1-7 Maret 2011 Tgl 1
Sumber/ Penulis Asal
Judul
Investasi Bisa di Hutan Rusak
Isi Berita Jakarta, Kompas - Pemerintah berjanji tidak akan mengalihfungsikan hutan primer dan lahan gambut demi kelestarian lingkungan. Walaupun demikian, dunia usaha tetap bisa mengembangkan bisnis berkelanjutan di kawasan hutan produksi yang sudah rusak seluas 35,4 juta hektar. Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemhut) Hadi Daryanto di Jakarta, Selasa (1/3). Pemerintah tengah menyiapkan instruksi presiden untuk menjalankan perjanjian penurunan penggundulan dan degradasi hutan dengan Norwegia tahun ini. ”Moratorium saja tidak cukup. Harus dibuka lagi database lahan rusak seluas 35,4 juta hektar. Artinya, investor tinggal melihat lahan yang tersedia ini saja, tidak akan menabrak perjanjian itu,” kata Hadi. Kemhut telah merilis hasil pendataan kawasan hutan produksi yang rusak dan telantar untuk kepentingan dunia usaha. Kemhut menetapkan area seluas 13,2 juta hektar untuk investasi hak pengusahaan hutan berbasis tebang pilih, 7,4 juta hektar untuk investasi hutan restorasi yang bertujuan memulihkan kondisi kawasan tersebut seperti sedia kala, 9,1 juta hektar untuk investasi hutan tanaman industri, dan 5,5 juta hektar untuk investasi hutan tanaman rakyat.
Keterangan KEHUTANAN
Hadi meminta kalangan organisasi nonpemerintah tidak mempertentangkan draf instruksi presiden tentang penurunan penggundulan dan degradasi hutan primer versi Kementerian Koordinator Perekonomian dan Satuan Tugas REDD+. ”Secara prinsip, kedua draf ini memiliki substansi yang sama, yakni menghentikan konversi hutan primer dan lahan gambut,” ujar Hadi yang juga anggota Satuan Tugas REDD+. Sebagai negara berkembang, Indonesia tetap membutuhkan lahan untuk kebutuhan perekonomian. Pertumbuhan penduduk dan tuntutan perekonomian nasional membuat usaha berbasis lahan, seperti hutan tanaman industri dan rakyat, perkebunan tebu dan kelapa sawit, serta pembangunan infrastruktur termasuk panas bumi, tetap ada. Hadi memaparkan ekspor industri kayu nasional tahun 2010 tercatat 2,76 juta meter kubik senilai 1,5 miliar dollar AS. Jumlah ini naik dibandingkan ekspor tahun 2009 sebanyak 2,72 juta meter kubik senilai 1,3 miliar dollar AS. Saat ini ada 314 unit industri perkayuan dengan kapasitas terpasang 30,4 juta meter kubik. Kemhut mencatat nilai investasi industri perkayuan tersebut mencapai Rp 23,6 triliun dan menyerap 254.000 pekerja. Dilema industri Bisnis pulp dan kertas termasuk primadona sektor kehutanan. Industri pulp dan kertas menghasilkan devisa 5 miliar dollar AS per tahun dan menyerap sedikitnya 7,5 juta pekerja. Meski demikian, kalangan pengusaha tetap belum nyaman dengan rencana moratorium. Anggota Komite Tetap Industri Hasil Hutan Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Transtoto Handadhari, mengatakan, industri pulp menghadapi dilema
karena memiliki masa depan kesejahteraan, tetapi mengandung ancaman lingkungan. ”Pemerintah harus membuat koridor kebijakan yang mampu mengembangkan industri secara optimal dengan tetap menjamin lingkungan. Sebagai contoh, Kanada adalah negara kaya berbasis industri hasil hutan, khususnya pulp dan kertas,” ujarnya. Secara terpisah, Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono meminta pemerintah tetap memerhatikan kepentingan dunia usaha. Menurut Joko, pemerintah agar tidak meneruskan wacana moratorium konversi hutan apabila diwarnai kepentingan pihak asing. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi meminta pemerintah selektif menerbitkan izin investasi yang memanfaatkan area 35,4 juta hektar itu. Pemerintah harus mampu menciptakan investor-investor baru, terutama dari masyarakat di sekitar kawasan hutan, agar ”kue” kesejahteraan dari penggunaan hutan bisa lebih merata. ”Pemerintah bisa mencanangkan tahun investor masyarakat untuk mengembangkan kewirausahaan baru di sektor kehutanan,” ujar Elfian. (ham)
2
Saham Norwegia di Grup Usaha
