Newsletter
interfidei Edisi Juni 2006
Bilingual
EDITORIAL
Daftar Isi
Bilingual Newsletter
Editorial Fokus Opini Kronik Potret Fitur Refleksi Agenda
1 2 8 11 17 21 23 25
Penanggung Jawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Amin Ma'ruf Tim Redaksi Listia, Lian Gogali, Suhadi, Leo CE Setting/ Layout Sarnuji SR Keuangan Eko Putro Mardiyanto Sekretaris Vony Distributor Susanto, Supriyanto Diterbitkan oleh: Institut DIAN/ Interfidei. Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia. Phone/Fax.:0274-880149. E-mail:
[email protected]; Website: Http://www.interfidei.or.id
Diskriminasi Agama
Religious Discrimination
K
eligious freedom is one of the basic human rights, the right owned by every human being as God's creation. Right to religious freedom is the
ebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia, hak yang dimiliki oleh setiap orang sebagai makhluk Tuhan. Hak kebebasan beragama adalah hak yang tidak dapat diambil dan dihilangkan oleh siapapun. Negara telah menjamin hak kebebasan beragama ini di dalam UUD 45. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan segala perlakuan yang berusaha untuk memaksa, mengintimidasi, melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain untuk melepaskan keyakinannya atau pun memperlakukan orang yang berbeda p e m a h aman keagamaannya
secara diskriminatif. Perlakuan diskriminatif ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang belum mempunyai kesadaran mendalam tentang hak asasi manusia. Kasus-kasus diskriminasi terhadap para pemeluk agama tertentu dapat dilakukan oleh para birokrat Negara walaupun UUD 45 telah menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk serta menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan beragama ini tidak diimplementasikan secara total oleh Penyelenggara Negara. Disini Negara baru mengakui 6 agama saja (Islam, Katholik, Protestan, Hindhu, Budha, dan Konghucu). Pengakuan Negara yang terbatas tersebut mempersulit penganut agama
Newsletter Interfidei No. 1/I Juni 2006
R
right that cannot be taken away nor eliminated by any one. The state has guaranteed this freedom of religion in the Constitution (UUD) 1945. Thus, all sorts of treatments directed to force, intimidate, or act violently against others to convert to other faiths or treat others with other faiths discriminatively can not be justified. Such discriminative treatment could be done by whomever with no profound awareness on human rights. Discriminating cases against certain religions can be done by bureaucrats of the state despite the fact that the state and the Constitution have guaranteed freedom of the citizens to embrace and practice their own religions and faiths. This religious freedom is not totally implemented by state administrators. To date, the state has just recognized 6 religions (Islam, Catholic, Protestant, Hindhuism, Buddhism, and Confucianism). This limited recognition by the state makes it more difficult for people having religions or faiths other than the 6
Edisi Juni 2006
1
Interfidei newsletter
Fokus selain 6 agama tersebut dalam memperoleh hak-hak sipil. Kesulitan mereka dalam pengurusan KTP, akta kelahiran, pencatatan pernikahan di kantor Catatan Sipil adalah kasus-kasus diskriminasi yang sering terjadi. Perlakuan diskriminatif juga dapat dilakukan oleh elit agama dan kelompok massa tertentu. Kasus tindak kekerasan terhadap pemeluk aliran agama tertentu adalah bukti masih mengentalnya diskriminasi dalam masyarakat kita. Diskriminasi timbul karena adanya superioritas dalam pemahaman keberagamaan, bahwa pemahaman kelompoknya sendiri yang benar sedang pemahaman kelompok lain adalah sesat dan menyesatkan sehingga harus dihentikan dan dimatikan. Inilah wujud nyata arogansi dalam beragama. Mengingat masalah kebebasan beragama dan diskriminasi dalam kehidupan beragama masih menjadi PR besar untuk semua elemen masyarakat maka permasalahan tersebut akan menjadi fokus utama dalam newsletter edisi ini. Dalam edisi ini juga akan ditampilkan tentang Jemaah Ahmadiyah Qadiyan yang menjadi korban diskriminasi dan kekerasan oleh elit agama dan sekelompok massa di beberapa daerah. Kemudian kita juga dapat belajar dari sharing pengalaman seorang aktifis HAM dalam penanganan konflik dalam rubrik 'fitur'. Newsletter ini juga berisikan informasi tentang kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh Interfidei serta agenda kegiatan ke depan. Semoga bermanfaat. [ ]
Menyangkal Realitas, Menentang Konstitusi
religions in gaining civil rights. Their experience of problems in administration of IDs, birth certificate, marriage recording at civil registry are just some of discriminating cases often take place. Discriminative treatment could also be conducted by certain religious elites or mass groups. Violent cases against certain religious embracers serve as proofs of strong existence of discrimination in midst of our community. Discrimination emerges as a result of a sense of superiority in understanding diversity: that his/her groups' understanding is the correct one, while other groups are heretic, and thus, must be put into a stop. This is the real form of arrogance in embracing a religion. Taking into consideration the issue of religious freedom and discrimination in religious life is indeed a difficult homework for all the elements of community. Therefore, the problem will be the main focus in this edition's newsletter. In this edition, there is one article on Ahmadiyah Qadiyan Community who sadly became victims of discrimination and violence by religious elites and groups of mass in a number of regions. We could learn as well from sharing of experience from a human right activist in managing conflicts in our 'Feature' column. This newsletter also provides for you information on activities carried out by Interfidei and its agenda for future activities. We hope you find it all of use. [ ]
Denying reality, Going Against the Constitution Elga Sarapung
Elga Sarapung* Belajar dari Pengalaman
T
anggal 29 dan 30 Mei 1994, saya pernah diinterogasi di kantor polisi DIY, selama 8 jam setiap hari, berkaitan dengan seminar
tentang “Konfusianisme di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Interfidei sehari sebelumnya. Saat itu persoalan Konghucu masih sangat “alergi” bagi 1 Negara, karena factor sejarah masa lampau . Sebab itu
Learning from experiences
O
n 29 and 30 May 1994, I was interrogated at the office of DIY police for 8 hours each day re the seminar on “Confucianism in Indonesia” Interfidei held one day before. That time, the state still regarded Confucianism as an “allergy” due to this country's history. Thus, Confucianism did not
*. Direktur Interfidei 1. Penolakan terhadap Konghucu berkait dengan trauma politik pada 1965. Kalangan keturunan Cina, mayoritas penganut
2
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006
Focus
Konghucu tidak diakui sebagai salah satu agama di gain recognition as one of the religions existing in Indonesia. Indonesia.
Kira-kira ada 100 atau bahkan lebih peserta yang hadir. MAKIN (Majelis Agama Konghucu) di tingkat propinsi/kota/kabupaten dari seluruh Indonesia, ditambah dengan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu) dan undangan lainnya.
There were some 100 or more people who attended the seminar. MAKIN (Majelis Agama Konghucu di Indonesia / the Indonesian Council of Confucian religion ) in the level of province /city / district from all over Indonesia, in addition to MATAKIN (Indonesian High Council of Confucian religion) and other invitations.
Seorang polisi lengkap dengan mesin ketik tua A police with an old type machine and dan kertas dengan beberapa lapis karbon sibuk numerous carbon sheets interrogated me. I can menginterogasi saya. Entah berapa jumlah not remember how many questions he asked, but pertanyaannya, saya lupa. Mungkin ada sekitar 50 I think there were some 50 questions. pertanyaan.
Saya ragu dengan kegiatannya saat itu. Apakah sang polisi mengerti apa yang sedang ia lakukan? Ketika istirahat saya tanya, apakah Bapak mengerti tentang Konghucu dan mengapa Bapak melakukan interogasi ini? Sang polisi menjawab singkat, “maaf, Bu-saya hanya menjalankan perintah atasan, katanya Konghucu dilarang di Indonesia”. Kemudian saya tanya, “atasan Bapak di mana, saya mau ketemu?” Jawabnya, “tidak berada di tempat”. Setelah interogasi selesai, saya diminta menandatangani BAP. Sebelumnya saya minta supaya saya baca dulu semuanya, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. Benar, ada beberapa kata dan kalimat yang salah ketik dan memberi arti lain yang fatal. Setiap hasil koreksi tersebut saya paraf. Ketika selesai, juga sebelum saya tandatangan, saya katakan kepadanya supaya saya dapat satu copy, dengan alasan saya punya hak untuk mendapatkan satu copy BAP tersebut. Tetapi sang polisi keberatan karena tidak selayaknya orang seperti saya dengan status sebagai yang diinterogasi mendapatkan copy BAP seperti itu. Saya katakan bahwa saya tidak akan tandatangan. Demikian yang terjadi, BAP tersebut tidak saya tandatangani dan saya tidak mendapat copynya. Setahun kemudian, seluruh bahan dari Seminar tersebut diterbitkan oleh Interfidei dengan judul buku: “Konfusianisme di Indonesia, Pergulatan Mencari Jati Diri”. Sejak itu, setiap kali ada kegiatan Interfidei di mana pun juga selalu melibatkan temanteman dari Konghucu, sampai sekarang. Satu hal yang membuat kami tidak enggan melakukannya adalah, kesadaran di sekitar pertanyaan, “apa hak negara atau aparat untuk melarang Konghucu hidup dan berkembang di Indonesia sebagai agama?” Begitu banyak jumlah warga masyarakat Indonesia yang beragama
I doubt it if he understood what he did, so during the break I asked him if he knew anything about Confucianism and why he did the interrogation. He briefly replied, “Sorry, Ma'am I'm just doing what I was asked to do, as it is said that Confucianism is forbidden in Indonesia”. Then I asked him again, “Where is your superior? I would like to meet him.” He answered, “He is not here”. After the interrogation, I was asked to sign the interrogation file. Before I signed it, I read the whole document, just to make sure if there were no mistakes made in the report. And as I suspected, there were some mistyped words and phrases which therefore provided its readers with fatal different meanings. I put my signature on every word I corrected. When it was done, before I signed the document, I asked the police to give me one copy of it, based on the reason that I have the right to get one copy of the document. The police had an objection as he thought that a person who is interrogated does not have the right to get a copy of the police interrogation report. I told him that I would not sign it if it was the case,. Thus, the interrogation report was not signed and I did not get the copy. A year later, all the materials of that seminar
were published by Interfidei with the title: “Confucianism in Indonesia, a Struggle to find One's Self”. Since then, every time and wherever Interfidei has an activity, friends from Confucianism are always involved, it has lasted up to the present time. One thing serving as our reason not be reluctant to do so is the awareness we have of the answer to the question, “What is the right of the state or the authority to forbid Confucianism to live and develop in Indonesia as a religion?” There were so many Indonesian people who embrace
Konghucu, dianggap punya keterkaitan dengan RRC, poros Partai Komunis Indonesia (PKI) TEMPO, 2 April 2006, hal. 66
Edisi Juni 2006
3
Fokus
Interfidei newsletter
Konghucu, mengapa harus dilarang? Apa mereka sebagai warga negara - tidak punya hak hidup dan berkembang di Indonesia? Apakah dengan alasan “peristiwa 1965”, cukup fair bagi negara untuk melakukan pelarangan seperti itu?
Confucianism as their religion. Why should it be forbidden? Don't they as citizens have the right to live and develop in Indonesia? Is it fair that the state banned Confucianism based only on what happened in 1965?
Langkah baru yang ambivalen
An Ambivalent New Step
Dua belas tahun kemudian baru agama Konghucu diakui secara resmi oleh negara. Hal itu disampaikan oleh Presiden Yudoyono dalam pidatonya, Sabtu, 14 February 2006 di hadapan ribuan warga Konghucu dalam perayaan imlek di Jakarta. Langkah yang sudah dibukakan “jalan” oleh Gus Dur dan Megawati semasa menjadi 2 Presiden.
It was not until twelve years later that Confucianism was finally officially recognized by the state as a religion. The recognition was stated by President Yudhoyono in his speech, on Saturday, 14 February 2006 in front of thousands of adherents of Confucianism during a celebration of Chinese new year in Jakarta. It is a step pioneered by Gus Dur and Megawati while they served as presidents of Indonesia.
“…Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah…” (TEMPO, 2 April 2006, hal 66). “….Umat Konghucu akan dilayani sebagai penganut agama. Perkawinan Konghucu dinyatakan sah dan dapat dicatat di kantor catatan sipil…” (Gatra, 4 Maret 2006, hal. 22)
“…We don't want to be discriminative anymore, we have changed …” (TEMPO, 2 April 2006, page 66). “….Confucianists will be served as adherents of a religion. Confucianism-based marriage is recognized formally and could be registered at the civil registry…” (Gatra, 4 March 2006, page. 22)
Pernyataan Presiden ini diikuti dengan surat perintah MENDAGRI, Muhammad Ma'ruf, nomor 470/336/SJ kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota se-Indonesia untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut agama Konghucu dengan menambah keterangan agama Konghucu pada dokumen kependudukan yang digunakan selama ini”. (TEMPO, ibid). Ada dua pertanyaan di sini. Pertama, soal implementasi pernyataan Presiden dan surat perintah Mendagri. Apakah sudah jalan? Apakah tidak ada lagi warga masyarakat yang beragama Konghucu mengalami kesulitan dalam soal-soal administratif kewarganegaraan? Kedua, soal pernyataan Presiden bahwa tidak ada diskriminasi lagi, kita telah berubah. Pertanyaannya, apakah benar kita telah berubah dan tidak ada diskriminasi lagi? Bagaimana dengan agama-agama, seperti Sikh, Baha'I, Yahudi, juga agama-agama lokal, seperti Parmalim di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Marapu di Sumba, Tolotang dan Bisu di Sulawesi Selatan, serta aliran-aliran dalam masing-
This President's statement was followed by Instruction of the Minister of Home Affairs, Muhammad Ma'ruf, no. 470/336/SJ to all Governors, Heads of District and Mayors in Indonesia to provide administrative services to all adherents of Confucianism by adding one more religion, Confucianism, to the ID document form of which has been used until the present
masing agama, seperti Ahmadiyah dalam agama Islam, dan lain sebagainya? Bukankah para pengikutnya adalah warga negara yang memiliki hak yang sama untuk
hidup dan menjalani kehidupan keagamaannya di
time”. (TEMPO, ibid). There are two questions here, the first is on implementation of the President's statement and instructions of Minister of Home Affairs. Has it actually been implemented? Is there no more adherent of Confucianism who experiences difficulties in citizenship administration? The second one is about the statement of the President that there is no more discrimination; that we have changed. The question is, have we really changed and is there no more discrimination? What about other religions such as Sikh, Baha'i, Judaism, or indigenous religions, such as Parmalim in North Sumatera, Kaharingan in Kalimantan, Marapu in Sumba, Tolotang and Bisu in South Sulawesi, or denominations in each religion, like Ahmadiyah in Islam, etc? Aren't the adherents of those religions also citizens who have equal rights to live and have
2. Gus Dur mencabut Instruksi Presiden nomor 14/1967 tentang tatacara ibadah Cina yang dilarang. (Keputusan Presiden RI No. 69/thn 2000), tanggal 23 Mei 2000). Megawati menetapkan hari raya penganut Konghucu, Imlek sebagai libur nasional, tanggal merah.
