TESIS
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
NI NYOMAN TRI INDRAYANTI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 1
2
TESIS
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
NI NYOMAN TRI INDRAYANTI NIM. 1392461011
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
3
PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN TRI INDRAYANTI NIM. 1392461011
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 14 APRIL 2015
KOMISI PEMBIMBING
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS NIP. 19440929 197302 1 001
Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH NIP. 19601003 198503 1 003
MENGETAHUI :
Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum NIP. 19640402 198911 2 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
5 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 13 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1119/UN14.4/HK/2015 Tanggal : 10 April 2015
Ketua
:
Anggota
:
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS
1. Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH 2. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH., MS 3. Dr. I Ketut Wirawan, SH., M.Hum 4. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH
iv
6
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: NI NYOMAN TRI INDRAYANTI
NIM
: 1392461011
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 14 April 2015 Yang Membuat Pernyataan
(Ni Nyoman Tri Indrayanti)
v
7 UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)”. Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan informasi dan menambah khasanah pengetahuan dalam ranah hukum agraria terkait dengan jual beli tanah druwe pura. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari pembimbing dan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr . I Nyoman Sirtha, SH.,MS., Pembimbing Pertama dan Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH., Pembimbing Kedua yang telah memberikan dukungan, semangat, saran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD, Rektor Universitas Udayana beserta staff atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K), Direktur Program Pascasarjana vi
8 Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,Mhum, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas segenap perhatian, bimbingan dan petunjuk yang selama ini diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan berlangsung. Ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan berlangsung dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih juga penulis tujukan kepada orang tua tercinta Drs. I Wayan Windra dan Ni Wayan Siki, SH yang senantiasa mendoakan, mendukung dan memberikan semangat selama penulis menjalani masa perkuliahan dan selama proses tesis ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada suami tercinta I Gusti Ngurah Putu Alit Putra, SH atas dukungan dan motivasi yang diberikan dalam proses pengerjaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Komang Trianna, SH., Nirmala Sari, SH., Putu Elik Sulistyawati, SH., Anak Agung Istri Candra vii
9 Pramita, SH., I Gusti Ayu Aryastini, SP, SH., Samuel Cibro, SH., Junaedi Kariadi, SH., MH., serta seluruh teman-teman angkatan VI Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dan telah memberikan semangat dan dukungan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, 23 Februari 2015
Penulis
viii
10 ABSTRAK PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DRUWE PURA (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah pengakuan terhadap hak-hak atas tanah dari kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan hak ulayat. Berkaitan dengan eksistensi hukum adat dan hak masyarakat adat atas tanah di wilayahnya (hak ulayat), secara tegas telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Dengan adanya pengakuan terhadap hak atas tanah adat maka pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Kemudian dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah mempunyai implikasi bahwa Pura dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah. Kemudian atas kepemilikan itu maka Pura sebagai subyek hukum dapat saja mengalihkannya kepada pihak lain melalui mekanisme jual beli. Penelitian ini bersifat empiris dan mengacu pada pelaksanaan jual beli atas tanah druwe pura yang ada di Kabupaten Badung, proses, kendala serta akibat hukum yang ada. Data primer dari penelitian ini diperoleh melalui proses penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung kepada responden dan informan yang berkompeten. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekuder, dan tersier sesuai permasalahan yang dibahas. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan jual beli atas tanah druwe pura dapat saja dilakukan jika seluruh pengempon telah menyatakan persetujuannya, akan tetapi sebagaimana salah satu sifat dari tanah adat bahwa hak atas tanah adat tidak dapat dipindahtangankan, sehingga terdapat kesenjangan terhadap hal tersebut dewasa ini. Namun ada beberapa faktor-faktor penguat yang dapat menjadi alasan kuat bahwa pemindahtanganan tersebut sah secara hukum. Dalam penelitian ini diuraikan proses dan faktor-faktor yang melatarbelakangi dilaksanakan jual beli atas tanah druwe pura. Syarat-syarat lain ditentukan secara formil sehingga sah dan dapat dilaksanakan secara hukum perjanjian normal yang berlaku di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kata Kunci : Tanah Adat, Jual Beli, Druwe Pura
ix
11 ABSTRACT THE EXECUTION OF SELLING AND BUYING THE LAND OF DRUWE PURA (Case Study in Kelan Heritage Village, Tuban, Kuta District, Badung Region, Bali Province) One of the principles adopted in the Basic Agrarian Law is the recognition of land rights of indigenous people's unity called HAK ULAYAT (The rights of disposal). Related to the existence of customary law and indigenous peoples' rights to land in its territory (HAK ULAYAT/The rights of disposal), has expressly provided in Article 3 and Article 5 of the Basic Agrarian Law. Article 3 states that "the implementation of customary rights and similar rights from customary law communities that still exist should be such that in accordance with national and state interests are based on the nation unity and must not conflict with higher laws and regulations". By acquisitions of indigenous land rights, the government enacted Government Regulation No. 38 of 1963 on the appointment of Legal Firm that Can Have ownership Rights of Land. Then the issuance of the Decree of the Minister of Internal Affairs No. SK 556 / DJA / 1986 on the appointment of Temple as Religious Legal Firm to Have ownership Rights of Land has implications that the temple may have an ownership Rights of Land. Then from that ownership right means the temple as a legal firm able to transfer it over to the other party through the mechanism of buying and selling. This research is empirical and refers to the execution of the selling and buying of druwe pura (temples land) in Badung, the process, obstacles and existing legal consequences. Primary data from this study were obtained through field research process that is by doing direct interviews to respondents and informants who are competent. and Secondary data was collected through literature research on primary, secondary, and tertiary legal materials according to issues discussed. The collected data then qualitatively analized. The results showed that the implementation of the sale and purchase of land druwe pura could be done if all pengempon (temple leaders) has stated theirs approval, but as a conditions of customary land that indigenous land rights can not be transferred, there is a gap to it nowadays. However there are several factors that may be reinforcing a strong reason that the transference is legal under the law. This results described the process and the factors underlying the Selling and Buying of land held by druwe pura. One of the conditions of Selling and Buying of druwe pura land is there should be a substitute land associated with the transfer of rights. Other requirements formally appointed so legitimately and could be apply on normal agreement law that prevail in the National Land Departement (BPN). Keywords: Indigenous Lands, Buy & Sell, Druwe Pura
x
12 RINGKASAN
Tesis ini menganalisis tentang pelaksanaan jual beli tanah druwe pura (studi kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.)”. Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab yang dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I menguraikan mengenai latar belakang yang melandasi lahirnya penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang diteliti dalam tesis ini meliputi 2 (dua) hal yakni faktor-faktor yang melatarbelakangi penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan dan proses terjadinya jual beli tanah druwe pura. Disamping latar belakang dan rumusan masalah pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini, sumber-sumber bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik pengumpulan bahan hukum serta teknik pengolahan dan analisa bahan hukum. Bab II tentang tinjauan umum terkait dengan tanah druwe pura dan peralihan hak atas tanah melalui jual beli, yang merupakan pengembangan dan kajian teoritis pada bab I. Pembahasan pada bab ini dibedakan dalam 5 (lima) sub bab, yakni tinjauan umum tentang pura, tinjauan umum tentang tanah druwe pura, tinjauan umum tentang tanah druwe pura serta kaitannya dengan hak ulayat, tinjauan umum tentang peralihan hak atas tanah, dan tinjauan umum tentang pendaftaran tanah. Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas, dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan menjadi 3 (tiga) pembahasan yakni, tanah milik pura sebagai objek transaksi jual beli, faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya transaksi jual beli tanah druwe pura, serta kendala-kendala dalam transaksi jual beli tanah druwe pura. Bab IV sebagai bab tentang pembahasan rumusan masalah II dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan menjadi 3 (tiga) pembahasan yakni pihak yang mewakili pura dalam transaksi jual beli tanah pura, proses transaksi jual beli tanah druwe pura, dan bentuk transaksi jual beli tanah druwe pura. Bab V sebagai penutup dikemukakan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III dan bab IV. Adapun kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas yakni, beberapa faktor-faktor yang menjadi latar belakang dari penjualan tanah druwe pura di Desa Adat Kelan di antaranya, tanah druwe pura tersebut pernah menjadi objek sengketa, tanah tersebut menjadi lahan yang tidak produktif, serta untuk kepentingan pura yakni untuk pemugaran pura, biaya upacara setelah pemugaran pura dan untuk dana abadi. Proses penjualan tanah druwe pura harus dilaksanakan paruman/rapat desa xi
13 terlebih dahulu oleh pengempon Pura Dalem Sakenan Adat Kelan untuk memperoleh kata sepakat mengenai penjualan tanah druwe pura ini. Setelah ditemukan kata sepakat untuk penjualan maka dituangkan ke dalam suatu Berita Acara Rapat. Bendesa Adat sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu desa adat ditunjuk dengan surat kuasa substitusi untuk menjadi wakil dari Desa Adat Kelan untuk melaksanakan jual beli tanah druwe pura. Selain itu diperlukan surat rekomendasi penjualan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan Kabupaten/Kota, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), serta Walikota Denpasar. Selain kesimpulan juga dalam bab ini dikemukakan beberapa saran yang terkait, bagi pihak-pihak yang memberikan rekomendasi untuk penjualan tanah druwe pura hendaknya turut serta melaksanakan pengawasan pasca keluarnya rekomendasi penjualan. Bila perlu ada pembentukan tim dari pihak pemerintah, PHDI, maupun instansi terkait sehingga baik sebelum maupun sesudah pemberian rekomendasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan perlu dipertegas aturan mengenai penjualan tanah Pelaba Pura/Druwe Pura, utamanya penegasan tentang larangan sehingga fungsi pelestarian dapat terjaga. Masih banyak jalan agar tanah Pelaba Pura/Druwe Pura tidak dijual sehingga tidak hilang/beralih selamanya misalnya dengan menyewakan atau kerjasama atau memfungsikannya secara lebih ekonomis serta tetap mengandung unsur pelestarian dan berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Petunjuk Proses Penjusalan Pelaba Pura. Dalam hal ini disarankan agar ada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan walikota untuk dapat melakukan pengaturan mengenai penjualan tanah druwe pura ini.
xii
14
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ...................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
RINGKASAN ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................
12
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
12
1.3.1. Tujuan Umum ...............................................................
12
1.3.2. Tujuan Khusus ..............................................................
13
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................
13
1.4.1. Manfaat Teoritis............................................................
13
1.4.2. Manfaat Praktis .............................................................
13
1.5. Landasan Teoritis .....................................................................
14
1.6. Metode Penelitian .....................................................................
31
xiii
15 1.6.1. Jenis penelitian..............................................................
31
1.6.2. Sifat penelitian ..............................................................
32
1.6.3. Lokasi dan teknik penentuan lokasi penelitian .............
32
1.6.4. Data dan sumber data....................................................
33
1.6.5. Teknik pengumpulan data ............................................
36
1.6.6. Teknik Pengolahan dan analisis data ............................
37
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PURA, TANAH ADAT, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH .......................
39
2.1. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Pura, Tanah Adat, dan Tanah Druwe Pura Serta Kaitannya dengan Hak Ulayat .......
39
2.1.1. Pengertian Pura dan Jenis-Jenisnya ..............................
39
2.1.2. Pengertian Tanah Adat .................................................
44
2.1.3. Tanah Druwe Pura dalam Kaitannya Dengan Hak Ulayat ....................................................................
46
2.2. Peralihan Hak Atas T anah dan Pendafataran Hak Atas Tanah .......................................................................................
55
2.2.1 Pengertian peralihan hak (pemindahan hak) ...................
55
2.2.2 Jenis-jenis transaksi peralihan tanah ...............................
57
2.2.3 Syarat-syarat transaksi jual beli ......................................
62
2.2.4 Pengertian pendaftaran tanah ..........................................
67
2.2.5 Sistem pendaftaran tanah di Indonesia ............................
70
BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TRANSAKSI JUAL BELI TANAH DRUWE PURA ...................
74
3.1. Tanah Druwe Pura Sebagai Objek Transaksi Jual Beli ...........
74
3.2. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Adanya Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura ....................................................
90
3.3. Kendala-Kendala Dalam Jual Beli Tanah Druwe Pura ........... 102 xiv
16 BAB IV PROSES TERJADINYA JUAL BELI TANAH DRUWE PURA ............................................................................... 106 4.1. Pihak Yang Mewakili Pura Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura ................................................................... 106 4.2. Proses Jual Beli Tanah Druwe Pura ......................................... 113 4.3. Bentuk Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura ....................... 125
BAB V
PENUTUP ...................................................................................... 133 5.1. Kesimpulan ............................................................................... 133 5.2. Saran-saran ............................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 136 DAFTAR INFORMAN ................................................................................... 141
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Tanah merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada
bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengaturan tentang tanah yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan bangsa Indonesia dipandang sangat penting dan strategis, sehingga perlu dirumuskan secara lebih komprehensif. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memasuki babak baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, karena itu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menganggap perlu membuat ketentuan konstitusional dalam sektor agraria, yaitu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga dapat digunakan sebagai landasan hak penguasaan Negara atas tanah dan hak Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam (tanah).1 Pengaturan tentang bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (tanah) ada yang bersumber pada hukum adat dan ada yang bersumber dari hukum perdata barat. Hukum Agraria sebelumnya hampir seluruhnya terdiri atas
1
Husen Alting, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa Mendatang), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 4. 1
2 peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya melalui Agrarische Wet 1870. Sebelum tahun 1960, yakni sebelum berlakunya Undang-Undang No 5 tahun 1960, di Indonesia masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum adat dan hukum barat.2 Akibat dari dualisme hukum tersebut adalah ada dua macam hak atas tanah yaitu tanah adat dan tanah barat. “Tanah adat” atau bisa disebut dengan tanah Indonesia adalah tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. Hampir semua tanah-tanah adat tidak terdaftar seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah bengkok, tanah gogol, dan lain-lainnya, sedangkan di lain pihak tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa dapat dikatakan hampir semua terdaftar pada kantor pendaftaran tanah menurut overschrijvingssordonantie atau ordonansi balik nama (stb 1834, No 27). Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuanketentuan hukum agraria barat, misalnya cara memperolehnya, peralihannya, lenyapnya, pembebanannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang empunya hak itu.3 Pada akhirnya, unifikasi hukum agraria tercapai dengan diundangkannya Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (disingkat UUPA). Arti kata 2
Wantjik Saleh. K, 1982, Hak Atas Tanah, Cet. Ke-4, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 8. 3 M. Suasthawa. D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV. Kayumas Agung, Denpasar, hal. 22.
3 unifikasi adalah memberlakukan satu macam hukum tertentu kepada semua rakyat di Negara tertentu. Jika suatu hukum dinyatakan berlaku secara unifikasi maka, di Negara itu hanya berlaku satu macam hukum tertentu, dan tidak berlaku bermacam-macam hukum.4 Undang-undang Pokok Agraria ini ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 oleh Presiden Republik Indonesia pada saat itu, Soekarno, dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI No.104 Tahun 1960. Berlakunya UUPA membuat perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia. Perubahan fundamental itu dikarenakan berubahnya struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari dan isinya yang harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman. Sebelum UUPA berlaku, terdapat berbagai perangkat hukum agraria. Lahirnya UUPA mengakibatkan agraria kolonial dihapuskan secara total. Di samping itu UUPA bukan saja mengadakan perombakan secara struktural mengenai kedudukan hukum tanah di Indonesia, tetapi juga secara tidak langsung telah merombak sistem hukum adat.5 Hapusnya hukum agraria kolonial menjadi tonggak sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama ini menumpang di atas tanahnya sendiri. Dengan diundangkannya UUPA, maka 4
Muhammad Bakri, 2008, “Unifikasi Dalam Pluralisme Hukum Tanah di Indonesia (Rekonstruksi Konsep Unifikasi Dalam UUPA)”, Jurnal Hukum Kertha Patrika, Nomor 1, Januari 2008, hal. 2. 5 Adi Winata, S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Alumni, Cet. Ke-3, Bandung, hal. 10.
4 politik hukum agraria yang berlaku selama masa penjajahan dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum agraria nasional. Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merubah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional khususnya para petani. Selain itu, untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah. Dengan demikian pemanfaatan tanah seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang berkeadilan, karena kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia, sama sekali tidak dibenarkan untuk dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk hal-hal yang dapat merugikan masyarakat.6 Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah pengakuan terhadap hak-hak atas tanah dari kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan hak ulayat. Berkaitan dengan eksistensi hukum adat dan hak masyarakat adat atas tanah di wilayahnya (hak ulayat), secara tegas telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Pasal 3 menyatakan bahwa “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi”. Pasal 5 menyatakan bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas
6
A.A Oka Mahendra dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan Tinjauan dari Segi Yuridis dan Politis, Pustaka Manik Geni, Denpasar, hal. 3.
5 bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara dengan tetap mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Menurut Pasal 5 tersebut, hukum adat dijadikan dasar oleh hukum agrarian nasional dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, sosialisme Indonesia, peraturan perundang-undangan dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan hak ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu"
ialah
apa
yang
di
dalam
perpustakaan
hukum
adat
disebut
"beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Istilah masyarakat hukum adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda yakni rechtgemenschap. Berdasarkan ketentuan Pasal
1 ayat (3) Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dapat diketahui bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
6 hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. UndangUndang Pokok Agraria menggunakan istilah Hak Ulayat (wilayah) untuk menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum yang besangkutan. Itu artinya UUPA mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat. Masyarakat adat di masing-masing daerah memiliki nama yang berbedabeda, masyarakat adat di Bali disebut desa pakraman (dulu disebut: desa adat). Dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman disebutkan pengertian Desa Pakraman ialah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Menurut Ketut Wirta Griadhi, dikemukakan bahwa yang merupakan identitas desa adat di Bali adalah: 1. Adanya wilayah yang tertentu dengan batas-batas yang jelas dan mayoritas dari Krama Desa bertempat tinggal dalam wilayah tersebut 2. Adanya bangunan suci milik Desa baik dalam bentuk Kahyangan Tiga maupun Kahyangan Desa lainnya sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan YME), sebagai penguasa alam semesta oleh Krama Desa.7 Sebuah desa pakraman terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu), unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu), dan unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang 7
Ketut Wirta Griadhi, 1977, ”Sekitar Identifikasi Terhadap Desa Adat di Bali”, Kertha Patrika, Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD, Denpasar, hal. 35.
7 ayahan desa dan karang guna kaya). Masyarakat adat sebagai unsur pawongan mempunyai hak atas tanah di wilayahnya dan bisa menerapkan tanah tersebut baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya kedalam masyarakat berhak mengatur masing-masing anggotanya untuk melaksanakan hak sesuai dengan bagian-bagiannya masing-masing. Di samping daya laku hak ulayat yang ke luar dan ke dalam, hak ulayat juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya. b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan tersebut, tanpa izin itu dianggap melakukan pelanggaran. c. Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak ulayat dengan restriksi untuk keperluan somah, brayat atau keluarganya sendiri, jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat di wilayah hak ulayat dengan izin kepala persekutuan hukum disertai pembayaran upeti, mesi (recognitie, retributie), kepada persekutuan hukum. d. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayah terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang merupakan delik. e. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, diasingkan untuk selamanya. f. Hak ulayat meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.8 Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Kedudukan desa pakraman adalah daerah 8
Imam Hidayat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-2, Liberty, Yogyakarta, hal. 2-3.
8 yang diakui dan dihormati. Kedudukan ini didapat karena desa pakraman mempunyai susunan asli dengan memandang asal-usul (berdasarkan hukum adat), hal ini berkaitan dengan penguasaan tanah-tanah yang ada di dalam wilayah desa pakraman tersebut yang disebut dengan tanah adat. Ketentuan konversi dari UUPA dalam Pasal I ayat (1) Bagian Kedua UUPA mengatur tentang konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik dan Pasal II ayat (1) yang mengatur mengenai tanah-tanah adat yang ada di Bali dapat dikonversi menjadi hak milik. Ketentuan ini menyebabkan tanah-tanah adat yang dikuasai oleh perorangan dan ada pula yang dikuasai oleh persekutuan (dalam hal ini oleh desa adat). Tanah-tanah adat di Bali dibagi menjadi tanah druwe desa, tanah laba pura, tanah pekarangan desa, dan tanah ayahan desa. Tanah druwe desa yakni tanah yang dikuasai oleh desa adat yang didapat dengan cara membeli ataupun dengan cara yang lainnya, tanah ini berupa tanah pertanian yang akan digarap oleh krama desa, tanah laba pura atau tanah pelaba pura adalah tanah milik desa yang digunakan untuk keperluan pura, tanah pekarangan desa adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa untuk membangun rumah, tanah ayahan desa adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa, dan dengan kewajiban timbal balik memberikan ayahan kepada desa pakraman, tanah-tanah tersebut diatur dengan awig-awig desa sehingga orang-orang yang menguasainya dibebani kewajiban-kewajiban (ayahan tertentu oleh desa). Berdasarkan Pasal 19 UUPA, diadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia oleh pemerintah untuk menjamin kepastian hukum. Adapun ketentuan-
9 ketentuan atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konversi tanahtanah adat yakni pendaftaran tanah-tanah adat yang dikonversi diatur melalui Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang Pokok Agraria (ditambah dengan Peraturan Menteri Agaria No. 5 tahun 1960), Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah (ditambah dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK/26/DDA/1970). Mengacu pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, maka dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986 tersebut maka pura akhirnya diakui sebagai salah satu badan keagamaan yang berhak mempunyai hak milik atas tanah. Dalam hukum adat dikenal ada dua macam hak milik yaitu: 1. Hak milik terikat yaitu hak milik yang dibatasi oleh hak lain, misalnya milik komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama dari penduduk desa. Tanah milik bersama ini di Bali disebut Druwe desa, di Manado disebut Kintal Kalakeran, di Minangkabau disebut harta pusaka, di Jawa Barat disebut kasikepan, Anggota desa (persekutuan) yang ikut berhak atas tanah tersebut hanya mempunyai hak pakai atas tanah tersebut. 2. Hak milik bebas atau tidak terikat adalah hak milik dari perseorangan yang tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Misalnya sawah milik, sawah yasa, dan lain-lain.9
9
Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal. 91.
10 Dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK. 556/DJA/1986 pada bagian menimbang huruf c disebutkan bahwa tanah badan keagamaan yang dapat dimiliki hak milik terbatas pada tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan kegiatan keagamaaan. Menurut sifatnya tanah adat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan serta diasingkan untuk selamanya, namun kenyataannya ditemukan kasus tanah milik pura yang diperjualbelikan, seperti yang terjadi di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tanah milik pura Dalem Sakenan Kelan yang terletak di Banjar Gelogor Carik Desa Pemogan, Kota Denpasar telah dijual kepada pembeli, artinya hak kepemilikan dari tanah tersebut sudah beralih kepada pembeli untuk selamanya. Dengan demikian ada kesenjangan antara norma hukum adat dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan permasalahan yang penting untuk dikaji secara mendalam. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, menarik untuk diteliti dan diangkatsebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)”. Dalam penelitian ini, telah dibandingkan dengan beberapa tesis yang sebelumnya juga membahas tentang tanah laba pura. Adapun tesis yang mirip dengan penelitian ini yaitu: 1. Tesis dari I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, Program studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, dengan judul
11 Eksistensi Tanah-tanah Milik Pura Desa Pakraman di Kota Denpasar, rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu: a.
