila ada yang melebihi otoritas itu, itu bukanlah sebuah pelanggaran. Otoritas dalam perundingan itu hanyalah norma yang menuntut pejabat untuk membatasi diri mereka dalam otoritas tersebut. Dari uraian tersebut, pendekatan historis sosiologis, asal hukum berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya untuk bekerja sama dalam memuaskan kebutuhan fisik biologis, dan sosial. Perkembangannya dalam masyarakat dibagi dalam dua periode, primitif dan modern.13 Di periode hukum 13
I Dewa Gede Atmaja, 2013, Filsafat Hukum. Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, h.27.
13
primitif, hukum lahir dari adat istiadat yang kemudian menjadi hukum kebiasaan (customary law). Selanjutnya di periode modern, hukum berasal dari kesepakatan legislator menghasilkan statutary law atau state law yang bercirikan rasional dan normatif. Menurut J.J.H.Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusanputusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.14 Kerangka konseptual ini menjadi hal sangat penting dalam menjelaskan hukum. Mark Van Hoecke mengatakan, law cannot be described without a conceptual framework.15 Kerangka konseptual ini sebagian berada di dalam hukum positif yang sedang berlaku. Intinya adalah orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan. Disinilah letak sifat normatif hukum. Keharusan dan kewajiban menaati hukum ditentukan sescara yuridis formal bukan karena nilai yang dikandung dalam materi hukum itu sendiri. Karenanya, muncul istilah “yuridis normatif”. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah darimana sumber pedoman yang objektif itu. Menurut Hans Kelsen, sumber semua itu adalah grundnorm (norma dasar). Grundnorm diartikan sebagai tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama, dalam hal ini negara. Kelsen menegaskan grundnorm merupakan syarat transedental 14
Otje Salman dan Anthon Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT Refika Aditama, Bandung, h.60 15 Mark Van Hoecke, “Legal Doctrine in Crisis: Towards a European Legal Science”, Katholieke Universiteit, Brussel
14
logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Tata hukum positif ini harus berpedoman secara hierarki pada grundnorm.16 Dengan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eseleon), Kelsen mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis melalui jenjang-jenjang perundangundangan. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai struktur pyramid (mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang kongkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah).
1.7.2. Teori Pluralisme Hukum Kerangka teori berikutnya adalah teori Pluralisme Hukum yang dikemukakan J. Griffiths
yang menyatakan kecenderungan terfokus pada penekanan dikotomi
keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu komunitas masyarakat. Pluralisme hukum digunakan sebagai alat analisa untuk memahami dua atau lebih sistem hukum.17 Teori Pluralisme Hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) dan pluralisme yang kuat
16
Bernard L. Tanya, dkk, 2013, Teori Hukum. Strategi Tertib Manusia Lintas Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 115 17 Andiko, “Upaya tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di Indonesia”. Dalam: Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Myrna A. Safitri (Ed), HuMa, Jakarta, h.58
15
(strong legal pluralism).18 Pluralisme hukum yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hirarki sistem hukum negara. Salah satu contoh penerapan pluralsime hukum lemah adalah konsep yang diajukan Hooker yang mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum tetapi masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara) dengan servient law yang menurutnya inferior, seperti kebiasaan dan hukum agama.19 Pluralisme hukum kuat merupakan bentuk dari kemajemukan sistem hukum dalam masyarakat namun semuanya dipandang sama kedudukannya. Tidak ada hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum yang lainnya. Teori living law yang dikemukakan Eugene Ehrlich merupakan salah satu contoh dari penerapan pluralisme hukum kuat. Ehrlich menyatakan aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif dikontraskan dengan hukum negara. Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki otonomi dalam mengatur dirinya, harus tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945.20
18
J. Griffiths, 1986, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, Number 24, Published by Foundation for the Journal of Legal Pluralism 19 Andiko, loc. cit. 20 I Wayan Surpha, 2012, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar,(Selanjutnya disebut I Wayan Surpha I), h. 57
16
Eksistensi desa pakraman ini diakui pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Moh. Mahfud MD mengatakan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini mengandung empat konsekuensi.21 Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat dapat bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu sebagai kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat. Kusumadi Pudjosewojo memberi pengertian yang berbeda antara masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat.22 Masyarakat hukum adalah suatu masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi. Rasa solidaritas para anggotanya sangat besar dan memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar, serta sumber kekayaan yang ada di wilayahnya 21
