1
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1 Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Kebijakan merupakan suatu langkah yang dilakukan untuk memberi arah dalam pelaksanaan pembangunan yang efektif dan efisien serta tepat sasaran, agar pembangunan yang dilaksanakan secara cepat dapat menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan nasional. Selain itu, pembangunan diharapkan dapat berkesinambungan dan menciptakan kemandirian masyarakat dan pemerintah (Gumbira-Sa’id, 2011). Sedangkan menurut Sumardjo (2011) menyatakan bahwa mekanisme pelaksanaan pembangunan sedapat mungkin melibatkan peran masyarakat berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Demikian juga peran pemerintah dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam memfasilitasi pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam dan pengembangan sumber daya manusia yang didukung oleh penyediaan akses modal dan akses pasar. Di Indonesia, pokok-pokok kebijakan pangan saat ini menyangkut pengembangan: (1) produksi pangan, (2) efisiensi perdagangan dan distribusi pangan, (3) industri pangan, (4) kemampuan mengekspor pangan, dan (5) daya beli masyarakat. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan (food security), mendorong diversifikasi konsumsi pangan, meningkatkan keamanan pangan (food safety) dan mengembangkan kelembagaan pangan yang efektif (Darmawan, 2013). Orentasi pangan masayarakat telah berubah sejalan dengan meningkatnya kesadaran berbagai pihak atas semakin terbatasnya pengembangan sumber daya
2
pangan beras akibat dari : pergeseran luas sawah, pertumbuhan penduduk, melemahnya sumber daya air dan fungsi prasarana irigasi (Sumardjo,2011). Penganekaragaman Konsumsi Pangan menjadi salah satu alternatif yang sangat penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan ke depan. Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya untuk memantapkan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi asupan gizi seseorang ( Badan Ketahanan Pangan, 2009). Lebih lanjut Badan Ketahanan Pangan menyatakan bahwa penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi pada dasarnya merupakan pondasi dari ketahanan pangan. Bermula dari pandangan ahli gizi yang menyatakan bahwa pangan yang beragam akan dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia, disamping itu penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi juga memiliki dimensi lain bagi ketahanan
pangan.
Dilihat
dari
kepentingan
kemandirian
pangan,
penganekaragaman konsumsi pangan juga dapat mengurangi ketergantungan konsumen pada satu jenis bahan pangan. Oleh karena itu, kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan adalah : 1. Mendorong penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat berbasis pangan lokal agar hidup sehat dan produktif. 2. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman. 3. Mendorong pengembangan teknologi pengolahan pangan, terutama pangan lokal non beras, guna meningkatkan nilai tambah dan nilai sosialnya. Menurut Sumardjo (2011) dalam implementasinya, PP No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
3
Sumberdaya Lokal dan Permentan 43 Tahun 2009 tentang gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal diharapkan dapat mempercepat diversifikasi pangan. Beragam kebijakan dan program produksi serta pengadaan dan distribusi di bidang pertanian maupun bidang-bidang lain yang terkait akan berdampak pada diversifikasi konsumsi baik secara langsung maupun tidak. 2.2 Ketahanan Pangan Suatu kebijakan pangan nasional pada dasarnya meliputi: (1) pertumbuhan yang efisien pada sektor pertanian dan pangan; (2) perbaikan distribusi pendapatan, terutama melalui kesempatan kerja yang efisien; (3) status gizi yang sesuai untuk semua penduduk, melalui pemenuhan kebutuhan dasar minimum; dan (4) ketahanan pangan yang memadai untuk menghadapi fluktuasi produksi, hargaharga, pendapatan serta kemungkinan tidak tersedianya pasokan pangan (Darmawan, 2013). Menurut FAO dalam Darmawan (2013) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut.Hal tersebut berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan pangan yang memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan utama.Ketersediaan pangan yang memadai mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Menurut Sumardjo (2011) UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
4
Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dalam UU telah dirumuskan prinsip-prinsip ketahanan pangan, bahwa negara berkewajiban menjamin hak atas pangan setiap warganya.Rumah tangga merupakan unit terpenting pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Lebih lanjut Sumardjo menyatakan bahwa kemerataan pangan sebagai dimensi penting keadilan pangan bagi masyarakat yang ukurannya akan sangat ditentukan oleh derajat kemampuan negara dalam hak pangan warga negara melalui sistem distribusi produksi pangan yang dikembangkannya. Hal itu terkait dengan aspek keterjangkauan pangan, yaitu kesamaan derajat keleluasaan akses dan kontrol yang dimiliki oleh rumah tangga dalam memenuhi hak pangan mereka. Berdasarkan Petunjukan Pelaksanaan Kegiatan P2KP Kabupaten Gianyar (2013) guna mempertahankan dan meningkatkan tingkat ketahanan pangan di Kabupaten Gianyar, diharapkan pemerintah lebih mengarahkan pembangunan sector pertanian dengan berfokus pada : (a) upaya untuk mempertahankan lahan produktif sebagai media utama memproduksi komoditas pangan; (b)meningkatkan produktivitas tanaman pangandengan intensifikasi pertanian; (c) mengembangkan dan mensosialisasikan pangan umbi-umbian sebagai pangan substitusi maupun pengganti
pangan
mengembangkan
padi-padian.
