TAJEN & DESAKRALISASI PURA : STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN SUBAGAN, KECAMATAN KARANGASEM, BALI Ida Bagus Gede Eka Diksyiantara, I Nengah Punia, Gede Kamajaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Tajen is a Balinese folk game which exists since a long time ago, however by throwing a bet in this game; it makes tajen very identical to gambling. Moreover it is performed in the temple and this effort will certainly give unfavorable impact on the sanctity of the temple in which it is used as a place to hold tajen, although tajen conducted at the Jaba Sisi (part the outer temple in the concept of tri mandala)still,itwillcause thetemplesuffereddesacralization. On the concept of Kekeran or Concept of the radius of the sanctity of the temple, Kekeran has three approach methods to determine the radius of the sanctity of the temple such as Apeneleg, Apenimpug, Apenyengker in which the most clearly measure as already stated by building a wall around the temple.For Pura Desa, it will usually use apenyengker method (wall boundary), it means the territory of Jaba sisi of the temple is the area that belongs to the sanctity of the temple area therefore for any reason, tajen which is performed in Jaba sisi temple area can reduce the sanctity of its temple. Keywords: Tajen,Temple,Kekeran,Desakralisasi.
1. Pendahuluan Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah tajen. Namun dewasa ini marak tajen yang dilakukan di dalam areal pura yang dapat mengakibatkan pura mengalami desakralisasi atau penurunan nilai-nilai sakral pada pura tersebut. Konsep pembangunan pura sebagai tempat suci, pada umumnya di Bali menggunakan struktur atau bentuk pembagian wilayah berlandaskan atas konsep pura Tri mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah(Madya mandala), dan
jeroan(utama mandala). Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, dimana jaba pura melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. bhuwarloka yang menjadi lambang jaba tengah yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan berikutnya adalah swarloka yang melambangkan keadaan utama mandala yaitu dunia atas tempat kehidupan para dewa. Pura merupakan tempat suci bagi agama hindu. Kata pura berasal dari Bahasa
1
adalah juri mengumpulkan membagikannya menang.
Sansekerta yang artinga kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”. (Sandiarsa.1985:9) menyebutkan bahwa kata pura memiliki pergeseran makna menjadi tempat suci yang terdiri dari beberapa buah palinggih yang dikelilingi tembok panyengker guna memisahkan dunia yang sakral dan yang tidak sakral. Lalu bagaimana tajen dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura ? Ada baiknya kita mengenal apa itu tajen terlebih dahulu. Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha, 2010 : 7 ). Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (seimbang) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), talude (taruhan tiga berbanding dua), apit (taruhannya satu berbanding dua), kadapang (taruhannya sembilan banding sepuluh).
untuk serta yang
Desa Subagan yang merupakan lokasi untuk melakukan penelitian yang dipilih oleh peneliti karena di Desa pakraman Subagan intensitas kegiatan tajendisana cukup tinggi, lokasi juga ditetapkan disana mengingat penulis juga tinggal disana sehingga memudahkan dalam proses pencarian datanya. Tajen kerap dijadikan sebagai alat penggalian dana dalam rangka pembangunan pura maupun bale banjar. Hal inilah yang menyebabkan polisi di Bali kesulitan untuk menanggulangi tajen karena kuatnya kekuatan desa pakraman jika ditentang maka menciptakan permusuhan yang berujung pada bentrok, Pimpinan babotoh biasanya adalah orang yang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga disebut dengan cukong. Tajen dikategorikan sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana. Dalam prakteknya para cukong kerap menggunakan tabuh rah sebagai topeng untuk dapat melaksanakan kegiatan tajen. Skema yang diciptakan adalah bermula dari kegiatan tabuh rah yang bersifat legal dan hanya dilakukan di areal pura. Sebuah wawancara yang dimuat dalam sebuah media elektronik, Kabid Humas polda Bali, Kombes Pol Herry Wiyanto mengatakan pihaknya memberikan kesempatan bagi masyarakat menggelar kegiatan tabuh rah dalam kaitannya dengan kegiatan agama dan objek pariwisata (Tribun News : 2015). Lebih lanjut Kombes Pol Herry Wiyanto juga menegaskan, hal yang salah jika ritual tabuh rah dijadikan media perjudian oleh masyarakat, kesempatan menggelar tabuh rah sebagai bagian dari objek wisata dapat diartikan sebagai komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu, Komitmen ini memiliki implikasi yang luas, termasuk dalam upaya untuk memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya.
Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni sayekemong, ketek, garis dan lap. Sayekemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, sayeketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, sayegaris adalah saye yang bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan sayelap
Fakta yang ada di masyarakat Desapakraman Subagan adalah masyarakat
2
yang bertugas uang taruhan kepada babotoh
memiliki pemikiran bahwa tajen dan tabuh rah adalah hal yang serupa. Pemikiran tersebut muncul akibat keduanya menggunakan ayam sebagai sarana/alat pelaksanaannya. Padahal tajen dan tabuh rahadalah 2 hal yang sangat berbeda baik dari segi pelaksanaannya, aturannya, filosofi serta tujuan pelaksanaannya.
tabuh rah adalah sesuatu yang bersifat legal, memberikan celah kepada oknum-oknum yang ingin mengadakan tajen. Skema yang diciptakan guna mengakali fakta bahwa tajenmerupakan aktivitas yang ilegal adalah dengan mengadakan tajen di areal puraitu berarti tajen yang bersifat profan jika dilakukan didalam areal pura dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura.
Berbeda dengan tajen, tabuh rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu Bali mensyaratkan adanya darah ayam yang menetes sebagai simbol atau syarat guna mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi (Mertha, 2010 : 13). Tabuh rah juga memiliki makna sebagai ritual Buthayadnya (pengorbanan suci kepada butha kala) yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahayanya. Pelaksanaan tabuh rah dilakukan ditempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut. Dalam proses pelaksanaan tabuh rah selain menggunakan ayam,tabuh rah juga diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa serta upakaranya, tabuh rah juga dilakukan maksimal “tiga sehet” dengan tidak disertai taruhan apapun.
Pemisahan antara dunia yang sakral dan tidak tidak sakraldalam konsep pura adalah menggunakan batas panyengker. ini dapat diartikan sebagai upaya mencegah sesuatu yang bersifat tidak sakral untuk memasuki areal pura, termasuk pada upaya pemanfaatan pura pada hal-hal yang bersifat sakral guna mempertahankan nilai sakral yang terdapat pada pura tersebut. Ketika tajen yang bersifat tidak sakral dilakukan di areal pura walaupun dengan kedok, tajen yang dilakukan disana adalah tabuh rahtentu saja hal tersebut dapat menyebabkan puramengalami desakralisasiatau hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah pura. Dari pengertian diatas desakralisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ketika pura tidak lagi berkaitan dengan agama maupun tujuan keagamaan, tidak suci lagi karena sifat keduniawian telah masuk kedalamnya. Hal tersebut berarti mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap nilai-nilai sakral yang terkandung dalam pura tersebut.
