Penanganan UNICEF terhadap Tsunami di Aceh Farida, 12, adalah salah satu dari ribuan anak yang selamat dari gelombang raksasa tsunami yang menenggelamkan seluruh desa-‐ desa di pesisir Aceh pada 26 Desember 2004, menewaskan 170.000 orang, dan membuat setengah juta warga kehilangan tempat tinggal mereka. Seorang diri karena seluruh keluarganya tewas dalam bencana tersebut, Farida tinggal di barak darurat di Bakoy, Banda Aceh. Di Pusat Penampungan Anak Bakoy, dia diadopsi oleh salah seorang pengasuh dan mengikuti kelompok dukungan remaja serta melakukan berbagai aktivitas rekreasional. Kemudian dia melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah di Banda Aceh, satu dari 345 sekolah yang dibangun UNICEF di daerah-‐daerah yang terkena tsunami. Dukungan seperti ini yang disediakan UNICEF dan organisasi-‐organisasi internasional lainnya membantu pemulihan masyarakat di Aceh dari bencana yang disebabkan tsunami, salah satu bencana alam yang paling dahsyat dan mematikan dalam sejarah dunia. Indonesia adalah negara yang paling terpukul dari 9 negara lainnya yang terdampak oleh tsunami, dengan kerugian dan kerusakan yang masif. Dalam waktu 48 jam, UNICEF telah tiba di Aceh dan memimpin operasi darurat pemulihan yang terbesar dalam sejarah UNICEF. UNICEF dengan sigap membawa staf dan persediaan bantuan darurat, memimpin inisiatif dalam merestorasi fasilitas air dan sanitasi, membuka kembali sekolah-‐sekolah, membangun pusat bantuan anak-‐anak, mempertemukan kembali keluarga, serta merekrut pekerja sosial dan polisi
khusus untuk memberikan layanan perlindungan anak bagi sekitar 3.000 anak yang terpisah dari keluarganya karena tsunami. Strategi UNICEF untuk mendukung upaya rekonstruksi telah diaplikasikan dalam empat fase pada tahun 2009, dimulai dengan operasi pertolongan darurat dan dilanjutkan dengan pemulihan transisional, rekonstruksi dan pembangunan jangka panjang. Rekonstruksi dan Proses Perdamaian Aceh Program-‐program bantuan kemanusiaan yang sangat besar yang dilakukan oleh masyarakat internasional menjadi titik balik yang penting bagi Aceh, di mana upaya penyelesaian konflik 30 tahun antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia selalu gagal sebelumnya. Operasi bantuan dalam rangkaian tanggap darurat tsunami mendorong kedua belah pihak yang berkonflik untuk melakukan gencatan senjata, dan membuka akses kepada masyarakat internasional yang memungkinkan untuk menggabungkan upaya rekonstruksi dengan upaya membangun kedamaian. Setelah konflik yang berkepanjangan selama beberapa dekade, perjanjian perdamaian akhirnya ditandatangani oleh kedua belah pihak pada bulan Agustus 2005, yang berisi pemberian hak otonomi khusus untuk Aceh dan perlucutan senjata GAM. Ini dilanjutkan dengan dicabutnya larangan masuk bagi pekerja sosial asing ke Aceh, yang berujung dengan semakin terbukanya provinsi tersebut terhadap operasi pemulihan kemanusian internasional yang masif. Masuknya dana senilai jutaan dolar dari donor internasional untuk mendukung upaya rekonstruksi Aceh berbuahkan investasi pada rehabilitasi dan pembangunan sepanjang provinsi tersebut, bahkan di luar daerah-‐daerah yang terdampak oleh tsunami. Penyediaan tenda untuk memenuhi kebutuhan darurat tempat tinggal lalu dilanjutkan dengan pembangunan rumah-‐rumah permanen, klinik-‐klinik, sekolah-‐sekolah, kantor-‐kantor pemerintahan dan infrastruktur lainnya. Lebih dari 140.000 rumah, 1.700 sekolah dan hampir 1.000 kantor-‐kantor pemerintahan telah dibangun. Begitu juga 36 bandara dan pelabuhan dan 3.700 2
