SKRIPSI TARI REJANG MUANI DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN KABUPATEN BANGLI
OLEH: NI LUH DIAN ARISTA DEWI NIM: 2010 01 005
PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI JURUSAN SENI TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2014
SKRIPSI TARI REJANG MUANI DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN KABUPATEN BANGLI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1)
OLEH: NI LUH DIAN ARISTA DEWI 2010 01 005
PROGRAM STUDI S-1 SENI TARI JURUSAN SENI TARI
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2014 i
SKRIPSI TARI REJANG MUANI DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN KABUPATEN BANGLI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1)
MENYETUJUI :
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si
I Wayan Budiarsa, S.Sn,.M.Si
NIP. 19650712 199203 2 002
NIP. 19730906 200604 1 002
ii
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar, pada
Hari/tanggal
: Selasa, 13 Mei 2014
Ketua
: I Wayan Suharta, S.SKar., M. Si NIP. 19630730 199002 1 001
Sekretaris
: I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum NIP. 19641231 199002 1 040 :
Dosen Penguji
(…………………)
(……………………)
1. Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA NIP. 19500622 197503 2 001
(……………………)
2. Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si NIP. 19650712 199203 2 002
(….………………..)
3. I Wayan Budiarsa, S.Sn,.M.Si NIP. 19730906 200604 1 002
(……………………)
Disahkan pada tanggal :…………………. Mengesahkan :
Mengetahui:
Fakultas Seni Pertunjukan
Jurusan Seni Tari
Institut Seni Indonesia Denpasar
Ketua,
Dekan,
I Wayan Suharta,S.SKar.,M.Si
Anak Agung Ayu Mayun Artati, SST., M.Sn
NIP. 19630730 199002 1 001
NIP. 19641227 199003 2 001 iii
Motto
~Pengetahuan adalah kekuatan~
iv
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha_Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli” tepat pada waktunya. Skripsi “Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli” merupakan hasil penelitian yang dilakukan sebagai syarat untuk memenuhi nilai tugas akhir dari program studi (S-1) Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar. Isi dalam skripsi ini meliputi pendahuluan, kajian sumber dan landasan teori, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Yang terhormat Bapak Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar beserta jajarannya, yang telah memberikan kesempatan dan menyediakan fasilitas yang memadai untuk menyelesaikan studi di Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.
2.
Kepada Dr. I Gusti Bagus Priatmaka, MM, Kepala Biro Akademik Institut Seni Indonesia Denpasar, beserta jajarannya atas bantuan selama menempuh
v
perkuliahan penulis telah banyak mendapat pelayanan akademik dan bantuan beasiswa. 3.
Bapak I Wayan Suharta, S.SKar., M.Si, Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, beserta jajarannya atas tersedianya fasilitas yang memadai dan motivasi yang diberikan sehingga studi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
4.
Ibu A.A.Ayu Mayun Artati SST., M.Sn, Ketua jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, beserta jajarannya penulis ucapkan terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan selama ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu Dosen Seni Tari yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan kesempatan dan membimbing dari sejak awal perkuliahan sampai dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih pula kepada staf Tata Usaha Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar yang telah membantu dalam registrasi perkuliahan selama ini.
5.
Bapak Kompiang Gede Widnyana, SST.,M.Hum sebagai Pembimbing Akademik, yang selalu memantau perkembangan akademik penulis dari awal hingga studi ini selesai ditempuh.
6.
Ibu Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak I Wayan Budiarsa, S.Sn,.M.Si selaku Pembimbing II, yang telah menyediakan waktu untuk membimbing dan memberikan saran-saran serta masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. vi
7.
Ibu Dra. Dyah Kustiyanti, M.Hum dan Ibu Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA yang memberikan saran-saran yang sifatnya membangun dari awal proses penulisan skripsi ini, khususnya pada mata kuliah Bimbingan Penulisan Skripsi.
8.
I Dewa Gede Raka Wiguna yang sudah menyarankan penulis untuk memilih tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli dan memberikan informasi awal mengenai tarian ini.
9.
Bapak Putu Artawa, I Wayan Sudana, I Nyoman Adnyana, I Wayan Merta, I Dewa Gede Raka Wiguna, Sang Komang Martahadi, I Nyoman Sukari, I Nengah Kariani, yang telah bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan tari Rejang Muani.
10. I Wayan Denny Saputra yang telah membantu penulis dalam membuat notasi gending tari Rejang Muani sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dan lengkap. 11. Teman-teman Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar angkatan 2010, yang selama ini telah saling memberikan semangat untuk berjuang menuntut ilmu dan mencari pengalaman, khususnya kepada sahabat penulis yaitu Ni Made Sri Lantini Rahayu, Ni Kadek Ratih Satria Ningsih, dan Ariyitna Zianet Charmeis. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman bidang Pengkajian Seni Tari, Institut Seni Indonesia Denpasar yakni Ni Luh Putu Eva savitri, I Gusti Ayu Ananta Wijayantri, Ida Ayu Made Suwari Yanti, Ni Nyoman Suartini, Ni Wayan Trisna Dewi, Ella Jayanuari, I Made Laksmana Putra, yang telah memberikan semangat dan saling bertukar pikiran dalam pembuatan skripsi ini. vii
12. Keluarga tersayang, kedua orang tua, I Nengah Jangkep dan Ni Made Sedani yang sudah membantu penulis selama ini, serta selalu memberikan doa dan bantuan baik moral maupun material. Kepada I Wayan Sumawan yang sudah menemani penulis dan memberikan dukungan, serta memberikan bantuan untuk memecahkan masalah dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat berjalan dengan lancar. 13. Semua pihak yang dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh karenanya penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan penulisan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi yang telah penulis susun ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Denpasar, Mei 2014
Penulis
viii
ABSTRAK TARI REJANG MUANI DI PURA PUSEH DESA PAKRAMAN LUMBUAN KABUPATEN BANGLI
Tari Rejang Muani adalah sebuah tari upacara yang sering dipentaskan dalam rangkaian upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Tarian ini dipentaskan setiap 6 bulan sekali (210 hari) yaitu pada Hari Raya Galungan Nadi atau Kuningan Nadi, serta pada Ngusaba kepitu. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dan fungsi pertunjukan tari Rejang Muani bagi masyarakat setempat. Penelitian tentang tari Rejang Muani merupakan penelitian kualitatif yang dianalisis dengan menggunakan teori estetika dan teori fungsional. Semua data yang disajikan dalam penelitian ini diperoleh melalui langkah observasi, wawancara, dokumentasi, serta studi kepustakaan yaitu membaca buku-buku yang terkait dengan objek penelitian. Hasil pengamatan menunjukkan tari Rejang Muani diperkirakan berasal dari sebuah desa yang bernama Desa Darmaji, Karangasem. Diperkirakan tari Rejang Muani sudah ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan sekitar 350 tahun yang lalu. Tarian ini ditarikan oleh penari laki-laki atau sekaa truna (belum menikah atau beristri). Tarian ini memiliki penyajian yang sangat sederhana yaitu penari tidak memakai riasan wajah serta hanya menggunakan pakaian adat ke pura, dan ragam gerak tarinya juga sederhana, yaitu dilakukan secara berulang-ulang ke arah pojok kanan dan kiri. Gerak tersebut dilakukan hanya sembilan kali, hal tersebut karena sangat terkait dengan penjor Nawa Sanga yang juga hanya terdiri dari sembilan cabang. Penjor tersebut merupakan salah satu syarat dan harus ada pada setiap pementasan tari Rejang Muani, karena merupakan simbol dari Dewata Nawa Sanga (lambang para dewa disembilan arah mata angin). Fungsi tari Rejang Muani adalah sebagai sarana upacara atau tari wali serta sebagai pengikat solidaritas masyarakat setempat. Sebagai sarana ritual, tari Rejang Muani selalu dipentaskan hanya dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Fungsi kedua yaitu sebagai pengikat solidaritas masyarakat, dapat dilihat dari kegiatan masyarakat dalam mempersiapkan kebutuhan upacara maupun perlengkapan dalam pementasan tari Rejang Muani. Kata Kunci: tari Rejang Muani, Bentuk, Fungsi
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….
iii
MOTTO ………………………………………………………………
iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………..
v
ABSTRAK …………………………………………………………...
ix
DAFTAR ISI …………………………………………………………
x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………...
1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………
6
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………..
6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian …………………………………..
6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian …………………………………
7
BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Sumber ……………………………………………..
9
2.2 Landasan Teori …………………………………………….
14
2.2.1 Teori Estetika ………………………………………..
14
2.2.2 Teori Fungsional …………………………………….
15
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ……………………………………...
18
3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………..
20
x
3.3 Jenis dan Sumber Data …………………………………….
25
3.4 Instrumen Penelitian ……………………………………….
26
3.5 Teknik Penentuan Informan ……………………………….
28
3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………...
29
3.6.1 Observasi …………………………………………….
30
3.6.2 Wawancara …………………………………………..
32
3.6.3 Studi Kepustakaan …………………………………..
38
3.6.4 Dokumentasi …………………………………………
39
3.7 Analisis Data ………………………………………………
39
3.8 Hasil Penyajian Analisis Data ……………………………..
40
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN TARI REJANG MUANI 4.1 Proses Upacara …………………………………………….
47
4.2 Bentuk Pertunjukan Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli ……………..
63
4.2.1 Penari tari Rejang Muani …………………………….
65
4.2.2 Ragam Gerak tari Rejang Muani …………………….
67
4.2.3 Tata Rias dan Busana tari Rejang Muani …………....
70
4.2.4 Musik Iringan tari Rejang Muani …………………....
76
4.2.5 Tempat Pementasan tari Rejang Muani ……………
78
4.3 Fungsi Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli ……………………………… 4.3.1 Fungsi wali tari Rejang Muani …………………….... 4.3.2 Fungsi sosial tari Rejang Muani …………………….
80 82 83
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ………………………………………………...
86
5.2 Saran-saran ………………………………………………...
87
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..
89
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1
: Pelinggih Pahlawan …………………………………………………
49
2
: Tempat sesajen di bawah Penjor Nawa Sanga ……………………...
50
3
: Penari pada saat mengadakan persembahyangan sebelum menari ….
52
4
: Sekaa truna mencari bambu untuk penjor Nawa Sanga …………..
59
5
: Sekaa truna mencari bambu untuk penjor Nawa Sanga …………..
60
6
: Sekaa truna muncuk membawa bambu untuk bahan penjor Nawa Sanga ………………………………………………………………..
61
7
: Penjor Nawa Sanga …………………………………………………
62
8
: Penari sebelum menarikan tari Rejang Muani ………………………
66
9
: Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kiri ………….
68
10
: Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kanan ……….
69
11
: Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman Lumbuan …………………………………………………………….
72
12
: Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman Lumbuan …………………………………………………………….
73
13
: Selendang tari Rejang Muani ………………………………………..
74
14
: Penggunaan selendang tampak dari depan dan belakang …………...
75
15
: Musik pengiring tari Rejang Muani …………………………………
77
16
: Tempat pementasan tari Rejang Muani ……………………………..
79
17
: Papan nama Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ………..
102
18
: Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli …………………….
102
19
: Pementasan tari Mabuang …………………………………………...
103
20
: Pelinggih utama ……………………………………………………..
103
xii
21
: Pelinggih utama ……………………………………………………..
104
22
: Pelinggih utama ……………………………………………………..
104
23
: Pelinggih utama ……………………………………………………..
105
24
: Peta Pulau Bali ………………………………………………………
106
25
: Peta Kabupaten Bangli ……………………………………………...
107
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1
: Daftar Informan ……………………………………….
93
2
: Glosarium ……………………………………………..
95
3
: Daftar Pertanyaan ……………………………………..
100
4
: Notasi Gending ………………………………………..
101
5
: Foto-foto ………………………………………………
102
6
: Peta Pulau Bali dan Kabupaten Bangli………………...
106
7
: Surat Ijin Penelitian …………………………………...
108
8
: Surat Keterangan ……………………………………..
109
9
: Kartu Bimbingan Tugas Akhir ………………………..
110
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Bangli merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang mempunyai berbagai macam kesenian yang patut dilestarikan. Salah satu bentuk kesenian yang masih banyak ditemui di Bangli adalah seni tari wali. Adapun jenis-jenis tari wali tersebut antara lain tari Baris, tari Sanghyang, tari Rejang, dan tari Barong. Tari-tarian tersebut tersebar di masing-masing desa di Kabupaten Bangli, yang mempunyai kaitan sangat erat dengan upacara keagamaan, sebagai wujud rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Masyarakat Bangli sampai sekarang masih tetap memegang teguh tradisi dan religi yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyangnya, sehingga tarian tersebut sampai sekarang masih tetap lestari. Secara umum, seni tari dapat digolongkan menjadi dua yaitu tari upacara dan tari tontonan atau hiburan. Tari upacara mencakup tari-tarian wali dan bebali, sedangkan tari tontonan atau hiburan mencakup tari balih-balihan (Dibia, 1999:9). Tari wali merupakan bagian dari tradisi yang ada di dalam suatu kehidupan masyarakat Bali, yang sifatnya turun-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Tari-tarian ini biasanya dipentaskan dalam suatu rangkaian upacara tertentu dan tarian tersebut disucikan oleh masyarakat pendukungnya. Pementasan tari wali tidak terlalu mengutamakan faktor keindahan, karena tujuan utamanya 1
adalah sebagai tari persembahan kepada sang pencipta. Seni tari wali merupakan bagian penting dalam pelaksanaan upacara keagamaan pada kehidupan masyarakat Bali, terutama bagi mereka yang beragama Hindu. Bagi masyarakat Bali, agama merupakan salah satu kunci kehidupan seni di Bali. Hal itu dapat dilihat pada suatu upacara keagamaan, seni tari memiliki fungsi sebagai sarana dalam upacara tersebut, dan hampir tidak ada satupun upacara keagamaan yang selesai tanpa ikut sertanya sebuah sajian tari-tarian (Bandem, 1996:9). Pelaksanaan upacara keagamaan yang menghadirkan seni tari membuat masyarakat Hindu Bali merasa terlindungi dari kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata. Kegiatan dalam melaksanakan upacara keagamaan dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali secara tulus ikhlas dan tanpa pamrih, yang biasa disebut dengan ngayah. Tari Rejang merupakan salah satu dari sekian jenis tari wali yang mampu menghadirkan kekuatan-kekuatan di luar nalar manusia. Tari Rejang sudah tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Bali, karena hampir semua upacara keagamaan selalu mengikut sertakan tarian ini. Tari Rejang merupakan salah satu tari tradisional yang mempunyai gerak-gerak tari yang sangat sederhana, dan penuh dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Tarian ini pada umumnya ditarikan oleh penari perempuan yang dilakukan secara berkelompok. Tari Rejang biasanya ditarikan di halaman utama pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara keagamaan. Para penari mengenakan pakaian upacara, menari dengan berbaris melingkari pura atau pelinggih yang kadang kala juga dilakukan dengan berpegangan tangan (Bandem, 1983:122). Sampai sekarang, tari Rejang masih banyak dapat ditemui di beberapa daerah di Bali, 2
karena sebagian besar masyarakat masih memfungsikan tarian tersebut sebagai sarana dalam upacara keagamaan. Adapun jenis-jenis tari Rejang yang masih dilestarikan oleh masyarakat Bali, diantaranya adalah tari Rejang Renteng, tari Rejang Dewa, tari Rejang Bengkol, tari Rejang Oyodpadi, tari Rejang Nyanying dan lain sebagainya (Bandem, 1983:122). Tari Rejang di masing-masing daerah memiliki perbedaan, keunikan dan ciri khas tersendiri, sehingga di Bali terdapat beragam jenis tari Rejang. Peran masyarakat pendukung sangat berpengaruh akan perkembangan dan kelestarian dari kesenian itu sendiri. Tari-tarian tersebut dijaga dengan baik oleh masyarakat pendukungnya, bahkan terkadang bisa menjadi ciri khas dari daerahnya. Salah satu tari Rejang yang sampai sekarang masih dijaga kelestariannya adalah tari Rejang Muani yang terdapat di daerah Bangli. Tari Rejang Muani hanya dipentaskan ditempat dan waktu tertentu, serta berkaitan dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Tarian ini dipentaskan di jeroan pura (halaman utama pura), serta tari Rejang Muani hanya boleh dipentaskan pada Hari Raya Galungan nadi, Hari Raya Kuningan nadi, serta Ngusaba kepitu. Tari Rejang Muani dipentaskan selama empat hari berturut-turut pada Hari Raya Galungan nadi, sedangkan pada Hari Raya Kuningan nadi dipentaskan selama tiga hari berturut-turut, dengan waktu penyajian pementasan tari Rejang Muani pada saat malam hari. Sejak dahulu tari Rejang Muani diiringi oleh gamelan Gong Gede yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tari Rejang Muani digunakan sebagai persembahan dan pemujaan, 3
dengan tujuan agar masyarakat setempat diberikan perlindungan, keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Selain sebagai sarana ritual, tarian ini juga dijadikan sebagai pengikat rasa kebersamaan dan persaudaraan masyarakat, sehingga tari Rejang Muani masih tetap berkembang dengan baik dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Tari Rejang Muani tergolong unik jika dibandingkan dengan tari Rejang lainnya. Keunikannya terdapat pada penari, tata busana yang dipakai, serta kaitannya dengan sebuah penjor yang memiliki sembilan buah cabang dan oleh masyarakat setempat disebut dengan Penjor Nawa Sanga. Pada umumnya tari Rejang ditarikan oleh penari-penari putri di dalam mengikuti upacara persembahyangan (Bandem, 1983:122). Berbeda halnya dengan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, sesuai dengan namanya, tarian ini ditarikan oleh sekelompok penari lakilaki (muani) yaitu sekaa truna yang berasal dari Desa Pakraman Lumbuan sendiri. Sekaa truna merupakan kelompok pemuda yang belum menikah atau beristri. Dalam pelaksanaan tarian ini, mereka menunjukkan rasa bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, melalui gerakannya yang sangat sederhana. Tari Rejang biasanya memakai pakaian adat tradisional Bali sesuai dengan daerahnya masing-masing, dan menggunakan selendang panjang yang diikatkan dipinggang atau di dada penari. Pada tata busana tari Rejang Muani (laki-laki) juga menggunakan sebuah selendang, namun cara pemakaiannya berbeda dengan tari Rejang pada umumnya. Selendang yang dipakai tidak diikatkan dipinggang, melainkan selendang tersebut diikat pada dada penari dan 4
selanjutnya disilangkan ke lehernya. Selendang tersebut disimpan disebuah kotak di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan saja, serta tidak boleh dipinjamkan sembarangan. Selendang tersebut tidak mempunyai ukuran dan warna yang khusus, namun mempunyai makna sebagai penghormatan kepada para leluhur. Keunikan lainnya dari tarian ini adalah sangat terkait dengan Penjor Nawa Sanga yang selalu dipersembahkan pada setiap pementasan tari Rejang Muani. Penjor Nawa Sanga dilambangkan sebagai Dewata Nawa Sanga (lambang para dewa di sembilan arah mata angin) dan sebagai tanda terima kasih masyarakat atas kesejahteraan, kemakmuran yang telah dilimpahkan. Penjor tersebut memiliki cabang sebanyak sembilan buah serta menggunakan sampian yang sesuai dengan jumlah cabangnya (bertingkat sembilan). Kaitan tari Rejang Muani dengan penjor tersebut dapat dilihat pada gerak tariannya yang hanya diulang sembilan kali sesuai dengan jumlah cabang pada Penjor Nawa Sanga. Pembuatan Penjor Nawa Sanga dapat dikatakan sangat rumit, karena sekaa truna harus mencari bahan-bahan penjor tersebut sendiri, sedangkan sekaa truni juga harus mampu mambuat sampian dan lamak sendiri. Pembuatan penjor tersebut diibaratkan sebagai ujian untuk bisa menopang tanggung jawab yang besar sebagai anggota sekaa truna-truni. Berdasarkan uraian di atas, dari sekian banyak tari Rejang yang sudah pernah diteliti, tidak menunjukkan bahwa tari Rejang Muani yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli pernah diteliti sebelumnya. Selain itu perlu kiranya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam, mengingat tari Rejang Muani merupakan warisan budaya yang harus dipelihara dan dilaksanakan 5
dengan baik oleh masyarakat setempat, karena erat kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah bentuk pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli ?
2.
Apakah fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, bagi masyarakat pendukungnya?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dan memperoleh gambaran secara jelas mengenai bentuk pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli.
2.
Untuk mengetahui fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, baik secara teoritis maupun praktis bagi pembaca maupun masyarakat luas yang 6
khususnya berkecimpung dalam dunia seni pertunjukan. Adapun manfaat dari hasil penelitian tentang tari Rejang Muani adalah : 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menambah pengetahuan mengenai seni tari upacara, khususnya tari Rejang Muani yang masih berkembang dengan baik di Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini merupakan wujud dari upaya, untuk turut serta melestarikan tari tradisional yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, yang pada penelitian ini adalah tari Rejang Muani yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi seniman muda sebagai generasi penerus dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti berikutnya, khususnya dalam bidang pengkajian yang terkait dengan penelitian tari Rejang Muani.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tari Rejang Muani yang bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, hanya terfokus pada kajian pementasan tari Rejang Muani pada waktu Hari Raya Galungan nadi dan Hari Raya Kuningan nadi. Sebagai salah satu bentuk tari wali yang sampai sekarang masih tetap dipelihara dan difungsikan pada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa
7
Pakraman Lumbuan Bangli, tentunya tari Rejang Muani diyakini mengandung banyak hal-hal penting bagi masyarakat setempat. Supaya pembahasan tulisan terarah dan untuk menghindari terjadinya penafsiran yang terlalu melebar dalam topik yang dibahas, maka ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi. Penelitian tari Rejang Muani difokuskan pada bentuk pertunjukan dan fungsi tarian tersebut bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pada pembahasan tentang bentuk pertunjukan dipaparkan mengenai penari, gerak, tata rias dan busana, musik iringan serta tempat pementasan tari Rejang Muani. Pada pembahasan fungsi tari Rejang Muani dijelaskan mengenai apa yang benar-benar dirasakan dari keberadaan tarian tersebut di dalam kehidupan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.
8
BAB II KAJIAN SUMBER DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Sumber Sumber tertulis sangat diperlukan dalam sebuah tulisan ilmiah karena dapat mendukung dan menegaskan suatu pernyataan. Melalui studi kepustakaan yang telah dilakukan, sangat memberikan tambahan pengetahuan dan informasi terkait dengan objek penelitian. Penelitian tentang tari Rejang telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dari hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa objek penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli belum ada yang mengkaji. Kajian sumber dan landasan teori dapat diambil dari berbagai macam sumber bacaan. Walaupun demikian, sumber yang terbesar haruslah dari bukubuku, sedangkan sumber terkecil adalah yang diambil adalah dari internet. Hal tersebut dikarenakan kualitas informasi dari internet tidak diteliti sebelumnya oleh para ahli (Raco, 2010:74-75). Buku-buku yang dipilih sebagai kajian sumber dalam penelitian ini adalah buku yang memiliki topik bahasan terkait dengan penelitian yang dilakukan. Selain buku-buku dapat juga menggunakan jurnal, tulisan-tulisan ilmiah, majalah ilmiah, dan yang terakhir adalah sumber dari internet. Pada studi kepustakaan diperoleh buku-buku sebagai data sekunder, yang bermanfaat sebagai perbandingan bahwa tari Rejang Muani belum ada yang 9
meneliti, serta dijadikan acuan atau referensi untuk memperkuat data-data yang diperoleh dari informan dalam penelitian mengenai tari Rejang Muani. Adapun buku-buku yang dimaksud, sebagai berikut. Buku Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali oleh I Made Yudabakti dan I Wayan Watra (2007). Buku ini sangat mendukung dalam penelitian yang dilakukan, terutama pada halaman 64-65 terdapat pembahasan yang
menyebutkan bahwa fungsi kesenian Bali pada umumnya mempunyai
fungsi yang sangat sakral karena dalam penciptaan karya seni Bali, pada awalnya hanya untuk kepentingan keagamaan semata. Seni tari Wali yaitu seni tari yang dipertunjukkan di pura-pura dan di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upacara agama. Pada umumnya kesenian wali tidak memakai lakon, misalnya seperti tari Rejang, tari Pendet, tari Sanghyang, dan tari Baris upacara. Sesuai dengan ungkapan tersebut, tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli merupakan sebuah tarian yang dalam pementasannya tidak memakai lakon. Tari Rejang Muani merupakan warisan budaya masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sarana upacara keagamaan di desa setempat. Pembahasan ini sekiranya menjadi acuan dalam penelitian tari Rejang Muani, khususnya dalam konteks keagamaan. Selain itu dapat pula memperkuat data-data yang diperoleh dari informan dan dapat memberikan informasi yang terkait dengan fungsi dari pertunjukan tari Rejang Muani. Pada buku ini dijelaskan mengenai tari Rejang, namun penelitian tentang tari Rejang Muani belum ada dibahas dalam buku ini, sehingga buku ini dapat 10
dijadikan perbandingan bahwa penelitian yang dilakukan benar-benar belum ada yang meneliti sebelumnya. Buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali oleh I Wayan Dibia (1999) pada halaman 3-4, menyebutkan bahwa pada tahun 1971 sesuai Keputusan Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari di Denpasar, secara umum seni pertunjukan Bali dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tari upacara atau seni wali dan bebali, dan seni tontonan atau hiburan yang biasa disebut seni balihbalihan. Seni wali dan bebali meliputi jenis-jenis kesenian yang pada umumnya memiliki nilai-nilai religius, sangat disakralkan (disucikan dan dikeramatkan), karena melibatkan benda-benda sakral. Pementasan kesenian upacara ini tidak boleh sembarangan, melainkan harus pada waktu dan tempat tertentu serta berkaitan dengan pelaksanaan upacara ritual. Pagelaran kesenian ini lebih ditujukan untuk kepentingan upacara daripada maksud untuk menghibur penonton. Seni balih-balihan meliputi jenis-jenis kesenian yang lebih menonjolkan nilai-nilai hiburan, yang pertunjukannya lebih bersifat dan bersuasana sekuler. Kesenian ini dapat dipentaskan kapan dan di mana saja tanpa ada batasan waktu, tempat, serta peristiwa-peristiwa yang terlalu mengikat. Berdasarkan penggolongan seni tari, tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli, termasuk sebagai tari wali, karena masyarakat setempat hanya menarikan tarian ini dalam konteks upacara di pura saja. Isi dari buku ini dapat menjadi acuan di dalam meneliti tari Rejang Muani yang merupakan sebuah tari wali, terutama pada bagian pembahasan fungsinya. 11
Buku Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi oleh I Made Bandem & Fredrik Eugene deBoer (2004), hasil terjemahan dari I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem, pada halaman 1-3, menyebutkan bahwa tari wali dipentaskan atau digelar dalam hubungannya dengan ritual keagamaan, dan taritarian ini hanya dipentaskan dalam konteks upacara keagamaan, serta dipersembahkan dalam konteks jadwal dari kalender Bali. Ungkapan tersebut terdapat kesamaannya dengan tari Rejang Muani di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, yang dipentaskan pada saat upacara piodalan di Pura Puseh yakni pada Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi, dan Ngusaba kepitu di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Perhitungan dalam menentukan pementasan tari Rejang Muani, dilakukan dengan melihat hari baik pada kalender Bali. Buku ini sangat relevan karena dapat memperkuat data yang diperoleh terkait mengenai tari Rejang Muani yang hanya dipentaskan dalam konteks upacara keagamaan dan pada waktu tertentu saja. Buku Ensiklopedi Tari Bali oleh I Made Bandem (1983), pada bagian halaman 122, menyebutkan bahwa tari Rejang adalah sebuah tari tradisional yang gerak-gerak tarinya sangat sederhana (polos) dan penuh dengan rasa pengabdian kepada para leluhur. Tari ini dilakukan oleh para wanita di dalam mengikuti persembahyangan, dengan cara berbaris, melingkar, dan sering pula berpegangan tangan. Tari Rejang biasanya memakai pakaian adat atau pakaian upacara, memakai hiasan bunga-bunga emas di kepalanya sesuai dengan pakaian adat daerah masing-masing. Berbeda halnya dengan tari Rejang Muani yang tidak ditarikan oleh sekelompok penari putri, namun tarian ini ditarikan oleh 12
sekelompok penari putra yaitu sekaa truna (orang laki-laki yang belum beristri/ menikah) yang berasal dari Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Tarian ini juga tidak memakai bunga-bunga emas dikepalanya serta busana yang digunakan sangat sederhana. Buku ini sangat mendukung dalam penelitian, karena dapat bermanfaat untuk memperkuat pemaparan bentuk pertunjukan dari tari Rejang Muani, baik dari gerak, penari (jenis kelamin), serta tata rias dan busananya. Buku Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa oleh R.M Soedarsono (2001), menguraikan tentang metode penelitian yang dipergunakan dalam membedah sebuah penelitian seni pertunjukan dan seni rupa. Buku ini sangat mendukung dalam penelitian, terutama pada halaman 170-174 terdapat pembahasan mengenai fungsi seni pertunjukan, yang terdiri dari fungsi primer dan sekunder. Buku tersebut memberikan pengetahuan mengenai fungsi seni pertunjukan, sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman dalam menjawab pembahasan mengenai fungsi tari Rejang Muani bagi masyarakat pendukungnya. Skripsi “Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan” oleh Luh Mas Suastri (1985), menyebutkan bahwa tari Rejang Ayunan ditarikan oleh sekelompok sekaa truna dengan perbendaharaan gerak yang sangat sederhana, yang penuh rasa pengabdian kepada para leluhur. Penelitian tentang tari Rejang Ayunan dengan tari Rejang Muani sama-sama ditarikan oleh sekaa truna dengan gerak yang sederhana dengan rasa pengabdian kepada leluhur. Walaupun penelitian ini samasama membahas tari Rejang yang ditarikan oleh penari laki-laki, namun kedua tarian ini mempunyai perbedaan pada gerak, tata busana, iringan musik serta 13
penyajiannya, sehingga dapat dibuktikan bahwa kedua penelitian tersebut tidak sama. Hasil penelitian ini bisa dijadikan perbandingan dan membuktikan bahwa tari Rejang Muani mempunyai keunikan tersendiri yang dapat menjadi ciri khas dan tarian ini berbeda dari tari-tari Rejang lainnya. Buku-buku dan hasil penelitian yang dijadikan sebagai kajian sumber, belum ada yang menyinggung atau membahas tentang bentuk pertunjukan dan fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Kontribusi buku-buku dan hasil penelitian sebelumnya, bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan bahwa belum ada yang melakukan penelitian terkait tari Rejang Muani, sehingga perlu diadakannya suatu penelitian sebagai bentuk keikutsertaan dalam melestarikan tarian ini dan menambah jumlah jenis penelitian tentang tari Rejang.
2.2 Landasan Teori Landasan teori bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dipergunakan dua buah teori untuk mengkaji atau membedah permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun teorinya adalah sebagai berikut.
2.2.1 Teori Estetika A.A.M Djelantik (2004:15) dalam bukunya yang berjudul Estetika Sebuah Pengantar, menyatakan bahwa semua benda atau peristiwa kesenian 14
mengandung tiga aspek dasar, yakni wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi (content), penampilan atau penyajian (presentation). Pembagian mendasar atas pengertian wujud, yakni semua wujud terdiri dari bentuk (form) dan susunan atau struktur (structure). Bobot mempunyai tiga aspek, yaitu suasana (mood), gagasan (idea), dan pesan (message). Penampilan mengacu pada pengertian bagaimana suatu kesenian (seni tari) ditampilkan kepada penonton. Dalam menampilkan sebuah kesenian, ada tiga unsur yang berperan, yaitu bakat (talent), keterampilan (skill), dan sarana atau media. Dalam penelitian ini, teori estetika dari Djelantik sangat relevan digunakan untuk mengkaji unsur-unsur yang ada dalam tari Rejang Muani, yaitu wujud, bobot, dan penampilan yang berhubungan dengan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli, seperti gerak, penari ( jenis kelamin ), tata rias dan busana, musik iringan, dan sebagainya.
2.2.2 Teori Fungsional Teori fungsional yang digunakan dalam penelitian tentang tari Rejang Muani adalah pernyataan oleh Soedarsono (2001:170-177) dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Dinyatakan oleh Soedarsono bahwa fungsi seni pertunjukan bagi masyarakat pendukungnya, dapat dibagi menjadi dua yaitu fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer dari seni pertunjukan adalah apabila seni tersebut jelas siapa penikmatnya, karena seni tersebut dipertunjukkan kepada penikmat atau penonton. Apabila seni pertunjukan tersebut bertujuan bukan sekedar untuk dinikmati tetapi untuk kepentingan yang lain, maka seni pertunjukan tersebut berfungsi sebagai fungsi sekunder. 15
Ada tiga fungsi primer atau utama dari seni pertunjukan yaitu: 1) Sebagai sarana ritual dan penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata, 2) Sebagai sarana hiburan pribadi yang penikmatnya adalah pribadi yang melibatkan diri dalam pertunjukan, 3) Sebagai presentasi estetis yang pertunjukannya harus dipresentasikan atau disajikan kepada penonton. Sebagai fungsi sekunder yaitu 1) Sebagai pengikat solidaritas sekelompok masyarakat, 2) Sebagai pembangkit rasa solidaritas bangsa, 3) Sebagai media komunikasi, 4) Sebagai media propaganda keagamaan, 5) Sebagai media propaganda pemerintah, 6) Sebagai media politik, 7) Sebagai media meditasi, 8) Sebagai sarana terapi, 9) Sebagai perangsang produktivitas dan lain sebagainya. Dikaitkan dengan pernyataan Soedarsono, fungsi primer pada tari Rejang Muani adalah sebagai sarana ritual, sedangkan fungsi sekundernya adalah pengikat solidaritas masyarakat Desa Lumbuan Bangli. Pernyataan di atas senada dengan I Wayan Dibia (1999:9) yang menyebutkan bahwa tari Bali apabila dilihat dari fungsinya dalam berbagai aspek kehidupan ritual dan sosial masyarakat setempat, secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu tari upacara dan tari tontonan atau hiburan. Tari upacara mencakup tari-tarian wali dan bebali, sedangkan tari tontonan atau hiburan mencakup tari balih-balihan. Dikaitkan dengan ini, tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli tergolong dalam tari upacara yaitu sebagai tari wali. Sejalan dengan teori tersebut, penciptaan sebuah karya seni selalu memiliki tujuan dan fungsi. Fungsi kesenian ditengah-tengah masyarakat dapat dilihat dari keterlibatan kesenian tersebut untuk keperluan tertentu di dalam 16
kehidupan masyarakat pendukungnya. Seni tari dapat berkembang dengan baik karena selalu difungsikan oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan apabila sebuah tarian tidak difungsikan maka tarian tersebut akan lenyap dengan sendirinya. Teori fungsional oleh Soedarsono dan pernyataan oleh Dibia, akan diterapkan guna membedah fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.
17
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan oleh peneliti di dalam mengumpulkan data-data terkait dengan penelitian yang dilakukan. Metode dalam sebuah penelitian sangatlah penting, karena dapat tercapai atau tidaknya suatu tujuan penelitian tergantung pada ketepatan metode yang digunakan. Dengan pemilihan metode yang tepat, maka akan dapat menghasilkan data-data yang akurat. Penelitian Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sebagaimana Lexy J. Moleong (2014:4-6) menyebutkan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang bersifat deskriptif melalui tulisan, bahasa, dan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dapat memberikan penjelasan dan gambaran lengkap bagi pembacanya. Berdasarkan ungkapan di atas, selanjutnya akan dijelaskan bagaimana metode penelitian tersebut dilakukan.
3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan untuk melaksanakan penelitian, yang bertujuan memberikan suatu rencana untuk menjawab permasalahan atau pertanyaan dalam penelitian. Rancangan penelitian digunakan sebagai dasar atau patokan di dalam melakukan suatu penelitian, sehingga mempunyai manfaat yang besar bagi kelancaran sebuah penelitian. 18
Penyusunan rencana penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan arah fokus dan tujuan penelitian itu sendiri. Penelitian tentang salah satu jenis tari wali ini bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Penelitian tari Rejang Muani difokuskan pada bentuk dan fungsi pertunjukan tarian tersebut bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tari Rejang Muani secara lengkap dan sesuai dengan data-data yang diperoleh di lapangan. Data yang diperoleh pada penelitian ini dikumpulkan dari mengamati pementasan tari Rejang Muani yang berlangsung setiap enam bulan sekali, dan dari hasil wawancara dengan informan kunci maupun informan tambahan. Untuk mengadakan suatu penelitian, tentunya perlu adanya teknik pengumpulan data yang dapat membantu peneliti untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Berkaitan dengan penelitian tentang tari Rejang Muani, maka dalam penelitian ini akan dilakukan teknik pengumpulan data melalui langkah observasi, wawancara, mengkaji dokumentasi, serta mencari buku-buku yang terkait dengan tari Rejang Muani. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Setelah mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, dimana data tersebut masih merupakan data mentah, sehingga perlu untuk diolah dan disusun sesuai dengan keperluan, yakni untuk menjawab permasalahan yang 19
telah dirumuskan. Penelitian tentang tari Rejang Muani mengutamakan data langsung yang diperoleh peneliti sendiri di lapangan. Peneliti akan melakukan analisis data sejak awal sampai akhir penelitian ini. Data-data yang sudah dianalisis, kemudian akan di sajikan dalam hasil penyajian analisis data sesuai ketentuan yang ada pada pedoman penulisan karya ilmiah. Hasil penelitian kualitatif adalah berupa gambaran umum apa adanya di lapangan, tanpa adanya angka-angka seperti dalam penelitian kuantitatif, walaupun tidak menutup kemungkinan diperlukan sebagai pendukung penelitian ini.
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian menjadi hal yang paling penting dalam suatu penelitian, maka lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Lokasi penelitian tari Rejang Muani bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli. Letak lokasi penelitian sangat strategis, mudah dijangkau, sehingga tidak mempersulit penelitian yang dilakukan. Desa Pakraman Lumbuan berjarak sekitar 10 kilometer dari ibukota Kabupaten, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit. Adapun yang menjadi batasbatas Desa Pakraman Lumbuan adalah sebagai berikut. 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Penglumbaran Kangin 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Alis Bintang 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Banjar Tanggahan Peken 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pengiyangan Kangin 20
Tari-tarian wali masih banyak tersebar di wilayah Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, yang salah satunya adalah di Desa Pakraman Lumbuan, sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat penelitian. Hal tersebut dikuatkan pula karena mengingat belum banyaknya data-data tertulis dan belum ada yang melakukan penelitian, khususnya tentang tari Rejang Muani. Berkenaan dengan hal tersebut, sehingga muncul keinginan peneliti untuk mengadakan penelitian tentang salah satu bentuk tari wali yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli adalah pada bidang kerajinan anyaman bambu dan kerajinan kayu. Usaha dalam bidang kerajinan ini merupakan salah satu usaha rumah tangga, yang menjadi andalan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyarakat bergerak dalam bidang kerajinan, karena bakat dari masyarakat setempat yang didapat secara turun-temurun dan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Bali. Selain itu, sektor pertanian dan peternakan juga banyak digeluti oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan. Jenis pertanian yang menjadi mata pencaharian masyarakat adalah sebagai petani sawah, sedangkan pada sektor peternakannya mereka memelihara ayam, bebek, babi dan sapi. Adapun mata pencaharian lainnya adalah sebagai pedagang, penjual jasa, pegawai negeri sipil/ PNS dan sebagainya (Wawancara dengan I Putu Artawa, pada tanggal 26 Oktober 2013, pukul 17.00 WITA di Desa Pakraman Lumbuan). Khususnya dalam bidang kesenian, sebagian masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli menggeluti profesi dibidang seni sebagai pekerjaan 21
sampingan mereka. Sebagian masyarakat Desa Pakraman Lumbuan yang menyukai seni khususnya seni pertunjukan. Mereka sering ikut serta dalam acara ngayah ataupun melakukan pementasan di Desa Pakraman Lumbuan maupun di luar desa mereka, bahkan ada beberapa orang yang biasa menari atau menabuh keluar Bali. Mereka menekuni aktivitas sebagai seorang seniman untuk menyalurkan hobby dalam bidang berkesenian. Sebagian besar dari mereka belajar secara otodidak, yaitu tidak memiliki pelatih yang membinanya secara khusus, dengan kata lain dapat dikatakan mereka belajar sendiri baik dari menonton secara langsung maupun dari video-video yang ada. Dalam bidang seni tari, mereka lebih berkiprah ke dalam kesenian Arja pada pementasan Calonarang. Selain itu, kesenian yang sampai sekarang tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan adalah kesenian Tantri. Kesenian ini juga biasa dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, karena dalam pementasan kesenian ini mengikut sertakan sesuhunan atau barong yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Belakangan ini, kesenian Tantri juga pernah diikut sertakan pada Pesta Kesenian Bali pada tahun 2013, namun pada pementasan tersebut tidak mengikut sertakan sesuhunan yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, karena sangat disakralkan oleh masyarakat setempat dan tidak boleh dipertunjukkan sebagai hiburan. Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli memiliki beberapa organisasi kesenian, di antaranya sekaa tabuh, sekaa pesantian, sekaa truna-truni dan organisasi pemuda-pemudi, serta Sanggar Tari yang diberi nama Sanggar Upih Lumbang. Organisasi kesenian tersebut, 22
tercangkup dalam sebuah Pasraman Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pasraman ini dibuat berdasarkan acuan dari Provinsi dan mendapat bantuan BKK (Bantuan Keuangan Khusus). Sekaa truna-truni merupakan salah satu organisasi tradisional yang telah ada sejak zaman dahulu. Organisasi ini mempunyai tugas untuk membantu (ngayah) di desa adat, dalam menyelenggarakan kegiatan agama dan budaya. Pada masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, mereka bisa ikut bergabung menjadi anggota dalam organisasi sekaa truna-truni mulai setelah tamat dari SD (Sekolah Dasar). Di desa ini, menurut tradisi yang ada, antara sekaa truna-truni dengan anggota muda-mudi terdapat perbedaan. Perbedaannya itu terletak pada kedudukan mereka di masing-masing rumah. Maksudnya adalah apabila mereka yang menjadi krama pengarep (mereka yang bertugas untuk menyungsung Pura Kahyangan Tiga) nantinya akan ikut dalam organisasi sekaa truna-truni dan muda-mudi. Sedangkan mereka yang merupakan krama pengerob (mereka yang membantu krama pengarep untuk ngayah), nantinya mereka hanya menjadi anggota muda-mudi. Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan biasanya menyebut sekaa truna-truni dengan truna muncuk dan daha truni. (Wawancara dengan I Putu Artawa, pada tanggal 26 Oktober 2013, pukul 17.00-19.00 WITA di Desa Pakraman Lumbuan). Truna muncuk dan daha truni merupakan krama Desa Pakraman Lumbuan yang mempunyai angkul-angkul (gerbang rumah) atau sebagai krama pengarep. Sekaa truna-truni biasanya berjumlah sesuai dengan banyaknya jumlah krama desa (masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli). Pada satu rumah 23
(angkul-angkul) bisa terdapat satu pasang (truna-truni), truna saja, ataupun truni saja yang bergabung kedalam organisasi sekaa truna-truni. Hal tersebut disesuaikan dengan umur mereka yaitu direkrut setelah tamat SD. Berbeda halnya dengan muda-mudi, mereka akan bergabung dalam organisasi pemuda-pemudi setelah kelas 2 SMP. Jumlah anggota muda-mudi akan lebih banyak daripada anggota sekaa truna-truni, karena dalam satu rumah tersebut bisa terdapat 2 atau lebih krama pengerob. Semua remaja yang bukan menjadi truna muncuk dan daha truni akan masuk organisasi hanya sebagai anggota muda-mudi saja. Lain halnya dengan remaja yang menjadi truna muncuk dan daha truni, mereka juga akan ikut serta menjadi anggota muda-mudi. Jadi remaja-remaja tersebut mempunyai dua peran serta tanggung jawab, yaitu sebagai sekaa truna-truni dan sebagai anggota muda-mudi. Menurut I Putu Artawa salah satu tokoh masyarakat di Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, beliau mengatakan bahwa pada zaman dahulu truna muncuk dan daha truni memiliki tanggung jawab yang lebih berat daripada remaja yang hanya menjadi anggota muda-mudi saja. Tanggung jawab yang paling berat adalah pada waktu membuat penjor Nawa Sanga untuk upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Namun sekarang ini, semua keperluan untuk upacara keagamaan tidak lagi hanya dipersiapkan oleh sekaa truna-truni, namun anggota muda-mudi juga ikut membantu dalam pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini dilakukan karena jumlah sekaa truna-truni lebih sedikit dibandingkan jumlah dari anggota muda-mudi, sedangkan pekerjaan yang harus mereka lakukan sangat banyak. 24
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli adalah jenis data kualitatif, yakni data tentang jalannya pertunjukan tari Rejang Muani dan informasi-informasi terkait. Jenis data menurut cara memperolehnya dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti secara langsung dari objek penelitian. Data primer dapat berupa hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari studi-studi sebelumnya dan yang sudah diterbitkan. Data sekunder atau data tidak langsung dapat berupa dokumen-dokumen atau hasil penelitian sebelumnya yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Data primer diperoleh melalui teknik pengumpulan data dengan melakukan observasi dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, dengan membaca buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan. Data merupakan informasi yang diperoleh langsung dari sumber informasi, namun masih bersifat mentah sehingga perlu adanya pengolahan data untuk bisa disajikan kedalam bentuk hasil penelitian. Sumber data adalah mengenai asal atau darimana data tersebut diperoleh. Sumber data ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah proses dan jalannya pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, dan para informan yang juga ikut serta memberikan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Sedangkan sumber 25
data sekunder adalah buku-buku hasil penelitian yang telah ada, seperti buku Ensiklopedi Tari Bali, Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali, Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition, Evolusi Tari Bali, Etnologi Tari Bali, Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali, Estetika Sebuah Penghantar,Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, dan buku-buku lainnya yang menunjang dalam penelitian ini.
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang dipilih dan digunakan oleh peneliti, untuk mempermudah dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Instrumen penelitian menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam penelitian, karena perolehan informasi yang relevan sangat ditentukan oleh tepat tidaknya dalam memilih instrumen penelitian. Instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data dapat memberikan pengaruh besar terhadap kualitas data yang diperoleh. Dengan pemilihan instrumen penelitian dan teknik pengumpulan data yang tepat, maka akan menghasilkan suatu penelitian yang bermutu dan berkualitas. Instrumen penelitian dalam hal ini dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian tari Rejang Muani di PuraPuseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Patilima (2011:7-8) menyebutkan bahwa instrumen penelitian adalah si peneliti sendiri. Peneliti harus mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang tinggi apabila ingin berhasil dengan baik dalam suatu penelitian. Sesuai dengan pernyataan tersebut, instrumen 26
utama dalam penelitian tari Rejang Muani adalah peneliti sendiri. Peneliti melakukan penelitian tari Rejang Muani dengan mengamati pementasan tarian tersebut, secara langsung di lapangan atau tempat objek penelitian yakni di Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, untuk mencari datadata yang diperlukan dan mampu menjawab sebagaimana permasalahan yang telah dirumuskan. Untuk mendukung dalam mencari, menggali data-data yang terkait dengan tari Rejang Muani, akan digunakan alat bantu berupa pedoman wawancara. Pedoman tersebut berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya untuk ditanyakan atau diajukan kepada informan. Tujuan dari pedoman wawancara tersebut adalah untuk melancarkan proses wawancara, sehingga tidak ada informasi yang tertinggal dan tidak membuat jenuh kedua pihak, sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih banyak terkait tujuan penelitian. Agar proses wawancara dapat berjalan dengan lancar dan tidak adanya data-data yang terlupakan, maka dalam penelitian ini juga dibutuhkan alat bantu seperti tape recorder, handycam, camera, dan alat tulis yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang terkait dengan penelitian ini. Instrumen penelitian tersebut digunakan pada saat pengumpulan data melalui langkah observasi dan wawancara secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Kamera dan alat perekam video dapat digunakan sebagai bukti bahwa kesenian tersebut memang ada dan selalu dipentaskan sampai sekarang. Hasil rekaman tersebut dapat menjadi 27
dokumentasi pribadi, yang dapat digunakan apabila masih ada data-data yang kurang jelas dan kurang lengkap.
3.5 Teknik Penentuan Informan Pada penelitian tentang tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, diperlukan berbagai informasi dari para informan untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Informasi tersebut diperoleh dari orangorang yang mengetahui dan mampu memberikan informasi seluas-luasnya tentang bentuk dan fungsi tari Rejang Muani. Penentuan informan dalam penelitian tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli adalah menggunakan teknik purposive. Burhan Bugin (2011, 107-108) mengatakan teknik purposive yaitu menentukan informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian. Informan yang ditunjuk sudah ditetapkan sebelum pengumpulan data dilakukan. Selanjutnya dilakukan penentuan informan secara snow ball yaitu penentuan informan berdasarkan teknik bola salju bergulir. Lebih jelasnya yang disebut teknik snow ball adalah dari informan kunci mengarahkan kelanjutan penelitian ke informan selanjutnya secara terus-menerus hingga data yang diperlukan dianggap sudah memadai. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka dalam penelitian tari Rejang Muani, diawal sudah menentukan orang-orang atau informan yang akan ditemui sebelum melakukan pengamatan ataupun wawancara. Adapun para informan yang dimaksud adalah orang-orang yang ada kaitannya langsung dengan 28
objek penelitian antara lain; Bendesa Adat Lumbuan, pemangku Pura Puseh, jero nyarikan Pura Puseh, para penari, penabuh, dan beberapa masyarakat setempat. Setelah ditentukannya informan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan data-data yang diperlukan dalam mengkaji tari Rejang Muani, maka penelitian akan diawali dengan mencari informan pangkal yaitu Bendesa Adat Lumbuan. Dari Bendesa tersebut diharapkan memperoleh informasi-informasi tentang kapan tari Rejang Muani dipentaskan. Selanjutnya menentukan informan kunci, yaitu informan yang dianggap mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang terkait dengan tari Rejang Muani. Dalam penelitian ini, informan kunci adalah pemangku
dan jero nyarikan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan,
Bangli. Selain itu, untuk mendapatkan tambahan informasi terkait, dilakukan juga wawancara dengan Bendesa Adat Lumbuan. Informasi yang diperoleh dari informan pangkal dan informan kunci, kemudian didukung oleh informasi yang diberikan oleh informan tambahan seperti para penari, penabuh, dan beberapa masyarakat setempat yang ikut menyaksikan pementasan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah langkah-langkah atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam sebuah penelitian. Dalam mengumpulkan data, harus memilih teknik yang tepat agar penelitian menjadi akurat, serta merupakan faktor penting demi keberhasilan penelitian yang dilakukan. Teknik pengumpulan data dalam sebuah penelitian 29
sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan tersebut. Kesalahan dalam memilih teknik pengumpulan data akan berakibat langsung terhadap proses dan hasil sebuah penelitian. Data kualitatif diperoleh dari hasil pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data. Pada proses pengumpulan data terkait dengan penelitian tari Rejang Muani, digunakan empat metode yaitu metode observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan dokumentasi.