Pelaksanaan tabuh rah dalam rangka upacara yadnya tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus mentaati ketentuan yang bersumber pada sastra. Dalam Keputusan Seminar Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke IX, menyatakan bahwa tidaklah semua jenis upacara yadnya harus disertai dengan tabuh rah, melainkan hanya jenis upacara tertentu saja, seperti Panca kelud, Balik sumpah, Tawur agung, Tawur labuh gentuh, Tawur panca wali krama, dan Tawur eka dasa rudra.Tabuh rah yang semula merupakan bagian dari ritual Dewa yadnya yang bersifat sakral. Dalam pemaparan antara tajen dan tabuh rah diatas dalam pengertian sempitnya tajen memiliki sifat yang profan atau tidak sakral dan tabuh rah memiliki sifat yang sakral.
Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk
Masyarakat memiliki pikiran yang menyamakan arti serta makna antara tabuh rah dan tajen, dengan didukung fakta bahwa
3
menjelaskan bahwa aci keburan merupakan suatu tradisi yang harus dilaksanakan karena ada keyakinan apabila tidak dilaksanakan maka Desa pakraman kelusa akan terserang wabah penyakit (grubug), adapun nilai yang terkandung dalam tradisi aci keburan pada masyarakat desa pakramankelusa berbeda dengan tabuh rah karena tradisi keburan lebih menekankan pada nilai religius dan nilai sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Kairavani (2013) dengan judul penelitian “Judi Versus Sarana Pemasukan Bagi Desa pakraman& Masyarakat Di Kabupaten Tabanan” menyebutkan bahwa penyelenggaraan tajen yang dilakukan di lokasi yang sejatinya adalah milik dari suatu Desa pakraman digunakan alat atau sarana pemasukan bagi Desa pakraman dan masyarakat. Desa pakraman akan mendapatkan pemasukan dari sewa tempat, parkir, karcis masuk dll kemudian masyarakat akan mendapatkan pemasukan dari berjualan serta menawarkan jasanya di sekitar areal tajen. Penelitian yang dilakukan oleh Winarta (2014) dengan judul penelitian “ Tabuh rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu (Studi Kasus Di Dusun Gubug Bali, Kecamatan Lembar, Lombok Barat)”. Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram, dia menjelaskan bahwa masyarakat Bali mempunyai corak yang spesifik dan erat pertaliannya dengan hukum adat, dalam jurnal ini lebih banyak memuat bagaimana hukum adat mengatur tabuh rah dan juga bagaimana undang-undang mengatur tabuh rah yang mengarah ke perjudian.
melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen Dalam proses hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah pura, indikator utama yang digunakan peneliti adalah ketika tajen yang bersifat profan atau tidak sakral dilakukan di dalam areal pura. Pemanfaatan pura sebagai arena tajen tetap melibatkan desa pakraman sebagai penyungsung pura ini, sehingga diharapkan dalam penelitian ini penulis dapat mendalami apakah desakralisasi yang terjadi dikarenakan ketidaktegasan penerapan aturan-aturan adat sehingga nantinya penulis dapat menyimpulkan hal yang sebenarnya terjadi dan dapat memberikan solusi kepada masyarakat di Desa Pekraman Subagan agar dapat menjaga kesakralan dari sebuah pura tersebut.
2. KAJIAN PUSTAKA Berbagai penelitian sudah dilakukan mengenai tajen di Bali, seperti Hidayat (2011) dengan judul penelitian “Sabung ayam Tabuh rah dan Tajen diBali”. Penelitian Hidayat ini meneliti tentang sabung ayam dalam persfektif hukum islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan. Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum islam dan hukum positif dalam mengkaji sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini akan mengkaji proses profanisasi pemanfaatan pura sebagai tempat tajen, selain itu perbedaan juga akan terlihat dikarenakan penelitian ini akan membahas juga bagaimana hukum adat mengatur penyelenggaraan tajen. Penelitian yang dilakukan oleh Herdani (2014) dengan judul penelitian “Tradisi Aci Keburan Sebagai Legitimasi Adat terhadap Sabung Ayam di Desa pakraman Kelusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar”
Sabung ayam yang sering dilaksanakan di dusun Gubug merupakan suatu tindak pidana karena dibarengi dengan judi serta dalam pelaksanaannya tidak memperoleh izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Sabung ayam yang dilaksanakan disana diselenggarakan oleh pihak perorangan sehingga dapat dikatan itu telah melanggar hukum. Selain itu dalam jurnal ini juga disebutkan upaya yang telah dilakukan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perjudian sabung ayam ada
4
hendaknya tidak diartikan sebagai konsep pembagian moral, artinya kita seharusnya tidak menganggap yang sakral sebagai “Kebaikan” dan yang profansebagai “Keburukan”. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral danyang profan, akan tetapi yang sakraltidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan, begitupun sebaliknya yang profantidak dapat berubah menjadi yang sakral. Pada konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama.
dalam dua macam yaitu upaya preventif dan upaya represif. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh penulis akan lebih membahas bagaimana proses kenapa tabuh rah bisa menjadi tajen padahal esensi tabuh rah adalah upakara, yang mengakibatkan opini masyarakat mengarah pada opini tajen adalah profanisasi tabuh rah sehingga pemikiran tersebut dapat mengancam kesakralan dari sebuah upacara yadnya, dimana hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah sama dengan mereka menodai kepercayaan mereka sendiri sehingga penting untuk menjelaskan arti atau makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan tabuh rah tersebut,selain itu dikarenakan aktifitas tajen di Desa pakraman subagan tergolong kronis dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya maka penelitian ini lebih menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimana pola interaksi yang tercipta antar peserta tajen. Selain itu Peneliti juga akan membahas dampakdampak tajen pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa pakraman Subagan, Karangasem, sehingga peneliti dapat menawarkan solusi dalam upaya menanggulangi tajen di Desa pakraman subagan.
2.1 TEORI SAKRAL (Durkheim)
DAN
Sesuatu yang murni adalah agama, berasal dari tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, sedangkan interpretasi dari agama, berarti berasal dari manusia dalam menerjemahkan agamanya, bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Sesuatu yang sakraltidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan dan yang profantidak dapat berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Namun jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya 2 hal hang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, misalkan baik-buruk,besar-kecil,bersih-kotor dan juga sakral-profan. Sesuatu yang bersifat sakral dapat mengalami perubahan nilai akibat mendapatkan pengaruh dari sesuatu yang bersifat profan, misalkan purayang mengandung nilai magis dan makna spiritual dapat mengalami perubahan nilai diakibatkan ketika tajenyang merupakan suatu budaya yang bersifat profan. SehinggaTeori sakral danprofanDurkheim dalam penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana proses terjadinya desakralisasipada sebuah pura.
