1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masyarakat yang hidup pada sebuah desa yang terletak di Kalimantan
Tengah telah berulang kali menjadi subjek intervensi dari masa ke masa terkait dengan pengelolaan hutan dan gambut. Secara historis, pada tahun 1995 desa bernama Petak Puti ini masuk dalam kawasan proyek skala besar yang diselenggarakan oleh pemerintah orde baru yang
mengusung ideologi
pembangunan dengan misi meningkatkan swasembada pangan nasional. Proyek bernama pengembangan lahan gambut (PPLG) tersebut berupaya menkonversi kawasan gambut seluas satu juta hektar menjadi area persawahan. Jika melihat peta lokasi proyek, kawasan desa ini berada pada ujung bagian utara yang disebut sebagai Blok E. Desa ini “diposisikan” menjadi bagian dari landscape intervensi yang menghasilkan perubahan fisik ekosistem lahan gambut di beberapa kawasan lain,
seperti pembukaan lahan besar-besaran dan pembentukan kanal-kanal
raksasa. Proyek negara tersebut akhirnya dinyatakan gagal karena dianggap menghasilkan kerusakan ekologis dalam skala besar yang akhirnya berujung pada penghentian proyek ini di tahun 1999. Kemudian, setelah kegagalan proyek raksasa itu terjadi, beberapa LSM internasional yang juga bekerja sama dengan institusi lokal di Kalimantan Tengah
2
berupaya melakukan usaha perbaikan di area tersebut. Proyek bernama CKPP (Central Kalimantan Peatland Project) yang didanai oleh pemerintah Belanda dilakukan pada tahun 2006. Mengusung ide-ide dari pembangunan berkelanjutan, proyek yang berupaya untuk memperbaiki kondisi lahan gambut dengan cara menggabungkan beberapa program teknis dan pemberdayaan masyarakat. Program teknis seperti penabatan kanal, penanaman pohon di area gambut yang rusak, serta pemberdayaan masyarakat seperti pengembangan mata pencaharian alternatif dilakukan selama kurang lebih 3 tahun. Namun, Proyek ini dianggap oleh beberapa warga melakukan ‘penyingkiran’, karena tidak memperbolehkan warga melakukan aktivitas-aktivitas mata pencaharian di kawasan yang masuk dalam lokasi ‘protected area’ dalam proyek ini. Konflik pun terjadi antara institusi intervensi yang mengusung ide konservasi ini dengan masyarakat lokal yang melakukan kegiatan mata pencaharian untuk bertahan hidup. Lalu, ditengah wacana global mengenai perubahan iklim,
Indonesia
sebagai salah satu dari negara dunia ketiga menjadi subjek sasaran dari proyek skema mitigasi bernama REDD+ (Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation). Kepengaturan lingkungan dalam hal ini memproteksi hutan tropis dianggap menjadi skema yang akal untuk mengatasi permasalahan emisi global. Skema ini lahir saat negara-negara pemilik hutan yang tergabung dalam Conference of the Parties (COP), mencoba mengajukan tawaran jalan keluar untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim, yaitu melalui perlindungan terhadap hutan tropis. Kemudian, pada pertemuan COP ke-13 yang berlangsung di Bali pada tahun 2007, negara-negara tersebut berunding untuk merumuskan jalan
3
keluar dan tercetuslah ide tentang pengurangan emisi bernama REDD (Kompas 20/05/11). Skema internasional tersebut merupakan salah satu skema besar yang diharapkan mampu mengurangi emisi karbon di bumi. Dalam mekanisme ini, pihak yang diminta untuk mengurangi kerusakan hutannya adalah negara berkembang dengan dukungan dari negara-negara industri. Nantinya negara-negara maju akan memberi insentif kepada negara berkembang ketika mekanisme pengurangan emisi karbon ini menuai hasil. Seperti contoh Indonesia telah dijanjikan akan mendapatkan dana hibah dari Norwegia sebesar 1 milliar dollar AS, jika mampu menjaga hutan tropisnya dari kerusakan (Kompas 20/05/11). Sampai sekarang skema REDD+ ini masih dalam tahap penyempurnaan, namun demikian beberapa lembaga internasional, ataupun kerjasama antar negara telah mencoba melakukan pilot projek atau sering disebut sebagai aktivitas demonstrasi REDD+. Indonesia pun menjadi tuan rumah dari aktivitas demonstrasi ini. Di wilayah Kalimantan Tengah tepatnya di Kabupaten Kuala Kapuas telah berlangsung projek Demonstration Activity (DA) REDD, untuk menguji mekanisme perdagangan karbon. Kegiatan projek DA REDD yang bernama KFCP (Kalimantan Forest Climate Partnership) tersebut dilakukan pada kawasan ex-PLG yang dulu sempat diusung oleh Presiden Soeharto pada tahun 1995 dan mengalami kegagalan. Project DA REDD+ yang melibatkan masyarakat pada tujuh desa di Kabupaten Kuala Kapuas diselenggarakan untuk mengembalikan ekosistem area ex-PLG.
