Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
PEMUKIMAN MILITER PENINGGALAN BELANDA DI BANDA ACEH (Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, 1900-2015) Maisal Gusri Daulay1, Husaini2, Teuku Abdullah3
Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected] [email protected] [email protected]
ABTRASCT This study raised the question of how the beginning of the establishment of military settlements in Neusu Jaya and Kuta Alam, how the transition function of the Dutch military buildings in Neusu Kuta Alam Jaya and from year to year and How Neusu state military settlements in Kuta Alam Jaya and at the present time. The purpose of this study was to describe all aspects related to the development of military settlements in Neusu Jaya and Kuta Alam. The data collection is done in three ways, namely interviews with informants. Informants in this study include members and clerks Iskandar Muda Military Command I, along with community Keuchik Gampong Neusu Jaya and Kuta Alam, Military Housing Residents, Retired Military and Staff Institute for Preservation of Cultural Property (BPCB). Documentation on the library archives and documents originating from the Military District Command I IM, and direct observation to the study site. The method used is critical historical method with qualitative approach. The results of data analysis showed that the beginning of the establishment of military settlements in Neusu Kuta Alam Jaya and is a relic of the Dutch Colonial. The Netherlands chose Neusu Jaya area and Kuta Alam as its military base because the area is very strategic and profitable for the Dutch colonial administration. Transition function of military buildings in Neusu Kuta Alam Jaya and appropriate authority of the government in power. During the Dutch colonial buildings are owned by the Dutch. At the time of the building occupied by the Japanese and the Japanese military occupied military post independence. At the current state of military settlements in Neusu Kuta Alam Jaya and can be said to be groomed and neat because it is directly under the control of the Military District Command I IM. In terms of preservation of cultural heritage sites the government has always tried to care for and preserve cultural heritage buildings in the military settlements, through cooperation programs and Army BPCB I IM. For the people that are around military settlements, the place is an attraction in itself in the city of Banda Aceh.
1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah. Dosen Pembimbing I. 3 Dosen Pembimbing II. 2
119
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
ABSTRAK
Penelitian ini mengangkat masalah tentang bagaimana awal mula berdirinya pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, bagaimana peralihan fungsi bangunan militer Belanda di Neusu Jaya dan Kuta Alam dari tahun ke tahun dan Bagaimana keadaan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam pada saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan segala aspek yang berhubungan dengan perkembangan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yakni wawancara dengan informan. Informan dalam penelitian ini meliputi anggota dan Pegawai Kodam I Iskandar Muda, Keuchik beserta masyarakat Gampong Neusu Jaya dan Kuta Alam, Penghuni Pemukiman Militer, Pensiunan TNI, dan Pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Dokumentasi pada arsip perpustakaan dan dokumen-dokumen yang berasal dari Kodam I IM, dan observasi langsung ke lokasi penelitian tersebut. Metode yang digunakan adalah metode sejarah kritis dengan pendekatan kualitatif. Hasil analisis data menunjukan bahwa awal mula berdirinya pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam adalah peninggalan Kolonial Belanda. Belanda memilih daerah Neusu Jaya dan Kuta Alam sebagai basis militernya dikarenakan daerah tersebut sangat strategis dan menguntungkan bagi administrasi pemerintah kolonial Belanda. Peralihan fungsi bangunan militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam sesuai otoritas pemerintah yang berkuasa. Pada masa kolonial Belanda bangunan tersebut milik Belanda. Pada masa Jepang bangunan tersebut ditempati Jepang dan pasca kemerdekaan ditempati militer TNI. Pada saat ini keadaan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam bisa dikatakan terurus dan rapi karena berada langsung di bawah kendali Kodam I IM. Dalam hal pelestarian situs cagar budaya pemerintah selalu berusaha merawat dan melestarikan bangunan cagar budaya di pemukiman militer tersebut, melalui program kerjasama BPCB dan KodamI IM. Bagi masyarakat yang ada di sekitar pemukiman militer, tempat tersebut merupakan sebuah daya tarik sendiri yang ada di kota Banda Aceh. Kata kunci: Komparasi, Kuta Alam, Neusu Jaya, Pemukiman Militer.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pada tanggal 9 Desember 1873 di bawah pimpinan Jendral J. Van Swieten Belanda mendarat di Aceh untuk kedua kalinya di kampung Ulee-Lheue dengan kekuatan yang melebihi dua kali lipat agresi pertama, maka dengan kekuatan itu daerah Koetaradja seluas 25 km persegi berhasil diduduki berkat usaha keras J. Van Swieten (Zakaria Ahmad, dkk, 2008 : 8283). Pada tanggal 24 Januari 1874 Belanda berhasil merebut Keraton Aceh, Namun demikian walaupun keraton dapat dikuasai Belanda, rakyat Aceh tidak patah
