KAJIAN PEMULIHAN MORFOLOGI DAN PEMUKIMAN KAWASAN PANTAI DI BANDA ACEH PASCA 10 TAHUN TSUNAMI ACEH SYAMSIDIK1,2*, RINA SURYANI OKTARI2.3 WIDYA SOVIANA4, KHAIRUL MUNADI2, ABDULLAH1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala. Jl. Syech Abdurrauf No. 7 Darussalam, Banda Aceh 23111, Indonesia 2 Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami, Tsunami Disaster and Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Jl. Prof Dr Ibrahim Hasan, Gampong. Pie, Kec. Meuraxa Banda Aceh, 23233, Indonesia 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abdurrauf, 23111, Banda Aceh. 4 Magister Ilmu Kebencanaan Universitasy Syiah Kuala, Jl. Hamzah Fansuri, 23111, Banda Aceh. 1
*
Corresponding author:
[email protected]
Abstrak: Setelah 10 tahun proses pemulihan pasca tsunami di Aceh, kawasan pantai di Banda Aceh memiliki bentuk baru akibat perubahan morfologi pantai. Perubahan tersebut sebagian terjadi karena proses pembentukan yang secara alami sedangkan lainnya terjadi karena intervensi manusia. Penataan kawasan pantai selama 10 tahun ini turut pula diikuti dengan penataan kawasan pemukiman di zona yang dahulunya merupakan zona yang terdampak paling parah akibat tsunami. Penelitian ini bertujuan melihat kaitan antara proses pemulihan morfologi pantai selama 10 tahun serta daya tarik populasi dan pengembangan pemukiman di kawasan pantai Banda Aceh. Peta yang menunjukkan sebaran kerentanan bangunan akibat tsunami di Kecamatan Meuraksa akan pula diperlihatkan. Survey Kuesioner yang melibatkan 450 responden di Kota Banda Aceh melengkapi penjelasan mengapa terjadi rebounce pada angka populasi di zona merah tersebut dan sekaligus menjawab apa daya tarik utama bagi warga Kota Banda Aceh saat ini saat memilih tempat tinggal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian kawasan pantai di Banda Aceh telah pulih dari sisi morfologi dan hal tersebut mendorong kembali tingginya angka populasi penduduk di kawasan pantai. Pertimbangan bahaya tsunami tidak lagi menjadi pertimbangan teratas saat warga Kota Banda Aceh memilih tempat tinggal setelah 10 tahun tsunami. Penegakan Tataruang Kota sebagaimana yang telah dituangkan dalam RTRW Kota Banda Aceh untuk tahun 2009-2029 memiliki tantangan berat. Melalui hasil penelitian ini, direkomendasikan agar penegakan hukum baik yang bersifat insentif maupun paksaaan perlu diperkuat untuk menghindari makin meningkatnya populasi kawasan pantai Banda Aceh yang berisiko tinggi terhadap tsunami. Kata kunci: Morfologi, kerentanan, pemukiman, tsunami.
