Kenapa Sekolah? -
Sebuah persembahan untuk negeri #KenapaSekolahProject.
Kata Pengantar Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya jugalah kami dapat menyelesaikan buku yang berjudul ”Kenapa Sekolah?”. Buku ini merupakan antalogi cerita pendek pemenang Lomba Cerpen 2015 dengan tema Aku Ingin Sekolah, yang digagas dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. Sebuah persembahan untuk negeri. Selain berisi cerita-cerita pendek terpilih, buku ini juga berisi kumpulan kisah nyata yang menginspirasi dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di berbagai belahan dunia, serta dilengkapi dengan info beasiswa luar negeri, dengan harapan dapat memotivasi generasi-generasi penerus bangsa. Dalam proses penyusunannya, tim Kenapa Sekolah Project mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih. Mulai dari 673 peserta yang telah mengirimkan naskahnya, tim juri dari kalangan mahasiswa dan profesional di berbagai Negara, serta volunteervolunteer di project ini yang senantiasa membantu dalam proses penyusunan buku ini. Semoga apa yang telah kami terima dari semua pihak, mudah-mudahan
mendapat imbalan dari Allah Subhanahuwataala dan menjadi amal baik bagi kita semua, amin yarobbil’alamin. Akhir kata dengan segala kerendahan hati, bila ada kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan senang hati.
Tim Penyusun
Daftar Isi
CERITA-CERITA PENDEK TERPILIH
Sepatu Butut “Aduh!” Teguh terjatuh. Saat sedang asik berjalan bersama teman-temannya tak sengaja kakinya tersandung batu. “Teguh...Lihat!” seorang teman berkata sambil menunjuk ke arah sepatunya. “Iya, sepatumu rusak Teguh” teman-temannya yang lain pun ikut memperhatikan. Sepatu yang digunakannya adalah sepatu hitam, warnanya sudah terlihat memudar hingga bisa ditebak sepatu itu sudah cukup lama digunakan. Di sisi sepatunya terlihat kotor, ada tanah yang melekat karena jalanan yang mereka lewati becek. Kini kaos kaki yang digunakan menampakkan diri keluar di balik sepatunya, sepatu bagian depannya robek dan sepertinya tak bisa digunakan lagi. “Hehehe... Tenang saja teman! Aku bisa berjalan tanpa menggunakan sepatu” Teguh berkata sambil membuka sepasang sepatunya. Ia memutuskan tidak menggunakan sepatu itu dan berjalan tanpa alas kaki. “Perjalanan kita masih jauh dan banyak bebatuannya” ucap teman-temannya tak tega. “Bukankah kita sudah sering melewati jalanan ini? Takkan ada masalah walaupun kita berjalan tanpa alas kaki.” Teguh dan teman-temannya memang tinggal di perkampungan, sangat jauh dari kota. Tak ada kendaraan
umum yang lewat, hingga setiap hari mereka harus berjalan sepanjang 2 km ke sekolah. Tak ada jalanan aspal apalagi beton, hanya tanah berbatu. Saat musim hujan tiba, jalanan menjadi becek dan sulit dilewati. Hari itu akhirnya Teguh ke sekolah tanpa alas kaki. Semua temannya pun membuka sepatu mereka dan melanjutkan perjalanan ke sekolah. Kaki kecil mereka tetap melangkah walaupun udara dingin dan jalanan berbatu harus mereka lewati. Sambil bernyanyi mereka mengayunkan sepatu mereka dan melangkah tanpa beban. “Assalamualaikum Emak” ucap Teguh sepulang dari sekolah. Seorang nenek berusia kira-kira 80 tahun lebih berjalan dengan tertatih-tatih. Raut wajahnya terlihat bahagia menyambut suara yang terdengar di balik pintu. “Waalaikumsalam nak” jawabnya. Emak adalah panggilan Teguh pada neneknya. Sejak masih kecil orang tuanya pergi meninggalkan mereka berdua. Tak ada kabar apapun dan mereka tak pernah pulang sampai saat ini. Sejak saat itulah, emak yang sangat berjasa membesarkan dirinya. Pekerjaan apapun rela dilakukan emak untuk menghidupi mereka berdua, namun kini ia sudah sakit-sakitan dan tidak kuat lagi bekerja. Untuk mendapatkan uang, mereka memelihara dua ekor kambing milik tetangga. Kadang juga berjualan kue keliling.
Kondisi keluarga mereka memaksa Teguh yang masih duduk di bangku kelas 6 SD untuk bekerja keras. Tak tegah melihat emak yang sudah tua harus bekerja, ia kadang membantu dengan berjualan kue di sekolah. Ia berjanji akan bersekolah dengan baik agar suatu hari bisa melihat emak bahagia. Ia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter agar bisa menyembuhkan emak dan tak ada lagi orang miskin yang tak bisa berobat. Pernah suatu hari emak tak bisa makan, badannya panas tetapi tak bisa dibawa ke dokter karena tak ada biaya. Sejak saat itu ia berjanji akan sukses dan menjadi seorang dokter. “Nak, kemana sepatumu? Mengapa kakimu terlihat kotor? Bukankah tadi pagi kamu berangkat ke sekolah lengkap dengan sepatu?” tanya emak setelah Teguh masuk dan mencium tangannya. “Tenanglah mak, sepatuku ada di dalam tas. Aku tidak ingin mengotorinya karena di jalan sangat becek hingga sepatuku harus di lepas.” “Baiklah nak. Kalau begitu masuklah bersihkan kakimu yang kotor itu lalu kita makan bersama, emak sudah siapkan makanan untukmu” ucap emak tanpa ada rasa curiga. “Baiklah emak ku sayang” ucapnya sambil berlari ke dalam rumah dan menyimpan tas sekolahnya di bawah tempat tidur. “Semoga saja emak tidak menemukannya” ucapnya dalam hati.
Setelah makan ia meminta izin pada emak keluar mencari rumput untuk kambing yang mereka pelihara. Tas ransel hitam yang setiap hari dipakainya ke sekolah sudah tergantung di pundaknya, ada sesuatu yang ia sembunyikan di sana. Saat tiba di padang rumput ia mengelurkan sesuatu dari dalam tasnya. “Bagaimana kalau emak melihat sepatuku robek seperti ini? Pasti emak akan sedih”, ia berucap sambil memperhatikan sepatunya yang telah robek. Masih ingat setahun lalu sepatu itu juga pernah rusak, alasnya terbuka hingga harus membawanya ke tetangga untuk dijahit. Waktu itu ia masih ingat emak menangis sambil berkata “Maafkan emak tak bisa membelikanmu sepatu baru nak, kamu pakai dulu sepatu ini nanti kalau ada uang pasti emak ganti dengan yang lebih bagus”. Itulah alasan mengapa ia tak ingin memberi tahu emak kalau sepatu itu robek. Keesokan harinya Teguh memutuskan untuk memakai sandal ke sekolah. Saat emak melihatnya, dia bertanya “Nak, apakah sepatumu rusak? Mengapa kamu ke sekolah dengan menggunakan sandal jepit?” “Tidak mak. Aku menyimpan sepatuku di dalam tas seperti kemarin, agar sepatu itu tetap bersih makanya akan ku pakai setelah tiba di sekolah. Makanya sekarang cuma pakai sandal mak.” “Ya sudahlah nak. Cepat, temanmu sudah menunggu di luar. Berhati-hatilah di jalan, jangan sampai
kau terjatuh karena mungkin jalanan akan becek setelah diguyur hujan semalaman.” Setelah berpamitan pada emak, Teguh langsung bergabung bersama teman-temannya yang sudah menunggu di depan rumah. Langit masih gelap, sinar matahari masih samar-samar menampakkan dirinya, hanya terdengar bunyi ayam berkokok namun sebagian besar penduduk kampung sudah mulai beraktivitas. “Tenggg, tenggg, tenggg”, bel berbunyi sesaat setelah mereka masuk ke kelas. “Assalamualaikum anak-anak.” “Waalaikumsalam bu guru” anak-anak menjawab serempak. Teguh yang duduk di depan langsung menjadi perhatian bu guru. “Kenapa kamu memakai sandal Teguh?” “Maaf bu, saya hanya punya satu sepatu tetapi sepatu saya rusak. Tolong jangan hukum saya bu, saya tidak punya uang untuk membeli sepatu lagi.” “Siapa yang mau memarahi kamu Teguh? Ibu hanya bertanya karena tidak biasanya kamu ke sekolah dengan menggunakan sandal seperti sekarang.” “Iya bu. Tadinya saya berpikir untuk tidak ke sekolah karena tak punya sepatu untuk di pakai, tetapi saya tidak ingin ketinggalan pelajaran. Jadi izinkan saya untuk sementara memakai sandal yah bu?” “Baiklah, ibu terima alasan kamu. Untuk kali ini ibu izinkan kamu mengikuti pelajaran.”
Tiba di rumah Teguh terlihat sedih. Ia mengingat waktu ditegur karena menggunakan sandal ke sekolah. Untuk keperluan sehari-hari saja mereka sudah susah apalagi harus membeli sepatu baru. Mereka hanya tinggal di sebuah gubuk kecil, tak ada barang elektronik di sana bahkan untuk penerangan mereka menggunakan lampu petromaks. “Ya Allah, aku ingin tetap bersekolah. Tolong bantu hamba ya Allah. Semoga ibu guru tidak marah karena Teguh ke sekolah pakai sandal”, batinnya. “Tok, tok, tok”, suara dari luar mengagetkan Teguh. Ternyata yang datang adalah ibu guru sekolahnya. Ia bertemu dengan emak dan menyampaikan bahwa Teguh terpilih untuk mewakili sekolahnya mengikuti olimpiade matematika tingkat SD. Ia memang termasuk anak yang berprestasi di sekolahnya, juara umum tak pernah ia lepaskan sejak duduk di bangku kelas 1 SD. Walaupun ia sibuk dengan pekerjaannya di rumah membantu emak tetapi ia tetap tekun belajar. Saat mendengar itu emak mencium dan memeluk cucunya karena merasa bangga. Teguh pun begitu senang mendengarnya dan bertekad belajar keras. Selama sepekan Teguh mengikuti pelatihan di sekolah untuk persiapan olimpiade matematika. Di rumah pun ia sibuk menjawab soal-soal yang diberikan oleh gurunya. Bahkan saat mencari rumput di lapangan, membantu nenek menyiapkan makanan dan membersihkan rumah ia masih menyempatkan diri di
sela-sela waktunya untuk belajar. Lilin kecil di atas meja menemaninya di malam hari dan buku-bukunya yang terkadang menjadi alas tidurnya saat lelah. Hari olimpiade tiba, ratusan siswa terlihat di tempat perlombaan. Di antara siswa tersebut terlihat siswa laki-laki dengan seragamnya yang sedikit lecek dan sepatu hitam butut dengan bekas jahitan yang nampak. Yah... Teguh datang dengan sepatunya yang butut, namun itu tidak membuatnya malu apalagi mematahkan semangatnya. Tanpa diketahui emaknya, sehari sebelum perlombaan ia meminta tetangganya yang seorang tukang sol sepatu untuk memperbaiki sepatunya yang robek. Tak ada yang pernah menduga perjuangan Teguh dan sepatu bututnya membuahkan hasil. Setelah pengumuman olimpiade antar sekolah tersebut, nama Teguh Kurniawan diumumkan sebagai juara pertama. Ia menerima piala dan sejumlah uang sebagai hadiah atas kemenangannya. Setelah tepuk tangan yang meriah mengiringi penerimaan hadiah di atas panggung, Teguh tak sabar ingin tiba di rumah memperlihatkan pialanya kepada emak. “Assalamualaikum emak, lihat Teguh dapat juara satu” karena begitu bahagia ia berlari masuk ke rumah dan loncat memeluk emak. “Waalaikumsalam nak. Alhamdulillah, emak sangat senang mendengarnya. Sebagai hadiahnya emak
akan buatkan makanan kesukaanmu” emak tersenyum sambil mencium dan memeluk cucunya. “Emak! Alhamdulillah Teguh dapat rezeki dari Allah, ini berkat doa dari emak. Emak simpan yah!” ia memberikan amplop pada emak. “Sekarang kamu sudah bisa ke sekolah dengan sepatu yang bagus. Kamu tidak perlu lagi menyembunyikan sepatumu dari emak, tak perlu lagi di simpan dalam tas ranselmu dan secara sembunyisembunyi kamu bawa ke tetangga karena tak ingin emak tahu. Kamu melakukannya karena tak ingin melihat emak sedih, terima kasih yah nak. Saat kamu belajar dengan baik dan berprestasi di sekolah itu sudah membuat emak bahagia” emak berbisik sambil menangis. Ia begitu terharu dan bersyukur memiliki cucu yang sangat berbakti. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, tak pernah sekalipun ia mendengar cucunya mengeluh ataupun menuntut. Dhani Awalia Surki
Eyang Nahwan SD Turi Putih. “Pak Nahwan masih ingat saya?” “Masya Allah.. Nak Andra.. lama sekali tidak ketemu.. sudah sukses kamu, Le1?” semangat dan keterkejutan besar tersimpan dalam senyum lebar bapak tua yang langsung tergopoh-gopoh berdiri dari mejanya. Tergopoh-gopoh dia mempersilahkan tamunya masuk. “Alhamdulillah, Pak..” “Ayo, ayo.. duduk dulu..” Pak Nahwan menatakan kursi-kursi plastik untuk Andra dan anak istrinya di kantor kecil itu. “Ini istri saya. Dan ini anak saya, Fero. Mau saya sekolahkan di sini..” Andra memperkenalkan seorang anak laki-laki manis setinggi pinggangnya. “Oh hoho.. Alhamdulillah.. anak yang gagah..” Pak Nahwan mengelus rambut anak itu sambil tak hentinya tersenyum. Anak kecil itu ikut tersenyum dengan dua gigi depan yang tanggal. “Kamu harus pintar sekolahnya.. kayak ayahmu ini, sekolahnya tinggi.. sekolah dimana dulu kamu, Ndra?” “Saya lulus S2 ITB, Pak.. Teknik Perminyakan.. sekarang dalam masa menyelesaikan disertasi di ITB juga. Mohon doa..” “Subhanallah.. Bapak bangga dengan kamu, Le.. sudah sukses kamu. Bapak saja belum kesampaian kuliah.. Hehe..” tak ada yang membandingi semangat di senyumnya. “Loh.. jadi dari dulu Bapak masih lulusan SMA?” Ceplos Andra yang langsung disambut cubitan kecil istrinya. “Hehe.. Iya, Le.. itu saja tidak selesai dan ijazahnya ambil paket C. Tapi Bapak senang sekali anak-
anak didik Bapak sudah sukses-sukses.. kerja dimana kamu sekarang?” tanyanya ringan. Sejak dulu, Pak Nahwan memang tak pernah tersinggung. “Resminya belum kerja, Pak.. saya hanya ikut proyek ini itu melakukan penelitian ini itu..” Pak Nahwan tak berkurang sumringahnya. “Wah.. tapi proyeknya besar toh, Le..” “Yah.. lumayan lah, Pak.. setelah penelitian S3 ini berakhir, saya sudah mengincar posisi yang bagus di Jerman..” “Masya Allah.. tapi ya, kalau bisa jangan cuma cari posisi yang bagus.. kamu harus menyelamatkan perminyakan negeri ini yang sudah ndak karu-karuan ini loh.” Logat dan intonasi Jawa yang lemah lembut keluar dengan ceria. Tak berkurang intensitas senyumnya. Pandangan ramah itu beralih ke laki-laki kecil yang sedang memperhatikannya. “Ayahmu ini, Nak.. dulu adalah sahabat almarhum anak Bapak. Namanya Fadil.. mereka seumuran.. berteman ya sejak sekecil kamu ini.. ayahmu ini dulu suka main ke rumah Bapak.. Jadi, kamu sudah seperti cucu Bapak.. murid-murid di sini semuanya panggil Bapak Eyang.. karena memang sudah seumuran Eyang mereka.. kamu juga panggil Eyang saja, ya, Nak Fero.. nanti saya yang ngajar kamu di kelas satu..” senyumnya benar-benar tak berhenti. Anak itu mengangguk. “Bapak masih ngajar kelas satu?” Andra menimpali spontan. “Bapak ini ya, dari dulu dikasih kelas satu-satu saja.. Guru-guru lain kan sudah pada sarjana... sudah lebih pintar..” “Oh.. kalau begitu kebetulan.. saya titip anak saya ini ya, Pak.. mohon bimbingannya..” “Insya Allah.. Sukses ya, Le.. sukses kamu..” entah sudah berapa kali ungkapan itu terucap.
Jam Istirahat. Pak Nahwan bingung melihat keributan kantor hari ini. Orang-orang sedang meriwehkan berkas-berkas. Dari SK, legalisir ijazah, foto, fotokopi KTP dan entah apalagi. Beberapa guru sudah dipanggil untuk pelatihan PLPG, beberapa sudah jadi pegawai negeri. Beberapa guru bahkan sudah cair tunjangan sertifikasinya. Pak Nahwan tersenyum saja melihat para guru yang memasang wajah tegang bahkan sampai emosi. Dia membantu mencarikan barang-barang mereka sesekali. Kemudian kembali menekuni buku tulis lusuhnya. Sudah menjadi kebiasaannya di jam istirahat untuk mencoretcoret buku catatannya. Menuliskan dongeng-dongeng dan cerita anak yang selalu dikisahkannya pada anakanak kelas satu. Delapan puluh persen guru SD Turi Putih adalah muridnya dulu. Dia adalah guru paling senior dan paling awet. Sekarang hampir semua guru, bahkan yang paling senior sekali pun, sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi dari pemerintah. Jangankan sertifikasi, jangankan pegawai negeri, sarjana saja dia belum pernah. Dia hanya bisa menyalurkan ilmu seadanya yang dia miliki dari pengalaman mengajar lebih dari empat puluh tahun ini. SD kecintaan yang hanya bisa menggajinya tidak sampai setengah juta. Pertemuan dengan Andra hari ini memberikan inspirasi baru. Menerbangkan lagi ingatannya pada kenangan lama. Dia dan istrinya sangat menyayangi putra semata wayang mereka, Fadil. Yang harus dipanggil pada usia muda. Bertemu Andra seperti mengocok waktu ke masa-masa bersama Fadil. Putra yang seandainya saja masih ada, sudah seumuran itu sekarang. Dan barangkali dia sudah menimang cucu seumuran Fero. ***
Kelas Harapan. “Cita-cita kalian harus langit. Banyak orang hebat di dunia ini, kalian harus menjadi salah satu di antara mereka.” Ucapnya menggebu-gebu di depan kelas sambil menggerakkan tangannya bak berpuisi. Sekali lagi, tanpa pernah menghilangkan senyumnya. “Dian, kau ingin jadi apa, Nak?” “Saya, ingin jadi astronot, Pak..” jawab Dian semantap pertanyaan gurunya. “Saya dokter, Pak..!” Putra berteriak. “Saya jadi kapten kapal! Seperti yang di Sponge Bob!” teriakan Rio disambuti teriakan keras temantemannya. Kelas jadi sangat bersemangat. “Loh.. jangan ditertawakan.. kalian pasti bisa menggapai itu semua. Nanti kalian lah yang menjadi orang-orang hebat itu. Tapi ya harus rajin sekolah.. Eyang saja yang sudah tua begini masih ingin sekolah lagi..” “Hahaha.. sudah tua mau sekolah..” celetukan anak lelaki yang sebangku dengan Fero. “Jangan salah.. Eyang ini masih kuat. Mata Eyang masih sehat karena suka makan wortel. Ingatan Eyang masih tajam karena rajin membaca. Gigi Eyang masih kuat karena rajin gosok gigi. Dan tulang Eyang ini..” ucapnya sembari memamerkan otot bisep yang tak seberapa kekar, “masih sangat kuat karena tiap hari lari pagi.. Hehe..” “Eyang mau sekolah dimana?” penasaran Tania. “Ya di perguruan tinggi.. Eyang ingin jadi sarjana. Eyang mau belajar baanyak di sana supaya bisa lebih pandai lagi dalam mengajar kalian.. supaya bisa menceritakan lebih baanyak lagi cerita pada kalian..” “Horee…” ***
Sebuah Surat. Buku-buku yang dia pegang jatuh semua. Bolpoin yang baru dia ambil dari lantai juga sampai jatuh lagi. Dia begitu gugup dan terkejut. Tangannya gemetaran. Surat itu bukan satu dari tumpukan surat-surat wali murid yang mengizinkan putra putrinya absen. Bukan juga surat dari para murid yang pada banyak waktu selalu dia mintai untuk belajar menulis surat padanya. Surat kali itu lain. Dalam kegugupan dia berkaca-kaca. Dia tak pernah mempermasalahkan gaji tak sampai setengah juta yang selama ini dia gunakan untuk hidup pas-pasan bersama istrinya. Dia tak mempermasalahkan harus jalan kaki tiap hari ke sekolah karena tak sanggup beli kendaraan. Dia tak mempermasalahkan puluhan tahun pengabdiannya yang tak juga memberikannya pangkat. Dia tidak menginginkan diangkat menjadi PNS. Dia tidak ingin mendapat uang sertifikasi. Dia hanya ingin diberi kesempatan bersekolah lagi. Sejak lulus SMA, sudah empat puluh tahun dia mengajar. Mungkin kalau di sekolah negeri, sudah pensiun dia seharusnya. Tapi, bukannya para Paus Paulus itu berusia lebih dari delapan puluh lima tahun? Para presiden negara-negara maju itu bahkan sampai sembilan puluh tahun masih bisa memimpin? Dia masih bisa mempersembahkan banyak hal di usianya yang senja. Dia yakin itu. Dan surat itu membekukan lamunannya. Surat yang menyanggupi permintaannya. Surat yang menegaskan bahwa mulai dari bulan ini, rekeningnya akan mendapat kiriman sejumlah uang bulanan untuk biaya pendidikan sarjananya. Dia tak bermimpi sekolah di perguruan tinggi paling bonafit di negeri ini. Tak bermimpi untuk sekolah jauh ke Jerman apalagi Amerika dan Jepang. Dia hanya ingin menimba ilmu pendidikan agar bisa membuatnya menjadi guru yang lebih baik
untuk murid-muridnya. Agar murid-muridnya bisa meneruskan estafet untuk belajar setinggi-tingginya. Agar muridnya bisa ke luar negeri. Agar mereka bisa memenuhi kelas-kelas unggulan perguruan tinggi terbaik di seluruh negeri bahkan di seluruh dunia. Hanya itu. Dongeng-dongen tulisannya ternyata dilirik oleh Kementrian. Negeri ini ternyata tidak setakpeduli itu. Gerbang Universitas Terbuka sudah membayang di kepalanya. Gerbang kursus privat Bahasa Inggris dan Komputer yang sejak dulu dibayanginya. Dia tak sanggup berdiri dia bersujud di lantai berdampingan dengan buku-buku yang berserakan. Dia bersujud.. *** Wajah sumringah itu kini bertambah cerahnya. Dia topang nampan berisi nasi tumpeng itu ke kelas. Jatah untuk guru-guru sudah dia letakkan di kantor. Hari itu menjadi hari paling bahagia ketika istrinya memasakkan tumpeng khusus dan semua guru menyelamatinya. Akhirnya dia bisa jadi sarjana. Sampai akhirnya telepon itu berdering. *** Telepon itu terjatuh dari tangannya. Tangan-tangannya bergetar secara nyata. Dia terduduk lemas di antara guru-guru yang sedang menemani Fero. *** Dia belum bisa menghentikan keterkejutan hatinya. Barusaja dia mendapat kabar kalau laboratorium Andra di Tanjung Perak meledak. Salah satu korbannya adalah Andra. “Mas Andra tidak meninggalkan apa-apa untuk kami, Pak. Dia hanya bilang kalau proyeknya berhasil, kami akan bisa hidup enak di Jerman. Saya tidak menyangka akan begini.” Dia tak bisa menjawab tangisan istri Andra yang sedang didekap istrinya. “Orang tua saya ada di Sorong, Pak.. saya masih belum punya pekerjaan..”
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.. Seketika bayangan-bayangan Fadil melintas. Fadil kecil yang main kuda-kudaan di punggungnya. Fadil yang dia ajari menulis. Fadil yang dia bacakan dongen. Fadil yang tak bisa dia selamatkan dari kecelakaan maut itu. Tiba-tiba, entah mendapat kekuatan darimana, dia akhirnya berkata serak, “Sudah, jangan khawatirkan masalah itu. Saya yang akan biayai anakmu sekolah.. saya baru saja dapat rejeki.. akan kutabungkan biaya untuk sekolahkan Fero sampai sarjana.” Dalam tangisan banyak orang. Dia masih teringat wajah putranya dan Andra yang bermain bersama. Berat memang. Impian yang selama puluhan tahun dia tumpuk dan barusaja hendak tersampaikan, harus dia relakan. Toh, negeri ini nantinya akan ada di tangan anak-anak ini. Baginya, kehidupan sudah memberinya banyak pelajaran. Dia takkan berhenti belajar apapun, kapan pun, dimana pun dari panjangnya kehidupan. *** Pak Nahwan menuntun tangan Fero dalam perjalanan ke sekolah. “Kalau besar kamu ingin jadi apa, Le?” “Jadi guru.. seperti Eyang..” Azri Zakkiyah
Kemilau di Ibukota Kemilau itu membelah langit senja. Di tiap semunya, semburat jingga mewarnai paras mahakarya Tuhan. Dalam keributan klakson kendaraan yang memenuhi jalan. Gerakan tangan dan tubuh terus bergerak seiring musik dilantunkan. Irama musik terus menelusuri dunianya, membentuk pola-pola indah yang terbentuk dari gerakan tubuh wanita tua itu, yang sarat akan makna. Pakaian yang mencolok berwarna merah dengan manik-manik menghiasinya. Bibir merah yang terus tersenyum lirih. Selendang kuning yang mengikat pinggangnya terus ikut menari seiring gerakan tangannya. Yang tak mempedulikan sorot senduku yang terus menatapnya. Yang terus menunggunya hingga menyelesaikan tariannya. Dialah ibuku. Sang penari jalanan. Ibuku selalu berotasi di kehidupanku. Dari membuka mata hingga kembali terpejam. Ibuku selalu terpatri dibenak. Aku selalu mengingat dan memikirkannya. Hidup dikota Jakarta bukan berarti hidup enak. Ibukota tak seindah dalam angan dan Ibuku membuktikan itu. Dari embun menghiasi kaca hingga ayam pergi ke kandang, wanita tua itu terus berkarya dalam tariannya. Mata itu terus menyorot fokus seolah berbicara kepada pendengarnya. Tangan dan tubuhnya pun bergerak dengan anggunnya. Ini semua membuat
aku yang lelah bukan Ibuku. Membuatku terus mengeluh di tiap-tiap gerakan tariannya. Walau pada kenyataannya, aku hanya melihat dan tak melakukan apapun selain memandangi gerakan tariannya dan menunggunya selesai menari hingga mentari memancarkan kemilau senja. Namun tetap saja, melihat Ibu yang hanya beranjak dari satu tempat ke tempat lain menyusuri trotoar jalan diantara riakkan klakson yang memenuhi Ibukota sebagai penari jalanan. *** Hari ini berbeda dari biasanya, ketika sore menjelang. Ibu dan teman-teman pengiring tarian memberikan hasil jerih payah mereka kepada pemilik usaha tarian ini. Aku tahu ada keganjalan. Sosok wanita tambun berkebaya merah yang membangun usaha tarian ini berdiri di depan pintu rumahnya dengan tatapan sinis. “Kalian itu kerja yang bener! Kamu juga sebagai penari harusnya lebih gesit. Bagaimana bisa setoran semakin hari semakin berkurang.” Bentakan itu menyentakku. Dengan tubuh gemetar, aku yang sejak awal menundukkan kepala, memberanikan diri mengintip kearah wanita tambun itu. Wanita tambun berkebaya merah itu terus memarahi Ibuku dan para pengiringi tarian. Telunjuk berkuku cat merah itu terus menunjuk-menunjuk Ibuku. Bibir berlipstik merah itu tak membiarkan sedikitpun wanita kurus yang terus menunduk itu untuk menyela.
“Liat anakmu. Umurnya sudah delapan tahun tapi belum juga sekolah. Itu gara-gara Ibunya. Suami juga sudah gak ada.” Gerutu wanita tambun itu sambil melihat ke arahku dengan tatapan sinis.. Aku memang tidak punya Ayah dan aku juga belum sekolah. Tapi apa yang dikatakan wanita tambun itu sadar atau tidak perkataannya membuat tubuhku semakin bergetar. Bulir-bulir airmata mulai membasahi pipiku. *** Malam terang. Langit bersih tak tersaput awan. Bintang tumpah mengukir angkasa, membentuk ribuan formasi. Angin malam membelai rambut. Menyenangkan. Menelisik, bernyanyi di sela-sela kuping. Aku yang yang saat ini duduk di kursi pekarangan rumah memikirkan kembali kata-kata wanita tambun tadi sore. Mata ini kembali menitihkan airmata. Aku tak punya Ayah, benarbenar tak memilikinya. Tak sedikit tetangga yang mencela kekuranganku itu. Akupun belum pernah sekolah. Aku ingin sekolah. Tapi aku lebih tak tega dengan Ibu. Bisa makan saja aku sudah sangat bersyukur. Tubuhku tersentak kaget, begitu sebuah tangan kecil menyapu bulir airmata dipipiku pelan. Membuatku menatap nanar sosok dihadapanku. “Siska, kenapa nangis?” Mata beriris coklat itu menyorot sedih membuatku semakin menunduk. “Gak apa-apa Ningsih.” Ujarku pelan. Ningsih adalah temanku. Ningsih masih memiliki orang tua yang
lengkap. Ningsih juga sama sepertiku, belum bisa sekolah walaupun usianya sudah menginjak tujuh tahun. “ Pasti ada yang ngejek Siska karena gak punya Bapak ya?” Aku semakin menunduk mendengar ucapan Ningsih. Mataku tak bisa berbohong, aku kembali menangis. “Siska lihat Ningsih deh,” Dengan perlahan aku kembali mendongak dan mataku yang penuh airmata terbelalak syok melihat keadaan Ningsih. Pipi tembamnya yang biasa merona kini memucat dan lecet. Sedangkan lengan kirinya diperban namun tak menyembunyikan rembesan darah. Bahkan baju Ningsih terlihat robek dan lusuh. “Ningsih kenapa?” lirihku sedih dengan suara bergetar. “Tadi Ningsih dipukul Bapak karena gak mau mengemis di lampu merah. Kata Bapak, Ningsih itu gak berguna. Siska, Ningsih kasihan sama Ibu yang uangnya diambil terus sama Bapak, yang gak tahu uang jerih payah Ibu itu buat apa...” Tangisku pecah ketika melihat mata Ningsih mulai memerah. Usia Ningsih bahkan lebih muda dariku tapi hidupnya lebih pelik dan susah. “Jujur ya Siska, Ningsih gak pengen punya Bapak kalau gini caranya. Siska harus seneng. Bi Inun itu pendiam tapi dia baik banget. Setiap hari kasih Siska uang jajan, kasih Siska makan enak, juga kasih Ibu Ningsih lauk pauk yang enak. Ningsih jadi iri sama Siska deh.”
Aku masih menatap Ningsih yang terus berceloteh tentang kebaikan Ibuku walau matanya semakin memerah. Ningsih yang biasanya selalu menyembunyikan semuanya sendirian dan bertingkah semua baik-baik saja. Hari ini dia datang dengan keadaan lebam seperti ini. Ayahnya membuat Ningsih menjadi pribadi yang tertutup walau ceria. Mendengar cerita Ningsih membuatku sadar atas apa yang selaluku lupakkan. Yaitu ketulusan. “Ningsih makasih ya?” ujarku sambil mengelus puncak kepalanya lalu berlari pergi ke dalam rumah mungilku. Sosok wanita yang menatap langit dari jendela pun tertangkap retinaku. Membuatku berlari menerjang lalu memeluknya erat. Tubuh kurus itu tersentak. Tapi tak lama sebuah tangan telah mengelus punggungku. Membuatku tak kuasa menahan tangis. “Apa ada yang melukaimu?” aku menggeleng cepat. Membuat sepasang tangan mendorong tubuhku pelan hingga aku bersitatap dengan sorot tajam namun lembut itu. “Apa ini air mata kesedihan?” ujar Ibuku sambil mengusap pipiku. Dan aku mengangguk untuk menjawabnya. Ibuku bukan sosok wanita sejati, aku sadar itu. Ibu memiliki wajah kaku yang terlihat angkuh. Mata elangnya bersorot sangat tajam, dan didukung sifat
pendiamnya membuatku selalu merasa ada dinding kasat mata di antara kami. “Siska tahu, Ibu tidak pernah berpikir untuk menyesal memiliki anak semanis ini. Walaupun memang Ibu tidak bisa menjamin Siska tidak menyesal memiliki Ibu seperti ini. Tapi apapun yang Siska rasakan, Ibu selalu berharap Siska selalu bisa menjaga diri dan selalu bertaqwa kepada Allah. Ibu selalu berdoa Siska tidak bernasib seperti Ibu.” Ucap Ibuku. Ibuku orang yang baik. Ia orang yang selalu percaya kehadiran Tuhan disisinya. Hanya nasib buruk saja, yang memang tak pernah pandang bulu. “Siska tidak menyesal punya Ibu seperti Ibu. Walaupun Siska ingin sosok Ayah.” Aku bisa melihat senyum Ibu yang merekah. Beliau terlihat cantik dengan senyum itu. Ibuku bahkan belum memasuki umur setengah abad, namun beban yang dipikulnya serta ditambah senyumnya yang sangat mahal membuatnya terlihat lebih tua dari umur sebenarnya. “Ah, Siska pernah bilang ke Ibu kalau ingin bersekolah di sekolah negeri yang terkenal itukan? Kebetulan bulan depan di sana ada penerimaan siswa baru, jadi Siska akan Ibu daftarkan. Ibu sudah menabung dan uangnya sudah cukup untuk biaya sekolah beberapa tahun ke depan. Siska sekarang tidak perlu memikirkan masalah biaya. Ibu pasti bisa menyekolahkan Siska hingga cita-cita anak Ibu ini tercapai.” Aku sangat senang,
aku tidak menyangka Ibu tahu keinginanku dan menghargai harapanku. “Walaupun telambat, Ibu berharap Siska tidak kecewa.” Aku menggeleng lalu kembali memeluknya. Walau usiaku telah mencapai 8 tahun bukan berarti sudah terlambat bukan? Lagipula aku tetap tidak menyangka Ibu mewujudkan keinginanku untuk bisa bersekolah. Sekarang aku benar-benar paham, kerja keras Ibu selama ini hingga tak mengacuhkanku juga tak terlepas untukku sendiri. “Ibu, aku sayang padamu.” lirihku sambil mengeratkan pelukan. Anggun Zeptia Sari
Tuhan Ijinkan Aku Sekolah Hari sudah begitu siang. Matahari menyengatkan sinarnya yang panas. Hari ini entah kenapa aku begitu lesu. Pelajaran baru usai dan Bu Friska telah meninggalkan kelas. Tapi otakku masih berfikir keras atas apa yang baru disampaikan Bu Friska tadi. Bu Friska adalah guru BP, materi yang beliau berikan hari ini sedikit membuat hatiku nyeri. CITA-CITA DAN RENCANA MASA DEPAN. Bahkan mendengarkannya saja membuatku ngilu. Dengan kehidupanku yang seperti ini, untuk makan dan membayar sekolah saja ibuku harus nekad menjadi seorang TKW di luar negeri. Apalagi aku harus memimpikan cita-citaku yang begitu tinggi. Kuliah ke Paris sambil menikmati indahnya senja di Menara Eiffel. Terlalu muluk sebenarnya. Tapi memang itu yang selalu ada dibenakku. Aku hanya terduduk malas sambil menunggu jam pelajaran selanjutnya. Tiba-tiba Sinta, sahabatku duduk disampingku. “Hey, Tania! Kau dengar tadi yang disampaikan Bu Friska?”, tanyanya dengan sangat antusias. “Ya, aku mendengarnya”. Aku menjawab dengan malas-malasan. “Apa kau merencanakan sesuatu untuk masa depanmu?”, tanyaku pada Sinta karena sepertinya ia sedang ingin bercerita panjang lebar denganku atas impiannya yang entah apa.
“Ya, aku sedang mempersiapkannya mulai sekarang. Kau tahu Universitas Indonesia Di Jakarta itu?”. Aku hanya mengangguk tanda mengerti. “Aku akan memulai mimpiku dari sana. Mengambil jurusan hukum sampai S1 kemudian akan menyelesaikan gelar hingga S3 di luar negeri. Kelihatannya menyenangkan!” , jelasnya panjang lebar. Aku hanya bergumam pelan sambil memainkan pensil yang ada ditanganku. “Bagaimana denganmu?”. Pertanyaan yang singkat tapi sangat sulit untuk ku jawab terlontar dari mulut Sinta. Aku berfikir sejenak, memilih kata yang bisa menggambarkan keadaanku saat ini. “Aku belum tahu. Belum terfikir dibenakku”. Akhirnya hanya kalimat itu yang terucap olehku. Tanpa kusadari jari Sinta sudah menjepret dahiku. Ini adalah kebiasaannya yang sangat menyebalkan. “Kau ini bagaimana, kita ini sudah kelas tiga. Beberapa bulan lagi akan menghadapi Ujian Nasional. Dan kau! Kau sama sekali belum punya gambaran tentang masa depanmu?”. Seperti biasa Sinta selalu mengoceh saat sedang menyampaikan pendapat dan kritiknya atas diriku. Aku mengalihkan pandanganku kearah Sinta. Menatap matanya begitu tajam. Hatiku bergetar saat ini. “Aku tidak memiliki pena untuk sekedar menggambar mimpi-mimpiku. Tidak juga memiliki kertas untuk menampung semua imajinasiku. Apakah
aku harus bermimpi, padahal aku tahu kenyataan yang sebenarnya begitu menyakitkan”. Suaraku bergetar. Mataku mulai berkaca-kaca. “Aku tahu apa itu mimpi. Dan aku tahu rasanya saat terjatuh dari mimpi yang terlalu tinggi”, aku melanjutkan perkataanku dengan segala kekuatan untuk menahan air mataku agar tak jatuh. “Dari mana kau tahu, sedang kau belum pernah mencobanya. Belajarlah sedikit optimis Tania! Jangan menjadi orang yang pesimis”. Sinta memegang kedua tanganku erat-erat. Aku tertunduk meresapi nasehat darinya. Ia adalah satusatunya orang yang selalu mengerti tentangku. Tentang semua masalah yang sedang kualami. Yang selalu memberi nasehat dan motivasi untukku. Namun kali ini aku membantah nasehatnya. Bukankah kita harus melihat realita yang ada saat ini. Mimpi seperti itu selalu tersingkir oleh masalah-masalah kehidupanku yang begitu rumit. Dua jam pelajaran hanya kugunakan untuk melamun. Aku menatap sampul buku tulisku. Disitu terdapa Menara Eiffel yang berdiri dengan angkuhnya. Seakan tak mengijinkan aku untuk sekedar melihat keindahannya. Eiffel , ya aku ingin sekali kesana. Mengagumi setiap jengkal keindahannya. Mengelilingi setiap sudut kotanya. Aku ingin. Sangat ingin. Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi. Aku terkesiap kaget. Tak kusangka aku bisa melewatkan dua jam pelajaran ini
begitu saja. Tanpa menyimak apa yang tadi di ajarkan oleh Pak Wartono. Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Ya Tuhan kenapa aku bisa seperti ini. Kumasukkan semua bukuku kedalam tas. Aku harus segera pulang untuk menyiapkan makan siang ayahku sebelum ia pulang dari pekerjaannya. Ayahku hanyalah seorang kuli bangunan yang bekerja disebuah proyek. Gajinya hanya cukup untuk hidup kami sehari-hari. Maka itu ibuku pergi ke luar negeri untuk membiayai sekolahku. Tidak tega sebenarnya terus membebani mereka. Tapi apa yang bisa kulakukan selain bergantung pada mereka. Aku bertekad untuk memberitahu pada ayah bahwa aku ingin sekali kuliah. Semua makan siang yang seadanya telah kusiapkan di atas meja. Selang beberapa menit ayah telah pulang dengan motor bebeknya. Itu adalah satu-satunya harta kami. Aku mencium tangan ayah yang sudah kasar karena bekerja setiap hari. “Ayo makan!”, perintah ayah kepadaku. Akupun duduk dihadapan ayah. Memberikan nasi dan lauk di piringnya. Ayah memakannya begitu lahap. Keringat dan peluh masih tersisa didahinya. “Ayah... ayah aku ingin kuliah”. Ucapku tergagap dihadapan ayah. Seketika itu juga ayah menghentikan makannya. Wajahnya seakan murka, menatap mataku begitu tajam. “Kau fikir ayah ini orang kaya, bisa bayar biaya kuliah! Bisa lulus SMA saja kau seharusnya sudah bersyukur. Sekarang malah minta kuliah. Kontrak kerja ibu sebentar lagi sudah habis. Dia mati-matian kerja
keras untuk menuntaskan sekolahmu sampai SMA. Tidak kasihan kau pada ibu!”, nada suaranya meninggi. Aku tahu saat ini ayah sangat marah. Aku hanya tertunduk diam seribu bahasa. Aku memang sudah tahu jadinya akan seperti ini. Tapi aku tetap saja egois dengan keinginanku. Egois? Egoiskah aku? Egoiskah seseorang yang ingin melanjutkan sekolahnya. Mengapa sulit sekali bagiku. Ah sudahlah!!! Semenjak permintaanku kepada ayah yang membuatnya marah, aku tak berani lagi membicarakan tentang sekolah kepadanya. Sebelumnya aku juga telah memberanikan diri untuk berbicara kepada ibu. Tapi jawabannya sama saja. Hanya saja ibu lebih halus dalam mengatakan ketidakmampuannya itu. Membuatku tak tega harus terus menyusahkannya. Apalagi meminta sesuatu yang tak bisa diberikan olehnya. Seketika kurasa harapanku memang sudah benar-benar pupus. Inikah takdir Tuhan. Ingin sekali rasanya menyalahi aturannya dan melawan takdir. Tapi apalah dayaku. Apa yang bisa kulakukan selain menunggu dan bersabar. Menanti kelanjutan kisahku kedepan. Bersabar. Adakah kata yang lebih menyakitkan selain kata sabar. Akupun mungkin sudah siap untuk menjalankannya. *** Tiga bulan telah berlalu. Ujian Nasional telah kutempuh. Pengumuman tentang kelulusan dan nilai danum juga telah diberikan. Aku tidak pernah menyangka tiga tahun belajarku telah terbayarkan
dengan mendapat nilai tertinggi di sekolahku. Belajar adalah satu-satunya pelarianku dari semua masalah yang terus membelitku. Tapi aku masih sangat bingung. Apa yang akan kulakukan setelah ini. Aku seakan tak punya lagi tujuan hidup. Tiba-tiba Sinta menarik lenganku saat aku berjalan dari koridor hendak pulang kerumah. Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya saat ini. Dia menghiraukan semua pertanyaanku. Hingga kami tiba di sebuah warnet dekat dengan sekolah kami. “Kau mau mengajakku main game! Maaf tapi aku harus cepat pulang, aku tak bisa menemanimu!”, nada bicaraku sedikit tinggi. Sinta hanya tersenyum, ”Hey, apa kau belum bangun dari tidurmu. Hallo... Tania. Kita telah menempuh UN yang begitu menyebalkan itu dengan belajar mati-matian beberapa bulan ini. Dan sekarang apa? Kau mau melewatkannya begitu saja!”. Jarinya telah melesatkan jepretan khasnya di dahiku. “Aaaww... apanya yang apa? Aku tidak mengerti dengan maksudmu”, tanyaku sambil mengusap-usah dahiku kesakitan. Sinta menatap tajam mataku, “Kau harus mencari info tentang beasiswa di universitasuniversitas di Indonesia! Kalau perlu keluar negeri. Apa kau akan menyia-nyiakan belajarmu selama 12 tahun dari kecil hanya untuk berakhir menjadi TKW di luar negeri, hah!” Sinta masih memelototi mataku. Aku tertegun. Bahkan ayah ibuku saja sama sekali tak mendukungku menyangkut hal ini. Tapi sahabatku ini
benar-benar mengerti akan diriku dan selalu membuatku sadar akan satu hal. Bahwa kita tidak pernah mendahului takdir kita. Jadi, pesimis hanya akan membuatmu menjauhi takdir indah yang telah disiapkan Tuhan untukmu. Aku menyunggingkan senyum kecil di sudut bibirku. “Terima kasih”. Hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Sinta hanya membalas senyumanku sebelum matanya tertuju dan fokus pada monitor. Akupun ikut mencermati tampilan yang ada dimonitor itu. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolahku dengan jalan beasiswa yang akan ku ajukan ini. Ayah dan ibu yang kuberitahu tentang semua ini sontak kaget. Namun aku benar-benar tak bisa mundur. Semua email telah kukirimkan kepada beberapa kampuskampus sebagai permohonan beasiswa. Berharap ada satu kesempatan terbuka untukku. Sudah cukup keterpurukanku selama ini. Tak ingin lagi aku terjatuh. Sedikit geli juga bila kuingat. Saat mencari infoinfo mengenai beasiswa waktu itu aku sempat melihat info tentang beasiswa ke Paris. Aku memang sudah gila. Berani-beraninya aku memimpikan hal yang begitu tinggi. Yang sangat mustahil aku gapai. Kegilaanku ini berawal dari kekagumanku pada Menara Eiffel. Mimpi itu masih melekat dalam otakku. Dan gilanya lagi aku telah melayangkan email permohonan beasiswa kesana. Sangat mustahil memang. “Aaa...Tania kau sudah gila!”. Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Oh Tuhan kumohon, ijinkan aku sekolah.
Satu bulan semenjak aku mengirimkan emailemail permohonan beasiswa itu, namun belum ada satupun email balasan yang kuterima. Aku mulai putus harapan lagi. Ibu yang sudah pulang dari luar negeri dua minggu yang lalu terus memberiku dorongan. Aku sedikit lega. Setidaknya sekarang kedua orang tuaku berpihak padaku. Memberiku semangat untuk terus menunggu dan bersabar. Tapi aku hanyalah seorang manusia biasa. Yang memiliki emosi dan batas kesabaran. SABAR. Mengapa kata itu begitu sangat menjengkelkan bila dilakukan. “Astaga Tania! Jangan biarkan kesabaranmu hilang”, rutukku dalan hati. Senja tiba, menampakkan semburat merah diantara awan-awan yang indah. Aku sedang menyeruput teh hangat sambil bersantai di teras rumah, saat aku melihat email masuk di notebook kecil pemberian ibu saat pulang waktu itu. Sangat bermanfaat untukku saat ini. Aku terbelalak. Mataku seakan ingin loncat dari tempatnya. Mulutku menganga. Nafasku memburu begitu cepat. Masih tidak percaya dengan yang kubaca ini. Kuulang kembali membaca email yang masuk itu berkali-kali. Saat aku yakin dengan yang kubaca hatiku bergetar. Aku berteriak histeris memanggil ayah dan ibu yang kemudian lari tergopoh-gopoh kearahku. Mereka masih bingung dengan tingkahku. “Kau kenapa nak? Ada apa denganmu!”. Ibu sangat panik, begitu juga dengan ayah. “Ayah, Ibu....”, suaraku bergetar. “A-aku..aku
diterima di Universitas Paris!!!”. Suaraku lantang seolah menggema. “Betulkah itu nak?!”,. Ayah masih tidak percaya dengan ucapanku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum penuh rasa syukur. Seketika itu juga ayah dan ibu memelukku dengan sangat erat. Sungguh pelukan yang telah lama kurindukan. Tidak pernah kuduga sebelumnya. Berawal dari kegilaanku pada Menara Eiffel dan dari keisenganku mencoba mengajukan beasiswa di Paris, tak kusangka Tuhan mengabulkan dan mewujudkan mimpiku. Astaga mimpikah aku. Kalaupun ini mimpi aku tak mau bangun dari mimpi indah ini. Ya Tuhan, berapa kalikah aku harus bersujud padamu atas semua yang telah kau berikan padaku. Aku yang dulu pernah rapuh. Aku yang dulu pernah membenci takdirku sendiri. Tapi Kau berikan lebih dari apa yang kuminta. Benarkah ini yang dikatakan indah pada waktunya. Begitu indahnya rencanaMu. Takkan pernah kusia-siakan kesempatan yang telah kau buka lebar untukku ini. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari dimana aku benar-benar mewujudkan impianku yang terpendam. Setelah beberapa rangkaian tes yang telah kulalui, akhirnya aku lolos babak seleksi terakhir dan dinyatakan lulus. Untuk kemudian siap terbang menuju Paris. Sinta yang mendengar kabar ini sangat bahagia. Seperti mimpinya, ia kini kuliah di UI mengambil jurusan hukum karena ia bercita-cita ingin menjadi seorang jaksa. Sungguh cita-cita yang mulia.
Sedangkan aku akan mengambil jurusan ekonomi yang memang sangat aku gemari dari dulu. Semua baju dan keperluanku telah ibu siapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Ibu begitu senang dan bangga kepadaku, begitupun ayah. Akupun memeluk mereka berdua ditengah-tengah keramaian bandara. Tak ada satupun dari kami yang berbicara. Hanya mampu mengungkapkan semuanya dengan deraian air mata. Oh Tuhan, inikah buah dari kesabaran dan ketabahanku selama ini. Meski kadang aku nyaris terjatuh, kau berikan malaikat-malaikat penolong untuk membangkitkanku. Cita-citaku benar-benar terwujud. Aku melambaikan tanganku saat hendak pergi karena pesawat yang aku tumpangi akan segera terbang. “Sampai jumpa ayah, ibu. Aku akan segera pulang dengan penuh kebanggaan. PARIS AKU DATANG!!!!”. Selly Anggraeni
Dibalik Diamnya Seorang Ayah Fais terdiam, terpaku di depan cermin dan terus memandangi titik hitam di dalam dirinya. Titik yang menjadi cermin dari hatinya. Titik yang sampai kapan pun tidak akan pernah mampu untuk membohongi siapapun-matanya-. Air bening keluar dari titik hitam yang dia pandangi. Setetes, dua tetes, kemudian lebih banyak dan semakin banyak. Mulutnya terbungkam diam. Tangannya erat-erat mendekap tubuh yang mulai merasakan nyeri. Lemas, dan lama kelamaan terduduklah dia, bersandar pada tembok kamarnya yang mungkin sudah lebih rapuh dari pada hatinya. Fais teringat kata-kata ayahnya barusan yang membuat dia mengurung diri di dalam kamar. Sesaat setelah ayahnya pulang entah dari mana, Fais meminta uang lebih untuk keperluan sekolahnya. Ayahnya tak banyak bertanya, dan hanya menepuk-nepuk pundak Fais sambil berkata, “Sekolah bukanlah apa yang harus kamu kejar saat ini. Tapi ilmu hiduplah yang sepatutnya kamu cari. Ayah tidak tahu kapan ayah akan terus mampu menyekolahkan kamu. Maka carilah ilmu hidup dan berjalanlah dengan akal. Bukan dengan mimpi.” Kejadian seperti ini bukan hanya satu atau dua kali terjadi. Hampir setiap kali Fais membicarakan tentang sekolah ayahnya tidak mau peduli. Fais sadar betul, keluarganya bukanlah keluarga yang utuh. Bukan juga keluarga yang berkemampuan tinggi untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Ibunya sudah lama meninggalkan Fais berdua dengan ayahnya. Dan ayahnya pun hanyalah seorang penyapu jalanan yang memunguti sampah di sekitar patung Pataraksa, di pusat kota Kabupaten Sumber. Mungkin karena itulah Fais menjadi seorang yang mudah sekali mengurung diri di kamar. Sudah berkalikali ayahnya melarang Fais untuk bersekolah. Tapi asanya besar. Cita-citanya tinggi. Ingin sekali dimasukinya latar sekolah yang luas, yang tinggi, hingga tercapai keinginannya menjadi seorang yang ternama. Walau usianya masih empat belas tahun, Fais adalah anak yang selalu memikirkan masa depannya dengan penuh pertimbangan. Dia tidak ingin hidup miskin berkepanjangan. Jiwa remajanya sedang tumbuh sesubur-suburnya. Cita-citanya melambung tinggi, setinggi-tingginya. Hingga teruslah dia abaikan perkataan ayahnya yang selalu memintanya untuk berhenti sekolah. Suatu pagi Fais kehilangan buku pelajaran yang hendak dibawanya ke sekolah. Lantas dia bertanya kepada ayahnya dengan sangat pelan-pelan. “Ayah, lihat buku pelajaran Fais tidak?” “Kemarin ayah jual dipemulung. Uangnya sudah dibelikan bubur untuk sarapan. Pakai saja buku yang ada.” Ayahnya menjawab dengan ringan tanpa rasa bersalah.
Betapa ingin sekali dicacinya lelaki tua itu. ingin sekali ditendangnya kursi atau memecahkan gelas yang ada di depan matanya. Tapi ditahannya segala amarah. Dirapalnya kata-kata suci di dalam hatinya yang diajarkan gurunya di sekolah, astaghfirullah al-adzim. Bergegaslah dia untuk ke belakang. Menimba air wudhu menenangkan perasaannya. Ayahnya tidak lagi heran melihat kelakuan Fais yang seperti demikian. Sudah terlalu sering dan menjadi kebiasaan. Setelah tenang, Fais menemui ayahnya kembali. Duduk untuk sarapan bersama karena Fais tahu jika dia tidak sarapan maka akan kosonglah perutnya hingga siang bahkan sore nanti sampai ayahnya kembali pulang. Semangkuk bubur yang dibeli dari meloakkan buku pelajaran Fais semester lalu beserta buku pelajarannya hari ini yang ikut terjual menjadi penyambung hidupnya untuk satu pagi hari saja. Waktu menunjukkan pukul 06.40, setelah ayahnya pergi lebih dulu dan setelah Fais mencuci piring bekas sarapannya. Berangkatlah dia ke sekolah dengan mengayuh sepeda yang didapat dari kakeknya. Sepeda ini menjadi satu-satunya harta benda paling berharga yang dimiliki keluarga Fais untuk saat ini. Fais bersekolah dengan penuh semangat walau tanpa uang saku. Di sekolah, Fais bukanlah anak yang paling cerdas. Namun setidaknya dialah yang paling rajin dan memiliki antusias tinggi dalam belajar. Saat ini, Fais sekolah SMP yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Di
sekolah guru-guru Fais memperhatikannya karena ia sering menyendiri saat istirahat. Fais merasa minder dengan keadaannya. “Anak-anak, kumpulkan PR Bahasa Indonesia kalian setelah pelajaran ibu selesai.” Dengan berat hati dan menanggung rasa bersalah yang besar, Fais memberanikan diri untuk maju menghadap guru yang sedang mengajar. “Ibu maaf. Buku pelajaran saya hilang.” “Ya. Jam istirahat nanti kamu temui ibu di kantor.” “Baik, Bu.” Lonceng istirahat berbunyi. Bergetarlah hati dan pikiran Fais. Takut kalau-kalau dia dikeluarkan dari sekolah. Takut kalau-kalau orang tuanya harus menghadap ke sekolah atau barangkali dia akan ditegur untuk yang kesekian kali. Bukan hal yang aneh apabila Fais dipanggil guru yang mengajarnya. Bahkan sering kali dia ditegur dan dimarahi. Tapi hatinya kuat. Dan dilalui segalanya dengan rasa kesabaran. “Permisi, Ibu tadi memanggil saya.” “Ya. Fais, sehat kamu, Nak?” “Ya, Bu.” hatinya bertanya-tanya sambil digenggam erat jemarinya, Fais berdoa semoga dia tidak dihukum karena tidak mengumpulkan PR “Kenapa kamu tidak mengumpulkan PR yang ibu berikan? Ketinggalan ya?” “Maaf ibu, buku pelajarannya sudah dijual ayah untuk beli sarapan pagi ini.”
“Astaghirullah al-adzim. Ayah kamu kerja di mana, Nak?” “Saya tidak tahu, Bu. Pekerjaan ayah tidak jelas. Ayah pemungut sampah di jalanan.” “Kalau ibu tawari kamu pekerjaan mau? Ibu sudah dengar banyak cerita tentang kamu dari guru-guru lain.” “Kerja apa, Bu?” “Setelah pulang sekolah kamu boleh membantu di warung ibu di dekat patung Pataraksa. Disana ibu jualan siomay, Nak. Kamu bisa bantu antar piring dan ambil piring pembeli, atau nanti sambil cuci-cuci piring. Lumayan nanti ibu beri upah untuk uang jajan di sekolah. Tapi kamu harus meminta izin kepada orang tuamu.” “Terimakasih banyak, Bu. Nanti saya sampaikan kepada ayah saya.” Fais tersenyum sambil mencium tangan gurunya. Ada harapan baru yang muncul dari sana. Ada air jernih yang terpancar dari raut wajahnya. Fais berpikir bahwa kebutuhan sekolahnya akan dia penuhi sendiri tanpa harus meminta lagi kepada ayahnya. Setidaknya dia tidak harus berdebat lagi dengan orang tua yang dia miliki satu-satunya tentang biaya sekolah. Fais sangat gembira. Dia pulang dengan perasaan menggebu-gebu dan hendak cepat bertemu dengan ayahnya. Ingin diberi tahukannya perkataan gurunya tadi siang. Ingin segera dia mendapat izin dari ayahnya untuk bekerja paruh waktu. Sesampainya di rumah disiapkannya segelas teh
hangat untuk ayahnya. Ditungguinya ayahnya dengan sabar dan akhirnya ayahnya pulang juga. Lelah sekali raut wajah sang ayah karena seharian pergi entah kemana. Diusapnya keringat ayahnya dengan sapu tangan bekas peninggalan ibunya dulu. Ayahnya sudah tahu apa yang ada dipikiran Fais. Paling-paling akan meminta sesuatu atau hal-hal semacamnya. Ayahnya cuek dan hanya mengipasngipaskan handuk bekas keringat di lehernya. “Ayah, Fais tadi dipanggil guru gara-gara ga ngumpulin PR.” “Jadi?” “Terus Fais ditawarkan membantu ibu guru berjualan siomay di dekat patung Pataraksa.” “Kamu jawab apa?” “Kata gurunya suruh tanya ayah dulu.” “Hem, besok jangan sekolah dulu. Nanti ayah beri tahu jawabannya.” “Ayah, kenapa saya selalu dilarang untuk sekolah?” “Hem, besok ayah beri tahu jawabannya.” Ingin rasanya Fais marah dan memberontak terhadap ayahnya. Tapi rasa hormatnya masih kuat tertanam. Hanya helaan napas yang menemaninya untuk tetap bersabar. Dicobanya kembali untuk bersikap biasa saja dan tersenyum tenang sambil menganggukanggukkan kepala. Mungkin untuk sehari saja tidak akan menjadi masalah bila harus terpaksa tidak masuk
sekolah. Mungkin hanya sekali saja dia akan menuruti kata-kata ayahnya. Mungkin akan ditemukannya sebuah jawaban dari apa yang selama ini dia tanyakan pada dirinya sendiri. Mungkin pun dia akan mengerti alasan ayahnya yang selalu melarang untuk pergi sekolah selama ini dan berbagai kemungkinan lain. Malam ini Fais terlelap dengan perasaan yang campur aduk tidak karuan. Malam yang serasa sangat panjang yang harus dia kalahkan dengan akal logikanya. Katanya orang tua tidak akan mungkin merenggut kebahagiaan dari anaknya. Tapi Fais tidak percaya dengan perkataan yang semacam itu. Ayahnya tidak pernah menuruti kemauan Fais selama ini. Dicobanya kembali untuk menerima semua kenyataan ini. Diingatnya kata-kata dari mulut ibunya yang sangat dia kasihi. Sebelum berangkat untuk pulang ke Rahmatullah, saat Fais masih berumur muda belia. Lima tahun usianya saat itu. Masih diingatnya dengan jelas perkataan ibunya. Walau sulit untuk dimengerti seorang bocah tapi sungguh hanya kalimat itulah yang membuatnya sabar menghadapi ayahnya. “Ayah sangat menyayangimu. Sekalipun dia akan tidak peduli terhadapmu, dialah yang akan menyayangimu lebih dari siapapun. Dialah yang akan menuntunmu pada jalan kebahagiaan. Dialah sumber kehidupanmu. Maka tanamkanlah rasa hormatmu yang setinggi-tingginya untuk ayah.” Pagi-pagi benar Fais dan ayahnya bangun untuk bersiap-siap pergi. Fais tidak tahu kemana ayahnya akan
mengajaknya pergi. Dengan tanpa ada acara untuk sarapan terlebih dahulu, merek berdua berangkat. Menyusuri jalanan sambil membawa-bawa gerobak sampah. Memunguti satu persatu sampah yang mereka temui. Dari pertigaan jalan mereka berjalan lurus terus berkeliling di pinggiran Pasar Sumber. Sebenarnya pekerjaan ayahnya termasuk pekerjaan yang mulia. Baru kali ini Fais melihat ayahnya bekerja. Baru kali ini Fais melihat ayahnya begitu ramah kepada orang-orang di sekelilingnya. Baru kali ini Fais melihat keringat ayahnya bercucuran demi mendapatkan upah yang tidak seberapa. Barulah dia mengerti perkataan ibunya yang selama ini tidak dia pahami. Dari arah pasar, diseberanginya lampu merah jalanan yang padat lalulintas, teruslah mereka berjalan ke Utara. Fais mengerti ke mana ayahnya akan mengajaknya pergi. Tidak jauh dari keramaian pasar, masuklah mereka ke tempat yang sepi dan hening. Suasana pagi yang lembab terasa dingin. “Assalamualaikum yaa ahli kubur.” ucap ayahnya ketika memasuki daerah pemakaman. Pemakaman disini tidak begitu bagus, dibiarkan begitu saja tanpa terurus. Pohon-pohon tinggi dan rimbun membuat pemakaman ini berkesan menyeramkan. Di tempat inilah ibu Fais tertidur untuk beristirahat selamanya. Mereka duduk di dekat batu nisan. Tertulis jelas nama ibunda Fais terkasih di atas batu nisan yang mulai lapuk. “NITA Binti NOTO wafat: 2
Februari 2008.” Ayahnya membacakan doa, dengan berlinangan air mata Fais mengamini doa-doa ayahnya. “Nita istriku. Hari ini adalah tepat tujuh tahun kamu pergi meninggalkan kami berdua. Saya berdoa semoga engkau sudah bertemu Tuhan dan menyampaikan segala doa-doa saya untuk kelangsungan hidup anak kita. Semoga engkau bahagia dan tenang hidup di alam yang berbeda dengan saya. Saya bersyukur, kamu tidak perlu menderita berkepanjangan. Nita, hari ini anakmu saya bawa ketempat kau tertidur. Dialah yang selama ini kamu jadikan alasan untuk kehidupan kita. Dialah yang selama ini menjadi alasan saya untuk tetap semangat dalam bekerja. Tapi hari ini dia meminta saya untuk memberinya sesuatu yang sulit. Dia ingin sekolah sampai setinggitingginya. Apa yang bisa saya lakukan Nita? Saya takut tidak bisa menghidupinya hingga saya mati. Saya takut dia akan meninggalkan saya jika dia sudah sukses nanti. Tapi sekarang saya sadar. Saya tidak punya harta warisan yang baik selain cinta kasih yang selama ini tidak pernah saya nampakkan. Doakan saya, Nita, semoga saya mampu menyekolahkannya.” Fais tersenyum haru sambil menangis tak karuan. Akhirnya ayah mengizinkanya untuk sekolah. Akhirnya dia mengerti mengapa ayahnya tak pernah mengizinkannya untuk pergi. Ayahnya bukanlah orang yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah formal. Wajar bila dia takut tanpa alasan. Tapi hari ini dia tahu segalanya. Bertambahlah hormat Fais terhadap ayahnya.
Ayahnya terus berdiri. Memeluk Fais dan menepuknepuk bahunya. Dari dalam gerobak sampah, ayahnya mengambil sebuah plastik hitam diberikanlah kepada Fais. Fais menangis sambil memeluk ayahnya. “Terimakasih, Ayah. Buku ini akan saya rawat dengan baik. Percayalah, doakan untuk kesuksesan saya. Saya akan membuat hidup kita lebih layak. Percayalah saya tidak akan meninggalkan ayah.” Fais dan ayahnya beriringan meninggalkan pekuburan itu. Matahari yang bangkit dicakrawala menghangatkan hati Fais. Safira Anggriani
Sekolahlah, Nak! “Hore hari Senin, hore hari Senin....,” ucap bocah ingusan itu berulang-ulang. “Ya ampun, Ikha, kamu kan belum cukup umur, Nak,” ucap ibunya sambil menggendongnya masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Aiman menaiki sepeda motor dengan pakaian putih-merahnya. Ayahnya sudah siap untuk memacu gas menuju ke sekolah Aiman kemudian ke kantornya. “Ibu, Aiman pergi dulu, ya! Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” sahut ibunya dari dalam rumah. Samar-samar terdengar karena Ikha mulai menangis sekencang-kencangnya. “Ikha, bang Aiman ke sekolah, Ikha belum bisa masuk sekolah,” kata ibunya sambil mencoba menenangkan raungan anak berusia tiga tahunnya itu. “Ikha mau sekolah, Bu. Ikha mau sekolah. Sekolah... sekolah... sekolah...,” teriaknya seperti seorang rakyat yang menuntut keadilan. “Iya, nanti kalau Ikha sudah besar, Ikha sekolah seperti abang, ya!” kata ibunya kembali menenangkan anak itu. Setelah hampir lima belas menit meraung-raung menuntut keinginannya terpenuhi, gadis itu diam juga. Matanya masih basah beruraia air mata. Sesekali suara napasnya masih terisak, hiks hiks hiks... “Nanti, kalau Ikha sudah besar, Ikha sekolah, Ikha masuk Playgroup, Ikha masuk TK, kemudian SD seperti bang Aiman, ya!” “Mmmm...” gumamnya sambil mengangguk pelan. Hari-hari memang begitu. Hampir setiap hari bocah kecil yang belum tahu apa-apa itu menunut agar dia disekolahkan sama sepeti abangnya. Dia tak mau
merasa lebih rendah dari abangnya, harus sama atau bahkan terkadang lebih baik. Namun bagaimana pun, dia belum cukup umur untuk masuk ke sekolah dasar. Tahun depan, ibunya berencana menyekolahkannya di Playgroup dekat rumah mereka. Biayanya cukup murah, pas di kantong. Rencana itu juga sudah didiskusikannya dengan suaminya, dan suaminya menyetujuinya. Sehari-hari suaminya bekerja di kantor pos. Penghasilannya tidak terlalu banyak, namun cukuplah untuk membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kadang-kadang, kalau ada lebihnya uang itu ditabung untuk menutupi kebutuhan mendadak. *** Tiga tahun telah berlalu. Kini usia Ikha 6 tahun. Sudah selayaknya dia didaftarkan di Sekolah Dasar. Namun dia belum pernah menyandang status sebagai siswa di mana pun—tidak Playgroup, tidak TK, tidak SD pula di tahun itu. Setiap kali Ikha menuntut haknya untuk bersekolah, ayah dan ibunya selalu berkata “tahun depan ya, Nak, tunggu umur kamu sudah cukup, tunggu kamu sudah besar.” Tapi itu tak memuaskan perasaannya yang sangat ingin merasakan apa yang sering mereka sebut dengan sekolah itu. Sejak kecil Ikha sudah tahu kalau hari Senin adalah hari pertama sekolah. Orang-orang mengenakan seragam putih-merah dengan topi dan dasi yang lengkap, juga kaus kaki putih dan sepatu hitam yang menghiasi tubuh bagian bawah. Tapi kedua orangtuanya masih enggan untuk menyekolahkannya. Kenapa? Hari itu dia kembali menuntut. Aiman sudah kelas 3 SD. Ada satu stel pakaiannya ketika kelas 1 yang sudah tak lagi muat. Diam-diam, Ikha mengambil baju itu di lemari yang hanya setinggi pinggang orang dewasa, kebetulan pula lemari itu tidak ditutup. Ikha sering
melihat ibunya meletakkan baju abangnya di lemari itu. Maka hari itu dia mengambilnya dan mengenakannya. “Ibu,” panggilnya pada ibunya yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka. “Ya ampun, Ikha!” spontan wanita itu kaget bukan kepalang. Gadis kecilnya telah mengenakan pakaian putih-merah yang biasa dikenakan abangnya. Dia mengenakan celana panjang merah milik Aiman. “Ikha ingin sekolah, Bu.” Kini wanita itu berlinangan air mata. Sebuah kesalutan ketika melihat anaknya sangat ingin sekolah, tapi dia tak pernah mewujudkan keinginan anak bungsunya itu. Dia meletakkan sendok yang ada di tangannya, menghampiri gadis kecil itu dan mendekapnya hangat. “Ibu sayang Ikha, kan?” ucap gadis kecil itu dengan penuh pengharapan. “Iya, Ikha. Iya, ibu sayang Ikha.” “Ayah sayang Ikha juga kan, Bu?” “Iya, ayah juga sayang Ikha, bang Aiman juga sayang Ikha. Semua sayang Ikha,” jawabnya dengan air mata yang menggenangi kelopak matanya yang kemudian jatuh dan mengaliri hamparan kering di pipinya, teranaksungaikan hingga jatuh menghempas bumi. “Tapi kenapa Ikha tidak boleh sekolah, Bu?” Ibunya hanya mencoba tersenyum, meski itu palsu. “Ibu kenapa menangis?” tanya anak itu. Kini air matanya juga mulai mengalir deras dari mata kecil wajah tak berdosa itu. Tangan ibunya mencoba menghapus air mata itu dengan telapak jempolnya, menyekanya berkalikali agar tak tampak air mata di pelupuk mata tak berdosa itu. “Ti...tidak, Nak. Ibu tidak menangis.” “Ibu jangan buat Ikha sedih.”
Ayahnya baru keluar dari kamar menuju dapur untuk sarapan seperti biasa. Betapa terkejutnya lelaki itu ketika Ikha mengenakan pakaian sekolah milik abangnya. Memang terlihat tidak cocok, tapi semangat itu membuatnya terharu. *** Enam tahun yang lalu.... “Maaf, Bu, bayi ibu lahir dengan keadaan tak sempurna.” “Maksudnya, Dokter? Kenapa anak saya, Dok? Kenapa anak saya?” “Salah satu kakinya bengkok, sepertinya dia sempat terhempas ketika di dalam kandungan. Mungkin ibu pernah terjatuh selama masa kehamilan. Hal ini menyebabkan anak ibu tidak bisa berjalan dengan normal seperti anak-anak pada umumnya.” Ibu itu mencoba mengingat-ingat yang terjadi selama masa kehamilannya. Dan ternyata benar, dia pernah jatuh dari tangga ruang kerjanya. Saat itu dia hamil enam bulan dan sempat mengalami pendarahan. Dokter bilang kondisinya tak apa, tapi.... Sejak saat itu ibunya berhenti bekerja. Sejak saat itu pula ayahnya menjadi tulang punggung keluarga sendirian. Usia Aiman baru tiga tahun dan belum banyak mengerti. Saat itulah ibunya diminta untuk lebih mengurus anak-anak saja daripada mengurus karirnya. *** Gadis kecil itu masih memasang wajah penuh harapnya. Kakinya yang bengkok tampak membuat tubuhnya tinggi sebelah. Namun dia tak mengerti apaapa. Sayang, kedua orangtuanya terus menunda untuk menyekolahkannya karena malu dan takut pula suatu saat dia menjadi bahan ejekan bagi teman-temannya.
Setiap kali orangtuanya bertanya, “kenapa mau sekolah, Nak?” dia akan menjawab dengan sederhana, “Ikha ingin menjadi orang yang berguna nanti, Bu, Yah.” Pagi itu menjadi pagi yang mengharukan. Kedua orangtuanya memeluk erat gadis kecil itu. Air mata tak terbendung lagi. Aiman telah siap untuk berangkat sekolah. Dia ingin sarapan dulu. Saat itulah dilihatnya kedua orangtuanya memeluk erat Ikha yang penuh harap. Air matanya pun tak tertahankan. Suasana pagi itu menjadi semakin haru. Keluarga itu seperti satu tubuh. Beberapa jenak, dekapan hangat itu lepas. Hari sudah pukul 07.05. Aiman dan ayahnya bersiap untuk berangkat. Mereka sarapan dulu. Ikha meraih langkahnya menuju meja makan dengan pincang. Suap demi suap menghabiskan nasi goreng yang terhidang di piring mereka masing-masing. Kini tiba saatnya mereka berangkat, namun ada satu yang tinggal hari ini.... “Ibu, Ikha ingin sekolah....” Ibunya membalas senyum sambil mempersilakan dia pergi bersama ayah dan abangnya. Langkahnya yang tertatih-tatih kini berwajah tawa. Hari itu dia didaftarkan di sekolah. “Sekolahlah, Nak, agar suatu saat kau jadi orang berguna....” Mareza Sutan A
Sepercik Asa Di Balik Baju Batik Seorang gadis mungil biasa, tak begitu brilian dan juga rupawan. Hujan batu yang kian mendera membuatnya sempat goyah. Namun setetes embun mengalir dari sepercik lisan bersahaja bak penyejuk dalam gurun yang tandus. Jemari putih itu perlahan mengusap keringat yang membuat poninya sedikit terangkat. Matanya memerah karena membendung awan berair, napasnya mulai tak teratur dan suaranya lirih. Kini ia hanya bisa sesenggukan dengan kaki yang terus mengayuh pedal sepeda dengan sekuat tenaga. “Ibuuuu,” awan berair yang sedari tadi Asti tahan kini mengalir deras dalam pangkuan ibunya. “Ada apa, Nak?” perempuan paruh baya itu kaget melihat anaknya yang selalu tegar kini semangatnya layu. “Asti gak mau sekolah lagi, Bu!” ucapnya parau. “Lho kenapa?” Dahi ibu mengernyit heran. “Ibu benar sekolah itu cuma buat orang kaya saja! Aku cape selalu diledekin dan dihina sama temen. Aku …” Ibu memotong ucapan Asti dengan mengelus lembut pundaknya yang mulai berguncang dengan isak tangis. “Ibu tak bermaksud mematahkan cita-cita mu, Nak” ucapnya,”tapi Ibu hanya tidak mau kamu merasa sakit dan terjatuh seperti ini karena Ibu tahu sangat sulit untuk tetap tegar berdiri di tengah badai cercaan orang lain. Ibu hanya tak ingin kamu sakit hati,Nak” “Tapi bukannya anak Bapak ini adalah gadis yang tangguh!” suara Bapak terasa menggema dari balik pintu. “Bapak …,” Dengan wajah yang berair Asti menoleh memastikan pemilik suara itu.
“Kamu mau menyerah saja,Nak? Bagaimana dengan mimpimu menjadi seorang guru itu! Percayalah semua butuh proses yang ‘tak selalu manis,” nasehat Bapak mengusap air mata anaknya. Jemari tangan penuh kepalan itu menyentuh pipi mulus anaknya membuat sebuah ukiran yang memperjelas lesung pipit di pipi anaknya. Asti tersenyum merasa tercerah kembali. *** “Pak, kita itu harus tahu diri! Orang kerja cuma serabutan mau nyekolahin anaknya tinggi-tinggi!” suara Ibu terdengar menggema dari balik pintu kamar. “Jadi orang harus optimis,Bu” usul Bapak,” ini semua demi cita-cita anak kita,” “Pak, cita-cita itu cuma buat orang kaya! Ibu gak tega anak kita jadi bahan cemoohan temannya gara-gara sudah hampir sebulan ini gak pernah pake baju seragam batik. Sudahlah … jangan terlalu memberi harapan yang tak mungkin dicapai!” sergah Ibu nadanya meninggi. “Jangan keras-keras toh,Bu” ucap Bapak sedikit berbisik,”kasihan kalo anak kita dengar. Sudahlah … Ibu tak usah risau,” “Tidak usah risau bagaimana, Pak? Mau dengan cara apa Bapak nyari uang itu?! Ngejual padi lagi? Terus kita mau makan apa lagi setelah itu! Persediaan kita tinggal sedikit,: omel Ibu dengan nada yang semakin meninggi. Tanpa sengaja Asti mendengar percakapan orang tuanya itu. Di bawah remang-remang lampu yang tak cukup terang gadis mungil ini bersimpuh menahan embun yang mulai bermuara di kelopak matanya. “Ibu, Bapak … maaf aku hanya menyusahkan kalian selama ini.” Gumamnya lirih dengan sesenggukan menahan tangis. ***
Pagi itu … udara begitu dingin. Hembusan angin terasa menusuk menyelusup ke dalam pori-pori. Matahari masih enggan untuk memeluk bumi dengan erat, sinarnya tampak malu-malu menampilkan kilau emasnya dari permukaan bumi. Hari memang masih gelap. Jalan setapak tampak remang-remang dengan sedikit cahaya. Tiba-tiba suara jeritan mengusik dalam kegelapan itu, mencekam membuat Asti dan Ibunya kalut. “Nak, Bapakmu kena patukan ular barusan di sawah!” ucap Ibu dengan napas yang tak teratur. Asti segera berlari menghampiri Bapaknya tanpa memperdulikan ember-ember kosong yang sedang ia isi air. Terpaksa kini uang untuk membayar seragam batik beralih fungsi untuk membayar pengobatan dokter . *** Saat di sekolah, ia hanya mampu menatap lekat teman sebayanya yang dengan riang memakai seragam baru. Berseliwiran aroma khas dari pakaian baru jadi itu menusuk penciumannya. “As … hari gini masih pake seragam putih biru?! Inget jadwal dong, dasar gak tau malu!” celoteh Dito tepat di depannya. Asti hanya diam menutup mulutnya serapat mungkin, ia juga berusaha menutup telinga dari sekian banyak teman sebayanya yang mencemooh dengan berbagai adegan. Sosok Bapaknya lah yang selalu memberi sandaran bagi dirinya dikala terjatuh dan merasa terbuang. “Bertahanlah, Nak … Bapak tahu anakku ini adalah gadis yang tangguh. Percayalah proses yang pahit dan melelahkan akan mengantarmu menuju sukses,” dalam diam Asti ingat nasehat Bapaknya di rumah sore
kemarin. Tanpa permisi setitik air mata menghiasi pipi tembemnya. *** Semua murid berhamburan keluar kelas saat bel terakhir berbunyi karena itu berarti jam pelajaran berakhir dan waktunya pulang. Sedangkan Asti memang sudah biasa pulang paling akhir, ia biasanya sengaja sholat dzuhur di mushola sekolah karena perjalanan menuju rumah membutuhkan waktu yang cukup lama hingga memasuki waktu ashar. Tiba-tiba … seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang bertengger dibatang hidungnya keluar dari koridor sekolah membawa setumpuk baju batik dengan tergesa-gesa. Hingga tak sadar ia menjatuhkan baju batik yg di bawanya. Baju itu tergeletak tepat di hadapan Asti, sontak hal itu membuat mata gadis mungil ini terbelalak kaget bukan kepalang. “Tunggu Pak, bajunya ada yang jatuh!” ingin rasanya Asti berteriak seperti itu namun gelora dalam hatinya membuncah, nafsu, amarah, kesal dan rasa ingin cepat memiliki itu hadir dengan spontan dibenaknya membuat sepotong kalimat itu enggan terucap. “Ah … bagaimana jika baju ini aku ambil saja, toh Pak guru tidak akan merasa kehilangan jika hanya satu biji,” usul nafsunya dalam hati. Gadis berambut panjang itu beberapa kali lirik kanan dan kiri mencoba untuk meraba situasi. Sekolah tampak sudah sepi hanya ada beberapa orang yang sedang kumpulan osis terdengar bergurau dari kejauhan. Asti dengan tangkas memasukkan baju batik yang baru saja ia temukan ke dalam tasnya. Tanpa menoleh lagi ia segera menghampiri sepedanya lalu melaju dengan kayuhan secepat mungkin. “Aku ingin baju ini!” semangatnya dalam hati membara.
Namun … tiba tiba bayangan akan sosok orang tuanya memenuhi pikiran dan hati gadis ini. Sontak membuat kakinya berhenti mengayuh pedal. Ia memarkirkan sepedanya di pinggir trotoar dan duduk termenung menatap kosong jalanan yang begitu terik menyengat. “Ibu dan Bapak pasti sangat kecewa jika mereka tahu anaknya mencuri,” desah Asti lirih. Air mata menetes tanpa permisi di pipi. “Guru itu ‘kan teladan untuk muridnya. Apa pantas seorang teladan mencuri,” ucap Asti mengingat impiannya selama ini,”ah … aku tak bisa seperti ini!” Tanpa menunggu lagi gadis bermata bulat ini memutar balik arah menuju sekolah. Ia bermaksud akan mengembalikan baju batik yang bukan haknya. Begitu sampai di sekolah gadis ini langsung berlari menuju ruang kesiswaan tanpa menoleh lagi. “Maaf, Pak!” ucap Asti dengan napas yang memburu,”ini baju batiknya ada yang jatuh,” “Lho … kapan ya? Dimana jatuhnya?” tanya Pak Harun dengan kacamata yang masih setengah menggantung dibatang hidungnya. “Barusan,Pak. Sepulang sekolah disekitar koridor dekat teras mushola,” jawab Asti dengan napas yang mulai teratur. “Baiklah kalo begitu. Terimakasih ya Asti,” ucap Pak Harun dengan mata yang memicing membaca papan nama yang tertempel dibaju muridnya ini. “Iya, Pak sama-sama,” ucap Asti,”Pak sebelumnya aku mau minta maaf,” “Lho … ada apa?” Pak Harun nampak mengernyitkan dahinya. “Sebelum ini aku sempat berniat untuk mencuri baju batik itu. Bahkan aku telah memasukkannya ke
dalam tas,” hati-hati Asti berucap,”mohon maafkan aku,Pak” Pak Harun tersenyum mendengar itu dari murid kecilnya ini. “Sejujurnya, Bapak sudah mengetahui hal itu karena Bapak sempat berputar balik untuk mencari baju ini dan pada saat itu kamu sedang memasukkannya ke dalam tas,” ujarnya. Asti tertegun mendengar semua itu. Rona wajahnya memerah dan matanya mulai terasa hangat membendung rasa bersalah. Lidahnya seolah kelu tak dapat berucap apapun. Perlahan kepalanya melakukan gerakan menunduk. “Tenanglah, Bapak sudah memaafkanmu,” ucap Pak Harun menatap muridnya lekat. Perlahan Asti mengangkat wajahnya kembali memastikan sosok guru di depannya. “Bapak tahu kenapa kamu berniat mencuri baju ini dan Bapak sangat bangga padamu karena telah berani jujur dengan kesadaran sendiri mengakui bahwa hal itu salah,” ucap Pak Harun ramah,”ambil saja baju ini untukmu. Bapak tahu kamu sangat membutuhkan baju batik ini,” “Tapi Pak, aku belum membayar uangnya sedikitpun,” ujar Asti apa adanya. Lagi-lagi Pak Harun tersenyum mendengar ucapan muridnya yang begitu spontan. “Bapak yang akan membayarkannya untukmu,” ucap Pak Harun serius dan tangan yang menyodorkan baju itu pada Asti. “Terimakasih banyak, Pak” lirih Asti berucap,”suatu saat nanti aku ingin menjadi guru seperti Bapak.” Tangan gadis ini meraih baju batik yang masih terbungkus.
“Teruslah belajar, Nak! Biaya bukanlah titik pemberhentian untuk tidak menuntut ilmu. Kamu adalah tunas bangsa yang akan membangun negara ini. Sebagai seorang guru Bapak pasti mendo’akan muridnya untuk meraih mimpi menjadi sukses! “ pesan Pak Harun. “Sosokmu akan terus hidup dalam do’aku sebagai guru bersahaja,Pak.” Asti menyalami tangan gurunya yang mulai keriput dengan khidmat hingga air mata haru menetes di atasnya. Asti Fadillah
Nilam Hendak ke Rantau “Aduh !” aku terpekik sengau. Benci aku pada kawanan kucing kampung itu.Sedikit – sedikit menggigit, sedikit – sedikit merajuk.Sesekali mereka menggetakku dengan ngeongannya yang dibuat seolah – olah mereka adalah singa rimba.Beberapa diantara mereka bahkan menodongkan cakar – cakar mereka yang setajam golok yang biasanya dipakai ayahku menyembelih hewan kurban.Padahal aku hanya ingin membawa suasana hangat bagi mereka.Aku hanya ingin mencari ketentraman hati. Eh, tapi nampaknya mereka tidak menyambut ramah kehadiranku. Salah satu diantara kucing – kucing kampung itu tampak sedikit lebih tenang dibanding kawan – kawannya yang lain. Bulunya putih bercampur oranye kecoklatan seperti kue bolu yang biasa dimasak budheku saat Hari Raya. Mentari senja sudah hampir condong ke peraduannya saat aku berjalan pulang melewati jalanan sawah yang subur.Rumahku berada di dekat sawah dan perladangan yang luas yang dilewati rel kereta tua di pelosok Kota Kediri.Desa Rembang namanya.Desa yang indah nian dengan alam sejuk yang selalu ramah pada masyarakatnya. “Assalamualaikum” sapaku pada seisi rumah. Nampak keluargaku yang sedang sibuk bersiap pergi sholat berjamaah ke surau Pak Haji Ali di seberang
rumahku. “Wa’alaikumsalam, nduk.Wis endang siap – siap jamaah Maghrib” kata Mbah Ti. “inggih, mbah. Mbah duluan aja ke Musholla nya Pak Ali” jawabku seraya pergi mengambil air wudhu. Namaku Nilam. Lengkapnya Nilam Saraswati. Di kampungku Rembang ini, aku tinggal dengan nenekku yang akrab ku panggil Mbah Ti,Budhe ku Budhe Amah, Pakdhe ku yaitu Pakdhe Jiwo, dan anak Pakdhe Jiwo dan Budhe Amah yang kupanggil Mas Panji.Aku tinggal disini bersama Mbah Ti karena ayah dan ibuku telah pergi ke surga disaat umurku masih 8 tahun. Dari umur 8 tahun ayah dan ibu menitipkan aku disini bersama Mbah Ti.Keluargaku menganggap sebelum aku menuntaskan pendidikan formalku, aku harus mengemban ilmu agama langsung dari akarnya, yaitu nenekku sendiri. Mbah Ti salah seorang perempuan yang dianggap sebagai pemuka agama sekaligus tetua di kampung Rembang ini.Maka dari itu aku dikirim kemari untuk belajar ilmu akhirat dengan baik disini. Ya, paling tidak aku merasa bahagia disini.Aku selalu berkumpul dengan keluargaku.Aku senang tiap sore dapat mengajari anak – anak kampungku yang belum bisa membaca, menulis, mengaji dll.Aku senang tiap hari bisa belajar, mengaji, bermain, dan bercanda dengan kakak sepupuku, Mas Panji.Aku senang tiap pagi kursus memasak masakan khas Kediri dengan Budhe Amah.Aku senang tiap malam menonton pertandingan bola di layar tancap di balai desa dengan Pakdhe Jiwo
dan Mas Panji.Aku senang tiap waktu luang Mbah Ti selalu mendongengiku dengan kisah – kisah islami para nabi dan hikayat – hikayat kehidupan kuno. Tapi kadang aku suka membayangkan hal – hal menakjubkan andaikan aku dapat bersekolah di negeri Liberty seperti tokoh – tokoh sukses jebolan sana. Ya, walaupun aku tahu Mbah Ti tidak akan mengizinkanku untuk ikut – ikutan merantau jauh di negeri orang seperti mereka. Aku tidak pernah bertanya kenapa Mbah Ti tidak membolehkanku, tapi dengan membayangkan wajah tuanya marah saja bisa membuatku tidak bisa berhenti menepuk dahi.Aku tidak cukup tega membuat Mbahku yang cantik jelita ini marah karena cucunya yang bandel ini. Bulan – bulan ini karena aku hendak masuk universitas dan menjadi mahasiswa, aku sering memperhatikan pamflet – pamflet pendidikan di sekitar jalan kotaku.Barangkali ada lowongan beasiswa yang menarik.Dan benar saja, rutinitasku ini membuahkan hasil.Aku menemukan sebuah pamflet yang isinya beasiswa ke luar negeri.Tanpa basa – basi aku langsung saja mencatat semua persyaratannya dan mendaftar.Aku bahkan sering begadang sampai larut malam demi memahami dan menguliti isi buku TOEFL yang sudah pasti menjadi syarat utama diterimanya beasiswaku. Dalam planning besar ini, belum ada seorangpun anggota keluargaku yang kuberi tahu.Aku hanya takut kalau – kalau mereka tidak setuju dengan
keputusanku.Hari – hari berlalu, kulewati semua ujian dan wawancara sendiri dengan usaha maksimal tanpa bantuan satupun anggota keluargaku.Bahkan Mbah Ti yang biasanya turun tangan membantuku dalam segala hal, kali ini beliau tidak tahu menahu tentang rencanaku ini.Semuanya sudah kulewati tinggal menunggu pengumuman dari pihak penyelenggara. Pada suatu sore saat aku sedang asyik duduk di emper rumahku, seorang tukang pos datang. Aku berdebar, karena pihak penyelenggara beasiswa bilang pengumuman lolos atau tidaknya peserta dikirim lewat pos. Saat amplop dinas berwarna coklat itu sampai di tanganku rasanya permukaan kulitku mulai beku. Keringat dingin mulai berjatuhan. Kubaca perlahan isi surat itu. Aku ingin menikmati sensasinya. Ini pertama kali aku mendapat surat maha penting seperti ini. Pada titik terakhir aku terlonjak.Kuucapkan syukur tak henti – hentinya pada Tuhan. Aku lolos !ah, akhirnya semua kerja keras dan perjuanganku berbuah manis. Alhamdulillah.Sekarang hanya satu masalahnya. Bagaimana cara memberi tahu keluargaku tentang semua ini ? Situasi ini membuatku galau sekali.Dilema.Ini berita baik, tapi juga berita buruk. Aku yakin keluargaku terutama Mbah Ti, mereka tidak akan mengizinkanku. Akhirnya, kuputuskan untuk bertanya pada Allah apa yang terbaik. Aku mengambil wudhu dan segera shalat istikharah.Aku bermunajat.Memohon setulus – tulusnya
mana yang terbaik.Dan setelah aku shalat, naluriku masih berkata untuk tidak menyia – nyiakan kesempatan besar ini.Aku kuatkan tekadku. Aku akan coba mohon izin pada Mbah Ti dan keluargaku. Akan kubuktikan pada mereka bahwa belajar di luar negeri bukanlah hal yang buruk selama kita dapat menjaga diri.Tapi aku pasrah kepada-Nya. Kalaulah memang Mbah Ti tetap tidak memberi izin walau aku telah menjelaskan semua tujuanku ke rantau, aku tidak akan pergi dan tetap tinggal disini. Suatu malam setelah shalat isya`, kucoba mantabkan hatiku.Berulang kali aku rapalkan basmalah.Kucoba tentramkan hatiku.Ya Allah, lancarkan jalan hamba-Mu ini.Sesungguhnya tiada upaya selain menyerahkan semua pada-Mu, Ya Allah.Saat seluruh anggota tengah asyik bersua di ruang keluarga, aku ikut duduk di kursi pas diantara Mbah Ti dan Pakdhe Jiwo.Di depanku Mas Panji dan Budhe Amah.Senyap sekejap, lalu aku mulai membuka pembicaraan. “Mbah, Pakdhe, Budhe, Mas Panji, ada hal yang ingin Nilam bicarakan dengan sampeyan semua.” kataku agak tercekat.Aku bisa mendengar suaraku yang bergetar bagai dawai kendor mengalun memecah isi ruangan. “Ada apa, nduk ? Bicara saja !” jawab Mbah Ti tenang. “Begini, beberapa hari ini Nilam melihat – lihat info tentang beasiswa kuliah bebas biaya. Salah satunya
adalah sekolah di negeri orang sana. Nilam berfikir bahwa kalau Nilam mencoba mendaftar tidak akan jadi masalah. Nah, berita baiknya Nilam sungguh – sungguh lolos dalam seleksi beasiswa tersebut.Jadi selama 8 semester penuh nanti Nilam tidak dikenakan biaya apapun. Tapi, berita buruknya, Nilam mendapat beasiswa itu Nilam harus pergi meninggalkan semuanya disini demi menimba ilmu jauh di rantau sana. Nah, Nilam disini ingin meminta izin pada Mbah Ti, Pakdhe, Budhe, dan juga Mas Panji untuk boleh pergi belajar ke luar negeri sana” jelasku panjang lebar yang entah kenapa aku jadi merasa haru. “Di luar negeri itu dimana tepatnya,nduk ?” tanya Mbah Ti dengan nada masih tenang. “Di Amerika, Mbah” jawabku “Jauh sekali nduk kamu mau meninggalkan Mbah. Apa kamu bisa hidup sendiri disana,nduk ?”Mbah Ti mulai gelisah. “Mbah, insya Allah Nilam bisa menjaga diri Nilam sendiri. Insya Allah Nilam dilindungi samaGusti Allah. Mbah Ti kan sudah mengajarkan seluruh ajaran islam yang syar’i kepada Nilam, Insya Allah Nilam akan mengamalkan itu semua di rantau. Mbah Ti doakan saja Nilam selalu dilindungi dan selalu berada di jalan-Nya.” Mbah Ti diam. Semuanya diam. Tak seorangpun bersuara pada detik ini.Aku sedikit gelisah.Bukan.Bukan sedikit gelisah, tapi amat gelisah.Ini menyakut masa depanku, keluargaku, hidupku. Ah, kenapa aku bisa ada
dalam situasi ini ? Aku memang ingin bersekolah di Amerika sana. Aku tidak ingin semua usahaku harus ku biarkan sia – sia.Tapi aku juga tidak mau seluruh keluargaku diam seperti ini.Aku enggan harus dipusingkan dengan rasa bersalah.Aku benar – benar bingung.Ini situasi yang kutakuti sejak dulu – dulu.Mbah Ti, Pakdhe, Budhe, Mas Panji, janganlah merajuk begitu. Mungkin aku harus menjelaskan lebih detail tentang keperluanku pergi ke Amerika. Tapi, aku takut api amarah itu malah jadi tersulut nantinya. Di tengah kacaunya fikiranku, Mas Panji yang mungkin jengkel dengan keputusanku menyeletuk. “Apa gunannya sih, sekolah jauh – jauh ke Amerika.Nanti kalau jadinya takabur malah percuma.Ndak manfaat. Mending disini mbaturi Mbah Ti, bapak, sama ibu. Mbah Ti kita ini sudah berumur kok malah di tinggal – tinggal.”Mas Panji berbicara seolah tak ada hati yang tersinggung. “Lho, Mas. Mas Panji mau sampai kapan jumpritan di kampung sini terus ?Mas sendiri itu laki – laki, sudah selayaknya berusaha dan bekerja. Ngapain masih diam disini ? Kalau kita niatnya sungguh – sungguh belajar karena Allah, Insya Allah ndakakantakabur kok, mas. Mas belum apa – apa sudah bilang ndak manfaat gitu. Mas lupa ucapan adalah doa, mas. Harusnya sampeyan ndak ngomong gitu, mas” Mas Panji diam. Sepertinya kesal.Baiklah tidak juga ada yang angkat bicara malam ini.Kuputuskan untuk
mencoba lagi besok. Sementara ini aku akanterus berdoa dan berharap. Aku hanya bisa menyerahkan semuanya pada Allah. Besoknya tanpa harus mengulang pertanyaan serupa, Mbah Ti mendatangiku. “Gimana nduk sudah pas hatinya ?” tanya Mbah Ti dengan nada yang selalu membuatku gemetar. “Sudah, Mbah. Tinggal Mbah setuju atau tidak. Semua tergantung sama Mbah dan yang lainnya. Nilam nurut’ “Gini, nduk. Mbah bukannya ndak percaya sama kamu.Mbah cuma ndak ingin kamu ada di jalan yang salah.Tapi, kalau Mbah lihat kamu sudah bisa diandalkan.Yang Mbah khawatirkan itu cuma satu. Amerika itu kan negaranya orang nasrani. Bahkan ada yang ndak mengakui adanya Tuhan. Amerika itu kan konco plek nya Israel. Mbah takut, kamu ini seorang muslim. Mbah takut nanti kamu diburu disana” “Mbah, Alhamdulillah sekarang perkembangan muslim di Amerika bagus kok, Mbah.Muslim sekarang sudah ndak diburu lagi. Insya Allah atas doa Mbah dan semuanya, Nilam akan selalu dalam perlindungan-Nya” “Amien, nduk.” kata Mbah Ti sambil tersenyum. “Jadi gimana, Mbah ?” kataku memberanikan diri. “Karena Mbah yakin sama kamu.Mbah izinkan. Tapi kamu jangan sampai mengecewakan Mbah dan yang lainnya, lho !kalau kamu sampai begitu kamu bukan hanya mengecewakan Mbah tapi juga Allah”
Alhamulillah !aku melonjak penuh suka cita. Aku tak henti – henti bersyukur pada Tuhan. Berulang – ulang aku mengucapkan terimakasih yang tidak jelas. Tidak kusangka Pakdhe Jiwo dan Budhe Amah yang dari semalam hanya diam saja, bahkan Mas Panji yang sepertinya sangat kesal padaku juga mengizinkanku pergi ke Amerika. “Asal kalau di Amerika jangan lupa sama pakdhe aja” celetuk Pakdhe Jiwo. Aku senang akhirnya aku dapat menggapai impianku.Aku dapat menimba ilmu ke Amerika.Aku dapat restu penuh dari keluargaku. Akhirnya, Nilam hendak ke rantau ! Tri Wasesa Aulia S
Teruntuk Ibu Sang Inspirasiku Sepanjang aku bisa mengingat, masa kecilku tidaklah terlalu menyenangkan. Sejak aku masih bayi berusia tiga bulan, Ayah pergi meninggalkan kami. Aku bahkan tidak mengenal sosok ayah hingga aku menginjak usia sebelas tahun, usia dimana seorang anak sudah dapat mengerti rasa sakit dan kecewa. Saat itu aku dipenuhi pertanyaan ketika dia datang menemuiku, ‘kemana saja kau, Yah, selama ini?’ “Mba, Bapak sudah bukan hanya milik kita.” Ibuku mencoba menerangkan padaku bahwa dia telah memiliki keluarga baru. Aku diam saja. Aku hanya diliputi rasa iri. Betapa bahagia anak dari keluarganya yang baru itu ketika diajak jalan-jalan sore, di sisi lain aku hanya bisa memimpikannya? Sejak kecil aku sudah sadar bahwa aku tidak memiliki keluarga yang sempurna. Aku cuma punya Ibu. Aku paham betul beratnya beban Ibu. Ibu menitipkan aku pada Bude, penjaga sekolah bahkan penjual gorengan depan rumah sementara Ibu sibuk bekerja untuk membiayai hidup kami. Aku tahu begitu berat beban Ibu maka dari itu aku jarang menangis. Aku tidak pernah merengek untuk minta dibelikan seperangkat boneka Barbie seperti anak perempuan lainnya. Seingatku, aku hanya pernah meminta suatu hal yang membuat Ibu menangis.
“Ma, aku cuma mau Mama nggak kerja di hari Sabtu dan Minggu. Aku iri sama Aci yang bisa jalan-jalan sama Bude dan Pakde setiap akhir minggu.” Meski begitu, Ibu bilang aku selalu menjadi sumber bahagianya. Ketika duduk di taman kanak-kanak Ibu terkejut ketika Ibu Guru Ana memberitahu bahwa aku terkategori sebagai anak dengan IQ cerdas pada umurku. Setelah itu Ibu sadar bahwa aku harus terdaftar sebagai siswa di sekolah-sekolah terbaik di kota. Aku hanya menuruti. Ketika rapor nilaiku pada semester pertama di sekolah dasar negeri dibagikan, Ibu menangis haru. Namaku tertera sebagai juara kelas nomor tiga. Ibu Guru Ana telah memberikan saran yang tepat pada Ibu untuk mendaftarkanku di sekolah dasar ini. Setelahnya, raporku tidak pernah mengecewakan Ibu. “Mba Ros, Dysa jadi juara kelas lagi? Salut saya sama Mba Ros. Padahal Mba Ros jarang ada di rumah karena sibuk bekerja. Dysa mandiri banget, ya, Mba. Saya saja mengajari Amel setiap hari tetapi hasilnya tetap saja berbeda.” Kata Tante Lin. Amel adalah teman sekelasku waktu sekola dasar. Mendengar hal itu, Ibuku hanya tersenyum sedangkan aku cuma nyengir saja. Lihat, betapa arogannya aku waktu sekolah dasar dulu. Aku pun bertekad untuk menjadi juara kelas nomor satu hingga lulus sekolah dasar, dan dengan rahmat Tuhan yang menaungiku, hal itu pun terwujud. Setelah lulus sekolah dasar, Ibu memutuskan untuk mendaftarkanku di sekolah menengah pertama
negeri berstandar RSBI, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Pada hari ujian keduaku dalam hidup, setelah ujian masuk sekolah dasar dulu, aku menyadari sesuatu. Menjadi juara tidak lagi penting. Ribuan anak di kota mengikuti ujian hari itu untuk memperebutkan hanya sekitar sembilan puluh bangku di kelas unggulan. Apa artinya bila aku menjuarai kelas setiap tahun di sekolah dasar namun tidak bisa lolos dalam ujian ini? Diluar dugaan, aku berada di urutan dua puluh pada seleksi program kelas unggulan. Aku bernafas lega, nyaris lemas ketika mendapatkan namaku pada papan pengumuman itu. Ibu menangis haru lagi. “Sepertinya Amel harus ikut ujian gelombang reguler, Mba Ros. Selamat untuk Dysa, ya Mba.” Aku selalu menduduki posisi sepuluh besar selama di sekolah menengah pertama hingga lulus. Aku tidak pernah lupa ketika aku mendapatkan nilai lima puluh pada mata pelajaran Bahasa Inggris dan menangis di kolong meja. Wali kelasku kemudian menelepon Ibu. Aku lihat ekspresi Ibu saat Mrs. Ira bilang soal nilaiku. Aku tidak ingin membuat Ibu kecewa. Sejak peristiwa itu aku belajar mata pelajaran itu lebih giat dari siapapun. Pada tahun ketiga di sekolah menengah pertama, mulai diberlakukan sistem Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan dan ticket pass untuk mendapatkan sekolah menengah atas terbaik melalui jalur online. Beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan, aku berniat untuk bilang pada Ibu kalau aku ingin melanjutkan pendidikan
ke sekolah menengah atas berstandar RSBI juga. Pada waktu itu, standar RSBI menjadi primadona yang menunjukkan kualitas pendidikan sekolah. Namun aku tidak sempat mengungkapkannya. “Mba, kalau bisa kamu masuk di SMA Negeri yang biasa aja, ya. Kamu tahu, kan, biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah berstandar RSBI? Mama janji akan terus membiayai pendidikan kamu setinggitingginya, sekuat tenaga. Mama tahu kamu pasti mengerti dan memahami kondisi kita ya, Mba.” Aku tahu bahwa Ibu amat berat mengucapkan kata-kata yang berpotensi mematikan mimpiku itu. Memang, biaya yang ditanggung Ibu tidak bisa dibilang murah selama tiga tahun aku menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama. Untungnya Ibu memiliki seorang atasan yang peduli bernama Ibu Mira. Beliau membiayaku hingga lulus dengan biaya SPP per bulan hampir menyentuh angka lima ratus ribu rupiah. Ibu dapat bernafas lega sedikit tetapi tidak berarti Ibu dapat mengalihkan biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk SPP. Ibu bahkan tidak bisa menabung karena penghasilan Ibu tidak sepadan dengan pengeluaran. Namun Ibu tidak pernah menyesali keputusannya untuk menyekolahkanku di sekolahsekolah terbaik di kota. Ibu ingin anak perempuan tunggalnya berpendidikan baik. Tapi Tuhan memang Maha Tahu. Dalam kesempitan yang dialami oleh aku dan Ibu, aku
mendapatkan nilai Ujian Nasional sebesar tiga puluh tujuh koma satu, hampir mencapai nilai sempurna yaitu empat puluh. Kami segera mendatangi sekolah menengah atas negeri favorit pertama untuk mendaftarkan diriku secara online. Lagi-lagi aku bersaing dengan ribuan anak yang ingin mendapatkan bangku di sekolah itu. Ibu pun ikut-ikutan cemas, takut aku terlempar dari daftar. Saat itu aku hanya berharap bahwa namaku ada di antara dua ratus tujuh puluh nama. Dan hal itu pun menjadi nyata. Aku menemukan namaku pada urutan seratus. Untuk ketiga kalinya, aku melihat Ibu menangis haru. Ketika menjalani pendidikan di sekolah menengah atas, aku menjadi lebih dewasa dari umurku, Ibu yang bilang begitu. Mungkin di sekolah menengah atas prestasiku tidak secemerlang dulu. Tapi senyum bangga itu masih saja terukir pada bingkai wajah Ibu dan aku akan terus membuatnya tetap berada di situ. Maka dari itu, selama tiga tahun di masa sekolah menengah atas, aku juga mengikuti bimbingan belajar dan les bahasa sesuai dengan saran Ibu. Lelah? Pasti. Letak sekolah yang jauh dari rumah dan jadwal yang padat tidak jarang membuatku tumbang. Bagaimana tidak, hampir setiap hari pada pukul sembilan malam aku baru menginjakkan kaki di rumah. Aku tidak mengeluh. Paling tidak, aku bisa merasakan sedikit dari lelahnya Ibu meski kita berjuang dalam hal yang berbeda. Ibu membiayai
hidup kami, aku berusaha membuat Ibu bangga melahirkan anak sepertiku. “Mba, kenapa kamu masih ngoyo untuk milih di Teknologi Pangan? Saingannya berat, ingat ini seleksi seluruh Indonesia. Kenapa kamutiba-tiba mengubah minat dari Teknik Lingkungan?” Aku sempat berdebat dengan Ibu ketika tiba waktunya untuk memilih jurusan perkuliahan pada peristiwa SNMPTN Undangan. Kebodohanku waktu itu, aku tidak menuruti saran Ibu. Aku lebih mementingkan ego dan prestis yang mungkin akan kudapatkan karena mengenakan almamater perguruan tinggi negeri terkenal dan bonafide. Arogansiku muncul kembali. Ketika itu aku penuh percaya diri dengan bekal peraih urutan dua puluh empat diantara dua ratusan siswa pada ranking paralel sekolah. “Nilaiku baik, Ma. Mama nggak percaya sama aku?” Tapi bagaikan tsunami, kegagalanku pada SNMPTN meluluhlantahkan diriku. Untuk pertama kalinya, aku membuat ibu kecewa meski hal itu tidak diungkapkannya secara lugas. Aku begitu takut, aku tidak mau melewati ujian lagi yang memberikan kemungkinan untukku gagal lagi dan lagi. Aku takut pada Ujian Tulis SBMPTN yang harus kulewati demi mendapatkan perguruan tinggi negeri. “Mama nggak bisa membiayai kamu kalau di swasta.” Kalimat yang nyaris membunuhku dalam sekejap. Perkataan Ibu yang membuatku harus benar-benar
serius pada ujian SBMPTN.Now or never. Jika tidak, aku terancam tidak akan mengenyam perkuliahan dan cuti setahun. Mungkin ini karma karena membangkang pada Ibu. Perkataan dan doa seorang Ibu memang mujarab dan itu yang terlupakan olehku. Ibu memilihkan aku jurusan karena aku takut salah pilih lagi. Aku belajar dan berdoa sekuat tenaga, lebih sering menangis. Aku tidak mau membuat Ibu kecewa lagi. Tapi kehendak Tuhan berkata lain. Aku lolos SBMPTN di Universitas di Malang. Ibu dengan semangat mengantarku untuk memenuhi registrasi dan daftar ulang. “Mba, kok Malang terasa jauh sekali, ya. Delapan belas jam untuk sampai di Malang sekali perjalanan. Mba mau ikutan Ujian Mandiri di perguruan tinggi negeri yang lain, nggak?” Permintaan Ibu lebih terdengar seperti harapan agar Ibu tidak harus berpisah terlalu jauh dariku selama masa perkuliahan. Di saat yang sama, aku seperti sudah phobia dengan ujian masuk perguruan tinggi negeri. “Tapi untuk Ibu, aku akan melawan takutku itu. Aku yakin Tuhan selalu bersama anak yang berniat membahagiakan Ibunya.” Setelahnya, aku mengikuti berbagai ujian masuk yang diadakan perguruan tinggi negeri di Semarang dan Yogyakarta dan lulus pada keduanya. Aku pun sempat mengalami masa orientasi di Yogyakarta. Namun kini aku tidak menjalani perkuliahan di salah satu tempat tersebut.
Sekarang aku menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi kedinasan di Bintaro, Tangerang Selatan, satu-satunya tempat yang tidak pernah terlintas di benakku karena sulitnya persaingan untuk bisa berkuliah di sini. Aku dapat menginjakkan kaki di sini karena ajakan teman dan Ibu amat sangat bahagia ketika tahu namaku telah terdaftar di program diploma jurusan piutang dan lelang negara. Saat itu aku masih di Yogyakarta di hari terakhir masa orientasi pukul tiga pagi. “Mba, balik ke sini aja, ya. Biar bisa lebih dekat sama Mama.” Suara Ibu bergetar di telepon, membuat hati dan mataku panas. Aku langsung menyegerakan sujud syukur karena diberikan kesempatan lagi untuk bisa membuat ibuku bangga. Aku memenuhi permintaan Ibu untuk pulang dan menemukan Ibu dengan mata berkaca-kaca sesampainya di rumah. Aku memiliki tekad bulat untuk terus menempuh pendidikan tanpa menyerah pada hal-hal yang mungkin membuatku jatuh dan terpuruk. Aku ingin sekolah, Bu, agar tidak ada yang memandang rendah kita. Aku tahu bilaIbu hanya bisa bertumpu padaku di saat Ayah tidak pernah peduli pada kami, ketika keterbatasan daya dan materi yang kami miliki menyelimuti. Tapi asa ku tidak pernah kugantung serendah kepala, aku melemparnya hingga jauh dan tak terlihat. Aku tahu mimpiku itu akan didengar Tuhan dan dikabulkan oleh-Nya, seperti yang telah aku rasakan sejak dulu. Aku mau memberikan
manis pada Ibu setelah pahit dan getirnya hidup yang Ibu alami. Aku akan membuat Ibu selalu bangga dan akan selalu mengukirkan senyum itu pada bingkai wajahnya. Ibu selalu menjadi inspirasiku sampai kapan pun itu. Nurul Aini
Pejuang Bangsa Lagi – lagi aku melihat Juang membaca koran di sela – sela waktu istirahatnya. Anak laki – laki berusaha sembilan tahun ini bekerja sebagai buruh di toko kami selama tiga bulan terakhir, menggantikan buruh angkut yang berhenti bekerja lantaran perusahaan tambang terbesar di daerah ini sedang membuka banyak lowongan kerja. Hutan Kalimantan memang lahan subur bagi para penambang. Tak heran jika kami sering kehilangan buruh angkut akibat mereka lebih memilih bekerja di tambang daripada di toko kelontong seperti ini. Entah darimana Juang bisa tahu kalau kami sedang membutuhkan buruh baru, dia muncul pagi itu dan langsung bersedia bekerja tanpa bertanya tentang upah atau jam kerjanya. Mama, yang bertindak sebagai pemilik sekaligus manajer toko, langsung menerimanya. Namun entah kenapa, aku merasa Juang memiliki kebiasaan unik. Dia sering terlihat asik membaca koran – koran bekas yang menumpuk di gudang ketika waktu istirahat seperti ini atau ketika toko sedang sepi pembeli. Saat hari libur seperti ini, aku sengaja menggantikan mama untuk menjaga toko sembari mengamati hobi Juang itu karena di hari – hari lain aku bekerja sebagai pegawai honorer di sebuah sekolah menengah. Bukan karena omset toko ini kurang memenuhi kebutuhan keluarga, aku hanya tidak ingin bergantung pada penghasilan dari usaha milik orang tuaku ini. “Juang, sini kamu!” Juang mendongak, meletakkan koran yang sejak tadi dibacanya. “Ada apa, Kak Jon?” Aku menatap mata anak laki – laki di depanku ini. Matanya yang bulat tampak menghitam di sekelilingnya.
Kulit coklatnya tetap tak memudarkan kesan gelap itu. Badannya yang kurus dan tinggi sudah sejajar denganku padahal beda usia kami lebih dari lima belas tahun. “Kamu sudah makan?” Juang mengangguk. “Baru saja, Kak.” “Kamu sedang membaca apa?” Pertanyaan bodoh itu terpaksa kutanyakan. Padahal dia sudah jelas – jelas sedang membaca koran. “Membaca berita hari ini, Kak. Kabarnya beberapa tahanan kasus narkoba yang dijatuhi hukuman mati baru saja dieksekusi.” Aku tiba – tiba saja kagum pada Juang. Aku bahkan tak pernah membaca koran yang setiap hari diantar kurir ke toko dan hampir tak pernah mau peduli bagaimana kabar Indonesia hari ini. “Kamu suka membaca, ya?” Aku melihat anggukan mantap dan senyum yang lebar di bibirnya. “Kamu pernah sekolah?” Kali ini senyum di wajah Juang menghilang. “Pernah, Kak.” “Sampai kelas berapa?” Belum sempat Juang menjawab, ada pembeli yang datang. Tapi aku menyimpulkan satu hal, Juang pasti tidak ingin berhenti sekolah. Mungkin keluarganya sangat membutuhkan uang sehingga pendidikan Juang harus dikorbankan. Hal seperti itu sudah banyak terjadi di sini jadi aku tak heran jika itu juga terjadi pada Juang. Yang tak kumengerti, mengapa dia masih terlihat bersedih. Kebanyakan, anak – anak justru senang jika tak harus sekolah. Namun, wajah Juang tadi menunjukkan hal yang sebaliknya. ** Hari ini di sekolah ada rapat guru, jadi para honorer bisa pulang lebih dulu. Aku sengaja mampir dulu
ke toko sebelum pulang. Hari ini aku membawa beberapa buku dari sekolah yang sengaja dibuang karena gudang kami sudah penuh dan stok buku baru sudah datang. Kupikir buku – buku ini akan disukai oleh Juang. “Juang!” Kulihat dia sedang mengangkut beberapa karung barang ke sebuah mobil pickup. Setelah semua karung terangkut, Juang berlari menghampiriku. “Ada apa, Kak?” Aku mengeluarkan buku – buku dari dalam tasku. “Ini semua untuk kamu.” Ekspresi wajah Juang ternyata begitu mengejutkan. Matanya sampai berkaca – kaca. “Ini semua untuk aku, Kak?” Aku mengangguk. Juang memeluk buku – buku itu erat – erat, seakan – akan itu semua adalah hartanya yang begitu berharga. “Terima kasih, Kak!” “Kebetulan sekolah sedang membuang buku – buku yang tidak terpakai. Daripada dibuang, buku – buku ini lebih bermanfaat jika kamu miliki. Benar, kan?” Tatapan mata Juang benar – benar membuatku terdiam. Dibalik bulu matanya yang lentik terlihat air mata yang mengumpul. “Kak, aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Buku – buku ini pasti akan kupelajari.” Kuhela nafas sambil berusaha tersenyum. “Akan kubawa lagi beberapa buku lain untukmu besok.” “Masih ada lagi, Kak?” Aku mengangguk. “Banyak.” “Untukku semua?” Aku kembali mengangguk. “Kak Jon, terima kasih!” Tiba – tiba saja Juang menghambur memelukku. Aku sedikit terkejut, untung saja kami tidak terhuyung jatuh. Seketika itu aku bisa merasakan betapa bahagianya dia mendapatkan buku –
buku itu. Kuelus lembut rambutnya yang tak pernah disisir itu. “Kenapa kamu suka sekali membaca?” Juang melepas pelukannya. Walaupun postur Juang tampak lebih tinggi dari anak seusianya, dia tetaplah anak usia sembilan tahun yang polos. Dia menatapku sejenak, kemudian melempar pandangannya ke jalanan yang terlihat sepi. “Aku ingin sekolah lagi, Kak. Sementara aku mengumpulkan uang untuk makan sehari – hari, aku sebenarnya tidak ingin ketinggalan pelajaran. Aku hanya bisa sekedar membaca koran yang diantar setiap hari ke toko.” Penjelasan singkat itu membuatku terenyuh. “Memangnya kenapa kamu sampai putus sekolah?” Juang kali ini menunduk, memandangi jari – jarinya yang kotor karena tak beralas kaki. “Bapak dan mamak sudah tidak mengirim uang kepada kami setahun terakhir ini. Dan tabungan kami di rumah sudah habis. Tiga orang adikku masih butuh makan, Kak. Aku juga tidak lagi tahu bagaimana kabar bapak dan mamak sekarang.” Lagi – lagi kejadian ini terjadi karena keadaan ekonomi. “Memangnya apa pekerjaan orang tuamu?” “TKI.” Resiko daerah perbatasan memang seperti ini. Beberapa orang nekat melintasi batas negara demi pekerjaan. Banyak diantara mereka yang sukses namun banyak juga yang gagal dan bahkan tak sanggup kembali ke Indonesia. Apalagi jika mereka ternyata menggunakan jalur – jalur ilegal. Arus manusia dan barang lintas batas seperti ini sudah menjadi hal yang umum di masyarakat
kami. Sayangnya, keluarga Juang sepertinya kurang beruntung. “Jadi, sebenarnya kamu masih ingin sekolah?” Juang diam saja, tak bergeming. “Seandainya ada kesempatan, Kak, aku ingin sekolah setinggi – tingginya.” Juang berbisik lirih, hampir saja aku tak bisa mendengarnya. “Memangnya kamu bercita – cita sebagai apa?” Aku menebak, cita – citanya mungkin dokter, guru, atau polisi. “Aku ingin menjadi pejuang, Kak.” Jawabannya sungguh mengejutkanku. “Tapi ini bukan jaman peperangan, Juang.” Kali ini juang menatap tajam ke arahku. “Kakak tahu siapa nama panjangku?” Aku menggeleng pelan. “Pejuang Bangsa, Kak. Kata Mamak, aku nantinya harus bisa menjadi pejuang bangsa yang cerdas. Itulah kenapa aku ingin sekolah.” Nama itu terdengar aneh, namun mimpi yang dimilikinya bagiku jauh lebih aneh. Ketika aku seusianya, hal yang menjadi mimpiku sekedar bisa makan coklat yang sering muncul di iklan televisi. “Setelah nanti uangku cukup untuk makan kami berempat, aku akan kembali sekolah, Kak. Sekolah itu menyenangkan. Aku bisa belajar dan bermain bersama teman – teman.” Mata Juang berkilat – kilat memantulkan cahaya matahari siang ini sekaligus memancarkan semangat dan keyakinan dalam dirinya. Sayangnya perbincangan kali ini lagi – lagi harus terputus karena ada pembeli yang datang. Kulihat Juang yang berlari menjauh. Seketika itu aku menghampiri mama yang duduk di depan mesin kasir.
“Ma, bulan depan upah Juang harus dinaikkan tiga kali lipat. Jika mama tidak mau membayarnya, akan kuberikan gajiku sebagai gantinya.” Mama keheranan menatapku tapi aku benar – benar tidak bercanda dengan perkataanku ini. Aku ingin Juang kembali sekolah. Aku ingin Juang bisa benar – benar menjadi pejuang bangsa, entah dengan cara apa. Indah Cahyani
Rupiah dan Mimpi Angin terasa dingin, rembulan tak terlihat bertengger meski gelap belum juga hilang. Matahari seperti masih lama untuk menampakkan dirinya. Emak terlihat sibuk di dapur, ditemani Tia yang sedang mengiris-iris bumbu. Laki-laki yang lainnya nampak sibuk mempersiapkan alat berkebun. Aku pun masih saja mengusap mataku tanda mengantuk. "Dik, ayo bangun! Mandi dan bersiap-siaplah ke sekolah.” Emak berseru memanggilku. Jam empat pagi, rutinitas di mulai. Aku dan anakanak lainnya pergi ke sungai untuk membasuh badan ini. Dengan senter di helm kepala dan senter-senter kecil yang tak terlalu terang, kami menelusuri goloran, semaksemak kebun sawit yang rimbun. Tanah becek sisa hujan semalam, beruntung sungai tak meluap, meski cokelat warnanya. Kami sudah terbiasa, bahkan gatal sudah tak terasa. Dingin terasa menusuk-nusuk, namun celoteh kami kadang membuat suasana menjadi hangat. Ada kerinduan akan air bersih yang lebih sehat. Satu-satunya air bersih di daerah tempat tinggalku ini hanyalah air hujan yang biasa ditampung dengan ember dan digunakan untuk memasak. Pukul lima, semua penghuni barak sudah pergi ke kebun, merawat tanaman sawit atau memanennya. Menyisakan anak-anak kecil yang dirawat di TPA dan kami yang setia menunggu truk jemputan datang mengangkut kami ke sekolah, tentunya setelah truk itu mengantar karyawan ke kebun. Tapi pagi ini sepertinya kami harus menunggu lebih lama, pukul enam lebih truk jemputan tak kunjung datang. Hingga salah satu karyawan kebun yang bertugas di tempat kami menunggu truk jemputan sekolah pun berkata:
"Kalian jalan dulu saja ke sekolah, truknya terjebak lumpur di Echo 5." Jelasnya. Lalu kami pun harus berjalan kaki, rutinitas yang sebenarnya sudah biasa kami lakukan. Sekolah berjarak hampir delapan kilometer, tiga jam jalan kaki itu kalau normal. Kalau habis hujan, tentu ada parit yang meluap dan juga jalan akan berlumpur, maka waktu berjalan bakal lebih lama. Paling sampai sekolah sudah sangat telat dan ketinggalan pelajaran. Itu hal biasa bagi kami. Tak ada yang pandai di sekolah. Paling juga kalau lulus hanya menjadi buruh di kebun sawit, atau kalau ijazahnya tinggi hanya sebagai kerani. . "Hampir tiap hari kita jalan kaki, apa harus kita tinggal di sekolah saja biar tidak pernah ketinggalan pelajaran?" Tanyaku pada teman-teman. "Hahaha, lucu kamu Dik, dikira sekolah itu penginapan." Kata salah satu temanku. Kadang bercanda di jalan menjadi penghibur agar tidak lelah, namun sebenarnya masih ada kerisauan, bagaimana nanti pulang sekolah. Tiga jam lebih berjalan, dan sampailah di dalam kelas. Kaki terlihat seperti badak yang bermain dalam kubangan, keringat bercucuran, beruntung tidak turun hujan. Kelas masih saja sepi, ternyata semua siswa tidak mendapatkan truk jemputan. Hanya beberapa siswa terlihat membersihkan diri di samping bangku mereka, Bu Ani pun masih sibuk menidurkan anaknya, agar tak mengganggu pelajaran. Terkadang perjuangan yang berat tak sebanding dengan ilmu yang kami dapat, hari ini saja langsung dimulai dengan pelajaran berenang. Pengambilan nilai, satu per satu siswa berenang di kolam renang panjang dan keruh, Sungai. Tentu saja kami tak dapat berenang dengan mulus, was-was jika banjir tiba. Kami juga tak begitu serius menghafal rumus-rumus atau pelajaran sejarah. Terkadang guru di kelas juga lupa
akan rumus-rumus itu. Mereka bahkan tak lebih pintar dari kami, beda dengan guru-guru di Pulau Jawa. Meski aku tak pernah diajar di sana tapi bapak dan ibuku selalu menceritakan guru-guru mereka yang baik-baik berbeda jauh dengan guru-guruku di sini. Pelajaran hari ini berakhir pukul satu, kami pulang dengan truk yang sama dengan buruh-buruh berkeringat dari kebun, beberapa diantaranya adalah keluargaku. Sepulang dari sekolah dan ladang, rutinitas biasanya kalau tidak memancing paling juga mencari sayur di kebun. Musim hujan membuat tukang sayur jarang ke tempat kami. Memetik cabai, atau terung di sela-sela tanaman sawit yang ditutup-tutupi agar tidak ketahuan mandor. Kami bahkan jarang belajar. Bukubuku saja kami tidak punya, hanya catatan saja. Tapi sesekali kami belajar bersama, sekedar mengerjakan tugas selepas mencari sayur. Sampai di rumah, aku rasanya lelah sekali dengan kejadian hari ini hingga berkata: "Mak, kenapa sih aku harus sekolah susah-susah, capek, dan tidak pintar-pintar juga?" "Terus maumu apa Dik? Berhenti sekolah seperti emak dan bapakmu ini? Hanya menjadi buruh di kebun?" Jawab emak yang terlihat heran dengan pertanyaanku. "Kan aku sekolah hanya mau cari duit kan Mak? Kenapa tidak kerja di kebun saja dari sekarang?" Jawabku lagi menentang. "Hidup ini tidak hanya disini Dik, besok kalau kita kembali ke Jawa kamu mau jadi apa? Sekolah dasar saja tidak lulus." Ibu seperti berusaha meyakinkan. "Apa bisa bersaing, pendidikan disini seperti apa Mak? Tidak pintar-pintar, bahkan gurunya saja mungkin tidak pintar." "Kamu takut bersaing? Apalagi kalau kamu tidak sekolah, kamu mau mulai bersaing saja pasti tidak bisa Dik." Kata-
kata Ibu terakhir sebelum aktivitasnya dilanjutkan untuk sholat. Terkadang aku berpikir, aku dan teman-temanku, bahkan keluargaku harus susah payah hidup di barak tengah hutan tanpa penerangan listrik yang memadai, dengan makan seadanya dan fasilitas minim. Sekolah bagi kami hanya sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah, cukup di situ saja. Kalau disuruh bersaing tentu susah. Perjuangan kami berjalan atau bahkan berdesak-desakan dengan buruh di dalam bak truk tak pernah terbayar impas dengan ilmu dan masa depan yang baik. Banyak orang-orang di kampungku yang tak terubah nasibnya sekalipun dia pintar dan bersekolah. Nasibnya hanya akan sama saja dengan mereka-mereka yang mengalami putus sekolah. Ini menjadi pembelajaranku. Aku punya banyak mimpi, begitu juga keluarga dan teman-temanku yang memiliki cita-cita. Tapi entah cita-cita itu akan seperti apa, kalau banyak orang yang melihat film seperti laskar pelangi, bahkan kami lebih parah dan belum memiliki ‘happy ending’. Aku tak lagi memandang masa depan itu luas, tak pernah lagi aku berangkat sekolah. Sekalipun emak dan bapak membujukku lagi dan lagi. Sekumpulan uang membuatku agak tergiur, meski usiaku masih dua belas tahun, ini bukan suatu paksaan bagiku untuk bekerja, bahkan mandor harus memalsukan dataku agar tidak dilaporkan ke atasan karena memperkerjakan anak di bawah umur. Sekarang tinggal, adikku Tia yang masih bersekolah, dia sepertinya tak pernah mengeluh akan pendidikannya, tidak seperti dua saudaranya yang putus sekolah dan memilih menjadi buruh kebun. Setidaknya Tia tak ingin mengecewakan orang tua kami yang telah
mengeluarkan Rupiah hasil pengkristalan keringat mereka, meski hasil dari sekolahnya masih angan-angan. Tia dan teman-temannya, masih harus berjuang hanya untuk sebagian ilmu yang jauh dari harapan, terkadang aku juga termenung sendiri di tengah pekerjaan yang belum usai, sembari meneguk air minum dari botol, mungkin lelah, atau aku merasa menyesal akan keputusanku. Entahlah. Tapi inilah jalan yang sudah aku ambil, buah simalakama, sekolah serasa menyiksa dengan perjuangan tiada akhir bagiku dan hasil entah seperti apa nantinya. Mungkin aku yang terlalu bodoh untuk memahami itu. Namun sekolah juga selama ini tidak merubah nasib orang tuaku dan beberapa orang-orang di kampungku. Mereka hanya menamatkan sekolah lalu kembali lagi bekerja menjadi budak-budak dan buruhburuh yang kelelahan di tengah terik panas matahari di tengah ladang sawit. Bagi sebagian orang di daerahku bersekolah hanyalah untuk mengisi kegiatan masa depan akan pasti menjadi budak-budak kebun sawit. Namun aku juga berpikir bahwa bekerja juga seperti itu, lelahnya bukan main dan belum pantas bagiku mungkin, namun uang telah membuatku untuk memutuskan masa depanku. Paling tidak aku bertanggung jawab atas keputusanku. Aku tetap menjalani apa yang telah aku putuskan dan tidak akan pernah menyesal. Karena menbyesal hanyalah suatau hal yang sia-sia diutarakan dan dilakukan. Setidaknya ini adalah gambaran pendidikan Indonesia yang katanya sudah didesain dengan apik, kurikulum yang selalu berganti tiap menteri, pelajaran moral, kedisiplinan, kecanggihan teknologi dan informasi, modernisasi tingkah laku dengan bahasa asing tak pernah berpengaruh bagi kami yang masa depannya
tergadaikan, para siswa yang bimbang untuk lanjut sekolah, atau berhenti dan menjadi buruh kebun. Satu hal yang pasti, kami masih punya cita-cita, mimpi tentang pendidikan yang lebih baik, dan juga masa depan. Di dalam hatiku memang amsih tersirat perasaan untuk kembali bersekolah tapi apa day hal itu tidak akan mungkin aku lakukan. Namun aku masih berharap akhir cerita kami di sini menjadi indah seperti film-film motivasi. Faiz Deja Ramadhan
Debu Sepatu Ilham Wajahnya semakin menghitam, namun ia tak pernah peduli. Tubuhnya mengurus, tidak bertambah tinggi pula. Usianya belum menyaingi pejuang kemerdekaan, namun hidupnya terpupuk penuh perujangan walau hanya ingin menggores sedikit tinta dalam buku tulis yang hampir habis lembarnya, tergerus air tiap kali ia berangkat berjuang. Dia Ilham. Tubuh mungilnya siap berangkat sekolah walau sendirian ditengah gelapnya hari yang masih subuh. “Nak, makan dulu sebentar.” Terdengar suara matangnya memanggil” Ilham mencium kening sang Ibu, lalu mengambil jatah makannya pagi ini. Tidak ada nasi, melainkan jagung dan singkong rebus kemudian dibagi dua olehnya untuk sang ibu. Cukup untuk tambahan energinya menempuh perjalanan jauh hari ini. Kini Ilham telah siap menempuh perjalanan subuhnya setelah shalat berjamaah dengan sang Ibu. Ia mencium tangan renta didepannya. “Hati-hati nak, habis hujan, air pasti deras.” Pesan sang Ibunda. Ilham mengangguk, sambil tersenyum. Kemudian langkah kecilnya memulai hari menyusuri jalan setapak penuh rerumputan liar, meninggalkan ibunya sendiri dalam rumah gubuk ditemani lampu remang-remang redup. Ilham tidak ingat lagi rupa sang ayah yang meninggal dunia sejak ia berusia 5 tahun. Suara ayam baru terdengar namun ia sudah setengah jalan. Kini ia menunggu sedikit sinar mentari untuk menemaninya menyebrangi jembatan penghubung desanya dengan arah ke kota.
“ILHAM!!!.. bareng yok!” Sapa Mali, seorang kawannya dari jauh. Iham menganggukan kepalanya, lalu tersenyum Tangannya dibentangkan keatas, lalu mulai menjangkau tali diatasnya dan pasrah menggantungkan hidupnya pada seutas tali yang lebih mirip kabel rusak. Kakinya mulai menapak pada tali yang mirip ia pegang. Air sungai dibawahnya sangat deras. Benar ujar sang bunda. Rintik-rintik gerimis yang turun sejak tadi dijalan, membuat maut seperti siap menerkam. Mali berada tepak setelah Ilham. Mali diam-diam memantau kawannya agar selamat, Ilham pun sering kali menoleh kebelakang memastikan mereka berdua takkan menjemput ajalnya pagi ini. Kaki kanannya ditapakkan pertama ketasa tanah. “Alhamdulillah.” Ujar Mali sambil menggandeng tangan Ilham. Ilham tersenym manis, menyambut dekapan telapak tangan sahabat perjalananya tersebut. Seiring mentari yang terjunjung tinggi, membuka hari penuh asa dalam jiwa anak-anak pedalaman untuk menuntut ilmu. Mulai terlihat kendaraan bermotor meskipun jarang, namun itu menjadi pertanda sekolah sudah semakin dekat. Hari semakin siang. Jika di kota mungkin sudah telat. Namun sekolah mereka pengertian, memulai pelajaran setelah pukul 9 pagi, karena kebanyakan siswanya adalah anak pedalaman. Ada yang harus membantu pekerjaan orang tuanya terlebih dahulu, maupun bernasib seperti Ilham dan Mali. Bangunan reyot bertuliskan ‘SD MENTARI PAGI’ semakin terlihat. Anak-anak seusianya pun sudah mulai ramai berlarian ditengah lapangan beralaskan tanah merah.
Mali kembali meraih tangan Ilham dan mengajaknya berlari. Gerbang sekolah yang tinggal setengah, membuat siapa saja bisa masuk. Begitupun Ilham dan Mali yang tidak mengenal kata terlambat karena gerbang sekolahnya akan selalu terbuka. Sampailah mereka diruang kelasnya. Sudut ruang yang kotor dan dipenuhi sarang laba-laba. Bangku dan meja yang mulai keropos, serta foto Presiden dan Wakilnya yang belum diperbaharui, menjadi pemandangan biasa bagi mereka. Ilham menaruh tas dari karung yang dijahit sang Bunda disebelah Mali, tak lupa ia mengambil sebuah buku dari atas meja guru, lalu mereka berdua pergi bermain keluar kelas menghabiskan waktu seperti harihari biasanya. Tidak tergurat lelah diwajah mereka. Mali ingin bergabung dengan pemain petak umpet, namun seperti biasa, ilham terlihat minder untuk bergabung. Ia memilih duduk disudut lapangan sendiri, membaca buku-buku yang sengaja ditinggal para guru. Mali menyadari kekurangan Ilham yang membuatnya minder. Sejak lahir, Ilham tidak pernah bersuara apalagi menangis. Hidupnya selalu diam. Ilham terlahir tuna wicara. Seluruh teman-temannya pun memaklumi kekurangan Ilham, dan tidak pernah menghina kekuragannya. Mereka mengerti bahwa kekurangan pun datangnya dari Tuhan. Mereka sering menyemangati Ilham ketika belajar. Terutama Mali. Ibunda Ilham tidak pernah tahu kegiatan dan aktifitas Ilham disekolah karena sibuk mencari uang. Sekolah ini memang gratis. Namun kebutuhan hidup dirinya dan Ilham yang mendorong sang Bunda tak pernah absen mencari nafkah barang sehari. Ibunya sering berpesan untuk rajinlah membaca dan berdo’a, karena ia percaya suatu hari nanti anak seorang pekerja
serabutan yang tinggal dalam pedalaman pun patut dan bisa merebut gelar sarjana. Bangunan sekolah ini tidak lebih besar dari sebuah bangunan kantor kecamatan desa. Guru yang mengajar pun hanya dua orang untuk satu kelas, dan semuanya digaji oleh negara. Bangunan kecil tidak mengurung niat belajar anak-anak pedalaman ini yang lebih besar melebihi Istana Presiden. Banyak teman Ilham yang melewati medan yang lebih berat untuk sampai ke sekolahnya. Tidak hanya dari satu desa, jadi medan yang ditempuh pun berbedabeda. Minggu kemarin ada kawan sekelas Ilham meninggal dunia terseret arus sungai yang sedang deras ketika mencoba menyebranginya. Ketiadaan jembatan serta cuaca yang sering kali tidak mendukung menjadi penyebabnya. Teman dikelasnya makin lama, makin berkurang. Bukan karna tidak ingin belajar dan melanjutkan pendidikan, namun tubuh renta mereka tak lagi cukup kuat berjuang dalam medan terjal menuju rumah tempat ilmu digali. Puluhan kilometer dengan sepasang kaki kecil yang merenggut nyawa satu per satu. Kisah pilu dipelupuk mata Ilham semestinya menjadi teguran keras bagi para petinggi negara. Waktu menunjukan pukul sepuluh lewat empat puluh menit. Kemanakah para tenaga pendidik tempat mereka menaruh asa? Ilham masih duduk termangu sendirian melihat Mali yang berjalan mendekatinya. “Sudah panas.” Ujarnya sambil menunjuk langit. “Bu guru gak dateng lagi.” Ucapnya dengan tubuh lemas bercampur kecewa. Apa daya Ilham yang tak bisa protes maupun berkomentar. Ilham dan Mali serta puluhan anak-anak yang lelah bermain dilapangan pun memutuskan untuk menyudahi harapan mereka hari ini. ilham dan Mali
mengangkut tas mereka masing-masing. Ilham mengembalikan buku yang ia bawa keatas meja guru Mentari yang kian terik tak begitu pengaruh pada suhu di desa mereka yang sejuk. Mentari akan sellau membakar kulit mereka. Entah sampai kapan. Namun perjalanan puluhan murid yang punya harapan pun kandas satu hari lagi. Lalu kemana perginya para guru yang oleh negara diperhatikan kesejahteraannya walau masih sangat sederhana? Ilham dan Mali kembali menyisir jalan setapak untuk pulang kerumah. Mali biasa bernyanyi, dan Ilham biasa tertawa tanpa suara. Mereka menghibur diri sejenak. Melintasi ‘jembatan gantung’ dengan tangan, menyusuri turun-naik bebukitan. Sesekali bermain dengan fasilitas yang alam berikan. Setiap hari mereka berdua belajar walaupun bukan hanya dari sekolah dan buku-buku pelajaran lama. Pelajaran hidup dan semangat juang yang belum tentu dimiliki setiap jiwa berbangsa disini. Pelajaran akan arti persaudaraan dari seorang sahabat yang berawal dari sekedar bertemu dijalan lalu dipersatukan ruang sempit yang berada puluhan kilometer dari rumah tinggal mereka. Tiba saatnya Ilham dan Mali berpisah. Mereka saling melambaikan tangan. Rumah mereka berbeda arah dan tidak masing-masing dari mereka tahu tempat tinggal sahabatnya. Raut wajah tergambar bahagia masih bisa bernafas untuk meyusur jalan yang tinggal beberapa kilometer lagi harus ditempuh. Mentari kian bersikap adil meredupkan sedikit cahaya yang memapar wajahnya. Beberapa tapak kaki lagi dan Ilham sampai pada tujuan. Sang ibu rupanya pulang lebih dulu. Terlihat raut wajah bahagianya
menyambut putera satu-satunya dan kawan hidup abadi yang ia miliki. “Bagaimana disekolah?” Tanya sang Bunda menyambut kedatangannya. Ilham menggeleng kepala. Seperti sang Ibu tahu bahwa tidak ada guru yang datang lagi. Kemudia dipeluknya sang anak sangat erat dengan perasaan bangga. “Nak, belajar tidak hanya disekolah dan menunggu orang mengajari kita. Belajarlah darimana pun tempat dan dimanapun kamu membawa bayangan kamu tetap bersama. Belajarlah dijalan sepanjang kita menapak.” Ilham tersenyum lebar. Hidup berdua tidak menyurutkan niat dan semangatnya menggapai ilmu setinggi mungkin, sejauh apapun, dan sebisa mungkin. Ia bersyukur dengan sosok wanita muda berhati malaikat yang mengundangnya hadir didunia. Ibu. Septyarosa Syahputri
Gara-gara Lagu Wajib Nasional Sungguh indah kampung halamanku di kaki gunung yang biru di mana sungai mengalir airnya jernih berdesir-desir… Sayup-sayup terdengar anak-anak bernyanyi dari kejauhan. Rifai segera berlari mendekati gedung sekolah dasar yang berdiri kokoh di tengah padang rumput. Di halaman sekolah, para siswa berseragam putih-merah berbaris rapi menyanyikan lagu dipimpin seorang guru. Telinga Rifai menangkap lirik lagu yang belum pernah didengarnya. Lagu yang menggambarkan keindahan desanya di pelosok Bengkalis, Riau. Rifai mengintip dari balik pagar sekolah, mulutnya komat-kamit mengikuti lirik lagu yang didengar. Tanpa catatan, Rifai berhasil menghapal seluruh lirik lagu. Judul lagunya apa ya? Nanti sore aku tanya ke Yuda saja, pikir Rifai. Yuda, teman sepermainan Rifai sudah duduk di kelas tiga SD. Hari semakin siang, Rifai menggiring kelima kerbau menuju anak sungai. Waktunya mandi sambil menggosok badan kerbau satu persatu. Mulut Rifai tetap mendendangkan lagu yang baru dihapalnya. “Yuda, lagu apa yang kamu nyanyikan di sekolah pagi tadi?” tanya Rifai menghampiri Yuda yang sedang bermain di pinggir sungai. Seragam putih-merah masih melekat di tubuhnya. Kebiasaan Yuda langsung pergi bermain sepulang sekolah. “Hmm… Kalau tidak salah judulnya Kampung Halamanku karya Ibu Sud. Itu salah satu lagu wajib nasional kita. Kamu ngintip diam-diam lagi ya, Rif?” jawab Yuda mendelik tajam ke wajah Rifai. “Iya, aku tadi dengerin sebentar. Aku udah hapal lho, Yud,” sahut Rifai bersemangat. Ia segera bernyanyi. Yuda melongo di sebelahnya.
“Kamu kok bisa hapal secepat itu? Aku dan teman-teman harus mengulang sampai enam kali sama Bu Guru. Ayo, masuk sekolah, Rif! Bu Guru bakal mengajarkan lagu-lagu wajib nasional lainnya,” ujar Yuda. “Aku juga ingin sekolah. Tapi…,” perkataan Rifai terputus. Wajahnya sedih. Yuda meminta maaf atas ucapannya yang membuat Rifai sedih. *** “Ayah, coba lihat! Ini gambar desa kita; ada padang rumput luas, sungai, sawah, dan gedung sekolah. Hari ini Rifai belajar lagu baru tentang keindahan kampung halaman. Berarti udah dua lagu wajib nasional yang Rifai hapal, Yah,” celoteh Rifai menunjukkan gambar buatannya yang berupa sketsa. Ayah hanya tersenyum melihat anak lelaki semata-wayangnya bercerita. Kemudian mendengar suara Rifai bernyanyi lagu dengan nada yang riang. “Kapan Rifai bisa sekolah, Yah? Rifai mau belajar lebih banyak lagu wajib nasional. Mau nyanyi bersama teman-teman di sekolah. Yuda juga bilang kalau kita hapal lagu wajib nasional bakal bertemu presiden,” kata Rifai. “Benarkah? Bagaimana bisa hapal lagu wajib nasional akan bertemu presiden? Kalau bertemu presiden, Rifai mau bilang apa?” tanya Ayah. “Itu benar, Yah. Yuda sering cerita temantemannya diundang buat nyanyi di depan presiden. Rifai mau nyanyi dan cerita ke presiden kalau desa kita kaya. Rifai juga dengar kalau desa kita katanya miskin. Semua itu enggak benar ‘kan, Yah,” tutur Rifai kesal. Sang ayah tersentak mendengar jawaban Rifai. Jawaban polos, jujur, dan pintar untuk anak seumurannya. Tahun ini Rifai genap berusia delapan tahun. Seharusnya ia akan beranjak duduk di kelas tiga.
Keterbatasan ekonomi menjadi penghalang untuk menyekolahkan Rifai. Keseharian menjadi buruh tani hanya cukup buat makan sehari-dua hari. Istrinya telah meninggal, tidak ada harta berharga. Sawah sudah dijual, kerbau yang digembalakan pun milik orang lain. “Kelak Rifai pasti bertemu presiden. Sayangnya, uang buat sekolah belum cukup, Nak. Nanti ayah akan usahakan. Begini saja, sementara ini kamu masih bisa belajar sama Yuda. Ayah pikir Yuda sangat baik mengajari kamu lagu baru dan pelajaran-pelajaran lain yang dia dapat dari sekolah,” hibur Ayah. Rifai murung mendengar jawaban ayahnya yang itu-itu saja. Kemampuan baca-tulis-hitung Rifai meningkat. Sang ayah menyadari anaknya berkeinginan kuat untuk sekolah. Ia bersyukur Yuda tak pelit membagi ilmu bahkan memberikan alat tulis buat Rifai. Keesokan hari, Rifai kembali mengintip Yuda bersama teman-temannya latihan lagu. Nuansa berbeda terlihat karena latihan kali ini diiringi alat musik, salah seorang guru memainkan keyboard. Rifai berdecak kagum, nyanyian terasa begitu hidup. Walaupun para siswa masih kesulitan diiringi musik. Setelah puas mengintip, Rifai melanjutkan pekerjaannya memandikan kerbau. Ia berhenti sejenak membiarkan kerbau-kerbau berendam. Sambil berdiri di atas batu, tangannya dijulurkan ke depan, jari-jemarinya bergerak seakanakan memainkan keyboard, mulutnya mulai melantunkan lagu. Prokk… prokk… prokk… Rifai kaget mendengar tepukan tangan. Matanya mencari arah suara tepukan tangan. “Suara kamu bagus sekali, Dik. Kamu yang suka melihat latihan siswa-siswa lain ‘kan. Ibu perhatikan diam-diam, kamu sering datang dan berdiri di luar pagar sekolah,” kata sang guru.
“I… i ... iya… Bu Guru. Saya mau ikut belajar nyanyi lagu wajib nasional,” sahut Rifai malu dan memundurkan langkahnya. Kakinya nyaris terpeleset ke sungai. Takut dimarahi sang guru karena mengintip diam-diam. “Ayo, kemari! Jangan takut, Bu Guru enggak marah malah senang mendengar suara kamu. Nama Bu Guru, Neli. Nama kamu siapa?” tanya Bu Neli. Perlahan Rifai menghampiri Bu Neli. “Nama saya Rifai, Bu,” jawab Rifai, kepalanya tertunduk malu. Bu Neli merendahkan tubuhnya sejajar dengan Rifai. “Baiklah, Rifai ya. Kamu benar-benar ingin belajar nyanyi lagu wajib nasional di sekolah ‘kah maksudnya?” Bu Neli memerhatikan wajah Rifai. Ia melihat ada keinginan besar Rifai untuk bersekolah. “Iya, kata Yuda lebih asik kalau belajar nyanyinya sama teman-teman di sekolah. Saya juga mau bertemu presiden,” Rifai berkata pelan. “Oh, pasti Yuda, teman dekat kamu. Apa maksudnya dengan nyanyi bisa bertemu presiden?” tanya Bu Neli heran. “Yuda bilang teman-teman di sekolah bisa bertemu presiden kalau nyanyi lagu wajib nasionalnya bagus. Saya juga mau cerita ke presiden, desa kita enggak miskin. Buktinya Rifai bisa main-main di padang rumput, di sungai nangkap ikan,” tutur Rifai menggebu. Kini, wajahnya menatap jelas ke Bu Neli. Bu Neli menyimak ucapan Rifai. Begitu jujur. “Ha-ha-ha… Lebih jelasnya kerap ada kunjungan presiden ke sini. Nah, untuk menyambut presiden, teman-teman di sekolah diundang untuk nyanyi, biasanya memang lagu wajib nasional. Wah, Rifai pintar. Benar, desa kita sangat kaya. Ibu setuju dengan kamu,”
ucap Bu Neli. Rifai tersenyum. Bu Neli ternyata guru yang baik. “Kalau begitu, Ibu bantu daftarin kamu masuk sekolah. Berapa umur kamu sekarang?” lanjut Bu Neli. “Mau delapan tahun. Nngg… Kata ayah saya, saya belum boleh masuk sekolah. Tapi saya diajari Yuda bacatulis-hitung,” Rifai membuka tas selempang sederhana berisi buku catatan. Bu Neli melihat tulisan Rifai. Tak malu-malu lagi, Rifai membaca kata-kata yang terpapar. Bu Neli paham alasan utama orangtua di daerah sini tak menyekolahkan anak pasti terkendala ekonomi. Kemungkinan serupa dengan yang dialami Rifai. Bocah lelaki yang ditemuinya ternyata pandai. “Semestinya tahun ini kamu bisa duduk di kelas tiga. Tenang saja, nanti Ibu akan bilang sama ayah kamu dan guru-guru lain di sekolah biar kamu bisa sekolah. Karena Rifai udah bisa baca-tulis-hitung dan suara nyanyiannya bagus pasti diterima,” Bu Neli menenangkan Rifai. Rifai tidak percaya bahwa ia akan masuk sekolah secepatnya. Segala urusan sekolah Rifai berhasil diselesaikan Bu Neli. Rifai dapat beasiswa, ayah Rifai tidak harus memikirkan biaya sekolah anaknya. Meskipun satusatunya sekolah yang ada di pelosok Bengkalis, sekolah terbilang maju dan terawat. Rifai duduk di kelas tiga. Ia lolos tes seleksi percepatan kelas. Keberhasilannya masuk sekolah tetap membuat Rifai tidak sombong. Ia anak yang ceria dan berteman dengan siapapun. Perlahan Rifai punya banyak teman. *** “Yang nyanyi Rifai aja, Bu Guru. Suaranya bagus dan keras,” sahut teman-teman Rifai. “Rifai suka nyanyi sendirian di pinggir sungai, Bu Guru,” tambah Yuda yang ikut senang Rifai sekelas dengannya. Seluruh siswa kelas tiga tertawa lepas.
Mereka sedang istirahat di bawah pohon rindang. Bu Neli melempar pertanyaan siapa kira-kira siswa yang bisa menyanyi tunggal. Selain bernyanyi bersama-sama, paduan suara menyanyikan lagu wajib nasional yang dibawakan siswa-siswa kelas tiga rencananya menampilkan penyanyi tunggal. Telinga Rifai memerah. “Enggak mau, Bu. Saya malu, beraninya nyanyi sendirian enggak dilihatin orang banyak,” gumamnya. “Kalau presiden yang lihat kamu nyanyi gimana? Apa tetap masih ‘enggak mau’?” bisik Bu Neli. Rifai terdiam. Tak percaya apa yang telah dikatakan Bu Neli. “Pasti bisa. Sekalian apa yang kamu mau ceritakan kepada presiden ditulis di kertas. Ssttt… jangan kasih tahu ke teman-teman lainnya. Ini masih rahasia,” tutup Bu Neli sambil mengedipkan mata. Rifai tetap tak berkutik. Matanya menatap lekat Bu Neli. Hanya anggukan kepalanya yang bergerak. DUA minggu kemudian… Karpet merah terbentang sepanjang pintu masuk balai desa sampai atas panggung. Penjagaan keamanan cukup ketat. Rifai dan teman-teman sudah berbaris rapi di panggung. Dua lagu membuka acara tatkala presiden memasuki ruangan. Jelang persembahan lagu terakhir, Rifai segera maju ke depan mik. Tangannya gemetar menyaksikan seluruh mata tertuju padanya. Tampak presiden berkemeja putih tersenyum. Di seberang panggung, Bu Neli memberikan isyarat agar Rifai menarik napas. Upaya menenangkan demam panggung. Rifai membacakan keindahan desanya serta keseharian bermain. Gambaran desa di pelosok Bengkalis yang hijau membuat terharu seisi ruangan. Rifai mendapat tepukan tangan dari presiden diikuti seluruh orang yang hadir. Lega berhasil menyampaikan cerita tentang desanya, Rifai nyengir senang. Bu Neli
yang pertama kali bertemu Rifai amat bangga telah menemukan anak didik yang berpotensi. Jarang sekali ada siswa seperti Rifai. Keinginan yang kerap ditanyakan kepada ayah kandungnya. Kini, merasakan duduk di bangku sekolah bisa belajar pengetahuan lain. Belajar dan bermain bersama teman-teman lainnya. Dan semua itu berkat Rifai yang rajin mengintip latihan para siswa berlatih menyanyikan lagu wajib nasional. Pintu yang membuka kesempatannya bersekolah. “Oke, siap ya Rifai. Yang lain juga siap mengiringi Rifai. Satu… dua… tiga…,” seru sang guru yang memainkan keyboard memberi aba-aba persembahan lagu terakhir. Suara Rifai mengalun tenang dan pelan, lalu lantang bernada keras. Tanah Airku ciptaan Ibu Sud menyelimuti seluruh ruangan. Walaupun banyak negeri kujalani yang masyur permai dikata orang tetapi kampung dan rumahku di sanalah ‘ku rasa senang, Tanahku tak kulupakan engkau kubanggakan. Fitri haryanti harsono.
Kartini itu Emakku! Victoria Park masih lengang pagi itu, hari Sabtu memang tak banyak teman-teman buruh migran Indonesia yang libur seperti pada hari Minggu. Dan hari itu aku sengaja minta ijin majikan untuk ganti hari beristirahat. Kalau bukan karena Emak yang memaksa, aku sebenarnya lebih suka menghabiskan hari libur nongkrong bareng sahabat-sahabatku, jalan-jalan cuci mata keluar masuk pertokoan besar yang banyak tersebar di Hong Kong ini atau mengunjungi tempattempat eksotik yang bertebaran di seantero negeri beton. Beep… beep… ‘Dimana, Nduk? Emak di bawah jembatan bundar ini…’ sms masuk dari Emak. Enggan membalas, aku langsung saja dial nomer Emak. “Emak tunggu situ saja ya, Enggar jalan kesitu, lima menit sampai deh.” Klik. Aku bergegas membereskan koran lokal gratisan yang belum habis kubaca dan segera berlari kecil menyusuri trotoar Sugar Street yang mulai terlihat di sana-sini wajah-wajah alami sawo matang khas kulit Jawa. *** “Lho… lho… lho… eiiiit… eiiiiit… tunggu, Mak!” aku menahan lengan Emak sebelum tubuh tambunnya memasuki sebuah pintu kaca flat di lantai dua gedung tua yang berlokasi di seberang Leighton Road. “Ayo masuk, Nduk!” Emak mencoba melepaskan pegangan tanganku. Sebuah stiker papan nama berukuran besar, tertempel di pintu itu. Benar-benar buatku terperanjat. Ada urusan apa Emak datang ke tempat ini? “Walah… malah bengong kamu ini! Ayo temani Emak masuk!” “Tapi, Mak…”
Belum sempat kuakhiri kalimatku ketika pintu terbuka setelah Emak menekan bel dua kali. Seorang wanita berkulit putih dan bermata sipit tersenyum ke arah kami. Ramah ia mempersilahkan kami masuk. “Come in, please!” “Thank you,” Emak menyahut malu-malu. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Staff berkebangsaan Tionghoa itu memberikan isyarat kepada kami untuk duduk. “Oh yes… yes…” Emak mencolek pinggangku, menyadarkanku dari keterkejutan. Ya, aku masih tidak mengerti dengan semua ini. “Nduk, tolong kamu kasih tau Siuce kalau Emak mau daftar sekolah,” Emak berbisik di telinga kananku sembari telunjuknya mengarah pada selembar brosur yang menumpuk di atas meja kerja. Hah? Emak ingin sekolah jurusan Bahasa Inggris? Aku semakin terperanjat. Bagaimana tidak, usia Emak sudah lebih dari empat puluh tahun, untuk apa coba beliau mau bersusah-susah mempelajari bahasa asing nomer satu di dunia ini. Akhirnya setelah sempat sedikit bersitegang, aku memilih mengalah dan membantu Emak mengisi selembar formulir pendaftaran. Meski dengan berat hati! Empat Tahun Kemudian “Minggu ini kamu libur kan, Nduk?” suara Emak terdengar agak berbisik di seberang. “Emang kenapa, Mak?” tanyaku sembari membetulkan letak headset yang kupasang asal di telinga. Hari beranjak petang, kesibukan di dapur menyiapkan menu makan malam untuk keluarga majikan, membuat kedua tanganku sangat sibuk.
“Temani Emak bisa?” “Kemana?” “Kalau kamu libur, Emak tunggu jam 9 pagi di depan Regal Hotel ya…” Klik. Emak menutup telepon begitu saja, tanpa menunggu jawabanku. Mungkin ada majikan di sekitar dia. Ah, beginilah susahnya kerja ikut orang, mau ngobrol sama keluarga sendiri pun kadang masih harus mencuri waktu. Padahal tidak setiap hari kami berbincang lewat udara. *** “Emak?“ Aku tercengang melihat penampilan wanita yang dua puluh lima tahun lalu itu telah melahirkanku ke dunia ini, memberiku peluang untuk menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Dari jarak sekian meter kulihat Emak begitu lain dari biasanya. Dandanan Emak nampak tak sepolos biasanya. Begitupun dengan beberapa teman lain yang asyik ngobrol bersamanya. Cantik-cantik dalam balutan kebaya nasional. Ehmmm… aku jadi penasaran, ada acara apa sebenarnya mereka. “Maaf, Enggar telat, Mak,” ujarku ketika langkahku terhenti tepat di depan Emak. “Si kecil rewel nggak kasih Enggar libur,” lanjutku. Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kanan, sudah hampir jam 10. Aku terlambat hampir satu jam dari waktu yang diminta Emak. “Ayo buruan kita masuk, acara sudah dimulai…” Emak menyeret tanganku, tak memberiku kesempatan untuk bertanya. Memasuki ke dalam sebuah ruangan berukuran cukup luas dan nampak elegan, telah ramai kawankawan sesama buruh migran Indonesia duduk hampir
memenuhi semua kursi yang tersedia. Dari pakaian yang dikenakan mereka, akhirnya aku tahu ada acara apa hari ini. Satu per satu rangkaian acara berlalu, hingga tiba acara puncak. Pengumuman wisudawan terbaik. Dan yang terakhir adalah… “Penghargaan khusus kami tujukan kepada mahasiswa tertua kami yang memiliki semangat dan jiwa muda, tak mau kalah dengan mahasiswa belia lain, dengan perolehan nilai yang cukup lumayan, hadirin sekalian, mari kita sambut bersama, Ibu Kartini…” sang pembawa acara menunjuk ke arah kami duduk. Seisi ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan dan teriakan-teriakan kecil. Emak melirik ke arahku dan lantas berdiri sambil membetulkan busananya. Dengan langkah mantap, Emak berjalan ke atas panggung. “Terima kasih saya ucapkan kepada pihak yayasan yang telah memberi saya kesempatan untuk menggapai cita-cita saya, mewujudkan mimpi-mimpi saya yang sempat seperempat abad lamanya terpendam bahkan hampir terlukan. Semoga memang tidak pernah ada kata terlambat buat belajar. Dan semua ini adalah buktinya…” Emak tersenyum, melempar pandangan ke arahku. “… selepas ini saya akan pensiun kerja ikut orang dan segera pulang kampung karena di sana banyak hal yang bisa saya lakukan dengan berbagai macam ilmu yang telah saya pelajari selama empat tahun ini. Harapan saya semoga anak-anak yayasan bisa pintar-pintar seperti anak-anak Hong Kong.” Kembali suasana dipenuhi tepuk tangan para hadirin mendengar kalimat lugu Emak. Sementara aku hanya terpaku di tempat dudukku. Mataku tiba-tiba terasa menghangat. Hatiku bergelora, berbagai macam perasaan campur aduk jadi satu. Bahagia, bangga, malu… Emak yang mantan guru mengaji sebelum datang kerja di
Hong Kong beberapa tahun silam, dalam keadaan terpuruk setelah ditinggal bapak kawin lagi, ternyata semangat hidupnya untuk mengabdikan diri pada masyarakat, kian membaja dan tak pernah surut dimakan waktu. Aku ingat pernah suatu hari Emak berkata kepadaku, ‘Nduk, simpan uang kamu baik-baik ya, karena mungkin Emak nggak bisa kasih kamu warisan apa-apa nanti…’ Ternyata selain untuk membiayai kuliahnya, uang gaji Emak selama ini dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah yayasan belajar untuk anak-anak kurang mampu yang ada di desa kami dan desa-desa lain sekitarnya. Meski baru dan masih dalam tahap merintis, tapi Alhamdulillah semua berjalan lancar. Emak tak pernah kekurangan, apalagi sampai harus berhutang pada bank. Kadang aku heran, bagaimana Emak bisa mengatur keuangannya dengan baik. Tak seperti aku yang sering gali lobang tutup lobang. Awal bulan terima gaji, pertengahan bulan sudah terasa kembang kempis. Ah, Emak, pantesan saja Emak tak pernah membantuku di kala aku kehabisan uang di setiap akhir bulan. Aku sering ngambek bahkan sempat menjuluki Emak pelit. Ternyata semua itu Emak lakukan dengan tujuan tidak ingin memanjakan diriku, anak semata wayangnya. Tibatiba kelopak mataku terasa menghangat, dan tak berapa lama butiran-butiran kristal menetes dari keduanya. Aku sangat terharu menyaksikan dari jauh Emak dipeluk bergantian oleh para mahasiswa dan pengurus yayasan. ‘Emak, maafkan anakmu ini yang telah salah menilai perjuanganmu selama ini. Aku anakmu yang semestinya mendukungmu tapi malah meremehkanmu!’ Aku benar-benar merasa malu dan merasa tidak berarti apa-apa. Kesempatan untukku belajar dan berkarya masih sangat lebar, tapi bodohnya aku karena telah menyia-nyiakan waktu begitu saja. Bergegas aku bangkit
dari duduk dan berjalan cepat ke arah kerumunan mahasiswa berbaju toga. “Emak, doa, tauladan dan ilmu bermanfaat yang kau tinggalkan untukku adalah lebih dari cukup! I love you full, Emak! I’m so proud of you!” bisikku di telinga Emak. Kupeluk rapat-rapat tubuh Emak, tak perduli lagi dengan tatapan dan sindiran sinis karena gaya berpakaianku yang sangat kurang sopan. “Enggar juga mau jadi mahasiswa seperti Emak!” teriakku kencang-kencang mengejutkan seluruh hadirin.(*) Eti Yunaning
‘Cause Me 22 desember 2013 Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku. Tanpa hari ini, aku tidak ada apa-apanya. Tanpa hari ini, aku tak akan pernah merasakan indahnya sebuah kasihsayang dari seseorang yang tercinta yang ada di sana. *** Mulai november ini, salju turun di sekitar kawasan NYC. Aku mulai menapaki daerah sekitar 6st Avenue. Tak tampak kehidupan yang berarti di sini. Hanya saja, orang-orang tampak berlalu lalang dengan kesibukan mereka sendiri. Kubenamkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Kubenarkan ikatan syal yang ada di leherku. Walau semua telah tertutup rapat, tetap saja terasa dingin. Kulihat sebuah termostat yang menempel pada sebuah cafe. Pantas sangat dingin, aku tak biasa dengan dingin seperti ini. Termostat setinggi 30 centi itu menunjukkan suhu 50C. Sejujurnya, inilah kali pertama aku merasakan musim dinginnya musim salju di negara Paman Syam. Setahun yang lalu, aku masih melalang buana di tanah airku. Masih terombang-ambing oleh bobroknya pendidikan di indonesia. Masih bergulat dengan kerasnya dunia mahasiswa yang selalu menjerat kantongku. Rasanya aku sangsi untuk mengingat segala kenangan pahit itu. *** Seonggok kertas telah memenuhi tempat sampah yang ada di samping meja belajarku. Setelah melewati masa panjang selama 7 semester, kali ini aku sedang disibukkan dengan tugas skripsiku yang belum kelar dari 2 bulan yang lalu. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Kini dana yang ku punya semakin menipis. Padahal, saat ini aku sangat membutuhkannya. Masa-
masa genting dimana aku harus melakukan berbagai cara demi wisudaku. Moment terindah penutup lembaran cerita kuliah. Kusibak sebuah buku berwarna coklat yang tebalnya sekitar 500 halaman. Aku ingat saat aku masih duduk di bangku SMA.Cerita itu tak pernah ku lupakan. Cerita mengharukan dari seorang ayah yang hanya kuli bangunan. Ayahku adalah seorang pekerja keras. Walaupun itu semua tak tampak berarti, namun semua itu telah cukup membuat ungkapan yang sangat mendalam bagiku. Ayahku ingin anak-anaknya menjadi lebih baik daripada beliau. Mendapat sebuah kehidupan yang lebih layak. Aku bangga memiliki ayah sepertinya. Tanpa terasa setitik air mata muncul dari pelupuk mataku. Aku sangat merindukan ayahku. Kini ia telah pergi menghadap-Nya. Akibat peristiwa 3 tahun lalu, persis 1 minggu ini. Ayah dan beberapa rekan kerjanya meninggal akibat reruntuhan bangunan yang diduga terdapat kesalahan pada konstruksinya. Aku mengutuk hari itu. Hari dimana semua cobaan bermula. Hari yang tak patut untuk dilupakan. Hari tragis dimana aku kehilangan seorang malaikat keluargaku. Aku tak kuat menahan sakit ini. *** Aku masih termangu diam di kampus Universitas. Menunggu seorang pembimbingku keluar dari ruangan kelas. Tanpa sadar, kulihat sebuah papan pengumuman yang ada di pojok kiri koridor kampus. Selembar kertas berwarna biru dengan gradasi warna merah tertempel di sana. Entah apa yang membuatku tertarik dengan selebaran itu, aku pun tak tahu. Kulihat jam tanganku. Masih sepuluh menit lagi untuk menunggu Bu Irna (guru pembimbingku) keluar dari kelas. Ku langkakan kakiku menuju papan
pengumuman yang ada di pojok kiri koridor. Tanpa basabasi kulihat sebuah anyaman kata yang tertulis di sana. Aku tak percaya dengan semua penglihatanku. Berkali-kali aku mengucek mataku, tapi tetap saja katakata itulah yang tertulis di situ. Tidak berubah. Ku rasakan sebuah kegembiraan yang membuncah dalam hatiku. Sebuah beasiswa ke luar negri! Entah kenapa, semua bebanku luntur saat itu juga melihat tulisan yang berderet di kertas itu. Jika aku bisa teriak dalam semua kegaduhan ini, pasti aku akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Teringat sebuah pesan ayahku. “Apapun yang terjadi, kamu tetap harus membuat bangga orang tuamu. Dan ayah akan sangat bangga jika kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada kami.” Ayah mengucapkan itu sehari sebelum musibah yang akan menimpanya pada keesokan harinya. Dan kini ku tekadkan untuk mengambil program beasiswa yang ada di negeri Paman Syam itu. Sebuah negri yang dulu pernah masuk dalam destinasi tour keliling duniaku. Tour rekaan yang hanya kulakukan untuk sekedar mimpi belaka. Namun, jika kuingat saat ini, aku pasti akan berjuang untuk mendapatkan tour nyata itu. Tour yang akan membuat kehidupanku lebih baik. Dengan masa depan yang lebih gemilang. *** Sebulan setelah aku mendaftar program beasiswa ke luar negri dengan menyerahkan beberapa raporku 7 semester ini, kuputuskan untuk pulang ke kampung halaman. Masih dalam keadaan ‘tercekik’ ekonomi, aku ingin mencari uang. Aku berharap, ibu bisa membantuku di rumah. Seminggu sebelum kepulanganku, aku menelpon ibu. Aku cerita tentang beasiswa yang akan aku ikuti. Ibu sangat menanggapi baik kabar baikku. Beliau sangat mengapresiasi apa yang
aku inginkan. Beliau mengatakan kepadaku bahswasanya beliau akan berkerja keras untuk mencari uang dalam waktu dekat ini. Dalam suasana keremangan rumah gubuk yang kini ibuku tempati, ku berjalan masuk. Terdengar seperti suara erangan dari bilik kamar ibu. Dengan mengucap salam, aku masuk ke kamar ibuku. “Ibu?” panggilku sesaat setelah aku masuk kedalam bilik kamarnya. Sebuah tubuh sedang terkulai lemah di atas kasur kapuk yang terlihat tersumbal di sana-sini. Ku dekatkan tubuhku menuju ke arahnya. Sesosok lain muncul dari samping kamar dengan membawa sebuah teh hangat dengan obat-obatan yang ada dalam satu nampan. “Ibu kenapa? Kok jadi lemah begini?” tanyaku cemas. Kuelus sebuah tangan hitam yang mulai menua. Tangan yang selalu menggendongkku sejak 22 tahun yang lalu. Beliau hanya melemparkan seulas senyum kepadaku. Berharap aku tak terlalu cemas memikirkannya.”Nggak apa-apa kok, nduk. Ibu baik-baik saja.” Kata lembut itu terasa menelusuk hatiku. Dengan tatapan lembutnya, ibu menatapku penuh rasa kebahagiaan. “Tapi, ibu lemah begini. Apa yang terjadi, bu?” aku mulai cemas akan semua kemungkinan terjadi. Mengapa hatiku menjadi tak enak begini? “Na, tolong ambilkan dompet ibu yang ada di selendang itu.” Ibu menyuruh Nana (adik perempuanku) untuk mengambil sebuah dompet milik ibu yang ada dalam bundelan selendang batik lusuh yang tak asing lagi di mataku. Selendang yang begitu bersejarah dalam perjalanan hidupku. Selendang yang dulu pernah membantu ibu memggendongku saat kecil.
“Ini, bu.” Nana menyerahkan sebuah dompet yang tak kalah lusuhnya dari selendang ibu tadi. Baru kuingat, dompet itulah yang pernah ditemukan ibu saat aku dan ibu berjalan membeli buku pertamaku untuk masuk di SD. Dompet yang tak ada nilainya bagi orang berduit di luar sana. Ibu membuka dompet itu. Dompet yang ku kira isinya hanya segumpal kertas catatan utang ibu kepada para tetangga. Aku sempat kaget dibuatnya. Berlembar kertas berwarna merah keluar dari dompet lusuh berwarna merah maron.”Safa, ini ibu ada rejeki. Semoga ini bisa membayar lunas semua hutang yang harus dibayar untuk menebus biaya kuliahmu dan untuk membayar dana wisuda.” Ibu memberikan berpuluhpuluh uang kepadaku. Entah apa yang harus aku rasakan. Haru, senang, bahagia, ataupun sedih. Tapi, entah kenapa ada yang mengganjal di hatiku. Beribu prasangka muncul dari benakku.“ Darimana ibu mendapat uang ini?” aku bertanya penuh ragu. Aku takut semua itu mengkhawatirkan ibu.”Ibu meminjam uang tetangga lagi?” lanjutku pelan. “Tidak, kamu tidak usah berpikir macam-macam. Tenang saja. Itu uang halal.” Kata ibu sepertinya tidak mau berbagi denganku. “Tapi, bu..” suaraku terdengar ingin mengelak. Namun apa daya. Senyum ibu meruntuhkan segala prasangkaku terhadapnya. Aku rasa memang benar. Mungkin ibu tahu apa yang membuatku bahagia. Mungkin uang ini memang uang halal yang selama ini ibu simpan untukku. *** Tanpa perasaan mengganjal dalam hatiku, tiga hari setelahnya aku kembali lagi ke kampus untuk melunasi semua biaya yang belum sempat aku bayar satu
tahun terakhir. Sebenarnya, dari dulu aku juga kesulitan dalam membayar semua uang kuliahku. Tapi ibu selalu memberiku uang dari hasilnya meminjam tetanggga di sana-sini. Terkadang aku ingin marah pada keadaan. Seakan-akan semuanya tak adil bagiku. Aku pernah bilang sama ibu kalau aku ingin putus kuliah. Aku sudah tak tega melihat ibu dicaci maki oleh sejumlah tetanggaku karena belum membayar hutangnya. Tapi, apa daya, ibu tetap keukeuh untuk menyekolahkanku. Seakan-akan aku penyebab semua penderitaan ini. Setelah seminggu di kampus, aku mendapat panggilan dari dekan bahwa aku disuruh menemuinya. Aku takut jika uang yang aku bayarkan belum lunas semuanya. Tapi, Tuhan memang tahu apa yang terbaik untuk hambanya yang selalu bersabar. Aku diberi tahu dekan bahwa aku diterima untuk menjadi salah seorang mahasiswi yang di New York University untuk program S2. Betapa aku tidak bahagia. Kini aku hanya tinggal menjalani prosesi wisuda. Semua hutang telah terbayarkan. Tak ada lagi yang mengganjal di hati. Sekolahku terlihat lancar sejauh ini, karena program beasiswa sudah aku kantongi. Tinggal mengurus paspor, visa dan yang lainnya. Ternyata Tuhan masih belum meridhoi aku bahagia. Beberapa detik setelah aku keluar dari ruang dekan, suara nyaring terdengar dari ponsel bututku. “Assalamualaikum.” Sapa orang yang ada di seberang sana.“Waalaikumsalam. Ada apa Na?” jawabku. Dari suaranya terdengar nada cemas. “Kak. . . “ terdengar suara rintihan dari seberang sana. Aku semakin tak mengerti keadaan ini.”Kak . . . ibu . . . “ suaranya terpotong.“Kenapa ibu, Na? Kenapa?” aku mulai cemas. Aku berharap suatu yang buruk tidak menimpa keluargaku.
“Kak, ibu . . .” Nana terdengar sedang menguatkan suaranya.”Ibu... meninggal kak.” katanya sesenggukan.“Hah? Bagaimana bisa?” aku semakin lemas. Kemungkinan itu terlalu buruk menimpaku. “Ibu mengalami gagal ginjal. Uhuk . . . ginjal beliau tidak berfungsi yang sebelah kiri.” Jelas Nana masih dalam keadaan sesenggukan.“Bagaimana bisa? Bukankah masih ada yang satunya?” aku semakin kalut oleh keadaan. “Kak..” terdengar rintihan tangis dari suara Nana.” Sebenarnya, uang yang diberikan ibu untuk membayar biaya kuliah kakak, adalah hasil dari penjualan ginjal ibu. Ibu tak tega melihat kakak terus memikirkan hutang-hutang yang semakin menumpuk. Jadi saat ada orang yang sedang mencari ginjal untuk anaknya, ibu bersedia menukarnya dengan uang 50 juta.” Jelas Nana masih sesenggukan. Walau suara tangis tak terdengar lagi. Entah kenapa kakiku mulai lemas. Kakiku sudah tak mampu lagi untuk menopang berat tubuhku. Mataku mulai buram. Gendang telingaku seakan-akan telah kehilangan fungsinya. Tanganku sudah dingin. Hanya rintikan tangis yang kini kulakukan. Senyap. Samarsamar aku masih mendengar suara Nana. Terdengar banyak hentakan kaki yang mulai mendekatiku. Oh Tuhan, maafkan aku! Fiqiwulan Sari
Kambing Aja Sekolah Mentari pagi semakin menyengat dengan teriknya di kaki gunung Semeru, membuat gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut terlihat semakin gagah tanpa ada kabut yang menyelimuti. Dibalik rerumputan yang lebat ada sesosok anak laki-laki berumur 11 tahun yang bernama Kartono dan sering dipanggil dengan nama Tono, dia masih sibuk memotong rerumputan untuk pakan sapi perah milik orang tuanya. Sesekali peluh keringat mengalir di pelipis kepalanya. Tono terkenal sebagai anak yang gigih dan pekerja keras, serta berbakti pada orang tua. “Mak, Tono pulang dulu ya. Rumputnya sudah banyak ini, sekalian Tono mau mencuci sepatu sama seragam sekolah. Besok kan hari senin harus sudah masuk sekolah mak.” Tiba-tiba Tono memecah kesunyian di ladang tempat dia dan emaknya mencari rumput. “Sebentar Ton, ini rumput yang dipotong baru cukup untuk 3 sapi yang betina, untuk kedua pedetnya nanti bagaimana kalo rumputnya kurang?” “Tapi ini sudah semakin siang mak, mumpung sekarang cerah mau cepet-cepet nyuci perlengkapan sekolah. Nanti lepas dhuhur juga ada sekolah bahasa Jepang dari mas-mas dan mbak-mbak KKN mak. Tono ndak mau ketinggalan.” “Aahh.. yasudah kamu pulang sana, biar emak yang motong rumput sendiri. Punya anak cowok satunya-satunya disuruh bantu orang tua ada saja alsannya. Sekolah apalah, sekolah kan gak menghasilkan duit, malah ngeluarin duit. Mending nyari rumput buat ternak, ternaknya menghasilkan duit, atau menanam pisang kirana kan buahnya kalau dijual bisa laku mahal Ton..Ton.” keluh emaknya sambil terus memotong rumput.
“Sekolah itu menyenangkan mak, banyak temenya. Ilmunya juga bertambah banyak, dapat melihat kehidupan yang ada di tempat jauh sana.. Tono pulang dulu mak, nanti sore biar Tono yang kasih makan sapi perahnya.” Tono pulang dengan membawa rumput dalam ikatan yang cukup besar diatas kepalanya. Dengan riang sambil bernyanyi Tono menyusuri terjalnya jalan setapak di lereng gunung, memikirkan betapa menyenangkannya nanti siang akan belajar bahasa Jepang bersama teman-teman sekolah dan diajari oleh orang-orang yang KKN di desanya. Bagi Tono belajar bahasa Jepang adalah bahasa yang sangat jarang dia dengar, tidak seperti bahasa Inggris yang diajarkan oleh guru di SDnya. ... Tono pulang dari belajar bahasa Jepang terlalu sore, dia lupa akan janjinya untuk member makan sapi perah milik orang tuanya. Hingga membuat emaknya marah. “Dari mana saja kamu Tono?! Sudah jam berapa ini? Lihat ini jam berapa!” Baru membuka pintu rumah suara emaknya sudah nyaring dengan nada marah dan dengan tangan sambil nunjuk ke arah jam dinding yang tertempel di sisi kiri tembok ruang tamu rumahnya. “Iya maaf mak, Tono terlalu asik belajar bahasa Jepang bersama teman-teman dan mas mbak KKN. Tono jadi pulang sesore ini. Maafin Tono mak.” Dengan muka memelas Tono merengek minta maaf pada emaknya. Permintaan maaf Tono justru membuat emaknya semakin marah. “ Kamu ingat gak tadi pagi kamu janji apa? Ingat gak?!!” “Iya sekarang ingat mak, Tono tadi pagi berjanji untuk member makan sapi perah. Tapi Tono lupa mak
tadi terlalu asyik belajar bahasa Jepang mak. Maaf ya mak.” “Kamu tahu gak akibat kalau kamu gak ngasih makan sapi perah tepat waktu? Dia sama saja seperti manusia yang butuh makan. Beda dengan manusia, sapi itu tidak dapat mencari makan sendiri saat lapar, dia menunggu pemiliknya yang memberi makan. Kalau sapi perah itu telat diberi makan maka produksi susunya akan menurun. Itu bisa bikin rugi kita Tono. Untung saja lepas adzan ashar emak pulang dan pergi ke kandang melihat sapi yang belum diberi makan.” “Maaf mak. Besok Tono gak akan mengulangi kesalahan ini lagi.” “Apa yang kamu dapat dari belajar bahasa yang gak jelas itu?.. Apa itu bisa menghasilkan duit?” “Sekali lagi maaf mak. Maafin Tono mak.” Hanya maaf yang dan perasaan menyesal yang dapat terucap dari mulut Tono. Dia tidak berani untuk menyangkal perkataan emaknya karena takut semakin menyakiti hati emaknya dan dia juga tidak menyangka kalau emaknya akan semarah ini. ... Hari-hari berikutnya dilalui Tono seperti biasanya, sepulang sekolah membantu mencari rumput di ladang, memberi makan sapi perah serta memerah susu dari sapi perah milik kedua orang tuanya. Hari minggu ini sangat sibuk bagi Tono untuk membantu keluarganya. Keluarganya dan beberapa keluarga lainnya di sekitar rumahnya juga disibukkan dengan banyaknya pesanan pisang kirana khas Lumajang dari beberapa kota besar seperti Surabaya dan Yogyakarta. Pagi-pagi sebelum berangkat ke ladang Tono sudah membersihkan kandang member makan sapi, memerah susunya dan menyetorkan susu hasil perahan ke KUD, lalu menyusul
kedua orang tua dan adiknya ke ladang untuk panen pisang kirana. “Tono, kamu sarapan dulu lalu bantuin bapakmu angkut buah pisangnya ke dekat jalan sini.” Setibanya di ladang emaknya sudah memberikan tugas baru untuknya. Tanpa perlu menjawab panjang lebar Tono hanya menganggukkan kepala dan mulai sarapan dengan sayur sop serta lauk tahu tempe dan sambal tomat. Sarapan dengan lauk seperti itu sudah menjadi suatu kenikmatan yang tak terkira bagi keluarga Tono, terlebih sarapan di ladang dengan disaksikan oleh puncak Mahameru yang begitu megah dan gagah. Setelah sarapan Tono dengan cekatan langsung membantu bapaknya mengangkat buah-buah pisang ke dekat jalan. Lepas adzan dhuhur Tono meminta pada kedua orang tuanya untuk pulang melakukan sholat dan akan mengikuti belajar bahasa Jepang bersama teman-teman dan orang-orang yang KKN di desanya. “Pak, mak,.. Tono mau pulang sholat dzuhur dulu sekalian mau belajar bahasa Jepang ya.” “Kamu tidak tahu kita sekarang lagi sibuk Tono, tidak bisakah kamu lebih memilih membantu orang tuamu dan meninggalkan belajar bahasa Jepang yang gak ada gunanya itu. Lakukan sholat dhuhur di ladang saja, pakai sarung bapakmu itu.” Dengan tegas emaknya melarang untuk tidak boleh mengikuti belajar bahasa Jepang. “Tapi mak, belajar bahasa Jepang itu jarang diajarkan mak. Siapa tahu nanti Tono bisa sekolah jauh ke negeri sakura itu mak… Tono pengen belajar bersama teman-teman mak.” “Kamu harus membantu kami di ladang sampai pesanan hari ini selesai Tono, kamu harusnya melihat betapa sibuknya keluarga kita hari ini.”
Akhirnya Tono mengalah dan segera melaksanakan sholat dzuhur di ladang. Rasa kecewa yang dia tahan dalam hati dia tumpahkan dalam setiap sujudnya. Kesibukan memenuhi pesanan pisang kirana pada hari ini baru berakhir saat memasuki adzan ashar, dan dilanjutkan dengan kesibukan mengurusi sapi perah yang ada. ... Semenjak adanya larangan untuk tidak mengikuti belajar bahasa Jepang saat di ladang minggu lalu, Tono tidak berani untuk meminta izin mengikuti belajar bahasa Jepang itu lagi, meskipun sebenarnya dia sangat ingin pergi belajar. Saat pertama kali belajar bahasa Jepang bersama orang-orang yang KKN di desanya, Tono memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar tentang negeri sakura tersebut dan sudah mempunyai niatan dalam hati untuk pergi kesana suatu hari nanti. Nampaknya harapan Tono untuk melanjutkan sekolah harus pupus ketika dia melakukan sebuat kesalahan besar hingga membuat ibunya sangat marah dan menyuruhnya untuk berhenti sekolah. “Tono..!! Apa yang kamu lakukan pada pedet kita? Lihat perbuatanmu itu!!.” Bapak Tono yang baru pulang dari ladang sangat kaget melihat pedet mereka terbujur kaku dengan mulut berbusa. “Astaga..!! Tono gak melakukan apa-apa pak, sumpah.” “Kalau kamu gak melakukan apa-apa gak mungkin pedet kita jadi mati keracunan. Kamu yang ngasih makan tadi pagi kan?!! Kamu gak ngasih pakan dengan rumput kan?!!” “Iya pak, tadi pagi Tono lagi gak enak badan. Mencari rumput membutuhkan waktu yang lama, jadi nyari rumputnya hanya sedikit. Lalu Tono memangkas banyak pohon gamal yang tumbuh di tepi sungai dekat
ladang kita dan tak berikan semuanya ke sapi perah kita pak.” Tono menjelaskan apa yang dia lakukan tadi pagi. “Itu dia yang bikin pedet kita mati keracunan Tono, daun gamal itu mengandung racun jika diberikan terlalu banyak. Kamu kali ini benar-benar keterlaluan, bikin rugi besar. Pedet yang laku jutaan rupiah mati mengenaskan. Coba kamu pikirkan itu. Mulai besok kamu gak usah sekolah, kamu cari uang saja buat ganti pedet yang mati. Urus sapi perah yang masih hidup dan tanam pisang kirana sebanyak-banyaknya. Gausah pergi ke sekolah..!! ingat itu Tono..!” kemaran bapaknya semakin memuncak, emak dan adiknya yang juga ada di ruangan yang sama, tidak sedikitpun berani berucap. “Tono masih pengen sekolah pak, Tono pengen terus sekolah pak. Biarkan Tono sekolah pak.. Tono mohon pak..” “Untuk kesalahan sebesar ini, gak ada kata maaf buat kamu.” Semua harapan Tono untuk terus bersekolah sampai ke negeri sakura sudah pupus hari itu juga. Dia merasa kecewa dengan dirinya sendiri, karena telah membuat kesalahan besar hingga mendapatkan hukuman yang sangat berat. Dia akan bernasib sama dengan anak tetangga-tetangganya, hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SD, bahkan SD saja tidak lulus. Daerah tempat tinggal Tono memang terkenal dengan potensi alam yang sangat bagus untuk usaha peternakan sapi perah dan pisang kirana yang mendunia, hal itulah yang membuat banyak orang tua lebih memilih menyuruh anaknya untuk bekerja dan menjalankan usaha dari pada sekolah tinggi. Meskipun dia lahir pada tanggal yang sama serta nama yang hampir sama dengan pahlawan emansipasi wanita yaitu tanggal 21 April
lahirnya R.A.Kartini. Dia sudah tidak bisa berbuat apaapa lagi untuk menyelamatkan pendidikannya. ... Pagi sudah tiba, hari Senin. Hari dimana biasanya Tono bergegas untuk siap-siap pergi ke sekolah supaya tidak terlambat mengikuti upacara bendera. Hari ini semuanya sudah berubah, dia dengan langkah yang tidak bersemangat membawa sabit di tangan untuk bersiap mencari rumput. Saat perjalanan menuju ladang, dia melihat temannya menuju sekolah dengan menuntun kambing-kambing perah untuk di lepas di lapangan dekat sekolahan. Sebuah celetukan tiba-tiba keluar dari mulut Tono. “Kambing aja sekolah, masa aku tidak. Kambing aja senang pergi ke sekolah, tapi aku sudah tidak sekolah. Aku iri dengan kambing-kambing itu.” Ternyata ibu dan bapaknya sudah berada di belakangnya saat dia bergumam menyaksikan temannya yang pergi ke sekolah. “Tono, apa benar kamu ingin sungguh-sungguh sekolah?” Tiba-tiba terdengar suara yang sudah tidak asing ditelinganya, yaitu suara emaknya. “Emak..!! iya mak, Tono pengen sekali terus sekolah, bahkan Tono pengen ke Jepang mak.” Seraya masih gak percaya kalau orangtuanya berada di belakangnya sejak tadi. “Bapakmu sebenarnya tidak bermaksud untuk melarangmu berhenti sekolah Ton. Bukan seperti itu.. Maafkan kami Ton, kemarahan bapakmu kemarin keterlaluan dan emak gak membelamu. Sebenarnya kami sayang sama kamu, kami pengen kamu sekolah tinggi tidak seperti anak-anak lain. Bapakmu sudah lama menginginkan kamu untuk pergi sekolah ke kota saat kamu SMP nanti, semua nasihat dan didikan keras itu untuk melatih kamu menjadi anak yang kuat dan
mandiri. Sapi perah dan pisang kirana itulah sumber tabungan untuk kamu sekolah kamu nanti, makanya bapakmu sangat marah. Maafkan bapak dan emakmu ya Ton, sekarang kamu pergi ke sekolah saja menyusul kambing-kambing tadi yang telah membuatmu iri.” “Terima kasih bapak.. emak, Tono akan berikan yang terbaik buat bapak dan emak. Tono janji akan menjadi anak yang berbakti dan tidak akan melakukan kesalahan lagi, Tono juga akan berjuang menempuh pendidikan dengan sebaik-baiknya supaya kelak bisa kuliah ke Jepang dan melihat dunia yang lebih luas lagi, tidak hanya melihat melihat megahnya gunung Semeru saja. Setelah lulus nanti baru balik kesini dan akan membangun desa kita menjadi lebih maju lagi, Tono ke sekolah dulu menyusul kambing-kambing itu ya pak mak.” Ninik Sundari
Jendela Kehidupan Adikku “Masa depan bisa kau mulai dengan bermimpi” Ayo sekolah!! Aku mempunyai mimpi besar. Besar sekali, hingga terkadang aku terpikir mungkin mimpi itu hanya akan menjadi mimpi. Aku hanyalah gadis yang biasa saja. Jika kau tahu nilai-nilaiku, itu hanyalah nilai yang biasa. Bukannya tak bersyukur, tapi inilah kenyataannya. Tak ada yang istimewa meskipun aku selalu masuk sekolah favorit di kota kecilku ini melalui jalur tes dan nilai rapot. Dan akhirnya kini aku menyadari, menjadi gadis yang biasa-biasa saja selama sekolah menjadi dilema tersendiri sekarang. Mungkin kau akan bertanya “mengapa”. Itu karena sampai detik ini aku tak tahu apa sebenarnya bakat yang bisa aku kembangkan, aku masih tak mengerti apa minatku sebenarnya, yang aku tahu aku menyukai dunia kesehatan, aku selalu tertarik dengan penelitian tapi aku tak terlalu pandai dalam menghafal. Namaku Lia. Melia tepatnya. Kini aku sedang berada di fase yang aku tak bisa mendeskripsikannya. Rasanya seperti ingin pergi dari kenyataan. Berlari dan melupakan mimpi-mimpi besarku. Aku ingin menghilang tanpa seorangpun yang sedih mencariku. Menjadi mahasiswa membuatku stress akhirakhir ini. Bukan karena tugas yang menumpuk gunung itu, sama sekali bukan. Lebih tepatnya karena pikiranpikiran yang terus saja hilir mudik di otakku. Ini
mengenai akan kemana aku setelah ini? Akan menjadi apa aku nantinya? Aku bermimpi menjadi dokter sejak dahulu. Jangan terpikir bahwa orangtuaku adalah dokter sehingga cita-citaku setinggi itu. Itu salah besar. Ayahku seorang petani dan ibuku seorang guru TK, tetapi mimpiku menjadi dokter. Sekali lagi aku tulis “DOKTER”. Banyak yang mengatakan mimpiku terlalu besar, bahkan untuk ukuran anak seorang petani. Tentu saja aku tahu arah pembicaraan mereka, semua itu mengarah pada masalah krusial hidup, biaya. Saat ini, aku menjadi salah satu mahasiswa di salah satu universitas negeri ternama. Aku menjadi salah satu mahasiswa di jurusan kesehatan yang kata orang masa depannya suram. “Mau jadi apa nantinya?” kata salah seorang tetanggaku waktu itu. Saat itu ingin aku jawab perkataan beliau “Apakah Ibu seorang Tuhan yang bisa menentukan masa depan seseorang?”, tapi tentu saja itu hanya teriakan hati. Aku mengurungkan niatku dengan berbagai pertimbangan. Memang pada akhirnya harus kurelakan mimpi besar berjas putih untuk beralih ke pilihan yang mungkin masih sejalur meskipun pada ujungnya tak akan sama. Bukan hanya biaya yang menjadi kendala, karena nyatanya nyaliku juga tak cukup kuat untuk mewujudkan impian itu. Aku berpikir, seandainya aku mencoba dan akhirnya (mungkin) lolos, aku hanya memikirkan nasib adikku. Apakah ia masih bisa bersekolah saat aku memutuskan menjadi seorang mahasiswa kedokteran? Tak lucu jika pada akhirnya orangtuaku harus menjual
rumah yang kami tempati demi anaknya menjadi dokter. Nyatanya, seperti ini saja orangtuaku sudah bersusah payah mencarikan biaya tambahan untuk mencukupi segalanya. Febri, itu nama adikku. Laki-laki kelas 3 SMA yang tahun depan akan menyusul menjadi mahasiswa juga. Dan harus menyusul menjadi mahasiswa, itu bagian dari impianku. “Mbak, aku ingin masuk jurusan teknik nantinya,” kata adikku suatu hari saat kami sedang menghabiskan waktu bersama. Aku mengerti, lebih dari mengerti ketika dia mempunyai mimpi tinggi. Sama seperti aku dulu, batinku dalam hati. “Teknik apa? Belajarnya mulai sekarang. Teknik itu main di otak. Matematika, Fisika. Semua pakai hitungan,” jawabku. “Teknik Kimia. Aku ingin membanggakan Bapak, Ibu dan semua keluarga. Bolehkan aku memilih itu? Kirakira Bapak Ibu sanggup atau tidak ya membiayai kita berdua...” Seketika kakiku lemas tak berdaya mendengar kalimat terakhir adikku. Entah debu darimana yang menyebabkan mataku berkaca-kaca. Sungguh, jika aku mempunyai tabungan yang cukup besar dan berlimpah akan aku berikan pada adikku saat itu juga dan berkata, “Lanjutkan sekolahmu. Gapai mimpi besar itu. Bangunlah jendela kehidupanmu. Jangan mengkhawatirkan mengenai biaya.” Tapi aku tak berdaya. Ingin
menyalahkan siapa? Keadaaan? Itu lebih dari bodoh, pikirku. Aku menyadari kesalahanku saat ini. Mengapa tak terpikirkan olehku saat masih berstatus siswa bahwa biaya kuliah sebesar ini? Mengapa tak kusisihkan lebih banyak uang saku yang selama ini kuterima? Penyesalan selalu datang terakhir. Tentu saja, jika diawal maka namanya pendaftaran, bukan? “Akan ada banyak beasiswa setelah menjadi mahasiswa jika mau berusaha. Usaha aja dulu biar bisa masuk teknik kimia,” jawabku seadanya. Sejujurnya, aku bingung harus berkata apa pada adikku saat itu. Terlebih menghadapi kenyataan bahwa orangtua kami memang orang biasa. Dan menurut info yang beredar, kuliah di jurusan ilmu alam memang cenderung lebih mahal jika dibandingkan dengan kuliah di jurusan ilmu sosial. Sebenarnya aku tak mengetahuinya secara pasti. Untuk membiayai kuliah satu kakakku saja -- sekarang telah lulus kuliah dirumpun ilmu sosial -- orangtuaku harus “nyabuki weteng” (mengencangkan ikat pinggang di perut), apalagi membiayai dua anak yang berkuliah. Satu hal yang paling mengusik pikiranku saat ini, jika pada nantinya aku tak menjadi apa-apa setelah lulus kuliah, apa yang akan kuberikan pada orangtuaku untuk mengganti segala yang mereka korbankan? Meskipun aku tahu, tak akan ada harga yang pantas dibayarkan untuk segala pengorbanan mereka. Tapi perasaan takut itulah yang selalu mengusikku.
Terkadang aku ingin berhenti. Berhenti menjalani ini. Berhenti berjuang disini, berhenti menggapai mimpi besarku, demi adikku. Demi mimpi adikku, demi cita-cita dan masa depannya. Demi sekolahnya. Bagaimanapun dia laki-laki dan aku perempuan. Terkadang perkataan orang-orang Jawa kuno yang menyebut “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya juga ikut suami,” itu benar-benar ingin membuatku menyerah disini. Tapi setiap aku ingin menyerah, wajah Ibuku selalu tergambar dalam garis-garis imajiner dan membuatku mengingat perkataan beliau. “Ibu gak punya apa-apa. Begitu juga Bapak. Kami tak punya harta berlebih untuk diwariskan. Selama masih bisa membiayai sekolah kalian, berjuanglah sekuat tenaga. Berdoalah semoga cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Karena Ibu hanya memiliki ini untuk bekal kalian. Suatu saat kami akan pergi, dan saat itu kami tak bisa lagi membantu kalian. Karena itu Ibu mensekolahkan kalian. Belajarlah karena hanya ini yang bisa kami lakukan.” Sungguh, itulah yang menjadi kekuatanku hingga saat ini. Hingga detik ini. Bahwa aku harus cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Tapi membayangkan masa depan membuatku takut. Aku takut mengecewakan mereka suatu saat nanti. Aku mencoba menepis pikiran-pikiran bodohku untuk menyerah disini. Mencoba kembali menata mimpi. Aku masih punya Tuhan yang Maha Besar, lebih besar dari masalahku. Aku masih mempunyai orangtua, kakak,
adik yang menunggu kesuksesanku. Meskipun mengenakan jas putih tak lagi menjadi prioritas utamaku saat ini, dan hampir menjadi urutan ke-100 sepertinya, aku mulai menata apa yang bisa aku kerjakan di jalur ini. Setidaknya aku tak ingin mengulang masa-masa sekolahku yang hanya menghabiskan waktu dengan belajar hal yang secara umum, tanpa ada hal spesifik yang aku kuasai. Aku mulai berpikir untuk mengembangkan apa yang aku minati. Dan aku yakin, Tuhan selalu lebih kuat dari segala masalah kita. Berserah. Kukirimkan pesan singkat -- penggalan lirik lagu kesukaanku -- pada adikku: “Berserah bukan berarti menyerah, tapi tak henti percaya bahwa kita memang pantas bahagia. Selalu ada jalan, doakan mereka agar selalu diberi rejeki untuk sekolah kita.” Saat ini aku meyakini satu hal yang pasti, “gantungkanlah mimpi setinggi langit, jika memang mimpi itu belum tercapai, setidaknya mereka telah menggantung bersama bintang-bintang”. Selalu ada hikmah dibalik ini semua. Mungkin saat ini aku belum lulus dengan gelar sarjana. Tapi impianku makin tinggi dari sebelumnya. Jika aku belum bisa membalas semua yang telah diberikan orangtuaku hingga detik ini, setidaknya aku ingin mengukir senyum bangga dan bahagia di wajah mereka dengan bertahan disini. Aku berharap semoga kelak mereka masih bisa melihat dan menemani ketiga anaknya berjuang hingga mampu berdiri di kaki mereka sendiri. Tentu saja berkat
ribuan bulir keringat yang telah mereka korbankan berbalut doa yang terus diucapkan siang malam. Ribuan mimpi itu kini kugantungkan bersama ribuan mimpi adikku. Aku berharap diantara kami tak ada yang harus mengalah pada keadaan. Jikalau suatu saat itu terjadi, mungkin aku akan meminta pada Tuhan, jika sekolahku bisa kutukar dengan masa depan adikkku, maka akan kulakukan. Takkan kubiarkan jendela kehidupan adikku musnah begitu saja. Elvira Purnamasari
AKU INGIN SEKOLAH Berlarilah Teruslah berlari Bangun dari sisi gelapmu Wujudkan ribuan cita yang engkau bangun Masih kan ada banyak waktu
Percayalah Akan ada harapan Gapai hari cerahmu Gapai jutaan asa yang engkau impikan Masih kan ada banyak jalan Terkesan tidak adil memang ketika melihat seseorang tanpa melakukan apapun mendapatkan sesuatu yang inginkannya, namun disisi lain banyak orang yang bekerja keras melakukan sesuatu, bahkan mengorbankan sesuatu namun tetap kesulitan untuk mendapatkannya, seperti halnya dengan pendidikan yang merupakan hak mendasar bagi setiap orang, bagi setiap anak, namun lagi-lagi masalah ekonomi yang
memaksa mereka untuk mengalah pada keadaan, mengalah pada impian, namun tidak untukku. ‘Dio, sarapannya udah siap’ suara Ibu memanggil adiku yang tengah memakai seragam sekolahnya. ‘Iya, Kakak udah berangkat Bu? kata Dio, adikku ‘Kakakmu sudah berangkat dari habis subuh tadi, katanya
ada
temannya
yang
sakit,
jadi
selain
mengantarkan bagiannya, Kakakmu juga mengantarkan koran bagian temannya’ jawab Ibuku Namaku Ryan, pekerjaanku adalah seorang loper koran, yang bertugas mengantarkan koran dari rumah ke rumah untuk dibaca oleh pelanggan dipagi hari, karena untuk dibaca di pagi hari, jadi aku harus mengantarkanya pagi-pagi sekali, sudah hampir setahun aku menjadi loper koran, hampir setahun pula aku memutuskan untuk putus sekolah, seharusnya aku duduk di bangku SMA tahun ini, namun dengan mengandalkan hasil ibu berjualan kue itu belum cukup untuk membiayai aku dan adikku sekolah, hingga aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kejenjang SMA, Namun satu impianku sekarang, bagaimanapun carannya, adikku harus tetap sekolah setinggi mungkin, sedangkan di siang hari, aku memulung, mengumpulkan
barang-barang bekas didekat stasiun, aku hanya tinggal bersama Ibu dan Adikku Dio, Ayah meninggal 5 tahun yang lalu karena sebuah kecelakkaan, Ayah adalah korban tabrak lari, semenjak saat itu kondisi ekonomi dikeluarga kami kian memburuk, Ibu terpaksa harus menjual rumah, untuk membayar hutang dan memenuhi kebutuhan kami, kemudian kami tinggal di rumah kontrakan untuk melanjutkan hidup. Adikku sekarang duduk dibangku SMP, dia membantu ibu dengan menjual kue buatan ibu setiap jam istirahat, terkadang aku kasihan dengan Dio, yang harus bersusah payah berjualan kue di sekolah. ‘Kakak’ suara adikku yang baru pulang sekolah. ‘ Iya Dio, ada apa’ jawab ku ‘Kakak lagi apa’ tanya Dio ‘Tadi ketika mencari barang bekas di dekat stasiun, kakak menemukan buku ini, jadi kakak baca deh’ aku menjelaskan ‘Oh ya kak, tadi disekolah aku ketemu dengan Rani’ ‘Rani temen sekelasmu dulu’ ‘Iya kak, kata Rani ada program beasiswa untuk SMA, untuk anak-anak kurang mampu yang berprestasi kak, kakak mau ikut kan’ kata Dio
Entah kenaapa, sejenak aku merasa senang ketika mendengar dari Dio bahwa ada program beasiswa, namun apa aku sanggup? ‘Tapi apa kakak bisa’ tanyaku ‘Aku yakin kakak bisa, kakak dulu selalu mendapat peringkat pertama kan, jadi aku yakin kakak bisa, kakak cuma harus mengikuti test seleksinya 3 minggu lagi, pendaftarannya gratis kak, testnya selama dua hari, jadi kakak hanya mengeluarkan biaya untuk disana selama dua hari saja.’ Dio meyakinkanku ‘Iya, kakak mau ikut’ jawabku Ketika memutuskan untuk mengikuti test seleksi untuk program besiswa, aku melihat kearah Dio, aku baru sadar bahwa seragam dan sepatu Dio sudah waktunya
utnuk
diganti,
bukannya
Dio
tidak
merawatnya tapi memang sudah dua tahun Dio harus memakai seragam dan sepatu sekolah yang sama, sepatunya sudah terlihat tidak muat dikakinya yang semakin besar. ‘Dio sebentar ya’ kataku ‘Iya Kak’ jawab Dio ‘Prakkkkk’ suara celengan yang baru saja dipecahkan
‘Lho kak, itukan celengan ayam kakak, kok dipecahin sih?’ Tanya Dio kaget ‘Ryan, Dio.. itu bunyi apa?’ tanya Ibu ‘Kak Ryan mecahin celengannya bu’ Jawab Dio ‘Apa ada hal yang mendadak ya, sampai-sampai kamu harus ngambil hasil tabungan kamu? Tanya Ibu padaku ‘Dio, ayo kita beli sepatu dan seragam baru buat kamu’ jawabku ‘Tapi kan kak, itu uang tabungan kakak, itu kan buat biaya kakak saat test seleksi beasiswa’ Dio menolak ‘Beasiswa’? kata ibu ‘Iya Bu, tadi disekolah Rani bilang ada program beasiswa untuk anak kurang mampu yang berprestasi, aku minta kakak untuk ikut’ Dio menjelaskan ‘Maafin kakak, kamu harus memakai seragam dan sepatu sekolah yang sama selama dua tahun, kamu juga sampai harus bantuin ibu jualan kue di sekolah’ kataku ‘Dio gak apa-apa kok, harus pakai seragam dan sepatu sekolah yang sama, kalau untuk masalah jualan kue, Dio seneng bisa bantu kakak sama Ibu, Dio gak mau menyusahkan terus, Kakak harus putus sekolah dan bekerja cuma untuk membiayai sekolah Dio,’
‘Sudah-sudah, ini uang untuk beli seragam sama sepatu baru buat Dio’ titi-tiba ibu memberikan uang untuk membeli sepatu dan seragam untuk Dio ‘Ini ibu dapat uang dari mana’ tanyaku ‘Sudah,
tidak
usah
dipikirkan,
simpan
tabunganmu kembali, gunakan uang ibu untuk membeli seragam sama sepatu buat Dio, sudah tugas ibu sebagai ibu kalian’ jawab ibu Bagaimana tidak aku pikirkan, dari mana ibu mendapat uang sebanyak itu, kalau dari hasil menjual kue sepertinya tidak mungkin sebanyak itu, tapi sudahlah mungkin ibu punya tabungan. Sementara itu uang hasil dari mengantarkan koran dan hasil memulung sepertinya masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari, sebentar lagi tahun ajaran baru dan Dio pasti harus membeli buku pelajaran dan alat tulis baru. aku jadi teringat ketika di statiun banyak orang yang bertanya apakah ada tukang semir sepatu, tapi di stasiun belum ada orang yang menawarkan jasa semir sepatu, ini memberikanku ide untuk menawarkan jasa semir sepatu di sekitar stasiun.
Menjadi tukang semir sepatu cukup membantu memenuhi kebutuhan keluarga kami, sudah hampir tiga minggu setiap siang aku menawarkan jasa semir sepatu, dan tidak terasa besok adalah hari test seleksi untuk mendapatkan beasiswa, jadi aku harus pulang lebih awal untuk menyiapkan segala sesuatunya, namun aku harus mampir ke musholla stasiun terlebih dahulu untuk sholat ashar. ‘Dek, kamu tukang semir sepatu ya’ kata seorang bapak kepadaku ‘Iya pak, saya tukang semir sepatu’ jawabku ‘Tolong semirkan sepatu saya ya’ ‘Iya pak, iya pak’ kataku sampil memulai menyemir sepatu ‘Nama kamu siapa,? Umurmu kamu berapa?’ ‘Saya Ryan pak, umur saya 16 tahun’jawabku ‘Saya Pak Ahmad, saya salah satu dosen di universitas swasta di dekat sini, berarti sekarang kamu masih duduk di bangku SMA’? tanya pak Ahmad ‘Tidak pak saya putus sekolah’ kataku ‘Putus sekolah? Kenapa?’kata Pak Ahmad terkejut ‘Iya pak, ibu tidak sanggup kalau harus membiayai sekolah saya dan Dio adik saya, jadi saya memutuskan
untuk berhenti sekolah, dan bekerja menjadi loper koran dipagi hari, setelah itu memulung barang-barang bekas dan menjadi tukang semir sepatu di statiun ini, untuk biaya adik saya sekolah’ aku menjelaskan ‘Wah,, pasti adikku bangga memiliki kakak sepertimu’ jawab Pak Ahmad ‘Saya cuman lulusan SMP pak, apa yang bisa dibanggkan dari saya’ tanyaku ‘Meskipun kamu hanya lulusan SMP, tapi kamu mempunyai pemikiran dan tekad yang luar biasa, kamu pun pasti ingin melanjutkan sekolah kamu, tapi kamu mampu memahami keadaan, sehingga kamu lebih mengutamakan adikku dibandingkan dirimu sendiri’ kata Pak Ahmad ‘Terima kasih pak, oh ya ini sudah selesai sepatunya’ ‘Terima kasih juga, ini biayanya’ kata Pak Ahmad sambil memberikan uang seratus ribu kepadaku ‘Bapak pelanggan pertama saya hari ini pak, apa tidak ada uang kecil pak? ’ ‘Sudah ambil semua saja, anggap ini uang jajan buat adikmu’ kata Pak Ahmad ‘Tapi pak saya tidak bisa bisa menerimanya’ jawabku
‘Baiklah tapi lain kali saya tetap akan bayar’ kata Pak Ahmad Memang aku memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami, namun aku tidak bisa menerinya dengan semudah itu tanpa melakukan apapun, aku pun bergegas pulang kerumah untuk mempersiapkan
test
besok,
namun
sesampainya
dirumah aku dikejutkan oleh sesuatu, ‘Pokoknya kalau ibu tidak bisa bayar, ibu harus pergi dari rumah’ ‘Berikan saya waktu bu, pasti akan saya bayar’ kata ibuku ‘Tidak bisa, ini sudah jatuh tempo dari perjanjian’ Ternyata uang dari ibu untuk membeli seragam dan sepatu baru untuk Dio, adalah uang untuk membayar kontrakan, dan hari ini sudah jatuh tempo untuk membayarnya. ‘Ibu.. Dio.. apa apa? Kataku sambil berlari menghampiri ibu dan adikku ‘Ibumu sudah dua bulan tidak bayar uang kontrakan, jadi hari ini kalian harus pergi dari rumah ini’ kata ibu pemilik kontrakan sambil membentak
‘Tunggu sebentar bu, ini saya baru punya setengahnya,
saya
janji
besok saya akan lunasi
semuannya’ kataku sambil memberikan uang ‘Nah, gini kan enak, tapi janji besok harus lunas’ kata ibu pemilik kontrakan sambil meninggalkan kami ‘Kak, itu kan uang tabungan dari celengan ayam dan hasil kerja kakak untuk biaya test seleksi kakak’ kata Dio ‘Tidak
apa,
untuk
uang
kita
masih
bisa
mencarinya, untuk masalah test seleksi, mau bagaimana lagi, kakak tidak jadi ikut’ jawabku ‘Tapi itukan kesempatan kakak untuk bisa malanjutkan sekolah’ ‘Maafkan ibu ya, ibu selalu menyusahkan kalian’ kata ibu sambil menangis ‘Tak apa bu, jangan dipikirkan, dan untuk Dio, yang kakak utamakan adalah pendidikan kamu’ kataku Mungkin memang aku tidak akan pernah bisa untuk melanjutkan pendidikanku, tapi tetap aku ingin Dio untuk melanjutkan pendidikanya setinggi-tingginya walau harus ku korbankan semua waktu dan tenagaku, tidak peduli seberapa beratnya, tidak peduli seberapa lamanya, aku akan berusaha, dan masih akan terus
berusaha, jadi Dio kamupun juga harus berusaha meraih impian
kamu,
akan
ada
kakak
yang
selalu
mendukungmu. Dikha March Hari
Dongeng Sekolah dari Ibu Aku masih setia memelototi wajah oval milik ibu yang berseri serta bibir tipisnya yang bergetar menceritakan segala yang kupertanyakan kepadanya. Sebagian dari cerita itu telah kudengar beberapa kali, hasil dari pertanyaanku yang tak bervariasi. Namun aku tak pernah merasa bosan. Cerita-ceritanya adalah dogeng terbaik bagiku. Di sela-sela ceritanya, ia akan menatapku dengan sepasang mata teduhnya. Lalu ia akan mengelus rambut pendekku dengan jemari hangatnya. Sedangkan aku hanya terus memasang mata dan telinga lebar-lebar sambil menerka-nerka lanjutan ceritanya. Seperti halnya hari itu, aku duduk bersimpuh di hadapannya. Bersiap mendengar dan membayangkan setiap cerita yang akan dia narasikan. Cerita hari ini mungkin akan sedikit sama dengan ceita kemarin. Ibu menarik napas panjang sebelum ia menyelam ke masa lalunya. “Sepanjang malam itu, Ibu tidak bisa tidur. Setiap kali ada kesempatan, selalu saja Ibu membuka lemari pakaian dan memandangi baju baru jahitan Nenek yang akan Ibu kenakan ke sekolah besok.” Ibu mengawali cerita dengan wajah yang berseri. Menunjukkan betapa senangnya ia kala itu. Ibu mengatakan bahwa pada masanya dahulu, belumlah ada seragam sekolah. Ia hanya mengenakan
dress yang bahkan warnanya pun tak seragam. Kelas dipenuhi oleh bermacam warna baju. Tak seperti sekarang. Lalu ibu bilang, ia selalu menjadi siswa pertama yang datang ke sekolah. Beralaskan sepatu hitam satusatunya miliknya, ia melangkah penuh semangat menuju kelas. Ibu selalu duduk di kursi yang paling depan dan di deretan yang paling dekat dengan meja guru. “Rasanya itu seperti Ibu ini satu-satunya murid yang diajari oleh guru tersebut,” ucap ibu sembari tertawa kecil membuat kerutan-kerutan di wajahnya menegas. Sembari menunggu teman-teman datang, tak lupa ibu membersihkan sekitaran kelas dan menghapus papan tulis dengan terjingkit-jingkit. Abu yang dihasilkan dari kapur tulis yang dihapus itu terbang dan terkadang masuk ke pernafasannya. Membuatnya terbatuk-batuk beberapa saat. Lagi-lagi ibu tertawa kecil di akhir kalimatnya. Seakan-akan, hal itu semacam ritual untuk mengakhiri paragraf-pararaf panjangnya. “Setelah Ibu selesai menyapu dan menghapus papan tulis. Ibu mengeluarkan sebuah buku catatan tipis dengan satu buah pensil yang berpenghapus di ujungnya. Semuanya Ibu tata dengan rapi di atas meja kayu segi empat.” Pikiranku terus saja menyelami masa lalu ibu. Seakan-akan aku sedang duduk di samping ibu kecil
waktu itu. Kata ibu, dulu guru-guru tidak terlalu banyak. Berbeda sekali dengan sekarang. “Ibu masih bisa mengingat semua wajah-wajah guru Ibu dahulu. Merekalah para pahlawan. Mereka yang patut kita idolakan,” ucap Ibu dengan mata yang berkacakaca. Mungkin karena ia tak lagi bisa berjumpa dengan para pahlawannya itu. Ibu juga mengatakan bahwa ia sangat menghormati gurunya. Mereka sangat berwibawa. Tak ada yang berani melepaskan perhatian di setiap kelas. Para murid belajar dengan sungguh-sungguh. Apalagi di setiap ruang kelas hanya ada sepuluh sampai dua puluh murid, sehingga pembelajaran bisa maksimal. “Ibu tak pernah sekalipun membolos. Kala sakit pun, Ibu tak mau bermanja di atas kasur. Ibu gemar pergi ke sekolah, belajar bersama teman-teman. Itu menjadi obat tersendiri untuk Ibu,” susulnya dengan penuh semangat. Satu hal lain dari dongeng ibu yang sangat berkesan buatku ialah kejujuran. Ibu tak pernah sekali pun menyontek. Tak ada nilai bantuan dari para guru, semuanya apa adanya. Setiap tahunnya tak semua siswa bisa lulus ujian. Tetapi, ibu bisa memastikan bahwa semuanya melakukan kejujuran. Seperti yang ibu selalu ajarkan kepadaku bahwa kejujuran adalah barang termahal di dunia ini dan apabila aku ingin kaya, aku harus memiliki barang mahal itu. Ah ibu, ini dongeng terbaik yang pernah kudengar.
*** Tak seperti dongeng masa kecil anak lainnya yang mendambakan istana kerajaan mewah, pangeran tampan atau peri kecil yang berterbangan di udara. Aku mendambakan sebuah sekolah. Aku ingin sekolah. Aku ingin berada di sebuah istana yang dipenuhi oleh orangorang yang haus ilmu. Sebuah tempat dimana orangorang kaya yang memiliki barang mahal berkumpul. Lalu aku di sini, di zaman ini, mengumpulkan uang sebisaku demi membeli seragam sekolah, sepatu murah, sebuah tas ransel, buku tipis dan pulpen bertinta hitam. Kesulitan ekonomi yang membalut keluargaku semakin parah kala ibu meninggalkanku. Syukurlah ibu mempunyai saudara-saudara yang sangat baik yang bersedia menampungku. Hari ini aku berangkat pagi-pagi sekali. Pasalnya, hari ini ada ulangan harian di jam pertama. Aku menyapu ruangan kelas dan membersihkan papan tulis persis seperti yang ibuku lakukan dahulu. Hanya saja bedanya adalah sekarang alat tulisnya spidol, bukan lagi kapur yang bisa membuatku batuk. Setelah itu, kukeluarkan alat tulis dan kutaruh di atas mejaku yang paling dekat dengan meja guru. Tak terasa ruang kelas telah disesaki oleh temanteman. Jumlah mereka banyak. Namun, mereka tak langsung menyiapkan alat tulis mereka atau membaca buku untuk memantapkan persiapan menghadapi ulangan.
“Mungkin mereka telah menguasai semua materi dan jauh lebih pintar dariku,” batinku. “Lita, kamu ngapain? Belajar?” sapa seorang teman sekelasku. “Iya, mau belajar bareng?” tawarku dengan senyum termanis di ujung kalimatku. “Ya elah Ta, nggak usah belajar. Guru yang ini nggak suka terlalu memperhatikan kita juga. Kita bisa menyontek. Gampanglah,” jelasnya dengan mengibaskan tangan kanannya di udara, tanda meremehkan. Aku speechless, tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya membalasnya dengan senyuman getir yang kusamarkan. Bel tanda masuk telah berdering lima menit yang lalu. Namun, masih saja tak kulihat ada guru memasuki pintu kelas ini. Gelisah menyerang hatiku. Setelah sepuluh menit kemudian, akhirnya guru masuk. Tanpa banyak basa-basi, sang pahlawan itu membagikan lembar soal dan lembar jawaban. Setelah semua dirasa telah mendapatkan lembar tersebut, ia duduk di kursinya. Aku mencoba berfokus kepada soal-soal yang ada di hadapanku. Namun, usahaku selalu gagal. Pemandangan contekan kecil yang dimasukkan ke dalam tutup pulpen dan kertas contekan di laci meja membuat konsentrasiku buyar. Belum lagi smartphone yang selalu on untuk mencari jawaban melalui internet.
“Sst, Lita,” panggil salah seorang teman di belakangku. Aku menoleh sedikit ke belakang. “Sudah menjawab soal nomor dua? Aku dapat jawaban di internet, lengkap lo,” ucapnya setengah berbisik agar tidak didengar oleh guru. Lagi-lagi aku hanya mampu tersenyum getir. Ingin sekali rasanya kuteriakkan tentang segala kecurangan ini. Hanya saja aku terlalu takut untuk melakukannya. Kemana perginya barang termahal mereka? Kemanakah hilangnya kejujuran itu? Bukankah kita orang-orang yang seharusnya menjadi orang terkaya? Ibu, kukira dongengmu itu akan tetap sama sampai sekarang. Aku menyangka aku bisa mengalami semua yang ada di dongeng itu. Ibu, aku ingin sekolah. Sekolah seperti yang kau lukiskan. Sekolah dimana bisa menghasilkan orangorang kaya sepertimu, Ibu. *** Hairun Nisa
Aku Tak Mau Sekolah vs. Aku Ingin Sekolah Lagi. Dia membuat ulah lagi kali ini. Entah sudah berapa kali aku menegurnya agar tak menjadi anak nakal seperti yang dikeluhkan banyak orang tua. Kemarin, aku mendapatinya sedang mengejar anak-anak ayamku dan menembak mereka dengan ketapel buatannya. Aku tak menanggapinya saat itu, karena kupikir mungkin ia hanya butuh sedikit hiburan dengan ayam-ayamku itu. Ia anak yang kaya raya. Rumahnya yang berada tepat di samping rumahku, paling besar di antara rumahrumah lainnya. Bahkan, kupikir rumah megahnya itu tak pantas hinggap di tanah kampung seperti ini. Ah, aku sebenarnya kasihan melihat anak itu. Ia tidak mendapat sedikit pun celah kasih sayang dari orang tuanya. Bagaimana tidak? Setiap hari, mereka hanya sempat menyiapkan sarapan untuk anaknya, setelah itu berlalu bersama urusan bisnis yang tak berkesudahan itu. Kemudian baru pulang menjelang tengah malam. Pun, anaknya saat itu sudah tidur duluan. Mungkin itulah yang membuat anak itu sering berbuat onar pada orang-orang kampung maupun teman-teman sekolahnya. Seperti hari ini. Anak yang bernama Jo itu membuat ulah yang membuatku tak bergeming. Bukan hanya aku, bahkan warga sekampung seolah ikut bergejolak mendengar aksi Jo itu. **** “Apa lagi kali ini, Jo? Bukankah sudah sering kuingatkan agar tak melakukan perbuatan bodoh itu? Mengapa kau tak tembak saja anak-anak ayamku lagi hingga tewas? Mengapa harus dengan cara berkelahi itu? Bukankah kau tahu bahwa berkelahi sama sekali tak menyelesaikan masalah?” Saat itu aku ke rumah Jo lagi untuk kesekian kalinya. Dan seperti dugaanku, ia menangis meratapi nasibnya. Ia menutup telinga, tak
ingin lagi mendengar cemohan orang-orang kampung terhadapnya. “Aku tak ingin sekolah lagi, Paman!” Seperti harihari yang lalu, ia kembali mengatakan itu tanpa memperdulikan nasehatku barusan. Dan hari ini, ia kembali mngucapkan itu untuk yang ke seratus dua puluh delapan kalinya. “Aku tak bermaksud begitu, Paman. Saat di sekolah, ia menghancurkan kerajinan bubur koran berbentuk Pulau Jawa yang susah payah kubuat semalam. Akibatnya, aku dihukum sepanjang jam pelajaran Kesenian karena tak mengumpulkan tugas.” Air mata Jo mengalir deras dan menciptakan air terjun mungil di pipinya. “Saat jam istirahat, aku sengaja menyembunyikan pulpen miliknya karena kesal. Itu pun tak sebanding dengan kerja kerasku membuat bubur koran. Entah siapa yang bermulut ember bocor itu, ia langsung tahu aku pelakunya dan menyeretku ke sungai belakang sekolah saat jam pulang.” Ada jeda di situ. Jo menghapus air matanya dan membiarkanku mencerna kalimat yang keluar dari mulutnya, “Dan terjadilah pertengkaran itu, yang sama sekali tak kuinginkan. Aku selalu ingat kata-kata Paman, bahwa perkelahian tidak pernah membawa keuntungan, yang tercipta hanyalah rasa sakit.” Aku tertegun sesaat. Tak dinyana seorang Jo yang nakal selalu mengingat kata-kata itu. Aku tahu sebenarnya dia anak yang baik. Dia hanya butuh sedikit perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Dan aku selalu berusaha untuk itu. “Kau benar tentang kalimat itu, Paman. Waktu itu kami sama-sama hanyut terbawa arus sungai, kepalaku terbentur batu. Tapi warga tak sama sekali peduli. Mereka tetap berpikir bahwa akulah dalang semua itu,” lanjut Jo sambil memegangi kepalanya. “Sungguh, Paman, aku tak ingin sekolah lagi! Semua ini gara-gara sekolah!
Apa untungnya sekolah kalau setiap hari selalu menjadi bahan ejekan? Belum lagi tugas-tugas sekolah dan celotehan guru-guru yang sama sekali tak kumengerti. Aku tak mau sekolah lagi!” Kini, genap sudah dia mengatakan itu untuk yang ke seratus tiga puluh kalinya. “Kau mau mendengarkan sebuah kisah, Jo?” tanyaku sambil mengusap kepalanya yang dibalut perban. Jo hanya mengangguk pelan sambil memperbaiki posisi duduknya. ***** Aceh, 26 Desember 2004 Pukul 7. 54 Gelombang setinggi 9 meter itu tiba-tiba mengamuk dan menghantam apa saja yang dilaluinya. Disusul dengan teriakan anak-anak manusia meminta tolong karena monster laut itu tetap saja mengejar mereka. Semenit yang lalu sebelum peristiwa naas itu, Erwin, anak seusiamu tengah bersantai bersama keluarganya di Pantai Laampuk. Ia dan keluarganya sedang liburan bersama di rumah nenek di Aceh dan memutuskan untuk piknik di pantai ini. Keceriaan dan canda tawa menghiasi wajah keluarga kecil itu. Dan Erwin ... selama tiba di Banda Aceh garis melengkung di bibirnya tak pernah surut. Siapapun bisa melihat rona kebahagiaan yang tergambar jelas di wajahnya. Namun siapa yang tahu? Senyuman itu pudar seketika tatkala terjadi gempa dahsyat, kemudian disusul oleh teriakan orang-orang menjauhi pantai. Mulut Erwin menganga melihat gelombang tsunami yang mengamuk disertai hujaman angin kencang ynag menggigit tulangtulangnya.
Apa yang akan kau lakukan jika mengetahui dalam hitungan detik nyawamu akan hanyut bersama gelombang tsunami itu, Jo? Aku yakin, kalau kau jadi Erwin kau pun akan lari berdesak-desakan dengan orang-orang yang masih ingin menikmati hidup. Setiap detik itu sangat berharga untuk nyawa setiap orang yang ada di situ dan itu tak boleh disia-siakan. Tetapi Jo .... gelombang tsunami yang dahsyat itu tak peduli dengan semua itu. Dengan angkuhnya, ia tetap mengejar layaknya raksasa kelaparan yang bersiap melumat semua mangsa di hadapannya. Detik itu juga, tangan Erwin terlepas dari ibunya dan tubuh kecilnya ikut terhempas bersama mosnter laut itu. ***** Gelap dan perih. Begitulah yang dirasaka Erwin ketika air mulai sururt. Bocah seumuranmu itu berpikir dirinya mungkin akan terdampar ke akhirat tatkala monster laut itu menelannya dan membuatnya terpisah dari keluarganya. Namun, Tuhan punya rencana lain. Tim SAR menemukannya dalam keadaan terluka parah di lengan kirinya. Erwin bersyukur, ia masih bisa selamat dalam peristiwa itu meskipun pada akhirnya lengan kirinya harus diamputasi. Selama masa pemulihan, Erwin tinggal di Posko Penginapan bersama orang-orang yang senasib dengannya. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana keadaan orang tuanya sekarang. Akankah ia bisa kembali berkumpul dan merajut kebahagiaan bersama di kampung halamannya di Jawa? ***** Matahari telah terbit dan tenggelam selama 30 hari sejak Erwin tinggal di Posko itu. Ia merasa tak enak
juga. Ia bertekad untuk mencari sendiri orang tuanya atau siapapun yang dikenalnya. Di tengah sergapan paparan sinar yang menyilaukan di atas, Erwin berjalan tanpa tujuan dengan berbekal setitik embun pengharapan. Ia tak begitu mengenal daerah Aceh, apalagi ketika gelombang air bah itu membuat sebagian besar daerah Aceh rata dengan tanah. Kau tahu, Jo? Ketika melewati sebuah sekolah yang sudah hancur berkeping-keping, Erwin membeku. Tubuhnya bergetar hebat. Bulir-bulir air mulai terbit dari kedua kelopak matanya. Ia tidak bisa membayangkan kalau sekolah itu adalah sekolahnya. Jika saja begitu, mungkin ia sudah stress karena tak lagi mendapat bekal ilmu. Mungkin impian-impiannya sudah hancur berkeping-keping dan tak dapat lagi disatukan. Saat Erwin masih mematung di sana, seorang ibu tua menepuk pundaknya dan mengajak Erwin untuk tinggal bersamanya. Dan sejak hari itu, Jo, Erwin tinggal di Panti Asuhan bersama anak-anak yang senasib dengannya. Erwin menyukai Panti itu karena ia kembali mendapat segenggam kasih sayang dari ibu panti dan teman-teman barunya. Selama di panti itu, Erwin suka sekali membaca koran-koran bekas milik ibu Panti untuk mencari informasi tentang orang tuanya dan untuk menambah pengetahuan karena sejak kejadian naas itu, ia tidak pernah lagi menyentuh buku. Tak jarang pula ia mengisi TTS yang ada di koran setiap hari Minggu dengan harapan dapat memperoleh uang untuk mencari orang tuanya dan kembali bersekolah. Tapi, pada suatu pagi, Jo, Erwin mendapat panggilan dari seseorang yang telah merawatanya di Posko dulu. Beliau mengabarkan bahwa orang tuanya
telah ditemukan, tapi dalam keadaan sudah tak bernyawa. Dan kemarin lusa, mereka telah dikebumikan. Sejak saat itu, bocah itu tahu. Ia tak akan pernah bertemu dengan orang tuanya lagi. ***** “Lalu bagaimana nasib Erwin setelah itu, Paman?” tanya Jo sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. “Dia tetap rajin mengisi TTS, hingga mempunyai cukup uang untuk melanjutkan sekolahnya hingga ke Universitas. Dua tahun lalu, ia mendapat beasiswa dari Pemerintah untuk kuliah S2 di Amerika. Setelah selesai, ia menikah dan kembali ke kampung halamannya di Desa Sambirejo, Kabupaten Madiun, Jawa Barat.” Jo tertegun mendengar nama desa yang kusebutkan. Ia menatapku lekat sambil matanya sesekali melirik lengan kiriku. “Bukankah itu desa kita Paman? Siapa Erwin itu?” Aku tersenyum. Kau masih ingin mengujiku, Jo? Aku yakin kau pasti telah mengetahui jawabannya. “Kau tahu, Jo? Saat aku tanya teman-teman pantiku dulu tentang apa impian mereka, dengan serempak mereka mengucapkan satu jawaban! ‘Aku ingin sekolah’. Itu saja, Jo. SEKOLAH. Hal yang sangat sederhana bagi orang seperti dirimu. Terkutuklah mereka semua yang sama sekalai tak menghargai sekolah. Entah berapa miliar anak di belahan bumi ini yang sama sekali tak pernah menginjak bangku sekolah lantaran masalah ekonomi. Tapi mereka tetap berani bermimpi utnuk bersekolah. Mereka tepis segala badai yang menghalangi mimpi mereka. Sementara anakanak lain, termasuk kau Jo, begitu menyia-nyiakan kesempatan ini. Dari sekolahlah kau bisa mewujudkan semua impianmu. Dari sekolah kau bisa mengubah peradaban, bahkan menguasai seluruh dunia. Semua berawal dari sekolah, Jo!”
Jo langsung menghambur ke pelukanku sambil menangis. “Maafkan aku, Paman. Aku tak akan mengucapkan hal bodoh itu lagi. Aku ingin sekolah dan menjadi orang yang sukses kelak. Aju berjanji. Aku ingin sekolah, Paman ...” “Bagus, Jo! Paman yakin kau bisa. Oh ya, cerita lengkap tentang Erwin ada di rumahku. Novelnya baru saja terbit. Nanti aku akan memberimu.” Ucapku sambil menyeka air matanya. Jo mengacukan jempol sambil tersenyum dengan sedikit tertahan. “Baiklah, Jo. Aku harus pulang. Sudah hampir maghrib. Kujemput kau nanti untuk shalat maghrib berjamaah di surau,” ujarku sambil melangkah membuka pintu. “Paman ...” Suara Jo menghentikan langkahku. “ .... aku ingin sekolah!” lanjutnya lagi dengan mantap disertai lengkungan indah di bibirnya. Kali ini, tidak dia tahan. Aku mengangguk dan kembali melangkah. Itu yang ke tiga kalinya kau mengucapkan itu, Jo. Kuharap bisa melebihi kalimat yang pernah menyembur dari bibirmu sebanyak seratus tiga puluh kali itu. Andi Mutiara Muthahharah
INSPIRATIONAL STORY
Terbang Tanpa Sayap Cerita ini bukan masalah burung, capung, atau kupu-kupu yang harus mempunyai sayap untuk bisa terbang. Kalau mau dibilang narsis? Ya, cerita ini memang tentang aku, Jujuk. Seorang anak perempuan dari sebuah keluarga unik di lereng gunung Merapi. Jika kalian membayangkan tempat tinggalku, maka bayangkanlah suatu tempat yang tinggi, di lereng timur sebuah gunung berapi aktif, 1 jam mengendarai motor ke arah barat daya dari pusat kota Boyolali. Seperti anak-anak kecil pada umumnya, cita-cita masa kecilku sangat tinggi. Setiap ditanya orang, mau jadi apa Jujuk, dengan percaya diri aku akan menjawab “Aku ingin menjadi pramugari”. Dibilang tidak tahu diri, mungkin iya, karena waktu itu pengetahuan ku tentang pramugari adalah tentang wanita cantik, bersih, dan bekerja di pesawat terbang. Padahal saat itu aku masih SD dan seperti anak kampung pada umunya, saya hitam dan ompong karena gigi susu yang tanggal belum sempat tumbuh. Keinginanku yang lebih besar saat itu sebenarnya adalah aku ingin terbang, terbang kemanapun, keliling dunia. Aku suka kesenian tradisional. Aku ingin menjadi budayawan. Aku tidak bisa menyanyi, aku tidak bisa menari, aku juga tidak bisa menabuh gamelan, tetapi aku ingin menjadi budayawan, orang yang mempelajari budaya. Aku suka seni, aku suka budaya, dan aku bangga
menjadi orang Jawa. Dari situ aku kemudian punya keinginan baru, aku ingin memperkenalkan budayaku ke dunia. Kalian tau kawan, saat itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya. Saat ku tulis ini, aku sedang duduk di kereta di sebuah negara kecil di Asia Timur. Aku sedang mencoba meraih mimpi di sini. Walaupun kadang aku masih merasa ini adalah mimpi. Aku sampai di sini bulan September 2014 lalu. Diiringi tangis haru nenekku dan doa-doa serta harapan dari semua orang di rumah aku diantarkan ke bandara untuk melanjutkan pendidikan S2 di Taiwan. Dengan modal LOA (Letter of Acceptance) dan selembar surat sakti dari pemerintah Indonesia aku memberanikan diri untuk melangkahkan kaki ke negara ini untuk belajar. Sebagai mantan korban putus sekolah, aku masih merasa ini keajaiban. Aku pernah putus sekolah, tapi sekarang aku mendapat kesempatan untuk sekolah pasca sarjana. Bagaimana bisa? Bisa…dengan mimpi, dengan harapan, dan dengan keyakinan bahwa Tuhan itu Maha Segalanya. Aku tidak tahu apa yang kalian pikirkan setelah membaca ceritaku ini. Yang aku tahu hanyalah aku ingin ceritaku ini tersampaikan kepada anak cucuku nanti. Semoga menjadi pelajaran dan pengalaman hidup. *** Aku masuk SD tahun 1995, saat itu usiaku belum genap 6 tahun. Karena saat itu aku masih anak satusatunya, tidak aku pungkiri bahwa aku dulu sangat
manja walaupun aku hanya seorang anak petani yang orangtuanya hanya bisa menyelesaikan Sekolah Dasar nya saja. Karena masih terlalu muda untuk masuk SD, guru-guru tidak yakin aku bisa mengikuti pelajaran. Akhirnya aku bersekolah di SD tersebut walaupun setiap hari bapak atau ibuku harus menungguiku di luar kelas. Aku tidak mau belajar jika mereka tidak terlihat olehku. Akhirnya pihak sekolah memutuskan untuk mempekerjakan bapakku dalam pembangunan SD tersebut. Satu sisi aku sangat manja pada saat itu, disisi lain, aku membuka lapangan kerja untuk bapak. Sehingga beliau punya penghasilan tambahan. Sekolah dasar berlangsung begitu saja sampai pada akhirnya aku lulus pada tahun 2001. Lulus dari SD kampung, bapak mendaftarkanku ke sebuah Sekolah Menengah Pertama yang cukup bagus di kota kabupaten Boyolali. Aku bertanya pada bapak, kenapa aku harus sekolah jauh-jauh, kan biayanya tinggi, dan aku tidak punya teman. Jawabannya singkat, padat, jelas “biar nanti mudah nyari sekolah selanjutnya”. Menurut pemikiran anak lulus SD itu adalah kalimat sakti yang membangkitkan semangat belajarku padahal ada alasan lain yang baru aku tau setelah dewasa. Masuk ke salah satu SMP favorit adalah suatu hal yang tidak mudah, apalagi untuk anak kampung dengan kemampuan pas-pas an seperti aku ini. Saat lulus SD, nilai keseluruhanku hanyalah 36.65 sedangkan standar terendah untuk masuk ke SMP itu adalah 36.85.
Kesimpulan awal, aku tidak diterima. Di sini kemudian Allah menunjukkan kuasanya. Aku tidak pernah mengambil ijazah asli yang aku masukkan ke panitia pendaftaran karena aku saat itu terlalu PD bahwa pasti diterima. Panitia pendaftaran berulang kali memanggil namaku untuk diminta mengambil ijazah. Namun anak yang mereka panggil tak pernah muncul, akhirnya mereka memutuskan untuk memasukkan aku sebagai salah satu siswanya dengan catatan, harus siap di DO jika anak yang berijazah fotocopyan, yang kursinya saya duduki menukarnya dengan ijazah asli. Jarak dari SMP ke rumah cukup jauh dan akses transportasi sulit sekali. Saat ini mungkin motor adalah suatu hal yang wajar dimiliki oleh setiap keluarga, namun pada saat itu motor adalah barang mewah apalagi untuk keluargaku. Di awal masa sekolah, aku disuruh tinggal bersama Pak De (kakak dari bapak), agar aku tidak perlu jalan kaki untuk mendapatkan kendaraan umum. Namun aku tidak kerasan tinggal di rumah Pak De. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan pergi ke sekolah dari rumah. Konsekuensinya, aku harus jalan kaki sejauh 5 Km setiap hari. Untuk bisa masuk sekolah tepat pukul 07.00 WIB, aku harus berangkat jam 5 pagi dan berjalan kaki selama 1 jam untuk sampai di tempat mangkalnya kendaraan umum. Begitu juga dengan pulangnya, aku harus berjalan lagi ke rumah setelah seharian belajar. Karena jalan yang menanjak, aku harus berjalan selama 1 jam 30 menit untuk sampai ke rumah,
dan aku sangat jarang sekali punya teman dalam perjalananku. Teman dan semangatku adalah keinginan untuk sekolah di SMP kota, tetap bertemu adik dan keluarga setiap hari. Aku melakukannya dengan penuh semangat karena ada impian lain yang semakin jelas. Aku belajar bahasa Inggris, dan aku mulai tahu bagaimana caranya memperkenalkan budayaku ke dunia. Memang benar kata orang, untuk memulai sesuatu itu memang tidak mudah. Hari-hari pertama di SMP adalah hari yang berat. Sebagai orang kampung yang sekolah ke kota, belum punya teman, dan masih belum bisa jauh dari orang tua, aku sedikit mengalami kesulitan. Setiap pulang sekolah aku merengek ke Bapak, pengen pindah sekolah. Namun Bapak selalu bilang “tunggu dulu, biar kaos olah raga dibagikan, kan sayang sudah bayar…”. Sampai saat itu pun datang, kaos olah raga dibagikan setelah hampir dua bulan bersekolah, aku sudah kerasan sekolah disana, dan aku sudah tidak merengek minta pindah sekolah lagi. Hari demi hari ku lalui dengan penuh semangat dan aku suka sekali bahasa Inggris. Sebuah mata pelajaran baru yang kudapatkan di SMP. Prestasiku tidak terlalu buruk selama SD dan SMP, setidaknya peringkatku selalu masuk dalam daftar 10 besar teratas walau tidak pernah sekalipun rangking 1. Sejak SD aku tidak pernah mendapatkan rangking 1. Perjalanan sekolah SMP ku lancar-lancar saja, sampai pada akhirnya mimpiku seakan hancur menjelang ujian kelulusan SMP.
Aku sudah merencanakan untuk memilih sekolah bersama teman-temanku. Hampir semua sekolah aku sudah pilih jurusan. Seperti, kalau masuk SMK aku ingin ke SMEA jurusan akuntansi, kalau masuk SMA aku ingin masuk jurusan bahasa, kalau masuk ke SMK kesenian aku ingin masuk ke jurusan tari. Aku tidak tau ada SMK pertanian, aku tidak mau masuk ke SMA jurusan IPA karena aku tidak suka kimia. Namun semua yang nyata terjadi benar-benar membuat pikiran ku gelap dan seakan cita-citaku hancur tepat sebelum ujian akhir nasional dengan empat kalimat. Dua dari Ibuku, dan dua dari Bapakku. Bapakku bilang “Denok (panggilan ku di rumah), nanti kalau sudah lulus SMP sekolahnya berhenti dulu ya, kita tidak punya uang untuk membiayai sekolahmu. Aku kumpulkan uang dulu, tahun depan siapa tau kamu bisa sekolah.” Bapak bilang dengan sangat hati-hati, beliau benar-benar tahu karakteristik anaknya. Besoknya Ibu ku bilang “Denok, nanti kalau sudah lulus SMP sudah ya sekolahnya, kıta tidak punya uang. Lagian, anak perempuan ngapain sekolah tinggitinggi.” Saat itu aku tidak mampu menjawab apa-apa, mimpiku seakan hancur, semangat belajarku menghadapi ujian akhir sekolah hilang entah kemana. Akhirnya aku hanya mengerjakan soal ujianku sebisanya saja, tanpa belajar. Dan ketika hasil itu sesuai dengan usaha, maka hasil ujian SMP ku pun tidak terlalu bagus, dengan rata-rata sekitar 6. Akhirnya masa SMP selesai
ku jalani, dan sekolahku terhenti. Ya! berhenti begitu saja karena orang tuaku benar-benar tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolahku. Akupun menyiapkan diri menerima kenyataan kalau aku akan putus sekolah. *** Hari-hariku tanpa sekolah ku isi dengan memasak, mengurus rumah, dan mengurus adikku satusatunya. Kegiatanku selalu seperti itu setiap harinya, aku tidak pernah merasa bosan. Yang bisa kurasakan hanyalah titik-titik mimpiku yang masih ada dalam lubuk hatiku karena kata-kata bapak “siapa tahu tahun depan bisa sekolah”. Itu yang tertanam dalam hatiku. Meskipun begitu, aku tidak pernah lagi menyentuh buku pelajaranku, aku takut lebih sakit hati lagi, dan aku lebih takut akan melukai perasaan orangtuaku karena mereka tidak mampu menyekolahkanku saat itu. Di awal-awal masa putus sekolah, aku sering meneteskan air mata ketika melihat anak-anak berseragam berangkat sekolah. Begitu besar keinginan ku untuk sekolah, namun ketika nasib masih belum berpihak maka bersabar adalah jalan terbaik. Berdamai dengan kenyataan adalah jalan paling tepat untuk menjaga perasaan. Pada akhir semester 1 dan anak-anak sekolah melangsungkan ujian semester, aku menangis setiap malam sepanjang ujian semester itu. Aku hanya mampu berfikir, dan berguman dalam hati “Ya Allah…harusnya aku sekarang belajar untuk ujian besok”. Bersabar, bersabar dan bersabar. Satu semester sudah berlalu lagi. Itu berarti masa tunggu ku untuk
sekolah akan segera berakhir dengan dua kemungkinan, sekolah atau memutuskan harapan untuk sekolah selamanya. Aku hanya bisa menangis dan bertanya-tanya sendiri apakah aku bisa sekolah atau tidak. Namun aku tidak berani bertanya pada orangtua ku. Aku mendengar tahun ajaran baru segera dimulai, pendaftaran di sekolah-sekolah sudah mulai dibuka. Tetapi belum ada tanda-tanda Bapak akan menyekolahkanku. Aku sudah mempersiapkan diri dengan kemungkinan terbaik dari Allah yang bisa jadi tidak sesuai dengan keinginanku. Aku tidak berani bertanya lagi kepada bapakku. Sampai di hari-hari terakhir waktu pendaftaran, kabar itu tak juga datang. Aku hanya melihat Bapak menjual sapi anakan yang dibeli beberapa bulan sebelumnya dengan uang pinjaman dari tetangga dan membeli sapi yang lebih kecil lagi. Ya! hanya itu yang aku tahu. Selebihnya aku tidak tahu apa rencana Bapak. Sampai suatu hari Bapak menjemputku dari rumah tetangga yang sedang punya hajat saat itu. Beliau bilang kalau aku akan didaftarkan kakak sepupuku di SMK Pertanian di Boyolali. Seperti daun yang diguyur embun ditengah teriknya matahari, seperti kerbau yang menemukan kubangan lumpur ditengah sabana yang panas, aku sangat gembira. Mimpiku seakan tumbuh lagi dengan sangat cepat. Esok paginya, dengan bermodal sebagian uang hasil jual sapi kecil aku berangkat ke SMK itu bersama Bapak setelah mendapat sedikit pengarahan dari
kakakku. Aku tidak mampu menggambarkan betapa aku sangat bahagia saat itu. Aku akan masuk ke SMK pertanian, sekolah yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Sekolah yang bahkan ada jurusan apa saja aku tak tahu. Tapi aku tak peduli. Yang penting saat itu adalah aku sekolah. Iya, sekolah begitu berharga saat itu untukku. Hari yang sangat kutunggu-tunggu, hari penuh harapku. *** Di SMK itu aku bertemu kawan-kawan seangkatan semasa SMP, mereka sudah kelas dua. Aku tidak tahu harus masuk jurusan apa karena nilaiku sangat minim. Teman-teman menyarankanku untuk mendaftar ke jurusan pengolahan hasil pertanian dan aku menurutinya. Hari pertama dan kedua posisiku masih aman, dari 36 anak yang akan diterima aku berada di peringkat 28. Namun, pada hari ketiga posisiku mulai dalam bahaya. Ada 9 orang yang mendaftar ke stand jurusan yang sama denganku. Dan akhirnya aku dan Bapak menunggu hingga jurnal pendaftaran terakhir dikeluarkan. Dari 36 siswa yang diterima, aku berada di posisi nomor 37 tanpa ada ijazah fotocopyan yang masuk ke panitia. Secara otomatis, aku tidak diterima di jurusan itu. Namun ketika Allah kembali menunjukkan kuasanya untuk memperbaiki jalanku yang salah, aku akhirnya bisa pindah jurusan ke pengendalian mutu hasil pertanian. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan
akan belajar apa di jurusan itu. Dan ternyata, hampir semua mata pelajaran khususnya berhubungan dengan kimia. Ya Allah….dulu sewaktu SMP aku tidak suka dengan kimia, dan sekarang aku harus belajar hampir semuanya kimia. Dengan tekad dan kemauan yang kuat, aku belajar sesuatu yang sangat baru. Setelah satu tahun tidak bersentuhan dengan buku pelajaran, aku memulainya lagi. Semester pertama aku tinggal bersama Pak De, jadi aku tidak perlu berangkat pagi-pagi buta walau sekolahku semakin jauh. Aku tidak terlalu mengalami kesulitan belajar dan beradaptasi. Prestasiku tidak terlalu buruk juga di semester satu. Sebagai mantan putus sekolah, aku bisa masuk lima besar peringkat kelas. Ya! aku memang harus belajar lebih keras untuk itu. Aku harus membuktikan bahwa tidak rugi orang tuaku menyekolahkanku lagi, terutama ibuku, beliau yang saat itu tetap kurang mendukung. Karena ongkos kendaraan umum semakin naik, akhirnya semester ke-dua aku memutuskan untuk tinggal di kost dekat dengan sekolah. Hanya cukup berjalan kaki 5 menit sudah masuk ke gerbang sekolah. Biaya ngekos dirasa lebih murah dari pada ongkos pulang pergi setiap hari. Pada saat itu tahun 2006 sampai aku lulus pertengahan 2008, biaya kos ku Rp 40.000,/bulan. Aku senang, karena aku bisa lebih mandiri dan memanfaatkan waktuku dengan baik.
Setiap hari Sabtu aku pulang dengan tas kosong, dan setiap Senin aku berangkat degan tas yang terisi penuh. Kalian tau isinya apa kawan? Ya! untuk lebih berhemat, aku masak sendiri di kost. Setiap senin tas ku akan ku isi dengan beras, sayuran, lauk yang sudah matang untuk persediaan seminggu, dan kebutuhan dapur lainnya. Dan tidak lupa orangtuaku memberiku uang mingguan Rp 20.000,- untuk semua kebutuhanku dalam satu minggu, termasuk ongkos. Angka itu hanya akan berubah sebulan sekali menjadi Rp 25.000,- lalu kembali ke angka semula. Aku sudah sangat hafal kuapakan saja uang itu. Untuk ongkos pulang pergi saja sudah Rp 9.000,-, sisanya Rp 4.000 untuk membeli minyak tanah, Rp 1.000,- untuk deterjen, Rp 6.000,sisanya adalah uang jajanku selama satu minggu. Semua keterbatasan itu ku jalani dengan penuh kegembiraan dan harapan. Sampai pada suatu waktu aku mengenal seorang kakak tingkat yang pintar dan berprestasi. Aku bermimpi lagi. Dalam hati aku berbisik, aku ingin seperti dia, aku ingi kuliah tapi tidak menggunakan uang orang tuaku. Aku menyimpan mimpi itu sendirian. Aku tidak mungkin bilang kepada orang tuaku kalau aku ingin kuliah. Mimpi itu hanya ku cam kan dalam hati dan kubisikan pada Allah disetiap sujudku. Akhirnya semester 2 aku bisa rangking 1 di kelas dan di jurusan yang saat itu ada dua kelas. Aku merasa mimpiku tidak mustahil, maka aku terus
memupuknya. Posisi peringkat 1 ku pertahankan hingga aku lulus SMK. Dari situ aku mulai mendapat tawaran untuk mengikuti berbagai macam lomba. Baik itu tingkat kabupaten maupun provinsi. Aku semakin percaya diri dan giat berdoa, karena mimpiku untuk kuliah semakin nyata. Terutama ketika aku terpilih menjadi peserta Lomba Kompetensi Siswa (LKS). Sebuah lomba yang cukup bergengsi dikalangan SMK. Dengan bimbingan dan kerja keras dari guru-guru dan dukungan dari orang tua, aku bisa menyelesaikan lomba itu dengan baik di tingkat provinsi. Aku menjadi juara satu lomba itu dan menjadi wakil Provinsi Jawa Tengah di bidang pengolahan hasil pertanian di tingkat nasional. Aku senang sekali, mimpiku untuk kuliah semakin nyata dan akhirnya aku membocorkan mimpi itu ke guru pembimbing, kemudian ke bapak. “Bapak, aku ingin kuliah, tapi tidak dengan uangmu, aku ingin kuliah dengan otakku.” Aku hanya berkta seperti itu ke Bapak dan beliau hanya bisa bilang “Iya! Sukses nok. Berbuatlah yang terbaik, jadilah yang terbaik.” Setelah dari tingkat provinsi, aku melanjutkan lomba tingkat nasional di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengalaman terbang untuk pertama kali kurasakan. Terbang yang sebenarnya terbang, pengalaman luar biasa bagi seorang anak kampung sepertiku. Setelah lomba tersebut, akupun lulus SMK dengan prestasi yang cukup menggembirakan, setidaknya orang tuaku tidak
malu ketika namaku disebut di depan seluruh orang tua lulusan. Di tingkat nasional aku menjadi juara dua dari 22 peserta dari seluruh Indonesia. Sebuah prestasi yang tidak terlalu buruk kurasa. Aku mendapatkan sejumlah uang dari hadiah lomba itu. Itu adalah modal awalku untuk berani mendaftarkan diri ke sebuah perguruan tinggi di Cianjur. Aku pernah mendengar kata Bapak “Kalau anak perempuan itu bagusnya jadi guru atau pendidik.” Allah pun mendengar doa itu, akhirnya aku diterima di perguruan tinggi tersebut yang kemudian bekerjasama dengan perguruan tinggi negeri di Bandung. Awalnya aku ragu, karena pihak perguruan tinggi tidak menjanjikan beasiswa untuk pendidikanku. Aku meminta saran dari guru pembimbing, dan tentu saja Bapak. Dengan modal uang 8 juta rupiah, tentu itu bukan jumlah yang cukup untuk biaya kuliah sarjana. Pak Guru dan Bapakku menyuruhku untuk mendaftar saja. Kalau tidak ada beasiswa dan tidak jadi kuliah disana toh juga kehilangan biaya pendaftaran saja. Dua bulan berlalu, aku diterima di perguruan tinggi tersebut, namun belum ada kejelasan mengeai beasiswa. Dua hari sebelum masuk kuliah pertama kali, kabar itu datang. Aku mendapat beasiswa pendidikan selama 8 semester atau lulus sarjana. Walaupun itu berarti orang tuaku harus bekerja keras untuk membiayai hidupku di perantauan, tapi mereka setuju. Aku kuliah. Aku menjadi salah satu mahasiswa
kependidikan di Universitas Pendidikan Indonesia. Empat tahun ku jalani dengan segala keterbatasan dan peluh dari kedua orang tuaku. Aku belajar keras untuk mewujudkan mimpi ayahku menjadi seorang pengajar yang baik, dan mereka bekerja keras untuk menjamin kehidupanku diperantauan. Akupun lulus dari perguruan tinggi tersebut dengan prestasi yang cukup baik. Lulus sarjana, kemudian aku bekerja menjadi laboran dan asisten dosen di program studiku. Satu tahun kemudian aku mendapat kesempatan sekolah di tempat ini dengan beasiswa dari DIKTI. Ya! orang tuaku tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk pendidikanku di sini. Orang yang dulu sempat putus sekolah karena biaya, sekarang sudah berada di negeri orang untuk menuntut ilmu lebih tinggi. Modal nya apa? harta kekayaan aku tak punya. Modalnya adalah mimpi, kesungguhan, dan do’a yang tak pernah putus. Dan aku baru tahu sesaat sebelum aku berangkat ke sini, kalau alasan utama Bapakku menyekolahkan aku ke SMP kota adalah untuk membuka pergaulan dan pikiranku. Karena beliau takut tidak bisa membiayai studiku lebih tinggi lagi, setidaknya aku pernah mengalami pergaulan di sekolah dalam kota. Jujuk Juhariah Master Student Dong Hwa University, Taiwan
Kharis di Taiwan Mari mulai dari keluarga kecil di Kotagede, sebuah desa di pinggiran kota Yogyakarta, dengan cat rumah yang warnanya sudah sulit untuk dideskripsikan dan dengan status numpang. Saya, Kharisma Creativani dan adik perempuan saya, lahir dan tumbuh di keluarga kecil tersebut. Kalau kalian mengira bahwa saya dilahirkan di keluarga nyeni karena nama belakang saya, tidak sepenuhnya benar. Bapak saya seorang lulusan sekolah dasar yang kebetulan punya hobi menggambar dan berkesenian. Alih-alih menjadi seniman, Bapak hanya pekerja serabutan di rumah. Apa pun asal halal dan beliau bisa kerjakan, pasti Bapak kerjakan, Ibuk saya lulusan SMA yang dulu sempat menjadi pejahit, sekarang tidak lagi. Matematika keuangan Bapak dan Ibuk mungkin tidak akan pernah punya hitungan detail mengenai masa depan pendidikan saya dan adik saya. Apakah saya kecewa? Sama sekali tidak, begitulah keadaannya, tapi justru matematika yang tak sampai itu berhasil mengantar saya ke dalam pencapaian yang bagi keluarga kami luar biasa. Anak pertama nya ini menjadi seorang sarjana. Seorang sarjana adalah harapan baru. Kata
Bapak, “ kamulah yang akan memangkas sejarah ketidakmampuan keluarga untuk menyekolahkan anakanaknya sampai perguruan tinggi.” Luar biasa bukan? Begitulah
Bapak,
saya
tahu
sekali,
beliau
tidak
bermaksud membebankan apapun pada saya. Ucapan tadi adalah cara beliau membesarkan hati saya, memberikan saya semangat. Perjalanan menuju sarjana bukan mulus begitu saja tanpa hambatan. Saya sudah terbiasa dengan keadaan dimana Bapak harus menghadap kepala sekolah untuk meminta
tenggat
waktu
pembayaran
SPP
atau
sumbangan macam-macam. Bapak dan Ibuk tidak pernah punya uang sisa untuk bisa ditabung. Tapi bapak dan ibuk selalu bilang,”tenang saja, biar bapak dan ibuk yang urus, kamu belajar saja yang tekun.” Kalau pun matematika keuangan Bapak dan Ibuk tidak pernah sampai untuk menyekolahkan saya ke perguruan tinggi, tapi semangat mereka sudah lebih dari cukup bagi saya. Pantaskan mereka dikecewakan? Sama sekali tidak. *2007* Selasa siang, di Sekolah Menengah Seni Rupa, Bantul, selembar pengumuman program kepemimpinan di Amerika di sodorkan oleh guru saya. Saya yang pada
saat itu sama sekali tidak punya pikiran untuk ke luar negeri, mengiyakan tanpa ragu atau lebih tepatnya kePD-an. Prinsip saya, “ah siapa tau”, keberuntungan itu tidak akan datang begitu saja, kalau keberuntungan itu bisa dirumuskan, salah satu formulanya adalah ‘M’, mencoba. Saya foto copy formulir pendaftarannya banyakbanyak, saya tulis berulang- ulang dengan pensil terlebih dulu dan saya gunakan bahasa inggris semampu saya. Ketika pengumpulan formulir, saya minder seketika. Pendaftar yang lain kebanyakan menenteng map lembaga bahasa asing ternama, saya yang saat itu diantar bapak, hanya bisa menelan ludah, pasrah. Pengumuman seleksi tahap pertama, saya mendapati nama saya tertulis. Baru di tahap pertama, jangan tanya bagaimana bahagianya bapak dan Ibuk saat itu, cukup menjadi ingatan manis sepanjang hidup. Singkat cerita, saya yang dengan kemampuan bahasa inggris pas-pasan ini, lolos serangkaian seleksi mulai dari berkas, wawancara, dan makalah. Saya terbang ke Amerika. Doa bapak dan ibuk memang dasyat luar biasa! *2009* Saya merantau ke Jakarta sebagai mahasiswa
program beasiswa penuh Universitas Paramadina. Beasiswa ini membebaskan seluruh uang kuliah, memberikan uang saku bulanan dan fasilitas asrama. Tinggal di asrama sangat menyenangkan bagi saya, untuk pertama kalinya, saya punya kasur sendiri, kasur pegas pula! Tidak hanya soal kasur saja yang menyenangkan, merantau mengajari saya banyak hal. Bertemu dengan lingkungan baru, teman-teman yang berbeda latar belakang dan dengan pemikiran luar biasa semakin membuka wawasan saya. Merantau menawarkan kita pada pengalaman dan kesempatan- kesempatan baru yang mungkin tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Saat
itu
saya
mengambil
jurusan
desain
komunikasi visual, hobi menggambar bapak nurun ke saya. Sebelumnya, saya sudah berkuliah pada tahun 2008, di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Kami membayar uang masuk dan spp dari hasil pinjam sana sini dan gadai barang. Hanya sampai semester dua, saya tidak sanggup lagi. Bukan tidak sanggup untuk berkuliah, saya tidak sanggup lagi melihat bapak dan ibuk kewalahan
menanggung
bayaran
kuliah
setiap
semesternya. Saya hanya berpikir untuk tetap berkuliah tanpa membebani bapak ibuk. Kemudian Tuhan dengan
baiknya menjodohkan saya dengan program beasiswa Paramadina. Berkuliah di Jakarta, dengan uang saku yang paspasan, karena setiap tengah semester atau akhir semester harus mengeluarkan uang ekstra untuk membuat tugas dan tak jarang harus membeli beberapa alat membuat saya memberanikan diri untuk mulai bekerja di sela- sela kuliah. Fisik dan mental saya benarbenar ditempa, tau sendiri Jakarta seperti apa. Di beberapa semester akhir, saya semakin giat bekerja dan tetap
berusaha
mempertahankan
nilai
demi
kelangsungan beasiswa. Bekerja untuk mencukupi kebutuhan saya dan menabung untuk membuat tugas akhir. Tak jarang saya ndobel pekerjaan, di hari yang tidak ada kuliah saya bekerja sebagai asisten instruktur di sebuah gym khusus anak- anak di sebuah mall di Jakarta. Sisanya, saya bagi waktu untuk kuliah dan menjadi pengajar bahasa Indonesia untuk orang asing. Loh, kenapa nggak kerja jadi desainer? Deadline tugas desain dari kampus sudah cukup membuat saya kurang tidur. Hehehe.. Dan begitulah, Maret 2013, saya lulus menjadi sarjana seperti impian saya dan bapak ibuk.
*2013* Mungkin saya termasuk orang yang tidak tau diri, nekat. Saya sekali lagi mendaftar sebuah program beasiswa, tak tanggung-tanggung, kali ini beasiswa luar negeri. Saya sangat ingin melanjutkan kuliah saya di sebuah universitas di San Francisco. Bak gayung bersambut, setelah serangkaian proses seleksi, saya lolos beasiswa DIKTI. Beasiswa ini mengharuskan saya untuk menempuh kursus bahasa Inggris 6 bulan di UI,Depok. Seharusnya saya bahagia dengan berita ini, tapi tidak saat itu. Jeda pendaftaran sampai proses akhir cukup lama, saya yang pada saat itu sedang merintis usaha penyedia jasa desain bersama teman di Yogyakarta, dihadapkan pada keputusan sulit. Saya bercerita pada bapak ibuk dan kemudian bapak meruntuhkan segala kegamangan. Saya ingat betul bagaimana Bapak menjual motor kami satu-satunya untuk nyangoni saya yang belum memiliki cukup tabungan ini. “Berangkat”, begitu kata beliau sambil memberikan saya uang hasil jual motor. Beberapa teman sudah wanti-wanti pada saya, “kamu harus telaten kalau urusan sama pemerintah.” Tapi begitulah keadaanya, pada awalnya program ini
membebaskan untuk bisa memilih universitas yang diinginkan, kemudian di pertengahan program pelatihan kami hanya diberikan opsi untuk memilih 3 negara, Jerman, Austria, dan Taiwan. Banyak teman saya yang ingin pergi ke Jerman, bagi mereka ini pertanda baik. Saya yang merasa semakin dekat dengan universitas idaman di San Francisco, mendadak hilang arah. Saya buyar, bahkan berniat untuk berhenti. Bukan sekali dua kali saya ingin mengundurkan diri dari program ini. Setiap kali keinginan ini hinggap, saya hanya ingat satu hal, motor bapak yang sudah dijual untuk saya. Dimana pertanggungjawaban saya? Saya harus menyelesaikan program ini apa pun hasilnya nanti. Pelajaran berharga untuk saya, sesulit apapun keadaannya, sebesar apa pun keinginan untuk menyerah, ketahuilah tidak ada yang lebih melegakan kecuali bertanggungjawab atas pilihan yang kita jalani. Selesaikan apa yang sudah kita mulai! *2014* Saya resmi menjadi mahasiswa pascasarjana National Yunlin University of Science and Technology, Taiwan, jurusan desain dengan program Beasiswa BPPLN Calon Dosen Vokasi dari DIKTI. Lalu, apakah saya akhirnya menyerah begitu saja untuk pergi ke Taiwan?
Daripada tidak jadi kemana-mana, kan sayang banget udah melalui banyak proses yang ruwet. Tidak semudah itu. Banyak pertimbangan dan masukan dari bapak ibuk, dosen pembimbing saya ketika di Paramadina dan sahabat-sahabat saya yang akhirnya menguatkan saya untuk mengambil keputusan untuk memilih Taiwan. Sejauh ini Taiwan memberikan saya pengalamanpengalaman luar biasa dan bahkan kesempatan untuk mengunjungi negara lain, sekali lagi, Tuhan baik. Memang benar, impian harus diraih,diwujudkan, tapi tidak semua perjalanan meraih impian itu mulus, bukan?
Kita
bisa
bertemu
persimpangan,
jalan
berlubang, bahkan terjatuh. Selama kita masih terus mau berjalan dan tahu betul tujuan kita hendak kemana, selama itu pula kita sedang menuju impian kita tak peduli sebanyak apapun persimpang, sesering apapun kita
terjatuh.
Selama
perjalanan
menuju
impian,
sediakan semangat dan kegigihan banyak- banyak, buang jauh- jauh putus asa dan jangan berhenti berdoa. Untuk Bapak dan Ibuk. Kharisma Creativani National Yunlin University of Science and Technology. Taiwan
The Journey Dilahirkan di sebuah keluarga yang sederhana dan pekerja keras membuat saya memiliki kepribadian yang kuat. Sejak kecil, walaupun sebagai anak tunggal, saya dilatih untuk bekerja keras dan bersabar untuk mendapatkan apa yang saya mau. Berbeda dengan ibu beranak tunggal yang lain, ibu saya memilih untuk mendidik saya dengan keras. Sejak kecil saya diajarkan bahwa apa yang saya mau tidak semuanya dengan mudah bias terwujud. Saya belajar menerima kekecewaan. Pada akhirnya, saya terbiasa hidup sendiri, mandiri, dan berbesar hati. Dan ya, pilihan ibu saya benar. Hidup sangat keras dan saya harus bisa berdiri tegar. Saya bersyukur dibesarkan dengan cara seperti itu. Sebelum duduk di bangku sekolah, saya telah mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan Inggris (Britania Raya). Tinggal di Inggris adalah impian saya. Kemudian pada tahun 90-an, muncullah Westlife sebagai boyband yang hits kala itu. Motivasi saya untuk datang ke Britania Raya mengerucut untuk bertemu Westlife. Yeah, the dream of silly young child. Saya hidup dengan mimpi itu sampai sekarang. Saya selalu berusaha berbicara dengan aksen british sejak kecil. Berusaha menjadi native speaker yang sebenarnya walaupun Bapak saya bahkan tidak bisa menangkap apa yang saya bicarakan.
Mendapatkan beasiswa untuk studi, khususnya studi di luar negeri adalah impian sebagian besar orang. Saya sendiri menginginkannya, namun saya tetap berusaha realistis. Pergi ke luar negeri bisalah untuk liburan jika punya uang. Jadilah saya tidak ingin menunda kelulusan saya baik itu ketika SMP, SMA maupun kuliah dengan mengikuti exchange berbulan bulan di luar negeri. Dan mimpi saya sederhana saat itu, yaitu lulus cepat, kerja dua tahun, menikah, punya anak, dan hidup bahagia. But life is not that simple. Orang orang berpikir bahwa orang seperti saya akan dengan mudah diterima oleh perusahaan. Seorang gadis dengan IPK di atas rata-rata dengan prestasi yang tidak terlalu memalukan. Namun kenyataannya tidak. Saya harus beberapa kali patah hati ditolak perusahaan. Selain tinggi badan yang tidak mendukung, ijazah D4 masih sering dipertanyakan, terutama Bank karena jurusan saya adalah perbankan. Di tengah-tengah pencarian kerja, dosen saya memberikan info mengenai Beasiswa Calon Dosen Vokasi. Jadi, awardee akan mendapat beasiswa full untuk master di luar negeri (yang dalam program saya ini hanya mencakup tiga negara, yaitu Austria, Jerman, dan Taiwan) untuk kemudian kembali ke tanah air dan menjadi dosen di Politeknik. Saya pun mencoba mendaftar beasiswa ini. Alhamdulillah diterima. Saya pun harus berangkat ke Bandung untuk persiapan IELTS di ITB selama enam bulan, entah kenapa Ibu saya kala itu belum bisa
melepaskan saya untuk merantau. Waktu itu, memang masa-masa yang sulit bagi kami sekeluarga. Salah satu tahapan tes beasiswa adalah test Interview. Di interview yang pertama saya mengajukan studi di Taiwan karena kampus di Jerman belum kunjung memberikan kabar. Karena deadline sponsor sudah dekat dan tidak mungkin lagi untuk menunggu, akhirnya saya melampirkan LOA (Letter of Acceptance) dari salah satu kampus di Taiwan untuk MBA (Master of Busines Administration). Namun ternyata jalan saya untuk kuliah di Taiwan tidak mulus, sponsor tidak menganjurkan untuk lulusan Perbankan seperti saya untuk mengambil MBA. Mereka menganjurkan untuk mendaftar master di bidang Finance atau Accounting. Saya kebingungan mencari kampus lain untuk melanjutkan studi saya karena deadline perkuliahan dan dari sponsor semakin dekat. Pendaftaran untuk intake summer di seluruh universitas di Taiwan pun telah di tutup. Setelah tiba kembali di Bandung , saya mendapat email dari universitas di Jerman untuk melakukan seleksi interview via telepon. Alhamdulillah, saya mendapatkan tiket ke Jerman langsung dari professor yang menginterview saya bahwa saya diterima di universitas mereka. Saya di terima di jurusan International Management. Namun saya masih gamang, karena jurusan yang bukan Finance maupun Accounting. Akhirnya saya bersama teman-teman yang lain mengetuk pintu universitas di Taiwan satu persatu agar mereka mau
menerima kami di kelas Summer. Kenapa Summer? Karena jika saya ambil kelas winter itu artinya perkuliahan saya di mulai di tahun 2015. Padahal sponsor menghendaki kami semua untuk berangkat pada taun 2014. Akhirnya, di interview kedua, saya persiapkan LOA dari universitas di Jerman tersebut. Sebenarnya saya agak was-was karena bidang yang saya ambil tidak terlalu fokus pada perbankan. Namun saya melihat bahwa saya bisa mengambil exchange di Praha untuk mendapatkan kuliah full perbankan. Secara kebetulan, pada pukul lima pagi ketika saya mengecek email, saya mendapati saya diterima di universitas di Taiwan yang lain untuk jurusan Finance. Tentunya hal ini sangat pas dengan permintaan sponsor. Akhirnya saya ajukan dua LOA tersebut. Saya dan interviewer mendiskusikan kelebihan dan kekurangan dari masing masing universitas termasuk soal kurikulum, biaya, dan sebagainya. Dan saya masih tidak percaya ketika mereka mengatakan saya disetujui untuk berangkat ke Jerman. Setelah dinyatakan lolos seleksi interview ini, tahap selanjutnya adalah kursus bahasa Jerman untuk level A1 selama 7 minggu di Goethe Institut Jakarta. Baru seminggu saya mengikuti kursus, ketika tiba tiba kabar buruk itu tiba. Hari senin di bulan Ramadhan, saya bermaksud datang untuk menjelaskan mengenai dokumen keuangan studi untuk pengurusan Guarantee Letter milik saya dan tiba-tiba sponsor mengatakan
bahwa saya tidak layak untuk berangkat studi dikarenakan biaya sekolah saya kemahalan. Saya shock. Saya terpaku menerima kenyataan itu. Hanya tinggal satu langkah menuju Jerman dan semuanya hilang dalam sekejap. Roller coaster ini tak kunjung berhenti. Hati saya kalut. Satu yang saya pikirkan, bagaimana saya menyampaikan kabar ini kepada orang tua saya. Terlebih lagi ibu saya sedang sakit. Seusai menghadap, saya menghambur ke kamar mandi dan menangis di sana, sendiri. Saya menghindar dari teman teman karena kebetulan mereka juga datang ke gedung sponsor untuk mengambil Guarantee Letter milik mereka masingmasing. Sebelum keluar saya berkaca, menghapus air mata dan mengatakan berulang kali bahwa saya harus kuat. Untuk kedua kalinya dalam hidup saya, saya merasa useless. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Saya tidak ingin membuat mereka terlalu lama menunggu, saya tidak ingin semuanya khawatir, dan saya pasang senyum palsu bahwa saya baik baik saja. Sisa sisa waktu selama di Jakarta saya habiskan dengan penuh kebimbangan. Sebetulnya saya ingin pulang karena Ibu sedang sakit. Tapi, saya juga tak ingin pulang untuk menghindari pertanyaan “kapan berangkat?” dari tetangga. Pengecut memang ketika itu. Tapi pertanyaan itu juga mengejar di seluruh akun social media saya. Apakah saya stres? Banget. Bagi saya lebih baik ditanya “kapan nikah?” daripada “kapan berangkat?”. Akhirnya, saya putuskan untuk
menyelesaikan kursus saya walau sehari hari di tempat kursus saya hanya mampu memperhatikan tanpa menyerap ilmu yang diterangkan dengan baik dan benar. Semua tidak lebih karena kehadiran kursus yang harus 99%. Yang ada di benak saya sepanjang waktu kala itu adalah tentang bagaimana mendapat ganti beasiswa ini. Haruskah saya bekerja? Menikah? Atau mendaftar beasiswa lain. Intinya saya harus mendapat pilihan yang mampu membahagiakan orang tua saya. Saya sudah sangat frustasi saat itu. Saya sudah apply pekerjaan namun tidak mendapat panggilan. Saya sudah ingin menikah saat itu tapi calonnya belum ada. Akhirnya, saya putuskan mendaftar beasiswa lain. Saya tahu. Saya hanyalah butiran debu dibandingkan dengan teman teman yang sudah diterima beasiswa kedua yang saya daftar ini. Namun, saya bermodalkan nekat. Saya memberanikan diri untuk bercerita pada orang tua, terutama ibu saya, mengenai kondisi saya. Karena siapa lagi yang mampu mendoakan saya dengan sepenuh hati jikalau bukan beliau. Saya tau, kenyataan pahit ini akan melukai beliau berdua. Dan ya, kami bertiga dinaungi awan mendung. Suara mereka di ujung telepon berat, sangat berat. Lebih baik saya tidak menelepon sama sekali. Ibu saya memang sedih jika saya tinggalkan, namun akan lebih sedih lagi jika saya tidak jadi lanjut studi. Saat itu saya hanya khawatir jika sakitnya bertambah parah karena memikirkan saya.
Teman teman beasiswa pertama saya dengan tanpa henti memberikan bantuan spiritual. Mereka memberi semangat. Mereka dengan tanpa lelah membujuk saya untuk mengambil tawaran dari kampus di Taiwan sebagai gantinya walaupun harus tertatih tatih. Mereka membantu saya untuk menghubungi pihak kampus Taiwan ketika saya enggan. Padahal saya gamang. Banyak pertimbangan di kepala saya. Waktu yang sudah mepet sudah pasti tidak akan terkejar. Belum lagi harus menalangi deposit tabungan dulu jika Guarantee Letter belum jadi. Saya tidak ingin menambah beban pikiran orang tua karena Bapak saya sudah pasti akan keluar uang untuk operasi Ibu saya kala itu. Rekomendasi dari pihak sponsor pun tidak membantu dalam menyelesaikan masalah. Dan pertimbangan lainnya. Saya pikir semuanya sia sia. Di sela sela kelelahan menghadapi Jakarta, saya berusaha meluangkan waktu untuk menyiapkan surat rekomendasi dari dosen dengan perantara adek kelas yang kebetulan sedang di Semarang. Namun, tetap saja saya mensubmit aplikasi saya di hari terakhir. Untuk beasiswa kedua ini, saya memilih untuk melanjutkan kuliah di Durham University, Inggris. Ya, saya kembali ke negara tujuan saya, negara impian saya. Di tengah situasi dimana harapan saya hampir pupus, saya tepis semua keraguan dari berbagai pihak karena saya tidak punya pilihan lain lagi. Kemungkinan terburuk jika saya tidak diterima adalah saya akan mencari pekerjaan di Bandung
atau Jakarta. Yang jelas saya tidak akan kembali ke Semarang dalam waktu dekat. Alhamdulillah setelah submit dokumen, dua minggu kemudian keluar pengumuman bahwa saya lolos seleksi administrasi. Segera saya telepon orang tua subuh subuh kala itu. Alhamdulillah optimisme kembali muncul. Tahap selanjutnya adalah seleksi wawancara dan sebagainya di Bandung. Diantarkan oleh teman saya ke Unpad Dipati Ukur, saya melangkah memasuki gedung dengan harap harap cemas. Proses pertama adalah LGD (Leaderless Group Discussion). Saya yang sedang mengalami mental break-down harus berada satu grup dengan delapan orang lulusan ITB dan satu orang lulusan University of Auckland. Saya tiba tiba menjadi serpihan butiran debu dalam sekejap. Tapi saya harus kuat, saya sudah memilih jalan ini. Tidak ada pilihan lain. Tes selanjutnya adalah wawancara. Saya sadar kemampuan saya usai melakukan LGD. Saya tidak sehebat mereka yang sedang duduk menanti giliran wawancara. Saya sudah pasrah sepasrah pasrahnya. Saya kehilangan optimisme saya. Apapun yang terjadi hal itulah yang terbaik untuk saya. Esoknya saya bangun siang, setelah sholat subuh pastinya. Saya aktifkan paket data. Saya melihat ada sebuah pesan di WhatsApp dari seorang teman yang juga ikut seleksi beasiswa saya yang kedua. Dia menulis, “Alhamdulillaaaahh. Vitaaaa. Selamat ya cantiiik. Km lolos LPDP.” Bisa dibayangin ga? Bangun tidur pukul
Sembilan pagi dan dapat pesan seperti itu. Padahal seharusnya pengumuman pada tanggal 24 September 2014. Saya langsung telepon teman saya. Saya belum percaya jika belum melihat sendiri di web. Saya langsung lari ke rumah tetangga untuk numpang hotspot karena paket data kebetulan habis dan sambungan internet di rumah sudah di cabut. Sungguh. Maha Besar Allah! Saya ga berhenti baca pengumuman berkali kali. Ya Allah, rasanya dada ini plong. Beban yang menghimpit seperti terangkat dalam sekejap. Saya tahu, semua ini masih awal perjalanan. Jalan masih panjang dan penuh dengan perjuangan. Saya berhutang pada 200 juta lebih rakyat Indonesia. Hutang yang tidak mudah untuk dibayar, hutang pada bangsa Indonesia. Saya tahu ada yang jauh lebih layak untuk mendapatkan beasiswa ini selain saya. Terkadang saya merasa tidak pantas berada di sini. Namun saya percaya pada rencana indah-Nya. Alhamdulillah, butiran debu ini akhirnya mampu terbang menggapai mimpinya, semua semata mata karena tangan dingin Sang Maha Kuasa. Melalui perantara orang orang baik, akhirnya saya mampu dengan nyata hidup bersama mimpi masa kecil saya. Semoga saya mampu melaksanakan amanah dari bangsa ini dengan baik. Aamiin “Jika kamu yakin bisa, kamu bisa.” Vita Arumsari Durham University, UK
Merengkuh Paman Sam Alunan lagu sk8ter boy dari Avril Lavigne di radio membangunkanku -rupanya aku lupa mematikan radioku semalam- Kulihat jam di dinding kamar bergambar wanita berparas elok yang tergantung tepat di atas pintu kamar. Jarum jam menunjukkan pukul 5:30 pagi. Saat ayam berkokok, lamunanku terbuyar. Mulai kunaikkan volume suara radio yang masih memutar lagu barat, kali ini lagu dari Craig David yang diputar. Ah, tak kupahami sedikit pun kata dalam lagu itu. Yang aku tahu hanyalah kata “no more” yang berulang kali dia dendangkan. Tapi meskupun demikian, lagu berbahasa Inggris itu justru seperti menghipnotisku. Lagu-lagu mereka juga membuatku semakin ketagihan untuk mendengarkannya. Disitulah kecintaanku akan bahasa Inggris mulai muncul. Ya, sejak kecil, aku memang sangat menyukai musik, terutama yang berbahasa Inggris. Jangan salah, aku suka juga musik dangdut, pop, dan rock dari Indonesia, tapi mendengarkan lagu berbahasa Inggris membuatku tertarik. Karena itu, aku mulai membeli poster-poster mereka -Avril Lavigne, The Black Eyed Peas, Evanescence, dan lainnya. Aku masih ingat, salah satu poster para musisi yang tergantung di belakang pintu itu memiliki latar pemandangan salju di kota New York. Dan karena poster itu, aku mempunyai impian untuk pergi ke Amerika, yang orang sebut sebagai Negara Paman Sam, dan merasakan sendiri bagaimana ingar bingarnya kota New York.
Meskipun begitu bersemangat dengan impianku, aku sempat ragu. Apakah mungkin aku yang hanya anak desa ini bisa menggapai cita-citaku ke Amerika? saat keraguan itu muncul, aku selalu teringat kepada nasihat bapak: “Jangan lupa Kun, mimpi adalah hak setiap orang, jadi jangan pernah takut untuk bermimpi.” Karena beliaulah, aku sering berkata kepada diriku sendiri: “hey kunto, bukankah mimpi tidak selalu ditentukan oleh berapa banyak uang yang kau miliki? dan bukankah kita tak perlu membayar untuk sekedar bermimpi? Jadi kenapa harus takut buat bermimpi?” Sebenarnya, aku hanyalah seorang anak desa yang tinggal jauh dari kota dan dibesarkan di Desa Kancilan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Desa yang terletak jauh di pesisir utara ini dihuni sekitar 3000 orang dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Bapak dan Ibu merupakan orang yang selalu mendukung anak-anaknya. Mereka berusaha agar anakanya bisa terus berpendidikan tinggi. Keluargaku bukan merupakan keluarga kaya, sekadar cukup. Aku adalah anak kelima dari 8 bersaudara. Ayahku bernama Muslim, seorang PNS. Dan ibuku bernama Sri Nuryati yang mempunyai toko kelontong kecil di rumah. Hidup kami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari saja. Walaupun demikian, bapak dan ibuku sering berkata “harta bisa dicari kapanpun, tapi ilmu dan pengetahuanmu yang nantinya akan membuat hidupmu berarti. Makanya, jangan pernah malas untuk belajar” Sejak saat itu, aku bertekad akan pergi ke Amerika dan berjalan menyusuri Time Square suatu hari
nanti. Melihat kilauan lampu dan juga menyusuri jalanjalan ramai sampai ke Central Park. Tapi, untuk pergi kesana, aku harus bisa bahasa Inggris. Karena tidak mungkin aku pergi ke suatu negara tanpa menguasai bahasanya. Kemudian aku mulai menyadari pentingnya bahasa Inggris. Saat aku memasuki SMA N 1 bangsri, ketertarikanku akan bahasa Inggris semakin menguat. Aku belajar semakin giat karena tak mau ketinggalan dengan teman-temanku. Kebanyakan teman SMA ku belajar bahasa inggris di tempat kursus. Pada suatu malam aku beranikan berbicara kepada orang tuaku. Di ruang tamu yang berukuran kecil dengan cat berwarna putih itu aku melihat bapak dan ibuku sedang berbincang. Dengan agak gugup aku mulai berbicara “bapak, ibu, boleh nggak saya ikut kursus bahasa inggris?” Ibu kemudian mengatakan “bapak ibu pengen sekali kamu bisa ikut kursus, tapi sekarang belum bisa. Maaf ya nang?” “ya, tidak apa-apa kok bu. Mungkin lain kali saja” Mau bagaimana lagi, memang saat itu keluargaku memiliki isu finansial yang lumayan pelik. Aku harus mengerti bahwa kebutuhan orang tuaku banyak. Tapi, aku tidak patah arang. Justru dari situ aku semakin berusaha belajar sendiri. Aku membaca buku, bertanya ke teman, juga mengartikan lirik-lirik lagu. Setelah membaca banyak buku dan cukup mahir dengan bahasa Inggris, tiba-tiba guruku bahasa Inggris, Pak Abunawi, memintaku untuk mengikuti lomba berbahasa inggris. “kunto, apakah kamu bersedia mewakili SMA N 1 Bangsri untuk lomba debat Bahasa Inggris di Kabupaten”
“tapi saya belum mahir, sir. Bagaimana kalau nanti mengecewakan?” “tidak apa-apa, nanti kita belajar bareng. Jangan kuatir. Kita berusaha maksimal dulu, untuk hasil, urusan belakang” Awalnya, aku sangat gugup. Saat itu, aku bukan anak yang aktif dan pandai berbicara di depan banyak orang. Aku berusaha menghafalkan banyak sekali kosakata dan juga melatih kemampuan berbicaraku. Hampir setiap malam aku mencoba belajar menyusun argumen. Pada hari-H perlombaan, timku mendapatkan posisi Runner-up lomba debat Bahasa Inggris tingkat Kabupaten Jepara. Kemenangan itu sangat berarti bagiku karena saat itulah aku mulai sadar bahwa semua usaha pasti akan terbayar. “terima kasih karena sudah percaya sama saya, sir.” Kataku pada guruku. “sudah kubilang, kalau kita mau berusaha, pasti ada jalan”, beliau menimpali. Perasaan bangga dan puas saat menerima piala itu seakan mencambukku semakin keras untuk terus belajar bahasa Inggris. Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggiku di jurusan bahasa Inggris. Aku yakin, pendidikan tinggi tidak hanya akan memberikan kesempatan lebih untuk pekerjaanku, tetapi juga bisa memberikan ilmu serta pengalaman yang luas. Pilihanku tidak meleset. aku mengambil jurusan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Semarang (Unnes) di tahun 2007. Dibandingkan dengan jepara, Semarang merupakan kota yang sangat ramai dan sibuk. Segalanya berjalan sangat cepat disini. Aku sempat kaget dan susah beradatasi. Tetapi setelah beberapa bulan, aku mulai
terbiasa tinggal di Semarang. Bahkan, aku menemukan banyak sekali keluarga baru yang luar biasa. Aku bertemu dengan teman-teman kos yang super gokil, teman kuliah yang luar biasa, dan dosen-dosen yang menginspirasi. Di Unnes aku juga belajar berorganisasi, mengembangkan bakat, dan menjalin pertemanan. Disinilah kali pertama aku bisa mencari uang sendiri dengan mengajar les privat. Karena kiriman uang dari uang rumah terkadang tidak cukup, aku sering mencari uang saku dengan mengajar. Meskipun tidak banyak, tetapi uang yang aku dapatkan dari mengajar ini cukup membantu melewati masa sulit selama kuliah. Kakakku sering bertanya “Kun, apakah uang bulananmu masih?”. “masih kok mbak, kebetulan aku ngajar les. Dan ternyata bagus buat latihan mengajar juga.” “ya sudah kalau begitu, pokoknya, terus berusaha dan jangan menyerah meskipun banyak rintangan waktu kamu sekolah” Aku beruntung, karena di semester keempat, aku mendapatkan beasiswa prestasi dari kampus sehingga tidak sering meminta uang kepada orang tuaku untuk biaya kuliah. Di kampus, aku pun sering mengikuti lombalomba seperti debat bahasa Inggris, pidato, karya tulis ilmiah, bahkan paduan suara. Terkadang latihannya bisa sampai jam 2 atau 3 pagi. Sedangkan jam 7 pagi aku harus menghadiri kuliah. Bagiku, mengikuti kegiatan bukan hanya sekedar untuk mencari pengalaman, tetapi caraku untuk mengetahui daya tahanku sebagai individu -apakah aku mampu bertahan di bawah tekanan atau tidak.
Harus diakui bahwa aku sangat beruntung karena dikelilingi oleh orang-orang yang begitu mendukungku, terutama saat berada di kampus. Orang tua, sahabat, dosen dll, salah satunya adalah Zulfa Sakhiyya. Mbak Zu, begitu aku memanggilnya, adalah senior yang selalu menyemangatiku untuk terus mencoba dan tak pernah menyerah dalam menggapai mimpi. Badannya mungkin kecil, tapi semangat dan dedikasinya akan pendidikan begitu luar biasa. Dari dialah aku belajar untuk tak pernah berhenti belajar dan bersekolah. Dia sering sekali bilang, “Kunto, saat kita terus mencoba, maka kegagalan akan bosan mengikuti. Dan pada saat itu, kesuksesan menjadi harga mutlak yang pasti datang menghampiri.” Setelah menyelesaikan studi S1, akhirnya aku lulus dengan predikat lulusan terbaik di jurusanku pada tahun 2011. Saat berjalan kembali ke kos, aku membaca pengumuman Beasiswa pascasarjana dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di salah satu mading. Aku kemudian teringat kembali mimpiku untuk pergi ke Amerika. Karena agak ragu, aku berkonsultasi dengan Bu Anggani, dosen Jurusan Bahasa Inggris Unnes yang begitu baik dan luar biasa ketika dulu membimbingku di S1. Beliau menasehatiku untuk mencoba beasiswa tersebut. “Kunto, kesempatan tak datang dua kali. Saat ini kamu mungkin saja ragu, tapi saat kesempatan ini terlewatkan, belum tentu dia akan datang lagi.” “jangan kuatirkan hasilnya, yang penting sekarang kamu berani mencoba. Bukankah impianmu adalah untuk terus sekolah dan belajar di luar negeri?”
Aku tersentak karena justru orang lain lah yang percaya dan mengerti mimpiku. Dari situ, aku kemudian memberanikan diri untuk mendaftar beasiswa dan program S2 di Amerika serikat. Perjuangan mendaftar beasiswa ini dimulai dari proses aplikasi yang menyaratkan tes TOEFL dimana harganya saat itu hampir 2 juta rupiah. Bagiku, uang sebesar itu sangat susah dicari. Aku tidak mungkin meminta uang ke orang tuaku. Mulailah aku kerja serabutan kesana-kemari. Setiap ada panggilan kerja part time, pasti aku kerjakan. Dan setelah beberapa bulan, akhirnya uang tersebut terkumpul dan aku ikut tes. Setelah itu, semua berkasku berhasil dikumpulkan ke Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti). Beberapa minggu setelahnya, aku dipanggil untuk wawancara. Dalam wawancara tersebut, aku banyak ditanyai tentang cita-cita dan kontribusiku kepada Indonesia ketika nanti mendapatkan beasiswa. Aku pun bercerita mengenai keinginanku untuk ikut serta membangun negeri, terutama di daerah-daerah luar jawa. Pada saat pengumuman, namaku ternyata dinyatakan tidak lolos. Aku sempat kecewa dengan hasilnya. Tetapi setelah menghubungi Dikti dan melengkapi kembali segala persyaratan lainnya, aku dinyatakan lolos. ya, akhirnya aku mendapatkan kesempatan S2 di the Ohio State University dari Dirjen Dikti melalui program Dual Masters’ Degree program yang bekerja sama dengan universitas negeri semarang di tahun 2012. Aku tidak hanya akan mendapatkan satu gelar, tetapi dua gelar sekaligus dalam waktu 2 tahun. Selain itu, aku mendapatkan kesempatan untuk tinggal selama 2 semester di Amerika serikat.
Di negeri Paman Sam ini, aku tak hanya belajar untuk memperdalam ilmu jurusanku, tapi juga bertemu dengan budaya baru dan teman-teman yang berasal dari berbagai negara. Aku belajar dengan sepenuh hati dengan harapan aku mampu memberikan yang terbaik untuk negaraku. Dan dengan segala jerih payah, akhirnya akupun lulus dari program ini di Tahun 2014. Sekembalinya di Indonesia, aku semakin berani untuk menantang diriku. Aku terpilih menjadi salah satu delegasi Indonesia di Forum UNAOC PBB bersama 100 pemuda lainnya dari seluruh dunia di tahun 2014. Selain itu, aku aktif di komunitas pecinta bahasa bernama Polyglot Indonesia di Semarang. Aku juga membuat komunitas “Small Initiatives”yang bertujuan untuk menggalakkan partisipasi anggotanya dalam perbaikan permasalahan dunia. Bersama sahabatku, kami ingin memberikan kontribusi positif kepada bumi meskipun dimulai dari hal yang kecil. Aku ingin berkontribusi positif kepada masyarakat. Aku selalu berkata pada diriku, ”hey kunto, semua hal berawal dari mimpi. Mimpimu untuk berjalan menyusuri time square, yang saat aku kecil terlihat sangat tidak mungkin, telah kau raih. kau bisa berkelana di New York dan berhasil menempuh studi S2. Apalagi yang kau takutkan?” Sekarang aku telah menyelesaikan sekolah masterku. Dan aku semakin yakin bahwa perjalananku tidak hanya akan berhenti disini. Aku ingin terus sekolah, karena sekolah lah yang membuat anak desa ini berhasil merengkuh Paman Sam. Dan sekolah membuatku semakin sadar, bahwa manusia akan menjadi utuh saat mereka mau terus belajar.
Jadi jika ada yang bertanya “Kunto, salah satu hal apakah yang paling kau syukuri dalam hidup?” aku akan bilang “Bisa Sekolah.” Kunto Nurcahyoko PhD Student, Ohio University, USA
Story From Thailand My student life would be so boring without the good decisions I have made. From being extremely shy to becoming a confident person, I have been gaining the experiences through the rough long road, since I had confronted with a crucial time. Starting off as a timid individual, this life filled with experiences and long, rough roads have turned me into the self-confident person I am today. To become an outstanding student is not that hard, even if you lack inspiration and diligence. Starting by doing new and different things change your perspective on. When I was just a little boy, I was as stubborn as every men in the world starts. I spent much of my time playing around with in my neighborhood, but as I got older, as you know, the new age of computers had arrived. I was completely addicted to computer games. This in no way means that playing video games is a completely bad habit; it could be positive as well, depending on what your true objective is. Games improve brain efficiency in terms of problems solving, logic, planning, resource management, memory, etc. Spending too much time to play games will hurt your brain and eyes terribly,
and furthermore some games lead kids to violent tendencies. For those reasons I became hottempered and aggressive. After that my mom forced me to learn music due to my addiction to playing computer games excessively. I learned how to play electron and how to sing. My life became more interesting, and every time I went to the class I was overjoyed and my head was filled with tunes.When I was in the junior high school, I decided to join the school’s symphonic band. It really helped subdue my aggressive behavior and give me a gentler mind. I tended to be more confident. My assertiveness was building day by day. I chased every opportunity to compete in regional music contests. My favorite competition was Singapore International Band Festival 2008. It was my first time going abroad and competing with bands from around the world. It was a symphonic band competition at the one of the best halls in the world: Esplanade Concert Hall. My school symphonic band won forth price in the final round. Although we didn’t win, we were inspired through workshops, concerts, and festivals among international musicians. The time when I performed inside Esplanade Concert Hall still remains in my heart. It was very big and nice interior decoration hall. Our performance consisted of 3 songs, and I was given a solo in one of them so it frightened me a bit.
Fortunately, I performed really well. My first time going abroad was momentous. It truly expanded my horizons a great deal. Once you have a chance I insist you to take it, leaving your routine for a week to get inspired by the new environment or a place where people don’t speak your language, or even where the culture is quite different from yours. I’m sure you will see something new and change your perspective. Being an exchange student is one of my resolutions, so I decided to prepare myself for on coming opportunities. I have been practicing my English since I came back from Japan. The key of learning a new language for me is “Listening”. It’s just like when you were a baby, you listened to your parents talking then you copied what they said. The first words you can speak are either “mom” or “dad” which is a word that your parents tried to teach you, wasn’t it? Hence the best practice for learning new languages seems to be listening. My English has become better and better. When I moved to Bangkok to continue my bachelor’s degree at King Mongkut’s University of Technology Thonburi (KMUTT). which is the best engineering
institute in Thailand, I worked with the university international affair asinternational buddies for international student and KMUTT Brand Ambassadors. Many times I had to take care of foreign students in the campus, take them on a campus tour, manage Bangkok sightseeing trips, and
even give a university presentation to VIP visitors. Moreover, I belonged to KMUTT International Joy Club, which is the only club that students could learn English and get to know other cultures through various international activities. My position in the club was vice president. I do love this club so much because it’s not an ordinary English class but it is a very cozy family. Our activities consist of English camp, English to School, Parties, weekly meetings, Leadership camp, etc. I really appreciate my university society. Almost everybody here truly cares about the community’s development. I had many chances to participate in charity events to improve Thai community such as Teaching English for economically challenged students, volunteering for rehabilitating areas after floods, etc. I think the best power to propel our country is creating excellent human resources, both academically and morally. During the second year of university life, I finally applied for a short-term exchange program in South Korea to accomplish my life’s resolution. The procedure of applying for this scholarship is just like any other: applicants need to write an attractive essay and also pass the press interview. With my fine writing skills and speaking ability, I received that scholarship to study in Chonnam National
University in Gwangju. The South Korea teaching system is far more advanced than in Thailand. I was deeply impressed by Korean Education. Again when I came back to Thailand, I thought the short-term exchange program was not enough for me. Moreover I was so sick of my boring routine. I decided to seek anew journey for new inspiration. There were plenty of scholarships for KMUTT students who want to study overseas, but not many students apply for it. I made the decision to apply for an exchange student opportunity at Institut Teknologi Bandung, known as ITB, in Bandung, Indonesia due to advice given to me from my supervisor. There were a lot of people who were against my decision. “You’d better go to England or America instead of Indonesia,” said my friend. I insisted that I’m going to go to Bandung anyway. I thought that it would be nice to explore other developing countries like Thailand. I wanted to see the differences between them and us. My friends often say that I have an extremely opposite and odd way of thinking. It is sometimes not really good and suitable for some certain situations in Thai culture, but many times it can lead to new ideas and perspectives. I spent 5 wonderful months in
Indonesia. People were very kind to me. The food there is really tasty and sometimes too oily for me. I love the way that Indonesian people can live together among diverse ethnics and religions. There is an abundance of natural resources in Indonesia such as tin, petroleum, forests, coal, natural gas, minerals, etc. Cultural shock will happen to you when you spend time outside of your beloved country. For me what is the best part of going through the exchange program in Indonesia was eating food with mybare hands. Then I learned how to eat rice the Indonesian way. It was actually fun and yummy. Other than that,, one interesting culture I’ve learned from there was “do not offer things to people with your left hand”. Once I took an angkot to ITB, and I accidentally handed money bills to a driver with my left hand and he became angry. I was very stunned when he was so serious. After that I asked my classmate about the situation. They told me that it is not very polite to give things with our left hand. Not many people speak English in Indonesia, so body language is essential skill to survive. Luckily, ITB provided me with bahasa Indonesia class. After that my life in the land of
thousands of islands became much easier. It was very fun to pretend that you are Orang Indonesia (Indonesian people). I tried to speak bahasa Indonesia many times to sellers in the markets. Then I could bargain for a cheaper price. These are examples of experiences you can gain by studying overseas. For the lovely readers who are now reading this article, I want you to take advantage of opportunities to study abroad. It is not only to become an outstanding student but it is also to see differences, to understand diversity, and to be inspired by things you haven’t seen before. Please don’t think that you can’t do it. Please believe in yourself and be confident that you can do it. I am an example of this. Without my self-confidence and a bit of effort I would have never come across these great experiences in life. Narakorn Inkamma (Andrew) Environmental Engineering Student, Thailand
INFO BEASISWA LUAR NEGERI
Australia Award Scholarship Negara Tujuan : Australia Periode : Februari-April Requirement : IELTS 5,0 / TOEFL 500 & IPK 2,9 Manfaat : Full Scholarship Website : http://australiaawardsindo.or.id/ LPDP Scholarship Negara Tujuan : Sesuai Pilihan Periode : dibuka sepanjang tahun Requirement : IELTS Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.beasiswalpdp.org/index.html DIKTI Scholarship Negara Tujuan : Sesuai Pilihan Periode Pendaftaran : dibuka 4-6 batch per tahun Requirement : IELTS Manfaat : Full Scholarship Website : a. Dalam Negeri http://beasiswa.dikti.go.id/dn/ b. Luar Negeri http://beasiswa.dikti.go.id/ln/ Turkey Government Scholarship Negara Tujuan : Turki Periode Pendaftaran : Februari-April Requirement : Language Proficiency Manfaat : Akomodasi, Tuition fee, Asuransi Website : http://www.turkiyeburslari.gov.tr/index.php/en General Cultural Scholarship India Negara Tujuan : India Periode Pendaftaran : Januari Requirement : English test by Indian System Manfaat : Living Allowance, Accommodation, and school fee Website : http://www.iccrindia.net/gereralscheme.html
AMINEF Negara Tujuan : USA Periode Pendaftaran : April Requirement : GPA 3,0 and TOEFL 575 Manfaat : Full Scholarship Website : a. http://www.aminef.or.id/index.php b. http://www.iief.or.id/ Netherland Government Scholarship Periode Pendaftaran : April Requirement : GPA 3,0 and TOEFL 575 Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.nesoindonesia.or.id/beasiswa Korean Government Scholarship Periode Pendaftaran : Requirement : English Proficiency Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.niied.go.kr Asia University Taiwan Periode Pendaftaran: Oktober & April Requirement : TOEFL 500, IELTS 5 Manfaat : Scholarship A tuition waiver, dormitory fee waiver, and monthly stipend of NT$6,000 Scholarship B+ tuition waiver, dormitory fee waiver Scholarship B tuition waiver Scholarship C+ 50% tuition waiver, 50% dormitory fee waiver Scholarship C 50% tuition waiver Website : http://ciae.asia.edu.tw)
Sciences Po France Periode Pendaftaran: Maret dan Mei Requirement : IELTS 6,5 Manfaat : Full Scholarship Website : (http://formation.sciences-po.fr/en/contenu/the-emileboutmy-scholarship) Belgium Government Scholarship Periode Pendaftaran: Varies (annual) Requirement : Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.vliruos.be/6259.aspx Prasetya Mulya Business School Indonesia Periode Pendaftaran: Requirement : TOEFL 550 Manfaat : Full Scholarship Website : (http://www.pmbs.ac.id/scholarship.php?lang=ENG) Monbugakusho Scholarship Japan Periode Pendaftaran: Maret Requirement : TOEFL 550/ IBT 79, IELTS 6.0 JAPAN LANGUAGE PROFICIENCY TEST (JLP) Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.id.emb-japan.go.jp/sch_rs.html University of Twente Netherland Periode Pendaftaran: Maret Requirement : TOEFL iBT 20, IELTS 6,5 Manfaat : 6000-25000 euro/year Website : http://www.utwente.nl/internationalstudents/scholarshipsa ndgrants/all/uts/
PPM School of Management Indonesia Periode Pendaftaran: Oktober Requirement : TOEFL 500 Manfaat : Full Sholarship Website : http://ppm-manajemen.ac.id/beasiswa-penuh-s2-mmreguler/ Brunei Darussalam Government Scholarship Periode Pendaftaran: Desember Requirement : IELTS 6,0 or TOEFL 550 Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.mofat.gov.bn/ Sweden Government Scholarship Periode Pendaftaran: Desember Requirement : IELTS 6,5 or TOEFL 575 Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.studyinsweden.se/Scholarships/ United Kingdom Government Scholarship Periode Pendaftaran: Augustus Requirement : LOA dari universitas yang dituju, IELTS 6,5, Pearson PTE 58, TOEFL IBT 58 Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.chevening.org/indonesia/ Ancora Foundation Scholarship Periode Pendaftaran: Augustus Requirement : cakap akademik, aktif organisasi, terdaftar dalam universitas sesuai list, research proposal Manfaat : Full Scholarship Website : http://ancorafoundation.com/
IDB Merit Scholarship Programme for High Technology Periode Pendaftaran: Desember Requirement : for Master & PhD in engineering Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.isdb.org/irj/portal/anonymous?NavigationTarget =navurl://5ffaebd539e6818daffef7bff9d770cb Seoul National University Korea Periode Pendaftaran: Februari Requirement : TOEFL 550, TEPS 551, IELTS 5,5 Manfaat : Full Scholarship Website : http://en.snu.ac.kr/apply/graduate/timeline Prestasi Scholarship from USAID Periode Pendaftaran: April Requirement : pengalaman kerja, TOEFL 450, IELTS 5,0 Manfaat : Full Scholarship Website : http://www.prestasi-iief.org AMINEF Schoarship (Fullbright) Periode Pendaftaran : April Requirement : GMAT, TOEFL, GRE Manfaat : Full Scholarship Website : (http://www.aminef.or.id/) Honjo International Scholarship Foundation Japan Periode Pendaftaran : September Requirement : kemampuan bahasa jepang sangat diutamakan Manfaat : Full Scholarship Website : (http://hisf.or.jp/english/sch-f/)
Asean Development Bank Periode Pendaftaran : Requirement : sesuai dengan kampus yang dituju, terlebih dahulu terdaftar pada univ tersebut Manfaat : Full Scholarship Website : (http://www.adb.org/site/careers/japan-scholarshipprogram/procedures-applying) Korean University of Art Scholarship Periode Pendaftaran : Juli Requirement : rekomendaasi dari kedutaan Korea ditiap negara, lebih diutamakan yang punya skill bahasa korea Manfaat : 700.000 won/bulan Website : (http://karts.ac.kr:8090/?MID=htmlContent&IDX=375)