Moh. Mahfud MD, 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah Disampaikan pada Seminar Awig-Awig II, “Pemberdayaan Awig-Awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang Sejahtera”, Bali, 30 September 2010. 22 I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia. Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.111
17
hanya dapat dipakai oleh anggota. Struktur persekutuan hukum ini menurut Soepomo dapat dibedakan berdasarkan pengikat anggota persekutuan, yakni faktor genealogis (pertalian keturunan yang sama), faktor teritorial (lingkungan daerah yang sama), dan genealogis teritorial (campuran keduanya).23 Persekutuan hukum berdasarkan teritorial banyak dijumpai di Bali dan dikategorikan persekutuan desa. Ada sesuatu yang khas di Bali karena mengenal istilah desa dinas dan desa pakraman. Desa pakraman merujuk kepada organisasi sosial yang berdasarkan aturan adat sedangkan desa dinas merupakan organisasi birokrasi yang berstruktur.24 Kadangkala ada ketergantungan dari dua bentuk desa ini. Masyarakat adat sangat mematuhi hukumnya sesuai dengan corak tersebut. Masalah kepatuhan hukum dalam hukum adat, secara analitis dapat dibedakan menjadi tiga kategori kepatuhan dilihat dari faktor penyebabnya.25 Ketiga kategori tersebut adalah kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena pemimpinpemimpin masyarakat yang memerintahkannya, kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena lingkungan sosial menghendakinya, dan kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena seseorang menganggapnya sebagai sesuatu yang sebanding atau adil. Dalam ruang lingkup internasional, pengaturan mengenai masyarakat adat ditemukan dalam Pasal 25 United Nation Declaration on the Rights of Indigenous 23
Ibid., h.112 Carol Warren, 1993, Adat and Dinas. Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford University Press, New York, p. 22 25 Soerjono Soekanto, Soerjono, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 339 24
18
People (UNDRIP) yaitu Deklarasi PBB tentang Masyarakat Asli/Adat, “masyarakat adat memiliki hak mempertahankan dan untuk mengembangkan hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air, dan wilayah lepas pantai dan sumber-sumber lainnya yang meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.”26 Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa krama desa
pakraman pun
mengakui adanya dua sistem hukum yang berlaku yakni hukum negara dalam hal ini konstitusi serta hukum adat berupa awig-awig yang sudah mereka sepakati bersama. Awig-awig yang dibuat oleh desa pakraman pun sudah diatur secara yuridis dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945, Pancasila, dan hak asasi manusia. Ini artinya awig-awig harus tunduk kepada UUD NRI 1945.
1.7.3. Teori Semi-Autonomus Social Field Teori yang juga relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Teori yang diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompokkelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa. “Bidang yang kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat istiadat serta simbol-simbol berasal dari dalam. Di lain pihak, bidang tersebut juga 26
Wayan P. Windia, dkk, 2013, Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia I) h.10
19
rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.”27 Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Namun, ketika berhubungan dengan masyarakat luar, mereka memahami adanya kesadaran untuk tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum negara. Walaupun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain perlu adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat, mereka wajib tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok yang lebih besar. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari.28 Soepomo kemudian mengemukakan penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik,
27
Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.150 28 Tolib Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, h.75
20
melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan.29 Dari
kedua
pendapat
ini
memperlihatkan
bahwa
masyarakat
yang
mengembangkan hukum adat ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts Gemeenschapen). Persekutuan hukum atau masyarakat hukum ini didefinisikan sebagai kelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan ini bersifat abadi, memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut serta dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang berlaku bagu warga desa pakraman, yakni awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.30 Sebagai sebuah produk hukum adat, awig-awig sangat ditaati oleh masyarakat setempat. Salah satu corak hukum adat adalah konkrit dan visual.31 Konkrit artinya jelas, nyata, berwujud sedangkan visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak sembunyi. Jadi hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat adalah terang dan tunai, tidak samar-samar, dapat disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar. 29
Ibid. Ibid., h.56-57 31 Ibid., h.34 30
21
Sebelum membuat sebuah awig-awig penting bagi masyarakat untuk memahami apa saja yang termuat dalam aturan itu. Proses pembuatan awig-awig sangat demokratis karena dibuat dalam paruman dan semua krama desa memiliki kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.32 Sepanjang yang diatur merupakan hal-hal yang menguntungkan masyarakat, mereka akan mematuhinya. Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan, awigawig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai hukum adat juga serba jelas.33 Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan visual (dapat diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut hukum adat terjadi jika telah ada tanda-tanda pengikatnya yang nyata. Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara karena desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara sebagai kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri (otonomi) tidak bisa diberlakukan secara penuh. Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan 32
AA Gede Oka Parwata, op.cit, h.55 Otje Salman Soemadiningrat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, h.118 33
22
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Jika semua persyaratan ini sudah dipenuhi oleh desa pakraman, maka negara pun mengakui eksistensi desa pakraman berikut awig-awig-nya. Karena itulah desa pakraman disebut sebagai kesatuan masyarakat yang semiotonom (semiautonomous social fields) karena tetap harus tunduk kepada aturan dari luar desa pakraman, yakni negara.34
1.7.4. Kerangka Berpikir
Negara Desa Pakraman
Berwenang membuat Aturan (Awig-awig)
HUKUM ADAT
Pengukuhan Awig-awig
Awig-awig dikukuhkan oleh Bupati/Wali Kota
Teori Pluralisme Hukum
34
AA Gede Oka Parwata, op. cit., h.53
Berwenang mengakui KMHA
HUKUM NEGARA
23
Dari kerangka berpikir ini dapat dijelaskan bahwa desa pakraman merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa pakraman diakui keberadaannya sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Sebagai lembaga yang memiliki otonomi, desa pakraman berwenang membuat aturan (awig-awig). Aturan ini merupakan implementasi dari hukum adat. Di sisi lain, negara berwenang mengakui keberadaan desa pakraman selama memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam konstitusi. Pengakuan dari negara ini merupakan implementasi dari hukum negara. Adanya dua sistem hukum yang dianut oleh krama desa pakraman (hukum negara dan hukum adat) dinyatakan sebagai sebuah pluralisme hukum. Dalam hal pembuatan awig-awig yang berlaku untuk krama desa pakraman, ada juga campur tangan negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanda tangan Bupati/Wali Kota sebagai murdaning pamikukuh. Pengukuhan awig-awig desa pakraman ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap desa pakraman dan bentuk pengakuan hukum negara terhadap hukum adat. Ini juga menunjukkan desa pakraman tunduk terhadap negara karena desa pakraman termasuk dalam kelompok semiautonomous social fields.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dengan meneliti bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Menurut
24
Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum (legal research) bertujuan menemukan kebenaran koherensi, adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah dan larangan itu sesuai prinsip hukum, serta apakah tindakan itu sesuai dengan norma hukum dan prinsip hukum.35
1.8.2. Pendekatan Penelitian Dalam
penelitian
ini
digunakan
pendekatan
perundangan-undangan,
pendekatan historis, dan pendekatan konsep. Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mendapatkan jawaban bagaimana kedudukan awig-awig sebagai hukum adat dilihat dari konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) serta bagaimana pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota diatur dalam peraturan daerah (Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman). Pendekatan historis digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang sejarah penulisan awig-awig desa pakraman. Pendekatan konsep digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang makna pengukuhan.
1.8.3. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan mengambarkan sifatsifat suatu individu atau kelompok tertentu, untuk menentukan ada tidaknya
35
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum. Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 47
25
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sudah ada untuk diaplikasikan ke dalam permasalahan.
1.8.4. Bahan Hukum Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif dalam arti mempunyai otoritas.36 Bahan hukum primer yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang menurut Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011 didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.37 Bahan hukum ini berupa UUD NRI 1945 dan Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum ini meliputi buku-buku teks, kamus hukum, kamus Bahasa Bali yang digunakan untuk menterjemahkan awig-awig yang berbahasa Bali, dan jurnal hukum.
36 37
Ibid., h.181 Ibid., h.184
26
1.8.5. Teknik Pengumpulan Bahan Teknik pengumpulan bahan yang dipakai dalam penelitian hukum ini adalah penelusuran literatur dengan teknik pencatatan. Bahan dari buku referensi termasuk dari awig-awig desa pakraman yang relevan dikembangkan ke buku hukum yang lainnya
sehingga
menghasilkan
suatu
karya
ilmiah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
1.8.6. Pengolahan dan Analisis Bahan Pengolahan dan analisa bahan hukum dari penelitian ini menggunakan penelitian terhadap taraf sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan secara vertikal dan secara horizontal.38 Secara vertikal, yang diteliti adalah taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan menurut hirarkinya. Secara horizontal, yang diteliti adalah sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang mempunyai hubungan fungsional konsisten.
38
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 256