Mediasi Orangtua terhadap Penggunaan Media oleh Anak (Studi terhadap Ibu Berprofesi sebagai Pendidik dalam Memediasi Penggunaan Televisi dan Internet dari Anaknya) Izzaura Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia. E-mail:
[email protected]
Abstrak Teori mediasi orangtua menyatakan bahwa orangtua berperan dalam memaksimalkan manfaat positif dan meminimalisir dampak negatif media terhadap anak mereka. Penelitian ini mengkaji bagaimana ibu berprofesi sebagai pendidik menerapkan mediasi orangtua terhadap penggunaan televisi dan Internet oleh anaknya. Selain paradigma Post-positivistik dan pendekatan kualitatif yang digunakan, in-depth interview dilakukan kepada enam orang narasumber yang merupakan ibu berprofesi sebagai pendidik. Hasil temuan menunjukkan, ibu dari kalangan pendidik sadar akan pentingnya mediasi dan melakukan beberapa bentuk mediasi yang ada dalam teori. Latar belakang pendidikan ibu, gender dan usia anak, serta karakteristik media adalah beberapa contoh faktor yang mempengaruhi penerapan mediasi orangtua.
Parental Mediation on Child’s Media Use (Study of Educator Mothers in Mediation Their Children’s Television and Internet Use) Abstract Parental mediation theory stated that parents have a role in maximizing positive benefit and minimizing negative impact of media on their children. This study examined how educator mothers applied parental mediation toward their children‟s use of television and Internet. Besides post-positivist paradigm and qualitative approach, in-depth interview was conducted to six informants who are educator mothers. The findings indicate that educator mothers are aware of the importance of parental mediation and applies some of mediation type described in the theory. Mother‟s educational background, children‟s gender and age, and also media characteristics are some examples of factors that influence the practice of parental mediation. Key Words: Parental Mediation, Media and Children, Media Effect, Television, Internet.
Pendahuluan Media elektronik hari ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan anak-anak di abad 21. Perubahan dari media elektronik yang semakin cepat telah menghasilkan peningkatan jumlah dan jenis media yang tersedia, variasi pilihan konten, dan privatisasi penggunaan media oleh anak (Roberts, Foehr, Rideout, & Brodie, 1999). Hal ini menimbulkan dua macam pertanyaan: apakah perkembangan teknologi media menghasilkan anak-anak yang lebih teredukasi, lebih terkoneksi secara sosial, dan melek informasi daripada 1 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
anak-anak pada generasi sebelumnya? Atau, apakah justru hal ini menimbulkan efek-efek yang merusak bagi anak? Ketika membahas media dan anak, pandangan yang cenderung terpolarisasi ini akan selalu muncul – di satu sisi media dianggap bermanfaat bagi pembelajaran anak, di sisi lain media juga menjadi sumber bagi konten-konten tidak aman yang dapat menghasilkan efek-efek negatif. Studi-studi yang telah dilakukan di Barat menunjukkan bahwa media seperti televisi memiliki dampak positif bagi pembelajaran anak, baik itu dari segi akademis maupun sosial (Chen, 2005; Fisch, 2005). Kemudian, bila kita beralih kepada media digital seperti Internet, terdapat pula banyak studi yang mendokumentasikan manfaat-manfaat positif dari media ini. Internet yang lebih interaktif dan menarik telah menciptakan „generasi elektronik‟ yang lebih demokratis, imajinatif, berwawasan, serta membantu murid-murid sekolah dalam proses pembelajaran (Buckingham, 2006; Valentine, Marsh, & Pattie, 2005). Namun, di sisi lain, televisi maupun Internet juga memiliki dampak buruk bagi anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terpaan adegan kekerasan dari televisi terhadap anak dapat meningkatkan kemungkinan anak berperilaku agresif (Earles, Alexander, Johnson, Liverpool, & McGhee, 2002; Huesman & Taylor, 2006). Contoh kasus nyata di negara kita sendiri adalah pada tahun 2006, dua anak dari Bandung dan Ciputat meninggal dunia akibat tindak kekerasan dari temannya yang meniru adegan dari tayangan “Smack Down”. Bagaimana dengan Internet? Internet sebagai media baru telah membuka peluang serta bahaya baru yang tidak dimiliki oleh media tradisional seperti televisi. Salah satu bentuk penyalahgunaan Internet oleh anak-anak yang banyak terjadi adalah mengakses konten pornografi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Informasi dan Informatika serta UNICEF tahun 2011-2012 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen anak di Indonesia pernah mengakses situs pornografi (Hari, 2014). Bahkan, hasil-hasil survey menemukan bahwa anak SD semakin banyak yang sudah mengakses pornografi dari Internet (Zubaidah, 2013). Terpaan akan pornografi, terutama terpaan yang terus-menerus kepada anak maupun remaja tentunya berbahaya karena dapat mendorong inisiasi perilaku seksual di usia dini (National Coalition Prevent Child Sexual Abuse and Exploitation, 2013; Widiyani, 2013). Selain pornografi, Internet juga telah menjadi sarang bagi para predator seksual dan sindikat perdagangan manusia, khususnya untuk menjadi pekerja seks. Facebook sebagai salah satu situs jejaring sosial yang populer di Internet diduga kuat telah menjadi sarana bagi sindikat pelaku perdagangan manusia di Indonesia (Mason, 2012). Komnas Perlindungan Anak
2 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
mencatat, sepanjang 2012 yang lalu sekurang-kurangnya terdapat 27 kasus penculikan anak yang diawali dengan perkenalan via Facebook. Pertanyaan
yang
selanjutnya
dapat
diajukan
adalah,
bagaimana
caranya
meminimalisir efek negatif dan sekaligus memaksimalkan manfaat positif media bagi anak? Anak sebagai pihak yang belum memiliki kedewasaan yang memadai masih cukup rentan terhadap dampak buruk media, sehingga peran orangtua dalam membimbing anak ketika menggunakan media menjadi sesuatu yang krusial (Mutmainnah, 2011). Penelitian komunikasi mula-mula menemukan bahwa orangtua telah berusaha mengatur hubungan antara media dengan anaknya, dan hal ini disebut sebagai “mediasi orangtua”. Para ahli menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana orangtua mengambil peran aktif dalam mengatur dan meregulasi penggunaan media dari anaknya. Studi-studi yang dilakukan di Barat tentang mediasi orangtua dimulai dalam konteks media televisi, yaitu bagaimana para orangtua menerapkan mediasi terhadap aktivitas menonton televisi dari anaknya (Bybee, Robinson, & Turow, 1982; Desmond, Singer, Singer, Calam, & Colimore, 1985; Lin & Atkin, 1989; Abelman & Pettey, 1989; Nathanson A. I., 1999; Valkenburg P. M., Kremar, Peeters, & Marseille, 1999). Di Indonesia pun juga terdapat beberapa kajian tentang mediasi orangtua, baik itu dari segi faktor-faktornya maupun bagaimana kelompok orangtua tertentu menerapkan mediasi (Rakhmani, 2005; Rahayu, 2012). Selain orangtua, para guru juga memiliki peran yang besar, dan salah satu studi yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa guru seringkali lebih mengetahui bagaimana perilaku anak ketika menggunakan media (Hendriyani, Hollander, d'Haenens, & Beentjes, 2014). Dari penelitian yang sama ditemukan pula bahwa sejumlah guru memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap penggunaan media oleh anak dibandingkan orangtua. Akan tetapi, ketika para guru ini pulang ke rumah, mereka akan kembali menjadi orangtua bagi anakanaknya sendiri. Pertanyaannya, apakah para orangua yang merupakan guru memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap penggunaan media oleh anaknya dibandingkan dengan orangtua biasa lain? Apakah para orangtua berprofesi sebagai pendidik melakukan mediasi terhadap penggunaan media oleh anaknya sendiri di rumah? Penelitian ini hendak mengetahui bagaimana orangtua, secara khusus para ibu yang merupakan guru atau pendidik, menerapkan mediasi terhadap penggunaan televisi dan Internet oleh anaknya. Hasil studi sebelumnya menunjukkan, ibulah yang memiliki lebih banyak waktu bersama anak dan memiliki kepedulian lebih besar terhadap dampak negatif 3 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
media terhadap anak (Guntarto, Virginia, Puspasari, & Nixon, 2011). Penelitian ini juga hendak membandingkan antara mediasi yang diterapkan kepada televisi dan juga Internet. Televisi ditemukan masih menjadi media favorit yang dikonsumsi masyarakat Indonesia dan merupakan media utama dalam keluarga (Lubis, 2011). Namun di sisi lain, penetrasi media digital seperti Internet dalam masyarakat hari ini sudah semakin tinggi. Hasil penelitian dari UNICEF (2014) menunjukkan bahwa sebanyak 30 juta anak di Indonesia (secara khusus di kota besar) sudah mengakses Internet, baik itu dari medium komputer maupun ponsel. Oleh karena itulah, kajian tentang mediasi orangtua akan menjadi relevan apabila dilakukan juga terhadap Internet.
Tinjauan Teoritis Mediasi orangtua memiliki beberapa definisi, baik itu definisi sempit maupun luas. Secara sempit, definisi mediasi orangtua berkaitan dengan aktivitas menonton televisi, yaitu setiap
strategi
yang
orangtua
gunakan
untuk
mengontrol,
mengawasi,
dan
menginterpretasikan konten (Warren, 2001). Sedangkan secara luas, mediasi orangtua mengacu pada aktivitas kompleks yang melibatkan interaksi orangtua-anak dan mencakup diskusi akan ide-ide, penetapan aturan terkait penggunaan media tertentu (misalkan durasi, batasan waktu), seleksi konten, dan setiap bentuk pembatasan terhadap akses media (Rahayu, 2012). Pada awalnya, Valkenburg, Peeters, dan Marseille (1999) mengidentifikasi ada tiga jenis mediasi yaitu restrictive mediation, social co-viewing, dan instructive mediation. Kemudian, istilah-istilah ini mengalami revisi menjadi mediasi restriktif atau restrictive mediation, co-viewing, dan mediasi aktif atau active mediation (Austin, Fujioka, Bolls, & Engelbertson, 1999; Nathanson A. I., 1999). Mediasi restriktif dalam konteks media televisi mengacu kepada “aturan-aturan yang ditetapkan orangtua mengenai seberapa sering, kapan, dan program apa yang anak dapat tonton” (Wilson, 2004, hal. 577). Harris dan Sanborn (2009) mendefinisikan mediasi restriktif sebagai jenis mediasi yang melibatkan pembuatan aturan dan batasan terhadap waktu dan penggunaan media yang mencakup: melarang beberapa jenis tayangan/website, atau larangan untuk menggunakan media di luar jam yang ditentukan. Bentuk lain dari mediasi restriktif adalah pengawasan serta sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment) dari penggunaan media (Lemish, 2008). Mediasi restriktif merupakan jenis mediasi yang paling banyak diterapkan orangtua dari segala kelas sosial. Namun di sisi lain, 4 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
jika tidak dikomunikasikan dengan baik, mediasi restriktif akan membuat anak memiliki persepsi yang cenderung negatif terhadap orangtua (Nathanson A. , 2002). Co-viewing dalam konteks media televisi merupakan aktivitas di mana orangtua duduk dengan anaknya untuk menonton televisi bersama sebagai sarana hiburan keluarga (Valkenburg P. M., Kremar, Peeters, & Marseille, 1999). Bila diterapkan pada konteks media secara umum, co-viewing adalah situasi di mana orangtua dan anak mengakses suatu media bersama-sama, namun tidak memiliki tujuan atau fokus untuk mendiskusikan konten tertentu. Nathanson (2001) menemukan bahwa co-viewing dapat diasosiasikan secara positif dengan sikap orangtua terhadap televisi: semakin positif sikap orangtua terhadap suatu tayangan, maka semakin tinggi pula kemungkinan bagi orangtua untuk melakukan co-viewing. Maka ketika konten media yang ditonton atau diakses bersifat negatif, co-viewing justru akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sedangkan