4
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006 Indonesia? Bukankah mereka juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan dari negara? Dalam kaitan dengan itu, perlu disimak soal “agama-agama yang diakui oleh negara”. Dalam surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 470/1978, mengatakan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha (TEMPO, 2 April 2006, hal 69). Surat Edaran ini sudah dicabut pada tanggal 31 Maret 2000 (GATRA, 4 Maret 2006, hal 24). Jauh sebelumnya sudah ada Penjelasan PNPS 1965 yang mengatakan bahwa ada enam agama yang dianut oleh penduduk Indonesia (termasuk Konghucu). Menurut Menteri Agama, Maftuh Basyuni, ketika dihubungi GATRA sesudah perayaan Imlek, yang mempertanyakan soal “agama yang diakui negara”, menjelaskan bahwa “Negara kita tidak pernah menetapkan ini agama resmi atau itu tidak. Penjelasan PNPS 1965 memang menyatakan ada enam agama yang dianut penduduk Indonesia. Tapi tidak berarti hanya enam. Masih ada agama lain.” Soal “agama-agama yang diakui oleh negara”
Focus their religion live in Indonesia? Don't they also have the right to obtain protection and service from the state? In relation to the afore-mentioned issue, we need to see more the “religions officially recognized by the state”. The Letter of Minister of Home Affairs no. 470/1978 states that the government only recognizes five religions: Islam, Protestant, Catholic, Hinduism and Buddhism (TEMPO, 2 April 2006, page 69). The letter had actually been denounced since March 31 2000 (GATRA, 4 March 2006, page 24). Far before that, there had been an elaboration on the Presidential Decree in 1965 stating that there were six religions to be embraced by the people Indonesia (comprising Confucianism). The Minister of Religious Affairs, Maftuh Basyuni, when interviewed by GATRA after celebration of Imlek on “the religions officially recognized by the state”, explained that “The state never determines whether this particular religion is official and that one is not. The elaboration of the Presidential Decree 1965 indeed stated that there were six religions adhered by Indonesian
ini kembali ditegaskan oleh Presiden dalam rangkaian sambutannya pada perayaan Imlek yang sama.
population. Nevertheless, it does not mean there were merely six religions. There were others too.” The “religions recognized by the state ” was reemphasized by the President in his remarks in the same occassion of welcoming Imlek.
“…Di negeri kita tidak dianut istilah agama yang diakui atau tidak diakui negara. Tugas negara memberikan perlindungan, pelayanan, serta membantu pembangunan dan pemelihataan sarana peribadatan”. (Gatra, 4 Maret 2006, hal. 22).
“…In our country, there is no such thing as religions recognized or not recognized by the state. The state is obliged to provide protection, service, and assistance for building and maintenance of prayer facilities of all religions ”. (Gatra, 4 March 2006, page 22).
Pernyataan yang sama pernah disampaikan oleh Atho Mudhzar dari LITBANG DEPAG, dalam diskusi draft akhir hasil laporan penelitian Komnas HAM dan ICRP tentang eksistensi Departemen Agama, di Yogyakarta bulan Januari yang lalu. Juga oleh Din Syamsuddin, Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Ketua PP Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan di KBRI Belanda, bulan Februari lalu. Pernyataan-pernyataan semacam itulah, antara lain yang menjadi persoalan. Apakah benar pernyataan itu benar, berwujud konkrit dalam realitas kehidupan sehari-hari? Bukankah yang terjadi adalah kenyataan yang bertolakbelakang? Bila memang negara Indonesia tidak membeda-bedakan agama yang satu dengan yang lain dan mengakui semua agama (tidak terbatas pada 6 agama), melindungi serta melayani warga masyarakat dengan kebebasan beragama dan berkepercayaannya, mengapa hanya 6 agama yang mendapat fasilitas serta pelayanan administrative
The same remark was also delivered by Atho Mudhzar of the Research and Development division of Department of Religious Affairs in a discussion on the final draft of report of a research carried out by the National Commission of Human Rights and ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) on the existence of Department of Religious Affairs in Yogyakarta last January, as by Din Syamsuddin, Chair person of the Indonesian Ulemas Council and Head of PP Muhammadiyah in a meeting in Indonesian Embassy in the Netherlands last February. Such statements are actually parts of the problem. Are those remarks really true, and concretely realized in our daily life? Isn't the reality just the opposite ? If indeed Indonesia does not differ one religion from the other and does recognize all religions (not limited to the 6 religions mentioned); if it does protect and serve citizens and their freedom of religion, why only 6 religions obtain certain facilities, administrative rights, and the right to live
Edisi Juni 2006
5
Fokus hak hidup bermasyarakat? Apakah mereka yang beragama Sikh, Baha'I, Yahudi bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa kesulitan? Apakah di KTP, mereka bisa dengan bebas mencantumkan agama mereka? Apakah komunitas Ahmadiyah, Lia Eden bisa dengan bebas melakukan kegiatan mereka tanpa dihasut, diganggu dan diperlakukan dengan tidak beradab dan kekerasan oleh siapa pun juga? Mungkinkah kelompok perguruan silat seperti Mahdi di Sulawesi Tengah, Mahesa Kurung di Jawa Barat menjalankan kegiatan mereka tanpa dituding sebagai aliran sesat? Apakah komunitas agama-agama local, seperti Kaharingan, Marapu, Parmalim, Tolotang, Bisu dapat dengan bebas menyelenggarakan upacara kepercayaan mereka tanpa harus dianggap sebagai “bukan agama”, karena itu harus “diagamakan”? Hal ini membuktikan betapa pembohongan publik serta ambivalensi negara dan lembaga keagamaan seperti itu berbahaya. Barangkali sudah menjadi sebuah “tradisi” bagi kebanyakan elit pemerintahan dan lembaga keagamaan. Hal yang bertentangan dengan Konstitusi, sekaligus wujud penyangkalan terhadap realitas. “Tradisi”, yang kalau tidak dicermati atau tidak dikiritisi akan menjebak masyarakat masuk ke dalam perpecahan. Sampai kapan pembohongan publik kepada
Interfidei newsletter and develop in the society ? Are people of Sikh, Baha'I, and Judaism religions able to get married without any constraints, especially from the state? Their ID cards, can they freely put their religions ? Could the communities of Ahmadiyah or Lia Eden freely do their activities without being disrupted, annoyed, or treated uncivilizedly and violently by others ? Could silat (Indonesian martial arts) schools such as Mahdi's in Central Sulawesi , Mahesa Kurung in West Java, do their activities without being accused as practicing false teachings ? Could indigenous religious communities, such as Kaharingan, Marapu, Parmalim, Tolotang, Bisu freely carry out their religious ceremonies without being considered as “nonreligion community”, and therefore have to be “religionized”?
masyarakat luas seperti ini akan berlangsung? Dimana konsistensi pemerintah atau negara atau lembagalembaga keagamaan dalam hal “kebebasan beragama dan berkepercayaan?”
It only proves one point: that such public lie and ambivalence nature of the state and religious institutions are dangerous. Perhaps it has been a “tradition” for most government and religious institutions' elites to do something against Constitution, while at the same time also a form of denying against reality . A “tradition”, which if not Scrutenized well or criticized, will entrap the communities into a form of schism. The question now is until when such public lie is carried on. Where is the consistency of the government or the state or religious institutions in the issue of “freedom of religious & faith expression?”
Perlu berubah-tanpa kekerasan
A Change is Required-without violence
Memang ada persoalan teologi atau aqidah di sana. Persoalan yang dianggap tidak bisa disentuh, karena sedemikian sensitive, dianggap sebagai sebuah “harga mati”, seakan-akan tidak bisa dikritisi dan didiskusikan lagi. Padahal menyangkut dinamika hubungan antara keimanan dan kehidupan itu sendiri. Kehidupan dinamis, yang selalu mengalami interaksi dengan segala bentuk realitas kehidupan sehari-hari. Karena itu, teologi atau aqidah adalah sebuah refleksi atas pengalaman riil, dinamika antara keimanan dan realitas. Dalam Islam misalnya kita mengenal ada aqidah Ahlusunnah waljamaah, aqidah Asy’ariah, aqidah Syiah. Dalam Kristen, misalnya ada teologi Calvinis; Lutheran; atau evangelical, ekumenis, dan lain sebagainya. Dalam beberapa kasus di masyarakat saat ini, teologi atau aqidah dianggap dan dijadikan sebuah “titik” penghabisan yang normative, statis dan sifatnya doktriner, seakan-akan “kehidupan”
Indeed, there is lay a theological issue. It is an issue considered as untouchable, as it is of a very sensitive nature, and is regarded as a “fixed price”, as if it cannot be criticized and discussed anymore. On the other side, we talk about the dynamic of relations between faith and life itself; it is a dynamic life that always experiences interactions with all forms of daily life. Therefore, theology or aqidah is a reflection of a real experience, the dynamic between faith and reality. In Islam for example, we are familiar with Ahlusunnah waljamaah aqidah, Asy'ariah aqidah, and Syiah aqidah.In Christianity, we know Calvinist, Lutheran, Evangelical, Ecumenic theologies, etc. In a number of cases in the community to date, theology or aqidah is regarded and made as a normative, static, and doctrinary ending “point”, as if the “life” of human beings and reality, even faith /
6
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006
Focus
manusia dan realitas, bahkan keimanan /aqidah aqidah of human beings has stopped at that point and manusia sudah berhenti pada titik itu dan tidak will no longer experience any dynamics. Whereas mengalami dinamika lagi. Padahal, semakin the mature people keep in touch manusia mampu bersentuhan dengan with the dynamics of daily reality, dinamika realitas sehari-hari justru keimanan the more mature their faith or atau aqidahnya akan semakin dewasa yang aqidah will be. In turn, it will make kemudian akan memampukannya untuk them more possible to appreciate menghargai realitas itu tanpa melemahkan this reality without weakening keimanan atau aqidahnya sama sekali, their faith or aqidah at all. Instead, melainkan memperteguh. Di sini pentingnya it will strengthen it. There lies the melakukan reinterpretasi, pemikiran ulang important point to reinterpretatie, terhadap teologi atau aqidah, bahkan ajaranrethinking of theology or aqidah, ajaran agama yang ada selama ini. Perlu and religious teachings. We need memikirkan kembali bagaimana menjalani Elga Sarapung to rethink of how we practice our hidup beragama? Tanpa maksud mengubah dasar- religion in life, without changing the basics, dasar serta prinsip dan “identitas” yang paling principles, and the most essential “identities” of hakiki dari masing-masing agama. Karena teologi each religion. This is due to the fact that theology or atau aqidah bukanlah sebagai “ukuran” dan atau aqidah is not a “measurement” and or “standard” to “patokan” untuk memberhentikan dinamika stop the dynamics of life. Instead, this dynamic kehidupan, tetapi kehidupan yang dinamis itulah nature of life is the basic of theology or aqidah, as merupakan dasar teologi atau aqidah, sekaligus well as the basic of practicing theology and aqidah. dasar untuk berteologi dan beraqidah. Another point worth to take a note of is the Hal lain yang perlu dicermati adalah, honesty, self-criticism, sincerity, and openness from pentingnya kejujuran, kritik diri, ketulusan dan all stakeh olders, the community, religious keterbukaan yang sungguh-sungguh serta arif dari congregations, the state, religious institutions, as semua pihak, masyarakat, komunitas agama dan well as individuals involved in facing kepercayaan, negara, lembaga-lembaga keagamaan, development and dynamics of plurality in the institusi serta individu yang ada di dalamnya dalam community; in this case the plurality of religions menghadapi perkembangan dan dinamika pluralitas di and faiths. It means it will also touch institutional masyarakat. Dalam hal ini pluralitas agama dan as well as non-institutional aspects, e.g. kepercayaan. Itu berarti akan menyentuh aspek-aspek institusional juga non-institu sional, seperti understandings toward religions, religiosity, p emahaman-pemahaman terhadap agama, religious practices, etc. If we are to be realistic, the existence of any keagamaan, hidup beragama, dan lain sebagainya. Bila kita mau realistis dengan realitas diversity, comprising religions and faiths living and kehidupan yang terjadi di Indonesia, maka developing in Indonesia will never be able to be put eksistensi kepelbagaian apa pun, termasuk agama into halt or banned by any institution, whether the dan kepercayaan yang ada dan hidup di Indonesia state, religious institutions, or any religious tidak akan pernah dapat dihentikan atau dilarang oleh communities under whatever reasons. Any attempt lembaga apa pun, termasuk negara, lembaga-lembaga to stop or ban it in any form, moreover in form of keagamaan atau oleh komunitas agama tertentu violence, will only give birth to a more honest, open, dengan alasan apapun. Penghentian, pelarangan dalam and realistic “new power”in the community; from bentuk apa pun, apalagi dalam bentuk kekerasan the community, by the community, and for the hanya akan melahirkan “kekuatan baru” yang lebih community. It is this power that will loudly jujur, terbuka dan realistis di masyarakat, dari pronounce to the state religious institutions, to masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat. certain groups in certain religions, or to individuals Kekuatan inilah yang akan mengatakan kepada who find banning or regulations constraining life negara, kepada lembaga-lembaga keagamaan atau based on mutual appreciation and respect amusing; kepada kelompok-kelompok tertentu dalam agama all those with violent “tradition”, that “life” is the tertentu, kepada individu-individu yang senang basic right of every human being ; “having one or dengan larangan-larangan, peraturan-peraturan no religion” and “having one or no faith” is the yang menghambat kehidupan saling menghargai basic right of each human being, every citizen. It
Edisi Juni 2006
7
Interfidei newsletter
Opini dan menghormati, yang memiliki “tradisi” kekerasan, bahwa “kehidupan” adalah hak hidup semua orang; “beragama atau tidak beragama” dan “berkepercayaan atau tidak berkepercayaan” adalah hak hidup setiap orang, setiap warga negara. Tidak perlu diatur oleh negara, apalagi menentukan bahwa “harus beragama” dan “harus memilih salah satu dari 6 agama”. Tidak perlu diatur apalagi diancam oleh kelompok tertentu yang menganggap diri memiliki otoritas untuk melarang, mengusir, menutup dan memperlakukan kelompok lain secara tidak beradab. Kemampuan masyarakat dalam memahami realitas dan hak hidup mereka tidak serendah itu lagi. Masyarakat tidak sesederhana untuk dengan sewenang-wenang diperlakukan secara tidak manusiawi dengan kekerasan. Keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi disebabkan oleh sikap yang ambivalen negara. Sikap yang membuat masyarakat terpecah belah dan hidup dalam ketidakpastian serta merasa tidak aman. Sikap yang memberi legitimasi kepada kelompok tertentu untuk melakukan intimidasi dan tindak kekerasan terhadap kelompok lain? Ambivalensi ini membuktikan bahwa ada persoalan dalam negara yang perlu diperjelas, dikritisi dan diperbaiki. Relasi antara agama dan negara perlu dilihat kembali. Pelbagai kebijakan dan perundangan yang hadir dalam kerangka berpikir hegemonic negara terhadap agama perlu ditinjau kembali. Fungsi, makna substansial dan cara-cara hegemonistik dari perangkat-perangkat lembaga kenegaraan yang berhubungan dengan agama, yakni Departemen Agama, juga lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI dan MATAKIN bahkan lembaga-lembaga hukum sert kepolisian perlu ditinjau kembali, dibongkar dan dikembalikan kepada manusia sebagai warga negara dengan seluruh hakhak dasarnya.[]
is something that does not require any interference from the state, moreover in regulating that one must “have a religion” and “have to choose one of the 6 religions”. We do not need any interference, moreover threat from certain groups considering themselves have the authority to ban, get rid of, disperse, or treat other groups or communities uncivilizedly. The capability of the community in understanding reality and their basic rights is not that weak anyymore. They are not that naive to accept inhuman, violent treatment anymore. Such a situation is very possibly caused by the ambivalent nature of the state: the attitude that divides the community and causes them to live in uncertainty and feeling of unsecurity; one that legitimizes certain groups to do intimidation and violent actions to other communities or groups. This ambivalence clearly shows that there is an issue in the state that needs to be clarifies, criticized, and improved. the relations between religons and the state need to be reviewed. Various policies and legislations present in the hegemonic frame of mind of the state towards religions need to be reviewed . The function, substantial meanings, and hegemonic means of religion-related state institutions, i.e. Ministry of Religious Affairs, as well as religious institutions such as MUI, PGI, KWI, WALUBI, PHDI and MATAKIN, even legal institutions and the police dept. need to be analyzed, dissected, and returned to human beings as citizens with all their basic rights.[]
Trapped in a Colonial Frame of Mind Terjebak Nalar Kolonial
Syamsurijal (Ijhal Thamaona)*
S
iapa yang tidak kenal MUI? Rasanya sulit menemukannya. Sayangnya ketenaran lembaga Islam ini bukan karena gagasan-
*
Syamsurijal (Ijhal Thamaona)*
W
ho does not know MUI? It will be difficult to find one that does not. Unfortunately, the fame of this Islamic institution is not gained through its constructive ideas, but through its fatwa or teachings regarding
*Ketua Divisi Riset Budaya dan Wacana Alternatif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar, Peneliti pada Desantara (Institute for Cultural Studies).
8
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006
gagasannya yang konstruktif melainkan karena fatwa-fatwanya yang menganggap beberapa praktek keber-agama-an masyarakat sesat dan menyesatkan. Salah satunya adalah kasus Yusman Roy, seorang pimpinan pesantren I'tiqaf Ngadi Lelaku Malang, Jawa Timur. Yusman Roy dianggap sesat karena dalam mempraktekkan shalat tidak hanya berbahasa Arab tetapi diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Inilah problemnya, karena menurut ketua komisi fatwa MUI di Jakarta, Ma'ruf Amin, “tidak ada shalat yang seperti itu, Ical shalat harus mengikuti Rasulullah”. Setelah Yusman Roy, giliran Ahmadiyah Qadiyan yang mendapatkan nasib serupa, dituduh sesat dan menyempal dari Agama Islam. Bagi kalangan Ahmadiyah, fatwa sesat dari MUI ini ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ahmadiyah yang diserang oleh sejumlah kalangan masyarakat yang mengatasnamakan Umat Islam malah difatwa sesat oleh MUI. Di Sulawesi Barat, ada juga kelompok yang dianggap sesat karena shalatnya dilakukan sambil bersiul. Kabarnya setelah mereka ini difatwa sesat, masih ada beberapa kelompok Islam lainnya yang juga akan difatwa sesat. Apakah ini fenomena baru di Negara Indonesia ini? Sama sekali bukan, ini adalah problem lama dari Negara Indonesia yang menerapkan sistem kontrol yang begitu kuat terhadap keber-agam a-an
masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan adanya ambiguitas dalam kebijakan negara kita. Salah satu sisi seakan-akan mengakui kebebasan beragama dari rakyatnya seperti yang tertuang dalam pasal 29 UUD 45, tetapi bersamaan dengan itu memperketat pengawasan dalam menjalankan agama yang justru rentan menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan beragama. Ambiguitas kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh faktor politik kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah dibandingkan soal menjaga kemurnian dari agama itu sendiri. Memang dalam hal ini pemerintah meminjam tangan para agamawan untuk memperm udah proses kontrol terhadap warga negaranya. Suara kalangan agamawan menjadi semacam Panopticon (Menara Pengawas) a la Jeremy Bentam (Michael Foucault; Dicipline and Punish, 1977). Dimana seorang tawanan merasa terus diawasi
meskipun sesungguhnya di menara sudah tidak ada siapa-siapa. Pengawasan semacam ini lebih
Opinion
numerous religious teachings existing in the community as false and misleading. One of these cases is that of Yusman Roy, a leader of I'tiqaf Ngadi Lelaku Malang Islamic boarding school in East Java. Yusman Roy is regarded a blasphemy since he practices Islamic prayers not only in Arabic, but also in Indonesian. There lies the problem, as according to the Head of MUI fatwa Commission in Jakarta, Ma'ruf Amin, “there is no such shalat / Islamic prayer. All shalat have to follow the example of Rasulullah”. After Yusman Roy, now it is Ahmadiyah Qadiyan's turn to have the same fate, accused of being a blasphemer and not in line with Islam. For Ahmadiyah followers, the fatwa claiming that they are practicing false religion from MUI is like a saying lightning does strike twice. Ahmadiyah that had been attacked by some circles in the community on behalf of Moslems was regarded having false teaching by MUI. In West Sulawesi, there is also an Islamic community regarded as heretic since their prayer is carried out while whistling. After they are considered as a false group, there are still numerous other Islamic groups that will also be regarded as having false teachings.
Is this a new phenomenon in Indonesia? Not at all, it is an old problem from Indonesia that applies strong control system to religiosity of the community. This reality shows existence of ambiguity in our state's policy. On one side, it is as if the state recognizes religious freedom as written in Article 29 of (Constitution) 1945, but at the same time also strengthens supervision in practicing religion which will instead initiate discrimination in religious life. This ambiguity of policy is more greatly affected by political power factor run by the government than by efforts of keeping the purity of religion itself. Indeed, in this context, the government borrows the hands of religionists to make the process of control to its citizens easier. The voice of religionists has become a sort of Panopticon (Watch Tower) a la Jeremy Bentam (Michael Fuchoult; Dicipline and Punish, 1977), where prisoners feel they are being watched even though there is no one in the tower. Such a watch is more of cognitive and intuitive nature than physical
Edisi Juni 2006
9
Opini mengarahkan pada kognisi dan sanubari, dibanding pada fisik, namun efek kontrolnya jauh lebih efektif. Karena itu sejak dulu beberapa kalangan yang dianggap menyempal dari Islam harus menerima resiko, dianggap sesat dan bisa dibubarkan bahkan ditangkap dan dipenjarakan atau rela diatur oleh Negara dengan pakem-pakem yang telah ditetapkannya. Kasus Tolotang yang harus rela menerima Hindu sebagai agamanya, yang ditetapkan dengan keputusan menteri No. 6 tahun 1966. Demikian halnya Komunitas Tanah Toa Kajang yang diatur kepercayaannya sebagai Agama Islam adalah contoh-contoh komunitas yang (terpaksa) rela diatur untuk mempertahankan eksistensinya. Sistem kontrol Negara ini biasanya dilanggengkan lewat sistem statistik Negara. Menurut Ben Anderson (Bennedict Anderson; Imagined Communities: 2001) dalam sistem logika seperti ini, menjadi bagian dari (masyarakat) Indonesia berarti harus dapat dicatat dalam sistem catatan negara (statistik); siapapun nama anda, anda harus mengisi kotak agama (itu pun tidak boleh keluar dari agama dan aliran resmi yang diakui Negara), jenjang pendidikan, jenis kelamin (harus laki-laki atau perempuan), dan beberapa kotak tambahan lain, seperti sudah/ belum menikah, dan seterusnya. Inti dari sistem berpikir seperti ini adalah kebakuan, dan keajegan (statik). Dalam sisitem seperti ini, kita akan kesulitan memperlakukan agama sebagai bagian dari dinamika hidup yang berliku-liku. Kalau kita memilih salah satu agama sebagai keyakinan kita, maka dalam logika statistik agama pilihan kita itu tidak boleh berubah. Kalau pada hari ini misalnya kita memilih Islam sebagai agama kita tetapi dikemudian hari karena pertimbangan tertentu kita ingin pindah ke agama Budha atau malah tidak mempercayai agama resmi, logika statistik tidak akan bisa menerimanya. Demikian halnya logika statistik tidak akan bisa menyerap cara kita beragama yang keluar dari mainstreem. Kasus Ahmadiyah, Yusman Roy ataupun komunitas Tanah Toa Kajang adalah contohcontohnya. Kelompok-kelompok agama yang seperti
ini karena tidak bisa terserap oleh logika statistik maka dikelompokkan sebagai murtad, anemisme, sesat ataupun kafir. Soalnya sederhana, kotak telah dan telanjur disediakan sedemikian rupa untuk mengidentifikasi “siapa kita”. Bila dilacak, sejarah pengawasan dan kontrol dalam beragama ini muncul pada masa Kolonial dengan munculnya Stassblad No. 44 tahun 1941 oleh Snouck Hurgronje. Ini direproduksi kembali oleh Presiden Soekarno dengan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang pencegahan
10
Edisi Juni 2006
Interfidei newsletter one, but the control effect is much more effective. Thus, numerous circles considered deviating from Islam have to take their risks, regarded as heretic and could be dispersed or even contained in prisons, or have to be willing to be managed by the state with all its regulations. In Tolotang case, they have to be willing to accept Hinduism as their religion, as determined by Minister's Decree No. 6 in 1966. The same case occurs with Tanah Toa Kajang community whose faith has been determined as Islam. Those were the cases of communities (forced toaccept) managed by the state to maintain their existence. The control al system of the state is commonly preserved through State statistic system. According to Ben Anderson (Bennedict Anderson; Imagined Communities, 2001) in such logic system, being a part of Indonesian (community) means that we have to be recorded in the state's recording system (statistics); whoever your name is, you have to fill out religion column provided in the form (and the religion should be one officially recognized by the state), level of education, sex (has to be male or female), and other additional columns, such as single / married, etc. The essence of this system is standard ization and static nature. In such a system, we will find difficulties in treating religions as a part of winding life dynamics. If we are to choose one religion as our faith, in the logic of statistic, our opted religion cannot be changed. If today for example we opt for Islam as our religion, but then in the future, due to some considerations, we want to convert to Buddhism or we do not believe in any official religions, the logic of statistics cannot accept it. Similar case takes place if our ways of practicing religions is out of the mainstream. The cases of Ahmadiyah, Yusman Roy or Tanah Toa Kajang community are just few of the samples. Such religious communities, since they cannot be engrossed by the logic of statistic, are categorized as apostates, followers of animism, heresies, or infidels. The problem is simple, the columns are already available and are provided to identify distinctly “who we are”. If traced back, the history of supervision and control in religions emerged in colonial time with the emerging of Staasblad No. 44 year 1941 by Snouck Hurgronje. It was then reproduced by President Soekarno with Presidential Decree No. 1 / 1965 on prevention on Desecration and Abuse of Religions. In the New Order era, the decree was made UU (Law) No. 5 / 1969. It is interesting to note
Edisi Juni 2006 penodaan dan penyalahgunaan agama. Pada masa ORBA Pepres ini ditetapkan menjadi UU No. 5 tahun 1969. Menarik diperhatikan karena pada masa ORBA produk hukum dari era ORLA dan kolonial ini justru ditetapkan menjadi UU. Mestinya produk aturan semacam ini hilang sebab kemunculan ORBA salah satunya adalah mengkoreksi keberadaan ORLA. Kemunculan UU ini pada masa ORBA berimplikasi pada penunggalan lembaga yang berwenang dalam agama yang kemudian melahirkan MUI. MUI-lah kemudian bersama Kejaksaan yang punya wewenang untuk melihat soal-soal penodaan agama ini. Yang lebih mengherankan lagi di era Reformasi ini posisi dari MUI yang merupakan implementasi kebijakan ORBA masih begitu kuat bahkan dominan. Pertanyaannya kemudian, kalau aturan pengawasan dan pengendalian agama berasal dari Belanda (penjajah), mengapa negara kita masih terus melanggengkannya bahkan mereproduksinya?. Inilah problem negara yang pernah dikoloni. Dalam banyak hal apa yang dijalankannya masih terjebak dalam konstruksi kolonial. Ini dimungkinkan karena nalar semacam ini sudah terbangun menjadi pengetahuan dan kebenaran, sehingga ia dijalankan dibawah kesadaran kita.
Karena itu mengatasi problem "keterjebakan nalar kolonial" ini, mau tak mau kita harus melakukan kritik terhadap berbagai hal dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat kita saat ini yang sudah dianggap mapan, mulai dari soal hukum, nilai bahkan kebudayaan kita. Tentu saja ini adalah proyek panjang dan melelahkan, tapi tanpa melakukan ini, perjuangan kita menuju nalar kesetaraan dan keadilan bisa menemui jalan buntu. Soalnya kita sendiri belum sadar diri dari belenggu kolonial yang memang menginginkan ketidaksetaraan (non equality) dan ketidakadilan.[]
Chronicle that in the New Order era, the regulations from the Old Order and colonial era were instead elevated to a Law/ such regulation should have been dismissed since the emergence of the New Order should correct the existence of the Old Order. The passing of this particular Law in the New Order era implies on concentration of power on one religious institution which then gives birth to MUI. Then, it is MUI and the Attorney General office that have the authority to oversee these religious desecrations issuer. More surprisingly, in the reformation era, the position of MUI, which serves as implementation of New Order policies, is still very strong and even dominant. The question then is, if the supervision and control of religions originate from the Dutch (colonials), why is it that our state maintains and even reproduces it? It is the problem of a an ever-colonized state. In many factors, what they do is still trapped in colonial thinking construction. It is feasible as such frame of mind has been formed as knowledge and truth, and it is established already in our unconscious mind. Therefore, to overcome this problem of
"colonial mindset entrapment", whether we like it or not we need to do criticism towards numerous subjects in the order of our state and community that has been considered established, starting from legal issues, values, and even our culture. Of course it is a long and tiring project, but if we don't do it, our struggle to equality and justice could meet a dead end. The problem, still, is that we are not aware of the colonial shackle that really wants non-equality and injustice.[] 1. Lesehan With Father Jong
1. Lesehan Bersama Pastor Jong*
K
emajemukan agama masyarakat Indonesia ternyata sangat kurang diakomodir oleh sistem pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan agama. Fenomena tersebut kemudian mendorong para pemerhati pendidikan berupaya untuk mengusahakan materi dan metode pendidikan agama yang kreatif serta pluralis. Hal tersebut yang antara lain dibicarakan dalam lesehan pendidikan tanggal 6 Februari 2006, di DIAN/Interfidei dengan menghadirkan pembicara Pastor Jong, pemerhati Pendidikan dari Sulawesi
T
he pluralism of Indonesian community is not sufficiently accommodated by the education system, in specific religion education. This phenomenon then encourages observers of education to work on the material and method of creative and pluralist religion education. It was among the agenda discussed in an education lesehan on February 6 2006, in DIAN/Interfidei. The speaker of the program was Pastor Jong, an observer of education from North Sulawesi.
*. Pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Manado
Edisi Juni 2006
11
Interfidei newsletter
Kronik
T
h i s education lesehan L e s e h a n followed by teacherr who pendidikan yang diikuti join in Religion Teachers oleh guru-guru agama Forum went on very yang tergabung dalam inspirationally and became Forum Guru Agama, a support for other religion berlangsung sangat teachers to rethink the inspiratif dan menjadi method and curriculum of support bagi guruguru religious education they agama lainnya untuk have so far taught. Before berpikir ulang tentang t he discussion metode dan kurikulum commenced, all pendidikan agama yang Foto: acara diskusi di DIAN/Interfidei p articipants of the selama ini mereka bawakan. Sebelum diskusi lesehan dimulai, semua discussion and Asrham Gandhi members carried peserta diskusi bersama dengan Asrham Gandhi out agnihotra.* melakukan agnihotra.* Utara.
2. Advokasi Rumah Ibadah Hindu
2. Advocacy of Hindu House of Prayers
I
nstitut DIAN/ Interfidei collaborated with a number of elements in the community such as students of UIN Sunan Kalijaga, LKiS, Seminari Tinggi, Ashram Narayan Smerti, and individuals with concerns to inter-religious community relations carried out an advocacy for dispute over Hindu house of prayers in two places, i.e. Pantai Ngobaran, Kanigoro village, Saptosari sub-district, Gunung Kidul district, and Patehan Samas beach in Bantul in relation to the building of Pura Segara. The first and main action to be carried out would be re-bridging the communication among numerous religious institutions and the Ministry of Religious Affairs in the provincial level in Yogyakarta. For Gunungkidul case, on 24 February 2006, a group from Interfidei conducted a survey to Ngobaran beach, Kanigoro village, Saptosari subdistrict. It is expected that this survey would provide us with more complete information on situation at Ngobaran beach. Regarding the plan of Pura Segara development at Patehan Samas beach in Bantul, a piece of land owned by Sultan Ground obtained by Parisadha Hindu Darma DIY in 1995, the principal license from Bantul district government has actually been obtained. While waiting for the Building Construction Permit (IMB), the land had been
nstitut DIAN/ Interfidei bekerjasama dengan beberapa elemen masyarakat seperti mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, LKiS, Seminari Tinggi, Ashram Narayan Smerti dan pribadi-pribadi yang pempunyai perhatian pada masalah hubungan antar kelompok keagamaan melakukan advokasi terhadap permasalahan sengketa tempat ibadah Hindu di dua tempat, yaitu di Pantai Ngobaran desa Kanigoro kecamatan Saptosari kabupaten Gunung Kidul dan di pantai Patehan Samas Bantul berkaitan dengan rencana pembangunan Pura Segara. Pertama-tama yang ingin dilakukan adalah menjembatani kembali komunikasi antar beberapa institusi agama dan juga bagian KUB kanwil Depag DIY. Untuk kasus di Gunungkidul, pada tanggal 24 Februari 2006 rombongan dari Interfidei mengadakan survei ke Pantai Ngobaran desa Kanigoro kecamatan Saptosari. Diharapkan dari survei ini memberi informasi yang lebih lengkap tentang situasi di pantai Ngobaran. Kemudian berkaitan dengan rencana pembangunan Pura Segara di pantai Patehan Samas Bantul, sebidang tanah Sultan Ground yang didapat Parisadha Hindu Darma DIY pada tahun 1995, sebenarnya ijin prinsip dari pemerintah kabupaten Bantul sudah diperoleh. Sambil menunggu surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) turun, tanah sudah *. Ritual persembahan api suci dalam tradisi Hindu
12
Edisi Juni 2006
I
Chronicle
Edisi Juni 2006
dibersihkan dan upacara memohon restu dari Tuhan cleared and the religious ceremony to ask for God's pun dilaksanakan. Namun blessing has also been kemudian ada demonstrasi carried out. However, dari kalangan masyarakat there was then a rally yang mengatasnamakan from a circle of umat Isla m di DPRD community on behalf of Bantul. Belum diketahui Islam congregation at pasti daerah asal para DPRD Bantul. The demonstran, tetapi aktifitas protesters' origin is not mereka ditafsirkan oleh identified yet, but their aparat terkait sebagai activity was interpreted bentuk keberatan warga. by related authorities as Padahal sesungguhnya a form of people's pihak yang berwenang bisa objection. In reality, the memeriksa ulang authority could have persyaratan untuk r echecked the mendapatkan ijin prinsip Foto: Tempat ibadah di Pantai Ngobaran prerequisites to gain the yang tentu saja sudah mendapatkan persetujuan dari warga sekitar hingga principal license that naturally have been agreed by the neighbors in the sub-district level. tingkat kecamatan. The Hindu congregation, coordinated by Umat Hindu dengan dikoordinir oleh Parisadha, then asked for audition with the Sultan Parisadha telah menghadap Sultan untuk mendapat dukungan Sultan kembali. Sri Sultan kala itu to regain his support. Sri Sultan at that time submit menyerahkan proses pada masyarakat dan the process back to the community and suggested menyarankan agar mencari tanah Sultan Ground yang that they looked for Sultan Ground land they could bisa digunakan di lain tempat. Tetapi tentu saja tidak use in another location. However, of course it is mudah untuk mendapatkan lahan kosong. Sepuluh not easy to gain an empty land. Ten years have tahun sudah berlalu dan tahun 2006 ini Parisadha passed by and in 2006, Parisadha Hindu Dharma Hindu Dharma DIY mengharap dukungan dari DIY is awaiting for the support from various berbagai kalangan baik perguruan Tinggi, Institusicircles, whether from universities, religious institusi Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat dan institutions, NGOs, or CBOs with concerns to Organsiasi Masyarakat yang peduli dengan upayaupaya melestarikan kerukunan antar umat beragama di efforts of maintaining harmonious life among religious communities in Jogjakarta. [ ] Jogjakarta. [ ] 3. SEMILOKA SORONG TAHAP II
3. SORONG WORKSHOP AND SEMINAR II
I
I
nterfidei kembali ke tanah Papua untuk menggelar acara seminar dan lokakarya tahap II sebagai kelanjutan dari semiloka tahap I tanggal 15-18 Juni 2005. Acara ini terselenggara pada tanggal 23-25 Februari 2006 di Hotel Pilihan Sorong atas kerjasama Interfidei dengan Yayasan Oyo Papua dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Manokwari Sorong. Acara ini dibuka oleh Ibu Elga Sarapung, Direktur Dian Interfidei, yang sekaligus menyampaikan maksud dan tujuan semiloka tahap II. Semiloka tahap II mengambil tema “Kerjasama Antar Umat Beriman Menghadapi Pluralisme, Konflik dan Mengusahakan Perdamaian di era
nterfidei returned to Papua so it to hold seminar and workshop program for the second phase as a follow-up of the first stage workshop on June 15-18 2005. The program was carried out on 23-25 February 2006 at Pilihan Hotel in Sorong as a collaboration between Interfidei and Yayasan Oyo Papua and Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP / Secretariat of Justice and Peace), the Diocese of Manokwari Sorong. The program commenced with an opening remark by Ms. Elga Sarapung, Director of Dian Interfidei, who conveyed as well the objectives of this second stage workshop. The theme of the workshop is “Inter-religious Community
Edisi Juni 2006
13
Kronik Otonomi Khusus Papua”. Acara ini menghadirkan 4 pembicara, yaitu Drs. Lambang Trijono, MA (dosen Fisipol UGM), Dr. Noakh Nawipa (Ketua STT Wa l t e r P o s Jayapura), Drs. Yan Pieter Rumbiak (birokrat dan penulis buku) dan Norbertus Yu m t e ( D i r e k t u r SKP-Keuskupan Manokwari Sorong) serta dimoderatori Foto: Semiloka di Sorong oleh Ferry Taa. Pembicara pertama adalah Drs. Lambang Trijono, MA yang membahas tentang kebijakan militer dan politik Pemerintah Pusat terhadap Papua serta implementasi Otonomi Khusus Papua. Kemudian Dr. Noakh Nawipa selaku pembicara kedua menegaskan tentang pentingnya peran umat beriman dalam menghadapi realitas pluralisme, konflik dan mengusahakan perdamaian di Papua. Pembicara ketiga adalah Drs. Yan Pieter Rumbiak yang membahas tentang implementasi UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua serta pengaruhnya terhadap konflik Papua. Lalu Norbertus Yumte selaku pembicara terakhir membahas tentang pemetaan potensi konflik
dan usaha perdamaian di tanah Papua. Acara seminar dimulai pada pukul 09.00 WIT sampai 13.30 WIT, kemudian dilanjutkan dengan sesi pendalaman materi seminar yang kegiatannya terdiri dari diskusi kelompok, role play, sharing pengalaman dan pemutaran film. Semiloka ini dihadiri oleh 84 peserta yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan, mahasiswa dan elit birokrat. Para peserta semiloka tahap II ini adalah peserta semiloka tahap I. Seluruh rangkaian acara diakhiri dengan malam persaudaraan pada tanggal 25 Februari 2006. Para peserta berjanji untuk tetap menghidupkan
Interfidei newsletter
Cooperation in Facing Pluralism, Conflicts, and Conducting Efforts in Realizing Peace in the era of Special Autonomy of Papua”. There were 4 speakers in the program, i.e. Drs. Lambang Trijono, MA (lecturer of Faculty of Social and Political Science, UGM), Dr. Noakh Nawipa (Head of STT Walter Pos Jayapura), Drs. Yan Pieter Rumbiak (a bureaucrat and book author) and Norbertus Yumte (Director of SKP Diocese of Manokwari Sorong), moderated by Ferry Taa. The first speaker, Drs. Lambang Trijono, MA, discussed military and political policies of the Central government re Papua and implementation of Special Autonomy of Papua. On the other hand, Dr. Noakh Nawipa as second speaker emphasized on the significance of the role of religious people in facing the reality of pluralism and conflict and in conducting efforts for peace in Papua. The third speaker was Drs. Yan Pieter Rumbiak who discussed the implementation of Law No. 21/2001 on the Special Autonomy of Papua and its influence on Papua conflicts. Norbertus Yumte which acted as the last speaker presented mapping of conflict potentials and efforts for peace in the land of Papua. The seminar commenced at 09.00 WIT and ended at 13.30 WIT, which was then continued with a further discussion on the seminar's material which activities comprise of group discussion, role play, sharing of experience, and watching of a movie. The program was attended by 84 participants consisting of community figures, religious leaders, women figures, university students, and bureaucrate elites. The participants for this second phase program were ones attended the first stage of the workshop and seminar. The whole series of activities ended with a cultural evening program on February 25, 2006. Participants agreed to maintain their togetherness in one institute called Plukopers (Pluralisme, Konflik dan Perdamaian