3.6.1 Observasi Observasi atau pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan, dan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan rumusan permasalahan dan yang sangat relevan dengan data yang dibutuhkan (Patilima, 2011:63-64). Pada penelitian ini, peneliti telah mengetahui aspek apa saja yang akan diamati yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian, sehingga dalam melakukan observasi peneliti dapat membatasi dan memfokuskan penelitian pada masalah yang telah diajukan. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang objek penelitian, khususnya bentuk pertunjukan tari Rejang Muani. Tahap observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengamati dari persiapan, proses upacara, sampai jalannya pementasan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Dalam observasi terlebih dahulu mengadakan sosialisasi atau pendekatan terhadap masyarakat Desa Pakraman Lumbuan supaya mempermudah mendapatkan data-data yang diperlukan. Untuk menghindari 30
hilangnya data, dapat dilakukan dengan langsung mencatat, dan merekam segala sesuatu yang terjadi di lapangan. Dengan demikian akan banyak memperoleh informasi-informasi yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pada teknik ini, yang menjadi fokus pengamatan adalah mengenai bentuk pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Selain itu, peneliti juga mencari informasi tentang apakah fungsi tarian tersebut bagi masyarakat setempat. Sebelum melakukan observasi, terlebih dahulu peneliti meminta ijin serta memperkenalkan diri kepada Bendesa Adat serta masyarakat Desa Pakraman Lumbuan untuk meneliti tari Rejang Muani. Setelah ijin diterima, selanjutnya peneliti matur piuning di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan pada tanggal 27 Maret 2013 yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan kelancaran dalam melakukan penelitian ini. Pengamatan yang dilakukan pada saat menonton secara langsung yaitu tanggal 27 Maret 2013 tepatnya pada Hari Raya Galungan nadi, bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Dalam pengamatan ini diketahui secara jelas mengenai bentuk pertunjukan tari Rejang Muani, baik dari penari (jenis kelamin), gerakgerak tarinya, tata rias dan busana yang dipakai, serta musik pengiringnya. Disamping itu pula, dilakukan pengumpulan data berupa foto-foto dan video yang dapat memperkuat hasil penelitian. Observasi kedua dilakukan pada tanggal 2 Nopember 2013 tepatnya Hari Raya Kuningan nadi yang bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada kesempatan ini dapat mengamati lebih dalam serta bersosialisasi dengan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. 31
Pada pengamatan ini, dilakukan juga dengan pengambilan foto-foto dan video untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan pementasan tari Rejang Muani yang sekarang dengan pementasan sebelumnya. Observasi ketiga dilakukan pada tanggal 22 Mei 2014, pada Hari Raya Galungan nadi, yang bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada kesempatan ini mencari dokumentasi sebagai pelengkap dan mendukung pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dalam tulisan ini.
3.6.2 Wawancara Wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Pada teknik ini, peneliti dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih bebas dan tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, kendatipun peneliti tentunya sudah menyimpan cadangan masalah yang perlu ditanyakan kepada informan (Patilima, 2011:68-73). Pengumpulan data melalui teknik wawancara, penulis harus mendatangi dan mengadakan wawancara secara langsung kepada beberapa informan terpilih yang mengetahui permasalahan dan berasal dari daerah obyek penelitian. Persiapan yang harus dilakukan oleh seorang peneliti sebelum menemui informan adalah terlebih dahulu menyiapkan kelengkapan wawancara dan merencanakan apa saja yang akan dilakukan. Supaya wawancara efektif, efisien dan dapat berjalan dengan lancar, maka peneliti harus menentukan atau menyusun fokus penelitian. Pada pelaksanaan wawancara, peneliti membawa pedoman dengan 32
garis-garis besar yang akan ditanyakan kepada informan. Tujuannya adalah supaya informan tidak merasa canggung di dalam memberikan jawaban, proses wawancara tidak kaku, dan hubungan antara pewawancara dengan informan tidak terlalu formal, sehingga dengan demikian informan lebih terbuka mengungkapkan apa adanya, namun proses wawancara tetap terarah dan diperoleh data yang sesuai dengan permasalahan yang telah ditentukan. Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh informasi lebih lengkap dari informan pangkal, informan kunci, maupun informan tambahan tentang halhal terkait. Untuk memperoleh keterangan-keterangan tentang penelitian tersebut, telah dipersiapkan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga wawancara dapat berjalan dengan lancar dan terarah. Pada pelaksanaan wawancara, dapat menggunakan alat perekam yang dipakai sebagai bukti pernyataan dari informan, serta dapat digunakan untuk mempermudah dalam memaparkan informasi tersebut kedalam sebuah tulisan. Selain rekaman, hasil wawancara juga dicatat dalam sebuah buku milik pribadi peneliti. Wawancara tidak hanya dilakukan secara langsung, namun dilakukan juga wawancara melalui telepon dan pesan singkat melalui handphone. Cara ini dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara peneliti dengan informan. Wawancara melalui SMS dan telepon dilakukan untuk menanyakan hal-hal yang kurang dan penting terkait dengan objek penelitian. Hal ini dilakukan karena kurang tersedianya waktu untuk bertemu dengan informan, karena informan memiliki kesibukan yang tidak memungkinkan untuk bertemu secara langsung. Wawancara yang dilakukan sebaiknya diulang berkali-kali dan membutuhkan 33
waktu yang lebih lama bersama informan, tentunya untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dan guna mendapatkan data yang lengkap. Dalam penelitian ini, telah dilakukan beberapa kali wawancara dengan beberapa informan yang mengetahui hal-hal berkaitan dengan tari Rejang Muani, diantaranya: 1.
Tanggal 10 Februari 2013 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman Lumbuan, pada pukul 15.25-17.00 Wita, mengenai keberadaan tari Rejang Muani apakah masih selalu dipentaskan, keunikan tarian ini, serta beberapa informasi lain seperti bagaimana gerakannya, tata busana dan tata rias, struktur pertunjukan, penarinya serta kapan dipentaskan. Wawancara dengan informan dilakukan melalui telepon, pesan singkat (SMS) serta BBM (blackberry messenger).
2.
Tanggal 27 Maret 2013 wawancara dengan pemangku di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, pada pukul 19.00-20.00 Wita, bertempat di Pura Puseh. Pada wawancara ini didapatkan data-data mengenai proses upacara yang berlangsung di pura tersebut, serta rangkaian pelaksanaan tari-tarian wali di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.
3.
Tanggal 27 Maret 2013 wawancara dengan I Wayan Sudana selaku nyarikan Desa Pakraman Lumbuan, bertempat di Pura Puseh, pada pukul 20.00-24.00 Wita. Dalam wawancara ini dikatakan bahwa tari Rejang Muani sudah ada sejak dahulu yang merupakan warisan dari leluhurnya. Beliau juga menegaskan bahwa masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, belum 34
pernah tidak menarikan tarian ini, karena mereka mempunyai kewajiban untuk tetap melestarikannya serta tarian ini diperuntukkan masyarakat sebagai sarana dalam upacara agama di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Beliau juga memaparkan mengenai fungsi tari Rejang Muani serta sesajen-sesajen yang digunakan, dan proses upacara dari awal hingga akhir di Pura Puseh.
Dalam wawancara ini, beliau juga mengatakan bahwa tari
Rejang Muani ditarikan oleh sekaa truna karena masyarakat Desa Pakraman Lumbuan mempunyai anggapan bahwa sekaa truna tersebut masih dianggap suci. Bapak I Wayan Sudana juga menyebutkan pada pementasan tari Rejang Muani memakai selendang yang oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan disimpan di Pura Puseh, karena tari Rejang Muani hanya dipentaskan di pura itu saja. 4.
Tanggal 26 Oktober 2013 wawancara dengan I Putu Artawa selaku Bendesa Adat dan wawancara dengan I Nyoman Sukari selaku masyarakat Lumbuan, bertempat di rumah beliau di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli pada pukul 17.00-19.00 Wita. Pada kesempatan ini, selain untuk memperoleh monografi desa, juga dilakukan wawancara untuk memperoleh lebih banyak lagi informasi mengenai tari Rejang Muani. Dalam wawancara ini beliau mengatakan bahwa tari Rejang Muani mempunyai hubungan yang erat dengan penjor Nawa Sanga yang selalu ada setiap pementasan tarian tersebut. Apabila tidak ada penjor itu, maka tari Rejang Muani dan tari Mabuang tidak bisa dipentaskan dan upacara belum dikatakan selesai, namun masyarakat belum pernah melakukan hal tersebut. Adapun urutan tari wali tersebut adalah 35
pertama tari Baris Tombak, tari Rejang Daha, tari Mabuang dan terakhir tari Rejang Muani. Beliau banyak memberikan informasi yang sangat menunjang dalam penelitian ini. 5.
Tanggal 2 Nopember 2013 wawancara dengan Sang Kompiang Martahadi, bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, pada pukul 19.00-24.00 Wita. Wawancara mengenai musik pengiring tari Rejang Muani yaitu gamelan serta gending yang digunakan untuk mengiringi tarian tersebut.
6.
Tanggal 2 Nopember 2013 wawancara dengan I Putu Artawa dan I Wayan Sudana, bertempat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, pada pukul 19.00-24.00 Wita. Dalam wawancara ini bertepatan dengan pementasan tari Rejang Muani, dan sebelum pementasannya tersebut dilakukan wawancara kepada Bendesa Adat dan nyarikan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Beliau menyatakan bahwa 350 tahun lalu, pada masa Kerajaan Panji Sakti, dan terjadi bencana di sebuah desa yang bernama Desa Darmaji, sehingga penduduk desa tersebut mengungsi ke Desa Pakraman Lumbuan. Diperkirakan tari Rejang Muani sudah ada sejak saat itu, dan
ada
kemungkinan
masyarakat
tersebutlah
yang
membawanya.
Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, tidak menemukan bukti-bukti tertulis yang menyebutkan kapan muculnya tari Rejang Muani. Beliau juga memberikan informasi bahwa sebelum pementasan tarian ini, sekaa truni terlebih dahulu harus menghaturkan sesajen di pelinggih pahlawan yang bertempat di jaba pura. Tujuannya adalah untuk menghormati dan 36
mengucapkan
terima
kasih
kepada
para
pahlawan
atas
jasanya
memperjuangkan kemerdekaan, sehingga masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli bisa melaksanakan yadnya sampai saat ini. 7.
Tanggal 6 Maret 2014 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman Lumbuan, pada pukul 16.00-18.00 Wita, mengenai gerak tari pada tari Rejang Muani.
8.
Tanggal 12 April 2014 wawancara dengan I Dewa Gede Raka Wiguna selaku penari tari Rejang Muani dan salah satu sekaa truna Desa Pakraman Lumbuan, pada pukul 14.00-16.00 Wita. Pada wawancara ini didapatkan data-data mengenai tata rias dan busana serta data-data yang dirasakan masih kurang lengkap.
9.
Tanggal 27 April 2014 wawancara dengan I Putu Artawa selaku Bendesa Adat Lumbuan, pada pukul 08.00-09.30 Wita, bertempat di Desa Pakraman Lumbuan. Pada wawancara ini mencari data-data yang kurang lengkap seperti pengertian dan penetapan Hari Raya Galungan nadi dan Hari Raya Kuningan nadi secara pasti.
10. Tanggal 27 April 2014 wawancara dengan I Nengah Kariani, selaku masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, pada pukul 08.00-09.30 Wita, bertempat di Desa Pakraman Lumbuan. Wawancara dilakukan untuk
37
mendapatkan data mengenai sesajen atau sarana upacara apa yang dipersembahkan dibawah penjor Nawa Sanga.
3.6.3 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang tidak bisa dipisahkan dari suatu penelitian. Hal tersebut dikarenakan teori-teori yang mendasari permasalahan yang akan diteliti dapat ditemukan dengan adanya studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan cara yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data yang relevan dengan objek penelitian. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan semua informasi tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis atau yang ada kaitannya dengan obyek penelitian. Studi kepustakaan harus dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara membaca literatur, jurnal, majalah ilmiah maupun hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Studi kepustakaan yang dilakukan dalam penelitian tari Rejang Muani adalah mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang sudah ditentukan yang menyangkut tentang penelitian kesenian sejenis. Terkait dengan itu, data kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku seni pertunjukan, jurnal, dan hasil penelitian tentang tari Rejang. Buku-buku tersebut dapat menjadi suatu acuan di dalam meneliti tari Rejang Muani. Data-data yang diperlukan banyak diperoleh dari perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar maupun ditempat-tempat lain seperti perpustakaan UNHI Denpasar, 38
Perpustakaan Daerah. Data yang didapatkan dipilah-pilah dan dikelompokkan sehingga diperoleh data yang akurat sesuai dengan tujuan penelitian.
3.6.4 Dokumentasi Dokumentasi merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengambilan gambar atau foto, rekaman audio visual oleh peneliti sendiri, maupun mengumpulkan dokumen yang terkait dengan obyek penelitian. Hasil penelitian akan semakin kuat apabila didukung oleh foto-foto, video, karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Dalam penelitian ini, dokumentasi juga diperoleh dari foto-foto dan rekaman video yang dimiliki oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Melalui foto-foto dan rekaman video tersebut dapat dijadikan acuan untuk meneliti tari Rejang Muani, sehingga dapat diketahui apakah ada perubahan dari dahulu sampai sekarang ini.
3.7 Analisis Data Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu penelitian, hal ini dikarenakan dengan menganalisis maka data tersebut dapat memiliki makna yang berguna untuk menjelaskan dan memecahkan masalah sesuai dengan tujuan penelitian. Pada analisis data kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Data itu dikumpulkam melalui teknik pengumpulan data dengan langkah observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dan selanjutnya diproses melalui perekaman, pencatatan, serta pengetikan (Patilima, 39
2011:100). Dalam analisis data, semua data yang didapatkan dilapangan, dikumpulkan terlebih dahulu dan memilih mana yang penting akan digunakan, sehingga dapat membuat kesimpulan yang dapat dipahami dengan mudah oleh diri sendiri maupun orang lain. Analisis
data
merupakan
upaya
yang
dilakukan
dengan
jalan
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain berdasarkan data-data yang diperoleh dilapangan (Moleng, 2014:248). Analisis data didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh apa adanya di lapangan, sehingga diperoleh gambaran umum mengenai bentuk pertunjukan dan fungsi tari Rejang Muani di Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap analisis data ini sewaktu-waktu dapat berubah, karena disesuaikan dengan data-data baru yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung. Pada analisis data, datadata yang sudah terkumpul diolah dan disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca, sedangkan data-data yang tidak diperlukan bisa dibuang, sehingga didapatkan data-data sesuai dengan tujuan penelitian.
3.8 Hasil Penyajian Analisis Data Data yang sudah dianalisis kemudian dipaparkan atau disusun sesuai dengan ketentuan yang ada dalam pedoman penulisan karya ilmiah. Hasil 40
penelitian yang didapatkan seperti hasil dari observasi ke lapangan, wawancara dengan informan, catatan-catatan, foto-foto pertunjukan, serta buku-buku yang terkait dengan tari Rejang Muani akan disajikan dengan mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar dalam bentuk skripsi, sesuai dengan Buku Pedoman Tugas Akhir Fakultas Seni Pertunjukan tahun 2013. Format penulisannya merupakan aturan yang sudah ditetapkan untuk mencapai gelar Sarjana Seni (S-1). Berdasarkan pada format yang ada, maka skripsi ini akan disajikan dalam 5 bab yaitu: BAB I
1. :
Pendahuluan, di dalamnya akan membahas latar belakang masalah yang memaparkan gambaran umum mengenai tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli serta alasan peneliti untuk mengkaji tarian tersebut. Dalam bab ini, juga memaparkan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup penelitian yang digunakan untuk membatasi agar tidak terjadi penafsiran yang terlalu melebar mengenai topik yang akan dibahas.
BAB II
2. 3. : Kajian Pustaka dan Landasan Teori. Kajian Pustaka memaparkan tentang sumber-sumber data tertulis, berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Sumber-sumber tersebut dijadikan suatu perbandingan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan, sehingga masih original. Pada landasan teori berisi tentang teori-teori
yang
digunakan
untuk
mengkaji
dan
menjelaskan
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian tari Rejang Muani. 41
BAB III
4. : Metode Penelitian, berisi tentang metode atau cara yang digunakan untuk memperoleh data di lapangan, mulai dari rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data yang digunakan, instrumen penelitian, teknik penentuan informan, teknik pengumpulan data, analisis data dan hasil penyajian analisis data.
