ARTIKEL JUDUL PURA PANYAGJAGAN DI DESA PAKRAMAN CATUR, KINTAMANI, BANGLI, BALI (Latar Belakang Sejarah, Fungsi Pura dan Potensinya Sebagai Media Pendidikan Multikultur di Sekolah Menengah Pertama dan Masyarakat)
Oleh : I Nyoman Sukra Adinatha NIM. 0914021050
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
PURA PANYAGJAGAN DI DESA PAKRAMAN CATUR, KINTAMANI, BANGLI, BALI (Latar Belakang Sejarah, Fungsi Pura, dan Potensinya Sebagai Media Pendidikan Multikultur di Sekolah Menengah Pertama dan Masyarakat) Oleh I Nyoman Sukra Adinatha1, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A1, Dr. Tuty Maryati, M.Pd2 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] @undiksha.ac.id
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) sejarah berdirinya Pura Panyagjagan di Desa Pakraman Catur, (2) struktur dan fungsi Pura Panyagjagan dalam rangka menumbuhkan masyarakat multikultur di Desa Pakraman Catur, (3) fungsi Pura Panyagjagan sebagai media pendidikan multikultur di SMP dan masyarakat. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan langkah-langkah: (1) penentuan lokasi penelitian, (2) penentuan informan, (3) pengumpulan data, (4) validitas data yang terdiri dari triangulasi data dan triangulasi metode, (5) analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pura Panyagjagan didirikan oleh masyarakat Desa Pakraman Catur pada abad ke-19. Hal ini diawali dari pembuatan beberapa arca/pertima yang akhirnya dibuatkan pura yang disebut Pura Panyagjagan. (2) Struktur Pura Panyagjagan terdiri dari tiga halaman (Tri Mandala) yaitu Nista Mandala (jaba sisi), Madya Mandala (jaba tengah), dan Utama Mandala (jeroan). Secara vertikal pelinggih di Pura Panyagjagan mengacu pada konsep Tri Angga yang terdiri (kaki, badan, dan kepala). (3) Potensi Pura Panyagjagan sebagai media pendidikan multikultural yaitu: (a) bentuk bangunan, terutama adanya Pelinggih Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar tetapi dalam praktek upacara keagamaannya secara Hindu, (b) upacara keagamaan, dimana sarana dan prasarana menggunakan budaya Hindu dan Tionghoa. Kata Kunci: Sejarah, Struktur, Media Pendidikan, Multikultural.
This study aimed to determine: (1) the history of the establishment of the Panyagjagan temple in Pakraman Catur village, (2) the structure and function of the Panyagjagan temple in order to foster a multicultural society in Pakraman Catur village, (3) Panyagjagan temple functions as a media of multicultural education in junior high school and community. This research is a qualitative study, with the following steps: (1) determining the location of the research, (2) determination of the informant, (3) data collection, (4) the validity of the data consists of data triangulation and triangulation methods, (5) data analysis. The results showed that: (1) Panyagjagan temple founded by community Pakraman Catur village in the 19th century. It begins from the making of some of the statues/pertima which eventually made temple called Panyagjagan temple. (2) Panyagjagan temple structure consists of three pages (Tri Mandala) is Nista Mandala (outside), Madya Mandala (middle side), and Utama Mandala (inside). Vertically shrines in the Panyagjagan temple refers to the concept of Tri Angga comprising (feet, body, and head). (3) Potential Panyagjagan temple as a media of multicultural education are: (a) shape of the building, especially the presence of Pelinggih Ida Bhatara Konco and Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar but in practice the Hindu religious ceremony, (b) religious ceremony, where facilities and infrastructure use Hindu and Tionghoa culture.
Keywords: History, Structure, Education Media, Multicultural.