Pelbagai kebijakan dan perundangan yang hadir dalam kerangka berpikir hegemonic negara terhadap agama perlu ditinjau kembali. 14
Edisi Juni 2006
Chronicle
Edisi Juni 2006
kebersamaan mereka dalam wadah Plukopers (Pluralisme, Konflik dan Perdamaian untuk Sorong).[ ]
untuk Sorong / Pluralism, Conflict, and Peace for
Sorong).[ ] 4. Goenawan Mohamad's Cultural Reflection “Cultural Reflection: Religions in a Paradoxical Modern Community”
4. Refleksi Budaya Goenawan Mohamad “Refleksi Budaya: Agama dalam Masyarakat Modern yang Paradoksial”
S
ymptoms of the intensification of religious “fundamentalism” on one side and religious “liberalism” on the other side highlight the ejala menguatnya “fundamentalisme” agama pada satu sisi, dan “liberalisme” paradoxical face of religions. Such religion's face is agama di sisi lain semakin menampakkan not one independent facet, instead it is closely related to the construction wajah agama yang paradoks. Wajah of modernity mindset agama yang seperti ini ternyata bukan marked by the intense role sesuatu yang berdiri sendiri, namun of rationalism. Despite the berpaut erat dengan konstruksi nalar proofs made by modernism modernitas yang ditandai oleh showing that it is capable to kuatnya peran rasionalisme. encourage the capacity Meskipun modernisme human beings have to membuktikan dirinya mampu evaluate the history they mendorong umat manusia untuk make, acute environmental mempunyai kesanggupan mengevaluasi sejarah yang telah damage, systemic unjust dibangunnya. Namun, kerusakan alam Goenawan Mohamad webs giving birth to yang akut, jaring-jaring ketidakadilan sistemik yang poverty, and warfare from small to large scales melahirkan kemiskinan dan peperangan dari skala become the sides undeniably ”attached to” yang kecil, hingga besar menjadi sisi-sisi yang tidak modernity. And religions, as often presented by bisa dipungkiri banyak ”menempel” pada modernitas. their elites, often cannot go beyond modern frame Dan agama, sebagaimana acapkali ditampilkan oleh work and serve as a solution of existing problems. para elitnya, sering tidak bisa melampaui nalar Therefore, Interfidei that so far has made modern dan menjadi jalan keluar dari permasalahan efforts in creating a dialog of religious diversity and yang ada. life in the community, asks numerous social groups, Karena itu, Interfidei yang selama ini in partikular the youths, to reflect back the vision of berusaha mendialogkan berbagai keperbedaan agama religions in the practices of the life of modern serta kehidupan kemasyarakatan, mengajak berbagai community. The reflection carried out at the office of kelompok sosial, terutama kaum muda, untuk Interfidei is given the theme ”Asking the Meaning of merefleksikan kembali visi agama dalam praktik Religion in a Paradoxical Modern Community.” hidup masyarakat modern. Refleksi yang Goenawan Mohammad, a cultural observer, diselenggarakan di kantor Interfidei ini diberi judul specifically came to this reflection program ”Mempertanyakan Makna Agama dalam Masyarakat Modern yang Paradoksial.” Secara khusus budayawan moderated by Suhadi, a staff of Interfidei. The Goenawan Mohamad datang untuk refleksi ini yang program carried out in “lesehan”-manner (by sitting dimoderatori oleh Suhadi, staf Interfidei. Kegiatan on the floor) on February 6, 2006 was attended by yang diselenggarakan secara lesehan pada 6 Pebruari more and less 75 participants, most of whom were 2006 tersebut dihadiri tidak kurang dari 75 peserta, youths from various religious backgrounds, study sebagian besar anak muda dari berbagai latar agama, focuses, and movements. This reflection asked a lokus kajian serta gerakan. Refleksi ini mengajukan question as to how to develop a new point of view to pertanyaan bagaimana membangun cara pandang religions encouraging openness and honesty while baru terhadap agama-agama yang mendorong also maintain the traditional wisdom brought by keterbukaan, kejujuran dan sekaligus memelihara religions in the present life. Further, we also need to
G
Edisi Juni 2006
15
Interfidei newsletter
Kronik kearifan tradisional yang dibawa oleh agama-agama dalam kehidupan saat ini. Lebih lanjut bagaimana menterjemahkan kode-kode kebudayaan dalam 'bahasa-budaya' saat ini agar makna dari hidup beragama menjadi sesuatu yang mendorong upaya mempertinggi harkat dan martabat kehidupan manusia dan lingkungannya. Salah satu usul kunci dari Goenawan, sebagaimana ia kutip dari Gianni Vattimo, adalah mendudukkan dulu kenyataan bahwa agama itu adalah tafsir. Karena tafsir, maka baru memungkinkan kita melakukan rekonstruksi visioner keagamaan kita, dari kebekuan dan carut marut tafsir-tafsir sebelumnya. Vatimmo bersama Richard Rorty dan Santiago Zabala menuliskan pemikiran dan diskusi mereka dalam buku kecil berjudul the Future of Religion (Masa Depan Agama). Di bagian terakhir buku ini, mereka mengajak kita mempertanyakan what is religion's future after methaphysics? (apa masa depan agama setelah metafisika?). Dengan pertanyaan ini mereka ingin mengajak kita melampaui persoalan-persoalan metafisik, untuk melaju ke problem-problem historis dan ”kongkrit”. Sebab, eksistensi kita tidak lagi diukur oleh kondisi generik dan metafisik, tapi oleh kondisi historis dan ”kongkrit”. Sebuah klaim metafisik, seperti ungkapan nur noch ein Gott kann un retten (hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita), menjadi
question how to interpret cultural codes in the 'language-culture' at present so that the meaning of religious life becomes something that encourages efforts to enhance dignity and pride of human life and his/her environment. One of key suggestion from Goenawan, as he quoted from Gianni Vattimo, is to position first the reality that religions are interpretations. Because they are interpretations, it is possible for us to do our religiosity's visionary reconstruction out of the rigidity and unruliness of the previous interpretations. Vatimmo with Richard Rorty and Santiago Zabala wrote their thinking and discussion in a small book titled The Future of Religion. In the end of the book, they ask us to question What is religion's future after metaphysics? With this one question, they want to ask us to see beyond metaphysical problems, to look at historical and “concrete” problems, as our existence is no longer measured by generic and metaphysical conditions, instead by historical and ”concrete” one. A claim of metaphysic, just like a saying nur noch ein Gott kann un retten (Only God can save us), is meaningless in our post-modern life where God has been ”murdered” by Nietzsche.
tanpa makna dalam kehidupan post-modern kita dimana Tuhan telah ”dibunuh” oleh Nietzsche. 5. Discussion on Ahmadiyah 5. Diskusi tentang Ahmadiyah
P
engetahu an tentang suatu komunitas merupakan salah satu upaya untuk mengklarifikasi kesalahpahaman, yang kerapkali berujung pada kekerasan seperti yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di beberapa tempat di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Institut DIAN / Interfidei, bekerjasama dengan Jemaat Ahmadiyah mengadakan diskusi lesehan dengan tema: “Aqidah dan Sejarah Jemaat Ahmadiyah di Indonesia”. Diskusi yang diadakan pada Jumat, 21 April 2006 di Kantor DIAN/Interfidei ini menghadirkan Mirajudin Sahid, Sy, Mubaligh Markazi Jemaat Ahmadiyah Wilayah Yogyakarta dan Nur Sugianto, S.Ag, Sekretaris Tabligh Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta. Mirajudin menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan aqidah antara Jemaat Ahmadiyah dengan umat Islam lainnya. Bentuk kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah kemungkinan besar disebabkan salah paham
16
Edisi Juni 2006
K
nowledge on a community could serve as an effort to clarify misunderstandings, which at times ends in violence as what is experienced by Ahmadiyah followers in numerous locations in Indonesia. Re the issue, Institut DIAN / Interfidei, in collaboration with Ahmadiyah congregation held a discussion with the theme: “Aqidah and the History of Ahmadiyah Congregation in Indonesia”. The discussion held on Friday, 21 April 2006 at the office of DIAN/Interfidei presented Mirajudin Sahid, Sy, Mubaligh Markazi Ahmadiyah Congregation in Yogyakarta region and Nur Sugianto, S.Ag, Tabligh Secretary of Ahmadiyah Congregation in Yogyakarta. Mirajudin highlighted the fact that there is actually no difference in aqidah between Ahmadiyah and other congregations in Islam. The kind of violence experienced by Ahmadiyah congregation is most probably caused by misunderstanding in different interpretations in
Edisi Juni 2006
Snapshoot
terhadap perbedaan tafsir berkaitan dengan Nabi relation to Prophet Mohammad as khatamul anbiya. Muhamad sebagai khatamul anbiya. Kata ini oleh This word is interpreted by the followers of Jemaat Ahmadiyah tidak ditafsirkan sebagai Ahmadiyah not as the last of the prophets, instead as penutup para nabi melainkan pengikat (cincin) para tie (ring) of the prophets. The word 'Prophet' itself is nabi. Nabi sendiri oleh Jemaat Ahmadiyah dipahami interpreted into two understandings, i.e. the prophets dalam dua pengertian, yaitu nabi yang membawa carrying syariat (Islamic law) and ones not carrying syariat dan nabi yang tidak membawa syariat. Mirza syariat (Islamic Law). Mirza Ghulam Ahmad in this Ghulam Ahmad, dalam hal ini dianggap sebagai context is regarded as a prophet not carrying Islamic Law. Mirajudin's presentation is continued with a nabi yang tidak membawa syariat. brief introduction on the history of Ahmadiyah in Penjelasan Mirajudin dilanjutkan dengan Indonesia by Nur Sugianto. In Nur Sugianto's penjelasan sejarah Ahmadiyah di Indonesia oleh Nur Sugianto. Dalam catatan Nur Sugianto, Jemaat record, Ahmadiyah congregation's existence had been recognized since 1953. The history of Ahmadiyah telah diakui Indonesia even recorded the keberadaannya sejak tahun significant role played by 1953. Sejarah Indonesia Ahmadiyah congregation in the bahkan mencatat peranan Independence war, e.g. Arif anggota jemaat Ahmadiyah Rahman Hakim, who was given dalam perjuangan title AMPERA hero; Wage Rudolf kemerdekaan, antara lain S upratman, composer of Arif Rahman Hakim yang Indonesia Raya (Indonesian diberi gelar Pahlawan anthem), and one of the first RedAMPERA; Wage Rudolf and-white flag wavers. Nur Supratman, pencipta Lagu Sugianto's description on the Indonesia Raya, serta salah history of Ahmadiyah in satu pengibar bendera Foto: Dalam acara diskusi Ahmadiyah Indonesia and Mirajudin's merah putih pertama. explanation on Aqidah depicted the opposite of what Uraian Nur Sugianto berkaitan dengan sejarah Ahmadiyah di Indonesia dan penjelasan Mirajudin have been understood by most perpetrators of tentang Aqidah menggambarkan hal yang sebaliknya violence to the congregation. Thus, the propositions dari yang selama ini dipahami oleh sebagian besar of numerous parties for Ahmadiyah congregation to pelaku kekerasan pada Jemaat Ahmadiyah. Oleh karena return to the true Islam, comprising proposition of itu usulan beberapa pihak agar Jemaat Ahmadiyah the Minister of Religious affairs to establish a new kembali ke Islam yang benar, termasuk usulan Menteri religion, pretty much reflect misapprehension on Agama untuk mendirikan agama baru, mencerminkan what is believed and hoped by the congregation of ketidakpahaman terhadap apa yang dihayati, dipercayai Ahmadiyah. It then raises a number of critical oleh Jemaat Ahmadiyah. Hal ini selanjutnya questions from numerous participants of discussion menimbulkan pertanyaan kritis dari beberapa as to why violence has just been experienced by peserta diskusi mengenai mengapa kekerasan Ahmadiyah congregation recently. tersebut dialami oleh Jemaat Ahmadiyah baru baru Why and how this misunderstanding is ini saja. maintained and even spread is planned to be made Mengapa dan bagaimana kesalahpahaman the next topic of discussion from the perception of ini dipelihara bahkan disebarluaskan direncanakan sociological, economic, and political studies (Lian menjadi topik diskusi lesehan berikutnya dengan Gogali)[] menggunakan kajian sosiologi, ekonomi, politik (Lian Gogali)[]
JEMAAT AHMADIYAH QADIYAN JEMAAT AHMADIYAH QADIYAN
Edisi Juni 2006
17
Interfidei newsletter
Potret
B
aru-baru ini aktifitas Gunung Merapi yang
R
Aksi kekerasan yang menimpa para pengikut Jemaat Ahmadiyah khususnya aliran Qadiyan terjadi di beberapa daerah, seperti di Kuningan, Bogor, Lombok, dan Cianjur. Aksi kekerasan tersebut dilakukan karena Jemaat Ahmadiyah Qadiyan dianggap sebagai aliran sesat. Mengapa Ahmadiyah Qadiyan dianggap sesat atau pemahaman apa yang menjadikan mereka dicap sesat? Sebenarnya Jemaat Ahmadiyah Qadiyan itu gerakan apa? Apa misi Jemaat ini dan apa saja aktifitasnya dalam masyarakat?