BAB IV
5. 6. : Hasil dan Pembahasan, didalamnya berisi tentang temuan penelitian yang meliputi bentuk pertunjukan dan fungsi tari Rejang Muani bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada bentuk pertunjukannya terdiri dari penari, gerak, tata rias dan busana, musik iringan dan tempat pertunjukan tari Rejang Muani. Selain bentuk pertunjukan, dalam bab ini dijelaskan juga fungsi tari Rejang Muani dalam upacara Dewa Yadnya dan fungsi tarian tersebut bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan sebagai pendukung tarian ini.
BAB V
7. : Penutup, berisi tentang uraian kesimpulan dan saran-saran.
Pada akhir tulisan ini akan dilampirkan daftar pustaka atau referensi dan lampiranlampiran lainnya.
42
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN TARI REJANG MUANI
Tari Rejang Muani merupakan sebuah tari wali yang memiliki bentuk pertunjukan sederhana, namun memiliki fungsi penting bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pada bab ini akan dipaparkan tentang bentuk, dan fungsi dari pertunjukan tari Rejang Muani, namun terlebih dahulu dijelaskan mengenai asal mula tarian ini. Mengenai asal-mula tari Rejang Muani tidak ditemukan secara pasti, karena tidak adanya data-data yang tertulis baik dalam bentuk lontar maupun prasasti-prasasti yang ada. Walaupun demikian, tentang asal mula munculnya dapat diperoleh dari wawancara dengan para informan, sehingga mendapatkan data-data terkait meskipun tidak begitu lengkap. Seni tari tradisional merupakan sebuah seni yang diterima secara turuntemurun oleh masyarakat pendukungnya. Seni tersebut sangat erat kaitannya dengan adat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat. Sebagian besar kemunculan seni tradisi ini tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya data-data tertulis maupun peninggalan-peninggalan yang dapat dijadikan sebagai bukti kapan munculnya tari-tarian tradisi tersebut. Begitupula dengan tari Rejang Muani yang ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, sampai saat ini belum dapat dikaji secara mendalam mengenai asal mula tarian ini, karena minimnya sumber informasi yang didapatkan mengenai hal tersebut. Narasumber yang benar-benar 43
mengetahui secara pasti tentang awal munculnya tari Rejang Muani sudah banyak yang meninggal, serta tidak adanya bukti tertulis, sehingga yang didapatkan hanya melalui wawancara dengan informan sebagai generasi penerusnya saja. Namun para informan yang memberikan informasi sekarang ini, telah mendapatkan keterangan-keterangan terkait secara lisan secara turun-temurun dari para tetua sebelumnya. Beberapa informasi yang diperoleh dari narasumber yang dapat dipercaya hanya dari Jero Nyarikan, yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Pakraman Lumbuan Bangli dan beliau ini merupakan generasi yang ketujuh. Menurut Jero Nyarikan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, I Wayan Sudana di jeroan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, tanggal 2 Nopember 2013 pukul 19.00 sd 22.00 WITA, tari Rejang Muani diperkirakan sudah ada di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan sekitar 350 tahun yang lalu. Tarian ini disimbolkan sebagai penghantar persembahan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Senada dengan pernyataan tersebut, I Putu Artawa selaku Bendesa Adat juga menegaskan kembali bahwa tari Rejang Muani sudah ada sejak dahulu dan hanya dipentaskan pada saat upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tari Rejang Muani merupakan sebuah tarian yang sudah lama berada di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dan dianggap penting bagi masyarakat setempat karena selalu dilibatkan pada saat upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Artawa juga mengatakan bahwa beliau mengetahui cerita tentang asal mula tari Rejang Muani 44
dari orang-orang tua terdahulu. Lebih lanjut dikatakan beliau pernah mendengar cerita, bahwa pada masa kerajaan Panji Sakti, pernah terjadi bencana di sebuah desa yang disebut Desa Darmaji, sehingga banyak penduduk dari Desa Darmaji yang mengungsi ke beberapa daerah di Bali dengan membawa seni dan budaya yang mereka miliki. Salah satu yang menjadi tempat pengungsian mereka adalah ke Desa Pakraman Lumbuan. Jika diperhatikan dari jarak tempuh Desa Darmaji dengan Desa Pakraman Lumbuan memang tidak terlalu jauh, sehingga sangat memungkinkan penduduk untuk mengungsi ke Desa Pakraman Lumbuan. Seperti yang disebutkan oleh Koentjaraningrat bahwa bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia turut pula tersebarnya unsur-unsur kebudayaan yang mereka miliki (2009:199). Masyarakat Desa Lumbuan meyakini bahwa tari Rejang Muani berasal dari Karangasem, yang terbawa ketika penduduk Desa Darmaji mengungsi ke Desa Pakraman Lumbuan. Sampai sekarang hubungan persaudaraan antara masyarakat Desa Pakraman Lumbuan dengan masyarakat Desa Darmaji terjalin sangat baik. Dalam bidang kesenian, kedua desa tersebut selalu mengadakan kerjasama khususnya dalam bidang seni pertunjukan. Tidak hanya sebatas pada bidang kesenian saja, apabila terdapat upacara keagamaan di Desa Darmaji, masyarakat Desa Pakraman Lumbuan akan ikut serta mengadakan persembahyangan ke desa tersebut. Dari pernyataan di atas disebutkan bahwa pada mulanya masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli berasal dari sebuah desa kecil yaitu Desa Darmaji, Karangasem,
desa ini
terletak di lereng Gunung Agung. Untuk
menyelamatkan diri dari bencana yang terjadi di desanya, mereka mengungsi ke 45
tempat yang baru, yaitu ke sebuah desa yang sekarang disebut dengan Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Desa ini pada mulanya masih merupakan daerah hutan dan belum ditemukan adanya bangunan-bangunan. Mereka merasa mendapat perlindungan di daerah tersebut, sehingga mereka tinggal menetap di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dan akhirnya mereka mendirikan organisasi sosial. Setelah terbentuknya organisasi sosial secara teratur, maka sebagai penuangan
rasa
baktinya,
masyarakat
mendirikan
tempat
suci
untuk
persembahyangan atau memohon agar diberkahi keselamatan. Mereka mendirikan Pura Puseh sebagai tanda tentang asal-mula berdirinya Desa Pakraman Lumbuan. Di pura inilah masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli melaksanakan pagelaran tari Rejang Muani beserta tari-tarian wali lainnya. Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli, diciptakan oleh masyarakat setempat sebagai tari persembahan (upacara) kepada sang pencipta, yang didasari oleh keinginan masyarakat itu sendiri. Penampilan dan keberadaan seni tari wali pada umumnya selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan, karena seni pada zaman dahulu hanya difungsikan sebagai tari upacara. Pementasan tari upacara/ wali dijadikan sebagai media persembahan dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tujuan persembahan tari Rejang Muani kepada sang pencipta adalah menuntun Ida Bhatara Bhatari turun kedunia untuk hadir dalam upacara Dewa Yadnya atau upacara yang diadakan di Pura tersebut. Selain itu tari ini bertujuan untuk menolak Bala sehingga keharmonisan dan keselamatan dunia tetap terjaga yaitu dunia atas, tengah dan bawah. Maksudnya adalah tetap menjaga hubungan 46
harmonis kepada Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungan sekitar. Alam lingkungan adalah kekuatan yang tak kasat mata namun diyakini kekuatan tersebut akan membantu kehidupan manusia, sepanjang kekuatan tersebut dipergunakan dengan baik. Masyarakat mengharapkan dengan persembahan tarian tersebut, maka akan diberikan perlindungan, keselamatan, kesejahteraan, kekuatan, dan kebahagiaan bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Kabupaten Bangli. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai proses upacara dalam pertunjukan tari Rejang Muani.
4.1 Proses Upacara Penelitian tari Rejang Muani yang dilakukan lebih difokuskan pada pementasan tarian ini pada Hari Raya Galungan nadi serta Hari Raya Kuningan nadi. Pada bagian ini, akan dipaparkan secara terperinci mengenai proses upacara sebelum dipentaskan tari Rejang Muani. Adapun proses upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan yang dilengkapi dengan tari Rejang Muani adalah sebagai berikut. Proses upacara diawali dengan masyarakat melakukan sembahyang bersama dan nunas tirta pengelukatan (air suci) di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli untuk memohon keselamatan melalui persembahan sarana upakara. Setelah persembahyangan selesai, maka dilanjutkan dengan melakukan tradisi ngelawang, yakni keliling di wilayah desa tersebut. Ngelawang merupakan suatu istilah dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain, ataupun dari satu desa ke desa yang lain. Dalam 47
tradisi ngelawang, seluruh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ikut terlibat di dalamnya. Masyarakat laki-laki akan terlibat sebagai penabuh yaitu sekaa truna-truni, anggota muda-mudi, beserta orang-orang tua juga ikut serta menjadi penabuh. Untuk masyarakat perempuan akan ikut serta sebagai pengiring maupun membawa upakara/ banten. Dalam tradisi ngelawang ini menggunakan Barong Macan dan Barong Ketet. Kedua barong tersebut merupakan sesuhunan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Pada tradisi ini, tidak lepas juga dari peran anak-anak, karena anak-anak di Desa Pakraman Lumbuan juga diikutsertakan sebagai pembawa payung atau tedung agung, umbul-umbul, kober, dan bandrang. Tradisi ngelawang hanya dilakukan sekali saja, tepatnya pada hari pertama saat upacara berlangsung (Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi). Tradisi ini dimulai dari sore hari sekitar pukul 17.00 WITA dan selesai hingga malam hari sekitar pukul 20.00 WITA. Tujuan dari tradisi ngelawang ini tiada lain untuk mengusir roh-roh jahat, dan sekaligus melindungi penduduk dari wabah penyakit yang diakibatkan oleh roh-roh jahat (bhuta kala) tersebut. Setelah selesai melakukan ngelawang, masyarakat kembali lagi ke Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli melanjutkan upacara keagamaan berikutnya. Rentetan upacara wali tersebut dipimpin oleh pemangku. I Wayan Dibia dalam bukunya yang berjudul Pragina Penari, Aktor, Pelaku Seni Pertunjukan Bali, menyebutkan bahwa di dalam suatu seni, khususnya seni tari Bali, tidak pernah lepas dengan upakara (banten) baik sebelum
dimulai
ataupun
sesudah
selesai
pementasan
(2004:136-140).
Sebagaimana tari Rejang Muani, juga selalu melibatkan upacara bebantenan jika 48
tarian ini dipentaskan. Upacara diawali dengan menghaturkan banten/ sesajen pada sebuah pelinggih pahlawan yang berada di jaba sisi pura (halaman pura paling luar). Tujuannya adalah untuk memberikan penghormatan kepada para pahlawan atas jasa-jasanya mempertahankan dan membela tanah kelahirannya, sehingga masyarakat setempat bisa tetap hidup seperti sekarang ini. Selain itu juga, atas jasa-jasa beliau masyarakat Desa Pakraman Lumbuan bisa melaksanakan upacara keagamaan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Hal tersebut menjadi keyakinan masyarakat setempat, bahwa sebelum mereka mempersembahkan sesajen pada pelinggih pahlawan, maka mereka belum berani untuk memulai upacara di jeroan pura. Persembahan sesajen pada pelinggih pahlawan, dilakukan oleh sekaa truni dan dipimpin oleh seorang pemangku. Persembahan tersebut dilakukan oleh sekaa truni, karena sekaa truna mempunyai kewajiban untuk menjadi penabuh dalam mengiringi upacara keagamaan tersebut.
Foto 4.1 Pelinggih Pahlawan Dokumentasi: Mawan, 2014 49
Setelah semuanya selesai, dilanjutkan dengan mempersembahkan sesajen dibawah penjor Nawa Sanga dan juga pada pelinggih utama, dengan tujuan untuk memohon keselamatan bagi penari dan masyarakat pendukungnya. Hal tersebut juga bertujuan untuk memohon ijin kepada penghuni yang berada ditempat yang akan digunakan untuk pertunjukan, sehingga upacara tersebut dapat berjalan dengan lancar, serta dapat mengubah status tempat pertunjukan dari tempat biasa menjadi tempat yang sakral.
Foto 4.2 Tempat sesajen di bawah Penjor Nawa Sanga Dokumentasi: Mawan, 2014 Sesajen yang dipersembahkan dibawah penjor tersebut berupa segehan telung dasa telu (33), banten sorohan yang didalamnya berisi daksina (pejati), suci sari, tumpeng pitu, metaled pras, sayut, canang raka, canang ajuman, prangkatan. Sesajen tersebut dipersembahkan pada setiap pementasan tari-tarian wali di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Penjor Nawa Sanga dilambangkan sebagai persembahan kepada penguasa alam atas, sedangkan sesajen yang diletakkan dibawah penjor 50
dipersembahkan
kepada
penguasa
alam
bawah.
Adapun
sesajen
yang
dipersembahkan dibawah penjor Nawa Sanga berisi tetabuhan (arak, tuak), yang bertujuan untuk nyomia (mensucikan) bhuta kala, agar tidak mengganggu selama upacara keagamaan berlangsung. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan mempersembahkan sesajen dilengkapi dengan tetabuhan, maka para dewata penguasa alam bawah di Desa Pakraman Lumbuan akan berkenan untuk memberikan perlindungan dan keselamatan bagi masyarakat setempat. Hal ini adalah upaya dalam menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup mereka dengan alam lingkungannya. Sesajen yang dipersembahkan dibawah penjor Nawa Sanga ditujukan kepada para bhuta kala di ke sembilan arah mata angin, yang bertujuan untuk nyomia para bhuta kala sebagai penguasa alam bawah dengan mempersembahkan atau menuang arak, tuak, pada sesajen dibawah penjor Nawa Sanga yaitu pada awal dan akhir pementasan masing-masing tari-tarian wali yakni tari Baris Tombak, tari Rejang Daha, tari Mabuang dan tari Rejang Muani. Selesai menghaturkan sesajen di bawah penjor Nawa Sanga dan pelinggih utama, maka semua sekaa truna-truni beserta pemuda-pemudi yang akan ikut menari duduk berkumpul bersama-sama di depan pelinggih utama untuk melakukan persembahyangan. Selanjutnya pemangku memerciki tirta kepada semua penari, dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan persembahan tari wali dapat berjalan dengan lancar. Penari sudah menggunakan selendang yang harus dipakai dalam pementasan tari wali tersebut, sebelum mereka mengadakan persembahyangan. Selendang yang digunakan disimpan di Pura Puseh Desa
51
Pakraman Lumbuan, Bangli, karena tari Rejang Muani sendiri hanya ditarikan di pura itu saja.
Foto 4.3. Penari pada saat mengadakan persembahyangan sebelum menari. Dokumentasi: Dian Arista, 2012 Setelah rangkaian atau prosesi ritual selesai, maka pertunjukan tari wali dapat dimulai. Adapun rangkaian dari tari upacara yang diselenggarakan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli adalah: diawali dengan pementasan tari Baris Tombak, tarian ini ditarikan oleh 4 orang penari laki-laki yaitu sekaa truna. Sesuai dengan nama tariannya, semua penari ini membawa sebuah properti tombak (seperti tongkat yang ujungnya runcing). Setelah pertunjukan tarian tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan menarikan tari Rejang Daha. Tarian ini dibawakan oleh sekaa truni dan merupakan sebuah tari kelompok dengan jumlah penari sekitar 35 orang. Pada pementasan tarian ini, dipimpin oleh seorang sekaa truna dengan memikul tegen-tegenan. Tegen-tegenan merupakan sarana upacara yang terdiri dari ayam dan bebek, dimasukkan kedalam kisa (anyaman yang 52
terbuat dari daun kelapa berbentuk sangkar kecil). Kisa tersebut kemudian diikatkan pada masing-masing ujung cabang pohon dadap, dan selanjutnya dipikul di atas pundak. Persembahan tari wali dilanjutkan dengan pementasan tari Mabuang, tarian ini dipentaskan oleh 8 orang penari laki-laki (sekaa truna). Tari Mabuang merupakan sebuah tarian yang dipersembahkan kepada bhuta kala, dengan tujuan agar tidak diganggu serta dapat membawa kemakmuran dan kedamaian bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Setelah ketiga tari-tarian wali tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan pementasan tari Rejang Muani. Tari Rejang Muani dipentaskan sebagai tari terakhir dari sekian tari wali yang dipertunjukkan. Tidak ada makna secara khusus kenapa tari Rejang Muani dipentaskan terakhir, masyarakat hanya mengikuti dan menjaga tradisi mereka yang didapatkan secara turun-temurun. Berakhirnya pementasan tari Rejang Muani, maka dengan itu selesai juga pementasan tari-tarian wali yang dipersembahkan di Pura Puseh Desa Pakranan Bangli. Setelah semua persembahan tari wali selesai, kemudian dilanjutkan dengan semua masyarakat setempat melakukan persembahyangan bersama di depan pelinggih utama (jeroan pura). Dari pengamatan peneliti, halaman utama atau jeroan pura sangat luas, sehingga mampu menampung semua masyarakat yang akan melakukan persembahyangan,
sehingga
masyarakat
tidak
ada
yang
melakukan
persembahyangan dari jaba tengah pura (halaman pura yang kedua). Tari Rejang Muani hanya dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli dan tidak boleh dipentaskan di pura lainnya. Pementasannya 53
merupakan rangkaian dari upacara Dewa Yadnya, yang sampai sekarang selalu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Apabila tarian ini tidak dipentaskan maka upacara tersebut dikatakan belum selesai atau belum lengkap, oleh karena itu dari dulu sampai sekarang tari Rejang Muani selalu dipentaskan oleh masyarakat setempat. Masyarakat merasa mempunyai kewajiban untuk tetap mempertunjukkan tarian tersebut serta tetap mempertahankan tradisi yang mereka miliki. Hal tersebut diungkapkan oleh Artawa pada saat wawancara di jeroan Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, tanggal 2 Nopember 2013 pukul 19.00 Wita, bahwa apabila Galungan nadi tarian ini dilaksanakan selama 4 hari berturut-turut sedangkan jika Kuningan nadi hanya dipentaskan selama 3 hari. Pada Ngusaba kepitu tarian ini dipentaskan selama 7 hari berturutturut dengan rangkaian pertunjukan yang sama. Tari Rejang Muani merupakan sebuah karya seni religius (sebagai sarana pelengkap upacara) sehingga harus selalu
dipentaskan
dan
tetap
dipertahankan
karena
masyarakat
masih
mengganggap pentingnya tarian tersebut dalam upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Berdasarkan pernyataan tersebut, nyatalah masyarakat setempat masih sangat percaya dan mempunyai keyakinan untuk tetap mempertunjukkan tari Rejang Muani disetiap piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, difokuskan pada pementasan tari Rejang Muani ketika Hari Raya Galungan nadi dan Kuningan nadi. Sebagai sebuah tari wali, tari Rejang Muani dipentaskan setiap 6 bulan (210 hari) sekali bertepatan dengan Hari Raya Galungan atau Kuningan secara bergantian. Hari 54
Raya Galungan atau Kuningan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli disebut dengan Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi. Pengertian nadi disini adalah tarian tersebut ditarikan bergilir atau sering disebut dengan jungkat-jungkit, sehingga tarian tersebut bisa selalu dipentaskan setiap enam bulan sekali. Umumnya, apabila tarian ini sekarang dipentaskan pada waktu Hari Raya Galungan nadi, maka enam bulan yang akan datang tari Rejang Muani dipentaskan pada saat Hari Raya Kuningan nadi. Namun tidak selamanya tarian ini dipentaskan secara bergiliran yaitu sekarang Galungan dan yang akan datang Kuningan dan seterusnya. Hal tersebut dikarenakan sewaktu-waktu pada perayaan Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan akan pernah jatuh berdekatan dengan rahinan purnama. Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan mengenal adanya istilah ngemanisin dalam perayaan rahinan purnama, sehingga perayaannya dilakukan selama dua hari yaitu ketika rahinan purnama sesuai kalender Bali dan keesokan harinya (manis purnama). Oleh karena itu, apabila rahinan purnama jatuhnya berdekatan dengan Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan, maka tari Rejang Muani tidak dipertunjukkan secara bergiliran atau jungkat-jungkit. Sebagai satu contoh, apabila tari Rejang Muani sekarang dipentaskan pada Hari Raya Galungan nadi, dan seharusnya enam bulan kemudian dipentaskan pada Hari Raya Kuningan nadi, namun rahinan purnama jatuhnya berdekatan dengan Hari Raya Galungan, maka tarian tersebut kembali dipentaskan pada Hari Raya Galungan dan tetap disebut dengan Hari Raya Galungan nadi. Misalnya rahinan purnama jatuhnya pada penyajaan Galungan, maka tetap dipentaskan pada Hari 55
Raya Galungan, karena upacara keagamaan pada saat rahinan purnama dilakukan selama dua hari dengan sarana upakara yang sama. Jika pada Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan tidak berdekatan dengan jatuhnya rahinan purnama, maka tari Rejang Muani tetap dipertunjukkan secara bergiliran atau jungkatjungkit. Terkait dengan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa pementasan tari Rejang Muani dilakukan setiap Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi. Tari Rejang Muani selalu dipentaskan setiap 6 bulan sekali (210 hari sesuai kalender Bali). Dari keterangan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, dari dulu sampai sekarang setiap 6 bulan sekali selalu bertemu dengan Hari Raya Galungan nadi atau Kuningan nadi, sehingga masyarakat setempat selalu bisa menyuguhkan tarian ini pada setiap upacara Dewa Yadnya tepatnya pada Hari Raya Galungan ataupun Hari Raya Kuningan. Masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, biasanya melaksanakan upacara agama tersebut selama empat hari berturut-turut pada Hari Raya Galungan nadi, sedangkan pada Hari Raya Kuningan nadi, upacara dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Lebih lanjut, untuk rangkaian pementasan tari wali di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli selalu sama, yaitu diawali dengan tari Baris Tombak, selanjutnya tari Rejang Daha, setelah itu tari Mabuang dan terakhir dipentaskan tari Rejang Muani. Untuk proses upacaranya terdapat perbedaan pada hari pertama dan hari terakhir saja. Pada saat hari pertama (Hari Raya Galungan nadi dan Kuningan nadi) masyarakat melakukan tradisi ngelawang, yakni keliling di wilayah desa tersebut. Dalam tradisi ini, sesuhunan 56
yang berupa Barong Macan dan Barong Ketet yang diarak oleh masyarakat untuk keliling di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Dengan kata lain, proses upacara pada hari pertama diawali dari melakukan tradisi ngelawang dan setelah itu dilanjutkan dengan mempersembahkan sesajen pada pelinggih pahlawan. Perbedaan pada hari kedua dan ketiga adalah prosesi upacara diawali dengan menghaturkan sesajen pada pelinggih pahlawan, karena masyarakat tidak lagi melaksanakan tradisi ngelawang. Begitu pula dengan hari terakhir, prosesi diawali dengan
menghaturkan
terselenggaranya
sesajen
tari-tarian
wali
pada
pelinggih
tersebut
maka
pahlawan, masyarakat
dan
setelah
melakukan
sembahyang bersama. Pada hari terakhir, terdapat upacara yang disebut dengan nyineb sesuhunan (upacara berakhir). Upacara ini dilakukan dengan membawa senjata penawa sanga serta sesuhunan Pura Puseh mengitari penjor Nawa Sanga dengan arah berlawanan jarum jam sebanyak 3 kali. Mengitari penjor tersebut ke arah kiri sebanyak 3 kali putaran yakni berputar melawan arah jarum jam, oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan disimbolkan sebagai penutup
upacara
keagamaan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Tari Rejang Muani mempunyai kaitan dengan Penjor Nawa Sanga, yang juga hanya dipersembahkan pada Hari Raya Galungan nadi ataupun Hari Raya Kuningan nadi. Apabila upacara keagamaan yang dilaksanakan selain Hari Raya Galungan nadi atau Hari Raya Kuningan nadi, serta Ngusaba kapitu, maka tari wali yang ditampilkan hanya tari Baris Tombak dan tari Rejang Daha saja, serta
57
tidak mempersembahkan penjor Nawa sanga. Hal tersebut dikarenakan kedua tarian itu tidak mempunyai kaitan dengan penjor Nawa Sanga. Penjor Nawa Sanga merupakan salah satu syarat dalam pementasan tari Rejang Muani, serta menjadi syarat bisa terselenggarakan upacara agama tersebut. Terdapat 3 tempat pemasangan penjor dalam upacara agama tersebut, yaitu di jeroan pura menggunakan satu penjor dengan 9 buah cabang, di jaba tengah pura memakai satu penjor dengan 7 buah cabang, sedangkan di jaba sisi menggunakan satu penjor dengan 5 buah cabang. Dari ketiga tempat tersebut, yang ada kaitannya dengan tari Rejang muani hanya penjor yang mempunyai 9 buah cabang yang disebut dengan penjor Nawa Sanga. Penjor dilambangkan sebagai simbol gunung dan tanda terima kasih manusia atas keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang dilimpahkan. Kaitan penjor Nawa Sanga dengan tari Rejang Muani adalah karena penjor tersebut dipersembahkan di jeroan pura yang juga merupakan tempat pementasan tari Rejang Muani, serta mempunyai kaitan dengan gerak pada tarian tersebut. Begitu erat kaitannya dengan tari Rejang Muani, sehingga antara keduanya tidak bisa dipisahkan, dengan kata lain, penjor Nawa Sanga tersebut harus ada pada setiap pertunjukan tari Rejang Muani. Penjor Nawa Sanga hanya dipersembahkan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, sedangkan pada upacara keagamaan di pura-pura lain daerah sekitarnya tidak menggunakan penjor Nawa Sanga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, tari Rejang Muani hanya dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli saja, karena
58
kaitannya dengan penjor Nawa Sanga yang juga hanya dipersembahkan di pura itu saja. Penjor Nawa Sanga dibuat oleh sekaa truna-truni (sekelompok laki-laki dan perempuan yang belum menikah). Dalam pembuatan penjor dapat dikatakan cukup sulit, karena sekaa truna harus mencari bahan-bahan untuk penjor itu sendiri. Adapun bahan-bahan yang diperlukan adalah ambu muncukan (daun pohon enau yang masih muda), tiing jlepung (bambu jlepung), tiing jajang (bambu jajang), biu kayu (pisang kayu) dengan jumlah genap (12 biji, 16 biji, 18 biji dan seterusnya), sampian dan lamak.
Foto 4.4 Sekaa truna mencari bambu untuk membuat penjor Nawa Sanga Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2012 Menurut masyarakat setempat, pembuatan penjor tersebut diibaratkan sebagai ujian untuk ikut menjadi anggota organisasi desa. Jika sudah mampu mencari bahan-bahan tersebut, berarti mereka sudah siap untuk menopang beban yang berat dalam organisasi. Dalam mencari bahan-bahan tersebut, biasanya 59
mereka akan membagi diri 2 orang atau 3 orang secara bergiliran untuk mencari bahan-bahan tersebut. Walaupun dalam pencarian bahan-bahannya dilakukan secara membagi diri, namun dalam pembuatan penjor tersebut mereka mengerjakannya secara bersama-sama.
Foto 4.5 Sekaa truna mencari bambu untuk membuat penjor Nawa Sanga Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2012 Dikatakan pula oleh Bendesa Adat Pakraman Lumbuan, Bangli, apabila mereka yang baru pertama kali menjadi truna muncuk, mereka akan mendapat bagian untuk mengangkat bambu pada bagian pangkal, dengan posisi bambu terlentang, dan ketika bambu diberdirikan mereka juga tetap mendapat bagian mengangkat bambu pada bagian pangkal. Apabila mereka sudah mampu mengangkat bambu tersebut, berarti mereka sudah siap untuk memikul tanggung jawab yang berat. Kegiatan tersebut menjadi kegiatan rutin sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli setiap enam bulan sekali. Mereka 60
melakukannya dengan tulus ikhlas dan tidak pernah mengeluh dalam mencari bahan-bahan untuk penjor Nawa Sanga yang memang sulit untuk dicari.
Foto 4.6. Sekaa truna muncuk membawa bambu untuk bahan penjor Nawa Sanga. Dokumentasi: STT Eka Dharma Jati, 2011 Penjor Nawa Sanga tidak hanya di buat oleh sekaa truna saja, namun sekaa truni juga terlibat untuk turut ikut serta membantunya. Sekaa truni bertugas untuk membuat lamak yaitu jejahitan (rangkaian janur) berbentuk segi empat panjang yang dipasang pada sanggah penjor. Lamak yang dipasang pada penjor Nawa Sanga memiliki panjang sekitar 7-8 meter. Lamak tersebut melambangkan alam semesta, karena berisi hiasan berbentuk seperti air, gunung, tumbuhtumbuhan, manusia, matahari dan lain sebagainya. Sekaa truni juga bertugas untuk membuat sampian penjor yang mempunyai tingkat sesuai dengan jumlah cabangnya. Penjor yang berada di jaba sisi bertingkat 5, jaba tengah bertingkat 7, sedangkan yang ada di jeroan pura bertingkat 9. Pada sampian penjor tersebut diisi banten canang sari sebagai lambang bumi. Pada penjor Nawa Sanga yang 61
dipersembahkan di jeroan pura, menggunakan sampian yang bertingkat 9. Hal itu dikarenakan penjor tersebut sebagai lambang dari sembilan dewa di penjuru arah mata angin. Adapun dewa-dewa yang berstana di sembilan penjuru arah mata angin adalah arah Utara yaitu Dewa Wisnu; arah Selatan yaitu Dewa Brahma; arah Barat yaitu Dewa Mahadewa; arah Timur yaitu Dewa Iswara; arah Tengah yaitu Dewa Siwa; arah Timur Laut yaitu Dewa Sambhu; arah Tenggara yaitu Dewa Mahesora; arah Barat Daya yaitu Dewa Rudra; arah Barat Laut yaitu Sangkara.
Foto 4.7 Penjor Nawa Sanga Dokumentasi: Mawan, 2014 Sekaa truna dapat mencari bahan-bahan untuk pembuatan penjor Nawa Sanga di sekitar daerah Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Bagi masyarakat setempat yang memiliki bahan-bahan untuk pembuatan penjor seperti tiing, ambu muncukan, biu kayu, dan lain sebagainya, mereka akan memberikan bahan-bahan tersebut secara suka rela kepada sekaa truna-truni. Menurut masyarakat setempat, 62
yang susah untuk didapatkan di antara bahan-bahan tersebut adalah ambu muncukan dan biu kayu yang berjumlah genap tersebut. Untuk mencari ambu muncukan, sekaa truna harus memanjat pohon enau sampai di ujung, karena bahan itu terdapat di ujung pohon tersebut. Untuk mencari biu kayu, sekaa truna harus memanjat dan melihat satu persatu pohon pisang dan hanya memetik buah dengan jumlah yang sudah ditetapkan saja, yaitu berjumlah 12 biji, 16 biji, 18 biji dan seterusnya. Pembuatan penjor Nawa Sanga memang terbilang sangat susah, namun dengan rasa tanggung jawab yang dimiliki oleh sekaa truna-truni, maka setiap pementasan tari Rejang Muani penjor tersebut selalu bisa terwujud. Sesuai pernyataan di atas dapat diketahui bahwa, tari Rejang Muani belum pernah dipentaskan tanpa persembahan penjor Nawa Sanga, karena hal tersebut merupakan tanggung jawab yang harus selalu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli untuk tetap mempertahankan tradisi yang mereka miliki. Dari awal muncul tarian ini selalu disajikan dalam konteks upacara keagamaan (Dewa Yadnya), sebagai tari wali yang dipersembahkan kepada para Dewata. Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai bentuk pertunjukan dari tari Rejang Muani.
