BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang "Apalah arti sebuah nama ". Sebuah kalimat yang sering diungkapkan orang apabila yang lain ingin menanyakan nama ataupun bingung hendak menamakan sesuatu. Kiranya pernyataan tersebut kurang tepat apabila kita kaitkan dengan nama orang. Karena nama merupakan hal yang penting bagi hampir semua orang. Nama merupakan suatu identitas yang akan melekat pada diri kita mulai lahir hingga nantinya meninggal. Karena alasan itulah pemberian nama tidak boleh sembarangan. Di mana pun itu, dalam memberikan nama pada seorang anak, orang tua akan memikirkan betul-betul nama apa yang akan diberikan kepada anaknya. Karena di dalam nama terdapat sebuah harapan dan doa. Seperti apa yang sering diungkapkan oleh sebagian besar masyarakat bahwa nama merupakan sebuah doa. Dapat diartikan bahwa ketika kita memanggil nama seseorang dengan kata lain kita mendoakannya. Misalnya nama Indah, orang tua berharap anaknya kelak akan memiliki paras yang indah atau cantik. Melalui nama panggilan, orang tua berharap orang-orang akan mendoakan seperti apa yang diharapkan orang tua. Selain berfungsi sebagai doa nama juga berfungsi sebagai identitas yang sangat penting bagi pribadi orang. Sebagai salah satu pembeda antara individu satu dengan individu yang lainnya. Dengan nama kita akan pinggil dan disebut
1
dalam suatu percakapan. Apabila tidak ada nama, maka kita akan kesulitan dalam melakukan komunikasi, akan sulit ketika ingin membicarakan atau memanggil seseorang, maka dari itu kita membutuhkan suatu pembeda yang disebut nama. Berbicara mengenai nama sebagai identitas, maka kita tidak akan jauh dari kartu identitas. Dalam kartu identitas nama merupakan hal yang sangat penting, bahkan karena teramat penting, di seluruh belahan bumi mana pun orang akan meletakkan nama sebagai identitas yang yang paling awal pada isian kartu identitas. Hampir di semua negara melakukan hal tersebut. Nama personal di berbagai daerah atau negara biasanya berbeda. Bahkan, nama personal di suatu daerah atau negara dapat berbeda satu sama lain. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya etnis. Perbedaan nama tersebut salah satunya dapat dilihat dari unsur pembentuknya, misalnya unsur pembentuk nama personal etnis Tionghoa berbeda dengan unsur pembentuk nama personal etnis Jawa dan juga Etnis Sunda. Irmayani (2012 : 46) menyatakan bahwa nama masyarakat Tionghoa biasanya terdiri dari tiga unsur pembentuk, yaitu nama keluarga (yang biasanya berada di depan), nama generasi, dan nama personal atau yang biasa disebut nama individu, misalnya nama Lie Tjut Siang, Bong Lan Lie, Ng Tian Na. Dalam etnis batak juga dikenal sistem nama yang menggunakan nama keluarga. Bedanya dengan etnis Tionghoa, etnis Batak meletakkan nama keluarga di belakang nama personal dan mereka hanya menggunakan dua unsur dalam nama personalnya, yaitu nama personal dan nama keluarga, misalnya nama penyanyi Petra Sihombing, Tika Pangabean, Ruhut Sitompul dan Hotman Paris Hutapea, para pengecara kondang negeri ini. 2
Berbeda halnya dengan etnis Tionghoa dan Batak yang menggunakan nama keluarga dalam nama mereka, etnis Jawa dan etnis Sunda tidak menggunakan nama keluarga sebagai salah satu unsur yang harus ada dalam nama mereka. Dalam nama personal bahasa Sunda seringkali terdapat pengulangan di dalamnya, misalnya nama Wawan Setiawan, Maman Suherman, dan Agus Gustiawan. Dalam nama personal masayarakat Sunda tidak memiliki aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis mengenai unsur pembentuk nama yang harus ada. Orang sunda lebih memilih menyandang nama personal yang hanya terdapat nama personal (maksudnya tidak terdapat nama keluarga atau lainnya) di dalamnya. Boleh terdiri dari satu kata, dua kata, tiga kata, atau bahkan lebih dari tiga kata. Serupa dengan unsur nama personal masyarakat