PENDAHULUAN Banda Aceh merupakan salah satu kota yang terdampak parah akibat tsunami di tahun 2004 lalu. Gempa yang berskala 9.15 Mw menimbulkan kerusakan yang masif kepada infrastruktur kota dan pemukiman dan menimbulkan korban jiwa yang tinggi. Kota Banda Aceh kehilangan sekitar 1/3 dari populasi penduduknya saat ini akibat tsunami. Kerusakan yang dahsyat terhadap
prasarana kota dan pemukiman di Aceh disusul dengan serangkaian proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang secara formal dimulai pada April 2005 hinggal akhir Maret 2009 di bawah koordinasi sebuah badan khusus bernama Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Badan ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden yang secara langsung menkoordinir proses 4tahun Rehabilitasi dan Rekonstruksi dai Aceh dan Nias. Selama masa ini, sekitar 140.340 unit rumah baru dibangun untuk
menggantikan jumlah rumah yang rusak atau musnah akibat tsunami (BRR, 2009). Jumlah tersebut hampir menyamai jumlah rumah para korban. Permasalahan yang timbul di awal-awal fase rehab-rekon ini adalah penentuan lokasi pembangunan pemukiman. Di tahap awal, konsep sabuk hijau (Green Belt) diperkenalkan dalam Blueprints rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias. Konsep ini sedianya melarang proses pembangunan pemukiman atau fasilitas publik pada area sekitar 500 m dari garis pantai. Proses yang top-down pada awalnya menjadi rujukan penentuan lokasi pembangunan pemukiman para korban tsunami. Namun, dalam prosesnya, metode bottom-up yang lebih bersifat partisipatif lebih dominan mewarnai proses tersebut. Meskipun proses ini berhasil memberikan ruang dan kesempatan bagi para korban tsunami untuk menentukan arah pembangunan pemukiman, namun di banyak lokasi yang terdampak tsunami, para korban mendesak agar rumah mereka dibangun di lokasi yang sama sebelum tsunami terjadi. Pada akhir fase rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, hanya sebagian kecil saja konsep greenbelt tersebut dapat diterapkan. Mayoritas kawasan pantai sebagaimana di Banda Aceh kembali berubah menjadi kawasan pemukiman penduduk. Selama fase tersebut juga, sekitar 20% kawasan terbangun (built-up area) di Kota Banda Aceh mengalami perbaikan. Namun, kawasan hijau nyaris tidak mengalami peningkatan berarti (Achmad, 2013). Proses lanjutan setelah BRR Aceh Nias tersebut, dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Aceh bersama NGO Internasional dan Nasional. Diantara proses rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut adalah proses pemulihan kawasan pantai dan penataan ulang kawasan pemukiman pantai di Banda Aceh dan sekitarnya. Mengingat
sejumlah besar warga Banda Aceh menggantungkan kehidupannya dari sektor perikanan maka pemulihan morfologi pantai penting dalam rangka menyediakan dengan segera lahan tambak ikan/udang yang produktif bagi masyarakat. Di sisi lain, penataan ulang pemukiman dan perkotaan seyogyanya menghindari kembalinya risiko tsunami akibat penataan pemukiman yang tidak mengindahkan prinsip Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Namun demikian, saat ini, beberapa kawasan dalam Kota Banda Aceh telah kembali dihuni oleh penduduk dengan jumlah populasi yang cukup tinggi. Ini ditunjukkan dengan tingginya populasi kecamatan-kecamatan yang memiliki pantai. Melihat permasalahan tersebut di atas, maka perlu kiranya dilakukan kajian untuk memetakan ulang tingkat kerentanan kawasan pantai di Kota Banda Aceh dari bahaya tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses pemulihan morfologi pantai yang berkaitan dengan sumber daya perikanan di sekitar Banda Aceh dan memetakan ulang kerentanan kawasan pemukiman khususnya wilayah yang secara langsung berhadapan dengan pantai. Selain itu, kajian ini juga dimaksudkan untuk melihat kecenderungan pemilihan tempat tinggal warga Kota Banda Aceh setelah 10 tahun tsunami. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan diketahui dengan jelas tantangan penataan kawasan pantai di Banda Aceh, baik dari segi morfologi, maupun dari segi populasi/pemukiman. LOKASI STUDI Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh yang merupakan Ibukota Provinsi Aceh yang saat ini memiliki populasi sekitar 239.000 jiwa. Kota Banda Aceh memiliki 9 Kecamatan dimana empat kecamatannya langsung
Gambar 1. Peta zona kerusakan akibat tsunami di Tahun 2004 di Kota Banda Aceh (modifikasi dari BPN NAD, 2005).
