Isu Penting dalam Investasi Pendidikan di Aceh Dr. Nazamuddin, MA Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Abstrak Pembangunan ekonomi Aceh masih dikonsentrasikan pada pembangunan fisik dan condong pada sektor komoditas, bukan pada pembangunan modal manusia dan perubahan struktur ekonomi ke arah sektor modern. Meningkatnya dana pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai implementasi otonomi khusus menimbulkan perdebatan tentang bagaimana mengalokasikan dana tersebut secara efisien dan efektif. Tulisan ini memberikan argumentasi teorities dan kuantitatif tentang bagaimana memanfaatkan dana pendidikan itu kepada berbagai jenjang pendidikan. Karena social rates of returns pendidikan lebih tinggi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, maka sepantasnyalah porsi terbesar dialokasikan untuk jenjang pendidikan ini. Sementara pada jenjang pendidikan lebih tinggi private rates of returns lebih tinggi. Oleh karena itu sebagian pembiayaan pendidikan harus ditanggung sendiri oleh penerima manfaat pendidikan, dalam hal ini keluarga, sehingga tidak ada pendidikan gratis seratus persen. Kesimpulan lain adalah bahwa pendidikan dapat secara menguntungkan (profitable) dikelola oleh swasta, khususnya pendidikan tinggi, dan dikelola secara demand-driven. Tetapi tentu saja pendidikan sebagai infrastruktur lunak harus diorientasikan pada kualitas, bukan kuantitas semata. Dana yang besar semestinya dikelola secara akuntabel sehingga benar-benar membawa dampak jangka panjang pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keywords : pendidikan, social rates of returns, private rates of returns,teaching-learning, soft-infrastructure.
I.
Pendahuluan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 182
mengamanatkan bahwa paling sedikit 30 persen dari pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dibelanjakan untuk pendidikan. Implementasi ketentuan ini perlu disiapkan secara matang agar pengalaman di waktu yang lalu tidak terulang di mana alokasi dana pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam undangundang otonomi khusus sebelumnya (UU No. 18 Tahun 2001) tidak tepat sasaran dan tidak memperlihatakan hasil nyata dalam hal peningkatan pelayanan pendidikan dan lebih jauh lagi dampak terhadap ekonomi masyarakat. Belum adanya Rencana Strategis Pendidikan Aceh yang sesuai dengan cita-cita adanya penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
1
Perdebatan tentang alokasi dana pendidikan yang berkembang selama ini adalah sekitar kepentingan-kepentingan sektoral, kedaerahan dan institusi. Jarang sekali argumentasi mengarah pada perspektif yang lebih luas, yakni pendidikan sebagai alat (means) untuk memacu pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan masyarakat), penyediaan kesempatan kerja, dan kesejahteraan sosial yang lebih luas. Pendidikan terkait erat dengan pengurangan kemiskinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan pada akhirnya percepatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pendidikan sebagai sebuah proses harus dikelola secara efisien dan mencapai sasaran yang tepat. Perencanaan pendidikan yang baik akan memberi kontribusi besar dalam pencapaian sasaran makro secara efektif dan efisien. Pendidikan yang dikelola dengan baik akan menjadikannya “sustainable”, yakni pendidikan adalah “sebab” dan sekaligus “akibat” dari pendapatan (kesejahteraan) masyarakat yang semakin tinggi. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memberikan satu perspektif dari sudut ekonomi tentang penyelenggaraan pendidikan dan khususnya pendanaan pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dari sudut ekonomi, manfaat pendidikan diukur dari social rate of returns. Bank Dunia (1990) membuat estimasi bahwa social rate of returns untuk pendidikan pendidikan dasar dan menengah berkisar antara 10% hingga 20%, sementara social rate of returns untuk pendidikan tinggi lebih rendah. Sebuah studi yang mencakup beberapa negara menemukan bahwa petani dengan pendidikan dasar 4 tahun atau lebih secara ratarata sekurang-kurangnya 7% lebih produktif dari petani tanpa pendidikan dasar. Implikasi dari dari temuan ini adalah bahwa atas dasar efisiensi dan equity, maka pendidikan dasar sepantasnya memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemerintah. Tetapi karena tingkat pendidikan mempunyai korelasi yang positif dengan tingkat pendapatan (private returns), seringkali alokasi pengeluaran publik condong kepada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Perlu diingat pula bahwa pendidikan adalah “public good” yang menjadi beban pemerintah untuk menyediakannya. Sifat dari barang publik yang memberikan eksternalitas positif yang besar mengharuskan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) untuk menyediakannya dalam jumlah sebanyak mungkin. Pendidikan adalah barang yang mahal. Bank Dunia (IFC) membuat estimasi bahwa jumlah pengeluaran untuk 2
mengembangkan proses pembelajaran (teaching-learning), pendidikan guru ikatan dinas dan dukungan profesi mencapai US $36 per siswa, tidak termasuk penyediaan buku text dan alat-alat bantu pendidikan. Oleh karena itu, dengan dana yang terbatas prioritasprioritas harus ditetapkan dan dana pendidikan dialokasikan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan equity. Tulisan ini hanya memberikan suatu pemahaman tentang pentingnya perubahan struktur ekonomi dan perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan. Diharapkan dengan wawasan ini para pembuat kebijakan dapat melahirkan kebijakan yang terbaik. II.
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Konklusi utama dari model pertumbuhan Solow adalah bahwa akumulasi modal fisik
tidak dapat merupakan penyebab pertumbuhan antar waktu dalam output per pekerja atau perbedaan geografis dalam output per pekerja (David Romer, 1996). Hanya pertumbuhan dalam effectiveness of labor lah yang dapat membawa pertumbuhan yang permanen dalam output per pekerja. Yang menjadi faktor utama dalam efektivitas tenaga kerja adalah pendidikan dan pelatihan. Denison (1985 dalam McDonald, 1997) memberikan estimasi bahwa 20 persen dari pertumbuhan output per pekerja selama periode 1929-1982 di Amerika Serikat disebabkan oleh meningkatnya tingkat pendidikan dan pelatihan dari angkatan kerja. Menurut North (1990) sepanjang sebagian besar sejarah insentif kelembagaan untuk melakukan investasi dalam ilmu pengetahuan produktif umumnya tidak ada, dan bahkan dalam perekonomian
Dunia ketiga dewasa ini insentif tersebut sering salah arah.
Kalaupun terdapat investasi pendidikan, sering pula investasi tersebut salah arah kepada pendidikan tinggi, bukan pendidikan dasar (yang sebenarnya mempunyai social rate of return yang lebih tinggi daripada pendidikan tinggi di negara-negara Dunia Ketiga). Selanjutnya kendatipun pasar swasta efisien, investasi terjadi melalui organisasiorganisasi sukarela. Jika pasar tidak sempurna, private rates of returns demikian rendahnya sehingga tidak menguntungkan bagi swasta menjalankannya, sehingga seharusnya pembiayaan pendidikan dasar harus diambil alih oleh pemerintah, sepanjang masyarakat menilai bahwa social rate of returns untuk pendidikan dasar adalah cukup tinggi. 3
Rendahnya investasi di sektor pendidikan, baik di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya, terkait erat dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan lambannya perubahan struktur ekonomi dan kesempatan kerja. Tenaga kerja dengan pendidikan yang rendah hanya sesuai untuk mengakomodasi pertumbuhan pertanian tradisional dan tidak untuk mempersiapkan diri menuju masyarakat industrial. Tetapi perubahan struktur yang lamban, dan karenanya pertumbuhan ekonomi yang lamban, juga adalah penyebab kurangnya kemampuan individu masyarakat dan pemerintah di dalam melakukan investasi di bidang pendidikan. Untuk Aceh, dilihat dari komposisi Produk Domestik Regional Bruto, sektor pertanian masih merupakan sektor dominan dengan kontribusi sebesar 41,38 persen dari PDRB Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 atas dasar harga konstan 1993, dengan kontribusi sektor industri pengolahan hanya sebesar 12,24 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 10,61 persen. Keadaan ini tidak banyak berubah selama beberapa tahun terakhir. Ini merupakan indikasi lambannya perubahan struktur ekonomi Nanggroe Aceh Darussalam. Kondisi masyarakat yang masih sangat agraris, dikombinasikan dengan perhatian atau prioritas pemerintah (nasional dan daerah) yang masih bertumpu pada komoditas atau sektor pertanian pada umumnya adalah penyebab lambannya perubahan struktur ekonomi tersebut. Selama puluhan tahun prioritas pembangunan diletakkan pada sektor pertanian (yang masih tradisional), dengan perhatian pada agroindustri dan industri pengolahan yang rendah. Akibatnya pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi tidak mampu ditampung di dalam sektor modern, sebagian tenaga kerja hanya terserap di kegiatankegiatan pertanian yang marjinal dan kegiatan ekonomi marjinal di perkotaan. Masalah pengangguran, khususnya setengah pengangguran, menjadi masalah besar dan memberi beban kepada pemerintah. Karena sektor swasta tidak berkembang dengan baik, tumpuan lapangan kerja yang segera adalah bekerja di sektor pemerintahan. Dan ini ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan membuka kesempatan kerja sebagai pegawai negeri sipil daerah, dengan konsekuensi membebani anggaran belanja tahun pemerintah daerah dan menyisakan semakin sedikit dana untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur yang sifatnya lebih jangka panjang.
4
Jika dilihat perkembangan dunia dalam era globalisasi, maka persaingan bisnis dunia tidak lagi terletak pada komoditas. Komoditas pertanian tidak menjanjikan karena harganya yang tidak stabil di pasaran dunia, sensitif terhadap perubahan kurs, dan kenaikan harga yang lamban. Daya saing antara satu negara dengan negara lain atau antara satu daerah dengan daerah lain lebih terletak pada social assets, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan adalah human capital investment yang manfaatnya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang, sehingga tidak mengherankan jika terabaikan dalam keputusan politik pengambil keputusan di daerah dan nasional. Return investasi pendidikan tidak segera dapat ditunjukkan oleh para politisi sebagai hasil karya mereka, karena memang belum terlihat dalam 1 hingga 5 tahun. Perubahan struktur ekonomi menuju masyarakat industrial yang modern tidak terlepas dari upaya mempersiapkan sumberdaya manusia Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan wewenang yang besar dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 Aceh mendapat kesempatan untuk mencurahkan perhatian yang lebih besar pada investasi infrastruktur lunak di bidang sumberdaya manusia ini. Tetapi jika dana yang besar, 20% dari pendapatan untuk pendidikan seperti diamanatkan oleh UU tersebut tidak efisien dan efektif dalam pelaksanaannya, maka dikhawatirkan akan terdapat pemborosan yang siasia. Oleh karena itu pemahaman tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan sangat perlu. III.
Manfaat Ekonomi dari Investasi Pendidikan Paling tidak terdapat dua pertanyaan mendasar tentang investasi di bidang
pendidikan. Pertama, apakah investasi pendidikan menguntungkan dan siapakah yang melakukan investasi di bidang pendidikan? Kedua, kalau pendidikan dibiayai oleh pemerintah, bagaimana mendesentralisasikannya ke pemerintahan lebih rendah?. Pertanyaan pertama terkait erat dengan tingkat pengembalian investasi di bidang pendidikan (returns to education). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan melahirkan manfaat pribadi bagi individu yang melakukan investasi (private returns) dan manfaat sosial bagi masyarakat sebagai akibat dari membaiknya tingkat pendidikan ratarata penduduk (social returns). Manfaat pribadi dari investasi pendidikan sebagaimana dibahas dalam teori human capital adalah penghasilan netto (net earnings) bagi orang 5
yang melakukan investasi pendidikan pribadinya. Misalnya seseorang yang ingin melanjutkan pendidikannya ke pendidikan tinggi, investasinya adalah layak (feasible) jika nilai sekarang dari penghasilannya yang diharapkannya lebih besar daripada nilai sekarang dari biayanya (biaya kuliah ditambah harapan penghasilan yang hilang karena menempuh pendidikan). Becker (1964) memberikan suatu kerangka teoritik yang komprehensif tentang investasi pendidikan pada berbagai jenjang. Sementara manfaat sosial (social returns) dari investasi pendidikan dapat diukur misalnya sejauh mana pendidikan mempunyai dampak terhadap produktivitas dan karenanya pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan kedua berkaitan dengan efisiensi alokasi dana pendidikan pada berbagai jenjang pemerintahaan. Desentralisasi di bidang pendidikan selain memberi wewenang mengelola pendidikan kepada pemerintahan lebih rendah, juga perlu diobservasi sejauh mana pemerintahan lebih rendah mampu membiayai pendidikan. Prinsip-prinsip pembiayaan bagaimana yang semestinya dianut sehingga efisiensi dapat dicapai. Apakah investasi pendidikan menguntungkan ? Jawaban terhadap pertanyaan di atas akan memberikan suatu arah investasi pendidikan, apakah pendidikan seluruhnya merupakan tanggung jawab pemerintah atau sebagian (dan bagian mana) dikelola oleh swasta dan ditanggung oleh penerima manfaat (beneficiary) sendiri. Kriteria yang sederhana untuk ini adalah apakah social rate of returns (SRR) lebih besar daripada private rate of returns (PRR). Jika yang pertama lebih besar, maka sepatutnyalah porsi yang terbesar dari investasi pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah (dan pemerintah daerah). Pendidikan yang mempunyai SRR yang tinngi akan memberi dampak yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Nonwage benefits yang dinikmati oleh penerima pendidikan mencakup antara lain pekerjaan yang lebih menyenangkan dan bergengsi, tunjangan yang lebih besar, kesadaran kesehatan yang lebih baik, dll. Tetapi kenyataan bahwa pendidikan mempunyai eksternalitas positif yang besar dampak dari meningkatnya pendidikan rata-rata penduduk, yakni SRR, dapat jauh lebih besar dari PRR. Pendidikan masyarakat yang lebih baik berkorelasi positif dengan turunnya angka kejahatan, kesadaran politik, dll. Jika dijumlah, manfaat total dari meningkatnya pendidikan dapat mencapai dua kali lipat dari penghasilan dalam bentuk uang (monetary 6
earnings) semata (Hines, Tweeten, and Martin Fedfern, 1970 dan Carnoy and Marenbach, 1975, dalam Kaufman, 1994). Bank Dunia (1990) membuat estimasi bahwa social rate of returns untuk pendidikan dasar dan menengah berkisar antara 10% hingga 20%, sementara social rate of returns untuk pendidikan tinggi lebih rendah. Sebuah studi yang mencakup beberapa negara menemukan bahwa petani dengan pendidikan dasar 4 tahun atau lebih secara ratarata sekurang-kurangnya 7% lebih produktif dari petani tanpa pendidikan dasar. Implikasi dari dari temuan ini adalah bahwa atas dasar efisiensi dan equity, maka pendidikan dasar sepantasnya memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemerintah. Tetapi karena tingkat pendidikan mempunyai korelasi yang positif dengan tingkat pendapatan (private returns), seringkali alokasi pengeluaran publik condong kepada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karenanya alokasi anggaran publik yang besar untuk pendidikan tinggi cenderung memberi manfaat yang lebih besar kepada kelompok orang kaya (yang relatif mampu melanjutkkan pendidikan anaknya ke pendidikan tinggi). Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan adalah menguntungkan ditinjau dari individu (PRR) dan masyarakat (SRR). Tetapi bagian mana yang ditanggung oleh pemerintah. Yang optimal adalah pemerintah menanggung sebagian besar biaya pendidikan yang SRR-nya besar (sebagian lagi adalah biaya yang harus ditanggung sendiri) dan penerima manfaat pendidikan langsung (individu) menanggung sebagian besar biaya pendidikannya sendiri (tentu sebagian adalah subsidi oleh pemerintah). Di Amerika Serikat tiga-perempat dari operating-costs sekolah-sekolah yang didanai oleh pemerintah negara bagian berasal dari penghasilan pajak pemerintah (sebagian lagi tentu ditutupi oleh SPP siswa). Para siswa mendapat bantuan finansial dari orangtua mereka atau dari pihak lain (Kaufman, 1994). Bank Dunia (IFC) membuat estimasi bahwa jumlah pengeluaran untuk mengembangkan proses pembelajaran (teaching-learning), pendidikan guru ikatan dinas dan dukungan profesi mencapai US $36 per siswa, tidak termasuk penyediaan buku text dan alat-alat bantu pendidikan. Karena pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi terdapat PRR yang lebih tinggi, maka sebagian besar biaya pendidikan seharusnya menjadi private costs. Implikasinya adalah pendidikan pada jenjang lebih tinggi (PT) sebenarnya dapat diselenggarakan oleh swasta sebagai sebuah bisnis atau yayasan dengan prinsip cost-recovery atau dengan 7
margin keuntungan yang tidak terlalu besar. Dalam pasar pendidikan yang kompetitif, prinsip marginal-cost pricing dapat diterapkan sehingga biaya pendidikan dapat berada pada titik yang optimal. Internal rate of return investasi di sektor pendidikan di negaranegara maju mencapai 11 hingga 28 persen (IFC). Dengan demikian investasi swasta di bidang pendidikan harus menjadi perhatian yang semakin besar dan didorong oleh pemerintah dengan kemudahan-kemudahan dan insentif-insentif tertentu. Rosenzweig (1995) mengajukan pertanyaan apakah terdapat manfaat (returns) terhadap pendidikan (schooling). Returns terhadap schooling adalah tinggi bila returns terhadap pembelajaran (learning) juga tinggi. Hanya ketrampilan yang didapat melalui pembelajaran lah yang dapat meningkat produktivitas. Investasi di bidang pendidikan adalah respons terhadap kesempatan memperoleh imbalan (payoff) yang tinggi. Imbalan yang tinggi ini diperoleh dalam suatu iklim yang memungkinkan payoff tersebut didapat. Returns dari investasi di bidang pendidikan harus memenuhi syarat bahwa pembelajaran yang produktif harus dikembangkan baik melalui inovasi teknik atau perubahan di dalam sistem pasar dan politik. IV.
Prinsip-Prinsip Pokok Investasi Pendidikan
Sebelum tujuan pendanaan pendidikan ditentukan, pembuat kebijakan harus mengidentifikasi terlebih dahulu persoalan-persoalan apa yang dihadapi dalam bidang pendidikan. Dua masalah utama dapat digeneralisasi, yakni aksesibilitas dan kualitas pendidikan. Dari kedua tujuan ini kemudian ditentukan skala prioritas, yang mana lebih didahulukan. Jika aksesibilitas menjadi tujuan yang diprioritaskan, maka porsi terbesar dana pendidikan dialokasikan untuk pembangunan gedung sekolah, ruang kelas, dan fasilitas fisik lainnya. Jika kualitas menjadi prioritas, maka persentase yang besar dari dana pendidikan disediakan untuk buku teks, subsidi sekolah tertinggal, insentif untuk guru, peningkatan mutu guru, subsidi pendidikan tinggi, beasiswa, dan lain-lain yang menyangkut dengan peningkatan kualitas pendidikan. Prinsip pertama dengan demikian adalah prioritas harus ditetapkan sejak awal, sehingga kebijakan apapun di bidang pendidikan (termasuk pendanaan pendidikan) mengacu pada skala prioritas yang telah ditetapkan.
8
Prinsip kedua adalah bahwa bagian terbesar dari anggaran pendidikan seharusnya dialokasikan untuk pengembangan pendidikan dasar. Hal ini dilakukan karena penyediaan pendidikan harus menjangkau sebanyak mungkin penduduk usia sekolah, yang umumnya berada pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan dasar juga mempunyai eksternalitas positif yang luas antara lian membuka peluang bagi penduduk untuk selanjutnya belajar mandiri (self-education) yang akan sangat besar dampaknya pada pendidikan masyarakat (civic education). Pendidikan mandiri akan berdampak misalnya pada kesadaran politik, mentalitas kerja, dan toleransi sosial. Penerima manfaat sistem pendidikan harus menanggung proporsi yang semakin besar dari biaya pendidikan ketika mereka menaiki tangga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun demikian subsidi pendidikan diperlukan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang berada pada kelompok pendapatan rendah untuk naik ke tangga yang lebih tinggi. Ini merupakan prinsip “equity” dalam pendanaan pendidikan. Prinsip ketiga adalah “efisiensi”. Dana pendidikan harus dikelola secara efisien dengan pemborosan yang minimal. Tentu saja ukuran-ukuran kuantitatif sulit diperoleh untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan pendidikan sudah efisien. Tetapi prinsip efisiensi harus selalu melekat dalam pikiran pembuat kebijakan. Dengan demikian alokasi dana pendidikan harus mempertimbangkan fungsi yang dijalankan oleh unit-unit pengguna dana. Jangan sampai dana yang besar dialokasikan untuk unit-unit yang kapasitas absorbisnya terbatas sehingga penggunaan data tidak mencapai sasaran dan terjadi pemborosan. Prinsip keempat adalah “sustainability”. Pendanaan pendidikan harus sedemikian rupa sehingga semakin lama semakin berkurang ketergantungan penyelenggara pendidikan pada pemerintah. Walaupun pendidikan memberi dampak eksternalitas yang besar dalam pembangunan, tetapi penyelenggaran pendidikan adalah juga tanggung jawab masyarakat. Pendidikan tidak saja memberikan “social returns”, tetapi juga “private returns” dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi bagi orang yang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan harus terus berlangsung dengan atau tanpa pemerintah. Oleh karena itu pendanaan pendidikan harus mengarah pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam penyediaan pendidikan. Termasuk di dalamnya peran sektor swasta. Pendidikan adalah juga bisnis yang “profitable”. Internal rate of 9
return investasi di sektor pendidikan di negara-negara maju mencapai 11 hingga 28 persen (IFC). V.
Kebijakan Pendanaan Pendidikan Dengan wawasan yang diuraikan di atas, beberapa kebijakan strategis berikut ini
perlu dipertimbangkan. 1. Karena pendidikan mempunyai eksternalitas positif yang besar dan efisien bila dikelola dalam skala yang besar, maka seyogyanya dana pendidikan tidak dibagi kepada kabupaten-kabupaten/kota-kota. Hal ini akan membuat proses penyelenggaraan pendidikan tidak efisien. Misalnya pendidikan guru akan lebih efisien bila dikelola dalam skala yang efisien oleh provinsi. Demikian juga penyediaan buku-buku text dan kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pendidikan lainnya. 2. Prioritas harus ditetapkan pada peningkatan kualitas pendidikan, kendati sampai batas tertentu aksesibilitas tidak boleh diabaikan. Memang Provinsi NAD masih memerlukan fasilitas fisik pendidikan yang lebih banyak dan lebih baik, tetapi kualitas pendidikan di Aceh adalah “concern” yang lebih serius lagi. Ketertinggalan pendidikan Aceh dari daerah lain dan negara lain lebih pada mutu lulusan dan anak didik. Ini sebenarnya adalah juga merupakan masalah Indonesia secara keseluruhan. “Learning achievement” yang diukur dengan “reading achievement test scores” di kalangan siswa pendidikan dasar dan menengah menunjukkan bahwa siswa kelas empat di Indonesia hanya mencapai nilai rata-rata 51.7 %, dibandingkan dengan Thailand (65.1%) dan Hongkong (75.5%). Walaupun data kuantitatif antar daerah di Indonesia jarang tersedia, seringkali keluhan utama adalah tidak kompetitifnya lulusan pendidikan dasar dan menengah di Aceh dibandingkan dengan dengan lulusan di daerah lain. Oleh karena itu investasi yang besar harus ditujukan untuk mengangkat kualitas pendidikan di Aceh. Investasi ini antara lain meliputi pelatihan guru, mengembangkan suasana ruang kelas yang aktif dalam proses pembelajaran, penyediaan buku teks yang berkualitas tinggi, penyediaan alat/bahan
10
pendidikan, perbaikan sistem dukungan profesi yang efektif untuk para guru, kepemimpinan yang lebih baik, dan peningkatan kapasitas manajemen sekolah. 3. Pendidikan yang diselenggarakan oleh swasta harus digalakkan, khususnya pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (menengah dan tinggi). Pendidikan sebagai bisnis sebenarnya menguntungkan (profitable). IRR mencapai 11 hingga 28 persen (IFC). Lagipula private returns pada pendidikan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi akan semakin tinggi, yakni berkorelasi positif langsung dengan tingkat pendapatan yang diharapkan oleh para lulusannya. Oleh karenanya penerima manfaat pendidikan (beneficiary) seharusnya menanggung beban biaya pendidikan yang lebih besar, kendati prinsip equity mengharuskan pemerintah menyediakan suatu mekanisme subsidi silang dan beasiswa, sehingga mereka yang berasal dari kelompok pendapatan rendah tetap memperoleh kesempatan untuk mengecap pendidikan menengah dan tinggi. 4. Pendidikan dasar dan menengah harus mendapat prioritas utama karena memberikan “social returns” yang besar dan karenanya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melakukan investasi dalam penyediaan barang publik ini. Jika memungkinkan biaya SPP (tuition fees) dihapuskan hingga pendidikan menengah. Sementara penerima manfaat pendidikan tetap menanggung biayabiaya lain seperti alat-alat pendidikan, buku-buku, dll. 5. Suatu sistem insentif (reward system) harus diterapkan di mana unit-unit pengelola atau pengguna data pendidikan yang efisien dan efektif mendapat dana yang cukup sesuai dengan fungsi yang dijalankannya. Daya absorbsi dana pendidikan oleh unit-unit penerima dana pendidikan harus dievaluasi dengan indikator-indikator kuantitatif yang jelas. Dengan demikian efisiensi dapat dicapai. VI.
Penutup Pendidikan adalah infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang dapat memberikan
dampak pelipatgandaan (multiplier effects) yang besar pada ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat. Oleh karena itu investasi di bidang pendidikan tidak dapat dipandang dalam horizon waktu yang pendek, melainkan harus dipandang dalam perspektif yang 11
luas dan jangka panjang. Pendidikan semestinya dipandang sebagai tanggung jawab generasi sekarang kepada generasi yang akan datang. Pendidikan juga tidak boleh dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah, melainkan juga merupakan tanggung jawab masyarakat. Ada porsi dari biaya pendidikan yang semestinya ditanggung oleh masyarakat. Dalam hal tertentu karena pendidikan memberi “private returns”
ada kesediaan membayar oleh masyarakat (khususnya
pendidikan menengah dan tinggi), maka perlu difikirkan suatu mekanisme insentif yang mendorong swasta melakukan investasi yang lebih besar di bidang pendidikan. Dana yang tersedia dalam satu periode anggaran tidak mesti dihabiskan dalam periode anggaran yang sama. Jika kapasitas absorbsi dana pendidikan tidak memadai, maka untuk menghindari pemborosan dana, perlu difikirkan suatu “Trust Fund” yang memungkinkan pendidikan dapat berlanjut secara berkesinambungan (sustainable). Trust Fund ini dapat berupa penghimpunan dana pendidikan kolektif oleh pemerintah daerah dan masyarakat yang dikelola oleh sebuah lembaga independen yang kredibel dan disalurkan untuk beasiswa atau bantuan pemagangan dan penelitian. Referensi Becker, Gary S. (1964), Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis with Special Reference to Education, New York: National Bureau of Economic Research. International Finance Corporation (IFC) (1999), Investing in Private Education in Developing Countries, Washington, D.C. Meier, Gerald M. (1989), Leading Issues in Economic Development, Fifth Edition, New York: Oxford University Press. Nazamuddin (2002), Pendanaan Pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah disampaikan pada Lokakarya Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam, Hotel Kuala Tripa, 18 April 2002. World Bank (1990), Indonesia : Strategy for a Sustained Reduction in Poverty, Washington D. C. World Bank (1994), Indonesia : Sustaining Development, Washington D.C. Departemen Pendidikan Nasional (2002), Education Reform in the Context of Decentralization, DSEF Project Report (unpublished) 12
Tan, L.H. Joseph (editor) (1999), Human Capital Formation as an Engine Of Growth; The East Asian Experience, Singapore: ISEAS Bokros, Lajos, and Jean-Jacques Dethier (1998), Public Finance Reform during the Transition: The Experience of Hungary, Washington, D.C. The World Bank McDonald, John F. (1997), Fundamental of Urban Economics, Upper Saddle River, NJ.: Prentice Hall. BPS (bekerjasama dengan BAPPENAS dan UNDP)(2001), Menuju Konsensus Baru; Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia, Jakarta. Schwartz, Amy Ellen, Leanna Stiefel, and Ross Rubenstein, “Education Finance”, dalam Fred Thompson and Mark Green (1998), Handbook of Public Finance, New York: Marcel Dekker Patrinos, Harry Anthony (1999), Decentralization of Education; Demand-Side Financing, Washington, D.C.: The World Bank. Rosenzweig, Mark R. (1995), “Why Are There Returns to Schooling”, American Economic Review, Vol. 85 No.2, pp. 153-158. North, Douglass C. (1990), Institutions, Institutional Change and Economic Performance, New York : Cambridge University Press. $$$$$$$$$$$
13