kilometer ruas jalan. Pertanian, perikanan, dan sumber mata pencaharian lainnya juga dibangkitkan kembali dengan dukungan program-‐program pembangunan dari luar negeri. Sektor usaha bangkit kembali dengan cepat, dan aktivitas ekonomi terus maju dalam beberapa tahun setelah tsunami. Dari Sekolah Tenda ke Pendidikan Berkualitas Bantuan segera UNICEF untuk kebutuhan darurat pendidikan mencakup: • Perekrutan 1.110 guru sementara untuk 13 kabupaten • Pendirian lebih dari 1.000 tenda-‐tenda ruang kelas sementara • Penyediaan 230.000 buku pelajaran dan 6.940 alat bantu mengajar ‘School-‐in-‐a-‐ Box’ (sekolah dalam kotak) untuk lebih dari setengah juta anak-‐ anak. Kampanye “Back to School” (Kembali ke Sekolah) adalah kolaborasi antara Save the Children, World Vision, the International Rescue Committee, AusAid, USAID dan beberapa badan internasional lainnya. Kampanye ini memungkinkan anak-‐ anak yang selamat dari tsunami untuk melanjutkan pendidikan mereka di tengah-‐tengah kerusakan yang sangat luas. Dari upaya tanggap darurat awal ini, UNICEF melanjutkan dengan membangun 345 sekolah baru yang tahan gempa dan ramah anak senilai AS$100 juta. Pada dekade setelah periode awal pembangunan pasca tsunami, dukungan pembangunan UNICEF beralih fokus dari penyediaan akses sekolah menjadi perbaikan kualitas pendidikan di sekolah-‐sekolah di seluruh provinsi. 3
• UNICEF telah terus berperan dalam upaya Dinas Pendidikan Daerah untuk menyediakan pendidikan berkualitas. UNICEF juga menerapkan standardisasi program-‐program manajemen berbasis sekolah (SBM) dan telah menciptakan program Master’s Trainer Kabupaten yang menyediakan pelatihan SBM di 23 kabupaten di Aceh dan memainkan peran yang vital dalam mendukung sekolah-‐sekolah di seluruh Aceh. • UNICEF juga telah mendirikan program-‐program pelatihan Pengembangan Anak Usia Dini di tiga kabupaten di Aceh. Para trainer sekarang memberikan pelatihan tetap untuk kader-‐kader (atau relawan) di tiap kabupaten dengan dana dari pemerintah dan program kegiatan dari UNICEF. Dampak pelatihan ini sangat terlihat dari kenaikan pendaftaran anak-‐anak di PAUD dari 26.8 persen pada tahun 2010 menjadi 42 persen pada tahun 2013. Untuk mengurangi kesenjangan antara akses ke program PAUD di perkotaan dan di pedesaan, UNICEF sekarang memfokuskan diri pada pembangunan strategi untuk pengembangan akses PAUD di daerah pedesaan • Sejak tahun 2008, UNICEF telah secara aktif berpartisipasi dalam Rencana Strategis Lima Tahun Pembangunan Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh telah mengundang UNICEF untuk mengkaji dan memberikan masukan pada bab pendidikan Rencana Strategis Jangka Menengah Provinsi 2012-‐2016. UNICEF telah berhasil mengadvokasi penyertaan program PAUD sebagai prioritas pemerintah dalam sistem pendidikan Aceh. Perlindungan Anak Sistem perlindungan anak yang ada sekarang di Aceh berkembang dari inisiatif-‐ inisiatif yang diadopsi untuk merespons bencana 2004. Bahkan sebelum tsunami, konflik separatis telah memecahbelah keluarga di Aceh dan menyebabkan ribuan anak-‐anak kehilangan orangtuanya dalam kekerasan konflik di provinsi tersebut. Dari semua negara yang terdampak oleh tsunami, Indonesia menghadapi kebutuhan akan perlindungan anak terbesar. Hampir 4
3.000 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka, dan membutuhkan dukungan emosional dan perlindungan hukum. • Perlindungan Keluarga dan Reunifikasi: UNICEF mendukung didirikannya 21 Pusat Anak yang menciptakan sistem pendaftaran dan database untuk mengumpulkan informasi dari lebih dari 2.000 anak-‐anak dalam upaya membantu mempertemukan mereka kembali dengan anggota keluarga yang selamat. Bersama Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Dinas Sosial Provinsi, LSM lokal Pusaka dan Muhammadiyah (organisasi Islam terbesar di Indonesia), Pusat Penampungan Anak melakukan proses pelacakan dan reunifikasi, memberika dukungan psikososial, melaksanakan kegiatan rekreasional untuk anak-‐anak dan remaja, serta meluncurkan kampanye-‐kampanye yang mempromosikan kesadaran umum akan hak-‐hak anak. • Kegiatan Advokasi UNICEF di tingkat nasional mendorong dikeluarkannya surat edaran Kementerian Sosial yang melarang anak-‐anak Aceh yang terpisah dari keluarga atau kehilangan orang tua mereka dibawa keluar dari provinsi tersebut. Surat edaran ini dikirim ke berbagai pintu masuk dan kantor-‐kantor polisi untuk mencegah terpisahnya keluarga pada masa-‐masa awal setelah tsunami. UNICEF juga membangun Desk Perempuan dan Anak di kantor polda kabupaten di daerah-‐daerah yang terkena dampak tsunami. • Bantuan Medis dan Hukum: Di Rumah Sakit Bhayangkara di Banda Aceh, UNICEF membantu menciptakan unit khusus dengan fasilitas medis dan hukum yang terintegrasi. Unit khusus ini menyatukan pekerja sosial dan anggota polisi yang telah dilatih khusus untuk menginvestigasi perempuan dan anak-‐anak yang dibawa ke rumah sakit karena cidera yang disebabkan kekerasan domestik. • Keadilan bagi Remaja: Dengan dukungan UNICEF, Pengadilan Anak-‐anak yang ramah anak dibentuk di Banda Aceh untuk meningkatkan perlindungan anak setelah tsunami. Upaya ini diinisiasi oleh badan-‐badan penegak hukum dan masyarakat untuk mengatasi anak-‐anak yang memiliki masalah hukum, dan telah membantu diadopsinya UU tentang Pengadilan Anak pada tahun 2012, yang mengubah usia legal tanggung jawab tindakan kriminal dari 8 tahun menjadi 12 tahun, dan meningkatkan penerima hukuman penjara dari 5
12 tahun menjadi 14 tahun. Fokus UNICEF pada perlindungan anak telah berlangsung selama 10 tahun terakhir, dan diperluas ke daerah-‐daerah lain di Indonesia. Contohnya, strategi perlindungan anak yang sama telah diaplikasikan pada tanggap darurat gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan meletusnya Gunung Merapi tahun 2010. Untuk mendukung reformasi hukum, UNICEF mendukung pembentukan naskah Qanun Perlindungan Anak, yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh pada tahun 2008. Pengesahan Qanun, yang artinya peraturan daerah berdasarkan norma-‐norma Islam, adalah pencapaian penting bagi upaya perlindungan hak-‐hak anak. Perangkat hukum ini memastikan bahwa pemerintah dan masyarakat dapat memberikan lingkungan yang aman dan terlindungi bagi anak-‐anak. UNICEF mendukung dibentuknya peraturan dan prosedur operasional standard setelah disetujuinya Qanun Perlindungan Anak. Sejak 2011, Dinas Sosial Provinsi Aceh, dengan dukungan UNICEF, telah membangun 17 Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PUSPELKESSOS) berbasis masyarakat, yang memberikan layanan identifikasi dan acuan untuk kasus-‐kasus pelecehan, eksploitasi dan pengabaian anak. UNICEF juga mendukung Dinas Sosial Provinsi Aceh merancang petunjuk pengelolaan program PUSPELKESSOS dan prosedur standard untuk mengidentifikasi dan merespons anak-‐anak yang berrisiko. Menjaga Kesehatan Publik Meskipun upaya tanggap darurat UNICEF yang cepat dan efektif awalnya terfokus pada kebutuhan mendesak untuk menyediakan air bersih, sanitasi mendasar dan vaksinasi campak untuk pengungsi, sejak awal, respons UNICEF ditujukan untuk mendukung perbaikan layanan kesehatan publik jangka panjang. Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak: Kerusakan yang parah karena tsunami dan kemunduran sistem kesehatan saat konflik sebelum bencana menyebabkan 6
kurangnya kualitas infrastruktur, sumber daya manusia dan kemampuan untuk memberikan layanan kesehatan ibu, bayi dan anak. Segera setelah tsunami UNICEF mendukung perekrutan dokter dan paramedik di daerah-‐daerah di mana akses ke layanan tersebut terbatas, seperti di Pulau Simuelue, untuk mendukung pembentukan layanan darurat kebidanan dan neonatal. Sejumlah 11 rumah sakit kabupaten dilengkapi dengan alat perlengkapan standard dan didukung dengan ambulans untuk memastikan adanya system acuan. Rekrutmen baru didukung dengan pelatihan tentang kelahiran secara normal, kemampuan menyelamatkan dan perawatan darurat kebidanan dan neonatal. Layanan maternity dan perkembangan dini anak berbasis masyarakat didukung dengan membangun fasilitas fisik, pelatihan kader dan dukungan institusional. Model dari layanan berbasis masyarakat terintegrasi yang dikenal sebagai Posyandu Plus telah diaplikasikan di tempat-‐tempat lain dan pendekatan yang sama telah direplikasi di Indonesia. Immunisasi: Kampanye vaksinasi campak darurat dibiayai oleh American Red Cross dan setelah daerah-‐daerah yang terdampak darurat di Aceh telah diatasi kampanye-‐kampanye ini kemudian diperluas dengan cakupan nasional yang berdampak dengan menurunnya angka kasus campak secara nasional. UNICEF juga mendukung pembentukan kembali imunisasi rutin dan rantai supply dingin, termasuk ruang penyimpanan dingin provinsi yang hancur saat tsunami. Upaya berikutnya dalam imunisasi telah memberikan analisa yang komprehensif dan menguatkan rantai dingin secara nasional, sementara pelajaran yang dapat dipetik dari eliminasi tetanus ibu dan neonatal di Aceh telah dan masih diaplikasikan secara nasional pada saat Indonesia semakin dekat ke pemberantasan tetanus. Pencegahan Malaria: Pada masa-‐masa setelah tsunami, malaria adalah ancaman yang cukup besar, karena kawasan air payau yang makin luas adalah tempat habitasi vektor malaria. Melalui kerjasama dengan pemerintah pusat, UNICEF mengharmonisasi upaya-‐upaya LSM dan Global Fund to fight AIDS, Tuberculosis dan Malaria (GFATM) untuk memastikan penggunaan terapi gabungan berbasis artemisinin (ACT), meningkatkan kapasitas diagnosa, memperluas penyemprotan residual di dalam rumah dan memperbanyak penggunaan kelambu nyamuk yang telah disemprot insektisida di daerah-‐ 7
daerah endemik malaria. Upaya terkoordinir ini membantu mengurangi malaria secara drastis termasuk di kabupaten Sabang yang endemik. Bersama kantor dinas kesehatan lokal, UNICEF telah berhasil mendukung pemberantasan malaria di kabupaten tersebut, dan menjadikannya bebas malaria sejak 2011. Model Sabang ini sekarang diaplikasikan di seluruh Aceh dan Indonesia, dan telah menjadi subyek dari berbagai studi kepala badan-‐badan pengendalian malaria dari berbagai negara Asia. Upaya UNICEF dalam imunisasi dan mengatasi malaria telah diintegrasikan dengan upaya jangka panjang UNICEF untuk mengurangi tingkat kematian ibu dan meningkatkan nutrisi. Pelajaran yang dipetik di lapangan di Aceh telah membantu kantor representatif UNICEF di Indonesia untuk mengembangkan manajement penyakit anak terintegrasi (IMCI) dan IMCI berbasis masyarakat di kawasan terpencil di Indonesia bagian Timur. Program-‐program nutrisi yang dimulai di Aceh telah membantu UNICEF untuk mengintegrasikan layanan nutrisi dengan inisiatif-‐inisiatif kesehatan yang lebih luas di Papua dan NTT, sementara program-‐program kesehatan ibu dan anak yang menargetkan Indonesia bagian timur saat ini tergantung pada program yang dikembangkan di lapangan pasca tsunami Aceh. Air, Sanitasi dan Kebersihan: Tsunami memengaruhi persediaan air secara masif. Di kawasan yang paling terdampak oleh bencana ini, kebanyakan mata rantai perdagangan telah hancur tersapu oleh ombak tsunami yang tinggi. Bahkan di kawasan yang dampaknya tidak terlalu parah, naiknya air membuat lahan dan sumur-‐sumur yang tidak terlindungi terbanjiri air laut, pasir, puing-‐ puing dan limbah kotoran manusia dari daerah-‐dareah pesisir, di mana buang air besar di tempat terbuka masih lazim dan fasilitas sanitasi banyak yang masih buruk. Tidak lama setelah bencana, tenaga ahli air dan sanitasi UNICEF termasuk tenaga ahli pertama yang berada di lapangan yang mengkoordinir distribusi air bersih ke para pengungsi. Pada tahun 2007 sektor air, sanitasi dan kebersihan melakukan perubahan strategis dari pemulihan dan pembangunan ulang menjadi pembangunan yang berkelangsungan. Dengan berkurangnya kegiatan air dan sanitasi untuk membantu pengungsi, pengisian air, pembersihan septik tank, dan pembersihan kotoran di barak-‐barak pengungsian pun selesai. Banyak 8
tempat tinggal sementara yang telah ditutup, diiringi dengan kembalinya 1.800 keluarga ke kediaman mereka. Program air, sanitasi dan kebersihan UNICEF (WASH) termasuk dukungan terhadap rehabilitasi lusinan fasilitas pengolahan air, yang masih terus menyediakan air bersih untuk sejuta rakyat Aceh, bahkan hingga 10 tahun sejak tsunami. UNICEF mendukung pembangunan dan rekonstruksi setidaknya 22 fasilitas pengolahan air permanen baik di daerah-‐daerah yang terdampak tsunami, maupun di daerah-‐daerah yang tidak terdampak tsunami, yang memproduksi air minum dalam volume yang besar. Air dari pabrik digunakan untuk mengisi truk-‐truk tanker dan pabrik-‐pabrik pengolahan air juga diposisikan dekat tempat-‐tempat pengungsian untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cepat. Warisan UNICEF di Aceh Upaya rekonstruksi masif UNICEF setelah tsunami tahun 2004 telah membantu membentuk kebijakan pemerintah dan respons institusional dalam memproteksi anak-‐anak dan hak anak. Konsep layanan terintegrasi kelangsungan hidup anak di Posyandu Plus yang mengaplikasikan operasi rekonstruksi Aceh telah menerima penghargaan dari institusi-‐institusi kesehatan dan pendidikan di bidang nasional dan telah menjadi model bagi provinsi lain dalam mengembangkan layanan kesehatan anak dan perkembangan anak dini berbasis masyarakat yang holistis dan terintegrasi. Upaya memberantas malaria adalah contoh lain dari kelangsungan dukungan 9
jangka panjang untuk Aceh. Dukungan UNICEF pada Peraturan Gubernur Aceh untuk Penyediaan Akses Pengembangan Anak Usia Dini telah memberikan basis hukum untuk meningkatkan anggaran yang cukup untuk layanan PAUD di tahun 2012 dan 2013. Di tingkat nasional UNICEF telah berhasil mengadvokasi pengesahan peraturan president untuk Layanan PAUD yang Holistik dan Terintegrasi, yang memperkuat dukungan kebijakan nasional untuk menguatkan program-‐ program PAUD Penguatan sistem perlindungan anak terus menjadi prioritas utama UNICEF Indonesia, termasuk mempromosikan layanan kesejahteraan sosial bagi anak, advokasi untuk perundangan dan kebijakan yang mendukung hak-‐hak anak; dan promosi akan sistem peradilan yang efektif menangani kekerasan, eksploitasi dan pengabaian anak. Dengan mengacu pada pengalaman di Aceh dalam peradilan anak-‐anak, bantuan teknis UNICEF pada pemerintah Indonesia mendukung reformasi sistem anak-‐anak dan telah berhasil mengadvokasi perbaikan kerangka hukum untuk menguatkan perlindungan akan hak-‐hak anak. Pada bulan Juli 2012, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-‐Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang merupakan pencapaian utama dalam proses membentuk sistem peradilan khusus anak seperti yang dimandatkan oleh undang-‐undang internasional. UNICEF juga telah berkontribusi pada upaya Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan risiko bencana melalui kemitraan di tingkat nasional dan subnasional dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan kementerian yang terhubung. Melalui kemitraan ini, UNICEF mendukung pembangunan kapasitas pengurangan risiko bencana pemangku kebijakan di tingkat nasional dan kabupaten terkait perencanaan kemungkinan, keamanan sekolah, pendidikan darurat bencana, pendidikan tentang sanitasi air dan kebersihan di sekolah; dan memberi makanan pada bayi dan anak kecil saat darurat. Khusus di Aceh pada tahun 2011, dengan menggunakan modul yang dikembangkan oleh UNDP dan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, UNICEF melatih sekitar 150 guru-‐guru dari kabupeten Aceh Timur, Aceh Besar dan Aceh Jaya tentang integrasi dari respons pengurangan risiko bencana ke kurikulum yang ada. Aceh saat ini sedang mengembangkan prstandard operating procedure (SOP) atau prosedur operasi standar untuk pendidikan saat darurat yang 10
diharapkan dapat selesai tahun 2014. Pada tahun 2013, UNICEF mengadakan asesmen risiko yang berorientasi anak untuk mengindentifikasi kerawanan anak-‐anak dalam kaitan dengan ancaman-‐ ancaman tertentu. Asesmen risiko ini akan menjadi perangkat advokasi untuk pembuatan kebijakan dan akan mendukung perencanaan pembangunan yang terinformasi risiko pada tingkat provinsi. Indonesia telah menghasilkan kemajuan yang substansial dalam mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke pengembangan kebijakan dan program-‐program nasional dan lokal. Manajemen risiko bencana telah menjadi prioritas utama Pemerintah Indonesia, seperti yang terefleksikan dalam Undang-‐Undang Penanggulangan Bencana dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2010-‐2014) dan, yang terbaru, dalam Rencana Utama Presiden tentang Pengurangan Risiko Tsunami, yang diharapkan selesai pada tahun 2014. Komitmen yang semakin kuat untuk mengurangi risiko bencana semakin mendorong UNICEF untuk memperkuat pendekatan yang berorientasi anak untuk bisa terus berada di garda depan dalam perkembangan global, wilayah dan nasional. Realita yang berat dari Aceh pasca tsunami tidak hanya menstimulasi upaya tanggap darurat yang cepat dan klasik, namun juga mengkatalisasi UNICEF dan Pemerintah untuk merespons dengan program-‐program yang inovatif dan yang memiliki gaung di seluruh nusantara.
11