mediasi aktif dalam konteks media televisi mengacu kepada diskusi yang orangtua lakukan dengan anak mengenai televisi, dengan tujuan biasanya untuk menjelaskan atau mengevaluasi konten (Wilson, 2004). Untuk diterapkan dalam konteks yang lebih luas, mediasi aktif meliputi “setiap aktivitas antara orangtua dengan anak yang membicarakan tentang konten media” (Livingstone & Helsper, 2008, hal. 4). Austin et al. (1999) menjelaskan, mediasi aktif untuk televisi melibatkan tiga macam tugas: (1) Kategorisasi, yaitu menunjukkan bagaimana televisi menggambarkan realitas, (2) Validasi meliputi persetujuan atau penolakan terhadap gambaran tertentu, (3) Suplementasi, yakni menunjukkan manfaat yang didapat dari informasi televisi dengan memberikan informasi tambahan atau dengan terlibat langsung dalam aktivitas terkait. Mediasi aktif dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu mediasi aktif positif, negatif, dan netral. Mediasi aktif positif terjadi ketika orangtua menyetujui konten-konten media yang memang dianggap membawa dampak positif bagi anak (Moudry, 2008). Pada dasarnya, orangtua-orangtua yang lebih banyak menerapkan mediasi positif disebut sebagai kelompok “optimis” (Austin, Fujioka, Bolls, & Engelbertson, 1999). Mediasi aktif negatif terjadi ketika orangtua menekankan perspektif kritis dan skeptis terhadap konten media oleh karena orangtua tidak menyetujui konten yang dianggap berakibat buruk bagi anak (Austin, Hust, & Kistler, 2009; Moudry, 2008). Sebagai lawan dari kelompok “optimis”, orangtua yang banyak melakukan mediasi negatif disebut sebagai kelompok “sinis”. Orangtua yang menyeimbangkan antara mediasi negatif dengan positif dilihat sebagai kelompok “selektif”. 5 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Sedangkan mediasi aktif netral, orangtua memberi tanggapan terhadap tayangan tertentu bukan secara positif maupun negatif, melainkan hanya berupa informasi saja. Nathanson dan Botta (2003) memberikan contoh isi dari masing-masing mediasi. Contoh kalimat mediasi aktif positif: “Ibu suka acara ini”, sedangkan mediasi aktif negatif: “Acara/tayangan ini salah.” Sedangkan mediasi netral tidak menyertakan nada positif maupun negatif, misalnya “Tahukah kamu bahwa tayangan ini syutingnya dilakukan di New York?” (Nathanson & Botta, 2003, hal. 309). Tiga jenis mediasi yang telah disebutkan di atas (mediasi restriktif, co-viewing, dan mediasi aktif) dapat diterapkan kepada jenis media lain seperti misalnya videogames. Sedangkan untuk Internet, beberapa ahli mengembangkan jenis-jenis baru dari mediasi terhadap penggunaan Internet. Sebelum membahas jenis mediasi baru terhadap penggunaan Internet, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Internet menghasilkan tiga macam kekhawatiran baru bagi orangtua, sehubungan dengan resiko-resiko yang ditimbulkan (Ponte & Simões, 2009 dalam Rahayu, 2012): (1) Content Risk, yaitu kekhawatiran apabila anak mengakses konten-konten yang merusak seperti pornografi, (2) Contact Risk, yaitu kekhawatiran apabila anak menjadi korban cyber-bullying atau korban predator seksual online, dan (3) Conduct Risk, yaitu kekhawatiran apabila anak menjadi terisolasi dari orang lain karena terlalu banyak menggunakan Internet. Livingstone dan Helsper (2008) menggagas empat jenis mediasi terhadap Internet: (1) Active Co-use, yaitu mencakup ketiga mediasi dari teori sebelumnya. Active co-use merupakan penerapan dari mediasi aktif atau restriktif ketika orangtua mengakses Internet bersama-sama dengan anaknya (co-using); (2) Interaction Restrictions adalah jenis mediasi yang didasarkan pada interaktivitas dari Internet. Dalam jenis ini, orangtua melarang anak melakukan bentuk user-user interactivity dalam Internet (baik itu chat, instant messaging, game online bersifat peer-to-peer, dan sebagainya); (3) Technical Restrictions, yaitu strategi yang dilakukan orangtua dengan melakukan pembatasan akses Internet secara teknis, misalnya instalasi filter-filter Internet maupun software pengawas dalam komputer yang digunakan anak; dan (4) Monitoring, yaitu orangtua memeriksa kembali aktivitas-aktivitas online dari anak setelah penggunaan, contohnya memeriksa kembali website-website yang anak kunjungi. Beberapa hasil penelitian tentang mediasi orangtua juga menemukan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan mediasi orangtua. Karakteristik-karakteristik 6 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
demografis maupun psikografis dari orangtua dan atribut anak dianggap dapat mempengaruhi aktivitas mediasi orangtua. Penelitian Chan dan McNeal (2002) mengidentifikasi beberapa karakteristik orangtua yang dapat mempengaruhi jenis mediasi antara lain, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, profesi, dan jenis kelamin orangtua. Selain itu, para ahli telah menunjukkan bahwa persepsi orangtua terhadap media cenderung mempengaruhi cara mereka melakukan mediasi (Abanto, 2004; Bybee, Robinson, & Turow, 1982; Nathanson A. I., 2001; Sandstig, 2013). Contohnya dalam konteks Indonesia, penelitian Sarwono, Hendriyani, dan Guntarto (2011) menemukan bahwa orangtua yang memiliki kepedulian tentang efek-efek negatif dari televisi akan cenderung menggunakan mediasi restriktif bagi anaknya. Tak hanya karakteristik ataupun sikap orangtua terhadap media, atribut-atribut dari anak seperti misalnya gender dan usia anak juga turut mempengaruhi mediasi orangtua yang diterapkan (Abelman & Pettey, 1989; Abanto, 2004). Misalnya saja, Abanto (2004) mengemukakan, orangtua cenderung lebih khawatir terhadap penggunaan media dari anak laki-laki. Selain itu, ditemukan juga bahwa orangtua akan lebih menerapkan mediasi maupun pendampingan kepada anak yang lebih muda (di bawah 12 tahun) daripada anak remaja (Abanto, 2004; Bybee, Robinson, & Turow, 1982; Lin & Atkin, 1989).
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivis dan pendekatan kualitatif. Penelitian ini sifatnya menguji teori dalam realita dan mengaitkan hasil temuan dengan paparan teori, sekaligus juga memahami bagaimana ibu yang menjadi partisipan menerapkan mediasi, beserta dengan motif yang mendasarinya. Selain itu, pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk memahami pengalaman ibu dalam melakukan mediasi dari perspektif kelompok ibu yang berprofesi sebagai pendidik. Penelitian ini masuk ke dalam kategori penelitian deskriptif, yang berusaha untuk memberikan gambaran dari penerapan mediasi orangtua yang dilakukan para ibu berprofesi sebagai pendidik. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yang bersifat non-probabilita, selektif, subjektif, dan judgemental. Peneliti memberikan beberapa kriteria tertentu bagi sampel yang diteliti, yaitu:
7 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
a. Ibu yang berdomisili di daerah Jabodetabek, oleh karena proliferasi media digital yang cenderung tinggi di daerah ini. b. Ibu memiliki profesi sebagai pengajar atau pendidik (baik itu sebagai guru sekolah ataupun dosen). c. Ibu yang memiliki minimal satu anak yang duduk di bangku SD sampai SMA (+ usia 8-16 tahun). d. Keluarga memiliki minimal 1 televisi dan memiliki fasilitas Internet di rumahnya. e. Anak aktif menonton televisi dan setidaknya pernah menggunakan Internet. Metode pengumpulan data in-depth interview merupakan metode yang dipilih dalam penelitian ini. In-depth interview digunakan untuk dapat mengeksplorasi perspektif individu terhadap suatu fenomena, serta memungkinkan adanya konstruksi pengetahuan dan makna antara pewawancara dan narasumber (Boyce & Neale, 2006; Hennink, Hutter, & Bailey, 2011). Peneliti pada awalnya menetapkan sepuluh calon narasumber yang merupakan ibu berprofesi sebagai pendidik, kemudian menyeleksi lagi dan akhirnya terpilih enam narasumber yang diwawancarai. Setelah wawancara dilakukan, data pun selesai dikumpulkan, peneliti mengolah data tersebut dalam tiga tahap yaitu open, axial, dan selective coding untuk menemukan tema-tema serta konsep yang ada dalam data. Triangulasi merupakan kriteria kualitas dari penelitian ini, yaitu dengan cara mengumpulkan lebih dari satu data. Confirmability juga dilakukan, yaitu peneliti mengkonfirmasi kembali hasil wawancara kepada setiap narasumber, untuk menjamin keabsahan dari data.
Hasil Penelitian Mediasi terhadap Televisi Hasil temuan menunjukkan, narasumber rata-rata memiliki persepsi yang cenderung negatif terhadap televisi, baik itu dari segi tayangan maupun dampaknya bagi anak-anak. Narasumber menyatakan bahwa tayangan-tayangan televisi Indonesia belakangan ini tidak mendidik dan seringkali tidak membawa nilai yang positif bagi anak-anak mereka. Tayangan yang mengandung kekerasan dan adegan seksual disebut-sebut sebagai contoh tayangan yang akan membawa dampak negatif bagi anak mereka. Beberapa narasumber juga menyatakan pandangannya yang kritis terhadap televisi, dengan menyatakan bahwa televisi seringkali menampilkan sesuatu yang tidak berimbang dan tidak realistis. Rata-rata para narasumber mengaitkan hal ini dengan tayangan sinetron Indonesia. Para narasumber juga memiliki 8 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
persepsi negatif maupun kekhawatiran terhadap dampak dari televisi. Salah satu dampak negatif televisi yang paling banyak dikeluhkan oleh narasumber yaitu bagaimana aktivitas menonton televisi mengacaukan prioritas anak dan membuat anak tidak dapat mengatur kegiatannya sehari-hari. Di sisi lain, beberapa narasumber juga menyatakan pandangan positifnya terhadap televisi sebagai sumber informasi dan juga beberapa tayangan televisi yang dianggap baik bagi anak. Untuk media televisi, jenis mediasi orangtua yang paling banyak diterapkan oleh para narasumber adalah mediasi aktif, disusul dengan mediasi restriktif, dan co-viewing. Untuk jenis mediasi aktif, para narasumber ditemukan menerapkan ketiga tugas dari mediasi aktif, walaupun satu narasumber yang sama tidak tentu melakukan ketiga-tiganya. Tugas pertama dari mediasi aktif, yaitu kategorisasi, dilakukan dengan: (1) Menunjukkan bagaimana televisi menampilkan realitas; (2) Menyatakan bahwa konten televisi seringkali tidak menampilkan sesuatu dengan realistis. Tugas kedua yaitu validasi diterapkan dengan: (1) Menentukan perilaku mana yang pantas dan tidak pantas; (2) Tidak menyetujui pesan tertentu yang ditampilkan dalam tayangan televisi; (3) Menyetujui pesan yang ditampilkan. Tugas terakhir yakni suplementasi dilakukan dengan: (1) Menjelaskan tentang alur narasi dari sebuah tayangan; (2) Menjelaskan istilah tertentu yang muncul dalam satu tayangan (contoh: istilah “pedofil”). Secara umum, para ibu yang berprofesi sebagai pendidik ini memasukkan nilai-nilai pendidikan, moral, maupun ajaran agama ketika melakukan mediasi aktif kepada anaknya. Beberapa ibu juga memberikan komentar atau tanggapan evaluatif yang sifatnya mengkritisi apa yang ditampilkan sebuah tayangan. Ada pula ibu yang menerapkan mediasi aktif dengan cara menjelaskan kepada anaknya tentang natur komersil dari industri televisi. Jenis yang berikutnya adalah mediasi restriktif. Umumnya para ibu menerapkan peraturan akan durasi dari menonton televisi, yang biasanya lebih banyak ditujukan pada saat hari-hari sekolah. Orangtua membatasi waktu menonton televisi anak biasanya dengan motivasi agar anak lebih banyak waktu belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Namun, dalam beberapa kasus orangtua sulit menerapkan hal ini, oleh karena anak tidak serta merta akan patuh kepada aturan yang sudah dibuat. Ketika tayangan yang ditampilkan sangatlah menarik dan bertubi-tubi, anak akan sulit untuk berhenti menonton. Selain pembatasan waktu, orangtua juga menerapkan larangan-larangan terhadap jenis tayangan tertentu. Larangan ini diterapkan berdasarkan persepsi negatif orangtua terhadap jenis tayangan tersebut. Misalnya, ibu dengan anak laki-laki, khawatir apabila anaknya akan meniru perilaku kekerasan yang ditampilkan televisi dan menerapkan larangan terhadapnya. Para ibu juga 9 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
melarang anak menonton film-film Barat yang mengandung adegan-adegan dewasa. Larangan-larangan ini umumnya disertai dengan penjelasan lebih lanjut. Sedangkan untuk jenis mediasi co-viewing, para ibu menerapkannya secara sengaja (intentional) dan juga tidak sengaja (unintentional). Dalam konteks Coviewing yang disengaja, ibu mengambil inisiatif untuk mengajak anaknya menonton tayangan tertentu, karena ibu sudah mengetahui sebelumnya bahwa tayangan tersebut aman dan baik bagi anak. Di sisi lain, ibu juga terkadang melakukan coviewing secara tidak sengaja, yaitu ketika ibu sewaktu-waktu datang mendampingi anak yang sedang menonton televisi. Seringkali, ketika ibu melakukan coviewing, ibu menemukan beberapa adegan dari tayangan tertentu perlu dijelaskan kepada anak (mediasi aktif). Di pihak lain, adakalanya Coviewing yang tidak disengaja dan tidak melibatkan diskusi dengan anak dilakukan oleh ayah. Hal ini disebabkan oleh karena ayah seringkali memiliki persepsi positif terhadap televisi dan tidak merasa keberatan jika anaknya ikut menonton televisi dengannya. Mediasi terhadap Internet Mediasi orangtua yang banyak diterapkan pada penggunaan Internet adalah kombinasi antara mediasi aktif, restriktif, dan co-using. Untuk ibu dengan anak yang lebih tua, kombinasi antara mediasi aktif dan restriktif lebih banyak diterapkan. Sedangkan untuk anak yang berusia lebih muda, para ibu juga mengkombinasikannya dengan co-using, atau menggunakan Internet bersama anaknya. Terkait dengan tiga macam kekhawatiran orangtua terhadap resiko-resiko dari Internet, ditemukan bahwa para ibu menerapkan mediasi berdasarkan tiga macam kekhawatiran ini. Untuk “Content Risk”, ibu melakukan mediasi restriktif dengan melarang anak mengakses konten pornografi ataupun gambar-gambar eksplisit yang tidak senonoh. Sedangkan mediasi aktif dilakukan dengan menjelaskan bahaya dari Internet serta dampak buruk jika anak melihat konten-konten tersebut. Para ibu ini biasanya juga menanamkan nilai-nilai moral tertentu kepada anak, yang mereka anggap akan membuat anaknya tidak akan sembarangan mengakses konten seperti demikian. Berikutnya, berkaitan dengan “Contact Risk”, ibu yang khususnya memiliki anak remaja perempuan menerapkan mediasi aktif dengan cara menjelaskan bahaya dari berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal melalui Internet, seperti misalnya menjadi korban hacking dan predator seksual online. Ibu juga melarang anaknya untuk melakukan
10 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
kontak dalam bentuk apapun dengan orang asing melalui Internet. Hal ini juga dapat masuk dalam kategori mediasi interaction restrictions. Sedangkan berkenaan dengan “Conduct Risk”, orangtua biasanya menerapkan mediasi restriktif dengan melakukan pembatasan waktu dari penggunaan Internet oleh anak. Hampir sama dengan apa yang terjadi terhadap media televisi, pembatasan waktu yang diterapkan bagi penggunaan Internet juga dalam beberapa kasus tidaklah efektif. Kebutuhan anak akan Internet meningkat seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan anak. Secara khusus, mediasi restriktif terhadap penggunaan Internet juga diterapkan dalam bentuk membatasi lokasi penggunaannya di rumah. Sebagai contoh, ibu tidak mengizinkan anaknya mengakses Internet di kamar pribadi anak. Selain itu, salah satu karakteristik dari Internet adalah memungkinkan penggunanya untuk memproduksi konten, dan misalnya ada ibu yang melakukan mediasi restriktif terhadap penggunaan Twitter anak, yaitu melarang anak untuk menulis tweet dengan kata-kata kasar. Jadi, mediasi bukan hanya memproteksi anak dari terpaan konten merusak seperti pornografi, namun juga melarang anak untuk memproduksi konten yang tidak baik. Jenis mediasi lain yang tidak ada pada media televisi dan hanya ada pada Internet adalah monitoring, dan jenis ini cukup banyak diterapkan. Bentuk-bentuk dari monitoring yang ditemukan antara lain: (1) Membuka kolom History dari browser untuk memeriksa situs apa saja yang sudah dikunjungi dan diakses oleh anak; (2) Memeriksa kembali apa saja yang diunduh oleh anak dalam kolom Downloads; (3) Menjadi teman dengan anak dalam Facebook dan memantau perilaku anak dalam Facebook; (4) Memeriksa akun Twitter dari anak setelah penggunaan; (5) Jika anak meminjam smartphone milik ibu untuk menggunakan aplikasi chat, ibu akan memeriksa kembali isi chat tersebut (contoh: Blackberry Messenger). Satu-satunya jenis mediasi yang tidak ditemukan dari semua narasumber adalah technical restrictions, yaitu menggunakan software yang dapat menyaring serta memblokir situs-situs berbahaya yang ada dalam Internet. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa ibu lebih memilih berkomunikasi secara aktif dengan anaknya. Alasan lainnya, beberapa ibu merasa dirinya tidak memiliki keterampilan yang cukup dalam menggunakan komputer dan Internet.
11 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Pembahasan Berdasarkan hasil temuan, penerapan dari mediasi orangtua dilatarbelakangi serta dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain atribut-atribut orangtua, atribut anak, akses dan penempatan media, serta karakteristik dari media itu sendiri. Atribut-atribut Orangtua: Persepsi dan Latar Belakang Pertama, atribut orangtua yang ditemukan mempengaruhi cara menerapkan mediasi adalah persepsi ibu terhadap media. Ibu yang memiliki persepsi negatif terhadap televisi akan lebih banyak menerapkan mediasi aktif dan restriktif, yaitu memberi tanggapan evaluatif terhadap konten televisi, membatasi waktu, dan melarang anak menonton jenis konten tertentu. Persepsi ibu yang cenderung negatif dan kritis terhadap televisi juga mendorong ibu untuk memberikan komentar dan tanggapan yang juga bersifat kritis terhadap tayangantayangan tertentu (mediasi aktif negatif). Pengetahuan ibu terhadap natur dari konten televisi juga turut mempengaruhi mediasi aktif yang dilakukan. Beberapa ibu menyadari bahwa televisi tidak menampilkan realitas secara utuh, ditambah lagi dengan sifat komersil dari televisi yang hanya memikirkan profit dan bukan kepentingan khalayak umum. Selain itu, persepsi ibu terhadap fungsi dari Internet juga mendorong ibu untuk melakukan mediasi restriktif dan aktif. Beberapa ibu menyadari bahaya dari Internet dan hal ini meningkatkan kekhawatiran ibu, sehingga ibu lebih banyak menerapkan mediasi restriktif. Kedua, atribut orangtua berikutnya adalah latar belakang ibu, yang mencakup keyakinan agama, pendidikan, dan profesi. Dari segi keyakinan agama, ditemukan bahwa ibu seringkali memasukkan nilai dan prinsip agama dalam melakukan mediasi, terutama mediasi aktif. Kemudian dari segi pendidikan, ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditemukan lebih banyak menerapkan mediasi aktif kepada anaknya. Beberapa ibu yang memiliki latar belakang pendidikan khusus seperti ilmu psikologi dan ilmu komunikasi ditemukan juga cenderung untuk lebih banyak mendiskusikan konten maupun perilaku bermedia dengan anaknya. Profesi ibu sebagai guru atau pendidik juga turut mendorong mereka untuk memiliki kepedulian lebih tinggi dan menerapkan mediasi dengan lebih ketat. Hal ini disebabkan karena para ibu ini melihat sendiri perilaku bermedia dari siswa-siswa di sekolah yang kurang baik, secara khusus mereka yang adalah guru SMP dan SMA. Ibu yang berprofesi sebagai pendidik ini juga ditemukan memiliki concern yang tinggi terhadap pendidikan serta prestasi akademis anak. Mereka melihat adanya hubungan kausal antara penggunaan media yang berlebihan dengan prestasi akademis anak di sekolah yang menurun. 12 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Ibu yang juga pernah mengikuti seminar atau pelatihan tentang media ditemukan memiliki kepedulian yang lebih tinggi serta menerapkan mediasi dengan lebih ketat. Atribut-atribut Anak: Gender dan Usia Penerapan dari mediasi orangtua tidak terlepas dari atribut anak itu sendiri, baik itu gender maupun usia anak. Penerapan dari mediasi orangtua tidak bisa lepas dari gender anak, di mana mediasi yang diterapkan kepada anak laki-laki akan cenderung berbeda dengan anak perempuan. Ketika ditujukan kepada anak laki-laki, ibu biasanya melakukan mediasi aktif mengenai perilaku kekerasan yang ditampilkan televisi. Sedangkan kepada anak perempuan, ibu lebih sering menekankan tentang seks dan perilaku remaja perempuan yang digambarkan sinetron. Beralih kepada Internet, anak laki-laki lebih banyak menggunakan Internet untuk bermain game, sedangkan anak perempuan untuk mengakses media sosial seperti Facebook dan Twitter. Kepada anak laki-laki, ibu lebih banyak menerapkan mediasi restriktif, yaitu dengan melarang anaknya bermain game online yang berbau kekerasan. Sedangkan kepada anak perempuan, ibu melarang anak untuk berinteraksi dengan orang asing. Ibu juga lebih banyak memberikan penjelasan atau pengertian kepada anak perempuannya tentang bagaimana memanfaatkan media sosial secara positif. Atribut anak berikutnya yang hendak dibahas adalah usia anak. Kepada anak yang lebih muda, biasanya orangtua lebih menekankan bahwa televisi tidak menampilkan realitas yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa anak yang berusia lebih muda belum memiliki pikiran yang cukup matang untuk membedakan realitas dan fantasi. Usia dari anak juga mempengaruhi bagaimana orangtua menyampaikan mediasinya terkait dengan tayangan adegan seks. Anak yang berusia lebih muda hanya dijelaskan bahwa perilaku tersebut hanya boleh dilakukan oleh suami istri. Sedangkan anak yang berusia lebih tua dijelaskan dengan lebih detil, bahwa perilaku tersebut dapat mengakibatkan kehamilan dini dan sebagainya. Untuk penggunaan Internet, anak yang berusia lebih muda biasanya akan menggunakan Internet bersama orangtuanya. Semakin tua usia anak, ada kecenderungan ibu tidak lagi merasa perlu mendampingi anak ketika menggunakan media. Ibu menganggap anak-anak yang berusia lebih tua hanya memerlukan peringatan-peringatan dan diskusi. Akses dan Penempatan Media dalam Rumah Penempatan media baik itu televisi dan Internet ditemukan telah menentukan penerapan dari mediasi. Akses anak terhadap televisi di kamarnya sendiri akan mempersulit 13 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
kontrol, pengawasan, dan penegakkan aturan oleh ibu. Pengawasan dan pembatasan waktu yang diterapkan ibu akhirnya tidak selalu efektif untuk dijalankan. Ibu yang mengizinkan anaknya memiliki akses terhadap televisi di kamarnya pribadi ditemukan tidak dapat melakukan co-viewing dan mediasi aktif. Hal ini terjadi juga ketika anak memiliki akses terhadap Internet dalam kamarnya sendiri. Durasi anak dalam menggunakan Internet akhirnya sulit untuk dikontrol oleh ibu. Karakteristik Media Terakhir, penerapan mediasi orangtua juga tidak terlepas dari karakteristik media. Mediasi orangtua terhadap televisi dan terhadap Internet memiliki perbedaan, yang mana perbedaan tersebut mengacu kepada karakteristik dari masing-masing media. Televisi sifatnya lebih satu arah sehingga menempatkan anak pada posisi yang cenderung lebih pasif. Mediasi yang dilakukan pun biasanya mengacu pada bagaimana anak supaya tidak terpapar konten-konten yang tidak diinginkan. Akan tetapi Internet memungkinkan seorang pengguna untuk juga memproduksi konten. Para ibu akhirnya juga mempermasalahkan bagaimana anak-anaknya memproduksi konten, misalnya dalam media sosial. Apa yang anak-anaknya unggah dan tulis dalam media sosial juga menjadi kepedulian orangtua, sehingga mediasi pun juga dilakukan terhadapnya. Selain itu, televisi sebagai media yang dikonsumsi secara kolektif, membuat orangtua dapat melihat apa yang anaknya tonton secara langsung. Pengawasan orangtua terhadap televisi biasanya dapat dilakukan secara simultan, ketika anak sedang menonton di depan layar televisi. Maka dari itu, ketika orangtua menemukan tontonan yang dirasa kurang baik bagi anak, orangtua dapat mengintervensi secara langsung. Sedangkan untuk Internet tidak selalu terjadi demikian. Seringkali orangtua tidak tidak mendampingi anak ketika menggunakan Internet, sehingga pengawasan orangtua tidak dilakukan secara langsung. Salah satu penyebab dari terjadinya hal ini adalah Internet biasanya diakses melalui medium komputer, yang sifatnya lebih pribadi dan digunakan secara individual. Maka dari itu, banyak ibu yang memilih jenis mediasi Monitoring, yaitu memantau setelah penggunaan. Televisi salah satu karakteristiknya juga adalah memiliki regulasi yang cenderung tinggi, berbeda dengan Internet yang regulasinya rendah. Tak hanya regulasi rendah, Internet juga sifatnya tidak terbatas dan memiliki dimensi interaktivitas yang tidak dimiliki televisi. Hal ini meningkatkan kekhawatiran ibu, karena menganggap anaknya dapat terpapar kontenkonten berbahaya seperti pornografi dan juga berinteraksi dengan orang asing yang juga 14 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
beresiko tinggi bagi anaknya. Internet yang juga mengaburkan batasan antara ranah publik dan privat memungkinkan anak dapat mengunggah sesuatu yang dapat dilihat oleh publik. Oleh karena itu, ibu juga melarang anaknya mengumbar informasi yang sifatnya privat kepada khalayak luas atau publik.
Kesimpulan Mediasi aktif terbukti merupakan jenis mediasi yang banyak diterapkan oleh ibu yang berprofesi sebagai pendidik. Akan tetapi ketika beralih ke media baru yaitu Internet, jenis mediasi yang diterapkan lebih cenderung beragam dan merupakan kombinasi antara mediasi aktif, restriktif, dan co-using. Jenis mediasi yang hanya diterapkan pada media Internet yakni monitoring, dan mediasi ini cukup banyak diterapkan oleh ibu. Secara keseluruhan, ibu yang berprofesi sebagai pendidik, yang merupakan guru atau dosen, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pengaruh media bagi anaknya dan merasa dirinya masih bisa mengontrol penggunaan media anaknya. Ibu dari kalangan pendidik atau edukator ini juga dapat dikategorikan sebagai orangtua yang “selektif” dengan menyeimbangkan antara mediasi positif dan negatif terhadap penggunaan media. Ibu sadar bahwa media memiliki manfaat positif bagi anak jika digunakan dengan benar, namun juga di sisi lain dapat memiliki bahaya-bahayanya tersendiri. Berdasarkan hasil temuan penelitian, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maupun mempengaruhi bagaimana ibu menerapkan mediasi. Hal pertama adalah atributatribut ibu, yang mencakup persepsi ibu terhadap media dan latar belakang ibu (keyakinan agama, tingkat pendidikan, dan profesi). Hal kedua adalah atribut-atribut anak, yang mencakup gender dan usia dari anak. Hal ketiga adalah akses dan lokasi penempatan media di dalam rumah. Kemudian hal terakhir adalah karakteristik dari media itu sendiri. Ditemukan bahwa penerapan mediasi orangtua terhadap televisi dan Internet memiliki perbedaanperbedaan yang dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari masing-masing media. Internet sebagai media baru membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang tidak dimiliki oleh televisi, contohnya memproduksi konten dan sifatnya yang interaktif. Hal ini menyebabkan cara ibu memediasi penggunaan Internet dari anaknya pun cenderung berbeda bila dibandingkan dengan apa yang diterapkan terhadap televisi.
15 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Saran Penelitian tentang mediasi orangtua dapat lebih menggali dengan lebih dalam tentang bagaimana orangtua melakukan mediasi terhadap penggunaan media digital. Media digital yang proliferasinya semakin tinggi di zaman ini membutuhkan perhatian khusus, mengingat penelitian mediasi orangtua tentang media digital masih jarang di Indonesia. Rekomendasi lain, penelitian selanjutnya dapat mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan mediasi orangtua dengan lebih mendalam, contohnya pengaruh pola asuh. Penelitian selanjutnya juga dapat mengambil sampel yang lebih heterogen dengan jumlah sampel yang lebih banyak, demi mendapatkan hasil temuan yang merepresentasikan potret masyarakat Indonesia secara lebih luas.
Kepustakaan Abanto, F. L. (2004). Children„s and parents„ perception towards TV programs and the practice of parental mediation. Dipetik November 18, 2013, dari Bangkok University: http://www.bu.ac.th/knowledgecenter/epaper/july_dec2004/abanto.pdf Abelman, R., & Pettey, G. R. (1989). Child attributes as determinants of parental televisionviewing mediation. Journal of Family Issue , 251-266. Austin, E. W., Fujioka, Y., Bolls, P., & Engelbertson, J. (1999). How and why parents take on the tube. Journal of Broadcasting & Electronic Media , 175-192. Austin, E. W., Hust, S. J., & Kistler, M. E. (2009). Powerful Media Tools: Arming Parents with Strategies to Affect Children's Interactions with Commercial Interests. Dalam T. J. Socha, & G. H. Stamp, Home, Parents and Children Communicating with Society: Managing Relationships Outside of the (hal. 215-240). New York: Routledge. Boyce, C., & Neale, P. (2006, May). Conducting In-Depth Interviews: A Guide for Designing and Conducting In-Depth Interviews for Evaluation Input. Dipetik October 31, 2013, dari Pathfinder International: http://www.cpc.unc.edu/measure/training/materials/dataquality-portuguese/m_e_tool_series_indepth_interviews.pdf Buckingham, D. (2006). Children and New Media. Dalam L. A. Lievrouw, & S. Livingstone, The Handbook of New Media (hal. 75-91). London: SAGE Publications. Bybee, C., Robinson, D., & Turow, J. (1982). Determinants of parental guidance of children's television viewing for A special subgroup: Mass media scholars. Journal of Broadcasting , 697-710.
16 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Chan, K., & McNeal, J. U. (2002). Parental concern about television viewing and children's advertising in China. International Journal for Public Opinion Research , 151-166. Chen, M. (2005). Mendampingi Anak Menonton Televisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Desmond, R. J., Singer, J. L., Singer, D. G., Calam, R., & Colimore, K. (1985). Family mediation patterns and television viewing: Young children's use and grasp of the medium. Human Communication Research , 461-480. Earles, K. A., Alexander, R., Johnson, M., Liverpool, J., & McGhee, M. (2002). Media influences on children and adolescents: violence and sex. Journal of the National Medical Association , 797-801. Fisch, S. M. (2005). Children's learning from television. Televizion , 10-14. Guntarto, B., Virginia, A., Puspasari, M., & Nixon, M. T. (2011). Konsep dan Implementasi 'Media Literacy' di Indonesia. Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di Indonesia (hal. 1-35). Depok: YPMA. Hari, B. (2014, Februari 19). 50 Persen Anak Indonesia Akses Pornografi, 6 Menteri Bersiaga. Dipetik Mei 5, 2014, dari PortalKBR: http://www.portalkbr.com/berita/nasional/3140502_4202.html Harris, R. J., & Sanborn, F. W. (2009). A Cognitive Psychology of Mass Communication: Fifth Edition. New York: Routledge. Hendriyani, Hollander, E., d'Haenens, L., & Beentjes, J. (2014). Views on children's media use in Indonesia: Parents, children, and teachers. the International Communication Gazette , 322-339. Hennink, M., Hutter, I., & Bailey, A. (2011). Qualitative Research Methods. London: SAGE Publications Ltd. Huesman, L. R., & Taylor, L. D. (2006). The Role of Media Violence in Violent Behavior. Annual Review of Public Health , 393-415. Lemish, D. (2008). The Mediated Playground: Media in Early Childhood. Dalam K. Drotner, & S. Livingstone, The International Handbook of Children, Media and Culture (hal. 152-167). London: SAGE. Lin, C. A., & Atkin, D. J. (1989). Parental mediation and rulemaking for adolescent use of television and VCRs. Journal of Broadcasting and Electronic Media , 53-67. Livingstone, S., & Helsper, E. J. (2008). Parental mediation and children's Internet use. Journal of Broadcasting & Electronic Media , 581-599. Lubis, M. (2011). Televisi dan Anak-Anak: Tantangan dalam mewujudkan televisi sehat bagi anak-anak Indonesia. Jurnal Semai Komunikasi , 127-133.
17 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Mason, M. (2012, October 29). Facebook Sex Trafficking: Social Network Used To Kidnap Indonesian Girls. Dipetik January 24, 2014, dari Huffington Post: http://www.huffingtonpost.com/2012/10/29/facebook-sex-trafficking-_n_2036627.html McCann, J. (2013, Juli 4). No time for the family? You are not alone: Parents and children spend less than an hour with each other every day because of modern demands. Dipetik Juni 26, 2014, dari Mail Online: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2363193/Notime-family-You-Parents-children-spend-hour-day-modern-demands.html Moudry, J. R. (2008). Perceived Value Congruence and Family Communication Pattern as Predictors of Parental Television Mediation. Madison, Wisconsin: University of Wisconsin-Madison. Mutmainnah, N. (2011). Pola Komunikasi Digital Natives Jabodetabek. Depok: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Nathanson, A. I. (1999). Identifying and explaining the relationship between parental mediation and children's aggression. Communication Research , 124-164. Nathanson, A. I. (2001). Parent and child perspectives on the presence and meaning of parental television mediation. Journal of Broadcasting & Electronic Media , 210-220. Nathanson, A. I., & Botta, R. A. (2003). Shaping the effects of television on adolescents' body image disturbance: The role of parental mediation. Communication Research , 304331. Nathanson, A. (2001). Parent and child perspectives on the presence and meaning of parental television mediation. Journal of Broadcasting & Electronic Media , 210-220. Nathanson, A. (2002). The unintended effects of parental mediation of television on adolescents. Mediapsychology , 207-320. National Coalition Prevent Child Sexual Abuse and Exploitation. (2013). Impact of Exposure to Sexually Explicit and Exploitative Materials. Dipetik Mei 5, 2014, dari NSVRC.org: http://www.nsvrc.org/sites/default/files/publications_nsvrc_factsheet_impact-ofexposure-to-sexually-explicit-and-eploitative-materials.pdf Neuman, W. L. (2011). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (Seventh Edition). Boston: Pearson. Ponte, C., & Simões, J. A. (2009). Asking parents about children„s Internet use: comparing findings about parental mediation in Portugal and other European countries. Dipetik May 20, 2014, dari http://www2.fcsh.unl.pt/eukidsonline/docs/Asking%20parentsFINAL%20Paper1_27-05-09.pdf Rahayu. (2012). Parental Perceptions of Media and Parental Mediation of Media Use: A Study of Indonesian Muslim Mothers in Mediating Their Children's Television and Internet Use. Singapore: National University of Singapore. 18 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014
Rakhmani, I. (2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi jenis mediasi orangtua untuk televisi. Jurnal Thesis . Roberts, D. F., Foehr, U. G., Rideout, V. J., & Brodie, M. (1999). Kids & Media @ The New Millennium. Menlo Park, California: The Henry J. Kaiser Family Foundation. Sandstig, G. (2013). The Influence of Parental Perceptions of Media Influences on Coviewing/using Media and Instructive Mediation with Younger Children. Mass Communication and Journalism , 1-5. Sarwono, B., Hendriyani, & Guntarto, B. (2011). Efektivitas pendidikan media dalam mengubah konsumsi media anak: Eksperimen terhadap siswa SD di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam M. Nazaruddin, & A. S. Saputro, LITERASI MEDIA DI INDONESIA (hal. 1-27). Yogyakarta: Komunikasi UII. UNICEF. (2014, Februari 18). Studi Terakhir: Kebanyakan Anak Indonesia sudah online, namun masih banyak yang tidak menyadari potensi resikonya. Dipetik Juni 27, 2014, dari UNICEF Indonesia: http://www.unicef.org/indonesia/id/media_22169.html Valentine, G., Marsh, J., & Pattie, C. (2005). Children and Young People's Home Use of ICT for Educational Purposes: The Impact on Attainment at Key Stages 1-4. Leeds: University of Leeds. Valkenburg, P. M., Kremar, M., Peeters, A. L., & Marseille, N. M. (1999). Developing a scale to assess three different styles of television mediation: "instructive mediation", "restrictive mediation", and "social coviewing". Journal of Broadcasting & Electronic Media , 52-66. Warren, R. (2001). In words and deeds: Parental involvement and mediation of children's television viewing. Journal of Family Communication , 211-231. Widiyani, R. (2013, Oktober 29). Video Asusila Pelajar Bukti Pergeseran Nilai Moral. Dipetik Januari 23, 2014, dari Kompas.com: http://health.kompas.com/read/2013/10/29/1445523/Video.Asusila.Pelajar.Bukti.Pergese ran.Nilai.Moral. Wilson, B. J. (2004). The Mass Media and Family Communication. Dalam A. L. Vangelisti, Handbook of Family Communication (hal. 563-591). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Zubaidah, N. (2013, November 3). 68 persen siswa SD sudah akses konten pornografi. Dipetik Juni 27, 2014, dari SINDONEWS.com: http://nasional.sindonews.com/read/801494/15/68-persen-siswa-sd-sudah-akses-kontenpornografi
19 Mediasi orangtua..., Izzaura, FISIP UI, 2014