Bagaimanakah eksistensi dari tanah-tanah milik pura di Desa Pakraman di Kota Denpasar pada saat ini?
b.
Upaya-upaya apa yang dilakukan para pengurus dari desa pakraman untuk menjaga eksistensi tanah milik pura (tanah pelaba pura) ?
2.
Tesis dari Ni Nyoman Ayuni, Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2008, dengan judul “Penyelesaian sengketa Laba Pura Desa Pakraman di Bali“. Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu: a.
Siapakah yang bertindak mewakili pura sebagai Badan Hukum keagamaan apabila terjadi sengketa yang menyangkut laba pura?
b. 3.
Proses penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan laba pura?
Tesis dari Ayu Agung Susanti, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2013, dengan judul “Kedudukan Desa Pakraman dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah Druwe Desa dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, rumusan masalah yang terdapat dalam tesis ini yaitu: a. Apakah Desa Pakraman dapat memenuhi unsur sebagai subyek hukum dalam perjanjian sewa-menyewa tanah druwe desa? b. Bagaimanakah proses pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa tanah druwe desa?
12 Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Pelaksanaan Jual Beli Tanah Druwe Pura (Studi Kasus di Desa Adat Kelan,
Kelurahan
Tuban,
Kecamatan
Kuta,
Kabupaten
Badung)”
dan
permasalahan yang hendak diteliti dalam penelitian ini belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalitas dan keasliannya.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka
permasalahan yang dapat dirinci sebagai berikut: 1.
Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya transaksi jual beli tanah druwe pura?
2.
1.3
Bagaimanakah prosedur pelaksanaan transaksi jual beli tanah druwe pura?
Tujuan Penelitian Dalam setiap penelitian ilmiah, tentunya ada tujuan yang ingin dicapai
peneliti/penulis sehingga upaya untuk memberikan informasi publik itu tercapai secara baik. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah antara lain dibagi menjadi dua (2) yaitu: 1. Tujuan Umum. Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam rangka perkembangan hukum agraria di Indonesia.
13 Dalam hal ini yang menjadi obyek adalah pelaksanaan perjanjian jual-beli di atas tanah druwe pura. 2. Tujuan Khusus. Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang telah disebutkan di atas, juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yakni: a.
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya transaksi jual-beli tanah druwe pura.
b.
Untuk mengetahui dan menganalisis tentang prosedur pelaksanaan perjanjian jual-beli tanah druwe pura.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, khususnya tentang tanah druwe pura. Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni : 1.
Manfaat Teoritis. Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan tanah druwe pura yang berfungsi sosial dan ekonomis.
2.
Manfaat Praktis. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para praktisi mengenai prosedur yang harus dilakukan dalam transaksi jual
14 beli dengan obyek tanah druwe pura, serta dapat menjadi masukan pada Pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan hukum di bidang pertanahan selanjutnya.
1.5 Landasan Teoritis/Kerangka Konsep 1.5.1 Landasan Teoritis Dalam penulisan ini diperlukan landasan teori yang mendukung arah pemikiran menuju jawaban atas permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang mendukung rumusan masalah dalam penulisan ini adalah teori: a. Teori Conditio Sine Qua Non Teori conditio sine qua non, dicetuskan pertama kali oleh Von Buri pada tahun 1873, kemudian dikembangkan oleh Van Hamel.
10
Inti Teori yang
dikemukakan oleh Von Buri yakni “Semua faktor yang turut serta merta menyebabkan suatu akibat tidak dapat dihilangkan, rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu”. Teori ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang pertama yakni yang melatarbelakangi terjadinya jual beli tanah druwe pura pasti memiliki sebab-sebab yang melatarbelakanginya sehingga tanah druwe pura ini akhirnya diputuskan dijual oleh Desa Adat Kelan.
10
H. Salim, HS., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 140.
15 b. Teori Badan Hukum Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa revolusi industri. Istilah Teori Badan Hukum berasal dari terjemahan bahasa inggris disebut dengan The Intity Theory.11 Sementara itu dalam bahasa Belanda disebut dengan Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak.12 Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan abad ke-19. Menurut von Savigny bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Menurut von Savigny bahwa hanyaa manusia saja yang mempunyai kehendak, negara-negara, koorporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-olah badan itu manusia”.13 Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka badan hukum seolah-olah subjek hukum, tetapi wujud tidak riil itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan 11
Chidir Ali, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 29. Soedjono Dirjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 128. 13 H. Salim, H.S., op.cit., hal. 177. 12
16 sehingga yang melakukan perbuatan-perbuatan ialah manusia sebagai wakilwakilnya. Teori Badan Hukum terdiri atas beberapa pembagian antara lain : Teori Fiksi, Teori Konsesi, Teori Zweckvermogen, Teori Kekayaan Bersama, dan Teori Realis atau Organik. Diantara kelima pembagian Teori Badan Hukum yang dipaparkan di atas, teori yang dipergunakan adalah Teori Fiksi. Teori Fiksi berkaitan dengan proses jual beli pura sebagai badan hukum, pura tidak bisa melakukan penandatanganan akta dihadapan PPAT karena bukan manusia, yang bertindak disini adalah Bendesa Adat untuk melakukan perbuatan hukum mengatasmakan pura. Dengan kata lain von Savigny berpendapat bahwa badan hukum itu hanya suatu fiksi, tetapi orang menciptakan dalam bayangan suatu pelaku hukum (Badan Hukum) sebagai subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia.
c. Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa “sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”.14 Hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu : keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan,
kemanfaatan
untuk
kebahagiaan.
Suatu
kepastian
hukum
mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku
14
Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum : Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 123.
17 secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatankegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli. Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: 1.
hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundangundangan.
2.
hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan.
3.
fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.
4.
hukum positif tidak boleh mudah diubah. Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
18 Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati guna mencapai tertib hukum dalam masyarakat. Teori ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kedua tentang proses jual beli tanah druwe pura yang harus dilakukan di depan PPAT dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya oleh Desa Adat Kelan sebagai penjual tanah druwe pura untuk mengantisipasi jika ada permasalahan di kemudian hari. Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini dimaksudkan agar nantinya setiap perbuatan yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dapat menjamin kepastian hukum, dimana setiap produk yang dibuat dan dihasilkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dapat memberikan ketentraman bagi masyarakat.
d. Teori Perjanjian Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, mendefensikan perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat pembuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu: tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan, tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan
19 kehendak antara para pihak, dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.15 Sejak dulu manusia telah melakukan perbuatan hukum perjanjian, contohnya adalah dalam hal barter atau tukar menukar. Semakin lama proses perjanjian itu menjadi sangat luas dari yang semula hanya menyangkut hal-hal yang kecil, hal ini disebabkan antara lain karena kebutuhan manusia yang semakin meluas. Dalam hal ini adalah kebutuhan manusia tentang tanah, tanah adalah kebutuhan yang penting bagi manusia. Proses dari pembuatan perjanjian adalah “just a drafting the process of converting the underlying of the party or parties into a written document, construction is the process or derinving the true intention of the party or parties from the document”.16 Terjemahan bebas: membuat kontrak merupakan proses konversi niat yang mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi dokumen tertulis konstruksinya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak ke dokumen yang dibuat. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian yang ditimbulkan oleh hak kebendaan, karena adanya kesepakatan dari dua pihak atau lebihyang saling mengikatkan diri, dan ditujukan untuk menimbulkan, beralih, berubah atau berakhirnya hak kebendaan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak
15
H. Salim,H.S., op.cit., hal. 73. Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition, LexixNexis Butterworths, Australia, hal. 3. 16
20 milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Di samping itu dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan fidusia/hak tanggungan.17 Teori perjanjian ini digunakan untuk memecahkan rumusan masalah yang kedua yakni proses jual beli tanah druwe pura. Dalam proses jual beli tanah druwe pura juga ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut yaitu tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan dari penjual dan pembeli dilanjutkan dengan tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak mengenai harga dan waktu diadakannya jual beli, dan yang terakhir tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian, pada tahap ini penjual dan pembeli menandatangani akta jual beli yang berarti tanah druwe pura yang diperjualbelikan sudah sah menjadi milik pembeli.
1.5.2 Kerangka Konsep a. Konsep Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli 1. Jual beli tanah menurut hukum adat Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan suatu penyerahan barang (tanah) oleh penjual kepada pembeli yang sifatnya tunai, riil, dan terang dengan maksud untuk memindahkan hak milik atas benda (tanah) diantara kedua belah pihak. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa
17
Ibid., hal. 30.
21 dengan mengucapkan kata-kata saja belumlah terjadi jual beli.18 Terang artinya pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui tentang hukum dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Terjadinya peralihan hak atas tanah sebagai akibat dari jual beli tanah menurut hukum adat diawali dengan kata sepakat antara calon pembeli dan calon penjual mengenai obyek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan dengan musyawarah melalui mereka sendiri. Setelah penjual dan pembeli sepakat mengenai obyek yang akan dijual dan harganya maka biasanya akan diikuti dengan pemberian panjer. Panjer diartikan sebagai tanda jadi bahwa jual beli tersebut akan dilaksanakan. Jual beli tanah menurut hukum adat dikenal dengan istilah “Jual lepas”, dimana merupakan perbuatan pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya secara tunai. Dengan dilakukannya jual beli itu tanah yang bersangkutan berpindah tangan untuk selama-lamanya kepada pembelinya, artinya hak atas tanah yang dijual itu berpindah kepada pembelinya, yang dengan demikian menjadi pemegang hak yang baru.19 Haryanto T, dalam bukunya Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah memberikan pengertian tentang jual beli menurut hukum Adat yaitu:
18
Boedi Harsono, 1977, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa Ini, Djambatan, Banjarmasin, hal. 50. (selanjutnya disebut dengan Boedi Harsono III) 19 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993, Analisa dan Evaluasi Tentang Masalah Calo Dalam Jual Beli Tanah, Jakarta, hal.7
22 Jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pembeli menyerahkan harganya kepada penjual, pembayaran harganya dan penyerahan haknya dilakukan pada saat bersamaan meskipun pembayarannya baru sebagian.20 Dari pengertian tersebut di atas maka peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli menurut hukum adat terjadi untuk selama-lamanya oleh penjual kepada pembeli yang pada saat pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Hal ini berbeda dengan jual beli menurut hukum perdata barat bahwa jual beli dianggap telah apabila sudah dilakukan balik nama terhadap tanah tersebut dari nama penjual menjadi nama pembeli. Dalam hukum adat, jual beli tanah dimaksudkan ke dalam hukum benda, khususnya hukum perjanjian, hal ini dikarenakan: 1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan perjanjian, sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut. 2. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tersebut.21 Menurut hukum adat pembayaran harga jual beli baik seluruhnya maupun sebagian dari pembeli dilakukan dengan syarat terang dan tunai. Syarat terang berarti bahwa perjanjian jual beli tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh
20
Haryanto, 1981, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 6-7. 21 Adrian Sutedi, 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Keenam, Sinar Grafika, hal. 72. (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I)
23 umum. Syarat tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu pemindahan hak dari si penjual kepada si pembeli dan pembayaran harga baik sebagian maupun seluruhnya dari pembeli kepada penjual. Pembayaran harga jual beli bisa dibayarkan seluruhnya maupun sebagian.22 Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.23 Mengenai hal tersebut di atas, J Kartini Soedjindro mengemukakan apabila dilaksanakan perbuatan hukum jual beli tanah adat, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah: 1. Harus ada persetujuan dari ahli waris apabila hubungan ahli waris masih kuat, mungkin mereka akan membeli tanah itu untuk seterusnya, untuk satu musim atau untuk suatu waktu tertentu. 2. Hak tetangga (buren recht) dan hal sesama anggota suku/masyarakat hukum adat (naasting recht) harus diperhatikan juga. Apabila perbuatan hukum tersebut di atas akan diadakan, kecuali ahli waris, maka para tetangga yang tanahnya berbatasan harus diberi prioritas untuk membeli tanah yang akan dijual tersebut. Dan bilamana calon pembeli bukan anggota suku/masyarakat/desa, maka anggota suku/masyarakat/desa harus lebih dahulu diberi kesempatan untuk membeli tanah yang akan dijual itu. 3. Apabila ahli waris, tetangga, atau sesama anggota suku tidak ada yang mau membeli, maka ada kemungkinan bagi bukan anggota suku/masyarakat/desa untuk membeli tanah tersebut. Untuk ini diperlukan keputusan desa dan atas dasar itu, oleh kepala suku/masyarakat/desa yang bertindak keluar mewakili suku/masyarakat hukum/desa untuk memberikan izin kepada bukan anggota. Namun mereka harus membayar sewa bumi secara tetap dan memberikan uang saksi.24
22
Wantjik Saleh. K, 1985, Hak Atas Tanah, Cet. ke-5, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 35. 23 Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 20. 24 J.Kartini Soedjindro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, hal. 50.
24 Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara antara si pemilik tanah dengan calon pembeli tentunya sudah ada kata sepakat terlebih dahulu yaitu mengenai tanah hak milik yang akan dijual, berapa harga tanah yang akan dijual dan kapan jual beli itu akan dilaksanakan. Hal ini dilakukan melalui musyawarah mereka sendiri. Setelah pembeli dan penjual sepakat biasanya diikuti dengan pemberian panjer sebagai tanda jadi. Panjer atau persekot itu berupa sejumlah uang yang akan diterima oleh penjual. Pemberian panjer ini diartikan sebagai tanda jadi akan dilaksanakan jual beli atas tanah tersebut. Pemberian panjer ini menimbulkan hak ingkar, bila yang ingkar adalah pemberi panjer maka panjer otomatis akan menjadi milik dari penerima panjer, namun apabila yang ingkar adalah penerima panjer maka panjer tersebut harus dikembalikan sepenuhnya kepada pemberi panjer. Transaksi jual tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3 muatan, yakni : a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran uang tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya. Antara lain menggadai, menjual gade, adil sende, ngejual akad atau gade. b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya. Antara lain adol plas, runtemurun, menjual jaja. c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali (menjual tahunan, adol ayodan).25 2. Peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut UUPA Pasal 26 UUPA mengatur mengenai jual beli dan lain-lain perbuatan yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya. PP No. 10 tahun 1961 Pasal 19 yaitu “ setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak 25
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 74.
25 atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. PP No 10 tahun 1961 ini kemudian digantikan dengan PP No.24 Tahun 1997. Sejak berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukan jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadinya pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan perbuatan hukum pemindahan hak tersebut terjadi secara nyata atau riil. Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya adalah surat jual beli tersebut.26 Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada Kantor Pendaftaran Tanah untuk mendaftarkan pemindahan haknya (Pasal 40 PP No. 24 TAhun 1997). Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli Mahkamah Agung dalam putusannya No.1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa akta PPAT hanyalah
26
Adrian Sutedi, op.cit., hal.77.
26 suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah atau tidaknya suatu jual beli tanah.
3. Peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut KUHPerdata Sebelum jual beli dilaksanakan antara si pemilik tanah dengan calon pembeli tentunya sudah ada kata sepakat terlebih dahulu, seperti berapa harga tanah yang akan dijual dan kapan jual beli itu akan dilaksanakan. Kesepakatan ini menimbulkan adanya suatu perjanjian (yaitu perjanjian untuk mengadakan jual beli). Mengenai masalah jual beli menurut hukum perdata banyak pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1457, 1458, dan 1459 yang berbunyi Pasal 1457: “Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Pasal 1458: “Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.
27 Pasal 1459: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613, dan 616”. Dari ketentuan Pasal-Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli dianggap telah terjadi apabila sudah ada kata sepakat mengenai benda yang menjadi obyek jual beli dan harganya, meskipun benda itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHper). Akan tetapi walaupun jual beli sudah dianggap terjadi namun hak milik atas tanah tersebut belum beralih kepada pembeli sebelum dilakukan perbuatan hukum yang dikenal dengan penyerahan yuridis atau yuridis levering (Pasal 1459 KUHPer) dengan jalan melakukan balik nama (overschrijwings) terhadap tanah tersebut dari nama penjual menjadi nama pembeli. Berdasarkan tiga konsep jual beli menurut hukum adat, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dan KUHPerdata. Dalam penelitian ini lebih mengarah kepada konsep jual beli menurut Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 26 UUPA yang menyatakan bahwa jual beli diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jual beli diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah pada pasal 37 yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
28 b. Tanah Milik (Druwe) Pura Hak milik bangunan suci di Bali sebenarnya sudah ada sejak masa bali kuno hak ini diungkakan oleh I Gusti Ngurah Tara Wiguna bahwa masa kerajaan hak-hak atas tanah yang melekat pada bangunan suci, pada dasarnya timbul karena adanya suatu proses penetapan suatu daerah menjadi jataka/sima, untuk kepentingan bangunan suci tersebut. Dalam proses itu raja sebagai penguasa suatu kerajaan dan sebagai pemegang hak milik atas tanah, menghibahkan hak-hak tersebut kepada bangunan suci atas sebidang tanah dan/atau atas suatu kawasan tertentu. Dengan adanya proses tersebut, maka beralihlah hak-hak atas tanah itu dari hak milik dan penguasaan raja menjadi hak milik bangunan suci. Demikian pula status kepemilikannya dari milik raja menjadi milik bangunan suci.27 Berdasarkan bunyi pasal II ketentuan konversi dari Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa tanah adat yang ada di Bali dapat dikonversi menjadi hak milik asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 21 UUPA. Sebagai realiasi daripada Pasal 21 ayat (2) UUPA maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pada Pasal 1 berbunyi : a. Bank-Bank yang didirikan oleh Negara b. Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-undang No 79 tahun 1958 (L.N. 1958 No. 139). c. Badan-Badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan sosial 27
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar, hal. 150.
29 Dari ketentuan tersebut badan keagamaan akhirnya diakui menjadi salah satu badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah, namun dalam peraturan ini belum ada pengakuan bagi desa adat sebagai subjek hak milik atas tanah. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kepemilikan tanah di Bali. Atas dasar inilah maka Parisada Hindu Dharma Pusat mengusulkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Bali agar supaya Desa Adat dan Pura dapat ditetapkan sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah. 28 Pada tanggal 14 maret 1986 para pemimpin umat hindu dan instansi terkait serta dengan dukungan penuh DPRD Tingkat I Bali dikirim suatu delegasi kepada Direktur Jendral Agraria dengan membawa usulan agar pura ditunjuk sebagai badan hukum keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. 29 Akhirnya tanggal 24 September 1986 terbitlah Surat Keputusan Dalam Negeri No SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Dengan dikeluarkannya Surat keputusan mendagri ini maka Pura pada akhirnya diakui sebagai badan hukum keagamaan dan berhak subjek pemegang sertifikat hak milik atas tanah. Dengan dikeluarkannya SK Mendagri ini maka pura dapat mengkonversi tanah adat menjadi tanah milik pura. Dalam SK medagri tersebut ditetapkan sebagai berikut: Pertama : Menunjuk Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
28
M.Suasthawa D, op.cit., hal. 52. I Ketut Sudantra, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kerta Patrika (Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana), Denpasar, hal. 43. 29
30 Kedua : Menegaskan bahwa tanah-tanah palemahan yang merupakan kesatuan fungsi dengan Pura yang sudah dimiliki pada saat ditetapkannya Surat Keputusan ini dikonversi menjadi Hak Milik.30 Dengan ditunjukknya Pura sebagai salah satu badan hukum keagamaan yang dapat memiliki hak milik atas tanah maka pura dapat mengkonversi tanah adat menjadi tanah hak milik Pura. Tanah Pura yang digunakan untuk bangunan tegak pura dan tanah disekitar pura yang dipergunakan oleh krama desa untuk memenuhi kebutuhan pura dan kebutuhan sehari-harinya baik berupa ladang maupun sawah sudah bukan dinamakan tanah laba pura atau pelaba pura lagi, sekarang sudah menjadi satu menjadi Tanah Milik Pura. Demikian pula di dalam Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Agraria di dalam rangka realisasi Proda (Proyek Daerah Agraria), juga tetap atas nama Pura.31 Fungsi tanah druwe pura itu sendiri adalah untuk memastikan bahwa aktifitas keagamaan di pura berjalan dengan baik. Maka dari itu penting untuk memiliki harta kekayaan sendiri yakni berupa tanah. Tanah ini berfungsi untuk bangunan-bangunan pura (tegak pura) dan tanah tegalan atau persawahan untuk menopang aktifitas pura. Tanah di luar bangunan pura dinamakan dengan tanah laba pura.
1.5.3 Azas-Azas a.
Azas persetujuan bersama atau musyawarah mufakat. Azas ini muncul dalam setiap pengambilan keputusan penting atau
keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Seorang pemimpin yang 30 31
I Ketut Sudantra, op. cit., hal. 44. M. Suasthawa. D, op.cit., hal.41.
31 arief bijaksana, ketika membuat keputusan yang penting atau yang menyangkut hajat hidup orang banyak selalu dilakukan melalui musyawarah mufakat. Asas ini berkaitan dengan pokok permasalahan yang kedua, sebelum dilakukan perjanjian sewa menyewa antara pihak bendesa adat dengan pihak penyewa maka dilakukan musyawarah terlebih dahulu dalam hal ini diadakan Rapat antara bendesa dengan krama desa untuk mencapai mufakat mengenai isi perjanjian sewa. b. Azas Perwakilan Azas ini merupakan lanjutan dari azas persetujuan bersama atau musyawarah mufakat, dalam persetujuan bersama harus ada perwakilan dari tiap desa untuk melakukan rapat di Balai Desa. Kehadiran dipandang sebagai keterwakilan dari suatu kelompok, jika keputusan yang diambil atau dibuat dengan dihadiri oleh orang-orang yang diundang untuk itu maka hasil keputusan rapat memiliki nilai legalitas yang sangat tinggi.
1.6
Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum empiris karena penelitian ini beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan kenyataan atau kesenjangan antara teoritis dengan fakta hukum yang ada, yakni mengenai kesenjangan antara sifat tanah adat yang tidak dapat dipindahtangankan untuk selamanya dengan praktek yang terjadi yakni banyaknya jual beli tanah druwe pura.
32 1.6.2 Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang bertujuan untuk memberikan data yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini diberikan data yang berhubungan dengan permasalahan yaitu berhubungan dengan akta PPAT dalam hal jual beli yang mana obyek jual-belinya adalah sebidang tanah druwe pura.
1.6.3 Lokasi dan Teknik Penentuan Lokasi Penelitian Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Purposive Sampling, yaitu dengan penarikan sampel penelitian yang sudah ditentukan sendiri oleh peneliti dan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini ditetapkan lokasi penelitian dilakukan di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Penentuan lokasi penelitian ini ditentukan dengan pertimbangan bahwa di Desa Adat Kelan terdapat transaksi jual beli tanah druwe pura yang di empon oleh Desa Adat Kelan. Tanah druwe pura tersebut terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Adat Kelan dikarenakan setelah dilakukan penelitian ditempat ini ditemukan kasus jual beli tanah druwe pura. Kasus ini menarik di samping karena menurut sifatnya tanah adat, dalam hal ini tanah druwe pura tidak boleh diperjualbelikan, juga karena kasus yang terjadi di Desa Adat Kelan ini merupakan satu-satunya kasus jual beli tanah druwe pura yang ditemukan.