Sunda, dalam nama personal masyarakat Jawa juga hanya terdapat unsur nama personal di dalamnya. Uhlenbeck dalam Wibowo (2001-45) menyatakan bahwa hampir tidak ditemukan kaidah yang ketat dan jelas menganai sistem penamaan etnis Jawa. Jadi hampir semua orang tua bisa dengan leluasa menamakan anaknya, mereka dapat menurunkan nama mereka pada anak mereka atau tidak. Mereka dapat pula menamakan anak mereka dengan satu kata, dua kata, tiga kata, atau bahkan lebih. Serupa dengan sistem nama masyarakat Batak dan Tionghoa, orang Eropa, khususnya orang Prancis juga menyandang nama keluarga. Terdapat dua unsur dalam nama personal Prancis, yaitu nama depan, atau yang disebut prénom dan nama belakang yang disebut nom. Orang Prancis juga mengenal istilah nom dengan sebutan nom de famille atau nama keluarga. Misalnya nama presiden
3
Prancis saat ini adalah François Hollande, François merupakan nama depan, dan Hollande merupakan nama keluarga. Selain sebagai identitas diri, nama merupakan identitas suatu masyarakat atau etnis karena nama menggambarkan pula kebudayaan suatu masyarakat. Karena pentingnya nama itulah, Prancis memandang nama bukanlah suatu hal yang sepele, maka dari itu pemerintah Prancis menganggap perlunya memperhatikan perihal pemberian nama. Terdapat aturan dalam masyarakat baik itu aturan formal dan juga aturan non-formal mengenai pemberian nama. Atas dasar itulah, maka pemberian nama di Prancis berbeda dengan di Indonesia pada umumnya. Di Prancis kita tidak bisa memberikan nama kita sesuka hati kita. Ada aturan tertentu terkait itu. Aturan tersebut tertuang dalam sebuah undang-undang. Dalam aturan tersebut berbunyi orang tua wajib memberikan nama keluarga kepada keturunan mereka. Nama keluarga dipandang penting dalam masyarakat Prancis sehingga harus diatur dalam sebuah undang-undang. Mengenai nama keluarga, terdapat nama-nama keluarga masyarakat Prancis yang sangat unik apabila ditelusuri secara etimologis, misalnya nama Choux, Boulanger, Dupont, Dubois, Lenoir, Leblanc, Petit, Grand, dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut ternyata memiliki arti apabila kita lihat dalam kamus.
Kata
choux
yang
berarti
‘kubis’,
boulanger
yang
berarti
‘pembuat/pedagang roti’, pont yang berarti ‘jembatan’, bois ‘kayu’, noir ‘hitam’, blanc ‘putih’, petit ‘kecil’, dan grand ‘besar’.
4
Nama Choux merupakan nama yang berasal dari kata dalam bahasa Prancis yaitu chou, mendapatkan sufiks –x salah satu penanda kata benda jamak. Dalam Arifin dan Soemargono (2007 :167) kata chou berarti ‘kol’ atau ‘kubis’. Hal itu menjadi sangat menarik karena nama sayuran dijadikan nama keluarga. Keluarga Choux pastilah memiliki sejarah tersendiri memililih nama tersebut. Bisa jadi dahulu keluarga yang pertama kali menyandang nama Choux merupakan keluarga yang berprofesi sebagai petani kubis atau penjual kubis di pasar, atau bisa juga berasal dari daerah yang bernama Choux yang berada di dekat Jura, Prancis. Nama-nama keluarga di atas merupakan hal yang sangat menarik menurut penulis. Karena jembatan, kayu, kubis, dan nama warna sekalipun dapat dijadikan nama keluarga. Hal itu tentulah memiliki sejarah tersendiri karena mengingat nama keluarga merupakan sesuatu yang ajeg dan turun temurun dari sekitar abad pertengahan. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu nama-nama orang Prancis tidak sepenuhnya berasal dari bahasa Prancis dan sukar dilacak secara etimologis, misalnya nama Bernard yang sebenarnya berasal dari bahasa Jerman, nama Martin yang berasal dari nama Baptis, dan nama Najat yang terdengar kearab-araban. Selain itu, nama anak juga tidak sepenuhnya diturunkan dari ayahnya seperti dulu. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan-perubahan itu terjadi. Maka dari itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sistem nama dalam bahasa Prancis.