ecently a dangerous volcanic activity of Merapi forces people surroundings evacuated. Attention and help for refugees is urgent. This situation gets attention of friends from Ahmadiyah to help. According to one friend of Ahmadiyah, they made public logistical service and medical service for the refugees. They cooperate with PMI (IndonesiaRes Cross) Yogyakarta. They do not bring their Ahmadiyah identity because they do for humanity itself. In Yogyakarta they usually do free medical service cooperating with university student and blood donor cooperating with PMI. They also did the humanity activity in Aceh after Tsunami earthquake. They helped refugees with making public logistic and medical service. They were under Humanity First or in Indonesia known as Yayasan Utama Kemanusiaan Indonesia. However, peopledoing violence to them does not know their humanity activities. The violence action to Ahmadiyah followers, especially Qadiyan, happened in some areas such as Kuningan, Bogor, Lombok and Cianjur. The violence happened because Ahmadiyah Qadiyan is stated as a wrong sect and deviate. Why they are stated as a wrong sect or what kind of religious ideology makes them wrong? Then, what is Ahmadiyah Qadiyan? What is its mission and social activities?
Ahmadiyah Qadiyan itu apa?
What is Ahmadiyah Qadiyan?
membahayakan menyebabkan penduduk di sekitarnya mengungsi. Perhatian dan bantuan terhadap pengungsi menjadi sangat urgen. Kondisi ini tidak luput dari perhatian teman-teman Ahmadiyah untuk melakukan kegiatan bantuan kemanusiaan. Menurut seorang teman Ahmadiyah, mereka membuat dapur umum dan layanan medis bagi para pengungsi. Dalam kegiatan bantuan ini mereka bekerjasama dengan PMI Yogyakarta. Sengaja mereka tidak mengusung bendera Ahmadiyah karena, menurut teman Ahmadiyah, mereka lebih mengedepankan sisi kemanusiaan. Selain membantu para pengungsi sekitar Gunung Merapi, untuk daerah Yogyakarta, mereka juga melakukan layanan medis gratis yang biasanya bekerjasama dengan mahasiswa KKN atau donor darah yang bekerjasama dengan PMI. Kegiatan sosial kemanusiaan ini juga dilakukan ketika terjadi gempa tsunami di Aceh1. Dengan bendera Humanity First atau di Indonesia dikenal dengan Yayasan Utama Kemanusiaan Indonesia, mereka memberikan bantuan logistik kepada para pengungsi melalui kegiatan dapur umum dan bantuan medis. Namun aktifitas mereka yang mengedepankan kemanusiaan nampaknya tidak terdengar oleh pihak-pihak yang melakukan aksi
kekerasan terhadap mereka.
J
emaat Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1889 di Qadiyan, India. Dalam perkembangannya Jemaat ini pecah menjadi dua aliran, yaitu aliran Lahore dan Qadiyan. Perpecahan terjadi setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal karena adanya perbedaan pandangan. Aliran Lahore berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah
A
hmadiyah is a sect in Islam founded by Hazrat Mirza Ghulam Ahmad in Qadiyan, India, 1889. In history this Jemaat separated into two sects, Lahore and Qadiyan. The separation happened after Mirza Ghulam Ahmad died because of differences regarding Mirza Ghulam Ahmad prophet hood. The Lahore states that Mirza Ghulam
1. Lihat Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, Pusat Data dan Analisa Tempo, Jakarta tahun 2005 hal.139. Lihat 2. Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia yang ditulis Iskandar Zulkarnain, LKiS Yogyakarta 2005, hal. 12. 3. Oleh Pemerintah RI, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. (sumber: www.alislam.org).
18
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006
nabi tetapi pembaharu sedangkan aliran Qadiyan berpandangan bahwa ia adalah nabi yang
meneruskan syari'at yang dibawa Nabi Muhammad. Ahmadiyah Qadiyan masuk ke Indonesia pada tahun 19252. Di Indonesia Jemaat ini dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di Parung, Bogor. Jemaat ini menjadi organisasi legal sejak zaman kolonial pada tahun 1929..3 Misi Jemaat Ahmadiyah Qadiyan Misi yang diemban Jemaat ini adalah mendakwahkan Islam secara damai tanpa kekerasan. Semboyan mereka adalah Love for All, Hatred for None (Cinta kasih untuk semua, kebencian bukan untuk siapapun). Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan yang mengupayakan perdamaian semesta dapat diterima masyarakat jika didakwahkan dengan cara yang damai pula.
Snapshoot
Ahmad is not a prophet but a reformer while The Qadiyan states that he is a prophet who continues Islamic law/ syari'at from Prophet Muhammad. Ahmadiyah Qadiyan came to Indonesia in 1925 and known as Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Its center is in Parung, Bogor. This Jemaat became legal organization since Dutch colonial era in 1929. The Mission of Jemaat Ahmadiyah Qadiyan
This Jemaat has a mission to spread Islamic teachings peacefully, without violence. They have a motto: Love for All, Hatred for None. According to them, people can accept Islam as a peaceful religion that tries to achieve universal peace if it is taught through peaceful ways. Social Activities
Aktifitas Sosial
I s l a m i c
Dakwah Islam yang missionary from dilakukan Ahmadiyah Qadiyan Ahmadiyah Qadiyan didukung dengan programis supported by program kemanusiaan yang humanity programs dikenal dengan program k n o w n a s “Humanity First”, program yang “Humanity First” membantu masyarakat tanpa that help people with memandang kepercayaan/ agamanya. Dalam melakukan any background of aktifitasnya Jemaat ini religions. This mempunyai pendanaan sendiri Jemaat does it with y a n g d i p e r o l e h d a r i p a r a Foto: Pelayanan Medis Gratis dari Warga Ahmadiyah its own funding from anggotanya. Banyak sekali jenis iuran yang berlaku its members. There are many subscriptions in di lingkungan Ahmadiyah. Ahmadiyah. Jemaat ini juga mempunyai kontribusi This Jemaat also has a contribution in dalam penyiaran Islam di Eropa, Afrika dan belahan Islamic spreading in Europe, Africa dan other dunia lain yang dilakukan melalui masjid-masjid places through its mosques as the missionary sebagai pusat dakwah. Kemudian mereka juga menterjemahkan al-Qur'an dalam berbagai bahasa, center. They also translate al-Qur'an into many melakukan dakwah melalui stasiun televisi mereka, languages, do Islamic teachings through their television channel, and educational institutions. dan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Mengapa Ahmadiyah Qadiyan dianggap sesat?
A
hmadiyah Qadiyan dianggap sesat berkenaan dengan pemahamannya tentang posisi kenabian/ kerasulan Mirza Ghulam Ahmad. Aliran Qadiyan meyakini bahwa Mirza
Why is Ahmadiyah Qadiyan stated wrong and deviate?
A
hmadiyah Qadiyan is stated wrong and deviate because of their understanding about Mirza Ghulam Ahmad prophecy. The
Edisi Juni 2006
19
Potret
Interfidei newsletter
Ghulam Ahmad adalah nabi/ rasul, Al-Masih yang Qadiyan believes that Mirza Ghulam Ahmad as a dijanjikan, dan Imam Mahdi. Ia diyakini sebagai prophet, a promised Al-Masih, and Imam Mahdi. He penolong yang akan mempersatukan umat manusia is believed as a helper who will unite all people melalui ajaran Islam. Ia tidak membawa syariat baru through Islamic teachings. He does not bring a new tetapi meneruskan syariat yang dibawa oleh Nabi Islamic law/ syari'at but continues syari'at of Muhammad. Pemahaman kata khaatam an- Prophet Muhammad. Their understanding of word nabiyyin menurut mereka berbeda dengan khaatam an-nabiyyin differs from understanding of pemahaman ulama non-Ahmadiyah Qadiyan. non-Ahmadiyah Qadiyan ulama/ religious leaders. Menurut mereka kata khaatam an-nabiyyin According to them, the word khaatam an-nabiyyin bermakna “yang paling mulia” atau Muhammad means “the most honorable” or Muhammad is the dianggap sebagai nabi yang paling mulia/ utama. most honorable prophet. Therefore, it is possible for Jadi posisi kenabian Mirza Ghulam Ahmad Mirza Ghulam Ahmad to be the next prophet after dimungkinkan. Sedangkan menurut ulama non- Muhammad. Whereas the non-Ahmadiyah Ahmadiyah Qadiyan kata khaatam an-nabiyyin Qadiyan ulama/ say that the word khaatam andimaknai sebagai nabi terakhir atau penutup para nabiyyin means the last prophet or the closing nabi sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya nabi prophet so that it is impossible for the next prophet atau rasul setelah Muhammad. Pengakuan terhadap after Muhammad. Their belief of Mirza Ghulam kenabian Mirza Ghulam Ahmad ini mendapat Ahmad prophecy is rejected by other Islamic tentangan, penolakan bahkan tindakan represif dari groups, even they repressed the Ahmadiyah kelompok Islam lain. Pada skala internasional followers. For international level, Rabithah Alam dalam muktamar bulan April 1974 Islami in the international Rabithah Alam Islami di Mekah, Arab conference on April 1974 in Saudi memutuskan Ahmadiyah sebagai Mekah, Saudi Arabia decided kufur, keluar dari Islam. Muktamar ini juga that Ahmadiyah is kufur, meminta kaum Muslim untuk tidak infidel, out of Islam. The bermasyarakat dengan pengikut conference also asked Ahmadiyah.4 Muslims to not make a social Tindakan represif, pengkafiran relationship with Ahmadiyah terhadap pengikut Ahmadiyah Qadiyan followers. menjadikan kelompok ini bersifat The repressive actions eksklusif. Ada aturan bagi pengikut to Ahmadiyah Qadiyan Ahmadiyah bahwa mereka hanya followers make this group diperbolehkan menjadi ma'mum sholat dari exclusive. There is a rule for sesama pengikut Ahmadiyah. Sebelumnya Foto: Mirza Ghulam Ahmad Ahmadiyah followers that in tidak dilarang menjadi ma'mum sholat sholat/ praying they are only kepada golongan lain. Tapi karena golongan lain permitted to be ma'mum/ follower if the imam/ mengkafirkan mereka, larangan bermakmum leader is an Ahmadiyah follower. They are not 5 kepada golongan lain muncul . Eksklusifitas dalam prohibited to be ma'mum of imam from other Islamic beribadah ini juga menimbulkan permasalahan groups before other Islamic groups states dengan kelompok muslim lain di beberapa tempat, Ahmadiyah as kafir/ infidel. Their exclusivity in secara ekstrim dihalalkannya tindak kekerasan. ritual also makes trouble with other Islamic groups Kekerasan baik fisik maupun psikis terhadap in some places and even they get violence from other Ahmadiyah tidak dapat dibenarkan. Disini dialog groups. diantara semua pihak sangat diperlukan sebagai The violence to Ahmadiyah cannot be solusi bagi permasalahan ini.[ ] allowed. Here, dialogue among all elements in society is necessary as a solution.[ ]
4 5.
. Lihat Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, Pusat Data dan Analisa Tempo, Jakarta, tahun 2005 hal. 53. Ibid hal.121.
20
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006 Prima W. Putra, Bangkit dari Reruntuhan Kerusuhan Mataram
D
alam usianya yang masih cukup muda, sosok ini terkesan unik. Mungkin di kalangan tokoh dan aktivis lintas iman dari generasi yang lebih awal, kenyataan ini tidaklah aneh, misalnya seorang bikkhu memakai jubah kuning kecoklatan, kiai memakai sarung dan peci, atau pastor memakai jubah. Kesan keunikan tersebut terasa kuat di kalangan kelompok anak muda lintas agama yang seringkali menanggalkan identitas atau baju “keagamaannya”. Prima Putra Namun tidak untuk figur yang memiliki nama lengkap Lalu Prima Wira Putra. Laki-laki yang akrab dipanggil Prima ini sering memakai gamis atau jubah panjang lengkap dengan pecinya, termasuk dalam pertemuan-pertemuan jaringan lintas agama tingkat nasional. Menurut lulusan Universitas Mataram yang lahir di daerah Praya, Lombok Tengah, 40 tahun lalu ini, kita tidak harus menanggalkan identitas baju “keagamaan” untuk bergaul secara lugas dengan orang-orang yang berlainan agama dan pemahaman keagamaan. Prima ingin tetap tampil apa adanya, menjadi diri sendiri. Kalau Anda bertemu hanya singkat, mungkin Anda tidak menyadari bahwa Prima memiliki akar kultural yang sangat kuat dengan tradisi dan kesenian lokal Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia mulai dikenalkan orang tuanya dengan kebudayaan Sasak yang kental. Ayahnya yang seniman terkenal di NTB terus mendorong Prima tidak hanya lihai menguasai kesenian Sasak, tapi juga berprestasi dalam bidang kesenian di tingkat daerah dan nasional. Pada usia remajanya, Prima bergabung dengan berbagai sanggar seni. Ketika mulai aktif di organisasi kemahasiswaan, dia mulai berjejaring dengan lembaga swadaya masyarakat. Pembangunan di masa Orde Baru di banyak tempat, tak terkecuali di NTB, jarang memperhatikan dampak negatif lingkungan dan malah tidak jarang menggusur orang-orang miskin. Dalam kondisi seperti ini Prima terpanggil untuk bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada tahun 1997. Bersama para aktivis di Mataram, Prima aktif melakukan advokasi dan pembelaan dalam beberapa kasus penggusuran. Keprihatinannya yang mendalam dalam urusan k erusakan lingkungan hidup
Feature
Prima W. Putra, Rising from the Ruins of Mataram Riot
I
n his quite young age, this figure seems quite unique. Perhaps in the circle of interfaith figures and activists of older generations, he is not such a phenomenon, just like a monk would wear his yellowish brown robe, or a kiai (Islamic priest) wearing sarong and a cap, or a pastor wearing a robe. This unique impression seems very strong in inter-faith youth circle who often take off their identities or attires of “religiosity”. However, it is not the case with the figure with a complete name Lalu Prima Wira Putra. This man often called Prima often wears gamis or a long robe complete with its cap, including in interfaith meetings in the national level. According to the graduate of Mataram University who was born in Praya, Lombok Tengah, 40 years ago, we do not have to take off the identity of our “religious” attire to interact directly with people of different religions and religious understandings. Prima wants to appear as he is, to be himself. If you meet him in a short time, you might not realize that Prima has a very strong cultural root with local traditions and arts. Since his childhood, he was introduced to a thick Sasak culture by his parents. His father, a famous artist in NTB, (West Nusa Tenggara) kept on encouraging Prima not only to master Sasak arts, but also put his name in artistic field in the regional and national levels. In his teens, Prima joined various art studios. When he started to be active in student organization, he started his own networking with NGOs. The development during the New Order era in many locations, NTB was not an exception, rarely paid any attention to negative impacts on environment and very often evicted the poor. In such a condition, Prima felt he was called to join Wahana Lingkungan Hidup (WALHI / Environment Institute) in 1997. With activists in Mataram, Prima actively carried out advocacy and defense against numerous cases of eviction. His profound concern in the issue of environment damage His great concerns
Edisi Juni 2006
21
Fitur mengantarkannya menjadi anggota Majelis Kode Etik Nasional di WALHI. Konflik identitas simbolik keagamaan yang terjadi di Ambon pada penghujung akhir tahun 1990-an akhirnya memancing konsolidasi komunalisme keagamaan di Lombok. Sesuatu yang sangat mengkhawatirkan Prima, aktivis muda yang semakin matang ini. Tak pelak, akhirnya peristiwa kekerasan berlangsung di Mataram pada pertengahan Januari 2000. Banyak tempat ibadah dibakar massa. Tidak itu saja, rumah-rumah warga kelompok agama tertentu juga dijarah massa, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh Prima dan banyak orang-orang Mataram sendiri. Kerusuhan itu berawal dari digelarnya aksi solidaritas kepedulian terhadap peristiwa konflik Ambon. Tokoh-tokoh elit keagamaan menyelenggarakan pertemuan besar di lapangan umum Mataram serta menggerakkan ribuan massa. Seruan lantang yang berkumandang silih berganti dari satu tokoh bersambung ke tokoh lain semakin memanaskan suasana di lapangan terbesar di Mataram di siang hari itu. Entah pekikan penuh dendam itu disadari atau tidak oleh lisan para elit agama yang seharusnya menyerukan kesejukan, tapi, pada akhirnya, meskipun acara belum selesai, massa bergerak keluar. Awalnya mereka hanya mulai mengambil batu dan tergerak melempari rumah ibadah agama tertentu. Tetapi, tidak lama kemudian keganasan massa menyeruak dan meluas ke hampir selurus sisi Lombok. Kondisinya semakin carut marut karena tidak ada tindakan berarti dari kepolisian. Puluhan tempat ibadah agama tertentu dibakar dan toko-toko dijarah serta dibakar massa. Teater kebrutalan berbasiskan emosi simbolik keagamaan menjadi tontonan yang mencekamkan masyarakat. Tentu, sebenarnya di lubuk hati warga Lombok tidak menginginkan semua ini. Tapi mereka hanya bisa diam sambil meratapi nasibnya di barak-barak pengungsian, sebagian harus menyeberang laut mengungsi ke Bali atau Jawa. Sementara trauma dan dampak ekonomi dari peristiwa bom di sebuah tempat pariwisata pada tahun 1997 masih mereka rasakan. Kini, harta dan sebagian jiwa sanak saudaranya menjadi korban dalam peristiwa yang kemudian disebut peristiwa 171 (17 Januari) yang memalukan, yang dipelopori oleh para elit agama. Sosok yang sangat dihormati lantaran biasanya tak henti menyerukan nama keagungan Tuhan. Di tengah kepanikannya dalam kerusuhan tersebut, Prima bersama aktivis serta tokoh-tokoh agama berpikir keras bagaimana mengambil
22
Edisi Juni 2006
Interfidei newsletter for environmental damage brought him to his position as member of National Ethical Code Assembly in WALHI. Religious (symbolic identity) conflict occurring in Ambon in the end of 1990s in the end elicited consolidation of religiosity communalism in Lombok. It was something worrying for Prima, a young activist becoming more mature. Unavoidably, violence took place in Mataram in midst of January 2000. Numerous houses of prayers were burnt down by the mass. In addition, houses of people of a certain religion were also plundered, something never imagined by Prima and many people from Mataram itself. The riot
originated from a solidarity action towards conflict in Ambon. Religious elites organized a mass meeting in Mataram square and mobilized thousands of people. Yells shouted continuously by one figure followed by another heated up the situation in the biggest field in Mataram that afternoon. There was no way to tell whether the yells full of vengeance is realized or not by religious elites who should have voiced coolness. In the end, although the program had not ended yet, the mass marched outward. In the beginning, they picked up stones and were moved to throw them to houses of prayers of a certain religion. Nevertheless, it did not take a long time before the mass expressed their viciousness and soon the riot spread out to nearly all corners of Lombok. The condition was getting worse as there was no action taken by the police department. Tens of certain religion's houses of prayers were burnt down while stores were plundered and burnt down by the mass. This theatre of brutality based on religious symbolic emotions become a show frightening the people of Lombok. Of course, in point of fact, the people of Lombok did not want all of the commotion. Nevertheless, there was nothing they could do but be quiet and mourn over their fate in their refugee barracks, while hundreds had to cross the sea to find shelters in Bali or Java. At that same time, trauma and economic impact of the bombing in a tourism object in 1997 was still felt. To date, the riot was referred to as Tragedy 171 (17 January) victimizing wealth and lives of hundreds. What was embarrassing about the riot was that it was an event provoked by religious elites: figures highly respected as they usually never stop in voicing God's great name. In his panic in midst of the riot, Prima and
Edisi Juni 2006
Reflection
tindakan yang tepat dalam suasana yang tak menentu seperti itu. Setelah melakukan tindakantindakan emergency, Prima menggabungkan diri bersama pemimpin agama dan tokoh masyarakat dalam forum dialog untuk mencari jalan keluar dari konflik yang telah terjadi serta menyelenggarakan tindakan preventif agar tidak terulang. Akumulasi pertemuan-pertemuan ini kemudian mengkristal menjadi kelompok yang menyebut diri REDHAM (Relawan Demokrasi dan Hak Azasi Manusia). Seperti namanya, Redham, kelompok ini diharapkan bisa meredam atau meminimalisir kesalahapahaman antar agama dan konflik. Setelah beberapa saat, REDHAM semakin solid, bahkan mendapatkan dukungan dari lembaga swadaya di luar NTB, seperti CD Bethesda, Dian-Interfidei dan Ciscor. Tidak ingin kecolongan munculnya konflik b a r u , R E D H A M s e c a r a b e r a n g s u r- a n g s u r menyelenggarakan program-program dialog dan pemulihan korban kerusuhan “171”. REDHAM tidak saja berusaha “mengobati” trauma korban, tapi sekaligus juga memberikan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menerima perbedaan agama sebagai sebuah kewajaran di Mataram. Berbagai pendekatan dilakukan terutama yang langsung melibatkan partisipasi masyarakat di lokasi-lokasi dimana kemajemukan agama menjadi realitas kehidupan sehari-hari, seperti dialog terbuka, aksi sosial, kampanye media dan lain-lain. Secara berangsur-angsur kondisi sosial masyarakat Mataram mulai pulih. Antar kelompok masyarakat yang berbeda agama mulai terbangun saling kepercayaan. Pengalaman ini tidak saja berharga bagi Prima, tokoh agama, tokoh masyarakat dan para aktivis perdamaian di NTB saja, mungkin juga menjadi pengalaman berharga bagi kita semua yang mencintai
perdamaian diatas egoisme komunalisme berbasis identitas apapun. Selamat berjuang terus kawan kami Prima dan para aktivis perdamaian di Lombok....!!!
other activists as well as other religious figures thought relentlessly on how to take an appropriate action in such a chaotic situation. Upon taking emergency measures, Prima joined other religious leaders and community figures in a dialog forum to find solution of the conflicts already occurred and to do preventive actions so that the tragedy does not repeat itself. Accumulation of these meetings then crystallized into a group calling itself Relawan Demokrasi dan Hak Azasi Manusia (REDHAM/Volunteers for Democracy and Human Rights). As its name, Redham (to restrain), the groups is expected to be able to restrain or minimize interfaith misunderstanding and conflicts. After some time, REDHAM is getting more solid, and even gained support from NGOs from outside of NTB, such as from CD Bethesda, Dian-Interfidei, and Ciscor. Not wishing to give any opportunity for emergenc e of a new conflict, REDHAM implemented dialog and recovery programs for survivors of “171” riots in some stages. REDHAM does not only make efforts to “cure” trauma of the survivors, but raises as well community awareness on the importance of accepting diversity in religions as a normality in Mataram. Various approaches are made, especially those involving directly participation of community in the locations where religious plurality has become daily life reality, such as an open dialog, social action, media campaign, etc. Gradually, social order of Mataram people starts to recover. Trust starts to be built between different religious communities. This experience is not invaluable only for Prima, religious figures, community leaders, and activists of peace in NTB, but is also a valuable experience for us all who love peace above selfishness of communalism based on any identity. Keep on fighting, our dear friend Prima and all activists of peace in Lombok....!!![]
Athfal Athfal
A
thfal, dalam bahasa Arab, bentuk jamak kata thifl, berarti anak-anak. Kata ini anak, mewakili satu masa dimana manusia memiliki kebebasan terbesar. Karena itulah, Naguib Mahfudz, sastrawan tersohor Mesir, menulis cerpen berjudul jannah al-athfal (surga anak-anak). Dalam cerpen Mahfudz, seorang anak laki-
A
thfal in Arabic is the plural form of the word thifl, which means a child. This one word, child, represents one time when human beings have our biggest freedom. This is the reason Naguib Mahfudz, Egyptian famous man of letters,
Edisi Juni 2006
23
Refleksi laki memberontak, bertanya, kepada ayahnya, mengapa kelasnya harus dipisah dengan kelas seorang karib perempuannya yang berbeda agama saat pelajaran agama. Padahal, di kelas pelajaran umum, mereka dipersatukan. Sang ayah menanggapi protes anaknya, “Kamu masih kecil, anakku; nanti kalau sudah besar kau akan tahu”. Jangan-jangan bukan si anak yang masih kecil, tapi pikiran ayah, kita, yang terlalu tua. Sehingga pengkotak-kotakan menjadi sesuatu yang wajar. Bukankah diskriminasi, berakar mendalam pada pengkotak-kotakan manusia, yang kemudian berujung pada ketidakadilan. Iran dan Mesir adalah dua negara berpenduduk Muslim besar, yang disebut pertama lebih bercorak Syiah, sedang yang kedua lebih Sunni sebagaimana negeri kita, Indonesia. Perkembangan sastra dan seni, termasuk sinema, di kedua negara tersebut menjadi cermin penting bagi kita tentang sisi-sisi diskriminasi. Sebab, sebagaimana di negeri kita, akumulasi otoritas agama, terus mendesak, dan sastra menjadi ruang pemberontakan yang lebih “aman”, ketika ruangruang lain dibungkam, tidak saja oleh negara, tapi juga oleh otoritas keagamaan masyarakat sipil. Dua film garapan Majid Majidi Les Enfants du Ciel (Children of Heaven) (1997) dan Baran (2001) memberi pelajaran penting hidup sehari-hari masyarakat Iran. Melalui sineas Iran yang karyanya mendapatkan penghargaan Best Film dalam Festifal Film internasional tahun 1999 di Warsaw Polandia ini kita mendapat pengalaman berharga tentang ketidakadilan sehari-hari. Les Enfants du Ciel dengan sangat kuat menampilkan problem ekonomi masyarakat kelas bawah, disajikan dengan sentuhan yang sangat mengharukan. Baran memberi pelajaran bahwa diskriminasi tidak saja terjadi sebagaimana gambaran HAM model Amerika dan Eropa Barat yang mengedepankan hak-hak sipil dan politik. Namun, Baran sekaligus menampilkan kesulitan ekonomi kaum buruh bangunan yang tumpang tindih dengan problem gender. P e m b a c a a n F a w z i a A l Suhadi Ashmawi-Abouzeid terhadap karya-karya Naguib Mahfuz juga memberi gambaran tajam keterkaitan antara diskriminasi, gender, dan kelas sosial. Fawzia dalam La Femme et L'Egypte Moderne (Perempuan Mesir Modern) menggolongkan tiga kelas sosial perempuan dalam Triloginya Mahfuz: la femme de
24
Edisi Juni 2006
Interfidei newsletter
wrote a short story titled Jannah al-athfal (Heaven of Children). In Mahfudz' short story, a boy rose up, asking his father why his class had to be separated from his best female friend's class who had a different religion during a religion lesson, whereas in general subjects' classes, they were put in one class. The father responded to his child's protest by saying, “You are still very young, my child. When you grow up later, you will understand”. Perhaps it is not the youth of the child, but the mind of the father, us, tat is too old. How many of us think that compartmentalizing is something normal? Doesn't discrimination deeply root in compartmentalization of human beings, which then culminates in injustice? Iran and Egypt are two countries with majority Moslem population; the first is more of Shiite pattern, while the second is more of Sunni as our country, Indonesia. Development of literature and art, comprising cinema, in both countries serves as a significant reflection for us on discrimination aspects. This is due to one reason, as in poor country: accumulation of religious authority keeps on pushing forward, and literature serves as a “safer” space for rebellious mind, when other spheres are kept mute, not only by the state, but also by civil society's religious authority. Two films produced by Majid Majidi’s Les Enfants du Ciel (Children of Heaven) (1997) and Baran (2001) provide us with important lessons on the daily life of Iran community. Through this Iranian film maker whose work gained the Best Film prize in International Film Festival in 1999 in Warsaw, Poland, we could gain a valuable experience on daily injustice. Les Enfants du Ciel strongly presents economic problems of the grass root community, presented with a touching hint. Baran teaches us that discrimination does not merely take place as depicted by American and Western European human rights model that put forward civilian and political rights. Nevertheless, Baran presents economic difficulties of laborers overlapping with gender issue. The reading of Fawzia Al AshmawiAbouzeid of Naguib Mahfudz' works also provides us with sharp depiction on the relation among
Edisi Juni 2006 la classe aristocratique (perempuan kelas aristokrat); la femme de la classe moyenne (perempuan kelas menengah); la femme de la classe proletaire (perempuan kelas proletar). Sampai disini, kita mendapat banyak pengalaman apa-apa yang turut menyelimuti problem diskriminasi. Sehingga diskriminasi terhadap kebebasan beragama, memang sepatutnya tidak dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. Kenyataan bahwa Konghucu belakangan ini semakin mendapat angin segar kebebasan dari negara merupakan sebuah perkembangan berharga. Tapi mengapa ini tidak segera berlanjut dalam paradigma kebebasan beragama yang utuh? Mengapa keyakinan religi orang-orang Dayak meratus di Kalimantan atau suku-suku lain yang “menolak” pembangunan tidak dihargai? Mengapa tokoh-tokoh kelompok Bissu yang dalam pemahaman umum status gender-nya “membingungkan” acapkali dipinggirkan oleh negara maupun kelompok sipil yang lain? Mungkin aspek-aspek diskriminasi selalu berpaut erat dengan aspek-aspek ekonomi dan gender. [ ]
Agenda discrimination, gender, and social class. Fawzia in La Femme et L'Egypte Moderne (A Modern Egyptian Woman) classifies three social classes for women in Mahfuz' trilogy: la femme de la classe aristocratique (aristocratic women); la femme de la classe moyenne (middle-class women); la femme de la classe proletaire (proletarian women). Up to this point, we have gained a lot of experience on what covers the issue of discrimination. Thus, discrimination against freedom of religion should not perceived as one independent entity. The fact that Confucianism lately is given fresh air of freedom from the state is an invaluable development. However, we should ask why it does not go on into a whole freedom of religion paradigm? Why is it that the faiths of Dayak Meratus people in Kalimantan or other tribes “declining” development is not appreciated? Why are the
figures of Bissu community whose gender status are perceived by the common people as “confusing” at times set aside by the state or other civilian groups? Perhaps discrimination aspects are always closely related to economic and gender aspects. [ ]
Pelatihan: Pelatihan Media bagi Aktifis Perdamaian Lintas Iman yang dilaksanakan di Jakarta pada bulan Mei 2006, bekerjasama dengan Search for Common Ground in Indonesia.
Training: Media training for activists of Interfaith Peace carried out in Jakarta in May 2006, in collaboration with Search for Common Ground in Indonesia.
Seminar dan Lokakarya: 1. Studi Agama-Agama tanggal 27-30 Juli 2006 di Poso dengan tema: Membongkar Prasangka Menuai Perdamaian. 2. Pertemuan Jaringan Kelompok Antariman di Indonesia, 11 - 14 Juni 2006 di Banjarmasin.
Seminar and Workshop: 1. Study on Religions on 27-30 July 2006 in Poso under the theme: Dismantling Prejudice, Harvesting Peace. 2. Meeting on Indonesian Interfaith Networking, June 11 - 14, 2006 in Banjarmasin.
Penerbitan: Tahun 2006 DIAN Interfidei akan menerbitkan 4 buku baru,yaitu buku God Has Many Names karya John Hick, 2 buku tentang pemikiranpemikiran Th.Sumartana dan buku “Agama dan
Publication: In 2006, DIAN Interfidei is to publish 4 new
Edisi Juni 2006
25
Agenda
Interfidei newsletter
Keluarga Besar DIAN Interfidei Menyatakan Belasungkawa yang Sedalamdalamnya Atas Musibah Gempa Bumi yang Menimpa Saudara-Saudara Kita di Yogyakarta dan di Jawa Tengah. Anda dapat meringankan beban mereka dengan menyumbang ke rekening kami: GEMPA YOGYA A/n Bpk Eko P.M. Qq Bencana Gempa DIY Bank BNI UGM Yogya No. 0039234672
Keluarga Besar DIAN Interfidei Mengucapkan: SELAMAT HARI LINGKUNGAN HIDUP, 2 JUNI, 2006 DAN HARI ANAK NASIONAL, 23 JULI 2006
26
Edisi Juni 2006
Edisi Juni 2006
Appendix
MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005 KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 Tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M.: MENIMBANG : a. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta pahampaham sejenis lainnya di kalangan masyarakat; b. bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut; c. bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam. MENGINGAT : 1. Firman Allah swt.: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(QS. Ali Imran (3): 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali Imran (3): 19). “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”(QS. Al-Kafirun (109):6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab (33): 36). “ Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9). “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, danjanganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS. Al-Qashash (28): 77). ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidaklain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS.AlAn'am (6): 116). “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mu'minun (23): 71). 2. Hadis Nabi saw.: a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah saw.: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim).
Edisi Juni 2006
27
Interfidei newsletter
Lampiran
b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa'd dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih Bukhari). c. Nabi saw melakukan pergulan ocial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) MEMPERHATIKAN: Pendapat Sidang komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005. Dengan bertawakkal kepada Allah SWT MEMUTUSKAN MENETAPKAN: FATWA TENTANG PLURALISME, LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA Pertama: Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan 1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah elative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. 2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di egara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. 3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur'an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata. 4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan ocial manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan ocial. Kedua: Ketentuan Hukum 1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan liberalisme Agama. 3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif,dalam arti haram mencampur-adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. 4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agma lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H. 28 Juli 2005 M MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Ttd,
Sekretaris, ttd,
K.H. MA'RUF AMIN
Drs. H. HASANUDIN, M.Ag
Pimpinan Sidang Pleno Ketua, Ttd, Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB
28
Edisi Juni 2006
Sekretaris, ttd, Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN
Edisi Juni 2006
Appendix
MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005 KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 Tentang DO'A BERSAMA Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah: MENIMBANG: a. bahwa dalam acara-acara resmi kemasyarakatan maupun kenegaraan terkadang dilakukan do'a oleh umat Islam Indonesia dalam bentuk do'a bersama dengan penganut agama lain pada satu tempat yang sama; b. bahwa hal tersebut telah menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam tentang hukum do'a bersama menurut hukum Islam; c. bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang do'a bersama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam. MENGINGAT: 1. Firman Allah swt, antara lain: “Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitanapabila ia berdo'a kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).”(QS. An-Naml (27): 62). “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.”(QS. Al-Ma'idah (5): 73). “...Dan do'a orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.” (QS. Ghafir (40): 50). “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al-Furqan (25): 68). “Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 42). “Katakanlah hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun (109): 16). 2. Hadis Nabi s.a.w.: “Do'a adalah otak (inti) ibadah.”(HR. Tirmizi) 3. Qa'idah fiqh: “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba' (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi) MEMPERHATIKAN: Pendapat para ulama (lihat, a.l.: Hasyiyatul Jamal Fathul Wahhab, juz V, h. 226; Hasyiyatul Jamal, juz II, h. 119; Mughnil Muhtaj, juz I, h. 323; dan al-Majmu', juz V, h. 72 dan 66):
Edisi Juni 2006
29
Interfidei newsletter
Lampiran
“Kaum zimmi dan orang kafir lainnya tidak boleh bercampur dengan kita, baik di dalam tempat salat kita maupun ketika keluar (dari kampung, tempat tinggal); dalam arti hal itu hukumnya makruh. Mereka di tempat terpisah dari kita karena mereka adalah musuh Allah. Boleh jadi akan ada azab menimpa mereka disebabkan kekufuran mereka dan azab tersebut dapat menimpa kita juga. Allah berfirman:”dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu...”(QS. Al-Anfal (8): 25). Tidak boleh pula mengamini do'a mereka-sebagaimana dikemukakan oleh Imam Rauyani- karena do'a orang kafir tidak diterima (dikabulkan). Sebagian ulama berpendapat, do'a mereka boleh jadi dikabulkan sebagaimana telah dikabulkan do'a iblis yang minta agar ditangguhkan.” 1. Rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, 13 Ramadhan 1421/9 Desember 2000. 2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005. Dengan bertawakkal kepada Allah SWT MEMUTUSKAN MENETAPKAN: FATWA TENTANG DO'A BERSAMA Pertama : Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan: 1. Do'a Bersama adalah berdo'a yang dilakukan secara bersama-sama antara umat Islam dengan umat non-Islam dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan pada waktu dan tempat yang sama, baik dilakukan dalam bentuk satu atau beberapa orang berdo'a sedang yang lain mengamini maupun dalam bentuk setiap orang berdo'a manurut agama masing-masing secara bersama-sama. 2. Mengamini orang yang berdo'a termasuk do'a. Kedua
: Ketentuan Hukum 1. Do'a Bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk bid'ah. 2. Do'a Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdo'a secara bergiliran” maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do'a yang dipimpin oleh non-muslim. 3. Do'a Bersama dalam bentuk “Muslim dan non-muslim berdo'a secara serentak” (misalnya mereka membaca teks do'a bersama-sama) hukumnya HARAM. 4. Do'a Bersama dalam bentuk “Seorang non-Islam memimpin do'a” maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya. 5. Do'a Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin do'a” hukumnya MUBAH 6. Do'a dalam bentuk “Setiap orang berdo'a menurut agama masing-masing hukumnya MUBAH. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H. 28 Juli 2005 M MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Ttd,
Sekretaris, Ttd,
K.H. MA'RUF AMIN
Drs. H. HASANUDIN, M.Ag
Pimpinan Sidang Pleno Ketua, Ttd, Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB
30
Edisi Juni 2006
Sekretaris, Ttd, Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN
Edisi Juni 2006
Appendix
MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005 KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang ALIRAN AHMADIYAH Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M., setelah MENIMBANG: a.Bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya; b.Bahwa upaya pengembangan faham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat; c.Bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat; d.Bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang Aliran Ahmadiyah. MENGINGAT: 1. Firman Allah SWT.: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab (33): 40). “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(QS. Al-An'am (6): 153). “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...” (QS. Al-Ma'idah (5): 105). 2. Hadis Nabi s.a.w. a.l: “Rasulullah bersabda: tidak ada nabi sesudahku.” (HR.Al-Bukhari). “Rasulullah bersabda: kerasulan dan kenabian telah terputus karena itu tidak ada rasul maupun nabi ssesudahku.” (HR. Tirmizi). MEMPERHATIKAN: 1. Keputusan Majma' al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi' al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qat'i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adlah sebuahpengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath'i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi danRasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadiyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir
Edisi Juni 2006
31
Interfidei newsletter
Lampiran
(Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW.” 2. Keputusan Fatwa MUNAS II MUI pada tahun 1980 tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah. 3. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005 Dengan bertawakkal kepada Allah SWT MEMUTUSKAN MENETAPKAN: FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH 1. Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju' ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur'an dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Ditetapkan di : Jakarta Pada tangal : 21 Jumadil Akhir 1426 H. 28 Juli 2005 M MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Ttd,
Sekretaris, Ttd,
K.H. MA'RUF AMIN
Drs. H. HASANUDIN, M.Ag Pimpinan Sidang Pleno
Ketua, Ttd,
Sekretaris, Ttd,
Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB
Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Board Members: Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Ph.D, Zulkifli Lubis; Executive Board: A. Elga J. Sarapung, Department Coordinators: Suhadi (Education); Lian Gogali (Discussion); Listia (Research/ Advocacy); Leonard C. Efapras (Networking/Communication/Information); Amin Ma’ruf (Publication); Sarnuji (Library/Documentation); Eko Putro (Finance); Octavia Christiani (Secretariate/General Affairs); Susanto (Household); Fian (Fundraising); Staffs: Suryanto, Dian, Rini, Abidin Wakano, Syafaatun Elmirzanah, Wiwin St. Aminah; Alamat/ Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph./Fax.: 0274-880149, E-mail :
[email protected]. No. Rek: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.0039234672.
Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. For the development of this Newsletter, we open to your suggestions and critics.
32
Edisi Juni 2006