PROFAN
Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang sakraldan yang Profan. Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakralselalu diartikan yang berada dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011:164). Durkheim mengatakan konsentrasi utama agama terletak pada yang sakralkarena memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakatnya, sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dikotomi tentang yang sakral dan yang profan
3. METODELOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Menurut Creswell (Sugiyono,2013:347) dalam penelitian kualitatif berarti proses eksplorasi dan memahami makna perilaku individu serta kelompok, menggambarkan masalah sosial atau masalah kemanusiaan. Dalam pengertian yang lainnya penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
5
dikerjakanberdasarkan dialami tersebut.
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosdur statistik atau dengan kuantifikasi (Djunaidi & Fauzan, 2012:25).
yang
telah
Langkah Ketiga menurutt Miles dan hubermas adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi yang sebelumnya dilakukan berdasarkan hasil dari reduksi data serta penyajian data, kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya
Penelitian kualitatif harus mempertimbangkan metodologi kualitatis itu sendiri. Metodologi kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptis berupa data tertulis atau lisan di masyarakat (Djajasudarma, 2006: 11). Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif menggunakan data lisan yang di dapat melalui informan, pendekatan ini melibatkan masyarakat yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu dalam penelitian ini jumlah informannya ditentukan sesuai dengan keperluan penelitian, sehingga penelitian ini diharapkan dapat dianalisis secara objektif melalui fakta dan data yang dikumpulkan dilapangan.
4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Penelitian Kelurahan Subagan merupakan gabungan dari dua desa pakraman, dua desa pakraman yang dimaksud adalah desa pakraman jasri dan desa pakraman Subagan. Secara etimologis Subagan berasal dari kata “su + baga” yang kemudian menjadi kata “Subagan” yang artinya tempat yang sangat bahagia. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980 tertanggal 31 Maret 1980 dan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 17 Tahun 1981 tertanggal 24 Oktober 1981 Subagan yang semula merupakan kedesaan/ perbekelan di bentuk menjadi Kelurahan.
Pada analisis data penelitian kualitatif peneliti menggunakan model yang dikembangkan Miles dan Hubermas yaitu, pada proses penelitian kualitatif akan meliputi tiga tahapan yaitu tahap reduksi (Data Reduction), tahap penyajian data ( Data Display) dan tahap seleksi (Verification). Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal pokok yang memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan juga polanya, dengan demikian data yang telah tereduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas serta memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulann data selanjutnya, semakin lama peneliti kelapangan maka jumlah data akan semakinn banyak, kompleks, dan rumit, untuk itulah maka penting untuk proses reduksi data dilakukan dengan segera.
Kelurahan Subagan memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai 18.625 jiwa/km2 dan pada tahun 2014 mencapai 18.815 jiwa/km2. Secara administrasi Kelurahan Subagan memiliki batas-batas wilayah diantaranya disebelah utara desa pakraman subagan yakni Desa Bungaya Kangin, lalu disebelah timur desa pakraman subagan yakni Kelurahan Karangasem, lalu disebelah selatan desa pakraman subagan yakni Selat Lombok, terakhir di sebelah barat desa subagan berbatasan dengan Desa Pertima dan Desa Perasi, Pada Tahun 2014 jumlah populasi kelurahan Subagan mencapai 18.815, dengan 9.409 penduduk laki-laki dan 9.406 penduduk perempuan dari jumlah penduduk tersebut pada tahun 2014 terdapat 5.284 kepala keluarga di kelurahan Subagan.
Data yang telah ditemukan dalam kegiatan reduksi data dilapangan maka selanjutnya akan melalui proses penyajian data. Penyajian data adalah mengumpulkan susunan data yang diperoleh dalam bentuk uraian singkat. Dalam hal ini menurut Miles dan Hubermas (Sugiyono, 2013:249) lebih sering menggunakan penyajian data dalam bentuk teks yang bersifat naratif, dengan mendisplay data maka akan memudahkan memahami apa yang akan
4.2 Gambaran Umum Pura Penataran Agung.
6
apa
nilai budaya lokal mendapatkan pengaruh akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan didukung dengan industri pariwisata global yang mendunia sehingga konsepsi tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai materialistis, dimana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis.
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pura Penataran Agung yang terletak di Banjar Gede, Desa Pakraman Subagan, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di Bali, adalah berdasarkan atas konsep pura Tri mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Namun pada pura penataran agung di desa pakraman Subagan menggunakan konsep dwi mandala yaitu membagi areal pura menjadi 2 wilayah, pada bagian pertama yang di sebut dengan jabaan adalah merupakan gabungan konsep antara Nista dan Madya mandala sedangkan pada bagian berikutnya disebut dengan Jeroan atau Utama mandala.
Kesakralan suatu pura harus tetap terpelihara dan terjaga untuk keberadaan kesucian pura tersebut, dengan adanya konsepsi tentang kesucian pura yang harus terjaga dan terpelihara kesakralannya, baik di dalam maupun di luar pura, maka pura penataran harus tetap sakral baik di bagian terdalam ataupun terluar pura itu sendiri. Tanpa disadari kita telah membawa budaya lokal yang memiliki efek negatif kedalam sebuah pura, dalam konteks ini tajen sebagai salah budaya lokal kita telah membawa efek negatif kepada kesakralan pura, darah yang menetes didalam areal pura merupakan salah satu faktor yang akan mengancam kesucian pura tersebut, berikutnya kebebasan masyarakat untuk memasuki areal pura disaat tajen sedang berlangsung bahkan tanpa menggunakan busana adat juga dapat menjadi penyebab kesucian pura tersebut terganggu, belum lagi jika ada seseorang yang pergi ke sebuah tajen yang dilakukan dalam lingkungan pura dengan keadaan cuntaka.
