TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA SEMESTER GANJIL T.A 2011/2012 ARTI SEBUAH KEADILAN
Disusun oleh Nama
: Fikriansyah
NIM
: 11.11.4865
Kelompok
:C
Jurusan
: S1-Teknik Informatika
Dosen
: Drs. Tahajudin Sudibyo
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir “Pendidikan Pancasila” ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga tugas akhir “Pendidikan Pancasila” ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi, sehingga kedepannya dapat lebih baik.
tugas akhir “Pendidikan Pancasila” ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tugas akhir “Pendidikan pancasila” ini.
ABSTRAK Keadilan adalah realitas yang a-simetris yaitu realitas yang keotik (chaos) dan sulit diprediksi, diukur atau diberi makna yang pasti, keadilan tidak hanya ada di dalam dan di luar tatanan namun ada di antara tatanan. Memahami keadilan tidak cukup dengan hanya memahami teks undang-undang, tetapi memahami keadilan harus dibenturkan dengan ketidakadilan, hanya melalui pemahaman tentang ketidakadilan maka keadilan akan dapat dirasakan. Keadilan adalah ”sebuah pengalaman tentang yang tidak mungkin”, sehingga tidak ada seseorang yang mampu merasakan keadilan sejati, dan keadilan tidak dapat dibekukan. Penegakan hukum keadilan adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan ”demi kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela kepentingan pihak tertentu. Akhirnya, proses hukum di luar dan di dalam pengadilan menjadi eksklusif milik orang tertentu yang berkecimpung dalam profesi hukum. Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.Perubahan menuju tatanan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah harapan masyarakat. Dengungan reformasi memberikan harapan baru bagi perbaikan dalam pelbagai sektor kehidupan sistem pemerintahan. Hingga kini perubahan yang diusung oleh reformasi masih dalam bayang-bayang semu. Praktek KKN dalam sistem pemerintahan seolah telah mengakar dan membudaya.Harapan pada penegakan supremasi hukum pun merupakan agenda penting dari reformasi. Namun sistem yang membawa keadilan ini seolah tak berdaya untuk menguak dan membersihkan sistem yang penuh ketidakadilan. Satu hal yang menjadikan negara tetap diakui eksistensinya, yaitu menegakkan hukum. Keberhasilan atau kegagalan menjadikan hukum sebagai panglima keadilan sangat ditentukan oleh proses dan keputusan hukum yang dilakukan oleh negara saat ini. Upaya penegakan hukum di Indonesia sedang berada disebuah persimpangan.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sebagaimana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini ketidakadilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita. Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk Hidup.di Indonesia ini keadilan masih lemah dalam menegakan suatu keadilan yang baik dan benar. Bentuk-bentuk keadilan di Indonesia ini seperti orang yang kuat pasti hidup sedangkan orang yang lemah pasti akan tertindas dan di Indonesia ini jelas bahwa keadilan belum di laksanakan atau diterapkan dengan baik yang sesuai dengan aturan-aturan hukum yang ada di Indonesia. di Indonesia ini keadilan masih lemah dan masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang harus di adili dan keadilan di Indonesia ini keadilan nya menggunakan keadilan yang sesuai dengan UUD 1945.bukan menggunakan keadilan yang sesuai dengan hukum islam. Dengan adanya penulisan ini penulis berharap dengan adanya konsep ini kita bisa membahas dan mengambangkan suatu bentuk pengetahuan tentang suatu keadilan di Indonesia ini dimana keadilan di Indonesia ini masih banyak penyimpanganpenyimpangan tentang masalah keadilan yang ada di lingkungan kita Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang imiliki Alqur’an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-jawabannya akan
menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam Alqur’an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern dimasa yang akan datang. Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya. Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat
apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi. Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum. Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka kita yakin tidak akan terjadi protes
yang
disertai kekerasan, kemiskinan yang
bekepanjangan,
perampokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita dikatakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisir ketidakadilan yang terjadi di indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang diatas dapat kita ajukan pertanyaan sebagai berikut : 1. Arti keadilan menurut Islam ? 2. Bagaimanakah meletakkan nilai keadilan ?
