LAPORAN HASIL PENELITIAN PROGRAM I-PIEN
PENEGAKAN INTEGRITAS DALAM LEMBAGA DESA PAKRAMAN DI BALI 1. 2. 3. 4.
Oleh: Prof. Dr. I Wayan Suandi, S.H. M.Hum (Ketua Peneliti) Ni Made Ras Amanda Gelgel., S.Sos. M.Si (Anggota) Dewi Yuri Cahyani, S.Sos., M.Si (Anggota) I Made Anom Wiranata, S.IP., M.A. (Anggota)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR - BALI
Dukungan dari
2 Daftar Isi
Daftar isi...............................................................................................................
2 4
Abstrak................................................................................................................. Bab I Pendahuluan.............................................................................................. Bab II Rumusan Masalah..................................................................................... Bab III Kajian Pustaka.......................................................................................... Bab IV. Metodologi Penelitian.............................................................................. 1. Rancangan Penelitian..........................................................................
4 6 8 16 16
2. Lokasi Penelitian...................................................................................
16
3. Jenis dan Sumber Data.........................................................................
17
4. Penentuan Informan..............................................................................
17
5. Instrumen Penelitian.............................................................................. 6. Tehnik Pengumpulan Data....................................................................
18 18
7. Tehnik Analisa Data..............................................................................
18
8. Tehnik Penyajian Data..........................................................................
18
Bab V. Hasil Penelitian dan Pembahasan............................................................
23
Bab VI. Kesimpulan..............................................................................................
51
Bab VII. Rekomendasi..........................................................................................
53
Daftar Pustaka......................................................................................................
55
3
Lampiran 1 (Daftar Istilah).................................................................................... Lampiran 2 (Pertanyaan Wawancara).................................................................. Lampiran 3 (Daftar Riwayat Hidup Ketua Peneliti)...............................................
57 59 63
4
Penegakan Integritas dalam Pengelolaan Desa Pakraman di Bali
Abstrak: Proposal penelitian ini dibuat atas motivasi dari tim peneliti untuk menggali praktek modal sosial pada desa pakraman (desa adat) pada khususnya praktek-praktek di desa pakraman yang menunjukkan aspek integritas. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor lokal yang mempengaruhi penegakan integritas dalam pengelolaan desa pakraman di Bali. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan historis deskriptif. Melalui penelitian ini diharapkan, tim peneliti akan menemukan bentuk-bentuk kearifan lokal yang tercermin dalam bentuk-bentuk atau model-model penegakan integritas dalam pengelolaan desa pakraman. Disamping itu, penelitian ini juga akan mengungkap tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan integritas di desa pakraman baik pada masa sebelum modernisasi dan masa modernisasi saat ini. Temuan dalam penelitian ini akan menunjukkan nilai-nilai dan praktek-praktek integritas yang telah mendapat legitimasi kuat di kalangan warga desa pakraman dan tantangan-tantangan yang dihadapi ketika desa pakraman berhadapan dengan arus modal dan aktor kekuatan politik. Upaya untuk menegakkan integritas khusus di Pulau Bali, akan lebih efektif bila nilai-nilai integritas di desa pakraman yang sudah berjalan selama ratusan tahun, dapat dipertahankan dan diaktualisasikan sesuai dengan tantangan perkembangan jaman. Kata kunci: integritas, desa pakraman, adat, kearifan lokal, Bali, modal sosial.
Bab I PENDAHULUAN
Pengorganisasian kehidupan masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan dari pengaruh desa pakraman (sering juga disebut dengan istilah desa adat). Desa pakraman adalah unit kesatuan masyarakat di Bali yang sudah hidup dan berkembang sejak masa pra-kerajaan sampai dengan sekarang. Desa pakraman pada masa pra-kerajaan dapat digolong sebagai entitas politik atau unit pemerintahan yang otonom. Entitas ini memainkan perannya dalam urusan publik di wilayah desanya dengan membuat aturan desa (awig-awig) yang berisi hak dan kewajiban warga desa. Aturan desa itu mencakup urusan pemanfaatan sumber daya alam, aturan hidup bersama, gotong royong, pengelolaan pura di wilayah desanya, penyelenggaraan ritual agama Hindu, serta pembangunan sarana umum. Uniknya, meskipun eksis pada masa pra-kerajaan, pengorganisasian di desa pakraman sangat jauh dari kesan otoriter. Pengambilan keputusan dilakukan secara bersama melalui rapat yang dihadiri oleh masing-masing kepala rumah tangga dan
5 pelaksanaan keputusan dikoordinasikan oleh pemimpin desa pakraman yang disebut dengan prajuru atau kelihan. Melalui pengelolaan desa pakraman inilah, masyarakat Bali menikmati periode stabilitas dan kedamaian. Pengelolaan desa pakraman jugalah yang membuat transfer kehidupan budaya Bali berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai dengan sekarang. Transfer ilmu pengetahuan dan budaya itu tampak ketika anak-anak belajar kesenian dan ritual keagamaan melalui kegiatan adat istiadat yang diorgananisir oleh desa pakraman. Memasuki periode kerajaan, peran desa pakraman ini tetap efektif ketika Bali. Desa pakraman tetap memiliki otonomi dalam mengatur urusan di desanya. Perbedaan terletak pada loyalitas dan pembayaran pajak pada pihak kerajaan sebagai bukti pengakuan terhadap kekuasaan raja. Pihak kerajaan berperan dalam menjaga keamanan dan menyebarluaskan karya sastra agama yang digubah atau dirinci oleh para pendeta. Pada masa republik, peran desa pakraman dikurangi oleh peran desa dinas. Desa pakraman hanya menangani urusan yang terkait dengan adat istiadat. Selebihnya urusan administrasi pemerintahan dipegang oleh desa dinas sebagai bagian dari hirarki pemerintahan.
Oleh karena merupakan bagian dari hirarki pemerintahan yang ada di
atasnya, maka pengelolaan desa dinas lebih bersifat birokratis dibandingkan dengan pengelolaan desa pakraman yang bersifat egaliter. Sebagai konsekwensinya, pengelolaan desa dinas akan terpengaruh oleh kondisi birokrasi yang ada di atas. Pada masa Orde Baru, birokrasi Indonesia bukanlah alat negara yang independen karena keberadaannya yang dipengaruhi oleh kepentingan penguasa Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan yang korup. Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, masyarakat Bali mulai berani secara terbuka mengungkap praktek korupsi yang telah terjadi selama masa Orde Baru. Ini menunjukkan kurangnya kepercayaan terhadap birokrasi dan aparatur negara lainnya selama Pemerintahan Orde Baru. Sebagai alternatifnya, masyarakat Bali mulai berpikir untuk merivitalisasi peran desa pakraman. Pemerintah Provinsi Bali menyambut simpati terhadap desa pakraman ini dengan mengesahkan Perda No. 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang memberikan status badan hukum kepada desa pakraman. Dalam berbagai talkshow dan wacana di media, banyak warga masyarakat yang mengharapkan peran desa pakraman dalam menangani persoalan masyarakat. Apreasiasi dari masyarakat dan pemerintah daerah menunjukkan adanya pengakuan terhadap kinerja dan integritas dari institusi desa pakraman yang telah hidup dan eksis selama ratusan tahun.
6 Penelitian tentang penegakan integritas dalam pengelolaan desa pakraman penting untuk dilakukan atas dasar beberapa hal. Pertama, desa pakraman telah menunjukkan legitimasi yang tinggi dimata publik selama ratusan tahun. Legitimasi itu tidak akan dapat dapat
bertahan apabila
desa pakraman memiliki
integritas yang
tinggi.
Kedua,
pengorganisasian di desa pakraman menunjukkan adanya nilai dan norma lokal yang telah mendarah daging dan telah terbukti efektif dalam pengelolaan urusan publik. Ketiga, desa pakraman memiliki modal sosial untuk secara bersama-sama membuat, melaksanakan, dan mengawasi
keputusan
publik.
Keempat,
memasuki
modernisasi,
desa
pakraman
menghadapi tantangan yang berbeda. Dia berhadapan dan berhubungan dengan aktor negara, kekuatan politik, dan pemilik modal. Interaksi tersebut mengubah relasi kekuasaan yang melibatkan desa pakraman baik secara internal maupun eksternal. Tantangan dalam modernisasi tersebut sekaligus memberikan tantangan bagi penegakan integritas dalam desa pakraman.
BAB II RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi dan kajian mendalam mengenai penegakan integritas dalam pengelolaan desa pakraman di Bali. Pembagian antara hak dan kewajiban masyarakat sebuah desa pakraman di Bali pada umumnya tertuang dalam sebuah awig-awig atau peraturan desa yang disepakati bersama. Selain dalam sebuah awig-awig, nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) Bali pun lebih sering berperan dalam pengelolaan dan dinamika kehidupan desa pakraman. Kesetiaan akan adat istiadat dan sanksi sosial dalam awig-awig membuat masyarakat Bali masih cukup kental dengan adat istiadat dan kebudayaannya. Nilai-nilai kearifan lokal pun berperan penting dalam pengelolaan desa pakraman di Bali. Tri Hita Karana adalah salah satu kearifan lokal dimana membimbing untuk menjaga hubungan
masyarakat
dengan
Sang
Pencipta,
sesama
masyarakat,
serta
alam
lingkungannya. Contoh kearifan lokal lainnya adalah Kharmaphala atau buah dari sebuah perbuatan. Masyarakat Bali percaya segala perbuatan akan memiliki dampak, jadi apabila berbuat kejahatan maka nasib buruk dan kejahatan pun akan menimpa dirinya. Nilai-nilai kearifan lokal di Bali pun bersinggungan dengan nilai-nilai integritas dimana menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan bertanggungjawab.
7 Untuk itu akan menarik untuk diteliti lebih lanjut bagaimana penerapan nilai-nilai kearifan lokal dalam tingkat kelembagaan pada desa pakraman di Bali. Lalu sebagai sebuah dinamika tentu saja penegakan integritas di lembaga desa pakraman akan dipengaruhi oleh beragam hal dan aspek yang dapat memperkuat atau memperlemah penegakan integritas. Maka berikut rumusan masalah yang akan diteliti lebih lanjut : 1. Bagaimana bentuk penegakan integritas dalam penegakan integritas di desa pakraman di Bali? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penegakan integritas di desa pakraman di Bali dalam konteks kekiniin? 3. Bagaimana masyarakat desa memaknai penegakan integritas di lingkungan desa pakraman di Bali?
8 Bab III Kajian Pustaka
3.1.
Kajian Pustaka
Penelitian atau tulisan mengenai relevansi antara desa pakraman di Bali dengan penegakan integritas yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal masih cukup terbatas. Kajian pustaka yang ada lebih bersifat parsial mengenai aspek-aspek tertentu saja tidak ditemukan yang cukup komprehensif. Salah satu penelitian tentang nilai kearifan lokal ditulis Ketut Sudhana Astika (1997), dengan bertemakan „Konsepsi Tri Hita Karana dalam kehidupan anggota Banjar di Kotamadya Denpasar: suatu analisis deskriptif tentang nilai dan makna keseimbangan dalam kehidupan masyarakat kota‟. Astika menggunakan model pendekatan fungsionalstruktural untuk menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia dan fungsi sosial dari adat; maka organisasi banjar dan konsepsi Tri Hita Karana dilihat sebagai suatu reaksi budaya dari kebutuhan dasar manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara tiga unsur dasar kehidupan. Model pendekatan ini yang kemudian dikembangkan oleh Parson, 1937; dengan model teori tindakan sosial voluntaristik, dan Merton, 1968; dengan paradigma analisa fungsionalnya, memperkuat dugaan bahwa konsepsi Tri Hita Karana dan kehidupan banjar ada dalam suatu hubungan berfungsi. Adat dan kebiasaan berupacara dengan dasar agama yang diyakini, berfungsi untuk membentuk sistem sosial, yaitu banjar dan desa adat. Temuan penelitian menunjukkan bahwa perbedaan status keanggotaan dalam banjar, perbedaan daerah asal, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan; menentukan pola tingkah laku masyarakat, pola-pola hubungan, interaksi dan integrasi sosial, dan partisipasinya pada kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsepsi Tri Hita Karana. Kesadaran manusia akan hakekat kehidupan, tentang adanya proses penciptaan, prinsip kebersamaan, dan hakekat perbuatan dalam hubungannya dengan waktu; mengarahkan manusia pada pola kehidupan yang berusaha untuk mewujudkan pemberian nilai dan pengembangan azas keseimbangan pada setiap aspek kehidupannya. Temuan tersebut belum pernah terungkap dari tulisan-tulisan sebelumnya, khususnya pada temuan tentang bagaimana masyarakat kota mewujudan pola pelaksanaan adat dan upacara agama serta penataan lingkungan kehidupannya dalam kerangka konsepsi tentang pemberian nilai dan makna keseimbangan hidup. Tulisan mengenai desa adat pernah diungkapkan AAGN Ari Dwipayana (2005) dalam Bali Post dengan judul „Desa Adat Diberdayakan atau Diperdaya?‟.
Dwipayana
9 memandang, interaksi dan integrasi dengan ekonomi pariwisata yang kapitalistik menimbulkan beberapa implikasi yang hampir seragam di tingkatan lokal terutama desa pakraman. Pertama, makin terbatasnya pengendalian politik desa adat terhadap pemanfaatan ruang-ruang ekonomi di dalam teritorialnya (wewengkon desa). Kedua, adalah makin menyempitnya ruang-ruang ekonomi lokal, yang ditandai oleh pengambil alihan aset-aset ekonomi lokal oleh kekuatan supralokal, terutama oleh negara dan pemilik modal besar. Ketiga adalah runtuhnya social capital di tingkat lokal akibat pergeseran paradigmatik dan sosiologis dalam konsep pasar dalam masyarakat desa di Bali. Pasar yang dalam konsepsi tradisional merupakan arena pertukaran sosial, seperti tercermin dalam pasar Tenten, menjadi pasar yang sangat individualistik. Secara tradisional, orang desa di Bali selalu menggunakan pasar
bukan hanya sebagai transaksi ekonomi, melainkan
memfungsikan pasar sebagai tempat berinteraksi sosial, sebuah ruang terbuka bagi membangun civic virtues. Tulisan berikutnya adalah „Potensi-potensi Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Bidang Pendidikan‟ dari I Wayan Subagia dan I Gusti Lanang Wiratma (2006). Subagia memaparkan Tradisi budaya masyarakat Bali (Hindu) yang mempunyai banyak potensi kearifan lokal dimana digunakan oleh masyarakat sebagai rambu-rambu atau pedoman dalam menjalani kehidupannya. Tulisan ini memaparkan beberapa aspek kearifan lokal masyarakat, khususnya yang relevan dengan bidang pendidikan. Paparan ini dibangun berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara dokumentasi dan wawancara. Sejumlah buku dan lima orang Bali (Hindu) yang dipandang memiliki pengetahuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional dilibatkan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan ada sejumlah potensi kearifan lokal masyarakat yang relevan dengan teori pendidikan dan pembelajaran modem Potensi-potensi tersebut antara lain: (1) konsepsi jenjang belajar, (2) konsepsi disiplin belajar, (3) konsepsi pembelajar (guru), (4) konsepsi cara mengajar, dan (5) konsepsi cara belajar. Di samping itu, juga dideskripsikan prinsip-prinsip belajar dan prinsip-prinsip mengajar yang dipraktikkan oleh masyarakat dalam belajar dan mengajar. Berdasarkan temuan tersebut disarankan agar keberadaan potensi-potensi kearifan lokal diperhatikan dalam membangun landasan teori pendidikan dan pembelajaran berbasis budaya. Penelitian lainnya diungkapkan Gede Raka Hudyana (2002) dalam tesisnya yang berjudul „Tenget dalam Pembangunan Berkelanjutan Studi Kasus: Revitalisasi Kearifan Lokal Mengenai Lingkungan di Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali‟. Gede Raka mengkaji mengenai salah satu nilai kearifan lokal yakni tenget. Gede Raka meneliti mengenai fenomena lingkungan berlatar budaya yakni, tenget. Pada segala sesuatu, areal, benda, kegiatan, kelembagaan, norma dan nilai, dimana tenget diyakini ada oleh masyarakatnya,
10 maka lingkungan atau komponen lingkungannya dapat berfungsi dengan lebih lestari. Permasalahan penelitian adalah: ketika pembangunan meningkat, tenget memudar dan dikhawatirkan terjadi kerusakan lingkungan. Bagaimana sesungguhnya hubungan antara tenget dengan pembangunan dalam konteks Pembangunan Berkelanjutan? Sehingga, tujuan penelitian adalah tmtuk membangun pemaharnan (understanding) tentang tenget dalam hubungannya dengan pembangunan dalam konteks Pembangunan Berkelanjutan. Penelitian ini: mengikuti tradisi kualitatif; dalam paradigma konstruktivisme; melalui strategi studi kasus di Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali, serta telah dilakukan selama bulan Juli dan Agustus 2002. Informasi dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan. Basil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tenget adalah `simbol' dari 'etika lingkungan' yang tumbuh dari sistem religi masyarakat; berkembang dalam sistem nilai budaya setempat dan diekspresikan sebagai sikap mental; dan akhimya berfungsi sebagai kendali individu dan kontrol sosial dalam memperlakukan lingkungan. Etika lingkungan yang dimalcsud adalah kesadaran tentang kesetaraan hubungan antara manusia dengan lingkungan (fisik maupun sosial) dalam: inter-relasi; inter-aksi dan inter-dependensi; yang fungsionil holistik. (2) Ketika pembangunan digiatkan di seluruh Pulau Dewata, hingga menjangkau Desa Adat Penglipuran, makna tenget dalam sistem nilai budaya ternyata mengalami pergeseran. Hal ini terjadi karena konsep pembangunan yang diterapkan bersifat antroposentris. Semestinya penerapan konsep pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan setempat, yakni suatu pembangunan yang berkelanjutan dengan jiwa lokal. (3) Atas alasan tersebut, tenget dapat direvitalisasi dengan men¬sinergi-kan aspek-aspek kearifan lingkungan yang terkandung di dalaninya dengan prinsip¬prinsip Pembangunan Berkelanjutan. Dengan demikian tenget tidak hanya berhenti sebagai simbol tetapi juga sebagai sistem kontrol (sosial-budaya, religi dan ekonomi). Dengan fungsinya sebagai sistem kontrol, tenget akan tetap mampu menjaga harmoni kesetaraan hubungan yang fungsionil-holistik antara manusia dengan lingkungan binaan,
lingkungan
sosial
maupun
lingkungan
alamnya.
Akhirnya,
Penelitian
ini
merekomendasikan agar tenget (atau apapun istilahnya di daerah lain), sebagai simbol dan sebagai sistem kontrol dalam meng-komunikasikan pesan etika lingkungan bagi masyarakat pendukungnya, hendaknya dapat dipahami dan dipertahankan. Dengan demikian tenget di Desa Adat Penglipuran dapat di adopsi ke dalam perencanaan lingkungan guna mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dalam jiwa lokal.
11 3.2.
Kerangka Konsep
Penelitian bertema Penegakan Integritas dalam Pengelolaan Lembaga Desa Pakraman di Bali ini memakai beberapa konsep yang relevan, antara lain : modal sosial, integritas, kearifan lokal dan desa pakraman. 1. Konsep Modal Sosial dan Integritas Kajian mengenai modal sosial diawali dari konsep ekonomi yang dicetuskan Adam Smith. Dalam studi ekonomi yang ditulis Woolcock (1998) dan Hasbullah (2006:4-5) mengungkapkan bahwa istilah modal sosial muncul dari konsep social contract masyarakat sipil. Unsur-unsur yang terdapat di dalam modal sosial antara lain, karakteristik jaringan sosial, pola imbal balik, serta kewajiban bersama yang menentukan kemajuan ekonomi (Fernandez, 2010:8). Pada perkembangannya, Marx dan Engels membuat definisi modal sosial sebagai “solidaritas terikat” (bounded solidarity) sebagai gambaran atas kemungkinan munculnya kemungkinan munculnya pola hubungan dan kerjasama yang kuat ketika suatu kelompok berada di dalam tekanan negara atau kelompok lainnya (Hanifan, 2006:10). Pada akhir abad 20, Piere Bourdieau, James C Coleman, Robert D Putnam, dan Francis Fukuyama mengembangkan konsep modal sosial sebagai konsep yang bisa diterima
luas sebagai perspektif yang banyak manfaatnya untuk memahami dan
memprediksi norma serta relasi sosial yang tertanam dalam struktur sosial masyarakat. Putnam mengkaji masalah dan konsep modal sosial dengan memilah pengertian harafiahnya (Putnam,1995). Modal disini lebih merujuk pada pengertian sumber daya yang dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk konsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Pemikiran Putnam tentang modal sosial berkaitan erat dengan sejumlah nilai kolektif dan integrasi sosial. Konsep Putnam tetang modal sosial terbagi atas tiga komponen penting, antara lain : kewajiban moral, norma atau nilai sosial (terutama kepercayaan), dan jaringan sosial (terutama perkumpulan sukarela). Menurut Putnam, modal sosial menunjuk pada bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan (trust), norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam, 1995). Pada perspektif lain Piere Bourdieu menggunakan konsep yang didasarkan pada sosiologi marxis. Modal sosial berkaitan erat dengan tiga komponen. Pertama, modal ekonomi yang berkaitan dengan uang dan kepemilikan benda-bena yang dapat dipandang dan digunakan bagi keperluan
12 investasi. Kedua, modal kultural yang terinstitusionalkam dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Ketiga,
modal
sosial
yang
terdiri
dari
kewajiban-kewajiban
sosial
dan
terinstitusionalkan dalam bentuk kehormatan dan kebangsawanan. Antara modal satu dengan modal lainnya, bisa terjadi pertukaran menurut hukum ekonomi biasa. Bourdieau mengartikan modal sosial sebagai keseluruhan sumber daya, baik yang aktual maupun potensial yang dapat dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik (Bourdieu, seperti dikutip dalam Portes, 1998). Bourdieau menekankan seseorang dapat memperoleh manfaat (material maupun non material) dari pihak lain sejauh ia dapat membina hubungan baik secara kelembagaan dengan orang tersebut. Bourdieau menyatakan bahwa struktur dan fungsi sosial hanya dapat dipahami melalui modal sosial, disamping juga modal ekonomi. Setiap transaksi ekonomi yang bersifat material selalu disertai transaksi non ekonomi yang bersifat immaterial dalam bentuk modal sosial, yaitu berupa hubungan interpersonal di antara pelaku transaksi. Dengan kata lain, modal sosial terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antar individu (Ritzer & Goodman, 2004). James
Coleman
melanjutkan
konsep
ini
dengan
menekankan
bahwa
keberlangsungan setiap transaksi sosial ditentukan oleh ada dan terpeliharanya kepercayaan (trust) atau amanah dari pihak yang terlibat. Kondisi diartikan bahwa, keberlangsungan setiap transaksional antar manusia, baik yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis dapat berlanjut apabila terdapat amanah diantara pihak-pihak yang melakukan interaksi. Transaksi sosial hanya bisa terbentuk / terjadi karena adanya amanah atau kepercayaan (trust) yang kemudian melahirkan adanya kewajiban (obligation) dan harapan (expectation) dalam transaksi sosial tersebut. Saat kewajiban tidak dapat dipenuhi maka kepercayaan akan hilang atau berkurang dan transaksi selanjutnya diantara kedua pihak akan sulit terjadi lagi. Perspektif yang dianggap lebih dekat dalam menjelaskan hubungan ini menurut Coleman adalah teori pilihan rasional. Coleman membantah secara tegas bahwa determinisme yang terkandung dalam struktur sosial bersifat absolut dalam mempengaruhi tindakan seseorang dan pula tindakan manusia selalu tertuju pada pencapaian tujuan yang ditentukan sendiri sehingga dalam setiap tindakan pasti ada rasionalitasnya. Hambatan yang sangat sulit diatasi adalah struktur sosial makro objektiv yang dianggap sangat determinatif dan sering bersifat taken for granted, diterima begitu saja oleh proses sosialisasi. Namun tidak jarang pula struktur sosial seperti ini menjadi acuan orang dalam bertindak. Terdapat beberapa elemen yang dapat dimanfaatkan individu guna mencapai tujuan dalam bentuk inovasi dalam pengertian Merton atau voluntarisme dalam pengertian Parsons. Struktur sosial yang paling mudah dimanfaatkan individu dalam
13 mencapai suatu tujuan tertentu adalah struktur sosial yang timbul (emergent) dari interaksi sosial baik melalui pertukaran makna maupun penghargaan. Coleman menyatakan kalau kita memulai dengan suatu teori tindakan rasional, dimana setiap aktor memiliki kontrol atas sumber tertentu dan kejadian maka modal sosial merupakan suatu jenis sumber yang tersedia bagi aktor (Coleman, 1988, hal. 16). Inti dari pernyataan Coleman mengandung beberapa komponen, antara lain : 1) Inti tindakan rasional itu terdapat pada aktor; 2) Setiap aktor memiliki kontrol atas sumber tertentu dan terbatas; 3) Aktor memiliki kepentingan yang terdapat pada sumber itu; 4) Salah satu sumber yang tersedia atau disediakan oleh struktur tersebut dijadikan modal sosial bagi aktor ; 5) Ada beberapa kata kunci yang harus dihubungkan satu sama lain dalam tindakan rasional: aktor, pilihan beberapa sumber yang tersedia, penguasaan atas sumber itu, dan kepentingan pribadi. Berdasarkan prinsip ini, Coleman memberikan pernyataan mendasar bahwa modal sosial didefinisikan menurut fungsinya, bukan strukturnya (Coleman, 1988, hal. 18). Pada saat inti tindakan rasional terletak pada aktor, maka sisi penegakan integritas sangat diperlukan. Konsep integritas sendiri merupakan usaha secara sadar dan terencana untuk menegakkan konsistensi atau komitmen antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan dengan bersandar pada nilai-nilai moralitas. Persoalan integritas pada rancangan penelitian ini lebih mengarah kepada komitmen untuk menegakkan gerakan moral anti korupsi. 2. Kearifan Lokal Komitmen ini tentunya lebih diarahkan kepada kearifan lokal pada lembaga-lembaga sosial yang ada. Istilah kearifan lokal seringkali disebut sebagai local genius yang dicetuskan pertamakali oleh H.G Quatrich Wales. Hakikat local genius menyangkut : 1) mampu bertahan terhadap budaya luar. 2) memiliki kemampuan mengakomodasikan unsurunsur budaya luar ke dalam budaya asli. 3) memiliki kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli. 4) memiliki kemampuan mengendalikan dan 5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (Mundadjito, 1986, hal. 40). Soediman memandang, local genius ini lebih mengacu pada beberapa hal,antara lain 1) identitas kebudayaan, 2) identitas bangsa, 3) kebudayaan asli, 4) kebudayaan tradisional dan 5) kepribadian (Astra, 2004, hal. 111 dalam Ardika & Putra (Eds)). Dalam perspektif yang berbeda Sedyawati mengatakan bahwa kearifan lokal dapat diidentikan dengan kebudayaan tradisional, termasuk meliputi makna yang lebih luas, tidak hanya norma, nilai budaya, melainkan juga gagasan, penggunaan teknologi dan estetika yang terjabar dalam pola tindakan dan hasil budaya material. Kearifan lokal terjabar ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangibel maupun yang intangible (Sedyawati, 2006, hal. 308).
14 Berdasarkan konsep kearifan lokal yang ada di atas, maka kearifan lokal yang dibahas dalam penelitian ini lebih disandarkan pada khasanah kebudayaan Bali, baik dari ajaran agama Hindu maupun ungkapan tradisional (pepatah-petitih) orang Bali dalam berbagai konteks kehidupan bermasyarakat. Kearifan lokal ini merupakan basis dalam merevitalisasi modal sosial pada masyarakat Bali yang telah mengalami stagnasi akibat perkembangan budaya modernitas bahkan post-modernitas. 3. Desa Pakraman Pada sistem komunitas yang ada di Bali ada dua entitas kekuasaan yang eksis saat ini, yaitu desa pakraman (adat) serta desa dinas. Desa Dinas berhubungan dengan hirarki pemerintahan, sedangkan desa pakraman (adat) berhubungan dengan urusan adat/ keagamaan. Secara historis, desa tradisional Hindu di Bali pada zaman penjajahan Belanda disebut desa adat. Sebelumnya, komunitas ini merupakan paguyuban hidup berdasarkan ajaran agama Hindu yang kemudian disebut desa pakraman. Hal ini mengingat desa ini berlandaskan ajaran agama Hindu termasuk upaya pentradisiannya yang makin menguat. Akademisi Belanda seperti Van Volen Hoven dan Snouck Hugrogne menuliskan "adat" – yang berasal dari bahasa Arab yang artinya "kebiasaan" atau "tradisi". Setelah zaman reformasi, istilah desa adat dikembalikan pada nama aslinya yaitu desa pakraman. Di Kerajaan Majapahit, nama desa itu disebut Desa Drstha. Dalam lontar Mpu Kuturan disebutkan bahwa Mpu Kuturan menyarankan pada Sang Raja Bali supaya agamalah yang dijadikan pegangan oleh Sang Raja dalam menata kehidupan Kerajaan. Dalam lontar Mpu Kuturan dinyatakan, "desa pakraman winangun dening sang catur varna manut lingin sang hyang aji". Artinya, Desa Pakraman dibangun oleh Sang Catur Warna berdasarkan ajaran kitab suci (agama Hindu). Maksudnya, "Atas kehendak Sang Catur Warnalah didirikan tempat pemujaan seperti Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem di Desa Pakraman". Catur Warna adalah pembagian masyarakat berdasarkan atas profesinya yaitu Warna Brahmana, Warna Ksatriya, Warna Waisya, dan Warna Sudra. Konsep Catur Warna ini tidak didasarkan pada keturunan namun atas dasar pekerjaan. Kata "desa" berasal dari bahasa Sansekerta, dis, artinya petunjuk kerohanian. Dari kata ini timbul istilah Upadesa artinya sekitar petunjuk-petunjuk rohani, Hita Upadesa artinya petunjuk untuk mendapatkan kebahagiaan rohani. Pakraman berasal dari kata grama bahasa Sansekerta atau village dalam bahasa Inggris. Kata village inilah diartikan "desa" dalam bahasa Indonesia. Desa sebenarnya berarti petunjuk-petunjuk hidup kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Kata grama lama-lama menjadi krama, artinya suatu petunjuk kerohanian yang berlaku dalam suatu grama. Jadi, desa pakraman adalah suatu penguyuban hidup dalam suatu wilayah tertentu dimana kehidupan bersama itu diatur oleh suatu batasan-batasan berdasarkan ajaran agama Hindu.
15 Dalam konteks yuridis, istilah desa adat yang disahkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1986 diganti istilahnya menjadi desa pakraman melalui Perda No. 3 Tahun 2001 (Parimartha, 2006, hal. 41). Definisi desa pakraman sesuai Perda ini disebutkan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1, ayat 4, Perda No. 3 Tahun 2001). “Krama desa/krama banjar adalah mereka yang menempati karang desa pakraman/karang banjar pakraman dan atau bertempat tinggal di wilayah
desa/banjar
pakraman atau
di tempat
lain
yang
menjadi
warga
desa
pakraman/banjar pakraman” (pasal 1, ayat 6 Perda No. 3, Tahun 2001). Melalui keterangan dua ayat diatas menjadi jelas, bahwa istilah desa adat dalam Perda No. 6 Tahun 1986 diganti dengan istilah desa pakraman. Pada analoginya, Perda No.3 Tahun 2001 mengklaim seluruh wilayah di Bali dibagi habis oleh wilayah desa pakraman. Seluruh warga yang hidup, tinggal di wilayah itu adalah warga desa pakraman bersangkutan, termasuk warga Non-Hindu. Artinya, bahwa warga dari kelompok bukan beragama Hindu juga menjadi warga dari desa pakraman yang berasaskan agama Hindu (Parimartha, 2006, hal. 41). Warga Non-Hindu yang menjadi warga desa pakraman memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan warga desa pakraman yang beragama Hindu. Warga desa pakraman yang beragama Non-Hindu tidak memiliki kewajiban dalam kegiatan desa pakraman yang terkait aspek parhyangan yaitu kegiatan ritual Agama Hindu di Bali.
16
Bab IV Metode Penelitian
Metode penelitian utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian sosial budaya berkecenderungan kepada penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis. Metode penelitian ini pun menggunakan metode historis dan deskriptif. Metode historis bertujuan merekonstruksi masa lalu dan masa kini secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai kongklusi yang dapat dipertahankan, seringkali dalam hubungan hipotesis tertentu (Isaac & Michael, 1995). Sedangkan metode deskriptif bertujuan melukiskan secara sistemis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Isaac & Michael, 1995).
IV.1. Rancangan Penelitian Berdasarkan atas permasalahan penelitian, maka rancangan penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, landasan berpikir yang digunakan adalah makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan berpola. Oleh karena itu, untuk memahami makna dalam suatu gejala sosial, seorang peneliti harus bisa menempatkan dirinya dalam peranannya sebagai para pelaku yang ditelitinya untuk dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya. Berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka obyek penelitian yang digunakan terdiri atas beberapa desa yang terdapat di Bali. Desa yang dijadikan obyek penelitian yakni pada tingkat lembaga desa adat dan sub lembaga di dalamnya.
IV.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di 3 (tiga) desa di Provinsi Bali, yakni Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan (Kabupaten Tabanan), Desa Pakraman Guwang (Kabupaten
17 Gianyar), Desa Pakraman Kuta (Kabupaten Badung). Dilihat dari persebaran geografis, Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan terletak di bagian tengah-barat Pulau Bali. Desa Pakraman Kuta terletak di bagian tengah Pulau Bali, dan Desa Pakraman Guwang terletak di bagian tengah-timur Pulau Bali. Di lihat dari peran kapital/investasi di ketiga desa pakraman tersebut, Desa Pakraman Kuta adalah tempat yang paling bersentuhan dengan industri, yaitu industri pariwisata dan desa ini menjadi aktor yang penting dalam pengelolaan pariwisata di kawasan Kuta. Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan adalah desa yang relatif tidak bersentuhan dengan industri. Sekalipun relatif ada kunjungan wisatawan ke Puri Kerambitan, namun desa pakraman bukan merupakan bagian dari pengelolaan usaha tersebut. Sementara itu, Desa Pakraman Guwang adalah tempat yang memiliki investasi dalam usaha pariwisata namun tidak sebesar Kuta. Desa Pakraman Guwung juga memiliki andil dalam pengelolaan jasa pariwisata di wilayahnya yaitu sebagai pengelola pasar seni. IV.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data-data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan atau didengar, dipikirkan yang kemudian ditranskripkan secara narasi. Datadata yang berasal dari dokumen surat kabar pun jenisnya kualitatif dimana akan dikaji secara subjektif dengan menggunakan analisa wacana. Sumber data pada penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh langsung dari informan yang dinilai kompeten dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, Kelihan/ Prajuru Banjar/Desa, Ketua Seka Teruna Teruni (Karang Taruna Banjar), Tokoh Masyarakat Desa. Lalu informan lainnya adalah beberapa warga adat yang bukan pengurus lembaga adat yang diambil secara acak/accidental. Informan ini penting untuk mengkonfirmasi keterangan yang diberikan pihak desa adat.
IV.4. Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini melalui tehnik purposive sampling atau judgemental, dimana informan yang akan diwawancarai adalah pihak-pihak yang berkepentingan dan berperan penting dalam penegakan integritas pada lembaga desa adat. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, Kelihan/ Prajuru Banjar/Desa, Ketua Seka Teruna Teruni (Karang Taruna Banjar), Tokoh Masyarakat Desa. Lalu informan lainnya adalah beberapa warga adat yang bukan pengurus lembaga adat
18 yang diambil secara acak/accidental. Informan ini penting untuk mengkonfirmasi keterangan yang diberikan pihak desa adat.
IV.5. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah instrumen penelitian yang berupa pedoman
wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder. Jawaban
pedoman wawancara direkam dengan tape recorder, kamera, handycam, catatan anekdot dan/atau kartu ikhtisar.
IV.6. Tehnik Pengumpulan Data Dalam melakukan pengumpulan data, penelitian akan menggunakan empat tehnik pengumpulan data, yakni wawancara mendalam, observasi, focus group disscusion, dan studi dokumen/ literatur. Berikut uraiannya;
IV.6.1. Wawancara Mendalam Wawancara yang dilakukan dalam penelitian kualitatif cenderung tidak formal, bersifat mendalam dan dikembangkan oleh penelitinya sendiri. Dengan demikian, kedudukan peneliti menjadi sentral untuk menentukan kedalaman dan akurasi data yang dikumpulkan. Materi pertanyaan akan dikembangkan di lapangan, dengan dipengaruhi oleh tingkat kepekaan peneliti di dalam memahami seberapa jauh memahami ranah persoalan yang ingin diketahui dan sejauh mana informan menguasai masalah yang ditanyakan. Tentu saja sebelumnya dibutuhkan pemahaman awal oleh sang peneliti itu sendiri. Pemahaman ini merupakan hasil dari studi literatur sebelumnya dan atau dari hasil diskusi secara mendalam dengan tim atau para ahli. Hasil pemahaman ini digunakan sebagai kerangka pemahaman awal. Pemahaman awal ini kemudian untuk menyusun suatu pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah semaca guide-line yaitu point-point dalam bentuk kalimat terbuka. Pedoman wawancara disusun disesuaikan dengan isi draft laporan penelitian. Dengan pedoman wawancara ini akan
mencoba daya kreatif untuk
mengeksplorasi sasaran penelitiannya. Sedangkan informan yang baik adalah mereka yang mudah diajak bicara, mengerti informasi yang kita butuhkan, menerima dan bersedia memberikan informasi dengan sikap
19 yang senang. Untuk itu, maka dijelaskan secara tepat siapa dan apa tujuannya menemui mereka. Ini artinya, peneliti adalah orang yang ingin mengetahui banyak hal yang sesuai dengan fokus kajian, sementara informan juga ingin tahu mengenai siapa dan apa motivasi peneliti juga dampaknya jika informan menginformasikan sesuatu. Materi pertanyaan dalam wawancara bisa berstruktur, bisa juga tidak berstruktur. Yang pertama, adalah serangkaian pertanyaan yang telah disusun secara teratur. Sedang yang kedua, adalah pertanyaan yang diajukan secara bebas, baik dari segi urutan pertanyaan maupun redaksionalnya.
IV.6.2. Observasi Setiap gejala atau peristiwa tidaklah datang secara alamiah tanpa sebab, tetapi diasumsikan muncul oleh berbagai alasan yang menyertainya. Alasan yang mendorong dan yang menyebabkan peristiwa atau gejala itu muncul ke permukaan, merupakan rangkaian pemahaman, pemikiran, penyikapan dan keputusan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ini artinya pada setiap gejala atau peristiwa, di dalamnya selalu ada makna bagi pada pelakunya itu sendiri, baik secara terbuka atau tersembunyi. Karena itu, pengamatan atau observasi mengarah pada tujuan menangkap makna-makna di balik peristiwa atau gejala dimaksud. Sasaran atau objek observasi bisa berupa segala peristiwa secara bebas tanpa dilihat konteksnya dengan tema penelitian. Bisa saja dilakukan secara selektif, yaitu yang hanya berkaitan dengan tema penelitian. Pengamatan bebas itu dimaksudkan untuk menambah pengetahuan penelitian terhadap masyarakat dan peristiwa yang terjadi, yang untuk sementara waktu, belum bisa dikaitkan dengan objek penelitian. Tetapi siapa tahu bahwa apa yang sebelumnya tidak kita duga, ternyata peristiwa itu berkaitan dengan tema penelitian. Sedangkan pengamatan selektif, dimaksudkan terutama bagi yang memiliki keterbatasan waktu di lapangan sehingga apabila semua peristiwa hendak diamati, waktunya menjadi akan semakin lama sementara masalah inti yang ingin diketahui belum diperolehnya dengan baik. Dalam penelitian kualitatif, masalah observasi mempunyai spesifikasi tersendiri. Apabila peneliti ingin menjadi PO (participant observation), maka peneliti harus bisa terlibat pada komunitas yang bersangkutan secara akrab sampai merasa tidak terganggu
20 kenyamanannya dengan kehadiran peneliti yang melakukan observasi dan merekam kehidupan mereka. Di dalam pengamatan (observasi), dikenal adanya empat peran yang berbeda, yaitu (1) partisipan penuh, (2) partisipan sebagai pengamat, (3) pengamat sebagai partisipan dan (4) pengamat total.
IV.6.3. Studi Dokumen Penelitian ini tentu saja menggunakan tehnik pengumpulan data dengan studi literatur atau studi historis. Hal ini disebabkan karena ingin mendapatkan data dari kejadian yang telah lewat (historis). Historis sendiri artinya berhubungan dengan sejarah. Sejarah adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Seperti ilmu sosial lainnya, sejarah merupakan studi empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan dan menjelaskan data. Penelitian historis berpijak pada data yang ada. Data ini bisa merupakan sumber primer (primary sources) atau sumber sekunder (secondary sources). Sumber primer adalah saksi mata dari suatu peristiwa. Ia dapat berupa orang atau benda (tape recorder, kamera) yang hadir dalam peristiwa tertentu. Peneliti sejarah membedakan dua jenis sumber primer : record dan relics. Record adalah kesaksian mata yang disengaja. Kesaksian seperti ini dapat mengaburkan penafsiran sejarah dan memerlukan penelitian yang mendalam tentang motivasi pencatatan kesaksian itu. Record dapat berupa dokumen, rekaman lisan atau karya seni. Relics adalah rekaman peristiwa yang tidak dimaksudkan untuk merekam peristiwa sejarah. Catatan neraca keuangan, bahasa, tradisi masyarakat, artifak seperti peralatan atau mesiu dapat dimasukkan ke dalam kelompok relics. Data sejarah harus diteliti dari segi keaslian (otensitas; authenticity) dan kepercayaan (kredibilitas; credibility). Penelitian segi pertama disebut kritik eksternal. Bila menggunakan suatu dokumen, ia akan mencatat tanggal dokumen dan menentukan apakah bahan dokumen berasal dari zaman yang sama. Bila tidak terjadi penyesuaian, sumbersumber itu dikatakan anakronitis (tidak sezaman). Penelitian segi kedua disebut kritik internal. Di sini akan diadakan tanya jawab, apakah bukti otentik itu dapat dipercaya atau dusta.
IV.6.4. Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus)
21 Diskusi Kelompok Terfokus merupakan suatu diskusi yang dilakukan dengan kelompok terpilih yang terdiri dari empat sampai delapan anggota masyarakat. Pemilihan masyarakat untuk diskusi tersebut disesuaikan dengan topik diskusi dan latar belakang pengetahuan nelayan/masyarakat. Tehnik pengumpulan data ini untuk mengumpulkan informasi, membangun konsensus, mengklarifikasikan informasi yang ada dan mengumpulkan berbagai pendapat pada isu tertentu. Dalam ilmu sosial dan perencanaan perkotaan, FGD memungkinkan orang untuk belajar di alam pengaturan yang lebih dari satu-ke-satu wawancara. Dalam kombinasi dengan pengamatan peserta, FGD dapat digunakan untuk mendapatkan akses ke berbagai kelompok sosial dan budaya, memilih situs untuk belajar, sampel dari situs tersebut, dan meningkatkan masalah tak terduga untuk eksplorasi. FGD memiliki ide yang mudah dimengerti dan hasil yang terpercaya. FGD yang rendah dalam biaya, satu dapat memperoleh hasil yang relatif cepat, dan mereka dapat meningkatkan ukuran sampel laporan dengan berbicara dengan beberapa orang sekaligus (Marshall,1999:115).
IV.7.Tehnik Analisis Data Terdapat tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permasalahan studi, dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti. Reduksi data meliputi : 1. Meringkas data 2. Mengkode 3. Menelusur tema 4. Membuat gugus-gugus Reduksi
data
merupakan
bentuk
analisis
yang
menajamkan,
menggologkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data. Cara reduksi data :
22 1. Seleksi ketat atas data 2. Ringkasan atau uraian singkat 3. Menggolongkan dalam pola yang lebih luas. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data kualitatif : 1. Teks naratif : berbentuk catatan lapangan 2. Matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Bentuk-bentuk ini menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga memudahkan untuk melihat apa yang sedang terjadi, apakah kesimpulan sudah tepat atau sebaliknya melakukan analisis kembali. Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti secara terus menerus selama berada di lapangan. Dari permulaan pengumpulan data, peneliti kua
23 Bab V Hasil Penelitian dan Pembahasan Untuk menjawab pertanyaan riset, peneliti mengurai penegakan integritas dalam beberapa aspek yaitu: 1. Integritas sebagai akuntabiltas dalam mekanisme tata aturan. 2. Integritas sebagai akutabiltas dalam hal memberikan informasi publik kepada yang berhak menerima. 3. Integritas sebagai akuntabilitas dalam hal perencanaan, pengumpulan, dan penggunaan anggaran. 4. Integritas sebagai mekanisme untuk memberikan pelaporan. 5. Integritas sebagai bentuk pengawasan terhadap aturan/kesepakatan yang telah dibuat. 6. Integritas sebagai fairness/kelayakan/kepantasan. 7. Integritas sebagai kepercayaan antara yang diatur dan yang mengatur.
1.
Akuntabilitas – Mekanisme Tata Aturan
a. Dasar Pembuatan Aturan Adat Desa pakraman yang telah ada di Bali sejak dulu ternyata telah menegakkan prinsipprinsip integritas dengan caranya tersendiri. Masyarakat desa pakraman menjalaninya tanpa harus mengetahui arti konsep dari akuntabilitas atau transparansi. Tradisi yang berjalan turun temurun ini masih berjalan hingga sekarang. Tradisi yang masih dilestarikan tidak terlepas dari pemaknaan masyarakat desa mengenai keberadaan lembaga atau entitas desa pakraman itu sendiri. Desa pakraman dianggap atau dimaknai sebagai wadah yang sangat ramah dan terbuka bagi seluruh warga banjar pakraman1. Hal ini tercermin dari bangunan bale banjar
1
Banjar pakraman adalah unit terkecil dari Desa pakraman.
24 (semacam gedung pertemuan) yang memiliki bentuk bangunan yang terbuka di ketiga sisinya. Dari empat sisi bale banjar, seluruh warga banjar dapat dengan mudah memasuki bangunan ini. Bentuk bale banjar yang terbuka ini membawa pesan bahwa desa pakraman adalah wadah yang terbuka bagi siapapun dalam manifestasi apapun. Nilai keterbukaan yang ada dalam desa pakraman ini membentuk masyarakat desa pakraman memiliki tingkat kepercayaan tinggi akan desa pakraman maupun mekanisme yang menyertainya. Seluruh mekanisme hingga aturan yang berlaku dalam desa pakraman adalah dibuat oleh warga sendiri, dikontrol oleh warga sendiri, dan dijalankan oleh warga sendiri. Aturan dalam desa pakraman dijalan bentuk awig-awig. Awig-awig ini dibuat berdasarkan sastra agama, dresta (kebiasaan). Sastra agama yang dimakud dalam hal ini adalah ajaran Agama Hindu yang menjadi sumber nilai dalam pembuatan awig-awig. Sastra agama ini bersifat tertulis dan dipahami oleh orang-orang di desa pakraman yang menekuninya. Dengan kata lain, sastra agama bersifat inklusif, dapat diakses oleh siapa saja yang ingin mendalaminya. Ajaran agama yang menjadi panduan nilai tersebut dipadukan dengan dengan kebiasaan yang umum berlaku di desa pakraman. Sebagai contoh, ajaran Agama Hindu mewajibkan setiap keluarga untuk melanjutkan keturunan dan merawat mrajan (tempat suci keluarga). Kebiasaan yang umum yang digunakan sebagai acuan dalam desa pakraman di Tabanan yaitu dengan menggunakan garis keturunan lakilaki sebagai penerus pemegang dan hak dan kewajiban adat dari keluarga yang bersangkutan. Anak perempuan yang telah menikah meninggalkan sepenuhnya hak dan kewajiban adatnya pada keluarga asalnya dan memegang hak dan kewajiban adat serta tinggal dan hidup di keluarga suaminya. Di sebagian kabupaten di Bali, jika suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka anak perempuan dari keluarga tersebut yang mengambil posisi sebagai (purusha) dan meminang laki-laki untuk menjadi suaminya yang dikenal dengan status nyentana. Si suami akan tinggal dan hidup di rumah istrinya, memegang hak dan kewajiban adat di keluarga istrinya serta meninggalkan hak dan kewajiban adat di keluarga asalnya. Di sebagian kabupaten lainnya yang tidak menerapkan konsep nyentana,
25 jika ada suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki dan anak perempuannya menikah ke tempat pengantin pria, maka garis penerus keluarga beserta hak dan kewajiban adatnya termasuk kewajiban merawat mrajan akan dilanjutkan oleh keluarga besar terdekat dari garis keturunan laki-laki. Di samping ajaran agama Hindu dan kebiasaan, awig-awig juga dibuat berdasarkan desa kala patra (tempat, waktu, dan keadaan) dengan ajaran agama diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi di desa pakraman yang terkait. Dalam konteks ini Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan pernah menghadapi persoalan perkawinan antara anak perempuan tunggal dan anak laki-laki tunggal, sehingga tampak akan adanya kesulitan untuk mencari penentuan siapa yang akan akan menjadi garis Purusha atau siapa yang akan menjadi patokan dalam menentukan garis keturunan. Aturan adat yang berlaku di Kerambitan memberikan peluang bagi jalan keluar. Dalam keadaan seperti itu, pihak perempuan dapat menikah ke tempat suaminya dan ketika memiliki anak pertama, anak yang bersangkutan diadopsi oleh keluarga asal dari pihak pengantin perempuan, sehingga garis keturunan pihak keluarga asal perempuan tidak terputus. Dengan demikian awig-awig memiliki fleksibilitas dalam penerapannya dan bentuk-bentuk fleksibilitas itu diketahui oleh warga desa pakraman. Aturan adat dapat juga berupa perarem, aturan yang merupakan pelaksanaan teknis dari awig-awig. Awig-awig biasa terdiri dari aturan-aturan yang umum sehingga bersifat supel, universal, dan fleksible. Sebagai contoh awig-awig menetapkan bahwa upacara Dewa Yadnya (upacara kepada Tuhan) harus dilakukan pada hari baik (rahina ayu) menurut perhitungan energi alam yang didasarkan pada pada kalender Bali. Untuk menentukan hari baik tersebut desa pakraman membuat perarem untuk menunjukkan secara jelas dan spesifik tentang apa yang dimaksud dengan hari baik untuk suatu kegiatan tertentu. Oleh karena perarem merupakan aturan pelaksanaan, maka perarem dibandingkan dengan awigawig lebih sering mengalami perubahan. Sementara awig-awig jarang mengalami
26 perubahan dan biasanya diteruskan secara turun-temurun. Perarem dapat berubah dan biasanya perubahan itu dilakukan dalam rapat (sangkep). Meskipun awig-awig adalah tradisi yang bersifat turun-temurun, namun awig-awig tetap terbuka untuk dapat dirubah. Awig-awig di Desa Pakraman Guwang dapat diganti setiap kurang lebih dua tahun sekali.
Sementara di Desa Pakraman Bale Agung
Kerambitan, perubahan awig-awig sangat sulit terjadi, oleh karena awig-awig yang disusun bersifat normatif dan umum. Semua partisipan yang diwawancari di Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan mengatakan bahwa dalam masa hidup mereka, mereka belum pernah mengalami perubahan awig-awig. Namun di Desa Bale Agung Kerambitan, perubahan biasanya terjadi pada tingkat perarem, sebagai aturan pelaksana dari awig-awig. Sementara itu di Desa Pakraman Kuta, desa ini pertama kali memiliki awig-awig tertulis pada tahun 1972 dan pernah mengalami revisi pada tahun 1992. Setelah tahun 1992, ada banyak perubahan yang harus disesuaikan di awig-awig tersebut, namun hingga saat ini belum terlaksana karena prosesnya memakan waktu panjang. Untuk itu, Desa Pakraman Kuta membuat berbagai aturan adat pada tingkat perarem untuk menjawab dinamika tersebut. Contoh perarem yang dibuat dengan tanpa mengubah awig-awig adalah aturan mengenai jabatan bendesa (mekanisme pemilihan, masa jabatan, periode jabatan, dan lain-lain). Untuk menegakkan aturan yang terdapat dalam awig-awig dan perarem, biasanya aturan adat tersebut akan dilengkapi dengan sanksi adat. Sanksi adat tersebut dapat berupa sanksi sosial ataupun sanksi berupa denda dan kewajiban untuk melalukan upacara tertentu. Yang dimaksud dengan sanksi sosial adalah pelanggaran norma yang dilakukan oleh seseorang dan kemudian akibat pelanggarannya tersebut yang bersangkutan menjadi bahan gunjingan dan mendapatkan citra yang negatif dari warga lainnya. Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang belum bekerja bakti tapi kemudian langsung menghilang, orang tersebut dinyatakan tidak memiliki kerelaan hati untuk bekerjasama/bergotong royong
27 dengan warga lainnya. Mendapat predikat sebagai orang yang tidak iklas dalam kerja adat adalah hal ingin dihindari oleh setiap warga adat. Sanksi seperti ini sangat efektif dalam menegakkan kepatuhan warga terhadap aturan adat oleh karena menjadi bahan gunjingan warga adat merupakan keadaan yang tidak nyaman bagi warga adat. Sanksi untuk melakukan upacara tertentu adalah sanksi yang diberikan akibat tindakan seseorang yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan unsur-unsur kosmis atau kekotoran secara niskala/spiritual. Di Desa Pakraman Guwang misalnya, jika ada orang yang melakukan perkelahian di areal pura sampai meneteskan darah, maka yang terlibat dalam
perkelahian
tersebut
dikenakan
sanksi
untuk
melakukan
upacara
pecaruan/pembersihan yang dikenal dengan caru mancasanak. Sanksi lainnya adalah berupa denda materi, maksudnya adalah orang yang dianggap melanggar aturan adat diwajibkan untuk membayar sejumlah uang ataupun menyerahkan materi tertentu. Di Banjar Kangin, Desa Pakraman Guwang, perceraian adalah hal yang tidak disarankan dan dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap keharmonisan. Kalau ada seseorang mengajukan cerai maka dirinya akan dikenakan “kewajiban” membayar beban kesalahan sebesar 10 kilogram beras. Hanya saja, bukan kuantitas yang dituju disini, melainkan hakikat agar tidak terjadi praktek perceraian di masyarakat karena konsekuensinya adalah dedosan atau kesalahan. Sanksi juga diberlakukan kepada pengurus adat yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Apabila ada kelihan banjar atau bendesa yang tidak menjalankan aturan sesuai kesepakatan maka warga diperbolehkan memprotes dan pejabat desa pakraman tersebut akan dikenakan sanksi. Sanksi yang terberat dalam desa pakraman adalah sanksi moral, dimana biasanya kelihan banjar atau bendesa akan malu dan tidak enak hati. “ soalne kene, mun kelihan ne main-main, sing catet te ape sing jalanine keputusanne be keto ada krama nu inget bisa diprotes besar-besar to”
28 (soalnya begini, apabila kelihannya main-main, tidak mencatat atau menjalankan keputusan dengan tidak benar dan ada warga yang ingat maka akan diprotes besar-besaran) (Dupa Dharmayuda, 60 tahun, laki-laki, warga desa) “ hahaha pokokne sanksi moral ne nuh lebih berat to” (hahahaha pokoknya sanksi moralnya lah yang akan lebih berat” (Wayan Wiryawan, 35 tahun, laki-laki, warga desa) b. Struktur Desa Pakraman dan Pembuatan Aturan Adat Desa adat dan desa pakraman adalah dua istilah yang memiliki pengertian yang sama yang sering digunakan secara bergantian. Dulu nama desa adat lebih dikenal secara meluas dan semenjak ditetapkannya Perda tentang Desa Pakraman pada tahun 2001, nama resmi dari desa adat adalah desa pakraman. Hal yang sama berlaku untuk istilah banjar adat dan banjar pakraman. Banjar pakraman adalah unit di bawah desa pakraman atau dengan kata lain desa pakraman terdiri dari beberapa banjar pakraman. Desa pakraman merupakan satu kesatuan territorial yang dicirikan dengan wilayah cakupan Kahyangan Tiga. Yang dimaksud dengan Kahyangan Tiga adalah adalah pura-pura tempat persembahyangan kepada Tri Murti yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Pura tempat menyebah Dewa Brahma dikenal dengan Pura Desa atau Bale Agung, pura tempat menyebah Dewa Wisnu adalah Pura Puseh, dan pura tempat menyembah Dewa Siwa adalah Pura Dalem. Wilayah teritorial yang didalamnya umat Hindu memiliki ikatan terhadap Kahyangan Tiga tersebut, itulah yang disebut dengan desa pakraman. Dalam pengertian yang ada dalam Perda No. 3 Tahun 2001, desa pakraman disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harga kekayaan sendiri serta berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Dari tiga desa yang diteliti, pembuatan aturan adat dilakukan melalui proses yang demokratis, yaitu aspirasi berasal masyarakat dari unit yang terkecil yaitu banjar pakraman.
29 Awig-Awig berasal dari masukan (usulan) dari berbagai banjar yang secara administrasi ada berada di dalam wilayah desa Adat Guwang. Sebelum di musyawarahkan di tingkat desa, rancangan mengenai aturan-aturan adat didiskusikan di masing-masing banjar. Dari hasil diskusi di tingkat banjar kemudian dibawa ke tingkat desa untuk disinkronisasikan dengan pendapat dari banjar yang lainnya. Proses pembuatannya pun melibatkan seluruh warga melalui mekanisme perwakilan baik langsung maupun tidak langsung. Warga pun diberikan kesempatan seluas-luasnya dalam mengemukakan pendapat. Program kerja atau aturan adat dapat berangkat dari warga itu sendiri melalui mekanisme ke banjar sebelum ke tingkat desa. Hal ini diakui warga desa pakraman Guwang, Gianyar. “mun ade na kar ngae sesuatu to biasa ne ngae care panitia cenik, uling di banjar ade rencana atau masukan na kar ngae awig-awig alu. Mun di banjar be sepakat, ade nu ke desa sebagai perwakilan atawa utusan dari banjar nu ngabe rencana totonan”. (kalau ada yang ingin membuat sesuatu biasanya akan membuat terlebih dahulu panitia kecil, dari banjar misalnya ada rencana atau masukan dalam membuat awig-awig dulu. Apabila di banjar telah sepakat, ada yang ke desa sebagai perwakilan atau utusan dari banjar dengan membawa rencana/masukan tersebut). (Dupa Dharmayudha, 59 tahun, laki-laki, warga desa) Warga desa pakraman pun diberikan kesempatan untuk bertanya atau mengajukan usul atas kebijakan yang sudah atau akan dibuat oleh desa pakraman. Saluran yang dapat digunakan adalah sangkep banjar.2. Sangkep banjar dapat berupa pertemuan rutin setiap bulannya atau ada pertemuan tambahan untuk membahas isu atau masalah khusus yang dipimpin oleh seorang kelihan banjar. Dalam sangkep banjar seluruh warga memiliki kesempatan yang sama, posisi warga dan kelihan banjar pun sejajar tidak ada yang lebih tinggi. Hal ini tercermin dari posisi duduk dimana posisi duduk kelihan banjar sejajar dengan
Acara pertemuan yang berlangsung di bale banjar dimana melibatkan seluruh perwakilan banjar dan dipimpin oleh seorang kelihan banjar. 2
30 warga. Wadah inilah tercipta demokrasi lokal di tingkat terkecil, dimana suara rakyat benarbenar didengarkan oleh pemimpinnya. “be gen sangkep banjar ne to nak terbuka nyengen dadi ngomong dadi be ngusul ape gen dadi” (setiap sangkep banjarnya itu berlangsung terbuka siapapun boleh berbicara , boleh mengusul apa pun silahkan) (Wardani, 59 tahun, perempuan, warga desa) “dadi mulai ne be di banjar, pas sangkep banjare” (boleh kita berbicara di banjar, wadahnya sangkep banjar) (Ketut Radiawan, 55 tahun, laki-laki, warga desa)
Cara menyampaikan usulan atau masukannya pun tidak sembarangan, dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama mengakar di masyarakat Bali, yakni Tri Hita Karana... Dalam sangkep banjar ini, warga tidak pernah memaksakan keinginannya untuk disepakati di banjar. Semua usulan yang dikeluarkan biasanya disampaikan dengan kerendahan hati dan tidak pernah ada memaksakan kehendak. “ae menurut pendapat saya secara pribadi, pokok ne dimulai dengan bicara keto be “a colohan tyang” (iya menurut pendapat saya secara pribasi, pokoknya semua usulan dimulai dengan bicara “acolohan” saya, atau pendapat saya pribadi) (Dupa Dharmayudha, 59 tahun, laki-laki, warga desa)
“nah pokokne a colohan tyang to men be sepakati mare jadi keputusan banjar, to be paling demokratis di banjar, di banjar nak terbuka kok” (yah pokoknya pendapat pribadi tersebut apabila disepakati oleh banjar baru akan menjadi keputusan banjar, itulah proses paling demokratis di tingkat banjar, di banjar itu sifatnya terbuka) (Wayan Wiryawan, 35 tahun, laki-laki, warga desa)
“ ae e demokratis pokokne proses ne, semua nak sama dadi ngomong a colohan tyang”
31 (ya pokoknya proses yang demokratis, semua orang boleh berbicara pendapat pribadinya) (Me ati, 48 tahun, perempuan, warga desa Untuk memastikan segala bentuk perarem mendapat kepastian “hukum” maka secara aklamasi melalui fasilitasi dari pihak kelian, dilakukan pula pembubuhan tanggal secara tertulis
atas
hasil
perarem
yang
telah
disepakati
bersama.
Pembuatan aturan adat di Desa Pakraman Kuta juga melalui kesepakatan yang melibatkan banyak pihak, diantaranya adalah pengurus desa pekraman, pengurus banjar, kelian suka-duka 3 , kepala lingkungan, dan
tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap
kompeten. Setelah mendapat kesepakatan, awig-awig desa pakraman kemudian disahkan oleh pengurus desa pakraman, lurah, camat, dan bupati. Terkati dengan aturan adat yang ada pada tingkat banjar di wilayah Desa Pakraman Kuta, Selain awig-awig dan perarem di tingkat desa pakraman, setiap banjar memiliki awig-awig dan perarem-nya sendiri. Salah satu yang diatur di dalam awig-awig ataupu perarem di tingkat banjar adalah mekanisme pemilihan kelian
(ketua pengurus) banjar dan kepala lingkungan. Karenanya, proses
pemilihan kelian dan kepala lingkungan berada di tangan warga banjar sendiri, desa pakraman tidak berhak untuk melakukan intervensi. Sedikit berbeda dengan mekanisme pengambilan keputusan di Desa Pakraman Guwang dan Desa Pakraman Kuta, pembuatan aturan adat di Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan dilakukan melalui struktur kepajuruan (kepengurusan) yang salah satu unsure didalamnya adalah wakil dari banjar pakraman. Struktur kaprajuruan ini adalah bentuk sistem perwakilan dalam desa pakraman. Mereka yang ada pada posisi struktur ini dipercaya untuk mewakili aspirasi dan kepentingan warga desa pakraman. Pemilihan struktur ini didasarkan pada tradisi dan kearifan dan bukan didasarkan pada pemilihan (one man, one vote).
Kelian suka duka, adalah ketua dari kelompok masyarakat yang dibentuk untuk mengorgansir upacara yang bersifat suka (seperti pernikahan) dan upacara yang bersifat duka (seperti upacara kematian). 3
32 Secara tradisi, posisi puncak dalam struktur kaprajuruan diduduki oleh Raja Kerambitan sebagai Ida Anglurah Rumaga Jejejeng (pengayom masyarakat). Posisi di bawah raja ditempati oleh pengelingsir puri atau tetua puri/keraton yang memainkan peran sebagai wakil raja. Secara turun temurun posisi ini diduduki oleh Puri Anyar Kerambitan. Di bawah posisi itu adalah Murdaning Pengajeg Sahangga, sejenis Dewan Perwakilan Rakyat, yang terdiri dari lima orang pengurus inti desa pakraman dan empat orang tokoh masyarakat yang berasal dari masing-masing banjar pakraman yang merupakan bagian dari Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan. Ketua banjar pakraman (kelian banjar) secara ex officio menjadi bagian dari empat orang perwakilan banjar tersebut. Empat orang tokoh atau perwakilan banjar tersebut juga disebut dengan andel-andel yang secara harfiah berarti orang-orang yang diandalkan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kualitas yang beragam seperti teologi, sosial ekonomi, kemasyarakatan, budaya, seni, serta bentukbentuk pengetahuan lainnya. Dengan kata lain mereka yang dianggap sebagai tokoh adalah orang yang berpengetahuan dan bijaksana. Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan memiliki empat banjar pakraman yang itu artinya memiliki 16 orang andel-andel (orang yang diandalkan). Bersama dengan lima orang pengurus inti desa pakraman, berarti DPR-nya desa pakraman (Murdaning Pengajeg Sahangga) terdiri dari 21 orang. Pengurus inti desa pakraman yang dimaksud di sini adalah: Bendesa Pakraman (Ketua Desa Pakraman), Wakil Bendesa Pakraman, Penyarikan (Sekretaris), Petengen (Bendahara), dan Kasinoman (Seksi Informasi). Penanganan terhadap suatu persoalan akan ditentukan besar kecilnya persoalalan tersebut. Jika menyangkut urusan teknis yang bersifat implementasi, persoalan itu diselesaikan pada tingkat pengurus desa pakraman. Jika persoalan terkait dengan pembuatan atau revisi terhadap aturan adat, desa pakraman menerapkan prosedur yang demokratis yang menggabungkan antara konsep representasi dan konsep kearifan. DPRnya Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan (Murdaning Pengajeg Sahangga) adalah struktur menunjukkan representasi sekaligus kearifan. Anggotanya adalah pengurus inti
33 desa pakraman dan wakil dari masing-masing banjar pakraman yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan. Jika dipandang perlu, pengurus desa pakraman dapat meminta nasehat dari raja dan Bhagawanta (pendeta yang menjadi penasehat raja). Di Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan, usul terhadap pembuatan atau revisi aturan adat termasuk usulan program dapat diajukan oleh semua warga desa pakraman. Usulan tersebut disampaikan melalui perwakilan banjar pakraman yang duduk dalam DPR (Murdaning Pengajeg Sahangga). Murdaning Pengajeg Sahangga kemudian melakukan kajian terhadap usulan tersebut dengan meninjau dari berbagai segi aspek seperti manfaat, filosofis, dan struktur keorganisasian. Sebagai contoh, untuk memperbaiki pura, pengurus Desa Pekraman Bale Agung Kerambitan mengundang Murdaning Pengajeg Sahangga. Setelah mendapat persetujuan, baru aturan atau program tersebut dapat dilaksanakan. Raja Puri Kerambitan memiliki peran yang unik dalam proses pengambilan keputusan di Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan. Pada masa kerajaan, peran raja sangat sentral dalam menata pelaksanaan kehidupan adat termasuk berperan dalam memberikan petunjuk tennis. Pada masa sekarang, meskipun secara formal pengurus Desa Pakraman teta menjalankan tugas atas mandat dari raja, namun raja pada masa sekarang lebih berperan sebagai fasilitator, pengayom yang memberikan restu, serta nasehatnasehat. Berbeda dengan kehidupan di demokrasi liberal yang menggunakan voting, pengambilan keputusan di tiga desa pakraman yang diteliti menggunakan musyawarah mufakat yang didasarkan oleh kearifan dan kebijaksanaan. Jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu persoalan, maka jalan keluarnya pihak pengurus desa pakraman akan mencarikan narasumber yang mengetahui persoalan tersebut.
Di Desa Pakraman Bale
Agung Kerambitan, meminta nasehat kepada raja jika baru akan dilakukan jika persoalan yang dihadapi tidak bisa diatasi oleh pengurus. Jika ada persoalan yang terkait dengan
34 posisi desa pakraman dengan urusan pemerintahan formal, maka desa pakraman dapat mengundang instansi pemerintah yang terkait. Di desa pakraman perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Perbedaan pendapat dalam sangkep banjar pun hal yang lumrah terjadi. Di situasi seperti ini diperlukan keluwesan dari kelihan banjar. Biasanya seluruh pendapat baik pro maupun kontra akan ditampung dan dicatat oleh kelihan banjar. Proses pemecahan masalah apabila terjadi perbedaan pendapat yakni melalui musyawarah mufakat. Di banjar pun sangat
kecil
kemungkinannya
untuk
menyelesaikan
permasalahan
dengan
menggunakan sistem voting. “mun di banjar di tampung alu ajak kelihan” (apabila di banjar akan ditampung pendapatnya oleh kelihan) (Rita, 49 tahun, perempuan, warga desa)
“ dicari be masukan dan pendapatnya uling krama konyangan, tampung be ajak pak kelihan ne alu” (dicarilah masukan dan pendapatnya dari seluruh warga, ditampunglah oleh kelihannya terlebih dahulu) (Kadek Wirya, 32 tahun, laki-laki, warga desa)
“pokok ne semua usulan, masukan diterima oleh kelihan. Mun ade perbedaan pendapat biasa nike, semua didengar dadi ngomong, tapi nyanan wenten kesepakatan napi hasilne di banjar” (pokoknya semua usulan dan masukan diterima oleh kelihan. Apabila ada perbedaan itu hal yang biasa, semua didengarkan dan boleh berbicara, tapi keputusannya adalah hasil kesepakatan di banjar) (Dupa Dharmayudha, 59 tahun, laki-laki, warga desa)
“Tetap musyawarahmufakat didahulukan, ditentukan nyen terbanyak, tidak ada voting secara formal” (tetap musayawarah mufakat didahulukan, ditentukan mana yang terbanyak, tetapi tidak ada sistem voting secara formal) (Sujendra, laki-laki, warga desa)
35 2. Akuntabilitas – Memberikan Informasi Publik Kepada Yang Berhak Menerima Keputusan yang telah disepakati bersama baik di tingkat banjar maupun di tingkat desa akan disosialisasikan kepada masyarakat desa seluruhnya. Ini menjadi bagian yang sangat penting dalam menentukan berjalannya kesepakatan dan aturan desa pakraman. Hasil
kesepakatan
disosialisasikan
kembali
melalui
sangkep
banjar.
Proses
penyampaiannya pun cukup sederhana dengan menggunakan komunikasi lisan seperti yang terjadi di Desa Pakraman Guwang. “keto be aturan ne di sosialisasikan kembali ke warga banjar rancangan to pang maan ye masukan atau usulan jak krama desa. Disampaikan secara langsung di banjar untuk mendapat masukan. Belum tentu masukan ne langsung diterima buin di godok aja panitia di tingkat desa” (begitulah aturannya disosialisasikan kembali ke warga banjar, rancangannya agar mendapatkan masukan atau usulan dari seluruh warga desa. Caranya dengan menyampaikan secara langsung di masing-masing banjar. Namun belum tentu masukan semuanya diterima lagi masukan tersebut dibicarakan oleh panitia di tingkat desa) (Wayan Kertha, laki-laki, warga desa) Di tingkat banjar, seperti yang terjadi di Banjar Kangin Desa Pakraman Guwang, ksepakatan adat disosialisasikan ke masyarakat setempat, salah satunya dengan cara saringgong (berkunjung dari rumah ke rumah) di setiap banjar. Alur informasi yang terjadi di desa pakraman berjalan dua arah: dari prajuru ke warga desa dan sebaliknya. Di Banjar Kukuh, Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan, informasi yang disampaikan biasanya berkaitan dengan piodalan atau upacara di pura. Untuk piodalan atau upacara, biasanya para prajuru akan berembug dahulu di antara mereka untuk menentukan besar-kecilnya upacara, berapa biayanya, dan apa saja yang diperlukan. Hasil kesepakatan itu bisa disampaikan di manapun, tidak selalu dengan cara mengumpulkan semua warga. Warga bisa menyampaikan hal-hal yang ingin ditanyakan kepada prajuru. Jika tidak ada lagi pertanyaan maupun keberatan warga atas kesepakatan tersebut, prajuru arah kemudian memberikan arahan kepada warga dalam pengambilan kebijakan untuk penyelesaian tugas. Penyampaian informasi dari prajuru kepada warga tidak hanya dilakukan melalui rapat namun juga melalui cara yang informal. Menurut penyarikan (sekretaris) Banjar
36 Pakraman Kukuh, Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan, penyampaian informasi kepada warga adat, dilakukan dengan segala cara yang memungkinkan. Jika bertemu di pasar, informasi itu akan dilakukan di pasar dan selalu ditambahi pesan untuk menyebarluaskan kepada warga lainnya. Jadi, penerima informasi pertama dari pengurus adat, diharapkan meneruskan kepada warga lainnya. Melalui cara seperti ini, informasi akan diketahui oleh semakin banyak orang dan tidak hanya diketahui oleh mereka yang hadir saat rapat. Di Desa Pakraman Kuta, penyampaian informasi kepada warga adat dilakukan melalui struktur yang ada. Setiap keputusan yang diambil di dalam paruman desa, akan disampaikan kepada seluruh warga melalui kelian banjar dan kepala lingkungan. Biasanya dilakukan di dalam paruman pemacekan agung (rapat umum) di banjar. Untuk menjangkau dan mendengarkan aspirasi warga adat, Bendesa Pakraman Kuta memiliki program tahunan kunjungan sosialisasi termasuk sosialisasi tentang LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Alokasi waktunya biasanya sekitar satu bulan atau minimal selama 13 hari (satu hari untuk setiap banjar pakraman)
3.
Akuntabilitas – Perencanaan, Pengumpulan, Dan Penggunaan Anggaran Perencanaan, pengumpulan, dan penggunaan anggaran untuk masing-masing desa
pakraman dilakukan dengan cara yang berbeda-beda namun pada dasarnya semuanya dilakukan dengan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pembiayaraan kegiatan ada di Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan bersumber dari iuran warga, bantuan pemerintah, dan kontribusi dari LPD (Lembaga Perkreditan Desa), serta donator. Iuran ditetapkan setiap bulannya sebesar Rp 5.000 per KK. Secara umum pengeluaran utama desa pakraman digunakan untuk aci dan mapahayu. Yang dimaksud dengan aci adalah anggaran untuk keperluan upacara agama dan mapahayu adalah anggaran untuk pembangunan/perbaikan pura. Anggaran untuk aci secara rutin digunakan pada hari-hari sakral berdasarkan penanggalan kalender Bali diantaranya adalah Purnama, Tilem (bulan
37 mati), Budha Kliwon, Angggara Kasih, dan Tumpek. Dalam 30 hari, ada 5 hari sakral sebagai hari baik untuk melakukan persembahan kepada Tuhan. Kegiatan untuk aci adalah kegiatan yang rutin dan terus menerus dengan dasar bahwa persembahan kepada Tuhan dimaksudkan untuk terus memohon sinar suci Tuhan agar manusia senantiasa diberkati dengan sinar suci ilahi baik secara lahir maupun bathin. Aci itu juga dimaksudkan untuk menghilangkan faktor-faktor yang menghalangi pancaran sinar suci Tuhan kepada umat manusia. Jika faktor-faktor itu tidak dihilangkan maka dipersepsikan akan muncul apa yang disebut dengan kegelapan dan keangkuhan yang akan dapat memunculkan instabilitas dalam kehidupan warga desa pakraman. Untuk membiayai pengeluaran sesajen dan pemangku (orang yang disucikan untuk menjalankan upacara agama di pura tempat pemangku tersebut ditugaskan), Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan mengeluarkan biaya sebesar kurang lebih Rp 600.000 per bulannya untuk satu pura. Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan mengelola Tri Kahyangan yaitu (Pura Puseh, Pura Dalem, dan Pura Bale Agung) dan Pura Prajapati. Untuk odalan (perayaan rutin tiap 6 bulan kalender Bali), Desa Pakraman mengeluarkan biaya sekitar 16-17 juta rupiah. Terkait dengan anggaran mapahayu atau pembangunan/perbaikan pura, ada proses yang dilakukan secara bertahap, terlebih lagi jika rencana tersebut akan memerlukan pembiayaan yang besar. Pada tahap pertama, diadakan pertemuan kecil yang dihadiri oleh pengurus inti Desa Pakraman (lima orang) dan pembawa usulan. Pertemuan seperti ini juga dapat melibatkan Kelihan (Ketua) dari masing-masing banjar. Usul yang dibawa tersebut kemudian diteliri kebenarannya dan perkiraan biaya yang dibutuhkan serta berapa kas yang dimiliki oleh Desa Pakraman pada saat itu. Usulan tersebut bersifat terbuka dan setiap warga desa pakraman memiliki hak untuk mengajukan usul tersebut. Namun biasanya usulan tersebut datang dari kalangan internal pengurus baik pada tingkat Desa maupun Banjar Pakraman.
38 Setelah konsep perencanaannya matang dengan berbagai pertimbangan, proses selanjutnya adalah membawa persoalan tersebut pada tingkatan Murdaning Pengajeg Sahangga. Jika persoalannya sangat penting maka diperlukan keterlibatan raja. Setelah mendapat persetujuan setidaknya pada tingkatan Murdaning Pengajeg, usulan tersebut dibicarakan dengan calon donatur yang secara khusus diundang, yaitu orang-orang Kerambitan yang dianggap sukses secara finansial. Ketercukupan perencanaan anggaran adalah dasar untuk membentuk panitia pembangunan pura. Panitia kemudian bersamasama dengan pengurus mengadakan pertemuan untuk menentukan besaran iuran yang perlu diberikan oleh masing-masing KK. Untuk menguji kewajaran atau kesesuaian antara kebutuhan pembangunan dan anggaran, panitia pembangunan akan melakukan kajian. Mereka yang duduk dalam panitia tersebut adalah mereka yang dianggap memiliki keahlian yang relevan seperti teknik arsitektur atau teknik sipil. Setelah proses pengerjaan pembangunan, panitia kembali melakukan evaluasi terhadap kesesuaian antara hasil pengerjaan dengan biaya riil yang telah dikeluarkan. Terkait
dengan
kegiatan
pembangunan
atau
renovasi
pura,
bentuk
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh panitia pembangunan dan pengurus desa pakraman adalah dengan berkirim surat kepada donatur tentang penggunaan keuangan. Ringkasan dari penggunaan keuangan tersebut disampaikan kepada tiap-tiap keluarga. Biasanya untuk surat seperti ini, pihak pengurus desa pakraman membuat sekitar 1.500 surat untuk disampaikan kepada masing-masing keluarga. Dalam surat yang disebut dengan sesiar, memuat nama aktivitas pembangunan, jumlah dana yang telah dikeluarkan, dan kontribusi dari donatur. Di Desa Pakraman Guwang, proses persetujuan rencana anggaran kerja pun melalui proses kesepakatan di tingkat banjar sebelum dibawa ke tingkat desa. Siapapun dapat memberi masukan dan mengkritisi rencana anggaran tersebut. Namun hal yang
39 membedakan dengan pembuatan kebijakan atau kesepakatan adalah penekanan pada sektor transparansi. Dalam membuat rencana anggaran ditekankan prinsip transparansi dan keterbukaan informasi. Langkah yang berbeda adalah pada proses penggunaan anggaran. Contohnya apabila sudah sebuah rencana anggaran kerja telah disetujui maka dalam proses penggunaannya pun setiap saat diumumkan ke masyarakat. “ dana yang dirancang akan dihabiskan to be dirinci, anggo kene kude, anggo meli kene kude, be ade be konyangan rincian ne ditu. Konyangan baange” (dana yang telah dirancang akan digunakan dipaparkan secara terinsi, untuk ini berapa, untuk beli itu berapa, semua ada rinciannya disana. Dan semua orang diberikan rancangan tersebut) (Ketut Radiawan, laki-laki, warga desa)
Di dalam pembiayaan kegiatan, Desa Pakraman Guwang hanya membiayai jenis kegiatan yang cakupan kegiatannya dan penerima manfaatnya adalah seluruh warga desa seperti piodalan di Pura Desa, Pura
dan Pura Dalem. Pembiayaan tergantung dari
kemampuan keuangan desa (pendapatan) apakah mampu untuk membiayai kegiatan, kalau tidak memungkinkan untuk dibiayai sendiri oleh pihak desa maka pembiayaan dishare dengan masyarakat. Pembiayaan untuk upacara di Pura Desa membutuhkan biaya setara dengan 15 ton beras dan untuk upacara di Pura Dalem membutuhkan biaya setara dengan 11 ton beras. Berapa harga beras pada saat itu, maka biaya upacaranya setara dengan harga beras saat itu. Sebelumnya bertanya ke dagang beras yang ada di desa, yang mana yang paling mahal per kilonya itu yang dijadikan patokan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi fluktuasi kenaikan harga barang sewaktu-waktu. Setelah diketahui harga beras yang paling mahal, lalu dikalikan dan didapatlah perkiraan total biaya upacara tersebut. Untuk pembagian biaya kepada masyarakat, warga terlebih dahulu digolongkan dalam kelompok gede dan alit. Kelompok gede adalah kelompok yang dibebaskan dari pembayaran iuran dan kelompok alit adalah kelompok yang wajib untuk membayar iuran. Anggaran yang diperlukan itu kemudian dibagi sejumlah KK golongan alit dan ditambah biaya sebesar lima ribu rupiah.
40 Sumber keuangan Desa Pakraman Guwang berasal dari bantuan Pemerintah Kabupaten Gianyar sebesar 21 juta per tahun, dari Pemerintah Provinsi sebesar 55 juta pertahun, dan kira-kira 194 juta dari LPD per tahunnya, dari pasar seni sebesar 50 juta, dan 11 juta dari pasar tenten (pasar makanan). Ditambah kontribusi uang dari pendatang, dan kontribusi sebesar 10 kg beras dari warga yang tinggal di Desa Pakraman Guwang namun tidak menjadi warga adat di Desa Pakraman Guwang. Pada tingkat banjar, sumber anggaran di Banjar Kangin Desa Pakraman Guwang antara lain berasal dari iuran warga banjar, pemasukan dari acara tajen (sabung ayam) serta kegiatan-kegiatan swadaya lain. Partisipasi dari pihak negara (pemerintah provinsi, kabupaten/kota) berupa alokasi anggaran tidak terlalu besar, bahkan kurang diapresiasi positif oleh warga setempat yang notabene dianggap negara terlalu birokratis, in-efisien. Banjar dianggap betul-betul membangun dirinya sendiri. Desa Pakraman Kuta adalah desa pakraman dalam wilayahnya terdapat pusat bisnis yang terbesar di seluruh Bali. Desa pakraman ini menerapkan mekanisme satu pintu dalam pengelolaan keuangan yaitu semua pendapatan desa pakraman masuk dalam kas desa pakraman. Dari pendapatan tersebutlah, desa pakraman membiayai kegiatan-kegiatannya. Sumber pendapatan desa pakraman berasal dari: 1.
Bidang usaha: beberapa art shop, penyewaan pasar senggol, penyewaan pasar seni (di dua lokasi), serta pengelolaan pantai.
2.
Keuntungan LPD sebesar 20%.
3.
Bantuan pemerintah kabupaten Badung sebesar 120 juta/tahun.
4.
Bantuan pemerintah propinsi Bali sebesar 50 juta/tahun. Berbeda dengan desa pakraman lainnya, oleh karena pendapatannya yang
mencukupi, Desa Pakraman Kuta tidak menarik iuran kepada warganya untuk urusanurusan adat baik dalam skala kecil maupun besar. Desa Pakraman Kuta juga tidak pernah menarik kontribusi apapun kepada pendatang. Desa Pakraman Kuta memiliki kebijakan
41 khusus dalam mengelola pasar seni dan pasar senggol yaitu menerapkan perbedaan harga antara penyewa yang pendatang dan warga adat. Kebijakan ini dibuat atas pertimbangan bahwa warga adat seringkali harus menutup kiosnya untuk keperluan upacara adat. Upacara adat itupun pada gilirannya menimbulkan efek dalam memberi daya tarik wisata di kasawasan ini. 4.
Akuntabilitas – Mekanisme Pelaporan Semua pemasukan dan pengeluaran Desa Pakraman termasuk laporan keuangan
LPD Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan disampaikan kepada masyarakat melalui rapat yang dihadiri oleh prajuru (pengurus inti) desa pakraman dan masing-Masing prajuru banjar
pakraman
atau
pada
setiap
kesempatan
yang
memungkinkan
termasuk
penyampaian informasi tentang anggaran melalui selebaran. Khusus untuk dana yang berasal dari pihak eksternal, pihak pengurus memberikan laporan pertanggungjawaban kepada pihak yang bersangkutan. Jika dananya berasal dari kantor gubenur, maka laporan pertanggungjawaban akan ditujukan kepada kantor gubernur. Forum rapat adat juga menjadi wadah untuk mendiskusikan kesesuaian antara rencana anggaran dan implmentesinya. Pihak pengurus menyampaikan biaya untuk upacara, anggaran dan saldonya. Biasanya untuk urusan aci, laporan pertanggungjawaban pengurus akan diterima oleh warga. Namun untuk urusan perbaikan bangunan, biasanya ada muncul pertanyaan-pertanyaan. Akuntabilitas ditunjukkan oleh panitia pembantunan dan pengurus dengan memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dari warga. Dalam memberikan penjelasan kepada warga, panitia menghadirkan alat bukti fisik berupa nota-nota pengeluaran. Dan setelah mendapat penjelasan, biasanya warga menerima laporan pertanggungjawangan dari panitia dan pengurus. Bentuk
akuntabilitas
dalam
penggunaan
anggaran
ditunjukkan
dengan
menyampaikan laporan keuangan. Laporan tersebut disampaikan pada akhir tahun walaupun ada juga kepengurusan yang memberikan laporan pertanggungjawaban pada
42 akhir masa jabatannya. Namun akan tetap diusahakan agar bisa dilakukan tiap tahun. Laporan pertanggungjawaban ini biasanya dapat diselesaikan pada tingkat murdaning pengajeg. Jika persoalannya sangat penting, maka raja diharapkan untuk mengambil peran. Pertanggungjawaban LPD dilakukan dalam rapat yang terpisah/khusus dan dilakukan pada tiap akhir tahun buku dengan selalu mengundang murdaning pangajeg, pengurus desa pakraman, serta badan pengawas. LPD mendapat pengawasan dari desa pakraman melalui struktur kelembagaan yaitu ketua badan pengawas LPD dijabat oleh Bendesa Pakraman. Rapat untuk melakukan pengawasan LPD dilakukan rutin tiap bulannya. Di Desa Pakraman Kuta, ada mekanisme laporan triwulan untuk kegiatan yang dilakukan selama 3 bulan, baik kegiatan upacara agama maupun pembangunan fisik pura. Laporan ini dipertanggungjawabkan dalam rapat rutin desa pakraman. Rapat ini sekaligus digunakan untuk penyusunan rencana kegiatan selama 3 bulan ke depan. Menjelang rapat triwulan, laporan pertanggungjawaban disebarkan kepada tiap ketua kelompok suka duka dan kelihan lingkungan di 13 banjar. Laporan ini dibagikan untuk dikoreksi. Rapat dihadiri oleh semua kelian dan kepala lingkungan, semua prajuru, pemangku, dan penasehat. Selain rapat rutin ini, dimungkinkan diadakannya rapat tambahan jika memang ada hal-hal yang harus diputuskan. Misalnya piodalan pura yang menyangkut beberapa banjar, desa akan mengundang banjar-banjar tersebut untuk pembagian tugas. Transparansi dalam pelaporan keuangan juga tampak di Desa Pakraman Guwang. Masyarakat desa pakraman mengetahui setiap sen uang yang masuk dan yang keluar, semua alur keuangan terpampang dengan jelas di kertas yang ditempelkan di dinding atau papan pengumuman banjar masing-masing. Siapa pun mengetahui dari siapa atau dari mana uang masuk, lalu kemana uang digunakan. Masyarakat pun mengetahui bagaimana posisi kas desa pakraman setiap saat.
43 “ Sangkep ken terus. Pengeluaran setiap tumpek umumine be. Ne rutin ne” (sangkep terus banjarnya, dan pengeluaran diumumkan setiap hari tumpek. Ini adalah agenda rutin) (Ketut Radiawan, ... tahun, laki-laki, warga desa)
“ Ae tempel neraca ne di banjar rage” (iya ditempel neraca tersebut di banjar masing-masing) (Me Ati, .... tahun, perempuan, warga desa)
Laporan ini selalu diperbaharui setiap saat ada proses pengeluaran atau pemasukan dana anggaran. Bahkan untuk laporan keuangan kegiatan di tingkat banjar, laporan tersebut disertakan dengan bukti kuitansi yang telah difotokopi. Setelah sebuah kegiatan dilaksanakan maka pejabat desa pakraman diwajibkan membuat laporan hasil kegiatan kepada warga masyarakat. Laporan disampaikan terlebih dahulu di tingkat desa untuk kemudian diteruskan oleh kelihan banjar di masing-masing banjar. Dalam setiap kegiatan penghimpunan dana dari warga, banjar maupun desa sudah memberlakukan mekanisme pertanggungjawaban secara ketat. Setiap transaksi baik pemasukan maupun pengeluaran terdapat pelaporan neraca
termasuk menyertakan
kwitansi pembelian, dan lain-lainnya. Bagi warga yang bertanya seputar penggunaan dana/anggaran, selain dibahas dalam paruman desa/banjar, juga dibuka ruang partisipasi berupa kesempatan untuk bertanya langsung pada kelian/ketua banjar terkait pemanfaatan dana anggaran maupun mencari alternatif pengefisienan dana.
5.
Akuntabilitas – Pengawasan Terhadap Aturan
Setiap keputusan desa pakraman wajib dipatuhi oleh masing-masing banjar pakraman dan semua warga adat. Pengurus Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan melakukan koordinasi agar keputusan desa pakraman dapat diimplementasikan dengan baik. Sebagai contoh, Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan menetapkan bahwa jika ada
44 upacara kematian yang terjadi pada hari yang sama dan terjadi di banjar yang berbeda, maka yang lebih dulu melaksanakan upacara penguburan/pengabenan adalah banjar yang lokasinya lebih dekat dengan kuburan. Pengurus Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan akan berkoordinasi dengan pengurus di tingkat banjar pakraman untuk memastikan aturan itu dilaksanakan. Penanganan terhadap aturan adat tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan. Jika pelanggarannya ringan, maka pengurus akan melakukan teguran atau memberikan nasehat. Bentuk-bentuk pembinaan terhadap pelanggaran-pelanggaran ringan juga sudah diatur dalam awig-awig. Bentuk pelanggaran ringan itu misalnya tidak datang beberapa kali ketika ada kewajiban untuk kerja bakti dalam urusan adat. Terkait dengan pengawasan terhadap penerapan awig-awig, di tiap-tiap banjar pekraman ada dua orang pengurus dan satu orang pecalang (semacam petugas keamanan adat) yang bertugas mengawasi pelaksanaan aturan adat, termasuk diantaranya bertugas untuk mendata warga yang tidak hadir ketika ada tugas-tugas adat. Kalau ada warga yang tidak hadir sekali, biasa dimaklumi. Kalau tidak hadir dua kali secara berturut-turut, yang dibersangkutan akan diberikan tanda dalam daftar absen. Jika tidak hadir tiga kali berturutturut, maka pengurus pada level banjar pakraman akan melakukan pendekatan kepada yang bersangkutan. Pendekatan yang dilakukan tidak ditujukan untuk memberikan penghukuman kepada yang bersangkutan namun lebih pada memberikan kesadaran atau pengertian serta untuk memahami faktor-faktor yang membuat yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Biasanya, kelihan banjar pakraman akan mendatangi rumah yang bersangkutan bersama dengan seorang warga yang merupakan keluarga dekat atau orang yang dihormati oleh yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar diskusi yang terjadi dilakukan dengan rasa saling hormat dan saling mengerti. Bentuk penanganan lainnya adalah meminta keterangan dari warga yang dianggap melakukan pelanggaran adat. Melalui cara ini, warga yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk memberikan klarikasi. Tujuan dari pertemuannya tidak dimaksudkan
45 untuk memojokkan dari warga yang bersangkutan namun untuk mencari sumber permasalahannya dan memberikan dukungan agar warga yang bersangkutan dapat kembali hidup harmonis dalam desa pakraman. Sebagai contoh, jika warga desa pakraman tidak dapat aktif dalam kehidupan adat karena masalah keuangan, pihak pengurus dapat memberikan solusi dengan memberikan informasi bahwa yang bersangkutan dapat menggunakan jasa LPD (Lembaga Perkreditan Desa) yang memang dimiliki oleh desa pakraman. Pengawasan terhadap pelaksanaan aturan adat lebih cenderung dilakukan secara preventif dengan menanamkan sikap mental untuk saling menghargai satu sama lain yang dikenal dengan konsep Tatwam Asi (aku adalah engkau). Dengan sikap saling memahami itulah, muncul kesadaran untuk bersama-sama melaksanakan kesepakatan bersama (aturan adat) dan sekaligus mencegah munculnya konflik. Upaya untuk menanamkan prinsip Tatwam Asi itu dilakukan melalui persembahyangan bersama setiap hari baik seperti hari Purnama. Kegiatan persembahyangan tersebut diawali oleh pembersihan diri secara spiritual. Sebelum persembahyangan dimulai, dilakukan kegiatan Dharma Wacana (Ceramah Agama/Dharma) untuk menguatkan mental masyarakat dan membina sikap saling menghormati. Pengawasan terhadap pelaksanaan aturan adat ini dianggap penting untuk dilakukan untuk mencegah munculnya persoalan yang terakumulasi dan tidak tertangani. Sebagian besar konflik adat yang terjadi di tempat lain, akibat adanya pembiaran terhadap pelanggaran aturan adat. Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan menghindari adanya pembiaran tersebut dengan melakukan mekanisme dalam pengawasan dan penanganan yang tetap dijiwai oleh prinsip keharmonisan seperti yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana. Di Desa Pakraman Kuta, warga desa yang secara langsung akan mengawasi kinerja prajuru desa dan memberikan berbagai penilaian, masukan, saran, dan kritik yang dapat
46 disampaikan melalui mekanisme rapat triwulan. Sementara untuk LPD, meskipun lembaga ini milik desa pakraman, desa tidak berhak mengintervensi terlalu dalam. Sebagai badan pengawas, desa akan mendapatkan laporan pertanggungjawaban dari LPD. Selain itu ada pengawas eksternal yang dipekerjakan untuk mengawasi pengelolaan LPD. Sama seperti di desa pakraman lainnya, di Desa Pakraman Guwang memberikan tugas kepada bendesa pakraman untuk mengawasi pelaksanaan aturan dan kegiatan adat. Aturan dan kegiatan adat itu meliputi upacara di pura, perkawinan, serta serta upacara kematian atau pengabenan. Bendesa pakraman secara ex officio juga mengawasi unit-unit usaha yang dikelola oleh Desa Pakraman Guwang yaitu LPD, pasar seni dan pasar makanan.
6.
Fairness/Keadilan/Kewajaran
Prinsip keadilan tampak jelas ketika warga adat duduk di dalam paruman (rapat) maka segala bentuk jabatan politik yang dimiliki seseorang (baca: misal bupati, walikota, gubernur, dll) harus dilepas dan semuanya harus berstatus sama, termasuk dalam pelaksanaan reward dan punishment-nya. Kondisi ini makin memperkuat pelaksanaan regulasi-regulasi adat di tingkat local, bahkan dinilai beberapa responden yang ditemui dalam penelitian ini, warga cenderung lebih memperhatikan/menghormati substansi regulasi yang ada di tingkatan desa Pakraman daripada regulasi dari pihak Negara (baca: kelian dinas yang terepresentasi oleh aparatur kecamatan). Prinsip kesederhanaan dalam menjalankan regulasi juga menjadi faktor pendukung aturan lokal ini berjalan secara efektif. Prinsip keadilan dan kewajaran juga diterapkan dalam pelaksanaan ngaben. Di Desa Pakraman Guwang, semua warga adat ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut termasuk mereka yang tidak memiliki anggota keluarga yang diaben. Hanya saja bentuk partisipasinya yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang memiliki anggota keluarga yang
47 diaben. Bagi yang tidak memiliki keluarga yang akan diaben maka mereka hanya menyumbang beras, kelabang dari daun kelapa, atau bambu. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang diterima warga, bahkan menerimanya sebagai kepatuhan atas aturan yang bermuatan positif bagi masyarakat setempat. Aspek fairness dalam pengelolaan desa pakraman tampak jika terjadi kelalaian atau kesalahan dalam pelaksanaan tugas. Di Desa Pakraman Kuta, jika ada warga desa yang tidak tahu keputusan desa atau melanggar perarem/awig-awig dan hal ini disebabkan karena kelihan tidak menyampaikan kepada warga yang bersangkutan, maka bendesa akan menanyakan kepada kelihan mengapa informasi tersebut tidak disampaikan kepada warga. Hal ini secara tidak langsung menjadi semacam sanksi sosial bagi yang bersangkutan, karena ia akan merasa tidak enak dengan warga lain. Aspek fairness lain tercermin dalam hal pemberian insentif bagi prajuru/pengurus. Bendesa pakraman sendiri adalah jabatan non fasilitas. Namun di Kabupaten Badung, setiap bendesa diberikan insentif oleh pemerintah sebanyak 1 juta per bulan. Di samping membuat mekanisme aturan yang adil, desa pakraman juga menerapkan fairness dalam berhubungan dengan pihak eksternal. Dalam urusan afiliasi politik, Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan bersikap netral dan melarang fasilitas desa pakraman digunakan sebagai tempat kampanye atau pertemuan politik. Desa pakraman tidak ingin dicampuri oleh urusan politik dan tidak mendukung salah satu kekuatan atau partai politik. Politik adalah soal uruan kebenaran sesaat dan agama adalah urusan kebenaran hakiki. Kalau ada yang ingin berdana punia di pura dipersilahkan, namun tidak mengikat. Gedung desa pakraman tidak pernah dan tidak boleh digunakan untuk tujuan politik. Gedung milik desa pakraman digunakan misalnya untuk pertemuan membicarakan masalah upacara agama, sesajen, atau diskusi mengenai agama.Terkait dengan dana dari pihak eksternal termasuk dari politisi, pihak desa pakraman menerima dana tersebut sepanjang tidak mengikat.
48 Desa pakraman juga memiliki batas yang jelas ketika berhubungan dengan pemerintah. Jika ada pertemuan dengan warga masyarakat yang terkait dengan ususan dinas pemerintah, pertemuan tersebut disarankan tidak dilakukan di balai desa pakraman namun di gedung atau balai desa milik pemerintah. Ini dilakukan bukan karena tidak memberikan ijin, namun untuk memberikan kejelasan tentang tugas dan cakupan desa dinas dan desa adat.
7. Kepercayaan Selama beratus-ratus tahun pengurus desa dan banjar pakraman telah mendapat kepercayaan yang begitu besar dari warganya. Kepercayaan itulah yang menjadi modal sosial dalam tata kelola urusan-urusan adat. Salah faktor kepercayaan dari warga adat kepada pengurusnya adalah besarnya unsur pengabdian untuk menjadi pengurus adat. Di Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan, pengurus desa pakraman hanya dibebaskan dari iuran sebesar Rp 5.000,- tiap bulannya. Keyakinan untuk mengabdi adalah dorongan yang tersebesar untuk bekerja. Reward yang dianggap terpenting ketika menjadi pengurus adalah mereka memiliki kesempatan untuk menghaturkan ayah (kerja iklas) dalam setiap upacara di desa pakraman. Ini diyakini sebagai salah bentuk peleburan dosa. Rasa saling percaya juga ditumbuhkan melalui dharmawacana setiap purnama dan tilem untuk membina hubungan yang harmonis atas dasar konsep Tri Hita Karana. Warga juga menaruh kepercayaan yang besar kepada pengurus karena kriteria pengurus desa pakraman didasarkan pada banyak hal yang tidak hanya cukup dari segi materi, namun juga dari segi perilaku panutan, kebijaksanaan dan pengetahuan. Konsep desa adat adalah bentuk pengorganisasian sebagai pengejawantahan masyarakat untuk melaksanakan nilai-nilai Agama Hindu. Dalam melaksanakan tugas-tugas adat, baik warga maupun pengurus adat diinspirasi oleh kepercayaan dan dedikasi. Keyakinan dan dedikasi tersebut didasari oleh prinsip lascarya larapanta (iklas untuk
49 menghaturkan kerja dan dana, tanpa merasa beban, tanpa merasa kehilangan, namun merasa bangga). Menurut Bendesa Pakraman Bale Agung Kerambitan, prinsip ini berakar dalam sejarah religi masyarakat ketika Resi Markandeya pergi dari Jawa Timur menuju Bali untuk melaksanakan tugas dharma. Beliau mendirikan tempat-tempat suci baik di pinggir pantai maupun di areal pegunungan. Pemilihanyapun tidak dilakukan sembarangan namun dengan kriteria-kriteria spiritual tertentu yang hanya dapat diketahui oleh orang suci yang memiliki olah rasa spiritual. Beliau kemudian melakukan tapa yoga semadhi dan menstanakan Sanghyang Dewata Nawa Sanga (manifestasi Tuhan dalam bentuk sinar-sinar suci yang ada pada 9 penjuru mata angin, dengan Dewa Siwa sebagai pusatnya). Dengan adanya stana Tuhan di seluruh penjuru mata angina di Bali, diyakini bahwa keberadaan sinar suci Tuhan berpancar dengan sangat kuat di Pulau Dewata. Pancaran itu akan tetap terjaga dengan persembahan suci yang dilakukan oleh masyarakat Bali, yang salah satu diantaranya dilakukan melalui pengorganisasian desa dan banjar pakraman. Pancaran suci itulah yang menjadi dasar keyakinan masyarat Bali bahwa energi Tuhan berada pada jarak yang dekat dengan kehidupan masyarakat Bali sehingga masyarakat Bali takut untuk melakukan kesalahan. Warga desa pakraman umumnya sangat percaya dengan pejabat desa pakraman. Warga desa terutama sangat percaya dengan kelihan banjar. Hal ini disebabkan oleh beberapa nilai yang dianut oleh masyarakat desa terhadap desa pakraman. Adapun nilai tersebut adalah: pertama, warga memiliki kedudukan yang sama, siapa pun dapat memberikan masukan, pendapat, kontrol bahkan mengkritisi program kerja desa. Kedua, pejabat desa pakraman dalam hal ini bendesa hingga kelihan banjar berperan sebagai penyambung lidah warga. Kelihan terutama memiliki peran sentral dalam menyampaikan pesan, masukan yang disampaikan warga banjar di tingkat yang lebih tinggi. Ketiga, kelihan banjar tidak memiliki kewenangan menentukan, meminimalisir pesan, tetapi hanya berperan sebagai mediator antara warga banjar dengan tingkat yang lebih tinggi.
50 “dari tu dah kenapa percaya sekali dengan kelihan, karena sering bertemu ajak berkomunikasi” (karena itulah percaya sekali dengan kelihan, karena sering sekali bertemu dan berkomunikasi) (Sujendra, tahun, laki-laki, warga desa) “kepercayaan itu disebabkan karena banyaknya komunikasi dan banyak saksi” (kepercayaan itu disebabkan karena banyaknya komunikasi dan saksi) (Wayan Wiryawan, 35 tahun, laki-laki, warga desa) “tapi inget kelihan sing memutuskan tetep kesepakatan banjar, kelihan nak hanya megae gen” (tapi inget kelihan itu tidak memutuskan tetap melalui kesepakatan banjar, kelihan hanya bekerja melaksanakannya) (Ketut Radiawan, 55 tahun, laki-laki, warga desa) Warga pun percaya dengan kelihan karena warga dan kelihan terikat secara moral dan adat. Hubungan mereka terjalin karena ada modal sosial dan modal budaya yang kuat. Apabila terjadi penyelewengan maka sanksi yang dijatuhkan berupa sanksi moral dan sanksi adat. Faktor pendukung lainnya yang menyebabkan warga sangat percaya dengan kelihan adalah, intensifnya komunikasi antara kelihan dengan warga banjar dalam forum sangkep banjar. Kewenangan kelihan banjar yang terbatas pun menyebabkan kelihan harus selalu berkomunikasi dengan warga bahkan untuk hal-hal detail sekecil apa pun itu. Kepercayaan warga ada terhadap prajuru di Desa Pakraman Kuta cukup besar. Hal ini disebabkan karena ada laporan pertanggungjawaban kerja yang secara rutin dibuat dan dilaporkan. Salah satu contohnya adalah dalam hal pengelolaan pantai. Warga percaya jika pantai dikelola oleh desa adat maka keuntungan yang dihasilkan akan kembali ke desa. Berbeda jika pengelolaan dilakukan oleh pihak lain termasuk oleh lembaga pemerintah. Warga khawatir jika keuntungannya tidak kembali untuk desa pakraman. Jika ini terjadi, desa pakraman akan kehilangan sumber pendapatan untuk membiayai kegiatan-kegaitan di desa pakraman.
51 Kepercayaan warga tetap terjaga juga disebabkan oleh akuntabilitas yang ditunjukkan oleh prajuru. Di Desa Pakraman Kuta, pernah ada mendapat rumor dan kritik yang berasal dari Banjar Pakraman Pande yang ditujukan kepada bendesa pakraman. Bendesa yang bersangkutan langsung datang ke banjar yang bersangkutan dan memberikan penjelasan dan rumor itu dengan sendirinya hilang oleh karena tidak sesuai dengan fakta.
Bab VI Kesimpulan Governance dalam desa pakraman di Bali dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip integritas. Mekanisme tata aturan ada dilakukan secara demokratis baik melalui demokrasi langsung maupun perwakilan. Aturan dibuat berdasarkan pada asas manfaat dan keadilan. Proses pembuatan aturan itu dilakukan tidak melalui pemungutan suara namun melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Proses telah terbukti menghasilkan keputusan-keputusan yang efektif oleh karena didasarkan pada niat baik, kebijaksanaan, dan ketaatan pada konsep Tri Hita Karana. Akuntabilitas dari prajuru desa dan banjar pakraman juga terlihat dari cara mereka mengelola informasi. Semua informasi publik disampaikan kepada warga adat baik melalui rapat maupun secara informal dari rumah ke rumah. Kebersamaan dalam pengambilan keputusan juga berlaku dalam hal penyusunan anggaran. Meskipun ide awal penyusunan anggaran dapat berasal dari kelompok kecil, namun persetujuan dari penyusunan anggaran tetap dilakukan pada rapat yang melibatkan struktur yang ada. Pelaporan penggunaan anggaran dilakukan melalui rapat yang dihadiri oleh struktur yang terkait dan keputusannya disebarkluaskan ke masingmasing kepala keluarga. Dengan cara ini, sumber-sumber keuangan desa/banjar pakraman dan penggunaannya diketahui oleh masyarakat sehingga sangat dekat
52 dengan kontrol publik yang berdampaknya pada minimnya korupsi dalam tubuh desa pakraman. Pihak warga desa pakraman menunjukkan tanggungjawabnya dalam mengawasi pelaksanaan aturan adat. Semua warga adat dapat berpartisipasi dalam proses pengawasan dan tanggung jawab utamanya terletak pada bendesa pakraman. Walaupun pelanggaran adat dapat berujung pada sanksi namun diupayakan semaksimal mungkin untuk melakukan pendekatan agar pelanggaran adat itu bisa dicegah. Pengawasan aturan ada juga berlaku bagi para prajuru, artinya masyarakat ada juga melakuka pengawasan terhadap kinerja prajuru. Desa pakraman menerapkan prinsip fairness/kepantasan dan keadialan dalam pengelolaan organisasinya. Semua orang ketika menjadi warga adat, memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, walaupun yang bersangkutan adalah seorang pejabat. Jika ada dugaan adanya pelanggaran terhadap aturan adat, sanksi tidak dengan serta merta dilakukan, namun tetap memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memberikan klarifikasi. Desa pakraman dapat menjalankan fungsinya yang begitu banyak dan dalam waktu yang lama disebabkan karena desa pakraman telah menjadi lembaga yang dipercaya oleh masyarakatnya. Warga dan pengurusnya bekerja diilhami oleh prinsip untuk ngayah (mengabdi kepada Tuhan) untuk kesejahteraan desanya secara lahir dan bathin, secara sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata/gaib). Meskipun belakangan ini pemerintah memberikan bantuan kepada desa pakraman, semangat untuk menghaturan ayah tersebut tidak berkurang. Faktor lainnya adalah komunikasi yang sering terjadi antara warga adat dengan prajuru yang menumbuhkan sikap saling percaya.
53 Bab 7 Rekomendasi Dewa pakraman di Bali telah bertahan dan menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat Bali selama ratusan tahun. Bahkan pada masa periode saat ini, desa pakraman telah memiliki Lembaga Perkreditan Desa yang dikelola dengan manejemen modern, yang sebagian besar terbukti efektif dalam membantu warga masyarakat adat secara finansial. Mekanisme pembuatan aturan yang demokratis yang diambil melalui musyarawah mufakat perlu dipertahankan. Tiga desa pakraman yang dijadikan sebagai sample adalah contoh desa pakraman yang adaptif dalam menyelesaikan persoalan di wilayahnya. Setiap masalah yang muncul walapun dalam skala kecil, mendapat penanganan yang semestinya sehingga tidak membesar menjadi persoalan yang rumit. Mekanisme penyelesaian masalah adat melalui struktur yang sudah ada jauh lebih baik dibandingkan tanpa melalui struktur. Desa pakraman adalah modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat yang didalamnya kerja dianggap sebagai pengabdian yang tulus iklas kepada Tuhan sehingga menjadi pengurus yang tidak digaji merupakah suatu keiklasan. Demikian juga dengan masyarakat adat yang sangat patuh dalam menegakkan aturan-aturan adat perlu mendapat apresiasi. Oleh karenanya desa adat harus tetap kompak dan tidak dimasuki oleh kepentingan politik. Modal sosial yang sudah terjaga selama waktu yang lama ini, akan mengalami gangguang apabila desa pakraman memiliki preferensi atau afiliasi kepada partai atau tokoh politik tertentu dan membangun hubungan yang mengikat. Penegakan integritas di desa pakraman harus menjadi pembelajaran bagi para penyelenggara negara baik yang ada di Bali maupun di tingkat nasional. Pengorganisasian secara komunal dan diilhami oleh nilai-nilai tradisional telah
54 mampu melakukan pengorganisasian yang berdasarkan pada prinsip-prinsip integritas. Sikap mental dari prajuru sebagai pengabdi masyarakat perlu ditiru oleh para penyelenggara negara. Untuk urusan adat, kontrol publik sangat kuat. Namun ketika memasuki ranah kebijakan publik formal, kontrol publik ini sangat lemah, padahal dua hal ini memiliki hakekat yang sama. Satunya menyangkut urusan adat, satunya lagi menyangkut kebijakan publik secara umum dan dengan cakupan teritori administrasi yang lebih luas. Oleh karena itu, warga adat harus mendapat penguatan dan pemberdayaan serta penyadaran bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban untuk mengontrol pemerintahan sama seperti halnya mereka melakukan kontrol terhadap urusan adat.
55
Daftar Pustaka
Astika, Ketut Sudhana. (1997) Konsepsi Tri Hita Karana dalam kehidupan anggota Banjar di Kotamadya Denpasar: suatu analisis deskriptip tentang nilai dan makna keseimbangan dalam kehidupan masyarakat kota. Depok : Universitas Indonesia Astra, I.G.S. (2004). Revitalisasi kearifan lokal dalam memperkokoh jati diri bangsa di era globalisasi. Dalam I. W. Ardika & I. N. D. Putra, (Eds.). Politik kebudayaan dan identitas etnik. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press Coleman, J.S. (1998). Social capital : The creation of human capital, American Journal of Sociology 94, 95-120. Denzin, N.K. (1978). The research act: A theoretical introduction in sociological methods, New York: McGraw-Hills. Dwipayana, AAGN. (2000). Desa Adat Diberdayakan atau Diperdaya?.Harian BaliPost Hanifan, L.J. (1996). The rural school community center. Academy of Political and Social Science.
Annuals of The American
Fernandez, F. (2010). Modal sosial dalam kegiatan adat perkawinan dan kematian di kalangan Etnik Lamaholot dan Orang Nagi di Kabupaten Flores Timur di Propinsi NTT. Disertasi doktor, Universitas Airlangga, 2010. Hudyana, I.D.G.R. (2002). Tenget dalam Pembangunan Berkelanjutan studi kasus: Revitalisasi Kearifan Lokal mengenai Lingkungan di Desa Adat Penglipuran, Bangli, Bali. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Isaac, S. and Michael, W.B. (1995). Handbook in research and evaluation. San Diego: EdITS. Marshall, C. & Rossman, G.B. (1999), Designing qualitative research (3rd Ed). London: Sage Publications. Miles, M.B., & Huberman, A.M. (1999). Qualitative data analysis: A sourcebook of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications Munandjito. (1986). Hakikat local genius. Jakarta : Pustaka Jaya Parimartha, I. G. 2006. Sistem pemerintahan desa di Daerah Bali. Universitas Udayana dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Patton, M.Q. (1990). Qualitative evaluations methods. Beverly Hills: Sage Publications. Putnam, R.D. (1993). The prosperous community-social capital and public life. The American Prospect. Portes, A. (1998). Social capital: Its origins and applications in modern sociology. Annual Review of Sociology, 24, 1-24.
56 Ritzer, G., & Goodman D.J. (2004). Teori sosiologi modern. Jakarta : Kencana Media. Sedyawati, E. (2006). Budaya Indonesia : Kajian arkeologi, seni dan sejarah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Subagia, I. W., & IWiratma, I.G. L. (2006). Potensi-potensi kearifan lokal masyarakat Bali dalam bidang pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Universitas Pendidikan Ganesha, 39, 552-268.
57 Lampiran 1 Daftar Istilah
Ayah = persembahan dan pengabdian tulus iklas kepada Tuhan yang diwujudkan melalui kerja. Aci = upacara agama Mepahayu = perbaikan bangunan pura Andel-andel = petugas atau orang yang diandalkan. Awig-awig = aturan adat yang berlaku secara tradisi. Awig-awig dapat berupa tradisi lisan atau juga tertulis. Banjar pakraman adalah unit di bawah desa pakraman atau dengan kata lain desa pakraman terdiri dari beberapa banjar pakraman. Bale banjar = gedung tempat pertemuan di tingkat banjar pakraman. Bhagawanta = pendeta yang memberikan nasehat kepada raja. Bendesa = ketua dari pengurus desa pakraman. Desa Kala Patra = tempat, waktu, dan keadaan (kondisi) Desa Pakraman = kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai suatu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harga kekayaan sendiri serta berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Dharmawacana = ceramah agama. Dresta = kebiasaan yang berlaku di suatu tempat. Ida Anglurah Rumaga Jejejeng = gelar bagi Raja Kerambitan sebagai pengayom masyarakat. Kahyangan Tiga = pura-pura tempat persembahyangan kepada Tri Murti yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Pura tempat menyebah Dewa Brahma dikenal dengan Pura Desa atau Bale Agung, pura tempat menyebah Dewa Wisnu adalah Pura Puseh, dan pura tempat menyembah Dewa Siwa adalah Pura Dalem. Kelihan banjar = ketua dari pengurus banjar pakraman. Kelian suka duka = ketua dari kelompok masyarakat yang dibentuk untuk mengorgansir upacara yang bersifat suka (seperti pernikahan) dan upacara yang bersifat duka (seperti upacara kematian). Biasanya dalam satu banjar terdapat lebih dari satu kelompok suka duka.
58 LPD = Lembaga Perkreditan Desa. Lembaga yang dimiliki oleh desa pakraman yang pada awalnya mendapat bantuan modal dari Pemerintah Provinsi. Mrajan = tempat suci keluarga yang biasanya terdiri dari beberapa bangunan suci. Murdaning Pengajeg Sahangga = semacam DPR-nya Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan, yang terdiri dari lima orang pengurus inti desa pakraman dan empat orang tokoh masyarakat yang berasal dari masing-masing banjar pakraman yang merupakan bagian dari Desa Pakraman Bale Agung Kerambitan. Niskala = spiritual/tidak nyata. Pecaruan = uparara untuk membersihkan atau mengembalikan keseimbangan alam. Pemangku = orang suci yang melaksanakan tugas melaksanakan upacara agama di pura tertentu. Pengelingsir puri = tetua dari puri/keraton atau penasehat raja. Penyarikan = sekretaris Perarem = aturan yang merupakan pelaksanaan teknis dari awig-awig. Petengen = bendahara Prajuru = pengurus. Kaprajuruan = kepengurusan. Kasinoman = petugas adat yang bertugas menyampaikan pengumuman/informasi. Piodalan = upacara di pura untuk memperingati hari jadinya pura tersebut berdasarkan penanggalan kalender Bali. Purusha = pihak menjadi acuan dalam melanjutkan garis keturunan yang biasanya dipegang oleh pihak laki-laki. Pihak perempuan dapat menjadi Purusha bila yang bersangkutan mendatangkan laki-laki untuk menikah di tempat keluarga perempuan tersebut. Pradana = pihak yang menikah ke tempat Purusha. Pihak purusha biasanya adalah pihak perempuan. Pihak laki-laki dapat menjadi Pradana apabila yang berangkutan menikah ke tempat mempelai perempuan. Rahina ayu = hari baik menurut kalender Bali yang didasarkan pada astronomi menurut sastra Bali. Sangkep = rapat. Tri Hita Karana = Tiga penyebab kebahagian, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
59 Lampiran 2 Pertanyaan Wawancara
Sub Konsep Akuntabilitas
Indikator I.
Mekanisme tata aturan atau kesepakatan
1. Di desa pakraman Bapak, apa saja jenis-jenis aturan adat? 2. Bagaimana proses pembuatan aturan adat tersebut? 3. Siapa saja yang terlibat di dalamnya? Dan mengapa mereka yang terlibat? 4. Bagaimana proses pengambilan keputusannya? 5. Saat proses pembuatan aturan adat, hal-hal apa atau nilai-nilai apa yang akan menjadi pertimbangan? 6. Bagaimana menentukan nilai kewajaran atau kepatutan dan keadilan dalam mengenakan suatu sanksi adat? 7. Bagaimana proses seseorang dikenakan sanksi adat? 8. Apakah orang yang dikenakan sanksi adat diberikan kesempatan untuk membela diri atau memberikan alasan? 9. Apa yang dilakukan jika dalam pertemuan tersebut ada yang berkeberatan atau memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu rencana aturan adat? 10. Apakah pernah ada perubahan awig-awig atau penyesuaian awig-awig dengan perubahan jaman? 11. Bagaimana proses pengambilan keputusannya? 12. Apakah Desa Pakraman Bapak memiliki banjar-banjar pakraman? 13. Apa perbedaan tugas dan wewenang antara Desa Pakraman dan Banjar Pakraman di tempat Bapak? II.
Memberikan informasi publik kepada yang berhak menerima.
1. Informasi apa saja yang diperoleh oleh warga adat? 2. Melalui cara apa informasi tersebut disampaikan? 3. Jika ada kesepakatan atau aturan adat yang baru atau ada yang dirubah, bagaimana warga adat mendapatkan informasi ttg hal tersebut?
60 III. Perencanaan, pengumpulan, dan penggunaan anggaran 1. Apa saja kegiatan-kegiatan yang menjadi bidang kerja dari desa pakraman? 2. Bagaimana desa pakraman membuat perencanaan anggaran untuk membiayai kegiatannya? 3. Dari mana sumber-sumber keuangan desa pakraman? 4. Siapa yang berperan dan bertugas dalam membuat perencanaan anggaran? 5. Bagaimana peran warga adat dalam perencanaan anggaran? Probing: a. Apakah warga mendapatkan informasi tentang rencana anggaran? b. Apakah warga dapat memberikan usulan yang dapat mengubah rencana anggaran? 6. Apakah dana yang terkumpul disosialisasikan/diumumkan kepada anggota/ masyarakat? 7. Bila ya, bagaimana cara pemberitahuannya? 8. Bila tidak, apa pertimbangannya? 9. Dalam penarikan iuran dari warga adat, apakah jumlah kewajiban iuran itu sama untuk semua warga adat, ataukah ada pembedaan berdasarkan kemampuan ekonomi atau domisili (tinggal di desa dan di luar desa)? 10. Bagaimana mekanisme pemilihan rekanan untuk melaksanakan proyek di desa pakraman? Probing: Jika desa memutuskan untuk memperbaiki bangunan milik desa pakraman, bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih orang-orang/pemborong yang mengerjakan perbaikan tsb? 11. Bagaimana menentukan kesesuaian antara kebutuhan dengan anggaran? Probing: Misalnya untuk memperbaiki balai bangunan milik desa pakraman diperlukan dana sekian juta rupiah. Bagaimana warga adat mengetahui bahwa anggaran yang dibuat memang sesuai dengan kebutuhan?
IV. Menunjukkan hasil pencapaian kerja. (IV dan V digabung) V. Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban.
61 1. Dalam melaksanakan tugasnya, apakah anda/pengurus adat menyampaikan hasil pelaksanaan tugas-tugasnya kepada warga adat? 2. (Jika ada penyampaian pelaksanaan tugas), apakah warga adat memiliki kesempatan untuk bertanya atau memberikan respon? 3. Apakah desa pakraman anda memiliki sistem pelaporan keuangan? 4. Kepada siapa laporan penggunaan keuangan disampaikan? 5. Kapan laporan keuangan di sampaikan? 6. Dengan cara apa? (rapat, surat, atau papan pengumuman) 7. Apa yang dilakukan jika ada yang tidak setuju terhadap terhadap laporan keuangan? 8. Bagaimana atau siapa yang menentukan apakah laporan keuangan tersebut diterima atau tidak? 9. Apakah Desa Pakraman Bapak memiliki unit usaha? Jika ada bagaimana pengelolaannya? VI. Pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan 1. Bagaimana desa pekraman melakukan pengawasan terhadap aturan adat? 2. Bagaimana desa pekraman melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran desa? 3. Bagaimana peran warga adat dalam pengawasan tersebut?
Fairness
VII. Kepantasan dan Keadilan 1. Apakah mereka yang menjadi pengurus adat, mendapat imbalan atau fasilitas atau kemudahan-kemudahan tertentu? 2. Apakah pernah balai pertemuan di desa pakraman anda, digunakan sebagai tempat pertemuan antara warga dengan calon bupati atau calon anggota DPRD? 3. Jika ya, bagaimana kriteria atau ketentuan bagi calon Bupati atau calon anggota DPRD yang ingin datang dan menemui warga?
Kepercayaan
VIII. Tingkat Kepercayaan antara yang mengatur dan yang diatur. 1. Apa yang dilakukan untuk membangun hubungan saling percaya
62 antara warga dan pengurus desa pakraman?
63 Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup Ketua Peneliti
I. Keterangan Pribadi. Nama
: Prof. Dr. I Wayan Suandi, Drs,S.H.,M.Hum.
NIP/Karpeg
: 19521231 198803 1 001/E. 517522
Tempat/tanggal lahir
: Badung/Tahun 1952.
Agama
: Hindu.
Jenis kelamin
: L.
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Udayana.
Pangkat/golongan
: Pembina, IV/a.
Jabatan Struktural
: 1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Terpilih 2011/2015 2. Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 2009/20011
Jabatan fungsional
: Lektor Kepala.
Alamat Kantor
: Jalan P B Sudirman Denpasar.
Alamat rumah
: Jalan Padang Udayana Nomor 7, Denpasar Barat.
II.
Riwayat Pendidikan. Pendidikan Dasar dan Menengah. 1964
: Lulus Sekolah Dasar Nomor 1 Padangsambian, Denpasar Barat.
1967
: Lulus SMP Negeri 2 Denpasar.
1970
: Lulus SLUA 1 Saraswati Denpasar.
Pendidikan Tinggi. 1985
: S1 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
1990
: S1 Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Terbuka.
1995
: S2 Magister Humaniora Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
2003
: S3 Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
III.
Riwayat Pekerjaan. Jabatan.
64 1. Asisten Ahli Madya
: 1 November 1989.
2. Asisten Ahli
: 1 Pebruari 1992.
3. Lektor Muda
: 1 April 1994.
4. Lektor Madya
: 1 Juli 1996.
5. Lektor
: 1 Januari 1999.
6. Lektor Kepala
: 1 Januari 2001.
7. Guru Besar
: 1 Maret 2009
Pangkat / Golongan. 1. Calon Pegawai Negeri Sipil, III/a
:
1 Maret 1988.
2. Penata Muda, III/a
:
1 September 1989.
3. Penata Muda Tk. I, III/b
:
1 April 1992.
4. Penata, III/c
:
1 April 1994.
5. Penata Tk. I, III/d
:
1 Oktober 1996.
6. Pembina, IV/a
:
1 April 1999.
IV. Pengembanan Mata Kuliah. 1. Pada Strata 1 (S1). a. Hukum Administrasi. b. Hukum Pemerintahan Daerah. c. Hukum Pemerintahan Desa. d. Penalaran Argumentasi Hukum. e. Hukum Agraria. 2. Pada Strata 2 (S2). a. Metode Penelitian Hukum Normatif. b. Hukum Pemerintahan Daerah. 3. Pada Strata 3 (S3). Metode Penelitian Hukum Normatif. VI. Kegiatan Ilmiah. 2001 :
-
Seminar Internasional Corporate Governance And The Role of The Independent Directors/Commissioners Institute In Asia.
- Workshop Konsep dan Strategi Pembaruan Kejaksaan RI. - Seminar Mencari Format Birokrasi Otonomi Daerah Bali. 2002
:
-
Seminar Nasional Good Governance Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Pemantapan Otonomi Luas, Nyata Dan Bertanggung jawab.
65 - Seminar Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia. 2003
: - Seminar Diseminasi Policy Paper Penelitian Komisi Hukum Nasional
2004
: - Simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum Dan Metode Pengajaran Yang Mendukung Pembangunan Hukum Nasiona;.
2005
: - Seminar Ilmiah Regional Gender Dalam Hukum.
2006
:
- Seminar Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan Nasional Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia.
2007
: - Lokakarya Kurikulum Fakultas Hukum Unud.
2008
: - Prospek Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008. - Seminar Peningkatan Nilai Ekonomis Atas Tanah Sebagai Upaya Penggerak Penyelesaian Masalah Pertanahan.
2009
: - Uji Sahih Rancangan Undang-Undang Tentang Desa. - Tim Perumus Pada Seminar dan Focus Group Discussion ”Mencari Solusi Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009. - Improving The Quality of Social Life In Asia Pacific : A Challenge For Sociology. - Uji Sahih Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat.
VII. Penelitian/Publikasi dan Pengabdian Masyarakat. 1.
Eksistensi Kebijakan Publik Dalam Hukum dalam Majalah Hukum Kertha Patrika, Edisi Khusus, Dalam Rangka Lustrum VI Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1 September 1994.
2.
Penerapan Asas Strict Liability Dan Beban Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Pencemaran Akibat Tumpahan Minyak Laut dalam Majalah Hukum Kertha Patrika, Nomor 67 Tahun XXI, Februari 97– Juli 97.
3.
Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah dalam Majalah Hukum Kertha Patrika, Nomor 68 Tahun XXII, Agustus 1997-Januari 1998.
4.
Pengembangan Public Hearing Dan Sosialisasinya Dalam Perumusan kebijakan dalam Wahana Nomor 59 Tahun XXIII, Juni 2007.
5.
Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi Bagi Pengusaha, dalam Majalah Ilmiah Kertha Wicaksana, Vol. 14, No. 1, Januari 2008.
6.
Penegakan Hukum Bagi Produk-produk Hukum Pemerintahan Daerah, dalam Majalah Ilmiah Kertha Wicaksana, Vol. 14, No. 1, Januari 2008.
66 7.
Pencalonan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dalam Majalah Ilmiah Sarathi, Vol. 15, No. 2, Juni 2008.
8. Pendekatan Sistem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, dalam Majalah Hukum Kertha Patrika, Vol. 33, No.1, Januari 2008. 9. Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika, Vol. 1, No. 1, Juni 2010. 10. Kajian Ulang Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah Dan Implikasi Terhadap Hubungan Pemerintah Provinsi Dan Kabupaten/Kota. 11. Memberikan konsultasi hukum kepada Direktur Reserse Kriminal Selaku Penyidik. Demikianlah daftar riwayat hidup ini, saya buat dengan sebenarnya. Denpasar, 11 April 2011
Ttd
Prof. Dr. I Wayan Suandi, Drs,S.H.,M.Hum.