4.2 Bentuk Pertunjukan tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli Tari Bali dapat dikelompokkan menjadi: 1) bentuk tunggal (solo), yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh satu orang; 2) bentuk berpasangan (duet), yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh dua orang penari; 3) bentuk trio, yaitu 63
tarian yang dipentaskan oleh tiga orang penari; 4) bentuk kwartet (tari kelompok kecil) yaitu sebuah tarian yang dipentaskan oleh empat orang atau dibawah 10 orang; 5) bentuk kelompok besar (massal), yaitu sebuah tarian yang dipentaskan secara berkelompok dengan lebih dari 10 orang penari. Dilihat dari koreografinya, Tari Rejang Muani termasuk ke dalam bentuk pertunjukan tari kelompok (massal), yang ditarikan dengan melibatkan penari dalam jumlah yang banyak. Tarian ini ditarikan oleh sekelompok penari laki-laki yang menggunakan tata rias dan busana sangat sederhana. Begitu pula dengan musik iringannya dan tempat pementasan juga sangat sederhana, yaitu dipentaskan di halaman jeroan pura dengan tata lampu yang seadanya saja ( tidak memakai tata cahaya secara khusus). Dalam pertunjukan tari Rejang Muani yang tergolong sangat sederhana tentu saja memiliki isi atau makna tersendiri yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Djelantik (2004:15) menyatakan bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek dasar, yakni: wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi (content), penampilan atau penyajian (presentation). Pembagian mendasar atas pengertian wujud, yakni semua wujud terdiri dari bentuk dan susunan atau struktur. Terkait dengan pernyataan tersebut maka untuk mengetahui wujud dalam tari Rejang Muani dapat dilihat dari komponen penari, gerak, tata rias dan busana, tempat pementasan atau pertunjukan, serta musik iringan tarian tersebut. Tari Rejang Muani memiliki bentuk pertunjukan yang sangat sederhana. Adapun komponen pendukung tari Rejang Muani adalah sebagai berikut:
64
4.2.1 Penari tari Rejang Muani Penari merupakan salah satu bagian penting yang mendukung jalannya pertunjukan sebuah tarian. Pertunjukan tari tidak dapat berlangsung apabila tidak ada penari, karena penarilah yang melakukan gerak tarinya. Tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli merupakan sebuah tari kelompok dengan jumlah penari yang banyak. Tari Rejang pada umumnya ditarikan oleh penari perempuan, namun berbeda dengan tari Rejang Muani yang terdapat di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tarian ini ditarikan oleh sekaa truna (sekelompok laki-laki yang belum menikah/ beristri), dengan jumlah penari sekitar 30 sampai 40 orang penari. Jumlah penarinya tidak harus ditentukan, namun berapapun bisa ikut menarikan tari Rejang Muani, karena hal itu tergantung dari jumlah sekaa truna yang hadir mengikuti upacara tersebut. Penari tari Rejang Muani dalam setiap pementasannya dapat berubah-ubah, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya sekaa truna yang mengikuti upacara piodalan tersebut. Artinya, siapapun bisa ikut menarikan tarian ini, asalkan mereka adalah orang laki-laki dan sudah ikut kedalam organisasi pemuda. Masyarakat Desa Lumbuan tidak mengharuskan semua sekaa truna untuk ikut dalam pementasan tarian ini, tetapi biasanya mereka mempunyai kesadaran sendiri, bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk ikut serta melaksanakan tarian ini, sehingga pada pementasannya selalu ditarikan oleh sekaa truna dengan jumlah yang banyak. Belakangan ini, tidak hanya sekaa truna saja yang ikut serta menarikan tari Rejang Muani, namun muda-mudi juga ikut berperan serta untuk menarikan tarian tersebut. Mereka melakukannya dengan 65
tulus ikhlas serta memang tidak ada persyaratan secara khusus selain batasan umur dalam menarikan tari Rejang Muani. Dalam pemilihan penari, untuk ikut menarikan tari Rejang Muani terdapat batasan umur yaitu 12 tahun keatas, namun tidak ada upacara ritual secara khusus dalam pemilihan penari, yang terpenting adalah penarinya orang laki-laki dan masih ikut serta dalam organisasi sekaa truna maupun organisasi pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Masyarakat setempat mempunyai keyakinan bahwa orang laki-laki dianggap masih suci, karena mereka tidak mengalami datang bulan seperti perempuan. Karena dari dulu sudah ditemui seperti itu, maka masyarakat tidak berani mengubah atau menggantinya, masyarakat hanya bisa memelihara dan tetap menjaga keberlangsungan tarian tersebut. Keyakinan itu diperkuat lagi bagaimana masyarakat setempat juga berpandangan bahwa hanya orang laki-lakilah yang pada umumnya mampu dan mempunyai kewajiban dalam membuat penjor Nawa Sanga.
Foto 4.8 Penari sebelum menarikan tari Rejang Muani Dokumentasi: Dian Arista, 2013 66
4.2.2 Ragam Gerak tari Rejang Muani Gerak merupakan bahan baku utama atau unsur pokok dalam sebuah tari, sebagai media untuk mengkomunikasikan maksud-maksud dari sebuah tarian. Gerak memiliki peranan besar pada suatu tarian, karena apabila gerakan dirangkai, ditata dan disatukan, maka akan terciptalah sebuah tarian. Gerak-gerak pada tari Rejang sangat sederhana (polos), dan penuh rasa pengabdian kepada leluhur. Tari Rejang Muani merupakan sebuah tarian tradisi yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Gerak pada tarian ini sangat sederhana yang merupakan ciri dari tarian kuno, karena tujuannya untuk pengabdian penuh kepada leluhur. Gerak-gerak tarinya tidak terlalu mementingkan faktor keindahan sehingga masyarakat setempat tidak sulit dalam mempelajarinya, dan yang lebih dipentingkan adalah rasa pengabdian dan rasa tulus ikhlas. Setiap pertunjukan tari Rejang Muani, para penari tidak mendapat pelatihan secara khusus, dikarenakan mereka sudah terbiasa melihat tarian ini, serta gerakannya hanya terdiri dari satu gerak dengan arah hadap yang berbeda. Disamping gerak tarinya mudah untuk dipelajari, para penari mempunyai tanggung jawab atau kewajiban untuk tetap melestarikan tradisi yang mereka miliki. Hal tersebutlah yang membuat tarian ini selalu bisa dipentaskan berkaitan dengan upacara keagamaan (Dewa Yadnya) di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Adapun gerak pada tari Rejang Muani adalah sebagai berikut: Pertama, gerak menghadap arah pojok kiri yaitu kaki kanan berada di depan kaki kiri (kaki kiri sebagai tumpuan atau kaki disilang), posisi badan 67
dicondongkan ke arah pojok kiri, dengan melihat arah bawah (pandangan ke bawah), kedua tangan direntangkan ke samping, dengan jari-jari menghadap kebawah.
Foto 4.9 Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kiri Dokumentasi : Dian Arista, 2013 Kedua, gerak menghadap arah pojok kanan yaitu kaki kiri berada di depan kaki kanan (kaki kanan sebagai tumpuan atau kaki disilang), posisi badan dicondongkan kearah pojok kanan dengan melihat ke arah bawah (pandangan kebawah), kedua tangan direntangkan ke samping, dengan jari-jari kedua tangan menghadap kebawah. Lebih jelasnya untuk gerakan tarian ini, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
68
Foto 4.10 Penari melakukan gerakan menghadap ke arah pojok kanan Dokumentasi : Dian Arista, 2013 Adapun gerak yang digunakan untuk menghubungkan kedua gerak pada tari Rejang Muani adalah dengan gerak ngelangsut. Ngelangsut merupakan salah satu istilah dalam tari Bali, yang mempunyai arti gerakan menghadap ke arah pojok kiri yang seketika berbalik ke arah pojok kanan dengan salah satu kaki diangkat (kaki kiri), begitu pula sebaliknya. Salah satu contohnya apabila penari bergerak menghadap ke arah pojok kiri, maka untuk bergerak ke arah samping kanan mereka harus menggunakan gerakan ngelangsut untuk berpindah arah hadap. Dilihat dari geraknya, tarian ini memang mempunyai gerak yang monoton dan terbilang sangat sederhana karena hanya terdiri dari satu gerak saja. Penari melakukan gerak yang sama baik ke arah pojok kiri maupun ke arah pojok kanan. Kesederhanaan gerak pada tarian ini tidak mengurangi makna yang terkandung dalam tari Rejang Muani tersebut. Gerakan pada tari Rejang Muani 69
dimulai dari penari bergerak menghadap ke arah pojok kiri, kemudian penari bergerak menghadap pojok kanan. Gerakan tersebut diulang sebanyak sembilan kali secara bergantian (pojok kiri-pojok kanan) dan berakhir dengan penari bergerak menghadap ke pojok kiri. Gerak tersebut diulang sebanyak sembilan kali merupakan kaitannya dengan penjor Nawa Sanga yang juga memiliki sembilan buah cabang, yang diyakini sebagai lambang dari sembilan dewa di penjuru arah mata angin. Hal ini dimaksudkan bahwa tari Rejang Muani dipersembahkan kepada penguasa kesembilan penjuru mata angin, walaupun pada pementasan tarian ini penari tidak menari ke sembilan arah mata angin. Gerakan pada tarian tersebut menjadikan tarian ini unik dan berbeda dengan tari Rejang lainnya.
4.2.3 Tata Rias dan Busana tari Rejang Muani Tata rias merupakan salah satu faktor penting dalam sebuah tarian, dan juga tata rias dapat mempertegas garis muka, serta dapat memberikan perubahanperubahan sehingga mewujudkan gambaran peran yang akan dibawakan dalam suatu pertunjukan. Secara umum tata rias memang sangat berpengaruh dalam suatu pementasan, namun berbeda dengan tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli ini sama sekali tidak menggunakan alat-alat kosmetika. Menurut salah satu anggota masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, mengatakan bahwa tari Rejang Muani merupakan peninggalan dari zaman dahulu, dan memang demikian keberadaannya tanpa memakai riasan wajah.
70
Berkaitan dengan tata rias pada tari Rejang Muani, sebagai tarian yang lahir pada zaman dahulu, yang masyarakat pada waktu itu menciptakan sebuah tari terpusat untuk persembahan kepada sang pencipta. Masyarakat tidak berani untuk mengubah bentuk tarian tersebut, mereka hanya mempunyai kewajiban untuk tetap melestarikan tari-tarian tradisional supaya tidak mengalami kepunahan. Walaupun dalam pementasan tari Rejang Muani tidak menggunakan alat-alat kosmetika, namun tarian ini sangat berarti bagi masyarakat Desa Pakraman Lumbuan dalam melaksanakan upacara agama di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Selain tata rias, sebenarnya tata busana juga merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penampilan, serta busana merupakan faktor pendukung yang penting dalam tari Bali. Tata busana akan memberikan kesan yang indah serta busana atau pakaian dapat menunjukkan kepada penonton tentang tokoh atau lakon yang dibawakan. Pada umumnya, setiap tarian biasanya menggunakan tata busana tersendiri, yang dapat memberikan ciri khas pada tarian tersebut, sehingga dengan melihat busana yang dipakai, penonton sudah mengetahui tarian apa yang ditampilkan. Sebagian besar tari-tarian tradisional masih tetap mempertahankan tata busana yang memang mereka terima dari warisan leluhurnya. Pada tari tradisional lebih mengutamakan rasa pengabdian, sehingga tidak terlalu memperhitungkan busana yang dipakai. Sungguh berbeda dengan perkembangan jaman sekarang, dimana busana tarinya terkadang lebih ditonjolkan.
71
Seperti halnya tari Rejang Muani yang dipentaskan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, tarian ini menggunakan tata busana yang sangat sederhana. Tata busana yang dipakai yaitu penari hanya menggunakan pakaian adat ke pura. Mereka memakai baju warna putih, kain warna putih, udeng putih, dan menggunakan saput berwarna biru muda atau kuning dan menggunakan selendang. Saput berwarna biru muda/ kuning merupakan salah satu kostum dari sekaa truna yang dipakai bersama supaya kelihatan seragam atau kompak. Tidak ada aturan secara pasti kapan harus menggunakan saput berwarnan kuning maupun biru, karena hanya merupakan kostum dari sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman Lumbuan Bangli dan tidak ada pengaruhnya terhadap persembahan tari wali tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada foto dibawah ini:
Udeng putih
Baju putih
Saput warna biru
Kamen warna putih
Foto 4.11 Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman Lumbuan Dokumentasi: Raka Wiguna, 2011 72
Foto diatas merupakan pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda dengan memakai saput berwarna biru. Adapun pakaian adat ke pura sekaa truna maupun pemuda Desa Pakraman Lumbuan, Bangli yang memakai saput berwarna kuning dapat dilihat pada foto dibawah ini: Udeng putih
Baju putih
Saput warna kuning
Kamen warna putih Foto 4.12 Pakaian adat ke pura sekaa truna dan pemuda Desa Pakraman Lumbuan Dokumentasi: Raka Wiguna, 2014 Semua perlengkapan tersebut dibebankan kepada penari, hanya saja para penari tidak membawa selendang dari rumahnya masing-masing, karena selendang yang digunakan dalam pementasan tari Rejang Muani sudah disediakan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Selendang yang digunakan berwarna merah muda atau dadu, merupakan perpaduan dari warna putih dan merah. Warna dari selendang yang dipakai pada pementasan tari Rejang Muani tersebut tidak selamanya seperti itu, artinya dalam kurun waktu tertentu warnanya bisa berubah atau diganti. Walaupun warna selendang yang dipakai berubah-ubah, 73
namun tetap tidak mengurangi makna dari tarian tersebut, karena selendang yang dipakai disimbolkan sebagai pemberian rasa penghormatan kepada para leluhur.
Foto 4.13 Selendang pada tari Rejang Muani Dokumentasi: Mawan, 2014 Tidak ada upacara secara khusus pada waktu penggantian selendang, pergantian selendang dilakukan apabila selendang yang sebelumnya sudah dalam keadaan rusak dan sudah tidak layak pakai. Cara penggunaan selendang pada tari Rejang Muani berbeda dengan penggunaan selendang pada tari Rejang lainnya, misalnya tari Rejang Dewa yang penggunaan selendangnya adalah di dada penari dan terurai panjang di sebelah kanan. Adapun cara penggunaan selendang pada tarian ini adalah di slempang, yaitu diikatkan di dada penari dan selanjutnya disilangkan ke lehernya. Penggunaan selendang seperti itu memang sudah didapatkan secara turun-temurun dan sampai sekarang masyarakat Desa Pakraman Lumbuan tetap melestarikan tradisi yang mereka miliki. Selendang yang digunakan tersebut disimpan di sebuah Bale (tempat) yang disebut dengan Bale 74
Pesanekan bersamaan dengan disimpannya pakaian tari lainnya, seperti pakaian topeng. Agar lebih jelasnya penggunaan selendang pada tarian ini dapat dilihat pada foto dibawah ini.
Foto 4. 14 Penggunaan selendang tampak dari depan dan belakang Dokumentasi: Mawan, 2014 Pada pementasan tari Rejang Muani dari dulu memang hanya memakai pakaian adat ke pura, namun hanya saja biasanya terdapat perubahan pada saput yang digunakan oleh penari. Biasanya selang beberapa waktu sekaa truna akan mengganti warna saputnya dengan warna yang berbeda tergantung dengan selera mereka. Seperti halnya dengan warna selendang, walaupun warna saput yang dipakai juga mengalami perubahan, namun tidak mengurangi fungsi tarian ini sebagai tari wali. Tata rias dan tata busana dalam sebuah tarian merupakan dua serangkai yang tidak dapat dipisahkan untuk penyajian suatu tarian. Tata rias dan tata busana sangat berkaitan erat dengan warna, karena warna dalam seni pertunjukan 75
berkaitan dengan tokoh yang dibawakan. Pada tari Rejang Muani, yang merupakan sebuah tari upacara yang dalam pementasannya tidak memakai lakon sehingga tidak ada penokohan di dalam tarian ini. Warna yang terdapat pada busana atau pakaian tarian ini, menggunakan warna putih, kuning, biru dan merah muda. Warna putih memberi kesan muda dan memiliki arti simbolis kesucian. Warna kuning mempunyai makna keseimbangan, keagungan dan kesucian. Warna biru mempunyai kesan keseimbangan alam, ketentraman, dan memiliki arti simbolis kesetiaan. Warna merah muda atau dadu memiliki makna penyatuan antara gunung dan matahari, keseimbangan alam. Warna-warna dari tata busana yang digunakan merupakan simbolis warna-warna para Dewata Nawa Sanga. Pada pementasan tari Rejang Muani memang memakai pakaian adat ke pura saja, dari awal muncul dan sampai sekarang masih memakai pakaian seperti itu, Meskipun sekarang ini sudah zaman globalisasi, namun masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli tetap mempertahankan tradisi mereka. Pada tata busana tarian ini, hanya mengalami perkembangan pada saput yang digunakan. Walapun mengalami perubahan, namun tidak terlalu signifikan, karena perubahan tersebut hanya terletak pada warnanya saja.
4.2.4 Musik Iringan tari Rejang Muani Seni musik tidak bisa lepas dari seni pertunjukan, khususnya seni tari yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dikarenakan musik berfungsi sebagai iringan yang mengikuti irama gerak tari, sebagai pembentuk suasana, sebagai ilustrasi yang memberikan tekanan-tekanan serta menguatkan gerak-gerak 76
tertentu. Pada pementasan tari Rejang Muani, musik iringan berfungsi sebagai pembentuk suasana dan sebagai ilustrasi saja, namun walaupun begitu gerak yang dilakukan tetap mengikuti irama, tempo, maupun angsel dari musik tersebut. Gamelan Bali hanya menggunakan satu dari dua laras yang ada yaitu selendro atau pelog. Gong Gede merupakan salah satu gamelan yang menggunakan laras pelog lima nada. I Wayan Dibia mengatakan bahwa Gong Gede termasuk barungan ageng (besar) namun langka, yang melibatkan antara 40-50 orang pemain serta hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan ini biasanya dipakai untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan dan dimainkan untuk mengiringi tari upacara seperti Rejang, Baris, dan Pendet (1999:116). Gamelan ini disebut dengan Gong Gede karena terdiri dari berbagai jenis instrumen perkusi dalam jumlah yang cukup banyak. Gamelan ini merupakan perangkat gamelan Bali yang terbesar, baik dari jumlah pemainnya atau penabuh, maupun dari perangkat instrumennya (Sugiartha, 2008:106-107).
Foto 4.15 Musik pengiring tari Rejang Muani Dokumentasi: Mawan, 2014 77
Gamelan Gong Gede terdiri dari instrumen trompong, reyong, ponggang, kempli, bende, kempur, gong lanang wadon, gangsa jongkok, jublag, jegogan, kendang, dan cengceng kopyak. Gamelan Gong Gede tersebut merupakan warisan leluhur yang hingga sekarang keberadaannya disakralkan dan merupakan salah satu aset yang berharga yang terdapat di Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Masyarakat Desa Lumbuan, Bangli memakai Gong Gede untuk mengiringi upacara di pura-pura (upacara Dewa Yadnya). Tari Rejang Muani menggunakan musik iringan yang berupa gamelan Gong Gede dengan gending Gilak Sasak 16 ketukan, dan gamelannya bersamaan munculnya dengan tari Rejang Muani tersebut ( Wawancara dengan Sang Komang Martahadi pada tanggal 2 September 2013, di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan pada pukul 19.00-20.00 WITA). Musik iringan tari Bali pada umumnya menggunakan tempo yang berbeda-beda dan bervariasi dari pelan, sedang dan cepat ( Dibia, 2013:120). Sesuai dengan pernyataan tersebut, musik pengiring dari tari Rejang Muani menggunakan tempo yang lambat pada awal pertunjukan dan tempo lebih cepat pada akhir pertunjukan. Adanya perubahan tempo dari lambat ke lebih cepat tersebut, merupakan suatu tanda bahwa pementasan tari Rejang Muani akan berakhir.
4.2.5 Tempat Pementasan tari Rejang Muani Tempat atau arena pentas umumnya disebut dengan kalangan. Sebagaimana diketahui bahwa pementasan suatu pertunjukan bisa dilakukan di 78
mana-mana, namun pada tari upacara kalangan merupakan sebuah tempat yang khusus. Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan masyarakat terhadap tempat pertunjukkan tersebut. Sebelum digunakan untuk pementasan, terlebih dahulu kalangan disucikan dengan percikan tirta (air suci) serta mempersembahkan banten kalangan (banten pejati). Tujuannya adalah untuk menjadikan tempat tersebut bersih dan terbebas dari gangguan-gangguan makhluk yang tidak kasat mata.
Foto 4.16 Tempat pementasan tari Rejang Muani Dokumentasi : Mawan, 2014 Tempat pementasan tari Rejang Muani dilakukan di jeroan pura (halaman utama pura). Penari keluar dari arah Selatan dan mereka menari di depan penjor Nawa Sanga, menghadap ke arah Utara atau menari di depan pelinggih utama. Mereka menari menghadap ke arah benda-benda suci yang disakralkan oleh masyarakat, sehingga penari dapat tampil dengan penuh 79
konsentrasi dan menari dengan rasa pengabdian yang tulus. Pementasannya dikelilingi oleh penonton atau masyarakat setempat, sehingga antara penari dengan penonton menimbulkan
hubungan perasaan secara langsung. Para
penonton dapat melihat tarian ini dari segala arah, karena tidak ada pembatas antara penari dengan penonton. Pementasan tari Rejang Muani dilakukan pada malam hari dengan disinari lampu seadanya, karena tidak menggunakan tata lampu secara khusus. Pertunjukan tari Rejang Muani tidak tampak adanya penggunaan pola lantai seperti tari Rejang pada umumnya. Tari Rejang pada umumnya biasanya terdapat pola lantai yang membentuk lingkaran (melingkar), lurus, sejajar atau berbaris, menghadap arah pojok dan sebagainya. Pada tarian ini hanya menggunakan pola lantai berbaris yaitu penari hanya bergerak di tempat saja, hal tersebut dikarenakan pada motif gerak pada tari Rejang Muani tidak terdapat gerakan untuk berjalan atau berpindah tempat untuk mengubah pola lantai. Kendatipun pada tari Rejang Muani hanya memakai satu pola lantai, yaitu hanya berbaris, namun arah hadapnya sewaktu-waktu berubah yakni penari dari menghadap arah depan berubah menghadap ke arah pojok kanan depan, berubah lagi ke arah pojok kiri depan, dan kembali menghadap arah depan.
4.3 Fungsi tari Rejang Muani di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli Seni merupakan bagian dari agama, tujuan utama dari seni tersebut adalah untuk menghormati kebesaran Tuhan Hyang Maha Esa/ Ida Sang Hyang 80
Widhi Wasa. Hal tersebutlah sebagai penguat sehingga seni bisa bertahan hidup sampai sekarang ini. Disamping itu, masyarakat pendukung seni terus memfungsikan seni tersebut dan mengharuskan setiap pelaksanaan upacara keagamaan untuk mementaskan seni, khususnya seni tari. Yudabakti dan Watra (2007:64-65) menyatakan bahwa, menurut keputusan Seminar Seni Sakral dan Profan bidang seni tari yang diadakan oleh Proyek Pemeliharaan dan pengembangan Kebudayaan Daerah Bali, yang diselenggarakan pada tanggal 24 Maret 1971 di Denpasar. Memutuskan pembagian tari Bali menurut fungsinya yakni: 1. Seni tari Wali adalah seni tari yang dipentaskan di pura-pura dan ditempat yang ada hubungannya dengan upacara agama, sebagai pelaksana upacara dan upacara agama yang pada umumnya tidak memakai lakon. 2. Seni tari Bebali adalah tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan upakara di pura-pura, serta pada umumnya mambawakan lakon. 3. Seni tari Balih-balihan adalah segala jenis tari Bali yang mempunyai unsurunsur dasar dari seni tari yang luhur yang tidak tergolong tari wali dan bebali dapat dimasukkan ke dalam kelompok tari balih-balihan. Berdasarkan pernyataan di atas, pertunjukan yang tergolong dalam seni upacara, baik seni wali atau bebali pada dasarnya memiliki nilai religius dan bersifat sakral, serta dalam pertunjukannya didasarkan pada konsep desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan keadaan). Tujuan pertunjukan lebih difokuskan pada kepentingan upacara Dewa Yadnya daripada hiburan untuk penonton. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan seni tontonan atau balih-balihan, yang 81
cenderung lebih menonjolkan unsur keindahan dan dalam pertunjukannya tidak terikat oleh batasan tempat, waktu dan keadaan. Fungsi seni pertunjukan bagi masyarakat pendukungnya dapat dibagi menjadi dua yaitu, seni sebagai fungsi primer dan fungsi sekunder (Soedarsono, 2004:170-173). Salah satu fungsi primer atau utama dari seni pertunjukan yaitu: sebagai sarana ritual, sedangkan untuk fungsi sekunder adalah sebagai pengikat solidaritas sekelompok masyarakat. Berkaitan dengan fungsi pada tari Rejang Muani bagi masyarakat Desa Lumbuan, Bangli adalah tarian ini memiliki dua fungsi, yakni sebagai tari wali atau sarana ritual, dan berfungsi sebagai pengikat solidaritas masyarakat pendukungnya.
4.3.1 Fungsi wali tari Rejang Muani Jika dimasukkan ke dalam klasifikasi tari Bali, tari Rejang Muani termasuk ke dalam jenis seni tari wali. Hal ini tersirat dari hubungan yang sangat erat dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, dan diyakini tanpa adanya tarian ini upacara tersebut dianggap kurang sempurna. Pementasan tari Rejang Muani digunakan sebagai media persembahan dan pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan tujuan agar diberikan perlindungan, keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup pada umatnya. Tari Rejang Muani wajib dipertunjukkan setiap piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli karena tarian ini berfungsi sebagai sarana di dalam pelaksanaan upacara di pura tersebut. Sesuai dengan fungsinya sebagai sarana ritual, tari Rejang Muani dipentaskan di jeroan pura (halaman utama pura) 82
dan tidak pernah dipentaskan di luar dari upacara Dewa Yadnya selain di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tanpa pertunjukan tari Rejang Muani, maka proses upacara dikatakan belum selesai, sehingga dapat dikatakan dengan tegas oleh masyarakat pendukungnya bahwa tari Rejang Muani merupakan sarana upacara pada piodalan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Sampai saat ini, tari-tarian wali masih tetap bertahan dan lestari, karena masyarakat pendukungnya tidak berani mengubah atau meninggalkan begitu saja. Hal tersebut dikarenakan masyarakat mempunyai keyakinan, jika tarian tersebut ditinggalkan, maka akan terjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli.
4.3.2 Fungsi sosial tari Rejang Muani Fungsi tari Rejang Muani tidak hanya semata-mata sebagai tari upacara keagamaan atau tari wali, namun juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai pengikat solidaritas masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Di bidang sosial tarian ini berfungsi sebagai pemersatu masyarakat pendukungnya. Dalam fungsinya sebagai tari pengikat sosial, dikaitkan dengan tari Rejang Muani bila dilihat dari asal tempat hidup dan berkembangnya adalah di lingkungan masyarakat. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pertunjukan tari Rejang Muani selalu melibatkan masyarakat pendukungnya. Tarian ini bisa dijadikan sebagai pemersatu sosial masyarakat Desa Lumbuan, Bangli, karena ketika pementasan tari Rejang Muani, masyarakat senantiasa melakukan gotong royong dalam mempersiapkan segala keperluan untuk pelaksanaan upacara di Pura Puseh Desa 83
Pakraman Lumbuan, Bangli. Begitu juga dalam pelaksanaan upacara yang disertai pementasan tari Rejang Muani, banyak melibatkan organisasi sosial seperti sekaa truna-truni, muda-mudi, serta seluruh masyarakat setempat. Semua anggota masyarakat Desa Pakraman Lumbuan Bangli, dalam menyelenggarakan upacara tersebut harus melibatkan diri dengan tanpa mendapatkan upah. Kegiatan yang dilakukan secara sukarela tersebut dalam bahasa Bali disebut dengan ngayah. Kegiatan ngayah, dapat dilihat dari dimulainya masyarakat menyiapkan perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan dalam upacara tersebut. Masyarakat mempunyai kewajiban dalam mempersiapkan segala sesuatu dalam kegiatan upacara agama di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli, apabila mereka tidak hadir dalam kegiatan ngayah, maka mereka akan dikenakan sangsi sesuai dengan aturan atau awig-awig yang sudah disepakati. Biasanyaa mereka akan dikenakan denda sesuai dengan jumlah ketidak hadirannya. Meskipun mereka mampu membayar denda, namun dalam kehidupan masyarakat tidak pernah terlibat pada kegiatan ngayah, maka mereka bisa dikucilkan oleh masyarakat lainnya. Dalam pementasan tari Rejang Muani, banyak orang yang ikut terlibat di dalamnya, khususnya sekaa truna-truni memiliki peran penting dalam mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pementasan tarian ini. Dalam kebersamaan inilah dapat menimbulkan kondisi yang harmonis dan saling membantu untuk terlaksananya upacara di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Sekaa truna-truni secara bersama-sama membuat Penjor Nawa Sanga yang merupakan syarat dari bisa terlaksananya pementasan tari Rejang Muani. 84
Pembuatan penjor tersebut memerlukan bahan-bahan yang cukup sulit didapatkan. Bahan-bahan tersebut harus dicari sendiri oleh sekaa truna-truni yang mendapatkan giliran untuk membawanya. Dalam pembuatan penjor tersebut, sekaa truna-truni akan membagi diri untuk membawa bahan-bahan yang diperlukan, hal itu dilakukan supaya semua sekaa truna-truni memahami betapa berat dan sulitnya dalam mencari bahan-bahan untuk penjor Nawa Sanga. Dari kegiatan dan usaha itulah timbul rasa kebersamaan sebagai sarana pengikat solidaritas masyarakat, khususnya bagi truna-truni yang nantinya sebagai generasi penerus dalam desa setempat. Pada kegiatan gotong royong atau bekerjasama untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam upacara keagamaan, tentunya akan terjalin komunikasi antara masyarakat pendukungnya. Dengan adanya komunikasi yang baik tersebut akan mewujudkan rasa saling menghargai dan menghormati sesama masyarakat setempat, sehingga dapat menghasilkan kehidupan yang harmonis diantara mereka.
85
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari uraian yang dipaparkan dalam pembahasan, dapat disimpulkan bahwa tari Rejang Muani merupakan sebuah tari upacara, yang dipentaskan oleh masyarakat Desa Lumbuan pada upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, Bangli. Tarian ini berbentuk tari massal atau kelompok, yang ditarikan sekitar 30 sampai 40 orang penari laki-laki (sekaa truna). Tari Rejang Muani memiliki penampilan yang sangat sederhana, hal tersebut dapat dilihat dari penari tidak memakai riasan wajah, serta busananya yang hanya menggunakan pakaian adat ke pura saja. Selain itu, gerak-gerak yang ditampilkan dalam tarian ini juga tergolong sederhana, yaitu hanya berupa gerak mencondongkan badan kedepan (penghormatan), dibarengi dengan merentangkan kedua tangan ke arah samping kanan dan kiri. Gerakan tersebut diulang-ulang sebanyak sembilan kali, karena gerakan tarinya memiliki kaitan dengan penjor Nawa Sanga yang juga memiliki sembilan buah cabang. Gerak ke pojok kanan depan dan pojok kiri depan, dihubungkan dengan sebuah gerak yang dalam tari Bali biasa disebut gerakan nengkleng. Penjor tersebut merupakan lambang dari para dewa penguasa di kesembilan penjuru arah mata angin. Selain itu, tempat pertunjukan tarian ini juga sederhana, yakni ditarikan di halaman pura, tanpa menggunakan dekorasi. Tarian tersebut ditarikan menghadap ke Utara yaitu di depan atau berhadap-hadapan dengan pelinggih utama dan penjor Nawa Sanga. 86
Dilihat dari fungsinya, tari Rejang Muani memiliki dua fungsi yaitu pertama sebagai sarana ritual atau sebagai tari wali, yang kedua sebagai pengikat solidaritas masyarakat Desa Pakraman Lumbuan Bangli. Sebagai sarana ritual, tari Rejang Muani selalu dipentaskan hanya dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan. Fungsi kedua yaitu sebagai pengikat solidaritas masyarakat, dapat terlihat dari kegiatan masyarakat dalam mempersiapkan kebutuhan upacara maupun perlengkapan dalam pementasan tari Rejang Muani. Dalam mempersiapkan perlengkapan upacara, sekaa truna-truni memiliki peran yang sangat penting, yaitu dalam membuat penjor Nawa Sanga, sehingga dengan adanya gotong royong tersebut akan mampu mempererat tali persaudaraan bagi sekaa truna-truni Desa Lumbuan.
5.2 Saran-saran Selama melaksanakan penelitian secara langsung di Desa Pakraman Lumbuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, ada beberapa saran yang kiranya perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan bersama agar kesenian tari Rejang Muani mampu bertahan dan tetap lestari, diantaranya: Mengingat tari Rejang Muani mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Puseh Desa Pakraman Lumbuan, maka tarian ini harus tetap dipelihara kelangsungannya. Walaupun tari Rejang Muani dalam penyajiannya sangat sederhana, tapi kelestarian tarian ini harus tetap dijaga. Selain itu, tarian ini harus tetap dipertahankan hanya sebagai tari wali, dengan tidak mengalih fungsikan sebagai tari pertunjukan untuk wisata. Pada 87
musik iringan tari Rejang Muani perlu diadakan regenerasi penabuh, agar kelestarian musik iringan bisa tetap terjaga. Para penabuh yang lanjut usia harus membuat kader-kader baru, sehingga yang muda akan dapat melanjutkan kehidupan pengiring tarian tersebut. Dengan demikian kelestarian dan keberlangsungan tari Rejang Muani ini akan dapat diupayakan secara berkelanjutan. Semua masyarakat Desa Pakraman Lumbuan, Bangli harus tetap melestarikan tari Rejang Muani, karena tari ini merupakan peninggalan budaya bangsa.
88
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I Nyoman Mider. 2012. Arti dan Fungsi Banten. Denpasar: Pustaka Bali Post Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: ASTI Denpasar. . 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius Bandem, I Made, & Fredrik Eugene de Boer. 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi Terjemahan I Made Marlowe Makaradhawaja. Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. . 2004. Pragina; Penari, Aktor, dan Pelaku Seni Pertunjukan Bali. Malang: Sava Media ____________. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Buku Arti ____________. 2013. Puspasari Seni Tari Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan ISI Denpasar. Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hadi, Y. Sumandiyo. 2000. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. _____________. 2007. Sosiologi Tari : Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta: Pustaka.
89
Hidayat, Robby. 2009. Pengetahuan Seni Tari. Malang: Universitas Negeri Malang, Fakultas Sastra, Jurusan Seni dan Desain, Program Studi Pendidikan Seni Tari. Koentjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. _____________. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Patilima, Hamid. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Raco, J.R.2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo Soedarsono. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. _________. 2001. Metode Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Soehardjo, A. J. 2012. Pendidikan Seni : Dari Konsep Sampai Program. Malang: Universitas Negeri Malang, Fakultas Sastra, Jurusan Seni dan Desain, bekerjasama dengan Bayu Media Publishing. Suastri, Luh Mas. 1985. “Tari Rejang Ayunan di Desa Pupuan”. Skripsi Strata I (S-I) Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar. Sudira, Made Bambang Oka. 2010. Ilmu Seni Teori Dan Praktik. Jakarta: Inti Prima Promosindo. Sugiartha, I Gede Arya. 2008. Gamelan Pegambuhan “Tambang Emas” Karawitan Bali. Denpasar: ISI Denpasar dan Sari Kahyangan. Widana, I Gusti Ketut. 2012. Penjor Lebay. Denpasar: PT Offset BP Denpasar
90
Yudabakti, I Made & Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Penerbit Paramita Surabaya.
91