BAB II PENDEKATAN
A. Historis Menurut Soewargono ( 1995 : 1 ), ilmu pemerintahan masih sering dipandang sebagai ilmu yang kurang jelas sosoknya. Pemerintahan dalam bahasa inggeris disebut government yang berasal dari bahasa latin gobernare, greek kybernan yang berarti mengemudikan, atau mengendalikan. Konsep keadilan hukum di Indonesia sepertinya hanya bertepuk sebelah tangan, tidak ada kepastian. Pancasila sebagai dasar negara hanya menjadi pemanis di bibir saja, kata yang keluar dari mulut tidak sesuai dengan kenyataan dilingkungan masyarakat. Tindakan pelanggaran hukum tidak sesuai denngan hukum yang dijalani dan tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan, contoh tindakan aparat hukum saat menjatuhkan vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi seakan-akan ingin ditutupi dengan cara saling menudu satu sama lain yang akhirnya hanya mendapat hukuman sekitar satu hingga tiga bulan padahal mereka telah merugikan negara milyaran rupiah. Adapula tindakan korupsi mendapat vonis bebas dari hakim. Justru berbanding terbalik dengan tindak kejahatan hanya gara-gara mengambil bekas buah kakao yang tak diambil lalu buah kakao itu dia ambil untuk bertahan hidup dan diproses hukum dipengadilan dan kena sanksi satu bulan lebih padahal bekas buah kakao tadi hanya sekitar lima belas ribu rupiah. Meriam memandang tujuan pemerintah meliputi external security, internal order, justice, general welfare dan fredom. Tidak berbeda jauh dengan S.E. Finer yang melihat pemerintah mempunyai kegiatan terus-menerus ( process ), wilayah negara tempat kegiatan itu berlangsung ( state ), pejabat yang memerintah ( the duty ), dan cara, metode serta sistem ( manner, method, and system ) dari pemerintah terhadap masyarakatnya. Agak berbeda dengan R. Mac Iver, memandang pemerintah dari sudut disiplin ilmu politik, “ government is the organizationof men under authority… how men can be governed “. Maksudnya pemerintahan itu adalah sebagai organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan… bagaimana manusia itu bisa diperintah (R. Mac Iver, The Web of Government, The Mac Milan Compony Ltd New York, 1947 ). Jadi bagi Mac Iver, ilmu pemerintahan adalah sebuah ilmu tentang
bagaimana manusia-manusia dapat diperintah ( a science of haw men are governed ).Guna memahami lebih konkritnya jati diri pemerintahan dari peristiwa maupun aktivitas kegiatan pemerintahan dari perspektif ilmu pemerintahan dengan analisa multidisiplin pendekatan historis, ada lebih baik bila kita menyinggung sedikit peristiwa dan gejala-gejala pemerintahan dari sudut pandang pengertian negara dari para ahli yang berbeda latar belakang keilmuwan. Menurut Rusidi ( 2001 : 10 ), Secara umum, ilmu adalah akumulasi penegetahuan yang disusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu, sedemikian rupa sehingga dapat merupakan gambaran, penjelasan dan peramalan mengenai realita sampai pada teknik-teknik mengatasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, baik yang bersifat spesifik, konkrit dan locus, maupun yang bersifat general, abstrak dan universal. Menurut Ndraha (1997 : 25 )Merujuk pada defenisi ilmu, metodologi suatu ilmu secara formal enbeded dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan konstruk pengalaman dan konsep. Secara abstrak metodologi ilmu merupakan cara berpikir dan melaksanakan hasil berfikir ( teknik ) secara formal enbeded dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, , anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan konstruk pengalaman serta konsep yang terakumulasi dari pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu, baik bersifat spesifik, konkrit dan locus, maupun bersifat general, abstrak dan universal yang bertujuan mencari, mengembangkan, mempelajari dan memanfaatkan ilmu. Dengan meminjam alat metodologi sebagai syarat keilmiahan dalam mengkaji dan mencari jati diri ilmu pemerintahan, metodologi penelitian dan metodologi ilmu menjadi pendukung wajib dalam menganalisis gejala dan peristiwa / kejadian berpemerintahan dengan pendekatan historis serta sistimatika penulisan yang memperhatikan kaidah ilmiah. Pendekatan historis merupakan pendekatan yang menganalisa peristiwa / gejala / aktivitas kegiatan pemerintahan melalui alat analisis sejarah perkembangan pemerrintahan dan aturan / hukum yang menjadi dasar laksana dan hukum aktivitas berpemerintahan yang sah.
B. Sosiologis Menurut Zudan Arif Fakrulloh dalam tulisannya Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan (2005:26), mengatakan, berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya. Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayoman masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan empat tujuan hukum di atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”. Dalam konteks ini, menurut Soetandyo (2002:160), di dalam kehidupan masyarkaat yang mulai mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan masyarakat.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, menuntut adanya kajian hukum yang tak sekedar nomatif, tapi juga sosiologis. Bagi kalangan penstudi hukum kritis, positivism hukum dan pemahaman hukum legalformal dianggap tidak mampu menjelaskan pelbagai persoalan aktual dan faktual yang ditumbulkan dari proses perubahan dan dinamika masyarkaat ang begitu cepat. Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan berkembang dalam jariangan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis memiliki varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial yang muncul dalam masyarakat.
C. Yuridis Pendekatan yuridis atau dalam bidang hukum maka kita akan teringat dengan sosok Soeharto mantan Presiden Indonesia tentang keadilan yang dipimpinnya. Ada begitu banyak ketidakadilan oleh Soeharto antara lain:
1. Perbuatan Soeharto Selama 32 Tahun Untuk bisa secara jujur, atau secara objektif, atau secara adil - dan dengan fikiran yang jernih atau nalar yang sehat pula ! – menilai kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun mengendalikan rejim militer Orde Baru, maka kita perlu menelaah kembali apa yang telah dilakukannya di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan juga di bidang moral dan hak-hak manusia, bagi negara dan bangsa. Dengan menelaah dengan baik-baik dan agak menyeluruh bidang-bidang itu, kita akan secara gamblang, atau jujur dan adil, memberi penilaian yang tepat kepada persoalan Soeharto. Namun, karena luasnya persoalan di tiap bidang, maka tulisan yang kali ini hanya membatasi diri dalam rangka masalah keadilan dan kemanusiawian, yang dihubungkan dengan masalah Soeharto dan rakyat atau bangsa.
2. Ketidakadilan dibidang Politik Kiranya, kita semua perlu ingat bahwa selama 32 tahun Soeharto telah banyak melanggar atau merusak keadilan di bidang politik. Entah berapa banyak orang dari berbagai kalangan yang telah menjadi korban dari ketidak-adilan Soeharto di bidang politik ini. Rezim militer Orde Baru yang telah mencekik kehidupan demokratis selama puluhan tahun telah menimbulkan banyak ketidak-adilan di bidang politik.
Pemilu yang diadakan berkali-kali, yang pernah disebut dengan gagah sebagai “pesta demokrasi”, merupakan tontonan dari puncaknya ketidak-adilan politik ini. Dalam pemilu yang berulangkali itu, kekuasaan militer telah memainkan peran yang besar sekali (dan kotor sekali !!!), sehingga Golkar selalu menang dengan angka sekitar 70% suara. Sebagai akibatnya, DPR yang dihasilkan oleh pemilu yang berkali-kali itu, tidaklah lebih dari perwakilan dari ketidak-adilan ini. Selama Orde Baru berkuasa sepanjang 32 tahun, pemerintahan di bawah Soeharto tidak hanya mencerminkan ketidak-adilan dalam politik, melainkan juga kekuasaan yang otoriter atau despotik.
Bung Karno beserta para pendukungnya, yang berjumlah puluhan juta, diperlakukan tidak adil secara besar-besaran, dan dalam bentuknya yang macammacam pula. Dalam rangka politik “de-Soekarnoisasi” maka yang berbau Soekarno,disingkirkan atau dikucilkan. Keadilan dalam politik tidak berlaku bagi para pendukung setia Bung Karno.
Seperti yang masih kita saksikan akibatnya sampai sekarang di mana-mana di Indonesia, ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian yang paling menyolok adalah tindakan Soeharto dengan rejim militernya Orde Baru terhadap orang-orang yang anggota PKI atau yang dituduh sebagai komunis atau golongan kiri. Para penguasa rejim militer mengetahui Mereka yang jadi korban ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian selama puluhan tahun ini tidak bersalah apa-apa sama sekali. Dan jumlahnya banyak sekali di seluruh negeri.
3. Ketidakadilan dibidang Ekonomi Ketidak-adilan di bidang ekonomi adalah ciri pemerintahan di bawah Soeharto yang sangat menyolok secara gamblang. Boleh dikatakan bahwa rejim militer Orde Baru adalah pada hakekatnya manifestasi yang gamblang atau perwujudan yang kongkrit tentang ketidak-adilan di bidang ekonomi ini. Sebagian kecil sekali dari masyarakat, yang terdiri dari pejabat-pejabat negara, jenderal-jenderal, konglomerat-konglomerat hitam, dan “tokoh-tokoh” berbagai kalangan, menikmati kekayaan-kekayaan (yang haram !!!) secara berlimpah-limpah. Sedangkan sebagian terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan yang akut sekali.
Dalam rangka ketidak-adilan di bidang ekonomi ini, Soeharto beserta keluarganya merupakan kasus yang istimewa. Melalui penyalahgunaan kekuasaan yang luar bisa besarnya sebagai penguasa tertinggi (untuk tidak mengatakan sebagai diktator) rezim militer, Soeharto telah menjalankan KKN yang paling besar dan paling luas, yang memungkinkannya menumpuk kekayaan melalui cara-cara haram dan bathil. Soeharto (dan keluarganya) adalah bukan
saja simbul yang “gemilang” ketidak-adilan di bidang ekonomi, melainkan juga simbul yang gamblang dari kejahatan ekonomi.
Soeharto bukan saja merupakan koruptor yang paling besar (dan paling lihay) di Indonesia, melainkan juga koruptor nomor satu di dunia (menurut Transparency International, lihat rubrik “Harta haram Soeharto” di website).
“Jalur-jalur pemerataan kesejahteraan” yang pernah digembar-gemborkan bertahun-tahun oleh rejim militer Soeharto ternyata sekarang bahwa bukan saja slogan yang palsu, melainkan juga topeng untuk menutupi kejahatan-kejahatan dan ketidak-adilan di bidang ekonomi yang dilakukan olehnya beserta pendukung-pendukung setianya, baik dari kalangan militer, maupun dari kalangan sipil dan pengusaha besar.
4. Ketidakadilan dibidang Sosial Dalam sejarah Republik Indonesia, kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia menjadi tidak pernah selebar atau separah ketika di bawah pemerintahan Soeharto. Jurang antara si kaya dan si miskin makin kelihatan menganga lebar sekali. “Masyarakat adil dan makmur” yang pernah jadi slogan dan idam-idaman banyak orang ketika pemerintahan ada di bawah Bung Karno telah semakin menjauh ketika zaman Soeharto. Jiwa “gotong-royong” pun dicampakkan oleh rezim militer Soeharto. Keadilan sosial malah menjadi suatu hal yang menjijikkan bagi para penguasa Orde Baru beserta pendukungpendukung setianya.
Kebudayaan dan kebiasaan feodal yang sudah diperangi secara besar-besaran di era Soekarno telah dihidupkan kembali dan dipupuk secara keterlaluan oleh Soeharto beserta keluarga dan pendukung-pendukungnya.
Ketidak-adilan di bidang sosial juga tercermin dalam berbagai bidang lainnya, yang merupakan jurang pemisah yang makin menajam antara kelompok atau golongan. Jumlah pengangguran yang sekarang 40 juta orang sekarang ini adalah
akibat buruk dari sistem politik, ekonomi dan sosial pemerintahan Soeharto, yang terpaksa diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Soeharto dapat dijatuhkan oleh gerakan mahsiswa dalam tahun 1998. Singkatnya, Soeharto selama 32 tahun tidak peduli terhadap keadilan sosial.
5. Ketidakadilan dibidang HAM dan Moral Perlu kiranya terus-menerus diingat oleh bangsa kita bahwa rezim militer Suharto dibangun atas tumpukan mayat berjuta-juta orang tidak bersalah yang dibantai dengan sewenang-wenang oleh aparat militer di bawah perintah Soeharto. Dalam sejarah Republik Indonesia, kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia menjadi tidak pernah selebar atau separah ketika di bawah pemerintahan Soeharto. Jurang antara si kaya dan si miskin makin kelihatan menganga lebar sekali. “Masyarakat adil dan makmur” yang pernah jadi slogan dan idam-idaman banyak orang ketika pemerintahan ada di bawah Bung Karno telah semakin menjauh ketika zaman Soeharto. Jiwa “gotong-royong” pun dicampakkan oleh rezim militer Soeharto. Keadilan sosial malah menjadi suatu hal yang menjijikkan bagi para penguasa Orde Baru beserta pendukungpendukung setianya.
Kebudayaan dan kebiasaan feodal yang sudah diperangi secara besar-besaran di era Soekarno telah dihidupkan kembali dan dipupuk secara keterlaluan oleh Soeharto beserta keluarga dan pendukung-pendukungnya.
Ketidak-adilan di bidang sosial juga tercermin dalam berbagai bidang lainnya, yang merupakan jurang pemisah yang makin menajam antara kelompok atau golongan. Jumlah pengangguran yang sekarang 40 juta orang sekarang ini adalah akibat buruk dari sistem politik, ekonomi dan sosial pemerintahan Soeharto, yang terpaksa diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah Soeharto dapat dijatuhkan oleh gerakan mahsiswa dalam tahun 1998. Singkatnya, Soeharto selama 32 tahun tidak peduli terhadap keadilan sosial. Kebiadaban ini perlu sekali dicatat dengan jelas - dan dengan huruf tebal - dalam sejarah bangsa kita, sehingga anak cucu kita bisa menarik pelajaran dari
kesalahan dan dosa besar Soeharto dan pendukung-pendukungnya ini.
Pembunuhan begitu banyak warganegara sesama bangsa ini, yang ditambah lagi dengan pemenjaraan atau penahanan ratusan ribu orang tidak bersalah lainnya dalam jangka waktu yang lama sekali (belasan tahun) tanpa proses pengadilan adalah bukti yang tidak dapat disangkal lagi oleh siapa pun bahwa pelanggaran hak-hak manusia telah dilakukan oleh Soeharto dan pendukung-pendukungnya. Saksinya atau buktinya masih dapat dijumpai di banyak tempat di seluruh negeri, sampai dewasa ini. Di antara mereka terdapat para eks-tapol yang meringkuk di Pulau Buru, dan banyak penjara lainnya.
Ketidak-adilan di bidang HAM ini juga dihadapi oleh puluhan juta orang keluarga (anak, istri, suami, bapak ibu atau saudara-saudara dekat) para korban pembantaian tahun 65 dan keluarga para eks-tapol, yang sampai sekarang --harap catat : sesudah 40 tahun !!! – masih menghadapi berbagai penderitaan akibat adanya peraturan-peraturan yang “gila”. Jelaslah, kiranya, bahwa Soeharto (dan pendukung-pendukungnya) tahu tentang penderitaan begitu banyak orang akibat tindakannya itu, tetapi ia toh masih meneruskan ketidakadilan yang sudah berlangsung begitu lama itu.
Kejahatan besar terhadap HAM adalah ciri utama rejim militer Orde Baru. Peristiwa terbunuhnya sejumlah mahasiswa di Semanggi, dan hilangnya anakanak muda PRD, dan dibunuhnya pejuang HAM yang terkenal Munir, adalah bagian dari rentetan panjang kejahatan di bidang HAM. Namun, tidak bisanya diambil tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan-kejahatan ini adalah bukti bahwa memang ada banyak ketidak-adilan dan ketidak-manusiawian di bidang hukum selama ini. Dan, karenanya, ketidak-adilan dalam bidang HAM terhadap puluhan juta orang tidak bersalah ini adalah juga aib besar atau dosa yang berat Soeharto, yang kemudian diwariskan kepada penerus-penerusnya.
BAB III PEMBAHASAN A. Keadilan Menurut Hukum Islam
1. Keadilan Berarti Keseimbangan Adil disini berarti keadaan yang seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Dengan terhimpunnya semua syarat itu, himpunan ini bisa bertahan, memberikan pengaruh yang diharapkan darinya, dan memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya. Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan dan mapan harus berada dalam keadaan seimbang, taitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus muncul dalam proporsi yang semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap masyarakat yang seimbang membutuhkan bermacam-macam aktifitas. Di antaranya adalah aktifitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Semua aktifitas itu harus didistribusikan di antara anggota masyarakat dan setiap anggota harus dimanfaatkan untuk suatu aktifitas secara proporsional. Keseimbangan sosial mengharuskan kita untuk memerhatikan neraca kebutuhan. Lalu, kita mengkhususkan untuknya anggaran yang sesuai dan mengeluarkan sumber daya yang proporsional. Manakal sudah sampai disini, kita menghadapi persoalan “kemaslahatan”, yakni kemaslahatan masyarakat yang dengannya kelangsungan hidup “keseluruhan” dapat terpelihara. Hal ini lalu mendorong kita untuk memerhatikan tujuan-tujuan umum yang mesti dicapai. Dengan perspektif ini, “bagian” hanya menjadi perantara dan tidak memiliki perhitungan khusus. Demikian pula halnya dengan keseimbangan fisik. Mobil, misalnya, dibuat untuk tujuan tertentu dan untkmkebutuhan-kebutuhan tertentu pula. Karenanya, apabila mobil itu hendak dibuat sebagau produk yang seimbang, mobil itu harus dirancang dari berbagai benda mengikuti ukuran yang proporsional dengan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula halnya dengan keseimbangan kimiawi. Setiap senyawa kimiawi memiiki stuktur, pola, dan proporsional
tertentu pada setiap unsur pembentuknya. Apabila hendak meniciptakan senyawa itu, kita mesti menjaga struktur dan proporsi di atas sehingga tercipta suatu keseimbangan dan simetris. Kalau tidak, alam tidak dapat tegak dengan baik, tidak pula ada sistem, perhitungan, dan perjalanan tertentu di dalamnya. Al-Qur’an menyatakan:
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). QS. AlRahman [55]: 7 Ketika membahas ayat di atas, para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat itu adalah keadaan yang tercipta secara seimbang. Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan dalam ukuran yang semestinya. Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat. Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: “Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi.” (Tafsir Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman [55]: 7) Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah “ketidakseimbangan”, bukan “kezaliman”. Banyak orang yang berupaya menjawab semua kemusykilan dalam keadilan Ilahi dari perspektif keseimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadailan dan kezaliman. Merteka puas dan berusaha untuk puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi yang terjadi, baik disertai alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada, sebenarnya merupakan keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi keseimbangan alam secara historis. Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan seputar terjadinya kezaliman. Kajian tentang keadilan dalam pengertian “keseimbangan”, sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang keadilan dalam pengertian sebagai lawan kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat tiap-tiap individu secara terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi. Keadlian dalam pemgertian pertama menjadikan “maslahat umum” sebagai persoalan. Adapun keadilan
dalam pengertian kedua menjadikan “hak individu” sebagai pokok persoalan. Karenanya, orang yang mengajukan keberatan akan kembali mengatakan, “Saya tidak menolak prinsip keseimbangan di seluruh alam, tapi saya mengatakan bahwa pemeliharaan terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan mengakibatkan munculnya pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan ini, dari sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari sudut pandang individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.” Keadilan dalam pengertian “simetri” dan “proporsi” termasuk dalam konsekuensi sifat Mahabijak dan Maha Mengetahui Allah. Berdasarkan ilmu-Nya yang komprehensif dan kebijaksanaan-Nya yang meyeluruh. Dia mengetahui bahwa penciptaan sesuatu meniscayakan proporsi tertentu dari berbagai undur. Dia menyusun unsur-unsur itu untuk menciptakan bangunan tersebut.
2. Keadilan Berarti Persamaan dan Nonkontradiksi Pengertian keadilan yang kedua ialah persamaan dan penafian terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun. Ketika dikatakan bahwa “Si Fulan adalah orang adil”, yang dimaksud adalah bahwa Fulan itu memandang semua individu secara sama rata, tanpa melakukan pembedaan dan pengutamaan. Dalam pengertian ini, keadilan sama dengan persamaan. Definisi keadilan seperti itu menuntut penegasan: kalau yang dimaksud dengan keadilan adalah keniscayaan tidak terjaganya beragam kelayakan yang berbedabeda dan memandang segala sesuatu dan semua orang secara sama rata, keadilan sepeeti ini identik dengan kezaliman itu sendiri. Apabila tindakan memberi secara sama rata dipandang sebagai adil, maka tidak memberi kepada semua secara sama rata juga mesti dipandang sebagai adil. Anggapan umum bahwa “kezaliman yang dilakukan secara sama rata kepada semua orang adalah keadilan” berasal dari pola pikir semacam ini.Adapun kalau yang dimaksud dengan keadilan adalah terpeliharanya persamaan pada saat kelayakan memang sama, pengertian itu dapat diterima. Sebab, keadilan meniscayakan dan mengimplikasikan persamaan seperti itu. B. Meletakkan Nilai Hak keadilan
Pengertian keadilan ini, yaitu keadilan sosial, adalah keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar harus berjuang untuk menegakkannya. Keadilan dalam pengertian ini bersandar pada dua hal: Pertama: hak dan prioritas, yaitu adanya berbagai hak dan prioritas sebagai individu bila kita bandingkan dengan sebagian lain. Misalnya, apabila seseorang mengerjakan sesuatu yang membutuhkan hasil, ia memiliki prioritas atas buah pekerjaannya. Penyebab timbulnya prioritas dan preferensi itu adalah pekerjaan dan aktifitasnya sendiri. Demikian pula halnya dengan bayi. Ketika dilahirkan oleh ibunya, ia memiliki klaim prioritas atas air susu ibunya. Sumber prioritas itu adalah rencana penciptaan dalam bentuk sistem keluarnya air susu ibu untuk bayi tersebut. Kedua, karakter khas manusia, yang tercipta dalam bentuk yang dengannya manusia menggunakan sejumlah ide i’tibaritertentu sebagai “alat kerja”, agar dengan perantaraan “alat kerja” itu, ia bisa mencapai tujuan-tujuannya. Ide-ide itu akan membentuk serangkaian gagasan “i’tibari” yang penentuannya bisa dengan perantara “seharusnya”. Ringkasannya, agar tiap individu masyarakat bisa meraih kebahagiaan pelihara. Pengertian keadilan manusia seperti itu diakui oleh kesadaran semua orang. Sedangkan titiknya yang berseberangan adalah kezaliman yang ditolak oleh kesadaran semua orang. Penyair Mawlawi mengatakan: Apakah keadilan? Menempatkan sesuatu pada tempatnya Apakah kezaliman? Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya Apakah keadilan? Engkau menyiram air pada pepohonan Apakah kezaliman? Engkau siramkan air pada duri Kalau kita letakkan “raja” di tempat “benteng”, rusaklah permainan (catur) Kalau kita letakkan “menteri” di tempat “raja”, bodohlah kita Pengertian keadilan dan kezaliman ini pada satu sisi bersandar pada asas prioritas dan presedensi, dan pada sisi lain bersandar pada asas watak manusia yang terpaksa menggunakan sejumlah konvensi untuk merancang apa yangf “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya” serta mereka-reka “baik dan buruk”. Pengertian keadilan dan kezaliman yang berpijak pada kedua asas di atas hanya khusus menyangkut bidang kehidupan manusia dan tidak mencakup bidang ketuhanan. Karena, sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, Dia adalah Pemilik Mutlak, maka Dia
pulalah yang secara mutlak memiliki prioritas atasa segala sesuatu. Jika Dia memperlakukan sesuatu dengan cara tertentu, pada dasarnya Dia telah memperlakukan sesuatu yang terikat dengan-Nya dalam eksistensi totalnya, dan itu merupakan miliki mutlak-Nya. Kezaliman dalam pengertian di atas, yakni pelanggaran prioritas dan hak pihak lain, tidak mungkin terjadi pada Allah. Sebab, kita tidak mungkin dapat menemukan contoh-contoh kasus terjadinya kezaliman Allah pada makhluk dalam konteks ini.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Jadi, Manusia dan keadilan pada intinya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak, dan kewajiban manusia itu sendiri. Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain. keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama. Keadilan adalah kata kunci yang menentukan selamat tidaknya manusia di muka bumi. Tanpa keadilan manusia pasti hancur. Menegakkan keadilan adalah kewajiban setiap manusia. B. Saran Agar setiap orang harus selalu menjujung tinggi keadilan serta menegakkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena itu tugas utama pokok manusia adalah menegakkan keadilan. Adil terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya.
REFERENSI Inu, Kencana Syafiie, 2001, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Aditama, Bandung Inu, Kencana Syafiie, 2001, Filsafat Pemerintahan, Perca, Jakarta Ndraha, Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung Rusidi, 2001, Diktat Kuliah Metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung Rasyid, M. Ryaas, 1997, Makna Pemerintahan, Yasrif Watampone, Jakarta Soewargono, 1995, Jati Diri Ilmu Pemerintahan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada IIP, Jakarta Suriasumantri, Jujun. S, 1996, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Wasistiono, Sadu, 2002, Diktat Kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana MAPD STPDN, Jatinangor Adji, Indriyanto Seno, 2001, Perkara HM Soeharto, Multimedia Metrie, Jakarta Zainu, Muhammad Jamil, 2006, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, Jakarta