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah sistem nama personal dalam masyarakat Prancis ? b. Apakah sajakah makna yang terkandung dalam nama-nama keluarga Prancis ? c. Bagaimanakah perubahan sistem penamaan personal dalam masyarakat Prancis seiring dengan berjalannya waktu?
1.3. Tujuan Penelitian a. Untuk mendeskripsikan sistem nama personal masyarakat Prancis. b. Untuk mendeskripsikan makna yang terkandung dalam nama-nama keluarga Prancis. c. Untuk mendeskripsikan perubahan sistem nama personal dalam masyarakat Prancis seiring dengan berjalannya waktu.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaan Teoretis Penelitian mengenai nama personal masyarakat Prancis ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan terutama dalam kajian linguistik antropologis dalam bahasa Prancis di Indonesia
6
Manfaat Praktis Penelitian ini dapat memeberi manfaat bagi pengajaran bahasa Prancis, khususnya dalam mengenalkan kebudayaan Prancis melalui bahasanya. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian terdahulu mengenai sistem nama personal atau penamaan diri telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut meliputi sistem penamaan diri di berbagai bahasa. Yang pertama dilakukan oleh Irmayani (2012). Irmayani melakukan penelitian mengenai nama personal pada masyarakat Tionghoa di Pontianak. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa masyarakat Tionghoa di Pontianak menyandang nama personal dalam bentuk empat tipe, yaitu menyandang nama Tionghoa, Indonesia, Eropa/Amerika, dan beralias. Pada umumnya masyarakat Tionghoa di Pontianak mulai menggeser bentuk nama dari budaya aslinya, namun pergeseran tersebut masih diikuti karakter keTionghoaanya dengan menggunakan unsur marga dan generasi dalam konsep baru. Adapula penelitian mengenai nama personal dalam bahasa Sunda oleh Kosasih (2010). Pada penelitiannya yang berjudul Kosmologi Sistem Nama Diri (antroponim) Masyarakat Sunda : dalam Konstelasi Perubahan Sosial Budaya ini Kosasih ingin membahas mengenai sistem nama personal masyarakat Sunda beserta perkembangannya. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa (1) secara diakronis, terdapat kecenderungan perubahan pada sistem nama diri masyarakat Sunda, hal itu terlihat dari pembentukannya. (2) Perkembangan seperti itu terkait
7
erat dengan (a) dinamika masyarakat yang meningkat, (b) perkembangan kosakata bahasa sunda, (c) perkembangan pola pikir manusia, (d) perkembangan sikap dan respon budaya masyarakat, (e) perkembangan kebutuhan manusia, dan yang tidak dapat dilupakan adalah (f) perkembangan IPTEK.