berhadapan dengan lautan, yaitu Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Kutaraja, dan Kecamatan Syiah Kuala. Empat kecamatan tersebut memiliki tingkat aktifitas perikanan yang cukup tinggi. Sebagai contoh, Kecamatan Meuraksa dan Kecamatan Syiah Kuala memiliki luasan tambak yang mendominasi hampir 50% kecamatan tersebut. Sebuah pelabuhan perikanan dengan status Pelabuhan Samudera, PP Lampulo, berlokasi di muara Sungai Krueng Aceh yang berada di Kecamatan Kuta Alam. Populasi di keempat kecamatan tersebut sebelum tsunami kira-kira 25% dari total populasi penduduk Kota Banda Aceh sebelum tsunami tahun 2004.
Berdasarkan data dari Badang Pertanahan Nasional Aceh (BPN NAD), kawasan terdampak tsunami di tahun 2004 di Banda Aceh dapat dibagi atas empat kawasan. Kawasan tersebut adalah kawasan yang terdampak parah (zona merah), kawasan yang terdampak sedang (zona kuning), dan zona yang terdampak minimum atau tidak sama sekali (zona hijau). Peta klasifikasi kerusakan di Banda Aceh akibat tsunami di Tahun 2004 tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan sejak October 2012 hingga akhir Desember 2014 dengan 3 metode. Metode pertama adalah dengan analisis perubahan morfologi pantai dengan menggunakan gambar satelit dari QuickBird. Gambar satelit tersebut diambil tahun 2004 (sebelum tsunami), tahun 2005, tahun 2009, dan tahun 2011. Metode ini digunakan untuk mengetahui perubahan morfologi pantai di dua lokasi utama yaitu di Kecamatan Meuraksa dan di Kecamatan Syiah Kuala. Metode kedua dilakukan dengan menggunakan Metode Building Tsunami Vulnerability Assessment (BTV) sebagaimana dapat dilihat dengan rinci pada Omira et al. (2009). Metode BTV tersebut mengambil 3 parameter utama yaitu kondisi bangunan (Fcb), kondisi perlindungan pantai (Fcs), dan kondisi ketingginan genangan/inundaasi (Fci). Metode ini dilaksanakan di salah satu kecamatan yang rentan terhadap bahaya tsunami, yaitu Kecamatan Kuta Alam. Perhitungan BTV dilakukan dengan Persamaan berikut .
dalam persen menggunakan
π΅ππ πΉπ€π Β π₯ Β πΉππ + πΉπ€π Β π₯ Β πΉππ + (πΉπ€π Β π₯ Β πΉππ ) = Β π₯100 ! !!! πΉπππππ Β π₯ Β πΉπ€ π
dimana Fwb, Fwi, Fws masing-masing adalah bobot untuk parameter bangunan, inundasi dan perlindungan pantai. Nilai bobot bangunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Bobot untuk Building Vulnerability Assessment Parameter Kondisi Bangunan (Fwb) Inundasi tsunami (Fwi) Perlindungan pantai (Fws)
Bobot 3 2 1
Nilai inundasi tsunami di kecamatan tersebut diperoleh berdasarkan pemetaan tsunami pole (Fauziah, 2014). Kondisi bangunan di Kecamatan Kuta Alam tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Metode ketiga dilaksanakan dengan menyebarkan kuesioner kepada 450 responden di tiga wilayah yang menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh sebagai zona merah (paling buruk terdampak akibat tsunami), zona kuning (yang berdampak moderat), dan zona hijau (yang nyaris tidak terdampak oleh tsunami). Masingmasing zona tersebut disebarkan kuesioner kepada 150 responden yang mewakili 1 rumah tangga. Kuesioner tersebut berisi empat bagian penting pertanyaaan, yaitu kaitan responden dengan perisitiwa tsunami, perpindahan responden sesaat setelah tsunami, perpindahan responden sekitar 10 tahun setelah tsunami, dan alasan pemilihan tempat tinggal saat ini. Tujuan dari pelaksanaan survey kuesioner ini adalah untuk melihat hubungan antara latar belakang responden terhadap peristiwa tsunami di tahun 2004 lalu dengan alasan pemilihan tempat tinggal/rumah setelah 10 tahun peristiwa tsunami. Hasil survey kuesioner ini diharapkan akan mampu menjelaskan tingkat keutamaan bahaya tsunami dalam penentuan tempat tinggal. Untuk pembobotan jenis bangunan (Fcb) dipergunakan rujukan sebagaimana pada Tabel 2.