potensi
pangan
Pemerintah yang
Kabupaten
dimiliki
Gianyar
masing-masing
perlu wilayah
kecamatannya sehingga ketersediaan pangan dapat saling melengkapi guna mewujudnya ketahanan pangan.
5
2.3 Pekarangan Pekarangan adalah lahan yang ada di sekitar rumah dengan batas pemilikan yang jelas (lahan boleh berpagar dan boleh tidak berpagar). Pekarangan sering juga disebut sebagai lumbung hidup, warung hidup atau apotik hidup. Lahan pekarangan bisa ditanam dengan beraneka jenis tanaman untuk menghasilkanbuahbuahan, sayur-sayuran, bunga-bungaan, tanaman obat-obatan, bumbu-bumbuan, rempah-rempah dan lain-lain, yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan keluarga (Departemen Pertanian, 2010). Menurut Subagyono (2011) fungsi pekarangan dapat digolongkan menjadi dua bagian yakni fungsi ekonomis dan non-ekonomis. Pekarangan berfungsi ekonomis yaitu hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup; sedangkan pekarangan berfungsi non-ekonomis yaitu hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara tidak langsung (jasa lingkungan). Pekarangan menjadi pilihan penting yang semakin diminati oleh masyarakat dalam pengembangan pertanian ke depan, dengan memanfaatkan laha luas maupun lahan sempit namun kualitas dan kuantitas pangan dapat ditingkatkan melalui teknologi yaitu teknologi veltikultur serta pemanfaatan pupuk dari limbah organik lokal. Pengelompokan lahan pekarangan dibedakan atas pekarangan perkotaan dan perdesaan, masing-masing memiliki spesifikasi baik untuk menetapkan komoditas yang akan ditanam, besarnya skala usaha pekarangan, maupun cara menata tanaman, ternak dan ikan (Subagyono, 2011)
6
Departemen Pertanian (2010) menyatakan bahwa pengelompokan lahan pekarangan dilakukan sebagai berikut : A. Pekarangan Perkotaan yang dikelompokkan menjadi 4 yaitu : 1. Perumahan Tipe 21, dengan total luas lahan sekitar 36 m2. 2. Perumahan Tipe 36, dengan luas lahan sekitar 72 m 2. 3. Perumahan Tipe 45, dengan luas lahan sekitar 90 m 2. 4. Perumahan Tipe 54 atau 60, dengan luas lahan sekitar 120 m 2 B. Pekarangan Perdesaan dikelompokkan menjadi 4 yaitu : 1. Pekarangan sangat sempit (tanpa halaman) 2. Pekarangan sempit (< 120 m2) 3. Pekarangan sedang (120-400 m2) 4. Pekarangan luas (> 400 m2) 2.4 Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) 2.4.1. Konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Berdasarkan Pedoman Umum merupakan
P2KP (2009) menyatakan bahwa KRPL
salah satu budaya bangsa yang berharga, yaitu memanfaatkan
pekarangan sebagai sumber bahan pangan keluarga melalui penanaman berbagai tanaman sayuran, buah-buahan, umbi-umbian dan tanaman obat serta pemeliharaan ternak. Demi memberikan dampak yang lebih luas dalam rangka kemandirian pangan, maka konsep Rumah Pangan (RP) tersebut kemudian secara kreatif dan kritis dikembangkan menjadi konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Menurut Subagyono (2011) Penambahan kata “kawasan” dibagian depan dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tujuan dari program ini tidak hanya sekedar rumah per rumah melainkan dikembangkan dalam skala lebih luas.