33 1.6.4 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian hukum empiris ini ada 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu dari informan, sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung
dari
sumber
pertamanya,
melainkan
data-data
yang
sudah
terdokumenkan dalam bentuk-bentuk bahan hukum. 1.
Data
a.
Data primer Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan yang berasal dari informan, Notaris/PPAT, pembeli dan penjual tanah druwe pura yang dijadikan obyek perjanjian jual beli.
b.
Data sekunder Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan (library research), pengumpulan berbagai data yang diperoleh dengan menggunakan literatur, majalah di bidang hukum. Data sekunder sekunder tersebut dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum, perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar maupun peraturan
34 perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
c.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
e.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
f.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No SK 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
g.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
h.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
35 i.
Awig-Awig Desa Adat Kelan Menurut Stephen Elias “The law found in primary sources can take many different forms. They include cases, statutes, administrative, local ordinances, state and federal constitutions, and more”.32 (“Hukum yang ditemukan dalam sumber-sumber primer dapat bermacam-macam bentuk. Termasuk di dalamnya kasus, undangundang, peraturan administrasi, adat-istiadat, konstitusi Negara, dan lain-lain”.)
2. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah bukubuku yang terkait dengan hukum agraria, metode penelitian hukum, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.33 3. Bahan-bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus lengkap Inggris-Indonesia dan Kamus Hukum. 2 . Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder
32
Stephen Elias, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free Legal Update at Nolo.com, USA, hal. 23. 33 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, hal. 141.
36 1.
Sumber Data Primer Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara dengan pihak terkait yakni dengan Bendesa Adat Kelan dan Notaris/PPAT Kota Denpasar.
2.
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berasal dari kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
1.6.5 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara (interview) dan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan teknik studi dokumen. 1. Wawancara (interview) Untuk mengumpulkan data lapangan digunakan teknik wawancara yaitu mendapatkan informasi langsung dengan cara bertanya langsung kepada narasumber yang telah ditentukan. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara
yang mengajukan pertanyaan
dan terwawancara
yang
memberikan pertanyaan itu.34 Jenis wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara terstruktur yakni teknik wawancara yang telah disusun terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan, teknik wawancara seperti akan memberikan informasi yang diinginkan. Pokok-pokok yang dijadikan dasar pertanyaan diatur secara terstruktur, hal ini didasari pendapat Nasution
34
Lexy J. Moleong, 2013, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 186.
37 yang menyatakan bahwa tujuan wawancara adalah untuk mengetahui tentang hal-hal yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain. 35 Dalam penulisan tesis ini dilakukan wawancara dengan beberapa informan antara lain Bendesa Adat Desa Adat Kelan, Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH., dan Pegawai/Staff Notaris/PPAT. 2.
Studi Kepustakaan, studi kepustakaan dapat dilakukan melalui penelitian kepustakaan atas bahan-bahan hukum dan dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data kepustakaan sebagai data sekunder diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, hasil penelitian, artikel, ataupun karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini. Dokumen yang dipergunakan dapat berupa dokumen resmi maupun dari hasil penelitian yang memiliki kesesuaian data dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.36
1.6.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, dalam hal ini data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri dari kata-kata dan bersifat monogamis atau berwujud kasus-kasus. Data-data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di analisis dengan pendekatan kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian kepustakaan dan analisis lapangan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang 35
Nasution. S, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Jakarta, hal 73. 36 Ibid., hal. 86.
38 tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.37 Data-data yang suda dikumpulkan baik melalui wawancara dengan Bendesa Adat, Notaris/PPAT, dan Pegawai Notaris beserta dokumen-dokumen yang didapat digabungkan dengan hasil penelitian kepustakaan kemudian dianalisis untuk mendapat kesimpulan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dikaji.
37
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANAH PURA, TANAH DRUWE PURA, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH
2.1
Tinjauan Umum Tentang Tanah Pura dan Tanah Druwe Pura Serta Kaitannya Dengan Hak Ulayat
2.1.1 Pengertian dan Jenis-Jenis Pura Pura merupakan tempat suci bagi agama Hindu, di pura inilah umat Hindu mengadakan persembahyangan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Terutama di Bali banyak sekali terdapat pura, sehingga Bali juga disebut dengan “Pulau Seribu Pura”. Istilah pura diartikan sebagai tempat suci untuk pemujaan Tuhan bagi masyarakat Hindu. Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung, Tuhan, para dewa, dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak gunung sehingga gunung dipandang sebagai tempat suci. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yang disebut triloka, yaitu alam bawah (bhur loka), alam tengah (bwah loka) dan alam atas (swah loka). Dalam diri manusia pandangan itu terwujud ke dalam konsep tri angga, yaitu kaki, badan dan kepala. Demikian pula dalam suatu bangunan suci candi misalnya, bagian-bagiannya terdiri atas dasar, badan dan atap candi. Palemahan (wilayah pura) terbagi atas 3 wilayah berdasarkan konsep nistamadya-utama. Menurut ajaran Hindu keadaan alam semesta ini adalah bertingkat, yaitu “alam atas” (swah loka) yang diberi sifat utama, “alam tengah” (bhuah loka)
39
40 yang diberi sifat madya, serta alam bawah (bhur loka) yang diberi sifat nista.38 Berdasarkan konsep ini maka wilayah pura terbagi dalam tiga wilayah (Tri Mandala) yang meliputi: 1) Utama Mandala adalah bagian teritorial yang merupakan tempat didirikan bangunan-bangunan suci (palinggih-palinggih). Areal ini dipisahkan dengan areal kedua (Madya Mandala). 2) Madya Mandala adalah bagian territorial pura dimana bagian ini terletak pada bagian depan pura (bagian depan areal utama mandala). Pada tempat ini didirikan bangunan-bangunan pelengkap yang menunjang kegiatan pura seperti dapur, bale gong, bale kulkul dan sebagai tempat tarian sakral dipentaskan. 3) Nista Mandala adalah territorial pura yang termasuk di dalamnya adalah tanah setra (pekuburan), tanah-tanah pelaba pura , tanah-tanah telanjakan pura serta tanah-tanah lainnya yang lokasinya di luar Madya Mandala.39 Konsep ini tercermin pula pada struktur tempat suci pura yang terdiri atas tiga halaman jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman tengah/ madhya) dan jeroan (halaman dalam/uttama). Bentuk tiga bagian dari pura adalah: 1.
Jaba Pura (halaman sisi), pada bagian ini terdapat bangunan-bangunan seperti Bale kulkul, bale wantilan, dapur dan lain sebagainya. Untuk mencapai tempat ini dapat dilalui melalui pintu masuk atau candi bentar.
2.
Jaba Tengah (halaman tengah), halaman tengah pada umumnya ditempatkan sedikit lebih tinggi dari halaman sisi dan dapat dicapai dengan melalui pintu masuk yang berbentuk candi bentar. Pada bagian ini ditempatkan bangunan seperti bale pegongan, bale penangkilan, dan lain sebagainya
38
I Made Suastawa Darmayuda dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, hal. 17. 39 Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, Inventarisasi Tanah-Tanah Laba Pura Provinsi Daerah Tingkat I Bali, hal. 4.
41 3.
Jeroan (halaman dalam), merupakan bagian halaman yang tersuci karena pada halaman ini terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk mencapai tempat ini melalui pintu masuk yang disebut dengan Kuri Agung atau Candi Kurung. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi dari halaman tengah sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura bertingkat-tingkat semakin tinggi. Pelinggih –pelinggih yang ada pada halam ini pada umumnya adalah Padmasana, Meru, Gedong, Pengaruman, dan lain-lain. Pura merupakan tempat sakral, suci, dan diagungkan oleh kalangan umat
Hindu. Pura di Bali adalah manifestasi dari keyakinan dan keimanan warga Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pura menunjuk pada pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya (Prabawanya) dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur).40 Disamping istilah pura, kadang-kadang dipakai pula istilah lain selain istilah pura seperti kahyangan atau parhyangan. Menurut buku hasil inventarisasi tanah-tanah laba pura yang dikeluarkan oleh Pemda Tingkat I Bali Direktorat Agraria disebutkan bahwa fungsi pura adalah sebagai berikut: a. Untuk memuja Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan segala prabawa-NYA (manifestasi-NYA). Dalam teologi Hindu Tuhan Yang Maha Esa dikenal memiliki banyak manifestasi, pancaran dari kemahakuasaan Beliau itulah dikenal dengan sebutan Dewa yang dipuja di masing-masing pura. b. Untuk memuja Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur). Dalam keyakinan umat Hindu roh leluhur yang telah melalui suatu proses tertentu di yakin akan dapat mencapai alam dewata. Kepada roh suci tersebut dipuja pada jenis-jenis tertentu.41 40 41
Ibid., hal.3. Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, loc.cit.
42 Jenis-jenis pura dari pengelompokkan penyungsungnya dapat dikelompokkan menjadi 2 yakni: a. Pura atau Kahyangan khusus yaitu tempat pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya bagi mereka berasal dari satu garis keturunan. Pura atau Kahyangan ini umum disebut Pura atau Kahyangan keluarga atau Kawitan dan yang ada di komplek Pura Besakih kelompok Pura atau Kahyangan ini lazim disebut “Pura Padharman”.42 Dengan demikian maka pura kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang discbut pura Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. Keluarga inti dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut sanggah gede atau pamarajan agung. b. Pura atau Kahyangan umum ialah tempat suci untuk memuja dan mengagungkan kebesaran “Sang Hyang Widhi Wasa” (Tuhan Yang Maha Esa) dengan berbagai prabhawa atau manifestasinya yang dapat 42
Ktut Soebandi, 1981, Pura Kawitan/Padharman dan Penyungsung Jagat, Guna Agung, Denpasar, hal. 65.
43 dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu “Pura atau Kahyangan Tiga Desa” adalah Pura atau Kahyangan penyungsungnya kesatuan masyarakat adat dan Pura atau “Kahyangan penyungsungnya Jagat”.43 Pura atau Kahyangan Tiga Desa adalah Pura yang disungsung oleh kesatuan masyarakat adat yang lazim disebut dengan “Desa Adat atau Desa Pakraman”. Pura Kahyangan Tiga merupakan tempat untu memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Tri Sakti yakni: 1. Pura Desa atau Bale Agung untuk Brahma sebagai pencipta 2. Pura puseh atau Panataran untuk Wisnu sebagai pemelihara 3. Pura Dalem (hulun setra) untuk Ciwa dalam prabhawa atau perwujudan (manifestasi)-nya sebagai Durga pamralina (pelebur), dan itu pulalah kiranya yang menyebabkan mengapa Pura Dalem selalu terletak dekat dengan setra (kuburan) sebagai simbul Pralina atau Pelebur.44 Pura atau Kahyangan Jagat ialah Pura atau Kahyangan Agung terutama yang ada pada delapan penjuru mata angin dan ditengahtengah pulau Bali yaitu diantaranya Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur, Pura Gowa Lawah, Pura Ulu Watu, Pura Pangelengan, dan Pura Besakih. Pura-Pura yang tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah pura-pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dari kerajaan yang pernah ada di Bali. Pada berbagai jenis pura ini ditempatkan benda-benda suci yang disakralkan dan diyakini mempunyai nilai magis. Yang dimaksud dengan bendabenda suci adalah benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara 43 44
Ibid., hal. 76. Ktut Soebandi, loc.cit.
44 menurut Agama Hindu, yang digunakan sebagai Stana (Pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan.
2.1.2 Pengertian Tanah Adat Tanah adat di Bali disebut dengan “Tanah Desa” atau “Tanah Druwe” yaitu tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa adat yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya. Ada dua hal yang menyebabkan tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat. Bila dilihat dari sifatnya tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan yang bagaimanapun keadaannya tetap memberikan keuntungan kepada pemiliknya. Bila dilihat dari faktanya, tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan kehidupan serta tempat bagi anggota persekutuan dikuburkan kelak ketika ia meninggal dunia. Tanah desa ini adalah dalam kekuasaan desa adat dengan hak mengatur, memelihara, dan menjaga agar tetap utuh. Berkaitan dengan kekuasaan ini Assip K. Flechtim menyatakan “social power is the sum total of all those capacities, relationship and processes by which compliance of others is secured for ends determined by the power holder”, yang artinya kekuasaan sosial adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan, dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan.45 Tanah-Tanah adat yang dimiliki oleh desa adat, memperlihatkan fungsinya dalam tiga bentuk yakni: 45
Flechteim Assip,K, 1952, Fundamentals of Political Science, Ronald Press Co, New York, hal. 16.
45 a. Tanah Adat berfungsi ekonomis Tanah-tanah adat khususnya yang berupa tanah-tanah pertanian digarap untuk mendapatkan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan kalau bisa tentunya untuk meningkatkan taraf perekonomian di kalangan warga masyarakat adat, dapatlah disimpulkan bahwa desa adat bertanggung jawab dalam menjamin kelangsungan hidup warganya. b. Tanah adat berfungsi sosial Fungsi sosial disini adalah tidak berbeda sebagai mana dimaksud oleh Pasal 6 UUPA. Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau badan hukum, tidak hanya digunakan secara pribadi namun juga bermanfaat untuk masyarakat. Fungsi sosial ini misalnya dapat dilihat pada penyediaan tanah milik desa untuk dipakai sekolah, puskesmas, lapangan dan sebagainya oleh pemerintah. c. Tanah adat berfungsi keagamaan Tanah adat juga berfungsi keagamaan, hal ini dapat diamati dari beban kewajiban “ngayahang” yang menyertai bagi barang siapa yang mengusahakan tanah-tanah adat, semua beban ini merupakan imbalan atas tanah yang diberikan Krama desa oleh Persekutuan Desa adat.46 Hak-hak atas tanah ditentukan oleh status dan fungsi tanah adat, yaitu tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat, tunduk kepada peraturan atau ketentuan-ketentuan hukum adat, penggunaannya diatur oleh persekutuan hukum
46
M. Suasthawa. D, op.cit., hal. 57.
46 adat. Berdasarkan status dan fungsinya, maka tanah adat dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Tanah pekarangan desa yaitu tanah yang diperuntukkan untuk membangun rumah tempat tinggal bagi para warga desa 2. Tanah ayahan desa yaitu berupa tanah pertanian (tanah basah/tanah kering) yang dibagi-bagikan kepada anggota/warga desa 3. Tanah laba pura juga merupakan tanah pertanian yang terikat oleh satu pura atau lebih dan hasilnya dipergunakan untuk pemeliharaan pura. 4. Tanah druwe desa yaitu tanah yang dipergunakan untuk kepentingan desa secara bersama-sama seperti untuk kuburan, tanah lapang, balai desa dan sebagainya.
2.1.3 Tanah Druwe Pura Dalam Kaitannya Dengan Hak Ulayat Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 hak ulayat telah diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 3 yaitu: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 hanya menyatakan dengan tegas pengakuan adanya hak ulayat dan hak serupa itu dari masyarakat hukum adat akan tetapi disertai dengan pembatasan-pembatasan baik mengenai eksistensi maupun pelaksanaanya, maksudnya adalah:
47 a. Mengenai eksistensinya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataanya masih ada, di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi tidak akan dihidupkan kembali, daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayat tidak akan dilahirkan ulayat baru. b. Mengenai pelaksanaannya hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan lainnya yang lebih tinggi.47 Secara konseptual, hak ulayat hanya dimiliki oleh masyarakat yang berklen (clan), dan masyarakat berklen tersebut berasal dari masyarakat yang bersistem kekerabatan unilateral (sistem gabungan antara sistem matrilineal dengan sistem patrilineal). Selain itu hak ulayat juga diartikan sebagai tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok atau masyarakat hukum adat. Sekiranya sangatlah perlu ditetapkan kriteria yang harus dipenuhi untuk mengetahui eksistensi (ada tidaknya hak ulayat) di suatu wilayah (daerah). Kriteria tersebut mencakup tiga hal yaitu: a. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai subyek hak ulayat b. adanya tanah (wilayah) dengan batas-batas tertentu sebagai lebensuarum yang merupakan obyek hak ulayat c. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakantindakan tertentu.48
47
Boedi Harsono, 1970, UUPA Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Banjarmasin, hal. 160. (selanjutnya disebut Budi Harsono I) 48 I Gst Nym Agung, 1986, “Sistem Penguasaan Tanah Druwe Desa dan Kaitannya Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Kecamatan Tejakula, Kab. Daerah Tingkat II Buleleng”, Kertha Patrika, No. 65 Tahun XX, Feb-Juli, 1986, hal. 46.
48 Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa weweang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam dan ke luar. Boedi Harsono mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya sebagai pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.49 Hak masyarakat hukum yang berupa kewenangan desa untuk mengatur tata guna lahan di lingkungan desa telah ada pada masa bali kuna. Hak atas tanah semacam ini dalam hukum adat bali disebut dengan hak prabumian. Hanya saja konstutusinya dalam hal-hal tertentu mungkin berbeda, tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Sampai saat ini, tanah-tanah yang tunduk pada hak pribumi disebut dengan tanah druwe desa dan keberadaannya masih diakui oleh UUPA. Menurut Van Vollenhoven hak ulayat adalah suatu hak yang sudah sangat tua meliputi seluruh Indonesia yang asal muasal bersifat keagamaan. Hak ini dimiliki oleh suatu suku (stam), atau oleh sebuah gabungan desa (dropsbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja, tetapi tidak pernah dipunyai oleh suatu orang individu. Hak ulayat merupakan hak yang dimiliki oleh desa adat, desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan 49
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia ; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hal. 186. (selanjutnya disebut Boedi Harsono II)
49 masyarakat setempat. Menurut Van Vollenhoven tanah komunal itu bukan milik desa, tetapi dikuasai oleh desa, sedangkan tiap pemakaian bagian tanah komunal (gogol) sebagai individu harus tunduk kepada penguasa desa.50 Hubungan kehidupan antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain di satu pihak, dan tanah dilain pihak, dalam tradisi suku bangsa Indonesia dikenal dengan hubungan yang serba berpasangan. Teer Haar menyebutnya dengan istilah participerend denken dan dalam hukum adat asli suku bangsa, hubungan semacam ini memunculkan hubungan pertalian hukum, Ter Haar menyebutnya dengan istilah rechats betrekking.51 Substansi hubungan tersebut, dinyatakan dalam beberapa prinsip sebagai cerminan kehidupan, sebagai berikut: 1. Tanah tempat mereka berdiam 2. Tanah yang member mereka makan 3. Tanah tempat mereka dimakamkan 4. Tanah tempat kediaman mahluk halus sebagai pelindung mereka beserta arwah leluhurnya 5. Tanah tempat meresap daya-daya hidup. Prinsip-prinsip tersebut di atas telah menjadi budaya yang berakar dalam kehidupan masyarakat adat.
50
Sarkawi, 2014, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat, Graha Ilmu, Yogyakarta, Cet. pertama, hal. 13. 51 Boedi Harsono, op. cit., hal. 164-165.
50 Lingkungan ulayat di masing-masing wilayah memiliki istilah yang berbeda-beda. Sehubungan dengan hak ulayat, Ter Haar menguraikan sebagai berikut: Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik keluar maupun kedalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan sebagai satu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya kedalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya sesuai dengan bagiannya, dengan cara membatasi peruntukkan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dan hak menikmatinya secara pribadi untuk kepentingan masyarakat secara langsung.52 Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas tanah, antara lain yaitu: 1. Hak persekutuan yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati dan diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuankan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht. 2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahai, oleh seorang anggota dari persekutuan tertentu. Menurut Surojo Wignyodipuro, ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat yaitu: a) Karena sifatnya Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan-keadaan yang berbagai manapun juga toh masih 52
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 193-194.
51 bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan menjadi lebih menguntungkan. Contohnya : Sebidang tanah itu dibakar di atasnya, dijatuhkan bom bom misalnya ; tanah tersebut tidak akan lenyap, setelah api padam tanah tersebut akan muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Kalau dilanda banjir misalnya, malahan setelah airnya surut muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula. b) Karena faktanya: Yaitu merupakan suatu kenyataan, bahwa tanah itu - Merupakan tempa tinggal persekutuan - Memberi penghidupan kepada persekutuan - Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan - Merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh-roh para leluhur persekutuan.53 Hak Persekutuan atas tanah disebut dengan hak ulayat. Persekutuan merupakan suatu komunitas tertentu. Dalam hukum adat persekutuan diartikan sebagai masyarakat hukum adat. Subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat hukum adat itu sendiri. Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang bersatu karena terikat dengan kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kewibawaan dan kekuasaan dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri.54 Di dalam UUPA hak ulayat diakui. Pengakuan hak ulayat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 3 yaitu: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
53
M. Suasthawa D, op. cit., hal. 13. Dominikus Rato, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia), Laksbang Pressindo, Surabaya, hal. 82. 54
52 Berdasarkan pengertian hak ulayat di atas, dapat dipahami bahwa hak ulayat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. merupakan hak komunal dari suatu komunitas masyarakat hukum adat 2. merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk tanah 3. hak tersebut memiliki wilayah (yurisdiksi) di tempat hidup para warga masyarakatnya 4. hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun masyarakat pada umumnya (berlaku ke dalam dan ke luar) 5. terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah 6. mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayah dimana sumber daya alam berada, dan 7. memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan atas pemanfaatan tanah ulayat.55 Hubungan hukum hak ulayat antara tanah dengan masyarakat hukum adat dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni hubungan hukum secara internal dan secara eksternal. Boedi Harsono menggunakan istilah berlaku ke dalam dan ke luar. Hubungan hukum hak ulayat secara internal yaitu masyarakat diberikan wewenang untuk membuka, menguasai, dan memiliki tanah dengan tujuan untuk memanfaatkan tanah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya dengan asas itikad baik. Pemanfaatan tanah hak ulayat biasanya digunakan untuk kebun, ladang, sawah, perumahan, dan sebagainya. Hubungan hukum hak ulayat secara eksternal dimaksudkan selain warga masyarakat hukum adat yang dapat memanfaatkan tanah yang ada dalam wilayah hukumnya, juga dapat diberikan kepada orang lain yang berada di luar masyarakat hukum adat yang bersangkutan jika diijinkan oleh kepala adat setempat.
55
Husen Alting, op.cit., hal. 54.
53 Berpijak pada ciri-ciri hak ulayat, maka hak ulayat merupakan hak kepemilikan bersama (kolektif) atas wilayah sebidang tanah yang digunakan masyarakat secara terus menerus sebagai tempat mencari nafkah hidup. Agar pemanfaatannya tidak menimbulkan konflik dikemudian hari, maka pegurusannya diserahkan
kepada
ketua
adat
untuk
mengatur
pemanfaatannya
demi
keberlangsungan tanah adat itu sendiri. Hak pengawasan dan pemilikan tanah pada masyarakat hukum adat di Bali dimiliki oleh masyarakat desa adat. Mengingat bahwa tanah pura adalah bagian dari tanah adat (hasil konversi tanah adat) maka sifat penguasaan tanah pura ini mengacu pada sifat-sifat hak ulayat. Hal ini sesuai dengan pandangan Naim yang menyatakan bahwa garis pemisah bagaimanapun haruslah ditarik disini antara hak perseorangan (badan hukum) dan hak kaum, marga, ulayat, dan sebagainya yang selama ini diatur oleh hukum adat. Tidak seorangpun yang bisa mengaku bahwa tanah itu milik pribadinya walaupun yang bersangkutan telah memanfaatkan bagi kelangsungan hidupnya.56 Pendapat di atas menunjukkan bahwa meskipun tanah tersebut telah dikonversi menjadi tanah pura, namun tidak membuat sifat-sifat hak ulayat yang melekat padanya menjadi hilang berbeda dengan sifat tanah adat yang dikonversi menjadi milik perseorangan. Dengan demikian tanah pura tetaplah milik dari seluruh krama desa pengempon pura. Pemberian status hak milik pada pura adalah untuk mencegah beralihnya tanah adat ini ke kelompok tertentu yang ingin
56
Mochtar Naim, 1978, Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, hal. 67.