Jakarta, Kompas - Greenomics Indonesia mempertanyakan komitmen Norwegia dalam mendorong moratorium hutan di Indonesia. Alasannya, Pemerintah Norwegia diduga turut menanamkan saham di lima grup perusahaan sawit yang beroperasi di Kalimantan Tengah. ”Dana yang dihasilkan dari pendapatan migas Norwegia yang didepositokan melalui The Government Pension Fund-Global (GPFG) ditanamkan ke lima grup usaha sawit. Grup usaha ini memiliki beberapa anak perusahaan yang beroperasi di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah tanpa memiliki izin pelepasan kawasan
MORATOR IUM HUTAN
Sawit Dipertany akan
hutan dan atau izin pemanfaatan kayu,” kata Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia di Jakarta, Kamis (3/3). Menurut Elfian, GPFG merupakan dana yang dihasilkan dari pendapatan migas Norwegia yang didepositokan. Awalnya, dana tersebut bernama The Petroleum Fund of Norwegia, yang sejak Januari 2006 diubah menjadi GPFG. Walaupun disebut dana pensiun, dana tersebut sebenarnya bukan dana pensiun karena sumbernya berasal dari keuntungan migas, bukan kontribusi pensiun. Sementara total dana GPFG yang ditanamkan di lima grup usaha itu diduga mencapai 183 juta dollar AS. ”Operasi 24 perusahaan yang berafiliasi pada lima grup bisnis sawit besar tersebut termasuk kategori melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia,” kata Elfian. Elfian menambahkan, sesuai semangat letter of intent (LoI) antara Indonesia dan Norwegia soal rencana moratorium hutan Indonesia, sudah seharusnya Pemerintah Norwegia berkomitmen menarik diri sebagai pemegang saham pada kelima grup bisnis sawit tersebut. Direktur Kampanye Walhi Teguh Surya juga meminta Pemerintah Norwegia menyusun strategi untuk keluar dari industri ekstraktif di Indonesia. Ia menemukan data, selain memiliki saham di sejumlah perusahaan sawit, Pemerintah Norwegia juga menanamkan saham di sejumlah perusahaan tambang di Indonesia. ”Jika enggan melakukannya, komitmen mereka untuk menyelamatkan bumi patut diragukan,” katanya. Secara terpisah, Hege Karsti Ragnhildstveit, Counsellor for Forest and Climate Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, yang dikonfirmasi melalui surat elektronik, tidak memberikan jawaban atas kepemilikan saham Pemerintah Norwegia di sejumlah grup usaha sawit tersebut.
Sebelumnya, Hege mengirim pernyataan dari Menteri Lingkungan dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim, yang menyebutkan komitmen mereka dalam mewujudkan masyarakat rendah emisi dengan mendorong program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia. Draf moratorium Terkait rencana moratorium hutan, Ketua Satuan Tugas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, Instruksi Presiden tentang Moratorium Jeda Hutan masih belum ditandatangani karena adanya perbedaan substansi. Namun, Kuntoro tak mau merinci perbedaan. ”Yang jelas, masih ada yang harus dipersatukan (substansinya),” katanya. Awalnya ada dua versi draf moratorium. Satu versi dibuat Satgas REDD+, sedangkan lainnya oleh Menteri Kehutanan melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo menyatakan, rancangan inpres yang diajukan Satuan Tugas REDD+ telah diintegrasikan bersama dengan rancangan inpres yang diajukan Menko Perekonomian beserta menteri terkait lainnya.(AIK/HAR)
3
Seram Tambah Sawit Jadi 20.000
AMBON, KOMPAS - Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah berencana memperluas perkebunan kelapa sawit di Pulau Seram. Dari luas perkebunan yang ada PERKEBUN sekarang sekitar 10.000 hektar, akan diperluas menjadi 20.000 hektar. Investor juga AN berencana membangun pabrik pengolahan sawit di dekat areal perkebunan. ”Kelapa sawit menjadi salah satu prioritas investasi di Maluku Tengah,” kata Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal, Kamis (3/3), di Ambon. Selain lahan di Pulau Seram cocok untuk tanaman kelapa sawit, kata Abdullah,
Hektar
perkebunan kelapa sawit dapat menyerap banyak pekerja dan hasilnya termasuk komoditas ekspor. Penanaman kelapa sawit ini berada di bagian utara Maluku Tengah. Tanaman kelapa sawit yang masih berumur 2-3 tahun bisa terlihat di sepanjang jalan yang menghubungkan Masohi, ibu kota Maluku Tengah, dan Bula, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Timur, di Kobisonta. Abdullah mengatakan, lahan yang digunakan atau disiapkan untuk kelapa sawit ini adalah lahan tidur yang peruntukannya memang untuk perkebunan. ”Tidak semua lahan kami izinkan untuk ditanami kelapa sawit, apalagi areal hutan, sehingga perkebunan tidak akan merusak lingkungan ataupun merusak kawasan hutan di Seram,” katanya. Muhammad Ali (48), warga Sawai, Kecamatan Seram Utara, Maluku Tengah, beberapa waktu lalu mengatakan, tidak sedikit kawasan hutan yang diubah menjadi perkebunan kelapa sawit di Seram Utara. Kawasan hutan juga banyak diubah untuk lokasi transmigran. Hal ini membuat pemerhati lingkungan di Maluku Tengah tersebut khawatir keanekaragaman hayati di hutan Seram terancam. Potensi merusak Kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Pattimura, Ambon, Abraham Tulalessy, mengatakan, pemerintah perlu mengawasi penanaman kelapa sawit tersebut secara intensif. Pasalnya penanaman kelapa sawit berpotensi merusak lingkungan. Salah satu yang patut diawasi adalah perlunya perusahaan menanam tanaman penutup tanah (cover crop) di antaranya tanaman mukuna untuk mengurangi evaporasi (penguapan) akibat penanaman kelapa sawit. Tanpa ada cover crop, siklus air bisa terganggu sehingga bisa menyebabkan kekeringan.
Abraham mengatakan, kelapa sawit juga tidak boleh ditanam di areal yang merupakan lahan tanaman sagu dan di sempadan sungai. Pasalnya areal sagu biasanya merupakan tempat mata air, sedangkan sempadan sungai merupakan daerah migrasi satwa saat hutan yang menjadi habitat mereka sudah berganti menjadi areal kelapa sawit. (APA)
7
Hamzirwan
Mencari Solusi Moratoriu m
Hutan memiliki fungsi ekonomi dan ekologi. Mana yang harus didulukan, ini ibarat telur dan ayam. Selalu ada perdebatan. Kalau begitu, kita mau melangkah dari mana tentang pemanfaatan hutan ini? Pertumbuhan ekonomi, pertambahan jumlah penduduk, dan kebutuhan infrastruktur, membuat lahan yang tersedia semakin sempit. Tidak bisa tidak, perluasan lahan yang tentu saja berarti konversi hutan masih dibutuhkan. Indonesia memiliki 135,9 juta hektar hutan dengan 40 juta hektar di antaranya telah rusak dan ada yang dirambah untuk kegiatan budidaya non-kehutanan. Sejak Pemerintah Indonesia dan Norwegia menandatangani surat perjanjian penurunan penggundulan dan degradasi hutan pada 27 Mei 2009 di Oslo, Norwegia, isu moratorium pemanfaatan hutan terus berkembang. Pemerintah Norwegia bakal memberi kompensasi senilai 1 miliar dollar AS (Rp 90 triliun) sebagai bentuk dukungan bagi Indonesia, yang bertekad menurunkan emisi karbon 26 persen tahun 2020 secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan negara lain. Saat perjanjian ini ditangani, kedua negara pun sepakat, moratorium berlangsung dalam tiga tahap
sampai tahun 2013. Tahap pertama, Juni-Desember 2010, membentuk badan khusus seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam-Nias. Tahap kedua pada Januari 2011-Desember 2013, menghentikan konversi hutan primer dan gambut di lokasi proyek percontohan. Pada tahap ketiga, Desember 2013, Norwegia akan membayar tunai penurunan emisi karbon yang dicapai Indonesia. Akan tetapi, belakangan ini malah berkembang dua opsi moratorium. Opsi pertama, pemerintah harus menjalankan moratorium di seluruh kawasan hutan di luar hutan lindung dan konservasi, yang menurut perundang-undangan harus dilindungi. Opsi kedua, moratorium hanya berlaku di hutan primer dan untuk perizinan usaha yang baru serta tidak memasukkan perizinan yang sudah berjalan dalam obyek moratorium. Sejumlah kalangan berargumen, opsi pertama bisa dimanfaatkan untuk memulihkan fungsi ekologi hutan dengan memperbaiki tata kelola. Kalau demikian, konversi hutan untuk lahan pertanian pun bakal terkatung-katung. Apalagi tata ruang wilayah, yang kini menjadi pekerjaan rumah terbesar Kabinet Indonesia Bersatu II. Kalau begini, bagaimana cara memenuhi kebutuhan pangan bagi 237 juta jiwa penduduk Indonesia, yang sebagian masih diimpor saat ini? Implementasi moratorium pemanfaatan kawasan hutan tanpa memerhatikan fungsi ekonomi bakal membuat Indonesia kehilangan potensi investasi senilai Rp 29 triliun per tahun. Padahal, sebagai negara yang masih bertumbuh dan diakui dunia sebagai salah satu pasar berkembang berpotensi, Indonesia tetap memerlukan investasi hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, biomassa, dan pertambangan yang membutuhkan lahan seluas 14 juta hektar sampai beberapa tahun mendatang. Hal itu tidak hanya untuk memperluas titik perekonomian baru di daerah pedalaman,
tetapi juga untuk mempercepat upaya penciptaan lapangan kerja. Investasi senilai Rp 29 triliun tersebut diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja langsung 700.000 orang. Sekadar mengingatkan, satu-satunya moratorium hutan alam yang sudah berjalan di Aceh saja bisa dibilang gagal. Kebijakan populis tanpa penegakan hukum dan peningkatan kesejahteraan yang komprehensif justru meningkatkan tekanan terhadap hutan alam. Opsi kedua masih membuka peluang konversi hutan. Namun, investor jangan berharap bisa mendapatkan kawasan hutan dengan potensi tegakan kayu banyak. Kementerian Kehutanan telah mencadangkan kawasan hutan produksi rusak seluas 35,4 juta hektar untuk investasi. Investor dapat mengusahakan 13,2 juta hektar untuk hak pengusahaan hutan berbasis tebang pilih; 7,4 juta hektar untuk memulihkan kawasan hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti ekowisata dan sumber air; 9,1 juta hektar untuk hutan tanaman industri; dan 5,5 juta hektar untuk hutan tanaman rakyat. Dengan cara ini, investasi kehutanan tetap berjalan dengan memprioritaskan kelestarian lingkungan. Setidaknya, Indonesia masih dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional dan mendapatkan manfaat ekonomi dari kenaikan harga produk ekspor seperti pulp dan kertas. Tentu saja, rakyat harus tetap mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan. (Hamzirwan)
Norwegia Mengaku Selektif
Jakarta, kompas - Pemerintah Norwegia mengaku selektif menginvestasikan dana di 44 perusahaan di Indonesia. Selain tidak berinvestasi ke perusahaan senjata dan tembakau, mereka juga tidak menanamkan dana ke perusahaan yang merusak lingkungan. Komitmen itu disampaikan pihak Kementerian Keuangan Norwegia melalui Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Eivind S Home kepada Kompas, Jumat (4/3).
Pernyataan melalui surat elektronik itu menanggapi berita adanya dana Pemerintah Norwegia di The Government Pension Fund-Global (GPFG) yang ditanamkan di lima grup perusahaan sawit di Kalimantan Tengah. Anak perusahaan kelima perusahaan itu diduga merusak hutan (Kompas, Jumat, 4 Maret 2011). Sementara Pemerintah Norwegia mendorong pembangunan hijau di Indonesia. Menurut Kementerian Keuangan Norwegia, pengelolaan GPFG diserahkan kepada Norges Bank dan portofolionya dipantau Dewan Etik independen. Dana ini diinvestasikan di lebih dari 8.000 perusahaan, 44 di antaranya berada di Indonesia. Nilai investasinya di Indonesia sekitar 600 juta dollar AS. Walaupun diserahkan ke Norges Bank, GPFG tak mengizinkan dananya diinvestasikan ke perusahaan yang memproduksi senjata dan tembakau. Namun, dana itu disalurkan ke sejumlah industri lain, termasuk agrobisnis. Pihak GPFG bisa menarik dana investasi dari perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti terjadi dengan perusahaan Malaysia, Lingui Developments Berhard, karena melakukan pembalakan liar. Keputusan itu dibuat menteri berdasarkan rekomendasi dari Dewan Etik untuk GPFG tersebut. Pertanyakan komitmen Sebelumnya, Greenomics Indonesia mempertanyakan komitmen Norwegia mendorong moratorium hutan di Indonesia. Sebab, mereka menanamkan saham di lima grup perusahaan sawit yang beroperasi di Kalteng. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Efendi mengatakan, pihaknya punya data beberapa anak perusahaan di perkebunan sawit di Kalteng tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan atau izin pemanfaatan kayu. Padahal, kata Elfian, sebagian isi LoI (letter of intent) Indonesia-Norwegia
menghendaki Pemerintah Indonesia menegakkan hukum kehutanan terhadap pembalakan liar dan kejahatan kehutanan. (AIK)