7
Berbeda dengan Rumah Pangan (RP) yang dilaksanakan rumah per rumah secara sendiri-sendiri tanpa ada keterkaitan dengan yang lain, KRPL diharapkan dapat melibatkan banyak rumah tangga dan saling terkait yaitu berbasis Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW), dusun (kampung), desa, atau wilayah lain yang memungkinkan. Dalam hal ini, partisipasi aktif masyarakat adalah suatu keharusan.Posisi pemerintah dalam program ini hanyalah sebagai penggerak awal dan pendamping yang ikut membimbing dan mendukung terbentuknya KRPL. Dengan kata lain, KRPL ini harus direncanakan dan dilaksanakan secara partisipatif (dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat) serta kemudian dievaluasi dan disempurnakan secara kreatif dan kritis oleh masyarakat dan pemerintah melalui aparat penggerak/penyuluh di lapangan. Dengan adanya partisipasi aktif masyarakat sejak awal perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi dan penyempurnaan tersebut, diharapkan pula bahwa pembentukan kawasan rumah pangan akan berlanjut secara lestari. Itulah yang diinginkan dan dimaksudkan dengan penambahan kata “lestari” pada konsep KRPL. Selain itu, untuk mendukung dan menjamin keberlanjutan (kelestarian) Kawasan Rumah Pangan, maka penyediaan dan ketersediaan bibit/benih menjadi salah satu faktor pendukung yang penting. Maka dalam konsep KRPL, kebun bibit menjadi salah satu prinsip yang wajib ada. Kebun bibit tersebut cukup satu untuk satu kawasan dan dikelola oleh masyarakat secara partisipatif (Dinas Pertanian, Perhutanan, dan Perkebunan Kabupaten Gianyar, 2013).
8
Tujuan dari KRPL berdasarkan petunjuk pelaksanaan kegiatan P2KP (2013) adalah: 1. Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari. 2. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, serta diversifikasi pangan. 3. Mengembangkan
sumber
benih/bibit
untuk
menjaga
keberlanjutan
pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan. 4. Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. 2.4.2 Tahapan pelaksanaan program KRPL Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Gerakan
P2KP yang
dikeluarkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali (2013) tahapan kegiatan program KRPL dengan sebagai berikut : 1. Identifikasi KWT calon penerima program 2. Pendamping dalam hal ini adalah penyuluh pertanian berkerja sama dengan kelompok
untuk
melaksanakan
kegiatan
optimalisasi
pemanfaatan
pekarangan 3. Sosialisasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan oleh pendamping kepada KWT penerima program.
9
4. Pengembangan Demplot pekarangan sebagai pekarangan percontohan . 5. Pengembangan kebun bibit desa (KBD) 6. Pengembangan pekarangan milik anggota KWT penerima program 7. Pembinaan satu sekolah untuk megembangkan kebun sekolah dengan tanaman sayuran dan buah, dan atau unggas/ternak kecil/ikan di setiap desa penerima program KWT pelaksana KRPL tahun 2013 mendapatkan dana bansos (bantuan sosial) sebesar Rp. 47.000.000.Sumber pendanaan untuk membiayai kegiatan program KRPL tahun 2013 berasal dari APBN yang dialokasikan di provinsi. Dana tersebut dipergunakan untuk sebagai berikut : 1. Rp 30.000.000 untuk pengembangan pekarangan anggota dan demplot. 2. Rp. 12.000.000 untuk kebun bibit 3. Rp. 3.000.000 untuk pengembangan kebun sekolah 4. Dan Rp 2.000.000 untuk pengembangan menu B2SA( Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman) dari hasil pekarangan dan atau usaha olahan pangan skala UMKM. Perkembangan dari kegiatan dari program KRPL yang sudah berjalan baik seiring dengan berjalannya aktivitas kelompok. Hal ini menjadi penilaian dari instansi terkait dalam memonitor program KRPL. Monitor merupakan pendekatan sistematis untuk mengukur kemajuan program ini. Berdasarkan hasil monitoring dari Dinas Pertanian, Perhutanan, dan Perkebunan Kabupaten Gianyar dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali maka pada tahun 2014 kembali diberikan dana sebesar Rp. 3.000.000,00 kepada keempat KWT
10
penerima program KRPL. Dana tersebut dipergunakan untuk pengembangan dalam pengelolaan kebun bibit desa. 2.5 Kelompok Wanita Tani (KWT) 2.5.1 Pengertian kelompok Menurut Suyatna (1982) menyatakan bahwa kelompok merupakan unit sosial yang terdiri atas sejumlah individu yang mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan peranannya. Secara tertulis maupun tidak tertulis ada norma yang mengatur tingkah laku anggota kelompok. Kelompok mempunyai peranan penting sebagai tempat berkomunikasi antar anggota. Dengan bekerjasama dalam kelompok maka pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih ringan. Pertemuan-pertemuan rutin dalam kelompok akan memberikan semangat bagi individu-individu dalam akibat mendapat informasi-informasi dalam pertemuan tersebut. Dengan demikian, kelompok tani mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) Merupakan kumpulan petani yang berorientasi dan berperan sebagai pengelola usaha tani, baik pria/wanita dewasa maupun pria/wanita muda; (2) Kelompok dibentuk oleh, dari dan untuk petani; (3) Bersifat non formal dalam arti tidak berbadan hukum, akan tetapi mempunyai pembagian tugas dan tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama, baik tertulis maupun tidak; (4) Mempunyai pengurus yang dipilih dari anggota secara demokratis, terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan pengurus lainnya sesuai kebutuhan; (5) Mempunyai kepentingan yang sama dalam berusaha tani; (6) Sesama anggota saling akrab dan percaya mempercayai; dan (7) Kelompok tani bergerak dalam memanfaatkan sumber daya pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan.
11
2.5.2 KWT Wanita tani sebagai bagian komponen masyarakat memiliki peran dan fungsi strategis karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembangunan pertanian. Untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan pertanian, maka menurut Saragih (1996) akan lebih efektif apabila dibentuk kelompokkelompok tani. Karena kelompok tani merupakan kumpulan petani yang terbentuk berdasarkan keakraban dan keserasian serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan
sumberdaya
pertanian,
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
anggotanya. Kelompok wanita tani merupakan suatu wadah bagi wanita tani dalam arti luas untuk mengembangkan usahataninya sebagai upaya pemberdayaan perempuan yang menekankan pada upaya-upaya peningkatan peranan wanita tani yang bermuara pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2004). Karena menurut Sutrisno (1997) ada suatu persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh tiap strategi pengembangan kelompok wanita apabila program-program pengembangan kualitas hidup kelompok wanita ingin berhasil, persyaratan tersebut harus didasarkan pada dua hal yakni perbaikan ekonomi dan perbaikan strategi para wanita dalam perbaikan status para perempuan (hak perempuan). 2.6 Persepsi KWT Persepsi adalah pengertian atau pemahaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menimbulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2004). Menurut Setiawan (2012) persepsi memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Persepsi merupakan
12
suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Proses penginderaan terjadi setiap saat individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan/perasaan). Stimulus tersebut kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya. Stimulus dapat berupa obyek yang bersifat konkrit maupun abstrak. Obyek konkrit berupa benda dapat mengenai semua jenis indera manusia, sedangkan obyek yang abstrak dapat diindera setelah melalui proses audial atau visual. Sedangkan Darmawijaya (2008) mengemukakan persepsi adalah proses memilih, mengorganisasikan dan interpretasi seseorang terhadap masukan informasi guna menciptakan gambaran yang memiliki makna. Jadi persepsi dapat diartikan sebagai penilaian terhadap sesuatu yang diterima atau dialami oleh seseorang. Persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya (Setiawan, 2012). Manusia mengamati suatu obyek psikologis dengan kacamatanya sendiri diwarnai oleh nilai dari kepribadiannya. Sedangkan obyek psikologis ini dapat berupa kejadian, ide atau situasi tertentu. Faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek psikologis tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul ide, kemudian konsep mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi seseorang akan terjadi keyakinan terhadap obyek tersebut (Setiawan, 2012).
13
Komponen afeksi memberikan evaluasi emosional (senang atau tidak senang). Komponen konasi yang menentukan kesediaan kesiapan jawaban berupa tindakan terhadap obyek. Atas dasar tindakan ini di mana unsur maka situasi yang semula kurang/tidak seimbang menjadi seimbang kembali. Keseimbangan dalam situasi ini berarti bahwa antara obyek yang dilihat sesuai dengan penghayatannya di mana unsur nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional. Jika situasi ini tidak tercapai, maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah sikap apatik, acuh tak acuh atau menentang sampai ekstrim memberontak (Setiawan, 2012). Menurut Siagian (1995) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu sebagai berikut : a. Diri orang yang bersangkutan, dalam hal ini yang berpengaruh adalah karakteristik individual meliputi dimana sikap, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan. b. Sasaran persepsi, yang menjadi sasaran persepsi dapat berupa orang, benda, peristiwa yang sifat sasaran dari persepsi dapat mempengaruhi persepsi orang yang melihatnya. c. Faktor situasi dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara kontektual artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu timbul. Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary Behavior (Bachtiar, 2015)
14
1. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya. 2. Involuntary Behavior dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden. Persepsi wanita tani penerima program KRPL merupakan proses dimana wanita tani memberi interpretasi terhadap pelaksanaan program KRPL dari pengamatan anggota KWT. Berdasarkan teori diatas persepsi wanita tani masuk pada tahap penilaian sebelum wanita tani memutuskan menerima atau menolak. Persepsi dari anggota KWT tentang program KRPL akan menentukan untuk melakukan program KRPL sehingga keberlanjutan dalam mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan atau berhenti mengembangkan program tersebut. 2.7 Pendapatan Rumah Tangga Menurut Suratiyah (2015) tolak ukur yang sangat penting untuk melihat kesejahteraan petani adalah pendapatan rumah tangga, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan petani. Pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan usahatani dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan pengurangan dari penerimaan dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga yaitu pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ditambah dengan pendapatan yang berasal dari kegiatan diluar usahatani.
15
Pendapatan luar usahatani adalah pendapatan yang diperoleh sebagai akibat melakukan kegiatan diluar usahatani seperti berdagang, beternak, dan lain-lain. Pendapatan rumah tangga merupakan hal yang sangat penting, besarnya pendapatan petani itu sendiri akan mempengaruhi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu, pangan, sandang, papan, kesehatan dan lapangan kerja.Petani di pedesaan khususnya petani kecil sangat tergantung dari pendapatan di sektor non pertanian sehingga kaitan keberhasilan sektor pertanian dan non pertanian di pedesaan menjadi sangat kental (Soekartawi, 2005). Keluarga pada umumnya terdiri dari seorang kepala keluarga dan beberapa orang
anggotanya.
Kepala
rumah
tangga
adalah
orang
yang
paling
bertanggungjawab terhadap rumah tangga tersebut, sedangkan anggota keluarga atau rumah tangga adalah mereka yang hidup dalam satu atap dan menjadi tanggungan kepala rumah tangga yang bersangkutan. Lebih lanjut Soekartawi menyatakan bahwa tingkat pendapatan rumah tangga merupakan indikator yang penting untuk mengetahui tingkat hidup rumah tangga. Umumnya pendapatan rumah tangga di pedesaan tidak berasal dari satu sumber, tetapi berasal dari dua atau lebih sumber pendapatan. Tingkat pendapatan tersebut diduga dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga petani.Tingkat pendapatan yang rendah mengharuskan anggota rumah tangga untuk bekerja atau berusaha lebih giat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendapatan keluarga diharapkan mencerminkan tingkat kekayaan dan besarnya modal yang dimiliki petani. Semakin besar pendapatan keluarga petani cenderung lebih berani menanggung resiko.