Tipe A
Tipe C
Tipe B
Tipe D
Tipe E Gambar 2. Tipe bangunan pemukiman di Kecamatan Meuraksa dan Kecamatan Kuta Alam (Soviyana, 2015).
Kondisi bangunan di Kecamatan Kuta Alam dibagi atas 5 kriteria yang secara umum mewakili kondisi bangunan pemukiman di wilayah ini. Tipe A merupakan tipe yang paling kuat atau tipe yang tingkat kerentanannya paling rendah karena dibangun dengan struktur perkuatan yang cukup dan memiliki ketinggian yang relatif tinggi, melampaui ketinggian inundasi tsunami maksimum di wilayah ini. Sebaliknya, Tipe E merupakan bangunan non permanent yang memiliki daya tahan paling lemah atau tingkat kerentanan paling tinggi di antara jenis-jenis bangunan yang ada di wilayah ini.
Tabel 2. Nilai kerentanan menurut tipe bangunan (Fcb) Tipe bangunan
Tingkat kerentanan
Faktor kerentan an (Fcb)
Tipe A
Sangat rendah rendah sedang Tinggi Sangat tinggi
1
Tipe B Tipe C Tipe D Tipe E
2 3 4 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pemulihan Morfologi Pantai Pada Kecamatan Kuta Raja, sebelum peristiwa tsunami terdapat cukup banyak tambak udang/ikan yang dikelola oleh masyarakat (Gambar 3a). Ini menjelaskan dominasi aktifitas perikanan budidaya di kawasan ini sebelum tsunami. Pada peristiwa tsunami tahun 2004, garis pantai yang memisahkan laut dan pertambakan rusak parah. Morfologi pantai kawasan ini tererosi hingga ratusan meter ke arah darat (Gambar 3b). Akibat peristiwa ini, aktifitas perikanan di wilayah ini lumpuh total. Mengingat keberadaan tambak cukup penting untuk memulihkan
perekonomian kawasan ini, maka pemulihan garis pantai yang bersifat segera menjadi kebutuhan yang mendesak di awal fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemulihan yang bersifat segera kemudian dilaksanakan dengan membangun konstruksi revetment di sepanjang garis pantai yang diharapkan mampu mengembalikan jumlah tambak produktif di kawasan ini. Namun, hingga akhir 2011, jumlah tambak yang berhasil dipulihkan tidak dapat mencapai luasan yang sama dengan tambak sebelum peristiwa tsunami. Gambar 3e memperlihatkan kondisi morfologi pantai di kawasan ini dengan jumlah tambak yang tidak dominan. Hal serupa ditemui juga di Kecamatan
Gambar 3. Perubahan Morfologi Pantai di Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh dari tahun 2004 (sebelum tsunami) hingga tahun 2011 (Syamsidik et al., 2013).
Gambar 4. Perubahan Morfologi Pantai di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh dari tahun 2004 (sebelum tsunami) hingga tahun 2011 (Syamsidik et al., 2013).
Syiah Kuala. Gambar 4 memperlihatkan perkembangan pemulihan morfologi pantai di Kecamatan ini berdasarkan analisis gambar satelit. Hal lain yang turut menyebabkan redahkan tingkat pemulihan tambak di kawasan ini adalah masih cukup tingginya salinitas air di kawasan ini yang tidak sesuai untuk perikanan budi daya yang dikembangkan oleh masyarakat di dua kecamatan tersebut. Di sisi lain dapat dilihat bahwa vegetasi pantai di kedua kawasan ini tidak mengalami peningkatan berarti meskipun konsep green belt sempat diperkenalkan sebagai konsep pembangunan kembali kawasan pantai Kota Banda Aceh.
2. Kerentanan Bangunan terhadap tsunami Berdasarkan hasil survey yang dilakukan sampai dengan akhir tahun 2014 lalu, di Kecamatan Kuta Alam terdapat setidaknya 11.034 unit bangunan baru yang mayoritas merupakan bangunan yang terendam oleh tsunami di tahun 2004. Dari jumlah tersebut, sekitar 70% merupakan bangunan Tipe C yang merupakan bangunan permanen 1 lantai seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Bangunan Tipe C ini merupakan bangunan rumah yang dibangun selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Hanya ada sekitar 172 unit bangunan saja atau 1.56% saja yang merupakan bangunan Tipe A. Beberapa di antaranya merupakan Sekolah yang baru dibangun dan Gedung Evakuasi Tsunami yang memiliki desain khusus.
Bangunan Gedung Evakuasi yang ada hanya dapat menampung sekitar 600 jiwa saja. Oleh karena itu, Bangunan Tipe A yang berjumlah 172 unit tersebut dapat digunakan sebagai tempat evakuasi setelah mendapatkan perbaikan dan perlakukan khusus sehingga layak menjadi bangunan evakuasi alternatif. Berdasarkan metode BTV, maka diperoleh bahwa terdapat 7.83% bangunan yang memiliki tingkat kerentanan rendah, 35,21% memiliki
kerentangan rendah, 55.17% tinggi, dan 1,79% memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap bahaya tsunami. Mengingat jumlah bangunan yang memiliki kerentanan tinggi di wilayah ini lebih dari setengah, maka perlu penanganan mitigasi khusus dan berkelanjutan agar tingkat kerentanan bangunan tersebut dapat diminimalisir. Peta BTV untuk Kecamatan Kuta Alam dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta sebaran bangunan menurut Kerentanan Bangunan terhadap Bahaya Tsunami di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. (Soviyana, 2015)
Hasil pemetaan tersebut dan pemeriksaaan ke lapangan ditemukan juga bahwa terdapat peluang untuk menggunakan bangunan yang ada menjadi tempat evakuasi alternatif. Bangunan-bangunan tersebut diperkirakan dapat menampung sekitar 95% warga kecamatan ini dengan syarat adanya sosilalisasi yang cukup dan perbaikan fasilitas bangunan yang layak dijadikan bangunan evakuasi tsunami. 3. Pemilihan Tempat Tinggal Berdasarkan analisis 450 kuesioner di tiga zona yang terdampak oleh tsunami ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang cukup erat antara pengalaman seseorang terhadap tsunami dengan lokasi tempat tinggal yang dipilih setelah 10 tahun tsunami berlalu. Hasil ini cukup merisaukan mengingat bencana tsunami masih menjadi jenis bencana yang prioritas ditangani untuk Aceh dan khususnya untuk Banda Aceh. Sekalipun telah ada RTRW Kota Banda Aceh yang berlaku dari Tahun 2009 hingga Tahun 2029, terdapat tantangan yang cukup serius pada sisi penegakan aturan tersebut. Menurut hasil kuesioner tersebut, maka urutan-urutan alasan yang melatarbelakangi pemilihan tempat tinggal oleh warga Kota Banda Aceh saat ini dimulai dari yang paling dominan adalah sebagai berikut: 1. harga sewa/harga tanah; 2. karena milik sendiri; 3. dekat dengan tempat bekerja 4. lingkungan sekitar yang nyaman; 5. pertimbangan tsunami. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa tsunami meskipun masih menjadi
