BAB II TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERKREDITAN DESA, DESA PAKRAMAN, HUKUM ADAT BALI, LEMBAGA KEUANGAN MIKRO, DAN HUKUM JAMINAN
2.1 Lembaga Perkreditan Desa Keberadaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) pada masing-masing desa adat atau desa pakraman di Bali dirintis oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Bali pada tahun 1984, dengan jalan memberikan insentif Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) kepada desa pakraman tertentu yang memenuhi syarat bagi didirikannya sebuah LPD. Pendirian LPD memang sejak awal dimaksudkan oleh para perintisnya untuk meningkatkan kualitas kehidupan perekonomian warga desa pakraman.1 Pada awalnya keberadaan dan aktivitas LPD diatur berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984 tertanggal 1 November 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali. Peraturan ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Lembaga Perkreditan Desa dan diperbaharui lagi dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang LPD, terakhir diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa.2 Selain berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali, keberadaan dan aktivitas LPD juga diatur berdasarkan awig-awig dan/atau pararem yang hanya berlaku pada desa pakraman setempat. Awig-awig dan/atau pararem dimaksud dibuat oleh desa pakraman setempat dengan 1
32
Sumarta, I Ketut, 2014, Pararem Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali, Majelis Desa Pakraman Bali, Denpasar, hal. 7 2 Ibid
didampingi dan dibina oleh tim pembina penulisan awig-awig dari Pemerintah Provinsi Bali dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali. Walaupun demikian, substansi awig-awig dan/atau pararem tentang LPD bagi satu desa pakraman tidaklah persis sama dengan awig-awig dan/atau pararem desa pakraman lainnya. Hal ini memang dimungkinkan sesuai dengan asas desa mawacara (membuat awig-awig dan/atau pararem yang sesuai dengan kondisi dan situasi desa pakraman setempat). Hal ini berarti bahwa, keberadaan dan aktivitas LPD belum diatur berdasarkan awig-awig dan/atau pararem atau hukum adat Bali sebagai satu kesatuan sistem hukum yang berlaku sama di seluruh Bali.3 Desa pakraman dan LPD tidaklah steril dari berbagai pengaruh yang disebabkan oleh adanya perubahan atau perkembangan situasi dan kondisi di luar desa pakraman, terutama perubahan politik dan pemerintah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beberapa contoh tersebut, antara lain; lahirnya Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, dan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lahirnya Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali pada tanggal 27 Februari 2004 sebagai wadah tunggal seluruh desa pakraman di Bali, membawa beberapa perubahan terhadap keberadaan desa pakraman, terutama dalam hubungan dengan aktivitas dan relasi desa pakraman dengan lembaga di luar desa pakraman, baik lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Kenyataan ini membawa dampak pula terhadap keberadaan LPD sebagai salah satu aset (duwe) desa pakraman. Keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), dan Gubernur Bank Indonesia: Nomor 351.1/KMK.010/2009; Nomor 900-636 A Tahun 2009; Nomor 01/SKB/M.KUMK/IX/2009; Nomor 11/43A/KEP.GBI/2009 tertanggal 7 September 2009 3
Ibid, hal. 8
tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) membawa pengaruh yang signifikan bagi LPD. Surat Keputusan Bersama ini pada prinsipnya menegaskan bahwa LPD harus memilih salah satu bentuk kelembagaan, yakni bank, Bank Pekreditan Rakyat (BPR), koperasi, ataukah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Keluarnya SKB Tiga Menteri di atas direpon oleh Pemerintah Provinsi Bali dengan mengubah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang LPD dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD.4 Pada tanggal 12 Oktober 2010, MDP Bali mengadakan Pasamuhan Agung III dengan salah satu keputusan bahwa LPD sebagai duwe (aset) penuh desa pakraman diatur dengan hukum adat bali. Pasamuhan Agung III MDP Bali tersebut juga mengamanatkan kepada Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali supaya berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bali untuk mengagendakan revisi Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD dan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang desa pakraman sehingga kedudukan (linggih) dan tata kelola (sesana) LPD menjadi jelas sebagai duwe desa pakraman.5 Keputusan Pesamuhan Agung III MDP Bali ini telah direspon oleh Pemerintah Provinsi Bali dengan mengubah Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 tentang LPD dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Perubahan ini memberi ruang kepada MDP Bali untuk turut serta secara aktif melakukan pembinaan terhadap LPD, sesuatu yang tidak ditemui Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang LPD yang ada sebelumnya. Hingga selanjutnya diterbitkan Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua 4
Devi Jayanthi, Ni Made, 2012, “Eksistensi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dalam Praktek Perbankan Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998”, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.63. 5 Sumarta, I Ketut, Op.Cit, hal. 9
Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 tahun 2002 tentang Lembaga Pekreditan Desa. Ruang tersebut justru tampak tertutup kembali bagi MDP Bali untuk menyusun dan menetapkan hukum adat Bali (Bali Mawacara) bagi LPD se-Bali karena pengaturan tata kelola LPD dalam Peraturan Gubenur tersebut praktis terlalu jauh mendekati dan menyerupai tata kelola perbankan. Pada tanggal 8 Januari 2013 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Undang-Undang LKM). Keluarnya Undang-Undang LKM ini perlu mendapat perhatian semua pihak secara lebih serius dalam usaha mempertahankan keberadaan dan aktivitas LPD sebagai salah satu duwe desa pakraman. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius karena di satu pihak, undang-undang ini memberi ruang yang cukup kondusif bagi keberadaan dan aktivitas LPD, tetapi di sisi lain pihak ada beberapa hal yang justru menempatkan LPD pada posisi harus membenahi diri dengan sistem yang sesuai. Keharusan bagi LPD untuk berbenah ini patut mendapat perhatian serius, baik oleh Pemerintah Provinsi Bali (beserta segenap jajarannya yang telah berjasa dalam merintis, membina, dan membesarkan LPD), oleh desa pakraman maupun oleh MDP Bali sebagai wadah tunggal desa pakraman di Bali. Adanya ruang yang cukup kondusif bagi keberadaan dan aktivitas LPD dalam UndangUndang LKM ini dapat diketahui dari ketentuan Bab XII Pasal 39 angka (3) yang menentukan bahwa: Lembaga Pekreditan Desa diakui berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang LKM ini. Dari ketentuan Pasal 39 angka (3) ini dapat diketahui bahwa memang telah lahir era baru bagi keberadaan LPD di Bali, yang patut direspon dengan cara tepat dan cepat. Selain adanya ruang yang cukup kondusif bagi keberadaan dan aktivitas LPD, pemberlakuan Undang-Undang
LKM mengharuskan LPD untuk melakukan pembenahan terkait dengan keberadaan (linggih) dan tata kelolanya (sesana), sehingga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lembaga keuangan yang keberadaanya diakui berdasarkan hukum adat, seperti ditentukan dalam pasal 39 angka (3) Undang-Undang LKM. 2.2 Desa Pakraman Provinsi Bali terbagi menjadi 8 kabupaten dan 1 kota. Wilayah Provinsi Bali tidak terlalu besar, namun secara turun temurun mempunyai beberapa kekhususan yang menyebabkan Bali terkenal di Indonesia maupun hingga ke mancanegara hingga saat ini. Kekhususan Bali menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar Bali, sehingga mereka datang ke Bali, baik sebagai wisatawan maupun sebagai peneliti. Kekhususan Bali ini sekaligus juga memberikan konstribusi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik berupa devisa maupun nilai lebih (added value) dan benefit lainnya, berupa kekayaan keragaman Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sekaligus bermakna bagi dunia. Salah satu kekhususan Bali yang terkenal yaitu sistem desanya. Berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia, di Bali ada dua jenis desa, yaitu:6 1. Desa adat atau desa pakraman (desa tradisional) di seluruh Bali yang berjumlah 1.488; 2. Desa dinas atau desa administratif (desa negara) di seluruh Bali berjumlah 716. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 Angka 4 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman). Desa pakraman yang sangat erat hubungannya dengan agama Hindu mempunyai unsur-unsur yang terangkum dalam Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan. Unsur 6
Anonim, 2015, “Desa Pakraman : Salah Satu Kekhususan Provinsi Bali yang Patut Dilindungi”, Makalah.
yang pertama adalah unsur parahyangan (hal-hal yang berhubungan dengan agama Hindu), unsur pawongan (aktivitas warga desa yang beragama Hindu/krama desa), dan unsur terakhir adalah unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya sesuai dengan ajaran Hindu). Tugas dan wewenang utama desa pakraman adalah melaksanakan ajaran agama Hindu dan menegakkan hukum adat Bali di wilayahnya. Tugas dan wewenang lainnya yaitu berkoordinasi dengan desa dinas dan pihak berwenang lainnya untuk menciptakan kasukertan (kedamaian) di wilayahnya. Sebuah desa pakraman pada umumnya terdiri dari beberapa banjar pakraman, tetapi ada pula yang hanya terdiri dari satu banjar pakraman. Pengertian banjar pakraman sesuai dengan Pasal 1 Angka 5 Peraturan Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang desa pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desa pakraman. Selain banjar pakraman, struktur organisasi desa pakraman meliputi tiga aspek, yaitu (1) susunannya; (2) sistem keanggotaannya; dan (3) sistem pemerintahannya. Struktur organisasi desa pakraman yang jumlahnya mencapai 1.488 tentu sangatlah bervariasi, namun secara umum dilihat dari susunan desa pakraman terdapat dua variasi desa pakraman sebagai berikut:7 1. Desa pakraman yang bersusunan tunggal, yaitu desa pakraman yang hanya terdiri dari satu banjar; 2. Desa pakaraman yang susunannya bertingkat, yaitu desa pakraman yang terdiri atas beberapa banjar; Dilihat dari sistem keanggotannya, secara umum terdapat dua variasi desa pakraman, yaitu:
7
Ibid.
1. Desa pakraman yang sistem keanggotaannya berdasarkan pernikahan (mapikuren), dimana setiap desa pakraman yang sudah berumahtangga mempunyai tanggungjawab yang sama dalam desa pakraman; 2. Desa pakraman yang sistem keanggotannya berdasarkan ngemong karang ayahan, dimana tanggungjawab krama desa dibedakan berdasarkan hubungannya dengan karang ayahan; Terlepas dari dasar keanggotaannya, setiap anggota desa pakraman (krama desa) memiliki tanggung jawab (swadharma) terhadap desa pakraman yang diwujudkan dengan maksud dan tujuan untuk mempertahankan unsur-unsur desa pakraman yang terdiri dari atas unsur parhyangan, pawongan, dan palemahan. Wujud tanggungjawab yang harus dilaksanakan oleh krama desa, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: berwujud wajib kerja secara fisik (ayah-ayahan) dan wujud materi atau urunan (pawedalan). Sistem pemerintahan desa pakraman juga bervariasi dimana variasi tersebut dipengaruhi oleh tipe desa pakraman yang bersangkutan, yaitu:8 1. Pada desa pakraman bertipe desa bali aga, umumnya sistem pemerintahannya bersifat kolektif atau kembar dimana terdapat lebih dari satu pejabat puncak dalam struktur pemerintahannya; 2. Pada tipe desa pakraman apenaga atau desa pakraman anyar (baru), umumnya bersistem pemerintahan tunggal, dimana hanya ada satu pejabat puncak dalam struktur pemerintahannya. Perangkat pimpinan desa pakraman dikenal dengan sebutan prajuru desa dengan pucuk pimpinannya disebut bendesa atau kelian desa atau kelian adat (ketua). Pucuk pimpinan dibantu
8
Sudantra I Ketut dan Wayan P. Windia, 2012, Sesana Prajuru Desa Tatalaksana Pimpinan Desa Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal.15
satu orang atau beberapa orang petajuh (wakil ketua), penyarikan (sekretaris), dan juru raksa (bendahara). Perangkat pimpinan (prajuru) desa pakraman dan perangkat pimpinan (prajuru)banjar pakraman, menjalankan roda pemerintahan di desa pakraman berdasarkan aturan yang dibuat oleh desa pakraman sendiri, dikenal dengan sebutan awig-awig dan pararem desa pakraman. Selain itu, desa pakraman juga menjalankan aktivitasnya berdasarkan norma agama Hindu, keputusan Majelis Desa Pakraman Bali, dan aturan negara lainnya yang erat hubungannya dengan keberadaan desa pakraman. Sementara itu, Bendesa Alitan, Bendesa Madya, dan Bendesa Agung menjalankan roda organisasi berdasarkan keputusan Majelis Desa Pakraman Bali, norma agama Hindu, dan aturan negara lainnya yang erat hubungannya dengan keberadaan desa pakraman tanpa mengabaikan awig-awig dan pararem desa pakraman. Majelis Desa Pakraman itu sendiri merupakan satu wadah organisasi yang menaungi seluruh desa pakraman yang ada di Bali. Pengaturan mengenai Majelis Desa Pakraman tercantum dalam Pasal 1 Angka 6 dan Angka 7 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Majelis Desa Pakraman keberadaannya diatur secara berjenjang mulai dari Provinsi Bali sampai di kecamatan dengan struktur kelembagaan sebagai berikut (Pasal 14 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman): 1. Majelis Utama Desa Pakraman berkedudukan di tingkat Provinsi; 2. Majelis Madya Desa Pakraman berada di kabupaten/kota; 3. Majelis Alit Desa Pakraman berada pada masing-masing kecamatan. 2.3 Hukum Adat Bali Hukum adat Bali adalah kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan
masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Istilah “hukum adat Bali” pada mulanya tidak begitu dikenali oleh kalangan masyarakat Bali. Istilah yang biasa dipakai dalam tata pergaulan masyarakat di Bali, yaitu adat, dresta, gama, sima, cara, kerta sima, geguat, pengeling-eling, tunggul, awig-awig, pararem, dan sebutan lainnya yang dapat diguakan untuk menyebutkan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, baik adat yang bersifat hukum (hukum adat) maupun untuk adat yang tidak bersifat hukum (adat istiadat).9 Hukum adat Bali yang mengatur desa pakraman di Bali selalu bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan sendi-sendi pada adat-istiadat (dresta) setempat, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, serta kebudayaan yang telah berlaku secara turun-temurun dipatuhi oleh masyarakat dengan ikhlas. Tatanan hukum tersebut dirangkum dalam bentuk awig-awig desa pakraman dan pararem desa pakraman. Awig-awig sebelum disahkan, terlebih dahulu disusun dan dimusyawarahkan dalam suatu rapat krama desa yang disebut paruman desa. Pada jaman dahulu, awig-awig desa pakraman belumlah tertulis seperti sekarang, namun tetap dilaksanakan sebagaimana kesepakatan yang telah dilakukan dalam rapat desa pakraman. Sejak tahun 1969, desa-desa pakraman di Bali mempunyai kecenderungan menulis awig-awig dalam format dan sistematika yang nyaris seragam. Perkembangan ini dilakukan dengan pembinaan yang dilakukan Pemerintah Daerah Bali yang mendorong desa-desa pakraman di Bali menuliskan awig-awig agar dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakatnya.10
9
Wayan P. Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus dan Penyelesaian, Udayana University Press, Denpasar, hal.69 10 Ibid, hal 74
Pararem mempunyai sebuah pengertian khusus, yakni sebagai peraturan-peraturan desa pakraman yang masih berupa keputusan-keputusan sangkepan desa (rapat desa). Ada tiga jenis pararem yang dikenal secara umum oleh masyarakat desa pakraman Bali, yaitu11: 1. Pararem panyahcah awig-awig; Pararem panyahcah awig-awig adalah pararem yang berupa aturan pelaksanaan dari pawos-pawos (pasal-pasal) yang sudah ada dalam awig-awig 2. Pararem pangele; Pararem pangele disebut juga pararem lepas, yaitu berupa peraturan-peraturan baru yang dibuat melalui sangkepan desa untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan zaman. 3. Pararem penepas wicara; Pararem penepas wicara, yaitu berupa keputusan sangkepan desa untuk memberikan penyelesaian atau memberikan keputusan dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi di lingkungan desa pakraman. Selayaknya hukum negara yang memberikan sanksi kepada warga negara yang melakukan pelanggaran, maka pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh krama desa pakraman terhadap peraturan yang berlaku di desa pakraman juga diberikan sanksi adat. Sanksi adat di Bali tidak mempunyai posisi yang sah dan tidak sah secara konkrit. Persoalan sanksi merupakan persoalan masih berlaku, kurang berlaku, bahkan sama sekali tidak berlaku, karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Berdasarkan hal tersebut, rincian sanksi adat di desa pakraman Bali, dapat dirangkum, sebagai berikut:12 1. Sanksi adat yang masih berlaku, antara lain: (a) dosa, danda saha panikelnikelnya miwah panikel urunan (denda berupa uang beserta denda-denda yang
11 12
Ibid, hal. 87 Ibid.hal 91
lainnya), pamarisuda, prayascita (upacara pembersihan); (b) matirta gamana atau matirta yatra (melakukan perjalanan suci, untuk golongan pendeta); (c) pangaksana, mapilaku lumaku, mengolas-olas, nyuaka (minta maaf); (d) kapelungguh, kapesajen, karepotang (diberi peringatan lisan); (e) kasepekang (dikucilkan); (f) kanoroyang utawi tan polih suaran kulkul matehin pikenoh kapuikin (untuk sementara dianggap bukan warga yang ditandai dengan tidak mendapatkan pemberitahuan sesuatu atau sama dengan pengucilan); 2. Sanksi adat yang masih dikenal dalam awig-awig (tertulis maupun tidak tertulis) tetapi hampir tidak pernah dilaksanakan, seperti kadaut karang ayahan desa (diambil alih tempat kediamannya yang berupa karang ayahan desa), karampag (harta yang dimilikinya diambil paksa atau dirampas), ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan). 3. Sanksi adat yang dilarang secara resmi oleh pemerintah, tetapi di beberapa desa pakraman masih dilaksanakan, seperti ditempatkan sementara dekat kuburan atau di luar wilayah desa bagi yang manak salah atau melahirkan anak kembar dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan; 4. Sanksi adat yang di desa tertentu masih berlaku, sementara di desa lain ditinggalkan oleh masyarakat, seperti: kataban (diambil dan dimiliki) dengan ganti rugi immaterial (mengawini gadis); 5. Sanksi adat yang sama sekali telah ditinggalkan, seperti: ngingu banjar/desa (menjamu seluruh warga desa atau banjar), kapaemang (dibunuh), katugel limane (dipotong tangannya), kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan ada kalanya ke
luar Bali), mapulang ke pasih (ditenggelamnkan ke laut), kablagbag (dipasung), kalatengan (disiksa menggunakan daun lateng), kaople (diarak keliling desa). 2.4 Lembaga Keuangan Mikro Lembaga keuangan mikro adalah lembaga keuangan yang khususnya didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dikeluarkan berdasarkan beberapa latar belakang berikut13: 1. Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri (Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan); 2. Lembaga Dana Kredit Pedesaan (Bank Desa, Lumbung Desa), Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, dan/atau lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan itu) diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan undangundang ini dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan);
13
Sapto Supono, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Persiapan Operasionalisasi”, Makalah pada Seminar Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Nusa Dua, 7 November 2013
3. Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang belum memperoleh izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat wajib mengajukan izin usaha selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997 (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Sampai dengan batas waktu tersebut, masih banyak lembaga keuangan mikro yang belum memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Bank Perkreditan Rakyat, bahkan banyak yang tidak ingin dikukuhkan sebagai Bank Perkreditan Rakyat, seperti Lembaga Perkreditan Desa di Bali. Oleh sebab itu, dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas operasionalisasi lembaga keuangan mikro, Pemerintah dan DPR-RI, pada tanggal 11 Desember 2012 sepakat Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro disahkan menjadi Undang-undang. Lembaga keuangan mikro harus berbentuk badan hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas. Jika berbadan hukum Perseroan Terbatas, maka sahamnya paling sedikit 60% dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Sisanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau koperasi. Kepemilikan saham oleh setiap Warga Negara Indonesia paling banyak 20%. Sebagaimana layaknya lembaga keuangan lain, lembaga keuangan mikro juga berada dibawah pengawasan dan pembinaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga saat melakukan pendiriannya pun harus memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Izin usaha tersebut harus memenuhi persyaratan paling sedikit mengenai susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, dan rencana kelayakan kerja. Kegiatan usaha lembaga keuangan mikro meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat melalui pinjaman/pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, dan pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha dengan
cakupan wilayah usaha pada satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota yang disesuaikan dengan skala usaha lembaga keuangan mikro masing-masing14. Fungsi lembaga keuangan mikro yang hampir mirip dengan lembaga perbankan membuat masyarakat yang menyimpan dana di sebuah lembaga keuangan mikro harus pula terjamin keamanannya. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada lembaga keuangan mikro, Pemerintah Daerah dan/atau lembaga keuangan mikro dapat membentuk lembaga penjamin simpanan lembaga keuangan mikro. Perhatian pemerintah daerah sangat penting mengingat masyarakat telah terbiasa dengan bank umum yang mempunyai sistem yang telah terintegrasi dengan baik. Lembaga Keuangan Mikro jika terus dikembangkan akan dapat membantu pelaku usaha skala mikro dalam memperoleh modal dengan persyaratan yang tidak terlalu rumit. Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan pembinaan pada lembaga keuangan mikro harus berkoordinasi dengan Kementerian Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri, namun pembinaan dan pengawasan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan mendelegasikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Pokok-pokok pemikiran kelembagaan daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan adalah sebagai berikut15: 1. Pemerintah Kabupaten/Kota; a. Bagian administrasi perekonomian dibawah asisten perekonomian dan pembangunan, merupakan unsur staf yang membantu sekretariat daerah yang mempunyai tugas membantu Bupati/Walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas-dinas dan lembaga teknis.
14 15
Ibid. Ibid.
b. Dinas koperasi dan UMKM, merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan UMKM, serta menyelenggarakan fungsi: -
Perumusan kebijakan teknis,
-
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum,
-
Pembinaan dan pelaksanaan tugas.
c. Badan pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan desa, mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan
dan
pelaksanaan
kebijakan
daerah
di
bidang
pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa, serta menyelenggarakan fungsi: -
Perumusan kebijakan teknis,
-
Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah,
-
Pembinaan dan pelaksanaan tugas.
Salah satu fungsi dari pembinaan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dibantu Kementerian Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri adalah harus melakukan inventarisasi lembaga keuangan mikro yang belum berbadan hukum paling lambat 2 tahun. Hal ini menjadi sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi praktek rentenir secara terselubung yang berkedok lembaga keuangan mikro sehingga sangat memberatkan masyarakat pelaku usaha mikro. Berdasarkan peta jumlah pelaku usaha yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri tahun 2013, jumlah pelaku usaha pada sektor usaha mikro ± 52,176 juta atau sekitar 98,56%, pelaku usaha pada sektor usaha besar sejumlah ± 4,677 ribu atau sekitar 0,01%, pelaku usaha pada sektor usaha kecil yaitu ± 546,675 ribu atau sekitar 1,03%, dan pelaku usaha sektor usaha menengah berjumlah ± 41,133 ribu atau sekitar 0.08%. Fenomena tumbuhnya
sektor usaha mikro memberi peluang yang sangat besar pula bagi tumbuhnya lembaga keuangan mikro. Pelaku usaha sektor usaha mikro memiliki kebutuhan yang tinggi akan sumber-sumber keuangan untuk menopang usahanya. Bahkan, dewasa ini, pelaku usaha sektor usaha kecil dan menengah juga menyasar lembaga keuangan mikro dalam hal pembiayaannya karena beberapa faktor. Faktor utama adalah adanya opsi yang mudah untuk mengakses sumber keuangan untuk menopang usaha. Beberapa lembaga keuangan mikro bahkan hanya mengandalkan prinsip kepercayaan yang tinggi pada nasabah tanpa memakai barang atau orang sebagai jaminan dalam memberikan bantuan dana. Lembaga keuangan mikro juga mampu memberikan pelayanan prima dan nyaman selayaknya lembaga perbankan. Masyarakat merasakan kembali tumbuhnya tradisi kolektifitas atau kekeluargaan yang menyebabkan mereka semakin tertarik melakukan transaksi selain demi kelangsungan usahanya. Lembaga keuangan mikro merupakan sebuah instrumen untuk membangun kesadaran kolektif, komitmen bersama, dan kesetiakawanan melalui sentuhan kemanusiaan. Inovasi lain yang diberikan adalah memberikan pemberdayaan (edukasi) usaha ekonomi masyarakat yang efektif (personal education). Hal ini tentu tidak dapat diberikan oleh lembaga keuangan skala makro yang mengedepankan kecepatan demi meraih profit atau laba. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, telah terdapat banyak lembaga keuangan yang memberi pembiayaan bagi usaha skala mikro. Berikut lembaga-lembaga tersebut beserta landasan hukumnya, yaitu: 1. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; 2. Badan Usaha Milik Desa, dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
3. Lembaga Perkreditan Desa, Lumbung Pitih Nagari, dan lembaga sejenis yang diatur berdasarkan hukum adat di wilayahnya masing-masing; 4. Koperasi Simpan Pinjam, dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sehingga, berdasarkan pengertian dari Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, maka yang termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro diantaranya sebagai berikut: 1. Bank Desa; 2. Lumbung Desa; 3. Bank Pasar; 4. Bank Pegawai; 5. Badan Kredit Desa (BKD); 6. Badan Kredit Kecamatan (BKK); 7. Bank Karya Produksi Desa (BKPD); 8. Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP); 9. Baitul Maal wa Tamwil (BMT); 10. Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM); 11. Lembaga lain yang dipersamakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Posisi lembaga keuangan mikro sebagai ujung tombak pendanaan di daerah dilarang mencari sumber pendanaan dari pasar modal. Peraturan ini diberlakukan agar lembaga keuangan mikro yang notabene memiliki modal yang terbatas, apabila memutar dananya di pasar modal, maka itu akan memicu resiko sistemik bagi lembaga keuangan mikro itu sendiri. Jika lembaga keuangan mikro memanfaatkan dana di pasar modal, akan berpotensi memindahkan risiko dari pasar modal ke lembaga keuangan mikro. Apabila pasar modal sedang mengalami guncangan,
semua lembaga jasa keuangan akan terkena imbas negatif. Mengingat presentase pelaku usaha mikro paling dominan di Indonesia seperti yang telah dipaparkan di atas, maka guncangan yang dialami akan berpengaruh sangat besar terhadap laju perekonomian nasional. Lembaga keuangan mikro sebagai salah satu media untuk meningkatkan literasi keuangan di setiap desa, kecamatan, dan kabupaten, membuat besarnya risiko pasar modal tidaklah tepat untuk lembaga keuangan mikro. Solusi yang paling tepat bagi lembaga keuangan mikro dalam mendapatkan dana stimulus adalah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) yang setiap tahun dialokasikan. Pemerintah harus memprioritaskan anggaran untuk lembaga keuangan mikro, akan tetapi, alokasi tersebut sebaiknya tidak disalurkan langsung oleh pemerintah ke pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Jika penyaluran langsung oleh pemerintah, debitur akan menganggapnya sebagai hibah dan akan terjadi kredit macet. 2.5 Hukum Jaminan H. Salim H.S menyatakan bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut adalah16: 1. Adanya kaidah hukum; Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan, traktat, dan yurisprudensi. Kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-
16
hal. 7.
H. Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan. 2. Adanya pemberi dan penerima jaminan; Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Pemberi jaminan disini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Badan hukum adalah lembaga yag memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan non-bank. 3. Adanya jaminan; Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan non-kebendaan. 4. Adanya fasilitas kredit; Pembebanan jaminan yag dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non-bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan berdasarkan kepercayaan, dalam arti, bank atau lembaga keuangan non-bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga sebaliknya bahwa debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan non-bank dapat memberikan kredit kepadanya. Berdasarkan hasil analisis yang terhadap unsur-unsur hukum jaminan, maka ditemukan 5 (lima) asas penting dalam hukum jaminan yang harus ada, sehingga pemberi dan penerima
memperoleh keamanan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi dengan menggunakan jaminan. Lima asas penting tersebut, yaitu17: 1. Asas publicitet; Asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Peraturan perundang-undangan telah mengakomodasi hal tersebut. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar. 2. Asas specialitet; Hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang-barang yang telah terdaftar nama orang-orang tertentu. 3. Asas tak dapat dibagi-bagi; Asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian. 4. Asas inbezittstelling; Barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai. 5. Azas horizontal;
17
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, BPHN Departemen Kehakiman RI, Jakarta, hal. 9
Bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai. Hukum jaminan tidak hanya dapat berdasarkan unsur dan asas semata, namun juga harus dilakukan sistem pengaturan hukum jaminan demi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap jaminan. Kajian berbagai literatur hukum Peraturan Daerah menunjukkan bahwa sistem pengaturan hukum, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) sistem tertutup (closed system), dan (2) sistem terbuka (open system). Sistem pengaturan hukum jaminan adalah sistem tertutup (closed system). Sistem tertutup adalah orang tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang.18 Pengaturan hukum jaminan dapat dilihat dari sumber hukum jaminan itu sendiri. Sumber hukum jaminan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu sumber hukum jaminan tertulis dan sumber hukum jaminan tidak tertulis. Sumber hukum jaminan tertulis adalah tempat tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya sumber hukum jaminan tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan, hukum jaminan tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti terdapat dalam hukum kebiasaan. Adapun yang termasuk dalam sumber hukum jaminan tertulis, yakni19: 1. Buku II KUH Perdata (BW); 2. KUH Dagang;
18
H. Tan Kamelo, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung,
hal. 1 19
Hutagalung, Arie Sukanti, 2001, Transaksi Berjaminan (Hak Tanggungan dan Fidusia), Program Pascasarjana Ilmu Hukum UI, Jakarta, hal. 14
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan); 5. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Fidusia); 6. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Undang-Undang Pelayaran). Pada prinsipnya, berdasarkan sumber hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonbank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah20: 1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya; 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya; 3. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi karena keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur adalah: 1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup; 2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur; 20
Ibid. hal 27
Bagi debitur, dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Keamanan modal adalah dimaksudkan bahwa kredit atau modal yang diserahkan oleh kreditur kepada debitur tidak merasa takut atau khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut. Memberikan kepastian hukum adalah memberikan kepastian bagi pihak kreditur dan debitur. Kepastian bagi kreditur adalah kepastian untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur, sedangkan bagi debitur adalah kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan. Apabila debitur tidak dapat mengembalikan pokok kredit dan bunga, bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Nilai benda jaminan biasanya pada saat melakukan taksiran harus lebih tinggi jika dibandingkan pokok dan bunga yang tertunggak. Kesalahan dan ketidaktelitian terjadi ketika dalam kenyataannya seringkali nilai jaminannya lebih rendah dari hutang dan pokok bunga. Sehingga untuk melakukan eksekusi oleh pejabat lelang mengalami kesulitan karena nilai jual benda jaminan berada dibawah nilai hutang pokok dan bunga. Jaminan yang dapat diberikan oleh debitur kepada lembaga keuangan yang hendak diajukan kredit, terdapat dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk jaminan tersebut, antara lain: hak tanggungan, jaminan fidusia, hipotek kapal, hak jaminan resi gudang, dan jaminan perseorangan. Hak tanggungan adalah bentuk hak jaminan atas tanah berikut benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, yang digunakan kreditur (biasanya bank) untuk memperoleh jaminan atas pelunasan hutang dari debiturnya. Hak tanggungan mempunyai ciri dan sifat khusus karena kedudukannya sebagai jaminan pemenuhan kewajiban debitur kepada bank. Ciri dan sifat khusus itu, yaitu21:
21
Irma Devita Purnamasari, 2014, Kiat-Kita Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan perbankan, PT. Mizan Pustaka, Bandung, hal. 36.
1. Hak tanggungan bersifat memberikan hak preference (droit de preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu daripada kreditur lainnya; 2. Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite). Jadi, walaupun tanah yang dibebani dengan hak tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain, hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan oleh pemegang hak tanggungan dimaksud; 3. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya; 4. Hak tanggungan dapat digunakan untuk menjamin hutang yang sudah ada atau akan ada. Hutang yang akan ada adalah hutang yang pada saat dibuat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya; 5. Hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial; Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan, melalui penjualan di muka umum. 6. Hak tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas; Kreditur berhak mendapatkan pelunasan hutang terlebih dahulu dari hasil penjualan tanah atau bangunan sebagai jaminan. Konsep pemberian jaminan fidusia adalah penyerahan hak milik secara kepercayaan atas hak-hak kebendaan. Jaminan kebendaan yang dimaksud disini berupa hak atas suatu benda yang bisa dimiliki dan dialihkan, contohnya: kendaraan bermotor, mesin-mesin dan alat berat, piutang dagang atau tagihan, dan stok barang dagangan (inventaris). Oleh karena jaminan fidusia merupakan hak milik atas hak-hak kebendaan, maka terdapat larangan dalam penjaminan fidusia, yaitu: (a) pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang telah terdaftar, (b) pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan,
atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dan (c) pemberian jaminan fidusia hanya dapat dibebankan pada hak kebendaan, bukan terhadap hak perseorangan22. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka seluruh ketentuan mengenai pembebanan jaminan atas benda-benda tidak bergerak seperti halnya tanah dan kapal yang beratnya lebih dari 20
menggunakan lembaga jaminan berupa hipotek yang diatur dalam
buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Oleh karena itu, orang-orang lebih mengenal hipotek dibandingkan dengan hak tanggungan. Namun, sejak lahirnya UndangUndang Hak Tanggungan, maka hipotek hanya digunakan untuk kapal yang beratnya lebih dari 20m3. Pembebanan hipotek atas kapal ini jarang digunakan karena sering terdapat banyak masalah di lapangan pada saat eksekusi kapal, antara lain23: 1. Pola koordinasi di lapangan. Kapal merupakan benda bergerak yang keberadaannya sering berpindah-pindah, bahkan terkadang berlayar tidak dalam wilayah Republik Indonesia. Hal ini menyulitkan jika kreditur selaku pemilik kapal ingin mengambilalih, sedangkan kapal berada di luar wilayah Indonesia; 2. Biaya untuk pengambilalihan kapal yang akan dieksekusi biasanya cukup tinggi; 3. Posisinya agak sulit jika kapal sedang disewa pihak lain, karena penyewa dapat bertindak seolah tidak mau tahu dengan adanya hipotek tersebut. Sistem resi gudang mulai dikenal di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Sebelum muncul Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang sistem resi gudang, banyak dikenal 22
Ibid, hal. 82 Ramlan Ginting, “Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 6 Nomor 2, Agustus 2008. 23
berbagai macam terobosan yang ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditas pertanian. Beberapa diantaranya yang hampir mirip dengan sistem resi gudang adalah sistem tunda jual, gadai gabah, dan yang terakhir adalah Collateral Management Agreement (CMA). Jika ditinjau dari kelengkapan infrastuktur sistem dan keamanannya, sistem resi gudang merupakan sistem yang paling aman dan canggih jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang pernah ada di Indonesia. Dalam sistem resi gudang, terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena semua data penatausahaan resi gudang terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh Badan Pengawas (BAPPEBTI). Hak jaminan atas resi gudang berbeda dengan gadai, fidusia, atau bahkan hak tanggungan. Namun, resi gudang juga memiliki hak preference yang memberikan kedudukan diutamakan bagi kreditur pemegang jaminan yang bersangkutan. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 26/MDAG/PER/6/2007 telah menetapkan delapan komoditas pertanian sebagai barang yang dapat disimpan di gudang dalam penyelenggaraan sistem resi gudang. Kedelapan komoditas itu adalah: gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut, dan jagung. Penyelenggaraan sistem resi gudang memiliki kriteria barang yang dapat disimpan di gudang yaitu setiap barang bergerak yang disimpan dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi kriteria:24 1. Mempunyai daya simpan minimum 3 bulan; 2. Memenuhi standar mutu tertentu; 3. Memenuhi kriteria minimum (jumlah minimum barang yang disimpan). Terkait jaminan perseorangan, pada prinsipnya semua orang perseorangan maupun badan hukum yang dianggap sebagai subjek hukum dapat bertindak sebagai penjamin. Namun, dalam prakteknya hanya badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas yang dapat diterima oleh bank/lembaga keuangan lainnya selaku penjamin. Penentuan siapa yang bertindak sebagai 24
Irma Devita Purnamasari, Op.Cit, hal. 137
penjamin dalam suatu perjanjian kredit biasanya semata-mata ditetapkan oleh pihak kreditur atau melalui pengajuan debitur sendiri. Dalam praktek, secara umum biasanya yang diminta sebagai penjamin adalah25: 1. Personal guarantee dari para pemegang saham untuk debitur bersangkutan, jika yang bertindak selaku debitur adalah suatu perusahaan; 2. Company guarantee dari perusahaan lain yang masih merupakan afiliasi debitur; 3. Personal guarantee dari para komisaris atau para direksi debitur; 4. Personal guarantee dari orangtua debitur, dengan kemampuan keuangan yang dianggap lebih baik daripada debitur yang bersangkutan. Alternatif pengganti jaminan dalam praktek ada banyak jenisnya. Alternatif pengganti jaminan sangat membantu debitur dan kreditur dalam mencapai kesepakatan jaminan kredit yang tidak terpaku pada hal-hal tertentu. Dalam praktek perbankan, dikenal berbagai bentuk alternatif yang digunakan sebagai pengganti jaminan. Walaupun tidak punya kekuatan eksekutorial yang sekuat jaminan yang telah diatur dalam dan lembaga jaminan yang pasti, pemberian jaminan pengganti terkadang menjadi solusi seperti telah diuraikan di atas. Bentuk-bentuk jaminan tersebut, antara lain26: 1. Akta penyerahan jaminan dan kuasa, merupakan pernyataan kesanggupan dari pemilik jaminan untuk menyerahkan jaminan ditunjuk dalam akta tersebut kepada bank; 2. Akta kuasa menjual, merupakan akta yang diberikan pemilik tanah kepada orang kepercayaannya untuk melakukan transaksi jual beli atas tanah yang berkenaan, mewakili pemilik tanah dimaksud. Kuasa menjual tidak boleh bersifat mutlak. Artinya, di dalam kuasa tersebut tidak boleh mengandung unsur-unsur: 25
Huyasro dan Achmad Anwari, 1983, Garansi bank Menjamin Berhasilnya Usaha Anda, Balai Aksara, Jakarta, hal. 149 26 Irma Devita Purnamasari, Op.Cit, hal. 167
a. Tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. b. Pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. 3. Pernyataan jaminan, pada dasarnya bukan merupakan jaminan, melainkan komitmen debitur atau pemilik jaminan yang menyatakan bahwa apabila seluruh proses atas sebidang tanah ataupun bentuk jaminan lainnya sudah selesai dilakukan, debitur atau pemilik jaminan bersedia untuk hadir lagi di hadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah guna menandatangani Akta Pemberian Jaminan yang sesuai untuk jaminan tersebut.