16
Sumber pendapatan rumah tangga digolongkan kedalam dua sektor, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Sumber pendapatan dari sektor pertanian dapat dirincikan lagi menjadi pendapatan dari usahatani, ternak, buruh petani, menyewakan lahan dan bagi hasil. Sumber pendapatan dari sektor non pertanian dibedakan menjadi pendapatan dari industri rumah tangga, perdagangan, pegawai, jasa, buruh non pertanian serta buruh subsektor pertanian lainnya (Sajogyo, 1990). Menurut Sukirno dalam Rahayu (2010), pendapatan dapat dihitung melalui tiga pendekatan, diantaranya adalah : 1) Pendekatan Pengeluaran. Dengan pendekatan ini pendapatan dihitung dengan menjumlahkan nilai pengeluaran/perbelanjaan ke atas barang-barang dan jasa. 2) Pendekatan Produksi. Pendekatan produksi menghitung pendapatan dihitung dengan menjumlahkan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan. 3) Pendekatan Pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan yang diterima dari faktor-faktor produksi untuk mewujudkan suatu barang dan jasa. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pendapatan dengan menjumlah seluruh pendapatan yang diterima dari berbagai sumber maupun transfer. 2.8. Nilai Pola Pangan Harapan (PPH) Suhardjo (2005) menyatakan bahwa kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia dipantau dengan menggunakan ukuran melalui Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapanadalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Pola Pangan Harapan merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari sembilan kelompok pangan dengan mempertimbangkan
17
segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama.Tujuan dari Pola Pangan Harapan (PPH) untuk menghasilkan suatu komposisi norma (standar) pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk, yang mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrition balance) berdasarkan cita rasa. Pola Pangan Harapan berguna sebagai instrument sederhana menilaisituasi ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi menurutjenis pengelompokan pangan. Dengan pendekatan Pola Pangan Harapan, keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi
tidak
hanya
kecukupan
gizi,
akan
tetapi
sekaligus
juga
mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh citarasa, daya guna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli (Darmawan, 2013). Oleh karena itu, dalan penentuan Pola Pangan Harapan (Suhardjo, 2005), bahan pangan dikelompokkan menjadi Sembilan dengan rincian : 1. Padi-padian (beras, jagung, terigu, dan hasil olahannya); 2. Umbi-umbian/Pangan berpati (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu, dan hasil olahannya); 3. Pangan hewani (ikan, daging, telur, susu, dan hasil olahannya); 4. Minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak goreng/kelapa sawit, margarin); 5. Buah dan biji berminyak (kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat); 6. Kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang tunggak, dan kacang lainnya); 7. Gula (gula pasir, gula merah/mangkok, dan sirup); 8. Sayuran dan buah (semua jenis sayuran dan buah-buahan), dan 9. Lain-lain ( teh, kopi, terasi, dan bumbu lainnya
18
2.9 Kajian Penelitian Sebelumnya Pembahasan hasil penelitian terdahulu dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran untuk memperjelas kerangka berpikir penelitian ini. Disamping itu juga merupakan referensi yang akan digunakan dalam melakukan evaluasi terhadap pengaruh masing-masing konsep. Penelitian yang dilakukan oleh Zahro (2012) yang berjudul Kontribusi Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari Dalam Mendukung Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Desa Banjarsari, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur memiliki persamaan variabel yang dikaji dalam penelitian ini yaitu mengenai persepsi terhadap KRPL serta manfaat dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan pendapatan keluarga. Adapun perbedaannya terletak pada obyekdan lokasi yang dikaji yaitu kegiatan KWT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi rumah tangga Desa Banjarsari menyatakan bahwa sebelum adanya KRPL KEMPLING lahan pemanfaatan pekarangan sudah termanfaatkan namun belum optimal.Desa Banjarsari mulai melakukan optimalisasi pekarangan untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dengan menambah sayuran. Manfaat yang dirasakan rumah tangga KRPL KEMPLING adalah menghemat pengeluaran rumah tangga dan menambah penghasilan.Manfaat fisik dari KRPL mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.
KRPL
memberikan
kontribusi
terhadap
pendapatan
keluarga.
Keberlanjutan KRPL KEMPLING ditinjau dari aspek lingkungan dan aspek sosial mampu memberikan manfaat untuk individu, rumah tangga, dan desa. Penelitian yang dilakukan oleh Aji (2013) berjudul Dampak Program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
19
(Studi Kasus Di Desa Pucangsari Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan) juga memiliki persamaan kajian dalam penelitian ini, yaitu dampak program KRPL terhadap pengeluaran rumah tangga. Adapun perbedaannya terletak pada variabel yang mempengaruhi yaitu karakteristik wanita tani dan pelaksanaan program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program KRPL di desa Pucangsari memberikan dampak yang signifikan pada pengeluaran konsumsi rumah tangga. Penelitian yang dilakukan oleh Udayani (2010) berjudul Dampak BLMUP3HP Terhadap Peningkatan Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja pada KWT di Kabupaten Klungkung memiliki persamaan kajian dalam penelitian ini, yaitu tujuan penelitian dalam melihat menganalisis keberhasilan suatu program. Adapun perbedaannya terletak pada variabel yang dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana BLM-UP3HP berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan KWT dan penyerapan tenaga kerja pada KWT di Kabupaten Klungkung. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyowati (2014) berjudul Peranan Wanita Tani dalam Penerapan Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada usahatani jagung di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur juga memiliki persamaan obyek dalam penelitian ini, yaitu peran wanita tani. Adapun perbedaannya terletak pada variabel yang dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita tani cukup berperan dalam penerapan teknologi PTT jagung, terutama dalam hal penerapan komponen varietas unggul, benih bermutu, populasi tanam, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.