salah satu pertimbangan namun tidak lagi urgen setelah 10 tahun. Tsunami yang sempat menjadi push factor pada pola migrasi penduduk di Kota Banda Aceh telah kehilangan pengaruh cukup signifikan. Pull Factor berupa harga tanah atau harga sewa yang murah di kawasan pantai telah menyebabkan penduduk kota memilih untuk bertempat tinggal di kawasan pantai. Ini dapat menjelaskan mengapa populasi penduduk di empat kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut telah nyaris sama dengan jumlah populasi penduduk sebelum peristiwa tsunami tahun 2004. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Pemulihan morfologi pantai di Kota Banda Aceh telah mengembalikan garis pantai sebagaimana sebelum peristiwa tsunami. Namun, mayoritas aktifitas perikanan budidaya seperti tambak belum dapat dipulihkan secara total. b. Masih cukup tingginya kerentanan bangunan di Kota Banda Aceh terhadap bencana tsunami sebagaimana ditemukan di Kecamatan Kuta Alam. Meskipun demikian, ditemukan juga potensi penggunaan bangunan Tipe A yang mampu menjadi bangunan evakuasi alternatif setelah mengalami perbaikan/penguatan dan sosialisasi yang memadai; c. Tsunami sudah tidak lagi menjadi push-factor pada pola pemilihan tempat tinggal oleh Penduduk Kota Banda Aceh. Hasil ini perlu diimbangi dengan penegakan aturan penggunaan lahan sebagaimana yang telah tertuang pada RTRW Kota Banda Aceh tahun 2009-2029. Tanpa penegakan aturan yang tegas,
dikhawatirkan akan semakin meningkatnya risiko tsunami di kawasan pantai Kota Banda Aceh seiring dengan tumbuhkan populasi kota dari waktu ke waktu. ACKNOWLEDGEMENTS Penulis mengucapkan terimakasih kepada USAID dan the National Academy of Sciences yang telah mendukung proses publikasi melalui PEER Cycle 3, Sponsor Grant Award Number: AID-OAAA-A-11-00012 dan Sub Grant Number PGA-2000004893 dengan judul Grant: Tsunami Waves Impacts on Coastal Morphological Changes Based on Sediment Transport Simulations.
Matsumaru R, Nagami K, Takeya K, 2012. Reconstruction of the Aceh Region following the 2004 Indian Ocean tsunami disaster: A transportation perspective. IATSS Research 36:11-19. Omira, R., Baptista, M.A., Miranda, J.M., Toto, E., Catita, C., Catala, J., 2010. Tsunami vulnerability assessment of Casablanca-Morocco using numerical modelling and GIS tools. Jurnal Nat Hazards. Vol.54, pp 75-95 : SpringerLink.
DAFTAR PUSTAKA
Soviyana, W. 2015. Analisis Kerentanan Bangunan Gedung dalam menghadapi Bencana Tsunami di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Thesis. Magister Ilmu Kebencanaan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Ahmad A, 2013. Land use changes in the urban growth process after a tsunami using RS and GIS: A case of Banda Aceh, Indonesia. Research Abstracts on Spatial Information Science. CSIS DAYS 2013, p7.
Syamsidik, Iskandar A, Rasyif TM, 2014. Progress of Coastal Line Rehabilitation After The Indian Ocean Tsunami around Banda Aceh coasts. In: Shaw R (ed) Recovery from the Indian Ocean Tsunami: A Ten-Year Journey. Springer, Tokyo.
BPN NAD (Aceh Province Land Agency), 2005. Map of Damage Levels due to Tsunami waves in Banda Aceh (in Bahasa Indonesia). Banda Aceh-Indonesia. BRR (Aceh Nias Rehabilitation and Reconstruction Agency), 2009. Housing: Roofing the Pillars of Hope. BRR Book Series. Banda Aceh, Indonesia. Fauziah. 2013. Analisis Risiko Bencana Tsunami Kota Banda Aceh dalam Jurnal Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala.