Rebuilding Aceh‘s Micro Enterprises after the Tsunami
Membangun Kembali Bisnis Mikro di Aceh Pasca Tsunami
Writer / Penulis: Jane Kubke Editor / Translation / Penerjemahan: FBA team Lay-Out & Design / : Jane Kubke Front cover photo: south of Lamno, Aceh Jaya (Jane Kubke) Foto sampal depan : Lamno Utara, Aceh Jaya Back cover photo: Syarwan‘s moped rickshaw Foto samppal belakang : Becak bang syarwan Photography : FBA staff and volunteers / Staf dan Relawan Published : July 2008
Contents / Daftar Isi How we began Bagaimana Kami memulai
1 3
How we work Bagaimana kami berkerja
5 7
Cutting in the middleman : the Local Motivator Memotung jalur tengah : Local Motivator
9 11
How we are succeeding Bukti keberhasilan kami
13 13
Where we work Wilayah kerja
14 14
Success Stories Kisah keberhasilan Rohana : Drink bar and kiosk Rohana : Kios makanan dan minuman
15 18
Murni : Embroidered handicraft production Murni : Produksi kerajinan bordir
21 24
Sarita : Restaurant Sarita : Rumah Makan
27 30
Afterword Akhir kata
33 34
Staff and Volunteers Staf dan Relawan
35 35
Donors Donatur
36 36
Banda Aceh, Indonesia, January 2005
How we began Forum Bangun Aceh (FBA) grew out of an immediate, spontaneous response to the tsunami of December, 2004, which killed hundreds of thousands of people, and leveled many coastal areas of Aceh, Indonesia. Azwar Hasan, a native of Banda Aceh who was living in Jakarta when the tsunami struck, was one young man who came home immediately to look for his family. Initially overwhelmed by the scale of death and the scope of devastation, he was determined to figure out a way to help – quickly. Azwar summoned 10 friends from non effected tsunami areas to come and live with survivors, and buy for them what they needed. And then he summoned 10 more friends, and thus be-
1
gan the people-to-people approach which remains the foundation of the FBA‘s work today. Azwar‘s vision for FBA has always been to focus on ‗brain and stomach,‘ where the brain represents education, and the stomach represents livelihood. He believes that meeting the needs of both brain and stomach is necessary in order for people to lead fulfilled, complete and sustainable lives. Hence, FBA‘s efforts have focused upon education initiatives to get schools rebuilt, re-equipped, and operational once more, and the Livelihood Program – the micro credit program where small loans are extended to individuals to help them re-establish businesses. Three years after the tsunami in Aceh, ‗brain and stomach‘ remain central to the organization‘s vision. FBA does not lend business owners money, but rather buys them the assets or materials they need, and then the individual business owners repay the cost of the assets to FBA on a monthly payment plan. As the name suggests, this ‗Revolving Fund‘ keeps the money circulating to people who need it most, and will use it best to re-establish profitable businesses and regain their financial independence. And then it is passed on to the next beneficiary. And so on, and so on, to effective – and often miraculous – effect. With these success stories, we are privileged to share the experiences of a small, but representative number of beneficiaries who have overcome catastrophe and tremendous odds to restart businesses in Aceh. We also want to pause in our work, to thank the organizations and individuals who have supported FBA in many ways, in particular Force of Nature who funded this publication. We have gained tremendous strength and knowledge through our first three years of existence, and we hope to continue building on our experience and sharing the wealth for a long time to come… people-to-people.
Forum Bangun Aceh
2
Bagaimana kami memulai Forum Bangun Aceh tumbuh untuk merespon bencana tsunami pada Desember 2004 dengan cepat dan spontan. Bencana ini telah merenggut ratusan ribu korban dan menghancur-leburkan beberapa daerah di sekitar garis pantai Aceh, Indonesia. Azwar Hasan, pemuda asal Aceh, yang pada saat tsunami masih tinggal di Jakarta, langsung melejit pulang untuk mencari anggota keluarganya. Merasa terguncang dengan angka kematian dan tingkat kerusakan yang diakibatkan bencana tersebut, ia pun bertekad menemukan cara untuk segera membantu. Azwar mengajak 10 orang koleganya dari Jakarta untuk datang ke Aceh dan tinggal bersama para korban dan membeli kebutuhan mereka. Kemudian ia kembali ke Jakarta dan mengumpulkan 10 orang koleganya yang lain, sehingga terciptanya pendekatan people to people (pendekatan individu ke individu ) yang merupakan pondasi program-program FBA sekarang ini. Visi Azwar untuk FBA selalu terfokus pada ‗otak dan perut‘, di mana otak menandakan pendidikan dan perut menyimbolkan mata pencaharian. Ia percaya bahwa penting sekali memenuhi kebutuhan ‗otak‘ dan ‗perut‘ sehingga kebutuhan hidup seseorang bisa terpenuhi, memadai dan berkelanjutan. Dari sini, usaha-usaha FBA sudah terfokus pada inisiatif pendidikan misalnya membangun, melengkapi dan mengoperasikan kembali sekolah-sekolah. Kemudian program livelihood, program kredit unsaha mikro, dimana pinjaman lunak diberikan kepada individu-individu untuk membantu mereka membangun kembali unsaha mereka. Tiga tahun setelah bencana tsunami di Aceh, ‗otak dan perut‘ tetap menjadi dasar dari visi organisasi ini. FBA tidak meminjamkan uang kepada pemilik usaha melainkan membelikan aset atau peralatan yang mereka perlukan dan kemudian pemilik usaha perorangan tersebut akan membayar kembali biaya yang dikenakan atas asetnya kepada FBA dengan sistem cicilan bulanan. Seperti yang tersirat dari namanya, program ―Dana Bergulir‖ memastikan bahwa uang bisa bergulir bagi mereka yang paling membutuhkannya dan akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk membangun kembali usaha yang menguntungkan dan mandiri secara keuangan. Setelah
3
itu, dana akan disalurkan kepada usaha selanjutnya. Begitulah seterusnya sehingga menciptakan efek yang menakjubkan. Melalui cerita suses ini, kami merasa terhormat untuk berbagi sedikit pengalaman beberapa pemilik usaha yang telah berhasil melewati malapetaka dan mempertaruhkan banyak hal untuk memulai kembali usaha-usaha mereka di Aceh. Kami juga ingin berhenti sejenak dari pekerjaan, mengucapkan terima kasih kepada organisasi-organisasi dan individu-individu yang telah mendukung FBA, terutama kepada Force of Nature (FON) yang telah mendanai publikasi ini. Kami telah mendapatkan kekuatan dan pengetahuan yang luar biasa besarnya setelah tiga tahun kehadiran kami. Kami berharap agar tetap bisa melanjutkan pembangunan atas dasar pengalaman kami dan berbagi kemakmuran dalam jangka waktu yang panjang… ‘people to people‘. Banda Aceh, Indonesia, December, 2004
Forum Bangun Aceh
4
How we work: FBA‘s mission and structure reflect the conviction that it is the tsunami survivors themselves, who are best placed to identify their needs in order to rebuild their lives. Eighty percent of the businesses and small enterprises in the coastal areas of Aceh were destroyed by the December 2004 tsunami, and the surviving business owners and employees have expressed a great desire and need to get their livelihoods and self-sufficiency back. Helping these small enterprises do just that through small loans offered from the Revolving Fund is the remit of the FBA‘s Livelihood Program.
The formula is straightforward A small business owner wishing to rebuild or improve his or her business, approaches FBA with a proposal indicating what the business requires. Upon approval of the proposal and budget, FBA uses the Revolving Fund to purchase the required assets for the owner. A repayment schedule and rate of interest is agreed, depending upon the size of the business and loan, and allowing for a two-month grace period. The owner makes the agreed monthly payments to FBA, which go back into the Revolving Fund, so that assets can be disbursed to the next business. It‘s a simple and astoundingly successful formula.
Brick factory supported by the FBA in Ligan, Aceh Jaya / Pabrik bata yang bantu oleh FBA di Ligan, Aceh Jaya
5
First harvest from rehabilitated paddy fields, Rabo, Pulau Breuh, Aceh Besar
The criteria is clear The aim of the FBA‘s Livelihood Program is to help individuals re-establish businesses. All loan beneficiaries must be tsunami survivors, victims of conflict or the poor and disenfranchised; must have had successful, pre-existing businesses; and must provide evidence of an existing captive market. There is also an affirmative action approach to extending credit to women. Furthermore, FBA‘s assessment takes into account the number of dependents and employees of the business owner, as well as the number of services the business owner will contract from other small service providers. The wider the ripples of the loan extend, washing over secondary and tertiary beneficiaries, the greater the economic benefit to the whole community.
Forum Bangun Aceh
6
Bagaimana kami berkerja Misi FBA dan strukturnya menggambarkan keyakinan bahwa korban tsunami sendiri yang paling tahu mengidentifikasi kebutuhan mereka demi membangun kembali kehidupan mereka sendiri. Dari total usaha usaha yang berada di garis pantai, 80% diantaranya telah diluluh-lantakkan oleh tsunami pada Desember 2004 lalu. Bagi pemilik usaha dan pegawainya yang masih hidup menunjukkan hasrat dan keinginan untuk memulai kembali mata pencaharian mereka serta hidup yang berkecukupan. Untuk membantu usaha kecil ini dengan cara pinjaman lunak yang ditawarkan oleh dana bergulir merupakan komitmen program livelihood FBA.
Rumusnya adalah ‘langsung’ Seorang pemilik usaha kecil, yang ingin membangun kembali membangun atau memperbaiki usahanya, mendatangi FBA dengan sebuah proposal yang menggambarkan kebutuhan usaha mereka. Bila permohonan tersebut beserta anggarannya disetujui, FBA menggunakan Dana Bergulir untuk membeli aset yang diperlukan oleh pemilik usaha. Kemudian kedua belah pihak menyetujui jadwal pembayaran dan suku bunga dalam satu akad perjanjian, sesuai dengan ukuran usaha dan besarnya pinjaman, yang memperbolehkan 2 bulan grace period (periode dimana pemilik usaha tidak perlu membayar). Pemilik usaha setuju dengan pembayaran bulanan kepada FBA, yang akan dialirkan ke dalam kas Dana Bergulir sehingga uang tersebut bisa dipakai untuk membeli aset usaha selanjutnya. Ini rumus sederhana, akan tetapi sangat berhasil.
Kriteria-kriterianya jelas Tujuan Program Livelihood FBA adalah untuk membantu individu membangun kembali usaha mereka yang hancur karena tsunami dan konflik. FBA menjamin pembayaran kembali pinjaman dengan menilai calon penerima secara seksama diikuti
7
Usman’s fishmongery, Ulee Lheue, Banda Aceh / Tempat penjualan ikan milik Usman
kriteria yang ketat. Seluruh penerima pinjaman haruslah korban tsunami dan konflik, pernah memiliki usaha yang pernah berhasil sebelumnya, dan harus menyediakan bukti ketersediaan pasar. Di samping itu, ada satu pendekatan afirmatif terhadap pengembangkan kredit oleh para wanita. Selanjutnya, FBA akan mendata jumlah tanggungan yang dimiliki oleh pemilik usaha dan jumlah pegawai yang berada di bawah usahanya. FBA juga akan melihat adanya keterkaitan dan manfaat oleh usahanya kepada usaha kecil lainnya. Semakin luas cakupan pinjaman diberikan, mencakup usaha kecil dan menengah, semakin luas manfaatnya secara ekonomis bagi seluruh komunitas.
Forum Bangun Aceh
8
Cont‘d
Muhibbon (left) in his shop with Local Motivator Abdullah Z, Calang, Aceh Jaya Muhibbon (kiri) di tokonya dengan seorang motivator lokal Abdullah Z, Calang, Aceh Jaya
Cutting in the middleman: the Local Motivator While word-of-mouth has spread the news of the good work of the
FBA in Aceh, the most effective community outreach is undoubtedly by shining example. Where people can watch a business owner in their own community gain his or her livelihood and independence back, that example serves to encourage and motivate others to do the same. In the case of the FBA, this shining example is the aptly named ‗Local Motivator‘ – an FBA beneficiary who has successfully rebuilt a business, and acts as a coach and mentor to other business owners wishing to do the same. Returning to fulfilling activity after the tsunami was as important for tsunami survivors‘ psychological lives, as it was for
9
their economic lives. Beyond earning a living, by having a livelihood once more, survivors were able to recover a sense of hope and purpose for the future. As tsunami survivors themselves, Local Motivators more than understand the importance of this dimension of the Livelihood Program. By engaging Local Motivators who fully understand local values, culture and economic practices, and live amongst and are known to the beneficiaries they help, the efficiency and effectiveness of program delivery is greatly increased. Because trust is already established and the Local Motivator also has a stake in the business‘s success, the results are more likely to be sustainable. Local Motivators also receive training in management and financial skills from the FBA, which they pass on to their protégé businesses to help them stay the course of sustainable success. The Local Motivator is the FBA‘s key to building from within. Team building training for Local Motivators / Pelatihan membangun kerja bagi Lokal Motivator
Forum Bangun Aceh
10
The Lokal Motivator Sementara berita dari mulut ke mulut telah menyebar tentang kinerja bagus FBA di Aceh. Salah satu metode penyebaran informasi paling efektif pada masyarakat adalah dengan cara pemberian contoh. Ketika masyarakat bisa melihat seseorang kembali mempunyai usaha dalam komunitas mereka sendiri yang memperoleh mata pencaharian dan terlepas dan ketergantungan. Contoh ini dapat mendorong dan memotivasi yang lain untuk melakukan hal serupa. Dalam kasus FBA, mereka yang memberi contoh ini lebih tepatnya disebut ‗Motivator Lokal‘ seorang usahawan FBA yang telah berhasil membangun kembali usahanya dan kemudian berperan sebagai pendamping untuk pemilik usaha lain yang ingin melakukan hal yang sama. Kembali beraktifitas setelah tsunami adalah penting bagi kehidupan psikologi korban tsunami, sama pentingnya dengan kehidupan ekonomi mereka. Karena memperolah penFitriani (left) and new supplies, with Local Motivator Amiruddin Fitriani (kiri) dan penyedia stok baru, beserta motivator lokal Amiruddin
11
Khairani (left) with Local Motivator Fatmawati / Khairani (kiri) beserta motivator lokal Fatmawati
ghidupan, dengan cara memperoleh mata pencaharian sekali lagi, para korban mampu mencapatkan setetes harapan dan tujuan masa depan. Sebagaimana korban tsunami, Motivator Lokal sudah lebih dari mengerti tentang pentingnya dimensi Program Livelihood. Dengan mengikutsertakan Motivator Lokal yang benar-benar mengerti nilai daerahnya dalam praktek budaya dan ekonomi, dan kehidupan di antara mereka, serta mengenal baik calon penerima manfaat, tingkat efektifitas dan efisiensi program dapat meningkat dengan pesat. Oleh karena kepercayaan sudah lama terbangaun dan Motivator Lokal juga berperan dalam keberhasilan usaha, hasilnya akan lebih bertahan lama. Para Motivator Lokal juga mengikuti training skill dalam bidang keuangan dan manajemen diadakan oleh FBA. Pengalaman dan kemampuan ini akan mereka sampaikan pada usaha didikan mereka untuk membantu usaha-usaha ini meraih keberhasilan jangka panjang. Motivator Lokal merupakan kunci FBA untuk membangun dari dalam.
Forum Bangun Aceh
12
How we are succeeding Total number of small businesses helped: 800 (as of June 2008) Total number of dependents helped: 4,000 (as of June 2008) Total credit extended through the Revolving Fund: 4.2 billion rupiah ($446,500 USD) Gender distribution of business owners helped: 28% women, 72% men
Bukti Keberhasilan Kami Jumlah bisnis kecil menengah yang telah terbantu: 800 (per anual Juni 2008) Jumlah dependents yang telah terbantu: 4,000 (per anual Juni 2008) Jumlah kredit yang telah diberikan lewat Dana Bergulir: 4.2 milyar rupiah ($446,500 USD) Distribusi gender dari pemilik bisnis yang telah dibantu: 28% wanita, 72% pria
Isnani tailor shop, Aceh Jaya / Toko Menjahit Isnani, Aceh Jaya
13
Where we work – Wilayah kerja
Forum Bangun Aceh
14
Rohana: Drink bar and kiosk / Kios makanan dan minuman Age / Umur : 47 Dependents / Tanggungan : 4 Value of loan / Jumlah pinjaman : Rp 7.000.000 rupiah ($750 USD) Loan assets : cigarettes and beverages Aset Pinjaman : rokok dan barang-barang Location : Kabong, near Krueng Sabee, Aceh Jaya Wilayah : Kabong, Dekat Krueng Sabee, Aceh Jaya
15
Rohana grew up in Krueng Sabee, and for 12 years, she ran a roadside drink bar and kiosk in a densely populated part of Kabong, with the help of her three children. Her daily revenues totaled about 600,000 rupiah ($64). On the day of the tsunami, Rohana was in Medan, having left the shop under the management of her children. On the television news, she saw pictures of the terrible damage in Banda Aceh, but there was no information given about Calang, nor could she reach any of her children by telephone. She traveled by road to Meulaboh and got on a boat that carried her to Calang, from there she walked the 12 km down the coast to where her home was. Once there, she learned that all three of her children had died, none of her relatives were still alive in the area, and her house and kiosk were destroyed. ―It was all gone. There was nothing left,‖ she says quietly. She stayed at the site of her devastated home alone. A local man appointed to help organize relief in the wake of the disaster – Maimun – came by and gave Rohana a tent, in which she ultimately ended up living for a full year. She realized that she had to find some way to make money, so was she determined to try to sell food items to the local population, as she had done before. ―I bought a bicycle, and would pedal 2 km to Krueng Sabee,‖ she says. She loaded up her bike with snacks and other things that she could resell from her tent. After a year, Rohana got a new NGO-built house, but she had no money with which to rebuild her kiosk and badly needed to increase her revenues. The man who had given her the tent – Maimun – had become an FBA loan beneficiary at this point, and was running a furniture making enterprise. He proposed that he could help Rohana fill in the proposal, and see if she could get a loan from FBA too. Rohana‘s proposal was successful, and FBA bought stock for her store. Looking at her tidy, well-stocked store beside her new house, it is hard to imagine the days when she sold what she could from a tent. Most of Rohana‘s clients today are local residents, but as so many of her neighbours perished in the tsunami, Rohana
Forum Bangun Aceh
16
is faced with the challenge of running a kiosk in a community with a dramatically depleted population. Nevertheless, her revenues have nearly attained pre-tsunami figures. ―Today my revenue is about 500,000 rupiah ($53) a day,‖ she says. Rohana runs her kiosk by herself, and likes the daily interaction with local people. When she shows the pictures of her lost children, the tears come quickly to her eyes, but after having her life so summarily leveled, she can now find occasion to smile once more. Someone Rohana knows in Meulaboh introduced her to a man who lost his wife in the tsunami, and he and Rohana have recently married. ―Now we‘ve fallen in love,‖ she laughs. ―He‘s a nice guy.‖ Her new husband is planting a small rubber plantation in the hills that can be seen from Rohana‘s kiosk, and having their own rubber plantation is one of her dreams for the future. And while her kiosk has a roof and pillar supports, there are no walls along part of it. ―I want to make it better. I would like to build some walls for my kiosk,‖ she says, pointing. When asked about the tent, she gestures toward the house and smiles. ―It‘s in there,‖ she says. ―I kept it.‖ Rohana with Local Motivator Maimun / Rohana beserta motivator lokal Maimun
17
Rohana’s makeshift kiosk located in a tent after the tsunami / Kios Rohana berlokasi di tenda setelah tsunami
Rohana besar di Krueng Sabe and selama 12 tahun dia menjalankan Kios pinggir jalan di kawasan yang padat penduduk di Kabong, dengan bantuan tiga orang anaknya. Pendapatan harian dia adalah sekitar Rp.600,000. Ketika terjadi tsunami, Rohan di Medan dan tokonya ditangani oleh anak-anaknya. Melalui berita Tv, dia melihat kerusakan yang parah di Banda Aceh, tapi dia tidak menemukan informasi tentang Calang dan juga dia tidak dapat menghubungan anaknya melalui telpon. Dia kemudian pergi ke Meulaboh melalui jalan darat dan naik perahu yang membawanya ke Calang, dan kemudian dia berjalan hingga 12km menuju ke rumahnya. Ketika dia tiba disana, dia mendapatkan bahwa ketiga anaknya telah meninggal dan tidak ada saudara yang masih hidup di kawasan tersebut dan rumah dan kiosnya juga hancur. ―Semua hilang. Tidak ada yang tinggal‖ katanya sedih. Dia tinggal di samping rumahnya yang hancur. Seorang pemuda setempat datang membantunya, namanya Maimun, dan dia
Forum Bangun Aceh
18
memberikan Rohana sebuah tenda dimana dia kemudian tinggal hingga setahun penuh. Dia sadar bahwa dia harus mencari jalan untuk bisa mencarikan uang, jadi dia memutuskan untuk menjual barang-barang makanan ke pada penduduk setempat, sebagaimana yang pernah dia jalankan sebelumnya. ― Saya beli sebuah sepeda dan mengendarainya hingga 2km ke Krueng Sabee‖ katanya. Dia membeli barang-barang yang dapat dapat diangkut dengan sepedanya dan dapat dijual kembali di tendanya. Setelah setahun, Rohana mendapat sebuah rumah baru bantuan LSM, tapi dia tidak memiliki uang untuk membangun kiosknya kembali dan dia sangat membutuhkan bantuan untuk meningkatkan pendapatannya. Pemuda yang dulu pernah memberikannya tenda-Maimun- ternyata adalah penerima manfaat (bantuan) dari FBA pada waktu itu dan menjalankan usaha perabotan rumah tangga. Dia mengusulkan untuk membantu Rohana untuk mulai membuat proposal dan siapa tahu juga bisa dapat pinjaman dari FBA. Proposal Rohana ternyata sukses and FBA membeli barang-barang untuk kebutuhan kiosnya. Melihat keadaan kiosnya yang penuh dengan barang disamping rumah barunya, sulit untuk dibayangkan ketika dia mulai berjualan kembali mulai dari sebuah tenda. Sebagian besar pembeli kios Rohana adalah penduduk setempat, tapi banyak tetangganya yang terkena dampak tsunami, Rohana harus menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menjalankan usahanya di tengah-tengah penduduk yang masuk trauma akan tsunami. Walaupun demikian, pendapatannya sekarang sudah mendekati pendapatan ketika sebelum tsunami. ― pendapatan saya sekarang sekitar Rp 500,000 ($53) per hari,‖ katanya. Ketika dia melihat photo anaknya yang hilang, air mata mengucur dari matanya dengan cepat, namun setelah menjalani kehidupan yang demikian berubah, dia sekarang dapat juga tersenyum. Seseorang yang Rohana kenal di Meulaboh mengenalkannya kepada seorang bapak yang hilang isterinya dalam tsunami and akhirnya mereka kawin. ―sekarang kami saling jatuh cinta‖ sahutnya tertawa. ―Dia adalah orang yang baik‖
19
Suaminya menanam karet di bukit dan dapat dilihat dari kiosnya Rohana, dan memiliki kebun karet sendiri merupakan salah satu mimpinya di masa depan, sementara Kiosnya belum memiliki dinding yang memadai‘ ― saya ingin membuatnya lebih baik‖. ―Saya akan akan membangun dinding kios saya‖, katanya sambil menunjukkan tempat yang dimaksud. Ketika ditanya tentang tenda, dia menunjukkan ke arah rumahnya dan tersenyum. ―itu ada disana,‖ katanya. ―saya akan simpan.‖
Rohana with FBA Cluster Coordinator Asri / Rohana bersama Cluster Coordiantor FBA Asri
Forum Bangun Aceh
20
Murni: Embroidered handicraft production Produksi kerajinan bordir
Age / Umur : 37 Dependents / Tanggungan : 4 First loan value / Nilai pinjaman pertama : 2,887,500 rupiah ($310USD) First loan assets : fabric, thread, cardboard, magnet, draftman‘s square, canvas Nilai pinjaman aset : pabrikan, alat-alat jahit menjahit, kanvas, tempat menggambar Second loan value / Nilai pinjaman kedua : Rp. 7,000,000 ($750USD) Second loan assets : embroidery sewing machine, heavy-duty sewing machine, regular sewing machine, various fabrics and threads, zippers, draftman‘s square, magnet, scissors, needles, glue 21 Aset pinjaman kedua : sama dengan yang pertama
Location / Lokasi : Baet Meusego, Aceh Besar
Murni has always lived in Baet Meusego, a village amid rice paddy fields, located a short distance from Banda Aceh along the road to Medan. She is married and has a four year-old son. ―First I trained as a tailor,‖ Murni says. But in 1990, she was selected for participation in a local government training scheme and learned the craft of embroidery for the manufacture of handicrafts such as purses, wallets and wall-hangings. ―When I came back from training, other women in the village paid me to train them to do it too. Anyone who can do this craft around here was my pupil,‖ she says proudly. For two years, Murni commissioned work from home for a local handicraft centre, and in 1992, she decided to take the bold step of setting up in business for herself. She invested her own money in fabric and thread, and produced 50 embroidered wallets. The first souvenir shop owner she approached in Banda Aceh liked her work, and took all 50 wallets on consignment. Murni worked on this basis for years, and was satisfied with her expanding client base, but selling on consignment meant that returns only came in slowly, and dictated the rate at which she could afford to purchase materials and produce more. Her weekly revenues at that time reached a maximum of 400,000 rupiah ($43). She had aspirations of focusing on handbag manufacture, which demands uncommon skill, more time, and commands higher prices. Baet Meusego was not directly affected by the tsunami in 2004, and Murni‘s home and family were intact when it was over, but it destroyed the shop and business of one of her main clients. Because Murni has a physical disability which affects her leg, she became involved with Handicap International in Banda Aceh after the tsunami. She did not learn of FBA by the usual channel of a Local Motivator. Instead, Handicap International saw the tremendous potential for growth of Murni‘s business, and thought her business might meet FBA‘s Livelihood Program criteria, and brought the manager of FBA‘s Livelihood Program to meet her. In 2006, Murni wrote a successful proposal to FBA, and received a loan of fabric and thread, and other required materials. Bulk buying meant that she got her materials for very
Forum Bangun Aceh
22
competitive prices, and she was equipped to begin producing handbags at a faster rate. Today Murni receives cash on delivery from her faithful clients, and cannot produce enough handicrafts to take on all the would-be clients who would like to purchase her products. She now employs five of her former pupils to work for her from their own homes on their own machines, in order to meet her order demands. ―Now my weekly revenues total 700,000 rupiah ($75) or more,‖ Murnia says. She made double payments on her first loan from FBA in order to pay it off quickly and applied for a second loan. Her second proposal was successful, and three new pedaloperated sewing machines sit in her house ready to be put to work. ―When the women are finished with the rice harvest, I will hire more women to work on those machines here,‖ she says. The indicators of economic success are clear, and in 2007, Murni also won public recognition when the Indonesian chapter of the UN International Labour Organization (ILO) and the Indonesian Women‘s Business Association (IWAPI) named Murni Aceh‘s top female disabled entrepreneur of the year. The framed certificate is proudly displayed in her work area. While at first she is shy about sharing her ambitions for the future, with some prodding she reveals them. ―I want to increase production and the scale of the business. I would like to build a workshop where all the women work together, and I would supervise the workers. I‘m more interested in hiring more women and providing them with jobs, than opening a shop and selling the products myself.‖
23
Murni tinggal di Desa Baet Meusego, sebuah desa dengan sawah padi yang membentang terletak tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh-Medan. Dia menikah dan memiliki seorang putra berumur 4 tahun. ― Dulu saya terdidik sebagai penjahit,‖ kata Murni. Tapi tahun 1990, dia terpilih untuk berpartisipasi dalam pelatihan bordir manufaktur dan kerajinan seperti tas gantung dan dompet. ― Ketika saya kembali dari pelatihan, wanita lain didesa meminta dilatih juga dan mereka membayarnya. Semua yang bisa membuat kerajinan di daerah kami sekarang adalah dulunya murid saya‖ katanya bangga. Selama dua tahun, Murni bekerja dari rumah untuk pusat kerajinan setempat, dan tahun 1992, dia memutuskan mengambil langkah besar untuk memulai bisnisnya sendiri. Dia menginvestasikan uangnya sendiri untuk memulai usaha ini dengan menghasitkan 50 dompet. Toko penjual oleh-oleh yang pertama dia dekati suka dengan hasil kerjanya dan toko tersebut mengambil seluruh 50 dompet tersebut secara bertahap.