Pada tanggal 5 April 1873 pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R Kohler mulai mendarat di Pantee Ceureumeen, kira-kira 5 km dari arah ibu kota Koetaradja. Dengan demikian perang kolonial di daerah ujung barat laut kepulauan Indonesia secara resmi telah dimulai. Namun dengan kegigihan rakyat Aceh dapat memukul mundur pasukan Belanda, sehingga Koetaradja tidak dapat dikuasai Belanda (Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, 2006: 77). 120
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
semangat karena perjuangan tidak terikat kepada istana dan tidak terikat pula pada sultan (H.M Thamrin Z, 2004 : 94). Hubungan antara Aceh dan Belanda semakin memanas hingga pada akhirnya Pemerintah Belanda dapat menduduki wilayah Koetaradja dan mendirikan birokrasi pemerintahan. Ketika menduduki Koetaradja, Belanda melakukan pembangunan terhadap tata ruang Koetaradja. Dalam pembangunannya, Belanda mendirikan pemukiman militer agar dapat menempatkan perwira militernya. Bekas pemukiman Belanda yang masih dapat disaksikan di kota Banda Aceh adalah Neusu Jaya dan Kuta Alam. Selain membangun tempat tinggal untuk perwira, Belanda juga membangun jaringan Kereta Api, Pendopo Gubernur, Tower Air, Sentral Telepon Otomat, De Javasch Bank yang kini berganti nama menjadi Bank Indonesia, dan Gereja Katolik Hati Kudus (Nanda Safitri, 2015: 2-3). Hingga pada saat ini, beberapa di antara bangunan tersebut masih bisa ditemukan di Kota Banda Aceh. Menurut Situs Atjeh Post (diakses pada tanggal 30 April 2014 pukul 11:50 WIB) kota tua Banda Aceh menyimpan banyak sejarah yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini. Salah satunya adalah bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Neusu Jaya, yang kini sudah beralih fungsi menjadi kompleks rumah dinas tentara Kodam Iskandar Muda. Masa pendudukan Belanda di Aceh yang cukup lama memungkinkan kaum penjajah mendirikan berbagai bangunan demi kepentingan mereka saat itu(http : // atjehpost. co/articles / read / 3465 / Nuansa Kolonial - Di - Kota - Tua).
Bangunan-bangunan Peninggalan Belanda juga terdapat di Kecamatan Kuta Alam. Sama seperti di daerah Neusu Jaya hingga saat ini daerah Kuta Alam telah menjadi pemukiman militer TNI Kodam Iskandar Muda dan bangunan bekas peninggalan Kolonial Belanda telah dialihfungsikan menjadi kantor dan kompleks perumahan TNI Kodam I Iskandar Muda. Menurut Situs Serambi Indonesia (diakses pada tanggal 1 April 2016 pukul 14:31 WIB), sejak tahun 1991 kompleks perumahan peninggalan kolonial Belanda, Pendopo Gubernur, BI, Baperis, dan Sentral Telepon ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya nasional. Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2010 memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola cagar budaya di daerahnya masing masing. Kini bangunan peninggalan Belanda itu dialihfungsikan menjadi rumah dinas tentara Kodam I Iskandar Muda (http://Aceh.tribunnews.com /2015/04/01/menyusuri-jejak-kolonial-dikota-tua-banda-Aceh, diakses tanggal 1 April 2016 pukul 14:31 WIB). Dilihat dari eksistensi bangunan bekas peninggalan Belanda pada saat ini, dapat dikatakan keberadaanya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Meskipun bangunan tersebut merupakan hasil peninggalan Kolonialis Belanda tetapi masih mendapatkan perawatan yang layak bahkan pada saat ini bangunan tersebut telah beralih fungsi menjadi komplek perkantoran TNI Kodam Iskandar Muda. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji komparasi perkembangan pemukiman tersebut dengan 121
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
melakukan penelitian yang berjudul Pemukiman Militer Peninggalan Belanda di Banda Aceh (Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, 1900-2015). Berdasarkan latar belakang di atas, muncul satu permasalahan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu Pemukiman Militer Peninggalan Belanda di Banda Aceh “(Kajian Komparasi Perkembangan Pemukiman Militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, 19002015)”.Untuk mempermudah proses analisis, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:Bagaimana awal mula berdirinya pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam?Bagaimana peralihan fungsi bangunan militer Belanda di Neusu Jaya dan Kuta Alam dari tahun ke tahun?Danbagaimana keadaan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam pada saat ini?