54 menguasai tanah tersebut. Tanah milik pura ini diprioritaskan untuk menunjang kegiatan keagamaan di pura. Tanah adat bukan hanya diperuntukkan untuk kebutuhan suatu generasi tetapi sebagai unsur pendukung utama dalam kehidupan dan penghidupan generasi saat ini tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung penghidupan dari generasi ke generasi selanjutnya. Dengan demikian hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut disamping mengandung hak kepunyaan bersama para warganya termasuk juga mempunyai kewajiban untuk mengelola, mengatur penguasaan, pemeliharaaan, peruntukkan penggunaannya dalam bidang hukum publik. Koentjaraningrat menyatakan bahwa di Bali tanah dibawah hak ulayat desa adalah tanah yang ada di bawah pengawasan desa, atau secara konkret di bawah pengawasan pimpinan desa. Tanah semacam ini bisa diberikan kepada pamong desa atau lain-lain pejabat desa, juga kepada warga desa yang membutuhkan tanah itu. Dalam hal itu pamong dan pejabat-pejabat desa harus mengembalikan tanah itu kepada desa bila mereka berhenti, sedangkan desa berhak mencabut kembali tanah yang diberikan kepada warga desa bila perlu.57 Hak atas druwe adalah istilah hak milik yang dikenal di lingkungan hukum adat di Bali. 58 Hak milik atas tanah adalah hak yang dimiliki setiap aggota ulayat untuk bertindak atas kekuasaannya atas tanah ataupun isi dari lingkungan atau wilayah ulayat. Dalam
57
Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. Ke7, Djambatan, Jakarta, hal. 263. 58 Mr.B.Ter Haar Bzn, 1999, diterjemahkan oleh K.Ng Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Cet. Ke-21, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 68.
55 hukum adat hak milik tidaklah sebebas-bebasnya tetapi hak milik ini tetap memiliki fungsi sosial. Pendapat di atas menunjukkan bahwa tanah pura merupakan hak komunal masyarakat hukum adat, meskipun tanah adat telah dikonversi menjadi tanah pura tidak menyebabkan sifat-sifat dari hak ulayat dari tanah adat tersebut hilang, karena tanah pura merupakan hasil konversi dari tanah adat sehingga sifat-sifat hak ulayat tetap melekat pada tanah pura. Dengan demikian tanah pura tetap merupakan hak komunal. Pemberian status tanah pura ini salah satunya bertujuan untuk mencegah beralihnya tanah adat ini kepada perseorangan karena bagaimanapun masyarakat hukum adat memiliki hak yang lebih besar terhadap tanah yang berada dalam wilayah desa adat tesebut. Tanah Labha-labha pura tersebut sama-sama merupakan “milik” desa adat.59
2.2 Peralihan dan Pendaftaran Hak Atas Tanah 2.2.1 Pengertian Peralihan Hak (pemindahan hak) Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak). Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum yaitu pemindahan hak. Peralihan hak karena pewarisan tanpa wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka haknya itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya, sedangkan perbuatan hukum pemindahan hak adalah
59
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op.cit., hal. 97.
56 peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja agar hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi hak pihak lain. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dinyatakan bahwa hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan. Dua bentuk peralihan hak atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Beralih Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Peralihan hak atas tanah ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subyek), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah tersebut. Dalam hal ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) hak atas tanah. b. Dialihkan/pemindahan hak Berpindahnya hak atas tanah dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, pemberian dengan wasiat, lelang. Dalam peralihan hak di sini, pihak yang mengalihkan/memindahkan hak harus berhak dan berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.60 Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Terjadinya Peralihan hak akan melahirkan suatu produk hukum yakni akta peralihan hak. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 94 ayat (1) dan (2) huruf a, b, c, dan e, disebutkan 60
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Predana Media, Jakarta, hal. 301.
57 bahwa akta peralihan hak adalah perubahan data yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, peralihan hak karena warisan, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi dan peralihan hak tanggungan.61 Perbuatan-perbuatan hukum seperti Jual Beli, Hibah, Pemasukan dalam perusahaan atau inbreng, dan Hibah wasiat adalah merupakan bentuk dari pemindahan hak. Perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup, dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai atau langsung. Kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. 2.2.2 Jenis -Jenis Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah Transaksi tanah dalam hukum adat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu: 1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak 2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak62 Transaksi tanah yang bersifat perbuatan sepihak yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula, misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian hadiah. Melekatnya hak-hak atas tanah pada masyarakat hukum menimbulkan hak ulayat, 61
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 43. Dewi Wulansari, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Cet. Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 89. 62
58 sedangkan melekatnya hak-hak atas tanah pada perorangan menimbulkan hak-hak perorangan atas tanah. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (timbal balik), misalnya membuat perjanjian sewa-menyewa dan penyerahan sebidang tanah dengan disertai dengan pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pemilik tanah. Perbuatan hukum ini dalam hukum adat disebut dengan “transaksi jual”. Transaksi ini dapat berupa jual-beli (jual lepas, jual gadai, jual tahunan, hibah/pemberian/anugrah,
pewarisan
dan
pertukaran.
Transaksi
jual
ini
mengakibatkan perpindahan hak-hak atas tanah, yang bersifat terang dan tunai. Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu sebagai berikut: 1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati). 2 Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah, di Riau disebut “menjual lepas”. 3 Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan perjanjian bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula yang dalam bahasa Jawa disebut “menjual tahunan, adok ayodan.63 Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat dijelaskan lebih dalam lagi sebagai berikut: 1. Menjual Gadai 63
Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, hal. 207.
59 Menjual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara sementara atas tanah kepada pihak lain. Sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan diterimanya tanah itu oleh penerima gadai, maka penerima gadai berhak: a.
Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik
b.
Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali tanah tesebut kepada pihak lain jika memerlukan uang
c.
Mengadakan perjanjian paruh/bagi hasil
Dalam hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah serta memungut hasil dari tanah tersebut, tetapi dalam transaksi demikian biasanya disertai pula dengan tambahan perjanjian jika tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan maka tanah tersebut menjadi milik yang membeli gadai dan tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan penerima gadai. Pada umumnya tanah dikembalikan keadaan seperti semula seperti waktu tanah itu diserahkan. Transaksi-transaksi seperti ini kejadiannya terdapat di seluruh Indonesia. Dalam Pasal 16 ayat (1) poin h dan Pasal 53 ayat (1) UndangUndang No. 5 Tahun 1960 ditetapkan bahwa hak gadai bersifat sementara yang suatu waktu harus dihapuskan. Lebih lanjut Pasal 9 PERPU No. 56 Tahun 1960 menyebutkan bahwa transaksi jual gadai diadakan oleh pemilik tanah hanya bila ia dalam keadaan yang terdesak, apabila tidak terdesak menyewakan tanah lebih
60 disarankan daripada menjual gadai tanah karena dalam jual gadai tanah terdapat imbangan yang lebih merugikan penjual gadai. 2. Menjual lepas Jual lepas indikasi adanya transaksi ini, yaitu adanya istilah-istilah Winli berasal dari kata bli berarti “dibeli” atau umli yang berarti membeli dan dinwal berasal dari kata dwal/dol yang berarti menjual, dalam beberapa prasasti. Jual lepas merupakan proses pemindahan hak untuk selama-lamanya hak atas tanah secara terang dan tunai. Dalam hal ini semua ikatan bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali dan yang membeli berhak sepenuhnya untuk memperoleh hak milik atas tanah tersebut. Biasanya dalam jual lepas calon pembeli memberikan panjer kepada penjual untuk memberikan kepastian bagi calon penjual bahwa calon pembeli akan membeli tanahnya. Dalam hal ini yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya, sedangkan pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan agar transaksi tanah ini sah. Perjanjian jual lepas tanah sekaligus selesai dengan tercapainya persetujuan/persesuaian kehendak (consensus) diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual beli di hadapan kepala persekutuan hukum yang kompeten, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. 64 Perbuatan jual lepas adalah perbuatan tunai yang riil dan konkrit artinya nyata dan jelas dapat ditangkap oleh panca indra penyerahan benda dan pembayaran harganya, walaupun belum lunas semua pembayarannya. 64
hal. 33.
Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,
61 Biasanya dalam jual lepas ada pemberian panjer oleh pembeli kepada penjual. Adapun fungsi panjer itu sendiri dalam jual beli lepas yaitu: 1. Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan kewajiban. Ada kalanya janji lisan yang diikuti dengan pemberian sesuatu (uang/benda) dapat menimbulkan suatu kewajiban, dalam hal ini ikatan moral untuk berbuat sesuatu, misalnya untuk menjual atau membeli 2. Tanpa panjer, orang tidak meraa terikat. Sebaliknya dengan panjer orang merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan apa yang terdapat dalam janji tadi 3. Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian panjer. Setelah tidak digunakanya hak ingkar oleh para pihak baru dapat dilaksanakan.65 Dalam transaksi jual lepas agar transaksi tanah menjadi sah artinya agar perbuatan hukum mendapatkan perlindungan hukum maka pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan. Hal ini wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi terang, dan atas bantuan kepala persekutuan lazimnya ia menerima uang saksi. Apabila transaksi ini dilakukan di luar pengetahuan kepala persekutuan maka transaksi tersebut tidak diakui oleh hukum adat. 3. Menjual tahunan Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subyek hukum lain, dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu berakhir maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya pada pemilik tanah tanpa melakukan perbuatan hukum tertentu. Jual tahunan ini merupakan satu bentuk menyewakan tanah. Kewenangan yang diperoleh si pembeli tahunan adalah mengelola tanah tersebut seperti menanami dan memetik hasilnya dan dapat 65
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 74.
62 berbuat seperti tanahnya sendiri sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan. Transaksi seperti ini tidak begitu dikenal di luar Jawa.
2.2.3 Syarat-Syarat Transaksi Jual beli Syarat jual beli tanah ada dua yaitu syarat materiil dan syarat formil 1. Syarat materiil Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut yakni antara lain sebagai berikut: a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan Pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat-syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang dapat memiliki hak atas tanah adalah Warga Negara Indonesia dan Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing disamping kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah, maka jualbeli itu batal karena hukum dan tanah jatuh pada Negara (Pasal 26 ayat 2 UUPA). Kalau obyek yang akan dibelinya adalah tanah hak milik, maka pihak yang dapat membelinya adalah perseorangan warga Negara Indonesia, bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial. Kalau obyek jual belinya adalah tanah hak guna bangunan maka pihak yang dapat membeli adalah perseorangan warga Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Begitu pula dengan hak guna bangunan memiliki syarat pembeli yang sama dengan hak guna usaha. Apabila tanah yang akan dibeli adalah hak pakai maka yang berhak untuk membeli tanah adalah perseorangan
63 warga Negara Indonesia, perseorangan warga Negara asing, badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Pembeli sebelum membeli tanah sebaiknya memeriksa terlebih dahulu mengenai kepemilikan sertifikat tanah itu. Lalu melihat langsung ke lokasi tanah yang akan dibeli, dan melakukan pengecekan ke kantor pertanahan tentang status tanahanya. Perolehan informasi sebanyak-banyaknya merupakan tindakan kehatia-hatian pembeli yang sebaiknya dilakukan. b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan Yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut dengan pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.66 Syarat penjual yang berhak menjual hak miliknya antara lain sebagai berikut: a. Yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau selain sertifikat b. Seseorang berwenang untuk menjual tanahnya apabila sudah dewasa c. Kalau penjual belum dewasa, maka dapat diwakilkan oleh walinya d. Kalau penjualnya dalam pengampuan, maka dia diwakilkan oleh pengampunya 66
Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.2.
64 e. Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notariil Untuk dapat bertindak sebagai penjual harus dipenuhi syarat tertentu, yakni usia harus dewasa menurut undang-undang, artinya cakap untuk melakukan perbuatan hukum jual beli tanah, misalnya: a. Anak berumur 12 tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun ia yang berhak atas tanah itu. Jual beli terlaksana kalau yang bertindak adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua. b. Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah itu adalah harta bersama dengan suaminya, maka istri tidak berwenang menjual tanah sendiri, melainkan bersama-sama suaminya, atau suaminya member persetujuan tertulis kepada istri. Demikian juga, bila istri yang harus member persetujuan kepada suami kalau suatu tanah sebagai harta bersama tertulis atas nama suami. c. Kalau tanah tercatat atas nama, misalnya X, tetapi ia tunduk pada hukum KUHPerdata dan sedang di bawah pengampuan, maka yang berwenang menjual tanah itu adalah pengampu si X, tetapi harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri.67 c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah apa saja yang dapat diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau tanah yang yang akan diperjualbelikan merupakan tanah yang sedang menjadi obyek sengketa atau tanah yang tidak dapat diperjualbelikan, maka jual
67
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 92.
65 beli tanah itu adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap jual beli itu tidak pernah terjadi. Paul Stephen Latimer memberikan definisi mengenai tanah yaitu ”In everyday language “land” means the solid parts of the earth’s surface and includes houses, farms, and bush. Land is permanent and it cannot be hidden or moved. It can be improved or degraded but it cannot be destroyed. Land I the opposite of sea, water, and air”.68 ( Di dalam bahasa sehari-hari tanah merupakan bagian padat dari bumi dan termasuk rumah, peternakan, dan semak-semak. Tanah adalah permanen dan tidak dapat disembunyikan atau dipindahkan. Tanah dapat ditingkatkan atau diturunkan tetapi tidak dapat dihancurkan. Tanah adalah kebalikan dari laut, air, dan udara.) Apabila salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak untuk membeli tanah dan pembeli tidak memenuhi persyaratan untuk memiliki tanah dan tanah yang dijadikan obyek jual beli sedang dalam sengketa atau tidak boleh diperjual belikan, maka jual beli tanah itu tidak sah.
2.
Syarat Formal Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP
68
Paul Stepen Latimer, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia Limited, Australia, hal. 70.
66 24/1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tidak didepan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat yang menganut sistem yang konkret/kontan/nyata/riil. Namun meskipun demikian untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT.69 Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelum akta jual beli dibuat PPAT maka disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu: 1.
Jika tanahnya sudah bersertifikat, sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah dilakukan jual beli.70
2.
Dalam menghadapi pembelian tanah yang belum didaftarkan di kantor pertanahan untuk disertifikasi, sebaiknya meminta informasi kepada pejabat setempat (kelurahan ataupun camat), baik mengenai riwayat dari kepemilikan tanah tersebut, siapa pemilik terakhirnya, bukti girik (istilah untuk bukti 69
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hal. 23. 70 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 78-79.
67 pembayaran pajak perubahan undang-undang yang baru 1988) atau bukti pembayaran letter C. Adanya kewajiban untuk mengecek itu udah menjadi syarat bagi pembuatan Akta PPAT. Dalam suatu transaksi jual beli, tidak sedikit kasus yang muncul, misalnya dalam pemindahan hak atas tanah tersebut terdapat pemalsuan tanda tangan istri dari pihak penjual, seakan-akan pihak istri memberikan persetujuan. Tuntutan akan datang dari istri untuk meminta pembatalan atas pemindahan hak atas tanah tersebut yang telah dibalik nama ke atas nama pembeli.71 Pembeli yang akan membuat Akta jual beli harus mengecek terlebih dahulu ke
Kantor
Pertanahan/BPN, untuk mencegah lahirnya akta PPAT yang cacat hukum. Pengecekan ini berguna untuk menyesuaikan sertifikat dengan buku tanah. Adapunn untuk sertifikat pengalihan, harus ada bukti pengalihan di Akta Notaris/PPAT, baik itu Akta hibah maupun waris.
2.2.4 Pengertian Pendaftaran Tanah Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan tentang pengertian pendaftaran tanah yakni: Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Mengenai pengertian pendaftaran, Shashi Shekar menyebutkan bahwa: 71
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet. Pertama, Arloka, Surabaya, hal. 191.
68 “A cadastre may be defined as an official geographic object within a country, or more precisely, within a jurisdiction. Just like land registry, it records attributes concerning places of land, but while the recording of a land registry is based on deeds of conveyance and other right in land, the cadastre is based on measurements and other renderings of the location, size, and value of units of property”.72 (Kadaster dapat didefinisikan sebagai sistem informasi resmi geografis (SIG) yang mengidentifikasi obyek geografis dalam suatu Negara atau lebih tepatnya, dalam yurisdiksi. Sama seperti pendaftaran tanah, itu mencatat atribut tentang tempat tanah berdasarkan perbuatan angkut dan kanan lain di tanah, kadaster didasarkan pada pengukuran dan rendering lainnya dari lokasi, ukuran, dan nilai properti.) Pendaftaran tanah merupakan suatu prasyarat dalam upaya menata dan mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah termasuk untuk mengatasi berbagai masalah pertanahan. Pendaftaran hak-hak atas tanah merupakan jaminan dari Negara dan merupakan suatu instrument penting untuk perlindungan bagi pemilik tanah. Pendaftaran tanah ini dikenal dengan Recht Kadaster yang meliputi kegiatan 1). Pengukuran pemetaan dan pembukuan tanah 2) pendaftaran hak-hak tersebut 3). Pemberian sertifikat hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.73 Pendaftaran tanah itu sendiri diselenggarakan
untuk
menjamin
kepastian
hukum.
Pendaftaran
tanah
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah di bidang pertanahan.
72
Sashi Shekhar, 2008, Springersciences and Business, Encyclopedia of GIS, New York, hal. 65. 73 J.B Daliyo dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cet Ke-5, Prehallindo, Jakarta, hal. 80.
69 Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertiikat sebagai tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 74 Pendaftaran sertifikat tanah adalah hal terpenting bagi para pemilik tanah untuk dapat diterbitkan secara cepat dan biaya yang murah. Hal ini sesuai dengan asas-asas pendaftaran tanah yang terdapat pada Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah yakni asas sederhana dan terjangkau. Sederhana artinya prosedur penerbitan sertifikat harus mudah dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, sedangkan terjangkau artinya biaya pendaftaran tanah harus memperhatikan kemampuan masyarakat ekonomi lemah, khususnya golongan yang tidak mampu. Asas pendaftaran tersebut sebenarnya telah lama disitir oleh Sir Charles Fortescue-Bricdate, yakni: 1. Security yakni bertolak dari kemantapan sistem, seingga seseorang akan merasa aman atas hak tersebut baik karena membeli tanah ataupun suatu jaminan atas utang 2. Simplicity, yakni sederhana sehingga setiap orang dapat mengerti 3. Accuracy yakni bahwa terdapat ketelitian daripada sistem pendaftaran tanah secara lebih efektif 4. Expedition yakni dapat lancer dan segera, sehingga menghindari tidak jelas yang bisa berakibat berlarut-larut dalam pendaftaran tanah tersebut 5. Cheapness yaitu biaya semurah mungkin 6. Suitability to circumstances yaitu pendaftaran tersebut akan tetap berharga baik sekarang maupun di kemudian hari 7. Completeness of the record yakni: 74
Boedi Harsono II, op. cit., hal. 460.
70 a. Perekaman tersebut harus lengkap lebih-lebih lagi masih ada tanahtanah yang belum terdaftar b. Pendaftaran dari setiap tanah sesuai dengan keadaan pada waktu didaftarkan.75 Ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia diatur di dalam UUPA Pasal 19, yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berlaku efektif sejak tanggal 8 Oktober 1997.76 Prinsip utama pendaftaran hak atas tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa buku tanah dan sertifikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Pendaftaran tanah juga bertujuan untuk menentukan siapa nantinya yang wajib membayar pajak atas tanah tersebut. Pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah
untu menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting
artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah.
2.2.5 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu Negara tergantung pada asas hukum yang dianut Negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya.77 Di dalam peralihan hak kita mengenal asas “memo plus yuris” yang berbunyi orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini berarti
75
A.P Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet Ke-2, Mandar Maju, Bandung, hal. 5. 76 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 112. 77 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 17.
71 bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal.
Asas ini
bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenanrnya. Berdasarkan asas ini, pemegang hak yang sebenanya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh karena itu dafatar umunya tidak mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftaran tanahnya disebu sistem negatif. Asas yang kedua adalah asas itikad baik yang berarti melindungi orang dengan itikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang hak yang sah. Asas ini dipakai untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar umum yang ada di kantor badan pertanahan.78 Dengan asas memo plus yuris perlindungan hukum diberikan kepada pemegang hak yang sebenarnya, maka dengan asas ini selalu ada kemungkinan untuk menggugat pemilik yang terdaftar dari orang yang merasa sebagai pemilik yang sebenarnya. Oleh karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti sehingga sistem pendaftaran seperti ini disebut dengan sistem pendaftaran negatif. tanah. Sebenarnya sistem positif dan negatif memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dalam sistem positif daftar umum memiliki kekuatan alat bukti dan orang yang terfdaftar memiliki hak yang penuh atas tanah tersebut. Sehingga ada kepastian mengenai pemilik mendorong setiap orang untuk mendaftarkan tanahnya. Namun kekurangannya apabila terjadi kesalahan pada pendaftaran maka akan otomatis menghapuskan hak orang lain yang berhak. Berbeda halnya dengan pendaftaran tanah dengan sistem negatif apabila terjadi kesalahan dalam pendaftaran maka pemegang sebenarnya tidak akan dirugikan,
78
A.P Parlindungan, op.cit., hal. 2.
72 karena pemegang haknya berhak untuk menuntut. Adapun kekurangan dari sistem pendaftaran dengan sistem negatif daftar umumnya sehingga terdaftarnya seseorang tidak merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas tanah yang didaftarkan. Dengan demikian, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai pemegang hak karena Negara tidak menjamin kebenaran catatan yang disajikan. Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama di dalam persidangan di pengadilan adalah Peraturan Pemerintah dan Sertifikat. Sertifikat merupakan hasil akhir dari suatu proses penyelidikan riwayat penguasaan tanah yang hasilnya akan merupakan alas hak pada pendaftaran pertama dan proses –proses peralihan hak selanjutnya.79 Pendaftaran di Indonesia dikatakan menggunakan Sistem Torrens, hanya tidak jelas dari Negara mana kita meniru sistem tersebut, demikian juga India, Malaysia, dan Singapura, menggunakan sistem Torrens ini.80 Dalam pendaftaran di Australia, yang menganut sistem Torrens dapat dinyatakan sebagai berikut: a. Security of title, sehingga kebenaran dan kepastian dari hak tersebut baik dari rangkaian peralihan haknya, dan kedua jaminan bagi yang memperolehnya untuk adanya suatu klaim dari seseorang yang lain b. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berkelebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut tidak perlu kita selalu harus mengulangi dari awal setiap adanya peralihan hak, apakah dia berhak atau tidak, bagaimana rangkaian dan peralihan hak tersebut.
79 80
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 123. A.P Parlindungan, op.cit., hal. 24.
73 c. Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian peralihan hak tersebut disederhanakan dan segala proses akan dapat dipermudah d. Ketelitian, dengan adanya pendaftaran, maka ketelitian sudah tidak diragukan lagi.81 Di Indonesia sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data disajikan dijamin sepenuhnya oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif dimana negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Namun Indonesia tidak menganut sistem publikasi secara murni, hal tersebut nampak dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat 2, Pasal 32 ayat 2, dan Pasal 38 ayat 2 UUPA karena sistem publikasi yang murni tidak akan menggunakan pendaftaran hak. Jadi sistem publikasi yang digunakan di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena sistem publikasi negatif yang murni tidak menyatakan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Kuat tidak berarti mutlak namun lebih dari yang lemah sehingga pendaftaran berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak mutlak yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan bisa digugat. 81
Ibid., hal. 7.
74 BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TERJADINYA TRANSAKASI JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
3.1
Tanah Milik Pura Sebagai Obyek Transaksi Jual Beli Ketentuan mengenai hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal
27 UUPA. Dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 atau disebut UUPA dalam Pasal 21 mengatur mengenai subyek hak tanah hak milik dan peraturan pelaksanaannya. Dalam Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa ”Hanya warga negara indonesia yang dapat mempunyai hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (2) disebutkan bahwa oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. Berdasarkan Pasal 21 UUPA yang berhak menjadi pemegang hak milik adalah: 1. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik 2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya 3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan , maka hak tersebut hapus karena hukum an tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung 4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia nya mempunya kewarganegaraan asing ma ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.
74
75 Mengenai pengertian hak milik ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA yaitu ”Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Turuntemurun mempunyai pengertian bahwa hak milik tanah tersebut dapat diwariskan kepada ahli waris sepanjang ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah. Proses terjadinya hak milik atas tanah berdasarkan ketentuan pasal 22 UUPA yaitu: 1)
Hak milik tanah yang terjadi menurut hukum adat Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (aanslibbing). Pembukaan tanah dimaksudkan yaitu pembukaan hutan yang dilakukan secara beramairamai dengan masyarakat hukum adat, sedangkan lidah tanah (aanslibbing) adalah pertumbuhan tanah yang muncul di tepi sungai atau di pinggir pantai.
2)
Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah Hak milik atas tanah yang terjadi di sini semula berasal dari tanah negara. Hak milik atas tanah ini terjadi dengan adanya permohonan oleh si pemohon. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon ditentukan oleh Badan Pertanahan Indonesia (BPN), dan apabila telah terpenuhi maka BPN akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPT) yang wajib didaftarkan oleh pemohon di Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten setempat untuk dicatatkan di Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik.
76 3)
Hak milik atas tanah karena ketentuan undang-undang Hak milik atas tanah terjadi karena undang-undang yang menentukan demikian, yang diatur dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal VII ayat (1) ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Dalam hukum adat dikenal dua macam hak milik yaitu: 1. Hak milik terikat yaitu hak milik yang dibatasi oleh hak lain, misalnya komunal atas tanah dimana sebidang tanah menjadi milik bersama dari penduduk desa. Tanah milik bersama ini di Bali disebut druwe desa, di Manado disebut kintal kalakeran, di Minangkabau disebut harta pusaka, di Jawa Barat disebut kasikepan. Anggota desa (persekutuan) yang ikut berhak atas tanah tersebut hanya mempunyai hak pakai 2. Hak milik bebas atau tidak terikat adalah hak milik dari perseorangan yang tidak ada campur tangan dari hak-hak desa. Misalnya: sawah milik, sawah yasa dan lain-lain.82 Setelah berlakunya UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak memungkinkan lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan hukum adat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik adat atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 UUPA, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik adat. Di dalam UUPA sendiri telah diatur mengenai ketentuan konversi. Beberapa ahli hukum memberikan pengertian mengenai konversi, Boedi Harsono memberikan pengertian konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA. Dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agrarian,
82
Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal. 82-83.
77 maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari padannya yang terdapat didalam UUPA melalui lembaga konversi. Jadi, dengan demikian tujuan dikonversinya hak-hak atas adalah untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dan untuk mencapai kepastian hukum serta dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada adalah bagian kedua dari UUPA tentang ketentuan konversi yang terdiri dari IX Pasal, khususnya konversi tanah yang tunduk pada hukum adat dan sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan konversi, disamping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud dalam UUPA dipertegas kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970 yaitu tentang “penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah”. Pasal II ketentuan konversi mengatur mengenai ketentuan konversi tanah adat. Pasal II ayat 1 ketentuan konversi berbunyi: 1. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang pada mulai berlakunya Undangundang ini, yaitu : hak agrarish eigendom, milik, andarbeni, yasan, hak atas druwe, hak atas druwe desa, jeseni, grant, Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat (1),
78 kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21. 2. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, waga Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria. Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1980 dan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut jelaslah bahwa untuk melakukan konversi penting untuk mengetahui mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan dikonversi menjadi hak milik atau tidak dan mengenai peruntukkan tanahnya. Apabila ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik, subyek pemohon konversi akan menentukan nantinya hak yang akan dimiliki oleh pemegang hak apakah hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan. Proses dalam memperoleh hak milik atas tanah pada prakteknya di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/Kota diawali dengan pendaftaran, baik itu secara Konversi (penggantian dari Pipil/Pajak SPPT ke Sertipikat) maupun permohonan Hak atas Tanah Negara. Konversi dilakukan atas dasar penguasaan tanah secara turun temurun yang dibuktikan dengan Surat Pipil atau Girik atau SPPT, pada prakteknya diawali dengan melengkapi surat-surat dari lingkungan (di Bali Kepala Lingkungan/Kelian Dinas/Adat) setempat sampai dengan kecamatan, antara lain berupa surat-surat pewarisan, sisilah keluarga. Proses pendaftaran hak milik atas tanah melalui mekanisme konversi
dapat
79 didaftarkan ke Kantor Pertanahan jika persyaratan telah lengkap. Kemudian diperoleh bukti pendaftaran (yang sering dikenal dengan Kartu Kuning). Setelah diperoleh bukti pendaftaran tersebut maka selanjutnya akan mendapatkan jadwal ukur dari petugas ukur, setelahnya kemudian dilaksanakan pengukuran dan penunjukkan batas serta penunjukkan yang diketahui oleh penyanding disamping letak tanah yang berbatasan langsung. Kemudian setelah pengukuran dilanjutkan dengan adanya sidang di kantor Desa/Kelurahan sebagai bentuk pembuktian yuridis
dari
aparat
Desa
(Kepala
Desa/Lurah).
Sidang
dihadiri
oleh
pemohon/kuasanya, pihak Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten/Kota, dan Kepala Desa/Lurah. Jika kemudian telah dilaksanakan Sidang maka dilanjutkan dengan pengumuman di Kantor Desa setempat (wajib 60 (enam puluh) hari). Setelah masa pengumuman lewat maka akan diterbitkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Kabupaten/Kota tentang pemberian hak milik atas tanah. Maka pemohon wajib melunasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jika telah melunasinya maka terbitlah sertipikat hak atas tanah. Dalam prakteknya pembuktian fisik dan yuridis hak atas tanah ditentukan oleh hasil penunjukkan batas dan tidak adanya gugatan dari pihak-pihak yang merasa berhak. Menurut Pegawai Notaris, Bagus Nyoman Sudarta, dalam wawancara pada tanggal 29 November 2014. Di dalam penulisan tesis ini berkaitan dengan permohonan konversi dengan alas hak penguasaan fisik (sporadik) oleh krama pengempon yang di laksanakan oleh Bendesa Adat yang bertindak mewakili Pura
80 maka permohonan haknya diawali dengan penerbitan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) melalui kantor Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar, kemudian dilanjutkan dengan konversi pipil/SPPT menjadi Sertipikat hak atas tanah. Dalam prakteknya proses ini memakan waktu paling cepat 4 (empat) bulan hingga 1 (satu) tahun, tergantung intensitas pendafataran di Kantor Pertanahan dan kondisi fisik serta kelengkapan data maupun kondisi pelaksanaan di lapangan. Pendaftaran tanah dilakukan bisa dilakukan sendiri (permohonan individu) maupun secara sistematik (massal). Terhadap hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat yang memiliki bukti, baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi terlebih dahulu. Pelaksanaan konversi hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Adapun tanah yang tidak mempunyai bukti tertulis secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan hak. Untuk konversi hak atas tanah adat, pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik dapat dilakukan di wilayah yang telah dilaksanakan suatu pngukuran wilayah/daerah, sedangkan untuk wilayah/daerah yang belum dilakukan suatu pengukuran, maka pelaksanaan pendaftaran tanahnya dilakukan secara sporadik.83 Produk terakhir dari kegiatan pendaftaran tanah adalah berupa sertifikat hak atas tanah. Sertifikat hak atas tanah memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya, dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh benda lain. Pertama, sertifikat hak atas tanah memiliki fungsi sebagai alat pembuktian yang kuat, inilah fungsi yang 83
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 136.
81 paling utama sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai 1 hak atas suatu bidang tanah. Kedua, sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan kepada pihak bank/kreditur untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya. Ketiga, bagi pemerintah, adanya sertifikat hak atas tanah ini juga sangat menguntungkan. Adanya sertifikat hak atas tanah ini akan menjadi bukti bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Agraria. Data ini sangat penting guna perencanaan pembangunan kota. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi atau adil adanya. Salah satu yang dapat menjamin kepastian hukum bidang pertanahan adalah dengan melakukan ensertifikatan tanah adat. Pasal 19 UUPA 1960 menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendafataran tanah di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.84 Bila ditilik berdasarkan ketentuan konversi, khususnya konversi terhadap tanah-tanah hak adat, maka konversi tanah adat menjadi hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA digantungkan terhadap dua faktor yaitu: pertama digantungkan terhadap isi serta wewenang pemegang haknya. Bila isi hak serta wewenangnya pemegang haknya sebagaimana atau mirip hak milik maka dikonversi sebagai hak milik, sedangkan apabila isi hak serta pemegang haknya
84
Sajuti Thalib, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta, hal. 27.
82 mirip dengan hak pakai maka akan dikonversi menjadi hak pakai. Faktor kedua adalah faktor subyek haknya. Terhadap tanah-tanah yang isi haknya serta wewenang pemegang haknya sebagaimana atau mirip dengan hak milik, maka konversi haknya ada tiga kemungkinan yaitu menjadi hak milik apabila subyek haknya memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 UUPA. Apabila subyeknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik maka tanah tersebut dikonversi menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan tergantung kepada penggunaan tanahnya (Pasal II Ketentuan Konversi).85 Obyek jual beli merupakan salah satu syarat terjadinya suatu persetujuan yang sah. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPer menyebutkan mengenai syarat-syarat perjanjian yakni : a. Kesepakatan dirinya yang mengikatkan diri-nya b. Kecakapan untuk membuat perikatan c. Suatu pokok persoalan tertentu d. Suatu sebab yang tidak terlarang Dalam transaksi jual beli tanah ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai subyek dan obyek jual beli tanah. Mengenai subyek jual beli tanah adalah para pihak yang bertindak sebagai penjual dan pembeli, yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah calon penjual harus berhak untuk menjual yaitu pemegang sah dari hak atas tanah tersebut, pembeli juga harus memenuhi persyaratan sebagai pembeli. Sedangkan mengenai obyek jual beli tanah adalah status hukum obyek jual beli, baik itu status penguasaan hak atas tanah tersebut 85
I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 43.
83 maupun dokumen yuridis yang dimiliki oleh obyek jual beli tersebut. Di dalam jual beli tanah tujuan membeli hak atas tanah adalah untuk menguasai secara sah tanah tersebut, tetapi secara hukum yang dibeli atau dijual bukan tanahnya tapi hak atas tanah tersebut. Dalam hal transaksi jual beli tanah druwe pura, syaratnya sama dengan transaksi jual beli pada umunya yakni terpenuhinya syarat materiil dan syarat formal, syarat materill jual beli tanah druwe pura harus pembeli yang memenuhi persyaratan artinya pembeli yang berhak untuk membeli tanah druwe pura, penjual dalam hal ini krama pengempon pura yang yang diwakili oleh bendesa adat yang telah diberikan kuasa untuk menjual oleh krama desa adat, dan yang terakhir obyek jual beli dalam hal ini yang menjadi obyek transaksi jual beli adalah tanah druwe pura atau tanah milik pura harus sudah sah kepemilikannya dan ada sertifikat hak milik atas nama pura, sehingga penjualan tanah milik pura ini tidak melanggar Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 20 hak milik adalah hak yang terkuat dan memiliki sifat dapat dipindahtangankan kepemilikannya kepada orang lain. Hak milik dapat dipindah haknya kepada pihak lain (dialihkan) dengan cara jual beli, hak tersebut diatur dalam Pasal 26 UUPA, yang berbunyi: (1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat
84 (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan-ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Di dalam praktek pelaksanaan jual beli sebagai subyek yang bertindak untuk dan atas nama pura, pengempon mempunyai hak yang penuh terhadap perbuatan hukum jual beli terhadap tanah atas nama pura, namun karena saking banyaknya jumlah pengempon sehingga patut dijalankan dengan perwakilan (kuasa). Pemberian kuasa pada umumnya jika dilihat dalam ketentuan Pasal 1796 KUHPerdata menentukan tentang pemberian kuasa terkait dengan tindakan untuk memindahtangankan yang perbuatan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pemilik semata maka diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas. Hal tersebut berarti bahwa pemberian kuasa yang sifatnya khusus seperti itu memerlukan redaksional yang sifatnya tegas dan jelas. Dalam hal jual beli tanah milik pura yang menjadi obyek transaksi adalah tanah pura, yang merupakan milik dari masyarakat/krama pengempon pura. Jadi sebelum dilaksanakan perjanjian jual beli maka perlu adanya kesepakatan bersama dari krama pengempon untuk menjual tanah milik pura tersebut. Agar transaksi ini sah artinya dalam perbuatan hukum atau mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan bendesa adat sebagai kepala persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi terang. Dalam hal transaksi jual beli tanah druwe pura bendesa adat mewakili krama adat untuk melakukan perbuatan hukum jual beli. Pada umumnya untuk transaksi-transaksi yang dibuatkan dalam suatu akta
85 yang ditandatangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan serta dibubuhi pula tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi, akta ini merupakan suatu bukti.86 Bila dilihat dari subyek yang menguasai tanah-tanah ada ini, M. Suasthawa D mengelompokkannya menjadi 2 golongan. Pertama meliputi tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh desa adat. Termasuk dalam golongan ini adalah tanah druwe desa dan tanah druwe pura. Golongan kedua adalah tanah adat yang dikuasai oleh krama desa (perseorangan) yang dapat berupa tanah pekarangan desa (PKD) dan tanah ayahan desa.. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, maka badan hukum keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah. Namun peraturan ini belum memberikan kepuasan bagi masyarakat hindu sehingga akhirnya diadakan pesamuhan BPPLA Kabupaten dan Kecamatan seBali yang diselenggarakan di Denpasar dari tanggal 2 s.d 22 september 1982. Salah satu rekomendasi dari hasil pesamuhan tersebut berbunyi “mengusulkan kepada pemerintah agar Desa-Desa Adat dan Pura dapat ditetapkan sebagai badan hukum yang berhak memiliki tanah. Usulan tersebut ditanggapi positif oleh pejabat yang terkait akhirnya tanggal 24 September 1986 terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Tanah dengan Hak Milik. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang
86
Dewi Wulandari, op.cit., hal. 90.
86 Dapat Mempunyai Tanah dengan Hak Milik. Dengan penetapan ini menjadi tidak jelas apakah badan hukum keagamaan ini merupakan badan hukum publik atau badan hukum privat. Apabila dikatakan sebagai hukum publik, pura dapat mempunyai hak milik atas tanah, sedangkan badan hukum publik tidak dapat mempunyai hak milik, hanya mempunyai hak untuk menguasai dan mengatur atas tanah tersebut. Oleh karenanya lebih condong dapat dikatakan bahwa badan hukum keagamaan ini dikatakan badan hukum privat walaupun kepemilikannya dilakukan oleh orang-orang secara umum, namun badan hukum ini tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan mempunyai hak milik yang bisa dialihkan secara privat, namun kelemahannya kedudukan pura sebagai badan hukum keagamaan yang dapat memiliki hak atas tanah tidak ditetapkan oleh pemerintah secara khusus seperti Perseroan Terbatas yang akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI, akta pendirian koperasi oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, serta yayasan yang akta pendiriannya disahkan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM atas nama menteri. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan siapakah nantinya yang akan ditunjuk/mempunyai legal standing dalam hal mewakili badan hukum keagamaan sebagai subjek hukum. Dengan dikeluarkannya SK Menteri tersebut maka Pura sudah sah diakui keberadaannya sebagai badan hukum keagamaan dan tanah pura sebagai obyek yang diakui untuk menjadi hak milik pura. Dengan begitu maka tanah pura juga memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri hak milik yaitu hak milik yaitu:
87 1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus didaftarkan 2. Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal 20 UUPA) 3. Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo. Pasal 26 UUPA) 4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang, Hak milik sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lainnya. 5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25 UUPA) 6. Dapat dilepaskan oleh yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 27 UUPA) 7. Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA) Pura merupakan bagian dari desa adat namun untuk pengurusannya sudah menunjuk pengempon pura tersebut. Sehingga krama pengempon berhak untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut dengan cara jual beli namun harus dengan kesepatan bersama dari seluruh krama pengempon pura tersebut melalui sebuah paruman desa. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa “Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam keagamaan
88 dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 juga menyatakan bahwa badanbadan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan. Sesuai dengan hukum adat dan UUPA Pasal 20 ayat 2, bangunan suci merupakan suatu lembaga yang dibolehkan memiliki tanah. Hak tersebut dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain setelah melalui proses hukum dan mendapat persetujuan dari pemelihara bangunan suci (pengempon).87 Tanah druwe pura tidak dapat dipindahkan haknya kepada siapapun, tanpa adanya persetujuan dari para warga penanggung jawa dan diputus dalam rapat. Kenyataan tersebut diperkuat dengan adanya putusan-putusan pengadilan dan Mahkamah Agung yang senantiasa mengakui hak kepemilikan atas tanah bagi suatu lembaga keagamaan . Pengadilan maupun Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan tanah adat senantiasa berpedoman pada awig-awig desa adat dan hukum adat yang berlaku di daerah asal perkara tersebut. Seperti halnya tujuan hukum, awig-awig dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kedamaian
87
Eddy Ruchiat, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), Alumni, Bandung, hal. 119.
89 (kasukertan) dalam masyarakat, yaitu suasana yang tertib (secara fisik) dan tentram (secara batin).88 Dalam Awig-Awig Desa Adat Kelan Pawos (Pasal 8) disebutkan sebagai berikut: (1) Tanah pelaba pura inucap ring ajeng pemuponnya keanggen ngaskara ring penyiwian Desa agung alit manut nista madya utama, ping kalih macikang sehenan wewangunan inucap ring ajeng. Kekirangan prebeya tan maren kekuronin antuk swadaya krama desa manut perarem (2) Druwen desa tan kengin keadol ketukar wiadin kegadean sejawaning sangkaning mebuat pisan manut kadi tetujon, saha sampun kararemin antuk krama desa. Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, maka arti dari isi awig-awig ini adalah: (1) Hasil dari tanah pelaba pura pertama akan dipakai untuk upacara persembahyangan di desa baik upacara kecil, sedang, dan besar. Yang kedua untuk memperbaiki pura yang rusak. Kekurangan biaya akan dibantu oleh krama desa sesuai dengan peraturan desa. (2) Tanah milik desa tidak boleh dijual, ditukar, maupun digadai. Namun dapat dikecualikan untuk apa tujuannya, apabila sudah ada hasil rapat dari krama desa tersebut. Berdasarkan bunyi Pawos (Pasal) 8 Awig-Awig Desa Adat Kelan ayat 2 menyebutkan bahwa tanah milik desa tidak boleh diperjualbelikan namun diberikan pengecualian sesuai dengan tujuannya melalui rapat desa. Namun dalam ketentuan ayat 2 tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai tujuan apa saja yang diperbolehkan untuk menjualbelikan tanah milik desa. Hanya dijelaskan
88
Wayan P.Windia, 2010, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana university Press, Denpasar, hal. 31.
90 sesuai dengan rapat desa yang telah diadakan sebelumnya, artinya tanah milik pura dapat diperjualbelikan dengan mengadakan paruman terlebih dahulu mengenai penjualan tanah milik pura tersebut. Tanah druwe pura adalah milik bersama dari pengempon pura Desa Adat Kelan, jadi krama desa pengempon Desa Adat Kelan harus secara bersama setuju dengan penjualan tanah druwe pura tersebut. Tujuan penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan yang di empon oleh Desa Adat Kelan akan dipergunakan untuk kepentingan pura sehingga sesuai dengan awig-awig Desa Adat Kelan, jual beli tersebut sah untuk di jual karena telah melakukan paruman sebelumnya. Dengan demikian pemilikan atas tanah telah memberikan manfaat dan kegunaan dalam berbagai aspek kehidupan bagi Desa Adat Kelan, baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial, termasuk dalam hubungannya dengan pembangunan. Dari aspek ekonomi hasil penjualan tanah dapat dipergunakan untuk membeli tanah pengganti di tempat lain sebagai investasi, tanah tersebut nanti bisa saja dikontrakkan/disewakan untuk memberikan pemasukan untuk Desa Adat Kelan. Dalam aspek sosial hasil penjualan tanah druwe pura tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kegiatan keagamaan dan sejenisnya.
3.2
Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Adanya Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura Adapun faktor-faktor yang menjadi latar belakang dari transaksi jual beli
tanah druwe pura adalah sebagai berikut: 1) Tanah druwe pura ini pernah menjadi obyek sengketa; 2) Tanah ini sudah menjadi lahan yang tidak produktif;
91 3) Adanya keperluan dana untuk kepentingan pura antara lain: a. Kondisi Pura Dalem Sakenan Kelan dan Kahyangan Tiga Desa Adat Kelan yang sangat perlu untuk direnovasi b. Melaksanakan Karya/Upacara sebagai kelanjutan Pemugaran Pura c. Menjaga kelangsungan Yadnya di Pura dimasa depan dengan membuat dana abadi guna menopang kelancaran aktivitas di Pura yang ada di Desa Adat Kelan. Berikut ini dapat dijelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor di atas sebagai berikut : 1.
Tanah druwe pura ini pernah menjadi obyek sengketa Tanah druwe pura yang menjadi obyek transaksi jual beli adalah tanah laba
pura yang terletak di Banjar Gelogor Carik, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Namun yang memiliki pemegang hak milik atas tanah druwe pura ini adalah pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Tanah laba pura ini merupakan tanah yang pernah menjadi obyek sengketa. Sengketa ini dimulai dari pengakuan dari pihak penggugat Ida Cokorde Pemecutan dengan melawan 4 tergugat yakni tergugat 1 Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, Tergugat 2 Perseroan Terbatas (PT) Tridakna Arta Sejahtera, Tergugat 3 Perseroan Terbatas (PT) Carrefour Indonesia dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Denpasar. Sebelum gugatan di layangkan ke Pengadilan Negeri sudah ditempuh musyawarah mufakat terlebih dahulu. Hukum adat pada hakikatnya selalu mengutamakan adanya musyawarah mufakat apalagi yang menyangkut mengenai sengketa tanah adat. Apabila
92 terburu-buru mengambil jalan ke pengadilan Negara, maka akan menimbulkan pertikaian antara yang satu dengan yang lainnya. Maka diutamakan jalan penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat, dengan saling memaafkan. Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa dengan jalan musyawarah. Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga.89 Penyelesaian sengketa adat ini umunya diselesaikan melalui sangkepan atau paruman. Apabila usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu atau ternyata ada masalah-masalah prinsipil yang harus diselesaikan oleh instansi yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya kepengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/mediasi ini mempunyai kelebihanbila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dari segi waktu, biaya, dan pikiran/tenaga.90 Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian perselisihan biasanya didahului dengan adanya semangat itikad baik, adil, dan bijaksana dari orang yang dipercaya sebagai “penengah” perkara atau semangat dari majelis
89
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, hal. 27. 90 Maria S.W Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, 2008, Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan), Kompas, Jakarta, hal. 4.
93 permusyawaratan adat. Namun upaya perdamaian tidak dapat diwujudkan sehingga diambil jalan ke pengadilan negeri, di pengadilan negeri pun diadakan mediasi untuk para pihak terlebih dahulu namun upaya ini pun tidak membuahkan hasil. Ida Cokorde Pemecutan sebagai penggugat merasa bahwa tanah yang terletak di banjar gelogor carik ini adalah tanah miliknya sebagai pengempon pura dari Pura Tambangan Badung, Ida Cokorde Pemecutan Mengklaim bahwa tanah ini adalah laba pura dari Pura Tambangan Badung, namun tidak ada bukti sertifikat kepemilikan hak milik yang dimiliki oleh penggugat. Bukti kepemilikan sertifikat hak milik sudah dimiliki oleh Desa Adat Kelan. Mengingat obyek sengketa telah disertifikatkan sejak tahun 2003 jadi bila dihitung dari sejak diajukannya gugatan, maka sudah lebih dari 5 tahun sertifikat tersebut diterbitkan, dan berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan tegas dan jelas menyebutkan bahwa: Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat itu. Ketentuan yang menyatakan setelah 5 tahun sertifikat tanah tidak bisa digugat, mempunyai dampak positif, yakni memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Dalam hal ini, Eliyana mengemukakan bahwa:
94 Pembatasan 5 tahun saja hak untuk menggugat tanah yang telah bersertifikat harus disambut dengan sangat gembira karena akan memberikan kepastian hukum dan ketenteraman pada orang yang telah memperoleh sertifikat tanah dengan itikad baik. Pengalaman menunjukkan bahwa sering terjadi sertifikat hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 20 tahun pun (karena sertifikat tersebut telah diperpanjang dengan 20 tahun lagi masih juga dipersoalkan dengan mengajukan gugatan. Bahkan baik ke Pengadilan Negeri maupun ke Pengadilan PTUN dan pihak tergugat umumnya tidak berhasil dengan mengajukan eksepsi kadaluarsaan baik akusatif extingtif karena hakim menganggap Hukum Tanah Nasional kita berpihak pada hukum adat yang tidak mengenal lembaga verjaring. Dengan adanya pembatasan 5 tahun dalam Pasal 32 ayat (2), maka setiap penggugat dalam kasus tanah yang sertifikatnya telah berumur 5 tahun dapat mengajukan eksepsi lewat waktu. Ketentuan Pasal 32 ini dapat dipastikan akan banyak mengurangi kasus/sengketa tanah.91 Berdasarkan hal tersebut maka Desa Adat Kelan dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas obyek sengketa tanah tersebut. Karena upaya hukum penggugat dinyatakan sebagai upaya hukum yang daluarsa. Sertifikat hak milik merupakan bukti kepemilikan yang sempurna dan mutlak sifatnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1991 yang menyatakan “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah” dan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa “Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”. Selain itu Pihak Penggugat tidak bisa menunjukkan bukti bahwa ia adalah pemilik yang sah dari tanah milik Pura Dalem Sakenan Kelan. Apabila Penggugat 91
Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 1997, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Cetakan Pertama, Arloka, Surabaya, hal. 187.
95 mendalilkan dirinya sebagai pemilik atas tanah obyek sengketa tersebut, maka secara hukum ia wajib untuk membuktikan dalilnya itu. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut : ”setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Maka dari itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan mendengarkan para saksi dan bukti surat-surat
melalui putusannya No.
111/Pdt.G/2009/PN.Dps tanggal 19 maret 2010, menyatakan bahwa gugatan penggugat ditolak. Kasus ini akhirnya dimenangkan oleh Desa Adat Kelan. Majelis Hakim menyatakan tergugat 2 dan tergugat 3 tidak ada hubungannya dengan kasus ini sehingga seluruh biaya kerugian yang di derita akibat kasus ini dibebankan kepada pihak penggugat. Tenggang waktu yang telah diberikan oleh Pengadilan Negeri Denpasar untuk menyatakan banding telah lewat, sehingga terhitung tanggal 16 April 2010 putusan Pengadilan Negeri Denpasar telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Desa Adat Kelan akhirnya memenangkan perkara tersebut dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah dari tanah milik Pura Dalem Sakenan Kelan. Dengan demikian secara tegas bahwa tanah yang ada di banjar gelogor carik, desa pemogan yang menjadi obyek penelitian adalah sah dan murni milik Desa Adat Kelan. Dengan demikian berarti bahwa Desa Adat Kelan yang berhak atas
tanah
tersebut,
baik
itu
mengenai
pengalihan
haknya
maupun
96 pemanfaatannya. Desa Adat Kelan selaku pengempon di dalam perbuatan hukum yang berkaitan atas tanah tersebut (obyek) berhak bertindak untuk dan atas nama Pura Dalem Sakenan Kelan yang tertera di dalam sertipikat hak milik atas tanah. Sehingga tidak ada lagi permasalahan yang menjadi kendala di dalam proses pengalihan haknya (jual beli). Tanah milik Desa Adat Kelan yang tertera di sertifikat atas nama Pura Dalem Sakenan Kelan pernah menjadi obyek sengketa, sehingga hal inilah yang akhirnya membuat seluruh krama Desa Adat Kelan dengan suara bulat juga menjadi setuju untuk mengalihkan atau menjual tanah milik/druwe pura Dalem Sakenan Kelan ini, karena pada prinsipnya agar dikemudian hari tidak ada lagi pihak yang dapat mengklaim ataupun melakukan gugatan maupun pihak-pihak yang menyatakan diri sebagai pihak yang berhak. Pada saat ini tanah tersebut telah di alihkan kembali oleh si pembeli untuk dijadikan perumahan dan telah di pecah dan dikavling serta telah dijual kembali kepada pihak-pihak lain. Sehingga sangat tidak dimungkinkan untuk kembali dipermasalahkan secara hukum, apalagi putusan tersebut telah inkracth (mempunyai kekuatan hukum tetap). Kendatipun kemudian ditemukan kembali bukti baru (novum) untuk dapat diajukan peninjauan kembali, maka tentunya sudah sangat mubasir, mengingat hal tersebut di atas. Masalah tanah bukanlah semata-mata merupakan masalah hukum perdata saja, akan tetapi berkaitan pula pada segi-segi pemerintahan, sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan. Sebagai salah satu bukti adalah sengketa tanah milik pura Desa Adat Kelan ini. Banyaknya sengketa tanah yang penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri yang untuk memperoleh kekuatan hukum tetap
97 ternyata memerlukan waktu yang cukup lama. Jadi pada umumnya sifat sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya.92 2.
Kondisi Tanah druwe pura yang sekarang menjadi lahan yang tidak produktif. Tanah druwe pura Desa Adat Kelan yang terletak dibanjar gelogor carik ini
dahulunya diberikan ijin kepada banjar gelogor carik untuk menggarap tanah tersebut agar menjadi lahan produktif dengan sistem bagi hasil. Bahkan seluruh warga banjar gelogor carik diwajibkan untuk ikut serta menjadi petani penggarap dari tanah tersebut dengan menanam padi. Tanah-tanah milik pura tersebut harus menjadi lahan yang produktif, artinya tanah tersebut harus mampu memiliki nilai ekonomis untuk menunjang kegiatan keagamaan di pura dalem sakenan Desa Adat Kelan. Hasil garapan tanah dari anggota banjar gelogor carik akan dibagi dua, setengahnya diberikan kepada pengempon pura dan sebagian lagi untuk banjar gelogor carik sebagai penggarap tanah. Hasil dari garapan tanah tersebut akan dipergunakan untuk menunjang keperluan-keperluan pura. Aturan hak menggarap tanah secara garis besarnya hampir sama. Hanya saja dalam hukum tanah adat (Bali) saat ini hak tersebut dikaitkan dengan hak bagi hasil/hak menikmati hasil, pemilik tanah dan penggarap. Untuk tanah yang berstatus druwe desa dan laba pura (milik pura/bangunan suci), aturan
92
Ibid., hal. 28.
98 sepenuhnya ditentukan oleh desa adat.93 Namun sekarang ini tanah yang terletak di banjar gelogor carik, desa pemogan ini suda tidak digarap lagi dan menjadi lahan yang tidak produktif sehingga tidak memberikan nilai ekonomis guna menopang pengeluaran Pura Dalem Sakenan. Setiap peristiwa yang terjadi pasti ada sebab yang melatarbelakanginya. Begitupun dengan penjualan tanah druwe pura ada faktor-faktor yang melatarbelakangi sampai ada penjualan tanah druwe pura. Kondisi tanah yang tidak produktif menjadi salah satu faktor untuk menjual tanah milik pura. Tanah yang dibiarkan begitu saja tidak memberikan nilai ekonomis/pemasukan bagi desa adat. Dahulu tanah pelaba pura digunakan untuk lahan pertanian dan hasil panennya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk penggarapnya dan untuk diberikan kepada desa untuk pemeliharaan dan pembangunan pura. Namun karena sudah jarangnya ada yang menjadi petani apalagi di kota-kota besar sebagian besar pekerjaannya di kantoran sehingga banyak lahan yang tidak digarap dan membuat keadaan lahan menjadi terlantar dan tidak menghasilkan lagi. Sedangkan pura harus mendapatkan pemeliharaan sehingga tanah pelaba pura Desa Adat Kelan dijual diputuskan untuk dijual untuk menunjang pemeliharaan pura dalem Desa Adat Kelan. 3. Adanya keperluan dana untuk kepentingan pemugaran pura Desa Adat Kelan a. Kondisi Pura Dalem Sakenan Kelan dan Kahyangan Tiga Desa Adat Kelan yang sangat perlu untuk direnovasi
93
I Gusti Ngurah Tara Wiguna, op.cit., hal. 191.
99 Kondisi pura yang sudah tua bangunannya sudah mulai rapuh sehingga sangat perlu untuk direnovasi. Dengan penjualan pelaba pura ini dapat digunakan sebagai biaya renovasi/pemugaran pura. Biaya pembangunan pura tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit maka dari itu hasil penjualan dari tanah laba pura ini diharapkan dapat membantu untuk melakukan renovasi pada pura. Pura Desa Kelan yang terletak diantara perbatasan antara Desa Kelan dan Tuban (sebelah selatan Bandara Ngurah Rai) pada saat itu perlu direnovasi. Pemugaran memerlukan banyak dana apalagi pelaksanaan upacaranya, sehingga hasil penjualan pelaba diharapkan dapat menjadi sumber dana. Pada era sekarang ini segala kebutuhan untuk pembangunan baik itu bangunan pada umumnya maupun pura tidak menghabiskan sedikit dana, justru sangat banyak apalagi keinginan dan obsesi untuk mempunyai bangunan yang megah dan besar tentu juga akan menjadi dorongan untuk mencari dan membutuhkan dana yang banyak. Dana yang besar tentu tidak mudah untuk didapat, dengan penjualan tanah milik pura ini dapat menjadi solusi untuk bisa mewujudkan pembangunan pura yang lebih baik serta meringankan beban pengemponnya dan memperbaiki taraf hidup pengemponnya. Renovasi dan pemugaran pura adalah sebuah yadnya untuk pengemponnya, namun demikian tidak dapat dipungkiri juga jika biaya untuk itu akan menjadi beban bagi individu pengempon yang secara ekonomi kurang dari yang lain, sehingga yadnya yang seharusnya dilaksanakan secara tulus ikhlas justru akan membebani sebagian masyarakat/pengempon.
100 b. Melaksanakan Karya/Upacara sebagai kelanjutan Pemugaran Pura Pelaksanaan karya atau upacara setelah pemugaran/renovasi dari pura memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga hasil penjualan ini diharapkan dapat menutupi biaya untuk pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini sejalan dengan fungsi pelaba pura itu sendiri sebagai penunjang dari pelaksanaan yadnya di pura itu sendiri. Jika semua biaya dibebankan kepada pengempon tentu pelaksanaan renovasi dan pemugaran tidak akan berlangsung sesuai keinginan dari pengempon itu sendiri justru bahkan membebani secara ekonomi dan waktu bagi pengemponnya. Terlebih lagi jika tanah pelaba pura tidak terawat atau tidak mungkin digarap maupun dimanfaatkan secara ekonomi, sosial maupun budaya justru akan menjadi tanah terlantar yang sayang jika dibiarkan. Pengembangan pun akan sulit mengingat masyarakat pengempon pura Desa Adat Kelan tidak mungkin dapat fokus memanfaatkannya karena kesibukan dan tingkat pendidikan serta ekonomi yang berbeda. Dalam hal ini tidak bermaksud untuk melegalkan atau membenarkan bahwa tanah pelaba pura itu dapat saja dijual, tetapi secara pertimbangan matang bahwa fungsi sosial, fungsi ekonomi maupun fungsi pelestarian tidak mungkin dapat dipertahankan dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar. Pura dan pelabanya wajib dilestarikan untuk kepentingan berlanjutnya atau abadi dan lestarinya adat serta budaya Bali, namun tidak dipungkiri jika pengalihan hak baik dengan melalui pengalihan hak sementara seperti perjanjian sewa menyewa ataupun pengalihan hak untuk selamanya melalui jual beli terhadap tanah pelaba pura justru akan
101 meningkatkan pemasukan pura untuk kepentingan upacara serta meringankan beban pengemponnya.
c. Menjaga kelangsungan Yadnya di Pura serta membuat dana abadi guna menopang kelancaran pelaksanaan yadnya di Pura yang ada di Desa Adat Kelan Menjaga kelangsungan yadnya di pura serta membuat dana abadi adalah salah satu faktor dijualnya tanah druwe pura guna menopang kelancaran pelaksanaan yadnya di pura. Dana abadi ini artinya dana yang menjadi milik dari desa adat yang nantinya diperlukan baik untuk pura maupun untuk keperluan guna menunjang kemakmuran krama desa adat setempat. Adanya dana abadi sangat membantu meringankan beban warga/krama pengempon sehingga secara abadi bebas dari kewajiban-kewajiban upacara/pepeson. Bebasnya kewajiban rutin ini tentu sangat meringankan krama pengempon karena disamping kewajiban sebagai pengempon yang tidak sedikit juga ada kewajiban-kewajiban lain sebagai pribadi, sehingga dengan berkurangnya salah satu kewajiban akan dapat memberikan waktu yang lebih bagi krama pengempon untuk memenuhi kewajibannya yang lain. Apalagi dengan adanya lembaga/badan penghimpun dana masyarakat seperti LPD sebagai lembaga keuangan milik desa pekraman, dana hasil penjualan tersebut bisa ditempatkan dan diusahakan pada lembaga tersebut, sehingga keuntungannya dapat menjadi sumber dana di dalam membiayai pelaksanaan upacara. Dengan demikian maka krama pengempon tidak akan lagi diberatkan dengan kewajiban-kewajiban membiayai upacara. Upacara memang bukanlah beban, akan tetapi adalah kewajiban/yadnya, namun demikian tidak pula
102 dipungkiri bahwa setiap pelaksanaan upacara tidaklah menghabiskan dana yang sedikit. Dengan adanya dana abadi tersebut maka kewajiban dalam setiap upacara setian enam (6) bulannya akan terasa ringan dan tidak membebani warga/krama. Kebutuhan upacara semakin banyak dan berat tetapi jika ada jaminan yang dapat meringankan beban krama tentu akan mendapat persetujuan. Iuran upacara adalah iuran yang dikenakan kepada penduduk untuk pembiayaan upacara keagamaan. Iuran tersebut antara lain: a.
Padangsil (iuran untuk pembuatan dansil, yaitu rangkaian saji-sajian berbentuk meru). Panasi (iuran untuk pengadaan nasi). Pacarwa (iuran untuk upacara kurban caru yang diperuntukan bagi para buthekala). Pamurnaman (iuran yang dibayar setiap bulan purnama). Pangrmrm (sejenis iuran untuk biaya perawatan bangunan suci).94
b. c. d. e.
3.3
Kendala-kendala dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura Dalam suatu proses jual beli tanah tidaklah mudah, memerlukan kejelian
dan ketelitian baik itu dari pihak penjual, pembeli maupun pihak Notaris/PPAT agar perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari, termasuk cacad hukum/administratif di dalam pelaksanaannya, yang dapat menimbulkan batal demi hukum suatu perbuatan peralihan hak yang didasari oleh perjanjian jual beli. Terlebih lagi pihak penjualnya adalah suatu lembaga/badan hukum, dalam hal ini badan hukum keagamaan. Tanah milik pura baik bangunan tempat mendirikan bangunan suci pura maupun tanah pelaba pura tentunya akan sulit secara administrasinya dan kelengkapan data hukum/dokumen yuridisnya. Diperlukan kejelian dan kelengkapan dokumen yang betul betul kuat secara administrasi maupun hukum sehingga prosesnya akan menimbulkan 94
Ibid., hal. 67.
103 berbagai kendala. Tentunya dalam transaksi jual beli tanah druwe pura ada kendala-kendala dalam proses jual beli tersebut. Kendala-kendala proses transaksi jual beli tanah druwe pura/pelaba pura yang di dalam sertipikatnya tertera atas nama pura secara hukum perpajakan akan sulit untuk ditemukan penyelesaiannya karena secara administrasi perpajakan pura bukanlah merupakan subyek pajak sehingga pura tidak diwajibkan untuk membayar pajak PBB, tetapi jika dialihkan melalui jual beli maka PBB wajib dilunasi. Termasuk juga pajak Penghasilan (PPH) jua harus dilunasi karena Pura tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), pelunasan PPH dan BPHTB adalah salah satu syarat untuk dapat dilaksanakannya proses jual beli tanah. Di dalam hal ini pura dapat saja diwakili oleh yang diberikan kuasa oleh pengempon sebagai subyek pajaknya, tetapi akankah hal tersebut tidak akan menimbulkan permasalahan perpajakan dikemudian hari, karena si atas nama tentu saja dianggap sebagai orang yang memperoleh penghasilan atas jual beli tanah pelaba/druwe tersebut. Di era keterbukaan pajak seperti yang sedang terjadi sekarang ini, pihak penjual dan pembeli akan sangat tersita waktu berkaitan dengan permasalahan ini, namun yang diberikan kuasa (bendesa) tentunya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terkait ini. Ini adalah salah satu kendala dari proses jual beli tanah druwe pura. Pihak kantor pajak juga akan mengalami kesulitan dan salah persepsi terkait hal tersebut. Namun demikian di dalam proses jual beli dihadapan pejabat yang berwenang (PPAT) bahwa yang dimasukan/dicatatkan kedalam bukti surat setoran pajak (SSP) dari pajak penghasilan (PPH) adalah bendesa atas nama Pura dengan kolom NPWP yang dikosongkan. Jika kemudian diteliti tentunya akan diketahui bahwa yang menjadi subyek dari Pajak Penghasilan atas penjualan tanah pelaba/druwe pura ini.
104 Kendala lain adalah pada saat menyatukan suara untuk sepakat menjual tanah milik pura. Pasti ada rasa tidak percaya sebagian krama pengempon terhadap tindakan pengurus pura atas rencana penjualan pura, sehingga suara bulat tentu akan memerlukan banyak waktu dan banyak kendala. Berita acara rapat krama pengempon atau yang mewakili adalah syarat keharusan awal yang kemudian menunjuk salah seorang kuasa yang dalam hal ini biasanya bendesa adat di dalam proses transaksi di hadapan pejabat yang berwenang (PPAT). Menurut Bendesa Desa Adat Kelan I Made Sugita, S.Sos, dalam wawancara pada tanggal 14 November 2014 mengatakan bahwa tidak hanya suara bulat dari krama pengempon tetapi juga rekomendasi dari lembaga berwenang antara lain pemerintah daerah setempat maupun lembaga keagamaan (departemen agama/dinas agama kabupaten/kota atau Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan adat/desa pakraman. Rekomendasi itu tentu keluar tidak dengan mudah, ada beberapa tahapan dan penelitian yuridis terkait dengan rencana penjualan obyek tanah pelaba/druwe pura tersebut yang harus dilalui, belum lagi kewajiban dan keharusan untuk mendapatkan tanah pengganti yang juga akan diproses untuk balik nama dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam hal ini yang menjadi tantangan ataupun kendala adalah tentunya masalah waktu. Nilai tanah yang semakin hari semakin naik harganya tentu sangat akan disesali oleh sebagian krama pengempon jika dalam proses yang lama dan panjang serta melibatkan berbagai instansi ini ternyata kecenderungan kesepakatan harga lama menjadi jauh dari pada saat kelengkapan dokumen sudah siap untuk ditransaksikan, disinilah tantangan terbesar dari pengurus pura, mendapatkan isu/tantangan dari segelintir krama penempon yang tidak paham akan proses yang berliku dan panjang tersebut. Tanah-tanah di Indonesia menurut
105 UUPA mempunyai fungsi sosial, namun seiring perkembangan dan kemajuan sekarang ini fungsi itu telah sedikit-sedikit mengalami pergeseran yaitu cenderung ke fungsi ekonomi. Kebanyakan individu merasa bahwa tanah mestinya dipertahankan dan dikelola sebaik mungkin untuk kepentingan ekonomi, hal ini juga menjadi hambatan dan kendala tersendiri karena sebagian besar krama pengempon apatis teradap rencana penjualan tanah druwe pura. Hal itu juga menjadi faktor yang membuat proses penjualan itu menjadi lama dan terkatung-katung, tanah di bali dikatakan religius magis terlebih lagi tanah druwe pura, untuk itu diperlukan berbagai upacara dan upakara guna menunjang dan memperlancar bebagai upaya yang berkaitan dengan tanah palemahan, termasuk penjualan tanah pelaba/druwe pura tersebut. Diperlukan berbagai upacara-upacara seperti misalnya matur piuning, guru piduka dan lain-lain sehingga rencana penjualan tersebut tidak mendapat halangan/rintangan secara niskala. Menurut Bendesa Desa Adat Kelan I Made Sugita, S.Sos, dalam wawancara pada tanggal 14 November 2014, di dalam proses jual beli di samping ada kesepakatan harga dan penyerahan hak atas tanah. Di dalam proses jual beli tanah druwe pura yang menjadi kendala lain adalah pada saat penyerahan hak, berupa sertipikat dan pembayaran, sempat diproses pembayaran melalui Cek dan Bilyet Giro (BG) dan dicairkan ke rekening bendesa adat tetapi secara perpajakan hal tersebut juga sedikit mengandung resiko hukum, sehingga akhirnya diputuskan masuk ke rekening Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kelan.
BAB IV PROSES JUAL BELI TANAH DRUWE PURA
4.1
Pihak Yang Mewakili Pura Dalam Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura Perda Tingkat I Bali Nomor : 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi
dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Prov. Daerah Tingkat 1 Bali, memberikan batasan tentang desa adat sebagai berikut: Desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap desa adat memiliki unsur parahyangan, pawongan, maupun palemahan desa. Dilihat dari unsur parahyangan, setiap desa adat memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk nyungsung Pura Kahyangan Tiga atau Pura Kahyangan Desa (pura yang memiliki fungsi yang sama dengan Pura Kahyangan Tiga). Unsur pawongan dari desa adat adalah krama desa adat itu sendiri, krama desa adat terdiri dari orang-orang yang beragama hindu. Dalam unsur palemahan terdiri dari tempat tinggal dimana krama adat membangun rumah tempat tinggal yang biasa disebut dengan tegak desa. Dilihat dari tiga unsur di atas maka setiap krama desa adat memiliki kewajiban (swadharma) terhadap unsur parhayangan dan palemahan baik dilihat dari ayah-ayahan (kewajiban kerja) maupun
106
107 pawedalan (urunan materi), juga tidak jauh berbeda. Pada prinsipnya setiap warga desa adat wajib melaksanakan swadharma terhadap desa adat. Di Bali dikenal adanya desa adat sekarang disebut dengan desa pakraman sebagai persekutuan hukum yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. 95 Sebagai persekutuan hukum yang mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri, desa adat dapat mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban hukum serta dapat mengadakan hubungan hukum. Di Pihak lain Swellengrebel mendefinisikan desa adat sebagai berikut “Desa is often defined as Community of workship. An important part of it function does, indeed lie in the religious field”, yang diartikan desa adat sering diartikan sebagai komunitas kerja. Bagian yang terpenting daripadanya sesungguhnya terletak pada bidang agama.96 Mekanisme pengelolaan tanah pura di Bali menggunakan sistem pengempon. Tanah pura memang sudah menjadi hak milik dari pura yang sudah diakui sebagai badan hukum keagamaan, namun keberadaan pura itu sendiri berada di dalam wilayah kekuasaan dari desa pakraman. Jadi tanah pura merupakan tanah yang berada dalam penguasaan desa pakraman. Dalam pengelolaannya diberikan kepada suatu kelompok tertentu yang masih berada 95
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-3, Bandung, hal. 29. 96 Swellengrebel, 1984, Introduction, Bali Studies in Life, Thought and Ritual, Foris Publications, Holland, hal. 65.
108 dalam desa pakraman tersebut. Pada umumnya pengempon atau penyungsung pura-pura yang ada di Bali disungsung atau di empon oleh suatu komunitas kolektif dari suatu masyarakat adat atau suatu klan keluarga tertentu. Pengempon mempunyai hak dan kewajiban
yang berkaitan dengan pembangunan,
pemeliharaan fisik maupun yang non fisik, demikian juga dengan biaya dan pelaksanaan upacara. Penunjukkan krama pengempon pura disertai pula dengan hak dan kewajiban pengempon terhadap tanah pura yang dikuasainya (dikelolanya) tersebut. Sama halnya dengan krama desa adat yang memiliki kewajiban terhadap desa adat begitu pula dengan krama pengempon pura yang memiliki kewajiban (swadharma) terhadap pura yang diempon. Kewajiban ini terdiri pula dari ayahayahan dan urunan materi untuk pemeliharaan pura dan upacara keagamaan. Dalam bahasa bali
memuja ataupun memulyakan Tuhan ataupun
memulyakan roh suci leluhur disebut dengan nyungsung, sehingga mereka (perseorangan ataupun kelompok) yang memuja Tuhan ataupun roh suci leluhur di suatu pura disebut dengan penyungsung pura. Bila penyungsung pura itu suatu kelompok, mereka umumnya terorganisir dalam suatu lembaga tradisional yang disebut dengan sekeha pura, pengempon, atau pengemong pura yang mempunyai tata pengurusan tertentu. Tugas dan peranan penyungsung pura disamping memulyakan tuhan ataupun roh suci leluhur di pura juga bertanggung jawab terhadap pura tersebut seperti menyelenggarakan keasrian pura, perbaikan-
109 perbaikan pura, serta menyelenggarakan upacara-upacara tertentu di pura seperti petoyan atau piodalan.97 Pasal 1 angka 7, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman menjelaskan mengenai pengertian krama pengempon/pengemong adalah krama desa pakraman/krama banjar pakraman yang mempunyai ikatan lahir batin terhadap kahyangan yang berada di wilayahnya serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan upacara di kahyangan tersebut. Dari pengertian krama pengempon tersebut di atas maka yang berhak memberikan suara dalam transaksi jual beli tanah druwe pura ini adalah krama pengempon dari Pura Dalem Sakenan Adat Kelan. Hal ini dikarenakan sebuah pura berfungsi sebagai pusat kegiatan ritual dan peribadatan dari suatu komunitas masyarakat adat atau klan suatu keluarga yang sekaligus menjadi pengemong atau penyungsung pura tersebut. Dalam hal ini yang diberikan kekuasaan untuk menjadi pengempon tanah milik (druwe) Pura Dalem Sakenan yang terletak di Banjar Gelogor Carik Desa Pemogan adalah Desa Adat Kelan karena yang menjadi penyungsung Pura Dalem Desa Adat Kelan adalah krama pengempon Desa Adat Kelan. Pengempon Pura Dalem Sakenan adalah yang berhak menentukan apakah tanah druwe Pura Dalem Sakenan tersebut boleh dijual atau tidak. Pengempon akan diajak untuk melakukan paruman/rapat untuk penjualan tersebut. Dalam hal ini berlaku asas musyawarah mufakat, dalam suatu musyawarah tujuannya adalah
97
I Ketut Sudantra, op.cit., hal. 41.
110 untuk mencapai mufakat/kata sepakat. Tanah pura ini berada di dalam wilayah Desa Adat Kelan jadi bendesa adat hadir dalam memimpin paruman tersebut. Setiap desa adat (desa pakraman) di Bali mempunyai aturan (tertulis maupun tidak tertulis) yang berlaku bagi warga desa yang bersangkutan. Aturan ini dikenal dengan awig-awig dan perarem. Awig-awig merupakan kebiasaan desa adat setempat yang merupakan aturan yang harus ditaati bagi warga desa adat yang berada dalam desa adat tersebut. Karakteristik masyarakat adat bersifat sosial religius yang ditandai dengan oleh adanya unsur tradisi dan agama Hindu yang dimanifestasikan dalam suatu aturan yang disebut dengan awig-awig. Oleh karena
itu,
awig-awig
menjadi
landasan
bagi
desa
pakraman
dalam
penyelenggaraan pemerintah, guna mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat.98 Dalam awig-awig Desa Adat Kelan, Sarga (Bab) V mengenai Sukertan Tata Palemahan Palet (Bagian)1 Indik Druwen Desa, Pawos (Pasal) 85 disebutkan sebagai berikut: 1)
2)
Kahyangan desa sekadi Pura Desa, Pura Puseh, Pura Pererepan Dalem Sakenan, Pura Dalem Kahyangan lan Penatara, Merajapati, Pererepan Ratu Ayu Jangkep sakeluwir busananya patut kasanggra olih krama Desa Adat Kelan. Druwen Desa Pingkalih pelaba pura ring Desa Kelan wenten sekadi ring sor: - ring desa glogor carik wewengkon Kecamatan Denpasar selatan, pipil nomor 423, kelas I Persil 54 SP linggah 64 are dan persil 20 dp, linggah 84 are.
Apabila diterjemahkan isi Awig-Awig tersebut terdapat pengertian sebagai berikut: 98
I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal. 73.
111 (1) Kahyangan desa yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura Pererepan Dalem Sakenan, Pura Dalem Kahyangan lan Penatara, Merajapati, Pererepan Ratu Ayu lengkap dengan wastranya semuanya ditanggung oleh krama Desa Adat Kelan. (2) Kekayaan desa yakni pura yakni pelaba pura di desa kelan yakni terdiri dari: - di desa gelogor carik di Kecamatan Denpasar Selatan, pipil nomor 423, kelas I persil 54 SP luas 64 are dan persil 20 dp dengan luas 84 are. Pengempon Pura Dalem Sakenan Adat Kelan terdiri dari seluruh Prajuru, Kertha Desa, Paiketan Pemangku Desa Adat Kelan beserta seluruh warga Desa Adat Kelan sebagai pemegang suara penuh dalam pengambilan keputusan yang menyangkut mengenai tanah laba pura Desa Adat Kelan. Desa Adat Kelan memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan untuk mengambil keputusan secara penuh untuk hal-hal yang akan dilakukan terhadap tanah milik pura Desa Adat Kelan. Pengempon Pura Dalem Sakenan diketuai oleh bendesa adat selaku ketua pengempon/penanggung jawab Pura Dalem Sakenan Kelan yang nantinya akan mewakili desa adat dalam perbuatan hukum mengenai jual beli tanah Pura Dalem Sakenan. Pengempon pura menunjuk bendesa adat sebagai wakil dalam hal penjualan tanah druwe pura. Berdasarkan Pasal 35 angka 1 awig-awig Desa Adat Kelan menyebutkan bahwa “Desa Adat Kelan puniki, keenterang olih ki bendesa” (Desa
112 Adat Kelan dipimpin oleh seorang bendesa). Mengenai tanggung jawab bendesa diatur dalam Pasal 39 angka 1 Awig-Awig Desa Adat Kelan yang berbunyi: Swadarmaning kelian desa (Bendesa Adat) luwirnia: a. b. c. d. e. f.
g. h. i.
Ngenterang paruman-paruman desa Ngenterang pemargin sedaning awig-awig, miwah pemutus-pemutus Ngeraksa sahe ngatur tata gangge seraja brana druwen desa Nuntun tur ngenterang krama, rauhing warga desa ngupadi kasukertan desa sekala niskala Nuntun saha nyaksinin tatacara miwah sangaskarania kauripan mabuat, sane ngilitang pakulawargan Nuntun saha ngenterang iwarga desa ngupadi nginggilang Sang Hyang Agama, kasucian kahyangan, pawongan, palemahan, miwah tatacaraning ngangge setra Mawosang miwah niwakang pemutus marep ring wicara warga desa Ngewakilim desa miwah banjar metemuang bawos Miwah sane siosan manut dresta
Tanggung jawab kelian desa (bendesa adat) antara lain : 1.
Memimpin paruman-paruman desa
2.
Mengawasi pelaksanaan dari awig-awig, dan keputusan-keputusan
3.
Mengusahakan dan mengatur mengenai kekayaan desa
4.
Memberikan
arahan
dan
petunjuk
kepada
warga,
mengusahakan
kesejahteraan warga baik secara sekala maupun niskala 5.
Mengarahkan dan menyaksikan tata cara pelaksanaan yang mengikat hubungan kekeluargaan
6.
Mengarahkan dan mengawasi seluruh warga desa dalam pelaksanaan kehidupan beragama, kesucian kahyangan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan tata cara penggunaan kuburan.
7.
Memimpin pelaksanaan musyawarah terkait dengan permasalahan di desa
8.
Mewakili banjar dan desa dalam pertemuan-pertemuan
9.
Dan lain-lain sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
113 4.2
Proses Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura Desa adat pakraman dikendalikan oleh perangkat prajuru dengan pucuk
kepemimpinan pada seorang bendesa adat. Bendesa adat ini dipilih oleh krama desa pakraman menurut aturan yang telah ditetapkan dalam awig-awig desa pakraman masing-masing. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman masing-masing. Untuk menemukan kata sepakat penjualan tanah druwe pura maka harus diadakan paruman/rapat desa terlebih dahulu, paruman ini diselenggarakan oleh bendesa adat dan memanggil yang harus hadir dalam paruman untuk pembahasan rencana penjualan tanah druwe pura ini. Paruman ini dihadiri oleh pembina desa adat yang terdiri dari rajuru desa adat, paiketan pemangku, kelihan banjar adat, kepala lingkungan, dan ketua sekaa teruna. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Jika dikaitkan dengan kewenangan bendesa adat maka kewenangan yang diberikan oleh Perda No. 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman kepada prajuru desa adat terdapat pada Pasal 8 huruf d, sehingga dapat disimpulkan bahwa prajuru desa adat dapat diberikan kewenangan untuk mewakili desa pakraman untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Namun dalam hal ini karena menyangkut kepentingan umum (seluruh krama pengempon) maka tidak serta merta bendesa dapat bertindak karena telah
114 diberikan kewenangan oleh perda tersebut, tetapi tetap wajib mendapat persetujuan dari seluruh krama pengempon melalui paruman desa. Berdasarkan ketentuan Pawos (Pasal) 42 angka 1 awig-awig Desa Adat Kelan menyebutkan bahwa “Paruman-Paruman ring desa kelan, luwir ipun: paruman desa adat, paruman banjar, paruman prajuru desa, lan paruman krama truna truni”. (Paruman-paruman di Desa Adat Kelan terdiri dari paruman desa adat, paruman banjar, paruman prajuru desa, dan paruman krama truna truni). Untuk penjualan tanah milik pura maka dilaksanakan paruman desa adat, karena melibatkan semua anggota desa adat yang menjadi pengempon dari tanah milik pura di Desa Adat Kelan. Pawos (Pasal) 43 angka 1 menyebutkan bahwa “Paruman desane kawentenang nangken enem sasih apisan, rikalaning rahina : Anggara-KliwonMedangsya, sejawaning wenten indik sane mebuat jagi kebaosang, dados lebihan ring apisan”. (paruman desa dilaksanakan enam bulan sekali pada saat hari Selasa, Kliwon, Wuku Medangsya, kecuali jika ada hal-hal penting yang akan dibicarakan, maka boleh mengadakan rapat/paruman lebih dari sekali). Pawos (Pasal) 43 ayat 2 menyebutkan bahwa “nangkenang paruman kadi ring ajeng, kelian desa (bendesa adat) patut nyiarang pemarginnyane ngenterang desane”. (Bendesa adat wajib mengumumkan/ memberitahukan kepada warga perihal akan dilaksanakannya paruman desa.) Paruman desa merupakan penjelmaan dari asas musyawarah mufakat. Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah mufakat, baik di dalam keluarga, hubungan kekerabatan, dan penyelesaian sengketa yang
115 menyangkut desa adat. Begitu pula dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut mengenai penjualan tanah druwe pura. Untuk mendapatkan kesepakatan bersama mengenai penjualan tanah milik pura maka harus diadakan paruman desa yang di hadiri oleh seluruh krama pengempon pura tersebut. Musyawarah penting dilakukan mengenai hal-hal yang menyangkut kepemilikan bersama. Tanah druwe pura merupakan tanah milik bersama pengempon pura tersebut jadi harus ada kesepakatan bersama dari pemilik tanah untuk melakukan penjualan tanah tersebut. Paruman mengenai rencana penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan, diadakan sebanyak tiga kali yakni Paruman yang pertama diadakan pada hari Minggu, tanggal 28 Mei 2011 bertempat di Wantilan Desa Adat Kelan yang dihadiri oleh seluruh warga/krama Desa Adat Kelan tentang kesepakatan untuk melaksanakan penjualan tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan. Paruman kedua diadakan pada hari Minggu, tanggal 1 April 2012, bertempat di Bale Gong Pura Desa Lan Pura Puseh Desa Adat Kelan, paruman ini dihadiri oleh Prajuru Adat Desa Adat Kelan dan Kertha Desa Adat Kelan Kelihan Banjar Adat dan Dinas se-Desa Adat Kelan. Paruman yang ketiga dilaksanakan pada hari Selasa, pada tanggal 03 April 2012 bertempat di tempat yang sama dengan dihadiri oleh Pembina Desa Adat yakni Prajuru Desa Adat, Kertha Desa, Paiketan Pemangku, Kelihan Banjar Adat, dan Ketua Sekaa Truna Truni se-Desa Adat Kelan. Hasil dari paruman kemudian dituangkan dalam Berita Acara Rapat No. 060/DAK-BA/IV/2012 dengan ditandatangani oleh pengurus/prajuru Desa
116 Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Berita acara rapat diantaranya memuat tentang: 1. Menyetujui untuk menjual tanah pelaba Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, yang berada di banjar gelogor carik, desa/kelurahan pamogan, kecamatan denpasar selatan, kota denpasar, yang nantinya hasil penjualan akan digunakan untuk a. Mencarikan Pengganti Tanah Pelaba Pura di tempat lain b. Membangun Pura di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. c. Biaya upacara atas pembangunan pura di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. d. Dana abadi di Desa Adat Kelan, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. 2. Memberikan kuasa sepenuhnya dan hak subsitusi kepada: I Made Sugita Bendesa Adat Kelan, untuk Bendesa adat yang bersangkutan harus menandatangani surat kuasa tersebut disaksikan oleh kelihan banjar, kepala lingkungan, camat dan lurah. Dengan ditandatanganinya surat kuasa ini maka krama pengempon harus melaksanakan isi dari surat kuasa ini yakni memberikan kuasa sepenuhnya dan hak substitusi kepada bendesa adat untuk mengeluarkan dan menerbitkan surat serta menandatangani surat-surat yang berkaitan dengan Akta Jual beli atau Pelepasan Hak Atas Tanah, menghadap,
117 berbicara, mengambil keputusan, mengambil tindakan yang dipandang baik dan atau berguna, menerima uang, dan menerbitkan kwitansi atas pembayaran penjualan tanah, menyerahkan berkas asli dan atau fotocopy kepada pihak kedua dan atau pihak lain, khusus permohonan ijin dan atau proses penjualan tanah milik pura. Bendesa Adat hanya diijinkan untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam surat kuasa tersebut. 3. Dalam hal menjual yang dikuasakan kepada Bendesa Adat Kelan oleh seluruh masyarakat Desa Adat Kelan sebagai pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan, tetap dengan mempertimbangkan kelayakan harga yang berlaku saat ini. Surat kuasa ini ditandatangani oleh Bendesa Adat Desa Adat Kelan sebagai penerima kuasa dan Kelihan Banjar Kelan Desa dan Kelihan Banjar Kelan Abian sebagai pemberi kuasa selaku wakil dari seluruh krama pengempon Pura Dalem Sakenan Kelan. Kelihan Banjar merupakan wakil dari seluruh krama Desa Adat Kelan. Ditandatangani pula oleh Kepala Lingkungan Kelan Desa, Kepala Lingkungan Kelan Abian, Camat Kuta, dan Lurah Tuban sebagai saksi. Dalam sebuah paruman pasti ada pro dan kontra terhadap keputusan yang diambil, inilah fungsi paruman itu sendiri agar nantinya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Apabila sudah tercapai mufakat antar anggota, hasil paruman ini kemudian dituangkan dalam Berita Acara Rapat. Berita Acara Rapat memuat mengenai persetujuan untuk menjual tanah pelaba druwe pura dengan syarat syarat-syarat diantaranya mencarikan tanah pengganti tanah pelaba pura di tempat lain, uang hasil penjualan dipergunakan untuk membangun pura, biaya upacara setelah pembangunan pura dan uang tersebut akan digunakan sebagai
118 dana abadi untuk meringankan beban upacara bagi krama di Desa Adat Kelan. Memberikan kuasa sepenuhnya kepada Bendesa Adat Desa Adat Kelan untuk mewakili dalam perbuatan hukum tersebut. Hasil paruman akan menentukan kelanjutan dari proses transaksi jual beli tersebut. Setelah ditentukan kata sepakat tentang rencana penjualan tanah milik pura tersebut maka kendatipun dalam hal ini yang berwenang mewakili desa pakraman adalah bendesa adat, tetapi tetap saja diperlukan suatu surat kuasa khusus penunjukan tentang rencana penjualan tersebut. Hal ini penting karena untuk agar hanya ada seorang saja atau sedikit yang bertindak untuk dan atas nama Pura. Berdasarkan hasil wawancara tanggal 21 Desember 2014 dengan Notaris/PPAT Kota Denpasar, Bapak I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH : Pura diibaratkan sebagai perseroan/badan hukum, jika untuk pengalihan hak atas aset perseroan maka wajib direksi bertindak untuk dan atas nama perseroan dengan persetujuan komisaris dan wajib diadakan RUPS, yang dalam hal ini jika diilustrasikan maka pura wajib mengadakan paruman, kemudian ada notulen dan keputusan rapat yang dituangkan dalam Berita Acara Rapat. Badan hukum sendiri berdasarkan bentuknya dibedakan dalam dalam dua bentuk, yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat. Jika dihubungkan dengan pengertian badan hukum publik yakni badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga dapatlah bila dikatakan bahwa pura termasuk ke dalam badan hukum publik.
119 Keputusan rapat kemudian memberikan kuasa kepada bendesa adat bertindak untuk dan atas nama desa adat. Sama halnya karena pura ini adalah suatu badan hukum keagamaan yang tidak hanya dimiliki oleh pengempon/desa setempat tetapi juga masuk kedalam wilayah kewenangan dan struktur milik parisadha dan dinas agama serta pemerintah daerah, maka instansi-instansi tersebut wajib mengetahui mengenai penjualan tanah druwe pura ini, disamping untuk menguatkan dokumen yuridisnya. Pendapat dari Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH ini sesuai dengan Teori badan hukum yang dipakai dalam penulisan tesis ini, yakni pura memiliki harta kekayaan dan memiliki pribadi-pribadi hukum (organ) didalamnya yang mempunyai tugas untuk melaksanakan semua aktifitas hukum. Dalam hal ini pura memiliki suatu struktur kepengurusan dengan dipimpin oleh seorang bendesa adat yang berhak mewakili pura dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Agar penunjukan bendesa adat ini tidak terdapat cacat administrasi maka harus dituangkan ke dalam suatu bentuk surat/akta otentik yang disahkan serta dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang, biasanya dituangkan ke dalam suatu surat kuasa khusus dari pemberi kuasa yaitu krama pengempon pura selaku pemilik hak penuh pengambil keputusan di dalam desa adat. Berdasarkan hasil paruman desa diberikan kuasa khusus kepada bendesa adat dalam bentuk surat kuasa dimana disebutkan mengenai hasil paruman desa adat untuk mengadakan penjualan terhadap tanah pura yang dimaksud lengkap dengan detail data yuridis
120 luas dan letak tanah yang akan dijual tersebut, kemudian disebutkan mengenai tujuan dan manfaat dari rencana penjualan tanah milik pura tersebut. Dalam hal menjual yang dikuasakan kepada bendesa adat oleh seluruh masyarakat desa adat setempat sebagai pengempon pura tetap dengan mempertimbangkan kelayakan harga yang berlaku pada saat ini. Agar harga yang ditetapkan tidak di bawah harga pasar saat ini. Rekomendasi diberikan dengan persyaratan apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran terhadap peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati maka surat rekomendasi dinyatakan untuk tidak berlaku dan dicabut. Setelah adanya paruman tersebut yang artinya mewakili seluruh masyarakat adat yang ada di wilayah desa tersebut, bendesa adat kemudian mengirim surat permohonan penjualan kepada Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar untuk meminta surat rekomendasi penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan, yang terletak di banjar gelogor carik, desa pemogan. Mengenai penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan juga dikirim surat permohonan penjualan ke Kementerian Agama Kota Denpasar. Surat rekomendasi dari Parisadha Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota Denpasar ini merupakan syarat untuk penjualan tanah milik pura. Dalam surat permohonan yang diajukan kepada Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota Denpasar dimuat pertimbangan dan alasan-alasan pengempon pura untuk melakukan penjualan tanah milik pura tersebut.
121 Dengan disetujuinya surat permohonan penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan oleh Parisadha Hindu Dharma Bali Kota Denpasar dan Kementerian Agama Kota Denpasar maka surat rekomendasi penjualan tersebut dikirimkan kepada Walikota Kota Denpasar sebagai lampiran dari surat permohonan penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan, dengan lampiran lainnya yakni syarat-syarat penjualan tanah druwe pura. Acuan yang dipakai untuk melakukan penjualan tanah druwe pura adalah Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 dan Surat Kakanwil Kementrian Agama Prov. Bali No. Kw 18.4/1/BA.00/0375/2011 tertanggal 25 Januari 2011, Perihal Petunjuk Proses Penjualan Pelaba Pura. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penjualan tanah laba pura berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 dan Surat Kakanwil Kementrian Agama Prov. Bali No. Kw 18.4/1/BA.00/0375/2011 tertanggal 25 Januari 2011, Perihal Petunjuk Proses Penjualan Pelaba Pura adalah sebagai berikut: 1. Surat kuasa dari pengempon kepada orang yang dikuasakan/ditunjuk untuk menangani penjualan tanah pelaba pura dimaksud dan diketahui oleh pamong desa setempat 2. Hasil kesepakatan melalui paruman pengemong untuk menjual tanah pelaba pura dimaksud dinyatakan dengan daftar hadir dan notulen rapat disahkan oleh aparat, kelian dinas, kelihan adat, lurah/kepala desa, camat,
122 dan notaries. Hasil kesepakatan ini dituangkan dalam berita acara rapat yang dibuat oleh notulen dan telah ditandatangani oleh bendesa adat, prajuru adat, kelian, ketua truna truni. 3. Photo copy KTP orang yang dikuasakan 4. Photo copy sertifikat tanah yang akan dijual 5. Rencana penggunaan hasil penjualan yang diketahui oleh pamong desa dan camat 6. Susunan pengurus pengemong pura 7. Surat pernyataan dari calon penjua dengan menyebutkan secara lengkap data-data tanahnya yang akan dijual serta diketahui oleh pamong desa dan camat setempat 8. Foto copy sertifikat tanah yang akan dibeli atau tanah pengganti 9. Foto copy lunas PBB terakhir dari tanah yang akan dijual/pengganti 10. Surat pernyataan dari calon pembeli perihal rencana penggunaan/ peruntuan tanah pelaba pura yang akan dibeli 11. Alasan penjualan pelaba pura ditandatangani oleh pengurus pengempon pura 12. Rencana Anggaran Biaya pelaksanaan pemugaran dan renovasi Pura yang dimaksud; 13. Gambar detail rencana pembangunan Pura baru/renovasi/pemugaran. Setelah diadakan pembahasan oleh Tim Konsolidasi Pertanahan Kota Denpasar serta dengan memperhatikan surat rekomendasi penjualan dari
123 Kementerian Agama Kota Denpasar pada tanggal 2 Oktober 2012 Nomor: Kd.18.09/III/BA.00/1755/2012 dan surat rekomendasi penjualan dari Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar tanggal 11 Oktober 2012 Nomor: 153/Rekomendasi/PDHB-KD/2012, serta check list syarat-syarat penjualan tanah druwe pura yang telah dipenuhi oleh Desa Adat Kelan selaku penjual, maka Walikota Kota Denpasar memberikan persetujuan untuk penjualan tanah milik Pura Dalem Sakenan Kelan, Desa Adat Kelan, dengan syarat hasil penjualan tersebut benar-benar dipergunakan untuk membeli tanah pengganti dan perbaikan pura sesuai dengan program yang diajukan. Surat persetujuan mengenai penjualan tanah druwe pura Desa Adat Kelan dari Walikota Kota Denpasar ini berlaku 6 (enam) bulan dari saat ditandatangani dan pengempon pura diwajibkan untuk melaporkan tentang pelaksanaan penjualan tanah druwe pura tersebut sesuai dengan program yang diajukan. Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Denpasar sendiri telah melakukan upaya untuk melestarikan tanah pura dengan mengeluarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Larangan menjual/merubah harta kekayaan desa adat. Surat ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa desa adat dan persekutuan hukum lainnya yang berkaitan dengan adat, sebagai salah satu bagian pembangunan nasional, perlu dilestarikan melalui upaya antara lain memelihara sarana penunjangnya bahkan diupayakan
124 peningkatan dalam batas batas yang memungkinkan baik dalam wujud material maupun inmaterial. Berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, sebenarnya pada prinsipnya dilarang untuk menjual, menukar, atau dengan perbuatan hukum lainnya atas tanah milik dan atau yang dikuasai Desa Adat, dalam hal ini tanah milik pura, namun dikcualikan apabila telah mendapat persetujuan dari semua pengempon pura. Dalam surat walikota tersebut disebutkan pula dalam hal menjual tanah milik pura harus mendapat persetujuan dari walikota. Tanah pengganti merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk penjualan tanah milik pura ini. Sehingga sangat penting adanya tanah pengganti terlebih dahulu sebelum meminta surat rekomendasi penjualan kepada Menteri Agama, PHDI, dan Walikota. Berdasarkan Surat Walikota No. 593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993 disebutkan bahwa dari hasil penjualan tanah tersebut, harus dapat membeli tanah-tanah pengganti dengan luas minimal sama dengan yang dijual (walaupun kelas dan nilai ekonomisnya tidak sama) serta mengajukan program lainnya dalam rangka upaya melestarikan desa adat, banjar adat, dan pura. Tanah pengganti yang dibeli oleh Desa Adat Kelan terletak di Desa Bantiran Pupuan. Pembelian tanah pengganti sesuai dengan permohonan dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) agar di atasnamakan Pura Dalem Sakenan Kelan yang berkedudukan di Desa Adat Kelan.
125 Proses jual beli tanah druwe pura ini sesuai dengan Teori perjanjian yang dikemukakan oleh Van Dunne yakni diawali dengan tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan, kemudian dilajutkan pada tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kemudian tahap yang terakhir adalah tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Tahap pracontraktual adalah tahap adanya penawaran dan penerimaan oleh penjual dan pembeli, baik itu tawarab yabg diberikan oleh penjual ataupun pembeli mengenai harga tanah, dan cara pembayaran tanah tersebut kemudian tahap contractual yakni tahap adanya persesuaian kehendak antara para pihak baik mengenai harga tanah, cara pembayaran/tahapan pembayaran, dan kapan akan dilaksanakan jual beli tanah, kemudian tahapan yang ketiga yakni tahap post contractual yakni setelah ada kesepakatan antara para pihak mengenai kehendak masing-masing pihak kemudian diadakan transaksi jual beli tanah di hadapan PPAT. Melalui kesepakatan para pihak yakni penjual dan pembeli akhirnya menimbulkan akibat hukum yakni transaksi jual beli tanah druwe pura Pura Dalem Sakenan Kelan.
4.3
Bentuk Transaksi Jual Beli Tanah Druwe Pura Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lainnya atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Setelah adanya kata sepakata antara kedua belah pihak, yakni pihak penjual dan pembeli, maka dilaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
126 yang dibuat dihadapan Notaris Kota Denpasar. PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yakni suatu perjanjian yang dibuat secara notariil dihadapan notaris, PPJB dibuat karena proses balik nama sertifikat ke atas nama pembeli melalui AJB belum dapat dilaksanakan karena persyaratannya belum lengkap, dan harga belum lunas. Untuk menghindari terjadinya pemungkiran terhadap kesepakatan yang telah tercapai dan menjamin hak serta kewajiban para pihak sehingga perlu dibuatkan suatu Perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dilakukan karena cara pembayaran dari tanah milik pura Desa Adat Kelan dilakukan secara bertahap, sehingga belum bisa dilakukan penandatangan Akta Jual Beli. Notaris sebagai pihak tengah terlebih dahulu
berhak
melakukan
penelitian
yuridis
sebelum
proses
transaksi
dilaksanakan. Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilaksanakan, maka perjanjian jual beli tersebut mengakibatkan antara lain: a. Hubungan hukum, artinya perikatan yang dimaksud disini adalah bentuk hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum b. Bersifat harta kekayaan, artinya sesuai dengan tempat pengaturan perikatan di BAB III BW yang termasuk di dalam sistematika Hukum Harta kekayaan (vermogensrecht), maka hubungan yang terjalin antar para pihak tersebut berorientasi pada harta kekayaan
127 c. Para pihak, artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihakpihak sebagai subyek hukum d. Prestasi artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajibankewajiban (prestasi ) kepada para pihaknya (prestasi-kontraprestasi), yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan pemenuhannya, bahkan apabila diperlukan menggunakan alat Negara. Sebelum Akta Jual Beli dibuat, maka bagi para pihak disyaratkan untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan: 1. Jika tanahnya sudah bersertifikat : sertifikat tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya 2. Jika tanahnya belum bersertifikat : surat keterangan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.99 Untuk dapat dibuatnya akta peralihan hak tersebut, pihak yang akan memindakan hak dan pihak yang akan menerima hak harus menghadap kepada PPAT. Masing-masing pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Para pihak, baik pihak yang memindahkan hak maupun yang akan menerima hak harus memenuhi persyaratan subyektif. Untuk itu PPAT berkewajiban untuk mengadakan penelitian terlebih dahulu untuk menghindari masalah dikemudian hari.
99
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 78-79.
128 Setelah sertifikat dinyatakan tidak ada masalah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui pengecekan sertifikat, dan pajak-pajak terkait jual beli seperti BPHTB, dan Pph sudah dilunasi, serta pembayaran tanah milik pura Desa Adat Kelan sudah dilunasi oleh pembeli, maka pelaksanaan penandatangan Akta Jual Beli baru dapat dilaksanakan. Penandatangan Akta Jual Beli dilakukan di hadapan Notaris/PPAT yang sama dengan dibuatnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Bendesa Adat Desa Adat Kelan mewakili Desa Adat Kelan sebagai penjual sesuai dengan isi dari surat kuasa khusus yang telah diberikan kepadanya. Penandatangan akta dihadiri pula oleh saksi-saksi dari PPAT yang ikut pula menandatangani Akta Jual Beli sebagai saksi. Pembuatan akta peralihan hak atas tanah dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (Pasal 38 PP No. 24 Tahun 1997). Kemudian selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatangani akta tersebut, PPAT wajib untuk mendaftarkannya ke Kantor Pertanahan (Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997). Berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 yang sekarang telah disempurnakan dengan PP No. 24 tahun 1997 menyebutkan bahwa jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan transaksi jual beli tanpa dapat membuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat hak milik. Pasal 19 UUPA mengatur
mengenai
129 pendaftaran tanah, menurut UUPA pendaftaran merupakan pembuktian yang kuat mengenai sahnya jual beli yang dilakukan terutama dalam hubungannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik. Berdasarkan Pasal 9 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan bahwa obyek pendaftaran tanah adalah bidang-bidang yang dipunyai dengan hak milik, HGU, HGB, hak pakai, tanah hak penglolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan dan tanah Negara. Pasal 37 PP No. 24 tahun 1997 menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarakan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan. Pendaftaran tanah berfungsi untuk memperkuat pembuktian. Memperkuat pembuktian disini berarti memperkuat pembuktian mengenai jual beli dengan mencatat pada buku tanah dan sertifikat tanah yang bersangkutan, sedangkan memperluas pembuktian dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas karena dengan dilakukannya pendaftaran jual beli maka akan diketahui oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Akta PPAT merupakan syarat formil dari adanya transaksi jual beli. Akta adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada sesuatu hak atas perikatan, yang sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta dibagi menjadi dua yakni a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan yang dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan (Pasal 165 HIR, 285 R.bg dan 1868 BW)
130 Pejabat yang dimaksud disini antara lain, notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatatan sipil, hakim dan sebagainya b. Akta di bawah tangan Artinya akta yang sengaja dibuat dengan pembuktian para pihak tanpa bantuan dengan seorang pejabat. Misalnya surat-surat ,perjanjian pemborongan pembukuan seseorang dan sebagainya. Adapun kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta dibawah tangan di dalam akta tersebut diaku oleh pihak yang bersangkutan dant erhadap pihak ketiga akta di bawahtangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas.100 Akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh UndangUndang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat mana akta itu dibuatnya. Dalam hal suatu perjanjian, apa yang dijanjikan, dinyatakan oleh para pihak sebagai yang dilihat dan didengar oleh Notaris terutama benar mengenai tanggal akta, tandatangan di dalam akta, identitas yang hadir, dan tempat dibuat akta itu, merupakan kekuatan pembuktian formal, sedangkan kekuatan pembuktian materiilii atau material akta adalah benar. Keistimewaan akta otentik adalah merupakan suatu alat bukti yang sempurna (volledigbewijs) tentang apa yang dimuat di dalamnya, artinya apabila seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, maka hakim harus menerima dan menganggap yang tertulis di dalam akta merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi. Hal ini sesuai dengan Teori Kepastian Hukum, akta jual beli sebagai akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi para pihak, sehingga dapat memberikan kepastian bagi para pihak agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.
100
Ibid., hal. 55.
131 Keberadaan UUPA yang menganut prinsip-prinsip hukum adat, bukan berarti bahwa pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang dibuat dibawah tangan. Semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai hak atas merupakan tugas pokok dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu atau pejabat yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai ha katas tanah. Akta tanah yang dibuat oleh PPAT. Akta Jual Beli yang di dalam praktek peralihan hak atas tanah digunakan sebagai alat untuk pendaftaran permohonan peralihan hak di kantor pertanahan kabupaten/kota dimana tanah berada, dibuat dan menjadi wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sehingga AJB ini lazim disebut dengan Akta Jual Beli PPAT. Jadi sahnya jual beli adalah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian dan prosedur jual beli tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku diantaranya: 1. Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan pertauran pemerintah”.
132 2. Memenuhi asas terang dan tunai yang diwujudkan dengan adanya akta yang dibuat dihadapan PPAT (ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 tahun 1977).
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya jual beli tanah druwe pura Desa Adat Kelan adalah : (1) tanah milik pura tesebut pernah menjadi obyek sengketa, (2) tanah milik pura tersebut tidak produktif lagi, dan (3) keperluan dana bagi kepentingan kepentingan pura tersebut, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Kepentingan jangka pendek menyangkut pemugaran/renovasi pura serta biaya upacara setelah renovasi (melaspas, ngenteg linggih). Kepentingan jangka panjang adalah pembentukan dana abadi untuk membiayai aktivitas-aktivitas di Pura tersebut di masa depan sehingga masyarakat tidak dibebani lagi dengan biaya yang berat dalam rangka kelangsungan pura tersebut.
2.
Prosedur penjualan tanah milik pura mempunyai proses yang panjang dan memakan banyak waktu. Pertama diadakan Paruman desa yang dihadiri oleh kelian serta seluruh krama pengempon pura yaitu krama Desa Adat Kelan. Paruman desa ini diselenggarakan untuk mendapatkan kata sepakat dari seluruh krama pengempon mengenai rencana penjualan tanah milik pura. Setelah melakukan paruman desa yang hasilnya
disiarkan oleh
bendesa adat, kemudian dicarikan surat rekomendasi penjualan dari Kementerian Agama, surat rekomendasi penjualan dari Parisada Hindu Dharma Bali Kota Denpasar, dan surat rekomendasi penjualan dari 133
134 Walikota Kota Denpasar. Dalam proses jual beli juga harus dicarikan tanah pengganti, hasil penjualan harus dipergunakan untuk membeli tanah pengganti. Selanjutnya setelah semua syarat dipenuhi maka proses jual beli dilakukan di hadapan PPAT. Pihak penjual/pemilik tanah druwe pura di wakili oleh Bendesa Adat Desa Adat Kelan berdasarkan surat kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum tersebut yang telah diberikan kepadanya. Transaksi jual beli harus memenuhi asas terang dan tunai yang diwujudkan dengan adanya akta yang dibuat dihadapan PPAT (ketentuan Pasal 37 ayat (01) PP No. 24 tahun 1977).
5.2
Saran Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan penjualan tanah
druwe pura adalah sebagai berikut: 1.
Untuk pihak-pihak yang memberikan rekomendasi untuk penjualan tanah druwe pura hendaknya turut serta melaksanakan pengawasan pasca keluarnya rekomendasi penjualan, sehingga yang menjadi landasan, latar belakang, serta tujuan dari terbitnya rekomendasi dari penjualan tanah druwe pura betul-betul terlaksana dengan baik. Bila perlu ada pembentukan tim dari pihak pemerintah, PHDI, maupun instansi terkait sehingga baik sebelum maupun sesudah pemberian rekomendasi dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
135 2.
Perlu dipertegas aturan mengenai penjualan tanah Pelaba Pura/Druwe Pura, utamanya penegasan tentang larangan sehingga fungsi pelestarian dapat terjaga. Masih banyak jalan agar tanah Pelaba Pura/Druwe Pura tidak dijual sehingga tidak hilang/beralih selamanya misalnya dengan menyewakan atau kerjasama atau memfungsikannya secara lebih ekonomis serta tetap mengandung unsur pelestarian.
3.
Berdasarkan
hasil
penelitian ditemukan adanya Surat Walikota No.
593/1917/Pem.Um, tertanggal 24 Mei 1993, Perihal Petunjuk Proses Penjualan Pelaba Pura. Dalam hal ini disarankan agar ada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan walikota untuk dapat melakukan pengaturan mengenai penjualan tanah druwe pura ini.
136
DAFTAR PUSTAKA 1.
Buku
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Ali, Chidir, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung. Alting, Husen, 2010, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa Mendatang), Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Assip, Flechteim, K, 1952, Fundamentals of Political Science , Ronald Press Co, New York. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993, Analisa dan Evaluasi Tentang Masalah Calo Dalam Jual Beli Tanah, Jakarta. Daliyo, J.B, dan kawan-kawan, 2001, Hukum Agraria I, Cet Ke-5, Prehallindo, Jakarta. Dirjosisworo, Soedjono, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung. Elias, Stephen, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free Legal Update at Nolo.com, USA. Eliyana dalam Irawan Soerodjo, 1997, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Cetakan Pertama, Arloka, Surabaya. Hadikusuma, H. Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Harsono, Boedi, 2003, Hukum Agraria Nasional, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. _____________, 1977, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi, Simposium Undang-Undang Pokok agraria dan Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa Ini, Banjarmasin. (selanjutnya disebut dengan Boedi Harsono I)
136
137 _______, 1970, UUPA Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Banjarmasin. Haryanto, 1981, Cara Mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah, Usaha Nasional, Surabaya. Hidayat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-2, Liberty, Yogyakarta. Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta. Keraf, Sonny, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. Ke-7, Djambatan, Jakarta. Latimer, Paul Stepen, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia Limited, Australia. Mahendra, Oka, A.A., dan H. Hasanudin, 1997, Tanah dan Pembangunan Tinjauan dari Segi Yuridis dan Politis, Pustaka Manik Geni, Denpasar. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta. Muhammad, Bushar, 1997, Azas-Azas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-3, Bandung. Murad, Rusmadi, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung. Moleong , Lexy J, 2013, Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Naim, Mochtar, 1978, Simposium UUPA dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung. Nasution. S ,1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Jakarta. Parlindungan, A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet Ke-2, Mandar Maju, Bandung.
138 Pemda Tk.I Bali Direktorat Agraria, 1986, Inventarisasi Tanah-Tanah Laba Pura Propinsi Daerah Tingkat I Bali. Perangin, Effendi, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Raharjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Cet. Ke-3, Alumni, Badung. Rato, Dominikus, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia), Laksbang Pressindo, Surabaya. Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition, LexixNexis Butterworths, Australia. Ruchiat, Eddy, 1992, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No. 5 Tahun 1960), Alumni, Bandung. Saleh. K, Wantjik , 1982, Hak Atas Tanah, Cet. Ke-4, Ghalia Indonesia, Jakarta. Salim, H.S., 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Predana Media, Jakarta. Saragih, Djaren, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung. Sarkawi, 2014, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat, Cet. Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, 2008, Udayana University Press, Denpasar. Soedjindro, J.Kartini, 2001, Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta. Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet. Pertama, Arloka, Surabaya. Sudiyat, Imam, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta. Sutedi, Adrian, 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta.
139 Swellengrebel, 1984, Introduction, Bali Studies in Life, Thought and Ritual, Foris Publications, Holland. Sri Rsi Anandakusuma, 1986, Kamus Bahasa Bali, CV. Kayumas, Denpasar. Suasthawa. D, M., 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV. Kayumas Agung, Denpasar. Suastawa Darmayuda, I Made, dan Koti Cantika, I Wayan, 1991, Filsafat Adat Bali (selanjutnya disingkat I Made Suastawa Darmayuda I, Upada Sastra, Denpasar. Tara Wiguna, I Gusti Ngurah, 2009, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X-XI Masehi, Udayana University Press, Denpasar. Ter Haar Bzn, Mr.B, 1999, diindonesiakan oleh K.Ng Soebakti Poesponoto, AsasAsas dan Susunan Hukum Adat, Cet. Ke-21, Pradnya Paramita, Jakarta. Thalib, Sajuti, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta. Windia, Wayan P., 2010, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Cetakan Pertama, Udayana university Press, Denpasar. Wignjodipoero, Soerojo, 1983, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta. Winata, Adi, S, 1978, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Alumni, Cet. Ke-3, Bandung. Wulansari, Dewi, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Cet. Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung.
2.
Artikel
Agung, I Gst Nym, 1986, “Sistem Penguasaan Tanah Druwe Desa dan Kaitannya Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Kecamatan Tejakula, Kab. Daerah Tingkat II Buleleng”, Kertha Patrika Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD, Nomor. 65 Tahun XX, Feb-Jul 1986, Denpasar. Sudantra, I Ketut, 1992, “Status Hak Atas Tanah Pura Setelah Berlakunya SK. Mendagri Nomor SK. 556/DJA/1986”, Kerta Patrika Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor 61 Tahun XVIII, Desember 1992, Denpasar.
140 Wirta Griadhi, Ketut, 1977, ”Sekitar Identifikasi Terhadap Desa Adat di Bali”, Kertha Patrika, Majalah Hukum dan Masyarakat FHPM UNUD, Denpasar.
3.
Peraturan Perundang-Undangan
Burgerlijk Wetbook, Stb. 1847 : 23 (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, cetakan 32, Pradnya Paramita, Jakarta). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 1). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 58). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746). Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman (Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 29). Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11). Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No 556/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
141 DAFTAR INFORMAN
Nama
: I Gusti Ngurah Putra Wijaya, SH
Umur
: 60 Tahun
Pendidikan
: Strata 1
Alamat
: Jalan Veteran No. 33 Denpasar
Pekerjaan
: Notaris/PPAT Kota Denpasar
Nama
: I Made Sugita. S.Sos
Umur
: 45 Tahun
Pendidikan
: Strata 1
Alamat
: Jl. Pudak Sari Gg. 1 No. 8 Lingkungan Desa Adat Kelan
Pekerjaan
: Bendesa Adat Kelan
Nama
: Bagus Nyoman Sudarta
Umur
: 46 Tahun
Pendidikan
: SMA
Alamat
: Jl. Raya Kepaon No. 10 Denpasar Selatan
Pekerjaan
: Pegawai Kantor Notaris/PPAT
141