PENDAHULUAN
Pulau Bali dikenal sebagai sebuah pulau yang masyarakatnya homogen, akan tetapi sebenarnya penduduk di Bali tidaklah homogen melainkan heterogen. Hal ini ditandai dengan kedatangan para pendatang dari berbagai latar belakang etnik, budaya dan agama yang berbeda (Sumartana, 2005:99). Salah satunya adalah keberadaan etnik Tionghoa yang ada di Desa Pakraman Catur, Kintamani, Bangli. Di Desa Pakraman Catur ini, etnik Tionghoa dan etnik Bali menjalin sebuah hubungan yang harmonis dalam berbagai kegiatan apapun di desa tersebut, terutama dalam kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan terutama dapat dicermati dari tempat persembahyangan di Desa Pakraman Catur dilaksanakan disebuah Pura Desa yang disebut Pura Panyagjagan. Hal yang menarik dari keberadaan Pura Panyagjagan ini ialah pura ini disungsung secara bersama-sama oleh etnik Bali dan etnik Tionghoa serta keberadaan sebuah pelinggih berupa gedong beratap ijuk yang merupakan tempat persembahyangan bagi etnik Tionghoa. Pelinggih gedong tersebut merupakan tempat berstananya Dewi Kuam Im dengan sebutan Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ratu Subandar yang terletak di Jaba Tengah Pura yang merupakan tempat berstananya Ida Bhatara Subandar yang juga disebut Ida Bhatara Cina yang menunjukkan unsur Cina atau Budha. Uniknya jika dicermati, kedua pelinggih ini berdiri berdampingan dengan pelinggih-pelinggih milik krama Hindu Desa Pakraman Catur dalam satu lingkungan pura tanpa adanya sekat pemisah masing-masing pelinggih tersebut yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Dalam hal persembahyangan, etnik Bali maupun etnik Tionghoa di Desa Pakraman Catur ini saling toleransi, antara lain dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan Hindu, para krama dari etnik Tionghoa ikut serta dalam ayah-ayahan, baik dalam sinoman, ancangan, pepeson,
punia, patus, membayar peturunan, dan yang lainnya. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum fungsi Pura di Bali lebih diartikan sebagai fungsi religius maupun fungsi sosial. Di sini artinya Pura disamping sebagai tempat pemujaan Dewa Pitara dan manifestasi Tuhan, Pura juga berfungsi sebagai wadah membangun kerukunan. Karena kerukunan adalah terminal yang mengantarkan umat menuju kehidupan yang aman dan damai (Wiana, 1996:97). Maka dari hal tersebut, keberadaan Pura Panyagjagan ini sangat menarik untuk diteliti kesejarahannya lebih lanjut, terutama kenapa di lingkungan Pura tersebut terdapat sebuah pelinggih tempat persembahyangan milik etnik Tionghoa yang berdampingan dengan pelinggih-pelinggih milik etnik Bali di Desa Pakraman Catur. Selain itu pula, hal yang paling menarik perhatian, terutama hubungan interaksi sosial yang terjalin di dalam Pura Panyagjagan tersebut apabila dilihat dari perspektif kajian pendidikan multikultural dengan latar belakang agama dan kebudayaan yang berbeda. Sehingga menyebabkan terciptanya suatu proses sosial yang bersifat asositatif dalam kerukunan hidup umat beragama dan integrasi sosial yang kokoh di sana. Dalam hal ini, salah satu media informal yang bisa dijadikan media pendidikan berbasis multikultural adalah Pura Panyagjagan yang menggambarkan ciri multikultural antara etnik Bali dan etnik Tionghoa yang terletak di Desa Pakraman Catur, Kintamani, Bangli. Keberadaan Pura Panyagjagan ini juga bisa menjadi sebuah media pendidikan multikutur di SMP karena terdapat kehidupan sosial yang harmonis antara dua agama dan kebudayaan yang berbeda di lingkungan Pura Panyagjagan. Hal ini bisa dilihat pada silabus IPS Terpadu SMP kelas VII semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 yaitu tentang memahami kehidupan sosial manusia serta mengidentifikasi bentukbentuk interaksi sosial. Sedangkan penerapan media pura sebagai pendidikan multikultur di lembaga informal atau masyarakat yaitu sebagai tempat untuk menambah wawasan anak-anak terutama usia sekolah dalam mengenal
arti multikultur secara nyata dari proses hubungan sosial yang terjadi antara dua agama dan kebudayaan yang berbeda tersebut, serta untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang kebudayaan tradisional Hindu dan Tionghoa disamping pendidikan sosial yang mereka peroleh dari sekolah. Dengan adanya penulisan ini, diharapkan dapat mempublikasikan keberadaan kerukunan hidup antar umat beragama agar masyarakat luas mengetahuinya. Sehingga dengan demikian dapat menjadi media pendidikan multikultural khususnya di Bali serta percontohan bagi daerah dan masyarakat lainnya di Indonesia. Seperti kita ketahui, penyelenggaraan pendidikan multikultural diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multikultur dapat menjadi sarana alternatif pemecah konflik sosialbudaya (Mahfud, 2009:216). Adapun rumusan masal dalam penelitian ini yaitu; (1) Bagaimana sejarah berdirinya Pura Panyagjagan di Desa Pakraman Catur, (2) Bagaimana struktur dan fungsi Pura Panyagjagan dalam rangka menumbuhkan masyarakat multikultur di Desa Pakraman Catur, (3) Bagaimana fungsi Pura Panyagjagan sebagai media pendidikan multikultur di SMP dan masyarakat.