Wibowo (2001) melakukan penelitian mengenai nama personal pada etnik Jawa. Penelitian tersebut salah satunya mengungkap pembentukan nama personal etnik Jawa. Nama personal (personal) etnik Jawa antara nama maskulin dan feminin dapat dirunut melalui formulasi vokal pada akhir katanya. Selain itu nama dapat dibentuk secara arbitrer (nama sebagai salah satu pembeda dengan indiviu lain, tidak terdapat arti dan tidak dapat dicari asal-muasalnya) atau dapat pula secara non-abitrer (memiliki padanan dengan leksikon lain, memiliki harapan, cita-cita atau dapat pula menggambarkan sejarah kelahiran anak). Selain itu, dalam memberikan nama, masyarakat harus memikirkan baik-baik nama yang akan diberikan kepada anaknya demi aspek “keselamatan” si anak dalam menjalani hidupnya kelak, namun pada saat ini dalam perkembangan sistem penamaan diri, hal tersebut tidak begitu diperhatikan dan cenderung melonggar seiring dengan berkembangnya jaman. Dalam penelitian Wibowo tersebut, terdapat pula penelitian terdahulu dari Uhlenbeck (1982). Penelitian ini membahas ciri-ciri sistematis nama orang dalam bahasa Jawa. Uhlenbeck menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) klasifikasi nama personal etnik Jawa, yaitu: nama feminin rendah, feminin, maskulin-kecil-rendah, maskulin kecil, maskulin-tua-rendah, dan maskulin-rendah. Dalam keenam
8
kelompok tersebut juga dibedakan kembali atas nama-nama arbitrer dan nonarbitrer. Selanjutnya terdapat penelitian nama personal Mack Picard dari Universitas Concordia (2007). Penelitian ini berjudul Les Noms de Famille du Canada-Français : Origines et Evolution. Penelitian ini membahas nama-nama keluarga Kanada-Prancis (masyarakat Kanada yang berbahasa Prancis), dari nama-nama asli hingga perubahannya pada saat ini. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa mayoritas nama keluarga di Quebec, Kanada merupakan nama keluarga Prancis. Hal itu juga di temukan di Acadie. Dalam kebanyakan kasus nama keluarga Prancis diturunkan secara patronim (dari ayah ke anak) yang dibawa oleh para imigran Prancis yang datang ke Amerika. Secara liguistik terdapat dua kategori nama Prancis dari para penutur asli bahasa Prancis atau yang dulunya pernah menjadi penutur bahasa Prancis. (1) masyarakat asli Prancis yang dulu datang ke Amerika Utara, dalam beberapa kasus juga pendatang dari Belgia (Weloni) dan dari Swis (Swis-Roman), yang kebanyakan penduduk dari kedua daerah tersebut memang merupakan penutur bahasa Prancis: (2) masyarakat yang bukan asli Prancis, meskipun daerah asalnya saat ini termasuk dalam wilayah Prancis (misalnya Brittany, Basque Country, Alsace-Lorraine). Kemudian masing-masing dari kedua kategori tersebut masih dibedakan lagi dalam dua subkategori yaitu: 1 (a) nama keluarga yang tidak mengalami perubahan baik secara penulisan maupun secara fonologis dalam bahasa Prancis-Kanada. (b) nama keluarga yang mengalami perubahan tertulis atau fonologis idiosyncratic dalam bahasa Prancis-Kanada. 2. (a) nama keluarga dari bahasa asing yang tidak
9
mengalami perubahan baik perubahan ortografis maupun perubahan fonologis kecuali yang telah diadopsi dalam bahasa Prancis-Kanada. (b) nama keluarga dari bahasa asing yang mengalami perubahan ortografis ataupun perubahan fonologis idiosyncratic dalam bahasa Prancis-Kanada. Penelitian-penelitian tersebut merupakan penelitian mengenai nama personal dalam bahasa Prancis dan juga dalam beberapa bahasa lainnya dalam masyarakat yang berbeda. Penelitian mengenai nama personal maupun penelitian mengenai linguistik antropologis dalam bahasa Prancis di Indonesia masih jarang dilakukan, maka dari itu peneliti ingin melakukan penelitian di bidang linguistik antropologis dalam bahasa Prancis, khususnya mengenai nama personal (antroponim). 1.6 Landasan Teori Dalam menganalisis permasalah mengenai nama personal, orang dapat mempelajari berbagai teori, dan berangkat dari beberapa teori, salah satunya kita dapat mulai dari teori linguistik antropologis. Karena nama personal berhubungan dengan bahasa dan juga budaya, maka dari itu salah satu teori yang dapat digunakan adalah linguistik antropologis. Dalam suatu bahasa terdapat banyak hal yang dapat dikaji. Salah satu kajian dalam bahasa yang digabungkan dengan kebudayaan adalah linguistik antropologis. Linguistik antropologis menurut Yuwono (2005: 231) adalah salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan dalam kehidupan
10
sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Nama personal merupakan salah satu kajian bahasa yang dapat dikaitkan dengan kebudayaan suatu masyarakat. 1.6.1 Linguistik Antropologis Dalam linguistik terdapat gabungan-gabungan antar disiplin ilmu, misalnya sosiolinguistik merupakan gabungan antara sosiologi dan linguistik, psikolinguistik yang merupakan gabungan antara linguistik dan psikologi, linguistik antropologis yang merupakan gabungan antara disiplin ilmu linguistik dan antropologi. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa, penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana, 2008 :143). Antropologi menurut Keesing (1989 : 2) diartikan sebagai "kajian manusia ". Antropologi merupakan ilmu yang sangat luas, biasanya para antropolog menyebut istilah antropologi budaya untuk menyebut bidang yang lebih sempit, yaitu mengenai adat-istiadat manusia, yaitu kajian bandingan mengenai budaya dan masyarakat. Lingusitik antropologis atau antropologi bahasa merupkan salah satu cabang ilmu yang di dalamnya lebih menekankan pada bahasa. Kridalaksana mengartikan linguistik antropologis sebagai cabang linguistik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan atau kekerabatan (Kridalaksana 2008 : 144). Linguistik antropologis atau yang dikenal dengan istilah etnolinguistik seperti yang telah disebutkan di atas merupakan gabungan antara etnologi dan
11
linguistik. Terkadang orang sukar membedakan ranah kajian yang termasuk dalam linguistik antropologis dan sosiolinguistik. Terjadi tumpang tindih antara keduanya,
namun
sejatinya
keduanya
berbeda.
Linguistik
antropologis
memandang bahasa dari sudut pandang budaya. Dalam pengertiannya mengenai perbedaan ranah kajian linguistik antropologis dan sosiolinguistik Foley (1997 : 3) menyatakan bahwa : antropological linguistics views language through the prism of the core antropological concept, culture, as such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse or non-use of language, its different forms, registers, and styles… sociolinguistics, on the other hand, views language as a social institution… It seeks to discover how linguistic behavior patterns with respect to social groupings and correlates differences in linguistic behavior with the variables defining social groups, such as age, sex, class, race, etc.
dari keterangan tersebut dapat dilihat perbedaan cara pandang antara linguistik antropologis dan sosiolinguistik. Linguistik antropologis memandang bahasa dari konsep antropologis, budaya, dan mengungkap makna dibalik penggunaan atau penyalahgunaan bahasa.
Berbeda
dengan sosiolinguistik yang mencoba
mempelajari linguistik yang berhubungan dengan kelompok sosial, misalkan usia, jenis kelamin, ras, dll. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori mengenai linguistik antropologis dapat membantu mencari jawaban atas pertanyaan mengenai nama personal. Karena nama personal merupakan salah satu kajian yang termasuk dalam kajian bahasa yang dapat dikaitkan dengan kebudayaan suatu masyarakat,
12
layaknya kajian linguistik antropologis yang mengaitkan bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat. Kebiasaan masyarakat Prancis, baik itu tradisi atau kebiasaan sehari-hari sangat mempengaruhi bahasa masyarakatnya, terlebih nama personal dan sistemnya di Prancis. Kegiatan mereka sehari-hari, pekerjaan yang sebagian banyak ditekuni oleh masyarakat, benda-benda yang penting menurut mereka, sedikit banyak mempengaruhi nama personal masyarakat Prancis. 1.6.2 Bahasa Dan Budaya Istilah budaya atau culture menurut Pujileksono (2009 :14) dan Widagdho (2001 :1) dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi atau akal’. Dalam bahasa Inggris culture berasal dari kata colere (latin) yang berarti bercocok tanam. Banyak ahli telah mendefinisikan budaya dan juga kebudayaan. Istilah kebudayaan atau budaya pertama kali dimunculkan oleh Edward B. Tylor dalam teorinya mengenai primitive culture. Dalam Pujileksono (2009 : 14-17) terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan kebudayaan diantaranya yaitu Edward B. Tylor (1871) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Cliffort Geertz (1973 : 89) mendefinisikan kebudayaan sedikit lebih abstrak dari Tylor, beliau mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu
13
sistem simbol dari makna-makna. Kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami dan memberi makna hidup kita. Kebudayaan mengacu pada pola makna-makna yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang diturunalihkan secara historis, suatu sistem gagasan yang diwarisi yang diungkapkan dalam bentukbentuk simbolik yang dengannya manusia menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap dan pendirian mereka terhadap kehidupan. Ralp Linton memberikan pandangan mengenai kebudayaan yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari, beliau mendefinisikan kebudayaan sebagai "seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Hunter dan Whitten (1976 :103) dalam Encyclopedia of Anthropology mengungkapkan kebudayaan adalah perilaku berpola yang dipelajari oleh setiap individu sejak lahir. Kemudian Widagdho (2001 : 5) membagi kebudayaan atas dua jenis, yaitu : -
Kebudayaan Material
Kebudayaan material bersifat jasmaniah, meliputi benda-benda ciptaan manusia, misal: alat-alat perlengkapan hidup. -
Kebudayaan Non Material
Kebudayaan non material bersifat rohaniah, yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misal: religi, bahasa, ilmu pengetahuan
14
Pada uraian mengenai kebudayaan di atas disebutkan salah satu unsur dalam budaya adalah bahasa. Bahkan Malinowski, seorang antropolog modern dalam Pujileksono (2009: 122) menempatkan bahasa sebagai urutan pertama pada tujuh unsur budaya universal. Penempatan bahasa sebagai urutan pertama didasarkan pada teori bahwa bahasa terlebih dahulu ada dalam kebudayaan manusia. Dikatakan untuk meningkatkan kehidupannya yang didasarkan atas kerjasama, manusia mengembangkan sistem suara berlambang yang disebut bahasa. Bahasa sebagai produk sosial dan budaya tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan itu sendiri, keduanya saling berkaitan. Masyarakat merupakan pengguna dan pencipta bahasa. Melalui bahasa kita dapat mengetahui pola perilaku masyarakat. Salah satu cara mengenali budaya masyarakat adalah melalui nama personal. Bagaimana masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana mereka berperilaku salah satunya dapat diketahui dari nama personal. 1.6.3 Nama Personal Nama personal merupakan kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang (Wibowo, 2001: 1). Kajian mengenai nama merupakan kajian mengenai tanda, maka dari itu kajian mengenai nama masuk dalam ranah semiotik maupun linguistik. Kajian mengenai nama disebut onomastika. Menurut Larousse (1993: 438) Onomastique est l’étude des noms propres. ‘onomastika adalah kajian mengenai nama diri’. Diperkuat oleh kamus Larousse online, on distingue l’antrophonymie qui etudie les noms de
15
personnes et la toponymie qui etudie les noms de lieux ‘dibedakan atas antroponimi yang mempelajari nama orang dan toponimi yang mempelajari nama tempat’. Senada dengan pengertian dari kamus Larousse, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2014: 983) menyebutkan bahwa onomastika adalah
penyelidikan tentang asal-usul, bentuk, dan makna nama personal, terutama nama orang dan tempat. Dalam antroponimi dikenal istilah matronyme (nama yang diturunkan oleh ibu) dan patronyme (nama yang diturunkan oleh ayah). Nama diri merupakan hal yang menarik untuk dibahas dikarenakan dalam menganalisis mengenai makna nama, khususnya nama personal, kita tidak dapat lepas dari kebudayaan setempat. Disebutkan oleh Danesi (2011: 118) nama secara langsung mengaitkan pemiliknya dengan budaya tempat ia lahir. Terlebih nama menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari karena bayi yang baru lahir harus memiliki nama. Apabila orang tuanya dengan satu atau beberapa hal tidak memberi nama pada bayi mereka, maka masyarakatlah yang akan memberikan nama nantinya pada anak tersebut. Nama personal dalam bahasa Prancis juga mengisyaratkan budaya masyarakat Prancis. Di beberapa negara, seorang anak harus diberi nama sesuai dengan budayanya sebelum ia dapat memperoleh akta kelahiran. Salah satu negara yang menerapkan itu adalah Prancis. Di Prancis seorang anak harus minimal memiliki satu nama depan (prénom) dan nama belakang atau nama keluarga (nom/nom de famille) Menurut Danesi (2011: 120-121) pada akhir abad pertengahan satu nama pribadi umumnya cukup sebagai tanda pengenal, namun banyaknya duplikasi pada nama tersebut membuat orang susah membedakan, maka dari itu diperlukan 16
pembeda tambahan. Muncullah nama keluarga sebagai pembeda tambahan tersebut. Nama keluarga awalnya mengidentifikasikan tempat dimana ia tinggal atau mengisyaratkan sesuatu dimana ia tinggal, misalnya nama keluarga Dupont bisa diartikan bahwa keluarga Dupont berasal dari tempat yang bernama Le Pont atau mereka tinggal di dekat jembatan karena pont sendiri berarti ‘jembatan’. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mendeskripsikan sistem nama personal masyarakat bahasa Prancis. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa nama-nama personal masyarakat Prancis. Data dapat bersumber dari buku-buku atau jurnal yang di dalamnya terdapat pengarang atau peneliti berkebangsaan Prancis, beberapa mahasiswa Prancis, pelancong Prancis yang datang ke Yogyakarta, atlet-atlet Prancis, politisi Prancis, dan juga laman genealogi di internet. Tahapan-tahapan dalam penelitian ini pertama-tama adalah penyusunan proposal penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data-data. Setelah data terkumpul, data kemudian dianalisis, dan tahapan terakhir setelah analisis data yaitu penyajian hasil analisis data. Dalam proses pengumpulan data, data dikumpulkan dengan metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasarnya. Data disadap dari sumber-sumber seperti jurnal, koran, novel, buku-buku yang berbahasa Prancis yang didalamnya terdapat nama-nama orang Prancis, wawancara terhadap beberapa pemandu wisata berbahasa Prancis juga dilakukan guna mengumpulkan nama-nama tamu mereka, dan sumber laman genealogi
17
berbahasa Prancis. Tahapan analisis data dilakukan dengan metode padan ekstralingual. Metode ini merupakan metode analisis data yang menghubungkan permasalahan bahasa dengan hal-hal di luar bahasa, dalam hal ini adalah budaya masyarakat Prancis (Mahsun, 2005: 114). Nantinya data-data yang berupa nama keluarga akan dihubungkan dengan budaya masyarakat Prancis. Setelah tahapan analisis data tahapan selanjutnya adalah
verifikasi terhadap penutur bahasa
Prancis, dilakukan guna memperoleh validasi terhadap data yang telah dianalisis. Tahapan yang terakhir yaitu penyajian hasil penelitian. Setelah dilakukan analisis data, diperolehlah hasil analisis atau hasil penelitian. Hasil penelitian tersebut kemudian disajikan secara kualitatif menggunakan kata-kata formal tertulis dalam penyusunannya.
18
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dari penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, yaitu: a. Bab pertama merupakan penjabaran dari pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian b. Bab kedua berisi tentang pembahasan dari rumusan masalah pertama penelitian ini, yaitu sistem nama personal yang berlaku di Prancis dan juga aturan yang berlaku dalam masyarakat Prancis mengenai nama personal. c. Bab ketiga berisi tentang pembahasan rumusan masalah yang kedua yaitu makna yang terkandung dalam nama-nama keluarga Prancis. d. Bab keempat berisi tentang pembahasan rumusan masalah yang ketiga yaitu mengenai siatem nama personal masyarakat Prancis pada saat ini. e. Bab kelima merupakan penutup. Dalam penutup ini terdapat kesimpulan dari seluruh penelitian ini dan juga saran.
19