4
Desa Petak Puti merupakan salah satu desa yang dilibatkan sebagai kawasan proyek. Di desa ini beragam program KFCP dijalankan untuk melihat bagaimana mekanisme REDD+ bisa diterapkan dan nantinya akan direncanakan dimultiplikasi di kawasan lain. Program utama dari proyek ini adalah mengenalkan good governance melalui pembentukan institusi pengelola proyek DA REDD, melakukan persemaian bibit tanaman hutan (reforestasi), program pengembangan
alternatif
livelihood,
pembentukan
kelompok
manajemen
kebakaran, serta pembuatan peta desa. Masuknya progam-program berupa intervensi teknis diharapkan mampu memperbaiki kondisi lahan gambut yang telah rusak, dan juga memberikan insentif kepada warga yang berada pada kawasan proyek ini. Diluar dari perjalanan isu nasional dan global diatas, masyarakat Dayak Ngaju di Petak Puti memiliki pengalaman historis tentang perubahan mata pencaharian dan relasi dengan proyek-proyek kehutanan lain dalam level lokal. Masyarakat Petak Puti sejak berdiri pada tahun 1930 sampai sekarang telah mengalami perubahan yang cukup mendasar dalam hal mata pencaharian. Yaitu, dari masyarakat subsisten dan ekstraktif menuju masyarakat yang mulai fokus pada tanaman komersil dengan perkebunan karet semi intensif. Di sisi lain, masyarakat pun memiliki beberapa pengalaman terhadap proyek kehutanan dari pemerintah sebelum proyek KFCP ini diimplementasikan, seperti Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Lahan), DAK-DR (Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi) dan HTR (Hutan Tanaman Rakyat). Beberapa proyek tersebut juga meninggalkan permasalahan di masyarakat. Untuk program Gerhan, sebagian besar karet yang
5
ditanam warga terbakar, karena lahan tidak terawat. Kemudian dalam kegiatan DAK-DR hanya segilintir warga (elite) yang mampu mengakses program. Selain itu, program HTR yang dikenalkan kepada masyarakat akhirnya hanya berkutat pada wacana tanpa adanya realisasi, dan malah berujung pada masalah tata kelola lahan. Narasi historis dari perubahan mata pencaharian dan juga interaksi dengan program-program kehutanan lain yang dialami oleh masyarakat Desa Petak Puti akan berhadapan dengan narasi global perubahan iklim yang akan menghasilkan dinamika dalam sebuah proyek. Perbedaan kepentingan antara KFCP dan masyarakat lokal akan mewarnai dinamika dalam proses perjalanan proyek ini. Pergesekan akan terjadi ini terkait dengan tindakan-tindakan atau respon dari masyarakat setempat terkait dengan proyek intervensi global baru bernama KFCP. Dari pengalaman di Desa Petak Puti, hubungan antara masyarakat dan program dari KFCP cukup kompleks. Beberapa permasalahan sempat muncul dalam implementasi program. Sebagai contoh, institusi pengelolaan program KFCP di tingkat desa pernah mengalami pergantian pemimpin akibat penggelapan dana dan kinerja yang kurang baik. Selain itu, beberapa program yang sempat dilakukan KFCP juga mengundang polemik karena tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, seperti ketimpangan (perbedaan) program dari satu desa ke desa lain, pembayaran insentif yang tahapannya terlalu banyak dan juga akumulasi keuntungan yang didapatkan oleh masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam program tersebut. Potensi konflik terkait dengan tata guna lahan pun
6
kemungkinan besar terjadi dalam program alternatif mata pencaharian dimana KFCP menganggap permasalahan lahan hanya sebatas persoalan teknis semata.
B.
Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas, beberapa program yang diusung
oleh DA REDD di Desa Petak Puti bisa memberikan insentif tambahan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan menawarkan mata pencaharian yang berkelanjutan. Namun, disisi lain masyarakat telah memiliki beragam pengalaman dalam perubahan mata pencaharian terkait pengelolaan sumber daya alam serta program intervensi di bidang kehutanan dan lahan gambut. Oleh karena itu, respon masyarakat sangat tergantung dari penilaian masyarakat terhadap proyek baru berdasarkan pengalaman masa lalu mereka. Terkait dengan latar belakang yang telah saya paparkan sebelumnya, pertanyaan utama yang akan saya bahas dalam penelitian ini adalah mengapa unintended outcomes akan selalu muncul ketika agen intervensi berhadapan dengan subjek masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan besar tersebut, saya mencoba melihat: 1.
Bagaimanakah
proses
perubahan
sistem
mata
pencaharian
pada
masyarakat Petak Puti yang menjadi landasan pengelolaan sumber daya alam yang juga terkait pada hutan dan lahan gambut? 2.
Mengapa pembentukan landscape intervensi bisa terjadi di desa petak puti
dan menghasilkan proses atau hasil yang tidak diinginkan (unintended outcomes)?
7
3.
Bagaimana respon masyarakat atas program-program intervensi dimasa
lalu maupun saat ini yang menawarkan perbaikan dan pengelolaan lingkungan terhadap hutan dan lahan gambut?
C.