METODE PENELITIAN Berdasarkan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dengan menekankan pada teknik-teknik pendekatan kualitatif. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut; (1) teknik penentuan lokasi penelitian, yaitu dipilihnya lokasi penelitian di Desa Pakraman Catur ini karena terdapat sebuah Pura yaitu Pura Panyagjagan yang sangat unik, karena adanya perpaduan budaya Hindu dengan budaya Tionghoa (Cina), dimana dalam upacara
keagamaannya antara budaya Hindu dan Cina berpadu menjadi satu, (2) teknik penentuan informan, yaitu informan diambil melalui teknik purposive sampling, yaitu pengambilan informan dengan tujuan tertentu yakni dengan mempertimbangkan bahwa informan/subyek yang dianggap memiliki kemampuan dan dapat memahami permasalahan yang dikaji dalam penulisan ini. Prosedur penentuan informan selanjutnya dengan menggunakan teknik snow ball,yakni suatu teknik dengan menentukan informan kunci yang dapat memberikan informasi dan lebih mengetahui tentang masalah yang dikaji. Informan kunci ini kemudian diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang adanya informan lain yang lebih mengetahui permasalahan dan dimintai keterangan, demikian seterusnya sehingga diperoleh tingkat kejenuhan data yang nantinya dapat digunakan untuk membahas semua permasalahan penulisan yang telah dirumuskan (Nasution, 1998:32). Sesuai dengan teknik snow ball, Informan inti dalam penelitian ini adalah I Made Agus Antara selaku Kepala Desa Pakraman Catur, I Wayan Sukedana selaku Kelian Dinas Banjar Lampu Desa Pakraman Catur, Tjwa Hok Su selaku pengurus perhimpunan warga Tionghoa (Cina) di Dusun Lampu Desa Pakraman Catur, Ketut Budaraken selaku Bendesa Adat Desa Pakraman Catur, dan Jero Mangku Gede selaku Jero Mangku yang bertugas di Pura Panyagjagan serta Lie Giok Tian selaku tokoh masyarakat Tionghoa yang tahu tentang sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Desa Pakraman Catur. (3) teknik pengumpulan data yaitu; (a) Observasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan terhadap objek masalah yang akan diteliti untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan masalah yang dikaji (Nasution, 1998:56-59), (b) Teknik wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden, data dicatat atau direkam dengan alat perekam (Soehartono, 2000:67), (c) Studi dokumen, yaitu pencatatan data statistik,
surat laporan penduduk bulanan, profil Desa Pakraman Catur dan monografi Desa Pakraman Catur yang kemudian dikumpulkan secara bertahap. Dari data yang penulis dapat dari metode di atas dan setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data. Di dalam teknik ini, data disatukan dan disusun secara sistematis, sehingga dari hasil tersebut ditarik suatu kesimpulan. Dalam proses deskriptif, penulis berusaha mendeskripsikan datadata yang sudah terkumpul secara sistematis dan kemudian menganalisis. Untuk memudahkan suatu kesimpulan, maka penulis menggunakan teknik induksi dan argumentasi dengan cara membandingkan dengan teori-teori atau sumber-sumber yang ada serta melakukan kajian pustaka. Dengan demikian data yang terkumpul lebih terjamin keasliannya.
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Sejarah Berdirinya Pura Panyagjagan di Desa Pakraman Catur Keberadaan Pura Panyagjagan tidak terlepas dari sistem religi yang membudaya menjadi suatu tradisi yang turun-temurun umat Hindu yang ada di Desa Pakraman Catur yang merupakan pengempon Pura Panyagjagan. Istilah nama dari Pura Panyagjagan ini berakar dari kata jagjag yang berarti datang mendekat. Setelah mendapat awalan padan akhiran -an berubah menjadi pajagjagan, karena ada perubahan pengucapan menjadi panyagjagan yang bermakna aktif dalam artian tempat untuk melakukan kegiatan datang mendekat. Maksudnya datang mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi beliau, baik itu secara Agama Hindu maupun secara Agama Budha (Tionghoa). Di tempat inilah umat Hindu dan Budha (Tionghoa) saling berbaur menjadi satu menuju satu tujuan, walaupun berbeda keyakinan tetapi dalam artian satu Tuhan Yang Maha Esa pada satu tempat yaitu Pura Panyagjagan yang
terletak di Desa Pakraman Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pura Panyagjagan ini diperkirakan sudah ada pada zaman kerajaan Bali Kuno, sedangkan cikal bakal Pura Panyagjagan yaitu diawali dari penemuan beberapa pertima/arca di lokasi berdirinya Pura Panyagjagan yang sebelumnya di tempat penemuan pertima/arca tersebut merupakan tanah kosong yang tak terawat, sehingga dibangunlah Pelinggih Arca untuk menstanankan pertima/arca tersebut sampai didirikanlah sebuah pura yang dekenal dengan sebutan Pura Panyagjagan yang dibangun pada abad ke-19 di lokasi tersebut. Pura Panyagjagan mengalami pemugaran sebayak dua kali, yaitu pemugaran yang pertama pada tahun 1947 dan pemugaran yang terahir pada tahun 2002 hingga sekarang. Pura Panyagjagan ini merupakan pura tertua di Desa Pakraman Catur disamping beberapa pura tua yang ada di Desa Pakraman Catur seperti Pura Pebini, Pura Padang Nguah dan Pura Bukit Sari. Mithologi atau cerita rakyat mengenai keberadaan Pura Panyagjagan yang berada di Desa Pakraman Catur ini diyakini umatnya secara niskala merupakan stana Ida Bhatara Lingsir yang di stanakan pada Pelinggih Meru Tumpang Solas dan pasimpanganpasimpangan beberapa gunung di Bali, seperti; Pasimpangan Gunung Agung, Pasimpangan Gunung Lebah (Batur), Pasimpangan Pucak Panulisan, dan Pasimpangan Gunung Catur (Antap Sai atau Antap Sari atau Pucak Bon) serta adanya Pelinggih Konco dengan sebutan Pelinggih Ratu Subandar (wawancara dengan I Ketut Jati (50 tahun) tanggal 19 Juli 2014). Dasar kepercayaan atau sistem religi masyarakat Desa Pakraman Catur terhadap Pura Panyagjagan dilatar belakangi oleh keragaman budaya. Sesuai informasi dari para pemangku dan warga Desa Pakraman Catur maka dapat diceritakan bahwa Pura Panyagjagan ini memiliki kekhususan yaitu adanya perpaduan budaya Hindu dan Cina
(Tionghoa) karena pada halaman jeroan pura terdapat Pelinggih Konco dan pada halaman jaba tengah terdapat Pelinggih Ratu Subandar.
Struktur dan Bentuk Pura Panyagjagan di Desa Pakraman Catur Konsep pendirian tempat suci atau pura merupakan refleksi dari Bhuana Agung atau alam semesta. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yang disebut Tri Loka yakni alam bawah (bhur loka), alam tengah (bwah loka), dan alam atas ( swah loka) (Suyasa, 1996:8). Secara horizontal struktur tempat suci pura tidak lain merupakan bentuk mini dari alam semesta. Azas itu tercermin pada struktur konsep tempat suci yang terdiri atas tiga halaman (Tri Mandala), yakni jaba sisi yaitu halaman depan, jaba tengah yaitu halaman tengah dan jeroan yaitu halaman dalam. Diantara ketiga halaman pura tersebut, maka halaman yang ketigalah yang merupakan halaman yang paling suci dan pada halaman terdapat pelinggih pokok atau pelinggih induk suatu pura. Disamping pengaturan struktur secara horizontal, terdapat juga pembagian secara vertikal. Pembagian secara vertikal ini merupakan simbolik dari gunung yang tampak pada struktur bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di dalam bangunan pura mengacu pada konsep Tri Angga (kaki, badan, dan kepala). Halaman pura seperti diatas biasanya dibatasi oleh suatu tembok pembatas yang mengelilingi pura. Tembok keliling ini merupakan pembatas antara daerah yang suci dengan yang keramat yaitu pura yang berada dalam tembok keliling tersebut dengan daerah sekitar yang terbentang untuk menjaga kesucian dan kekeramatan pura. Demikian juga dengan Pura Panyagjagan yang ada di Desa Pakraman Catur yang terdiri dari tiga halaman (Tri Mandala) yaitu Utama Mandala (jeroan), Madya Mandala (jaba tengah), dan Nista Mandala (jaba sisi).
Jajaran Pelinggih Pada Utama Mandala (Jeroan), yaitu; Pelinggih Sanggar, Pasimpangan Gunung Agung, Bale Pelik, Pasimpangan Gunung Lebah, Meru Tumpang Solas, Pelinggih Pajenengan, Pasimpangan Pucak Antap Sai, Pasimpangan Pucak Penulisan, Pelinggih Penyarikan, Pelinggih Ida Bhatara Konco, Pelinggih Arca, dan Tepas. Pelinggih Pada Madya Mandala (Jaba Tengah), yaitu; Pelinggih Ratu Subandar, Bale Penganteb, Pelinggih Ratu Gede, Bale Panetegan, Bale Lantang, Bale Gong, Dasar, dan Aling-Aling. Pelinggih Pada Nista Mandala (Jaba Sisi), yaitu; Pelinggih Apit Lawang, Lebuh, Bale Kulkul, dan Bale Pewaregan.
Fungsi Pura Panyagjagan Bagi Masyarakat Desa Pakraman Catur Pura merupakan tempat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya atau prabawanya serta memohon anugerah dan rahmat-Nya semoga mendapatkan keselamatan serta ketentraman lahir batin. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku, fungsi pura ada bermacam-macam, seperti; (1) tempat umat untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (2) tempat untuk melakukan ikrar, (3) tempat pembinaan umat dan lain sebagaiannya. Demikian juga halnya dengan Pura Panyagjagan di Desa Pakraman Catur yang memiliki beberapa fungsi diantaranya : (a) fungsi religius, yaitu sebagai tempat umat untuk meningkatkan Sradha dan Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi untuk mendapatkan keselamatan lahir dan bathin agar terhindar dari segala malapetaka. (b) Fungsi sosial, yaitu disamping sebagai tempat pemujaan, Pura Panyagjagan juga mempunyai fungsi sosial, terutama sebagai tempat berkumpulnya masyarakat di Desa Pakraman Catur, misalnya sebelum upacara piodalan di Pura Panyagjagan, terlebih dahuli dilaksanakan upacara ngayah, disanalah masyarakat berkumpul sehingga terjadi komunikasi maupun interaksi sosial. (c) Fungsi
budaya, yaitu di setiap kegiatan upacara keagamaan di Pura Panyagjagan dilengkapi dengan pementasan kesenian daerah. Kesenian daerah yang dipentaskan di Pura Panyagjagan ini biasanya terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu ada sifat sakral yang wajib dipentaskan dan ada juga yang bersifat hiburan semata dengan tujuan untuk menghibur para pemedek yang tangkil di Pura Panyagjagan, (d) Fungsi pendidikan, yaitu fungsi pendidikan non formal, dimana menurut penuturan Nyoman Suarnatha (wawancara tanggal 6 Juni 2014) bahwa di Pura Panyagjagan “setiap rainan Purnama dan Tilem dilaksanakan Pelatihan Pesantian dan Dharmagita”. Sedangkan menurut penuturan Jro Bayan Teher (wawancara tanggal 7 Juni 2014) juga menambahkan bahwa “setiap upacara piodalan di Pura Panyagjagan sebelum persembahyangan dimulai, terlebih dahulu diawali dengan persembahan tari-tarian wali baik Tari Rejang Dewa maupun Tari Pendet”, Jadi secara tidak langsung itupun sudah termasuk mendidik anak-anak agar lebih mengetahui tentang pendidikan seni tari. Berdasarkan dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi Pura Panyagjagan sebagai fungsi pendidikan sebagai tempat untuk melatih anak-anak terutama usia sekolah dalam bidang kesenian baik medharmagita maupun menari, juga untuk meningkatkan tentang kebudayaan tradisional Bali disamping pendidikan seni kebudayaan yang diperolehnya dari sekolah.
Fungsi Pura Panyagjagan Sebagai Media Pendidikan Multikultur di SMP dan Masyarakat Desa Pakraman Catur
1. Di SMP Pura dijadikan sebagai media pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (1) suasana pura yang religius-magis akan memberikan suasana belajar yang juga religius, sehingga komunikasi antara instruktur dan peserta
didik akan berjalan tulus dan terbuka. Suasana ini lebih menjamin transformasi pengetahuan secara lebih efektif. (2) suasana lingkungan pura akan mendorong diskusi dan transformasi nilai yang terkait dengan norma, etika, kebenaran, kebaikan, dan moral. Dengan demikian pendidikan di pura akan menjadi suplemen atau komplementaritas dari pendidikan di sekolah yang sudah mempunyai kurikulum yang ketat. (3) dengan adanya aktivitas pendidikan di pura, akan ada upaya pemeliharaan kebersihan pura secara kontinyu. Berbagai fasilitas non sakral dari pura seperti wantilan, toilet dan sebagaiannya akan lebih terawat dibandingkan kalau pura hanya dikunjungi pada saat piodalan. Yang juga tidak kalah pentingnya, dengan adanya aktivitas pendidikan di pura, berbagai aktivitas yang berkonotasi negatif seperti kebiasaan mengadakan tajen atau sabungan ayam, ataupun berbagai bentuk judi lainnya di areal pura mungkin berlahan-lahan dapat dikurangi (Pitana, 2009: 67). Dalam hal ini, salah satu lembaga informal yang bisa dijadikan media pendidikan berbasis multikultural adalah Pura Panyagjagan yang menggambarkan ciri multikultural antara etnik Bali dan etnik Tionghoa yang terletak di Desa Pakraman Catur, Kintamani, Bangli. Keberadaan Pura Panyagjagan ini dapat berfungsi dalam dunia pendidikan dalam artian luas dan berfungsi sebagai media pendidikan dalam artian khusus. Tanpa adanya bukti nyata tentang hubungan sosial multikultur yang diajarkan di lembaga pendidikan, rasanya amat mustahil peserta didik tersebut paham dan mengerti lebih dalam mengenai bagaimana sesungguhnya hubungan sosial multikultur tersebut terjadi dalam kehidupan nyata dalam masyarakat multikultur. Pura Panyagjagan sangat penting fungsinya dalam rangka memberikan penyuluhan bagi para siswa, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya mengenai proses interaksi agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di bidang hubungan sosial yang terjadi di Pura Panyagjagan yang memultikulturkan kebudayaan luar (Buddha) dengan kebudayaan lokal yaitu kebudayaan Hindu
di Bali yang masyarakatnya mayoritas beragama Hindu. Keberadaan tempat suci Pura Panyagjagan ini akan bisa menjadi sebuah media pendidikan dalam IPS Terpadu di SMP karena ada hubungan sosial multikultur antara etnik Hindu dan etnik Tionghoa, terutama dari keberadaan Pelinggih Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ida Bhatara Subandar yang merupakan tempat suci milik etnik Tionghoa yang berdampingan dengan pelinggih-pelinggih milik etnik Hindu dalam satu areal tempat suci di Pura Panyagjagan. Sejalan dengan hal tersebut, pengintegrasian tentang pendidikan multikultural di SMP juga telah dimasukkan didalam silabus IPS Terpadu, terutama pada mata pelajaran IPS Terpadu SMP kelas VII semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 yaitu dalam Standar Kompetensi: memahami kehidupan sosial manusia dan Kompetensi Dasar: mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial, serta Indikator: (a) menjelaskan pengertian interaksi sosial asosiatif, (b) menyebutkan bentuk bentuk intraksi sosial asosiatif, (c) menjelaskan pengertian interaksi sosial dissosiatif, (d) menyebutkan bentuk bentuk intraksi sosial disosiatif (dalam Silabus IPS Terpadu SMP N.2 Kintamani).
tempat suci milik agama Budha di areal tempat suci milik agama Hindu dengan mengunjungi tempat suci tersebut sebagai penambah wawasan terkait materi yang diajarkan di sekolah.
Dalam hal ini keberadaan Pura Panyagjagan yang terletak di Desa Pakraman Catur yang merupakan tempat suci agama Hindu bisa dijadikan media pendidikan multikultur karena Pura tersebut mengakulturasikan kebudayaan luar (Budha) dengan kebudayaan Hindu di Bali yang masyarakatnya mayoritas beragama Hindu. Akulturasi kebudayaan Hindu dan Budha tersebut bisa dilihat pada arsitektur bangunan Pelinggih Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar yang memakai arsitektur pelinggih Hindu. Hal ini yang menyebabkan struktur Pura Panyagjagan berbeda dengan bangunan suci umat Hindu pada umumnya di Bali. Selain itu, Pura Panyagjagan juga dapat memberikan contoh kepada masyarakat dalam hal ini siswa dan guru tentang interaksi sosial multikultur yang terjalin dengan harmonis dalam masyarakat yang tercermin dari struktur penempatan
1)
2. Di Masyarakat Pura Panyagjagan yang terletak di Desa Pakraman Catur ini merupakan sebuah pura umum bagi masyarakat Desa Pakraman Catur yang mana pembangunan pura ini dibuat karena sudah turun temurun diteruskan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan segala manipestasinya agar masyarakat Desa Pakraman Catur terhindar dari berbagai penyakit berbahaya dan senantiasa mendapat kemakmuran serta kesejahteraan. Pura Panyagjagan merupakan perpaduan antara budaya Hindu dengan budaya Tionghoa (Cina) sehingga dapat disimpulkan bahwa letak pendidikan multikultur pada Pura Panyagjagan ini yaitu terletak pada bentuk bangunan dan upacara keagamaannya.
Pendidikan Multikultur Bentuk Bangunan
pada
Pura Panyagjagan mempunyai bentuk bangunan yang sangat unik, dimana bentuk bangunannya lain dari pada yang lain dan tidak seperti kebanyakan bentuk pura yang ada di Bali. Pura Panyagjagan ini mengandung nilai seni (estetika) terutama dilihat dari bentuk bangunannya yang sangat menarik karena terdapat Pelinggih Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar yang memadukan arsitektur Cina dengan Bali. Hal tersebut dapat dicermati dari arsitektur Pelinggih Ida Bhatara Konco yang menggunakan arsitektur sama dengan pelinggihpelinggih milik krama Hindu, hanya saja terdapat dua jendela yang bercorak Tionghoa (Cina) serta memakai pintu style Bali. Selain itu pula, di samping pelinggih juga terdapat tempat lilin dan tempat
membakar dupa atau sesajen yang mencirikan corak budaya Tionghoa (Cina). Sedangkan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar masih mengalami pemugaran, yang terlihat baru struktur kaki pelinggih yang bercorak Hindu serta beberapa arca Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar yang diletakkan di atas kaki pelinggih. Walaupun budaya Hindu dan Cina membaur menjadi satu dalam bentuk bangunan pelinggih tersebut, masyarakat Desa Pakraman Catur secara bersamasama tidak ada perbedaan dalam melaksanakan upacara keagamaan serta memuja pada Pelinggih Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar. Demikian juga kedua pelinggih ini berada secara bersama-sama pada halaman Jeroan pura ataupun pada halaman Jaba Tengah Pura Panyagjagan berdampingan dengan Meru Tumpang 11 dan pelinggih-pelinggih milik krama Hindu di Desa Pakraman Catur (wawancara dengan Tjwa Hok Su (65 tahun) tanggal 13 Juni 2014).
lilin, menggunakan permen, buah-buahan dan kue sebagai budaya Tionghoa”. Hal ini membuktikan bahwa sarana upacara piodalan yang digunakan di Pura Panyagjagan juga mengalami akulturasi tradisi dua kebudayaan yang berbeda, terutama dari bentuk sarana persembahan/bebantenan yang dipersembahkan ketika ada upacara piodalan di Pura Panyagjagan. Mengenai teknis upacara piodalan di Pura Panyagjagan adalah dilaksanakan secara gotong-royong yang dimulai dengan kegiatan pengumpulan sarana prasarana upacara seperti; pisang, kelapa, janur, dan lain-lainnya. Walaupun demikian, pelaksanaan upacara di pura ini tidak pernah ada rasa enggan untuk ngayah bagi warga masyarakat Desa Pakraman Catur maupun warga masyarakat etnis Tionghoa sebagai pengempon Pura Panyagjagan.
SIMPULAN 2)
Pendidikan Multikultur Upacara Keagamaan
pada
Upacara keagamaan/piodalan di Pura Panyagjagan sama seperti pura lainnya yang ada di Bali dimana sarana persembahyangannya berupa Banten atau Bebantenan karena banten di Bali merupakan ciri khas yang unik yang mengkaitkan daya cipta religius yang mengandung magis sekaligus mengandung budaya seni dan adat yang berciri Desa-Kala-Patra maka terungkaplah suatu nilai luhur yang tiada tandingannya. Tapi ada satu yang berbeda dari bentuk upacara piodalan yang dilaksanakan di Pura Panyagjagan ini, karena di Pura Panyagjanga ada unsur budaya Tionghoa (Cina), maka dalam melaksanakan upacara piodalannya memakai budaya Hindu dan Tionghoa. Menurut penuturan Poo Cing Huang (wawancara tanggal 14/06/2014) mengatakan bahwa “kelengkapan dalam upacara piodalan di Pura Panyagjagan memakai banten sorohan dari budaya Hindu sedangkan menghidupkan lampion,
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut; 1. Diperkirakan Pura Panyagjagan ini sudah ada pada zaman kerajaan Bali Kuno, sedangkan cikal bakal Pura Panyagjagan yaitu diawali dari penemuan beberapa pertima oleh masyarakat Desa Pakraman Catur, sehingga dibangunlah sebuah pelinggih untuk menstanankannya sampai didirikanlah sebuah pura yang dekenal dengan sebutan Pura Panyagjagan pada abad ke-19, hingga pura ini mengalami pemugaran pada tahun 1947 hingga sekarang. Pura Panyagjagan ini merupakan pura tertua di Desa Pakraman Catur disamping beberapa pura tua yang ada di Desa Pakraman Catur seperti Pura Pebini, Pura Padang Nguah, dan Pura Bukit Sari. 2. Secara struktur, Pura Panyagjagan di Desa Pakraman Catur terdiri dari tiga halaman (Tri Mandala) yaitu: Uttama Mandala, Madya Mandala, dan Nista
Mandala serta pada bangunan pelinggih mengacu pada konsep Tri Angga yang terdiri (kaki, badan, dan kepala). Fungsi Pura Panyagjagan yaitu terdiri dari beberapa fungsi diantaranya; (1) fungsi religius yaitu sebagai tempat sembahyang untuk mendapatkan keselamatan lahir dan bathin agar terhindar dari segala malapetaka. (2) fungsi sosial yaitu sebagai tempat untuk berkumpulnya masyarakat yang dilaksanakan pada saat ngayah di pura, sehingga terjadinya interaksi sosial, (3) fungsi budaya yaitu sebagai tempat pusat kegiatan budaya yang ditunjukkan dengan aneka tarian, seni tabuh, dan kidung/pesantian, (4) fungsi pendidikan yaitu sebagai pendidikan non-formal seperti pelatihan pesantian, dharmagita, menari, dan pelatihan tetabuhan. 3. Potensi Pura Panyagjagan yang dapat dikembangkan sebagai media pendidikan multikultural yaitu terletak pada: (1) bentuk bangunannya yaitu adanya Pelinggih Ida Bhatara Konco dan Pelinggih Ida Bhatara Ratu Subandar, tetapi dalam praktek upacara keagamaannya secara Hindu dan dilaksanakan oleh umat Hindu tanpa ada yang mempertentangkan, (2) upacara keagamaannya, dimana dalam sarana dan prasarana banten-nya menggunakan budaya Bali dan Cina. Adapun nilai-nilai multikultur yang bisa dikembangkan di sekolah dan masyarakat adalah nilai religius, nilai kebersamaan, nilai toleransi dan nilai kebudayaan.
2. Kepada seluruh masyarakat baik yang ada di Desa Pakraman Catur maupun di luar Desa Pakraman Catur agar lebih mencermati dengan baik tentang keberadaan Pura Panyagjagan tersebut supaya masyarakat tidak salah tafsir dengan bentuk bangunan tempat sucinya. 3. Kepada pemerintah atau instansi terkait agar banyak memberikan penyuluhan-penyuluhan bagi para generasi muda agar dapat ikut serta memelihara dan melestarikan keberadaan pura, sehingga nilai sakral dari pada pura tersebut dapat dipertahankan. 4. Kepada para peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang Pura Panyagjagan agar meneliti dengan cermat dan mendalam terutama mengenai hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian ini. KATA PERSEMBAHAN Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M. A, selaku pembimbing I atas bimbingan, arahan serta saran yang bapak berikan kepada penulis dalam menyusun artikel ini sehingga selesai tepat pada waktunya dan juga kepada Ibu Dr. Tuty Maryati, M. Pd, selaku pembimbing II sekaligus sebagai pembimbing akademik penulis yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, dan kesabarannya serta senantiasa mau meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Dalam penelitian ini saran yang dapat disampaikan adalah:
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
1. Kepada masyarakat Desa Pakraman Catur agar tetap menjaga kelestaraian dan keindahan Pura Panyagjagan serta menjaga kesuciannya, karena Pura Panyagjagan merupakan asset budaya yang dimiliki oleh masyarakat Catur sebagai obyek pariwisata.
Nasution, MA, Prof. Dr. 1998. Metodologi Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: PT Tarsito Bandung.
Pitana, I Gde. 2009. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Penerbit BP. Soehartono, Irawan. 2000. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sumartana, dkk.2005. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei dan Pustaka Pelajar. Suyasa, I Wayan. 1996. Pura Agung Jagatnatha Singaraja: Latar Belakang Berdirinya dan Makna Filosofisnya. Singaraja. Wiana, I Ketut. 1996. Beragama bukan hanya di Pura. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.