Munri working on one of her handicrafts / Munri sedang menjahit motif dompet
Forum Bangun Aceh
24
Murni bekerja dengan cara seperti ini selama beberapa tahun dan dia sebenarnya cukup puas dengan bertambahnya langganan, tapi menjual secara bertahap memberikan keuntungan yang lambat dan membuat dia tidak dapat membeli bahan dan tidak dapat berproduksi lebih banyak. Baet Meusego tidak terkena dampak langsung oleh tsunami tahun 2004, Rumahnya murni dan keluarganya tidak apa-apa tapi toko dan bisnis salah satu langganan utamanya hancur. Karena Murni memiliki keterbatasan pisik terutama lenggannya, dia kemudian terlibat dengan Handicap International di Banda Aceh setelah tsunami. Dia tidak mengetahui FBA dari jalur yang biasanya yaitu melalui Lokal Motivator. Namun, Handicap International melihat potensi yang luar biasa dari bisnisnya Murni dan mereka berpikir bahwa bisnisnya Murni ini dapat memenuhi kriteria program livelihood yang dijalankan oleh FBA dan mereka memperkenalkan program manager FBA kepadanya. Tahun 2006, Murni mengajukan proposal ke FBA dan menerima pinjaman berupa bahan-bahan dasar untuk pembuatan bordiran tas tradisional Aceh. Artinya dia dapat membeli bahan -bahan pembuatan tas dalam jumlah yang besar sehingga dia mendapatkan harga yang kompetetif dan hasilnya dapat memproduksi tas tangan dengan lebih cepat. Sekarang Murni mendapatkan uang kontan ketika memberikan produknya kepada
Munri discussing business with FBA UKM Program Manager, Razi / Munri sedang berdiskusi dengan staff FBA
25
An example of the embroidery featured on Murni’s handicrafts
kleinnya yang setia dan bahkan tidak dapat memproduksi semua permintaan yang datang. Dia sekarang mempekerjakan lima bekas muridnya untukk bekerja untuknya dan bekerja dari rumah mereka sendiri dengan menggunakan mesin mereka sendiri, untuk dapat memenuhi permintaaan yang datang. ―Sekarang pendapat mingguan saya Rp 700.000 rupiah ($75) atau lebih,‘ jelas Murni. Dia dapat membayar dua kali lebih banyak dari yang seharusnya untuk penjaman pertamanya dari FBA, dengan demikian dia dapat mengajukan pinjaman yang kedua lebih cepat. Proposal keduany juga sukses dan tiga mesin jahit baru dirumahnya siap berproduksi. ― Ketika perempuan di kampung selesai panen padi, saya akan membayar mereka untuk bekerja dengan mesin-mesin tersebut.‖ Katanya. Indikator keberhasilan ekonomi terlihat jelas dan tahun 2007, Murni juga berhasil mendapatkan penghargaan ketika ILO cabang Indonesia dan IWAPI menobatkan Murni sebagai Wanita Aceh Penyandang Cacat Tersukses tahun 2007. Sertifikat yang terbingkai terpajang dengan bangganya di tempat kerjanya. Awalnya dia agak malu-malu menceritakan tentang ambisinya di masa yang akan datang , dengan sedikit desakan akhirnya dia mau juga cerita. ― Saya mau meningkatkan produksi dan memperluas bisnis saya. Saya mau membuat sebuah balai kerja sehingga semua wanita dapat bekerja bersama dan saya akan mengawasi para pekerjanya. Saya tertarik untuk memperkerjakan lebih banyak lagi wanita dan memberikan mereka pekerjaan dan kemudian membuka toko dan menjual hasil produksi sendiri.‖
Forum Bangun Aceh
26
Sarita: Restaurant / Age / Umur : 41 Dependents / Tanggungan : 7 Value of loan / Nilai pinjaman : Rp. 9,000,000 ($960 USD) Loan assets: stove, kitchen equipment, chicken, preserved meat, spices and seasonings, condiments, noodles, canned drinks, cigarettes, bottled water, sugar, instant coffee Aset pinjaman : kompor, perlengkapan dapur, ayam, daging yang diawetkan, bumbubumbu dan perasa, kuah, mie instan, minuman kaleng, rokok, air mineral, gula, kopi instan Location / Lokasi : Neuheun, Aceh Besar
27
Rumah Makan
Sarita is from Northern Sumatra province, but married an Acehnese man and has lived in Neuheun village, about 13 km from Banda Aceh, for the last 20 years. In 1993 she opened her roadside restaurant adjacent to her home in Neuheun, and enjoyed good trade from the local population, and from a nearby training centre operated by the local government. She hired two of her nieces to work along with her and her husband, and the restaurant earned Sarita a profit of about 50,000 rupiah ($5.50) a day. When the 2004 tsunami hit Aceh, Sarita was attending her father‘s funeral near Medan, and relatives in Java telephoned and said they‘d seen images of the terrible tsunami in Banda Aceh. Sarita could not reach her family by telephone, but she had a terrible feeling when she saw injured and dirty tsunami survivors from Banda Aceh coming into Medan. She flew back to Banda Aceh the day after the tsunami, and learned that one of her three sons, and her husband were at their home about 500m from the sea when the first wave hit. They saw the wave coming and ran up a hill to safety, but unaware that a second wave would follow, her husband went back down the hill after the first wave subsided to gather the fish that had washed up, and was killed by a subsequent wave. Her son survived, as did her two other sons, who were living elsewhere at the time. Sarita‘s nieces – her employees – were at their home in Banda Aceh when the tsunami hit, and both of them died. Sarita joined her sons at a nearby school where all the survivors from Neuheun had assembled, and they lived there for three weeks. The road to a nearby market was only lightly damaged, and some people had functioning motorbikes, so within days they could purchase food. ―We have family who live not far away, in another village unaffected by the tsunami, and they sent rice and eggs,‖ she says. Sarita‘s home and restaurant were submerged and all the restaurant equipment was damaged or lost, but the structure of her restaurant remained largely intact. After a few weeks of living in temporary accommodation, she and her sons returned to live in what remained of the house and the restaurant.
Forum Bangun Aceh
28
―During that time, my family was supporting me and encouraging me to reopen the restaurant, and my brother-in-law made necessary repairs,‖ she says. ―But without any capital, I could not see how to begin again.‖ But she knew her relations had their own families to support, and that for the sake of her children she had to find a means of earning an income again. Prior to the tsunami, Sarita and her husband had been planning building work on their house, and had ordered bricks, which were still stacked beside the house. Sarita sold them and used the proceeds to buy basic cooking equipment, and ingredients to make miso soup, which she sold from her reopened restaurant. With no investment capital to buy a proper stove, dishes and other things that were required to operate a bonafide restaurant, however, she made very limited profits at the beginning. ―Many NGOs came and asked about my difficulties and what I needed, but no money came,‖ Sarita says. FBA‘s Local Motivator in her area – Tgk. Maksum – heard she needed help getting her restaurant fully operational again, and paid her a visit. Sarita wrote the proposal, which FBA accepted, and within a month she had the stove, other cooking equipment, canned drinks, and other goods she required. She has since hired two relatives who support their own families, to help her. She also buys dry cakes from a local family which produces them. Today her business is flourishing, and Sarita doubles her monthly loan repayments. She owns the land upon which her home and restaurant sit, and she has plans to apply for a second loan and expand the restaurant space. ―And I would like to add items to my menu,‖ she says. ―Like saté and fried rice.‖ She grins as she points out something else she has added to her life: a new husband she married seven months ago, who also works in her business.
29
Sarita berasal dari provinsi Sumatera Utara namun menikah dengan seorang pria Aceh dan telah hidup di desa Neuheun, kira-kira 13 km dari kota Banda Aceh selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1993 ia membuka sebuah restoran di tepi jalan berdekatan dengan rumahnya di Neuheun, dan ia menikmati perdagangannya dengan penduduk lokal dan pusat pelatihan milik pemerintah daerah di situ. Ia mempekerjakan dua orang keponakannya untuk bekerja dengannya dan suaminya, dan restoran itu pun menghasilkan keuntungan bagi Sarita sebesar (kira-kira) Rp 50,000 ($5.50) per hari. Ketika tsunami melanda Aceh di akhir 2004, Sarita sedang menghadiri upacara pemakaman ayahnya di dekat kota Medan, saat itu relatifnya di Jawa meneleponnya dan mengatakan bahwa mereka melihat gambar-gambar tentang tsunami yang mengerikan di Banda Aceh. Sarita tidak bisa menghubungi keluarganya lewat telepon, tetapi ia punya firasat buruk saat ia melihat korban tsunami yang kotor dan terluka datang dari Banda Aceh ke Medan. Ia terbang kembali ke Banda Aceh sehari setelah tsunami dan akhirnya tahu bahwa satu dari tiga orang anak laki-lakinya dan suaminya sedang di rumah kira-kira 500 m dari laut ketika gelombang pertama menghantam daratan. Mereka sempat melihat gelombang yang akan datang dan lari ke sebuah bukit Local Motivator Tgk. Maksum pays a visit to Sarita at her restaurant ’Pen Pal’ / Motivator lokal tgk. Maksum mengunjungi Sarita di restorannya ‘Pen Pal’
Forum Bangun Aceh
30
untuk menyelamatkan diri, namun tanpa tahu bahwa gelombang kedua masih akan datang, suaminya turun dari bukit setelah gelombang pertama surut untuk mengumpulkan ikan yang terseret arus ke daratan, lalu terbunuh oleh gelombang selanjutnya. Anak laki-lakinya selamat, begitu juga kedua anak laki-lakinya yang lain, yang berada di daerah lain pada saat itu. Keponakan Sarita – kedua pegawainya – sedang berada di rumah pada waktu itu di Banda Aceh ketika tsunami menghantam dan keduanya pun meninggal dunia. Sarita menggabungkan diri dengan anak-anaknya di sebuah sekolah yang berdekatan di mana mereka yang berhasil bertahan dari tsunami yang berasal dari Neuheun telah berkumpul, dan mereka tinggal di situ selama tiga minggu. Jalan menuju pasar yang juga dekat dari situ hanya sedikit rusak dan beberapa orang punya beberapa sepeda motor yang masih berfungsi, sehingga dalam beberapa hari mereka bisa membeli makanan. ―Kami punya relatif yang tinggal tidak terlalu jauh di sebuah desa yang tidak terkena tsunami, dan mereka mengirim beras dan telur,‖ ujar Sarita. Rumah dan restoran Sarita terendam air dan semua perlengkapan restoran rusak atau hilang, namun struktur restorannya sebagian besar masih utuh. Setelah beberapa minggu tinggal di akomodasi sementara, Sarita dan anak-anaknya kembali untuk tinggal di sisa-sisa tempat tinggal mereka dan restorannya. ―Saat itu, kewarga jauh saya sangat mendukung saya dan mendorong saya untuk kembali membuka restoran itu, dan abang ipar saya membuat beberapa perbaikan yang perlu,‖ katanya. ―Tetapi tanpa modal apapun, saya tidak bisa memikirkan cara apapun untuk memulai bisnis itu lagi.‖ Tetapi ia menyadari bahwa orang lain punya kewarganya sendin untuk dihidupi, dan demi anak-anaknya ia harus menemukan cara untuk mendapatkan pemasukan keuangan lagi. Sebelum tsunami, Sarita dan suaminya pernah berencana untuk membangun beberapa bagian rumah mereka, dan sudah memesan batu bata yang saat itu masih tersusun di samping rumah. Sarita menjual batu-batu bata itu dan menggunakan hasilnya untuk membeli perlengkapan memasak dasar dan bahan-bahan baku untuk membuat mie bakso yang ia jual di restoran yang telah ia buka kembali. Tanpa modal investasi untuk
31
membeli kompor yang bagus, piring-piring dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk mengoperasikan restoran yang bisa dipercaya, bagaimanapun, ia mampu menghasilkan keuntungan yang sangat terbatas pada awalnya. ―Banyak LSM yang datang dan bertanya tentang kesulitan-kesulitan saya dan apa yang saya butuhkan, tetapi tidak ada uang yang diberikan,‖ tutur Sarita. Motivator Lokal FBA di areanya – Tgk. Maksum – mendengar bahwa ia memerlukan bantuan untuk mengoperasikan restorannya lagi, lantas mengunjunginya. Sarita menulis proposal, yang lalu diterima oleh FBA, dan dalam waktu sebulan ia telah menerima kompor, peralatan-peralatan memasak lainnya, minuman-minuman kaleng, dan barang-barang lain yang dibutuhkannya. Sejak saat itu ia mempekerjakan dua orang relatifnya yang menghidupi keluarganya masing-masing, untuk membantunya. Ia juga membeli kue-kue kering dari keluarga lokal yang memproduksi kue-kue tersebut. Hari ini bisnisnya berkembang pesat dan Sarita menggandakan cicilan bulanan pembayaran kembali pinjamannya. Ia memiliki sebidang tanah di mana rumah dan restorannya berlokasi dan ia punya rencana untuk mengisi aplikasi untuk pinjaman kedua dan mengadakan perluasan kepada restorannya. ―Dan saya ingin menambah daftar menu saya,‖ katanya. ―Seperti sate dan nasi goreng.‖ Ia tersenyum lebar sambil menunjuk sesuatu yang lain yang telah bertambah dalam kehidupannya; seorang suami baru yang ia nikahi tujuh bulan yang lalu, yang juga bekerja dalam bisnisnya.