Untuk memasuki pura Penataran Agung kita harus melewati Candi utama yang berada disebelah selatan pura. Karena pura Penataran Agung menggunakan konsep dwi mandala maka setelah melewati candi tersebut kita akan memasuki bagian jabaan pura. Jabaan pura dalam konsep dwi mandala memiliki fungsi untuk areal untuk melakukan berbagai jenis kegiatan untuk persiapan upakara yang akan dilakukan di pura. Pada areal utama mandala terdapat bangunan pesimpenan atau bangunan yang difungsikan untuk menyimpan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (pujawali) pura misalkan, jempana, kober, senjata dll. Didepan tempat penyimpenan juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk meletakan gambang saat sedang ada pujawali. Pada areal Utama mandala ini terdapat pelinggih Ida Betara Ayu Mas Maketel, Ida Betare Manik Angkeran, Ida Betara Ngerurah, Ida Betara Ayu Mas Muter, Ida Betara Gunung Agung, Ida Betara Luhiring Akasa, Ida Betara Bukit, Ida Betara Majahapit, Ida Betare Lembu Srenggana, Pelinggih yang paling utama di pura ini adalah gedong yang merupakan linggih dari Ida Betara Lingsir
Secara sadar ataupun tidak sadar, masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini telah menciptakan bentuk ruang profan yang beradaptasi dengan praktik kapitalis atas pemanfaatan pura sebagai tempat untuk melakukan tajen sehinggga hal tersebut menggeser bentuk ruang sakral di pura penataran agung yang terdapat di desa Subagan, Karangasem. Menurut data yang di peroleh dari informan MS yang merupakan pemangku di pura penataran agung menyebutkan bahwa pura penataran agung pertama kali di bangun pada tahun 1972 oleh banjar adat gede yang merupakan pengempon pura penataran agung saat ini. Terkait tajen yang dilakukan di dalam pura penataran agung. Menurut berbagai sumber di desa pakraman subagan terdapat banyak versi terkait kapan dimulainya tajen yang di adakan di pura penatan agung, namun
4.3 Proses Terjadinya Desakralisasi Paradigma berfikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan pemilik
7
Dalam data tersebut dapat diketahui masyarakat merasa jika tajen dilakukan di areal pura, hal tersebut dapat menyebabkan dampak yang kurang baik terhadap kesucian pura jika babotoh berkata kasar di dalam pura dan terlebih lagi jika ada babotoh yang cuntaka karena baru datang dari melayat dapat masuk ke dalam pura untuk metajen, maka pemangku harus membersihkan pura dengan membuatkan banten pratista kalau sampai ada yang cuntaka memasuki areal pura.
diperkirakan bahwa tajen yang dilakukan di pura penataran agung sudah dimulai sekitar tahun 1980, sehingga dapat dikatakan bahwa tajen di pura penataran agung sudah cukup lama dilakukan walaupun mengalami pasang surut dalam artian tajen yang dilakukan disana tidak menetap secara terus menerus diadakan di pura penataran agung karena tajen yang dilakukan disana merupakan tajen branangan. Pro-kontra tajen sebenarnya tidak akan mencapai kata final, ada yang menyukainya dan ada juga yang menolak keberadaan tajen, baik tajen yang dilakukan di wantilan dan bale banjar maupun tajen yang dilakukan didalam areal pura karena bukan hanya akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tajen yang dilakukan di dalam areal pura juga akan berpengaruh terhadap nilai kesakralan sebuah pura, seperti data yang diperoleh dari informan GA yang merupakan seorang babotoh berikut ini “…Dimanapun, yang penting tajen tetap ada…”
Dengan berpatokan pada ajaran agama Hindu, tajen merupakan sesuatu yang dilarang, karena mengandung unsur judi di dalamnya, Agama Hindu melarang perjudian, termasuk tajen. Gagasan ini terlihat pada kitab suci kitab Rg Weda (10.34.13) yang menyatakan sebagai berikut. Aksair ma divyah krsimitkrsasva vite ramasva bahu manyamanah tatra gavah kitavahtatra java tanme vi caste savitaymaryah, Artinya,
Secara tegas GA berpendapat dia setuju saja jika tajen dilakukan diareal pura, yang penting tajen tetap ada. GA tidak sadar bahwa tajen dapat merusak kesakralan sebuah pura jika dilakukan di areal pura, akan tetapi seperti yang di katakan penulis sebelumnya yaitu akan selaku ada pro dan kontra terhadap tajen baik yang dilakukan di dalam areal pura maupun yang dilakukan di Bale banjar, wantilan dan lain-lain. Bersebrangan dengan pendapat GA, melalui data yang diperoleh dari NS yang merupakan masyarakat di desa pakraman Subagan, menyatakan bahwa
Wahai pejudi jangan bermain judi, lebih baik menjadi petani disanalah kekayaan berlimpah ruah, disanalah sapi perahanmu, disanalah kebahagian istrimu, demikian yang disampaikan oleh Dewa Savita (Rg Weda.10.34.13 Windia dalam Atmadja, 2015:19) Selain itu tajen juga sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu yaitu Ahimsa atau nonkekerasan yakni larangan untuk menyakiti makhluk hidup, tidak saja manusia, tetapi juga binatang dan tumbuhan. Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang Sakraldan yang Profan. Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakralselalu diartikan yang berada dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011.164). Jika dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat selalu adanya 2 hal yang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh,
“…Tajen kalau dilakukan di pura, karena banyak babotoh yang tidak dapat menjaga sikap, misalkan berkata kasar saat kalah, belum lagi jika ada babotoh yang baru datang dari nyango, pasti hal itu akan berpengaruh di kesucian pura, sehingga pemangku pura harus membersihkan pura dengan menggunakan banten pratista kalau sampai ada yang cuntaka memasuki areal pura…”
8
Dalam kisah Manik Angkeran memang dijelaskan bahwa Manik Angkeran adalah seorang babotoh hal tersebut yang mungkin menjadikan dasar pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa Manik Angkeran merupakan dewanya babotoh. Pemberian makna yang salah kepada Manik Angkeran oleh masyarakat layak untuk dibongkar, namun perlu diingat membongkar sebuah model berpikir yang salah bukan berarti harus menghilangkan model berpikir tersebut.
misalkan baik-buruk, besar-kecil, bersih-kotor dan juga sakral-profan. Tajen dapat mengakibatkan proses desakralisasi pada nilai-nilai religius pura karena tajen merupakan sesuatu yang bersifat profan. Tajen adalah sebuah budaya negatif yang telah melekat pada kehidupan masyarakat, karena tajen membawa unsur yang negatif maka seharusnya tajen tidak dilakukan di areal pura karena hal tersebut dapat mengakibatkan pura mengalami desakralisasi.
Pemberian makna kepada Ida Betara Manik Angkeran sebagai dewanya babotoh adalah sesuatu yang perlu di luruskan karena memang pada dasarnya Manik Angkeran sesuai yang diceritakan dalam lontar Pamancangah adalah seorang babotoh namun dalam lontar tersebut juga diceritakan bahwa Manik Angkeran telah berubah dan meninggalkan sifat-sifatnya yang dulu sehingga ia dipercaya untuk menjaga pura besakih dengan berstana di pura bangun sakti yang merupakan bagian dari pura besakih.
Aktivitas tajen seperti yang disebutkan diatas, telah menyebabkan pura mengalami Desakralisasiatau hilangnya nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya. Banyak hal yang jika dilihat dari sudut pandang agama Hindu yang menjelaskan bahwa terjadinya desakralisasi pada pura jika pura digunakan sebagai tempat untuk melakukan tajen.
4.4 Pemaknaan Salah Mengenai Ida Betara Manik Angkeran Tajen di dalam kehidupan masyarakat Desa Pakraman Subagan memang sudah ada sejak dulu dantelah melekat pada aspek kepercayaan masyarakat, karena pada pura Bale Agung maupun Penataran Agung terdapat pelinggih dari Ida Betara Manik Angkeran atau Ida Betara Bagus Babotoh yang dikatakan sebagai dewanya babotoh, terkait hal tersebut GT mengatakan. “…Setau saya menurut kepercayaan masyarakat disini ada dewa yang disebut dewa babotoh yaitu ida betara manik angkeran, sehingga sulit untuk menghapuskan tajen baik yang dilakukan diareal pura maupun yang dilakukan diluar areal pura, itu yang menyebabkan mengapa tajen begitu melekat pada aspek kehidupan masyarakat…” (Wawancara 16 November 2015)
Dalam agama Hindu terdapat pula ajaran yang menyoroti sifat-sifat manusia. Namun ajaran Hindu lebih dominan menyoroti unsur kecenderungan sifat manusia sifat manusia yang muncul dari dalam diri manusia yaitu Daiwa Sampat (sifat kedewataan) dan Asuri Sampat (sifat keraksasaan). Dimulai dengan sifat Asuri Sampat, sifat ini melahirkan sifat yang dalam ajaran agama Hindu sebagai dijelaskan sebagai berikut : 1. Kama (keinginan memuaskan nafsu secara berlebihan) 2. Loba (Rakus) 3. Kroda (Marah-marah) 4. Mada (Mabuk-mabukan dan suka berjudi) 5. Moha (sombong) 6. Matsarya (dengki)
Memang benar di dalam Pura Bale Agung dan Pura Penataran Agung terdapat linggih Ida Betara Manik Angkeran (Lihat Gambar 4.2) akan tetapi hal tersebut seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai dasar mengapa tajen dapat dilakukan didalam areal pura
Sedangkan daiwa sampat atau sifat kedewataan berarti memiliki jiwa yang murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantangan dan jujur.
9
Desa pakraman memiliki wewenang untuk membuat aturan dan dedosan (sanksi/hukuman) guna mengatur kehidupan masyarakatnya, termasuk pula salah satunya adalah mengenai tajen yang dilakukan di dalam areal pura. Desa pakraman sesuai dengan konsep kerangka dasar kehidupan umat Hindu, memiliki fungsi untuk menjalankan tatwa (filsafat), susila (Etika), dan upakara (Ritual). Desa adat yang memiliki tanggung jawab sebagai pengempon pura sebenarnya telah menjalankan tugasnya dengan baik. Menurut keterangan PT yang bertugas sebagai ulun desa Subagan
Pola pikir dan kepercayaan masyarakat yang mengatakan bahwa Manik Angkeran sebagai dewanya babotoh sejatinya salah, pada pola pikir yang salah tersebut ada celah yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas tajen didalam areal pura yang didalamnya terdapat pelinggih Ida Betara Manik Angkeran, sehingga pemaknaan yang salah terhadap Ida Betara Manik Angkeran dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada nilai-nilai religius yang terdapat di dalam pura penataran agung.
4.5 Peran Desa Pakraman Penyungsung Pura
Sebagai
“…Terkait masalah tajen di pura bagi kami Desa pakraman Subagan tetap berpegangan pada sastra agama dan awig-awig yang tidak membolehkan terlaksananya tajen di dalam areal pura. Kalau terjadi sementara orang melakukan kegiatan tajen di dalam areal pura, itu jelas-jelas suatu pelanggaran…” (Wawancara 19 November 2015)
Desa pakraman memiliki peranan yang sangat penting agar tajen dapat terlaksana baik itu dilakukan di dalam areal pura maupun yang diadakan di bale banjar dan wantilan, namun tak banyak yang dapat penulis sampaikan mengenai bagaimana tajen dapat berlangsung di pura Penataran Agung di Desa Subagan, Karangasem karena minimnya informasi yang penulis dapatkan dari pihak Desa Pakraman yang merupakan pengempon pura Penataran Agung di Desa Subagan, Karangasem. Namun dalam keterangan yang disampaikan oleh Sengkok selaku cukong yang mengadakan tajen di areal pura Penataran Agung, adalah sebagai berikut;
Dalam keterangan tersebut dapat diketahui jika Desa pakraman tidak menyetujui jika tajen dilakukan di dalam areal pura, namun sesuai fakta yang ditemukan dilapangan bagaimana tajen dapat dilakukan di dalam areal pura penataran agung di desa pakraman Subagan jika Desa pakraman telah melarang untuk melakukan hal tersebut, terkait masalah yang termasuk kedalam areal pura PT menyatakan jika.
“…Ada kerjasama antara Desa pakraman dengan cukong tajen, Desa pakraman yang menghadap kepolisian tapi yang mengelola disana adalah cukong tajen, nanti keliang Desa pakraman hanya cukup mengetahui mau dicarikan surat permakluman…”
“… Yang dimaksudkan di dalam areal pura itu kan di jeroan itu sendiri, kalau diluar itu kan beda” (Wawancara 19 November 2015)
Dalam keterangan informan diatas dia menjelaskan bahwa adanya kerjasama antara Desa Pakraman dengan cukong tajen. Untuk mencari ijin di kepolisian cukong menghadap ke kepolisian atas nama dari pihak desa Pakraman, pihak Desa Pakraman yang di wakili oleh keliang adat ataupun keliang banjar hanya cukup mengetahui akan dicarikan surat permakluman. Surat permakluman yang dimaksud adalah surat permakluman akan melakukan tabuh rah, karena pihak kepolisian tidak pernah memberikan ijin untuk melakukan tajen.
Disini penulis melihat adanya kesalahan pada Desa pakraman untuk mendeskripsikan konsep areal pura. Sesuai dengan konsep Tri Mandala, yang termasuk kedalam pembagian wilayah areal pura di bagi menjadi 3 wilayah yaitu Utama Mandala (Jeroan), Madya Mandala (Jaba tengah), dan Nista Mandala (Jaba sisi), sedangkan untuk konsep Dwi mandala yang termasuk kedalam areal pura adalah Utama mandala (Jeroan) dan Jaba sisi (Konsep penggabungan antara Madya mandala dan Nista mandala).
10
Dharmawacana, Dharmagita, Dharmasadana dan lain-lain)
Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia mengenai kesucian pura nomor 11/kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci memiliki radius kesucian yang disebut dengan daerah kekeran, dengan ukuran Apeneleg, Apenimpug dan Apenyengker. Bhisama ini mengatur pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi sebagai berikut, di daerah radius kesucian pura (daerah kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan beragama Hindu, misalnya didirikan Darmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagita, Dharmasadana dan lain-lain). Artinya, dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk pembangunan fasilitas keagamaan dan kegiatan yang terkait dengan aktivitas keagamaan.
Dalam bhisama PHDI tersebut kita ketahui jika yang termasuk kedalam areal Pura Penataran Agung di Desa Pakraman Subagan adalah apenyengker atau sebatas tembok, itu artinya wilayah jaba sisi pura Penaaran Agung adalah wilayah yang termasuk kedalam wilayah radius kesucian pura sehingga dapat menyimpulkan jika tajen yang dilakukan di dalam areal pura walaupun dilakukan di areal jaba sisi pura dapat mengurangi kesucian pura tersebut, karena tajen bukan termasuk dalam kegiatan keagamaan, disini pecampur adukan makna antara tabuh rah dan tajen kembali berperan dan dapat mengancam kesucian pura.
4.6 Dampak dan Makna Tajen Bagi Masyarakat
Apa itu Kekeranpura ?Kekeran itu artinya kita sudah bisa melihat pura itu dari tempat kita berada. Pada konsep wilayah Kekeran, metode yang digunakan untuk menentukan wilayah Kekeran adalah Apeneleg atau wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Konsep ini digunakan untuk pura Kahyangan Jagat (Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan). Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura, konsep ini agak sulit batasannya karena tergantung sesuatu itu dan siapa yang melempar, konsep ini diterapkan untuk pura yang umumnya ada di lereng gunung yang tidak ada penyengkernya.
Dampak desakralisasi merupakan dampak yang dimunculkan akibat tajen yang bersifat profan memasuki areal pura yang bersifat sakral sehingga berpengaruh terhadap masyarakat lokal dalam segala aspek kehidupannya yang dapat pula melahirkan makna-makna baru yang tersirat didalamnya. Tajen merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat. Terkait hal tersebut, maka dampak dan makna desakralisasi Pura Penataran Agung, di desa Pakraman Subagan yang difungsikan sebagai tempat untuk mengadakan tajen tentu akan membawa dampak serta makna dalam seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya di masyarakat.
Konsep terakhir adalah Apenyengker ini paling jelas ukurannya karena sudah dinyatakan dengan membangun tembok pura. Pura Tri Kahyangan semuanya berpenyengker. Pura penataran agung di desa pakraman Subagan jelas menggunakan konsep Apenyengker sebagai konsep untuk menyatakan radius kesucian puranya, hal itu berarti untuk menjaga kesucian pura penataran agung wilayah Jaba sisi (Nista mandala) pada pura penatarn agung harus difungsikan sebagai tempat untuk kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra,
Pandangan tentang makna kesucian pura sebagai tempat suci yang sakral adalah bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam di dalam jiwa setiap individu. Kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara keagamaan saja, melainkan setiap hari, baik oleh pengurus pura, maupun masyarakat lokal sebagai pengempon atau penyungsungnya. Jika terjadi sesuatu yang melanggar kesucian pura tersebut, maka
4.6.1
11
Dampak Kesucian Pura
mewariskan tajen kepada generasi berikutnya. Internalisasi budaya tajen dilakukan dengan berbagai cara antara lain ayah meminta istri dan atau anaknya untuk ikut memilihara ayam aduan (Admadja,2015:175). Tidak bisa dipungkiri ahwa tajen memiliki dampak yang sangat luas bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, apalagi tajen bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, bahkan ada anak-anak juga yang sudah biasa mengikuti tajen sejak kecil, bukan hanya untuk menikmati permainannya tetapi juga untuk mencari uang tambahan melalui pekerjaan sebagai tukang cabut bulu ayam. Sehingga tajen yang dilakukan didalam pura tentu akan dapat merubah pola pikir masyarakat. Selain merubah pola pikir tentang konsep pura sebagai tempat yang sakral menjadi tempat untuk bersenangsenang dan mencari uang tambahan, tajen yang dilakukan dipura juga dapat merubah pola pikir masyarakat khususnya anak-anak karena yang seharusnya menjadi konsentrasi anak-anak ketika disekolah adalah untuk belajar terganggu karena anak-anak masih memikirkan tajen.
perlu segera diadakan upacara pembersihan atau penyucian dengan melaksanakan upakara Pecaruan. Kesucian pura juga akan mendapat pengaruh dari cara berprilaku masyarakat di dalam pura misalnya berkata kasar, berkelahi dll.
4.6.2
Dampak Sosial
Mengutip pernyataan Windia dalam buku Tajen di Bali Perspektif Homo Complexus yang menyatakan bahwa kajian terhadap tajen sebaiknya tidak lagi terpaku pada pendekatan agama dan hukum, tetapi dari sudut pandang lain, misalnya ekonomi, budaya, politik, dll. Gagasan ini tidak saja sangat menarik, tetapi juga amat penting ,sebab pendekatan agama dan hukum lebih bersifat normatif, yakni melihat tajen dari segi yang salah dan dosa. Penjelasan seperti ini tidak memberikan pemahaman pada aspek mengapanya, padahal pemahaman terhadap suatu tindakan manusia aspek mengapa adalah sangat penting (Atmadja,2015:25). Bertolak dari pemikiran itu maka kajian terhadap tajen tersebut dicoba memakai pendekatan lain, yakni dari dampak sosial masyarakat. Tajen yang merupakan warisan budaya masyarakat lokal dapat menciptakan suatu ruang publik yang berfungsi untuk meningkatkan keharmonisan dalam masyarakat. Konsep ruang publik pada umumnya digunakan untuk merujuk pada diskursus dan debat umum, dimana setiap individu bisa mendiskusikan isu-isu yang menjadi perhatian bersama. Pihak yang menolak tajen tentu tidak akan menerima jika tajen memiliki dampak yang positif bagi kehidupan sosial masyarakat karena dari awal mereka sudah memberikan pandangan tajen merupakan sesuatu yang salah, namun kenyataannya tajen sebagai media berkomunikasi dan berkomunikasi masyarakat Bali, disanalah para babotoh menghabiskan energinya, menumpahkan tindihan batin, jiwa, berbagi pikirannya dengan orang lain, hal ini tentunya dapat kita lihat kalau kita merupakan suatu bagian dari tajen tersebut.
4.6.4 Dampak Susila atau Etika Susila/etika merupakan hal-hal tentang yang baik dan yang buruk tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak (Alwi,2001:309). Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka makna susila/etika dalam hal ini, bagaimana menjaga hubungan dengan baik antara agama, budaya, dan masyarakat, sehingga tetap terjaga kesucian pura agar terpelihara dengan baik, saling memberi pengertian, dan menumbuhkan toleransi terhadap norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar larangan agama dan adat istiadat setempat. Kaitan dengan Desakralisasi Pura dengan dampak susila/etika adalah tajen yang dilakukan di dalam areal pura tanpa disertai dengan aturan yang jelas tentang berbusana dapat menmberikan dampak yang negatif bagi masyarakat. Seharusnya untuk memasuki areal pura kita harus berbusana yang sopan dan pantas, rapi dan bersih. Sesuai dengan apa yang ditemukan dilapangan, ketika masyarakat masuk ke
4.6.3 Dampak Perubahan Pola Pikir Tajen dapat bertahan sampai sekarang tidak bisa dilepaskan dari peran keluarga, ayah merupakan aktor paling penting dalam
12
Setidaknya itu yang ada didalam benak orang asing yang dia temui, namun tidak dapat dapat dipungkuri bahwa memang seperti itu adanya namun perlu juga ditekankan bahwa emosi keagamaan tidak dapat selalu muncul, sehingga memerlukan sebuah ritual dan sebuah motivasi baru untuk memunculkannya.
pura penataran agung untuk mengikuti tajen, masyarakat memasuki areal pura dengan menggunakan celana dan baju biasa yang dianggap tidak pantas dan juga tidak tepat untuk memasuki areal pura walaupun itu bagian jaba sisi pura sekalipun.
4.6.5
Dampak Ekonomi
Tajen yang merupakan budaya negatif di masyarakat tentunya akan memberikan dampak yang negatif bagi bagi kehidupan masyarakatnya, salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh tajen tentu saja akan berdampak secara ekonomi bagi pelakunya
Banyak orang yang tidak dapat setiap hari dan setiap waktu untuk memunculkan emosi keagamaannya, tiap hari mereka tidak melakukan persembahyangan tapi ketika ada sebuah ritual yang dilakukan, emosi keagamaan tersebut tiba-tiba muncul karena ada faktor yang mempengaruhinya baik itu faktor lingkungan, gengsi, serta faktor yang menyebabkan seseorang merasa berdosa jika hanya dia yang tidak datang ke tempat upacara tersebut dan juga faktor adanya hiburan seperti tari-tarian dan juga tajen di pura ataupun di suatu lokasi upacara.
Setiap orang yang pergi ke matajen pasti ada tujuan yang ingin diraih, tentunya tujuan yang ingin diraih adalah mendapatkan kemenangan. Pada kenyataannya realitas sosial dalam masyarakat yang tidak dapat kita pungkiri menunjukan bahwa sebagian masyarakat kecil hidup dalam mimpi-mimpi dan juga iming-iming menjadi kaya melalui perjudian
4.6.7 Makna Kesejahteraan Makna kesejahteraan yang dimaksud disini adalah mengacu kepada kesejahteraan sosial kehidupan manusia, yaitu segala kebutuhan material dan non-material, dalam istilah umum, kesejahteraan menunjuk kepada “keadaan yang baik”, kondisi manusia dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai, dalam hal ini kesejahteraan berhubungan dengan hal-hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan,kemakmuran, dan ketentraman (Alwi,2001:1001).Dalam ekonomi, kesejahteraan dihubungkan dengan keuntungan benda atau materi yang menghasilkan uang, kesejahteraan memiliki arti khusus secara ekonomi.
Dalam tajen ada seseorang yang berperan dan memanfaatkan ketidakpuasan babotoh yang kalah dalam permainan yang disebut tukang gade sehingga seringkali babotoh ada yang terlilit hutang karena tajen. Memang benar pikiran babotoh sangat kacau, bukan saja saat kalah bahkan saat menang karena merasa mendapatkan uang yang banyak, mereka langsung berpoyapoya, uang kemenangannya digunakan untuk membeli minuman keras untuk berpesta dengan teman-temannya apalagi pada saat menang babotoh akan mendapatkan be cundang.
4.6.6 Makna Religius Dalam bukunya yang berjudul “Jangan Mati di Bali” Gede Aryantha menyebutkan belakangan ini predikat lucu bagi orang bali kian melebar dan beragam. Tidak ada lagi lucu dalam arti sesungguhnya, tetapi lucu sebagai sindiran. Misalnya, orang bali dikenal sangat suntuk dan khusuk kalau ada upacara di pura atau kegiatan adat dan keagamaan lalu tak lama kemudian, mereka juga asik untuk mengikuti kegiatan ceki, domino termasuk juga kegiatan tajen
Berpandangan terhadap hal tersebut, maka tidak berlebihan apabila tajen yang dilakukan di dalam areal pura penataran agung menghadirkan kesejahteraan dengan kaidah ekonomi bagi masyarakat di desa pakraman subagan. Didalam areal tajen sendiri terjadi perputaran uang yang cukup besar hal ini terkait dengan jumlah taruhan besar yang terdapat didalam permainan, kalaupun jumlah nominal taruhannya sedikit tetapi hal tersebut tetap saja menjadikan tajen sebagai tempat perputaran uang yang
13
penataran agung di desa pakraman subagan. Sesuai dengan konsep Tri Mandala, yang termasuk kedalam pembagian wilayah areal pura di bagi menjadi 3 wilayah yaitu Utama Mandala (Jeroan), Madya Mandala (Jaba Tengah), dan Nista Mandala (Jaba Sisi), sedangkan untuk konsep Dwi Mandala yang termasuk kedalam areal pura adalah Utama Mandala (Jeroan) dan Jabaan (Konsep penggabungan antara Madya Mandala dan Nista Mandala).
besar karena sedikit dikali banyak akan berjumlah cukup besar, harga-harga makanan yang dijual disana menjadi 2 kali lipat dibanding dengan harga biasanya. Pada kehidupan Mek Mentis yang merupakan pedagang di arealtajen, tajen dapat memberikan makna kesejahteraan ekonomi karena jika berjualan di tajen barang-barang yang dijualnya dapat laku walaupun dengan harga yang di lipat gandakan. Selain para pedagang keberadaan tajen juga memberikan manfaat kepada orang yang mencadi tukang cabut bulu di areal tajen
Konsep yang menjadi dasar bagi masyarakat untuk membangun pura telah diterapkan secara tepat namun masyarakat khususnya masyarakat di desa pekraman subagan keliru dalam hal memanfaatkan jaba sisi pura yang merupakan wilayah paling luar pura. Jaba sisi pura sejatinya memiliki fungsi untuk segala kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan misalnya menyiapkan sarana dan prasarana upacara, mejejaitan, dll. Kesalahan yang dilakukan masyarakat di desa subagan adalah menggunakan areal jabaan pura penataran agung sebagai tempat untuk melakukan tajen. Pada konsep kekeran dalam agama hindu menurut Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia mengenai kesucian pura nomor 11/kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempattempat suci memiliki radius kesucian yang disebut dengan daerah kekeran, dengan ukuran Apeneleg, Apenimpug dan Apenyengker.
Selain itu dalam keterangannya Cecayang bekerja sebagai tukang cabut bulu ayam di areal tajen, dia menjelaskan bahwa setiap kali dia mencabuti bulu ayam dia mendapatkan upah sebesar 15rb dan mendapatkan 1 potong paha ayam, Ceca juga menjelaskan mengenai sistem kerja dan pembagian upah, semua upah kerjanya dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu baik uang dan potongan paha ayam baru kemudian dibagi secara merata ke sesama tukang cabut bulu ayam. Khususnya masyarakat yang terlibat secara langsung dalam kegiatan tajen tersebut meski tidak banyak akan tetapi mereka dapat merasakan adanya pemasukan tambahan yang dapat mereka peroleh.
5. Simpulan Tajen yang merupakan budaya negatif di masyarakat Bali jika dilakukan di areal pura tentu saja dapat memberikan dampak yang negatif pada pura tersebut khususnya pura penataran agung di desa pakramansubagan dan juga pada kehidupan masyarakat secara luas. Pada aspek kesucian pura tajen dilakukan di dalam areal pura menyebabkan pura dapat mengalami desakralisasi karena tajen merupakan sesuatu yang bersifat profan. Masyarakat mencoba mengakali hukum dengan melakukan tajen di dalam pura dengan tujuan menggunakan tabuh rah sebagai tamengnya.
Karena pura penataran agung merupakan pura yang diusung oleh desa maka dalam hal radius kesucian pura, pura penataran agung menggunakan konsep apenyengker dalam menentukan radius kesucian puranya. Sesuai dengan konsep apenyengker berarti radius kesucian pura penataran agung telah ditetapkan seluas panyengker pura (Tembok pura), karena tajen merupakan budaya negatif masyarakat yang dapat mengganggu kesucian pura jika dilaksanakan di dalam areal pura sudah seharusnya tajen tidak dilakukan di areal pura walaupun itu dilakukan di areal jaba sisi pura karena jaba sisi pura termasuk kedalam radius kesucian pura karena jaba sisi atau jabaan pura penataran agung termasuk dalam wilayah apenyengker pura.
Desakralisasi dapat terjadi di areal pura jika masyarakat salah memberikan konsep mengenai areal pura. Konsep pura di Bali biasanya menggunakan konsep Tri Mandala namun ada juga pura yang menggunakan konsep Dwi Mandala termasuk pula di pura
14
Dari segi kesejahteraan walaupun tajen memberikan dampak negatif pada kehidupan perekonomian masyarakat karena merupakan perjudian, akan tetapi ada sebagian kecil masyarakat yang mengalami peningkatan kesejahteraan ekonomi karena mereka mendapatkan pemasukan tambahan. Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan jika tajen yang dilakukan di areal pura dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi atau penurunan nilai-nilai kesucian pura.
Tajen yang dilakukan di areal pura terkadang juga masyarakat kaitkan dengan kepercayaan bahwa Ida Betara Manik Angkeran atau Ida Betara Bagus Babotoh adalah dewa judi, sehingga perlu melakukan tajen di areal pura yang memiliki linggih Ida Betara Manik Angkeran. Persepsi masyarakat terhadap Ida Betara Manik Angkeran adalah dewa judi adalah salah karena tidak ada betara atau dewa yang suka mejudi. Jika dilihat dari kehidupan Manik Angkeran sebelum menjadi dewa memang beliau merupakan seorang yang suka metajen, akan tetapi setelah di hukum oleh Naga Basukih, beliau meninggalkan segala kebiasaan buruk tersebut hingga menemukan sifat-sifat kedewataannya.
6. DAFTAR PUSTAKA BUKU Anonim.1996.Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap AspekAspek Agama Hindu.Jakarta : Grayuna
Tajen adalah budaya negatif di masyarakat sehingga tajen baik yang dilakukan di areal pura maupun yang dilakukan diluar areal pura akan menimbulkan dampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Jika tajen dilakukan di areal pura sudah jelas tajen akan memberikan dampak pada kesucian pura, tajen juga akan menimbulkan dampak dari sisi kehidupan sosial masyarakat. Tajen dapat menciptakan suatu ruang publik karena pada tajen masyarakat dapat berinteraksi dengan masyarakat lainnya secara luas, dimana setiap individu bisa mendiskusikan isu-isu yang menjadi perhatian bersama, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan rasa solidaritas dan keharmonisan antar masyarakat.
Atmadja, Nengah Bawa., Atmadja, Anantawikrama Tungga., Ariyani, Luh Putu Sri.2015. Tajen di Bali Perspektif Homo Complexus. Denpasar: Pustaka Larasan Geertz, Clifford. 1980. Negara : The Theatre State in Nineteenth-Century Bali.Princeton University Press. Keniten, Ida Pedanda Putra Pidada.2005. Tinjauan Tabuh Rah & Judi. Surabaya : Paramitha Kamirudin.2011.Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile Durkheim).Riau : Universitas Islam Negeri Sulthan Syarif Kasim.
Secara susila dan etika di masyarakat tajen yang dilakukan di dalam areal pura akan memberikan dampak yang negatif bagi kesucian pura, karena ditemukan babotoh yang datang ke arena tajen dengan menggunakan celana serta ditemukan juga babotoh yang berkata-kata yang semestinya tidak diucapkan di dalam areal pura seperti mengumpat dan lain-lain.Pada sebagian kecil masyarakat tajen yang dilakukan di pura memberikan makna secara religius karena setidaknya ada motivasi bagi mereka yang suka metajen untuk sembahyang ke pura jika setelah seluruh rangkaian upacara selesai dilaksanakan mereka dapat langsung untuk metajen.
Mertha I Ketut.2010. Politik Kriminal : Dalam Penanggulangan Tajen (Sabung Ayam) di Bali : Udayana University Press
SKRIPSI Hidayat, Rahmatul.2011.”Sabung Ayam Tabuh Rah dan Judi Tajen Di Bali”(Skripsi).Jakarta. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Herdani, Anak Agung Istri Sri.2014. Tradisi Keburan Sebagai Legitimasi Adat Terhadap Sabung Ayam di Desa Adat Kelusa, Kecamatan Payangan,
15
Kabupaten Gianyar, Skripsi strata satu Universitas Undiksha Bali. Kairavani Vimala K.2013.Judi Versus Sarana Pemasukan Bagi Desa Adat Dan Masyarakat, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Udayana Winarta
I Ketut.2014.Tabuh Rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu(Studi Kasis Di Dusun Gubug Bali Kec Lembar, Lombok Barat), Jurnal ilmiah Fakltas Hukum Universitas Mataram
16