ISU GENDER DALAM PENDIDIKAN (ISU-ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN)
.
OLEH MAULIZAN ZA AIDIL SYAH PUTRA SYARFUNI
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga terutama sekali kepada: 1. Prof. Dr. Aceng Rahmat. M.Pd.
selaku dosen pengampu mata
kuliah Isu – Isu Kritis Dalam Pendidikan, yang telah banyak memberikan arahan serta bimbingannya. 2. Teman-teman seperjuangan yang telah bersedia memberikan masukan dan bantuan baik berupa moril maupun materil dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis sudah berusaha menyusun makalah ini dengan sebaikbaiknya, namun jika terdapat kekurangan dan kesalahan, dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritikan yang bersifat membangun. Akhirnya dengan segenap harapan semoga makalah ini dapat memberikan tambahan pemahaman bagi pembaca terutama bagi pribadi penulis.
Jakarta, 14 Februari 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................
ii
Kata Pengantar ..................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
1
A. Pendahuluan ............................................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................
6
A. Pengertian Gender ...................................................................
6
B. Ketidaksetaraan Gender dan Bentuk Ketidaksetaraan .............
7
C. Stereotip Gender .......................................................................
8
D. Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan ................................
9
E. Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan .......
10
F. Problematika Gender di Indonesia ............................................
12
BAB III KESIMPULAN .................................................................................
14
A. Kesimpulan ..............................................................................
14
B. Rekomendasi ...........................................................................
14
Daftar Pustaka ..............................................................................................
15
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan Isu gender di era global adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan. Mengapa terjadi "perbedaan" gender? Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing. Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk memahami bagaimana keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu dilihat manifestasi ketidakadilan dalam berbagai bentuknya,
seperti
marginalisasi
atau
1
proses
pemiskinan
ekonomi,
2
subordinasi
atau
anggapan
tidak
penting
dalam
keputusan
politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih lama (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender1. Lalu apa itu gender? Istilah Gender sendiri menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender dan Society berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanent dan universal berbeda2. Sementara ”gender” adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakti perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh baik lakilaki dan perempuan melalui proses social dan budaya yang panjang. Sedangkan menurut Caplan (1987) dalam The Cultural Construction of Sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses social dan cultural3. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Gender dalam pengertian ilmu social diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri social masing-masing. Tercakup didalamnya pembagian kerja, pola relasi 1
Mansour fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. H 13 2 Oakley, Aan. Sex, Gender and Society. London: Temple Smith. 1972 3
Caplan, P. Cultural Construction of Sexuality. London: Tavistock publication. (1987).
3
kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki dengan perempuan dan banyak lagi. Pada kenyataanya hasil kontruksi sosial yang ada (gender) sering kali kurang
menguntungkan
implementasinya
di
bagi
dunia
kaum
perempuan.
pendidikan
maupun
Baik
lapangan
itu
dalam
pekerjaan.
Perempuan misalnya, ketika ia bersolek diasumsikan dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip (pelabelan negatif) ini. Masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa tugas perempuan adalah melayani
suami,
akan
berakibat
wajar
jika
pendidikan
perempuan
dinomorduakan. Padahal di sekolah siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan laki-laki. Sebagai pranata social, gender bukan sesuatu yang baku dan tidak berlaku universal. Artinya, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan dari satu waktu ke lainnya. Jadi, pola relasi gender di yogyakarta misalnya sangat berbeda dengan di aceh, berbeda dengan di Saudi Arabia dan sebagainya. ( Wardah Hafidz, MA : Pola relasi gender dan permasalahannya). Jadi, konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa.
4
Ironisnya, pendidikan yang diyakini sebagai modal utama dalam membentuk tatanan kehidupan yang lebih berperadaban, justru menjadi ajang sosialisasi bias gender. Dengan kata lain sekolah sebagai institusi pendidikan formal, sesungguhnya bukan sekedar memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan, namun juga merupakan sarana sosialisasi kebudayaan yang dalam prosesnya berlangsung secara formal. Gender sebagai bagian dari kebudayaan, proses sosialisasi juga berlangsung di sekolah. Sekolah melakukan transfer nilai- nilai dan norma- norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun tersembunyi, baik melalui teks tertulis dalam buku pelajaran, maupun dalam perlakuan-perlakuan yang mencerminkan nilai dan norma gender yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat. Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya : emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan seperti di atas biasanya terjadi sebagai akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan diatas yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
5
1) Pengertian Gender 2) ketidaksetaraan dan bentuk ketidaksetaraan gender. 3) Gender dan Stereotip 4) Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan 5) Problematika Gender di Indonesia
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender Gender merupakan perbedaan antara perempuan dan laki yang dikontruksi secara sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis semata4. Hal yang hampir sama dikemukakan Moser (1993) gender adalah peran sosial yang terbentuk dalam masyarakat5. Perbedaan peran gender ini terbentuk oleh faktor-faktor ideologis, sejarah, etnis, ekonomi dan kebudayaan. Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan bukan secara biologis, melainkan terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender dapat berubah sementara jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah 6 (Grewal & Kaplan, 2002). Sementara itu menurut Mosse (1996) gender merupakan seperangkat peran yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki, bukan secara biologis dan peran ini dapat berubah sesuai dengan budaya, kelas sosial, usia dan latar belakang etnis. Gender menentukan berbagai pengalaman hidup, yang
4
Unger, R., & Crawford. (1992). Women and Gender a Feminist Psychology, New York: McGraw_Hill Inc. 5 Mosse, J. C. (1996). Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Rifka Annisa WCC & Pustaka Pelajar 6 Grewal, I., & Kaplan, C. (2002). An introduction Women's Studies, New York: McGraw- Hill Companies Inc.
6
7
dapat menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya7. Gender berkaitan dengan kualitas dan relasi yang dibentuk dalam hubungan kekuasaan dan dominasi dalam struktur kesempatan hidup perempuan dan laki-laki, pembagian kerja yang lebih luas dan pada gilirannya berakar pada kondisi produksi dan reproduksi yang diperkuat oleh sistem budaya, agama dan ideologi yang berlaku dalam masyarakat8. Gender adalah suatu kontruksi sosial yang mengkategorikan perempuan dan laki-laki berdasarkan persepsi dan perasaan. Gender bervariasi berdasarkan waktu, tempat, budaya serta pengalaman hidup9. Oleh karena itu dapat disimpulkan pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin, jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, berlaku secara umum, tidak dapat berubah, dan merupakan kodrat dari Tuhan. Sedangkan gender lebih berhubungan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya dan psikologis. B. Ketidaksetaraan Gender dan Bentuk Ketidaksetaraan Gender merupakan sifat yang dilekatkan pada laki- laki dan perempuan oleh budaya masyarakat. Sifat itu bisa dipertukarkan dan dirubah, karena sifat tidak alami. Perubahan itu bisa terjadi karena adanya
Ibid 8 Ostergaard, L. (1992). Gender and Development Apractical Guide, New York: Routledge. 9 Bradley, H. (2007). Gender. Cambridge: Polity Press.
8
kesadaran/penyadaran bahwa peran-peran yang selama ini dilekatkan pada laki- laki dan perempuan, maskulin- feminim yang bukan kodrat seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan lain- lain, bisa dirubah atau dipertukarkan. Menurut Nurhaeni (2009) ketidaksetaraan gender adalah perlakuan diskriminatif/berbeda yang diterima perempuan atau laki-laki10. Perlakuan ini diberikan bukan berdasarkan atas kompetensi, aspirasi dan keinginannya sehingga merugikan salah satu jenis kelamin. Ketidaksetaraan gender adalah ketidakadilan bagi perempuan atau pun laki-laki berdasarkan sistem dan struktur yang ada. Manifestasi yaitu marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban kerja11. Gender ini bisa berubah karena skill atau kualitas seseorang. Suatu peran sosial, seperti jabatan atau profesi tertentu bisa dipegang atau dijalani siapa saja laki- laki maupun perempuan. Syaratnya dia harus mempunyai skill atau kualitas yang memadai dibidang itu, jadi yang menentukan bukan jenis kelamin tetapi skill dan kualitasnya. Ketidaksetaraan gender disebabkan oleh akses, partisipasi dan kontrol yang tidak seimbang bagi perempuan dalam mencapai sumber daya 12. Pembagian peran, tidak akan menjadi masalah selama perempuan dan lakilaki diperlakuan secara adil, sesuai kebutuhannya dan tidak merugikan salah satu jenis kelamin. Feminism dan maskulin digunakan sebagai dasar untuk 10
Nurhaeni, I. D. (2009). Reformasi Kebijakan Pendidikan Menuju Kesetaraan dan Keadilan Gender, Surakarta: UNS Press. 11 Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta: Insist Press. 12 Moser, CON. (1993). Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training, London : Routledge
9
memperlakukan kedua jenis kelamin secara berbeda dan merugikan salah satu jenis kelamin, maka telah terjadi ketidaksetaraan gender. Manifestasi ketidaksetaraan gender telah terjadi di berbagai tingkatan, bidang dan mengakar dari mulai keyakinan di setiap masing- masing orang, keluarga,
hingga
tingkat
negara
yang
bersifat
global.
Salah
satu
ketidaksetaraan gender yang berkembang dalam masyarakat adalah bidang pendidikan. C. Stereotip Gender Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan pada suatu kelompok tertentu. Stereotip yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, yaitu perempuan. Stereotip yang asalnya dari asumsi bahwa perempuan bersolek merupakan upaya memancing lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan,masyarakat cenderung menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, stereotip ini menjadi wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
D. Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan Ketidaksetaraan gender secara menyeluruh adalah akibat dari latar belakang pendidikan yang belum setara. Ada 3 hal permasalahan yakni :
10
kesempatan, jenjang dan kurikulum (Suryadi & Idris, 2004). Menurut Suleeman (1995)
ketidaksetaraan
gender
dalam pendidikan adalah
perbedaan dalam hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki dalammengecap
pendidikan
formal.
Ketidaksetaraan
gender
dalam
pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif yakni angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, pilihan bidang studi, dan komposisi staf pengajar dan kepala sekolah (Van Bemmelen,1995). Ketidaksetaraan
gender
bidang
pendidikan
banyak
merugikan
perempuan, hal tersebut dapat dilihat, anak perempuan cenderung putus sekolah ketika keuangan keluarga tidak mencukupi, perempuan harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga, selain itu pendidikan yang rendah pada perempuan menyebabkan mereka banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal dengan upah rendah.
E. Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam
lingkungan
keluarga.
Stereotip
gender
yang
berkembang
di
masyarakat telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki- laki. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap yang dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan. Faktor yang menjadi alasan pokok yang penyebab ketidaksetaraan
11
gender menurut Suleeman (1995) yaitu: 1). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia, 2). Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya untuk bersekolah, 3). Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena anak perempuan
menjadi
menikah.Sedangkan
anggota faktor-faktor
keluarga
suami
setelah
mereka
penentuketidaksetaraan gender di
bidang pendidikan menurut Van Bemmelen (2003) meliputi: 1). Akses perempuan dalam pendidikan, 2). Nilai gender yang dianut oleh masyarakat, 3). Nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, 4). Nilai gender yang ditanamkan oleh guru, 5). Kebijakan yang bias gender Suryadi dan Idris (2004) mengkategorikan faktor-faktor kesenjangan gender bidang pendidikan ke dalam 4 aspek yaitu: 1). Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu, 2). Partisipasi adalah keikutsertaan tau peran seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, 3). Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan, 4). Manfaat adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal. Studi yang dilakukan Suryadi (2001) menemukan bahwa pilihan keluarga yang kurang beruntung memberikan prioritas bagi anak laki-laki untuk sekolah dengan alasan biaya, bukan hanya dilandasi oleh pikiran kolot dan tradisional semata, tetapi juga dilandasi dengan pengalaman empirik bahwa tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa rata-rata penghasilan
12
pekerja perempuan secara empirik memang lebih rendah dibandingkan penghasilan pekerja laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender dalam pendidikan antara lain nilai, akses, partisipasi, control dan manfaat. Nilai yang berkembang dalam masyarakat yang mengkotak-kotakan peran laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi stereotip gender. F. Problematika Gender di Indonesia Kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan sertahak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan perpartisipasi, melakukan control dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan. Dalam realitas kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk membentuk pembagian peran (kerja) laki-laki danperempuan atas dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilahpembagian peran gender yaitu peran domestik dan peran publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan,dan pengaruh. Peran ini lebih banyak diserahkan kepada
13
kaum perempuan, sedangkan peran publik yang menghasilkan uang, kekuasaan
dan
pengaruh
diserahkan
kepada
kaum
laki-laki.Akibat
pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran lakilaki dan perempuan yang berakibatketidakadilan gender yang merugikan perempuan. Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan buku. Setiap masyarakat suku di Indonesia mempunyai ciri khastersendiri dalam memaknai peran gender di Indonesia. Namun demikian, secara umum menunjukkan bahwa ada dominasi lakilakidalam kehidupan sehari-hari.
BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Isu gender dalam pendidikan di indonesia merupakan masalah pokok yang tidak boleh diabaikan. Mengingatnya banyaknya kaum peremuan yang mengatasnamakan fenimisme yang menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Menurut hemat penulis tuntutan persamaan hak dimaksud perlu diperjelas (memilki pegangan yang kuat) dengan bukti yang sahih seperti dalam kitab suci sehingga tidak menuntut kesetaraan berdasarkan rasional belaka. Karena setara dan adil bukan berarti sama.
B. Rekomendasi Pemerintah dituntut lebih bertangung jawab terhadap warga negara dalam penyetaraan gender khusunya dalam bidang pendidikan sesuai dengan undang-undang yang berlaku norma Negara.
Bagi masyarakat
hendaknya menyaring isu-isu gender yang berkembang serta mendukung kesetaraan gender dalam lingkungan masyarakat. Khususnya bagi pelaku penuntut kesetaraan gender agar tidak menggunakan rasionalisme daripada aturan yang berlaku sehingga tidak timbul kegaduhan karena isuyang tidak jelas. Singkatnya berpikir sebelum bertindak dan tanyakan kepada ahlinya terkait isu gender dalam pendidikan.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
Bainar (Ed.) 1998. Wacana Perempuan dalam keindonesiaan dan Kemodernan. Jakarta: Pustaka Cidesindo Caplan, P. Cultural Construction of Sexuality. London: Tavistock publication. (1987). O'Neil, William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Oakley, Aan. Sex, Gender and Society. London: Temple Smith. 1972 Freire, Paulo dkk. 1999. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Macdonald, Mandy dkk. 1999. Gender dan Perubahan Organisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Macdonald, Mandy dkk. (1999). Gender dan Perubahan Organisasi: Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik. Alih bahsa: Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mansour Fakih. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II. Nasaruddin Umar. (1999). Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. ----------. (2006). “Perspektif Jender dalam Islam”. dalam Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA. Jakarta Selatan: Penerbit Yayasan Paramadina. http://media.isnet. org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender2.html#r116 download 6 Januari 2006. N.M. Shaikh. (1991). Woman in Muslim Society. New Delhi: Kitab Bhavan. Cet. I. Nurul Agustina. (1994). “Tradisionalisme Islam dan Feminisme”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an. (Edisi Khusus) No. 5 dan 6, Vol. V. Tholkhah, Imam dkk. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada