KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN SWASEMBADA PANGAN
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF
Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak harga beras, telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri dengan swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan. Indonesia saat ini masih sulit mencapai target swasembada pangan 2014 karena produksi dan produktivitas tanaman pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkan Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hal tersebut menunjukan bahwa dengan demikian, peran diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan dapat dijadikan sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan. Demikian pula analisis
kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat ini dan waktu
mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan pokok juga sangat perlu dilakukan melalui serangkaian analisis, yang mencakup: (1) Dinamika permintaan, penawaran dan kebijakan perdagangan tentang komoditas pangan pokok di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain di kawasan ASEAN; (2) Proyeksi perkembangan permintaan dan penawaran pangan pokok dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Alternatif kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
i
Tujuan dari kajian ini adalah menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas
pangan
pokok
di Indonesia.
Menganalisis
perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok. Berdasarkan hasil analisis dan FGD dapat disimpulkan beberapa hal yaitu 1) Pangsa pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42 persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi masyarakat masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi sehingga kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya tergolong besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. 2) Konsumsi energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011 sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan secara signifikan. 3) Dilihat dari segi ketersedian energi pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan surplus energi pangan sejak 2005. Namun terdapat masalah pada keseimbangannya, yang diindikasikan oleh persentase ketersedian energi dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan Hewani terlalu rendah, (c) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan terlalu rendah. Apabila ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi maka kelebihan energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). 4) Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Program diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan secara parsial, baik dalam konsep, target, wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
ii
Berdasarkan hasil analisis terhadap Perkembangan Permintaan dan Penawaran diperoleh gambaran bahwa: 1) Permintaan lima komoditas pangan yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut jauh melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan dan minuman; 2) Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas pangan yang dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73 persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan sangat cepat yaitu daging sapi (19,50 persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu dicatat bahwa laju pertumbuhan produksi yang sangat cepat tersebut bukan berasal dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi bakalan dari Australia yang diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia; 3) Selama kurun waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit produksi dan cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat cepat pada beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68 persen, sedangkan deficit gula, daging sapi dan kedelai masing-masing sebesar 24,38 persen, 18,73 persen dan 11,23 persen; 4) Hasil estimasi elastisitas menunjukkan penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan langsung terhadap perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun
tetap
< 1
(inelastis). Elastisitas
pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima komoditas yang dikaji tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan akan terus meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat; 5) Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada tebu/gula (0,901). Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas panen kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai. Dengan perkataan lain, perluasan areal panen jagung dapat menurunkan luas areal panen kedelai, tetapi tidak terjadi yang sebaliknya; 6) Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung,
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
iii
kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu 0,103 pada jagung dan 0,403 pada tebu/gula. Variabel Trend sebagai proksi teknologi berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula. Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh teknologi dengan elastisitas 0,019; 7) Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,974 (jagung). Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,320 (gula). Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah dan gula, harga produsen juga dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masingmasing 0,080 dan 0,144. Berdasarkan Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050 dapat disimpulkan bahwa untuk Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71.818-78.639 ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih pada tahun 2015 yang mencapai 693-1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan tahun 2050 yang mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan Skenario I (pesimis) paling kecil. Jagung: defisit produksi akan terus menurun sampai dengan tahun 2025 dan mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026 dengan Skenario I (pesimis) pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario II (sedang) dan pada tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III (optimis). Dengan Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton. Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.9215.051 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai 2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.0689.363 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. Daging sapi lokal: defisit produksi
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
iv
diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat sangat cepat menjadi 2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari empat komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar. Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi, analisis trend dan hasil proyeksi, maka langkah-langkah kebijakan yang dapat diambil adalah 1) Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan khas nusantara; 2) Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat dan industri; 3) Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum di SD, SLTP dan SLTA); 4) Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi,
menyediakan, memperdagangkan,
dan/atau
mengkonsumsi
pangan yang tidak aman (mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor, dan lain-lain); 5) Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan, khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang pangan impor; 6) Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk memproduksi pangan lokal secara memadai. Sedangkan untuk Kebijakan Perdagangan Luar Negerinya yang feasible untuk dilakukan adalah Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas pangan strstegis tersrbut di Indonesia masih tetap diperlukan. Sehubungan dengan itu, Indonesia berkewajiban untuk menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota ASEAN dan ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya ke negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
v
perdagangan dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi per kapitanya dinilai sudah berlebihan, sekaligus mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai. Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah Kebijakan Pertanian dan Prasarana Umum melalui: 1) Pengembangan inovasi teknologi secara terusmenerus sesuai dengan kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi petani, yang disertai dengan sistem penyuluhan yang efektif untuk diseminasi teknologi tersebut kepada petani produsen, sehingga produktivitas dan efisiensi proses produksi makin tinggi; 2) Percepatan peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP) untuk gula untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik sekaligus mendorong perluasan areal tanam; 3) Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik; 4) Pembangunan dan perbaikan prasarana
pertanian, utamanya jaringan irigasi, jalan pertanian,
jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP) dan produktivitas dapat ditingkatkan; 5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah Daerah harus mematuhi berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar mengejar PAD melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat mengancam produksi pangan
pokok,
utamanya beras; 6)
Pengendalian/pencegahan
pemotongan ternak sapi potong betina produktif untuk mencegah terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong melalui pengawasan pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Pemotongan harus mendapatkan izin Dinas Peternakan dan para pelaku yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Perda terkait; 7) Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya, jembatan dan pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi pangan dalam daerah dan antar daerah (aspek konektivitas).
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
vi
Untuk kebijakan Kebijakan Demografi yang perlu dilakukan adalah Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali program Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan “Keluarga Kecil Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan jumlah penduduk adalah memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan. Peran lembaga-lembaga yang terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK, Posyandu, dan lain-lain), lembaga
pendidikan
dan
lembaga keagamaan
perlu
mengajarkan dan
menanamkan pengertian tentang pentingnya melakukan KB.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, laporan tentang : Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Pencapaian Swasembada Pangan ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia. Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan Data dan informasi tentang dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia. Perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang serta Informasi tentang rumusan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok. Akhir kata, semoga hasil kajian ini menjadi langkah awal bagi proses penyusunan rencana dan tindak lanjut kebijakan perdagangan untuk mendukung pencapaian swasembada pangan yang komprehensif dan berguna bagi pembangunan perekonomian daerah dan nasional.
Jakarta,
Nopember 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
viii
DAFTAR ISI
Hal RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................
1
1.2. Tujuan ...................................................................................
3
1.3. Keluaran Yang Diharapkan ...................................................
4
1.4. Dampak Kajian ......................................................................
4
1.5. Ruang Lingkup ......................................................................
4
1.6. Sistimatika Laporan ...............................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
7
2.1. Konsep Diversifikasi dan Pola Konsumsi Pangan .................
7
2.2. Hukum Permintaan dan Penawaran ......................................
10
2.3. Konsep Kebijakan Perdagangan – Tarif Bea Masuk .............
13
2.4. Konsep Ketergantungan Impor ..............................................
15
2.5. Metode Analisis Penawaran dan Permintaan Pangan ..........
17
2.6. Pengalaman Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditas
BAB III
BAB IV
Pangan Strategis di Indonesia ..............................................
19
2.7. Promosi Diversifikasi Pangan ................................................
36
METODOLOGI .............................................................................
37
3.1. Kerangka Teori ......................................................................
37
3.2. Kerangka Analisis ..................................................................
42
3.3. Jenis dan Sumber Data .........................................................
44
3.4. Metoda Analisis .....................................................................
44
POLA
DIVERSIFIKASI
DAN
TINGKAT
KONSUMSI
KOMODITAS PANGAN STRATEGIS ..........................................
57
4.1. Dinamika Pola Konsumsi .......................................................
57
4.2. Pola Konsumsi Energi Pangan ..............................................
63
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
ix
BAB V
4.3. Ketersediaan Energi Pangan .................................................
67
4.4. Pola Diversifikasi ...................................................................
70
4.5. Kebijakan Diversifikasi Pangan .............................................
74
PERKEMBANGAN
PERMINTAAN
DAN
PENAWARAN
KOMODITAS PANGAN SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
BAB VI
MEMPENGARUHINYA ................................................................
79
5.1. Perkembangan Permintaan dan Penawaran .........................
79
5.2. Faktor-faktor Determinan Permintaan dan Penawaran .........
82
5.3. Transmisi Harga ....................................................................
87
PROYEKSI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN STRATEGIS THUN 2013-2050 ....................................
89
6.1. Skenario Kebijakan Pemerintah dan Variabel lain ................
89
6.2. Proyeksi Konsumsi/Permintaan .............................................
93
6.3. Proyeksi Produksi/Penawaran ...............................................
95
6.4. Pencapaian Swasembada Pangan .......................................
97
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..............................
101
7.1. Kesimpulan ............................................................................
101
7.2. Implikasi Kebijakan ................................................................
104
Daftar Pustaka ................................................................................................
108
BAB VII
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
x
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 2.1.
Rasio Ketergantungan Impor Pangan (Persen) .........................
16
Tabel 2.2.
Regim Kebijakan Pergulaan Nasional ........................................
26
Tabel 4.1.
Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Pendk Indonesia ......
59
Tabel 4.2.
Dinamika Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (Kg/Kp/Th) ..........
60
Tabel 4.3.
Besaran Pengeluaran Pangan Penduduk Indonesia Menurut Kelas Pengeluaran (Kg/Kap/Th) .................................................
61
Tabel 4.4.
Susunan Pola Pangan Harapan(PPH) Nasional Kkal/Kap/Hr ....
64
Tabel 4.5.
Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonsia MenurutKelas Pendapatan (Kka/Kap/Hr)Tahun 2011 .......................................
Tael 4.6.
Pola Ketersediaan dan Konsumsi Energi Bahan Pangan Penduduk Indonesia Tahun 2010 ..............................................
Tabel 4.7.
Elastisitas
Harga
Sendiri
dan
Elastisitas
Tabel 6.2.
88
Elastisitas Transmisi Harga Konsumen dan HPP/HP Ke Harga Produsen Komoditas Pangan strategis ......................................
Tabel 6.1.
86
Elastisitas Transmisi Harga Impor dan TBM Ke Harga Konsumen Komoditas Pangan strategis ....................................
Tabel 5.7.
83
Elastisitas Luas Panen dan Prduktivitas Komoditas Pangan Strategis .....................................................................................
Tabel 5.6.
82
Pengeluaran
Konsumsi Langsung Komoditas Pangan Strategis Per Kap ..... Tabel 5.5.
80
Perkebangan Defisit Produksi Lima Komodta Pangan Strategis 2008-2012 (ton) ..........................................................................
Tabel 5.4.
79
Perkembangan Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis 2008-2012 (ton) ..........................................................................
Tabel 5.3.
72
Perkembangan Konsumsi Lima Komoditas Pangan Strategis Tahun 2008-2012 (Ton) .............................................................
Tabel 5.2.
71
Konsumi Pangan Sumber Protein : Daging, Telur, Susu dan Kedelai Tahun 2002-2011 (Kg/Kp/Th) ........................................
Tabel 5.1.
70
Konsumsi Pangan Sumber Karbohindrat : Beras, Umbi-umbian dan Terigu Tahun 2002-2011 (Kg/Kp/Th) ..................................
Tabel 4.8.
66
88
Skenario Analisis Simulasi Untuk Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis ..................................
90
Proyeksi Konsumsi Beras 2013-2050 (ton) ................................
93
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
xi
Tabel 6.3.
Proyeksi Konsumsi Jagung 2013-2050 (ton) .............................
93
Tabel 6.4.
Proyeksi Konsumsi Kedelai 2013-2050 (ton) .............................
94
Tabel 6.5.
Proyeksi Konsumsi Gula 2013-2050 (ton) ..................................
94
Tabel 6.6.
Proyeksi Konsumsi Sapi 2013-2050 (ton) ..................................
94
Tabel 6.7.
Proyeksi Produksi Beras 2013-2050 (ton) ..................................
95
Tabel 6.8.
Proyeksi Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ...............................
96
Tabel 6.9.
Proyeksi Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ...............................
96
Tabel 6.10.
Proyeksi Produksi Gula 2013-2050 (ton) ...................................
96
Tabel 6.11.
Proyeksi Produksi Sapi 2013-2050 (ton) ....................................
97
Tabel 6.12.
Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras 2013-2050 (ton) .........
99
Tabel 6.13
Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung 2013-2050 (ton) .......
99
Tabel 6.14.
Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) .......
100
Tabel 6.15.
Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula 2013-2050 (ton) ...........
100
Tabel 6.16.
Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Dg Sapi 2013-2050 (ton) ......
100
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
xii
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 2.1.
Kurva Penawaran, Permintaan dan Harga ..........................
11
Gambar 2.2.
Teori Dampak Kebijakan TBM ............................................
14
Gambar 4.1.
Pangsa Pengeluaran Masyarakat Perkapita Pertahun........
57
Gambar 4.2.
Pangsa Pengeluaran 2002 ..................................................
62
Gambar 4.3.
Pangsa Pengeluaran 2005 ..................................................
62
Gambar 4.4.
Pangsa Pengeluaran 2008 ..................................................
62
Gambar 4.5.
Pangsa Pengeluaran 2009 ..................................................
62
Gambar 4.6.
Pangsa Pengeluaran 2010 ..................................................
62
Gambar 4.7.
Pangsa Pengeluaran 2011 ..................................................
62
Gambar 4.8.
Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia Per Kap Per Hari................................................................................
Gambar 4.9.
63
Konsumsi Energi Pangan dari Beberapa Jenis Kelompok Bahan Pangan Penduduk Indonesia ...................................
65
Gambar 4.10.
Skor Aktual Pola Pangan Harapan (PPH) ...........................
67
Gambar 4.11.
Pola Ketersediaan Energi Pangan Dari 4 Kelompok Bahan
Gambar 4.12.
Pangan ................................................................................
68
Pola ketersediaan Energi Pangan Tahun 2002-2010 .........
69
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1
Jenis dan Sumber Data........................................................
112
Lampiran 2
Proyeksi Konsumsi Beras 2013-2050 (ton) .........................
113
Lampiran 3
Proyeksi Konsumsi Jagung 2013-2050 (ton) ......................
114
Lampiran 4
Proyeksi Konsumsi Kedelai 2013-2050 (ton) ......................
115
Lampiran 5
Proyeksi Konsumsi Gula 2013-2050 (ton) ..........................
116
Lampiran 6
Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Lokal 2013-2050 (ton) .....
117
Lampiran 7
Proyeksi Produksi Beras 2013-2050 (ton) ...........................
118
Lampiran 8
Proyeksi Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ........................
119
Lampiran 9
Proyeksi Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ........................
120
Lampiran 10
Proyeksi Produksi Gula 2013-2050 (ton) ............................
121
Lampiran 11
Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal 2013-2050 (ton) .......
122
Lampiran 12
Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Beras 2013-2015 (ton) ........
123
Lampiran 13
Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Jagung 2013-2015 (ton) .....
124
Lampiran 14
Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Kedelai 2013-2015 (ton) .....
125
Lampiran 15
Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Gula 2013-2015 (ton) ..........
126
Lampiran 16
Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Daging Sapi Lokal 20132015 (ton) ............................................................................
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan
127
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama
pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak harga beras, telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri dengan swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan (Sawit et al, 2010). Dengan permintaan pangan yang terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang pada 10 tahun terakhir mencapai sekitar 1,49 persen atau 4,5 juta jiwa per tahun (BPS, 2011), tidak mengherankan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, ketergantungan pada bahan pangan impor semakin tidak dapat dihindari. Hal ini terlihat dari jumlah impor pangan yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, impor pangan pada Semester I tahun 2011 tercatat Rp 45,6 triliun atau bertambah Rp 5 triliun dibanding Semester I tahun 2010 yang tercatat Rp 39,91 triliun (BPS, 2011). Bahkan saat ini ketergantungan Indonesia pada produk pangan impor terus meningkat. Beras misalnya, dari dari 2,2 persen pada tahun 2008 menjadi 5,8 persen pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari 34,4 persen (2008) menjadi 65,6 persen (2012), dan jagung dari 8,3 persen (2008) menjadi 19,5 persen (2012).
Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan
terhadap impor cenderung menurun dari 60,1 persen (2008) menjadi 50,3 persen (2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup besar. Selama ini pemerintah Indonesia selalu berupaya mewujudkan swasembada pangan terutama beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, dengan berbagai program. Untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah menargetkan produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
1
masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan kerusakan infrastruktur pertanian. Pada sisi permintaan, pemerintah juga terus mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk mencapai skor pola pangan harapan (PPH) sekitar 93,3 poin pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan gerakan untuk mendorong peningkatan kesadaran dan motivasi masyarakat dalam mengembangkan diversifikasi pangan melalui peningkatan konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan hewani dengan mengutamakan produksi pangan lokal. Salah satu sasaran dari gerakan ini adalah tingkat konsumsi pangan beras per kapita diharapkan dapat turun sekitar 1,5 persen per tahun. Apalagi Indonesia saat ini dinilai oleh berbagai pihak masih sulit mencapai target swasembada pangan 2014 karena produksi dan produktivitas tanaman pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkaan Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Oleh karena itu, isu ketahanan pangan menjadi topik penting di negeri ini karena pangan merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasayarat untuk melaksanakan pembangunan. Bagi pemerintah ketahanan pangan merupakan hal yang harus diwujudkan. Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk besar dan tersebar di ribuan pulau Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangan. Untuk mewujudkan hal tersebut Kementerian Pertanian telah mentargetkan pencapaian swasembada dan swasembada yang berkelanjutan yaitu mensukseskan upaya pencapaian surplus 10 juta ton beras dan mencapai swasembada jagung, kedelai, daging, dan gula pada 2014. Meskipun upaya pencapaian swasembada pangan terus dilakukan, namun fenomena eskalasi harga pangan masih terus terjadi. Hal ini lebih disebabkan oleh aspek suplai karena gangguan sistem produksi dan distribusi di beberapa tempat. Apabila peningkatan harga di titik konsumsi cukup proporsional dengan peningkatan harga di titik produksi, maka dimensi keadilan masih dapat diharapkan. Akan tetapi, Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
2
karena karakter beberapa komoditas pangan di Indonesia memiliki nilai elastisitas transmisi yang rendah, maka peningkatan harga di titik konsumsi hanya sedikit yang dinikmati petani. Persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen. Kenaikan atau ketidakstabilan harga pangan tersebut menyebabkan turunnya kemampuan konsumen membeli pangan sehingga berpotensi terjadinya krisis pangan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran kebijakan perdagangan dalam upaya percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting untuk dirumuskan secara komprehensif. Pada kenyataannya, pemerintah sering kali berada di posisi yang sulit dalam mengambil kebijakan. Pemerintah harus samasama memikirkan konsumen dan petani, karena kalau harga pangan naik, konsumen yang dirugikan. Di sisi lain, apabila pemerintah menekan harga, produsen dan petani yang dirugikan. Oleh karena itu, diperlukan peran kebijakan mulai dari upaya peningkatan kemampuan konsumen membeli pangan yang cukup, hingga peningkatan kesejateraan petani. Hal ini penting karena target swasembada pangan agak sulit terealisasi jika tidak ada insentif bagi petani. Untuk itu, analisis terhadap dinamika permintaan dan penawaran komoditas pangan perlu dilakukan sehingga dapat dirumuskan kebijakan perdagangan pangan yang tepat dan efektif untuk meningkatkan
kemampuan
konsumen
membeli
pangan
dan
meningkatkan
kesejahteraan petani, yang pada akhirnya dapat mempercepat pencapaian swasembada pangan.
1.2.
Tujuan a.
Menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia.
b.
Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
c.
Merumuskan
opsi-opsi
kebijakan
perdagangan
pangan
dalam
mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
3
1.3.
Keluaran yang Diharapkan a.
Data dan informasi tentang dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia.
b.
Data tentang perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
c.
Informasi tentang rumusan opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan.
1.4.
Dampak Kajian Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan bahan masukan yang dapat
dijadikan sebagai referensi dalam merumuskan kebijakan dibidang perdagangan, khususnya dalam menunjang percepatan swasembada pangan. 1.5.
Ruang Lingkup Kajian ini difokuskan pada peran kebijakan perdagangan pangan, yang
dianalisis melalui dinamika permintaan dan penwaran komoditi pangan di Indonesia. Selain itu, kajian ini juga akan melakukan proyeksi jumlah penawaran dan permintaan komoditas pangan pokok di Indonesia di dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Komoditas pangan yang dianalisis adalah beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi. Pangan tersebut merupakan pangan strategis yang mendapat perhatian khusus pemerintah dalam mewujudkankan swasembada pangan. 1.6.
Sistematika Laporan Laporan hasil kajian ini terdiri dari enam bab, yaitu sebagai berikut :
BAB I
: Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan tentang latar belakang, tujuan dan keluaran, ruang lingkup kajian, dan sistematika penulisan laporan.
BAB II
: Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi hasil studi literatur yang digunakan sebagai referensi di dalam kajian ini, yang meliputi konsep diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan, hukum permintaan dan
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
4
penawaran, teori dampak tarif impor, konsep ketergantungan impor, metode proyeksi penawaran dan permintaan pangan yang pernah digunakan,
dan
perkembangan
kebijakan
perdagangan
lima
komoditas yang dikaji. BAB III
: Metodologi. Bab ini menjelaskan tentang metode yang digunakan di dalam kajian ini, yang meliputi kerangka pemikiran, metode analisis data, lokasi kajian dan responden, serta jenis, sumber dan teknik pengumpulan data.
BAB IV
: Pola Diversifikasi dan Tingkat Konsumsi Komoditas Pangan Strategis. Bab ini menguraikan hasil-hasil analisis tentang dinamika pola diversikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan strategis (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi) berdasarkan data hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS tahun 2002, 2005, 2008 dan 2011.
BAB V
: Analisis
Permintaan
dan
Penawaran
Komoditas
Pangan
Strategis. Bab ini berisi hasil-hasil analisis mengenai perkembangan (laju
pertumbuhan)
ketergantungan
permintaan
impor,
dan
faktor-faktor
penawaran, yang
tingkat
mempengaruhi
perkembangan permintaan dan penawaran, transmisi harga, simulasi dampak kebijakan tarif impor dan kebijakan lain, serta proyeksi jumlah permintaan dan penawaran dengan berbagai skenario/opsi kebijakan perdagangan dan lain-lain untuk lima komoditas pangan strategis (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi). BAB VI
: Proyeksi
Permintaan
dan
Penawaran
Komoditas
Pangan
Strategis. Bab ini berisi hasil proyeksi permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2050 dengan skenario kebijakan Tarif Bea Masuk (TBM) dan lain-lain. BAB VII : Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil-hasil analisis dan rumusan kebijakan perdagangan untuk mempercepat pencapaian swasembada komoditas pangan pokok (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi) di Indonesia.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konsep Diversifikasi dan Pola Konsumsi Pangan
2.1.1. Diversifikasi Pangan Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam terminologi kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia karena konsep tersebut telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar. Kasryno et al (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat, yang mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Pada kajian ini, diversifikasi yang dimaksud adalah diversifikasi konsumsi pangan. Pakpahan dan Suhartini (1989) mendefinisikan diversifikasi konsumsi pangan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Secara lebih tegas, Suhardjo dan Martianto (1992) menyatakan dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada diversifikasi konsumsi makanan pokok, tetapi juga makanan pendamping. Dari beberapa pendapat tersebut di atas terlihat bahwa dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan pokok tetapi juga pangan jenis lainnya. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan indeks Pola Pangan Harapan (PPH). Indeks PPH ideal diharapkan mencapai angka 100, namun indeks PPH penduduk Indonesia pada tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan bahwa pada tahun 2015, indeks PPH akan mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus meningkat sekitar 2,5. Dalam konsep PPH, setiap orang per hari dianjurkan mengkonsumsi pangan seperti berikut: padi-padian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr, minyak+lemak 20 gr, buah/biji berminyak 10 gr, kacang-kacangan 35 gr, gula 30 gr Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
6
dan sayur+buah 250 gr. Artinya, dalam setahun kebutuhan padi-padian yang terdiri dari beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk adalah 99 kg/kapita/tahun. Dengan kata lain, susunan hidangan makanan dalam PPH dianggap baik apabila mengandung 10-12 persen energi dari protein, 20-25 persen energi dari lemak dan sisanya dari karbohidrat.
2.1.2. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu (Harper, 1985; Suhardjo, 1998). Pemetaan dan analisis pola konsumsi sangat penting dilakukan karena dapat dijadikan sebagai acuan untuk memprediksi indikator-indikator kesejahteraan penduduk seperti status kesehatan penduduk, status gizi, dan status kemiskinan penduduk. Pola konsumsi masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda, tergantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat (Ariningsih, 2009). Pola konsumsi juga mencerminkan perilaku penduduk yang berkaitan dengan keadaan sumberdaya manusia yang merupakan modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Ayiek, 2008). Perubahan perilaku konsumsi penduduk (rumahtangga) dapat dijadikan sebagai indikator kemampuan rumahtangga tersebut untuk memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari perubahan pendapatan. Selama ini pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padipadian, khususnya beras, yang diindikasikan oleh starchy staple ratio yang tinggi (Ni Made, 2008). Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang kuat terhadap beras sebagai sumber karbohidrat. Hasil analisis Sumaryanto (2009) dengan menggunakan data SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia adalah sekitar 107,8 kg/kapita/tahun. Dari jumlah itu yang langsung dari beras konsumsi rumahtangga (beras dari padi cere untuk dimasak) adalah sekitar 88 %. Sisanya adalah beras dalam bentuk tepung, makanan olahan, beras ketan, dan sebagainya. Dari sisi teori ekonomi, pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah harga dan pendapatan (yang dapat didekati dari sisi Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
7
pengeluaran). Hal ini dapat ditunjukkan dengan teori Engel yang menyatakan bahwa rumahtangga
berpendapatan
rendah
akan
mengeluarkan
sebagian
pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok (pangan). Sebaliknya,
besar rumah
tangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil lsaja dari total pendapatannya untuk kebutuhan pokok (Nicholson, 2002). Peningkatan pendapatan akan menurunkan permintaan terhadap pangan pokok tetapi akan meningkatkan permintaan terhadap pangan mewah, yaitu barang yang elastisitas pendapatannya lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan adanya
realokasi
dari
suatu pemusatan
belanja
konsumen
ke
bentuk
pembelanjaan yang lebih menyebar sesuai dengan peningkatan pendapatan. Teori
yang
mendasari
analisis
konsumsi ini adalah teori
pendekatan kurva
indifferent (indifferent curve), yang mengasumsikan bahwa barang-barang yang dikonsumsi mempunyai nilai guna batas (utility). Utility adalah kepuasan yang diterima dari kombinasi jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi. Variabel-variabel yang mempengaruhi konsumsi masyarakat (seseorang) sebenarnya tidak hanya harga dan pendapatan saja, akan tetapi juga variabelvariabel lain di antaranya adalah variabel sosial ekonomi, selera, faktor geografis seperti perkotaan dan pedesaan, dan sebagainya (Chandra dan Moeis, 2007). Menurut Riyadi (2003), makin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang umumnya
makin tinggi
pula kesadaran untuk
menseleksi
pangan guna memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi berkaitan dengan ketahanan pangan. Hal ini berarti makin tinggi pendidikan formal masyarakat maka pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas pangan yang dikonsumsi masyarakat makin baik, sehingga makin bervariasi pula komoditas pangan
yang
dikonsumsi. Sementara ketahanan pangan umumnya merupakan
capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional, sasaran utamanya adalah komoditas pangan dari produk pertanian seperti beras, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar. Dengan demikian strategi yang diterapkan dalam swasembada pangan adalah subtitusi impor. Ketahanan pangan menurut definisi FAO 1997 merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Berdasarkan definisi dapat Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
8
disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi yaitu berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan social, berorientasi pada pemenuhan gizi serta ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Capaian utama dalam konsep ini meliputi peningkatan status gizi (penurunan kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk). Jumlah anggota rumahtangga juga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan. Makin yang
banyak jumlah anggota rumahtangga maka kebutuhan
dikonsumsi
akan
makin
bervariasi
karena
masing-masing
pangan anggota
rumahtangga mempunyai selera yang belum tentu sama. Dengan makin bervariasinya (beranekaragamnya) komoditas pangan yang dikonsumsi, kondisi gizi dan kesehatan masyarakat diharapkan akan menjadi makin baik. Perubahan pola konsumsi pangan secara tidak langsung tergantung pada kemampuan daya beli masyarakat dan kestabilan harga pangan. Karena itu, kebijaksanaan pangan mencakup usaha peningkatan produksi dan pemerataan distribusi pangan, efisiensi perdagangan, pengembangan industri pangan, dan peningkatan daya beli masyarakat menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera diupayakan.
2.2.
Hukum Permintaan dan Penawaran Di dunia ini ada dua kelompok barang, yaitu barang publik (public good) dan
barang privat (private good). Suatu barang dapat dikategorikan sebagai barang publik jika barang itu mempunyai empat ciri, yaitu: non-rivalry, non-excludable, nontransferrable, dan ada free rider (George and Shorey, 1978). Non-rivalry berarti bahwa konsumsi barang/jasa oleh seseorang tidak mengurangi jumlah yang dapat dikonsumsi oleh orang lain karena suplainya tidak terbatas; non-excludable berarti semua orang bebas mengkonsumsi barang tersebut pada jumlah berapapun; nontransferrable berarti kepemilikan barang/jasa itu tidak bisa dipindahtangankan; dan free rider berarti orang yang menggunakan barang/jasa itu tidak perlu membayar. Karena itu, barang publik tidak mempunyai harga. Contoh klasik barang publik adalah udara dan pertahanan/keamanan.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
9
Sementara itu, suatu barang dapat dikategorikan sebagai barang privat jika barang itu mempunyai karakteristik yang sebaliknya dari karakteristik barang publik, yaitu: rivalry, berarti bahwa konsumsi barang/jasa oleh seseorang akan mengurangi jumlah yang dapat dikonsumsi oleh orang lain karena suplainya terbatas; excludable berarti tidak semua orang dapat mengkonsumsi barang tersebut pada jumlah berapapun; transferrable berarti kepemilikan barang/jasa itu bisa dipindahtangankan (menjadi milik pribadi, dan lain-lain); dan tidak ada free rider, berarti orang yang menggunakan barang/jasa itu harus membayar. Karena itu, barang privat mempunyai harga. Pada barang privat, termasuk komoditas pertanian, harga barang tersebut terbentuk pada titik temu (titik keseimbangan) antara permintaan dan penawaran. Gambar 2.1 memberikan ilustrasi bahwa perpotongan kurve penawaran S1 dan kurve permintaan D1 pada titik E1, terbentuk harga keseimbangan P1, dimana jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan yaitu Q1. Harga D1
P4 P3 P2 P1 0
S2
D2
S1
E4 E2
Q2
E3
E1
Q1 Q3
Jumlah
Gambar 2.1. Kurva Penawaran, Kurva Permintaan dan Harga Di pasar yang bersaing, harga per unit barang akan bergerak dan berhenti sampai pada suatu titik dimana jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran yang menghasilkan keseimbangan ekonomi bagi kuantitas dan harga. Ini disebut sebagai keseimbangan statis (static equilibrium), karena jumlah penawaran hanya bergerak di sepanjang kurve penawaran yang ada, demikian pula jumlah permintaan hanya bergerak di sepanjang kurve permintaan. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
10
Ada empat hukum dasar penawaran dan permintaan, yaitu: (1) Jika penawaran turun tetapi permintaan tetap, maka terjadi kekurangan penawaran, yang akan meningkatkan harga keseimbangan; (2) Jika penawaran meningkat tetapi permintaan tetap, maka akan terjadi surplus penawaran, yang akan menurunkan harga keseimbangan; (3) Jika permintaan naik tetapi penawaran tetap, maka akan terjadi kekurangan penawaran, yang akan meningkatkan harga keseimbangan; dan (4) Jika permintaan turun tetapi penawaran tetap, maka akan terjadi surplus penawaran, yang akan menurunkan harga keseimbangan. Jika kurve kurve permintaan tetap D1, tetapi kurve penawaran bergeser kekiri atas dari S1 ke S2, yang mencerminkan berkurangnya penawaran, maka titik keseimbangan akan bergerak ke kiri atas dari E1 ke E2, dimana harga akan naik dari P1 ke P2 dan jumlah permintaan/penawaran akan turun dari Q1 ke Q2. Jika permintaan meningkat yang tercermin pada bergesernya kurve permintaan ke kanan atas dari D1 ke D2, tetapi penawaran tetap S1, maka titik keseimbangan akan bergeser dari E1 ke E3, dimana jumlah permintaan/penawaran akan naik menjadi Q3 dan harga akan naik menjadi P3. Jika permintaan meningkat yang tercermin bergesernya kurve permintaan ke kanan atas menjadi D2, dan penawaran menurun menjadi S2, maka titik keseimbangan akan bergeser ke E4, dimana harga akan naik menjadi P4 dan jumlah permintaan/ penawaran akan turun lagi menjadi Q1. Dapat disimpulkan bahwa titik keseimbangan bersifat dinamis (dynamic equilibrium) dengan pola sebagai berikut: (1) Permintaan tetap tetapi penawaran turun, maka harga akan naik; (2) Naiknya harga akan direspon secara positif oleh produsen/pemasok sehingga penawaran naik; (3) Naiknya penawaran akan menyebabkan harga turun, yang kemudian direspon secara positif oleh konsumen sehingga permintaan naik; (4) Naiknya permintaan akan meningkatkan harga; (5) Naiknya harga akan direspon oleh produsen/pemasok kembali sehingga penawaran akan naik. Tingkat respon produsen/pemasok dan konsumen terhadap harga berubah dari tahun ke tahun, yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga, jumlah penawaran dan jumlah permintaan dari tahun ke tahun. Secara teoritis, faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang menentukan jumlah permintaan adalah: (1) Pendapatan masyarakat; (2) Selera/preferensi; (3) Harga barang substitusi/komplemen; (4) Ekspektasi konsumen mengenai harga barang dan pendapatan di masa datang; dan (5) Jumlah konsumen potensial. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
11
Sementara faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang ikut menentukan jumlah penawaran adalah: (1) Biaya produksi; (2) Harga barang substitusi/komplemen; (3) Tingkat teknologi produksi yang digunakan; (4) Ekspektasi produsen/pemasok mengenai
harga
barang
itu
sendiri
di
masa
datang;
dan
(5)
Jumlah
produsen/pemasok Oleh karena itu, dalam analisis permintaan dan penawaran masing-masing dikenal fungsi respon permintaan (demand response function) dan respon penawaran (supply response function), sebagaimana ditunjukkan oleh Tomek dan Robinson (1982). Fungsi respon yang banyak digunakan adalah dari kelas Partial Adjustment Model yang diperkenalkan oleh Marc Nerlove and Addison (1958), yang dapat menghasilkan elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran jangka pendek dan jangka panjang. Karena itu, untuk tujuan analisis proyeksi permintaan dan penawaran jangka panjang, banyak yang mengadopsi Partial Adjustment Model dari Marc Nerlove dan Addision tersebut. 2.3.
Konsep Kebijakan Perdagangan – Tarif Bea Masuk Terkait dengan tujuan kajian ini, konsep kebijakan perdagangan yang perlu
dipahami adalah konsep kebijakan impor, yang terdiri dari tarif dan non-tarif (kuota, pengaturan, SPS, dan lain-lain). Di dalam kajian ini, kebijakan tarif (selanjutnya digunakan terminologi Tarif Bea Masuk/TBM) menjadi fokus perhatian utama karena datanya tersedia paling lengkap dan secara kuantitatif dapat diukur dampaknya. Tujuan kebijakan TBM adalah untuk melindungi industri di dalam negeri, termasuk pertanian, dari kejatuhan harga karena jumlah impor yang berlebihan. Untuk lima komoditas pangan yang dianalisis (beras, jagung, kedelai, gula dan dgaing sapi), Indonesia berada pada posisi sebagai Net Importing Country, dimana jumlah konsumsi lebih besar daripada jumlah penawaran sehingga diperlukan impor. Untuk menjelaskan teori kebijakan TBM digunakan Gambar 2.2. Secara teoritis, pengenaan TBM dapat meningkatkan harga domestik dari P1 ke P2, dimana P2 = P1 + TBM. Naiknya harga domestik akan berdampak menurunkan konsumsi dari QD1 ke QD2, sekaligus meningkatkan produksi dari QY1 ke QY2 sehingga jumlah impor berkurang. Besarnya penurunan konsumsi dan peningkatan produksi masing-masing dipengaruhi oleh elastisitas konsumsi dan elastisitas produksi terhadap harga domestik dari output komoditas yang bersangkutan. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
12
Harga H
S
D
P2
F
P1
B
C
G D
E
A 0
QY1 QY2 QD2 QD1
Jumlah
Gambar 2.2. Teori Dampak Kebijakan TBM Dari aspek kesejahteraan ekonomi (economic welfare), kenaikan harga dan penurunan konsumsi berdampak menurunkan surplus ekonomi konsumen dari daerah segitiga P1EH menjadi P2GH yang berarti kesejahteraan konsumen menurun sebesar daerah trapesium P1EGP2. Sementara kenaikan harga dan peningkatan produksi berdampak meningkatkan surplus ekonomi produsen/petani dari daerah segitiga ABP1 menjadi AFP2, yang berarti kesejahteraan produsen meningkat sebesar daerah trapesium P1BFP2. Dengan adanya TBM, pemerintah juga memperoleh pendapatan dari pajak impor (tax revenue) sebesar daerah segiempat CDGF sebesar jumlah impor (QD2 – QY2) dikalikan dengan TBM. Namun kesejahteraan total sebenarnya mengalami penurunan karena jumlah surplus ekonomi produsen dan pendapatan Negara dari pajak impor lebih kecil dibanding penurunan surplus ekonomi konsumen sebagai akibat dari timbulnya Deadweight Economic Lost (DEL) yaitu bagian dari surplus ekonomi yang hilang begitu saja sebesar daerah dua segitiga BCF + DEG. Karena itu, timbulnya DEL tersebut sebenarnya menyebabkan ekonomi secara keseluruhan menjadi kurang efisien. Namun jika tujuan pembangunan nasional di bidang pertanian adalah untuk meningkatkan produksi dalam upaya mencapai ketahanan pangan sekaligus memperbaiki kesejateraan petani, maka kebijakan tarif mendapatkan justifikasi untuk dilakukan.
Namun
TBM
tidak
boleh
berlebihan
karena
disamping
dapat
menyebabkan penurunan yang berlebihan dari daya beli atau kesejahteraan konsumen yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, juga akan bertentangan Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
13
dengan aturan WTO dan timbul retaliasi dari Negara-negara partner dagang Indonesia.
2.4.
Konsep Ketergantungan Impor Untuk
komoditas
pangan
pokok,
banyak
negara
yang
mempunyai
ketergantungan pada impor karena produksi domestik tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Tingkat ketergantungan impor masingmasing Negara bervariasi dari rendah sampai dengan tinggi, yang dapat diukur dengan menghitung nilai Rasio Ketergantungan Impor (Import Dependency Ratio), sebagaimana diperlihatkan pada rumus sebagai berikut (FAO, 2012):
IDR =
QM (QY + QM ) − QX
dimana: IDR = Import Dependency Ratio; QM = Jumlah impor (ton); QY = Jumlah produksi domestik (ton); dan QX = Jumlah ekspor (ton). Dengan catatan bahwa impor hanya untuk konsumsi domestik, dan tidak ada yang diekspor kembali (re-export). Ada
beberapa
terminologi
yang
terkait
dengan
penghitungan
rasio
ketergantungan impor, khususnya untuk komoditas pangan, yang perlu dipahami secara benar (Shapouri et al, 2010), yaitu: (1) Suplai Pangan Domestik = (Total Produksi Domestik + Impor Komersial + Bantuan Pangan) – Ekspor; (2) Ketersediaan Pangan Domestik = Suplai Pangan Domestik – Penggunaan Non Pangan (pakan, bahan baku industri pengolahan pangan dan minuman, tercecer); dan (3) Konsumsi Pangan Domestik = Ketersediaan Pangan Domestik Nilai IDR untuk tiga kelompok komoditas pangan, yaitu serealia, gula dan daging menurut kelompok negara disajikan pada Tabel 2.1. Untuk komoditas serealia, negara Asia yang sudah maju, mempunyai rasio ketergantungan impor paling tinggi (83 persen), posisi kedua ditempati Amerika Tengah (46 persen), sedangkan kelompok negara lainnya berkisar 5-18 persen (rata-rata dunia 15 persen). Untuk komoditas gula, banyak kelompok negara yang rasio ketergantungan impornya tinggi (29-86 persen), dan hanya Amerika Tengah yang rendah (12 persen). Untuk komoditas daging, hanya kelompok negara Asia maju yang rasio ketergantungan impornya tinggi (46 persen), sedangkan kelompok negara lainnya rendah (3-24 persen). Lanchovichina et al (2012) juga menunjukkan bahwa 15 Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
14
negara Arab dan Timur Tengah mempunyai rata-rata rasio ketergantungan impor yang tinggi, yaitu 78.1 persen (39-101 persen) untuk biji-bijian (grains), 57.1 persen (23-88 persen) untuk daging, dan 93.2 persen (37-151 persen) untuk gula. Hal ini erjadi karena Negara-negaar Arab dan Timur tengah tidak atau sedikit memproduksi komoditas-komoditas tersebut. Tabel 2.1. Rasio Ketergantungan Impor Pangan (persen) Countries
Cereals
Sugar
Meat
15 18 18 83 16 42 5 9 13 13
32 30 49 51 40 12 29 60 73 86
10 17 21 46 3 17 6 13 18 24
World Industrial countries Europe Asia (developed) countries Least developed countries Central America Eastern Europe Transition markets CIS Russian Federation Sumber: FAOSTAT (FAO, 2012)
Negara-negara yang rasio ketergantungan impornya tinggi akan lebih rentan terhadap guncangan (shock) yang terjadi pada produksi karena berbagai sebab, baik di dalam maupun di luar negeri. Faktor penyebab di dalam negeri antara lain adalah banjir, kekeringan, dan gempa/tsunami dan serangan hama/penyakit yang terjadi dalam wilayah yang luas. Sementara faktor penyebab di luar negeri adalah stok pangan dunia yang tipis (thin market) sebagai akibat produksi yang rendah yang disebabkan oleh perubahan iklim dunia, dan permintaan yang meningkat karena meningkatnya jumlah penduduk. Situasi demikian akan menyebabkan harga dunia meningkat, yang akan meningkatkan beban ekonomi Negara-negara yang rasio ketergantungan impor pangannya tinggi. Mengenai penghitungan jumlah konsumsi nasional, Bappenas (2012) menggunakaan konsep Domestic Food Supply, namun dengan catatan bahwa produksi domestik adalah sebesar total produksi kotor (gross production) dikurangi dengan bibit (khususnya padi, jagung, kedelai) dan tercecer (semua komoditas), atau disebut sebagai produksi neto (net production). Dengan demikian, maka jumlah Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
15
konsumsi domestik mencerminkan total konsumsi, baik yang dikonsumsi rumah tangga (konsumsi langsung) maupun yang digunakan untuk bahan baku industri pakan dan industri pengolahan makanan dan minuman (konsumsi tidak langsung).
2.5.
Metoda Analisis Penawaran dan Permintaan Pangan Proyeksi jangka panjang permintaan dan penawaran komoditas pangan
pokok di Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa peneliti atau lembaga penelitian dengan menggunakan berbagai model kuantitatif (ekonometrik) kelas Cobb-Douglas dengan persamaan tunggal, antara lain Syafa’at et al (2005). Beberapa kelemahan yang ditemui di dalam model yang digunakan antara lain pertama, analisis konsumsi/permintaan menggunakan data cross-section dari hasil SUSENAS BPS untuk konsumsi langsung (oleh rumah tangga) per kapita, kemudian dilakukan proyeksi perdasarkan proyeksi jumlah penduduk. Model yang digunakan bisa Almost Ideal Demand System dari Deaton and Muelbauer (1980) dengan persamaan regresi simultan. Analisis fungsi konsumsi langsung per kapita memang lebih tepat untuk beras dan gula, tetapi kurang tepat untuk komoditas-komoditas pangan yang sebagian besar digunakan untuk bahan baku industri pengolahan, yaitu jagung (untuk industri pakan), kedelai (untuk industri tahu dan tempe), dan daging sapi (untuk bakso), sehingga konsumsi langsungnya sangat kecil. Karena itu hasil analisis akan cukup baik untuk beras dan gula tetapi kurang baik untuk jagung, kedelai dan daging sapi. Kedua, di dalam model produksi/penawaran tanaman pangan menggunakan data time series dan model Partial Adjustment Model dari Nerlove and Addison (1958), tetapi
tidak memasukkan variabel iklim (utamanya curah hujan), harga
komoditas pesaing dan perkembangan teknologi di dalam model produksi, padahal ketiga variabel ini sangat menentukan luas panen dan produktivitas tanaman tersebut. Di Indonesia sudah sering terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal panen di beberapa daerah. Demikian pula, antar komoditas pangan terjadi persaingan di dalam penggunaan lahan pertanian (utamanya sawah di pulau Jawa). Perkembangan teknologi juga berpengaruh pada produktivitas tanaman/ternak. Hasil analisis Priyanto (2005) yang menggunaan persamaan simultan penawaran, impor dan harga daging sapi menyimpulkan bahwa tarif impor daging sapi berpengaruh negatif dan nyata terhadap jumlah daging sapi impor. Selanjutnya Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
16
disimpulkan bahwa meningkatnya harga daging impor akan meningkatkan harga daging di pasar domestik. Namun meningkatnya harga daging di pasar domestik tidak mampu merangsang perkembangan populasi sapi potong. Pada sisi produksi, populasi sapi nasional berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi potong rakyat, walaupun populasi sapi yang ada belum sepenuhnya mencerminkan produksi daging sapi karena bobot hidup yang rendah. Program IB (Inseminasi Buatan) mampu memperbaiki kualitas ternak sapi yang ada. Kebijakan proteksi melalui pembebanan tarif impor daging dipandang mampu memacu perkembangan sistem usaha peternakan rakyat di Indonesia. 2.6.
Pengalaman Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditas Pangan Strategis di Indonesia
2.6.1. Kebijakan Perdagangan 1) Beras Terlepas dari relatif rendahnya tingkat kepentingan perdagangan internasional beras, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan internasional beras telah mendominasi kebijakan perberasan di tingkat internasional dan nasional di banyak negara. Di Indonesia, misalnya sejak tahun 1967 berbagai kebijakan beras telah diimplementasikan. Kebijakan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga fase. Fase pertama (1967-1996): Pada fase ini, pemerintah mengendalikan pasar beras di dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), yaitu lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengelola logistik. Pada saat itu impor diatur secara ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif dengan tujuan untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun 1984, Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985-1987 menjadi pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Selanjutnya, pada tahun 1995 Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation – WTO) dan mulai menerapkan Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
17
Agreement on Agriculture (AoA) atau Perjanjian Pertanian dalam WTO yang meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk dari negara-negara lain, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160 persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA Indonesia harus membuka akses masuknya beras dengan kuota minimal 70.000 ton per tahun. Dengan kuota tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300.000 ton beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28.000.000 per tahun. Sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berbalik menjadi pengimpor. Sejak tahun 1995 Indonesia membuka pasar dalam negeri yang melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor, dan kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3,1 juta ton beras impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400 ribu ton pada tahun 1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat adalah pemasok utama beras impor Indonesia selama periode tersebut. Fase kedua (1997-2000): Pada fase ini, pemerintah Indonesia meliberalkan pasar
berasnya,
memprivatisasikan BULOG
dan
menghapuskan hambatan
perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa pemerintah menandatangani surat perjanjian (Letter of Intent LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak krisis ekonomi Asia. Selama kurun waktu tersebut swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi tidak stabil. Pada periode ini terjadi lonjakan volume impor beras yang sangat tajam yaitu dari 911 ribu ton pada periode 1996-1997 menjadi 3,8 juta ton pada 19981999. Pemerintah tidak mampu menahan serbuan impor ini akibat kebijakan liberalisasi perdagangan ditambah nilai tukar sudah relatif stabil (setelah tahun 1998) sehingga harga beras juga menurun drastis (Sawit et al, 2007). Pada tahun 1997, penerapan AoA bertumpang-tindih dengan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank yang melampaui ketetapan WTO. Pada tahun yang sama Indonesia dan negara-negara Asia lain mengalami krisis ekonomi Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
18
yang parah. Dalam konteks tersebut pemerintah menghapuskan atau menurunkan dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang sebelumnya berperan penting di dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan BULOG kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor menjadi nol persen dan impor dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999. Fase ketiga (sejak 2001): Secara bertahap pemerintah kembali melakukan pengendalian pasar beras di dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah (HPP) dengan batas harga atas yang ternyata tidak efektif. Kebijakan menerapkan tarif spesifik yang bertujuan untuk melindungi petani dan mengatur pengelolaan impor beras tidak berjalan efektif (Sawit et al, 2007). Kebijakan perdagangan tersebut bertujuan khusus menstabilkan harga gabah di dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras melalui privatisasi Bulog. Akhir-akhir ini, tarif impor yang dikenakan terhadap impor beras adalah Rp 400/kg sebagai bentuk proteksi.
2) Jagung Jagung di Indonesia merupakan komoditas pangan terpenting kedua setelah padi/beras. Selain sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja, komoditas ini juga dapat menghasilkan devisa negara melalui ekspor, khususnya di masa-masa mendatang. Di masa datang terdapat indikasi kuat bahwa tingkat permintaan jagung oleh industri akan terus meningkat, seiring dengan penambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan pakan ternak. Sementara produksi jagung pada 2011 turun 1,1 juta ton atau 5,99 persen menjadi 17,23 juta ton pipilan kering dibandingkan produksi pada tahun 2010. Sementara kebutuhan jagung di dalam negeri pada tahun 2011 mencapai 22 juta ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus dipasok melalui impor (BPS, 2011). Data yang dirilis oleh BPS menyebutkan bahwa impor jagung selama Januari sampai November 2011 mencapai 3 juta ton, dengan nilai impor USD 967,33 juta. Nilai impor ini melampaui realisasi impor jagung selama jangka waktu yang sama Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
19
pada 2010 sebesar 1,52 juta ton dengan nilai USD 369,07 juta. Masih tingginya volume impor jagung tersebut antara lain karena minimnya produksi jagung domestik menyusul sikap petani yang cenderung memilih bertanam padi karena harga gabah yang relatif makin mahal. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dayasaing jagung Indonesia cukup baik, sebagaimana diperlihatkan oleh nilai koefisien Domestic Resource Cost Ratio DRCR yang lebih kecil dari satu, yaitu di luar Jawa 0,52-0,73, dan di Jawa 0,54-0,92. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan sumberdaya domestik dalam usaha memproduksi jagung di dalam negeri lebih efisien dibanding dengan melakukan impor, sebab setiap satuan devisa yang dihasilkan dari produksi jagung di Indonesia hanya memerlukan modal sumberdaya domestik sekitar 52–73 persen (Hutabarat et al, 1997; Sadikin et al, 1999 dan 2000). Masalah perdagangan jagung di Indonesia, tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang diimplementasikan. Instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol pada komoditas ini adalah kebijakan harga dasar dan stabilisasi harga dalam negeri. Kebijakan harga dasar jagung diawali tahun 1977/78, namun dalam perjalanannya dinilai tidak efektif karena harga pasar di tingkat petani selalu berada diatas harga dasar. Karena itu sejak 1990 kebijakan harga jagung dihentikan (Rachman et al, 2000). Tataniaga jagung diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Kebijakan perdagangan lainnya adalah pengenaan tarif impor jagung dengan tujuan melindungi petani jagung dalam negeri. Selama 1974-1979, besaran tarif yang dikenakan adalah 5 persen, kemudian meningkat menjadi 10 persen selama tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 persen pada tahun 1994 hingga saat ini. Meskipun tarifikasi dan bentuk-bentuk proteksi lainnya akan mempengaruhi kesejahteraan petani produsen, semua bentuk proteksi dipandang sebagai upaya sementara sebelum sistem produksi nasional mampu bersaing secara efisien. Saat ini pemerintah sedang mengkaji penurunan tarif bea masuk (TBM) impor jagung yang saat ini sebesar 5 persen. Langkah ini dilakukan untuk menurunkan harga pakan ternak. Permintaan penurunan TBM ini juga diusulkan oleh Gabungan Pengusaha Pakan Ternak Indonesia yang terbebani tingginya biaya impor jagung. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
20
Karena itu, tujuan penurunan TBM ini lebih pada penurunan harga pakan ternak jangka panjang.
3) Komoditas Kedelai Di Indonesia kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis sehingga mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah dalam kebijakan pangan nasional. Upaya untuk berswasembada tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung agroindustri dan menghemat devisa
dan
mengurangi
ketergantungan
terhadap
impor.
Namun,
tingkat
swasembada kedelai sampai saat ini belum tercapai karena jumlah kebutuhan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah produksi. Hal ini menyebabkan impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS (2012) volume impor kedelai sepanjang Januari-Agustus 2010 naik sebesar 33,96 persen dari periode yang sama tahun 2009, yaitu dari 928.200 ton menjadi 1.243.400 ton. Pada tahun 2011 volume impor kedelai mencapai 1,9 juta ton dengan nilai US$ 1,2 milyar dan menjadi 2,1 juta ton atau US$ 1,3 milyar pada 2012. Bahkan Kementerian Pertanian, mencatat bahwa konsumsi kedelai Indonesia pada 2012 mencapai 2,5 juta ton. Konsumsi ini jauh dari produksi lokal yang hanya 700-800 ribu ton per tahun. Oleh karena itu, pemerintah sangat membutuhkan impor (sekitar 70-80%) untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Swasembada kedelai di dalam negeri memang cukup sulit karena tantangan yang dihadapi cukup berat dan kompleks. Selain terbatasnya lahan, tingkat harga kedelai di dalam negeri juga tidak selalu berpihak kepada petani. Kedelai impor yang harganya lebih murah saat ini membuat harga kedelai produksi dalam negeri terpukul, sehingga petani pun lebih bergairah bertanam padi dan jagung. Agar petani kembali bergairah mengembangkan komoditi ini, pemerintah harus membuat kebijakan
yang
secara
nyata
melindungi
kedelai
produksi
dalam
negeri.
Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2012, sasaran tanaman kedelai mencapai 600 ribu ton dengan target produksi sebesar 1,92 juta ton sedangkan tahun 2013 menjadi 2,2 juta ton. Guna mencapai sasaran ini, produktivitas harus dipacu menjadi 1,5 ton/ha. Di tengah harga pangan dunia yang melonjak, ancaman terjadinya kekurangan pasokan pangan menghantui Indonesia. Hal itu ditandai dengan terus Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
21
melonjaknya harga beberapa bahan pangan termasuk kedelai. Harga kedelai terus meningkat, dari sekitar Rp 3.800 per kg pada
tahun 2010, menjadi Rp 6.800,
bahkan hingga Rp 8.000 pada tahun 2011, dan naik lagi menjadi Rp 10,300 pada tahun 2012. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan kebutuhan kedelai nasional yang masih harus diimpor, sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi harga di pasar internasional. Berbagai kebijakan untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri telah dilakukan sejak lama. Pada awal tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI (Koperasi Perajin Tahu-Tempe Indonesia). Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selama 3 tahun (1979/80-1982/83) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Pengadaan melalui impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi kemudian menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi hingga mencapai 490,9 ton pada tahun 1991 (Purwoto, 1997; Sudaryanto, 1999). Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif advalorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 (Erwidodo dan Hadi, 1999). Pada Januari 2008, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan atau PMK menetapkan tarif impor nol persen pada komoditas kedelai akibat meroketnya harga kedelai dunia (Ahmad, 2009). Selanjutnya, pada tahun 2011 Kementerian Keuangan menerbitkan PMK Nomor 13/PMK.011/2011 yang menetapkan TBM untuk komoditas kedelai sebesar nol persen hingga 31 Desember 2011. Hal ini berarti tarif bea masuk untuk kedelai akan kembali dinaikkan pada 1 Januari 2012 menjadi 5 persen. Langkah ini dilakukan untuk mendukung program swasembada kedelai pada tahun 2014.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
22
4) Komoditas Gula Gula juga merupakan salah satu komoditas pokok dan strategis di Indonesia. Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap pasang-surutnya industri gula nasional. Kebijakan pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan intensitas kebijakan yang berkaitan dengan industri beras. Di samping intensitasnya tinggi, kebijakan pemerintah tersebut juga mempunyai dimensi yang cukup luas, mulai dari kebijakan lahan, input, produksi, distribusi, kelembagaan, hingga kebijakan harga. Walaupun dimensi kebijakan yang demikian luas dan sudah diterapkan sejak lama oleh pemerintah Indonesia, secara garis besar kebijakan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh aspek esensi dan periode waktu (Tabel 2.2). Ketiga regim kebijakan tersebut adalah: (i) Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi (1971-1997); (ii) Regim Kebijakan Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim Kebijakan Proteksi dan Promosi (2002-sekarang). Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi Sejalan dengan isu utama pada tahun 1970-an di negara sedang berkembang, masalah ketersediaan dan ketahanan pangan merupakan salah satu isu nasional yang sangat penting. Oleh sebab itu, upaya pemerintah Indonesia untuk mendorong pembangunan sektor pertanian secara umum, dan secara lebih spesifik untuk mencapai swasembada pangan, dalam hal ini, upaya peningkatan produksi pangan dengan harga yang murah, merupakan fenomena utama kebijakan pertanian, bahkan kebijakan nasional pada saat itu.
Tabel 2.2. Regim Kebijakan Pergulaan Nasional Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
23
Regim Kebijakan
Nomor SK/Keppres/ Keputusan Menteri Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971 Surat Mensekneg No. B.136/ABNSEKNEG/3/74, 27 Maret 1974
Suportif dan Stabilisasi (1971 -1997)
Liberalisasi (1997-2002)
Protektif dan Promosi (2002 – sekarang)
Inpres No. 9/1975, 22 April 1975 Kep. Mendagkop No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981 Kep. Menkeu No. 342/KMK.011/1987
Perihal Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP Intensifikasi tebu (TRI) Tataniaga gula pasir dalam negeri
Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997
Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor Program pengembangan tebu rakyat
Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998
Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997
Kep. Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 Kep. Menhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Kep. Menperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Kep. Menperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 5 Juni 1999 Kep. Menkeu No. 324/KMK.01/2002 Kep. Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002
Komoditas yang diatur tataniaga impornya Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Tataniaga impor gula
Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/MDAG/Per/4/2005 Kep Mendag N0. 19/MDAG/PER/4/2006, 19 April 2006
Pengaturan Impor, kualitas gula, dan hara referen gula petani
Mencabut Keputusan Menteriperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999 Perubahan bea masuk Tataniaga impor gula
Penetapan harga gula petani
Tujuan Menjaga kestabilan gula sebagai bahan pokok Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992 Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri. Peningkatan efektivitas bea masuk Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen Pembatasan pelaku impor gula ; kualiatas gual , waktu impor, dan harga penyangga/jaminan.
Ketahanan pangan, peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, dan swasembada gula
Sumber : Susila (2005). Di samping beras, gula merupakan komoditas yang juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pada saat itu. Pemerintah mempunyai sasaran untuk meningkatkan produksi melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Saat itu, masalah distribusi dan harga juga menjadi domain kebijakan pemerintah. Dengan perkataan lain, disamping masalah pertumbuhan dan ketersediaan, masalah distribusi dan stabiliasi menjadi agenda utama pemerintah pada saat itu. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah sangat kental diwarnai oleh kebijakan yang Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
24
bersifat suportif/mendukung yang umumnya termasuk kategori kebijakan domestic support dan kebijakan untuk memelihara stabilisasi ketersediaan dan harga di tingkat produsen dan konsumen. Karena itu, regim kebijakan ini diberi nama Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi. Secara umum, berbagai kebijakan yang termasuk ke dalam kategori domestic support, seperti subsidi input, jaminan harga atau harga dasar, pengendalian distribusi, dan pengendalian harga di tingkat konsumen, sangat lekat dengan regim kebijakan ini. Berikut ini akan diuraikan beberapa kebijakan penting pada periode ini. Fondasi atau jiwa dari regim kebijakan ini diawali dengan kebijakan pemerintah yang tertuang di dalam Keppres No. 43/1971, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Juli 1971. Materi atau perihal kebijakan ini menyangkut pengadaan, penyaluran, dan pemasaran. Salah satu esensi dari kebijakan ini adalah memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Kebijakan ini menandai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator pasar gula di dalam negeri. Agar lebih efektif, Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg No.B.136/APBN Sekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai Keppres tersebut. Pada periode 1970-1980, jumlah stok yang dikuasai Bulog berkisar 50-80 persen dari total stok. Ketika program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) mulai dijalankan dan bagian gula petani menjadi makin besar, maka stok dan penawaran gula di luar Bulog meningkat. Oleh sebab itu, sejak tahun 1980 Bulog membeli semua produksi gula dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar sehingga peran Bulog makin kokoh dalam memerankan fungsinya sebagai lembaga stabilisasi (Amang, 1994). Di antara berbagai kebijakan pada regim kebijakan suportif dan stabilisasi, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April 1975. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu dalam upaya mengatasi defisit produksi yang terus meningkat. Di satu sisi, perekonomian Indonesia tumbuh relatif pesat dan jumlah penduduk juga meningkat sehingga konsumsi gula terus meningkat pada tahun 1970-an. Di sisi lain, produksi gula dalam negeri belum dapat memenuhi konsumsi, sementara harga gula di pasar internasional melambung tinggi dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-an.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
25
Jiwa dari kebijakan tersebut adalah upaya peningkatan produksi dengan memberi peran yang lebih besar kepada petani tebu. Sebelum kebijakan ini diterapkan, lahan petani disewa oleh perusahaan gula untuk ditanami tebu. Dengan demikian, seluruh keputusan ada di tangan perusahaan, petani pemilik lahan tidak berperan dalam aktivitas usahatani tebu. Kebijakan TRI tersebut mencoba melakukan perubahan yang mendasar dengan memberi ruang yang luas bagi petani untuk berpartisipasi dalam produksi gula sebagai pemasok bahan baku tebu. Dengan perkataan lain, kebijakan TRI mencoba untuk membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri. Untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut, pemerintah memberi berbagai dukungan kebijakan yang termasuk ke dalam kategori domestic support. Dukungan tersebut antara lain berbentuk kredit Bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula (Adisasmito, 1998). Dalam hal ini, petani bertindak sebagai pemasok bahan baku tebu yang dalam pengelolaannya mendapat bimbingan dari perusahaan gula. Perusahaan gula, dalam hal ini PG, bertindak sebagai pengolah bahan baku tebu menjadi gula. Kerjasama ini diwujudkan juga dalam bentuk bagi hasil penglahan tebu petani menjadi gula petani. Keputusan Mendag dan Koperasi No. 122/Kp/III/81 tanggal 12 Maret 1981 mengenai tataniaga gula pasir dalam negeri bertujuan untuk menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani. Kebijakan ini jelas mengatur sistem distribusi gula sehingga pengadaan dan penyaluran gula pasir dapat berjalan lancar untuk mencapai stabilitas pasar domestik. Kebijakan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dengan memberi harga provenue atau harga minimum untuk petani. Kebijakan selanjutnya yang sangat identik dengan kebijakan periode ini adalah Keputusan Menkeu No. 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Kebijakan ini kembali mempertegas jiwa kebijakan untuk tujuan stabilisasi. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah harga provenue dan harga jual yang dikelola oleh Bulog. Jelas tampak bahwa stabilisasi yang ingin dicapai tidak hanya pada level usahatani dengan harga provenuenya, tetapi juga pada harga konsumen dengan diaturnya harga jual gula yang dikelola Bulog. Seperti diuraikan pada kebijakan tersebut, tujuan kebijakan ini adalah untuk stabilisasi harga gula di pasar domestik, Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
26
peningkatan penghasilan penerimaan pemerintah, harga gula yang terjangkau masyarakat, serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula (Sudana et al, 2000). Kebijakan ini bersifat multi tujuan, bahkan antar tujuan ada yang bersifat berlawanan (conflicting), seperti peningkatan pendapatan petani versus harga yang terjangkau, serta peningkatan penerimaan pemerintah. Karena periode ini adalah periode stabilisasi, maka impor menjadi bersifat residual. BULOG sebagai lembaga yang mengelola impor gula menjadikan impor sebagai selisih antara konsumsi dengan produksi domestik. Karena bersifat residual, maka volume impor cenderung fluktuatif pada periode tersebut. Pada periode 19841991, impor cenderung meningkat. Kemudian menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1994 dimana impor gula hanya 15 ribu ton. Pada posisi ini, Indonesia sudah dapat mengklaim mencapai swasembada gula. Akhir periode stabilisasi ditandai oleh meningkatnya kembali impor. Regim Kebijakan Liberalisasi Regim kebijakan Liberalisasi (1997-2002) tergiring oleh dua situasi yang mendesak. Situasi pertama adalah tekanan isu liberalisasi perdagangan yang bersifat multilateral melalui WTO dan regional seperti AFTA, serta memberi tekanan substansial agar Indonesia meliberalisasikan perdagangan produk pertaniannya, termasuk gula.
Kalangan akademisi di Indonesia juga secara gencar memberi
tekanan untuk melakukan liberalisasi perdagangan. Mereka berargumen bahwa melindungi industri gula yang tidak efisien adalah tidak bijaksana. Pada saat itu, mereka cenderung tidak mau melihat bahwa industri gula dunia sangat distortif sehingga meliberalisasi industri gula Indonesia sama dengan membiarkan industri gula Indonesia bersaing pada medan persaingan yang tidak adil. Krisis multidimensional, termasuk krisis ekonomi, telah memaksa Indonesia dalam posisi yang lemah terhadap lembaga donor. IMF sebagai salah satu donor utama
Indonesia
pada
saat
itu
juga
memberi
tekanan
agar
Indonesia
meliberalisasikan perdagangan produk gulanya. Walaupun tidak secara ekplisit tersurat, tekanan ke arah tersebut secara implisit tertuang pada butir 44 dari LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan IMF. Tekanan dari IMF ini dinilai banyak kalangan lebih bersifat memaksa dibandingkan dengan tekanan dari WTO. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
27
Tekanan tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang menerapkan tingkat liberalisasi tertinggi di dunia untuk komoditas gula, suatu perubahan kebijakan yang dramatis. Dalam hal ini, pelaku impor dibebaskan, atau tidak dimonopoli oleh BULOG lagi. Dengan argumen untuk peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Era ini merupakan akhir dari peran BULOG sebagai lembaga yang memonopoli impor, sekaligus dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia. Pada periode ini, impor gula dilakukan dengan TBM sebesar 0 persen dan pelakunya adalah perusahaan importir umum. Akibatnya, impor gula melonjak pesat pada periode ini. Jika pada tahun 1996 impor masih di bawah 1 juta ton, maka pada tahun 1997 sudah mencapai 1,36 juta ton dan mencapai puncaknya menjadi 1,73 juta ton pada tahun 1998. Kebijakan tersebut yang diduga berkaitan dengan tekanan IMF merupakan suatu perubahan kebijakan sangat drastis sehingga mempunyai dampak cukup luas terhadap industri gula Indonesia. Hal ini diperkuat lagi oleh krisis ekonomi Indonesia yang makin parah yang menyebabkan terjadinya kenaikan biaya produksi. Pada tingkat usaha tani tebu, kenaikan biaya produksi tersebut terutama sebagai akibat kenaikan upah dimana usahatani tebu memerlukan tenaga kerja cukup besar yaitu 600 HOK/ha untuk lahan sawah dan 400 HOK/ha untuk lahan kering. Pada tingkat pabrik, biaya tenaga kerja mencapai sekitar 30 persen dari keseluruhan biaya produksi (Susmiadi, 1998). Banjirnya gula impor dengan harga murah membuat industri gula dalam negeri mengalami kontraksi atau kemunduran. Pada periode ini areal tebu turun drastis dari 446 ribu ha pada tahun 1996 menjadi sekitar 350 ribu ha pada periode liberalisasi. Sebagai akibatnya, produksi menurun dari diatas 2 juta ton pada akhir periode stabilisasi menjadi sekitar 1,5 juta ton pada periode liberalisasi. Kinerja pergulaan Indonesia yang mengalami penurunan sudah disadari pemerintah sejak awal krisis ekonomi terjadi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 5/1997. Inpres tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
28
perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian, maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana et al, 2000). Namun Inpres tersebut dicabut dan diganti dengan Inpres No. 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan Inpres No. 12/1992 tentang budidaya tanaman. Ketika krisis ekonomi Indonesia mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru mengalami penurunan secara signifikan. Penurunan tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yaitu (1) harga gula dunia yang terus menurun, (2) nilai tukar Rupiah yang menguat, dan (3) tidak adanya TBM. Pada tahun 1999, rata-rata harga dunia di pasar internasional adalah US$ 137.3/ton, sedangkan nilai tukar Rupiah pada saat itu rata-rata mencapai Rp 7.100/US$. Sebagai akibatnya, harga paritas impor gula pada saat itu mencapai titik terendah yaitu sekitar Rp 1.800-1.900 per kg. Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Untuk melindungi
produsen,
maka
pemerintah
mengeluarkan
Keputusan
Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan harga provenue tersebut ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai. Sebagai contoh, untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai. Di sisi lain, BUMN perkebunan yang mengelola gula juga tidak memiliki dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai akibatnya, kebijakan tersebut tidak dapat diwujudkan sehingga harga gula petani masih tetap mengalami ketidak-pastian. Untuk
mengatasi
masalah
tersebut,
pemerintah
melalui
Departemen
Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor di samping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok. Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
29
Kebijakan importir-produsen tersebut ternyata masih kurang efektif untuk mengangkat harga gula di pasar domestik dan mengontrol volume impor. Walaupun tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri yang berlebihan dan masih ada gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri makin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan
kebijakan
tarif
impor
dengan
Keputusan
Menperindag
No.230/MPP/Kep/6/ 1999 yang memberlakukan TBM gula sebesar 20 persen untuk raw sugar (gula mentah) dan 25 persen untuk white sugar (gula putih). Regim Kebijakan Promotif dan Protektif Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) makin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir menjadi hanya importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT). Era ini merupakan era dimulainya Regim Protektif dan Promotif. Gula yang diimpor oleh importir-produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3.100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain belum jelasnya spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan tersebut
dengan
Menperindag
No.
Keputusan
Menperindag
02/M/Kep/XII/2004
jo
No.527/MPP/Kep/2004 Kep.
Menperindag
jo
No.
Kep. 08/M-
DAG/Per/4/2005 tentang Ketentuan Impor Gula. Esensi kebijakan ini adalah ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan antara gula kristal putih (GKP),
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
30
gula kristal rafinasi (GKR), dan raw sugar; adanya kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petani menjadi Rp 3.800/kg. Kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005 di atas 100 persen membuat biaya produksi meningkat tajam, terutama yang bersumber dari biaya transportasi. Seperti diketahui, biaya transportasi mempunyai pangsa biaya sekitar 30 persen dari biaya keseluruhan. Ditambah dengan peningkatan biaya lain sebagai kenaikan harga BBM, biaya produksi meningkat menjadi sekitar Rp 4.400/kg GKP. Berdasarkan pertimbangan ini dan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, peningkatan kegiatan ekonomi daerah, serta memelihara momentum yang baik untuk mencapai swasembada pangan, maka pemerintah kembali meningkatkan harga patokan petani (HPP) melalui Keputusan Mendag No. 19/M-DAG/PER/4/2006 tanggal 19 April 2006. Dengan kebijakan tersebut, harga gula petani ditetapkan sebesar Rp 4.800/kg. Jika regim kebijakan ini dipertahankan dan diikuti oleh perbaikan efisiensi di tingkat usahatani dan PG (Pabrik Gula), kebijakan ini diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional. Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal mulai meningkat secara signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004 sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai menurun dari sekitar 1,5 juta ton menjadi sekitar 1,3 juta ton. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90 persen dari konsumsi nasional). Akhir-akhir ini pemerintah telah merencanakan membangun lima pabrik gula baru di daerah-daerah yang belum ada pabrik gulanya, yang salah satunya adalah pulau Madura. Untuk melindungi petani produsen, pemerintah telah menetapkan TBM gula kristal putih sebesar Rp 790 per kg yang diberlakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Paling tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
31
5) Komoditas Ternak dan Daging Sapi Impor daging sapi selalu dilakukan setiap tahun sejak pemerintahan Orde Baru (mungkin juga pada periode sebelumnya) hingga sekarang dengan volume yang berfluktuasi namun cenderung meningkat. Selain mengimpor daging sapi beku, Indonesia juga mengimpor sapi bakalan dari Australia untuk digemukkan di Indonesia yang baru dilakukan sejak tahun 1990. Alasan rasional dari impor sapi bakalan tersebut adalah bahwa impor sapi bakalan yang selanjutnya digemukkan di dalam negeri mempunyai efek pengganda jauh lebih besar dibandingkan jika mengimpor dalam bentuk daging beku, antara lain: (1) Tumbuhnya peternakan berskala besar (feedlotter) yang memerlukan tenaga kerja cukup banyak, baik tenaga kerja langsung di kandang sapi maupun tenaga kerja tidak langsung di kantor; (2) Pemanfaatan limbah pabrik pengolahan hasil pertanian (misalnya ampas nenas di Lampung) sebagai pakan yang bergizi tinggi untuk ternak; dan (3) Tumbuhnya jasa angkutan ternak. Namun sejak tahun 2009, volume impor sapi bakalan dan impor daging beku berlebihan yang menyebabkan pasar daging di daerah konsumen utama yaitu Jabodetabek menjadi jenuh. Kejenuhan pasar ini diindikasikan oleh turunnya harga sapi potong hidup di daerah tersebut turun dari Rp 20.000 menjadi Rp 18.000 per kg berat hidup. Walaupun secara resmi daging impor tidak masuk pasar daging sapi lokal di pasar tradisional, dalam kenyataannya cukup banyak daging impor yang masuk pasar tradisional (Hadi et al, 2009). Konsumen dan tukang bakso yang semula fanatik terhadap daging sapi lokal, perlahan-lahan akhirnya mau juga menerima daging sapi eks daging beku impor dan eks sapi bakalan impor. Sejak 2009, di daerah Jabodetabek jumlah ternak eks impor sapi bakalan yang harganya lebih murah dibanding sapi lokal per kg berat hidupnya, terlalu banyak (menurut pengakuan pedagang ternak sapi potong dari Jawa Timur, NTT dan NTB). Akibatnya, ternak sapi asal daerah sentra produksi yaitu Jawa Timur, NTB dan NTT, sulit masuk ke pasar Jabodetabek. Banyak ternak sapi yang numpuk di kandang pedagang besar ternak karena masih rugi jika dikirim ke Jadebotabek.
Jumlah
pedagang ternak sapi antar daerah banyak yang bangkrut karena banyak ternak sapi dagangannya yang numpuk. Dampak lanjutannya adalah harga sapi hidup di tingkat peternak jatuh sehingga peternak menjadi kurang tertarik bergairah untuk memelihara sapi potong. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
32
Respon pemerintah terhadap fenomena tersebut adalah mulai membatasi volume impor ternak sapi bakalan dan daging sapi melalui penetapan kuota impor sejak tahun 2010 dan berlangsung hingga 2013 yaitu sebagai berikut: (1) Kuota impor sapi bakalan yang terus menurun yaitu dari 101.000 ton (2010) menjadi 77.000 ton (2011), lalu menjadi 51.000 ton (2012) dan 42.000 ton (2013); dan (2) Kuota impor daging sapi yang juga terus menurun yaitu dari 120.000 ton (2010) menjadi 80.000 ton (2011), lalu menjadi 34.000 ton (2012), dan menjadi 38.000 ton (2013). Kebijakan kuota tersebut berdampak meningkatkan harga sapi hidup di tingkat peternak menjadi Rp 28.000 sampai dengan Rp 32.000 per kg, yang sebelumnya hanya mencapai sekitar Rp 18.000 sampai dengan Rp 20.000 per kg. Namun ternyata, kondisi tersebut menyebabkan harga daging yang meningkat terus sejak pertengahan tahun 2012 dari Rp 65.000 menjadi diatas Rp 100.000 per kg pada tahun 2013.
Hal ini mengindikasikan bahwa penentuan impor sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan konsumen masih belum bisa menutupi kebutuhan konsumsi. Untuk dapat menstabilkan harga daging, dalam arti kata menurunkan harga, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan konsumsi dengan menambah pasokan dari luar negeri. 2.6.2. Kebijakan Harga Output dan Input Pertanian Untuk memberikan insentif bagi petani produsen, pemerintah Indonesia setiap tahun menetapkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk Gabah dan Beras, dan HPP (Harga Patokan Petani) untuk Gula Kristal Putih (GKP). Faktor-faktor yang dipertimbangkan di dalam penentuan HPP tersebut adalah rata-rata biaya produksi per kg hasil (gabah, beras, gula), marjin petani produsen, daya beli masyarakat konsumen, dan potensi dampaknya terhadap inflasi. Untuk menjamin efektifitas kebijakan HPP gabah, BULOG diberi tugas untuk mengamankan kebijakan tersebut melalui pembelian gabah pada musim panen raya dimana harga produsen biasanya turun. Untuk merangsang petani menerapkan teknologi produksi yang lebih baik dalam upaya peningkatan produktivitas, pemerintah juga memberikan subsidi harga input, yaitu pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) dan pupuk organik melalui penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) di tingkat pengecer resmi pupuk bersubsidi dan benih unggul (padi, jagung, kedelai) melalui penetapan Harga Penyerahan di Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
33
tingkat pengecer benih bersubsidi resmi. Peningkatan produktivitas diharapkan mempunyai kontribusi yang signifikan di dalam peningkatan produksi nasional di tengah-tengah ketersediaan lahan untuk pertanian yang makin terbatas untuk perluasan areal karena konversi lahan pertanian subur untuk keperluan nonpertanian (jalan raya, permukiman, perkantoran, perhotelan, pabrik, dll). 2.7.
Promosi Diversifikasi Pangan Salah satu sisi penyebab belum tercapainya atau terancamnya swasembada
pangan adalah jumlah konsumsi yang terus meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan jumlah penduduk yang masih cukup cepat dan pertumbuhan pendapatan per kapita yang mencerminkan meningkatnya dayabeli masyarakat konsumen. Untuk memperlambat laju pertumbuhan konsumsi, beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu: (1) Penurunan laju pertumbuhan jumlah peduduk melalui program Keluarga Berencana dengan moto Keluarga Kecil Sehat dan Sejahtera; (2) Diversifikasi pangan beras dengan komoditas-komoditas pangan lokal lainnya (jagung, ubi-ubian, sagu, dan lain-lain); (3) Program “One Day No Rice” yang di beberapa daerah sudah dilaksanakan; dan (4) Sosialisasi tentang pangan yang sehat, bergizi dan aman.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
34
BAB III METODOLOGI
3.1.
Kerangka Teori
3.1.1. Teori Konsumsi/Permintaan Fungsi konsumsi pada hakekatnya dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas (kegunaan) dengan kendala (faktor pembatas) jumlah pendapatan (diproksi dari jumlah pengeluaran), sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (1) dan (2): Maksimumkan: U = u (Q1 , Q2 ,..., Qn ) …………………………………………………......... (1)
Kendala : n
E = ∑ Pi Qi ………………………………………………..………...…....... (2) i =1
dimana:
U = Utilitas Pi = Harga barang yang dikonsumsi ke-i Qi = Jumlah konsumsi barang ke-i E = Total pengeluaran (proksi pendapatan)
Dari syarat-syarat maksimisasi utilitas tersebut di atas dapat diturunkan fungsi konsumsi sebagai fungsi dari harga barang dan pengeluaran (pendapatan), yaitu: Qi = qi (P1 , P2 ,..., Pn , E ) …………………………….……………….…..…….. (3)
Di dalam analisis konsumsi terdapat konsep dualitas, yaitu untuk setiap fungsi utilitas pasti terdapat suatu fungsí utililtas tak langsung dan fungsí pengeluaran. Dari fungsí utilitas tak langsung dan fungsi pengeluaran ini dapat diperoleh jumlah konsumsi yang nilainya identik pada titik optimal. Fungsi utilitas tak langsung dapat diperoleh dari maksimisasi utilitas. Dengan memasukkan persamaan (1) ke dalam persamaan (3), diperoleh fungsi utilitas tak langsung sebagai fungsi dari harga dan pendapatan (4): V = v(P1 , P2 ,..., Pn , E ) …………………..……………………………....…........ (4)
dimana: V = utilitas tak langsung
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
35
Sementara itu, fungsi pengeluaran menunjukkan biaya minimum yang diperlukan untuk mencapai tingkat kepuasan tertentu. Dengan demikian, fungsi pengeluaran dapat diturunkan menjadi seperti pada persamaan (5) dan (6) sebagai berikut : Minimumkan: n
E = ∑ Pi Qi ……………………………………………………….................. (5) i =1
Kendala: U = u (Q1 , Q2 ,..., Qn ) …………………………………………………..….….... (6)
Dari jawaban persoalan minimisasi pengeluaran ini diperoleh fungsi pengeluaran yang tergantung pada harga barang dan tingkat kepuasan, yaitu: E = e(P1 , P2 ,..., Pn , U ) ………….……………………………………….…....... (7)
Hasil minimisasi pengeluaran tersebut dapat juga dipakai untuk memperoleh fungsi transformasi, yang menunjukkan komposisi jumlah konsumsi yang paling murah untuk mencapai tingkat kepuasan tertentu, yang ditunjukkan pada persamaan (8) dan (9): F (Q1 , Q2 ,..., Qn , U ) = Minimum n
∑ P Q ……………………..………………..............................…….…….... (8) i =1
i
i
Kendala: V = v(P1 , P2 ,..., Pn , E ) ≤ U ……………………………………………...…….... (9)
Dari fungsi utilitas dan fungsi utilitas-tak-langsung dapat diperoleh fungsi kebalikan dan fungsi langsung permintaan Marshallian. Fungsi langsung permintaan tersebut diperoleh dengan menggunakan identitas Roy (10) sebagai berikut:
Qi (P1 , P2 ,..., Pn , E ) = −
∂v / ∂Pi ∂V / ∂E
…………………………………………..…… (10)
Fungsi kebalikan permintaan Marshallian diturunkan dari fungsi utilitas langsung
Marshallian
(11)
dengan
menggunakan
indentitas
Hotelling-Word
(Weymark, 1980), yaitu:
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
36
Pi (Q1 , Q2 ,..., Qn , E ) =
E∂u / ∂Qi n
∑ Q ∂u / ∂Q j
j =1
………..………………………………..(11)
i
Fungsi permintaan langsung dan kebalikan Hicksian dapat diperoleh dari fungsi pengeluaran dan transformasi. Fungsi permintaan langsung ini diperoleh dengan menggunakan Shephard Lemma, yaitu:
Qi (P1 , P2 ,..., Pn ,U ) = ∂E / ∂Pi …………………………………….……....... (12) Sementara itu dari fungsi transformasi dapat diperoleh fungsi kebalikan permintaan Hicksian (13) dengan menggunakan Shephard – Hanoch Lemma:
P i (Q1 , Q2 ,..., Qn ,U ) = ∂F / ∂Qi …………………..…………...………....... (13) Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, bentuk fungsi permintaan tergantung pada asumsí bentuk fungsi utilitas, fungsi utilitas-tak-langsung, dan fungsi pengeluaran atau fungsi fleksibilitas. Sifat-sifat teoritis permintaan berdasarkan syarat-syarat maksimisasi tingkat kepuasan ditunjukkan pada persamaan (14) sampai dengan (19): (1)
Agregasi Engel n
∑ Pi (∂Q / ∂E ) = 1 atau i =1
n
∑Sη i =1
i
i
= 1 ……………………………………....... (14)
dimana: Si ηi
(2)
= Pangsa pengeluaran untuk Qi = Elastisitas pendapatan untuk Qi
Agregasi Cournot :
∑ Pi (∂Qi / ∂Pj ) = −Q j atau n
i =1
n
∑S ε i =1
i ij
= − S j ……………………………..…... (15)
dimana: ϵij = Elastisitas Qi terhadap Qj (3)
Simetri Pj Q j ∂Qi Pj E * = Pi Qi ∂Pj Qi E
∂Q P Pj Q j ∂Qi E ∂Q j E j ……… (16) * i − * * − E ∂E Qi ∂E Q j ∂Pi Q j
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
37
atau ε ij = (4)
Sj Si
ε ji − S j (η i − η j ) …………………………………………….... (17)
Homogeneity
(∂Qi / ∂Pi ) * ( Pi / Qi ) = (∂Qi / ∂Pj )* ( Pj / Qi ) + (∂Qi / ∂E ) * ( E / Qi ) ……………. (18) atau
ε ii = ε ij + η i ……………………………………………………………........ (19) 3.1.2. Teori Produksi/Penawaran 1)
Fungsi Produksi Pada model-model perilaku produsen diasumsikan bahwa teknologi dapat
direpresentasikan oleh fungsi produksi. Jumlah satu atau lebih output/komoditas yang diproduksi adalah fungsi dari jumlah input faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Untuk satu jenis output, fungsi produksinya dapat ditulis sebagai berikut: Y = f ( X 1 , X 2 ,..., X n ) ……………………………………………..…........ (20)
dimana: Y adalah output dan Xi adalah input. Perkembangan teknologi dapat direpresentasikan sebagai model produksi yang bergeser dari waktu ke waktu. Dengan kombinasi input tertentu dimungkinkan untuk menghasilkan sejumlah output. Sebagai contoh adalah fungsi produksi CobbDouglas yang pada tahun 1928 diusulkan oleh ahli matematika Cobb dan ahli ekonomi Douglas. Di dalam fungsi Cobb-Douglas diasumsikan ada dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K) yang digunakan untuk memproduksi komoditas Y sehingga bentuk fungsi produksinya adalah sebagai berikut: Y = ALα K β ; A > 0 ……………………………………………………........ (21)
Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi perkalian dengan α>0, β>0 dan (α+β)<1. Persamaan (21) dapat juga ditulis sebagai hubungan linier logaritma (22) sebagai berikut:
ln Y = ln A + α ln L + β ln K ………………………………………………....... (22) Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
38
Produktifitas marjinal tenaga kerja dan modal masing-masing direpresentasikan sebagai dY/dL=α(Y/L)>0 dan dY/dK=β(Y/K)>0, proporsional terhadap rata-rata produktifitas. Produktifitas marjinal bersifat “decreasing function” dari L dan K. Elastisitas produksi terhadap L dan K masing-masing direpresentasikan sebagai α dan β, sehingga α+β adalah persentase perubahan produksi yang disebabkan oleh 1 persen perubahan input L dan K. Nilai α+β adalah derajat homogeneity fungsi produksi, yang mempunyai nilai lebih kecil, sama dengan atau lebih besar dari satu, yang masing-masing tergantung pada decreasing, constant atau increasing return to scale. Ada beberapa teknologi produksi yaitu teknologi Cobb-Douglas, Leontief dan linier. Teknologi Cobb-Douglas sering digunakan karena parameternya adalah elastisitas dan fungsi produksi dengan teknologi ini mengikuti “Law of Diminishing Return to Scale”. Namun fungsi Cobb-Douglas terkendala oleh “Constant Elasticity of Substitution”. Fungsi Cobb-Douglas dapat merepresentasikan fungsi produksi yang masih increasing return to scale, tetapi untuk merefleksikan fungsi produksi yang sudah decreasing return to scale harus menggunakan restriksi. Sementara itu, teknologi
Leontief
diaplikasikan
pada
fungsi
produksi
yang
input-inputnya
dikombinasikan secara proporsional, sehingga penggunaannya sangat terbatas. Demikian pula teknologi linier diaplikasikan hanya jika input-input yang digunakan dapat saling bersubstitusi secara sempurna.
2)
Fungsi Penawaran Seperti asumsi di atas bahwa produsen memproduksi satu komoditas Q
dimana karakteristik teknologinya dapat direpresentasikan oleh persamaan (20). Produsen memilih input yang akan memaksimumkan keuntungan berdasarkan fungsi produksi dan harga input-input tetap W i dan harga output P. Keuntungan (π) sama dengan penerimaan (R) dikurangi biaya (C), seperti pada rumus (23):. n
Π = R − C = P. f ( X 1 , X 2 ,..., X n ) − ∑ Wi X i ………………………………....... (23) i =1
Kondisi ordo pertama untuk keuntungan maksimum adalah: P
∂f − Wi = 0 ………………………………………………………….......... (24) ∂X i
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
39
dimana: δf(Xi)/ δXi adalah produktifitas marjinal input Xi. Hasil dari persamaan (24) dalam Xi sebagai fungsi dari P dan W i adalah sistem fungsi permintaan input (25) sebagai berikut: X i = xi (P, W1 , W2 ,..., Wn ) ; i = 1,..., n .......................................................... (25)
Substitusi
persamaan
(25)
ke
dalam
fungsi
produksi
menghasilkan
persamaan (26) sebagai berikut: Y = f {X i . f (P, W1 , W2 ,..., Wn )} ; i = 1,..., n …………………………………. (26)
Persamaan (26) adalah fungsi penawaran, yang menghasilkan output optimal sebagai fungsi dari peubah harga di pasar output dan harga pasar input. Secara ringkas, fungsi produksi merepresentasikan hubungan teknis antara input dan output. Oleh karena itu tidak ada peubah harga pada fungsi produksi. Peubah harga-harga digunakan dalam perilaku optimasi produsen dengan kendala pada fungsi produksi, yang menghasilkan fungsi penawaran sebagai fungsi dari harga jika harga relevan pada pendekatan optimisasi produsen. Perlu dicatat bahwa dalam analisis praktis, umumnya hanya fungsi penawaran yang dapat dibentuk sebagai ex-post realisasi produksi. Secara umum, hanya percobaan di laboratorium atau semacamnya yang dapat menghasilkan fungsi produksi. Dalam kasus-kasus praktis, hanya fungsi penawaran yang relevan (Kirbia, 1991). 3.2.
Kerangka Analisis Pelaku
utama
dalam
pembangunan
pertanian
adalah
petani,
yang
mempunyai posisi penting dalam tatanan lokal, regional dan nasional. Agar usaha pertanian yang dijalankannya mampu memberikan pendapatan yang memadai dan berkesinambungan, maka komoditas yang diusahakan selayaknya mempunyai prospek di pasar domestik dan internasional. Untuk memenuhi persyaratan ini, komoditas pertanian harus dapat dikembangkan secara efisien sesuai dengan sumberdaya alam dan perkembangan teknologi yang dikuasai. Analisis permintaan dan penawaran dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan trend dan ekonometrik. Dalam studi ini akan difokuskan pada
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
40
pendekatan ekonometrik yang dapat menghasilkan parameter estimasi sebagai dasar untuk dapat melakukan proyeksi permintaan dan penawaran. 3.2.1. Aspek Konsumsi/Permintaan Permintaan suatu komoditas berdasarkan tujuannya dapat dibedakan menjadi permintaan pasar dalam negeri dan pasar internasional. Namun kajian ini hanya mencakup
pasar
permintaan dapat
dalam
negeri.
Sementara
berdasarkan
penggunaannya,
dibedakan menjadi permintaan untuk konsumsi langsung dan
permintaan untuk penggunaan antara (derived demand) yaitu sebagai bahan baku sektor industri pengolahan. Analisis mengenai aspek permintaan mencakup perkembangan secara agregat dan permintaan per kapita serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan proyeksi. Untuk permintaan langsung, total permintaan merupakan perkalian antara konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk. Konsumsi per kapita dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, harga dan karakteristik demografis. Sementara permintaan untuk industri pengolahan dapat dipengaruhi oleh harga dan pendapatan nasional. 3.2.2. Aspek Produksi/Penawaran Analisis aspek penawaran akan mencakup: perkembangan produksi, produktifitas, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan produktifitas serta proyeksi produksi. Untuk komoditas pertanian yang berbasis lahan, total penawaran merupakan perkalian antara luas areal dengan hasil per ha. Luas areal ditentukan oleh harga input, harga output, dan faktor-faktor penggeser (shifter). Hasil per ha ditentukan oleh harga-harga, teknologi dan faktor-faktor penggeser lainnya. 3.3.
Jenis dan Sumber Data Jenis data utama yang akan digunakan di dalam kajian ini adalah data
sekunder berupa data agregat time series selama periode tahun 1970-2012. Data ini akan digunakan untuk mengestimasi fungsi permintaan dan fungsi penawaran lima komoditas pangan pokok (beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi) dengan pendekatan ekonometrika. Sumber utama data sekunder antara lain adalah: (1) Badan Pusat Statistik (BPS); (2) Direktorat Jenderal lingkup Kementerian Pertanian; (3) Kementerian Perindustrian; (4) Kementerian Perdagangan; (5) Lembaga-lembaga internasional (Bank Dunia, FAO, IMF); dan (6) Asosiasi komoditas terkait di tingkat domestik dan internasional. Jenis dan sumber data secara rinci ditunjukkan pada Lampiran 1. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
41
3.4.
Metoda Analisis Metoda analisis diperlukan untuk menjawab tiga tujuan kajian sebagaimana
telah disebutkan di dalam bab Pendahuluan, yaitu: (1) Menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia; (2) Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok. Secara teknis, di dalam melakukan analisis terhadap permintaan dan penawaran sebelum peubah digunakan dalam model, maka dilakukan uji unit root (stabilitas dan stasionaritas). Selanjutnya untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan di dalam persamaan mempunyai keterkaitan (kointegrasi), maka dilakukan uji kointegrasi antara kedua peubah tersebut. Uji kointegrasi dapat dilakukan antara lain dengan metode Engle-Granger dan Johansen. Engle-Granger (1987) mengajukan prosedur untuk pengujian kointegrasi antar beberapa peubah. 3.4.1. Analisis Dinamika Diversifikasi dan Konsumsi Pangan Pola diversifkasi dapat diukur dari pangsa pengeluaran masing-masing komoditas pangan terhadap total pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga. Dalam hal ini, produk konsumsi untuk lima komoditas pangan yang dicakup dalam analisis ini adalah semua produk yang tercantum dalam data Susenas BPS. Pangsa pengeluaran konsumsi masing-masing komoditas dihitung dengan rumus (27) di bawah ini:
S it =
Eit *100% …………………………………………………......... (27) Et
dimana:
Sit
= Pangsa pengeluaran konsumsi komoditas ke-i tahun t ( persen)
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
42
Eit
= Pengeluaran konsumsi komoditas ke-i tahun t (Rp/kapita/tahun)
Et
= Total pengeluaran konsumsi pangan tahun t (Rp/kapita/tahun)
Dari hasil analisis ini akan dapat diketahui perubahan pengeluaran masingmasing komoditas pangan dari antar kurun waktu, misalnya 3 tahunan sesuai dengan periode pelaksanaan Susenas BPS, yaitu apakah meningkat, menurun atau stabil. Pola diversifikasi konsumsi pangan ini akan dilihat menurut kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah, sedang dan tinggi, serta menurut wilayah yaitu perkotaan dan perdesaan, serta nasional.
3.4.2. Analisis Perkembangan Permintaan dan Penawaran Analisis ini mencakup estimasi empat aspek, yaitu: (a) Laju pertumbuhan (trend) permintaan dan penawaran komoditas pangan; (b) Fungsi permintaan dan fungsi penawaran komoditas pangan pangan; (c) Transmisi vertikal harga komoditas pangan; dan (d) Proyeksi permintaan dan penawaran komoditas pangan. 1) Analisis Laju Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Analisis ini diperlukan untuk mengestimasi rata-rata laju pertumbuhan (trend) per tahun dari permintaan dan penawaran. Dari hasil analisis ini akan dapat
diketahui perubahan laju pertumbuhan 5 tahunan selama 20-30 terakhir, yaitu apakah makin cepat, stabil atau melambat. Untuk melakukan estimasi tersebut akan digunakan metoda statistik berupa model semi-logaritma (28): ln Qit = ln α + β T …………………………………….…..………....... (28)
dimana: = Permintaan atau penawaran komoditas ke-i tahun t Qit β = Laju pertumbuhan per tahun (jika dikalikan 100 persen menjadi persen/tahun) T = Tahun pengamatan (1, 2, 3, ….. n)
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
43
2) Analisis Fungsi Permintaan Fungsi Permintaan Langsung: Permintaan langsung adalah permintaan oleh rumah tangga konsumen, dimana produk yang dikonsumsi adalah produk primer (belum diolah). Untuk komoditas yang dianalisis, produk primer yang dimaksud adalah beras, jagung pipil kering, kedelai biji kering, gula pasir, dan daging sapi segar. Konsumen sebenarnya tidak hanya mengkonsumsi produk primer tetapi juga produk olahan antara lain kueh dari tepung beras, tepung maizena, corn flakes, tahu, tempe, makanan dan minuman mengandung gula, sosis, dendeng, bakso, daging hokben, rendang, abon dan lain-lain. Namun dalam analisis ini produk-produk olahan tersebut tidak dihitung sebagai konsumsi rumah tangga untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda (double counting) dengan konsumsi tidak lansung (akan dijelaskan kemudian). Permintaan langsung komoditas pangan diestimasi dengan menggunakan model Linear Approximation dari Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) yang dikembangkan oleh Deaton dan Muellbauer (1980). Model ini mempunyai banyak keunggulan, yaitu : (i) Memberikan aproksimasi orde pertama terhadap sistem permintaan manapun; (ii) Memenuhi aksioma pilihan secara tepat; (iii) Mengagregasi konsumen secara sempurna; (iv) Mempunyai bentuk persamaan yang konsisten dengan data anggaran rumah tangga; (v) Sederhana dalam estimasi (dalam bentuk aproksimasi
liniernya);
dan
(vi)
Dapat
digunakan
untuk
menguji
kendala
homogenitas dan simetri. Model LA/AIDS yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(
)
n
n
ln S i = α + β i ln E F / Pi + ∑∑ γ ij ln Pj + δ i ln Z ………….…………... (29) *
i =1 j =1
dimana: Si = Pangsa pengeluaran konsumsi komoditas ke-i EF = Total pengeluaran konsumsi untuk pangan (Rp) Pi* = Indeks harga konsumen Stone komoditas ke-i, n
ln Pi = ∑ S i ln Pi *
i =1
dimana: Pi = Harga nominal komoditas ke-i (Rp/kg) Pj = Harga nominal komoditas substitusi/komplemen ke-j (Rp/kg) Z = Ukuran rumah tangga (jiwa) α, β, γ, δ = Parameter estimasi Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
44
Rumus yang digunakan untuk menghitung elastisitas permintaan dari model LA/AIDS dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Buse, 1994; Chalfant, 1987; Harianto, 1994; dan Simatupang et al, 1995). Hal ini dilakukan karena pendugaan LA/AIDS dengan pendekatan yang digunakan oleh Anderson dan Blundell (1983) dan Eales dan Unnevehr (1988) menghasilkan pilihan rasional konsumen yang tidak konsisten (LaFrance, 2004). Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh Green dan Alson (1990) relatif rumit dalam
pelaksanaannya
karena
elastisitas
permintaan
komoditas
tertentu
diekspresikan sebagai elastisitas sendiri dan elastisitas komoditas lainnya. Selain itu, elastisitas yang dihasilkan dari pendekatan Chalfant (1987) dan Green dan Alson (1990) tidak memberikan hasil yang relatif sama. Elastisitas permintaan tidak terkompensasi dari LA/AIDS (εij) didefinisikan sebagai berikut : * γ ij − β i d ln P d ln Pj d ln Qi d ln Si …………………….…...... (30) = −δ ij + = −δ ij + ε ij = d ln Pj d ln Pj Si
Elastisitas ini menunjukkan alokasi di dalam kelompok komoditas, dimana total pengeluaran kelompok tersebut (x) dan semua harga lain (pk, k ≠ j) dianggap konstan. δij adalah delta Kronecker (δij = 1 untuk i = j; δij = 0 untuk i ≠ j). Untuk memperoleh rumus yang benar untuk LA/AIDS, perlu dilakukan pendiferensiasian indeks harga Stone terhadap harga komoditas ke-j, yang memperoleh: n n d ln S k …………………………...……….......... (31) d ln P * = S j + ∑∑ S k ln Pk d ln Pj d ln Pj k =1 j =1
Chalfant (1987) mengasumsikan bahwa pangsa pengeluaran adalah konstan sehingga: d ln P * = S j …………………………………………………………................. (32) d ln Pj
Elastisitas harga menjadi: ε ij = −δ ij + (γ ij − β i S j ) / Si …………………………………………..….................. (33)
Dengan demikian elastisitas harga sendiri (i = j) menjadi: ε i = (γ ij − β i S j )/ S i − 1 ……………………………………………….............. (34) Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
45
Elastisitas harga silang (i ≠ j) menjadi: ε ij = (γ ij − β i S j ) / S i …………………………………………………............... (35)
Elastisitas pendapatan/pengeluaran menjadi: ε Ei = 1 + β i / Si ……………………………………………………................ (36)
Fungsi Permintaan Tidak Langsung: Permintaan-tidak-langsung
adalah
permintaan
bukan
langsung
oleh
konsumen rumah tangga, melainkan oleh industri pengolahan bahan makanan dan minuman, termasuk hotel, restoran, catering, warung makan, industri pakan ternak, dan sejenisnya. Data konsumsi-tidak-langsung tidak tersedia secara baik, sehingga besarannya perlu diestimasi. Jumlah permintaan tidak langsung dihitung dengan persamaan identitas (37) yaitu sebagai berikut:
QDTLit = QSit − QDLit + QM it − QX it − ∆Sit ………………..........………...… (37) dimana: QDTLit = Permintaan tidak langsung kom ke-i tahun t (ton) QSit = Produksi neto komoditas ke-i tahun t (ton) QDLit = Permintaan langsung komoditas ke-i tahun t (ton) QMit = Impor komoditas ke-i tahun t (ton) QXit = Ekspor komoditas ke-i tahun t (ton) ∆Sit = Perubahan stok komoditas ke-i tahun t (ton) Jumlah
permintaan
tidak
langsung
(QDTLit)
semula
dihipotesakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga riil sendiri di tingkat konsumen, harga riil komoditas lain di tingkat konsumen, dan pendapatan riil masyarakat yang diproksi dengan PDB riil. Namun model ini memberikan hasil yang sangat tidak memuaskan, baik dari arah, maupun besaran pengaruhnya. Karena itu, digunakan pendekatan lain yang lebih sederhana yaitu dengan hipotesis bahwa permintaan tidak langsung atau permintaan akan bahan baku sektor industri makanan dan minuman diengaruhi oleg junlah penduduk sebagai konsumen dari produk-produk yang dihasillkan. Atas dasar itu, maka bentuk persamaan ekonometriknya ditunjukkan pada persamaan (38) di bawah ini:
ln QDTLit = α i + β i ln N it ………….........................................……………... (38) dimana: Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
46
QDTLit = Konsumsi tidak langsung kom i tahun t (ton) = Jumlah penduduk pertengahan tahun t (000 jiwa) Nt βi = Elastisitas konsumsi-tidak=langsung terhadap jumlah penduduk 3) Analisis Fungsi Penawaran Komoditas Beras, Jagung, Kedelai dan Gula Berdasarkan kerangka teori di atas, maka model penawaran komoditas padi/beras, jagung, kedelai dan tebu/gula yang termasuk kedalam tanaman semusim (siklus hidup 1 tahun atau kurang) menggunakan pendekatan dua tahap, yaitu melalui pendugaan fungsi areal tanam dan fungsi produktivitas. Secara matematis, fungsi areal tanam dapat diformulasikan seperti persamaan (39): n
n
ln Aii = α 0i + α1i ln Ait −1 + α 2i ln PFit −1 + ∑∑ α ij ln PF jt −1 …………............... (39) i =1 j =1
Sementara itu, fungsi produktivitas dapat dirumuskan seperti persamaan (41): m
ln Yii = β 0i + β1i ln PFit + ∑ β x ln Pxt + β 2iT ……………..…...….................. (40) x =1
dan produksi adalah:
QYii = Ait * Yit …………….....….……………………………………........... (41) dimana: = Areal panen komoditas ke-i tahun t (ha) Ait Ait-1 = Areal panen komoditas ke-i tahun t-1 (ha) PFit-1 = Harga riil tingkat produsen komoditas ke-i tahun t-1 (Rp/kg) PFjt-1 = Harga riil tingkat produsen komoditas pesaing ke-j tahun t-1 (Rp/kg) = Elastisitas areal panen komoditas ke-i thd harga riil sendiri α2i = Elastisitas areal panen kom ke-i thd harga riil kom pesaing ke-j αij Yit = Produktivitas komoditas ke-i tahun t (ton/ha) PFit = Harga riil tingkat produsen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga riil input ke-x tahun t (Rp/satuan) Pxt β1i = Elastisitas produktivitas komoditas ke-i thd harga riil sendiri = Elastisitas produktivitas komoditas ke-i thdp harga riil input ke-x βx β2i = Parameter estimasi trend waktu sbg proksi perkembangan teknologi QYit = Produksi/penawaran komoditas ke-i (ton) Komoditas Daging Sapi: Fungsi penawaran daging sapi dispesifikasi sebagai berikut:
ln QYii = σ 0 + σ 1i ln QYit −1 + σ 2i ln PFit −1 + σ 3iT ………….................…... (42) Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
47
dimana: QYit QYit-1 PFit-1 T σ1i σ2i σ3i
= Produksi daging sapi tahun t (ton) = Produksi daging sapi tahun t-1 (ton) = Harga riil daging sapi tingkat produsen tahun t (Rp/kg) = Peubah tahun sebagai proksi teknologi = Elastisitas produksi daging sapi tahun sebelumnya = Elastisitas produksi daging sapi terhadap harga produsen riil sendiri = Elastisitas produksi daging sapi terhadap teknologi
4) Analisis Transmisi Harga Analisis transmisi harga bertujuan untuk mengestimasi dampak kebijakan perdagangan, khususnya tarif impor, terhadap harga konsumen dan harga produsen. Analisis ini diperlukan karena instrumen kebijakan perdagangan yang akan digunakan untuk mempengaruhi konsumsi/permintaan adalah tarif impor. Dengan berubahnya tarif impor, yang merupakan salah satu komponen harga impor, maka harga konsumen akan berubah. Berubahnya harga konsumen selanjutnya akan merubah konsumsi/permintaan. Berubahnya harga konsumen juga akan merubah harga produsen yang selanjutnya akan merubah produksi/permintaan. Perubahan konsumsi/permintaan dan produksi/penawaran akan merubah tingkat pencapaian swasembada pangan. Analisis ini akan menggunakan persamaan (43) sampai dengan (46) sebagai berikut.
ln PWii = φ0 + φ1T ………….....................................................................… (43) ln PM ii = ϑ0 + ϑ1 ln PWit ……………….......................................................... (44) ln PCii = ϕ 0 + ϕ1 ln PM it + ϕ 2 ln TBM it …….………………...………………......... (45)
ln PFii = ω0 + ω1 ln PCit + ω2 ln PGit ………………………......................……. (46) dimana: PW it T PMit PCit TBMit PFit PGit Φ1
= Harga dunia komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Tahun = Harga impor di pelabuhan Indonesia komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga konsumen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Tarif Bea Masuk komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga produsen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga produsen komoditas ke-i ketentuan pemerintah thn t (Rp/kg) (HPP untuk gabah dan HP untuk gula petani) = Laju perubahan harga dunia komoditas ke-i pertahun
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
48
ϑ1 φ1 φ2 ω1 ω2
= Elastisitas transmisi harga dunia ke harga impor komoditas ke-i = Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen kom ke-i = Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen kom ke-i = Elastisitas transmisi harga konsumen ke harga produsen kom ke-i = Elastisitas transmisi harga pemerintah ke harga produsen kom ke-i).
Catatan: Variabel PGit pada persamaan (46) hanya untuk gabah (HPP) dan gula (HP), sedangkan untuk kedelai, jagung dan daging sapi variabel tersebut tidak dimasukkan ke dalam persamaan (46) karena tidak ada harga ketentuan pemerintah. 5) Analisis Proyeksi Analisis Proyeksi Harga: Analisis proyeksi harga konsumen dan harga produsen diperlukan karena harga merupakan faktor penentu proyeksi konsumsi/permintaan dan proyeksi produksi/penawaran. Analisis menggunakan persamaan (47) untuk harga impor, persamaan (48) dan (49) untuk harga konsumen, dan persamaan (50) dan (51) untuk harga produsen, yaitu sebagai berikut:
PM it = PM i 0 * (1 + φ1 * g PWi ) …...........................................................… (47) t
(
)
PCii = PCi 0 * 1 + ϕ1 * g PMi + ϕ 2 * gTBM i ………………….…………................. (48) t
g PCi = ϕ1 * g PMi + ϕ 2 * gTBM i ………………………...…...............…………..... (49) PFii = PFi 0 * (1 + ω1 * g PCi + ω2 * g PGi ) …………………….……….…….……..... (50) t
g PFi = ω1 * g PCi + ω2 * g PGi ……………………...………….………..….…...... (51) dimana: PMit PMi0 Φ1 gPWi PCit PCi0 φ1 φ2 gPMi gTBMi gPCi
= Harga impor komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga impor komoditas ke-i tahun dasar (Rp/kg) = Elastisitas transmisi harga dunia ke harga impor komoditas ke-i = Laju perkembangan harga impor per tahun komoditas ke-i = Proyeksi harga konsumen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga konsumen komoditas ke-i tahun dasar (Rp/kg) = Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen komoditas ke-i = Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen komoditas ke-i = Laju perkembangan harga impor per tahun komoditas ke-i = Laju perubahan TBM per tahun komoditas ke-i = Laju perkembangan harga konsumen per tahun komoditas ke-i
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
49
gPGi PFit PFi0 ω1 ω2 gPFi t
= Laju perkembangan harga pemerintah (HPP/HP) per tahun kom ke-i = Proyeksi harga produsen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) = Harga produsen komoditas ke-i tahun dasar (Rp/kg) = Elastisitas transmisi harga konsumen ke harga produsen kom ke-i = Elastisitas transmisi harga pemerintah ke harga produsen kom ke-i = Laju perkembangan harga produsen per tahun kom ke-i = Tahun proyeksi
Analisis Proyeksi Permintaan:
Permintaan Langsung o Per Kapita
qdit
{
}
t
n t = qdi 0 * 1 + ε iE 0 * (1 + g εiE ) * g E + ε ip * g PCi + ∑ ε ijp * g PCj ……..... (52) j =1
dimana : qdit = Proyeksi konsumsi langsung per kapita per tahun tahun t (kg) qdi0 = Konsumsi langsung per kapita per tahun tahun dasar (kg) ϵiE0 = Elastisitas pendaapatan tahun dasar ϵip = Elastisitas harga sendiri ϵijp = Elastisitas harga komoditas substitusi/komplemen gϵiE = Laju pertumbuhan elastisitas pengeluaran per tahun gE = Laju pertumbuhan tingkat pengeluaran riil per kapita per tahun gPci = Laju pertumbuhan harga sendiri riil tingkat konsumen per tahun gPCj = Laju pertumbuhan harga kom substitusi/kompl riil tkt kons per thn i, j = Komoditas yang dianalisis t = Tahun proyeksi o Permintaan Langsung Total
QDLit = qdit * N t …………………..……………………..………….......... (53) dimana : QDLit = Proyeksi total permintaan-langsung komoditas ke-i tahun t (ton) Nt = Proyeksi jumlah penduduk tahun t (jiwa) Model tersebut di atas pada hakekatnya adalah model proyeksi dengan menggunakan konsumsi per kapita pada tahun dasar. Perkembangan konsumsi per kapita ditentukan oleh pertumbuhan pendapatan per kapita. Beberapa parameter lain yang diperlukan dalam model proyeksi adalah: (1) Konsumsi per kapita pada tahun dasar (qdi0); (2) Elastisitas pendapatan pada tahun dasar (ϵiy0); (3) Laju Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
50
pertumbuhan elastisitas pendapatan (gϵiy); (4) Laju pertumbuhan pengeluaran per kapita (gE; dan (4) Laju pertumbuhan jumlah penduduk. Parameter-parameter tersebut dapat ditentukan di luar model, yaitu dari data sekunder atau diperlakukan sebagai peubah instrumen dalam simulasi model. Untuk memenuhi informasi-informasi tersebut dilakukan langkah atau diambil asumsi sebagai berikut. Pertama, tahun dasar yang akan dijadikan titik tolak proyeksi adalah tahun 2011. Penggunaan tahun 2011 sebagai tahun dasar didasarkan atas pertimbangan bahwa survai paling mutakhir oleh BPS tentang pengeluaran
konsumsi
penduduk
Indonesia
dilakukan
pada
tahun
2011.
Implikasinya adalah bahwa untuk melakukan proyeksi permintaan sudah selayaknya apabila didasarkan pada parameter-parameter permintaan paling mutakhir dimana cara untuk memperolehnya adalah lewat pemanfaatan data survai paling mutakhir juga. Kedua, data jumlah penduduk Indonesia yang digunakan adalah data pertengahan tahun yang dipublikasikan setiap tahun oleh BPS. Ketiga, laju pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dihitung berdasarkan pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2011. Keempat, untuk data konsumsi per kapita pada tahun dasar digunakan data Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2011. Kelima, untuk mendapatkan nilai elastisitas pengeluaran terlebih dahulu dilakukan pendugaan parameter sistem permintaan pangan model LA/AIDS dengan menggunakan data SUSENAS-BPS tahun 2005 dan 2011. Keenam, untuk memperoleh laju perubahan elastisitas pengeluaran per tahun dilakukan dengan menghitung perubahan elastisitas pengeluaran di antara tahun 2005 dan 2011. Ketujuh, laju pertumbuhan pengeluaran berdasarkan data SUSENAS 2005 dan 2011.
Permintaan Tidak Langsung
QDTLit = QDTLi 0 * (1 + β i*gN ) ……………........................…….....….... (54) t
dimana QDTLit QDTLi0 βi
= Proyeksi permintaan-tdk-langsung kom ke-i tahun t (ton) = Permintaan-tidak-langsung kom ke-i tahun dasar (ton) = Elastisitas permintaan-tdk-langsung kom ke-i thd jml pddk
Permintaan Total
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
51
QDit = QDLit + QDTLit …………………………………..………..…............ (55) dimana QDit = Proyeksi konsumsi total kom ke-i tahun t (ton) QDLit = Proyeksi konsumsi-langsung kom ke-i tahun t (ton) QDTLit = Proyeksi konsumsi-tidak-langsung kom ke-i tahun t (ton)
Analisis Proyeksi Penawaran:
Komoditas Beras, Jagung, Kedelai, Gula Proyeksi penawaran menggunakan pendekatan tidak langsung, yaitu melalui
proyeksi areal dan proyeksi produktivitas dengan menggunakan elastisitas hargaharga yang diperoleh dari estimasi fungsi areal dan fungsi produktivitas, serta pertumbuhan dari masing-masing variabel harga. Proyeksi areal tanam dan produktivitas dengan tahun dasar adalah tahun 2012 dirumuskan sebagai berikut: o Areal Panen t
n Ait = Ai 0 * 1 + ωi * g PFi + ∑ (ϕij * g PFj ) …………………......…..….….... (56) j =1
o Produktivitas t
m Yit = Yi 0 * 1 + µi * g PFi + ∑ (φx * g Px ) ………………………....….….... (57) x =1
o Produksi
QSit = Ait + Yit …………………………………..…..……………........... (58) dimana: Ait Ai0 ωi ϕij gPFi gPFj Yit Yi0 µi φx gpx
: : : : : : : : : : :
Proyeksi areal panen komoditas ke-i tahun t (ha) Areal panen komoditas ke-i tahun dasar (ha) Elastisitas areal panen kom ke-i thd harga sendiri Elastisitas areal panen kom ke-i thd harga kom pesaing ke-j Laju pertumbuhan harga produsen kom ke-i per tahun Laju pertbh harga produsen kom pesaing ke-j per tahun Proyeksi produktivitas komoditas ke-i tahun t (kg) Produktivitas kom ke-i tahun dasar (kg) Elastisitas produktivitas kom ke-i thd harga sendiri Elastisitas produktivitas t kom ke-i thd harga input ke-x Laju pertumbuhan harga input ke-x per tahun
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
52
t
: Tahun proyeksi
Komoditas Daging Sapi Berbeda dengan komoditas tanaman padi/beras, jagung, kedelai dan
tebu/gula, model penawaran komoditas daging sapi yang siklus hidup ternak sapinya lebih dari 1 tahun, menggunakan pendekatan satu tahap sesuai dengan bentuk umum model penawaran, yaitu sebagai berikut:
QS it = QS i 0 * {1 + ε i * g PFi } ………………………………………………....... (59) t
dimana: QSit QSi0 ϵi gPFi t
: : : : :
Proyeksi penawaran daging sapi tahun t (ton) Penawaran daging sapi tahun dasar (ton) Elastisitas penawaran daging sapi thd harga riil sendiri Pertumbuhan harga rii sendiri Tahun proyeksi
Analisis Proyeksi Surplus/Defisit:
QBit = QSit − QDit ………………................................................................. (60) dimana: QBit QSit QDit
= Proyeksi surplus/defisit komoditas ke-i tahun t (ton) = Proyeksi produksi/penawaran komoditas ke-i tahun t (ton) = Proyeksi konsumsi/permintaan komoditas ke-i tahun t (ton)
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
53
BAB IV POLA DIVERSIFIKASI DAN TINGKAT KONSUMSI KOMODITAS PANGAN STRATEGIS 4.1.
Dinamika Pola Konsumsi Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan merupakan cara seseorang
atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh psikologis, budaya dan sosial. Pemetaan dan analisis pola konsumsi sangat penting dilakukan karena dapat dijadikan sebagai acuan untuk memprediksi indikator-indikator kesejahteraan penduduk, seperti status kesehatan, status gizi, dan status kemiskinan penduduk. Selama ini pola konsumsi masyarakat Indonesia dikelompokkan menjadi dua kelompok pengeluaran, yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk non pangan. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran berarti semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat. Merujuk hal tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami banyak perubahan (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Masyarakat per Kapita per Tahun (Sumber: Data Susenas, BPS) Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan tercatat 52,42 persen. Angka ini mengalami penurunan selama periode tahun 2005-2009. Hal ini berarti bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
54
pada tahun 2002. Namun, pada periode 2010-2011, pangsa pengeluaran pangan meningkat menjadi 52,39 persen (2010) dan 54,69 persen (2011), berarti tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami penurunan dibandingkan pada periode sebelumnya. Banyak faktor yang menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat menurun diantaranya adanya kebutuhan
pangan
untuk
energi
alternatif serta berbagai resesi ekonomi global yang terjadi pada periode tersebut, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dunia termasuk di Indonesia. Pada dasarnya setiap rumahtangga dan individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencukupi kebutuhan pangan, baik secara kuantitas maupun kualitas untuk memenuhi kecukupan dan keseimbangan gizi. Dengan menggunakan data SUSENAS, informasi mengenai beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi terlihat seperti pada Tabel 4.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa padi-padian dan makanan-jadi masih mendominasi pangsa pengeluaran pangan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padi-padian
dan
makanan-jadi.
Artinya,
masyarakat
umumnya
mempunyai
ketergantungan yang kuat terhadap padi-padian (beras) dan makanan-jadi sebagai sumber karbohidrat. Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran dari padi-padian dan makanan-jadi masing-masing sekitar 20,55 persen dan 16,02 persen. Namun, dalam perkembangannya pangsa pengeluaran pangan tersebut mengalami pergeseran. Pangsa pengeluaran padi-padian mengalami penurunan menjadi 17,34 persen, sebaliknya pangsa pengeluaran makanan-jadi meningkat menjadi 18,78 persen pada tahun 2011. Dengan meningkatnya konsumsi makanan-jadi, bisa diindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola konsumsi di masyarakat yang cenderung lebih menyukai makanan-jadi. Seiring dengan meningkatnya konsumsi makanan-jadi, pertumbuhan industri makanan-jadi dan minuman di Indonesia juga menunjukkan peningkatan omzet tiap tahun. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mencatat bahwa nilai penjualan makanan dan minuman pada tahun 2011 mencapai Rp 660 triliun dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp 700 triliun.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
55
Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Penduduk Indonesia ( persen) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Pangan
2002
Padi Umbi-umbian Kedele Daging Telur Susu Ikan Sayuran Buah Makanan Jadi Gula Jagung Lain-lain TOTAL
2005
20,55 1,15 2,49 5,12 3,10 2,51 9,34 8,17 4,96 16,02 2,60 0,44 23,55 100,00
16,65 1,37 2,46 4,83 2,85 3,01 9,80 8,13 4,13 18,33 2,83 0,37 25,24 100,00
2008
2009
19,53 1,26 2,29 3,61 3,40 2,57 8,77 8,37 4,61 18,06 1,71 1,15 24,67 100,00
18,11 1,26 2,45 3,66 2,73 3,55 9,30 8,06 4,06 20,92 2,29 0,33 23,28 100,00
2010 17,74 1,18 2,28 3,96 2,60 3,39 9,27 7,79 5,03 20,86 2,72 0,35 22,83 100,00
2011 17,34 1,75 1,95 4,07 2,42 3,11 10,53 8,77 4,77 18,78 2,44 0,24 23,83 100,00
Sumber: Data Susenas (BPS) Disamping itu, meningkatnya konsumsi makanan-jadi juga diikuti oleh kenaikan impor produk-produk makanan dan minuman di dalam kemasan. Pada tahun 2010 impor produk makanan dan minuman mencapai USD2.439,6 juta atau meningkat sebesar 78,4 persen dibandingkan dengan tahun 2009 senilai USD 1.367,3 juta. Para pengusaha di sektor industri makanan dan minuman juga mengkhawatirkan arus barang impor ilegal yang marak beberapa tahun belakangan ini. Menurut GAPMMI, impor ilegal pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 10-15 persen dari total produk barang yang beredar di pasaran. Pada dasarnya makanan-jadi banyak digemari karena kepraktisannya. Teknologi pangan yang berkembang pesat telah memudahkan konsumen untuk menyantap beragam produk pangan kapan saja dengan cita rasa yang bervariasi. Namun di sisi lain teknologi pangan akan menyebabkan semakin menumbuhkan kekhawatiran akan tingginya risiko tidak aman dari makanan yang dikonsumsi. Teknologi pangan telah
mampu membuat
makanan-makanan sintetis dan
menciptakan berbagai macam zat pengawet makanan. Zat-zat kimia tersebut merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk-produk makanan sehingga produk tersebut menjadi lebih awet, indah, lembut dan lezat. Produk-produk ini lebih disukai konsumen untuk dikonsumsi.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
56
Tabel 4.2. Dinamika Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (kg/kapita/tahun) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Pangan Beras Jagung Ikan Telur Susu Ubi kayu Ubi Jalar Kedelai Kc. Tanah Gula Daging
2002 101,50 3,64 18,01 5,97 1,44 12,17 2,67 6,85 1,09 10,35 19,80
2005 101,40 3,36 20,62 6,48 1,78 11,67 4,12 6,81 1,12 9,63 22,03
2008 96,19 3,33 19,02 6,42 2,06 10,65 3,42 5,74 0,84 9,42 18,95
2009 94,00 2,49 17,87 6,55 1,88 7,99 3,07 5,68 0,70 8,95 17,38
2010 93,71 2,36 18,87 7,50 1,95 7,48 3,37 5,65 0,78 8,75 19,76
2011 93,02 1,57 22,24 7,25 1,83 8,07 6,16 5,13 0,50 8,77 20,52
Sumber: Data Susenas (BPS), diolah Hasil analisis data Susenas juga menunjukkan bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia turun dari 101,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 93,01 kg/kapita/tahun pada tahun 2011 atau turun sebesar 9,1 persen (Tabel 4.2). Dibandingkan dengan konsumsi beras di antara negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Malaysia yang hanya berkisar 65-70 kg per/kapita/tahun, konsumsi beras di Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Demikian juga komoditas strategis lainnya seperti Jagung, Kedelai dan Gula masing-masing dari 3,64 kg, 6,85 kg, dan 10,35 kg per kapita per tahun pada tahun 2002 turun masing-masing menjadi 1,57 kg, 5,13 kg, dan 8,77 kg per kapita per tahun. Sebaliknya, konsumsi daging dari 19,8 kg menjadi 20,52 kg per kapita per tahun atau meningkat 3,1 persen. Dengan jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, serta persaingan sumberdaya lahan yang semakin ketat, tentu konsumsi pangan yang masih tetap didominasi oleh beras sebagai sumber karbohidrat akan cukup memberatkan bagi upaya pemantapan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Berbagai pihak menilai bahwa masih tingginya konsumsi beras antara lain disebabkan oleh program diversifikasi pangan seperti ubikayu, jagung dan ubi-ubian lain yang belum berlangsung optimal. Bahkan konsumsi jagung, ubi kayu, kedelai dan kacang tanah mengalami penurunan selama periode 2005-2011 dibanding pada tahun 2002. Hal ini dapat dipahami karena bahan pangan pokok di Indonesia adalah beras. Konsumsi yang tadinya berbahan pokok non-beras seperti sagu, jagung, ubikayu,
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
57
dan ubi-ubian lain hampir semua beralih ke beras, sehingga jumlah produk nonberas yang dikonsumsi masyarakat menjadi berkurang. Perilaku rumahtangga dalam melakukan konsumsi pangan tidak terlepas dari pengaruh faktor sosial dan ekonomi. Artinya, bagi rumahtangga yang berpendapatan rendah, pola konsumsi pangannya mengarah kepada pangan pokok yang berbasis potensi lokal dan variasi jenis pangan kurang mendapat perhatian. Dalam hal ini pendapatan merupakan cermin dari daya beli sehingga kuantitas dan kualitas barang yang dapat dibeli juga tergantung pada daya beli. Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka kemampuan atau daya beli juga semakin tinggi, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pangan yang dikonsumsi. Tabel 4.3. Besaran Pengeluaran Pangan Penduduk Indonesia menurut Kelas Pengeluaran (Rp/kapita/tahun) Kelas
2002
2005
2008
2009
2010
2011
I
355.3901.459.876
953.7011.698.525
499.8582.294.853
628.5003.136.383
517.8202.836.375
427.7003.205.510
II
1.459.8801.951.501
1.698.5502.328.667
2.294.9673.172.338
3.136.4504.235.000
2.836.6004.014.080
3.205.5134.507.867
III
1.951.5862.620.537
2.328.7503.196.920
3.172.4104.325.870
4.235.1505.687.000
4.014.3205.665.067
4.507.9366.269.199
IV
2.620.5513.977.720
3.197.0334.935.400
4.325.8756.490.300
5.687.0008.473.533
5.665.1258.556.388
6.269.2009.459.467
V
3.978.160305.848.400
4.935.550320.051.680
6.490.620370.067.627
8.474.400285.507.200
855.7292330.259.880
9.459.467959.538.940
Sumber: Data Susenas (BPS), diolah. Dalam kajian ini perilaku rumahtangga dalam melakukan konsumsi pangan juga dianalisis berdasarkan pengeluaran rumahtangga yang dikelompokkan menjadi 5 kelas (Tabel 4.3). Informasi ini merupakan bahan sangat penting untuk memahami kondisi aktual kesinambungan variasi pangan yang dikonsumsi masyarakat. Secara umum pola konsumsi pangan kelompok kelas pengeluaran I-IV masih didominasi oleh beras, seperti disajikan pada Gambar 4.2 sampai dengan Gambar 4.7. Sebaliknya, penduduk dengan kelas pengeluaran V lebih mendominasi untuk mengkonsumsi makanan-jadi. Pada tahun 2002 pangsa pengeluaran makanan-jadi untuk kelompok kelas pengeluaran V adalah sebesar 24,5 persen. Konsumsi ini meningkat menjadi 26,4 persen (2005), 25,9 persen (2008), 30,1 persen (2009), 29,3 persen (2010) dan 26,9 persen (2011). Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
58
Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran Pangan 2002
Gambar
4.3.
Pangsa
Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran Pangan 2005
Pengeluaran
Pangan 2008
Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran Pangan 2008
Gambar 4.6. Pangsa Pengeluaran Pangan 2010
Gambar 4.5. Pangsa Pengeluaran Pangan 2009
Gambar 4.7. Pangsa Pengeluaran Pangan 2011
Secara teoritis ada hubungan positif antara tingkat pendapatan dengan jumlah permintaan akan pangan yang lebih baik, dan sebaliknya untuk pangan pengganti. Sebagai contoh semakin meningkatnya pendapatan seseorang, maka konsumsi beras
akan meningkat, sebaliknya konsumsi umbi-umbian akan
berkurang. Tingkat pendapatan keluarga itu sendiri merupakan gambaran daya beli. Makin tinggi daya beli keluarga, sekurang-kurangnya akan berpengaruh terhadap tiga hal, yaitu: (1) makin beranekaragamnya pangan yang dikonsumsi, (2) makin Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
59
banyaknya pangan yang dikonsumsi yang mempunyai nilai gizi tinggi, dan (3) cenderung menurunnnya proporsi pendapatan yang digunakan untuk komoditi pangan. 4.2.
Pola Konsumsi Energi Pangan Gambar 4.8 menyajikan data konsumsi energi pangan harian rata-rata per
kapita per hari penduduk Indonesia. Selama periode 2002-2011, konsumsi energi pangan berfluktuasi namun selalu berada di bawah 2.200 kkal. Konsumsi energi pangan tertinggi adalah 2.146 kkal (97,5 persen) yang terjadi pada tahun 2005, namun pada periode berikutnya (2008-2011) konsumsi energi pangan turun dari 2.115 kkal menjadi 2.012 kkal atau rata-rata penduduk Indonesia kekurangan sekitar 8-9 persen asupan energi pangan selama periode tersebut.
2,500
Energi (kkal)
2,000 1,500 1,000 500 -
2002
2005
2008
2009
2010
2011
Energi (kkal)
2,089
2,146
2,115
2,019
2,027
2,012
PPHN
2,200
2,200
2,200
2,200
2,200
2,200
Rasio thd 2200
95.0%
97.5%
96.2%
91.8%
92.1%
91.4%
Gambar 4.8. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia per Kapita per Hari (Sumber: Data Susenas, BPS, diolah) Apabila konsumsi energi pangan harian tersebut dilihat dari beberapa komoditas utama, seperti padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacangkacangan, sayur dan buah, bumbu-bumbuan dan lainnya, maka dapat diketahui kondisi aktual keseimbangan asupan energi pangan penduduk Indonesia, seperti terlihat pada Gambar 4.9. Dengan membandingkan kondisi aktual asupan energi tersebut dengan susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional (Tabel 4.4), terlihat bahwa konsumsi padi-padian dalam kisaran 42-47 persen yang mendekati PPH tetapi lebih dekat pada batas minimumnya. Hal ini berarti konsumsi padi-padian Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
60
hampir memadai, sementara konsumsi umbi-umbian berkisar antara 2-3 persen, yang berarti belum memadai. Tabel 4.4. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional (kkal/kap/hari) Energi persen Konsumsi (kkal) PPH (g/kap/hari) 1. Padi-padian 1.100 50 300 2. Umbi-umbian 132 6 100 3. Pangan hewani 264 12 150 4. Kacang-kacangan 110 5 110 5. Gula 110 5 30 6. Sayur dan Buah 132 6 250 7. Bumbu-bumbuan 66 3 0 8. Lain-lain 286 13 91 Total 2.200 100 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 Jenis Pangan
Bobot
Skor PPH
0,5 0,5 2,0 0,5 0,5 5 0 1
25,0 3,0 24,0 2,5 2,5 30,0 0 13,0 100
Selanjutnya, asupan energi pangan, seperti pangan hewani (5-7,1 persen), kacang-kacangan (2-3,3 persen), gula (4-4,7 persen), sayur dan buah (3,9-4,7 persen) masih sangat kurang memadai. Hal ini memberikan gambaran bahwa pada periode
2002-2011
program
diversifikasi
pangan
belum
optimal,
karena
permasalahan sebagai berikut: (1) Konsumsi energi di bawah 2.200 kkal; (2) Konsumsi padi-padian hampir memadai; (3) Konsumsi umbi-umbian rendah; (4) Konsumsi pangan hewani terlalu rendah; dan (5) Konsumsi kacangan-kacangan, sayuran dan buah, terlalu rendah. Dilihat dari total konsumsi energi pangan penduduk menurut kelas pengeluran (Tabel 4.5), penduduk kelas pengeluaran I-III mengkonsumsi energi pangan masih di bawah 2.200 kkal. Sebaliknya, konsumsi energi pangan penduduk dengan kelas pengeluaran IV dan V melebihi PPH. Dengan demikian, program diversifikasi pangan seyogyanya diarahkan pada penduduk kelas pengeluaran I-II dengan cara mengoptimalkan keseimbangan konsumsi energi dari beberapa kelompok pangan (Gambar 4.9), yaitu: (1) Padi-padian, (2) Umbi-umbian, (3) Pangan hewani, (4) Kacang-kacangan, (5) Gula, dan (6) Sayuran dan buah. Total kontribusi energi yang diharapkan dari ke lima kelompok pangan ini adalah sebesar 1.848 kkal (84 persen).
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
61
(1) Padi-padian
(2) Umbi-umbian
(3) Pangan Hewani
(4) Kacang-kacangan
(5) Gula
(6) Sayur dan buah
Bumbu-bumbuan
Lain-lain
Gambar 4.9. Konsumsi Energi Pangan dari Beberapa Jenis Kelompok Bahan Pangan Penduduk Indonesia (Sumber: Data Susenas, BPS, diolah) Asupan
energi
pangan
seperti
terlihat
pada
Gambar
4.9
di
atas
mencerminkan bahwa susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif belum terpenuhi secara optimal. Bahkan situasi kualitas konsumsi pangan di tengah masyarakat Indonesia masih dirasakan kurang beragam dan bergizi seimbang. Padahal komsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
62
Tabel 4.5. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia menurut Kelas Pendapatan (kkal/kapita/hari) Tahun 2011. Kelas
2002
2005
2008
2009
2010
2011
I II III IV V
1.684 1.942 2.113 2.271 2.436
1.639 1.958 2.139 2.331 2.642
1.702 1.977 2.175 2.295 2.427
1.622 1.892 2.050 2.186 2.337
1.626 1.868 2.048 2.217 2.376
1.615 1.841 2.012 2.192 2.398
Sumber: Data Susenas (BPS), diolah. Dalam kajian ini indikator kualitas konsumsi pangan ditunjukkan oleh skor PPH yang dipengaruhi oleh keragaman dan keseimbangan konsumsi antar kelompok makanan. Menurut Susenas, tingkat PPH di Indonesia pada periode tahun 2002, dan 2005-2011 mengalami fluktuasi (Gambar 4.10). Hal ini diindikasikan oleh terjadinya penurunan Skor PPH dari padi-padian, yaitu 25,1 pada tahun 2002 menjadi 23,45 pada tahun 2011. Penurunan skor PPH juga terjadi pada konsumsi umbi-umbian dan gula. Skor PPH untuk konsumsi umbi-umbian turun dari 1,4 (2002) menjadi 0,9 (2011). Demikian juga Skor PPH untuk konsumsi gula turun dari 2,5 menjadi 2,2 pada periode yang sama. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, dan diikuti juga dengan meningkatnya konsumsi terigu yang merupakan bahan pangan impor. Sementara itu, konsumsi pangan lainnya masih belum memenuhi komposisi ideal yang dianjurkan, seperti pada kelompok umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah. Selama ini, energi yang dikonsumsi oleh masyarakat masih bertumpu pada pangan sumber karbohidrat, terutama dari padi-padian. Pangsa dari padi-padian mencapai lebih dari 60 persen. Walaupun pangsa tersebut menurun dari tahun ke tahun, penurunannya sangat kecil seperti terlihat pada Gambar 4.9. Pangsa yang demikian besar, tidak sesuai dengan pola pangan yang dituangkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH), karena dalam PPH pangsa energi dari kelompok padipadian yang ideal adalah 50,0 persen.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
63
Padi-padian
Umbi-umbian
25.5 25.0
1.8 1.4
24.5 23.9
23.5
1.2
1.0 23.6
23.45
23.3
23.0
1.5
1.4
1.2
24.3
24.0
1.7
1.6
25.1
0.8 0.6 0.4
22.5
0.2
22.0
0.0 2002
2005
2008
2009
2010
2011
2002
2005
Pangan hewani
2008
2009
2010
2011
Kacang-kacangan
18.0
2.5
16.0 14.0 12.0
0.9
0.8
14.0 12.4
13.6
15.6
14.6 13.2
2.0
2.0 1.8
1.7
1.5
10.0 8.0
1.4
1.5
1.4
1.0
6.0 4.0
0.5
2.0 0.0
0.0 2002
2005
2008
2009
2010
2011
2005
2002
Gula
2009
2010
2011
Sayur dan Buah
2.60 2.50
2008
25.0 24.5
24.0
2.50
2.40
23.0
2.30
22.0 2.25
2.20
2.25 2.15
2.10
2.20
2.15
20.0
2.00
22.0
21.0 20.5
20.5
22.0
21.0
19.0
1.90
18.0 2002
2005
2008
2009
2010
2011
2002
2005
2008
2009
2010
2011
Gambar 4.10. Skor Aktual Pola Pangan Harapan (PPH) (Sumber: Data Susenas, BPS, diolah) 4.3.
Ketersedian Energi Pangan Gambaran pola ketersediaan energi pangan berikut ini merupakan ringkasan
dari hasil kajian yang dilakukan oleh Budi (2012). Kajian ini telah membagi 4 kelompok bahan pangan untuk setiap penduduk Indonesia periode 2000-2010. Keempat kelompok pangan ini terbagi atas 9 komoditas, yaitu: (1) Kelompok Padipadian, terdiri dari beras dan jagung, (2) Kelompok Pangan Hewani terdiri dari Ikan, Telur, dan Susu, (3) Kelompok Umbi-umbian terdiri dari Ubi Kayu dan Ubi Jalar, dan (4) Kelompok Kacang-kacangan terdiri dari Kedelai dan Kacang Tanah. Nilai energi (kalori) dihitung dari setiap komoditas tersebut berdasarkan pada kandungan 3 Gizi Makronya, yakni: Karbonhidrat, Protein dan Lemak. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
64
Dengan mengacu pada hasil kajian tersebut,
ketersedian energi pangan
pada periode 2002 dibawah 2.200 kkal, tertinggi 2.861 kkal pada tahun 2010. Ketersedian energi pangan rata-rata selama periode 2002-2011 adalah sebesar 2.584 kkal atau 117 persen bila dibagi 2.200 kkal (Gambar 4.11). Dengan demikian, bila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 2.200 kkal maka sejak 2005 terjadi kesinambungan surplus energi pangan. 3,500
Energi (kkal)
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 -
2002
2005
2008
2009
2010
Rata2
Energi Total (kkal)
2,107
2,465
2,688
2,798
2,861
2,584
PPHN (kkal)
2,200
2,200
2,200
2,200
2,200
2200
95.8
112.0
122.2
127.2
130.0
117.4
Rasio thd 2200 (%)
Gambar 4.11. Pola Ketersedian Energi Pangan Dari 4 Kelompok Bahan Pangan (Sumber: BPS; Kementan dan DKP) Gambar 4.12 memperlihatkan data tentang pola ketersediaan energi pangan untuk setiap kelompok bahan pangan. Terlihat bahwa sejak 2002, ketersediaan energi pangan dari Padi-padian dan Umbi-umbian melebihi batas maksimumnya. Sementara ketersedian energi dari Pangan Hewani dan Kacang-kacangan masingmasing berada di antara kedua batas minimum dan maksimumnya. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran bahwa pada periode 2002-2010, ketersedian energi dari keempat kelompok bahan pangan sudah memadai. Namun demikian terdapat masalah pada keseimbangannya, dimana persentase ketersedian energi dari: (1) Padi-padian terlalu tinggi, (2) Pangan Hewani terlalu rendah, (3) Umbiumbian terlalu tinggi, dan (4) Kacang-kacangan terlalu rendah.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
65
Umbi-umbian
2,500
600
2,000
500 400
Energi (kkal)
Energi (kkal)
Padi-padian
1,500 1,000
300 200
500 -
100 2002
2005
2008
2009
2010
Rata2
Energi Total (kkal)
1,619
1,661
1,808
1,909
1,948
1,789
Max (kkal)
1,320
1,320
1,320
1,320
1,320
Min (kkal)
880
880
880
880
880
0
2002
2005
2008
2009
2010
Rata2
Energi Total (kkal)
397
434
468
470
503
454.4
1,320
Max (kkal)
176
176
176
176
176
176
880
Min (kkal)
2.2
2.2
2.2
2.2
2.2
2.2
Pangan Hewani
250 200 Energi (kkal)
Energi (kkal)
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Kacang-kacangan
150 100 50
2002
Energi Total (kkal)
2005
2008
2009
2010
Rata2
267
320
316
312
303.75
0
2002
2005
2008
2009
2010
Rata2
Energi Total (kkal)
90
103
93
102
98
97.2
Max (kkal)
440
440
440
440
440
440
Max (kkal)
220
220
220
220
220
220
Min (kkal)
110
110
110
110
110
110
Min (kkal)
44
44
44
44
44
44
Gambar 4.12. Pola Ketersedian Energi Pangan, Tahun 2002-2010 (Sumber: BPS, Kementan dan DKP)
Apabila ketersedian energi pangan tersebut dihubungkan dengan konsumsi energi maka keempat kelompok pangan tersebut masing-masing memiliki kelebihan energi seperti disajikan pada Tabel 4.6. Kelebihan energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). Dengan demikian dilihat dari sisi ketersediaan energi, program diversifikasi pangan seyognya diarahkan juga untuk meningkatkan ketersedian
Pangan
Hewani
dan
Kacang-kacangan
agar
persentase
ketersediaannya juga meningkat.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
66
Tabel 4.6. Pola Ketersedian dan Konsumsi Energi Bahan Pangan Penduduk Indonesia, Tahun 2010. Kelompok Pangan
Tersedia
Energi (kkal) Konsumsi
1. Padi-padian 1.948 2. Umbi-umbian 503 3. Pangan Hewani 312 4. Kacang2-an 98 Total 2.861 Sumber: Data Susenas (BPS), diolah 4.4.
Surplus
956 47 147 56 1.206
992 456 165 42 1.655
Pola Diversifikasi Tingginya dominasi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia
hingga saat ini merupakan salah satu penyebab masih rendahnya kualitas konsumsi pangan nasional, yaitu belum beragam dan bergizi seimbang, yang diindikasikan oleh skor PPH. Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padipadian sebesar 944 kkal/kap/hari atau mencapai 86 persen terhadap total energi padi-padian (1.100 kkal/kap/hr) pada tahun 2011. Beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak hanya telah membudaya dalam pola konsumsi pangan masyarakat, namun juga dianggap memiliki citra pangan yang lebih baik dari sisi sosial. Sementara komoditas sumber masyarakat
karbohidrat
lainnya
yang
biasa
dikonsumsi
sebagian
di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan
perkembangan ekonomi dan teknologi. Hal ini tercermin pada Tabel 4.7, dimana pola diversifikasi pangan penduduk Indonesia masih terdapat ketimpangan, antara lain masih tingginya konsumsi padi-padian, terutama beras dan rendahnya konsumsi pangan umbi-umbian (Ubi kayu dan Ubi jalar). Pada Tabel 4.7 juga terlihat bahwa konsumsi terigu dan turunannya mengalami peningkatan dari 37,5 kg/kap/tahun menjadi 50,2 kg/kap/tahun atau meningkat 25.30 persen selama periode 2002-2005. Hal ini terjadi karena keberhasilan sosialisasi dan promosi produk mie instan sehingga memicu kenaikan konsumsi tepung terigu. Kondisi ini juga yang mengakibatkan impor tepung terigu meningkat dan berujung pada penggerusan devisa negara. Namun demikian, sejak
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
67
tahun 2008 konsumsi terigu dan turunannya mengalami penurunan dari 47,5 kg/kap/tahun menjadi 40,9 kg/kap/tahun pada tahun 2011. Tabel 4.7. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat: Beras, Umbi-umbian dan Terigu, Tahun 2002-2011 (kg/kap/tahun). Tahun
Beras
Ubi Kayu
Ubi Jalar
2002 101,5 12,2 2005 101,4 11,7 2008 96,2 10,7 2009 94,5 7,1 2010 93,7 7,5 2011 93,0 8,1 Sumber: Data Susenas (BPS), diolah
2,7 4,1 3,4 1,4 3,4 6,2
Sagu 120,0 176,3 3,7 0,2 2,5 5,4
Umbi lainnya 49,3 72,6 16,2 8,9 12,3 17,1
Terigu dan turunannya 37,5 50,2 47,5 45,8 44,9 40,9
Sementara itu, sumber-sumber protein seperti Daging, Telur, Susu dan kedelai juga mengalami fluktuasi selama periode tahun 2002-2011 (Tabel 4.8). Pada tabel tersebut terlihat bahwa perubahan tingkat konsumsi daging dari 19,8 Kg/kap/tahun pada tahun 2002 menjadi 20,52 kg/kap/tahun pada tahun 2011. Dibandingkan dengan proyeksi Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2012, konsumsi daging dunia telah mencapai 42,5 kg/kap/tahun. Bahkan di negera-negara berkembang konsumsi daging sekitar 32,7 kg/kap/tahun. Demikian pula tingkat konsumsi susu di Indonesia mencapai 1,83 kg/kap/tahun pada tahun 2011, sedangkan di Malaysia sudah mencapai 20 kg/kap/tahun dan bahkan Amerika mencapai 100 kg/kap/tahun. Selanjutnya, konsumsi telur di Indonesia sekitar 7,25 kg/kap/tahun, sementara di Thailand mencapai 9,9 kg/kapita/tahun. Tidak hanya tingkat konsumsi daging, telur dan susu yang rendah, tetapi juga konsumsi kedelai. Padahal pangan tersebut mempunyai peran yang penting dalam asupan gizi masyarakat, terutama dalam pemenuhan protein. Jika kondisi seperti ini tidak segera ditangani dengan serius, maka masalah yang lebih besar akan dihadapi, yaitu hilangnya generasi penerus masa depan akibat kekurangan protein.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
68
Tabel 4.8. Konsumsi Pangan Sumber Protein: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai, Tahun 2002-2011 (kg/kap/tahun). Tahun
Daging
Telur
Susu
Kedelai
2002 19,80 5,97 2005 22,10 6,48 2008 18,96 6,42 2009 18,09 6,88 2010 19,76 7,50 2011 20,52 7,25 Sumber: Data Susenas (BPS), diolah
1,44 1,78 2,06 1,92 1,95 1,83
6,85 6,81 5,74 6,28 5,65 5,13
Pada dasarnya, permasalahan utamanya diversifikasi pangan di Indonesia adalah ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan dan penyediaan produksi /ketersediaan pangan di masyarakat. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan. Sementara konsumsi dilakukan oleh semua penduduk setiap saat. Selain itu, masalah distribusi pangan terutama menyangkut sarana transportasi (jalan, angkutan), pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi pengolahan untuk memudahkan distribusi pangan antar wilayah masih sering menjadi masalah dalam pengembangan diversifikasi pangan. Sebenarnya, program diversifikasi pangan telah diluncurkan sejak tahun 1974 dan disempurnakan dengan Inpres 20/1979. Namun sampai saat ini belum terlaksana secara efektif karena banyak hal yang menjadi kendala dalam program ini. Menurut Hariyadi et al (2004), setidaknya ada beberapa kendala dalam upaya melakukan diversifikasi pangan, yaitu sebagai berikut. Pertama, tingkat pengetahuan masyarakat terutama kelas menengah dan bawah, yang merupakan 80 persen dari total penduduk, masih relatif rendah. Kondisi seperti ini jelas menjadi kendala yang sangat besar dalam proses komunikasi. Mereka tidak mudah memahami suatu pesan yang relatif kompleks. Kedua, budaya makan adalah kebiasaan yang sulit diubah. Bila tidak ada perubahan besar pada lingkungan eksternal, masyarakat akan cenderung mempertahankan kebiasaan yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Seseorang mengatakan
belum
makan
apabila
belum
makan
nasi,
walaupun
sudah
mengkonsumsi berbagai makanan alternatif.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
69
Ketiga, sudah sejak lama, secara sengaja atau tidak sengaja, beras telah diposisikan sebagai makanan unggulan, dimana beras adalah simbol kemakmuran. Masyarakat yang belum mampu mengkonsumsi beras dianggap sebagai kelompok yang belum makmur. Beras juga diposisikan sebagai komoditas politik. Keberhasilan pemerintah dalam bidang pangan, diukur dari kemampuan untuk menyediakan beras semata. Ada kesan yang kuat bahwa ketersediaan beras adalah hal fundamental untuk menjaga kestabilan politik. Keempat, harus diakui bahwa beras memiliki rasa yang relatif enak. Dengan kata lain, berbagai bahan makanan alternatif lain belum mampu meyakinkan lidah sebagian besar masyarakat Indonesia. Keunggulan lain dari nasi adalah kandungan gizinya yang cukup baik, mudah diperoleh, lebih tahan disimpan dalam waktu cukup lama, mudah memasaknya (ccoking ease, terutama wanita yang bekerja di luar rumah), dan kompatibilitasnya (dengan lauk apa saja tetap enak). Inovasi dalam bidang alternatif pangan yang lain relatif terlambat. Keberhasilan mie siap saji merupakan fenomena yang dapat dijadikan contoh bagi alternatif pangan yang lain, sementara beberapa bahan alternatif pangan lain relatif tidak terjangkau harganya. Tidak mengherankan jika proses penganekaragaman pangan sangat mudah terjadi untuk masyarakat golongan atas. Masyarakat yang mempunyai penghasilan yang pas-pasan akan lebih memilih makanan yang sesuai dengan kondisi daya beli mereka. Mereka cenderung makan beras dalam jumlah yang banyak dan mengorbankan sebagian makanan komplemen termasuk lauk pauknya. Kelima, adalah masalah ketersediaan. Saat ini proses produksi dan distribusi pangan banyak difokuskan pada beras. Tidak mengherankan, ketersediaan pangan alternatif seringkali dianggap sebagai pelengkap saja. Keenam, adalah tidak maksimalnya peran berbagai stakeholder di luar pemerintah. Tidak cukup insentif bagi industri untuk mengembangkan pangan alternatif. Lembaga-lembaga riset juga belum maksimal dalam melakukan studi-studi pengembangan alternatif pangan. Stakeholder lain seperti media massa, seringkali tidak memberikan dukungan yang maksimal pula dalam memberikan informasi mengenai alternatif pangan. Ketujuh, komitmen yang belum maksimal. Diakui atau tidak, program penganekaragaman selama ini masih sering bersifat sporadis dan reaktif. Kurangnya Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
70
komitmen ini juga terlihat tidak adanya sasaran yang jelas seperti berapa persen peran beras harus diturunkan sebagai makanan sumber karbohidrat di masa mendatang. Dengan mengetahui kendala-kendala diversifikasi pangan seperti ini, diharapkan program diversifikasi pangan akan mudah dilaksanakan pada semua tingkatan. Hal ini juga menuntut peran pemerintah untuk terus mengkampanyekan pentingnya diversifikasi pangan serta memberikan bimbingan teknis dan insentif ekonomi dari pangan pokok beras kepada pangan pokok lokal lainnya, atau dengan kombinasi untuk mengurangi konsumsi beras antara lain dengan jagung, sagu, jagung, ubi dan sebagainya. 4.5.
Kebijakan Diversifikasi Pangan Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat
nasional, regional (daerah) dan keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut (Rahardjo, 1993). Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Yang menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga pernah populer istilah ”beras-jagung”. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu: (1) Campuran beras dengan jagung; dan (2) Penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu. Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Inpres 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR), yang disempurnakan melalui Inpres 20/1979. Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat, baik secara kualitas maupun kuantitas, sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan bahan baku non-beras seperti dari sagu, Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
71
jagung, ubikayu atau ubijalar, dengan harapan masyarakat akan beralih pada pangan non-beras. Namun kenyataanya usaha tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non-beras dan mengubah pola pangan pokok masyarakat. Setelah sekian lama tidak terdengar gemanya, secara eksplisit baru pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai menggarap diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG). Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena terjadi krisis pangan, DPG dilakukan pada saat Indonesia sudah pernah mencapai swasembada beras, dan masyarakat tergantung pada beras. Program DPG bertujuan untuk: (1) Mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga; dan (2) Mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat
terutama
di
pedesaan
untuk
mengkonsumsi
pangan
yang
beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan sasaran wilayah program yang terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga (Irawan et al, 1999). Kemudian pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi pangan pokok. Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan untuk menyediakan aneka ragam kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu pemanfaatan pekarangan/kebun di sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif. Pembinaannya juga tidak terbatas pada aspek budidaya tetapi juga meliputi aspek pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat
(Program
DPG
Pusat,
1998).
Departemen
Kesehatan
juga
melaksanakan program diversifikasi konsumsi pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi, yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia (Kodyat, 1998; Kodyat et al, 1998). Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
72
berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh, gerakan sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan ”Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI)". Pada tahun 1996 juga telah lahir Undang-undang No. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Kepres ini kemudian diperbaharui melalui Perpres 83/2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan, yang mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan, termasuk tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan. Dalam
usaha
mewujudkan
ketahanan
pangan
pada
umumnya
dan
diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam UU 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini salah satunya bertujuan untuk menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam (Krisnamurthi, 2003). Dengan
semakin disadarinya
bahwa
diversifikasi konsumsi
pangan
merupakan tuntutan yang penting untuk dilaksanakan, maka berbagai kegiatan pembangunan
ketahanan
pangan
dilaksanakan
dalam
rangka
percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan. Kegiatan promosi/kampanye dilakukan melalui iklan layanan masyarakat, poster, baliho, leaflet, komik dan lain- lain. Hampir semua provinsi dan kabupaten/kota telah mengeluarkan aturan/edaran tentang upaya penganekaragaman konsumsi berbasis sumber daya lokal. Pengenalan masyarakat terhadap menu pilihan pengganti beras dan terigu baik sebagai pangan pokok maupun kudapan, dilakukan dengan melibatkan para ahli
teknologi
pangan
dari
perguruan
tinggi
dan
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian. Disamping itu upaya peningkatan kualitas konsumsi pangan
dilakukan
melalui
upaya
pemberdayaan
kelompok
wanita
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan dengan menanam sayur dan buah serta
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
73
budidaya ternak kecil melalui pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Bahkan Pemerintah melalui Kementerian Pertanian pada 2014, mentargetkan secara nasional skor untuk PPH penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal dapat mencapai 93.3. Undang-Undang 18/2012 tentang Pangan juga memberi arahan bahwa untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman serta mengembangkan usaha pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, pada tahun 2013 program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal telah diimplementasikan melalui kegiatan, antara lain: (1) Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL); (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); dan (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP Sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal tahun 2010, pada tahun 2013 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL); (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); dan (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP. Melalui tiga kegiatan besar tersebut diharapkan dapat meningkatkan mutu konsumsi pangan masyarakat untuk membentuk pola konsumsi pangan yang baik. Disamping itu perlu dijalin kerja sama kemitraan dengan pihak swasta yang antara lain bisa berupa Corporate Social Responsibility (CSR)/Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), baik di bidang pangan maupun bidang lainnya, seperti pendidikan. PKBL memerlukan sosialisasi, baik kepada anak usia dini maupun ke kelompok wanita dan masyarakat, dalam konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman. Gerakan P2KP sangat jelas di lapangan, terutama pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, baik itu melalui integrasi berbagai kegiatan dalam mewujudkan pengembangan
ekonomi
daerah,
maupun
dari
segi
pelaksanaan
dan
pembiayaannya. Selain itu, gubernur dan bupati/walikota sebagai integrator utama memiliki peranan penting dalam mengkoordinasikan gerakan P2KP, khususnya terhadap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai agen pembawa perubahan (agent of change). Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
74
BAB V PERKEMBANGAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN STRATEGIS SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
5.1.
Perkembangan Permintaan dan Penawaran
5.1.1. Perkembangan Permintaan Permintaan/konsumsi lima komoditas pangan yang dianalisis mengalami laju pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen per tahun (Tabel 5.1). Laju pertumbuhan permintaan tersebut melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun pada kurun waktu yang sama. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cepat dari industri pengolahan makanan, minuman, dan lain-lain, yang menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan baku atau bahan penolong, antara lain: (1) Industri tepung beras; (2) Industri pakan ternak yang menggunakan jagung sebagai bahan baku; (3) Industri tahu, tempe, dan kecap yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku; (4) Industri roti, kue, dan minuman yang menggunakan gula sebagai bahan penolong; dan (5) Industri bakso, sosis, daging kaleng, dendeng, catering, restoran dan hotel yang menggunakan daging sebagai bahan bakunya. Permintaan akan produkproduk olahan makanan dan minuman merupakan
akibat dari meningkatnya
pendapatan masyarakat, perubahan selera dan makin pentingnya makanan dan minuman yang lebih mudah disiapkan untuk konsumsi (cepat saji). Tabel 5.1.
Perkembangan Konsumsi Lima Komoditas Pangan Strategis, Tahun 2008-2012 (ton).
Tahun
Beras
Jagung
Kedelai
Gula
Daging Sapi
2008 2009 2010 2011 2012 Trend ( persen/th)
38.291.835 40.817.360 42.561.481 43.890.593 45.424.911
16.496.792 17.905.971 19.813.198 20.088.558 21.195.720
2.147.782 2.288.686 2.647.151 2.781.533 2.846.461
3.648.367 3.708.318 3.858.953 4.459.669 5.023.493
395.238 413.083 440.774 488.930 544.894
4,14
6,16
7,58
8,24
8,11
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
75
5.1.2. Perkembangan Penawaran Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), penawaran/produksi lima komoditas pangan yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami laju pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73 persen/tahun) sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun) dan sangat cepat yaitu daging sapi lokal (19,50 persen/tahun), sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.2. Produksi gula pada tahun 2012 memang ada peningkatan, tetapi masih di bawah produksi tahun 2008. Tabel 5.2. Perkembangan Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis, 20082012 (ton). Tahun
Beras
Jagung
2008 38.005.333 16.317.252 2009 40.571.301 17.629.748 2010 41.875.718 18.327.636 2011 41.192.665 17.230.172 2012 43.498.439 19.377.030 Trend ( persen/th) 2,85 3,21 Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
Kedelai 775.710 974.512 907.031 870.068 851.647
Daging Sapi Lokal 222.656 213.477 349.967 410.698 425.495
Gula 2.668.428 2.517.374 2.290.116 2.228.140 2.601.258
0,73
-1,73
19,50
Sumber pertumbuhan produksi adalah pertumbuhan luas areal panen dan pertumbuhan produktivitas, yaitu sebagai berikut: (1) Untuk beras, sumber pertumbuhan produksinya adalah pertumbuhan luas panen (1,99 persen/tahun), sementara pertumbuhan produktivitasnya sangat lambat (0,86 persen); (2) Untuk jagung, sumber pertumbuhan produksinya adalah pertumbuhan produktivitas yang cepat (4,14 persen/tahun), sementara luas areal panennya malahan menurun 0,93 persen/tahun; (3) Untuk kedelai, seperti halnya jagung, sumber pertumbuhan produksinya
adalah
pertumbuhan
persen/tahun), sementara
produktivitas
yang
cukup
cepat
(2,95
luas areal panennya turun cukup cepat yaitu 2,22
persen/tahun; dan (4) Untuk tebu, sumber pertumbuhan produksinya adalah pertumbuhan luas areal panen (1,85 persen/tahun), sementara
produktivitasnya
menurun cepat (3,58 persen/tahun).
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
76
Pertumbuhan produktivitas yang lambat pada padi menunjukkan bahwa inovasi teknologi budidaya tanaman tersebut sudah mendekati jenuh, sementara pertumbuhan produktivitas yang negative pada gula mengindikasikan terjadinya kemunduran di dalam teknologi, baik pada budidaya tebu (makin banyak tanaman tebu ratoon hingga lebih dari 3 kali), maupun proses pengolahan pada industri gula (lebih banyak pabrik gula yang sudah tua). Pertumbuhan produktivitas yang cepat pada jagung dan kedelai merupakan indikasi terjadinya kemajuan teknologi yang cepat, yaitu meluasnya penggunaan benih unggul hibrida pada jagung, dan varietasvarietas baru pada kedelai. Peningkatan produksi daging sapi local yang cepat sejak tahun 2010 hingga 2012 sebenarnya bukan kemajuan yang patut dibanggakan, tetapi sebaliknya menimbulkan kekhawatiran, yaitu makin banyaknya ternak sapi betina produktif yang dipotong. Kecenderungan ini terjadi karena makin terbatasnya pasokan sapi potong jantan untuk konsumsi di daerah-darah sentra sapi potong (NTB dan NTT), sementara pedagang (jagal) ingin mempertahankan eksistensi bisnisnya dan permintaan daging sapi local terus meningkat, dan pemerintah belum mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jika hal ini terus berjalan, maka sumberdaya sapi potong di Indonesia akan terus terkuras, sehingga pada akhirnya ketergantungan pada impor sapi bakalan dan daging sapi akan makin tinggi. 5.1.3. Perkembangan Surplus/Defisit Besaran swasembada merupakan selisih antara produksi dan konsumsi. Jika selisih itu bernilai positif berarti terjadi surplus atau swasembada, sementara jika bernilai negative berarti tejadi defisit atau belum swasembada. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit dan cenderung meningkat cepat (Tabel 5.3). Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat cepat pada beras dan jagung yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68 persen per tahun, gula 24,38 persen dan kedelai 11,23 persen per tahun. Lonjakan deficit pada beras terjadi sejak 2011, jagung sejak 2010 dan gula sejak 2009, sementara peningkatan deficit pada kedelai kurang bergejolak (lebih smooth). Untuk daging sapi, defisit sebenarnya menurun cepat selama 2010-2011, tetapi kemudian meningkat cepat lagi pada tahun 2012. Jika dilihat dari persentasenya, tingkat deficit beras, jagung, kedelai dan gula meningkat dari sekitar 0.75 persen sampai 63,88 Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
77
persen pada tahun 2008 menjadi 4,24 persen sampai 70,08 persen pada tahun 2012, sementara untuk daging sapi menurun dari 43,67 persen pada tahun 2008 menjadi 21,91 persen pada tahun 2012. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pangan Indonesia pada impor masih tinggi. Tabel 5.3. Perkembangan Defisit Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis, 2008-2012 (ton). Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Trend ( persen/th)
5.2.
Beras
Jagung
Kedelai
Gula
-286.502 -246.059 -685.763 -2.697.927 -1.926.472
-179.540 -276.223 -1.485.562 -2.858.386 -1.818.690
-1.372.072 -1.314.174 -1.740.120 -1.911.465 -1.994.814
-979.939 -1.190.944 -1.568.837 -2.231.529 -2.422.235
62,06
69,68
11,23
24,38
Daging Sapi -172.582 -199.606 -90.807 -78.232 -119.399 16,73
Faktor-faktor Determinan Permintaan dan Penawaran
5.2.1. Permintaan Permintaan Langsung Yang dimaksud dengan permintaan-langsung adalah permintaan oleh rumah tangga konsumen. Hasil analisis empiris menunjukkan bahwa permintaan-langsung per kapita per tahun lima komoditas pangan dianalisis (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi) dipengaruhi secara negatif oleh harga komoditas itu sendiri dan secara positif oleh pendapatan konsumen (pendapatan diproksi dengan nilai pengeluran). Hasil ini sesuai dengan teori permintaan. Hasil pendugaan elastisitas konsumsi (permintaan) langsung kelima komoditas tanaman pangan terhadap harganya sendiri dan pengeluaran (proksi pendapatan) dengan mengunakan model LA-AIDS pada tahun 2005, 2007 dan 2011 disajikan pada Tabel 5.4. Pembahasan hasil analisis untuk masing-masing komoditas adalah sebagai berikut. Beras mempunyai nilai elastisitas harga sendiri > 1 (nilai absolut) atau sensitif terhadap adanya perubahan harga pada 2005, namun elastisitas tersebut menurun pada tahun 2007, yaitu menjadi inelastis, dan menurun lagi pada tahun 2011, yaitu makin inelastis. Hal ini mengindikasikan makin sedikit komoditas substitusi beras, Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
78
sehingga program diversifikasi pangan dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya. Elastisitas konsumsi beras terhadap pendapatan rumah tangga (pendapatan diproksi dengan nilai pengeluaran) menunjukkan bahwa beras telah berubah dari barang tuna-nilai (inferior goods) menjadi barang normal. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun karena menu utamanya tergantung pada karbohidrat atau beras yang merupakan
barang normal. Elastisitas harga
untuk beras yang cenderung menurun menjadi makin inelastis menunjukkan bahwa beras merupakan bahan pangan kebutuhan pokok, walaupun pada 2011 elastisitas pendapatan meningkat menjadi 0,083. Tabel 5.4. Elastisitas Harga Sendiri dan Elastisitas Pengeluaran KonsumsiLangsung Komoditas Pangan Strategis Per Kapita. Komoditas
Elastisitas Harga Sendiri
2005 2007 Beras -1,062 -0,894 Jagung -1,834 -1,117 Kedelai -0,554 -1,117 Gula -1,035 -0,912 Daging sapi -1,109 -1,430 Sumber: Data Susenas (BPS), diolah.
2011 -0,811 -0,928 -1,055 -0,845 -1,233
Elastisitas Pengeluaran 2005 2007 2011 -0,037 0,047 0,083 0,223 -0,744 0,101 0,768 0,711 0,255 0,098 0,375 0,224 1,785 1,642 1,478
Jagung mempunyai nilai elastisitas harga sendiri > 1 (nilai absolut), baik pada tahun 2005 maupun 2007, namun nilai elastisitasnya menurun dari 1,834 menjadi 1,117. Pada 2011 nilai elastisitas harga jagung menurun lagi menjadi hanya 0,928. Hal ini merupakan indikasi tentang makin sedikit komoditas substitusi jagung. Sedangkan elastisitas pengeluaran menunjukkan bahwa jagung telah berubah dari barang normal menjadi barang inferior. Kenaikan pendapatan akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap jagung sebagai komoditas pangan substitusi beras. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat Indonesia tidak mengkonsumsi jagung secara langsung, tetapi sebagian besar digunakan sebagai bahan baku industri pakan ternak. Pada 2011, jagung kembali menjadi barang normal dengan nilai elastisitas 0,101. Pada tahun 2005, di antara lima komoditias yang dianalisis, kedelai tergolong komoditas yang inelastis terhadap perubahan harga sendiri. Hal ini karena komoditas tersebut sudah mempunyai segmen pasar tertentu, dimana konsumen akan tetap membelinya karena merupakan kebutuhan pokok. Segmen pasar yang Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
79
dimaksud adalah industri tahu dan tempe. Namun pada tahun 2007 keadaannya berubah, dimana permintaan kedelai menjadi elastis (1,117), demikian juga pada 2011 (1,055). Ini menunjukkan bahwa industri dan konsumen tahu dan tempe sudah mulai merespon terhadap perubahan harga kedelai. Dengan kata lain, permintaan kedelai akan menurun jika terjadi kenaikan harga walaupun elastisitas pengeluaran menunjukkan bahwa kedelai masih
merupakan barang
normal (elastisitas
pengeluaran > 0), yaitu 0,768 (tahun 2005), 0,711 (tahun 2007) dan 0,255 (tahun 2011). Artinya, tingkat konsumsi per kapita masih akan bertambah apabila pendapatan masyarakat meningkat, namun dengan tingkat pertambahan yang menurun. Nilai elastisitas harga sendiri komoditas gula menunjukkan bahwa permintaan komoditas ini cukup responsif terhadap perubahan harganya sendiri, walaupun elastisitas tersebut cenderung menurun, yaitu -1,035; - 0,912 dan - 0,845 masingmasing untuk tahun 2005, 2007 dan 2011. Sebaliknya, elastisitas pengeluaran menunjukkan peningkatan pada tahun 2007, yang berarti gula masih tetap tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan gula akan terus meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. Namun pada 2011 elastisitas pengeluaran menurun menjadi hanya 0,224. Elastisitas harga sendiri daging sapi menunjukkan peningkatan dari 1,109 pada 2005 menjadi 1,430 pada 2007, namun kemudian turun menjadi 1,233 pada 2011. Nilai elastisitas yang semakin tinggi menunjukkan bahwa permintaan daging sapi makin elastis terhadap perubahan harganya sendiri. Hal ini merupakan indikasi bahwa makin banyak produk yang dapat mensubstitusi daging sapi dengan jenisjenis daging lainnya. Nilai elastisitas pengeluaran yang lebih besar daripada 1 menunjukkan bahwa daging sapi masih merupakan produk mewah (luxury goods) untuk masyarakat Indonesia, walaupun elastisitas terhadap perubahan pendapatan menurun dari 1,785 pada 2005 menjadi 1,642 pada 2007 dan turun lagi menjadi 1,478 pada 2011. Menurut hasil penelitian Kustiari et al (2009), hampir semua produk peternakan mempunyai nilai elastisitas harga sendiri dan elastisitas pengeluaran lebih dari satu. Dengan kata lain, produk peternakan dapat dikatakan sebagai barang pangan mewah (bukan pangan pokok) yang permintaannya bersifat elastis terhadap perubahan harganya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa produk Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
80
peternakan merupakan produk pangan yang sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Hal menarik yang bisa dicermati adalah adanya perubahan respon masyarakat terhadap kualitas pangan yang dikonsumsi. Khususnya elastisitas pengeluaran daging sapi yang mengalami penurunan terus-menerus, merupakan fenomena bahwa masyarakat makin menyadari akan pentingnya asupan protein hewani. Permintaan Tidak Langsung Hasil analisis hubungan antara jumlah konsumsi-tidak-langsung dengan jumlah penduduk diperoleh nilai elastisitas sebagai berikut: beras 0,126; jagung 1,996; kedelai 2,669; gula 1,110; dan daging sapi 0,668. Dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk sebesar X persen/tahun, maka proyeksi laju pertumbuhan konsumsi-tidak- langsung per tahun adalah sebesar 0,126*X persen untuk beras; 1,996*X persen untuk jagung; 2,669*X persen untuk kedelai; 1,110*X persen untuk gula; dan 0,668*X persen untuk daging sapi. Nilai elastisitas yang tinggi pada jagung, kedelai, gula dan daging sapi, menunjukkan hubungan yang erat antara konsumsi-tidak-langsung dengan jumlah penduduk. 5.2.2. Penawaran Analisis penawaran/produksi menggunakan model ekonometrik linier dua tahap, yaitu model respon luas panen dan model respon produktivitas, karena produksi merupakan perkalian antara luas panen dan produktivitas. Data yang digunakan adalah time series 1970-2012. Hasil analisis elastisitas luas panen terhadap harga output sendiri dan harga output komoditas pesaing, serta elastisitas produktivitas terhadap harga output sendiri, harga pupuk dan teknologi (diproksi dengan variabel tahun) diperlihatkan pafa Tabel 5.5. Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada gula (0,901). Sementara harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas panen kedelai dengan elastisitas sebesar -0,648, yang artinya kenaikan 10 persen harga Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
81
jagung di tingkat produsen akan menurunkan luas panen kedelai 6,48 persen. Namun luas panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai. Tabel 5.5. Elastisitas Luas Panen dan Produktivitas Komoditas Pangan Strategis Uraian Luas Panen a): Harga riil output sendiri Harga riil output pesaing b) Trend Produktivitas: Harga riil output sendiri Harga riil pupuk Urea Harga riil pupuk TSP/SP36 Trend
Padi
Jagung
Kedelai
Gula
Daging Sapi
0,477 -
0,616 -
0,864 -0,648 -
0,601 -
0,381 0,019
0,209 -0,058 -0,175 0,017
0,103 -0,009 -0,095 0,039
0,112 -0,017 -0,038 0,016
0,403 -0,042 -0,309 0,035
-
Keterangan: a) Luas panen untuk daging sapi adalah produksi b) Harga komoditas pesaing yang berpengaruh nyata hanya harga jagung terhadap luas panen kedelai. Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu 0,103 untuk jagung dan 0,403 untuk tebu. Sementara harga pupuk Urea berpengaruh negatif pada produktivitas semua komoditas, tetapi yang paling besar adalah pada padi karena jenis tanaman ini menggunakan Urea sebagai pupuk utama. Harga pupuk TSP/SP36 juga berpengaruh negatif pada produktivitas padi, jagung dan gula dengan kedelai yang paling rendah dan tebu/gula yang paling tinggi. Variabel Trend sebagai proksi teknologi berpengaruh positif pada produktivitas semua jenis tanaman (padi, jagung, kedelai dan gula). Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh teknologi dengan elastisitas 0,019. 5.3.
Transmisi Harga Harga di tingkat tertentu ditransmisikan ke harga di tingkat tertentu dan
parameter pengaruhnya disebut elastisitas transmisi harga. Dalam analisis ini dihipotesakan bahwa harga produsen, harga impor dalam rupiah dan tari bea masuk Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
82
secara positif ditransmisikan ke harga konsumen. Sementara itu, harga konsumen dan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan harga patokan petani untuk gula dihipotesakan secara positif ditransmisikan ke harga produsen. Hasil analisis transmisi harga ditunjukkan pada Tabel 5.6 untuk harga konsumen dan Tabel 5.7 untuk harga produsen. Harga konsumen semua komoditas dipengaruhi secara positif harga impor dalam rupiah di pelabuhan Indonesia dan TBM (tarif bea masuk). Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663 yaitu untuk gula hingga yang tertinggi sebesar 0,974 yaitu untuk jagung. Ini berarti bahwa sebagian besar perubahan harga impor akan ditrasmisikan ke harga konsumen. Sementara elastisitas trnasmisi TBM ke harga konsumen bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 yaitu untuk beras sampai dengan yang tertinggi yaitu untuk gula.
Implikasinya bagi kebijakan perdagangan adalah bahwa TBM
dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempengaruhi harga beras pangan di tingkat konsumen. Pada tahun 2012, TBM untuk beras dan gula menggunakan tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, sementara untuk tiga komoditas pangan lainnya yaitu jagung, kedelai dan daging sapi menggunakan tarif ad-valorem 5 persen (dari harga impor). Tabel 5.6. Elastisitas Transmisi Harga Impor dan TBM ke Harga Konsumen Komoditas Pangan Strategis. Komoditas Beras Jagung Kedelai Gula Daging Sapi
Harga Impor 0,889 0,974 0,991 0,663 0,818
TBM 0,175 0,224 0,294 0,320 0,250
Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 yaitu untuk gula hingga yang tertinggi sebesar 0,966 yaitu untuk kedelai. Elastisitas trasmisi harga yang tinggi pada kedelai disebabkan sebagian besar kebutuhan konsumsi domestik dipasok dari impor, dimana harga konsumen juga sangat dipengaruhi oleh harga impor. Untuk padi/beras dan tebu/gula, harga produsen juga dipengauhi oleh harga Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
83
ketentuan pemerintah yaitu HPP (harga pembelian pemerintah) untuk gabah dan HP (harga patokan petani) untuk gula dengan elastisitas transmisi harga masing-masing sebesar 0,080 dan 0,144. Implikasinya adalah bahwa kebijakan HPP dan HP dapat digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mempengaruhi harga produsen dalam upaya memberikan insentif bagi produsen komoditas pangan untuk meningkatkan produksnya. Tabel 5.7. Elastisitas Transmisi Harga Konsumen dan HPP/HP ke Harga Produsen Komoditas Pangan Strategis. Harga HPP/HP*) Konsumen Beras 0,885 0,080 Jagung 0,917 Kedelai 0,966 Gula 0,884 0,144 Daging Sapi 1,079 Keterangan: *) Tidak ada HPP pada jagung, kedelai dan daging sapi. Komoditas
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
84
BAB VI PROYEKSI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN 2013-2050
6.1.
Skenario Kebijakan Pemerintah dan Variabel Lain Kebijakan pemerintah yang disimulasikan terdiri dari kebijakan perdagangan,
kebijakan pertanian dan kebijakan demografi. Kebijakan perdagangan yang disimulasikan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan strategis adalah Tarif Bea Masuk (TBM). Pada saat ini (2013), TBM yang dikenakan terhadap impor beras dan gula kristal putih adalah tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, sedangkan TBM yang dikenakan terhadap impor jagung, kedelai dan daging sapi adalah tarif ad-valorem yang sama yaitu sebesar 5 persen. Sementara kebijakan pertanian yang disimulasikan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan strategis adalah HPP gabah, HP gula petani, harga subsidi pupuk Urea dan pupuk TSP/SP36/NPK, teknologi dan pencetakan sawah baru. Kebijakan demogafi yang disimulasikan adalah program KB untuk memperlambat
laju
pertumbuhan
penduduk.
Variabel
non-kebijakan
yang
disimulasikan adalah laju perkembangan harga internasional komoditas pengan strategis, PDB per kapita, dan konversi lahan sawah. Ada tiga skenario kebijakan dan perubahan variabel non-kebijakan yang disimulasikan, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6.1 dengan beberapa penjelasan singkat sebagai berikut: Skenario I (Pesimis): 1) TBM spesifik untuk impor beras dan gula kristal putih selama 2013-2014 tetap yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, tetapi mulai tahun 2015 naik 5 persen setiap lima tahun. 2) TBM ad-valorem jagung, kedelai dan daging sapi selama 2013-2050 tetap 5 persen.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
85
Tabel 6.1. Skenario Analisis Simulasi untuk Proyeksi Pernintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis. Uraian
Variabel/ Instrumen Kebijakan
Skenario I (Pesimis)
Skenario II (Sedang)
Skenario III (Optimis)
Komoditas: Beras dan Gula
TBM Spesifik
2013-2014 tetap, mulai 2015 naik 5 persen per 5 tahun
2013-2014 tetap, mulai 2015 naik 7,5 persen per 5 tahun
2013-2014 tetap, mulai 2015 naik 10 persen per 5 tahun
HPP riill
Mulai 2014 kenaikan dipercepat 0,1 persen/tahun
Mulai 2014 kenaikan dipercepat 0,5 persen/tahun
Mulai 2014 kenaikan dipercepat 1 persen/tahun
Jagung, Kedelai dan Daging Sapi
TBM advalorem
2013-2050 tetap 2013-2014 tetap 2013-2014 tetap 5 5 persen 5 persen; 2015- persen; 20152050: 5,5 2050: 6 persen persen
Semua komoditas
Percepatan kenaikan harga riil internasional
0,1 persen/tahun
0,1 persen/tahun
0,1 persen/tahun
Pupuk Urea
Harga riil mengikuti historical trend
-1,70 persen/th
-1,70 persen/th
-1,70 persen/th
Pupuk TSP
Perlambatan kenaikan harga riil
0,1 persen/th sejak 2013
0,5 persen/th sejak 2013
1 persen/th sejak 2013
Teknologi
Percepatan perkembangan
Tidak ada sejak 2013
Tidak ada sejak 2013
Tidak ada sejak 2013
Konversi lahan
Pengendalian
Cetak = Konversi sejak 2013
Cetak = Konversi sejak 2013
Cetak = Konversi sejak 2013
Penduduk
Perlambatan laju pertumbuhan
0,1 persen/th sejak 2013
0,2 persen/th sejak 2013
0,3 persen/th sejak 2013
PDB riil/kapita
Percepatan laju pertumbuhan
0 persen/th sejak 2013
0,1 persen/th sejak 2013
0,2 persen/th sejak 2013
Non Komoditas:
3) Laju kenaikan HPP riil untuk gabah dan HP riil untuk gula kristal putih mulai tahun 2014 dipercepat 0,1 persen/tahun. 4) Laju kenaikan harga riil di pasar internasional semua komoditas strategis akan mengalami percepatan 0,1 persen/tahun selama 2013-2050. Hal ini dilandasi Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
86
oleh melambatnya laju pertumbuhan suplai di pasar dunia sebagai akibat perubahan iklim, sementara permintaan terus meningkat karena pertumbuhan jumlah penduduk. 5) Laju perkembangan harga riil pupuk Urea mengikuti historical trend yang negatif, dimana jenis pupuk ini paling banyak digunakan petani untuk tanaman pangan, utamanya padi. Sementara laju kenaikan harga riil pupuk TSP/SP36/ NPK diperlambat 0,1 persen/tahun selama 2013-2050 agar pemakaian jenis pupuk majemuk ini dapat meningkat dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian pangan. 6) Selama 2013-2050 teknologi tetap berkembang tetapi tidak ada terobosan teknologi (technology breakthrough) di tingkat petani karena permasalahan penyuluhan pertanian yang sulit diatasi dalam upaya diseminasi teknologi (masalah sistem dan fasilitas) serta kurangnya modal petani. 7) Kemampuan mencetak sawah oleh pemerintah dan petani selama 2013-2050 diasumsikan sama dengan konversi lahan sawah karena kurangnya anggaran dan sulitnya mencari lahan untuk mencetak sawah baru, dan permintaan akan lahan pertanian subur (sawah) yang terus meningkat karena: (a) Meningkatnya jumlah penduduk yang memerlukan perumahan; dan (b) Tumbuhnya industri manufaktur,
perdagangan,
pariwisata dan
perkantoran serta kebutuhan
prasarana jalan dan bandara baru yang memerlukan lahan. Skenario II (Moderat): 1) TBM spesifik untuk impor beras dan gula kristal putih selama 2013-2014 tetap yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, tetapi mulai tahun 2015 naik 7,5 persen setiap lima tahun. 2) TBM ad-valorem jagung, kedelai dan daging sapi selama 2013-2050 naik menjadi 5,5 persen. 3) Laju kenaikan HPP riil untuk gabah dan HP riil untuk gula kristal putih mulai tahun 2014 dipercepat 0,5 persen/tahun. 4) Laju kenaikan harga riil di pasar internasional semua komoditas strategis akan mengalami percepatan 0,1 persen/tahun selama 2013-2050.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
87
5) Laju perkembangan harga riil pupuk Urea mengikuti historical trend yang negatif, sementara laju kenaikan harga riil pupuk TSP/SP36/ NPK diperlambat 0,5 persen/tahun selama 2013-2050. 6) Selama 2013-2050 teknologi tetap berkembang tetapi tidak ada terobosan teknologi (technology breakthrough) di tingkat petani. 7) Kemampuan mencetak sawah oleh pemerintah dan petani selama 2013-2050 diasumsikan sama dengan konversi lahan sawah. Skenario III (Optimis): 1) TBM spesifik untuk impor beras dan gula kristal putih selama 2013-2014 tetap yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, tetapi mulai tahun 2015 naik 10 persen setiap lima tahun. 2) TBM ad-valorem jagung, kedelai dan daging sapi selama 2013-2050 naik menjadi 6 persen. 3) Laju kenaikan HPP riil untuk gabah dan HP riil untuk gula kristal putih mulai tahun 2014 dipercepat 0,5 persen/tahun. 4) Laju kenaikan harga riil di pasar internasional semua komoditas strategis akan mengalami percepatan 0,1 persen/tahun selama 2013-2050. 5) Laju perkembangan harga riil pupuk Urea mengikuti historical trend yang negatif, sementara laju kenaikan harga riil pupuk TSP/SP36/ NPK diperlambat 1 persen/tahun selama 2013-2050. 6) Selama 2013-2050 teknologi tetap berkembang tetapi tidak ada terobosan teknologi (technology breakthrough) di tingkat petani. 7) Kemampuan mencetak sawah oleh pemerintah dan petani selama 2013-2050 diasumsikan sama dengan konversi lahan sawah.
6.2.
Proyeksi Konsumsi/Permintaan Proyeksi permintaan/konsumsi total berdasarkan tiga skenario tersebut diatas
selama 2013-2050 untuk lima komoditas pangan pokok ditunjukkan pada Lampiran 2 sampai dengan Lampiran 6, sementara untuk versi ringkasnya diperlihatkan pada Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
88
Tabel 6.2 sampai dengan Tabel 6.6. Dari lima tabel tersebut dapat diketahui bahwa permintaan total beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi akan meningkat terus sampai 2050, baik dengan Skenario I (pesimis), II (moderat) maupun III (optimis). Dalam hal ini, total konsumsi pada Skenario I adalah yang paling tinggi, sedangkan pada Skenario III adalah yang paling rendah untuk beras, jagung, kedelai dan gula. Tetapi untuk daging sapi adalah yang sebaliknya, yaitu konsumsi tertinggi terjadi pada Skenario III, sedangkan yang terendah terjadi pada Skenario I. Tabel 6.2. Proyeksi Konsumsi Beras, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 44.366.417 44.460.681 44.387.271 44.692.221 44.999.696 45.309.719 45.622.315 45.937.507 46.255.319 46.575.776
Skenario II 44.365.647 44.459.184 44.300.801 44.511.469 44.716.305 44.915.302 45.108.462 45.295.797 45.477.325 45.653.076
III 44.365.312 44.458.953 44.216.816 44.345.855 44.471.299 44.593.230 44.711.734 44.826.900 44.938.826 45.047.609
Tabel 6.3. Proyeksi Konsumsi Jagung, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 20.797.764 21.157.487 21.523.668 23.455.509 25.566.851 27.874.189 30.395.534 33.150.555 36.160.731 39.449.519
Skenario II 20.797.047 21.156.035 21.513.139 23.441.102 25.547.828 27.849.706 30.364.626 33.112.124 36.113.529 39.392.130
III 20.796.686 21.155.308 21.503.718 23.429.917 25.534.524 27.833.870 30.345.785 33.089.737 36.086.978 39.360.715
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
89
Tabel 6.4. Proyeksi Konsumsi Kedelai, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 2.894.701 2.942.047 2.991.037 3.262.586 3.583.995 3.963.832 4.412.120 4.940.583 5.562.936 6.295.227
Skenario II 2.894.593 2.941.856 2.949.997 3.221.953 3.543.834 3.924.134 4.372.791 4.901.430 5.523.646 6.255.347
III 2.894.535 2.941.770 2.909.116 3.181.799 3.504.568 3.885.879 4.335.623 4.865.370 5.488.656 6.221.314
Tabel 6.5. Proyeksi Konsumsi Gula, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 4.718.490 4.851.239 4.958.183 5.692.408 6.578.196 7.650.083 8.950.624 10.532.262 12.459.623 14.812.360
Skenario II 4.718.268 4.850.831 4.942.261 5.658.964 6.525.797 7.577.064 8.855.017 10.411.708 12.311.257 14.632.661
III 4.718.149 4.850.638 4.926.675 5.626.832 6.476.244 7.509.104 8.767.523 10.303.367 12.180.515 14.477.650
Tabel 6.6. Proyeksi Konsumsi Daging Sapi, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 516.222 538.156 561.315 698.165 878.554 1.117.068 1.433.205 1.853.029 2.411.375 3.154.793
Konsumsi (ton) II 516.230 538.198 550.366 684.236 861.772 1.098.301 1.414.674 1.839.284 2.410.848 3.182.222
III 516.243 538.254 539.439 670.424 845.365 1.080.512 1.398.397 1.830.365 2.420.137 3.228.871
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
90
Dengan Skenario I, II dan III, maka total konsumsi kelima komoditas pangan strategis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Beras: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 44.459-44.461 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 45.048-46.576 ribu ton; (2) Jagung: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 21.155-21.157 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 39.361-39.450 ribu ton; (3) Kedelai : pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 2.942-2.942 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 6.221-6.295 ribu ton; (4) Gula: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 4.850,6-4.851,2 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 14.478-14.812 ribu ton; dan (5) Daging Sapi:
pada tahun 2014
diproyeksikan akan mencapai 538.156-538.254 ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 3.155-3.229 ribu ton. 6.3.
Proyeksi Produksi/Penawaran Proyeksi penawaran/produksi berdasarkan tiga skenario tersebut diatas
selama 2013-2050 untuk lima komoditas pangan strategis ditunjukkan pada Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 11, sedangkan untuk versi ringkasnya diperlihatkan pada Tabel 6.7 sampai dengan Tabel 6.11. Dari lima tabel tersebut dapat diketahui bahwa produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi lokal akan meningkat terus sampai dengan 2050, baik dengan Skenario I, II maupun III. Dalam hal ini, total produksi pada Skenario I adalah yang paling rendah, sedangkan pada Skenario III adalah yang paling tinggi, baik untuk beras, jagung, kedelai, gula maupun daging sapi lokal. Tabel 6.7. Proyeksi Produksi Beras, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 43.933.914 44.382.042 45.080.575 47.856.595 51.041.159 54.692.075 58.877.885 63.679.949 69.195.000 75.538.266
Skenario II 43.934.517 44.384.075 45.203.844 48.139.144 51.527.571 55.436.176 59.945.047 65.149.950 71.165.599 78.129.671
III 43.935.531 44.387.135 45.329.128 48.432.086 52.039.603 56.229.025 61.093.483 66.745.211 73.319.669 80.980.671
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
91
Tabel 6.8. Proyeksi Produksi Jagung, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 19.738.744 20.115.415 20.507.637 22.724.982 25.439.617 28.769.288 32.866.358 37.928.918 44.215.877 52.067.591
Skenario II 19.738.921 20.434.840 20.833.848 23.092.581 25.863.482 29.268.625 33.466.311 38.662.780 45.128.164 53.218.345
III 19.739.143 20.755.667 21.161.642 23.463.496 26.293.895 29.779.452 34.084.697 39.424.404 46.080.416 54.424.736
Tabel 6.9. Proyeksi Produksi Kedelai, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 857.881 864.287 870.866 906.491 946.997 992.895 1.044.782 1.103.351 1.169.406 1.243.879
Skenario II 857.900 876.307 883.035 919.750 961.984 1.010.347 1.065.554 1.128.447 1.200.014 1.281.413
III 857.902 888.336 895.162 932.439 975.361 1.024.551 1.080.742 1.144.792 1.217.714 1.300.694
Tabel 6.10. Proyeksi Produksi Gula, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 2.626.441 2.652.856 2.718.502 2.920.121 3.165.980 3.464.536 3.826.528 4.265.608 4.799.178 5.449.493
Skenario II 2.626.543 2.653.167 2.738.218 2.965.355 3.244.370 3.586.043 4.004.229 4.516.768 5.146.710 5.923.966
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 2.626.636 2.653.448 2.757.942 3.010.675 3.323.044 3.708.268 4.183.508 4.771.105 5.500.262 6.409.340
92
Tabel 6.11. Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal, 2013-2050 (ton). Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I 426.351 428.170 430.078 440.995 454.331 470.284 489.099 511.067 536.542 565.941
Konsumsi (ton) II 426.351 428.170 430.078 440.995 454.331 470.284 489.099 511.067 536.542 565.941
III 426.351 437.012 438.962 450.139 463.820 480.214 499.574 522.208 548.484 578.841
Dengan Skenario I, II dan III, maka total produksi kelima komoditas pangan strategis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Beras: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 44.382-44.387 rubu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 75.538-80.981 ribu ton; (2) Jagung: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 20.115-20.756 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 52.068-54.425 ribu ton; (3) Kedelai : pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 864-888 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 1.244-1.301 ribu ton; (4) Gula: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 2.653-2.653 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 5.449-6.409 ribu ton; dan (5) Daging Sapi:
pada tahun 2014
diproyeksikan akan mencapai 428.170-437.012 ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 565.941-578.841 ton. Peningkatan produksi disebabkan oleh peningkatan luas panen dan produktivitas. Khusus kedelai, peningkatan produksi lambat karena ada persaingan yang cukup kuat dengan jagung dalam penggunaan lahan. 6.4.
Pencapaian Swasembada Pangan Proyeksi surplus/defisit produksi berdasarkan tiga skenario tersebut diatas
selama 2013-2050 untuk lima komoditas pangan strategis ditunjukkan pada Lampiran 12 sampai dengan Lampiran 16, sementara untuk versi ringkasnya diperlihatkan pada Tabel 6.12 sampai dengan Tabel 6.16. Dari lima tabel tersebut dapat diketahui bahwa:
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
93
1) Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71,818-78.639 ton. Surplus produksi mulai diraih pada tahun 2015 yang diproyeksikan akan mencapai 693-1.113 ribu ton (Tabel 6.12). Surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan tahun 2050 yang akan mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan Skenario I (pesimis) paling kecil. 2) Jagung: defisit produksi akan terus menurun dan mencapai surplus pada tahun 2026 dengan Skenario I (surplus 39.946 ton), pada tahun 2023 dengan Skenario II (surplus 3.885 ton), dan pada tahun 2020 dengan Skenario III (surplus 33.579 ton) (Tabel 6.13). Terlihat bahwa dengan Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton. 3) Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-5.051 ribu ton (Tabel 6.14). Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. 4) Gula: seperti halnya pada kedelai, defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai 2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat menjadi 8.068-9.363 ribu ton (Tabel 6.15). Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. 5) Daging sapi lokal: seperti halnya pada kedelai dan gula, defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat menjadi 2.589-2.650 ribu ton (Tabel 6.18). Kebalikan dari empat komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
94
Tabel 6.12. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras, 2013-2050 (ton). Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I -432.502 -78.639 693.303 3.164.374 6.041.463 9.382.356 13.255.570 17.742.442 22.939.680 28.962.490
Skenario II -431.129 -75.109 903.043 3.627.675 6.811.266 10.520.874 14.836.584 19.854.153 25.688.273 32.476.595
III -429.781 -71.818 1.112.311 4.086.231 7.568.304 11.635.795 16.381.749 21.918.311 28.380.843 35.933.062
Tabel 6.13. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung, 2013-2050 (ton). Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2030 2035 2040 2045 2050
I -1.059.021 -1.042.072 -1.016.031 -980.387 -934.603 -878.107 -810.295 -730.527 -638.127 -532.379 -412.523 -277.758 -127.234 39.946 895.099 2.470.824 4.778.363 8.055.146 12.618.071
Skenario II -1.058.126 -721.195 -679.291 -635.673 -581.400 -515.876 -438.472 -348.521 -245.317 -128.112 3.885 151.511 315.653 497.249 1.418.918 3.101.684 5.550.656 9.014.635 13.826.215
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III -1.057.543 -399.641 -342.076 -290.644 -228.001 -153.527 -66.565 33.579 147.641 276.402 420.686 581.367 759.370 955.675 1.945.581 3.738.912 6.334.668 9.993.438 15.064.021
95
Tabel 6.14. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai, 2013-2050 Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I -2.036.820 -2.077.760 -2.120.171 -2.356.094 -2.636.998 -2.970.938 -3.367.338 -3.837.231 -4.393.530 -5.051.348
Skenario (ton) II -2.036.693 -2.065.550 -2.066.962 -2.302.203 -2.581.849 -2.913.787 -3.307.237 -3.772.982 -4.323.632 -4.973.935
III -2.036.634 -2.053.434 -2.013.954 -2.249.360 -2.529.207 -2.861.328 -3.254.881 -3.720.578 -4.270.942 -4.920.620
Tabel 6.15. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula, 2013-2050 Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
Tabel 6.16.
Tahun 2013 2014 2015 2020 2025 2030 2035 2040 2045 2050
I -2.092.050 -2.198.383 -2.239.681 -2.772.287 -3.412.216 -4.185.547 -5.124.097 -6.266.653 -7.660.445 -9.362.867
Skenario (ton) II -2.091.725 -2.197.664 -2.204.043 -2.693.609 -3.281.427 -3.991.020 -4.850.788 -5.894.940 -7.164.547 -8.708.695
III -2.091.513 -2.197.190 -2.168.732 -2.616.158 -3.153.200 -3.800.836 -4.584.016 -5.532.262 -6.680.253 -8.068.310
Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Daging Sapi, 20132050 I -89.871 -109.986 -131.237 -257.169 -424.223 -646.783 -944.106 -1.341.961 -1.874.833 -2.588.852
Skenario (ton) II -89.879 -110.029 -120.288 -243.241 -407.441 -628.017 -925.575 -1.328.217 -1.874.306 -2.616.280
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III -89.892 -101.242 -100.477 -220.285 -381.546 -600.298 -898.823 -1.308.157 -1.871.653 -2.650.030
96
BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan Perkembangan Pola dan Diversifikasi Konsumsi Pangan a. Pangsa pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42 persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi masyarakat masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi sehingga kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya tergolong besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. b. Konsumsi energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011 sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan secara signifikan. c. Dilihat dari segi ketersedian energi pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan surplus
energi
pangan
sejak
2005.
Namun
terdapat
masalah
pada
keseimbangannya, yang diindikasikan oleh persentase ketersedian energi dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan Hewani terlalu rendah, (c) Umbiumbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan terlalu rendah. Apabila ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi maka kelebihan energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). d. Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras,
karena
diversifikasi
konsumsi
pangan
hanya
diartikan
pada
penganekaragaman pangan pokok. Program diversifikasi konsumsi pangan Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
97
juga dilakukan secara parsial, baik dalam konsep, target, wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh. Perkembangan Permintaan dan Penawaran e. Permintaan lima komoditas pangan yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut jauh melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan dan minuman. f.
Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas pangan yang dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73 persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan sangat cepat yaitu daging sapi (19,50 persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu dicatat bahwa laju pertumbuhan produksi yang sangat cepat tersebut bukan berasal dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi bakalan dari Australia yang diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia.
g. Selama kurun waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit produksi dan cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat cepat pada beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68 persen, sedangkan deficit gula, daging sapi dan kedelai masingmasing sebesar 24,38 persen, 18,73 persen dan 11,23 persen. h. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan langsung terhadap perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis). Elastisitas pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima komoditas yang dikaji tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan akan terus meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat. i.
Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada tebu/gula (0,901).
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
98
Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas panen kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai. Dengan perkataan lain, perluasan areal panen jagung dapat menurunkan luas areal panen kedelai, tetapi tidak terjadi yang sebaliknya. j.
Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu 0,103 pada jagung dan
0,403
pada tebu/gula.
Variabel Trend sebagai
proksi teknologi
berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula. Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh teknologi dengan elastisitas 0,019. k. Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,974 (jagung). Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,320 (gula). Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah dan gula, harga produsen juga dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masing-masing 0,080 dan 0,144. Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050 l.
Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71.818-78.639 ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih pada tahun 2015 yang mencapai 693-1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan tahun 2050 yang mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan Skenario I (pesimis) paling kecil.
m. Jagung: defisit produksi akan terus menurun sampai dengan tahun 2025 dan mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026 dengan Skenario I (pesimis) pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario II (sedang) dan pada Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
99
tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III (optimis). Dengan Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton. n. Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-5.051 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. o. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai 2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.068-9.363 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. p. Daging sapi lokal: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi daging sapi akan mencapai 101.242109.986 ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat sangat cepat menjadi 2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari empat komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar. 7.2. Implikasi Kebijakan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan Secara implisit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan dengan upaya perbaikan gizi untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang mampu berdaya saing. Oleh karena itu, ke depan upaya mendorong diversifikasi pangan perlu terus diupayakan melalui: a.
Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan khas nusantara.
b.
Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat dan industri.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
100
c.
Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum di SD, SLTP dan SLTA).
d.
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan, memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi pangan yang tidak aman (mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor, dan lain-lain).
e.
Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan, khususnya
dalam
pengembangan
pertanian,
perikanan
dan
industri
pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang pangan impor. f.
Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk memproduksi pangan lokal secara memadai.
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri g.
Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas pangan strstegis tersrbut di Indonesia masih tetap diperlukan.
Sehubungan
dengan
itu,
Indonesia
berkewajiban
untuk
menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota ASEAN dan ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya ke negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi per kapitanya dinilai sudah berlebihan, sekaligus mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
101
Kebijakan Pertanian dan Prasaran Umum Upaya peningkatan produksi pangan dan pertanian dilakukan melalui kebijakan dan kegiatan, antara lain: h.
Pengembangan inovasi teknologi secara terus-menerus sesuai dengan kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi petani, yang disertai dengan sistem penyuluhan yang efektif untuk diseminasi teknologi tersebut kepada petani produsen, sehingga produktivitas dan efisiensi proses produksi makin tinggi.
i.
Percepatan peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP) untuk gula untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik sekaligus mendorong perluasan areal tanam.
j.
Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik.
k.
Pembangunan dan perbaikan prasarana pertanian, utamanya jaringan irigasi, jalan pertanian, jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP) dan produktivitas dapat ditingkatkan.
l.
Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah Daerah harus mematuhi
berbagai
peraturan
perundangan
yang
berkaitan
dengan
kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar mengejar
PAD
melalui
pembangunan kaawsan industri
yang
dapat
mengancam produksi pangan pokok, utamanya beras. m.
Pengendalian/pencegahan pemotongan ternak sapi potong betina produktif untuk mencegah terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong melalui pengawasan pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Pemotongan
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
102
harus mendapatkan izin Dinas Peternakan dan para pelaku yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Perda terkait. n.
Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya, jembatan dan pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi pangan dalam daerah dan antar daerah (aspek konektivitas).
Kebijakan Demografi o.
Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali program Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan “Keluarga Kecil Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan jumlah penduduk adalah memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan. Peran lembaga-lembaga yang terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK,
Posyandu,
dan
lain-lain),
lembaga
pendidikan
dan
lembaga
keagamaan perlu mengajarkan dan menanamkan pengertian tentang pentingnya melakukan KB.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
103
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, S. 2009. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Kedelai Nol Persen Terhadap Keunggulan Komparatif dan Profitabilitas Usahatani Kedelai di Indonesia http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/ tahun 2008. Deskripsi Dokumen: libri2/detail. Ali, M. Bakir. 2002. Pola Konsumsi Beras di Indonesia. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Ariningsih, E. 2009. Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Rumah Tangga Pedesaan di Indonesia: Analisis Data Susenas 1999, 2002, 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Ayiek, S.S. 2008. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Wilayah Historis Pangan Beras dan Non beras di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian Dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Budi, I Setiawan, 2012. Optimalisasi Diversiikasi Pangan Guna Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Yang Berkelanjutan. Majalah TANNAS. Edisi 94 tahun 2012. Buse, A. 1994. Evaluating the Linearized Almost Ideal Demand System. American Journal of Agricultural Economics 76(3):781-793. Chandra, A.D. dan J.P. Moeis. 2007. Analisis Permintaan Sayur-Sayuran Dalam Pemenuhan Sendiri Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Agriculture & Rural Economy, Universitas Indonesia. Depok Clark, G., S. Goldberg and N. Gurushina. 2012. RGE Agriculture Sensitivity Index (RASI): Impacts on Individual Economies. http://www.roubini.com/strategy/ flash/168315.php. Dahl, W. C. dan J. W. Hammond. 1970. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. McGraw-Hill Book Company, New York. Deaton, A., and J. Muellbauer. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70(3):312-326. Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons Inc., New York. Engle, R.F. and C.W.J. Granger. 1987. Co-integration and Deviasi-Correction: Representation, Estimation and Testing. Econometrica 55(2):251-276. FAO. 2012. Import Dependency Ratio. FAO Statistics. FAO. Rome.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
104
George, K.D. and J. Shorey. 1978. The Allocation of Resources: Theory and Policy. George Allen & Unwin (Publishers) Ltd. London, Boston and Sydney. Green R. dan J. M. Alston. 1990. Elasticities in AIDS Models. American Journal of Agricultural Economics 72(2):442-445. Hadi, P.U., H.J. Purba dan S.K. Dermorejo. 2009. Pemasaran Daging Sapi di Wilayah DKI Jakarta. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi Pertanian dan ACIAR. Hariyadi, P., B. Krisnamurthi, D. Syah dan F.G. Winarno. 2004. Roadmap Penganekaragaman Pangan. Prosiding Penganekaragaman Pangan. konsep, realitas dan aplikasi. PT. Indofood Sukses Makmur tbk. Bogasari Flour Mills dan Forum Kerja Penganekaragaman Pangan Harper, L.J., A. Deaton, dan J. A. Driskel. 1985. Pangan, Gizi dan Pertanian (penerjemah : Suhardjo). UI Press. Jakarta. Hutabarat B., A. Djauhari, A. Agustian, T.D. Permata, B. Rachman, Ikin Sadikin, dan J.Situmorang. 1997. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Sumberdaya Produksi Tanaman Pangan di Luar Jawa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Irawan, B., M. Ariani, H. Purwati dan A. Supriatna. 1999. Analisis Program Diversifikasi Pangan Selama Lima Tahun. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Biro Perencanaan Departemen Pertanian Kasryno, F., M. Gunawan, dan C.A. Rasahan. 1993. Strategi Diversifikasi Produksi Pangan. Prisma, Vol. 5. Tahun XXII. LP3ES, Jakarta. Pp. 13-24. Kodyat, B.A. 1998. Overview Masalah dan program Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Bogor. 18-30 Agustus. Kodyat, BA., A.R. Thaha, dan Minarto. 1998. Penuntasan Masalah Gizi Kurang. Di dalam : Winarno F G, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pp.755-757. Krisnamurthi, B. 2003. Penganekaragaman Pangan : Pengalaman 40 tahun dan Tantangan ke Depan. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_19/artikel_4.htm 22/11/06). Diakses 20 April 2013. Lanchovichina, E., J. Loening, and Ch. Wood. 2012. How Vulnerable are Arab Countries to Global Food Price Shocks? Malian A.H., S. Mardianto dan M. Ariani. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras Serta Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi 22(2):119-146.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
105
Nerlove, M. and W. Addison. 1958. Statistical Estimation of Long-run Elasticities of Supply and Demand. Journal of Farm Economics 40(4):861-880. Ni Made Suyastiri Y.P. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan RumahTangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan 13(1):51-60. Nicholson, W. 2002. Microconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Eighth Edition. South Western Thomsom Learning Publication. Pakpahan, A. dan S.H. Suhartini. 1989. Permintaan Rumah Tangga Kota di Indonesia Terhadap Keanekaragaman. Jurnal Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Priyanto, D. 2005. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi melalui Analisis Penawaran dan Permintaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pp. 275-284. Purwoto, A, 1997. Pengembangan Kedelai di Indonesia: Peluang dan Tantangan. Dalam: Kebijakan Pembangunan Petanian: Analisis Kebijakan Antisipatif dan Responsif. Monograph Series No.17. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rachman, B., S.H. Susilowati, H. Malian, dan I.K. Karyasa, 2000. Dinamika dan Prospek Harga dan Perdagangan Komiditi Pertanian. Seminar Nasional Perspektif Pembangunan dan Kehutanan. Rachman, H.P.S. dan Mewa Ariani. 2008. “Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program”. Analisis Kebijakan Pertanian 6(2):140-154. Rahardjo, M.D. 1993. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Prisma No. 5, Th XXII. LP3ES. Jakarta. Pp.13-24. Riyadi. 2003. Kebiasaan Makan Masyarakat dalam Kaitannya dengan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Prosiding Simposium Pangan dan Gizi serta Kongres IV Bergizi dan Pangan Indonesia. Jakarta Sadikin, I. 1999. Analisis Daya Saing Jagung dan Dampaknya terhadap Pengembangan Agribisnis Jagung di Bengkulu. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Memasuki Abad-21: Prospek dan Tantangan” Tanggal 9 Nopember 1999 di UNAS, Jakarta. Pp.1-30. Sadikin, I. 2000. Analisis Daya Saing Jagung pasca Krisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agribisnis Jagung di NTT. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Tahun 2000: Kendala, Tantangan dan Prospek” Tanggal 8-9 Nopember 2000 di Bogor. Pp.1-26.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
106
Shapouri, S., M. Peters, S. Allen, S. Rosen, and F. Baquedano. 2010. Food Security Assessment 2010-2010. A Report from the Economic Research Service. USDA. GFA-21. Washington, D.C. Sawit H.M., Saifullah, A., dan Muhart. 2010. Arsitektur Kebijakan Beras di Era Swasembada. Dalam Sawit, M.H dan Halid, H. (eds): Arsitektur Kebijakan Beras di Era Baru. IPB Press. Simatupang, P. dan M. Maulana. 2006. Prospek Penawaran dan Permintaan Pangan Utama: Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi. Dalam Rusastra, I.W. et al (eds): Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan. Departemen Pertanian, Dewan Ketahanan Pangan, HKTI, dan Kemenneg Ristek. Sudaryanto. T., Prajogo U. Hadi, S.H. Susilowati dan E. Suryani, 1999. Perkembangan Kebijakan Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian sosial ekonomi Pertanian. Bogor. Suhardjo dan D. Martianto. 1992. Analisis Tipologi Makanan Pokok. PSKPG.LP-IPB. Bogor. Syafa’at, N., Prajogo U. Hadi, A. Purwoto, D.K.S. Swastika., F.B.M. Debukke., J. Situmorang dan E.M. Lokollo. 2005. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Utama Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1972. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Itaca and London.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
107
Lampiran 1: Jenis dan Sumber Data Jenis Data
Sumber Data
Data statistik luas panen, produktivitas dan produksi beras, jagung, dan kedelai 19802012 Data statistik luas panen, produktivitas dan produksi gula 1980-2012 Data statistik populasi sapi potong, dan produksi daging 1980-2012 Data statistik impor dan ekspor beras, jagung, kedelai, gula, sapi bakalan dan daging sapi 1980-2012 (lima nilai terbesar berdasarkan HS) Data statistik harga produsen, harga perdagangan besar, harga konsumen dan harga internasional semua komoditas 1980-2012 Data jumlah penduduk, PDB, IHK dan nilai tukar mata uang 1980-2012 Data konsumsi langsung SUSENAS (2000 - 2012) Data tarif impor per HS 1980-2012 Data stok beras, jagung, kedelai, gula 1980-2012 Data kuota impor beras, jagung, kedelai 1980-2012
Ditjen Tanaman Pangan Ditjen Perkebunan Ditjen Peternakan Badan Pusat Statistik, Asosiasi Komoditas Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Ditjen Bea dan Cukai Bulog Bulog, Ditjen Tanaman Pangan Data kuota impor gula 1980-2012 Ditjen Perkebunan Data kuota impor sapi bakalan dan daging sapi 1980-2012 Ditjen Peternakan Data harga input usaha tani (benih, pupuk Urea, SP36 dan NPK, upah tenaga kerja) DItjen Tanaman Pangan, 1980-2012 BPS Data harga pakan ternak 1980-2012 Ditjen Peternakan Data pangan menurut jenis pengadaan 1980-2012 Bulog Permendag, Permentan, Permenkeu, dan UU terkait dengan perdagangan dan produksi Kemendag, Kementan, komoditas yang dikaji 1980 – 2012 Kemenkeu,
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
108
Lampiran 2: Proyeksi Konsumsi Beras, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 44.366.417 44.460.681 44.387.271 44.481.564 44.576.058 44.670.753 44.765.649 44.692.221 44.787.147 44.882.275 44.977.606 45.073.140 44.999.696 45.095.260 45.191.028 45.287.001 45.383.177 45.309.719 45.405.928 45.502.341 45.598.959 45.695.783 45.622.315 45.719.172 45.816.236 45.913.506 46.010.983 45.937.507 46.035.019 46.132.738 46.230.665 46.328.801 46.255.319 46.353.491 46.451.871 46.550.461 46.649.260 46.575.776
Skenario II 44.365.647 44.459.184 44.300.801 44.393.543 44.486.160 44.578.650 44.671.011 44.511.469 44.603.037 44.694.473 44.785.773 44.876.938 44.716.305 44.806.680 44.896.914 44.987.007 45.076.955 44.915.302 45.004.465 45.093.481 45.182.348 45.271.065 45.108.462 45.196.398 45.284.180 45.371.806 45.459.276 45.295.797 45.382.491 45.469.024 45.555.397 45.641.606 45.477.325 45.562.765 45.648.038 45.733.144 45.818.081 45.653.076
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 44.365.312 44.458.953 44.216.816 44.309.625 44.402.385 44.495.093 44.587.749 44.345.855 44.437.691 44.529.472 44.621.198 44.712.868 44.471.299 44.562.160 44.652.964 44.743.707 44.834.390 44.593.230 44.683.117 44.772.943 44.862.704 44.952.402 44.711.734 44.800.648 44.889.497 44.978.279 45.066.992 44.826.900 44.914.845 45.002.720 45.090.525 45.178.258 44.938.826 45.025.804 45.112.709 45.199.540 45.286.297 45.047.609
109
Lampiran 3: Proyeksi Konsumsi Jagung, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 20.797.764 21.157.487 21.523.668 21.896.420 22.275.860 22.662.108 23.055.283 23.455.509 23.862.910 24.277.615 24.699.751 25.129.452 25.566.851 26.012.086 26.465.294 26.926.617 27.396.200 27.874.189 28.360.733 28.855.983 29.360.095 29.873.225 30.395.534 30.927.184 31.468.341 32.019.173 32.579.853 33.150.555 33.731.457 34.322.739 34.924.587 35.537.188 36.160.731 36.795.413 37.441.429 38.098.982 38.768.276 39.449.519
Skenario II 20.797.047 21.156.035 21.513.139 21.885.170 22.263.862 22.649.335 23.041.707 23.441.102 23.847.642 24.261.455 24.682.670 25.111.416 25.547.828 25.992.042 26.444.195 26.904.427 27.372.883 27.849.706 28.335.046 28.829.054 29.331.881 29.843.686 30.364.626 30.894.864 31.434.564 31.983.893 32.543.022 33.112.124 33.691.376 34.280.959 34.881.053 35.491.847 36.113.529 36.746.292 37.390.332 38.045.849 38.713.046 39.392.130
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 20.796.686 21.155.308 21.503.718 21.875.422 22.253.776 22.638.896 23.030.903 23.429.917 23.836.064 24.249.469 24.670.260 25.098.567 25.534.524 25.978.266 26.429.931 26.889.657 27.357.589 27.833.870 28.318.649 28.812.076 29.314.303 29.825.487 30.345.785 30.875.359 31.414.373 31.962.993 32.521.390 33.089.737 33.668.208 34.256.985 34.856.247 35.466.182 36.086.978 36.718.827 37.361.924 38.016.469 38.682.664 39.360.715
110
Lampiran 4: Proyeksi Konsumsi Kedelai, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 2.894.701 2.942.047 2.991.037 3.041.726 3.094.168 3.148.419 3.204.538 3.262.586 3.322.623 3.384.716 3.448.929 3.515.332 3.583.995 3.654.990 3.728.392 3.804.280 3.882.732 3.963.832 4.047.665 4.134.318 4.223.882 4.316.451 4.412.120 4.510.991 4.613.164 4.718.747 4.827.849 4.940.583 5.057.065 5.177.415 5.301.757 5.430.220 5.562.936 5.700.040 5.841.674 5.987.983 6.139.115 6.295.227
Skenario II 2.894.593 2.941.856 2.949.997 3.000.759 3.053.279 3.107.612 3.163.817 3.221.953 3.282.082 3.344.268 3.408.577 3.475.075 3.543.834 3.614.924 3.688.422 3.764.402 3.842.946 3.924.134 4.008.051 4.094.784 4.184.423 4.277.060 4.372.791 4.471.716 4.573.935 4.679.554 4.788.682 4.901.430 5.017.913 5.138.252 5.262.568 5.390.990 5.523.646 5.660.674 5.802.212 5.948.404 6.099.398 6.255.347
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 2.894.535 2.941.770 2.909.116 2.960.009 3.012.667 3.067.146 3.123.504 3.181.799 3.242.095 3.304.453 3.368.939 3.435.621 3.504.568 3.575.853 3.649.548 3.725.732 3.804.481 3.885.879 3.970.009 4.056.957 4.146.813 4.239.670 4.335.623 4.434.769 4.537.211 4.643.052 4.752.402 4.865.370 4.982.073 5.102.629 5.227.160 5.355.792 5.488.656 5.625.887 5.767.623 5.914.006 6.065.186 6.221.314
111
Lampiran 5: Proyeksi Konsumsi Gula, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 4.718.490 4.851.239 4.958.183 5.100.483 5.248.036 5.401.059 5.559.777 5.692.408 5.862.861 6.039.737 6.223.302 6.413.832 6.578.196 6.783.155 6.995.977 7.216.989 7.446.532 7.650.083 7.897.373 8.154.300 8.421.266 8.698.690 8.950.624 9.249.887 9.560.970 9.884.371 10.220.604 10.532.262 10.895.375 11.273.001 11.665.749 12.074.256 12.459.623 12.901.225 13.360.655 13.838.665 14.336.038 14.812.360
Skenario II 4.718.268 4.850.831 4.942.261 5.084.199 5.231.389 5.384.046 5.542.393 5.658.964 5.828.855 6.005.162 6.188.148 6.378.089 6.525.797 6.729.954 6.941.958 7.162.134 7.390.821 7.577.064 7.823.260 8.079.065 8.344.880 8.621.120 8.855.017 9.152.825 9.462.411 9.784.269 10.118.911 10.411.708 10.772.917 11.148.576 11.539.292 11.945.696 12.311.257 12.750.389 13.207.262 13.682.621 14.177.244 14.632.661
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 4.718.149 4.850.638 4.926.675 5.068.382 5.215.349 5.367.791 5.525.933 5.626.832 5.796.352 5.972.293 6.154.920 6.344.507 6.476.244 6.679.871 6.891.347 7.110.998 7.339.161 7.509.104 7.754.587 8.009.677 8.274.773 8.550.291 8.767.523 9.064.403 9.373.052 9.693.963 10.027.647 10.303.367 10.663.391 11.037.847 11.427.341 11.832.502 12.180.515 12.618.150 13.073.497 13.547.299 14.040.330 14.477.650
112
Lampiran 6: Proyeksi Konsumsi Daging Sapi, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 516.222 538.156 561.315 585.770 611.598 638.882 667.707 698.165 730.352 764.373 800.335 838.355 878.554 921.063 966.018 1.013.566 1.063.862 1.117.068 1.173.358 1.232.916 1.295.937 1.362.627 1.433.205 1.507.902 1.586.965 1.670.654 1.759.244 1.853.029 1.952.317 2.057.437 2.168.738 2.286.587 2.411.375 2.543.517 2.683.451 2.831.641 2.988.581 3.154.793
Skenario II 516.230 538.198 550.366 574.237 599.473 626.157 654.380 684.236 715.826 749.256 784.642 822.104 861.772 903.781 948.279 995.420 1.045.369 1.098.301 1.154.403 1.213.874 1.276.924 1.343.778 1.414.674 1.489.867 1.569.628 1.654.244 1.744.020 1.839.284 1.940.381 2.047.681 2.161.575 2.282.483 2.410.848 2.547.144 2.691.876 2.845.579 3.008.825 3.182.222
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 516.243 538.254 539.439 562.737 587.394 613.498 641.142 670.424 701.450 734.333 769.193 806.158 845.365 886.961 931.101 977.953 1.027.693 1.080.512 1.136.613 1.196.212 1.259.541 1.326.848 1.398.397 1.474.470 1.555.370 1.641.418 1.732.960 1.830.365 1.934.028 2.044.369 2.161.840 2.286.924 2.420.137 2.562.030 2.713.196 2.874.265 3.045.916 3.228.871
113
Lampiran 7: Proyeksi Produksi Beras, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 43.933.914 44.382.042 45.080.575 45.557.418 46.047.905 46.552.367 47.071.145 47.856.595 48.407.981 48.974.861 49.557.629 50.156.691 51.041.159 51.677.437 52.331.409 53.003.543 53.694.324 54.692.075 55.425.531 56.179.296 56.953.930 57.750.008 58.877.885 59.723.113 60.591.765 61.484.505 62.402.022 63.679.949 64.654.310 65.655.804 66.685.228 67.743.404 69.195.000 70.319.176 71.474.918 72.663.176 73.884.936 75.538.266
Skenario II 43.934.517 44.384.075 45.203.844 45.685.121 46.180.984 46.691.787 47.217.903 48.139.144 48.701.480 49.280.453 49.876.492 50.490.043 51.527.571 52.182.710 52.856.948 53.550.802 54.264.807 55.436.176 56.198.174 56.982.225 57.788.951 58.618.997 59.945.047 60.830.736 61.742.024 62.679.662 63.644.425 65.149.950 66.179.513 67.238.939 68.329.132 69.451.028 71.165.599 72.363.274 73.595.948 74.864.711 76.170.695 78.129.671
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 43.935.531 44.387.135 45.329.128 45.815.891 46.318.386 46.836.998 47.372.125 48.432.086 49.007.537 49.600.983 50.212.893 50.843.753 52.039.603 52.716.998 53.415.132 54.134.577 54.875.923 56.229.025 57.024.375 57.843.791 58.687.966 59.557.619 61.093.483 62.026.130 62.986.874 63.976.557 64.996.054 66.745.211 67.838.541 68.964.856 70.125.181 71.320.580 73.319.669 74.601.996 75.923.246 77.284.668 78.687.559 80.980.671
114
Lampiran 8: Proyeksi Produksi Jagung, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 19.738.744 20.115.415 20.507.637 20.916.032 21.341.257 21.784.001 22.244.988 22.724.982 23.224.783 23.745.236 24.287.228 24.851.694 25.439.617 26.052.032 26.690.028 27.354.753 28.047.415 28.769.288 29.521.712 30.306.100 31.123.943 31.976.810 32.866.358 33.794.334 34.762.579 35.773.038 36.827.762 37.928.918 39.078.793 40.279.801 41.534.495 42.845.571 44.215.877 45.648.427 47.146.405 48.713.181 50.352.319 52.067.591
Skenario II 19.738.921 20.434.840 20.833.848 21.249.496 21.682.463 22.133.459 22.603.235 23.092.581 23.602.325 24.133.343 24.686.555 25.262.928 25.863.482 26.489.291 27.141.486 27.821.258 28.529.864 29.268.625 30.038.936 30.842.267 31.680.168 32.554.275 33.466.311 34.418.096 35.411.551 36.448.703 37.531.693 38.662.780 39.844.353 41.078.934 42.369.191 43.717.941 45.128.164 46.603.014 48.145.824 49.760.123 51.449.645 53.218.345
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 19.739.143 20.755.667 21.161.642 21.584.778 22.025.774 22.485.369 22.964.337 23.463.496 23.983.705 24.525.871 25.090.946 25.679.934 26.293.895 26.933.942 27.601.249 28.297.055 29.022.664 29.779.452 30.568.868 31.392.442 32.251.788 33.148.607 34.084.697 35.061.953 36.082.378 37.148.085 38.261.308 39.424.404 40.639.869 41.910.335 43.238.589 44.627.578 46.080.416 47.600.401 49.191.023 50.855.973 52.599.164 54.424.736
115
Lampiran 9: Proyeksi Produksi Kedelai, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 857.881 864.287 870.866 877.623 884.560 891.682 898.991 906.491 914.187 922.081 930.178 938.482 946.997 955.727 964.677 973.852 983.256 992.895 1.002.772 1.012.894 1.023.266 1.033.894 1.044.782 1.055.937 1.067.366 1.079.073 1.091.066 1.103.351 1.115.936 1.128.826 1.142.030 1.155.554 1.169.406 1.183.595 1.198.128 1.213.014 1.228.261 1.243.879
Skenario II 857.900 876.307 883.035 889.962 897.094 904.433 911.983 919.750 927.738 935.950 944.392 953.068 961.984 971.145 980.556 990.223 1.000.151 1.010.347 1.020.816 1.031.564 1.042.599 1.053.927 1.065.554 1.077.489 1.089.737 1.102.308 1.115.209 1.128.447 1.142.033 1.155.973 1.170.277 1.184.954 1.200.014 1.215.467 1.231.323 1.247.591 1.264.284 1.281.413
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 857.902 888.336 895.162 902.192 909.431 916.882 924.550 932.439 940.553 948.898 957.477 966.297 975.361 984.676 994.247 1.004.079 1.014.179 1.024.551 1.035.204 1.046.142 1.057.373 1.068.904 1.080.742 1.092.893 1.105.366 1.118.168 1.131.307 1.144.792 1.158.632 1.172.835 1.187.409 1.202.366 1.217.714 1.233.464 1.249.626 1.266.211 1.283.230 1.300.694
116
Lampiran 10: Proyeksi Produksi Gula, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 2.626.441 2.652.856 2.718.502 2.747.892 2.778.635 2.810.769 2.844.334 2.920.121 2.957.192 2.995.848 3.036.139 3.078.116 3.165.980 3.212.138 3.260.180 3.310.170 3.362.173 3.464.536 3.521.577 3.580.884 3.642.541 3.706.632 3.826.528 3.896.742 3.969.714 4.045.550 4.124.360 4.265.608 4.351.923 4.441.625 4.534.852 4.631.745 4.799.178 4.905.341 5.015.702 5.130.438 5.249.735 5.449.493
Skenario II 2.626.543 2.653.167 2.738.218 2.768.251 2.799.764 2.832.800 2.867.403 2.965.355 3.004.040 3.044.478 3.086.724 3.130.838 3.244.370 3.293.429 3.344.597 3.397.947 3.453.557 3.586.043 3.647.705 3.711.939 3.778.843 3.848.518 4.004.229 4.081.378 4.161.702 4.245.331 4.332.398 4.516.768 4.613.141 4.713.479 4.817.949 4.926.728 5.146.710 5.267.169 5.392.626 5.523.300 5.659.424 5.923.966
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 2.626.636 2.653.448 2.757.942 2.788.580 2.820.813 2.854.687 2.890.249 3.010.675 3.050.881 3.092.991 3.137.066 3.183.172 3.323.044 3.374.851 3.428.972 3.485.488 3.544.489 3.708.268 3.774.339 3.843.264 3.915.156 3.990.129 4.183.508 4.267.330 4.354.723 4.445.834 4.540.818 4.771.105 4.877.259 4.987.929 5.103.314 5.223.620 5.500.262 5.634.780 5.775.072 5.921.403 6.074.051 6.409.340
117
Lampiran 11: Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I 426.351 428.170 430.078 432.076 434.166 436.348 438.624 440.995 443.463 446.029 448.695 451.461 454.331 457.305 460.386 463.574 466.873 470.284 473.810 477.451 481.212 485.094 489.099 493.230 497.489 501.880 506.405 511.067 515.869 520.815 525.906 531.148 536.542 542.093 547.805 553.681 559.725 565.941
Skenario II 426.351 428.170 430.078 432.076 434.166 436.348 438.624 440.995 443.463 446.029 448.695 451.461 454.331 457.305 460.386 463.574 466.873 470.284 473.810 477.451 481.212 485.094 489.099 493.230 497.489 501.880 506.405 511.067 515.869 520.815 525.906 531.148 536.542 542.093 547.805 553.681 559.725 565.941
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III 426.351 437.012 438.962 441.006 443.144 445.378 447.709 450.139 452.668 455.300 458.034 460.874 463.820 466.874 470.039 473.315 476.706 480.214 483.839 487.586 491.455 495.451 499.574 503.828 508.216 512.740 517.403 522.208 527.159 532.259 537.510 542.918 548.484 554.214 560.110 566.177 572.420 578.841
118
Lampiran 12: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I -432.502 -78.639 693.303 1.075.854 1.471.848 1.881.615 2.305.496 3.164.374 3.620.834 4.092.585 4.580.022 5.083.551 6.041.463 6.582.176 7.140.380 7.716.542 8.311.147 9.382.356 10.019.603 10.676.955 11.354.970 12.054.224 13.255.570 14.003.941 14.775.528 15.570.998 16.391.039 17.742.442 18.619.291 19.523.066 20.454.563 21.414.603 22.939.680 23.965.686 25.023.047 26.112.716 27.235.676 28.962.490
Skenario II -431.129 -75.109 903.043 1.291.579 1.694.823 2.113.137 2.546.891 3.627.675 4.098.443 4.585.980 5.090.718 5.613.105 6.811.266 7.376.031 7.960.034 8.563.795 9.187.852 10.520.874 11.193.709 11.888.744 12.606.602 13.347.931 14.836.584 15.634.338 16.457.845 17.307.856 18.185.149 19.854.153 20.797.022 21.769.914 22.773.735 23.809.423 25.688.273 26.800.509 27.947.910 29.131.567 30.352.614 32.476.595
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III -429.781 -71.818 1.112.311 1.506.265 1.916.001 2.341.905 2.784.376 4.086.231 4.569.847 5.071.511 5.591.695 6.130.885 7.568.304 8.154.837 8.762.169 9.390.869 10.041.532 11.635.795 12.341.257 13.070.848 13.825.261 14.605.218 16.381.749 17.225.482 18.097.377 18.998.279 19.929.062 21.918.311 22.923.696 23.962.136 25.034.656 26.142.322 28.380.843 29.576.192 30.810.537 32.085.127 33.401.262 35.933.062
119
Lampiran 13: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I -1.059.021 -1.042.072 -1.016.031 -980.387 -934.603 -878.107 -810.295 -730.527 -638.127 -532.379 -412.523 -277.758 -127.234 39.946 224.734 428.136 651.215 895.099 1.160.979 1.450.116 1.763.847 2.103.585 2.470.824 2.867.150 3.294.238 3.753.865 4.247.909 4.778.363 5.347.336 5.957.062 6.609.908 7.308.383 8.055.146 8.853.014 9.704.976 10.614.199 11.584.043 12.618.071
Skenario II -1.058.126 -721.195 -679.291 -635.673 -581.400 -515.876 -438.472 -348.521 -245.317 -128.112 3.885 151.511 315.653 497.249 697.291 916.831 1.156.981 1.418.918 1.703.889 2.013.213 2.348.287 2.710.589 3.101.684 3.523.232 3.976.988 4.464.811 4.988.671 5.550.656 6.152.976 6.797.976 7.488.137 8.226.093 9.014.635 9.856.722 10.755.492 11.714.274 12.736.599 13.826.215
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III -1.057.543 -399.641 -342.076 -290.644 -228.001 -153.527 -66.565 33.579 147.641 276.402 420.686 581.367 759.370 955.675 1.171.319 1.407.398 1.665.075 1.945.581 2.250.218 2.580.366 2.937.484 3.323.120 3.738.912 4.186.594 4.668.005 5.185.092 5.739.917 6.334.668 6.971.660 7.653.350 8.382.342 9.161.395 9.993.438 10.881.574 11.829.098 12.839.504 13.916.500 15.064.021
120
Lampiran 14: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I -2.036.820 -2.077.760 -2.120.171 -2.164.103 -2.209.607 -2.256.737 -2.305.547 -2.356.094 -2.408.437 -2.462.635 -2.518.752 -2.576.851 -2.636.998 -2.699.263 -2.763.715 -2.830.428 -2.899.476 -2.970.938 -3.044.893 -3.121.424 -3.200.616 -3.282.557 -3.367.338 -3.455.053 -3.545.799 -3.639.674 -3.736.783 -3.837.231 -3.941.129 -4.048.589 -4.159.728 -4.274.667 -4.393.530 -4.516.445 -4.643.546 -4.774.968 -4.910.854 -5.051.348
Skenario II -2.036.693 -2.065.550 -2.066.962 -2.110.797 -2.156.185 -2.203.179 -2.251.833 -2.302.203 -2.354.345 -2.408.319 -2.464.185 -2.522.007 -2.581.849 -2.643.779 -2.707.865 -2.774.179 -2.842.795 -2.913.787 -2.987.235 -3.063.220 -3.141.824 -3.223.133 -3.307.237 -3.394.227 -3.484.198 -3.577.246 -3.673.473 -3.772.982 -3.875.881 -3.982.279 -4.092.292 -4.206.036 -4.323.632 -4.445.207 -4.570.889 -4.700.812 -4.835.113 -4.973.935
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III -2.036.634 -2.053.434 -2.013.954 -2.057.816 -2.103.236 -2.150.264 -2.198.954 -2.249.360 -2.301.541 -2.355.555 -2.411.462 -2.469.324 -2.529.207 -2.591.177 -2.655.301 -2.721.653 -2.790.303 -2.861.328 -2.934.805 -3.010.815 -3.089.440 -3.170.766 -3.254.881 -3.341.876 -3.431.845 -3.524.884 -3.621.094 -3.720.578 -3.823.441 -3.929.794 -4.039.750 -4.153.426 -4.270.942 -4.392.423 -4.517.996 -4.647.795 -4.781.956 -4.920.620
121
Lampiran 15: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula, 2013-2050 (ton) Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
I -2.092.050 -2.198.383 -2.239.681 -2.352.591 -2.469.401 -2.590.290 -2.715.443 -2.772.287 -2.905.669 -3.043.889 -3.187.163 -3.335.717 -3.412.216 -3.571.016 -3.735.796 -3.906.819 -4.084.359 -4.185.547 -4.375.796 -4.573.416 -4.778.725 -4.992.058 -5.124.097 -5.353.145 -5.591.256 -5.838.821 -6.096.244 -6.266.653 -6.543.452 -6.831.376 -7.130.898 -7.442.511 -7.660.445 -7.995.884 -8.344.953 -8.708.227 -9.086.303 -9.362.867
Skenario II -2.091.725 -2.197.664 -2.204.043 -2.315.948 -2.431.625 -2.551.246 -2.674.991 -2.693.609 -2.824.815 -2.960.684 -3.101.423 -3.247.251 -3.281.427 -3.436.525 -3.597.361 -3.764.187 -3.937.264 -3.991.020 -4.175.554 -4.367.126 -4.566.037 -4.772.602 -4.850.788 -5.071.447 -5.300.709 -5.538.938 -5.786.513 -5.894.940 -6.159.776 -6.435.097 -6.721.343 -7.018.967 -7.164.547 -7.483.220 -7.814.636 -8.159.321 -8.517.820 -8.708.695
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
III -2.091.513 -2.197.190 -2.168.732 -2.279.802 -2.394.536 -2.513.105 -2.635.684 -2.616.158 -2.745.471 -2.879.302 -3.017.854 -3.161.335 -3.153.200 -3.305.020 -3.462.376 -3.625.510 -3.794.672 -3.800.836 -3.980.248 -4.166.412 -4.359.617 -4.560.162 -4.584.016 -4.797.072 -5.018.329 -5.248.129 -5.486.828 -5.532.262 -5.786.132 -6.049.918 -6.324.028 -6.608.882 -6.680.253 -6.983.370 -7.298.425 -7.625.896 -7.966.280 -8.068.310
122
Lampiran 16: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Daging Sapi Lokal, 20132050 (ton). Skenario Tahun I II III 2013 -89.871 -89.879 -89.892 2014 -109.986 -110.029 -101.242 2015 -131.237 -120.288 -100.477 2016 -153.694 -142.161 -121.731 2017 -177.433 -165.307 -144.250 2018 -202.534 -189.810 -168.120 2019 -229.083 -215.756 -193.433 2020 -257.169 -243.241 -220.285 2021 -286.889 -272.362 -248.782 2022 -318.344 -303.227 -279.033 2023 -351.640 -335.947 -311.158 2024 -386.893 -370.643 -345.284 2025 -424.223 -407.441 -381.546 2026 -463.757 -446.476 -420.087 2027 -505.632 -487.893 -461.063 2028 -549.992 -531.846 -504.637 2029 -596.988 -578.496 -550.986 2030 -646.783 -628.017 -600.298 2031 -699.548 -680.594 -652.773 2032 -755.464 -736.422 -708.626 2033 -814.725 -795.712 -768.086 2034 -877.533 -858.684 -831.398 2035 -944.106 -925.575 -898.823 2036 -1.014.673 -996.638 -970.642 2037 -1.089.476 -1.072.139 -1.047.154 2038 -1.168.774 -1.152.364 -1.128.679 2039 -1.252.839 -1.237.615 -1.215.558 2040 -1.341.961 -1.328.217 -1.308.157 2041 -1.436.448 -1.424.512 -1.406.869 2042 -1.536.623 -1.526.866 -1.512.110 2043 -1.642.831 -1.635.669 -1.624.330 2044 -1.755.439 -1.751.335 -1.744.006 2045 -1.874.833 -1.874.306 -1.871.653 2046 -2.001.424 -2.005.051 -2.007.817 2047 -2.135.646 -2.144.071 -2.153.086 2048 -2.277.961 -2.291.898 -2.308.088 2049 -2.428.857 -2.449.100 -2.473.496 2050 -2.588.852 -2.616.280 -2.650.030
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
123
RINGKASAN EKSEKUTIF
Swasembada
pangan
merupakan
salah
satu
dari
empat
target
utama
pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak harga beras, telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri dengan swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan. Indonesia saat ini masih sulit mencapai target swasembada pangan 2014 karena produksi dan produktivitas tanaman pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkan Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hal tersebut menunjukan bahwa dengan demikian, peran diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan dapat dijadikan sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat. Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan. Demikian pula analisis kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat ini dan waktu mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan pokok juga sangat perlu dilakukan melalui serangkaian analisis, yang mencakup: (1) Dinamika permintaan, penawaran dan kebijakan perdagangan tentang komoditas pangan pokok di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain di kawasan ASEAN; (2) Proyeksi perkembangan permintaan dan penawaran pangan pokok dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Alternatif kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok. Tujuan dari kajian ini adalah menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia. Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
124
Berdasarkan hasil analisis dan FGD dapat disimpulkan beberapa hal yaitu 1) Pangsa pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42 persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi masyarakat masih didominasi oleh padi-padian dan makananjadi sehingga kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya tergolong besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. 2) Konsumsi energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011 sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan secara signifikan. 3) Dilihat dari segi ketersedian energi pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan surplus energi pangan sejak 2005. Namun terdapat masalah pada keseimbangannya, yang diindikasikan oleh persentase ketersedian energi dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan Hewani terlalu rendah, (c) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan terlalu rendah. Apabila ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi maka kelebihan energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). 4) Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Program diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan secara parsial, baik dalam konsep, target, wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh. Berdasarkan hasil analisis terhadap Perkembangan Permintaan dan Penawaran diperoleh gambaran bahwa: 1) Permintaan lima komoditas pangan yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut jauh melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan dan minuman; 2) Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas pangan yang dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73 persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan sangat cepat yaitu daging sapi (19,50 persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu dicatat bahwa laju pertumbuhan produksi yang Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
125
sangat cepat tersebut bukan berasal dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi bakalan dari Australia yang diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia; 3) Selama kurun waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit produksi dan cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat cepat pada beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68 persen, sedangkan deficit gula, daging sapi dan kedelai masing-masing sebesar 24,38 persen, 18,73 persen dan 11,23 persen; 4) Hasil estimasi elastisitas menunjukkan penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan langsung terhadap perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis). Elastisitas pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima komoditas yang dikaji tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan akan terus meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat; 5) Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada tebu/gula (0,901). Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas panen kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai. Dengan perkataan lain, perluasan areal panen jagung dapat menurunkan luas areal panen kedelai, tetapi tidak terjadi yang sebaliknya; 6) Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu 0,103 pada jagung dan 0,403 pada tebu/gula. Variabel Trend sebagai proksi teknologi berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula. Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh teknologi dengan elastisitas 0,019; 7) Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,974 (jagung). Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,320 (gula). Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah dan gula, harga produsen juga dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masing-masing 0,080 dan 0,144. Berdasarkan Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050 dapat disimpulkan bahwa untuk Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71.818-78.639 ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih pada tahun 2015 yang mencapai 6931.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan tahun 2050 yang mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
126
besar, sedangkan Skenario I (pesimis) paling kecil. Jagung: defisit produksi akan terus menurun sampai dengan tahun 2025 dan mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026 dengan Skenario I (pesimis) pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario II (sedang) dan pada tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III (optimis). Dengan Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton. Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-5.051 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai 2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.068-9.363 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil. Daging sapi lokal: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat sangat cepat menjadi 2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari empat komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar. Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi, analisis trend dan hasil proyeksi, maka langkah-langkah kebijakan yang dapat diambil adalah 1) Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan khas nusantara; 2) Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat dan industri; 3) Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum di SD, SLTP dan SLTA); 4) Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan, memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi pangan yang tidak aman (mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor, dan lain-lain); 5) Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan, khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang pangan impor; 6) Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk memproduksi pangan lokal secara memadai. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
127
Sedangkan untuk Kebijakan Perdagangan Luar Negerinya yang feasible untuk dilakukan adalah Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas pangan strstegis tersrbut di Indonesia masih tetap diperlukan. Sehubungan dengan itu, Indonesia berkewajiban untuk menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota ASEAN dan ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya ke negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi per kapitanya dinilai sudah berlebihan, sekaligus mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai. Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah Kebijakan Pertanian dan Prasarana Umum melalui: 1) Pengembangan inovasi teknologi secara terus-menerus sesuai dengan kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi petani, yang disertai dengan sistem penyuluhan yang efektif untuk diseminasi teknologi tersebut kepada petani produsen, sehingga produktivitas dan efisiensi proses produksi makin tinggi; 2) Percepatan peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP) untuk gula untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik sekaligus mendorong perluasan areal tanam; 3) Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik; 4) Pembangunan dan perbaikan prasarana pertanian, utamanya jaringan irigasi, jalan pertanian, jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP) dan produktivitas dapat ditingkatkan; 5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah Daerah harus mematuhi berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar mengejar PAD melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat mengancam produksi pangan pokok, utamanya beras; 6) Pengendalian/pencegahan pemotongan ternak sapi potong betina produktif untuk mencegah terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong melalui pengawasan pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Pemotongan harus mendapatkan izin Dinas Peternakan dan para pelaku yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Perda terkait; 7) Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
128
lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya, jembatan dan pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi pangan dalam daerah dan antar daerah (aspek konektivitas). Untuk kebijakan Kebijakan Demografi yang perlu dilakukan adalah Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali program Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan “Keluarga Kecil Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan jumlah penduduk adalah memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan. Peran lembaga-lembaga yang terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK, Posyandu, dan lain-lain), lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan perlu mengajarkan dan menanamkan pengertian tentang pentingnya melakukan KB.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
129
MEMO KEBIJAKAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN (BERAS, JAGUNG, KEDELAI, GULA DAN DAGING SAPI) ISU KEBIJAKAN 1. Program swasembada pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemerintah selalu berupaya mewujudkan swasembada pangan dengan target produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan buruknya infrastruktur pertanian. 2. Belum terwujudnya swasembada pangan menyebabkan Indonesia semakin bergantung pada produk pangan impor. Beras misalnya, dari 2,2% kebutuhan dalam negeri pada tahun 2008 meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari 34,4% (2008) menjadi 65,6%(2012), dan jagung dari 8,3% (2008) menjadi 19,5% (2012). Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan terhadap impor cenderung menurun dari 60,1% (2008) menjadi 50,3% (2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup besar. 3. Dengan mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, memberikan kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, terutama ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Apalagi berdasarkan RGE’s Agriculture Sensitivity Index/RASI (2012) Indonesia termasuk ke-dalam 10 Besar negara yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan dunia. Bahkan Indonesia juga dinilai oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 sebagai negara yang rentan terhadap kerawanan pangan dengan Indeks Ketahanan Pangan berada pada urutan ke 5 dari 7 negara ASEAN. 4. Dalam konteks permasalahan pangan tersebut, maka peran kebijakan perdagangan pada saat ini dan waktu mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif terutama terkait dengan dinamika pola konsumsi dan diversifikasi pangan, perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pola Konsumsi dan Diversifikasi Pangan 5. Selama ini pola konsumsi masyarakat menunjukkan adanya dinamika. Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan tercatat 52,42%. Angka ini selama periode tahun 2005-2009 mengalami penurunan, namun selama periode 2010-2011 pangsa tersebut meningkat menjadi 52,39% (2010) dan 54,69% (2011). Dari beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi terlihat bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia turun dari 101,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 93,01 kg/kapita/tahun pada Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
130
tahun 2011 atau turun sebesar 9,1%. Demikian juga komoditi startegis lainnya seperti jagung, kedele dan gula masing-masing dari 3,64 kg/kapita/tahun, 6,85 kg/kapita/tahun, dan 10,35 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 turun masing-masing menjadi 1,57 kg/kapita/tahun, 5,13 kg/kapita/tahun, dan 8,77 kg/kapita/tahun. Sebaliknya, konsumsi daging dari 19,8 kg/kapita/tahun menjadi 20,52 kg/kapita/tahun atau meningkat 3,1% pada periode yang sama. 6. Konsumsi energi pangan masyarakat Indonesia selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011. Konsumsi energi pangan tertinggi adalah 2.146 kkal (97,5%) yang terjadi pada tahun 2005, namun pada periode berikutnya (2008-2011) konsumsi energi pangan turun, atau rata-rata penduduk Indonesia kekurangan sekitar 8-9% asupan energi pangan selama periode tersebut. Dengan membandingkan kondisi aktual asupan energi dengan susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, terlihat konsumsi padi-padian dalam kisaran 42-47% yang mendekati PPH tetapi lebih dekat pada batas minimumnya. Hal ini berarti konsumsi padi-padian hampir memadai, sementara konsumsi umbi-umbian berkisar antara 2-3%, yang berarti belum memadai. Selanjutnya, asupan energi pangan, seperti pangan hewani (5-7,1%), kacangkacangan (2-3,3%), gula (4-4,7%), sayur dan buah (3,9-4,7%) masih sangat kurang memadai. Hal ini memberikan gambaran bahwa program diversifikasi pangan belum optimal selama periode tersebut. 7. Dengan mengacu pada ketersedian energi pangan, maka rata-rata ketersedian energi pangan selama periode 2002-2010 tercatat sebesar 2.584 kkal atau 117% bila dibagi 2.200 kkal. Apabila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 2.200 kkal maka sejak 2005 terjadi kesinambungan surplus energi pangan. Hal ini terlihat dari pola ketersediaan energi pangan untuk setiap kelompok bahan pangan. Ketersediaan energi pangan dari padi-padian dan umbi-umbian melebihi batas maksimumnya. Sementara ketersedian energi dari pangan hewani dan kacang-kacangan masing-masing berada di antara kedua batas minimum dan maksimumnya. Dengan demikian ketersedian energi dari keempat kelompok bahan pangan sudah memadai. Namun demikian terdapat masalah pada keseimbangannya, dimana persentase ketersedian energi dari: (1) Padipadian terlalu tinggi, (2) Pangan hewani terlalu rendah, (3) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (4) Kacang-kacangan terlalu rendah. 8. Apabila ketersedian energi pangan tersebut dihubungkan dengan konsumsi energi maka keempat kelompok pangan tersebut masing-masing memiliki kelebihan energi. Kelebihan energi tertinggi diperoleh dari padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti umbi-umbian (56 kkal) dan pangan hewani (165 kkal). Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian sebesar 944 kkal/kap/hari atau mencapai 86% terhadap total energi padi-padian (1.100 kkal/kap/hr) pada tahun 2011. Sementara komoditas sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian masyarakat di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
131
Perkembangan Permintaan dan Penawaran 9. Permintaan lima komoditas pangan beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami laju pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (20082012), yaitu masing-masing 4,14%, 6,16%, 7,58%, 8,24% dan 8,11% per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01% per tahun. Sebaliknya, laju pertumbuhan produksi dari lima komoditas pangan yang dianalisis ditemukan; gula negatif (-1.73%/tahun), kedelai sangat lambat (0.75%/tahun), jagung lambat (3.21%/tahun), beras lambat (2.85%/tahun) dan daging sapi lokal sangat cepat (19.50%/tahun). Dengan demikian secara konsisten terjadi defisit dan cenderung meningkat cepat selama periode tersebut. Rata-rata laju peningkatan defisit per tahun untuk beras, jagung, gula dan kedelai masing-masing 62,06%, 69,68%, 24,38% dan 11,23%. 10. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan adanya penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan terhadap perubahan harga. Elastisitas konsumsi beras terhadap pendapatan rumah tangga menunjukkan bahwa beras telah berubah dari barang tuna-nilai menjadi barang normal. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun karena menu utamanya tergantung pada karbohidrat atau beras yang merupakan barang normal. Sebaliknya, jagung telah berubah dari barang normal menjadi barang inferior. Kedelai dan gula masih menjadi barang normal, sedangkan daging sapi masih merupakan barang mewah (luxury goods). 11. Kebijakan perdagangan yang dihipotesakan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan pokok adalah Tarif Bea Masuk (TBM). Pada saat ini, TBM yang dikenakan terhadap impor beras dan gula adalah tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg. Sementara, TBM yang dikenakan terhadap impor jagung, kedelai dan daging sapi adalah tarif ad-valorem sebesar 5%.Hasil analisis menunjukkan bahwa tanpa adanya perubahan TBM pada beras sudah terjadi surplus sekitar 19.883 ton pada tahun 2014, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM spesifik 5% setiap satu tahun sekali akan meningkatkan suplus beras, bahkan suplus beras akan meningkat lebih cepat lagi apabila diimplementasikan peningkatan TBM 10% setiap tahun sekali. Sebaliknya, untuk jagung, tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus menurun hingga tahun 2026 dan menjadi surplus pada tahun 2027 sebesar 175.839 ton, dan selanjutnya surplus tersebut terus meningkat hingga 2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat mempercepat pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2024 sebesar 163.215 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM menjadi 10% dapat mempercepat lagi pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2022 sebesar 177.699 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. 12. Untuk kedelai, gula dan daging sapi (ex sapi lokal), tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus meningkat selama 2013-2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat memperkecil defisit produksi, namun defisit akan tetap meningkat sampai 2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari menjadi 10% dapat memperkecil defisit produksi lebih cepat, namun defisit masih akan tetap meningkat sampai 2050. Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
132
Rekomendasi Kebijakan 13. Pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi menjadikan kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah karena konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian rendah. Upaya mendorong diversifikasi pangan perlu terus dilakukan melalui :
Pengembangan produk (Product Development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara;
Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal baik untuk aparat pemerintahan tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat maupun industri;
Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis sejak dini terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, juga berimbang;
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan atau memperdagangkan, mengkonsumsi pangan yang tidak aman;
Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan nonberas, dan;
Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumberdaya lokal.
14. Kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian di Indonesia, masih tetap diperlukan. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM) ini adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita yang berlebihan, utamanya beras, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai. 15. Selain kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian untuk mendorong produksi pangan dan pertanian yang juga diperlukan, antara lain: (1) Pengembangan teknologi secara terus menerus; (2) Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk beras dan Harga Patokan untuk gula; (3) Pemberian subsidi harga input (benih dan pupuk); (4) Perbaikan prasarana pertanian (jaringan irigasi, jalan pertanian, dan lain-lain); (5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan gula; dan (6) Pengendalian/pencegahan pemotongan sapi potong betina produktif.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan
133
MEMO KEBIJAKAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN (BERAS, JAGUNG, KEDELAI, GULA DAN DAGING SAPI) ISU KEBIJAKAN 1. Program swasembada pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemerintah selalu berupaya mewujudkan swasembada pangan dengan target produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan buruknya infrastruktur pertanian. 2. Belum terwujudnya swasembada pangan menyebabkan Indonesia semakin bergantung pada produk pangan impor. Beras misalnya, dari 2,2% kebutuhan dalam negeri pada tahun 2008 meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari 34,4% (2008) menjadi 65,6%(2012), dan jagung dari 8,3% (2008) menjadi 19,5% (2012). Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan terhadap impor cenderung menurun dari 60,1% (2008) menjadi 50,3% (2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup besar. 3. Dengan mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, memberikan kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, terutama ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Apalagi berdasarkan RGE’s Agriculture Sensitivity Index/RASI (2012) Indonesia termasuk ke-dalam 10 Besar negara yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan dunia. Bahkan Indonesia juga dinilai oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 sebagai negara yang rentan terhadap kerawanan pangan dengan Indeks Ketahanan Pangan berada pada urutan ke 5 dari 7 negara ASEAN. 4. Dalam konteks permasalahan pangan tersebut, maka peran kebijakan perdagangan pada saat ini dan waktu mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif terutama terkait dengan dinamika pola konsumsi dan diversifikasi pangan, perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pola Konsumsi dan Diversifikasi Pangan 5. Selama ini pola konsumsi masyarakat menunjukkan adanya dinamika. Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan tercatat 52,42%. Angka ini selama periode tahun 2005-2009 mengalami penurunan, namun selama periode 2010-2011 pangsa tersebut meningkat menjadi 52,39% (2010) dan 54,69% (2011). Dari beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi terlihat bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia turun dari 101,5 1
kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 93,01 kg/kapita/tahun pada tahun 2011 atau turun sebesar 9,1%. Demikian juga komoditi startegis lainnya seperti jagung, kedele dan gula masing-masing dari 3,64 kg/kapita/tahun, 6,85 kg/kapita/tahun, dan 10,35 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 turun masing-masing menjadi 1,57 kg/kapita/tahun, 5,13 kg/kapita/tahun, dan 8,77 kg/kapita/tahun. Sebaliknya, konsumsi daging dari 19,8 kg/kapita/tahun menjadi 20,52 kg/kapita/tahun atau meningkat 3,1% pada periode yang sama. 6. Konsumsi energi pangan masyarakat Indonesia selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011. Konsumsi energi pangan tertinggi adalah 2.146 kkal (97,5%) yang terjadi pada tahun 2005, namun pada periode berikutnya (2008-2011) konsumsi energi pangan turun, atau rata-rata penduduk Indonesia kekurangan sekitar 8-9% asupan energi pangan selama periode tersebut. Dengan membandingkan kondisi aktual asupan energi dengan susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, terlihat konsumsi padi-padian dalam kisaran 42-47% yang mendekati PPH tetapi lebih dekat pada batas minimumnya. Hal ini berarti konsumsi padi-padian hampir memadai, sementara konsumsi umbi-umbian berkisar antara 2-3%, yang berarti belum memadai. Selanjutnya, asupan energi pangan, seperti pangan hewani (5-7,1%), kacang-kacangan (2-3,3%), gula (4-4,7%), sayur dan buah (3,9-4,7%) masih sangat kurang memadai. Hal ini memberikan gambaran bahwa program diversifikasi pangan belum optimal selama periode tersebut. 7. Dengan mengacu pada ketersedian energi pangan, maka rata-rata ketersedian energi pangan selama periode 2002-2010 tercatat sebesar 2.584 kkal atau 117% bila dibagi 2.200 kkal. Apabila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 2.200 kkal maka sejak 2005 terjadi kesinambungan surplus energi pangan. Hal ini terlihat dari pola ketersediaan energi pangan untuk setiap kelompok bahan pangan. Ketersediaan energi pangan dari padi-padian dan umbi-umbian melebihi batas maksimumnya. Sementara ketersedian energi dari pangan hewani dan kacang-kacangan masing-masing berada di antara kedua batas minimum dan maksimumnya. Dengan demikian ketersedian energi dari keempat kelompok bahan pangan sudah memadai. Namun demikian terdapat masalah pada keseimbangannya, dimana persentase ketersedian energi dari: (1) Padi-padian terlalu tinggi, (2) Pangan hewani terlalu rendah, (3) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (4) Kacangkacangan terlalu rendah. 8. Apabila ketersedian energi pangan tersebut dihubungkan dengan konsumsi energi maka keempat kelompok pangan tersebut masing-masing memiliki kelebihan energi. Kelebihan energi tertinggi diperoleh dari padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti umbi-umbian (56 kkal) dan pangan hewani (165 kkal). Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padipadian sebesar 944 kkal/kap/hari atau mencapai 86% terhadap total energi padi-padian (1.100 kkal/kap/hr) pada tahun 2011. Sementara komoditas sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian masyarakat di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.
2
Perkembangan Permintaan dan Penawaran 9. Permintaan lima komoditas pangan beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami laju pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (20082012), yaitu masing-masing 4,14%, 6,16%, 7,58%, 8,24% dan 8,11% per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01% per tahun. Sebaliknya, laju pertumbuhan produksi dari lima komoditas pangan yang dianalisis ditemukan; gula negatif (-1.73%/tahun), kedelai sangat lambat (0.75%/tahun), jagung lambat (3.21%/tahun), beras lambat (2.85%/tahun) dan daging sapi lokal sangat cepat (19.50%/tahun). Dengan demikian secara konsisten terjadi defisit dan cenderung meningkat cepat selama periode tersebut. Rata-rata laju peningkatan defisit per tahun untuk beras, jagung, gula dan kedelai masing-masing 62,06%, 69,68%, 24,38% dan 11,23%. 10. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan adanya penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan terhadap perubahan harga. Elastisitas konsumsi beras terhadap pendapatan rumah tangga menunjukkan bahwa beras telah berubah dari barang tuna-nilai menjadi barang normal. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun karena menu utamanya tergantung pada karbohidrat atau beras yang merupakan barang normal. Sebaliknya, jagung telah berubah dari barang normal menjadi barang inferior. Kedelai dan gula masih menjadi barang normal, sedangkan daging sapi masih merupakan barang mewah (luxury goods). 11. Kebijakan perdagangan yang dihipotesakan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan pokok adalah Tarif Bea Masuk (TBM). Pada saat ini, TBM yang dikenakan terhadap impor beras dan gula adalah tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg. Sementara, TBM yang dikenakan terhadap impor jagung, kedelai dan daging sapi adalah tarif ad-valorem sebesar 5%.Hasil analisis menunjukkan bahwa tanpa adanya perubahan TBM pada beras sudah terjadi surplus sekitar 19.883 ton pada tahun 2014, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM spesifik 5% setiap satu tahun sekali akan meningkatkan suplus beras, bahkan suplus beras akan meningkat lebih cepat lagi apabila diimplementasikan peningkatan TBM 10% setiap tahun sekali. Sebaliknya, untuk jagung, tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus menurun hingga tahun 2026 dan menjadi surplus pada tahun 2027 sebesar 175.839 ton, dan selanjutnya surplus tersebut terus meningkat hingga 2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat mempercepat pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2024 sebesar 163.215 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM menjadi 10% dapat mempercepat lagi pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2022 sebesar 177.699 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. 12. Untuk kedelai, gula dan daging sapi (ex sapi lokal), tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus meningkat selama 2013-2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat memperkecil defisit produksi, namun defisit akan tetap meningkat sampai 3
2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari menjadi 10% dapat memperkecil defisit produksi lebih cepat, namun defisit masih akan tetap meningkat sampai 2050. Rekomendasi Kebijakan 13. Pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi menjadikan kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah karena konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbiumbian rendah. Upaya mendorong diversifikasi pangan perlu terus dilakukan melalui :
Pengembangan produk (Product Development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara;
Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal baik untuk aparat pemerintahan tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat maupun industri;
Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis sejak dini terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, juga berimbang;
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan atau memperdagangkan, mengkonsumsi pangan yang tidak aman;
Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, dan;
Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumberdaya lokal.
14. Kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian di Indonesia, masih tetap diperlukan. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM) ini adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita yang berlebihan, utamanya beras, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai. 15. Selain kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian untuk mendorong produksi pangan dan pertanian yang juga diperlukan, antara lain: (1) Pengembangan teknologi secara terus menerus; (2) Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk beras dan Harga Patokan untuk gula; (3) Pemberian subsidi harga input (benih dan pupuk); (4) Perbaikan prasarana pertanian (jaringan irigasi, jalan pertanian, dan lain-lain); (5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan gula; dan (6) Pengendalian/pencegahan pemotongan sapi potong betina produktif.
4