Forum Bangun Aceh
32
Afterword It has been an honour to meet all the beneficiaries who shared their stories, and I thank them all. Alas, one slim volume cannot accommodate all the inspiring and brave accounts I heard of rebuilding livelihoods, but the few stories told here offer a glimpse of how the FBA is participating so successfully in the revival of Aceh. My time in Aceh has been short, and it is not mine to make pronouncements upon anything, but of this I am sure: tsunami survivors are accomplishing miracles, and many of these miracles would not be possible for them without the FBA‘s Livelihood Program. Never before have I seen such small sums of money being used so well, or so wisely, to achieve such far-reaching, sustainable benefits. The FBA sprang from an impetus to help the people of Aceh help themselves after a catastrophe of almost unimaginable scale, but, incredibly, what the FBA has actually achieved is much more than this. It has pioneered a philosophy and a structure for helping that not only works financially, but also spreads the wealth around in terms of know-how, networks, and self-belief. The wounds of Aceh are slowly, and visibly healing three years after the tsunami, and the FBA continues to put the enormous amount of experience it has gained to effective use. I have every belief that it will continue to do so for a long, long time to come. I am grateful to the local motivators and the staff of the FBA, who made my volunteer experience in Aceh both an education and an inspiration. Jane Kubke
33
Akhir Kata Ini merupakan sebuah kehormatan untuk bertemu dengan setiap penerima manfaat yang telah berbagi kisah mereka dan saya berterima kasih kepada mereka semua. Akhirnya, satu volume tipis ini tidak akan mampu memuat semua cerita penuh inspirasi dan keberanian yang saya dengar dari mereka tentang membangun kembali kehidupan mereka, namun beberapa kisah yang disajikan di sini menawarkan gambaran kecil tentang bagaimana FBA telah berpartisipasi dengan sukses dalam kebangkitan Aceh. Saya tidak lama berada di Aceh,dan saya tidak punya hak untuk menyatakan banyak hal, namun tentang yang berikut ini saya pasti; mereka yang telah selamat dari tsunami sedang menciptakan keajaiban dan kebanyakan dari keajaiban ini tak akan mungkin terwujud tanpa Livelihood Program dari FBA. Tidak pernah sebelumnya saya melihat sejumlah uang yang terbatas digunakan dengan baik, atau dengan sangat bijaksana, untuk mencapai manfaat-manfaat bervisi jauh dan yang menghasilkan semacam itu. FBA berangkat dari sebuah keuletan untuk membantu rakyat Aceh untuk kembali bangun setelah sebuah bencana yang hampir tidak bisa dibayangkan dan mengerikan, yang bagaimanapun juga, hampir lebih tidak bisa dipercaya lagi bahwa apa yang telah dilakukan oleh FBA telah mencapai hasil sedemikian rupa. Hal ini telah merintis hadirnya sebuah filosofi dan sebuah struktur untuk membantu mereka tidak hanya dalam hal keuangan, tetapi juga menyebarkan kemakmuran dalam hal kecakapan teknik, membangun jaringan dan kepercayaan diri dalam mencapai kemakmuran itu sendiri. Luka Aceh terlihat sedang menyembuh pelan-pelan tiga tahun setelah tsunami, dan FBA melanjutkan usaha mereka dengan menempatkan pengalaman-pengalaman mereka sebagai acuan untuk kerja yang lebih efektif. Saya yakin bahwa ini akan berlanjut seperti itu untuk waktu yang sangat panjang ke depan. Saya berterima kasih kepada para Motivator Lokal dan staf FBA yang telah menjadikan kerja sukarela saya di Aceh sebagai pendidikan dan inspirasi di saat yang bersamaan. Jane Kubke
Forum Bangun Aceh
34
FBA Team
FBA Volunteers / FBA Voluntér Wan Putra Potro Soeprapto Luciana Ferrero Robert Cowherd Heather Foley Amanda Ikert Jessica Wattman Jake Mather Cassidy Fry
35
Ryan James Pickard Asha Bertsch Stephen Lee Therese Condit Sharon Hughes Jarlath Molloy Dan Crilly Ross Humphreys
Tamalyn Dallal Juliette Lizeray Bella David Thomas Harding Myint Kyaw Jane Kubke Kendartanti Subroto Guillaume Jest
Thank You Donors / Terima Kasih Donatur Agencia Catalana de Coorporacio al Desenvolupament American Jewish World Service (AJWS) Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Creative Associates Diakonie Katastrophenhilfe Dublin Port Company Electric Aid, UK Force of Nature Aid Foundation (FON) Green Grant Fund (GGF) JANNI (Japan NGOs Network on Indonesia) International Baccalaureate Organization of Singapore (IBO) King Khalid Islamic College, Melbourne Australia McKee Military Barracks, Ireland One World Organization PPI Gottingen Germany The Samdhana Institute Wahid Institute Yayasan Bumi Kita
M. Al Arief Eric Audard James Beal Therese Condit Robert Cowherd Tamalyn Dallal Luciana Ferrero, Family & Friends Heather Foley Paula Heavey Jennifer Hegarty Owens Jeff Herbert Sharon Hughes & Family Guy Janssen & Family Jesse, Family & Friends Sri Dato Sanusi Junid Prof. Sue Kenny
Kubke Family Stephen Lee Juliette Yu-Ming Lizeray Jarlath Molloy & family Nora Newson Ryan Pickard Barry Potter Retno Smith Soeprapto family Mark Sungkar Prof Uri Tandmor John Wagee Yenny Zannuba Wahid David Week Bernadette Whitelum Joe Woods
Forum Bangun Aceh is a local NGO based in Banda Aceh, Indonesia. Our mission is to assist tsunami survivors in Aceh to rebuild their lives through their own potential. Our education and livelihood programs are based on a philosophy of direct people-to-people assistance, enabling the community to rebuild from within. Contact Information: FORUM BANGUN ACEH Jl. Soekarno Hatta No. 41, Geuce Meunara, Banda Aceh—23237 INDONESIA phone/fax: +62 651 45204 e-mail:
[email protected] website: www.forumbangunaceh.org