Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Beragama Abdullah A. An-Naim Abstract
Untuk pengantar hubungan referensi dan tesis mengenai dasar-dasar hak asasi manusia untuk beragama dalam Islam, diskusi saya akan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, saya akan memberikan garis besar tentang asal-usul, sifat dan perkembangan hukum Islam dan teologi, dan pengaruh modern. Bagian kedua akan memfokuskan pada sifat dan situasi wacana tentang hak asasi dan tanggung jawab di dunia Islam saat ini. Dalam pandangan itu, saya akan mengusulkan bagian ketiga mengenai teori dasar hak asasi manusia untuk beragama dalam Islam, yang akan dipahami dalam konteks modern.
Abdullah an-Naim, Profesor hukum di Emory University. Terjemahan ini merupakan bagian pertama dari teks aslinya. Diterjemahkan oleh Dede Iswadi, dari Abdullah A. An-Naim “Islamic Foundations of Religious Human Rights” dalam buku J. White dan J.D. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspectives, Kluwer Law International, 1996, h. 337-359. Penerjemah artikel ini menyelesaikan S1 di IAIN Kalijaga Yogyakarta dan S2 di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Menjadi staf pengajar di Pesantren Attaqwa Bekasi dan beberapa perguruan tinggi di Bekasi. .
Pengantar: Memisahkan sebuah Paradoks alam framework tulisan ini sebagai sebuah keseluruhan, maka bagian awal akan mendiskusikan hukum Islam dan dasar-dasar teologi untuk hak asasi manusia dalam beragama dan tanggung jawab, dan pengaruh wacana Islam tentang hak asasi dalam kehidupan hukum Islam modern masa sekarang. Sebagai sebuah terminologi, dalam karya sarjana-sarjana Islam awal atau dalam pikiran para pengikutnya, memang tidak membuat pembedaan antara hukum dan teologi. Masalahmasalah hukum, seperti dalam pengertian istilah modern, meliputi
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
D
1
kepercayaan dan doktrin, etika dan moralitas, praktik ritual keagamaan, gaya berpakaian, kebersihan, kesopanan, dan perilaku-perilaku yang baik, semuanya masuk dalam wilayah syarî’ah, jalan hidup ilahi. 1 Dengan demikian, saya akan menggunakan istilah syarî’ah dalam tulisan ini. Kalimat “hak asasi manusia untuk beragama”, yang digunakan dalam tulisan ini, merujuk ke hak asasi yang meliputi kebebasan untuk berkeyakinan dan hati nurani, termasuk di antaranya perbedaan agama, dalam kesesuaian dan kekurangannya, toleransi, sebagai hak asasi manusia.2 Dari hal itu, saya fokus pada hak untuk beragama seperti yang dipahami, diartikulasikan, dan diaplikasikan dalam paradigma “hak asasi manusia”, daripada dalam agama tertentu atau kerangka referensi lainnya atau sistem hukum. Konsepsi dan implementasi hak untuk beragama sebagai hak asasi manusia adalah sebuah kebutuhan dan paradoks yang keduanya tidak mudah untuk digabungkan atau dipisahkan.3 Pada satu sisi, menghubungkannya merupakan hal yang sulit dilakukan karena ketegangan inheren antara premis universalitas yang mendasari hak asasi manusia dan kekhususan dasar-dasar agama untuk hak tersebut.4 Karena universalitas hak asasi manusia bermakna validitas dan aplikasi hak-hak ini ke semua umat manusia di seluruh dunia, maka ia harus TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
diaplikasikan tanpa memperhatikan ada atau tidak pemahaman yang dilandaskan pada keyakinan agama sebuah masyarakat. Universalitas hak asasi manusia secara partikular ditentang oleh kalangan aktivis agama, seperti kelompok-kelompok Islamis di beberapa negara Islam sekarang ini, yang mengklaim bahwa kepercayaan agama memerlukan pembentukan negara “teokratik” untuk memperkuat visi hukum suci. Namun, perintah untuk mempertahankan universalitas hak asasi manusia berhadapan dengan klaim-klaim tersebut tepatnya karena negara teokratik bersifat ekslusif dan kasar, seperti pertentangan orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Pada sisi lain, sulit untuk memisahkan agama dan hak asasi manusia, karena keduanya tidak hanya berjalan pada justifikasi moral yang sama, namun juga saling melengkapi dan berinteraksi dalam kandungannya. Keduanya adalah sistem normatif yang mempremiskan pada ajaran-ajaran moral yang sama mengenai hubungan manusia, dan karena itu orang-orang beriman menjunjung tinggi norma-norma hak asasi manusia diluar keyakinan agama, perlindungan terhadap hak asasi dipegang dan dijalankan dengan keyakinan tersebut adalah integral dari konsep dasar hak asasi manusia yang fundamental. Karena orangorang beriman akan selalu membuat hubungan, apakah positif atau negatif, maka ini sangat baik untuk
2
para pendukung hak asasi manusia untuk mengakui dan meresponnya daripada menganggapnya bahwa hubungan tersebut tidak ada. Kegagalan memisahkan paradoks yang nampak antara agama dan hak asasi manusia, saya berpendapat, adalah kerusakan yang berasal dari dua perspektif. Kalau landasan umum bisa dibangun sehingga manusia akan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai masalah—atau sedikitnya tanpa kekerasan—keyakinan agamanya, maka mereka akan membuat pilihan antara dua “kredo”.5 Dari hal itu, saya berpendapat, biaya masyarakat atau seseorang yang membuat pilihan tersebut tidak hanya kehilangan beberapa atau semua keuntungan dengan meninggalkan kredonya, namun juga dalam hubungannya dengan nilai yang diadopsi atau dipilihnya. Kalau sebuah masyarakat memilih untuk menjunjung tinggi apa yang mereka yakini sebagai ajaran-ajaran agamanya di atas komitmen pada normanorma hak asasi manusia, maka masyarakat dan anggota-anggotanya akan kehilangan, baik pendirian agama maupun hak asasi manusianya. Dengan memilih hak asasi manusia di atas ajaran-ajaran agama, pada sisi lain, maka mereka akan kehilangan baik dari perspektif hak asasi manusia maupun agama. Kehilangan keuntungan dengan kehilangan kredo mungkin jelas, namun bagaimana sebuah pilihan antara dua kredo itu mengurangi nilai salah satu ajaran yang diambil? TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Dalam pandanganku, komitmen terhadap hak asasi manusia akan mempertinggi kualitas keyakinan beragama, relevansinya, dan penggunaan ajaran-ajarannya untuk kehidupan para penganutnya. Dengan sifatnya itu, dan untuk mempengaruhi secara efektif keyakinan moral dan perilaku sehari-hari mereka yang menganutnya, maka keyakinan beragama harus menjadi pengambilan dan penegakkan yang bersifat sukarela. Memaksa keyakinan adalah sebuah istilah yang kontradiktif, dan hanya bisa mendidik kemunafikan, korupsi sosial dan penindasan politik. Selain itu, seperti bisa dilihat dari sejarah setiap agama besar, pertentangan internal adalah esensial untuk meremajakan kembali keyakinan dan membetulkan praktik di kalangan para penganutnya. Kelangsungan hidup dan pembaruan setiap agama besar dijamin oleh keyakinan dan pandangan orang yang tidak setuju sama banyaknya dengan konformitas ortodoksinya. Sebagai contoh, dalam konteks Islam, setiap bentuk Sunni, Sufi, atau keyakinan syarî’ah yang dipegang oleh para penganutnya sekarang ini sebagai “orotodoks”—untuk beberapa poin dalam sejarah—adalah sebuah pandangan orang yang tidak setuju yang menentang oposisi ortodoksi pada masa itu. Dengan melindungi hak perbedaan pendapat dalam masyarakat beragama, maka normanorma dan mekanisme hak asasi manusia akan melindungi prospek
3
pertumbuhan spiritual agama dan praktik menjalankan ajaranajarannya untuk kehidupan para penganutnya. Seperti bisa sama-sama dilihat dari sejarah setiap agama besar, pandangan-pandangan keagamaan yang berbeda selalu dihukum dan ditindas dengan mengatasnamakan melindungi integritas keimanan, dan/atau moral yang ada. Karena perhatian terhadap hal itu harus diambil dengan serius disebabkan legitimasinya penting untuk orangorang beriman, maka mereka tidak pernah diizinkan untuk menentang atau merusak fakta keagamaan dan pluralitas politik, atau mengurangi komitmen masyarakat untuk mengakui dan menghormatinya di wilayah publik bersama. Realitas yang ada sekarang dan prospeknya di masa yang akan datang menyangkut pluralitas agama dan politik harus benar-benar diakui dan dipenuhi sebagai sesuatu yang integral—dan esensial untuk legitimasi dan integritas—dengan keimanan atau masyarakat.6 Sebaliknya, klaimklaim tindakan untuk kepentingan melindungi integritas keimanan dan masyarakat adalah tidak bermakna apa-apa selain sebuah perlindungan untuk dominasi politik dan agama oleh elit-elit tertentu atau kelompok-kelompok orang beriman. Dari perspektif hak asasi manusia, ketika motivasi keagamaan menjunjung tinggi hak asasi manusia mempertinggi prospek pemenuhan secara sukarela dan munculnya keinginan politik untuk TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
memperkuatnya, maka resistensi pada semua hak ini dari sudut agama sangat sulit untuk diatasi. Orang-orang Muslim, sebagai contoh, “tidak bisa memahami atau pun menerima sistem hak asasi yang menghilangkan agama. Bagi mereka, agama mencakup semua ajaran hidup dan tidak ada sistem hak asasi yang mengabaikan aksiom yang fundamental ini sebagai adopsi dan penguatan yang bermanfaat.”7 Karena itu, pengalaman keagamaan tidak hanya sumber yang sangat diperlukan untuk memperoleh dukungan bagi hak asasi manusia dari orang-orang beriman, khususnya tempaan hubungan rasional hak asasi dan tanggung jawab sebagai pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-harinya,8 namun juga sebagai sumber kandungan hak asasi yang kaya dan bernilai. Selain itu, hubungan-hubungan ini telah dibuat oleh orang-orang beriman dan harus diakui serta sesuai dengan ajaran-ajarannya. Jadi, sekalipun hubungannya sulit dan bersifat paradoks, agama dan hak asasi manusia tidak hanya harus direkonsiliasikan, namun mungkin mendukung satu sama lain. Saya percaya, ini bisa dan harus dicapai melalui usaha-usaha di atas dua sisi isu tersebut. Para pendukung hak asasi manusia, pada satu sisi, harus mentransendensikan sikap toleransi agama yang lalai pada pengakuan moral keimanan beragama dan keseriusan penggunaan perspektif keagamaan. Mereka yang mengambil agama
4
dengan serius, pada sisi lain, harus melihat hak asasi manusia sebagai sesuatu yang integral dengan kepercayaan atau perhatian mereka, daripada sebagai sistem yang murni sekular yang harus diakomodasi. Saya melihat bagian ini—dan tulisan sebagai sebuah keseluruhan—sebagai usaha menemukan landasan umum untuk saling mendukung satu sama lain. Untuk mengeksplorasi prospek dan permasalahan menemukan landasan Islam untuk hak asasi manusia, bagian ini tidak mengklaim mampu memberikan diskusi yang komprehensif dalam hubungannya dengan setiap aspek sejarah Islam atau semua bagian dari dunia Islam. Sebab tidak mungkin meraih semua kekayaan dan kompleksitas sejumlah negara dalam sejarah besar dan bagianbagian dunia yang sangat berbeda dalam satu tulisan. Malahan, tujuan saya di sini adalah menyaring bagian-bagian sejarah tersebut yang sangat berhubungan, dan menarik beberapa pengalaman masyarakat Islam, untuk mengembangkan teori yang koheren mengenai hak asasi manusia untuk beragama dalam Islam. Seperti telah dielaborasi sebelumnya, teori ini mempremiskan dua prinsip utama. Pertama, berkenaan dengan kebebasan “internal” untuk berkeyakinan dan perbedaan pendapat di kalangan Muslim, sebab identitas dan sistem normatif hanya bisa bermanfaat dan berguna dalam konteks sejarah, identitas TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Islam dan syarî’ah harus tetap membuka renegosisasi dan rekonstruksi oleh setiap masyarakat sesuai dengan kondisinya masingmasing. Fakta yang ada bahwa peran manusia merupakan hal yang tidak bisa dihindari dalam penafsiran dan implementasi teks-teks keagamaan, setiap formulasi identitas Islam dan artikulasi syarî’ah adalah sebuah produk akal dan tindakan manusia. Karena itu, tidak ada formulasi atau artikulasi yang harus memonopoli keautentikan dan otoritas agama dengan meniadakan penafsiran yang lain. Dibutuhkan formulasi dan artikulasi alternatif untuk bersaing agar diterima oleh masyarakat sebagai pemutus praktik keautentikan Islam. Karena itu, kebebasan beriman dan perbedaan pendapat harus dilindungi di kalangan mereka yang mengindentifikasi sebagai Muslim untuk menjamin vitalitas dan integritas proses renegosiasi dan rekonstruksi identitas keagamaan dan hukum ini. Kedua, berkenaan dengan hak asasi manusia orang-orang nonMuslim, pluralitas keagamaan dan pluralitas masyarakat politik di tingkat nasional dan internasional dalam situasi dan kondisi modern saat ini untuk sama-sama menghormati hak asasi manusia dari semua anggota masyarakat sebagai dasar tuntutan Muslim itu sendiri atas hak-haknya. Selain itu, pengakuan atas fakta pluralitas dan konsekuensinya ini tidak hanya didukung oleh sumber-sumber teks Islam, namun juga disetujui oleh
5
pengalaman Islam.
sejarah
masyarakat
Syarî’ah: Dulu dan Sekarang Saya tidak akan membatasi diskusi tentang dasar-dasar hak asasi manusia dalam Islam dari dasar hak asasi itu sendiri, atau kekurangan yang ada di dalamnya, di bawah syarî’ah. Aspek lain dari kesadaran Islam, seperti persepsi dan pengalaman kesalehen dan spiritualitas, juga faktor sosioekokomi dan politik, selalu integral dengan pemahaman keyakinan dan perilaku Muslim. Mungkin, saya menegaskan bahwa asal-usul, sifat, dan konteks perkembangan syarî’ah itu sendiri dikondisikan oleh konteks sejarah masyarakat Islam awal di Timur Tengah. 9 Pada waktunya, konteks lokal juga sangat kuat mempengaruhi adopsi dan adaptasi syarî’ah di belahan lain dunia Islam. Dengan nada yang sama, konteks sejarah akan mempengaruhi, dan akan terus mempengaruhi, pemahaman dan implementasi syarî’ah sebagai bagian dari dasar-dasar hak asasi manusia untuk beragama dalam masyarakat Islam. Konteks lokal serta faktor sosio-ekonomi dan politik telah mempengaruhi pemindahan syarî’ah selama masa kolonial dan awal kemerdekaan di sebagian besar negara-negara Islam, juga kebangkitan Islam baru-baru ini sebagai framework wacana mengenai hak asasi manusia. TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Dalam hal ini, saya akan memberikan garis besar yang singkat mengenai asal-usul, sifat dan perkembangan syarî’ah sebagai model teoritis untuk jalan hidup Islam. Sekalipun model ideal ini jarang sekali diimplementasikan secara utuh dalam kehidupan nyata masyarakat dan individu-individu Muslim, namun tetap menjadi simbol kekuatan dan sumber motivasi dan framework untuk tindakan masa sekarang. Karena itu, bagian ini akan menyimpulkan evaluasi dan diskusi peran syarî’ah dalam wacana Islam modern mengenai hak asasi dan tanggung jawab. Sumber utama kerangka rujukan konseptual dan kandungan syarî’ah adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. 10 Tradisi generasi Muslim awal juga diambil sebagai sumber otoritatif petunjuk Islam dalam praktik masyarakat. Sepanjang abad pertama Islam, masyarakat dan individu-individu Islam merujuk kepada semua sumber-sumber ini untuk membimbing kehidupan sehari-hari, menurut rekoleksi tauladan kehidupan generasi awal dan pemahaman pesan Islam. Proses konsultasi mazhab yang dipercaya dianggap bisa mengetahui teks dan penafsiran AlQuran dan Sunnah, sejarah dan relevansi tradisi masyarakat Islam awal, secara bertahap berkembang dalam praktik yang mengikuti seperangkat prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan khusus yang dinisbatkan kepada tokoh atau guru
6
tertentu dan murid-muridnya. Pada akhir abad kedua hijriah, dan awal abad ketiga (abad kedelapan dan kesembilan masehi), praktik kesetiaan kepada ulama yang disukai telah dikembangkan secara sistematis dan konsisten yang saat ini dikenal sebagai mazhab. Untuk millennium berikutnya, dan hingga sekarang, perkembangan syarî’ah telah terstruktur dan diatur oleh metodologi, prinsipprinsip, dan aturan-aturan yang disusun oleh imam mazhab, para murid-muridnya, dan kemudian para ulama yang mempertahankan mazhab hukum Islam, madzâhib alfiqh al-islâmi.11 Banyak kehidupan hukum dan teologi muncul dalam framework mazhab yang berlaku di masyarakat, seringkali dalam subdivisi atau garis pemikiran dan otoritas.12 Bagaimanapun, kepunahan beberapa mazhab, dan pergeseran teritorial telah berpengaruh di kalangan mazhab-mazhab yang masih bertahan hidup, telah memberi kesaksian pada dinamika wacana dan pilihan oleh masyarakat Islam yang menganggap mazhab (sub-mazhab) tersebut lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan pada waktu itu. Beberapa tahapan pembentukan syarî’ah, berbeda dengan perkembangan masa berikutnya dan kecenderungan-kecenderungan masa kini, harus dicatat di sini. Pertama, para pendiri mazhab diikutsertakan dalam proses derivasi prinsipprinsip umum dan aturan-aturan khusus untuk membimbing TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
masyarakat, dan merespon keraguan dan permintaan-permintaan atau mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan hipotetis untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip teoritis dan metodologis dianggap perlu dan berguna untuk masyarakat. Jadi, para pendiri mazhab dan para muridnya tidak— tidak melihat dan menghadirkan dirinya—membangun pemisahan atau perbedaan, mengabadikan, mazhab. Namun salah satu mazhab atau yang lainnya menjadi sempit diikuti sebagai satu-satunya artikulasi syarî’ah yang benar. Pendekatan yang lebih integratif saat ini muncul sebagai hasil dari konteks intelektual dan politik dalam gerakan Islam modern, namun ketaatan yang otomatis terhadap mazhab yang diambil terus menjadi norma. Kedua, elobalorasi syarî’ah oleh para pendiri mazhab dengan penafsiran Al-Quran dan Sunnah, sesuai dengan tradisi hidup masyarakat Islam awal, pada awalnya merupakan proses yang bersifat spontan dan tidak terstruktur. Bagi seluruh umat Muslim periode awal, semua perintah ilahi yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, telah diterjemahkan dalam bahasa Arab mereka dan dicontohkan dalam sejarah lisan nenek moyang mereka. Karena itu, metodologi yang tepat untuk derivasi prinsip-prinsip syarî’ah dan aturanaturannya berkembang secara bertahap dalam merespon situasi dan kondisi tertentu.13 Evolusi metodologi yang tepat dan sistematis
7
juga mungkin didorong oleh suburnya pertumbuhan dan kompleksitas syarî’ah itu sendiri. Dalam merespon semua hal ini dan faktor-faktor lainnya, para ulama mulai mengembangkan aturan-aturan dan kriteria teknis untuk penafsiran Al-Quran, keautentikan dan riwayat Sunnah dan merekonsiliasikannya dengan Al-Quran, relevansi dan penggunaan tradisi awal masyarakat Islam dalam hubungannya dengan Al-Quran dan Sunnah, namun syarî’ah secara umum dipercaya telah mengembangkan metodologi yang sangat sistematis dan berpengaruh yang saat ini dikenal sebagai ‘ilm ushûl al-fiqh, ilmu tentang dasar-dasar hukum Islam.14 Namun, seiring dengan perjalanan waktu, legitimasi dan kebutuhan regulasi metodologi menjadi sangat menghalangi bagi, mungkin merusak, perkembangan syarî’ah berikutnya, khususnya di era modern. 15 Dalam pandangan saya, secara partikular hal ini adalah benar dan jelas dalam hubungannya dengan sifat dan peran ijtihâd, secara literal adalah pengerahan tenaga atau usaha pribadi, namun yang dirujuk dalam hal ini adalah melatih dengan sengaja alasan-alasan hukum untuk memperoleh prinsip-prinsip dan aturan-aturan syarî’ah. Sekalipun secara teknis dapat dipahami oleh para ahli hukum Islam sebagai satusatunya pengaplikasian terhadap masalah-masalah yang tidak jelas dan teks kategoris dalam Al-Quran dan Sunnah, namun ijtihâd secara TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
jelas diaplikasikan kepada teks-teks fundamental. Para pemimpin masyarakat dan ulama selalu melakukan ijtihâd terhadap Al-Quran dan Sunnah karena mereka menilai bahwa ketetapan Al-Quran dan Sunnah bisa diaplikasikan untuk situasi atau pertanyaan yang ada, dan menafsirkan dan mengaplikasikan teks tersebut menjadi relevan. Dengan perkembangan ushûl al-fiqh, ijtihâd diregulasikan dan dibatasi pada kepunahan, dan tetap sangat problematik hingga kini. 16 Namun sejak ijtihâd didefinisikan dan diregulasikan dengan akal manusia di masa lalu, daripada sebagai produk langsung wahyu ilahi, maka ia bisa didefinisikan kembali dan diregulasikan kembali dengan akal manusia saat ini dan di masa mendatang. Sisi signifikan yang ketiga mengenai tahapan pembentukan syarî’ah adakah ketika para ulama mengelaborasi dan menyempurnakan sistem normatif yang ideal dan komprehensif, maka masalah-masalah negara banyak memimpin sesuai dengan kegunaan politik pragmatis daripada perintah sistem. Untuk sebagian besar sejarah Islam sejak dinasti Muawiyah (661-750 M.), ada “gencatan senjata yang tidak mudah antara ‘ulamâ [ulama syarî’ah]….dan otoritas politik…. Sepanjang hukum suci [syarî’ah] menerima pengakuan formal sebagai keagamaan yang ideal, maka ia tidak mendesak praktiknya diaplikasikan secara utuh”. 17 Namun dikotomi antara teori dan
8
praktik tidak harus dibesar-besarkan atau disederhanakan dipandang dari sudut karakterisasi sekular dan keagamaan—hal penting yang perlu dicatat dalam hubungannya dengan wacana Islam saat ini seperti akan ditunjukkan nanti. Untuk satu hal, dikotomi tersebut bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu bidang syarî’ah ke bidang lainnya dengan cara mempertahankan kredibilitas aliansi model ideal baik dari sudut pandang ilmiah maupun politik. Kedua, “pandangan dan jarak” pemerintahan dan administrasi di negaranegara imperial masa lalu, seiring dengan penyebaran syarî’ah dalam risalah dan tafsir yang tidak bisa diakses, adalah tidak kondusif untuk implementasi yang sistematis lagi tepat. Masyarakat meninggalkan kelakuan urusan sehari-harinya yang sesuai dengan kebiasan lokal atau praktik-praktik tradisionalnya yang meliputi norma-norma syarî’ah, namun tidak koheren dan makna formal perundang-undangan hukum formal dalam pengertian istilah modern. Yang lebih signifikan dari sudut pandang perdebatan saat ini tentang hak asasi manusia di dunia Islam, ideal syarî’ah masih tetap hidup di hati dan pikiran umat Muslim, bahkan ketika mereka hidup di bawah adminisitrasi kolonial yang berusaha menggantikan syarî’ah dengan konsep hukum modern dan pemerintah formal dan sistematikanya.18 Anderson menjelaskan: TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Bagi seorang Muslim, selalu dianggap dosa yang sangat mengerikan ketika menolak atau mempertanyakan wahyu ilahi daripada gagal mengamalkannya. Jadi nampak lebih baik terus berpura-pura pada syarî’ah yang tidak dapat diganggugugat, sebagai satu-satunya otoritas hukum yang fundamental, dan memaafkan orang yang tidak melaksanakannya dengan seruan doktrin darurat, daripada berusaha mengadaptasi hukum yang sesuai dengan kebutuhan situasi dan kehidupan kontemporer.19
Namun sikap tradisional ini sekarang ditentang oleh kalangan aktivis Islam yang mengatakan bahwa Muslim saat ini bebas mengimplementasikan totalitas syarî’ah setelah beberapa dekade kemerdekaan politik sebagai negara-bangsa. Hal ini jauh dari jelas, dan sangat meragukan bagi pikiran saya, apakah proyek kalangan Islamis modern akan mengarah kepada implementasi syarî’ah yang diartikulasikan oleh para pendiri mazhab dan mengetahui masyarakat Islam dengan zaman. Selain ketidaksesuaian aspek fundamental syarî’ah dengan situasi kehidupan modern yang memiliki negarabangsa yang pluralistik dalam dunia globalisasi dan saling bergantungan,20 usaha kodifikasi dan penguatan oleh sentralisasi otoritas yang kursif adalah bertentangan dengan sifat syarî’ah dan mainstream sejarah Islam. Namun, saya akan mendesak bahwa proyek kalangan Islamis harus diambil dengan sangat serius karena kon-
9
sekuensinya yang drastis bagi hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk beragama. Catatan Kaki: 1 Untuk analisis pembangunan konsep syarî’ah, lihat Fazlur Rahman, Islam (Chicago, 1979), h. 101-109. 2 Hak asasi manusia adalah klaim setiap umat manusia yang diberi nama oleh kebijakan kemanusiaannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, atau asal-usul bangsa. Formulasi semua hak ini ditemukan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan instrumen internasional berikutnya, namun saya tidak mengambil semua sumber ini sebagai sumber yang definitif atau mendalam. Formulasi-formulasi yang baru bisa dan harus muncul, dan formulasi yang lama harus terbuka untuk direvisi, elaborasi dan reformulasi. 3 Mengenai berbagai macam aspek kebutuhan ini namun hubungan problematis, lihat secara umum Abdullah Ahmed An-Naim, et. al., Human Rights and Religious Values: An Uneasy Relationship? (Grand Rapid, MI, 1995); Leonard Swidler, ed., Religious Liberty and Human Rights in Nations and Religions (Philadelphia, 1986). Untuk diskusi beberapa isu mengenai permasalahan yang ada dalam tulisan ini, lihat secara umum, Daniel G. Ashburn, ed., “The State of Religious Human Rights in the World: Premilinary Consultation, Premilinary Documents of Religious Human Rights Project 2 (1993) 4 Dasar universalitas hak asasi manusia dan kriteria praktis untuk identifikasinya adalah Peraturan Emas
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
(Golden Rule) atau prinsip timbal-balik, yakni semua hak ini yang saya klaim untuk diri saya sendiri sebagai manusia, tidak hanya oleh kebijakan hukum atau status lainnya dan karena itu harus mengakui yang lain dengan nada yang sama karena itu merupakan dasar klaim saya. Lihat Abdullah Ahmed An-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse, 1990), 162-63. 5 Diambil sebagai seperangkat keyakinan atau prinsip-prinsip yang fundamental, hak asasi manusia jelas digambarkan sebagai sebuah kredo. Namun saya menggunakan referensi pendek, tanpa adanya implikasi atau menolak kebenaran aplikasi tersebut ke hak asasi manusia. 6 Fakta yang fundamental dan legitimasi kebutuhan serta pluralitas yang permanen ditekankan oleh AlQuran sendiri, dalam ayat 13 surat 49 yang saya terjemahkan sebagai berikut: “Kami [Tuhan] telah menjadikan kamu [seluruh umat manusia] menjadi masyarakat-masyarakat dan suku-suku supaya kamu saling mengenal satu sama lain dan bekerja sama. Mereka yang paling dimuliakan Tuhan adalah mereka saleh dan berbuat kebajikan”. 7 John White, Jr., “Introduction” herein. 8 Ibid. 9 An-Naim, Toward an Islamic Reformation, 52-62. 10 Al-Quran adalah teks tertulis yang diyakini Muslim sebagai catatan wahyu ilahi terakhir dan konklusif. Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dan dihapal oleh generasi pertama Muslim sampai dikumpulkan dalam teks tulisan sekitar dua dekade setelah
10
Nabi meninggal. Kecuali untuk beberapa perbedaan yang kecil dalam style pembacaan, teks Al-Quran, dikenal sebagai Mushhaf ‘Utsmâni, diakui oleh semua Muslim Sunni sebagai satu-satunya teks Al-Quran yang sah. Versi teks Al-Quran yang diterima oleh kalangan Muslim Syi’ah sedikit berbeda, namun tidak signifikan untuk tujuan tulisan ini. Lihat secara umum John Burton, The Collection of the Quran (Cambridge, 1977). Sunnah Nabi adalah tradisi lisan ungkapan verbal dan suri tauladan yang hidup telah dikumpulkan dalam kompilasi tulisan untuk pertama kalinya selama abad kedua dan ketiga hijriah, kedelapan dan kesembilan masehi. Keautentikan dan otoritas beberapa teks Sunnah relatif melahirkan kontroversi di kalangan Muslim Sunni dan Syi’ah hingga saat ini. Mengenai konsep dan proses pengumpulan Sunnah dan sumbersumber yang kontroversi, lihat Rahman, Islam, bab 3 dan Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad,1970), bab 5. 11 Rahman, Islam, h. 81-83. 12 Jadi, empat mazhab Sunni yang bertahan hingga kini (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali—dinamakan setelah para pendiri mazhab ini di abad kedelapan dan kesembilan masehi), cenderung memiliki wilayah pengaruh territorial tertentu di dunia Islam. Untuk mazhab Maliki, sebagai contoh, saat ini secara umum lebih berlaku di Afrika Utara dan Barat, mazhab Hanbali diikuti oleh arab Saudi, sedikitnya sebagai doktrin “resmi” Kerajaan. Namun kasus di Arab Saudi, penafsiran Wahhabi terhadap mazhab Hanbali lebih berlaku, daripada ulama-
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
ulama lainnya dari mazhab tersebut sebagai sebuah keseluruhan. Mazhab Syafi’i juga memiliki perluasan territorial, mazhab Ja’fari di Iran, Zaidi di Arab selatan, Ismaili di kalangan Syi’ah semenanjung India, dan sebagainya. 13 Dengan perluasan timur Islam ke Persia dan India, dan barat melalui Afrika Utara hingga Spanyol, banyak masyarakat yang memeluk keyakinan yang berbeda-beda atau datang di bawah wilayah kekuasaan politik, tidak mengetahui bahasa Arab atau sejarah masyarakat Islam awal. Selain itu, masyarakat ini memiliki budaya praIslam sendiri, beberapa di antaranya memiliki nenek moyang dan peradaban yang lebih tinggi, meliputi perbedaan sistem hukum dan teologi, institusi sosial, politik dan ekonomi. Interaksi dan lintas-pembuahan prinsip-prinsip dan aturan-aturan Islam dengan normanorma dan institusi-institusi pra-Islam kemudian baru mengislamisasikan masyarakat, sebagaimana terjadi di Arab dan Timur Tengah, namun hal tersebut harus sesuai dengan criteria Islam seperti yang dikembangkan oleh para sarjana dan model komunitas awal yang lebih otoritatif. 14 Mengenai tahapan-tahapan pembentukan hukum Islam dan perkembangan metodologinya, lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford, 1964), 45-48, 58ff; Majid Khadduri, trans., Islamic Jurisprudenc, Shafi’is Risala (Baltimore, 1961), 40-84; Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence, bab 8; Noel Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh, 1964), bab 4; George Makdisi, “The Juridical Theology od Shafi’i: Origins and
11
Significance of Usul Al-Fiqh”, Studia Islamica 59 (1984), 5-47. 15 An-Naim, Toward on Islamic Reformation, bab 3. 16 Coulson, A History of Islamic Law, 80-81; Schacht, An Introduction to Islamic Law, 69ff; An-Naim, Toward on Islamic Reformation, 27-29. Bandingkan dengan Wael B. Hallaq, “Was the Gate of Ijtihad Closed?” International Journal of Middle Eastern Studies 16 (1984): 3. 17 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1959), h. 84.
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
18
Tentang proses perubahan syarî’ah oleh hukum Barat selama periode kolonial, lihat Herbert Liebesny, The Law of the Near and Middle East (Albany, 1975), h. 56; James Norman D. Anderson, Law Reform in the Muslim World, h. 1-2, 33. 19 Anderson, Law Reform in the Muslim World, h. 36. 20 Untuk kritik model teoritis Negara Syariah dalam konteks modern, lihat secara umum, An-Na’im, Toward an Islamic Reformation, bab 4-7.
12