Manfaat teoretis, yaitu dapat memberikan tambahan ilmu yang berguna dalam mengembangkan pengetahuan tentang sejarah perkembangan pemukiman militer Belanda yang ada di Neusu Jaya dan Kuta Alam, khususnya berkaitan dengan peninggalan militer Belanda yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberi bekal dan tambahan pengetahuan dan membuka wacana pemikiran baru bagi masyarakat Aceh agar mereka mengetahui tentang salah satu peninggalan sejarah Aceh yang harus diketahui dan dapat dilestarikan. METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode yang sesuai untuk dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hal ini dikarenakan objek yang akan dikaji memiliki fenomena yang dapat diungkapkan oleh peneliti. Fenomena yang dimaksud adalah pola pemukiman dan bentuk bangunan peninggalan Belanda yang ada di Neusu Jaya dan Kuta Alam. Selain itu, metode sejarah kritis juga dipakai dalam penelitan ini, karena dimaksudkan untuk mengungkapkan kembali perkembangan pemukiman dan bangunan tersebut sejak awal berdirinya hingga pada saat sekarang ini.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:Untuk mengetahui awal mula berdirinya pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam.Untuk mengetahui bagaimana peralihan fungsi bangunan militer Belanda di Neusu Jaya dan Kuta Alam dari tahun ke tahun.Untuk menjelaskan bagaimana keadaan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam pada saat ini. .
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Neusu Jaya dan kelurahan Kuta Alam, Kecamatan Baiturrahman dan Kecamatan Kuta Alam kota Banda Aceh.Waktu penelitian dimulai awal Agustus 2016 hingga Desember 2016.
MANFAAT PENELITIAN
Mengenai manfaat yang dapat diambil dari penelilian ini yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis:
122
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moleong 2005:186). Penelitian ini menggunakan teknik Purposive sampling. (Lexy J. Moleong 2015:224). Dalam penelitian ini melibatkan lebih dari 5 orang informan yaitu Pensiunan Anggota Militer TNI yang menghuni pemukiman, pegawai dinas pariwisata dan masyarakat di sekitar lokasi penelitian.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun proses pengumpulan data di dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu: Observasi Observasi atau pengamatan ialah mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, prilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya. Pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian. (Lexy J Moleong 2005:175) Teknik ini dilakukan dengan proses pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul dari lapangan, maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data tersebut melalui metode sejarah kritis. Langkah awal adalah mengkritik terhadap informasi yang didapatkan pada lapangan. Langkah berikutnya adalah mulai melakukan penafsiran atas data yang telah dipilih. Caranya adalah dengan menggabungkan semua data yang diperoleh untuk disesuaikan agar menjadi logis dan berpadu. Setelah itu, baru dilakukan penjelasan yang mana dibutuhkan ketelitian agar fakta yang disampaikan oleh penulis sesuai dengan fenomena yang terjadi di lapangan.
Dokumentasi Teknik dokumentasi ialah suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah dan bukan berdasarkan perkiraan (Basrowi & Suwandi, 2008:158). Dalam penelitian ini, menggunakan beberapa dokumen dan arsip, seperti arsip dan dokumen dari BAPPEDA (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah), BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya), PDIA (Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh), BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya), Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah, Perpustakaan Zidam Iskandar Muda, dan Dinas Pariwisata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Banda Aceh merupakan ibu kota Provinsi Aceh. Secara geografis Kota Banda Aceh berada pada posisi yang terletak di antara 05016'15"−05036'16" Lintang Utara dan 95016'15"−95022'35" Bujur Timur. Daratan Kota Banda Aceh memiliki rata-rata altitude 0,80 meter di atas permukaan laut. Kota Banda Aceh memiliki luas wilayah 61.359 H (61,36 km2). Dengan luas wilayah 14,24 km2, Secara administrasi pemerintahan, wilayah
Wawancara Wawancara atau interview adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak (interviewer) yang melakukan penelitian dan terwawancara (interviewer) yang 123
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
Kota Banda Aceh terdiri atas 9 kecamatan yang terbagi dalam 90 gampong (desa) serta 17 kemukiman. (Sumber: Katalog BPS Kota Banda Aceh, 2015: 1-2).
data perkembangan penduduk Gampong Kuta Alam dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015Jumlah Penduduk terbanyak dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 berada di Dusun Bahagia, sedangkan Dusun yang berpenduduk rendah terdapat di Dusun Sejahtera (Sumber: “Dokumen Gampong Kuta Alam”2016).
Letak Geografis Neusu Jaya Gampong Neusu Jaya memiliki lima dusun, yakni Dusun Selamat, Dusun Sentosa, Dusun Sejahtera dan Dusun Makmur. Neusu Jaya hingga akhir 2016, dipimpin oleh Geuchik Abdul Mukti. Neusu Jaya juga memilikidua unit masjid, yaitu masjid Al Falah dan Masjid Al Fitrah.Di samping itu, terdapat juga asrama dan pemukiman militer yang sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Luas keseluruhan gampong Neusu Jaya 31.25 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 2.303 jiwa (Sumber: “Dokumen Gampong Neusu Jaya”2015). Letak Geografis Kuta Alam Gampong Kuta Alam memiliki Luas wilayah 58,75 H. Keadaangampong tersebut telah mengalami pertumbuhan,. Pada tahun 2011 sebanyak 546 jiwa mengalami pertumbuhan sebesar 12,09% sampai dengan tahun 2015 menjadi sebesar 1213 jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk Gampong Kuta Alam selama 5 tahun terjadi penambahan 667 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 16,56%. Dengan luas wilayah 0,41 km², kepadatan penduduk Gampong Kuta Alam pada tahun 2011 sebesar 1,33/km². Angka tersebut mengalami kenaikan pada akhir tahun 2015 menjadi 2,96/km². Sedangkan Sex ratio penduduk Gampong Kuta Alam tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 sebesar 99,84%, yang berarti setiap 100 jiwa penduduk perempuan terdapat 99,84 jiwa penduduk laki-laki.Untuk lebih jelas,
Awal Mula Berdirinya Pemukiman Militer Belanda di Neusu Jaya dan Kuta Alam Ketika menguasai Aceh, Belanda membangun wilayah pemukiman untuk menempatkan perwira militernya, bekas pemukiman Belanda yang masih dapat disaksikan di kota Banda Aceh adalah daerah Neusu dan Kuta Alam. Pemukiman perwira Belanda yang dibangun di daerah Neusu dan Kuta Alam menunjukan cirri khas kolonial dari arsitekturnya yang bersayap, langit-langit tinggi, bukaan pintu dan jendela yang lebar, serta area servis yang berada di belakang bangunan induk. Bangunan tersebut menggunakan kontruksi kayu dengan model tabrumah panggung. Penggunaan material kayu berkaitan erat dengan sumber kayu yang saat itu berlimpa di Aceh. Selain itu, penggunaan material kayu juga berkaitan dengan kondisi Aceh yang sering dilanda gempa sehinga diperlukan material yang ringan namun kuat. Penempatan rumah perwira milter Belanda dikawasan Neusu dan Kuta Alam disebabkan karena masa pemerintahan kolonial Belanda di Aceh, kedua kawasan tersebut menjadi lini konsentrasi Belanda dalam kaitannya dengan tata kota yang direncanakan oleh Belanda. Selain itu, 124
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
kawasan Neusu dan Kuta Alam berada di dekat Krueng Daroy sehingga mendukung syarat sebuah hunian yang ideal. Topografi kawasan Neusu dan Kuta Alam yang tinggi juga menjadi salah satu alasan pihak kolonial Belanda memilih kawasan tersebut sebagai daerah hunian karena kota Banda Aceh termasuk daerah yang rawan banjir. Walaupun topografi kawasan Neusu dan Kuta Alam lebih tinggi, namun Belanda tetap membangun rumah perwira Belanda dengan kontruksi panggung. Hal ini tentunya menjadi salah satu tanda tanya mengapa rumah-rumah tersebut dibangun dengan kontruksi panggung. Dari hasil kajian kegempaan diketahui bahwa bangunan dengan kontruksi panggung cenderung lebih aman dibandingkan dengan bangunan yang langsung dibangun di atas tanah. (Laila Abdul Jalil, 2014: 126127-128)
Pertahanan sesuai dengan UUD Darurat Miiter pada saat itu, sehingga pada tahun 1967 bangunan tersebut di renovasi dan ditempati oleh militer Kodam I IM. Hal tersebut dikarenakan bangunan-bangunan tersebut bekas militer jadi hal yang wajar di tempati oleh militer TNI karena melihat situasi Republik Indoneisa yang belum stabil pasca kemerdekaan. Peralihan fungsi bangunan peninggalan militer Belanda yang ada di pemukiman militer di Neusu Jayadan Kuta Alam pasca kemerdekaan,semua bangunanbangunan militer peninggalan Belanda menjadi milik TNI Kodam I IM. bangunan tersebut beralih fungsi menjadi kantor administrasi dan rumah dinas anggota TNI Kodam, seperti kantor Koramil Baiturrahman, kantor Ajundan Jendral Kodam (Ajendam), kantor Jasmani Kodam (Jasdam), kantor Keuangan Kodam (Kumdam), kantor Hukum Kodam (Hubdam), kantor Perhubungan Kodam (Hubdam) dan Kantor Pusat Kartika Kodam. Sedangkan banguan-bangunan peninggalan Belanda di Kuta Alam di jadikan kantor Babiminvetcad Kodam, kantor Perbengkalan Kodam (Bekangdam), Mess untuk Anggota Yonarmed, kantor Kesehatan Kodam (Kesdam) dan rumah dinas kepala-kepala kantor bagian Kodam I IM (Wawancara Kamsita Sari, 14 November 2016).
Peralihan Fungsi Bangunan Belanda di Neusu Jaya dan Kuta Alam Kehadiran Belanda di Aceh memberikan banyak bekas salah satunya terdapat bangunan-bangunan rumah opsir militer Belanda yang terdapat di pemukiman militerNeusu Jaya dan Kuta Alam. Pada masa perkembangannya bangunan tersebut beralih fungsi sesuai dengan otoritas pemerintah pada saat itu, pada masa kolonial Belanda tahun 1890-an menjadikan bangunan sebagai basis militer dan juga sebagai tempat tinggal para pejabat dan perwira militer Belandayang bertugas dalam menjalankan penjajahan di Aceh. Pada masa Jepang masuk ke Aceh tahun 1942 bangunan tersebut di tempati oleh serdadu Jepang dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia bangunan tersebut di tangani oleh Departemen
Keadaaan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam Pemukiman militer Belanda di Neusu Jaya terdapat 18 rumah, mulai dari Jln. Nyak Adam Kamil II sampai ke Jln. Nyak Adam Kamil III. Sebelah barat Jalan Nyak Adam Kamil III pemukiman militer Belanda ini dihadapkan dengan SD Negeri 125
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
22 Neusu Jaya dan Indor Wong Solo, selanjutnya memsuki jalan Nyak Adam Kamil II terdapat Kumdam dan Kudam serta Asrama Manunggal, kemudian menelusuri jalan kedepannya di sebelah selatan terdapat beberapa mukim bagi yang dihadapkan oleh Masjid Alfatirah, Kantor Jasdam, dan lapangan Neusu Jaya, di belakang pemukiman militer Belanda tepatnya di Jalan Nyak Adam Kamil II terdapat asrama TNI di Jln. Tandi dan di sisi timur laut terdapat kantor Ajendam IM dan Puskopad. Di Jalan nyak Adam Kamil terdapat rumah panggung besar yang masih terlihat dalam bentuk asli juga terletak di jalan nyak adam kamil IV, Neusu Jaya Banda Aceh. Bangunan rumah peninggalan Belanda ini yang terbuat dari kontruksi kayu ini milik TNI AD, yang sekarang dipergunakan sebagai kantor yayasan kartika Jaya Cabang XIV, persit Kartika Chandra Kirana pengurus Daerah iskandar Muda dan Darma Peritiwi Banda Aceh. Di daerah di kerathon terdapat sederetan rumah panggung peninggalan zaman Belanda yang terletak di keraton dekat Meuligo Gubernur Aceh. Rumah milik TNI AD Kodam I IM ini masih terpelihara dengan baik dan sekarang dipergunakan oleh pengurus daerah FKPPI. Sedangkan di daerah Kuta Alam terdapat beberapa bangunan peningalan kolonial Belanda di antaranya adalah bangunan rumah panggung, bangunan intalasi air yang terletak di kelurahan Kuta Alam kecamatan Kuta Alam kota Banda Aceh dan berada dalam lingkungan fasilitas militer, bangunan tersebut menghadap ke arah timur. Sekarang bangunan ini tidak berfungsi lagi, bangunan ini berdenah persegi panjang dengan 2 lantai. Dinding
sisi barat mempunyai sebuah pintu berbentuk persegi panjang dengan lengkung bagian atasnya. Dinding sisi utara dan selatan memiliki bentuk yang sama dengan dinding sisi barat. Pada dinding sisi utara dan selatan ini masing-masing hanya mempunyai 6 jendela semu dan fentilasi udara. Pada dinding sisi utara dan selatan ini masing-masing terdapat 2 buah pipa yang dipasang menembuh dinding dan mengarah ke tanah. Pipa-pipa ini berhubungan dengan instalasi pipa lain yang berada dalam kotak dibawah permukaan tanah. Selain itu, dinding bangunan sisi timur mempunyai bentuk dan profil yang sama dengan dinding sisi barat. Dari pintu dinding sisi timur ini terdapat bangunan yang berlantai 2. Ruang yang ada berbentuk bilik-bilik yang berjumlah 20. Pada sisi utara dan selatan dinding bagian dinding dalam terdapat pipa yang membujur dari arah timur ke barat. Langitlangit bangunan lantai pertama terbuat dari semen dengan bentuk gelombang. KESIMPULAN
Awal mula berdirinya pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam, tidak terlepas dari sejarah penjajahan Belanda di Aceh. Agresi militer Belanda yang berlangsung dua kali di Aceh adalah titik tolak bagi pemerintah kolonial untuk mendirikan pemukiman militer. Selama periode kolonial, kota Banda Aceh ditetapkan sebagai pusat administrasi. Oleh karena itu pemukiman militer diprioritaskan untuk di bangun di pusat kota. Dipilihnya daerah Neusu Jaya sebagai pusat pemukiman militer, disebabkan karena wilayah tersebut berada di dekat pendopo dan Krueng Daroy. Di samping 126
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
itu, dipilihnya Kuta Alam sebagai basis militer disebabkan karena daerah tersebut terletak di Krueng Aceh sehingga memudahkan jalur perdagangan menuju ke laut.
Bagi pemerintah Banda Aceh, diharapkan agar dapat memberikan perhatian yang lebih terhadap keberadaan pemukiman militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam. Hal ini dimaksudkan agar pemukiman militer tersebut dapat terjaga sehingga masih dapat mempertahankan nilai-nilai sejarah yang ada pada bangunanbangunan di lokasi tersebut.
Peralihan fungsi bangunan militer di Neusu Jaya dan Kuta Alam seiring dengan otoritas dari pemerintah yang berkuasa. Pada masa pemerintah kolonial Belanda bangunan tersebut telah dijadikan sebagai basis militer dan pusat kesehatan bagi serdadu Belanda. Hal ini terus berlanjut sampai masa Jepang hingga pasca kemerdekaan. Di Neusu Jaya terdapat 26 bangunan yang dialihfungsikan menjadi milik militer. Sedangkan di Kuta Alam ada 21 bangunan. Bangunan tersebut sebagai besar berasal dari masa kolonial Belanda. Namun ada beberapa yang baru dibangun sekitar tahun 2000-an.
Bagi masyarakat di Neusu Jaya dan Kuta Alam, diharapkan agar turut serta dalam menjaga lingkungan di sekitar pemukiman militer. Hal ini dimaksudkan untuk kelestarian dan kenyamanan bagi penduduk di sekitarnya dan bagi orangorang yang berasal dari daerah lain yang melintasi lokasi tersebut. Bagi pihak akademisi, khusunya yang ada di Universitas Syiah Kuala diharapkan dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemukiman militer. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi bagian yang belum dijelaskan dalam skripsi ini dan menambah wawasan bagi pembaca.
Keadaan pemukiman milliter di Neusu Jaya dan Kuta Alam pada saat ini bisa dikatakan terurus dan rapi karena berada langsung di bawah kendali Kodam I Iskandar Muda. Baik di Neusu Jaya maupun di Kuta Alam, bangunan-bangunan tersebut sebagian besar ditempati oleh anggota TNI. Selain itu, pengaruh kehadiran pemukiman militer tersebut telah mengubah suasana kota Banda Aceh menjadi lebih tentram. Masyarakat di sekitar pemukiman merasakan dampak yang positif atas keberadaan pemukiman tersebut. Pemerintah juga selalu berusaha untuk merawat dan melestarikan pemukiman tersebut melalui programprogram yang dilaksanakan atas kerjasama Kodam I Iskandar Muda dan BPCB.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zakariadkk,. 2008 Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme dan Imprealisme. Banda Aceh: Yayasan PENA. Anonim. 2015. Statistik Daerah Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Badan Pusat Statistik. Anonim. 1977. Perang Kolonial Belanda di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
127
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
______. 2015. Statistik Kecamatan Baiturrahman. Banda Aceh: Badan Pusat Statistik.
Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh Wilayah Kerja Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
______. 2015. Statistik Kecamatan Kuta Alam. Banda Aceh: Badan Pusat Statistik.
Leumiek, Harun Keuchik. 2016. Potret Sejarah Banda Aceh. Banda Aceh: Toko Emas Permata dan Soevenir H. Geuchik Leumik.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mangunwijaya, Y.B. 1999. Tentara dan Kaum Bersenjata. Jakarta: Erlangga.
Budihardjo, Eko (ed). 1998. Sejumlah Masalah Pemukiman Kota. Bandung: PT.Alumni.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
_____________. 2009. Perumahan dan Pemukiman di Indonesia. Bandung: PT.Alumni.
Purwanto, L.M.F. 2005. Kota Kolonial Lama Semarang (Tinjauan Umum Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33, No. 1, Juli 2005.
Dahlia, dkk. 2009. Album Budaya”Situs di Propinsi Aceh dan Sumatra Utara”.Banda Aceh: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh.
Safitri, Nanda. 2015. Pemukiman Militer Belanda (kajian Topografi Di Neusu Jaya Kota Banda). Banda Aceh:Universitas Islam Negeri ArRaniry.
Djufri. 2016. Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Said, Mohammad. 1985. Aceh Sepanjang Abad Jilid 2. Medan: P.T Harian Waspada Medan.
Hasjmy, Ali (ed). 1988. Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun. Banda Aceh :Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
Sahar, dkk. 2002. Laporan Pendataan Inventarisasi dan Dokumentasi Benda Cagar Budaya Peninggalan Kolonial di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Banda Aceh: Bagian Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Nanggro Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Indriani. 2000. Struktur Kota Kutaraja pada Masa Kolonial Belanda. Buletin Haba No. 14 Th. III. AprilJuni 2000. Jalil, Laila Abdul, 2014. Peninggalan Kolonial Belanda di Kota Banda Aceh. Arabesk Edisi XIV. Balai 128
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
Syarie, Prima Nia. 2010. Peranan Ankum dan Papera Dalam Pengadilan Militer. Bandar lampung: Universitas Bandar Lampung. Syam,
Zuhri, M. Amin dan Irkham Santosa. 2004. Kodam Iskandar Muda Sejarah dan Pengabdian. Banda Aceh: Indatu Global Mandiri.
Andi Irfan. 2015. Buklet BPCB:Bangunan-Bangunan Peninggalan Masa Kolonial. Banda Aceh: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh.
Internet http://atjehpost.co/articles/read/3465/Nuan sa-Kolonial-Di-Kota-Tua. Diakses pada tanggal 19 April 2016 Pukul 21:07 WIB
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Aceh Menentang Penjajahan Asing. Badan Perpustakaan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.
http://Aceh.tribunnews.com/2015/04/01/me nyusuri-jejak-kolonial-di-kota-tua-Banda Aceh. Diakses pada tanggal 19 April 2016 Pukul 21:09 WIB
Sufi, Rusdi, dkk. 2008. Aceh Tanah Rencong. Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.
www.kompasiana.com/nani_wahyuni/defini siperkembangan_55003a00a333111e73510 0f.Diakses pada tanggal 22 Juni 2016 Pukul 22:26 WIB)
Soemanto, Wasty. 2004. Pedoman Teknik Penulisan Skripsi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumber lain: Wawancara dengan:
Taher, Alamsyah. 2009. Metode Penelitian Sosial. Banda Aceh: Unsyiah.
1. Nama : Drs. H.Suid AB. S.Pd.M.Pd TTL : Aceh Utara. 12- 04 -1953 Pekerjaan: Keuchik Gampong Kuta Alam Alamat: JL.Tanggung. No 76. Gampong Kuta Alam
Triyono, Agus. 2012.Perkembangan Pola Permukiman Baciro Tahun 1890 – 1960. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
2. Nama : Abdul Muhkti TTL : Aceh Barat. 02 - 12 - 1964 Pekerjaan:Keuchik Gampong Neusu Jaya Alamat : JL. Karya. No 8. Neusu Jaya
Wulandari, Elysa dan Hilda Mufianty. 2002. Studi Sejarah dan Perencanaan Tata Ruang Kota Banda Aceh Periode Kolonial Belanda. Buletin Haba. No. 25 Th. IV. Oktober-Desember 2002.
3. Nama : Kapten. CZI. Supriyatno Damanik TTL : Medan 10 - 12 - 1969 Pekerjaan: Kepala Fajasa Zidam IM
Z, H.M. Thamrin. 2004. Aceh Melawan Penjajah Belanda.Jakarta : CV Wahana. 129
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala Volume 2, Nomor 2, Maret 2017, hal. 119 – 130.
Alamat : Asrama PA Zidam IM 4. Nama : Kol.Purn.H. Achmad Amins. TTL : Sigli. 8 Desember 1923 Jabatan: Kepala Legiun Veteran RI. Alamat : JL.T.umar. Kel. Setui. Kec. Baiturrahman. B. Aceh. 5. Nama :Toto Haryanto.M.hum TTL : Balik Papan. 15 April 1970 Pekerjaan: Peneliti dan Kepala Seksi BPCB Aceh. Alamat : Ajun Jempet. Komplek Puskopol. Aceh Besar 6. Nama : Andi Irfan Syam. SS TTL : Aceh Besar. 20 April 1990 Pekerjaan : Pegawai/Peneliti Kantor BPCB Banda Aceh. Alamat : JL.Lampisang. Aceh Besar 7. Nama : Kapten. INF. Kamsita Sari TTL : Aceh Selatan. 7 Juni 1962 Pekerjaan : Pasipamops Denmadam IM Alamat : Asrama Perwira Ketapang No.35. 8. Nama : Dra. Dahlia, MA. TTL : Montasik. 18 April 1965 Jabatan: Kepala TU BPCB Alamat: Komplek Vila Buana. Aceh Besar 9. Nama : Sertu. Abang Wahyudi TTL: Aceh Barat. 11 September 1975 Jabatan: Kepala Asrama TNI-AD Alamat: Jl. Nyak Adam Kamil. Asrama TNI AD Neusu Jaya
130