Tinjauan Pustaka Saya melihat bahwa proyek DA REDD+ merupakan satu dari sekian
banyak kegiatan intervensi yang terjadi di negara-negara berkembang dimana isu lingkungan (tingkat emisi global) dijadikan sebagai pintu masuk bagi kepengaturan. Proyek, program atau kegiatan dalam bingkai intervensi tersebut, biasanya memiliki tujuan untuk mengatur dengan tujuan yang ideal yaitu bagi kemaslahatan orang banyak. Tindakan intervensi dilakukan oleh beragam aktor atau agen, sebut saja negara, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta lembaga transnasional, yang ingin memperbaiki, mempengaruhi atau mengatur kehidupan entitas si subjek, yaitu populasi atau masyarakat. Untuk memahami dan memperdalam karakterisitik dari kegiatan intervensi ini, saya mencoba mempelajari beberapa studi —yang sebagian besar adalah karya etnografis— terkait dengan permasalahan tentang dinamika antara kegiatan intervensi dan masyarakat sebagai subjek sasaran. Dari beberapa bacaan tersebut saya menemukan bahwa muncul sedikitnya muncul empat karakter utama dalam kegiatan intervensi, yaitu : (1) munculnya wacana permasalahan baik global maupun lokal; (2) yang menjustifikasi berdirinya institusi intervensi beserta agen-agennya; (3) untuk melakukan “perbaikan” yang ditujukan kepada subjek tertentu (baik masyarakat maupun lingkungan); (4) yang kemungkinan besar menimbulkan hasil-hasil yang tidak diniatkan (unintended outcomes)
8
Sempat muncul pandangan bahwa kegiatan mengatur masyarakat melalui tindakan intervensi biasanya dilakukan oleh negara, sebagai salah satu institusi modern yang memiliki kekuasaan dan legitimasi atas rakyatnya (Robertson [1984] 2007). Salah satu studi etnografis yang menjelaskan karakter negara sebagai agen intervensi dalam mengatur masyarakatnya pernah dilakukan oleh James Scott (1998). Dalam
bukunya Seeing Like a State, Scott melihat negara melalui
intervensinya terlalu menyederhanakan fenomena-fenomena sosial, politik, ekonomi yang sangat carut marut di masyarakat. Secara simplistik negara mewujudkan deskripsi tentang masyarakat melalui data-data berupa tabel serta grafik yang dianggap sebagai representasi yang ideal. Beberapa karakter simplifikasi negara antara lain, melakukan: (1) observasi aspek sosial yang hanya terkait dengan kepentingan negara (data-data bersifat utilitarian); (2) membuat dokumentasi atas fakta-fakta secara tertulis (baik verbal maupun numerik); (3) menyusun fakta secara statistik; (4) fakta tersebut bersifat aggregate (kumpulan), bisa berupa fakta impersonal (seperti kepadatan jaringan transportasi) atau kumpulan fakta tentang individu (seperti tingkat pekerjaan,dll); dan yang terpenting (5) negara membutuhkan warga negara yang memberikan ijin mereka melakukan assessment (Scott 1998: 80). Upaya selalu dan terlalu menyederhanakan fenomena di masyarakat tersebut membuat Scott skeptis. Dia beranggapan akan ada kemungkinan bahwa skema yang diajukan oleh negara, alih-alih memperbaiki kehidupan warga negaranya malah berpotensi gagal. Mengapa kegagalan terjadi, Scott berpendapat hal itu karena “... the progenitors of such plans regarded themselves as far smarter and farseeing
9
than they really were and, at the same time, regarded their subject as far more stupid and incompetent than they really were” (Scott 1998: 343). Jika dilihat perkembangannya, dewasa ini tidak hanya negara yang mempunyai monopoli dalam mengatur dan melakukan intervensi kepada masyarakat. Muncul agen-agen lain seperti lembaga-lembaga internasional, negara donor dan juga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berupaya untuk “membantu” masyarakat (Li membongkar
2007). Tania Li kemudian mencoba
narasi intervensi kepengaturan yang dilakukan oleh “wali-wali
masyarakat” tersebut yang berlangsung di Sulawesi Selatan (Li [2007] 2012). Mengawali kajiannya dengan mempelajari program-program atau proyek proyek dari negara kolonial, disusul pemerintah Indonesia, kemudian lembaga transnasional, Li secara jeli melihat bagaimana niat yang baik dari kepengaturan belum tentu berhasil membawa kebaikan bagi masyarakat yang menjadi sasaran. Dalam studinya ini, Li ingin melihat keterbatasan kepengaturan saat berbenturan dengan masyarakat dan juga respon balik dari masyarakat. Untuk menjelaskan keterbatasan program-progam kepengaturan, dia menggunakan pendekatan Marxist yang menjelaskan bahwa subjek masyarakat bukanlah entitas yang kosong melainkan subjek yang didalamnya terdapat kaitan-kaitan historis, sosial dan ekonomi yang selalu berkelindan dan berdialektika. Kemudian, Li menggunakan pendekatan Gramsci untuk melihat bagaimana subjek kepengaturan bukanlah subjek pasif, dimana subjek tersebut mampu melakukan tindakan politik sebagai upaya merespon program dan proyek untuk kepentingan si subjek
10
tersebut. Melalui agen intelektual, maka masyarakat melakukan tindakan politik untuk melawan program yang dianggap memarjinalisasi mereka. Dalam tesis ini, saya lebih menekankan bagaimana lembaga transnasional dan lembaga donor beraksi dalam melakukan program-programnya. Beberapa karya etnografis telah menggambarkan tentang agen intervensi transnasional yang yang
berupaya untuk mengatur
serta ‘memperbaiki kehidupan masyarakat’.
Untuk melihat lebih jelas bagaimana agen intervensi bekerja, kajian James Ferguson ([1990] 2009) merupakan contoh yang menarik. Ferguson melakukan kajian mengenai salah satu dari sekian banyak program intervensi yang terjadi di Lesotho setelah negara itu merdeka. Dalam bukunya
The Anti-Politics Machine, Ferguson melihat bahwa
program intervensi bernama Tsaba-Seka Project (World Bank), yang fokus pada peningkatan pertanian dan peternakan (pertumbuhan ekonomi), kurang peka terhadap persoalan sosial-budaya dan juga permasalahan politik dalam konteks masyarakat Lesotho. Untuk memahami kerja “si mesin” yang pada akhirnya berujung pada penguatan kontrol negara terhadap masyarakat lokal, dia mencoba membongkar wacana serta aparatus yang menghasilkan sebuah narasi untuk melakukan intervensi pembangunan. Narasi-narasi dibentuk sebagai dasar utama justifikasi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Lesotho diberi label sebagai negara terbelakang (underdeveloped), dan merupakan masyarakat miskin dengan karakter masyarakat tertutup yang memiliki pola mata pencaharian subsisten. Keterbelakangan ini juga dikaitkan dengan tidak adanya kehadiran negara di kawasan tersebut. Untuk
11
meningkatkan “taraf” hidup mereka inilah beberapa program dibentuk dan mengalami apa yang dinamakan unintended outcomes (hasil yang tidak diniatkan). Diawali dari program utama untuk meningkatkan produktivitas sapi dengan cara pengadaan pasar lelang rutin dan perbaikan jalan, proyek tersebut kurang memahami bahwa sapi merupakan properti masyarakat yang memiliki kaitan erat dengan hubungan sosial dan prestige (bovine mystique) dari para pemiliknya. Karena ikatan kultural antara sapi dan pemiliknya inilah maka masyarakat enggan menjual ternaknya. Kemudian, dengan adanya narasi bahwa ketidakhadiran negara yang mengakibatkan kurang berkembangnya daerah Lesotho, proyek ini membangun jalan serta kantor-kantor administrasi di pusat kecamatan, yang pada akhirnya malah dikuasai oleh birokrasi negara serta kekuatan para-militer. Dengan begitu, partai yang berkuasa dalam pemerintahan memiliki potensi untuk menaklukan dan menguasai lawan politiknya (oposisi), yaitu masyarakat Lesotho yang hidup di dataran tinggi (Ferguson [1990] 2009: 253). Program-program intervensi yang dilakukan secara tidak langsung juga membentuk gambaran tentang apa yang disebut dengan “negara dunia ketiga”. Intervensi proyek pembangunan yang marak terjadi pasca perang dunia kedua, menurut Escobar (1995), merupakan proses pengkonstruksian konsep negara dunia ketiga. Dalam etnografinya yang dilakukan di Amerika Latin, Escobar melihat bagaimana Negara Dunia Ketiga merupakan landscape yang dibentuk atas “produksi dari wacana-wacana dan juga praktik-praktik dari pembangunan”.
12
Dengan menggunakan pisau analisa wacana dari Foucault, Escobar berupaya melacak bagaimana sebetulnya bentuk-bentuk pengetahuan tentang pembangunan diproduksi, kemudian bagaimana sistem kekuasaan mengatur praktik-praktik pembangunan, serta subjektivitas yang berkembang dari wacana pembangunan. Secara seksama Escobar melihat beberapa “pintu masuk” yang dirancang oleh institusi intervensi untuk melakukan intervensinya di negara berkembang, yang dicontohkannya dari Kolombia. Menurut Escobar, Beberapa isu sengaja dimunculkan oleh institusi intervensi untuk menghadirkan permasalahan dan kemudian menyediakan solusi penyelesaiannya. Dimulai dari pintu masuk pertama yaitu, permasalahan kemiskinan, disusul juga dengan peranan wanita dalam masyarakat, kemudian ditambah lagi mengenai pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Secara historis kita bisa melihat bahwa sebelum adanya institusi transnasional sekarang ini yang melibatkan hubungan antar negara, interaksi antar negara telah berjalan cukup lama dibalut (juga) dengan ketimpangan dan perbedaan ekonomi, politik, dan sosial. Hubungan-hubungan yang didasari dengan perbedaan inilah yang memunculkan konsepsi mengenai negara utaraselatan, maju-berkembang, negara dunia pertama dan ketiga, dan juga telah memunculkan istilah barat-timur. Kajian mengenai pascakolonial menjadi salah satu pintu masuk yang bisa digunakan untuk mempelajari tentang hubungan ketimpangan antar negara yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Said ([1978] 2010) dalam Orientalisme mencoba mengkaji tentang upaya-upaya negara barat untuk membentuk apa yang
13
dikatakan sebagai negara timur, melalui beragam cara dan metode. Bahkan, bisa dikatakan negara-negara Eropa melalui kebudayaannya, salah satunya ketika masa pencerahan memuncak, ‘menciptakan’ dunia timur secara ideologis politis, ilmiah, sosiologis, militer, serta imajinatif.
Pandangan Said mengenai
orientalisme yang berkaca dari pengalaman historis antara hubungan barat-timur sejak abad 18, menghadirkan sebuah pemahaman, yaitu: ...orientalisme dapat kita lihat dalam kapasitasnya sebagai “institusi resmi” yang “mengurusi” dunia Timur, dengan membuat berbagai pernyataan tentang Timur, melegitimasi beragam asumsi tentang Timur, dan mendeskripsikan Timur dengan cara mengajarkannya, mencarikannya solusi, dan menguasainya. Singkatnya, kita bisa melihat orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia timur (Said [1978] 2010: 4)
Selanjutnya, terkait dengan intervensi dari institusi pembangunan Inggris di kawasan India, Moose (2005) melakukan kajian yang menarik dengan cara mengungkap lika-liku kegiatan intervensi. Salah satu tantangan untuk mengetahui gerak-gerik kegiatan intervensi adalah dengan cara mengungkapkan ide-ide serta praktik-praktik pada institusi tersebut secara mendalam. Hal ini sedikit banyak berhasil dilakukan oleh David Moose. Ketika agen intervensi bermunculan dan melaksanakan proyeknya, Moose (2005) melakukan penelitian etnografis dari “dalam”, dimana dia berada dalam posisi sebagai bagian dari agen intervensi dan juga peneliti. Dengan posisinya tersebut dia bisa melihat lebih dekat bagaimana rencana proyek didiskusikan, dirapatkan, dan juga ditetapkan oleh orang-orang yang dianggap ahli dibidangnya masing-masing. Baginya desain sebuah proyek bagaikan sebuah “seni” untuk “membuat argumen yang meyakinkan dan
14
membangun model sebab-akibat” yang bisa digunakan sebagai pijakan sebuah justifikasi intervensi Dia memfokuskan kajian tentang bagaimana kebijakan donor dan praktik di lapangan merupakan proses sosial yang bisa selalu berubah dalam sebuah proyek. Moose menekankan bagaimana kebijakan (policy) dari donor bisa mengalami degradasi ketika kebijakan tersebut coba diterapkan oleh apparatus proyek, kemudian juga saat dipraktikan oleh masyarakat sebagai subjek intervensi. Disinilah dia melihat bahwa kebijakan yang baik belum tentu bisa dipraktekkan sedemikian rupa, karena beragam persepsi dan negosiasi terjadi di dalam proses implementasinya. Kemudian, Moose dan Lewis (2005) juga mencoba merangkai karya-karya yang membahas bagaimana skema bantuan (aid) dari negara atau lembaga donor mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal. Seperti yang dikatakan oleh Escobar sebelumnya, bahwa beberapa isu merupakan pintu masuk dari datangnya intervensi. Saat ini, isu
yang cukup
berkembang adalah mengenai isu lingkungan, atau regime lingkungan, dengan turunannya yang beragam seperti pembangunan berkelanjutan, konservasi biodiversitas dan hutan, maupun mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi karbon. Kajian intervensi lingkungan ini mulai berkembang ketika dunia dihadapkan pada permasalahan ekologis akibat degradasi lingkungan yang bisa memberi efek pada kehidupan manusia dan biodiversitas yang ada. Salah satu intervensi regime lingkungan tersebutlah yang coba dilihat oleh Paige West (2005), yang melakukan kajian tentang permasalahan konservasi di Papua Nugini yang menekankan pada perlindungan Burung Cendrawasih (Bird of Paradise).
15
Dalam studinya, West melihat bahwa masyarakat ternyata memimpikan adanya perbaikan hidup yang bisa didapatnya melalui “pembangunan”. Gambaran kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat adalah apa yang dahulu sempat dibawa masuk oleh agen eksternal yang membangun interaksi dengan masyarakat lokal, salah satunya misionaris. Gambaran kemajuan tersebut antara lain hadirnya lapangan udara, fasilitas pendidikan dan kesehatan. Kemudian, diantara dambaan kemajuan inilah, projek konservasi masuk ke dalam kehidupan masyarakat dan menjanjikan sebuah pembangunan (yang sebenarnya bukan merupakan tujuan utama mereka). Janji-janji akan pembangunan ini membuat masyarakat memiliki harapan yang tinggi akan kemajuan hidup mereka dan ingin berinteraksi serta menerima program konservasi burung. West lebih lanjut menekankan bagaimana relasi kultural yang terjalin antara masyarakat dengan pihak luar menjadikan perjalanan projek intervensi lingkungan
berbentuk
konservasi
semakin
rumit.
Masyarakat
setempat
mengharapkan adanya resiprositas dalam setiap hubungan yang dibangunnya dengan orang lain, baik secara internal maupun eksternal. Karena perbedaan sudut pandang inilah, projek konservasi diharapkan oleh warga bisa memberikan kehidupan yang lebih baik melalui apa yang dinamakan dengan “pembangunan”. Jika isu lingkungan saat ini menjadi fokus utama, maka kita tidak akan bisa melepaskan hutan (tropis) dari bentuk-bentuk intervensi kepengaturan. Negara dalam tahap ini menjadi salah satu pihak yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan dan pengontrolan sumber daya hutan, yang terkadang menghasilkan narasi-narasi tertentu (Fairhead&Leach 2008) yang bisa memicu
16
resistensi, konflik, maupun negosiasi (Peluso 1992; Lounela 2009). Permasalahan di dalam hutan tropis (seperti deforestasi) pun tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara kebijakan negara dan mata pencaharian masyarakat desa hutan (Nygren 1995). Salah satu kajian yang menarik tentang kepengaturan hutan berasal dari kajian Arun Agrawal (2005). Dalam studinya dia membahas tentang pengelolaan hutan
di
India
memfokuskan
kajiannya
pada
‘governmentalization
of
environment’. Dia mengajukan konsep Environmentality dengan mengacu pada hubungan power/knowledge, institusi kepengaturan hutan (negara), serta subjek kepengaturan. Agrawal mencoba melacak bagaimana teknologi kepengaturan lingkungan (hutan) berubah dan berganti dari masa kolonial sampai era desentralisasi kebijakan di India yang berlangsung selama kurang lebih 200 tahun dan melihat bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan. Setelah melihat bagaimana intervensi negara terhadap pengelolaan hutan, maka saat ini lembaga internasional juga mencoba memperbaiki kelola hutan dengan mengacu pada skema global untuk mengurangi emisi karbon. Saya kemudian mencoba meruncingkan kajian-kajian yang terkait dengan proyek uji coba REDD. percontohan
Pada studi yang telah dilakukan di area salah satu proyek REDD,
menggambarkan
bahwa
mekanisme
ini
ternyata
mendatangkan resiko. Salah satu risiko yang akan dihadapi masyarakat lokal telah terbukti pada pilot project program REDD di kawasan Taman Nasional Noel Kempff yang diajukan pada tahun 1997. Pengalaman yang terjadi disana adalah distribusi keuntungan atau benefit dari program itu sebagian besar direbut oleh
17
agen-agen negara, pemerintahan lokal dan juga LSM lingkungan internasional dan bukan diberikan untuk masyarakat lokal dan komunitas-komunitas sekitar hutan (Schroeder 2010: 322). Beberapa kajian juga sempat dilakukan dalam konteks Aktivitas Demonstrasi REDD di Kalimantan Tengah. Dalam studi level makro Olbrei dan Howes (2012), berupaya menelusuri bagaimana perjalanan implementasi program KFCP di Kalimantan tengah. Hasil yang ditemukan adalah adanya pergeseran tujuan dan “janji” yang dikemukakan oleh KFCP terkait dengan berkurangnya luasan lahan yang akan direhabilitasi akibat keterbatasan dana. Selain itu, keterlambatan program yang terjadi dan juga praktik lapangan yang tidak sesuai dengan dokumen perencanaan menjadi hasil temuan dari kajian ini. Di kawasan Eks-Pengelolaan Lahan Gambut pun beberapa kajian etnografis sempat dilakukan, berkenaan dengan hadirnya proyek percontohan REDD+ yang menekankan pada aspek partisipasi masyarakat (Vanga 2013), peran perempuan (Scorviana 2013), serta penguatan elit-elit lokal (Utama 2013). Dalam kajian tesis ini sedikit berbeda dengan kajian yang ada, saya ingin melihat bagaimana sebenarnya respon atau negosiasi masyarakat terhadap program-program intervensi yang berasal dari agenda global. Saya mencoba melihat respon tersebut merupakan pilihan-pilihan yang terbentuk secara historis terkait dengan, salah satunya perjalanan masyarakat mengelola sumber dayanya dan juga pengalaman tentang interaksi mereka dengan agen-agen intervensi terdahulu. Interaksi lokal-global dengan narasi yang berbeda inilah yang mampu
18
memunculkan hasil-hasil yang tidak diniatkan (unintended outcomes) dalam sebuah proyek aktivitas demonstrasi REDD+.
D.
Kerangka Pemikiran
1.
Teknologi Kepengaturan Lingkungan Akar dari kepengaturan berasal dari konsep governmentality yang berasal
dari pemikiran Foucault. Foucault menjelaskan bahwa kepengaturan adalah “ensemble formed by the institiutions, procedures, anlyses and reflections, the calculations and tactics, that allow the exercise of this very specific albeit complex form of power” (Faucoult 1979 dalam Miller & Rose 2008). Kepengaturan tersebut fokus pada hubungan manusia dengan “kesejahteraan, sumber daya, means of subsistence, kawasan dengan kualitas spesifik, iklim, irigasi, kesuburan, dan sebagainya” (Foucault 1991: 93). Berbeda dengan disiplin yang dilakukan melalui paksaan dan hukuman seperti yang dikatakan oleh Foucault, kepengaturan lebih mengacu pada pengontrolan yang dilakukan oleh agen modern dengan tujuan kemaslahatan orang banyak. Tetapi dalam konsep ini, Foucault sempat mengatakan bahwa bentukbentuk kepengaturan ini merupakan urusan “internal dari negara atau masyarakat”. Dalam hal ini maka “...we can fit at once a plurality of forms of government and their immanence to the state” (Foucault 1991: 91). Namun jika kita melihat fenomena dewasa ini, kemampuan melalui pola kepengaturan yang menghasilkan intervensi pada subjek masyarakat, bukan hanya berasal dari institusi modern bernama negara, tetapi juga datang dari beragam institusi modern
19
lainnya (Li 2007). Bahkan beberapa aktor ini memiliki peran yang besar dalam upaya mengintervensi kehidupan sosial masyarakat -negara dunia ketiga(Escobar 1995). Dengan mempelajari aktor-aktor lain tersebut kita nantinya bisa memahami bahwa, “non-state modes of exercise of power are one of defining features of our present” (Miller & Rose 2008). Untuk melihat gambaran bagaimana agen-agen lain turut mengintervensi masyarakat, pemaparan dari Li (2007) sangatlah membantu, Understanding governmental interventions as assemblages helps to break down the image of government as the preserve of a monolithic state operating as a singular source of power and enables us to recognize the range of parties involved in attempts to regulate the conditions under which lives are lived. These parties include not only diverse state agencies with competing visions, mandates and techniques, but missionaries, scientists, activists and the so-called NGOs, both national and transnational involved in arenas such as public health, welfare, agricultural extension, conservation, good governance and, increasingly, conflict management,... (li 2007: 276)
Permasalahan
lingkungan
global
seperti
perubahan
iklim
yang
menyangkut beragam kepentingan negara-negara di dunia menghasilkan kepengaturan melewati lintas batas negara yang bersifat transnasional. ‘Kepengaturan global’ merupakan istilah yang secara luas digunakan untuk mengacu kepada “praktik modern dari mengatur permasalahan lintas batas dan untuk institusi, aturan-aturan, para aktor dan juga ideologi yang mengatur politikekonomi dalam ranah global (termasuk di dalamnya sosial dan biofisika)” (Margulis et al 2013). Bahkan muncul definisi secara khusus mengenai “kepengaturan iklim global’, yang dijelaskan sebagai “refer to all the purposeful mechanisms and measures aimed at steering social systems toward preventing,
20
mitigating, or adapting to the risks posed by climate change” (Jagers & Stripple 2003:388). Kepengaturan lingkungan (iklim) ini dalam tataran praktik harus “beroperasi” melalui intervensi dengan menggunakan teknologi kepengaturan. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menelusuri bagaimana teknologi kepengaturan lingkungan muncul untuk mengatur hubungan manusia dan lingkungannya. Teknologi kepengaturan oleh Miller&Rose (2008) dijelaskan sebagai upaya untuk menerjemahkan pikiran (thougth) ke dalam ranah realita (reality), dan untuk membangun ruang dan kerangka untuk bertindak berdasarkan entitas teknologi yang mereka bayangkan dan rancang1. Munculnya regime lingkungan global serta institusi kepengaturan melalui hubungan bilateral, merupakan salah satu bentuk teknologi kepengaturan lingkungan lintas negara. Untuk itu saya mencoba memakai pendekatan dari Miller & Rose (2008) yang menggunakan istilah ‘teknologi’
untuk
menganalisa aktivitas intervensi
kepengaturan dengan cara, “...pays great attention to the actual mechanisms through which authorities of various sorts have sought to shape, normalize and instrumentalize the conduct, thought, decisions and aspirations of others in order to achieve the objectives they consider desirable” (Rose&Miller 2008: 32).
‘Technologies of government' seek to translate thought into the domain of reality, and to
1
establish 'in the world of persons and things' spaces and devices for acting upon those entities of which they dream and scheme (Rose & Miller 2008: 32).
21
2.
Respon masyarakat terhadap intervensi global Tsing (2005) sempat membahas mengenai apa yang dikatakannya sebagai
pergesekan (friction) yang terjadi dalam koneksi global dan lokal. Seperti yang dipaparkan Tsing, bahwa “pihak-pihak yang bekerja bersama mungkin atau tidak mungkin memiliki persamaan dalam pemahaman mengenai permasalahan dan produknya”. Intinya perbedaan pemahaman ini bisa menghasilkan apa yang dinamakan sebagai hasil yang tidak diinginkan. Pergesekan inilah yang bisa terjadi pada agenda kepengaturan iklim antara agen intervensi kepengaturan dan populasi masyarakat dimana proyek percobaan pengurangan emisi karbon berjalan. Tapi juga harus diperhatikan bahwa agen intervensi merupakan apa yang disebut Ferguson (1990[2009]) sebagai anti politic-machine. Dimana agen intervensi ini mengenyampingkan permasalahan sosial-politik dalam masyarakat, yang akhirnya bisa menghasilkan unintended outcomes (hasil yang tidak direncanakan). Proyek intervensi menurut Ferguson, merupakan arena dimana perencanaan terkadang menghasilkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa invervensi tersebut hadir di dalam konteks realita yang kompleks. Ferguson mengungkapkan bahwa, “Intentional plans interacted with unacknowledged structures and change events to produce unintended outcomes which turn out to be intelligible not only as the unforeseen effects of intended intervention, but also as the unlikely instruments of an unplotted strategy” (Ferguson [1990] 2009 : 20).
22
Di dalam kawasan DA REDD, “kolaborasi dengan didasari pergesekan” bisa terjadi antara pihak yang berhubungan. Melalui konsep inilah saya ingin melihat bagaimana gesekan terjadi antara subjek masyarakat dan juga agen intervensi di regim lingkungan. Kemungkinan besar pihak-pihak ini akan bergesekan satu sama lain berdasarkan kepentingan-kepentingan yang masingmasing mereka usung. Untuk melihat kerja mesin intervensi ini, kajian historis mengenai sistem sosial-ekonomi (mata pencaharian) masyarakat bisa juga dilakukan untuk mencoba menemukan apa yang sebenarnya dibutuhkan dan diharapkan oleh masyarakat terkait dengan kemakmuran dan kemajuan hidup mereka. Datangnya agen intervensi harus disikapi oleh masyarakat, melalui tindakan adaptasi yang mereka lakukan. Perubahan-perubahan (wacana atau regime) terkait pemahaman mengenai alam, sumber daya, dan komoditas yang dibawa oleh agen, harus disikapi dengan strategi adaptasi oleh masyarakat loal. Seperti yang dikatakan Ellen (1982), bahwa “adaptasi dilihat sebagai alat untuk meningkatkan kondisi dari eksistensi dalam perubahan yang terjadi.” Secara umum, perubahan memberikan kontribusi pada tahap adaptasi dari individu atau populasi. Nygren (1992) juga mengatakan bahwa masyarakat lokal dalam perjuangannya berkenaan dengan sosial-ekonomi, politik maupun aspek budaya, bukanlah merupakan adapter yang pasif, tetapi merupakan subjek yang mengambil bagian dalam menentukan sejarah mereka, bersama dengan aktor-aktor sosial lain.
23
E.
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 5 bulan (Februari-Juli
2012) pada kawasan Demonstration Activity REDD yang bernama Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP). Implementasi Proyek ini telah berlangsung sejak tahun 2008 di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kuala Kapuas. Penelitian lapangan ini berlangsung di salah satu desa yang berada dalam area DA REDD+ tersebut. Sebelum melakukan penelitian pada level desa, peneliti selama satu bulan tinggal di pusat kota Palangkaraya, untuk mencari data pada level yang lebih luas terkait dengan isu-isu yang berkembang pada mengenai dalam programprogram REDD+ yang berlangsung di Kalimantan Tengah. Untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan REDD+ tersebut saya berdiskusi dengan beberapa LSM yang fokus pada isu lingkungan dan masyarakat lokal, seperti WALHI, AMAN, dan YPD. Dari diskusi dan wawancara dengan beberapa teman di LSM tersebut saya mendapatkan informasi tentang uji coba REDD+ yang telah berjalan dan memutuskan untuk melakukan riset di Desa Petak Puti, yang masuk dalam area kerja KFCP. Kemudian, riset ini difokuskan dalam level desa dimana saya tinggal dan hidup bersama masyarakat di sebuah desa bernama Petak Puti. Di desa ini saya melakukan penelitian selama kurang lebih 4 bulan. Di Desa Petak Puti, saya mencoba untuk mempelajari masyarakat yang tinggal di pusat desa, tepatnya di lingkup Rukun Tetangga (RT) 1 dan 2. Dengan pertimbangan organisasi sosial ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai kehidupan sebuah desa. Disamping itu, di daerah tersebut akses terhadap fasilitas dan informasi lebih mendukung karena merupakan pusat pemerintahan desa.
24
Dalam proses pengumpulan data, metode yang digunakan adalah observasi partisipasi. Dalam metode tersebut peneliti ikut serta dalam kegiatan sehari-sehari masyarakat setempat untuk mendapatkan data, baik berasal dari observasi langsung maupun wawancara. Untuk observasi partisipasi, saya beberapa kali ikut dalam kegiatan yang dilakukan oleh warga desa. Bersama-sama dengan informan saya mengikuti kegiatan menyadap dan menanam karet, mencari kayu di hutan, mencari burung, mencari ikan di danau, menjual emas di kecamatan, ‘menjadi’ supir taksi, mengikuti rapat-rapat KFCP, hadir dalam ritual adat dan keagamaan, serta ikut dalam obrolan-obrolan santai. Kehadiran saya dalam forum formal dan non formal bisa dianggap sebagai media perkenalan saya kepada warga. Observasi partisipasi merupakan metode yang cukup berhasil untuk memperoleh data, karena dalam situasi tersebut informan dan peneliti bisa menjalin dan membangun relasi lebih dekat. Dengan adanya kepercayaan dari informan maka saya bisa bertanya tentang topik terkait penelitian. Selain melihat langsung (observasi), saya juga mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan dengan menggunakan metode wawancara, yang sebagian besar memakai pola wawancara bebas. Pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan cerita-cerita yang dipaparkan oleh informan, kemudian topik-topik tertentu dalam riset disematkan dalam pertanyaan sehingga ‘perbincangan’ dengan informan bisa lebih mengalir. Untuk menangkap momen di lapangan, saya juga menggunakan alat dokumentasi seperti kamera untuk mendapatkan data berupa gambar aktivitas kehidupan warga dan juga kondisi lingkungan sekitar desa.
25
Peneliti juga mengumpulkan beragam data sekunder yang terkait dengan tema penelitian yang berupa dokumen-dokumen dari level desa, kecamatan, dan juga dari pihak terkait, seperti LSM. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah dokumen desain KFCP, perjanjian desa KFCP dengan Desa Petak Puti, RPJMDES, Monografi Kecamatan, serta dokumen lainnya terkait program KFCP di Petak Puti. Kajian kepustakaan juga saya lakukan setelah saya menyelesaikan riset terutama terkait dengan program REDD dan intervensi kepengaturan. Kajian kepustakaan membantu peneliti untuk melihat perkembangan studi yang telah ada dan merumuskan kerangka pemikiran dalam menganalisa data di lapangan. Dalam penelitian ini saya berusaha untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data di lapangan dari informan dengan latar belakang sosial-ekonomi yang beragam. Beberapa informan dipilih karena merupakan informan kunci terkait dengan isu-isu tertentu, namun saya juga berupaya untuk mengumpulkan data dari informan secara acak. Bagi saya, tiap-tiap informan yang berbeda tersebut memiliki sudut pandang dan informasi yang menarik mengenai topik dalam penelitian ini. Beberapa informan antara lain, kepala desa, kepala dusun, ketua adat, ketua RT, anggota TP dan TPK, warga yang dituakan, serta masyarakat lainnya, seperti petani karet , pencari ikan , buruh tambang emas, serta buruh tebas. Saya juga mencoba berinteraksi dengan pihak-pihak yang terkait dengan KFCP, terutama pekerja lapangan dari tim CE (Community Engagement), Tim Reforestasi, dan juga Tim Livelihood. Saya juga selalu menyempatkan diri untuk datang dalam setiap rapat yang diadakan oleh KFCP yang dihadiri oleh
26
warga desa untuk melihat bagaimana proses-proses yang terjadi dalam penyampaian program. Di dalam proses penelitiannya ini beberapa hambatan juga dirasakan oleh peneliti. Salah satunya adalah keterbatasan peneliti dalam memahami bahasa Dayak Ngaju. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, hampir setiap malam saya selalu belajar untuk mengenal dan mempraktikan kosakata baru dari seorang siswa SMP yang tinggal serumah dengan peneliti. Tidak hanya itu, saya juga mencoba belajar bahasa tersebut dari kamus Bahasa Dayak-Indonesia. Dari upaya ini, sedikit banyak saya bisa mengerti kata-kata kunci yang digunakan dalam percakapan sehari-hari di desa. Setelah mendapatkan data di lapangan, langkah selanjutnya adalah menyusun penulisan dan melakukan analisis lebih lanjut mengacu pada abstraksi dari data-data yang didapatkan di lapangan, dan memadukannya dengan konsepkonsep atau kerangka teoritis yang penulis paparkan dalam kerangka pemikiran untuk menghasilkan sebuah tulisan.